You are on page 1of 26

Nov 11, '08 4:13 AM

STRUKTUR ILMU DALAM FILSAFAT ILMU


for everyone

BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN STRUKTUR ILMU.

“Ilmu” berasal dari bahasa ‘Arab “alima” sama dengan kata dalam bahasa Inggris “Science”
yang berasal dari bahasa Latin “Scio” atau “Scire” yang kemudian di Indonesiakan menjadi
Sains (Sidi Gazalba, Jakarta 1973. h. 54).

A. Thomson dalam Sidi Gazalba menggambarkan “Ilmu adalah pelukisan fakta-fakta


pengalaman secara lengkap dan konsisten dalam istilah-istilah yang sesederhana mungkin, .
pelukisan secara lengkap dan konsisten itu melalui tahap pembentukan definisi, melakukan
analisa, melakukan pengklassifikasian dan melakukan pengujian”(Sidi Gazalba, Jakarta 1973. h.
54-55).

Jujun S. Suriasumantri menggambarkannya dengan sangat sederhana namun penuh makna “Ilmu
adalah seluruh pengetahuan yang kita miliki dari sejak bangku SD hingga Perguruan
Tinggi”(Jujun S Suriasumantri,1990, h. 19).

Beerling, Kwee, Mooij dan Van Peursen menggambarkannya lebih luas “Ilmu timbul
berdasarkan atas hasil penyaringan, pengaturan, kuantifikasi, obyektivasi, singkatnya,
berdasarkan atas hasil pengolahan secara metodologi terhadap arus bahan-bahan pengalaman
yang dapat dikumpulkan.”(Beerling, Kwee, Mooij, Van Peursen, Yogyakarta, 1990, h. 14-15).

Sehingga dengan demikian, ilmu adalah kumpulan pengetahuan secara holistik yang tersusun
secara sistematis yang teruji secara rasional dan terbukti empiris.

Ukuran kebenaran Ilmu adalah rasionalisme dan empirisme sehingga kebenaran ilmu bersifat
Rasional dan Empiris.

Fungsi ilmu/pengetahuan ilmiah:


1. Menjelaskan
2. Meramal
3. Mengontrol

Sebagai contoh: Pengetahuan tentang kaitan antara hutan gundul dengan banjir memungkinkan
kita untuk bisa meramalkan apa yang akan terjadi sekiranya hutan-hutan terus ditebang sampai
tidak tumbuh lagi. sekiranya kita tidak menginginkan timbulnya banjir sebagaimana diramalkan
oleh penjelasan tadi maka kita harus melakukan kontrol agar hutan tidak dibiarkan menjadi
gundul. Demikian juga, jka kita mengetahui bahwa hutan-hutan tidak ditebang sekiranya ada
pengawasan, maka untuk mecegah banjir kita harus melakukan kontrol agar kegiatan
pengawasan dilakukan, agar dengan demikian hutan dibiarkan tumbuh subur dan tidak
mengakibatkan banjir.

Pengetahuan tentang kaitan antara hutan gundul dengan banjir memungkinkan kita untuk bisa
meramalkan apa yang akan terjadi dan berdasarkan ramalan tersebut kita bisa melakukan upaya
untuk mengontrol agar ramalan itu menjadi kenyataan atau tidak.

Empat jenis pola penjelasan:

 deduktif : mempergunakan cara berpikir deduktif dalam menjelaskan suatu gejala dengan
menarik kesimpulan secara logis dari premis-premis yang telah ditetapkan sebelumnya.
 probabilitas : merupakan penjelasan yang ditarik secara induktif dari sejumlah kasus
yang dengan demikian tidak memberi kepastian dimana penjelasan bersifat peluang
seperti “kemungkinan”, “kemungkinan besar”, atau “hampir dapat dipastikan”.
 fungsional/teleologis : merupakan penjelasan yang meletakkan sebuah unsur dalam
kaitannya dengan sistem secara keseluruhan yang mempunyai karakteristik atau arah
pekembangan tertentu.
 genetik : mempergunakan faktor-faktor yang timbul sebelumnya dengan menjelaskan
gejala yang muncul kemudian.

“Struktur” adalah cara bagaimana sesuatu disusun atau dibangun; susunan; bangunan
Peter R Senn dalam Ilmu Dalam Persektif (Jujun Suriasumantri) meskipun tidak secara
gamblang ia menyampaikan bahwa ilmu memiliki bangun struktur (Jujun S Suriasumantri,
Jakarta, 1981, h. 110-128)

Van Peursen menggambarkan lebih tegas bahwa “Ilmu itu bagaikan bangunan yang tersusun dari
batu bata. Batu atau unsur dasar tersebut tidak pernah langsung di dapat di alam sekitar. Lewat
observasi ilmiah batu-batu sudah dikerjakan sehingga dapat dipakai kemudian digolongkan
menurut kelompok tertentu sehingga dapat dipergunakan. Upaya ini tidak dilakukan dengan
sewenang-wenang, melainkan merupakan hasil petunjuk yang menyertai susunan limas ilmu
yang menyeluruh akan makin jelas bahwa teori secara berbeda-beda meresap sampai dasar ilmu.
Istilah yang pada ilmu pasti lama masih merujuk pada sesuatu seperti “ruang” (ruang fisis),
“garis lurus (garis lurus lintasan sinar cahaya dalam hampa udara), sekarang lebih baik diganti
dengan lambang tanpa arti seperti X, Y. Pakatan tertentu (disebut aksioma) yang sebetulnya
merupakan semacam definisi mengenai istilah-istilah itu, memberikan petunjuk bagaimana
“pengertian dasar” ini dapat dipergunakan”.(Van Peursen, Jakarta, 1989, h. 28).
Skema struktur dan proses pengetahuan ilmiah

Teori

Teori merupakan pengetahuan ilmiah yang mencakup penjelasan menjadi suatu faktor tertentu
dari sebuah disiplin keilmuan.

Misalnya : Teori ekonomi makro

Teori ekonomi mikro

Teori mekanika Newton

Teori relativitas Einstein

Tujuan akhir disiplin keilmuan adalah mengembangkan sebuah teori keilmuan yang bersifat utuh
dan konsisten.

Hukum

Hukum pada hakekatnya merupakan pernyataan yang menyatakan hubungan antara dua variable
atau lebih dalam suatu kaitan sebab akibat.

Misalnya : teori ekonomi mikro terdiri dari hukum penawaran dan permintaan.

Maka dapat disimpulkan bahwa :

Teori adalah pengetahuan ilmiah yang memberikan penjelasan tentang “mengapa” suatu gejala-
gejala terjadi sedangkan hukum adalah memberikan kemampuan kepada kita untuk meramalkan
tentang “apa” yang mungkin terjadi.
Dimana Teori dan Hukum merupakan “alat” kontrol gejala alam yang bersifat universal.

Teori-teori yang tingkat keumumannya rendah disatukan menjadi satu teori yang mampu
mengikat keseluruhan teori-teori tersebut.

Misalnya Teori yang dikemukakan oleh Ptolomeus, Copernicus, Johannes Keppler kemudian
disatukan kedalam sebuah teori yang dikemukakan oleh Newton.

Ilmu teoritis terdiri dari sebuah sistem pernyataan. Dimana beberapa ilmu teoritis ini disatukan
dalam sebuah konsep dan dinyatakan dalam sebuah teori. Makin tinggi tingkat keumuman suatu
konsep maka makin “teoritis” konsep tersebut.

Makin teoritis suatu konsep maka makin jauh pernyataan yang dikandungnya bila dikaitkan
dengan gejala-gejala fisik yang tampak nyata.

Kegunaan praktis dari sebuah konsep yang bersifat teoritis baru dapat dikembangkan sekiranya
konsep yang bersifat mendasar tersebut diterapkan pada masalah-masalah yang bersifat praktis.

Sehingga kita sering mendengar konsep dasar dan konsep terapan yang diwujudkan dalam
bentuk ilmu dasar/murni dan ilmu terapan serta penelitian dasar dan penelitian terapan.

Ragam Proposisi

Bebagai keterangan mengenai obyek sebenarnya itu dituangkan dalam pernyataan-pernyataan,


petunjuk-petunjuk atau ketentuan-ketentuan mengenai apa yang perlu berlangsung atau
sebaiknya dilakukan dalam hubungannya dengan obyek sederhana itu. Memaparkan pola-pola
dalam sekumpulan sifat, ciri, kecenderungan, atau proses lainnya dari fenomenon yang ditelaah.
Dapat dibedakan menjadi tiga ragam proposisi yaitu sebagai asas,kaidah, dan teori.

1. Asas ilmiah: suatu asas atau prinsip adalah sebuah proposisi yang mengandung
kebenaran umum berdasarkan fakta-fakta yang telah diamati.
2. Kaidah ilmiah: suatu kaidah atau hukum dalam pengetahuan ilmiah adalah sebuah
proposisi yang mengungkapkan keajegan atau hubungan tertib yang dapat diperiksa
kebenarannya diantara fenomena.

3. Teori ilmiah: suatu teori dalam scientific knowledge adalah sekumpulan proposisi yang
saling berkaitan secara logis untuk memberi penjelasan mengenai sejumlah fenomena.

Prinsip merupakan pernyatan yang berlaku secara umum bagi sekelompok gejala-gejala tertentu,
yang mampu menjelaskan kejadian yang terjadi, misalnya saja hukum sebab akibat sebuah
gejala.

Misalnya : Prinsip Ekonomi

Prinsip Kekekalan Energy

Postulat merupakan asumsi dasar yang kebenarannya kita terima tanpa dituntut pembuktian.

Kebenaran ilmiah pada hakikatnya harus disatukan lewat sebuah proses yang disebut metode
ilmiah, tapi postulat ilmiah yang ditetapkan tanpa melalui prosedur ini melainkan ditetapkan
secara begitu saja. Bila postulat dalam pengajuannya tidak memerlukan bukti tentang
kebenarannya maka hal ini berlainan dengan asumsi yang harus ditetapkan dalam sebuah
argumentasi ilmiah. Asumsi merupakan pernyataan yang kebenarannya secara empiris dapat
diuji.

Sebagai contoh umpamanya kita dapat mengambil cara orang mengemudikan mobil dijalan raya.
Sekiranya orang itu beranggapan bahwa keadaan jalan raya pada waktu pagi buta adalah aman
disebabkan karena jarangnya kenderaan yang lalu lalang, maka kemungkinan besar orang itu
akan mengendarai mobilnya secara kurang hati-hati, toh asumsinya bahawa jalanan adalah aman
bukan? Sebaliknya mungkin juga terdapat orang lain yang mempunyai pendapat yang berbeda.
Menurut penilainnya justru pada pagi butalah keadaan jalanan adalah sangat tidak aman
disebabkan banyak orang mengendarai mobil secara sembrono. Oleh sebab itu maka dia memilih
asumsinya bahwa keadaan jalan raya adalah tidak aman.Itulah sebabnya maka asumsi ini harus
dibuktikan kebenarannya sebab dengan asumsi yang tidak benar kita akan memilih cara yang
tidak benar pula.

B. PENGERTIAN ILMU TEORITIS DAN ILMU PRAKTIS

Kehidupan manusia pada dasarnya berpangkal pada sifat dasar yang berhasrat dan ingin berbuat
(to know and to do) dan pengetahuan teoretis akan memuaskan hasrat mengetahui, sedang
pengetahuan praktis dapat memenuhi keinginan berbuat. Dengan demikian, dalam konsepsi kami
ilmu akan dibedakan pertama-tama dalam dua ragam:

1. Ilmu teoritis (theoretical science)

2. Ilmu praktis (practical science)

Pembedaan antara pengetahuan teoretis dan pengetahuan praktis sudah dikenal sejak zaman
Yunani Kuno. Misalnya filsuf Aristoteles membagi kumpulan pengetahuan rasional menjadi tiga
kelompok: pengetahuan teoretis (misalnya fisika), pengetahuan praktis (misalnya etika), dan
pengetahuan produktif (misalnya retorika). Pembagian selanjutnya sebagai pelengkap pembagian
menurut ragam ialah pembagian ilmu menurut jenisnya. Ini merupakan suatu pembagian ilmu
yang memakai isi substansif itu dicerminkan oleh pokok soal atau objek material dari
pengetahuan yang bersangkutan. Oleh karena ditunjukan dan diketahui obyek material yang
ditelaah menjadi pengetahuan itu, maka dalam pembagian jenis ilmu biasanya orang dapat serta
merta mengetahui hal apa saja yang menjadi sasaran jenis-jenis ilmu yang dikemukakan,
walaupun mungkin hanya

dalam garis besarnya saja.

Penelitian murni atau penelitian dasar adalah penelitian yang bertujuan untuk menemukan
pengetahuan baru yang sebelumnya belum pernah diketahui.
Ilmu-ilmu murni kemudian berkembang menjadi ilmu-ilmu terapan, seperti contoh dibawah ini :

ILMU MURNI ILMU TERAPAN

Mekanika Mekanika Teknik

Hidrodinamika Teknik Aeronautikal /Teknik & Desain Kapal

Bunyi Teknik Akustik

Cahaya & Optik Teknik Iluminasi

Kelistrikan / Teknik Elektronik /

Magnestisme Teknik Kelistrikan

Fisika Nuklir Teknik Nuklir

Cabang utama ilmu-ilmu sosial yakni antropologi (mempelajari manusia dalam perspektif
waktu dan tempat), psikologi (mempelajari proses mental dan kelakuan manusia), ekonomi
(mempelajari manusia dalam memenuhi kebutuhannya lewat proses pertukaran), sosiologi
(mempelajari struktur organisasi sosial manusia) dan ilmu politik (mempelajari sistem dan proses
dalam kehidupan manusia berpemerintahan dan bernegara).

Cabang utama ilmu-ilniu sosial yang lainnya mempunyai cabang-cabang lagi seperti
antropologi terpecah menjadi lima yakni, arkeologi, antropologi fisik, linguistik, etnologi dan
antropologi sosial/kultural, semua itu kita golongkan ke dalam ilmu murni.

Ilmu murni merupakan kumpulan teori-teori ilmiah yang bersifat dasar dan teoritis yang
belum dikaitkan dengan masalah kehidupan yang bersifat praktis. Ilmu terapan merupakan
aplikasi ilmu murni kepada masalah-masalah kehidupan yang mempunyai manfaat praktis.

Banyak sekali konsep ilmu-ilmu sosil “murni” dapat diterapkan langsung kepada
kehidupan praktis, ekonomi umpamanya, meminjam perkataan Paul Samuelson, merupakan ilmu
yang beruntung (Fortunate) karena dapat diterapkan langsung kepada kebijaksanaan umum
(public policy).

Penelitian murni atau penelitian dasar adalah penelitian yang bertujuan untuk menemukan
pengetahuan baru yang sebelumnya belum pernah diketahui.

Penelitian terapan adalah penelitian yang bertujuan untuk mempergunakan pengetahuan ilmiah
yang telah diketahui untuk memecahkan masalah kehidupan yang bersifat praktis. Penelitian
terapan inilah yang nantinya menghasikan teknologi-teknologi.

Manusia disebut juga Homo Faber (makhluk yang membuat peralatan) disamping Homo Sapiens
(makhluk yang berpikir) yang mencerminkan kaitan antara pengetahuan yang bersifat teoritis
dengan teknologi yang bersifat praktis.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

 Struktur ilmu dalam filsafat ilmu merupakan bagian yang penting dipelajari mengingat
ilmu merupakan suatu bangunan yang tersusun bersistem dan kompleks.

 Melalui ilmu kita dapat menjelaskan, meramal dan mengontrol setiap gejala-gejala alam
yang terjadi.

 Tujuan akhir dari disiplin keilmuan yaitu mengembangkan sebuah teori keilmuan yang
bersifat utuh dan konsisten.

 Makin tinggi tingkat keumuman suatu konsep maka makin teoritis konsep tersebut.
Makin teoritis suatu konsep maka makin jauh penyataan yang dikandungnya.

 Ilmu-ilmu murni berkembang menjadi ilmu-ilmu terapan. Ilmu-ilmu terapan ini akan
melahirkan teknologi atau peralatan-peralatan yang berfungsi sebagai sarana yang
memberi kemudahan dalam kehidupan.

B. SARAN

Dengan mengetahui struktur dari ilmu ini maka dapat kita bedakan nantinya pemahaman dari
sejauh mana kajian mengenai gejala-gejala alam. Bekal ini pula yang nantinya kita pergunakan
dalam penelitian-penelitian yang akan kita lakukan. Tampaknya akal budi manusia tidak
mungkin berhenti berpikir, hasrat mengetahui ilmuan tidak dapat padam, dan keinginan berbuat
seseorang tidak bisa dihapuskan. Ini berarti perkembangbiakan pengetahuan ilmiah akan berjalan
terus dan pembagian ilmu yang sistematis perlu dari waktu ke waktu diperbaharui.

DAFTAR PUSTAKA

 Sidi Gazalba Drs,1973, Sistematika Filsafat, Buku 1, Jakarta, Bulan Bintang

 Jujun S Suriasumantri,1990, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta, Pustaka


Sinar Harapan

 Beerling, Kwee, Mooij, Van Peursen, 1990, Pengantar Filsafat Ilmu, Yogyakarta, Tiara
Wacana

 Al Rasyidin, Mardiyanto,....., Panduan Kuliah “Filsafat Ilmu”, Medan, F.T. IAIN


Sumatera Utara

 Wisma pandia, 2008, Filsafat ilmu diambil dari: www.sttip.com/modul%20filsafat


%20ilmu.pdf

http://alfaned.multiply.com/journal/item/1/STRUKTUR_ILMU_DALAM_FILSAFAT_ILMU
Rabu, 05 Mei 2010
RUANG LINGKUP DAN KEDUDUKAN FILSAFAT ILMU

RUANG LINGKUP DAN KEDUDUKAN


FILSAFAT ILMU
Oleh:
UDIN WAHYUDIN
MAHASISWA PROGRAM PASCA SARJANA (PPS) PROGRAM STUDI MANAJEMEN
PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI MANADO
A. Pendahuluan
Ruang lingkup filsafat ilmu dan bidang filsafat sebagai keseluruhan pada dasarnya men -cakup
dua pokok bahasan, yaitu pertama, membahas sifat pengetahuan ilmiah, dan kedua menelaah
cara-cara mengusahakan pengetahuan ilmiah pada pokok bahasan pertama filsafat ilmu
berhubungan erat dengan filsafat pengetahuan atau epistemologi, yang merupakan bidang kajian
filsafat yang secara umum menyelidiki syarat-syarat serta bentuk pengetahuan manusia. Pada
pokok bahasan kedua yakni terkait dengan pokok soal cara-cara mengusahakan pengetahuan
ilmiah, filsafat ilmu erat hubungannya dengan logika dan metodologi, dan dalam hal ini kadang-
kadang filsafat ilmu dijumbuhkan pengertiannya dengan metodologi. Jadi filsafat ilmu ialah
penyelidikan filosofis tentang ciri-ciri pengetahuan ilmiah dan cara-cara untuk memperolehnya.
Dengan kata lain filsafat ilmu sesungguhnya merupakan penyelididkan lanjutan.
Filsafat ilmu dikelompokkan menjadi dua yaitu :
1. Filsafat ilmu umum, yang mencakup kajian tentang persoalan kesatuan, keseragaman, serta
hubungan diantara segenap ilmu. Kajian ini terkait dengan masalah hubungan antara ilmu
dengan kenyataan, kesatuan, perjenjangan, susunan kenyataan, dan sebagainya.
2. Filsafat ilmu khusus, yaitu kajian filsafat ilmu yang membicarakan kategori-kategori serta
metode-metode yang digunakan dalam ilmu-ilmu tertentu atau dalam kelompok-kelompok ilmu
tertentu, seperti dalam kelompok ilmu alam, kelompok ilmu masyarakat, kelompok ilmu tehnik
dan sebagainya (beerling dkk, 1986: 40) dalam (filsafat ilmu sebagai dasar pengembangan ilmu
pengetahuan, 2007: 44).
Filsafat ilmu dapat pula dikelompokan berdasarkan model pendekatan, yaitu:
1. Filsafat ilmu terapan, yaitu filsafat ilmu yang mengkaji pokok pikiran kefilsafatan yang
melatarbelakangi pengetahuan normatif dunia ilmu. Pada kajian ini dunia ilmu bertemu dengan
dunia filsafat. Jadi filsafat ilmu terapan tidak bertitik tolak dari dunia filsafat melainkan dari
dunia ilmu. Dengan kata lain filsafat ilmu terapan merupakan deskripsi pengetahuan normatif.
Filsafat ilmu terapan sebagai pengetahuan normatif mencakup:
a. Pengetahuan yang berupa pola pikir hakekat keilmuan.
b. Pengetahuan mengenai model praktek ilmiah yang diturunkan dari pola pikir.
c. Pengetahuan mengenai berbagai sarana ilmiah.
d. Serangkaian nilai yang bersifat etisyang terkait dengan pola pikir dengan model praktek yang
khusus. Misal etika profesi.
Dengan filsafat ilmu terapan maka menjadi jelaslah saling hubungan antara objek-objek dengan
metode-metode, antara masalah-masalah yang hendak dipecahkan dengan tujuan penyelidikan
ilmiah, antara pendekatan secara ilmiah dengan pengolahan bahan-bahan secara ilmiah.
2. Filsafat ilmu murni, yaitu bentuk kajian filsafat ilmu yang dilakukan dengan menelaah secara
kritis dan eksploratif terhadap materi kefilsafatan, membuka cakrawala terhadap kemungkinan
berkembangnya pengetahuan normatif yang baru. Bila filsafat ilmu terapan berangkat dari ilmu
khusus menuju kajian filosofis, filsafat ilmu murni mengambil arah sebaliknya, yaitu berangkat
dari kajian filosifis terhadap asumsi-asumsi dasar yang ada dalam ilmu, misalnya terkait dengan
anggapan dasar tentang “realitas” dalam ilmu-ilmu khusus dan konsekuensinya pada pemahaman
terhadap “realitas” secara keseluruhan.
B. Hubungan filsafat ilmu dengan epistemologi
Filsafat ilmu secara sistematis merupakan cabang dari rumpun kajian epistemologi. Epistemologi
sendiri mempunyai dua cabang yaitu filsafat pengetahuan (theories of knowledge) dan filsafat
ilmu (theory of science). Objek material filsafat pengetahuan yaitu gejala pengetahuan, sedang
objek material filsafat ilmu yaitu mempelajari gejala-gejala ilmu menurut sebab terpokok. Dalam
epistemologi yang dibahas adalah objek pengetahuan, sumber dan alat untuk memperoleh alat
pengetahuan, kesadaran dan metode, validitas pengetahuan, dan kebenaran pengetahuan (Verhak
dan Haryono, 1989: 3). Dalam (Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, 2007: 46).
Ilmu merupakan pengetahuan yang diatur secara sistematis dan langkah-langkah pencapaiannya
dipertanggungjawabkan secara teoritis. Filsafat pengetahuan memeriksa sebab-musabab
pengetahuan dengan bertitik tolak pada gejala pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari. Filsafat
pengetahuan menggali kebenaran, kapasitas dan tahap-tahapnya, objektivitasnya, abstraksi,
intuisi, asal pengetahuan dan arah pengetahuan. Yang membedakan ilmu dari pengetahuan
adalah metode ilmiah. (Verhak dan Haryono, 1989: 3). Dalam (Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas
Filsafat UGM, 2007: 46) (Verhak dan Haryono, 1989: 12). Dalam (Tim Dosen Filsafat Ilmu
Fakultas Filsafat UGM, 2007: 46).
Epistemologi akan menunjukkan asumsi dasar ilmu, agar penelaahan filsafat ilmu tidak terpaku
pada ragam objek material ilmu. Pertanyaan dari ontologi “apakah karakter pengetahuan kita
tentang dunia?” Pertanyaan ontologi dan epistemologi tidak dijawab dengan penyelidikan
empiris yang terkait dengannya. Pertanyaan filsafat dipecahkan bukan dengan penyelidikan
empiris, tetapi dipecahkan dengan penalaran. Dengan bantuan telaah epistemologi maka akan
didapat pemahaman hakiki tentang karakter dari objek ilmu. Misal: terdapat karakter yang
berbeda antara ilmu-ilmu alam dan ilmu sosial humaniora dalam hal objek material, yakni bahwa
ilmu alam memiliki karakter objek yang deterministik, sedangkan ilmu sosial-humaniora
memiliki karakter objek yang indeterministik dan penuh motivasi.
Munculnya persoalan epistemologi bukan mengenai suatu prosedur penyelidikan ilmiah, tetapi
dengan mempertanyakan: “mengapa prosedur ini dan bukan yang lain?”, “apa jaminannya, bila
ada, metode itu membuktikan yang lainnyakah?”. Dalam konteks ilmu sosial, filsafat
mempertanyakan metode dan prosedur yang dipergunakan peneliti sosial dari disiplin sosial
apapun yang membuat mereka superior (dan memberi mereka otoritas intelektual terbesar). Apa
dasar klaim otoritas intelektualnya?.
Relevansi problem filsafat muncul dari fakta bahwa setiap perangkat riset atau prosedur tidak
dapat diterangkan dengan memisahkan pandangan khusus tentang dunia. Tidak ada tehnik atau
metode penyelidikan ilmiah yang memperkokoh dirinya sendiri. Berbagai status instrumen riset
pada dasarnya tergantung pada jastifikasi epistemologis. Instrumen riset tidak dapat dipisahkan
dari teori, sebagai peralatan riset, mereka bekerja hanya bersama-sama dengan asumsi-asumsi
tentang hakekat dunia fisik, masyarakat, keberadaan manusia, dan bagaimana mereka
mengetahuinya.
Ilmu alam, terkait secara pokok dalam term-term positivistik, mempelajari sesuatu yang objektif,
tidak hidup, dunia fisik. Masyarakat, hasil akal manusia, adalah subyektif, emotif sebaik
intelektual. Apa yang kita tunjuk sebagai causal, mekanistik dan pengukuran berorientasikan
model eksplanasi adalah tidak memadai, karena kesadaran manusia tidak ditentukan oleh
kekuatan alam. Tingkah laku masyarakat manusia adalah selalu mengandung nilai, dan
pengetahuan reliabel tentang kebudayaan hanya dapat digapai dengan cara mengisolasi ide-ide
umum, opini, atau tujuan khusus sejarah masyarakat. Itu membuat tindakan sosial adalah penuh
makna subyektif.
Toulmin dalam (Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, 2007: 47). Mengatakan bahwa
epistemologi tidak berakar pada periode pemikiran, tidak terkait pada prosedur praktis dan
problem-problem yang secara historis berkaitan dengan disiplin. Misal: debat metodologis ilmu
sosial tidak dapat dipahami secara bebas dari tempat budaya yang lebih luas dari penemuan-
penemuan yang dihasilkan oleh riset awal yang didasarkan pada asumsi epistemologis yang
berbeda, yaitu seperti pada ilmu alam
Alat untuk memperoleh ilmu pengetahuan sangat tergantung dari asumsi terhadap objek.
Demikian juga telaah dalam filsafat ilmu, sarana dan alat untuk memproses ilmu harus selaras
atau konsisten dengan karakter objek material ilmu. Disini timbul perbedaan paradigma yang
disebabkan oleh karakter objek yang berbeda. Misal antara ilmu alam dan ilmu sosial-humaniora
terdapat perbedaan metode dan sarana yang dipakai.
Adapun validitas/keabsahan yang merupakan bukti bahwa suatu ilmu adalah benar secara
epistemologis bukanlah sesuatu yang didatangkan dari luar, melainkan ia adalah hasil atau
konsekuensi dari metode penyelidikan dan hasil penyelidikan. Oleh karena itu masalah validitas
apakah ukurannya cocok (realiable) atau tidak itu tergantung pada metode dan karakter objek.
Sehingga jenis ilmu yang satu dan lainnya tidak sama. Dengan kata lain kita tidak bisa menguji
metode dan hasil ilmu yang satu dari teropong ilmu lainnya. Misal: ilmu-ilmu empiris validitas
untuk produk ilmunya harus-lah empiristis (Hindes Barry, 1977: 5-6) dalam (Tim Dosen Filsafat
Ilmu Fakultas Filsafat UGM, 2007: 48).
1. Asumsi beberapa jenis objek ilmu
Dewasa ini kita sudah memasuki masa spesialisasi ilmu, kita hanya tahu masing-masing
metodologi ilmu kejuruan. Namun kita juga harus mempunyai wawasan yang luas tentang
metodologi ilmu-ilmu pada umumnya, yang didalamnya dijabarkan perbedaan-perbedaan yang
terdapat diantara masing-masing ilmu. Dalam khasanah filsafat ilmu, kita banyak mengenal
bentuk ilmu, jenis ilmu, dan paradigma ilmu. Dari berbagai bentuk, jenis dan paradigma ilmu
tersebut maka kita dapat memperoleh gambaran adanya ragam, tingkat dan aliran ilmu.
a. Ilmu alam dan empiris
Ilmu empiris berpandangan sebagai berikut: ilmu mempelajari objek-objek empiris di alam
semesta ini. Ilmu mempelajari berbagai gejala dan peristiwa yang menurut anggapannya
mempunyai manfaat bagi kehidupan manusia. Jadi berdasarkan objek telaahnya maka ilmu dapat
disebut sebagai suatu pengetahuan empiris. Ilmu membatasi diri hanya pada kejadian yang
bersifat empiris, dimana objek-objek yang berada di luar jangkauan pengalaman manusia tidak
termasuk bidang penelaahan ilmu (Yuyun, 1981: 6) dalam (Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas
Filsafat UGM, 2007: 48).
Ilmu empiris mempunyai beberapa asumsi mengenai objek (empiris), antara lain:
(1) Menganggap objek-objek tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain, yaitu dalam hal:
bentuk, struktur, dan sifat, sehingga ilmu tidak bicara mengenai kasus individual, melainkan
suatu kelas tertentu.
(2) Menganggap bahwa suatu benda tidak mungkin mengalami perubahan dalam jangka waktu
tertentu. Kelestarian relatif dalam jangka waktu tertentu ini memungkinkan kita untuk
melakukan pendekatan keilmuan terhadap objek yang sedang diselidiki.
(3) Menganggap tiap gejala bukan merupakan suatu kejadian yang bersifat kebetulan, tiap gejala
mempunyai pola tertentu yang bersifat tetap dengan urutan-urutan kejadian yang sama (Paul
Niddich dalam Yuyun S, 1981: 7-9) yang dikutif dari
(Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, 2007: 48).
Namun ilmu tidak menuntut adanya hubungan kausalitas yang mutlak, sehingga kejadian tertentu
harus diikuti oleh kejadian yang lain, melainkan bahwa suatu kejadian mempunyai kemungkinan
atau (peluang) besar untuk mengakibatkan terjadinyakejadian lain. Ilmu tentang objek empiris
pada dasarnya merupakan abstraksi yang disederhanakan, hal itu perlu, sebab kejadian alam
sangat komplek.
Kegiatan yang dilakukan dalam ilmu alam tidak merupakan objek penelitian ilmu alam, sebab
praktek ilmu alam merupakan suatu aktifitas manusiawi yang khas. Manusia memang dapat
terlibat sebagai subjek dan sebagai objek, dengan kata lain manusia adalah yang mempraktekkan
dan diprakteki.
b. Ilmu abstrak
Ilmu formal seperti halnya matematika, logika, filsafat, dan statistika adalah jenis ilmu yang
berfungsi sebagai penopang tegaknya ilmu-ilmu lainnya. Ilmu yang tergolong formal pada
umumnya berasumsi bahwa objek ilmu adalah bersifat abstrak, tidak kasat mata, dan tidak terikat
oleh ruang dan waktu. Objek dapat berupa konsep dan bilangan, ia berada dalam pemikiran
manusia.
c. Ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan
Ilmu kemanusiaan mencakup juga ilmu-ilmu sosial, ia merupakan ilmu empiris yang yang
mempelajari manusia dalam segala aspek hidupnya, ciri khasnya, tingkah lakunya baik
perseorangan maupun bersama, dalam lingkup kecil maupun besar.
Objek material ilmu sosial adalah lain sama sekali dengan objek material dalam ilmu alam yang
bersifat deterministik. Objek material dalam ilmu sosial adalah berupa suatu tingkah laku dalam
tindakan yang khas manusia, ia bersifat bebas dan tidak bersifat deterministik, ia mengandung:
pilihan, tanggung jawab, makna, pengertian, pernyataan privat dan internal, konvensi, aturan,
motif dan sebagainya, oleh karena itu tidak cocok apabila diterapi dengan predikat “sebab-
akibat”.
Konsekuensi epistemologis dari perdebatan tersebut diawali dengan tidak memadainya
metodologi ilmu alam untuk memahami fenomena manusia kecuali sebagai objek alamiah. Kerja
dari penelitian empiris adalah untuk menemukan secara persis pola yang menghubungkan antara
aturan-aturan, motif, situasi, hubungan sosial dan tingkah laku, dan memformulasikannya
sebagai pembawa keteraturan. Tentu saja data mentah sebagai realitas sosial objektif mempunyai
status subjektif, karena terkait dengan nilai-nilai, kepercayaan, ideologi. Lantas apakah ilmu
sosial dapat digolongkan sebagai ilmu yang subjektif?, padahal semua ilmu mengklaim dirinya
menafsirkan data secara objektif.
Ilmu berbeda-beda terutama tidak karena objek material berbeda, tetapi khususnya karena
mereka berbeda menurut objek formal. Objek ilmu kemanusiaan yaitu manusia sebagai
keseluruhan. Ia melampaui status objek benda-benda disekitarnya. Peneliti dalam penelitian ilmu
sosial juga berada pada taraf yang sama sebagai objek. Perbedaan tersebut juga menimbulkan
perbedaan pendekatan, dimana dalam rangka cara berpikir ilmu-ilmu alam adalah univok,
sedangkan dalam rangka ilmu-ilmu sosial maka cara berpikirnya analog: setiap lingkungan
masyarakat “sama” namun dalam “kesamaannya” itu juga berbeda. Karena ciri khas di atas,
maka ilmu-ilmu kemanusiaan harus menggunakan titik pangkal dan kriterium kebenaran yang
berbeda dari ilmu-ilmu lainnya. Titik pangkal berbeda karena peneliti tidak lagi berada di luar
objek penelitian, dengan kata lain subjek terlibat dalam penelitian tentang sesamanya (Veuger
dan Haryono, 1989: 70) dalam (Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, 2007: 50).
Dalam ilmu manusia kita menghadapi keadaan bahwa praktek ilmiah sebagai aktivitas
manusiawi merupakan juga objek penelitian ilmu manusia. Misal: merupakan objek psikologi,
karena praktek ilmiah merupakan kegiatan psikis; merupakan aspek sosiologi, karena praktek
ilmiah merupakan kegiatan sosial; objek ilmu sejarah, karena praktek ilmiah merupakan kegiatan
historis.
Dalam ilmu kemanusiaan, manusia dari dalam terlibat dalam aktivitas-aktivitasnya sendiri. Hal
itu merupakan sumber informasi tentang motivasi intern manusia. Namun hal itu sekaligus
membuat menipu kita, kecuali kalau ia kritis.
d. Ilmu sejarah
Ciri ilmu sejarah dibandingkan dengan ilmu empiris lainnya yaitu sifat objek materialnya, yaitu
data-data peninggalan masa lampau baik berupa kesaksian, alat-alat, makam, rumah, tulisan,
karya seni. Semuanya itu mirip dengan objek material ilmu kealaman, karena sama-sama sebagai
benda mati. Namun objek ilmu sejarah tidak dapat dikenai eksperimen karena menyangkut masa
lampau dan tidak dapat dibalikkan lagi. Sering peninggalan sejarah tertelan oleh masa, terlindung
dan merupakan saksi bisu, bahkan sering hilang. Karena sering banyak hal yang mempengaruhi
kemurnian objek manusiawi berkaitan dengan sikap menilai dari subjek penelitian, maka
objektivitas ilmu sejarah sebagai ilmu kemanusiaan menjadi problem dalam menentukan patokan
objektivitas.
2. Taraf-taraf kepastian subjektivitas dan objektivitas ilmu
a. Evidensi
Evidensi objek pengetahuan berkenaan dengan taraf kepastian kepastian pengetahuan yang dapat
dicapai subjek dalam ilmu-ilmu terjadi berdasarkan evidensi objek yang dikenal. Evidensi dan
kepastian itu perlu dilihat dari sudut kesatuan asli subjek dan objek dalam gejala pengetahuan
manusia pada umumnya. Misal: dalam filsafat, evidensi objek bersangkutan dialami subjek
dengan cara mendalam. Dengan demikian mutu kepastian adalah meyakinkan dan paling tinggi,
paling bebas, sekaligus paling pribadi.
a.1. Dalam ilmu-ilmu empiris
Semua ilmu empiris, termasuk ilmu-ilmu kemanusiaan mengejar kepastian. Namun taraf
kepastian konkret dalam ilmu-ilmu empiris bersifat bebas. Artinya tidak pernah ada paksaan
pada akal agar sesuatu disetujui. Dengan kata lain evidensi dalam ilmu-ilmu empiris selalu
bersifat nisbi, sehingga perlu disetujui berdasarkan pilihan bebas tanpa paksaan.
Makin dekat bidang ilmu tertentu pada pengalaman manusia seutuhnya, maka makin besar
kesatuan subjek-objek, sehingga makin kurang pula peran subjek dalam kesatuan itu. Jadi
evidensi dan kepastian diwarnai subjektivitas yang membangun. Misal: dalam filsafat dan
humaniora.
Makin jauh bidang ilmu tertentu dari pengalaman manusia seutuhnya, maka makin kurang
kesatuan subjek objek, sehinga makin kurang pula peran subjek dalam kesatuan itu. Jadi evidensi
dan kepastian lebih diwarnai oleh objektivitas (di luar pengalaman subjektif). Misal: dalam ilmu
alam.
a.2. Dalam ilmu-ilmu pasti
Dalam context of discovery sebagaimana ilmu yang lain memang ilmu pastipun masih dalam
taraf coba-coba. Sedangkan dalam context of justification, maka tidak ada hipotesa lagi,
melainkan ungkapan-ungkapan yang bersifat aksiomatis dan dalil-dalil.
Ia berlaku tanpa terikat ruang dan waktu. Memang ilmu-ilmu pasti tidak bersifat empiris,
sehingga sifat evidensinya bersifat mutlak.
Sekali seorang ilmuwan memilih sistem tertentu maka ia sudah tidak bebas lagi untuk
meragukan atau menolak hasil sistem ilmu yang bersangkutan (Verhak, 1989: 116) dalam (Tim
Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, 2007: 52).
Ilmu alam agak jauh dari pengalaman konkrit, sebab sifatnya eksak. Tidak saja keeksakan dalam
konsep-konsepnya. Konsep dalam ilmu alam jauh dari pengalaman yang terbuka (bersifat
eksklusif). Isi konsep dan isi observasi berkaitan secara univok. Konsep-konsep yang dipakai
dalam ilmu alam agak jauh dari data-data dri pengalaman yangterbuka bagi setiap orang,
sehingga ilmu alam sukar untuk dimengerti bagi orang yang bukan ahli. Lagi pula ilmu alam
dalam dalam menyelididki realitas jasmani terus-menerus memperluas sarana observasinya,
sehingga peran indera berkurang. Contoh: melihat data cukup dengan membaca petunjuk grafik,
jarum.
b. Objektivitas
Ilmu dikatakan objektif karena ilmu mendekati fakta-faktanya secara metodis, artinya menurut
cara penelitian yang dikembangkan oleh subjek yang mengenal. Misal: ilmu alam berhasil
menyalurkan pengaruh subjektif, sehingga terbentuk ilmu yang benar-benar intersubjektif.
Kesulitan khusus bagi ilmu-ilmu manusia yaitu bahwa ilmu-ilmu itu dalam praktek tidak dapat
melakukan eksperimen secara netral. Misal: tidak bisa menguji coba terlebih dahulu pelbagai
bentuk sosial. Walaupun pengalaman eksperimental dalam ilmu-ilmu manusia diperlukan, maka
hal yang memungkinkan yaitu arah menuju kemanusiaan yang lebih baik serta utuh (Van
Peursen, 1986: 64) dalam (Tim dosen filsafat ilmu Fakultas Filsafat UGM, 2007: 52).
Objektivitas ilmu alam adalah objektivitas yang menyangkut apa yang diberikan sebagai objek.
Ojek tidak mesti berupa suatu benda, tetapi objek itu merupakan sesuatu yang tampak bagi
indera manusia (panca indera).
Ilmu alam maupun ilmu sosial adalah non-refleksif sejauh tidak mampu menjawab pertanyaan-
pertanyaan mengenai kodratnya sendiri sebagai ilmu dengan mempergunakan sarana-sarana
teoritis dan eksperimentalnya.
B. Hubungan Filsafat Ilmu dengan Cabang Filsafat Lain
Filsafat ilmu bersinggungan dengan bagian-bagian filsafat sistematik lainnya, seperti ontologi
(ciri-ciri susunan kenyataan), filsafat pengetahuan (hakekat serta otensitas pengetahuan), logika
(penyimpulan yang benar), metodologi (konsep metode), dan filsafat kesusilaan (nilai-nilai serta
tanggungjawab).
Pertama, Ontologi adalah cabang filsafat yang mempersoalkan masalah “ada” dan meliputi
persoalan sebagai berikut: apakah artinya “ada”, apakah golongan-golongan dari hal yang ada?,
apakah sifat dasar kenyataan dan ada yang terakhir?, apa cara-cara yang berbeda dalam mana
entitas dari kategori logis yang berlainan (objek fisik, pengertian universal, abstraksi dalam
bilangan) dapat dikatakan ada?
Filsafat ilmu berkaitan dengan ontologi karena filsafat ilmu dalam telaahnya terhadap ilmu akan
menyelidiki landasan ontologis dari suatu ilmu. Landasan ontologis ilmu dapat dicari dengan
menanyakan apa asumsi ilmu terhadap objek materi maupun objek formal?, apakah objek
bersifat phisik ataukah bersifat kejiwaan?
Kedua, Epistemologi adalah teori tentang pengetahuan. Dalam epistemologi yang dibahas adalah
objek pengetahuan, sumber dan alat untuk memperoleh pengetahuan, kesadaran dan metode,
validitas pengetahuan, dan kebenaran pengetahuan.
Epistemologi berkaitan dengan pemilahan dan kesesuaian antara realisme atas pengetahuan:
tentang proposisi, konsep-konsep, kepercayaan, dan sebagainya., dan realisme tentang objek,
secara terpilih disusun dalam term “objek real”, fenomena, pengalaman, data indera, dan lainnya.
Epistemologi berusaha untuk memaparkan dan menjawab problem-problem yang muncul dalam
area tertentu, misal: positivisme logis. Semua epistemologi meletakkan beberapa oposisi sebagai
penyusun teori pengetahuan, tujuannya yaitu meletakkan yang memungkinkan bagi suatu
pengetahuan. Misal: teori-fakta, manusia-dunia, transendental subjektif-transendental objektif.
Epistemologi meliputi konsepsi yang spesifik tentang “subjek”, “objek” dan hubungan keduanya,
dan itu dievaluasi dan menderivasikan keterangan untuk mengevaluasi pengetahuan dari
“pengetahuan” tentang hubungan. Spesifikasi epistemologis tentang kriteria validitas semua
pengetahuan harus memperkirakan validitas pengetahuan yang mendahuluinya, yang darinya
spesifikasinya diderivasi.
Ketiga, Logika adalah cabang filsafat yang persoalannya begitu luas dan rumit, namun ia
berkisar pada persoalan penyimpulan, khususnya berkenaan dengan prinsip-prinsip dan aturan-
aturan yang absah. Penyimpulan yaitu proses penalaran guna mendapat pengertian baru dari satu
atau lebih proposisi yang diterima sebagai benar, dan kebenaran dari kesimpulan itu diyakini
terkandung dalam kebenaran proposisi yang belakangan. Tatanan logis adalah merupakan syarat
mutlak bagi suatu ilmu. Pernyataan-pernyataan dan kesimpulan-kesimpulan mengenai esensi-
esensi dan sebab-sebab dari objek dalam bidang pengetahuan tertentu tidak bisa dihitung secara
sewenang-wenang, tetapi harus ditata dan diklasifikasi sesuai dengan prinsip tertentu dan
mengikuti metode tertentu. Penyelidikan mengenai “cara-cara memperoleh pengetahuan ilmiah”
bersangkutan dengan susunan logik dan metode logik, urutan serta hubungan antara pelbagai
langkah dalam penyelidikan ilmiah.dan bersangkutan pula dengan, susunan logik serta
metodologik, urutan serta hubungan antara unsur-unsur serta struktur-struktur yang berlaku
dalam pemikiran ilmiah.
Namun persoalan-persoalan logika yang penting dalam kaitannya dengan ilmu yaitu: apakah ciri-
ciri suatu sistem aksiomatik, bagaimana kita dapat memastikan bahwa suatu aksioma
sesungguhnya bukan suatu dalil yang dapat diturunkan dari aksioma yang lain?, apakah
sekumpulan aksioma tertentu akan menghasilkan semua yang dapat dikatakan dalam
bidangnya?. Bagaimanakah kita dapat mengetahui bahwa kesimpulan aksioma tersebut tidak
akan pernah menghasilkan sesuatu yang salah? (The Liang Gie: 1977: 186) dalam (Filsafat Ilmu,
2007: 54).
Keempat, Metodologi yaitu berkaitan dengan suatu konsep metode, ia mempersoalkan: apakah
arti suatu metode, apakah sifat dasar metode, apakah ada metode yang khas bagi ilmu?, apakah
ada kaitan antara tujuan suatu penyelidikan dengan metode yang hrus dipakai?. Disinyalir dalam
ilmu-ilmu terdapat derajat kebebasan yang tinggi antara tujuan dan metode.
Filsafat ilmu mempersoalkan masalah metodologik, yaitu mengenai azas-azas serta alasan
apakah yang menyebabkan ilmu dapat memperoleh predikat “pengetahuan ilmiah”. Filsafat akan
mencari prinsip metodis suatu ilmu, sebab prinsip metodis merupakan titik tolak penyelidikan
suatu ilmu. Fungsi metodologi yaitu menguji metode yang dipergunakan untuk menghasilkan
pengetahuan yang valid. Metodologi meletakan prosedur yang dipergunakan untuk menguji
proposisi. Prosudur ini dijastifikasi maknanya dengan argumen filosofis. Adalah jelas
metodologi-metodologi mengklaim untuk menentukan prosudur yang benar bagi ilmu, harus
memperkirakan bentuk pengetahuan yang didalamnya beberapa pengertian superior dihasilkan
dalam ilmu. Ilmu diperkirakan valid hanya bila hasilnya sesuai dengan prosedur: yang
diperkirakan tidak dapat disahkan oleh ilmu. Metodologi meletakkan aturan bagi prosedur
praktek ilmu, penderivasian makna pengetahuan dibuktikan oleh filsafat. Metodologi adalah
produk filsafat dan ilmu-ilmu adalah realisasi dari metodologi (Barry Hindes, 1977: 5) dalam
(Filsafat Ilmu, 2007: 55).
Perkiraan metodologis mungkin diderivasi dari epistemologi, yakni suatu konsepsi bentuk
pengetahuan yang memungkinkan dicapainya pengetahuan yang valid (dari ontologi tentang apa
yang eksis). Karakter pengetahuan sangat berhubungan dengan apa yang menjadi sifat esensial
dari objek penyelidikan.
Kelima, Etika, yaitu cabang filsafat yang mempersoalkan baik dan buruk. Dalam kaitannya
dengan ilmu yaitu berkaitan dengan tujuan ilmu, tanggungjawab ilmu terhadap masyarakat.
Hubungan filsafat ilmu dengan etika dapat mengarahkan ilmu agar tidak mencelakakan manusia,
melainkan membimbing ilmu agar dapat menjadi sarana mensejahterakan manusia. Ilmu
bertendensi untuk membuka tabir/kedok dari kemutlakan-kemutlakan alam yang oleh sejarah
diangkat menjadi kemutlakan budaya. Tujuan ilmu yang memperoleh pengertian lebih mendalam
tentang motif-motif tingkah laku manusia yang diliputi kegelapan supaya manusia menjadi lebih
utuh, dewasa, dan bebas (Van Melsen, 1985: 123-4) dalam (Filsafat Ilmu, 2007: 55).
C. Hubungan Filsafat Ilmu dengan Ilmu-Ilmu.
Perkembangan ilmu yang makin cepat ini juga dialami oleh banyak ilmu serta pengaruhnya yang
semakin besar terhadap kehidupan masyarakat. Untuk itu sudah saatnya kita memberi perhatian
yang besar terhadap filsafat ilmu, sehingga kita dapat mengatasai keterkungkungan spesialisasi
ilmu.
1. Perbedaan Filsafat dan Ilmu
Filsafat dan ilmu mempunyai banyak persamaan. Kedua bidang tersebut tumbuh dari sikap
refleksif, sikap bertanya, dan dilandasi oleh kecintaan yang tidak memihak terhadap kebenaran.
Hanya saja kalau filsafat dengan metodenya mampu mempertanyakan keabsahan dan kebenaran
ilmu, sedang ilmu dengan metodenya tidak mampu mempertanyakan asumsi limu, metode ilmu,
kebenaran ilmu, dan keabsahan ilmu. Ilmu tertentu menyelidiki bidang-bidang yang terbatas,
sedang filsafat lebih bersifat inklusif dan bukan eksklusif, ia berusaha untuk memasukkan dalam
pengetahuannya apa yang bersifat umum untuk segala bidang dan untuk pengalaman manusia
pada umumnya. Dengan begitu filsafat berusaha mendapatkan pandangan yang lebih
komperhensif tentang benda-benda (Titus dkk, 1984: 283) dalam (Filsafat Ilmu, 2007: 56).
Ilmu dalam pendekatannya lebih analitik dan diskriptif: ia berusaha untuk menganalisa scara
keseluruhan pada unsur-unsur yang menjadi bagian-bagiannya, serta menganalisa organisme
kepada anggota-anggotanya. Filsafat lebih sintetik atau sinoptik: menghadapi sifat dan kualitas
alam dan kehidupan sebagai keseluruhan. Filsafat berusaha menggabungkan benda-benda dalam
sintesa yang interpretatif dan menemukan arti benda-benda. Jika ilmu condong untuk
menghilangkan faktor-faktor pribadi dan menganggap sepi nilai-nilai demi menghasilkan
objektivitas, maka filsafat mementingkan personalitas, nilai-nilai dan bidang pengalaman (Titus
dkk, 1984: 283) dalam (Filsafat Ilmu, 2007: 56).
2. Spesialisasi Ilmu
Dewasa ini setiap pengetahuan terpisah satu dari yang lainnya. Ilmu terpisah dari moral, moral
terpisah dari seni, dan seni terpisah dari ilmu. Kita tidak lagi memiliki pengetahuan yang utuh,
melainkan terpotong-potong. Spesialisasi pendidikan, pekerjaan, dan kemajuan diberbagai
bidang pengetahuan menyebabkan jurang pemisahsemakin lebar. Ilmu semakin diperluas juga
diperdalam oleh para ilmuannya, dengan demikian timbul suatu subdisiplin yang akhirnya dapat
menjadi disiplin yang berdiri sendiri.
3. Kerja Sama Filsafat dengan Ilmu
Dalam beberapa abad terakhir filsafat telah mengembangkan kerjasama yang erat dengan ilmu.
D. Kesimpulan
Berpikir filsafat berarti berpikir untuk menemukan kebenaran secara tuntas. Analisis filsafat
tentang hakekat ilmu harus ditekankan kepada upaya keilmuan dalam mencari kebenaran, yang
selanjutnya terkait secara erat dengan aspek-aspek moral, seperti kejujuran. Analisis filsafat ilmu
tidak boleh berhenti pada upaya untuk meningkatkan penalaran keilmuan melainkan sekaligus
harus mencakup pendewasaan moral keilmuan (Yuyun, 1981: 43) dalam (Filsafat Ilmu, 2007:
61).
Filsafat ilmu mempunyai wilayah lebih luas dan perhatian lebih transendent daripada ilmu-ilmu.
Maka dari itu filsafat pun mempunyai wilayah lebih luas daripada penyelidikan tentang cara
kerja ilmu-ilmu. Filsafat ilmu bertugas meneliti hakekat ilmu. Diantaranya paham tentang
kepastian, kebenaran, dan objektivitas (Verhak, 1989: 108) dalam (Filsafat Ilmu, 2007: 61).
Filsafat ilmu harus merupakan pengetahuan tentang ilmu yang didekati secara filsafat dengan
tujuan untuk lebih memfungsionalkan wujud keilmuan baik secara moral, intelektual, maupun
sosial. Filsafat ilmu harus mencakup bukan saja pembahasan mengenai ilmu itu sendiri beserta
segenap perangkatnya melainkan sekaligus kaitan ilmu dengan berbagai aspek kehidupan, seperti
pendidikan, kebudayaan, moral, sosial dan politik. Demikian juga pembahasan yang bersifat
analitis dari tiap-tiap unsur bahasan harus diletakkan dalam kerangka berpikir secara keseluruhan
(Yuyun, 1981: 39) dalam (Filsafat Ilmu, 2007: 61).

DAFTAR PUSTAKA
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat Universitas Gaja Mada (UGM), 2007, Filsafat Ilmu
Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Liberty, Yogyakarta.
Soetrisno dan Hanafi, Rita, 2007, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, Penerbit Andi,
Yogyakarta.
Salam, Burhanuddin, 2000, Sejarah Filsafat Ilmu dan Teknologi, Rineka Cipta, Jakarta.
http://taliabupomai.blogspot.com/2010/05/ruang-lingkup-dan-kedudukan-filsafat.html

Tugas
Mata Kuliah : Filsafat Ilmu
Dosen : Prof. Dr. T. Fatima Djajasudarma, Drs.

Kaitan Antara Etika dan Ilmu Pengetahuan

Maqbul Halim
L2G04026

 
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG 2004

Kaitan Antara Etika dan Ilmu Pengetahuan


Oleh : Maqbul  Halim
(L2G04026)
 
 
Pertentangan Ontologis: Ilmuan dan Gereja
Copernicus (1473-1543) dan kemudian diteruskan oleh Galileo (1564-1642), berteori
tentang “bumi berputar mengelilingi matahari”, bukan sebaliknya seperti yang diyakini dalam
ajaran gereja. Agama (gereja) adalah mata air sebagian besar tatanan moral dalam pengertian
metafisik menentang pernyataan Copernicus itu. Perbedaan pendapat antara ilmuan dan kalangan
gereja ini menandai babak dimulainya pertentangan antara ilmu pengetahuan dan agama.
Galileolah yang kemudian menjadi tumbal pada puncak pertentangan ini ketika menghadapi
pengadilan agama agar ia mencabut pernyataannya bahwa bumi mengelilingi matahari.
Pertentangan ini sesungguhnya terjadi pada wilayah medan ontologis (metafisika).
Petualangan untuk mengungkap kebenaran dalam gejala alam semesta mestilah bebas dari nilai.
Sementara pada tahap ini, petunjuk-petunjuk agama sebagai suatu nilai kebenaran tentang alam
semesta, membatasi kontemplasi ontologis kalangan ilmuan untuk mengungkap hakikat dari
realitas alam. Dapat dikatakan bahwa pertarungan sesungguhnya yang terjadi antara ilmuan dan
agamawan ketika itu adalah upaya otoritas agama untuk mempertahankan maknanya tentang
realitas, sementara kalangan ilmuan lebih pada perjuangan untuk membebaskan diri dari nilai-
nilai untuk mengungkap hakikat realitas. Pertentangan dalam ruang ontologis inilah yang
sesungguhnya dialami antara otoritas gereja dengan Copernicus, Galileo, Socrates, dan
sebagainya.
Kegigihan ilmuan tersebut di atas sebenarnya merupakan sebuah tekad untuk menemukan
kebenaran, sebab menemukan kebenaran—apalagi mempertahankannya, diperlukan keberanian
moral. Sejarah kemanusiaan dihiasi dengan semangat para martir yang rela mengorbankan
nyawahnya dalam mepertahankan kebenaran apa yang mereka anggap benar (Jujun S.
Suriasumantri 1994). Demikian untuk hal ini, perlawanan yang dilakukan ilmuan ini adalah
sebuah perlawan ontologis: kebenaran asali tentang alam semesta. Pihak gereja mendasarkan
legitimasinya tentang kebenaran alam semesta menurut panduan al-Kitab sementara kalangan
ilmuan mendasarkannya pada prinsip-prinsip kontemplasi yang positivistik.
Pada tahun 1800-an, akhirnya ilmuan memperoleh otonominya secara utuh. Otonomi
dalam artian bahwa kegiatan kontemplasi “ontologis” ilmu untuk menyibak hakikat realitas
terbebas dari pengaruh nilai-nilai dari luar wilayah ontologis itu seperti agama, ideologi atau
pertimbangan etis. Di sinilah ilmu pengetahuan mendapatkan otonomi untuk mengembangkan
kajian dan penelitiannya. Mempelajari gejala alam menurut hukum-hukum yang bekerja dan
mengatur kejadian-kejadian alam, bukan menurut ketentuan-ketentuan yang diidealkan oleh
ajaran agama dari al-kitab atau ideologi tertentu.
 
Otonomi Pengembangan Ilmu
Berkat otonomi ini pula, ilmuan dapat berekspansi melalui proses-proses ontologis
sehingga melahirkan berbagai ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan ini dibangun atas dasar
kajian-kajian epistemologis terhadap obyek-obyek pengetahuan yang dilahirkan oleh proses
ontologis sebelumnya. Ilmu pengetahuan berkembang pesat pada tahap ini, karena berbagai
macam metode ilmiah untuk mendapatkan pengetahuan, dikembangkan dikembangkan terus oleh
para ilmuan. Gejala alam dan gejala kehidupan manusia (sosial-humaniora), satu-satu persatu
ditemukan dan terus menambah perbendaharaan pengetahuan manusia. Begitu pula, obyek
material melahirkan juga ilmu-ilmu murni maupun terapan (sesuai dengan obyek formalnya),
seperti ilmu ekonomi, biologi, hukum, fisika, kedokteran, fisika, pertanian, sosiologi,
antropologi, politik, dan sebagainya.
Seperti disebutkan tadi, bahwa obyek-obyek material ilmu dapat dikelompokkan ke
dalam dua kelompok—dasarnya dalam filsafat ilmu: yakni ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial. Ilmu
alam melahirkan sejumlah obyek formal yang dikaji oleh dan menurut disiplinnya sendiri seperti
biologi, fisika, farmasi, pertanian, peternakan, kedokteran, peternakan, matematika, kimia,
geologi, dan sebagainya. Ilmu-ilmu yang tergolong ke dalam ilmu alam ini dibagi menjadi dua,
yaitu: ilmu murni yang mencakup biologi, fisika, matematika, dan kimia; dan ilmu terapan yang
mencakup fisika terapan, biologi terapan, kimia terapan, peternakan, pertanian, geologi,
teknologi dan sejenisnya.
Sedangkan yang tercakup ke dalam ilmu-ilmu sosial adalah sosiologi, antropologi,
politik, administrasi, ekonomi, hukum, budaya, komunikasi, psikologi, dan sebagainya. Seperti
ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu sosial juga dibagi ke dalam dua kelompok, yakni ilmu murni dan ilmu
terapan. Ilmu murni mencakup antropologi, politik, sosiologi, psikologi, ekonomi, budaya,
hukum, dan sejenisnya. Sementara yang tergolong ke dalam ilmu terapan antara lain komunikasi,
pemerintahan (politik terapan), kependudukan (sosiologi terapan), administrasi, manajemen atau
akuntansi (ekonomi terapan), hukum tata negara (hukum terapan), dan sebagainya.
Kembali kepada tiga dasar terbentuknya ilmu penetahuan dalam filsafat ilmu: ontologis,
epistemologis, dan aksiologis, maka ilmu-ilmu murni yang telah dikemukakan sebelumnya
mengembangkan dirinya dalam wilayah dasar ontologis dan epistemologis. Sementara untuk
ilmu-ilmu terapan berkembang dalam wilayah dasar aksiologis. Tulisan ini akan berlanjut pada
kemajuan yang dicapai ilmu pengetahuan pada tingkatan aksiologis. Tingkatan ini akan berbicara
mengenai manfaat dan kegunaan hasil ilmu pengetahuan ini untuk meningkatkan mutu
kehidupan manusia.
 
Tingkatan Aksiologi Pengetahuan
Dalam filsafat ilmu, menurut Bertrand Russel, tahap ini disebut juga tahap manipulasi.
Dalam tahap ini, ilmu tidak saja bertujuan menjelaskan gejala-gejala alam untuk tujuan
pengertian dan pemahaman (ontologi dan epistemologi), melainkan juga untuk memanipulasi
faktor-faktor yang terkait dengan alam untuk mengontrol dan mengarahkan proses-proses alam
yang terjadi. Konsep ilmiah tentang gejala alam sifatnya abstrak menjelma bentuk jadi kongkret
berupa teknologi, misalnya (Jujun S. Suriasumantri 1994).
Teknologi yang dapat diartikan sebagai penerapan konsep-konsep ilmiah untuk
memecahkan persoalan-persoalan praktis, dalam perjalan dan pencapaian-pencapaiannya, justru
menimbulkan masalah lain. Eksesnya yang dapat disebutkan misalnya dehumanisasi, degradasi
eksistensi kemanusiaan, dan pengrusakan lingkungan hidup. Sejarah kehidupan manusia
memang telah mencatatkan bahwa Perang Dunia I dan II merupakan ajang pemanfaatan hasil
temuan-temuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Penggunaannya secara destruktif ini
menimbulkan kontroversi. Pada satu sisi hal itu menimbulkan efek kehancuran pada manusia dan
alam, sementara pada sisi lainnya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
kemudian banyak dimanfaatkan dalam peperangan dan kehancuran alam adalah bagian dari
rangkain perjalan ilmu untuk mengunkap hakikat gejala alam dan manusia. Perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi sering melupakan faktor-faktor manusia. Misalnya, manusia mesti
menyesuaikan diri terhadap teknologi-teknologi baru (Jaques Ellul 1964). Akhirnya, eksistensi
manusia terpinggirkan dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Jujun S. Suriasumantri
1984).
Bencana-bencana yang ditimbulkan oleh pamanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi
(science and technology) antara kerusakan ekologi. Banyak yang dapat disebutkan tentang
kehancura ekologi: kontaminasi air, udara, tanah, dampak rumah kaca, kepunahan spesies
tumbuhan dan hewan, pengrusakan hutan, akumulasi limba-limba toksik, penipisan laporan ozon
(CO1) pada atmosfir bumi, kerusakan ekosistem lingkungan hidup, dan lain-lain. Lebih-lebih
lagi, musuh kemanusiaan, yaitu perang. Perang Dunia I dan II yang meluluhlantakkan Eropa dan
sejumlah kawasan di Asia dan Pasifik menggoreskan luka kemanusiaan. Berapa korban manusia
berguguran akibat bom atom yang dijatuhkan di Hirosima dan Nagasaki, Jepang. Atau kawasan
Asia Tengah, yaitu Afganistan yang menjadi ajang ujicoba penemuan mutakhir teknologi perang
buatan Amerika Serikat dan Uni Soviet (sekarang Rusia).
Pada akhirnya ilmuan memang tiba pada opsi-opsi: apakah ilmu pengetahuan dan
teknologi netral dari segala nilai atau justru batas petualangan dan prospek pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi tidak boleh mengingkari suatu nilai, seperti nilai moral, religius, dan
ideologi. Ilmu pengetahuan sudah sangat jauh tumbuh dan berkembang untuk dirinya sendiri,
sementara teknologi atau ilmu pengetahuan terapan lain terus bergulir mengikuti logika dan
perspektifnya sendiri—dalam hal ini tak ada nilai-nilai lain yang diizinkan memberikan
kontribusi. Kecemasan tertinggi di tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi terjadi
ketika ilmu kedokteran berhasil menyelesaikan proyek eksperimennya mengembangkan janin
dengan metode yang disebut “bayi tabung”.
Lalu kemudian ternyata masih ada yang lebih mutakhir dari pada “bayi tabung” itu, yakni
suksesnya para ilmuan merampungkan eksperimen kloningnya. Yang terakhir ini mengubah
hakikat manusia secara dramatis; ilmu pengetahuan yang diciptakan oleh manusia mampu
menciptakan manusia juga. Bahkan, ilmu pengetahuan yang diproyeksi untuk membantu dan
memudahkan manusia mencapai tujuan-tujuan hidupnya, justru berkembang dimana ilmu
pengetahuan dan teknologi itu sendiri mengkreasikan tujuan-tujuan hidup itu sendiri.
 
Pertentangan Aksiologis: Ilmuan dan Humanis
Kalangan humanis kemudian mengajukan sejumlah pertanyaan etis yang penting. Antara
lain pertanyaan itu adalah: untuk apa sebenarnya ilmu harus dipergunakan? Dimanakah batas
ilmu harusnya berkembang? Namun pertanyaan ini tidak urgen bagi ilmuan dan tidak merupakan
tanggung jawab bagi perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Penelaahan tujuan ilmu
pengetahuan itu dikembangkan dan diterapkan, untuk tulisan ini, cukup penting. Karena ide
dasar penerapan hasil-hasil ilmu pengetahuan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan
penghidupan manusia. Seperti disebutkan sebelumnya, ekspektasi besar manusia pada ilmu
pengetahuan bahwa itu dapat membantu dan memudahkan manusia mencapai tujuan-tujuan
hidupnya. Namun yang terjadi kemudian adalah absuditas (paradoks): bahwa ilmu pengetahuan
justru membiaskan kehancuran dan malapetaka bagi alam dan manusia (kehancuran itu telah
disebutkan pada pragraf sebelumnya).
Adakah ini berarti bahwa gerak perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
sebaiknya cukup sampai di sini? Atau boleh dilanjutkan tetapi menurut konsideran dari otoritas-
otoritas tertentu (bukan otoritas administratif dan institusi keagamaan atau ideologi)? Akan
tetapi, bila ruang gerak prospek ilmu pengetahuan dan teknologi ini dipagari, berarti kita telah
melangkah mundur hingga pada jamannya Galileo atau Socrates.  Konsekuensinya, kemandirian
ilmu pengetahuan untuk berkembang terkebiri, sementara problem yang muncul sesungguhnya
tidak bersumber pada pencapaian ilmu pengetahuan dan teknologi itu.
Untuk sementara, dasar ontologis, epistemologis dan aksiologis terbentuknya
pengetahuan perlu diungkit kembali untuk mempetakan persoalan yang ditimbulkan oleh
pencapaian-pencapaian ilmu pengetahuan dan teknologi. Menurut dasar-dasar ini, suatu
pengetahuan merupakan hasil kontemplasi yang menguak hakikat realitas alam dan manusia
sebagai suatu obyek empiris (tahap ontologis). Ketika realitas yang berbentuk obyek itu berusaha
dipahami dan dimengerti (diketahui), maka itulah tahap epistemologis. Intervensi kepentingan
manusia dan nilai-nilai etika, moral, dan agama tidak ditemukan dalam tahap ini dan memang
tidak relevan ditempatkan dalam proses itu. Ketika ada pertanyaan tentang manfaat pengetahuan
itu bagi kehidupan manusia, berarti yang dimaksudkan adalah tahap aksiologis dari pengetahuan
itu. Dalam tahap ini, persitwa alam dan manusia tidak lagi bergerak secara orisinal menurut
kecenderungan alamiahnya, tetapi sudah merupakan proses yang artikulatif dan manipulatif.
Dalam artian bahwa, kepentingan manusia sudah dapat berinfiltrasi ke dalam penerapan
pengetahuan itu.
Tahap aksiologis inilah dari sejumlah rangkaian kegiatan keilmuan suatu pengetahuan
yang kerap menimbulkan kontroversi dan paradoks. Hal ini dimungkinkan karena adanya
kemampuan manusia melakukan artikulasi dan manipulasi terhadap kejadian-kejadian alam
untuk kepentingannya. KEPENTINGAN manusia sangat ditentukan oleh motif dan kesadaran
yang pada manusia itu sendiri. Jadi, fokus persoalan ilmu pengetahuan pada tingkat aksiologis
ini ada pada manusia. Oleh karena itu, maka tinjauan kita tentang manusia akan sangat
membantu memahami dan menyusun pengertian tentang bagaimana sebaiknya ilmu pengatahuan
dan teknologi diteruskan pengembangannya dalam tataran aksiologi. Sekaligus pula
diperperterang kembali bahwa pertentangan antara kalangan humanis dan ilmuan pada abad ini
adalah berkisar pada tingkatan aksiologis itu. Berbeda pada zamam Copernicus atau Galileo, di
mana ilmuan bertentangan dan saling mempertahankan keyakinan dengan kalangan gerja pada
tataran ontologis. Oleh karena itu, tuntutan kemanusiaan pada wilayah aksiologi ilmu
pengetahuan dan teknologi ini mendapat permakluman secara luas.
 
Aspek Etika (Moral) Ilmu Pengetahuan
Kembali, kita akan fokus pada manusia sebagai manipulator dan artikulator dalam
mengambil manfaat dari ilmu pengetahuan. Dalam psikologi, dikenal konsep diri daru Freud
yang dikenal dengan nama “id”, “ego” dan “super-ego”. “Id” adalah bagian kepribadian yang
menyimpan dorongan-dorongan biologis (hawa nafsu dalam agama) dan hasrat-hasrat yang
mengandung dua instink: libido (konstruktif) dan thanatos (destruktif dan agresif). “Ego” adalah
penyelaras antara “id” dan realitas dunia luar. “Super-ego” adalah polisi kepribadian yang
mewakili ideal, hati nurani (Jalaluddin Rakhmat, 1985). Dalam agama, ada sisi destruktif
manusia, yaitu sisi angkara murka (hawa nafsu).
Ketika manusia memanfaatkan ilmu pengetahuan untuk tujuan praktis, mereka dapat saja
hanya memfungsikan “id”-nya, sehingga dapat dipastikan bahwa manfaat pengetahuan mungkin
diarahkan untuk hal-hal yang destruktif. Milsanya dalam pertarungan antara id dan ego, dimana
ego kalah sementara super-ego tidak berfungsi optimal, maka tentu—atau juga nafsu angkara
murka yang mengendalikan tindak manusia menjatuhkan pilihan dalam memanfaatkan ilmu
pengetahuan—amatlah nihil kebaikan yang diperoleh manusia, atau malah mungkin kehancuran.
Kisah dua kali perang dunia, kerusakan lingkungan, penipisan lapisan ozon, adalah pilihan “id”
dari kepribadian manusia yang mengalahkan “ego” maupun “super-ego”-nya.
Oleh karena itu, pada tingkat aksiologis, pembicaraan tentang nilai-nilai adalah hal yang
mutlak. Nilai ini menyangkut etika, moral, dan tanggungjawab manusia dalam mengembangkan
ilmu pengetahuan untuk dimanfaatkan bagi sebesar-besar kemaslahatan manusia itu sendiri.
Karena dalam penerapannya, ilmu pengetahuan juga punya bias negatif dan destruktif, maka
diperlukan patron nilai dan norma untuk mengendalikan potensi “id” (libido) dan nafsu angkara
murka manusia ketika hendak bergelut dengan pemanfaatan ilmu pengetahuan. Di sinilah etika
menjadi ketentuan mutlak, yang akan menjadi well-supporting bagi pemanfaatan ilmu
pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan derajat hidup serta kesejahteraan dan
kebahagiaan manusia. Hakikat moral, tempat ilmuan mengembalikan kesuksesannya.
Etika adalah pembahasan mengenai baik (good), buruk (bad), semestinya (ought to),
benar (right), dan salah (wrong). Yang paling menonjol adalah tentang baik atau good dan teori
tentang kewajiban (obligation). Keduanya bertalian dengan hati nurani. Bernaung di bawah
filsafat moral (Herman Soewardi 1999). Etika merupakan tatanan konsep yang melahirkan
kewajiban itu, dengan argumen bahwa kalau sesuatu tidak dijalankan berarti akan mendatangkan
bencana atau keburukan bagi manusia. Oleh karena itu, etika pada dasarnya adalah seperangkat
kewajiban-kewajiban tentang kebaikan (good) yang pelaksananya (executor) tidak ditunjuk.
Executor-nya menjadi jelas ketika sang subyek berhadap opsi baik atau buruk—yang baik itulah
materi kewajiban ekskutor dalam situasi ini.
 
Rujukan:
Jaques Ellul, 1964, “The Tecnological Society”. Alfred Knopf, New York.
Rakhmat, Jalaluddin, 1985, “Psikologi Komunikasi”, Remaja Rosdakarya, Bandung.
Suriasumantri Jujun S., 1984, “Filsasfat Ilmu”, sebuah pengantar populer. Pustaka Sinar
Harapan: Jakarta
Soewardi, Herman, 1999, “Roda Berputar Dunia Bergulir” Kognisi Baru Tentang Timbul-
Tenggelamnya Sivilisasi, Bakti Mandiri, Bandung.

Read more: http://www.oocities.com/maqbulhalim/Course/FilsafatIlmu1.html?


201023#ixzz10N0gBrXa

You might also like