You are on page 1of 10

Hadits Ahad

a. Pengertian
b. Macam-macamnya berdasarkan jalan periwayatan beserta contoh-contohnya.
c. Macam-macamnya berdasarkan derajatnya beserta contoh-contohnya.
d. Faedah-faedahnya.

a. Ahad (‫)االحاد‬.

Ahad adalah hadits selain yang muttawattir.

b. Macam-macam hadits ahad berdasarkan jalan periwayatan itu ada 3 macam, yaitu
masyhur, ‘aziz, dan ghorib.

1. Masyhur (‫ )المشهور‬adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga rowi disetiap tingkatan,
tapi belum sampai pada derajat muttawattir.Contohnya perkataan Nabi shollallahu
‘alaihi wa sallam,‫“المسام من سلم المسلمون من لسانه و يده‬

Muslim sejati adalah muslim yang saudaranya terbebas dari gangguan lisan dan
tangannya.”

2. ‘Aziz (‫ )العزيز‬adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua rowi saja dimasing-masing
tingkatan. Contohnya perkataaan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam, ‫ال يؤمن أحدكم حتى‬
‫أكون أحب إليه من ولده و الناس أجمعين‬

“Tidak sempurna iman kalian hingga Aku lebih dia cintai dari orang tua, anaknya
bahkan manusia seluruhnya.”
3. Ghorib (‫ )الغريب‬adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu orang saja. Contohnya
perkataan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam, ‫ وإنما لكل امرئ ما‬،‫إنما األعمال بالنيات‬
‫“…نوى‬Sesungguhnya setiap amal perbuatan itu hanyalah dinilai bila disertai dengan
niat, dan sesungguhnya setiap orang hanya memperoleh sesuai apa yang
diniatkannya…(hingga akhir hadits)” (HR. Bukhori dan Muslim)

Hadits ini dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam hanya diriwayatkan oleh Umar bin
Khotob rodhiallahu ‘anhu dan yang meriwayatkan dari Umar hanya ‘Alqomah ibn
Abi Waqosh dan yang meriwayatkan dari ‘Alqomah hanya Muhammad ibn ibrohim
Attaimi, dan yang meriwayatkan dari Muhammad hanya Yahya ibn Sa’id al Anshori.
Kesemuanya adalah tabi’in, kemudian diriwayatkan dari Yahya oleh banyak orang.

c. Macam-macam hadits ahad berdasar derajatnya, yaitu shohih lidzatihi, shohih lighoirihi,
hasan lidzatihi, hasan lighoirihi dan dho’if.

1. Shohih lidzatihi (shohih dengan sendirinya) (‫)الصحيح لذاته‬. Shohih lidzatihi adalah
hadits yang rowinya:
o Adil (‫)عدل‬,
o Hafalannya kuat (‫)تام الضبط‬,
o Sanadnya bersambung (‫)بسند متصل‬,
o Terbebas dari kejanggalan dan kecacatan (‫)سلم من الشذوذ و العلة القادحة‬.

Contohnya sabda Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam,


‫من يرد هّللا به خيرا يفقهه في الدين‬

“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan maka akan difahamkan ilmu agama.”
(HR. Bukhori dan Muslim)

Cara mengetahui keshohihan suatu hadits itu dengan 3 perkara:

o Jika diketahui penulis buku hadits tersebut hanya mencantumkan hadits-hadits


yang shohih saja dengan syarat penulis tersebut bisa dipercaya dalam
melakukan penshohihan seperti Shohih Bukhori dan Muslim.
o Hadits tersebut dinilai shohih oleh imam yang penilaiannya dalam
penshohihan itu bisa dipercaya, dan dia bukan termasuk orang yang terkenal
mudah dalam memberikan nilai shohih.
o Meneliti sendiri rowinya dan bagaimana cara periwayatan rowi tersebut
terhadap hadits.

Jika semua kriteria shohih lengkap, maka hadits tersebut dinilai sebagai hadits yang
shohih.

2. Shohih lighoirihi (shohih dengan bantuan) (‫)الصحيح لغيره‬.


Shohih lighoirihi adalah hadits hasan dengan sendirinya (hasan lidzatihi) apabila
memiliki beberapa jalur periwayatan yang berbeda-beda. Misalnya,

Dari ‘Abdillah Ibn ‘Amr bin ‘Ash rodhiallahu ‘anhu, Nabi shollallahu ‘alaihi wa
sallam memerintahkannya untuk menyiapkan pasukan dan ternyata kekurangan unta.

Maka Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Belikan untuk kita unta perang
dengan unta-unta yang masih muda.” Maka ia mengambil 2-3 unta muda dan
mendapat 1 unta perang.

Hadits Ini diriwayatkan Ahmad dari jalan Muhammad bin Ishaq dan diriwayatkan
Baihaqi dari jalan ‘Amr bin Syu’aib. Setiap jalan ini jika dilihat secara bersendirian
tidak bisa sampai derajat shohih, hanya sampai hasan. Tapi jika dilihat secara total,
maka jadilah hadits shohih lighoiri. Hadits ini dinamakan shohih lighoiri, walaupun
nilai masing-masing jalan secara bersendirian tidak sampai derajat shohih, namun
karena bila dinilai secara total bisa saling menguatkan hingga mencapai derajat
shohih.

3. Hasan lidzatihi ( hasan dengan sendirinya) (‫)الحسن لذاته‬.


Hasan lidzatihi adalah hadits yang diriwayatkan oleh rowi yang adil tapi hafalannya
kurang sempurna dengan sanad bersambung dan selamat dari keganjilan dan
kecacatan. Jadi, tidak ada perbedaan antara hadits ini dengan hadits shohih lidzatihi
kecuali dalam satu persyaratan, yaitu hadits hasan lidzatihi itu kalah dalam sisi
hafalan.

Misalnya perkataan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam,

‫ و تحليلها التسليم‬،‫ و تحريمها التكبير‬،‫مفتاح الضالة الطهور‬


“Sholat itu dibuka dengan bersuci, diawali dengan takbir dan diakhiri dengan
salam.”<

Hadits-hadits yang dimungkinkan hadits hasan adalah hadits yang diriwayatkan Abu
Daud secara sendirian, demikian keterangan dari Ibnu Sholah.

4. Hasan lighoirihi (hasan dengan bantuan) (‫)الحسن لغيره‬.


Hasan lighoirihi adalah hadits yang dho’ifnya ringan dan memiliki beberapa jalan
yang bisa saling menguatkan satu dengan yang lainnya karena menimbang
didalamnya tidak ada pendusta atau rowi yang pernah tertuduh membuat hadits palsu.
Misalnya,Hadits dari Umar ibn Khatthab rodhiallahu’anhu berkata bahwasannya
Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam jika mengangkat kedua tangannya dalam do’a
maka beliau tidak menurunkannya hingga mengusapkan kedua tangan ke wajahnya.
(HR. Tirmidzi)

Ibnu Hajar dalam Bulughul Marom berkata, “Hadits ini memiliki banyak hadits
penguat dari riwayat Abu Daud dan yang selainnya. Gabungan hadits-hadits tersebut
menuntut agar hadits tersebut dinilai sebagai hadits hasan.

Dan dinamakan hasan lighoirihi karena jika hanya melihat masing-masing sanadnya
secara bersendirian maka hadits tersebut tidak mencapai derajat hasan. Namun, bila
dilihat keseluruhan jalur periwayatan maka hadits tersebut menjadi kuat hingga
mencapai derajat hasan.

5. Hadits dho’if (‫)الضعيف‬


Hadits dho’if adalah hadits yang tidak memenuhi persyaratan shohih dan hasan.
Misalnya,”Jagalah diri-diri kalian dari gangguan orang lain dengan buruk sangka.”

Dan yang kemungkinan besar merupakan hadits dho’if adalah hadits yang
diriwayatkan secara bersendirian oleh ‘Uqaili, Ibn ‘Adi, Khatib Al Baghdadi, Ibnu
‘Asakir dalam Tarikh-nya, Adailami dalam Musnad Firdaus, atau Tirmidzi Al Hakim
dalam Nawadirul Ushul dan beliau bukanlah Tirmidzi penulis kitab Sunan atau
Hakim dan Ibnu Jarud dalam Tarikh keduanya.

d. Hadits-hadits ahad (selain hadits dho’if) memberi dua faedah:

1. Dzon, yaitu sangkaan kuat tentang sahnya penyandaran penukilan hadits dari
seseorang. Dan hal ini bertingkat-tingkat sesuai tingkatnya masing-masing yang telah
disebutkan. Terkadang hadits ahad memberi faedah ilmu jika ditemukan banyak
indikator dan dikuatkan oleh ushul (kaedah pokok dalam syari’at)*.

* Misalnya dengan indikator (qorinah), hadits tersebut diterima oleh seluruh umat.
Tidak ada yang menolaknya misal hadits innamal ‘amalu biniyat. Ini termasuk hadits
ghorib, akan tetapi karena seluruh ulama menerimanya, maka ini adalah qorinah yang
menunjukkan bahwa hadits ini adalah benar-benar dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa
sallam. Atau hadits tersebut didukung oleh ushul, yaitu didukung oleh kaedah pokok
dalam syari’at. Ada banyak ayat yang menunjukkan. kebenaran maksud dari hadits
tersebut. Maka ini merupakan indikasi kuat bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam
mengucapkannya. Atau itu adalah hadits yang muttafaqun ‘alaih. Meskipun itu adalah
hadits ahad atau ghorib. Namun itu menjadi qorinah yang kuat. Ini pendapat yang
dirojihkan Syaikh Ibnu Utsaimin dalam masalah ini yaitu hadits ahad itu memberi
faidah dzon kecuali ada qorinah. Jadi, hadits ahad itu memberi faidah ilmu (yakin)
jika ada indikator-indikator pendukungnya. Dalam masalah ini ada 3 pendapat ulama,
yaitu :Jika itu adalah hadits yang shohih meskipun ahad maka memberi faidah ilmu.
Memberi makna yakin bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkannya.
Ini adalah madzhabnya Imam Ibn Hazm.Memberi faidah dzon.

Memberi makna keyakinan (’ilmu) bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam


mengucapkannya jika ada indikator penguat (maka jika tidak ada penguat maka
memberi faedah dzon). Dan ini adalah pendapat yang dipilih Syaikh Islam Ibnu
Taimiyah

2. Mengamalkan kandungannya. Dengan mempercayainya jika berupa berita dan


mempraktekkannya jika berupa tuntutan*.

* Baik tuntutan untuk mengerjakannya atau tuntutan untuk meninggalkannya. Jadi


hadits ahad memberi faedah amal. Jika hadits itu berupa masalah aqidah berupa
masalah khobar maka tetap wajib menjadikannya sebagai aqidah dan
mempercayainya. Jadi ucapan ulama bahwa hadits ahad yang shahih itu memberi
makna sangkaan kuat, itu sama sekali tidak ada hubungannya bahwa dalam masalah
aqidah tidak diamalkan. Meskipun ada tiga pendapat untuk masalah ini, meskipun
ulama yang memilih dzon secara mutlak sekalipun, namun mereka tetap beramal
dengan hadits ahad dalam masalah aqidah dalam masalah khobar dengan
mempercayai dan mengimaninya sebagai bagian dari aqidah. Inilah curangnya Hizbut
Tahrir.

Ketika mereka mengatakannya bahwasannya mereka tidak mau menerima hadits ahad
dalam masalah aqidah. Lalu mereka mengatakan yang mendukung kami adalah ulama
ini, disebutkan satu dua tiga dst disebutkan. Padahal apa yang disebutkan oleh ulama
tersebut bahwa hadits ahad memberi makna (dzon) sangkaan. Dan sangkaan yang
dimaksudkan adalah sangkaan yang kuat bukan sekedar sangkaan. Sama sekali
mereka tidak bermaksud dikarenakan itu memberi makna dzon kemudian tidak
dipakai dalam masalah aqidah. Namun Hizbut Tahrir curang. Mereka katakan yang
mendukung kami adalah ulama ini dan itu. Padahal ulama tersebut membicarakan dari
segi itu memberi makna dzon atau tidak dan beliau merojihkan memberi makna dzon.
Lalu apakah beliau mengatakan itu tidak diterima sebagai dalil dalam masalah
aqidah? Tidak. Beliau tetap menerimanya sebagai dalil dalam masalah aqidah. Hanya
saja ulama tersebut memilih memberi makna dzon. Karena mengamalkan hadits ahad
dalam masalah aqidah adalah ijma ulama salaf. Sebagaimana dinukil oleh banyak
ulama. Meskipun itu adalah hadits ahad, maka itu adalah memberi faidah amal dengan
dijadikannya sebagai aqidah jika berisi masalah-masalah aqidah.

Adapun hadits yang dho’if, tidak memberi faedah dzon dan amal. Dan tidak boleh
menganggapnya sebagai dalil. Tidak boleh pula menyebutkan hadits dho’if tanpa diiringi
dengan penjelasan tentang dho’ifnya. Kecuali untuk masalah motivasi dan menakuti-nakuti
(targhib wa tarhib). Maka diperbolehkan menyebutkan hadits dho’if dengan beberapa
persyaratan menurut sebagian ulama. Sejumlah ulama memberi kemudahan untuk
menyebutkan hadits dho’if dengan tiga syarat* .


*** Tiga syarat ini berasal dari Ibnu Hajar Al Asqolani. Kalau dalam masalah hukum, Imam
Nawawi mengatakan bahwa ulama ijma tidak boleh berdalil dengan hadits dho’if dalam
masalah hukum. Dan ada perselisihan dalam masalah fadhoil amal/masalah targhib dan
tarhib. Ada ulama yang menolak hadits yang dho’if untuk targhib dan tarhib sebagai dalil
secara mutlak. Ini adalah pendapat Imam Ibnu Hazm dan Imam Muslim. Inilah pendapat
yang dirojihkan Syaikh Al Imam Al bani di Muqodimmah Shohih Jami Shogir. Namun ada
ulama yang membolehkan dengan persyaratan. Semacam Ibnu Hajar Al Asqolani.
membolehkan dengan tiga persyaratan ini.

1. Dho’ifnya bukan dho’if yang sangat*.



* Dho’ifnya tidak sangat, mungkin karena mursal atau ada rowi yang majhul.
2. Hendaknya pokok amal yang disebutkan di dalamnya motivasi dan menakuti-nakuti
ada berdasarkan hadits yang shohih*.

* Misalnya, sholat dhuha adalah sholat yang disyariatkan berdasar hadits yang shohih.
Kemudian ada hadits dho’if yang dho’ifnya ringan berkenaan keutamaan sholat
dhuha. Artinya sholat dhuhanya sudah masru’ (disyari’atkan) berdasar hadits yang
shohih. Tsabit berdasar hadits yang shohih. Misalnya juga tentang sholat malam.
Tentang sholat malam haditsnya shohih kemudian ada hadits yang dho’ifnya ringan
menceritakan tentang keutamaan orang yang melaksanakan sholat malam. Namun
amalnya sudah masru berdasar hadits yang shohih.

Jika amalnya belum jelas dalilnya, maka tidak boleh. Karena syaratnya ashlul amal
(landasan beramal) terdapat dalil yang shohih. Misalnya ada satu hadis menyatakan
keutamaan suatu amal dan tidak ada hadits shohih yang menyatakan disyariatkannya
amalan ini maka tidak boleh menyebutkan hadits dho’if ini. Karena asal muasal amal
yaitu ibadah yang hendak dimotivasi itu tidak disyariatkan sebab dasarnya adalah
hadits yang shohih.

3. Tidak diyakini bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkannya*.



* Imam Albani rohimahullah mengatakan, “Jika tiga persyaratan ini diperhatikan oleh
orang yang membolehkan hadits dho’if dalam fadhoilul a’mal maka selesai masalah”.
Karena ketika menyampaikan dia tahu, misalnya ini adalah hadits mursal. Maka dia
bisa memenuhi persyaratan ketiga karena tahu.Namun jika orangnya tidak
mengetahui, ini lemahnya seberapa atau bahkan palsu bagaimana melakukan poin
yang ketiga. Yang menjadi masalah ketika berdalil dengan hadits dho’if tentang suatu
amal kemudian diingatkan mereka menyatakan, “Ini kan fadhoil amal/targhib dan
tarhib. Kan boleh menurut sebagian ulama”.

Namun ketika ditanya, bagaimana dengan persyaratannyat. Pertama dho’ifnya tidak


sangat dan syarat ketiga tidak boleh yakin bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam
mengucapkannya, mereka bahkan tidak tahu Oleh karena itu jika tiga syarat ini
diperhatikan, maka selesai masalah. Namun tiga persyaratan tersebut tidak bisa
dipenuhi kecuali oleh pakar hadits. Sehingga dia tidak meyakini bahwa itu adalah
bukan hadits dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam.
Berdasarkan keterangan di atas, maka faedah menyebutkan hadits dho’if ketika memotivasi
suatu amal (targhib) adalah mendorong jiwa untuk melakukan amal yang dimotivasi untuk
mengharapkan pahala itu. Kemudian jika mendapatkan pahala maka alhamdulillah dan jika
tidak maka tidak menjadi masalah baginya kesungguhannya dalam beribadah. Karena
ibadahnya disyari’atkan dan ada pahala di dalamnya. Karena orang tersebut masih
mendapatkan pahala yang pokok, yaitu pahala asal amal yang berdasar hadits yang shohih
yang merupakan konsekuensi melakukan suatu perkara yang diperintahkan. Sedangkan suatu
perkara yang diperintahkan pasti ada pahalanya. Maka dia tidak kehilangan pahala yang asli.

Dan faidah menyebut hadits dho’if dalam tarhib adalah menakuti-nakuti jiwa untuk
melakukan perkara yang ditakut-takutkan. Karena khawatir terjerumus dalam hukuman
tersebut. Dan tidak masalah baginya jika dia menjauhinya dan tidak terjadi hukuman yang
disebutkan.

***

Jjjj

Taisir Musthalah Hadits (4): Penjelasan


Untuk Shohih Lidzatihi
8Share

Telah lewat (pada penjelasan yang lalu) bahwasannya definisi hadits shohih lidzatihi adalah
hadits yang diriwayatkan oleh seorang rowi yang adil*, hafalannya sempurna, sanadnya
bersambung dan terbebas dari syadz dan terbebas daru ‘illat (penyakit yang membuat cacat).

* Yang dimaksud dengan adil yaitu memiliki ‘adalah.

‘Adalah (‫ )عدالة‬adalah istiqomah pada din dan istiqomah pada muru-ah.

Istiqomah din adalah melaksanakan kewajiban dan menjauhi segala yang haram yang
menyebabkan kefasikan. Istiqomah muru-ah adalah melakukan segala sesuatu yang dipuji
masyarakat berupa etika dan akhlak dan meninggalkan segala adab dan akhlak yang dicela
masyarakat*.

* Pandangan masyarakat adalah yang tidak bertentangan dengan aturan syari’at. Boleh jadi
itu merusak muru-ah di masa silam, tapi tidak di masa sekarang. Misalnya, dahulu, jika
seorang ulama makan di warung maka ini menurunkan muru-ah. Kalau sekarang mungkin
jika makan di restoran besar malah naik muru-ahnya. Maka muru-ah ini berbeda-beda dan
berubah sesuai zaman dan tempat. Maka, ini berarti seorang muslim memperhatikan adat
masyarakat.

Keadilan rowi diketahui dengan dua cara, yaitu dengan kemasyhuran yaitu sudah terkenal
sebagai seorang rowi yang adil, semacam para imam yang terkenal. Misalnya Imam Malik,
Imam Ahmad dan Bukhori dan yang selain mereka. Kemudian dengan tazkiyah, yaitu dengan
penegasan dari orang yang teranggap ucapannya dalam masalah ini*.


* Yaitu ulama jarh dan ta’dil

Sempurna hafalannya (‫ )تمام الضبت‬adalah ia bisa menyampaikan riwayat yang dia miliki,
baik didapatkan melalui mendengar atau melihat dalam bentuk sebagaimana dia dapatkan
tanpa ditambah atau dikurangi. Akan tetapi kesalahan yang sedikit dinilai tidak mengapa,
karena manusia tidak dapat terbebas dari kesalahan menambah atau mengurangi*.

* Dia bisa menceritakan apa yang ada dalam dirinya baik dia dapatkan dari pendengaran atau
penglihatan dan dia menceritakan kepada orang lain tanpa kesalahan atau dengan sedikit
kesalahan.

Diketahui dobt (kesempurnaan hafalan) seorang rowi dengan dua hal; keselarasannya, yaitu
selaras dengan rowi-rowi yang terkenal tsiqoh dan orang yang kuat hafalannya meskipun
hanya sesuai dengan mereka secara umum. Kemudian mendapat tazkiyah/penegasan, yaitu
dengan penegasan dari orang yang teranggap ucapannya dalam masalah ini.

Bersambung sanadnya (‫ )اتصال السند‬yaitu setiap rowi berjumpa dengan gurunya atau dari
orang yang dia mengambil riwayat darinya baik secara langsung atau statusnya berjumpa.

Adapun berjumpa secara langsung maksudnya adalah berjumpa dengan gurunya dan
mendengar dari gurunya atau melihat gurunya dan dia mengatakan, “Telah menceritakan
padaku.” (‫)حدثني‬, “Aku mendengar” (‫)سمعت‬, “Aku melihat fulan” (‫)رأيت فالن‬, dan kalimat
semacamnya.

Sedangkan statusnya berjumpa maksudnya adalah seorang rowi meriwayatkan dari orang
yang sezaman dengannya dengan menggunakan kata-kata yang mengandung kemungkinan
dia melihat atau mendengar gurunya. Misalnya dengan kata-kata, “Fulan berkata” (‫)قال فالن‬,
“Dari fulan” (‫)عن فالن‬, “Fulan melakukan” (‫ )فعل فالن‬dan yang semacam itu.

Terdapat dua pendapat:

1. Harus ada bukti, ini adalah pendapat Imam Bukhori.


2. Cukup dengan mungkin dia bertemu, ini adalah pendapat Imam Muslim*.


* Oleh karena itulah kualitas Shohih Bukhori dinilai lebih tinggi dari Shohih Muslim.

Imam Nawawi <em>rohimahullah </em>berkata tentang pendapat Imam Muslim di Syaroh


Shohih Muslim, “Pendapat Imam Muslim diingkari banyak pakar, meskipun kami tidak
menilai Imam Muslim melakukan perbuatan tersebut dalam Shohih-nya sejalan dengan
pendapat beliau ini, karena Imam Muslim mengumpulkan banyak jalur yang tidak mungkin
terwujud hukum yang dia bolehkan. Wallahu a’lam.”
Perbedaaan ini berlaku untuk rowi yang bukan mudallis (akan datang penjelasannya, insya
Allah-ed). Adapun mudallis tidaklah divonis haditsnya bersambung kecuali jika dia
menegaskan bahwa dia mendengar atau melihat secara langsung.

Tidak bersambungnya suatu sanad diketahui dengan dua cara:

1. Tarikh (sejarah), yaitu mengetahui bahwasannya guru atau orang yang diambil
riwayat darinya sudah meninggal ketika dia belum mencapai usia tamyiz yaitu usia 7
tahun*.

* Misalnya gurunya sudah meninggal ketika ia masih berumur 3 tahun, maka ini jelas
tidak bersambung.
2. Dengan penegasan seorang rowi atau salah satu dari ulama pakar hadits menegaskan
bahwasannya rowinya tidak bersambung atau fulan ini tidak mendengar ataumelihat
dari gurunya apa yang dia ceritakan.

Keganjilan (‫ )الشذوذ‬yaitu seorang rowi yang tsiqoh menyelisihi rowi yang lebih kuat darinya,
bisa dengan lebih sempurna keadilannya atau hafalannya, atau lebih jumlahnya atau lebih
bermulazamah dengan gurunya atau yang semacam itu*.

* Misalnya seorang guru memiliki dua murid. Murid yang pertama sudah mulazamah dalam
waktu berpuluh-puluh tahun. Murid yang kedua hanya lima tahun. Kemudian murid yang
kedua memberikan khobar dari gurunya yang menyelisihi murid yang pertama. Maka yang
lebih tahu maksud gurunya adalah murid yang pertama. Maka boleh jadi murid yang kedua
mendengar dari gurunya akan tetapi ia tidak paham. Maka yang lebih tsiqoh adalah murid
yang pertama.

Misalnya, hadits ‘Abdullah ibn Zaid tentang tata cara wudhu Nabi shollallahu ‘alaihi wa
sallam bahwasannnya Nabi mengusap kepalanya dengan air yang bukan sisa dari tangannya*.

* Artinya mengambil air baru untuk mengusap kepala, bukan air yang sebelumnya
digunakani untuk membasuh tangan.

Hadits ini diriwayatkan Imam Muslim dengan lafadz ini dari jalur Ibn Wahab. Dan Imam
Baihaqi meriwayatkan dari jalan Ibn Wahab juga dengan lafadz yang berbeda, yaitu
bahwasannya Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam mengambil untuk kedua telinganya air yang
bukan air yang beliau ambil untuk kepalanya*.

* Artinya mengambil air baru untuk mengusap telinga.

Maka hadits Baihaqi adalah riwayat yang ganjil (syadz) karena rowi dari Ibn Wahab memang
tsiqoh*, tapi rowi ini menyelisihi para rowi yang lebih banyak jumlahnya dari dia. Karena
hadits ini diriwayatkan sejumlah orang dari Ibnu Wahab namun dengan menggunakan lafadz
Muslim. Maka berdasar hal tersebut, riwayat Baihaqi tidak shohih meskipun perowinya
tsiqoh, yaitu karena tidak terbebas dari syadz.


* Rowi yang dipakai oleh Baihaqi yang merupakan muridnya Ibnu Wahab memang tsiqoh.
Akan tetapi rowi ini menyelisihi para rowi yang lebih banyak jumlahnya daripada dia.
‘Illat (penyakit yang membuat cacat) (‫)العلة القادحة‬, yaitu setelah diteliti ternyata jelas
diketahui ada sebab yang membuat cacat untuk diterima suatu hadits karena diketahui
ternyata hadits tersebut munqothi’ (terputus), mauquf (perkataan sahabat), atau rowinya
adalah orang fasiq, jelek hafalannya, atau ahli bid’ah* dan haditsnya mendukung
kebid’ahannya dan semacam itu.

* Ada beberapa pendapat berkaitan dengan riwayat dari ahlu bid’ah:

1. Ditolak secara mutlak


2. Diterima secara mutlak.
3. Diperinci (tafshil). Merinci dengan melihat dia mendakwahkan bid’ahnya atau tidak.
Jika jawabannya ya, maka riwayatnya tidak bisa diterima.
4. Diperinci. Melihat hadits yang diriwayatkanya. Menguatkan kebid’ahannya atau
tidak, baik dia da’i atau bukan.

Ringkasnya penjelasan di Taisir Mustholah Mahmud Thohan, persyaratan riwayat dari ahlu
bid’ah adalah :

1. Bukan da’i
2. Bukan hadits yang mendukung bid’ah yang dia miliki.

Maka, hadits tersebut tidak dihukumi sebagai shohih karena tidak selamat dari penyakit yang
membuat cacat1*. Contohnya hadits Ibnu ‘Umar rodhiallahu’anhu dari Nabi shollallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,

“Perempuan yang haidh dan orang yang junub tidak boleh membaca sedikitpun ayat Al
Qur’an.”


* Ini adalah termasuk ilmu hadits yang berat, yaitu tentang masalah ilmu al illal. Terutama
jika illalnya adalah masalah yang samar.

Hadits ini diriwayatkan Tirmidzi, dan Imam Tirmidizi mengatakan kami tidak mengenal
hadits ini kecuali dari hadits Isma’il ibn ‘Iyas dari Musa ibn ‘Uqbah*.


* Artinya hadits ini termasuk hadits ghorib (yaitu punya satu jalur saja).

Maka dari sanad yang tampak adalah shohih, akan tetapi hadits ini memiliki cacat, riwayat
Isma’il ibn ‘Iyas dari orang-orang Hijaz adalah dho’if. Jika gurunya adalah orang Hijaz maka
haditsnya adalah dho’if dan hadits ini adalah yang termasuk dia dapatkan dari Hijaz**. Maka
hadits ini tidak shohih karena tidak terbebas dari penyakit yang membuat cacat.


** Artinya Musa ibn ‘Uqbah adalah dari Hijaz.

Jika penyakitnya tidak membuat cacat, maka tidak menghalangi hadits tersebut untuk dinilai
shohih atau hasan. Contohnya hadits dari sahabat Abu Ayyub Al Anshori rodhiallahu’anhu
dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ ثم أتبعه ستا من شوال كان كصيام الدهر‬،‫من صام رمضان‬

“Barangsiapa berpuasa Romadhon, kemudian diikuti dengan 6 hari di bulan Syawal, maka
ia seakan-akan puasa dahr (puasa setiap hari, seandainya puasa dahr itu dibolehkan).*”

* Ini adalah termasuk pengandaian. Karena ulama berselisih pendapat tentang puasa dahr.
Sebagian ulama melarangnya. Dan itulah pendapat yang lebih rojih karena ada hadits tentang
hal ini,“Siapa yang puasa setiap hari tidak akan dinilai orang yang berpuasa dan juga tidak
dinilai sebagai orang yang tidak puasa”. Jadi, dari hadits tersebut tidak menunjukkan
bolehnya puasa dahr, namun hanya sebagai pengandaian.

Hadits ini diriwayatkan Imam Muslim dari jalan Sa’ad ibn Sa’id, dan pada hadits ini terdapat
‘illat dengan sebab rowi ini, yaitu Sa’ad ibn Sa’id karena Imam Ahmad mendho’ifkannya.
‘Illat ini tidak membuat cacat, karena sebagian ulama menshohihkannya, dan dia memiliki
hadits penguat (muttabi‘)*. Imam Muslim menyampaikan hadits ini dalam Shohih-nya
menunjukkan keshohihan menurut Muslim, dan ‘illatnya tidak membuat cacat.

* Hadits muttabi’ (penguat) adalah jika rowi hadits tersebut dari sahabat yang sama.
Sedangkan hadits syawahid, jika sumbernya beda.

Dikumpulkannya Dua Hukum, yaitu Penilaian Shohih dan Hasan dalam Satu Hadits

Di depan telah kita bahas bahwa hadits shohih adalah satu bagian dari hadits yang berbeda
dengan hadits hasan. Maka keduanya adalah dua hal yang berbeda.

Akan tetapi sering kita dapatkan, terkadang suatu hadits diberi nilai hadits hasan shohih.
Maka bagaimana menyesuaikan dua penilaian ini padahal ada perbedaan di antara keduanya?

Kami katakan (penulis kitab ed), “Jika hadits tersebut memiliki dua jalur, maka maksud
hadits tersebut bahwa salah satu jalannya shohih dan jalur yang kedua adalah hasan. Maka
dikumpulkan antara dua sifat ini dengan melihat jalurnya*. Adapun jika hadits tersebut hanya
memiliki satu jalan, maka maknanya adalah ulama tersebut ragu-ragu, apakah sudah
mencapai derajat shohih atau derajat hasan**.”


* Dimaknai hadits shohih wa hasan (shohih dan hasan). Artinya, hasan untuk jalur ini dan
shohih untuk hadits yang satunya lagi.

** Dimaknai hadits shohih aw hasan (shohih atau hasan). Misalnya dalam hadits ghorib. Jadi
ragu-ragu antara hadits ini hasan atau shohih. Adapun kalimat (‫“ )ألصح قى هذا الباب‬Hadits ini
adalah hadits yang paling shohih dalam bab ini”, maka ini bukanlah menilai bahwa hadits
tersebut shohih tapi maksudnya hadits tersebut yang paling sedikit cacatnya. Bisa jadi
haditsnya dho’if. Namun hadits dho’if lainnya banyak dan yang paling ringan cacatnya
adalah hadits tersebut.

You might also like