You are on page 1of 58

REAKSI

HIPERSENSITIVITAS

oleh

Dr. Hendra Sutardi


Respons imun (nonspesifik maupun spesifik) pada
umumnya berfungsi protektif, tetapi dapat menimbulkan
akibat buruk dan penyakit yang disebut “hipersensitivitas”.
Jadi “hipersensitivitas” atau alergi” menunjukkan suatu
keadaan dimana respons imun mengakibatkan reaksi
yang berlebihan sehingga menimbulkan kerusakan pada
jaringan tubuh hospes.
Komponen-komponen sistem imun yang bekerja pada
proteksi adalah sama dengan yang menimbulkan reaksi
hipersensitivitas.
Reaksi ini secara khas terjadi pada orang tertentu setelah
kontak kedua kali-nya dengan suatu antigen khusus
(alergen). Kontak pertama merupakan peristiwa awal yang
diperlukan dan menginduksi sensitisasi terhadap alergen
itu
PEMBAGIAN REAKSI
HIPERSENSITIVITAS

• REAKSI HIPERSENSITIVITAS
MENURUT WAKTU
• REAKSI HIPERSENSITIVITAS
MENURUT MEKANISME IMUN YANG
TERJADI
REAKSI HIPERSENTIVITAS
MENURUT WAKTU
• Reaksi cepat.
Terjadi dalam hitungan detik, menghilang
dalam 2 jam. Antigen yang diikat IgE pada
permukaan sel mast menginduksi
pelepasan mediator vasoaktif.
Manifestasi reaksi cepat berupa anafilaxis
sistemik atau anafilaxis lokal seperti asma,
pilek-bersin, urtikaria dan eksim.
* Reaksi intermediat
Terjadi setelah beberapa jam dan menghilang dalam 24
jam. Reaksi ini melibatkan pembentukan kompleks imun
IgG dan kerusakan jaringan melalui aktivasi komplemen.
Manifestasinya dapat berupa :
1. Reaksi transfusi darah, eritroblastosis
foetalis dan anemia hemolitik autoimun.
2. Reaksi Arthus lokal dan reaksi sistemik yaitu
serum sickness, vaskulitis nekrotis, glomerulonefritis,
artritis rematoid dan LES (lupus eritematosis sistemik)
• Reaksi lambat
Reaksi lambat terlihat sampai sekitar 48
jam setelah pajanan dengan antigen.
Pada DTH yang berperan adalah sitokin
yang dilepas sel T yang mengaktifkan
makrofag dan menimbulkan kerusakan
jaringan. Contoh : dermatitis kontak, reaksi
Mycobacterium tuberculosis dan reaksi
penolakan graft.
PEMBAGIAN REAKSI
HIPERSENSITIVITAS MENURUT
MEKANISME
Reaksi hipersensitivitas oleh Robert Coombs dan Philip
Gell (1963) dibagi dalam 4 tipe reaksi berdasarkan
kecepatan dan mekanisme imun yang terjadi yaitu tipe I, II,
III dan IV.
Tipe I : Hipersensitivitas cepat (Anafilaktik)
Tipe II : Hipersensitivitas sitotoksik
Tipe III : Hipersensitivias kompleks imun
Tipe IV : Hipersensitivitas lambat (berperantara sel)
Catatan : Tipe I, II, III berperantara antibodi
Tipe I : Hipersensitivitas cepat
(anafilaktik)
Hipersensitivitas cepat timbul sebagai reaksi
jaringan yang terjadi dalam beberapa menit
setelah antigen (alergen) bergabung dengan
antibodi yang sesuai. Pada reaksi tipe I
alergen yang masuk ke dalam tubuh
menimbulkan respons imun berupa produksi
IgE dan penyakit alergi seperti rinitis alergi,
asma dan dermatitis atopi.
Urutan kejadian reaksi tipe I
• Fase sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan IgE
sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada
permukaan sel mast dan basofil.
• Fase aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara
pajanan ulang dengan antigen yang spesifik
• Fase efektor yaitu waktu terjadinya respons
yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek
mediator-mediator yang dilepas sel mast dengan
aktivitas farmakologik.
Langkah mekanisme umum pada
hipersensitivitas cepat
• Antigen menginduksi sel B untuk membentuk
antibodi IgE yang mengikat erat dengan bagian
Fc-nya pada sel mast dan basofil.
• Beberapa minggu kemudian, apabila tubuh
terpajan ulang dengan antigen yang sama,
maka antigen akan diikat oleh IgE yang sudah
ada pada permukaan sel mast dan basofil.
• Akibat ikatan antigen-IgE, sel mast dan basofil
mengalami degranulasi dan melepas mediator
dalam waktu beberapa menit.
Mediator penting pada
hipersensitivitas anafilaktik
• Histamin
Pelepasan histamin menyebabkan :
- vasodilatasi
- peningkatan permeabilitas kapiler
- kontraksi otot polos
Secara klinis ada gangguan seperti rinitis alergi
(hay fever), urtikaria dan angioedem
Pada anafilaksis akut gejala yang menonjol yaitu bronko-
spasme karena pelepasan histamin.
Obat antihistamin dapat memblokir tempat reseptor hista
min dan relatif efektif pada rinitis alergi, tidak pada asma
• SRS-A (Slow reacting substance of anaphylaxis)
Terdiri dari leukotrien yang timbul waktu
terjadi reaksi anafilaksis. Leukotrien dibentuk
dari asam arachidonat dan menyebabkan
peningkatan permeabilitas vaskuler serta kon-
traksi otot polos. Ini adalah mediator utama ter-
jadinya bronkokonstriksi pada asma dan tidak
dapat dipengaruhi oleh antihistamin.
• ECF-A (Eosinophil chemotactic factor of
anaphylaxis)
Merupakan tetrapeptida yang berada di dalam
granula sel mast.
Ketika dilepaskan pada waktu anafilaksis, ia
menarik eosinofil yang sangat prominen pada
reaksi alergi tipe cepat. Peranan eosinofil tidak
tentu, tetapi dapat melepas histaminase dan
arylsulfatase yang menimbulkan degradasi 2
mediator penting yaitu histamin dan SRS-A.
• Serotonin (hydroxytryptamine) yang
preformed pada sel mast dan blood
platelets.
Pelepasan waktu anafilaksis menyebab-
kan dilatasi kapiler, peningkatan permea-
bilitas kapiler dan kontraksi otot polos.
(peranannya kecil pada manusia)
• Prostaglandin dan tromboksan
Kedua zat ini berhubungan dengan leuko-
trien, dan diturunkan dari asam arakidonat
lewat jalur siklooksigenase.
Prostaglandin menyebabkan bronkokons-
triksi dan dilatasi serta peningkatan per-
meabilitas kapiler.
Tromboksan menggumpalkan trombosit.
Manifestasi klinis
hipersensitivitas tipe I
Dapat timbul dalam berbagai bentuk yaitu urticaria,eczema,
rhinitis, conjunctivitis dan asthma
Bila individu terpajan tepung sari melalui udara akan timbul
hay fever. Dan bila menelan alergen dalam makanan akan
timbul diare.
Lebih lanjut, seseorang yang respons terhadap alergen
dengan urtikaria mempunyai ikatan alergen-IgE pada sel
mast di kulit,sedangkan yang respons dengan rhinitis mem-
punyai alergen spesifik sel mast di dalam hidung.
Yang paling berat adalah anafilaksis sistemik, pada mana
bronkokonstriksi berat dan hipotensi (shok) dapat menim-
bukan kematian.
Mekanisme anafilaksis berbeda diantara
spesies, karena ada perbedaan di dalam
shok organ.
Misalnya, saluran napas (bronkospasme,
edema larynx) adalah shok organ utama
pada manusia, tetapi hepar (vena hepatica)
memegang peranan pada anjing dengan
gejala yaitu gelisah, muntah,diare kemudian
kolaps.
Terapi & pencegahan reaksi
anafilaksis
• Tujuan terapi ialah melawan daya kerja mediator
dengan mempertahankan saluran napas,
ventilasi & fungsi jantung
• Satu atau lebih dari obat berikut dapat diberikan
yaitu epinefrin, antihistamin, kortikosteroid atau
natrium kromolin. Yang terakhir ini mencegah
pelepasan mediator (misalnya histamin) dari
granula sel mast.
• Pencegahan dilakukan dengan mengenali
alergen (dengan uji kulit) lalu menghindari
antigen itu.
• Ada beberapa pendekatan pada terapi asthma. Dapat
diberikan inhalasi beta-adrenergik bronkhodilator seperti
albuterol. Kortikosteroid seperti prednison juga efektif.
Bronkhodilator seperti aminofilin juga efektif tetapi tidak
umum diberikan.
• Monoclonal anti-IgE antibody (omalizumab, Xolair)
indikasi untuk penderita asma berat yang gejalanya tidak
bisa dikendalikan dengan kortikosteroid.
• Untuk pencegahan asthma , leukotriene receptor
inhibitor seperti montelukast (Singulair), dan natrium
kromolin adalah efektif.
• Terapi rhinitis alergika termasuk antihista-
min bersama nasal dekongestan.
• Untuk allergic conjunctivitis, tetes mata
mengandung antihistamin atau vasokons-
triktor adalah efektif.
• Hindari alergen seperti tepung sari (pollen)
untuk profilaksis. Juga dapat dilakukan
desensitisasi.
ATOPI
• Gangguan atopik seperti hay fever, asma,
eczema dan urticaria adalah reaksi
hipersensitivitas cepat yang menunjukkan pre-
disposisi faktor turunan dan ada kaitan dengan
peningkatan kadar IgE.
• Perkiraan lebih dari 40% penduduk di AS
mempunyai pengalaman ada gangguan atopik
beberapa waktu dalam hidupnya.
• Insidens gangguan alergi seperti asma,
meningkat pada negara Amerika Utara dan
Eropa.
• Gejala pada gangguan atopik diinduksi oleh
alergen spesifik. Antigen ini ditemui pada
lingkungan (seperti serbuk sari tanaman dan
kotoran kutu yang sering ditemukan pada
selimut dan karpet) atau pada makanan (kerang-
kerangan dan kacang-kacangan).
• Hipersensitivitas atopik dapat dipindahkan oleh
serum tetapi tidak oleh sel limfoid.
• Prausnitz-Kustner membuktikan adanya antibodi
pada seseorang yang atopik.
• Direct skin test dapat dilakukan untuk
menimbulkan alergi seseorang. Alergen dapat
digoreskan atau disuntikkan secara parentral
intrakutan. Reaksi yang positif adalah timbulnya
triple respons dalam waktu 15 – 30 menit yaitu
eritem, spreading flare dan central whealing.
• Pengobatan dasarnya ialah menghindarkan
berkontak dengan alergennya. Bila hal ini tidak
mungkin maka dilakukan hiposensitasi.
Adrenalin merupakan obat pilihan untuk terapi
reaksi atopik dan anafilaksis.
Drug hypersensitivity
• Obat-obatan, terutama obat antimikroba seperti
penisilin adalah penyebab yang paling sering
pada reaksi hipersensitivitas. Biasanya obat ini
tidak menginduksi pembentukan antibodi. Tetapi
metabolit obat beraksi sebagai hapten dan
mengikat pada protein tubuh. Akibatnya antibodi
akan bereaksi dengan hapten atau intact drug
untuk terjadinya hipersensitivitas tipe I.
• Bila terpajan ulang dengan obat, seseorang
dapat timbul kemerahan, demam, anafilaksis
lokal atau sistemik. Berat ringannya bervariasi.
URTIKARIA
• Pendahuluan
Urtikaria merupakan penyakit kulit yang
sering dijumpai. Dapat terjadi secara akut
maupun kronis.
Walaupun patogenesis dan penyebab
yang dicurigai telah ditemukan, ternyata
terapi yang diberikan kadang-kadang tidak
memberi hasil seperti yang diharapkan.
• Sinonim
Hives, nettle rash, biduran, kaligata.
• Definisi
Urtikaria adalah reaksi vaskular di kulit akibat
bermacam-macam sebab, biasanya ditandai dengan
edema setempat yang cepat timbul dan menghilang
perlahan-lahan, berwarna pucat dan kemerahan,
meninggi di permukaan kulit, sekitarnya dapat dikelilingi
halo. Keluhan biasanya rasa gatal, tersengat atau
tertusuk.
Angioedema ialah urtikaria yang mengenai lapisan
lebih dalam daripada dermis, dapat di submukosa, atau
di subkutis, juga dapat mengenai saluran napas, saluran
cerna dan organ kardiovaskular.
• Epidemiologi
Urtikaria dan angiodema sering dijumpai pada semua umur,
orang dewasa lebih banyak mengalami urtikaria daripada usia
muda. SHELDON (1951), menyatakan bahwa umur rata-rata
penderita urtikaria ialah 35 tahun, jarang dijumpai pada umur
kurang dari 10 tahun atau lebih dari 60 tahun.
Ditemukan 40% bentuk urtikaria saja, 49% urtikaria bersama
dengan angioedema, dan 11% angioedema saja. Penderita atopi
lebih mudah mengalami urtikaria dibandingkan dengan orang
normal. Frekwensi jenis kelamin tidak ada perbedaan.
Umur, ras, jabatan/pekerjaan, letak geografis, dan perubahan
musim dapat mempengaruhi hipersensitivitas yang diperankan oleh
IgE.
Penisilin tercatat sebagai obat yang lebih sering menimbulkan
urtikaria.
• Etiologi
-Pada penelitian ternyata hampir 80% tidak diketahui
penyebabnya
- Dugaan pernyebab urtikaria adalah sebagai berikut :
+ obat
+ makanan
+ gigitan serangga
+ fotosensitizer
+ inhalan
+ kontaktan
+ trauma fisik
+ infeksi dan infestasi parasit
+ psikis
+ genetik dan
+ penyakit sistemik
• Obat
- Pelbagai obat dapat menimbulkan
urtikaria baik secara imunologik atau
non-imunologik.
- Hampir semua obat sistemik menimbulkan urtikaria secara
imunologik.
Contoh : obat-obat gol.penisilin, sulfonamid, analgesik,
pencahar, hormon,dan diuretik.
- Ada pula obat yang secara non-imunologik langsung
merangsang sel mast melepaskan mediator yaitu misalnya
codein, opium dan zat kontras.
- Aspirin menimbulkan urtikaria karena menghambat sintesis
prostaglandin dari asam arakhidonat.
• Makanan
- Peranan makanan ternyata lebih penting pada
urtikaria yang akut, umumnya akibat reaksi
imunologik.
- Makanan berupa protein atau bahan lain yang
dicampurkan kedalamnya seperti zat warna,
penyedap rasa, atau bahan pengawet sering
menimbulkan urtikaria alergika.
- Contoh makanan yang sering menimbulkan urtikaria ialah
. Telur, ikan, udang
. Kacang, coklat
. Babi, keju
. Bahan yang dicampurkan asam nitrat,asam benzoat
CHAMPION melaporkan 2% urtikaria kronik ok makanan.
• Gigitan serangga
- Gigitan serangga dapat menimbulkan lesi
setempat, agaknya hal ini lebih banyak diperantarai
oleh IgE (tipe I) dan tipe selular (tipe IV)
- Venom dan toksin bakteri biasanya dapat pula
mengaktifkan komplemen.
- Nyamuk, kepinding dan serangga lain menimbul-
kan lesi bentuk papular sekitar tempat gigitan,
biasanya sembuh sendiri setelah beberapa hari,
minggu atau bulan.
• Bahan fotosensitizer
Bahan semacam ini, misalnya
- griseofulvin
- fenotiazin
- sulfonamid
- bahan kosmetik dan
- sabun germisid
sering menimbulkan urtikaria.
• Inhalan
Inhalan berupa :
- serbuk sari bunga (pollen)
- spora jamur
- debu
- bulu binatang dan
- aerosol
umumnya lebih mudah menimbulkan urtikaria
alergik (tipe I). Reaksi ini sering dijumpai pada
penderita atopi dan disertai gangguan pernapasan.
• Kontaktan
Kontaktan yang sering menimbulkan
urtikaria ialah :
- kutu binatang
- serbuk tekstil
- air liur binatang
- tumbuh-tumbuhan, buah-buahan
- bahan kimia misalnya insect repellent
(penangkis serangga) dan bahan
kosmetik.
Keadaan ini karena bahan tsb. menembus
kulit dan menimbulkan urtikaria.
• Trauma fisik
Trauma fisik dapat disebabkan oleh :
- faktor dingin yakni berenang atau memegang benda dingin
- faktor panas yakni panas matahari, sinar U.V, radiasi dan
panas pembakaran.
- faktor tekanan yaitu goresan, pakaian ketat, ikat pinggang,
vibrasi dan tekanan berulang seperti pijatan, keringat, demam
dan emosi menyebabkan urtikaria fisik.
Klinis biasanya terjadi di tempat yang mudah terkena
trauma.
Dapat timbul urtika setelah goresan dengan benda tumpul
beberapa menit – jam kemudian. Fenomena ini disebut
dermografisme atau fenomena Darier.
• Infeksi dan infestasi
Pelbagai infeksi dapat menimbulkan urtikaria
misalnya : infeksi bakteri, virus, jamur dan infestasi parasit.
- Infeksi bakteri contoh : infeksi tonsil, infeksi gigi
dan sinusitis. Urtikaria timbul bisa disebabkan oleh
toksin bakteri atau sensitisasi.
- Infeksi virus hepatitis, mononucleosis, dan infeksi
virus Coxsackie pernah dilaporkan sebagai faktor
penyebab.
- Infeksi jamur Candida sering dilaporkan menimbulkan
urtikaria.
- Infestasi cacing pita, cacing tambang, cacing gelang, juga
Schistosoma atau Echinococcus dapat menyebabkan urtikaria.
• Psikis
Tekanan jiwa dapat memacu sel mast atau
langsung menyebabkan peningkatan
permeabilitas dan vasodilatasi kapiler.
Ternyata hampir 11.5% penderita urtikaria
menunjukkan gangguan psikis.
Penyelidikan memperlihatkan bahwa hipnosis
dapat menghambat eritema dan urtika.
Pada percobaan induksi psikis, ternyata
suhu kulit dan ambang rangsang eritema
meningkat.
• Genetik
Faktor genetik ternyata berperan pada
urtikaria dan angioedema.
Diantaranya ialah angioneurotik edema
herediter, familial cold urticaria, familial
localized heat urticaria
• Penyakit sistemik
Beberapa penyakit kolagen dan keganasan dapat
menimbulkan urtikaria, reaksi lebih sering disebabkan
reaksi kompleks antigen-antibodi.
Penyakit vesiko-bulosa misal pemfigus dan
dermatitis herpetiformis Duhring sering menimbulkan
urtikaria.
Sejumlah 7-9% penderita LES dapat mengalami
urtikaria.
Beberapa penyakit sistemik yang disertai urtikaria antara
lain limfoma, hipertiroid, hepatitis, urtikaria pigmentosa,
artritis pada demam rematik.
• Patogenesis
- Urtikaria terjadi karena vasodilatasi di-
sertai permeabilitas meningkat, sehingga
terjadi transudasi cairan yang meng-
akibatkan pengumpulan cairan setempat,
dan secara klinis tampak edema disertai
kemerahan.
- Vasodilatasi dan peningkatan per-
meabilitas kapiler dapat terjadi akibat pele-
pasan mediator histamin, serotonin, SRS-A.
• Gejala klinis
- Keluhan subjektif biasanya gatal, rasa
terbakar atau tertusuk.
- Klinis tampak eritema dan edema se-
tempat berbatas tegas,kadang-
kadang bagian tengah tampak lebih
pucat.
- Bentuknya dapat papular seperti pada
urtikaria akibat sengatan serangga, besar-
nya dapat lentikular, numular, plakat.
• Pengobatan
- Pengobatan yang paling ideal tentu saja meng-
obati penyebab atau bila mungkin menghindari
penyebab yang dicurigai.
- Pengobatan dengan antihistamin pada urtikaria
sangat bermanfaat.
- Pada umumnya efek antihistamin telah terlihat
dalam 15-30 menit setelah diberikan oral dan
mencapai puncaknya pada 1-2 jam, sedangkan
lama kerjanya bervariasi dari 3-6 jam.
- Ada antihistamin yang waktu kerjanya lebih lama
yaitu meklizin dan klemastin.
Tipe II: Hipersensitivitas
sitotoksik
• Antibodi yang diarahkan pada antigen per-
mukaan sel akan mengaktifkan komplemen
untuk merusak sel. Antibodi (IgG atau IgM)
melekat pada antigen lewat daerah Fab dan
bekerja sebagai suatu jembatan ke komplemen
lewat daerah Fc. Akibatnya dapat terjadi lisis
yang berperantara-komplemen, seperti yang
terjadi pada anemia hemolitik, reaksi transfusi
ABO,atau penyakit hemolitik Rh.
• Beberapa obat, misalnya penisilin, fenasetin dan
kuinidin,dapat melekat pada protein permukaan
di sel darah merah dan memicu pembentukan
antibodi. Antibodi autoimun semacam itu (IgG)
kemudian dapat bergabung dengan permukaan
sel, dan mengakibakan hemolisis.
• Infeksi tertentu (misalnya Mycoplasma
pneumoniae) dapat menginduksi antibodi yang
bereaksi silang dengan antigen sel darah
merah, mengakibatkan anemia hemolitik.
• Pada demam rematik, antibodi terhadap
streptokok kelompok A bereaksi silang
dengan jaringan jantung.
• Pada sindroma Goodpasture, antibodi ter-
hadap membran dasar ginjal dan paru-
paru mengakibatkan kerusakan berat ter-
hadap selaput melalui aktivitas lekosit
yang ditarik oleh komplemen.
Tipe III : Hipersensitivitas
kompleks imun
• Bila antibodi bergabung dengan antigen
khususnya, terbentuklah kompleks imun.
Biasanya, kompleks imun ini dengan cepat
dibuang oleh RES, tetapi kadang-kadang
kompleks ini tetap bertahan dan diendapkan
dalam jaringan, sehingga mengakibatkan
beberapa penyakit.
• Pada infeksi bakteri atau virus yang kronis,
kompleks imun dapat diendapkan pada organ
tubuh (misalnya ginjal), sehingga fungsinya
terganggu
• Pada penyakit autoimun, antigen “self” dapat
menimbulkan antibodi yang mengikat antigen
organ atau diendapkan dalam organ sebagai
kompleks, terutama dalam sendi (artritis), ginjal
(nefritis), atau pembuluh darah (vaskulitis).
• Dimanapun diendapkan, kompleks imun ini
mengaktifkan komplemen, dan sel PMN ditarik
ke tempat itu, dimana sel-sel ini menyebabkan
radang dan cedera jaringan. Reaksi hipersensi-
tivitas tipe III yang khas ialah reaksi Arthus dan
penyakit serum (serum sickness).
• Reaksi Arthus (bentuk lokal)
Arthus menyuntikkan serum kuda ke dalam kelinci intradermal
berulangkali dan menemukan reaksi yang makin hebat di tempat
suntikan.
Mula-mula hanya terjadi eritema ringan dan edema dalam 2-4
jam sesudah suntikan. Reaksi tersebut menghilang esok hari.
Suntikan kemudian menimbulkan edema yang lebih besar dan
suntikan yang ke 5-6 menimbulkan perdarahan dan nekrosis yang
sulit menyembuh. Hal ini disebut fenomena Arthus yang merupakan
bentuk reaksi dari kompleks imun.
Reaksi Arthus dapat terjadi di dinding bronkus atau alveol dan
menimbulkan reaksi asma lambat yang terjadi 7-8 jam setelah
inhalasi antigen pada asma akibat kerja.
Reaksi Arthus di dalam klinik dapat berupa vaskulitis.
• Penyakit serum (serum sickness)
Istilah itu berasal dari Pirquet dan Schick
yang menemukannya sebagai konsekuensi
imunisasi pasif pda pengobatan infeksi seperti
difteri dan tetanus dengan antiserum asal kuda.
Setelah injeksi serum asing, antigen
perlahan-lahan dibersihkan dari sirkulasi, dan
produksi antibodi dimulai. Adanya antigen dan
antibodi secara serentak mengakibatkan pem-
bentukan kompleks imun yang mungkin beredar
atau diendapkan di berbagai tempat.
Beberapa hari – 2 minggu setelah injeksi serum
asing,penyakit serum secara khas mengakibatkan
demam, urtikaria, artralgia, limfadenopati, dan
splenomegali.
Gejala meningkat sementara antigen dibuang lewat
sistem imun, dan gejala mereda bila semua antigen telah
habis.
Pada masa kini, penyakit serum lebih jarang muncul
setelah injeksi serum asing dibandingkan setelah
pemberian obat (misal penisilin).
Meskipun simptom baru tampak setelah beberapa
hari, penyakit serum digolongkan sebagai reaksi segera,
karena gejala-gejalanya muncul dengan cepat setelah
terbentuk kompleks imun.
• Penyakit kompleks imun
Banyak penyakit dalam klinik dihubungkan dengan
kompleks imun, walaupun antigen seringkali tidak dapat
diidentifikasi. Contoh yang mewakili adalah glomerulo-
nefritis.
Glomerulonefritis akut pasca infeksi streptokokus
telah dikenal sebagai penyakit kompleks imun.Mula
timbulnya terjadi beberapa minggu setelah infeksi
streptokokus B-hemolitik grup A, terutama pada kulit,
dan seringkali terjadi pada infeksi akibat streptokokus
tipe nefritogenik.
Pada LES, ginjal merupakan tempat endapan
kompleks imun. Pada artritis rematoid, sel plasma dalam
sinovium membentuk anti-IgG dan timbul kompleks imun
Tipe IV : Hipersensitivitas lambat
(berperantara sel)
• Hipersensitivitas berperantara sel merupakan
fungsi limfosit T, bukan fungsi antibodi.
• Hipersensitivitas ini dapat dipindahkan oleh sel T
yang terlibat secara imunologik tetapi tidak oleh
serum.
• Respons ini lambat – artinya, dimulai beberapa
jam (atau hari) setelah kontak dengan antigen
dan sering berlangsung selama beberapa hari.
A. Hipersensitivitas kontak
• Manifestasi hipersensitivitas berperantara sel ini
terjadi setelah sensitisasi dengan zat kimia
sederhana (misalnya nikel, formaldehida), bahan
dari tumbuhan (poison ivy, pohon oak beracun),
pemakaian obat topikal (misalnya sulfonamida,
neomisin), beberapa kosmetika, sabun dan zat-
zat lain.
• Pada semua kasus, molekul-molekul kecil
memasuki kulit dan kemudian – dengan bekerja
sebagai hapten– melekat pada protein tubuh
untuk bertindak sebagai antigen lengkap.
• Hipersensitivitas berperantara sel pun di-induksi,
terutama dalam kulit. Bila kulit berkontak lagi
dengan zat penyebab, orang yang telah peka ini
akan mengalami eritema, gatal-gatal, vesikel,
eksema, atau nekrosis kulit dalam 12-48 jam.
• Uji tempel (patch test) pada daerah kecil di kulit
kadang-kadang dapat mengenali antigen
penyebab.
• Penghindaran terhadap bahan itu akan
mencegah kekambuhan penyakit.
B. Hipersensitivitas tipe-
tuberkulin
• Hipersensitivitas lambat terhadap antigen
mikroba terdapat dalam banyak penyakit
menular dan telah digunakan untuk membantu
menegakkan diagnosis.
• Contoh khasnya adalah reaksi tuberkulin. Bila
sejumlah kecil tuberkulin disuntikkan ke dalam
epidermis pasien sebelumnya pernah terinfeksi
Mycobacterium tuberculosis, hanya sedikit
reaksi segera yang tampak; secara berangsur-
angsur indurasi dan kemerahan muncul dan
mencapai puncaknya pada 48-72 jam.
• Uji kulit yang positif menunjukkan bahwa orang
itu pernah terinfeksi oleh penyebab, tetapi ini
tidak berarti bahwa penyakitnya masih ada.
Namun, uji kulit yang berubah dari negatif
menjadi positif menunjukkan infeksi yang baru
terjadi dan mungkin sekarang masih aktif.
• Respons uji kulit yang positif dapat membantu
diagnosis dan menyokong untuk kemoprofilaksis
atau kemoterapi.
• Pada lepra, uji lepromin positif menunjukkan
lepra tuberkuloid–dengan imunitas berperantara-
sel yang aktif, sedangkan uji lepromin yang
negatif menunjukkan lepra lepromatosa—
dengan imunitas berperantara terganggu.
• Pada infeksi jamur sistemik (misalnya kok-
sidioidomikosis, histoplasmosis, blastomikosis),
uji kulit jenis-lambat yang positif terhadap
antigen khusus membantu menentukan kontak
terhadap organismenya.
• Hipersensitivitas berperantara-sel muncul
pada banyak infeksi virus (misalnya
herpes simpleks, parotitis). Tetapi uji sero-
logi lebih spesifik untuk diagnosis maupun
untuk penilaian imunitas.
• Pada infeksi protozoa dan cacing, uji kulit
dapat positif tetapi uji serologi khusus
biasanya lebih bermanfaat.

You might also like