You are on page 1of 2

III.

Peptida

Peptida telah mendapat perhatian biomedis yang luar biasa, khususnya dalam bidang
endokrinologi. Banyak hormon penting merupakan senyawa peptida dan dapat diberikan kepada
pasien untuk memperbaiki status defisiensi yang sesuai (misal, pemberian preparat insulin
kepada pasien diabetes melitus). Beberapa peptida bekerja dalam sistem saraf sebagai
neurotransmitter atau neuromodulator. Preparat peptida mikrosistin dan modularin yang
dihasilkan oleh sianobakteri bersifat mematikan jika diberikan dalam jumlah besar, dan
pemberiannya dalam jumlah kecil akan mendorong pembentukan tumor hepar.

Preparat dipeptida aspartam digunakan sebagai bahan pemanis dalam banyak produk
minuman. Sintesis kimiawi yang cepat dan teknologi DNA rekombinan telah memperlancar
pembuatan hormon peptida dalam jumlah besar, dan banyak di antara hormon-hormon peptida
ini terdapat dalam tubuh dengan kadar relatif sangat sedikit sehingga sulit diisolasi dalam jumlah
cukup untuk terapi. Teknologi yang sama juga telah memungkinkan sintesis senyawa peptida
yang lain, yang hanya tersedia di sumber-sumber alami dalam jumlah kecil untuk pembuatan
vaksin.

Berdasarkan kesepakatan, struktur atau rumus bangun peptide digambar dengan gugus
terminal amino di sisi kiri dan gugus terminal karboksil di sisi kanan. Kalau jumlah, stuktur, dan
susunan semua residu asam amino dalam sebuah polipeptida diketahui, struktur primer
polipeptida tersebut sudah jelas. Asam amino yang gugus α-karboksilnya ikut terlibat dalam
pembentukan ikatan peptida disebut sebagai “residu aminoasil”. Residu ini diberi nama dengan
menggantikan akhiran –at atau –in pada asam amino bebas dengan akhiran –il. Peptida diberi
nama sebagai derivat dari residu aminoasil dengan gugus terminal karboksil. Sebagai contoh,
tetrapeptida Lys-Leu-Tyr-Gln diberi nama sebagai derivat glutamin dan disebut dengan lisil-
leusil-tirosi-glutamin. Akhiran –in pada glutamin menunjukkan bahwa gugus α-karboksilnya
tidak terlibat dalam pembentukan ikatan peptida.

Sel binatang, tumbuhan, dan bakteri mengandung sejumlah polipeptida yang mempunyai
berat molekul rendah dengan aktivitas fisiologi sangat menonjol. Beberapa polipeptida,
termasuk sebagian besar hormon polipeptida dalam tubuh mamalia, hanya mengandung satu
ikatan peptida yang terletak di antara gugus α-amino dan α-karboksil asam L- α-amino pada
protein. Meskipun demikian, asam amino tambahan atau derivat asam amino protein dapat pula
ditemukan dalam polipeptida. Polipeptida lain mengandung ikatan peptida yang tidak lazim.
Sebagai contoh, gugus terminal amino glutamat dalam glutation terikat pada sistin melalui ikatan
peptida non-α.

Ikatan peptida tidak memiliki muatan pada nilai pH berapapun dalam rentang
kepentingan fisiologis. Dengan demikian, pembentukan peptida dari asam amino pada pH 7,4
akan disertai dengan kehilangan netto satu muatan positif dan satu muatan negatif per ikatan
peptida yang terbentuk. Meskipun demikian, peptida merupakan molekul bermuatan pada pH
fisiologis yang disebabkan oleh gugus terminal karboksil serta aminonya dan oleh gugus R yang
bersifat asam atau basa.

Komposisi asam amino pada peptida yang dimurnikan ditentukan setelah dilakukan
hidrolisis asam dan diperlukan koreksi untuk hilangnya sejumlah asam amino tertentu.
Penentuan struktur primer dilakukan menggunakan teknik otomatis Edman yang dapat
menentukan rangkaian peptida murni dalam jumlah beberapa pikomol. Ikatan disulfida pertama
dioksidasi atau direduksi. Peptida berukuran besar dipecah pada tapak yang langka dengan
regensia seperti CNBr, dan peptide yang dihasilkan dimurnikan dengan filtrasi gel serta HPLC.
Peptida ini kemudian dihubungkan untuk mempercepat penentuan rangkaian.

Langkah-langkah otomatis berikutnya melibatkan reagensia dan produk kimia cair yang
mempercepat pemrolehan kembali serta pemurnian sampel. Umumnya sebanyak 40 residu
dengan gugus terminal amino dapat dirangkaikan. Untuk menentukan urutan perakitan peptida
yang sudah ditentukan rangkaiannya di dalam polipeptida asli, dilakukan penentuan rangkaian
peptida tumpang tindih lewat teknik pemecahan.

Pendekatan klasik ini telah digantikan dengan kombinasi penentuan rangkaian dan
pembuatan klon DNA, FABMS, serta sedikit penerapan teknik penentuan rangkaian Edman.
Dengan demikian penentuan rangkaian DNA dan peptida merupakan teknik penentuan rangkaian
yang komplementer, bukan teknik yang secara mutlak berdiri sendiri. Teknik-teknik otomatis
juga memungkinkan sintesis yang tidak ambigu untuk peptida dengan stuktur primer diketahui
serta aktivitas biologi penuh.

You might also like