Professional Documents
Culture Documents
Ideologi (inggris);berasal dari bahasa Yunani ide (idea/gagasan) dan logos (studi tentang,
ilmu pengetahuan tentang). Secara harfiah,sebagaimana dalam metafisika klasik, ideologi
merupakan ilmu pengetahuan tentang ide-ide, studi tentang asal-usul ide. Dalam
pengertian modern, ideologi mempunyai arti negatif sebagai teorisasi atau spekulasi
dogmatik dan khayalan kosong yang tidak betul atau tidak realistis; atau bahkan palsu
dan menutup-nutupi realitas yang sesungguhnya. Dalam pengertian yang lebih netral,
ideologi adalah setiap sistem gagasan yang mempelajari keyakinan-keyakinan dan hal-hal
ideal filosofis, ekonomis, politis, sosial.
IDEOLOGI • Diciptakan oleh Desstutt de Tracy tahun 1796 di perancis. Science of ideas,
the study of origins, evolution and nature of ideas. Namun telah terjadi pergeseran
sehingga tidak ada satu-satunya pengertian subtansial. • Ricoeur (1986) ; mengandung
sifat dasar permulaan yang sangat mendua, ambigu: positif dan negatif Konstruktif dan
destruktif. Karena itu ideologi perlu disertai presisi dan proporsinya yang jelas. Presisi: •
Pranarka ( 1985) Ideologi suatu cara berpikir dan ideologi sebagai materi yg dibahas
dalam pemikiran itu. • Sydney Hook / Bachtiar (1976) Ideologi sebagai pandangan
dunia/kosmos tempat manusia di dalamnya, yang merupakan bimbingan kegiatan politik
dlm arti yang seluas- luasnya. • Karl Marx Ideologi sebagai kesadaran palsu mengenai
kenyataan- kenyataan sosial ekonomi dan merupakan angan-angan kolektif yg diperbuat
& ditanggung bersama oleh kelas sosial tertentu.
Ideologi Pendidikan
Pendidikan dimanapun dikepung situasi dilematis,pro status quo ataukah ingin menjadi
agen transformasi sosial menuju masyarakat yang sadar. Dalam buku Ideologi-ideologi
Pendidikan oleh William F O’neil, ahli pendidikan University Of Southern California AS
ini mengupas enam ideologi yang berkembang di masyarakat dunia. ideologi-ideologi itu
adalah: fundamentalisme, intelektualisme, konservatisme, liberalisme, liberasionisme,
dan anarkisme. Berbagai ideologi ini kemudian disederhanakan kedalam tiga kelompok
besar: konservatif, liberal, dan kritis.
Para pendukung konservatif menganggap ketidak adilan sosial sebagai kodrat. Mereka
berpandangan kaum miskin, anak jalanan, dan kaum kriminal, semuanya menderita
karena kesalahan mereka sendiri. Kaum konservatif mengajukan bukti-bukti dari mereka
yang mau berusaha banyak yang berhasil dalam studi,karier,dan hidup bebas di luar
penjara.
Pendukung liberal beranggapan, pendidikan tidak berkaitan dengan persoalan ekonomi
dan politik. Mereka tidak melihat kaitan pendidikan dengan struktur kelas,dominasi
politik ,hegemoni budaya,dan diskriminasi jender. Inilah paradigma pendidikan yang
berkembang saat ini di Indonesia. Mekanisme pe-rangking-an, untuk memacu persaingan
antar murid,membangun gedung-gedung,dan semua hal yang dominan kepada hal-hal
fisik, pada akhirnya melalaikan pembangunan mental dan moral. Akibatnya kini kita
terperosok dalam pertikaian antar etnis,agama, dan integrasi wilayah. Paradigma liberal
hanyalah kosmetik. Ujung-ujungnya adalah human investment. Bangsa Indonesia telah
menjadi bagian sekaligus korban dari mesin besar industri kapitalisme.
Paradigma liberal inilah yang mendominasi segenap pemikiran maupun praktik
pendidikan. Paradigma ini berakar pada cita-cita masyarakat Barat tentang
individiualisme. Sejarah paham ini terkait erat dengan kebangkitan kelas menengah yang
diuntungkan kapitalisme.
Pengaruh paradigma liberal, di Indonesia, tampak dalam pendidikan yang mengutamakan
prestasi melalui mekanisme persaingan antarmurid. Pe-ranking-an murid implikasi belaka
dari paradigma ini.
Penganut paradigma liberal hanya sibuk dengan reformasi bersifat kosmetik: membangun
prasarana dan sarana pendidikan seperti perluasan gedung sekolah, perpustakaan, fasilitas
olahraga, laboratorium, komputer, dan menyehatkan rasio jumlah guru-murid. Pun
investasi untuk meningkatkan pengajaran seperti cara belajar siswa aktif (CBSA).
Pendidikan macam apa yang melahirkan pemuda seperti Soekarno, Hatta, Tan Malaka,
Sjahrir atau Haji Agus Salim. Sekolah seperti apa yang kemudian meluluskan anak-anak
muda yang punya pikiran raksasa dan tindakan besar. Sebab zaman dimana mereka
tumbuh adalah masa dimana kolonialisme primitif sedang tumbuh begitu kejam dan
keras. Masa itu dunia sedang mengalami pertarungan ideologi yang keras dan
pertempuran yang tak henti antar berbagai negara. Pemuda-pemuda itu tumbuh tidak di
masyarakat yang sudah mengalami kemajuan pendidikan tetapi di tengah iklim
feodalisme yang masih mencekik. Dalam usia yang masih belasan tahun mereka punya
pikiran yang melampaui batas-batas geografis negeri, dan bahkan pada usia 20-an ada
banyak diantara mereka yang menjadi pemimpin pergerakan.
Sekolah seperti apa yang mampu mencetak pemuda semacam mereka? Saya ingin
kutipkan sekolah guru yang diikuti oleh Tan Malaka pada tahun 1895: -Setiap hari para
murid harus belajar dari pukul 8 sampai pukul 17 dengan istirahat dua jam pada tengah
hari. Juga pada hari rabu sore dan sabtu sore bel baru berbunyi pukul 5. Tetapi setiap hari
diadakan satu jam gerak badan. Jumat pagi di lapangan dan pada Rabu sore dan Sabtu
sore dilakukan pekerjaan tangan (kayu, karton dan tanah liat) Mata pelajaran yang
terpenting adalah bahasa Belanda. Mata pelajaran lain: berhitung, ilmu ukur, mengukur
tanah, ilmu bumi, sejarah pribumi, ilmu alam (yang dianggap penting untuk melenyapkan
takhayul), ilmu hayat, ilmu hewan, ilmu tumbuh-tumbuhan (sebuah kebun di pekarangan
belakang sekolah dipakai dalam mata pelajaran ini, yang membicarakan masalah
penyuluhan pertanian) ilmu pendidikan, menggambar, menulis dan menyanyi... mereka
tinggal di asrama dengan syarat yang ditentukan, dan ‘mereka pun harus menyeka bersih
ruang depan dan pinggiran-pinggiran selokan’-
Kita kemudian tahu, dalam sejarah kelak Tan Malaka adalah salah satu pencetus sekolah
SI yang sangat anti kolonial dan itu sebabnya sekolah itu dipaksa tutup oleh Belanda.
Sekolah guru (kweekscholl), dimana Tan Malaka sempat mendapat pendidikan, resmi
dibuka pada bulan April 1852 dengan batas usia murid yang diterima 14-17 tahun dan
mereka harus berasal dari keluarga baik-baik. Perkembangan paling pesat dalam
pendidikan di masa kolonial adalah dibuatnya UU Pendidikan yang merupakan
rancangan dari kaum Liberal yang dikomandoi oleh Menteri Jajahan van de Putte . Tak
cukup dengan itu, pada tahun 1869 pembiayaan sekolah yang merupakan tanggungan
sekolah, sejak 1869 oleh Raja Belanda ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah. Sikap
politik Belanda mengalami perubahan besar ketika kaum liberal memenangkan
pertarungan politik dengan menempatkan Mr JH Abendanon sebagai Direktur Pendidikan
dan Industri (1900-5) dan A.W.F Idenburg sebagai menteri Jajahan (1902-5)
Abendanon kemudian sangat terkenal dengan konsep pendidikan bagi ibu Jawa, yang
kelak akan memunculkan perempuan besar, Kartini. Hasrat untuk menjangkau Barat
itulah yang kemudian dirumuskan dalam sekolah kolonial di masa itu dan kebijakan
politik etis memang membuka kesempatan bagi banyak pribumi untuk mencicipi sekolah
Barat. Tapi bukan tidak ada kritik atas pendidikan kolonial saat itu. Haji Agus Salim
adalah seorang diantara banyak tokoh pergerakan yang beranggapan bahwa pendidikan
kolonial hanya meluluskan manusia-manusia budak yang kelak akan berhamba pada
sistem penjajah. Di tahun 1912 Haji Agus Salim mendirikan sebuah sekolah HIS
(Hollandsche Inlandsche Scholl) di Kota Gedang sebagai petunjuk kalau dirinya tak
setuju dengan model pendidikan kolonial. Tak hanya dengan itu, dididiknya anak-anak
Agus Salim dengan caranya sendiri dan sejarah mengetahui bagaimana kecerdasan anak-
anak Salim.
Dalam bahasa yang lebih ringkas, pendidikan pada masa-masa itu merupakan cara untuk
menegaskan dimana posisi kita! Itu pulalah yang kemudian membangun hubungan antara
murid dan guru bukan semata-mata fungsional melainkan ideologis. Sukarno misalnya,
mengenal Marxisme bukan dari buku melainkan guru HBS-nya yang bernama C Hartogh.
Ia seorang guru bahasa Jerman sekaligus anggota dari Indische Social-Democratische
Vereeniging (ISDV) yang menjadi embrio bagi gerakan kiri. Paling tidak ada tiga
mahaguru politik etis yang memang kemudian memberi banyak pengaruh pada kaum
pergerakan, yakni: Ch Snouck Hurgronje, C van Vollehnoven dan G.A. J Hazeu.
Ketiganya itulah yang mulai memandang pendidikan bukan saja sebagai upaya untuk
menstransfer pengetahuan melainkan juga taktik bagi kaum pergerakan. Pendidikan, pada
masa itu adalah, upaya pembebasan. Makanya Sjahrir dan Hatta kemudian mendirikan
gerakan yang bernama: Pendidikan Nasional Indonesia, yang tujuanya: pertama-tama
hendak mendidik, dan dengan demikian memetakan jalan menuju kemerdekaan...
karenanya tujuan pendidikan, bukanlah ‘untuk menciptakan agitasi’ melainkan untuk
‘membawakan kejernihan’.
Kilasan historis ini membawa kita pada jawaban mengapa pendidikan mampu mencetak
manusia-manusia besar itu tadi. Pendidikan adalah pembebasan dari belenggu penindasan
maupun kepercayaan yang naif. Kutipan Sjahrir diatas menjelaskan bagaimana
sesungguhnya ideologi pendidikan kita itu berdiri: pendidikan, kata Sjahrir: pertama
memperbaiki hidup lebih dulu, dan kemudian menunjukkan sikap panutan, kemudian
membangkitkan kekuatan dan semangat rakyat dan rela mengorbankan kepentingan diri
sendiri. Tujuan ideologis pendidikan itulah yang hari-hari ini begitu kita prihatinkan.
Silang-sengketa masalah pendidikan makin hari makin kerdil dari tujuan utama
pendidikan: urusan soal kesejahteraan, ongkos sekolah, bangunan sekolah yang buruk,
siswa yang tidak lulus dan buku pelajaran yang meluapkan kasus korupsi telah
memadamkan peran pendidikan dari tujuan utama: pembebasan. Mengerikan
menyaksikan pendidikan berjalan tanpa sandaran ideologis bahkan tidak melahirkan
peserta didik yang mampu berpikir dan bertindak besar.
Yang menonjol misalnya dalam perumusan buku pelajaran. Buku sejarah hanya
menyorongkan citra sejarah. Kelemahanya yang paling berat adalah diproyeksikannya
masa sekarang ke dalam masa lampau secara tetap. Kedua pelajaran sejarah hampir tanpa
teori sehingga pelajaran sejarah menjadi berat, karena daya imajinasi-kesadaran serta
citra sejarah-tidak dihidupkan. Itu sebabnya pelajaran sejarah banyak sekali
menghidupkan mithos-mithos yang sering dimanfaatkan untuk kegunaan taktis politik .
Buku pelajaran hampir tidak mengenalkan gambaran tentang realitas, apalagi dengan
mengandalkan soal-soal yang sepenuhnya hapalan. Buku pelajaran yang didesain tidak
menarik, tanpa ada lukisan kenyataan yang imaginatif dan kurang menampung berbagai
perkara-perkara masyarakat akan menumpulkan nalar berpikir peserta didik dan tidak
mendorong sikap berpihak mereka. Sedikit upaya dilakukan oleh guru tetapi itu selalu
menambang gugatan dari beberapa pihak yang dirasa menganggu.
Hal yang sama pula pada methode pengajaran yang sifatnya masih mengkonfirmasi.
Beberapa methode baru yang ditawarkan nyatanya hanya berlaku pada beberapa lembaga
pendidikan mahal dan selalu membutuhkan pembiayaan tinggi. Penghambaan pada
kekuasaan didorong sedemikian rupa dalam dunia pendidikan kita melalui, pembelajaran
bahwa keluarga dan jaringan perluasanya merupakan dasar bagi kehidupan mereka, dan
bahwa hubungan-hubungan itulah yang membentuk bangsa. Bangsa dan keluarga
kemudian tak bisa dibedakan secara lugas, bahkan kekuasaan dengan keluarga kemudian
batasanya begitu tipis. Itu sebabnya pendidikan kemudian memunculkan para terdidik
yang kadang susah membedakan antara kepentingan umum dengan kepentingan
keluarganya sendiri. Alumni pendidikan pada masa Orde Baru, diantaranya adalah
mereka yang mencicipi kursi kekuasaan sekarang ini. Tanpa pandangan besar, picik
terhadap perbedaan, tidak tahu malu pada keadaan rakyat dan kurang terdidik.
Jika kita ingin melampaui apa yang sudah dihasilkan oleh pendidikan kolonial, maka
mandat pendidikan bukan lagi mencerdaskan akan tetapi berpihak pada kepentingan luas
rakyat. Hendaknya pendidikan mengembalikan fungsi pembebasan dan keberpihakan,
bukan hanya memenuhi kepentingan-kepentingan pasar. Tak bisa lagi pendidikan hanya
meluluskan anak-anak yang sekedar memenuhi nilai ujian nasional, tetapi juga mampu
untuk merumuskan dan mengartikulasikan tuntutan-tuntutan lingkunganya dalam bahasa
yang lebih sistematis dan segar. Ideologi pendidikan memang tak bisa ditemukan hanya
dalam bunyi undang-undang melainkan dihidupkan dalam pratek-praktek pembelajaran.
Guru merupakan salah satu sendi bagaimana hidupnya ideologi keberpihakan dalam
dunia pendidikan dan pemerintah merupakan tiang utama penyangganya. Sudah barang
tentu jangan bertanya banyak tentang apa saja yang dilakukan oleh pemerintah dalam
soal pendidikan, karena kita tahu sendiri, pendidikan bukan soal yang menarik diurus!
Mencari basis ideologi Pendidikan bukan hanya mengharuskan kita untuk berkaca pada
masa lalu melainkan juga meraba ‘keinginan’ kita terhadap pendidikan.
Kepentingan ekonomi-politik
Setelah Perang Dunia II berakhir, dunia memasuki era Perang Dingin antara Uni Soviet
dan AS. Pada era ini, ada perlombaan persenjataan, perebutan pengaruh ideologi, dan
peningkatan fungsi spionase (mata-mata/intrik intelijen) tanpa ada perang konvensional
terbuka. Upaya lain yang tak kalah pentingnya adalah melalui tekanan ekonomi,
pergerakan diplomatik, propaganda, dan bahkan pembunuhan.
Pada era Perang Dingin ini, kemampuan AS memanipulasi negara-negara Islam dan
kelompok-kelompok Islam di dunia untuk berada di pihak mereka dengan masuk dan
menyusup serta memberikan simpati-simpati palsu yang pada dasarnya hanya
menguntungkan kepentingan negara mereka sendiri– pada akhirnya mampu mengalahkan
ideologi komunis Uni Soviet dan kroninya. Kepandaian kaum kapitalis pimpinan AS
dalam membaca dan mempengaruhi berbagai aliran dan kelompok Islam yang secara
tegas dan nyata menentang ideologi komunis memberikan keleluasaan kepada kaum
kapitalis liberal untuk memperalat umat Islam dan negara-negara Islam sebagai ujung
tombak melawan kaum komunis.
Setelah berakhirnya era Perang Dingin, dunia bipolar berubah menjadi unipolar. Pada
masa ini terjadi transformasi radikal dalam tata hubungan Timur-Barat dan Barat-Islam.
Berbagai bentuk keterbatasan AS membuat mereka memutar otak untuk dapat
mempengaruhi dan memenangkan dominasi atas dunia. Maka metode yang efektif dan
efisien untuk memenangkan dominasi ini adalah jalan propaganda.
Kerajaan ekonomi dunia yang dikuasai oleh AS tetap eksis dan bertahan dengan segala
keterbatasan sumber daya alam yang mereka miliki. Filsafat ekonomi-politik
neoliberalisme memandang manusia beserta seluruh aspeknya semata-mata sebagai homo
economicus dan menetapkannya sebagai satu-satunya model yang mendasari tindakan
relasi manusia.
Di antara propaganda mereka adalah senjata pemusnah massal yang dapat
membahayakan dunia. Dengan alasan itu AS menginvasi Irak. Setelah Irak takluk, AS
melakukan propaganda lanjutan dengan cara membayar dan menyogok koran-koran Irak
melalui perusahaan Lincoln Group agar memberitakan bahwa pihaknya yang telah
menjatuhkan kelompok-kelompok perlawan di Irak dan keberhasilan AS membangun
kembali Irak. Lusinan artikel ditulis militer dan Departemen Pertahanan AS yang
kemudian ”dipaksakan” dimuat di koran-koran Irak sebagaimana diungkap Los Angeles
Time seperti dilansir Sydney Morning Herald.
Propaganda yang akhir-akhir ini sering didengungkan AS dan kroninya adalah terorisme.
Dibalik isu itu, sebenarnya tersembunyi ketakutan besar yaitu bangkitnya kekuatan
khilafah Islam dan kekuatan ekonomi Cina dan India. Propaganda untuk menghambat
bahkan menutupi perjuangan umat Islam semakin tampak jelas. Berbagai pemikiran
tentang konsep Barat terhadap pandangan-pandangan Islam muncul. Ideologi Islam pun
selalu dipertentangkan dengan berbagai pemikiran kapitalis liberal mereka.
Modus operandi ideologi yang digunakan untuk melemahkan lawan ideologi AS dan
sekutunya adalah unifikasi dan fragmentasi. Yang pertama adalah menempatkan bahwa
seolah-olah kaum kapitalis liberal beserta seluruh ideologinya adalah yang benar dan
membawa misi Tuhan serta wajib disebarluaskan. Juga menempatkan ideologi selain
kapitalisme liberal sebagai sebuah sistem yang jahat, kejam, tidak berperikemanusiaan,
diktator, dan pengikut setan.
Hal itulah yang menjelaskan mengapa AS selalu memasukkan Irak dan Afghanistan
sebelum diinvasi dan Iran ke dalam ”poros setan”. Hal ini pula yang menjawab mengapa
George Walker Bush mengatakan ”Tuhan berbisik dan menyuruhnya berperang di
Afghanistan dan Irak untuk mengakhiri tirani dan kediktatoran.”Modus operandi yang
kedua adalah dengan memecah belah umat Islam sehingga muncullah kelompok-
kelompok Islam dengan julukan moderat, liberal, kultural, radikal, fundamentalis dan
sebagainya. Kelompok-kelompok Islam yang mendukung dan mengusung ideologi
kapitalis liberal dimunculkan sebagai ‘Islam yang benar’, Islam yang sesungguhnya, dan
Islam demokratis.
Corporatocracy
Dalam soal demokrasi ini ada fakta menarik yang perlu kita lihat sebagai contoh
hipokrasi AS. Daniel Pipes, salah seorang arsitek perang Irak dan juru kampanye baru
tentang demokrasi di Timur Tengah, mengatakan,”Amerika harus memperlambat proses
demokrasi untuk mencegah pemerintahan Islam berkuasa di negara-negara Arab.”
AS khawatir jalan demokrasi akan membawa kemenangan bagi partai-partai Islam dan
kekuatan Islam di Timur Tengah. Karena itu, AS lebih memilih menghentikan laju
demokrasi yang akan memberikan kemenangan partai-partai Islam daripada
”menghormati” demokrasi yang mereka agung-agungkan. Rupanya, demokrasi bagi AS
adalah demokrasi yang mendukung keberadaan sistem kapitalisme-liberal mereka. Di
luar itu, jangan harap AS menganggap sebuah sistem sebagai sistem demokratis.
John Perkins dalam bukunya Confession of an Economic Hit Man menyebut dengan tepat
istilahnya sebagai corporatocracy. Yaitu demokrasi yang menjadi penopang kekuasaan
perusahaan-perusahaan AS untuk menghisap kekayaan negara-negara seperti Indonesia
dan menindas mayoritas umat.
Dalam konteks perang ideologi dan memapankan kepentingan ekonomi politik AS ini
pula, upaya untuk mengubah kurikulum pesantren yang didanai AS sebesar 157 juta dolar
AS, menjadi hal yang patut diwaspadai. Karena perang ideologi tersebut telah secara jelas
menempatkan para pejabat dan sebagian kelompok elite di Indonesia menjadi ”antek
AS”, baik secara sukarela maupun karena ”terpaksa”.
Penghembusan isu teroris ini selalu mendominasi seluruh kegiatan umat Islam. Hal ini
dilakukan agar setiap kegiatan umat Islam dapat dibatasi, sehingga prinsip kapitalisme
dan liberalisme yang dianut AS dapat semakin leluasa merasuk ke negara-negara Islam.
Karena tidak adanya kontrol secara sistematis dari para pemuka agama Islam, dengan
mudah AS menguasai umat Islam terutama di Indonesia. Dengan demikian, AS dengan
mudah mempertahankan ”kerajaan ekonomi”-nya yang menggunakan sistem jahiliyah
dan zalim.
Melakukan perlawanan terhadap sistem yang jahil dan zalim secara membabi buta
dengan menebar bom di mana-mana tidak menyelesaikan masalah, malah justru
merugikan umat dan negara-negara ketiga secara keseluruhan. Bukankah sistem jahiliyah
dan zalim menghendaki kita terjebak dalam kesesatan sehingga gampang digiring ke
jurang kehancuran dan ladang pembantaian? Perlawanan terhadap sistem jahiliyah dan
zalim harus dilakukan melalui pemikiran yang konsepsional dan melalui tindakan yang
strategis, agar tidak menjatuhkan korban sia-sia dan mubazir.
Pertama, Pengetahuan adalah alat yang digunakan untuk memecahkan masalah praktis.
Kedua, Individu adalah pribadi yang unik, yang mampu menemukan kepuasan terbesar
dalam mengungkapkan dirinya menanggapi kondisi yang berubah; pemikiran efektif
(kecerdasan praktis)-kemampuan menyelesaikan problema-problema personal secara
efektif-adalah perangkat yang mesti digunakan. Ketiga, pendidikan adalah
pengembangan efektifitas personal, yang berpusat pada tatacara-tatacara pemecahan
masalah perseorangan maupun kelompok dengan menekankan pada situasi dan masa
depan yang dekat sehubungan dengan kebutuhan-kebutuhan dan persoalan-persoalan
individu sekarang.
Pendekatan liberal inilah yang mendominasi segenap pemikiran tentang pendidikan baik
pendidikan formal seperti sekolah, maupun pendidikan non-formal
seperti berbagai macam pelatihan. Akar dari pendidikan ini adalah Liberalisme, yakni
suatu pandangan yang menekankan pengembangan kemampuan, melindungi hak, dan
kebebasan (freedoms), serta mengidentifikasi problem dan upaya perubahan social secara
inskrimental demi menjaga stabilitas jangka panjang.
Konsep pendidikan dalam tradisi liberal berakar pada cita cita Barat tentang
individualisme. Ide politik liberalisme sejarahnya berkait erat dengan bangkitnya kelas
menengah yang diuntungkan oleh kapitalisme. Pengaruh liberalisme dalam pendidikan
dapat dianalisa dengan melihat komponen komponennya.
Komponen pertama, adalah komponen pengaruh filsafat Barat tentang model manusia
universal yaitu manusia yang "rational liberal". Ada beberapa asumsi yang mendukung
konsep manusia "rasional liberal" seperti: pertama bahwa semua manusia memiliki
potensi sama dalam intelektual, kedua baik tatanan alam maupun norma sosial dapat
ditangkap oleh akal. Ketiga adalah "individualis" yakni adanya angapan bahwa manusia
adalah atomistik dan otonom (Bay,1988). Menempatkan individu secara atomistic,
membawa pada keyakinan bahwa hubungan sosial sebagai kebetulan, dan masyarakat
dianggap tidak stabil karena interest anggotanya yang tidak stabil.
Pengaruh liberal ini kelihatan dalam pendidikan yang mengutamakan prestasi melalui
proses persaingan antar murid. Perankingan untuk menentukan murid terbaik, adalah
implikasi dari paham pendidikan ini. Pengaruh pendidikan liberal juga dapat dilihat
dalam berbagai training management, kewiraswastaan, dan training-training yang lain.
Contoh kongkrit pendekatan liberal bisa kita lihat pada Achievement Motivation Training
(AMT) yang diciptakan oleh David McClelland. McClelland berpendapat bahwa akar
masalah keterbelakangan dunia ketiga karena mereka tidak memiliki apa yang
dinamakannya N Ach. Oleh karena sarat pembangunan bagi rakyat dunia ketiga adalah
perlu virus "N ach" yang membuat individu agresif dan rasional (McClelland, 1961).
Komponen kedua adalah Positivisme. Positivisme sebagai suatu paradigma ilmu sosial
yang dominan sewasa ini juga menjadi dasar bagi model pendidikan Liberal. Positivisme
pada dasarnya adalah ilmu sosial yang dipinjam dari pandangan, metode dan teknik ilmu
alam memahami realitas. Positivisme sebagai suatu aliran filsafat berakar pada tradisi
ilmu ilmu sosial yang dikembangkan dengan mengambil cara ilmu alam menguasai
benda, yakni dengan kepercayaan adanya universalisme and generalisasi, melalui metode
determinasi, 'fixed law' atau kumpulan hukum teori
(Schoyer, 1973). Positivisme berasumsi bahwa penjelasan tungal dianggap 'appropriate'
untuk semua fenomena. Oleh karena itu riset sosial ataupun pendidikan dan pelatihan
harus didekati dengan metode ilmiah dengan berpijak pada positivisme yang melibatkan
unsur-unsur seperti obyektivitas, empiris, tidak memihak, detachment, rasional dan bebas
nilai. Pengetahuan selalu menganut hukum ilmiah yang bersifat universal, prosedur harus
dikuantifisir dan diverifikasi dengan metode "scientific". Dengan kata lain, positivisme
mensaratkan pemisahan fakta dan nilai dalam rangka menuju pada pemahaman obyektif
atas realitas sosial.
Pendidikan dan pelatihan dalam positivistik bersifat fabrikasi dan mekanisasi untuk
memproduksi keluaran pendidikan yang harus sesuai dengan 'pasar kerja'. Dalam pola
pemikiran positivistic Murid dididik untuk tunduk pada struktur yang ada. Dari sana, bisa
kita lihat bahwa pada paradigma liberal pendidikan biasanya lebih melanggengkan
system yang ada dengan melahirkan anak-anak didik yang berperan dalam
mempertahankan system tersebut.
Tradisi liberal telah mendominasi konsep pendidikan hingga saat ini. Pendidikan liberal
adalah menjadi bagian dari globalisasi ekonomi 'liberal' kapitalisme. Dalam kontek lokal,
paradigma pendidikan liberal telah menjadi bagian dari sistim developmentalisme,
dimana sistim tersebut ditegakan pada suatu asumsi bahwa akar 'underdevelopment'
karena rakyat tidak mampu terlibat dalam sistim kapitalisme.
Pendidikan harus membantu peserta didik untuk masuk dalam sistim developmentalisme
tersebut, sehingga masyarakat memiliki kemampuan dalam
kompetisi di system kapitalis.
Pada paradigma pendidikan liberal, fokus utama terletak pada bagaimana membuat anak
didik memiliki kemampuan sehingga mereka bisa bersaing di tengah sistem yang berlaku
pada masyarakat. Pendidikan liberal tidak melihat masalah yang berkembang dalam
masyarakat karena sistem sosial masyarakat tersebut, tetapi karena ketidaksiapan manusia
dalam menghadapi sistem. Sehingga ini akan mengakibatkan pembelajaran yang bersifat
memberikan pengetahuan dan keterampilan yang berguna sebanyak-banyaknya kepada
anak didik, pengetahuan bersifat doktriner dan menilai sesuatu hanya dengan melihat
kecerdasan intelektual yang dimiliki oleh anak didik. Menariknya ideologi pendidikan
inilah yang sekarang
sedang berkembang ditengah-tengah masyarakat global.
Konstruktivisme
Menurut Von Glasersfeld (1988) pengertian konstruktif kognitif muncul pada
pertengahan abad ke-19 dalam tulisan Marx Baldwin yang secara luas diperdalam dan
disebarkan oleh Jean Piaget. Namun bila ditelusuri lebih jauh, gagasan pokok
konstruktifisme sebenarnya sudah dimulai oleh Giambatissta Vico, seorang epistemolog
dari Itali. Dialah cikal bakal konstruktivisme. Pada tahun 1710 Vico dalam De
Antiquissima Italorum Sapienta, mengungkapkan filsafatnya dengan berkata "Tuhan
adalah pencipta alam, dan manusia adalah tuan dari ciptaannya". Ia menjelaskan bahwa
"mengetahui" berarti "mengetahui bagaimana cara membuat sesuatu". Ini berarti orang
dapat mengetahui sesuatu setelah ia dapat menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun
sesuatu itu.
Dunia pendidikan yang idealnya menjadi penjaga gawang moral yang berbasis budi
pekerti kini semakin memprihatinkan. Dunia pendidikan di negeri ini kian terpuruk
menjadi sebuah komoditas yang dibanderol dengan angka-angka rupiah. Dunia
pendidikan tidak ubahnya menjadi lembaga bisnis yang mengeruk keuntungan
maksimum dari para konsumennya, yakni para siswa dan orangtua siswa.
Dunia pendidikan dalam pemahaman "birokrasi institusional" tidak luput pula dari deraan
praktik korupsi nilai, korupsi budaya, dan korupsi idealisme. Korupsi nilai terjadi
manakala dunia pendidikan terjebak dalam arus liberalisasi (kapitalisasi) yang
menjadikan dunia pendidikan sebagai matra ekonomi.
Korupsi budaya, dunia pendidikan tidak luput dari praktik budaya menjiplak di kalangan
siswa, kebiasaan mendongkrak nilai yang dilakukan para guru, kultur membantu standar
penilaian bagi anak-anak guru karena ikatan "bina lingkungan" dan sebagainya.
Sedangkan korupsi idealisme dunia pendidikan kian pragmatis menjual "jargon-jargon"
keunggulan tanpa bukti. Dengan demikian, kini banyak bermunculan label sekolah
unggulan, sekolah berstandar internasional, kelas akselerasi, dan sebagainya.
Jargon-jargon yang konon menempatkan satuan (unit) dunia pendidikan sebagai sesuatu
yang "unggul" dan berkualitas ditengarai oleh para pemerhati pendidikan kritis sebagai
strategi jitu untuk menaikkan biaya pendidikan setinggi langit. Padahal, jika ditelaah
kualitas berbagai unit pendidikan semacam sekolah berstandar internasional, sekolah
unggulan, kelas akselerasi sangat diragukan. Mengapa demikian, karena dalam fakta
kualitas pendidikan nasional Indonesia masih terpuruk dibanding negara-negara lain,
bahkan ketinggalan dengan indeks mutu pendidikan negara semacam Vietnam atau
Malaysia.
Labeling dunia pendidikan yang konon berkualitas memang dalam realitasnya adalah
strategi untuk mengeruk keuntungan ekonomis dari para konsumen yang dilayani. Tidak
mengherankan sering terlansir di media, biaya pendidikan berbagai sekolah "unggulan"
dan sejenisnya setiap tahun ajaran baru mencapai angka jutaan atau bahkan puluhan juta
rupiah.
Mahalnya dunia pendidikan di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama,
masih kuatnya kultur korupsi dan ego kapitalisme dalam dunia pendidikan. Tidak
dimungkiri dan bahkan menjadi rahasia umum bahwa korupsi di dunia pendidikan-
institusional formal-termasuk rangking 10 besar menurut catatan Trancparancy
International. Hasil penelitian ICW tahun 2007 bahkan menyebut sekolah sebagai unit
kerja juga sering menjadi arena korupsi sistemik yang dibiarkan tumbuh berkembang
secara pesat.
Kedua, lepasnya tanggung jawab negara dalam pembiayaan pendidikan. Melalui UU
Sisdiknas tahun 2003 dilegitimasi ideologi liberalisasi pendidikan. Dunia pendidikan
ibaratnya semakin tumbuh kembang menjadi lembaga bisnis yang menggiurkan dan
menguntungkan bagi para pemilik sahamnya.
Menyoal dunia pendidikan di Indonesia memang akan dijumpai kondisi yang paradoks.
Di satu sisi ada kabar siswa-siswa dari sekolah unggulan memenangkan kejuaraan
olimpiade pendidikan, namun di sisi lain semakin meningkat persentase angka DO di
kalangan masyarakat miskin. Ada kabar menyenangkan meningkatnya angka kelulusan
UN yang kontroversial, di sisi lain ada kabar kecurangan dalam pelaksanaan UN yang
ironisnya sering melibatkan perilaku para pendidik.
Saat ini integritas moral dalam dunia pendidikan semakin tenggelam. Ibaratnya semakin
tenggelam di dalam "catacomb" (baca" katakomba, sebuah goa penguburan di dalam
tanah). Dunia pendidikan di Indonesia semakin kehilangan aksentuasi moral
keberpihakan kepada kepentingan aksesibilitas hak publik.
Pendidikan yang dibuat semakin mahal biayanya mengabaikan makna tanggung jawab
negara dalam melayani hak memperoleh pendidikan bagi rakyatnya. Karena itu, lambat-
laun pendidikan menjadi barang yang mahal bagi siswa dari keluarga miskin. Pendidikan
yang masih mengembangkan kultur KKN juga mendiskriminasi hak potensial para
pembelajar. Contoh aktual adalah masih dipraktikkannya kultur bina lingkungan, di mana
anak guru memperoleh prioritas meraih kursi tempat orangtua mereka mengajar dan
bahkan sering dibantu dalam upaya mendongkrak standar penilaian dalam kegiatan
belajar-mengajar.
Pendidikan yang menjadi alat menumpuk keuntungan ekonomis dari pemegang
kekuasaan birokrasi pendidikan pada hakikatnya juga mencederai hakikat pendidikan
sebagai pengembang nilai kejujuran. Bagaimana bisa menjadi alat pembentuk karakter
anak didik (generasi muda) bangsa yang cerdas dan jujur bila dunia pendidikan dalam
dunia pendidikan masih tumbuh budaya korupsi?
Negara ini jika ingin maju dunia pendidikannya bisa memilih satu di antara dua Opsi.
Pertama, pendidikan harus berkiblat ke arah negara maju. Konsekuensinya pilihan
liberalisasi pendidikan, pendidikan berbiaya mahal namun berkualitas. Syarat
fundamentalnya adalah segala praktik korupsi, feodalisme, dan pragmatisme harus dicuci
bersih.
Opsi kedua, pendidikan berpaling kepada sistem pendidikan egaliter semacam yang ada
di negara sosial demokrat atau sosialis seperti Prancis, Kuba, Libia di mana biaya
pendidikan dibuat murah sehingga masyarakat bisa mengakses fasilitasi pendidikan yang
berkualitas.
Selama ini karakter dunia pendidikan di Indonesia hanya mengambil setengah bagian dari
nilai positif dua opsi sistem/budaya pendidikan di atas. Pendidikan dijadikan alat
pengeruk keuntugan ekonomis dengan biaya mahal dan jargon sekolah unggulan dan
sejenisnya, namun masih diliputi kultur feodalisme/kapitalisme dan KKN.
Di era Orde Baru, pendidikan berbiaya murah namun kontrol ideologi pendidikan
mematikan proses perkembangan ilmu pengetahuan yang objektif sehingga sekolah
(dunia pendidikan) ibaratnya menjadi aparatus ideologi untuk membungkam
perkembangan kesadaran kritis masyarakat dan generasi muda.
Melihat pada realitas pendidikan di Indonesia, termasuk pendidikan dasar, maka secara
umum ideologi pendidikan Indonesia sekarang ini berkecenderungan pada ideologi
pendidikan liberal. Hal tersebut terlihat dari beberapa kebijakan yang relatif liberal.
Pertama, pengacuan pendidikan lebih menitikberatkan pada penguasaan kompetensi,
sedangkan kompetensi yang dimakdus selalu mengacu pada kebutuhan dunia kerja
kapitalis. Dengan kata lain pendidikan pada akhirnya hanyalah menjadi sekrup kecil dari
roda-roda kapitalisme. Seakan persepsi yang didesakkan pada peserta didik, dunia
pendidikan, dan bahkan masyarakat luas adalah, “pendidikan untuk bekerja”.
Sedikit banyak memang benar, tapi pada akhirnya hal itu justru menjadikan perspektif
memandang pendidikan kian sempit dan menafikan dimensi lain pendidikan, yakni
dimensi kemanusiaan. Jadi pembelajaran tidak banyak diorientasikan untuk memenuhi
kebutuhan peserta didik sebagai manusia secara utuh seperti untuk aktualisasi diri,
sebagai manusia yang merdeka dan berdaulat dengan dirinya sendiri untuk berproses
menjadi manusia. Mereka dikooptasi oleh orientasi kerja, kerja, dan kerja. Di sinilah
dalam ranah sosial timbul yang dinamakan dehumanisasi pendidikan; pendidikan tidak
menghasilkan manusia yang manusiawi, melainkan manusia-manusia robot, mekanistis,
individualis. Kehalusan budi, sopan santun, akhlak mulia, kerendah hatian, tidak diasah
dalam pendidikan yang berideologi liberal yang mengabdi pada kapitalisme an sich.
Kedua, pendidikan berideologi liberal menitikberatkan proses pembelajaran pada peserta
didik, sementara guru sekadar sebagai motivator, pengarah, bukan aktor utama dalam
proses pembelajaran, bukan satu-satunya sumber pembelajaran. Yang dituju adalah
aktualisasi diri siswa sepenuhnya. Hal ini artinya merombak tradisi pembelajaran yang
telah mendarah daging selama ini di lembaga pendidikan, yakni guru adalah pusat
pembelajaran di kelas, yang di-gugu lan ditiru (diiyakan petuahnya dan dianut
keteladanannya). Kebijakan ini tidak serta merta menjadikan pembelajaran dan siswa
dapat sepenuhnya mengaktualisasikan diri hingga berprestasi menggembirakan.
Guru banyak yang masih konservatif dan tidak dapat memerankan diri sekadar sebagai
motivator pembelajaran. Di sisi lain siswa pun belum dapat menerima kehadiran guru
sekadar sebagai motivator, siswa masih saja pasif dalam proses pembelajaran. Siswa
belum dapat mandiri dan menjadi kritis sebagaimana diharapkan oleh paradigma dan/atau
pendidikan liberal. Hal itu terjadi karena mereka masih kentalnya kultur belajar teacher
centered selama ini. Yang terjadi selanjutnya adalah gagap proses pembelajaran dalam
memadukan antara idealisme sebagaimana kebijakan pemerintah melalui Kurikulum
Berbasis Kompetensi (KBK) yang student centered dengan realitas pembelajaran di
lapangan yang belum dapat melepaskan diri dari konsep teacher centered.
Ketiga, desentralisasi pendidikan yang satu paket dengan otonomi daerah sebagai
kebijakan yang dikeluarkan pascareformasi dengan agenda politik demokratisasi.
Demokrasi sebagai anak dari liberalisme dalam konsepsi politik melahirkan kebijakan
desentralisasi pengelolaan pemerintahan yang juga berimbas dengan kebijakan
desentralisasi pengelolaan pendidikan. Pada dasarnya kebijakan ini bertujuan untuk
memberrikan kewenangan untuk mengelola secara mandiri bagi daerah dan satuan
pendidikan masing-masing.
Kebijakan ini pada akhirnya menuai masalah, terutama ketika pemerintah ngotot
memberlakukan ujian nasional (UN) dengan acuan standar nasional, padahal di sisi lain
pemerintah juga mengeluarkan kebijakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
yang memberikan kebebasan pada masing-masing daerah dan institusi pendidikan untuk
memberikan proses pembelajaran optimal namun menyesuaikan dengan kemampuan dan
lokal. Akhirnya timbul protes ketika dilaksanakan UN yang mengacu pada standar
nasional yang belum tentu sesuai dengan standar lokal masing-masing daerah dan satuan
pendidikan. Terjadi semacam ketidakadilan dan kerancuan paradigmatik di mana masing-
masing satuan pendidikan diberi kebebasan menyusun proses pembelajaran sesuai
dengan kekhasan, potensi, dan kemampuan yang ada dengan tanpa menafikan upaya
untuk terus meningkatkan kualitas pendidikan, namun di sisi lain kebebasan tersebut
dirampas oleh adanya standarisasi nasional UN sebagai penentu kelulusan siswa. Standar
inilah yang seringkali tidak dapat dijangkau oleh satuan pendidikan di daerah yang relatif
terbelakang. Pelaksanaan UN ini pun pada akhirnya berakibat pada banyak kecurangan-
kecurangan dalam pelaksanaannya.
Konsepsi ideologis yang menghegemoni pemikiran dan kebijakan pendidikan pada
akhirnya memberi warna cukup beragam untuk dunia pendidikan kita. Selayaknya dalam
gerusan globalisasi, neoliberalisme, dan kapitalisme sekarang ini semua stakeholder
dunia pendidikan, terutama pemerintah dan Depdiknas memiliki konsep yang jelas, tegas,
dan kuat secara ideologis untuk menentukan kebijakan-kebijakan pendidikan yang tepat,
hingga tidak terlalu berisiko menimbulkan problem paradigmatik dan implementatif. Jika
tidak, maka agaknya selamanya dunia pendidikan kita akan selalu disibukkan untuk
mengatasi masalah-masalah yang sebetulnya tidak perlu terjadi jika pemerintah memiliki
landasan ideologis pendidikan yang jelas dan sesuai dengan konteks keindonesiaan.
Beberapa pendidik kritis Indonesia telah memulai langkah besar menggali filosofi dan
ideologi pendidikan kita, H.A.R Tilaar dengan pedagogik transformatifnya, (alm)
Mansour Fakih dengan pendidikan partisipatoris-emansipatorisnya, Y.B Mangunwijaya
dengan SD Mangunan yang humanisnya, Winarno Surakhmad dengan paradigma
Gurunya, Mochtar Buchori, Darmaningtyas, dan lainnya. (Wallohu A’lam Bishawab).
Kepustakaan
Cahyana, Ade, Indonesia 2010: Merubah Mitos menjadi Realitas Pembangunan, From:
http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/26/indonesia 2010 Ade Cahyana.htm,
sabtu, 16/9/ 2006, jam. 13.10.
Freire, Paulo, 1995, Pendidikan Kaum Tertindas, Terjemahan, Utomo Dananjaya,
LP3ES, Jakarta.
Kelompok Kerja Pengkajian dan Perumusan, Rangkuman Filosofi, Kebijaksanaan dan
Strategi Pendidikan Nasional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia, 1999, Jakarta.
Mastuhu, 2003, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21,
Safiria Insania Press dan MSI, Yogyakarta.
Musa, Ibrahim, Otonomi Penyelenggaraan Pendidikan Dasar dan Menengah, From:
http://202.159.18.43/jp/22ibrahim.htm, Akses, 5 Juni 2002
Nomida Musnir, Diana, 2000, Arah Pendidikan Nasional dalam Perspektif Historis,
dalam Buku: Sindhunata [editor], 2000, Menggagas Paradigma Baru
Pendidikan, Demokratisasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi, Kanisius,
Yogyakarta.
Purbo, Onno W., Pergeseran Drastis Paradigma Dunia Pendidikan, From:
http://bebas.vlsm.org/v09/onno-ind-1/application/education/pergeseran-
drastis-paradigma-dunia-pendidikan-1998.rtf, 7/11/2003.
Sanaky, Hujair AH., 2003, Paradigma Pendidikan Islam, Membangun Masyarakat
Madani Indonesia, Safiria Insania dan MSI, Yogyakarta.
--------, 2005, Sertifikasi dan Profesionalisme Guru di Era Reformasi Pendidikan, Jurnal
Pendidikan Islam [JPI], Volume XII TH VIII Juni 2005, ISSN: 0853-7437,
Jurusan Tarbiyah Fakultas Ilmu Agama UII, Yogyakarta.
----------, Paradigma Pembangunan Pendidikan di Indonesia Pasca Reformasi Antara
Mitos dan Realitas.
Suryadi, Ace, Pengelolaan Pendidikan Perlu Paradigma Baru, From:http://www.
Kompas.com/kompas-cetak/0010/16/DIKBUD/peng09.htm.,akses, Sabtu,
23/8/ 2003.
Suyanto & Djihad Hisyam, 2000, Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia
Memasuki Milenium III, Adicita Karya Nusa, Yogyakarta.
Suyanto, 2006, Dinamika Pendidikan Nasional [Dalam Percaturan Dunia Global], PSAP
Muhammadiyah, Jakarta.
Soedjiarto, 1999. "Memahami Arahan Kebijakan GBHN 1999-2004 tentang Pendidikan
Sebagai Upaya Mencerdaskan Kehidupan Bangsa dan Membangun Peradaban
Negara bangsa Indonesia", Makalah, Primagama-IPSI-PGRI, Yogyakarta.
Tilaar, H.A.R., 1998, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam
Perspektif Abad 21, Tera Indonesia, Magelang.
Yacub, Muhammad, From: http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/27/suatu opini mengenai
reformasi_s.htm, akses, Rabu,20/9/2006, jam.13.35.
Zamroni, 2000, Paradigma Pendidikan Masa Depan, Adipura, Yogyakarta.
Insentif bagi Industri yang Lakukan Pelatihan, Kompas, Kamis, 26 Juni 1997
Tempo, 7 Januari 2001
Lewat Persentase Anggaran, Belajar dari Negara Lain, Kompas, Sabtu, 2 Mei 1998
Kabupaten dan Kota Menjadi Basis Pengelolaan Pendidikan Dasar, Kompas, Rabu, 24
Februari 1999
Sekolah Plus, Menghitung Dengan Dollar, Suplemen, Tempo, 18 Maret 2001
Kasrai, Reza, Corporate University, CFS-Quebec Education Action, edisi musim gugur
2001. http://www.newyouth.com/archives/campaigns/mexico/UNAM.asp
RUU BHP, Skenario Neoliberalisme, SUARA PEMBARUAN DAILY, September 5,
2007
BHMN, Neoliberalisme Pendidikan, Suara Pembaruan March 15, 2007
Muhammad Roqib, M.Ag , Politik Pendidikan dan Pendidikan Politik Sebagai Upaya
Memajukan Bangsa, Jumat, 2008 Agustus 08
Pan Mohamad Faiz (New Delhi) , Polemik Inkonstitusionalitas Anggaran Pendidikan,
Dimuat pada H.U. Seputar Indonesia (05/05/07)
Pan Mohamad Faiz , Menanti Political Will Pemerintah di Sektor Pendidikan, Pikiran
Rakyat Bandung , October 05, 2006
Abu Khaulah Zainal Abidin , “Ideologi Pendidikan Kita” Maret 22, 2008, Posted by
rumahbelajaribnuabbas in Pendidikan.
Greg Russell, Bentuk Pemerintahan Berdasarkan Konstitusi (terj.), Demokrasi, Office of
International Information Programs, US. Dept. of States., tanpa tahun.
Richard C.Schroeder, Garis Besar Pemerintahan Amerika Serikat (terj.), Office of
International Information Programs – United States Dept. of States, 2000.
The center on Education Policy, Washington D.C., The Federal Role in US Education,
US Society and Values, e-journals of the U.S.. Department of State, vol 5 no.
2, June 2000.
Tiffany Danitz, The Standards Revolution In U.S. Schools, US Society and Values, e-
journals of the U.S.. Department of State, vol 5 no. 2, June 2000.
Anonim, The Federal Role in Education - Overview , US Department of Education in
http://www.ed.gov
Anonim, College Rankings, America’s "Top" Schools, US Society and Values, e-journals
of the U.S.. Department of State, , vol 10 no. 2, November 2005.
Judith S. Eaton, An Overview of U.S. Accreditation, publication of Council for Higher
Education Accreditation, tanpa tahun .
Robert H. Bruininks, Public Universities In The United States, US Society and Values, e-
journals of the U.S.. Department of State, , vol 10 no. 2, November 2005.
James W. Wagner, What Is A Large, Private Research University?, US Society and
Values, e-journals of the U.S.. Department of State, , vol 10 no. 2, November
2005.
Anonim, The Cost Of College In The United States, US Society and Values, e-journals of
the U.S.. Department of State, , vol 10 no. 2, November 2005.
Martina Schulze, Possible Sources Of Financial Aid, US Society and Values, e-journals
of the U.S.. Department of State, , vol 10 no. 2, November 2005.
Margaret S. Branson, At The Core Of U.S. Education, A Passion For Learning, US
Society and Values, e-journals of the U.S.. Department of State, vol 5 no. 2,
June 2000.
Hizbut Tahrir, How the Khilafah was Destroyed, Khilafah Publication, London 2000
Ideologi Pendidikan Sebuah Pengantar , Tuesday, March 18, 2008
http://www.fppm.org/Info%20Anda/pendidikan%20yang%20membebaskan.htm.
Mansour Faqih dan Toto Rahardjo. Pendidikan yang membebaskan, 09 Agustus 2002
http://www.pikiran-rakyat.com/Artikel/0802.htm.
Ahmad Dahidi & Miftachul Amri. Potret Pendidikan di Jepang, Sebuah Refleksi. 22 Mei
2003.
Agus Syafii <agussyafii@yaho...>, Problem Pendidikan di Era Reformasi, February 18,
2008
Kepentingan Politik Masih Terlihat Lebih Menonjol, http://www.kompas.co.id/kompas-
cetak/0708/08/humaniora/3750060.htm
Pendidikan Indonesia Alami Proses Involusi, Harian Kompas, 4 September 2004
Agung Pramanto (JIP'98)/Redaksi AP, Dilema Otonomi Pendidikan: Catatan Dari
Seminar Otonomi Pendidikan Nasional 2001 SMFSUI
Otonomi Pendidikan Masih Hadapi Banyak Kendala, Jakarta, Sinar Harapan, 2003
St Kartono , Memahami Otonomi Pendidikan beserta Implikasinya, SUARA
PEMBARUAN DAILY , 2002
Uni Eropa: Perdamaian Aceh Bukti Kekuatan Soft Power, TEMPO Interaktif, Jakarta,
Rabu, 13 Desember 2006 | 21:15 WIB
"Soft Power" dan Jejak Bush , Kompas, 21 Nopember 2006
Muhammad Roqib, M.Ag, Politik Pendidikan dan Pendidikan Politik Sebagai Upaya
memajukan Bangsa, http://roqibstain.blogspot.com/2008/08/politik-
pendidikan-dan-pendidikan.html
Marsudi Budi Utomo, 50 Tahun RI-Jepang, December 24, 2007
Novian Widiadharma, UIN Yogyakarta , Art, Soft Power, dan Tata Dunia Baru,
Wednesday, 13 August 2008 07:15
Nurani Soyomukti (Esai Politik): "Soft Power", Strategi Gerakan Anti Teror(Isme),
Sabtu, 2007 Agustus 25
Dino Patti Djalal Juru Bicara Kepresidenan, SBY dan "Soft Power" , URL Source:
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0506/13/opini/1806887.htm
Megawati: Pandangan Tentang Pendidikan Murah dan Gratis, Menyesatkan, Rabu, 05
Mei 2004
Khoirul Anwar , Membangun Moral di abad Global , 15 Juni 2008 - 17:05
Iskandar Alisjahbana , Cyberspace dari Peradaban Gelombang-Ketiga "Sifat dan Hakekat
Manusia & Masyarakat di Dalam Era-Informasi" , Edisi ke Tujuh, April 1997
Baridul Islam Pr, “Abuse of Power” Kaum Intelektual, Purwokerto, 16 Maret 2003
Anonym, Masalah Pendidikan Di Indonesia, August 29, 2007
Yusufhadi Miarso, Pengembangan Terkini Sistem Pendidikan dan Pembelajaran di
Perguruan Tinggi, Disampaikan dalam Semiloka Pengajaran dan Program
Magang, Departemen Ilmu Hubungan Internasional, FISIP-UI, 2 Mei 2008
Banathy, Bela H. (1991). Systems Design of Education. A journey to create the future.
Englewood Cliffs, NJ: Educational Technology Publications
Dabbagh, Nada & Brenda Bannan-Ritland. Online Learning. Concept, strategies and
application. Columbus,OH : Pearson. 2005
Miarso, Yusufhadi. (2005). Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta: Pustekkom-
Kencana
Reigeluth, Charles M. and Robert J. Garfinkle. (eds.)(1994). Systemic Change in
Education. Englewood Cliffs, NJ: Educational Technology Publications
Toffler, Alvin. The Third Wave. London : Pan Books Ltd.
UNSCTD. Knowledge Society. Published for and on behalf of The Unted Nations.
Oxford,NY : Oxford University Press. 1998
Tim MWA Wakil Mahasiswa KM ITB dan Kastrat Kabinet KM ITB, Positioning Paper.
Pernyataan Sikap KM ITB terhadap RUU BHP BHP: Gaya Baru Otokrasi
Pendidikan Indonesia
NIM. Sistem Pendidikan Yang Berkarakter dan Berbudaya, February 28, 2007
Benedict Richard O'Gorman Anderson. Imagined Communities: Reflections on the
Origin and Spread of Nationalism. Edition: 2, revised. Verso, 1991
Bertrand Russell. Power: A New Social Analysis. Edition: 2. W.W.Norton & company,
1938
Chantal Mouffe . Gramsci and Marxist Theory: essays. Routledge, 1979
Dewey, John, 1974, The Child and The Curriculum,and The School and Society, Chicago
and London, The University of Chicago Press.
Giddens, Anthony, The Nation States and Violence: Volume Two of a Contemporary
Immanuel Maurice Wallerstein, Immanuel Wallerstein. The Modern World-
system II. Edition: 2. Academic Press, 1980
Masinambow, EKM (ed), 1997, Koentjaraningrat dan Antropologi Indonesia, Jakarta,
AAI dan Yayasan Obor Indonesia.
McQuail, Denis, 2000, Mass Communication Theories, Fourth edition, Sage Publication,
London
Michael Wallerstein : The Political Economy of Inequality, Unions, amd Social
Democracy. New York: Cambridge University Press, 2008
Renate Holub. Antonio Gramsci: Beyond Marxism and Postmodernism. Routledge, 1992
Rudolf Ekstein, Robert S. Wallerstein. The Teaching and Learning of Psychotherapy.
Edition: 2. Basic Books, 1958
Siswanta, Relasi kekuasaan: telaah pemikiran Antonio Gramsci dalam konteks politik
Indonesia kontemporer. Media Wacana, 2006
Sutaarga, Moh. Amir. 1997/1998. Pedoman Penyelenggaraan dan Pengelolaan Museum.
Jakarta: Proyek Pembangunan Permuseuman Jakarta
Vedi R. Hadiz, Benedict Richard O'Gorman Anderson. Politik, budaya, dan perubahan
sosial: Ben Anderson dalam studi politik Indonesia. Penerbit PT Gramedia
Pustaka Utama bekerja sama dengan Yayasan SPES, 1992
FX Sugiyanto, Ilusi Kurikulum Pendidikan dalam Kuasa Neoliberalisme , Saturday, 02
August 2008