You are on page 1of 6

BOOK REVIEW

LANDREFORM DAN GERAKAN PROTES PETANI KLATEN 1959-1965

Disajikan untuk memenuhi tugas


Mata Kuliah Sejarah Lokal

Disusun oleh:

Robithoh Islami 120610028

Idhofah Fauzi 120610199

DEPARTEMEN ILMU SEJARAH


FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABABYA
2009
Pendahuluan

Sejarah agraria merupakan salah satu bagian dari studi sejarah


yang menarik dan sering menjadi ladang penelitian banyaj peneliti baik
dari dalam maupun luar negri. Masyarakat pedesaan yang menjadi obyek
kajian sejarah agraria ini tidak lepas dari struktur-struktur yang melingkupi
kehidupannya. Oleh karena itu studi sejarah agraria tidak bisa lepas dari
unsure-unsur social masyarakat pedesaan tersebut.

Studi tentang sejarah agraria banyak sekali mewarnai khasanah


intelektualitas sejarah di Indonesia, baik itu dilakukan oleh sejarawan local
maupun luar negeri, tentunya dengan perspektif yang berbeda-beda. Hal
ini seiring dengan karakteristik studi sejarah itu sendiri bahwa studi
sejarah tidak berhenti terhadap satu perspektif saja, namun terbuka untuk
perspektif-perspektif baru sesuai dengan sumber-sumber dan bukti-bukti
baru yang kredibel. Studi sejarah agraria tentunya bersifat demikian,
sebagaimana disinggung diatas bahwa obyak studi agraria bukan hanya
mengenai system penguasaan, pengelolaan, pemanfaatan tanah saja,
melainkan juga lingkup-lingkup social masyarakat pendukung kehidupan
agraris tersebut menjadi salah satu variable penelitian yang tidak bisa
dikesampingkan. Misal stuktur social masyarakat agraris, pola
kepemimpinan, adat dan tradisi, agama dan kepercayaan, serta factor-
faktor politik.

Buku yang berjudul Landreform dan Gerakan Protes Petani Klaten


1959-1965 karya Soegijanto Padmo ini merupakan salah satu karya
sejarah yang komprehensif yang berbicara tentang masalah-masalah
ekonomi agraris yang dihubungkan dengan masalah-masalah social,
dalam kasus ini adalah gerakan social petani menentang ketidakadilan
dalam bidang ekonomi yang menimpa mereka. Buku ini merupakan hasil
penelitian studi tentang suatu peristiwa (case study) yang terjadi di daerah
Klaten. Scope temporalnya adalah antara tahun1959 sampai dengan
1965. Diakui penulis buku ini bahwa studi tentang masalah konflik di
daerah pedesaan telah banyak digarap oleh banyak ahli. Misal Margo
Lyon tentang pelaksanaan Landreform di Indonesia, dengan
menitikberatkan perhatiannya pada konflik social politik yang berhubungan
dengan Landreform. Sementara Rex Mortimer meneliti tentang peranan
PKI di dalam konflik social yang terjadi di Indonesia. Penelitian Mortimer
ini dianggap PKI-sentris karena sebagian besar sumber yang digunakan
terdiri dari penerbitan PKI.

Studi tentang kawasan Klaten pun tidak luput dari perhatian


peneliti. N.Daldjoeni meneliti tentang kepadatan penduduk dan involusi
pertanian. Sementara Bintarto lebih banyak melihat kepadatan penduduk
dengan akibat-akibat yang ditimbulkannya tehadap masalah-masalah
social.

Berbekal penelitian sebelumnya tersebut peneliti tentunya telah


mengantongi celah-celah yang belum tersentuh dalam penelitian
sebelumnya. Terlebih studi sejarah mempunyai kekhasan sendiri terhadap
suatu obyek kajiannya. Dalam penelitian tentang gerakan social
masyarakat pedesaan khususnya petani, Sartono Kartodirdjo memberikan
batasan bahwa ada tiga jenis gerakan, pertama, gerakan protes yang
menentang pemaksaan baik dari tuan tanah maupun pemerintah, kedua
gerakan yang menginginkan terciptanya dunia baru yang adil, dan ketiga,
gerakan yang ingin membangkitkan kejayaan atau kesentausaan jaman
lampau (Kartodirdjo, 1973). Bertolak dari jenis gerakan tersebut maka
gerakan petani dalam penelitian ini termasuk jenis yang pertama.

Kondisi wilayah Klaten

Wilayah Klaten merupakan wilayah yang subur, lumbung padi jawa


Tengah. Wilayah barat laut wilayah klaten ini merupakan daerah tanah
tegalan sedangkan wilayah selatan merupakan daerah tanah sawah.
Wilayah klaten memiliki kepadatan penduduk yang tinggi dibandingkan
dengan wilayah-wilayah lainnya di karesidenan Surakarta. Kepadatan
penduduk tersebut diakibatkan sedikitnya angka penduduk yang
merimigrasi ke luar kota. Mereka kebanyakan menetap dalam wilayah
Klaten dengan berprofesi sebagai petani mencapai 60 %. Sedangkan luas
area sawah di wilayah ini sendiri mencapai 57,17 % dari jumlah
keseluruhan luas wiayah Klaten. Dari 60 persen petani tersebut 41,8
persen merupakan petani yang mempunyai tanah (pemilik tanah).
Sedangkan 58,2 persen tidak mempunyai tanah. Dari keseluruhan jumlah
petani yang tidak mempunyai tanah tersebut hanya 36 persen yang
berhasil menjadi penyewa atau penggarap tanah. Dengan demikian
sebagian besar petani tidak mempunyai kejelasan pekerjaan, sehingga
mungkin menjadi buruh tani tidak tetap.

Fenomena demikian tak pelak merupakan konsekuensi system


feudal yang masih dipegang oleh masyarakat agraris. Stratifikasi social
berdasarkan penguasaan tanah seperti ini menjadikan mobilisasi social
terjadi lambat sifatnya vertical. Mobilitas vertical merupakan salah satu
gejala yang menunjukkan adanya dinamika social di dalam masyarakat
pedesaan. Gejala lain yang sering tampak sebagai dinamika social adalah
proses agricultural ladder. Yakni suatu proses pemelaratan yang terus
menerus.

Kondisi politik wilayah Klaten dikuasai oleh PKI. Klaten menjadi


basis PKI karena merupakan wilayah pertanian yang potensial. Selain itu
partai politik lainnya yang berkembang di Klaten adalah PNI dan Masyumi,
serta partai politik lainnya.

Persoalan mulai muncul ketika sistem-sistem baru yang


menggantikan sistem-sistem adat tidak mampu berkolaborasi dengan
masyarakat dan menimbulkan gejolak di dalam masyarakat pedesaan
tersebut. System baru tersebut ada kalanya berbentuk undang-undang,
peraturan pemerintah, ketentuan-ketentuan dan lain sebagainya, yang
pada intinya dimaksudkan untuk memudahkan masyarakat didalam
menjalin hubungan dengan masyarakat lainnya dalam urusan social dan
ekonomi. Namun dalam prakteknya niat baik tersebut tidak sesuai dengan
harapan.

Menarik apabila kita lihat kebelakang bahwa Klaten merupakan


wilayah karesidenan Surakarta. Yang mana daerah bekas Kasunanan
Surakarta merupakan lingkungan Hukum Adat. Secara kronologis
perkembangan hak atas tanah di daerah Vorstenlanden dapat dibagi
menjadi tiga periode: 1) Masa “Apanage Stelsel” sampai masa
“Reorganisasi Kompleks pada tahun 1917”. 2) Masa setelah
“Reorganisasi Komplek” sampai masa “Rijksbladen tahun 1938”. 3) Masa
setelah “Rijksbladen tahun 1938” sampai masa “Lahirnya Undang-Undang
Pokok Agraria” yang selanjutnya disingkat UUPA-pada 1960 (Arthy
Soedjono:1969). Adanya perkembangan hak atas tanah ini
mengakibatkan perubahan pola penguasaan tanah masyarakat.

Metode Penelitian Sejarah

Soegijanto Padmo dengan baik meramu data-data mengenai


pemilik lahan serta jumlah petani, sehingga kita diyakinkan dengan data
tersebut. Termasuk juga penjelasan mengenai faktor-faktor kehidupan
ekonomi pedesaan. Sebelum menjelaskan topic utama dalam penelitian
ini yaitu masalah Landreform dan gerakan protes petani, peneliti terlebih
dahulu mengungkap segi-segi penguasaan tanah, termasuk undang-
undangnya, kemudian persoalan distribusi lahan tanag terhadap petani,
termasuk juga lembaga-lembaga penunjang misalnya lembaga gadai,
sewa dan lain sebagainya. Tentunya dengan paparan data-data tersebut
pembaca dapat mengetahui latar belakang kondisi masyarakat Klaten
sebelum masuk kepada persolan gerakan protes tersebut.

Penulisan sejarah, apapun bentuknya, terdapat hal-hal yang secara


metodologis maupun teoretis yang menarik untuk kita simak. Penulis
dalam melakukan penelitian ini menggunakan sumber-sumber primer
berupa surat kabar, dokumen, dan sumber lisan. Sumber sekunder
diperoleh dari hasil penelitian sebelumnya. Yang menarik disimak disini
adalah bahwa dalam meneliti sejarah diperlukan keterampilan khusus,
serta trik-trik yang harus dimiliki seorang peneliti. Dalam mencari data dari
sumber lisan penulis tidak segan-segan untuk melakukan pendekatan
cultural terhadap narasumbernya disamping pendekatan structural, atau
kombinasi antara kedua pendekatan tersebut. Hal ini diperlukan untuk
menyesuaikan dengan situasi dan kondisi sumber sejarah, terutama
sumber lisan. Pendekatan secara cultural atau pendekatan emosional
merupakan metode yang tidak diajarkan didalam kelas perkuliahan,
namun dapat kita pelajari di lapangan, atau kita ,mempelajarinya dari
pengalaman peneliti lain, misal apa yang telah dilakukan Soegijanto dalam
penelitian ini. Beliau tidak segan-segan untuk membangun keakraban
dengan narasumber meskipun dengan sebatang rokok. Sekali lagi,
penelitian sejarah adalah keterampilan mencari sumber.

You might also like