You are on page 1of 30

Efek Pemanasan Global Terhadap Terumbu Karang

Penulis: Rahmad Firdaus (Sarjana lImu Kelautan UNDIP)


edisi: 16/May/2008 wib
Masyarakat di dunia saat ini membicarakan tentang pemanasan global (global warming) tidak
terkecuali di Indonesia.

banjarmasinpos.com
___________
Isu pemanasan global ini juga menjadi perhatian seluruh masyarakat dunia dan menjadi bahasan
dan agenda penting dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Bahkan beberapa waktu yang lalu
bertempat di Bali, Indonesia, seluruh negara yang tergabung dalam PBB mengadakan Konvensi
Perubahan Iklim yaitu Kerangka Kerja untuk Konvensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-
Bangsa, United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).

Pemanasan global ini diakibatkan adanya perubahan iklim permukaan bumi yang naik dari tahun
ke tahun sehingga membuat suhu di bumi menjadi panas. Banyak efek-efek yang terjadi akibat
pemanasan global ini.
 Salah satunya adalah naiknya suhu permukaaan air laut, yang sangat berpengaruh terhadap
kehidupan biota-biota yang ada di dalamnya, tidak terkecuali terumbu karang (coral reef). Akibat
dari naiknya suhu permukaan air laut ini terhadap karang adalah terjadinya pemutihan atau lebih
dikenal dengan pemutihan karang (coral bleaching).

Dunia saat ini berada dalam ancaman perubahan suhu permukaan laut sebagai akibat dari
pemanasan global. Perubahan iklim global juga merupakan ancaman yang besar pengaruhnya
terhadap terumbu karang di Asia Tenggara. Peningkatan suhu permukaan laut telah
mengakibatkan

lebih seringnya terjadi pemutihan karang dengan tingkat kerusakan lebih besar. Peristiwa El
Nino Southern  Oscillation (ENSO) 1997-1998 telah memicu pemutihan karang terluas yang
pernah tercatat di seluruh dunia. Diperkirakan 18 persen terumbu karang di kawasan Asia
Tenggara telah rusak atau hancur.

Pada tahun 1997, Indonesia termasuk salah satu diantara negara yang terkena dampak perubahan
suhu permukaan laut akibat peristiwa El Nino berupa terjadinya mass bleaching (pemutihan
massal) pada terumbu karang, peristiwa El Nino tersebut telah menimbulkan pemutihan karang
secara luas di Indonesia, terutama di wilayah barat Indonesia. Pemutihan karang terjadi di bagian
timur Sumatera, Jawa, Bali, dan Lombok. Di Kepulauan Seribu (perairan bagian utara

Jakarta), sekitar 90-95 persen terumbu karang hingga kedalaman 25 m mengalami kematian. Dua
tahun kemudian, tahun 2000, terumbu karang di Kepulauan Seribu mengalami pemulihan yang
berarti, dengan 20-30 persen tutupan karang hidup pemutihan karang adalah pemutihan (warna
menjadi pudar atau berwarna putih salju) terumbu karang karena keluarnya zooxanthellae dan
polip karang yang disebabkan faktor-faktor yang menimbulkan stres pada karang, termasuk
perubahan suhu air laut, sinar matahari yang melebihi batas, rendahnya kadar garam dan kadar
oksigen, kurangnya cahaya, tingginya tingkat kekeruhan dan sedimentasi, penyakit atau
tingginya bahan kimia beracun.

Zooxanthellae adalah alga bersel tunggal yang bersimbiosis dengan karang, berperan
memberikan energi dan nutrien bagi inang karang dengan memberikan hingga 95 persen hasil
produksi fotosintesisnya dengan memanfaatkan cahaya matahari. Sehingga apabila alga tersebut
keluar dari karang maka karang tersebut akan kehilangan energi dan nutrien yang sangat berguna
untuk kehidupan karang.

Mayoritas pemutihan karang secara besar-besaran dalam kurun waktu dua dekade terakhir ini
berhubungan dengan peningkatan suhu pennukaan laut (SPL). Dampak gabungan dari tinggi SPL
dan tingginya tingkat sinar matahari (pada gelombang panjang ultraviolet) dapat mempercepat
proses pemutihan dengan mengalahkan mekanisrne alami karang untuk melindungi dirinya
sendiri dari sinar matahari yang berlebihan.

Peristiwa pemutihan dalam skala besar dipengaruhi oleh naik-turunnya SPL, dimana pemutihan
dalam skala kecil seringkali disebabkan karena tekanan langsung dari manusia (contohnya
polusi) yang berpengaruh pada karang dalam skala kecil yang terlokalisir. Pada saat pemanasan
dan dampak langsung manusia terjadi bersamaan, satu sama lain dapat saling mengganggu.
Apabila suhu rata-rata terus menerus naik karena perubahan iklim dunia, karang hampir dapat
dipastikan menjadi subjek pemutihan yang lebih sering dan ekstrim nantinya.

Oleh karena itu, perubahan iklim saat ini dapat menjadi ancaman terbesar satu-satunya untuk
terumbu karang di seluruh dunia. Pemutihan karang dapat berakhir dengan kematian suatu
koloni, yang menyebabkan perubahan terhadap struktur dan fungsi ekosistem, dan mungkin
dapat berdampak lebih jauh terhadap biota lain dalam ekosistem itu. Apabila pemutihan karang
terjadi dalam skala besar di suatu ekosistern yang merupakan zona inti dari suatu kawasan
konservasi laut, pemulihan akan sulit terjadi karena zona inti telah kehilangan fungsi
ekologisnya. Kematian akibat pemutihan karang mengancam keanekaragaman hayati wilayah
tersebut yang merupakan sumber plasma nutfah bagi wilayah sekitarnya.

Terumbu karang saat ini menghadapi serangkaian ancaman kombinasi dari eksploitasi yang
berlebihan, polusi dan khususnya perubahan iklim dunia.

Kesemua ancaman tersebut saat ini meningkat jumlahnya, dan kegiatan-kegiatan manusia
menyebabkan percepatan perubahan iklim dunia yang dapat membuat terumbu karang sulit
beradaptasi. (*)
Pemanasan Global dan Terumbu Karang
Januari 13, 2008 in konservasi

karir anda mentok, karena pendidikan tak mendukung ? lanjutkan kuliah di |

tempat kuliah paling fleksibel SARJANA NEGERI 3 TAHUN – TANPA


SKRIPSI ABSENSI HADIR BEBAS – BERKUALITAS – IJAZAH &
GELAR DARI DEPDIKNAS MURAH DAPAT DIANGSUR TIAP BULAN
-terima pindahan dari PTN/PTS lain
MANAJEMEN – AKUNTANSI – ILMU KOMUNIKASI – ILMU
PEMERINTAHAN

022-70314141;7313350 : jl. terusan halimun 37 bandung- utkampus.net

08 Nopember 2007

a Oleh Marthen Welly/The Nature Conservancy


 
Akhir-akhir ini pembicaraan mengenai pemanasan global (global warming) yang mengakibatkan
perubahan iklim (climate change) kian ramai dibicarakan dan menjadi pusat perhatian dunia.
Terlebih lagi, pada bulan Desember yang akan datang, perhelatan tingkat dunia mengenai
perubahan iklim akan diadakan di Bali dibawah koordinasi Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pertemuan akbar yang disebut United Nations Framework Convention on Climate Change
(UNFCCC) akan dihadiri kurang lebih perwakilan pemerintahan 120 negara dan sekitar 10.000
peserta.
 
Pada intinya agenda utama UNFCCC adalah mempersiapkan bumi kita ini agar dapat
mengurangi pemanasan global dan mengatasi dampaknya. Beberapa isu utama yang akan
dibahas adalah kerusakan hutan, perdagangan karbon, dan penerapan protokol Kyoto. Sejauh ini
hutan dipercaya sebagai paru-paru dunia yang dapat mengikat emisi karbon yang dilepaskan ke
udara oleh pabrik-pabrik industri, kendaraan bermotor, kebakaran hutan, asap rokok dan banyak
lagi sumber-sumber emisi karbon lainnya, sehingga dapat mengurangi dampak pemanasan
global.
 

Indonesia
sebagai negara yang memiliki hutan cukup luas di dunia, sangat memainkan peran penting untuk
bisa menjaga paru-paru dunia. Namun sesungguhnya Indonesia yang 2/3 wilayahnya adalah
lautan, juga memiliki fungsi dan peran cukup besar dalam mengikat emisi karbon, bahkan dua
kali lipat dari kapasitas hutan. Emisi karbon yang sampai ke laut, diserap oleh phytoplankton
yang jumlahnya sangat banyak dilautan, dan kemudian ditenggelamkan ke dasar laut atau diubah
menjadi sumber energi ketika phytoplankton tersebut dimakan oleh ikan dan biota laut lainnya.
 
Namun, pemanasan global juga membawa ancaman terhadap terumbu karang Indonesia, yang
merupakan jantung kawasan segitiga karang dunia (heart of global coral triangle). Pemanasan
global telah meningkatkan suhu air laut sehingga terumbu karang menjadi stress dan mengalami
pemucatan/pemutihan (bleaching). Jika terus berlangsung terumbu karang tersebut akan
mengalami kematian. Di sisi lain coral triangle memiliki fungsi penting bagi kehidupan manusia.
Lebih dari 120 juta orang hidupnya bergantung pada terumbu karang dan perikanan di kawasan
tersebut. Coral triangle yang meliputi Indonesia, Philipina, Malaysia, Timor leste, Papua New
Guinea and Kepulauan Salomon ini, merupakan kawasan yang memiliki keanekaragaman hayati
laut tertinggi di dunia, khususnya terumbu karang.
Melihat peran dan posisinya yang strategis, maka President Republik Indonesia – Susilo
Bambang Yudhoyono pada pertemuan APEC di Sydney baru-baru ini, telah mengumumkan
sekaligus mengajak negara-negara di dunia, khususnya di kawasan Asia Pacific untuk menjaga
dan melindungi kawasan segitiga karang dunia yang dikenal dengan nama Coral Triangle.
Indonesia bersama lima negara lainnya yaitu Philipina, Malaysia, Timor Leste, Papua New
Guinea and Kepulauan Salomon mengumumkan sebuah inisiatif perlindungan terumbu karang
yang disebut Coral Triangle Initiative (CTI). Ke-enam negara yang tergabung dalam CTI disebut
sebagai CT6. Inisiatif ini juga telah mendapatkan dukungan dan respon yang positif dari negara-
negara maju seperti Amerika Serikat dan Australia.
 
Coral triangle adalah sebuah kawasan di Asia-Pacific yang dalam 2 dekade belakangan ini
menjadi pusat penelitian para ahli kelautan dunia. Pada tahun 2005, The Nature Conservancy
Coral Triangle Center (TNC-CTC) – sebuah lembaga konservasi internasional yang juga
menjalankan programnya di Indonesia dan negara-negara pacific, mengadakan sebuah workshop
internasional di Bali yang dihadiri para pakar kelautan dunia, dengan tujuan untuk menetapkan
batas cakupan wilayah coral triangle. Pada akhir workshop, para pakar kelautan berhasil
memetakan coral triangle yang mencakup 6 negara dengan luas total terumbu karang 75.000
km2. Indonesia sendiri memiliki luas terumbu karang sekitar 51.000 km2 yang menyumbang lebih
dari 21% luas terumbu karang dunia.
 
Departemen Kelautan dan Perikanan, TNC-CTC, WWF Indonesia, dan Departemen Kehutanan
secara bersama-sama menggagas CTI. Dan saat ini CTI telah menjadi salah satu agenda utama
Indonesia bersama 5 negara lainnya. CTI akan lebih disuarakan dan disosialisasikan selama
pertemuan UNFCCC sehingga mendapatkan dukungan yang lebih besar dari masyarakat
internasional.
 
Perlindungan terhadap keanekaragaman hayati laut, terutama terumbu karang melalui CTI sangat
erat kaitannya dengan ketahanan pangan dan upaya mengurangi kemiskinan. Mengingat fungsi
penting terumbu karang adalah sebagai tempat berkembang-biak, mencari makan dan berlindung
bagi ikan dan biota laut lainnya, jika terumbu karang terjaga baik, maka sumber perikanan juga
akan terus memberikan pasokan makanan bagi manusia, termasuk sumber protein. Ditambah lagi
fungsi terumbu karang juga adalah sebagai pelindung alami pantai dari gempuran ombak dan
aset pariwisata bahari.
Suatu langkah yang tepat dan strategis jika Indonesia berinisiatif untuk menyuarakan sekaligus
memimpin CTI, mengingat Indonesia merupakan negara dengan luas terumbu karang terluas dan
keanekaragaman terumbu karang tertinggi di dunia. Indonesia juga memiliki garis pantai
terpanjang kedua di dunia sekitar 81.000 km yang melingkupi lebih dari 17.500 pulau.
Berdasarkan penelitian TNC-CTC dan para mitranya pada tahun 2002, kepulauan Raja Ampat di
Papua Barat, Indonesia memiliki 537 jenis karang yang merupakan jumlah tertinggi di dunia, dan
merupakan 75% jenis karang dunia yang pernah ditemukan. Jika Indonesia tidak menyuarakan
dan mengambil inisiatif untuk perlindungan terumbu karang di coral triangle, maka negara-
negara lain seperti Philipina atau Malaysia yang akan menyuarakan sekaligus memimpin CTI.
Dengan memimpin CTI, Indonesia mendapatkan peran dan posisi penting dalam upaya
perlindungan terumbu karang dunia. Sekaligus melindungi aset bangsa yang tak ternilai
harganya.
Pembentukan jejaring Kawasan Perlindungan Laut (KPL) yang tangguh dan dikelola secara
efektif merupakan bentuk nyata dari impelementasi CTI. Pemerintah Indonesia berkomitmen
untuk melindungi paling tidak 10 juta hektar laut di perairan Indonesia pada tahun 2010. Saat ini
paling tidak 5 juta hektar telah dibentuk KPL di Indonesia yang meliputi Kepulauan Raja Ampat,
TN Teluk Cendrawasih, Kepulauan Wakatobi, Kepulauan Derawan, TN Komodo, TN Bunaken,
TN Karimunjawa, TN Kepulauan Seribu, dan TN Takabonerate.

 
Pemanasan Global
Published On Tuesday, October 02, 2007

Pemanasan global (global warming) pada dasarnya merupakan fenomena peningkatan


temperatur global dari tahun ke tahun karena terjadinya efek rumah kaca (greenhouse effect)
yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas-gas seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4),
dinitrooksida (N2O) dan CFC sehingga energi matahari terperangkap dalam atmosfer bumi.
Berbagai literatur menunjukkan kenaikan temperatur global – termasuk Indonesia – yang terjadi
pada kisaran 1,5–40 Celcius pada akhir abad 21.

Pemanasan global mengakibatkan dampak yang luas dan serius bagi lingkungan bio-geofisik
(seperti pelelehan es di kutub, kenaikan muka air laut, perluasan gurun pasir, peningkatan hujan
dan banjir, perubahan iklim, punahnya flora dan fauna tertentu, migrasi fauna dan hama
penyakit, dsb). Sedangkan dampak bagi aktivitas sosial-ekonomi masyarakat meliputi : (a)
gangguan terhadap fungsi kawasan pesisir dan kota pantai, (b) gangguan terhadap fungsi
prasarana dan sarana seperti jaringan jalan, pelabuhan dan bandara (c) gangguan terhadap
permukiman penduduk, (d) pengurangan produktivitas lahan pertanian, (e) peningkatan resiko
kanker dan wabah penyakit, dsb). Dalam makalah ini, fokus diberikan pada antisipasi terhadap
dua dampak pemanasan global, yakni : kenaikan muka air laut (sea level rise) dan banjir.

Dampak Kenaikan Permukaan Air Laut dan Banjir terhadap Kondisi Lingkungan Bio-geofisik
dan Sosial-Ekonomi Masyarakat.

Kenaikan muka air laut secara umum akan mengakibatkan dampak sebagai berikut : (a)
meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir, (b) perubahan arus laut dan meluasnya kerusakan
mangrove, (c) meluasnya intrusi air laut, (d) ancaman terhadap kegiatan sosial-ekonomi
masyarakat pesisir, dan (e) berkurangnya luas daratan atau hilangnya pulau-pulau kecil.

Meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir disebabkan oleh terjadinya pola hujan yang acak
dan musim hujan yang pendek sementara curah hujan sangat tinggi (kejadian ekstrim).
Kemungkinan lainnya adalah akibat terjadinya efek backwater dari wilayah pesisir ke darat.
Frekuensi dan intensitas banjir diprediksikan terjadi 9 kali lebih besar pada dekade mendatang
dimana 80% peningkatan banjir tersebut terjadi di Asia Selatan dan Tenggara (termasuk
Indonesia) dengan luas genangan banjir mencapai 2 juta mil persegi. Peningkatan volume air
pada kawasan pesisir akan memberikan efek akumulatif apabila kenaikan muka air laut serta
peningkatan frekuensi dan intensitas hujan terjadi dalam kurun waktu yang bersamaan.

 Kenaikan muka air laut selain mengakibatkan perubahan arus laut pada wilayah pesisir juga
mengakibatkan rusaknya ekosistem mangrove, yang pada saat ini saja kondisinya sudah sangat
mengkhawatirkan. Luas hutan mangrove di Indonesia terus mengalami penurunan dari
5.209.543 ha (1982) menurun menjadi 3.235.700 ha (1987) dan menurun lagi hingga 2.496.185
ha (1993). Dalam kurun waktu 10 tahun (1982-1993), telah terjadi penurunan hutan mangrove ±
50% dari total luasan semula. Apabila keberadaan mangrove tidak dapat dipertahankan lagi,
maka : abrasi pantai akan kerap terjadi karena tidak adanya penahan gelombang, pencemaran
dari sungai ke laut akan meningkat karena tidak adanya filter polutan, dan zona budidaya
aquaculture pun akan terancam dengan sendirinya.
 Meluasnya intrusi air laut selain diakibatkan oleh terjadinya kenaikan muka air laut juga dipicu
oleh terjadinya land subsidence akibat penghisapan air tanah secara berlebihan. Sebagai contoh,
diperkirakan pada periode antara 2050 hingga 2070, maka intrusi air laut akan mencakup 50%
dari luas wilayah Jakarta Utara.
 Gangguan terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang terjadi diantaranya adalah : (a)
gangguan terhadap jaringan jalan lintas dan kereta api di Pantura Jawa dan Timur-Selatan
Sumatera ; (b) genangan terhadap permukiman penduduk pada kota-kota pesisir yang berada
pada wilayah Pantura Jawa, Sumatera bagian Timur, Kalimantan bagian Selatan, Sulawesi bagian
Barat Daya, dan beberapa spot pesisir di Papua ; (c) hilangnya lahan-lahan budidaya seperti
sawah, payau, kolam ikan, dan mangrove seluas 3,4 juta hektar atau setara dengan US$ 11,307
juta ; gambaran ini bahkan menjadi lebih ‘buram’ apabila dikaitkan dengan keberadaan sentra-
sentra produksi pangan yang hanya berkisar 4 % saja dari keseluruhan luas wilayah nasional, dan
(d) penurunan produktivitas lahan pada sentra-sentra pangan, seperti di DAS Citarum, Brantas,
dan Saddang yang sangat krusial bagi kelangsungan swasembada pangan di Indonesia. Adapun
daerah-daerah di Indonesia yang potensial terkena dampak kenaikan muka air laut diperlihatkan
pada Gambar 1 berikut.
 Terancam berkurangnya luasan kawasan pesisir dan bahkan hilangnya pulau-pulau kecil yang
dapat mencapai angka 2000 hingga 4000 pulau, tergantung dari kenaikan muka air laut yang
terjadi. Dengan asumsi kemunduran garis pantai sejauh 25 meter, pada akhir abad 2100 lahan
pesisir yang hilang mencapai 202.500 ha.
 Bagi Indonesia, dampak kenaikan muka air laut dan banjir lebih diperparah dengan pengurangan
luas hutan tropis yang cukup signifikan, baik akibat kebakaran maupun akibat penggundulan.
Data yang dihimpun dari The Georgetown – International Environmental Law Review (1999)
menunjukkan bahwa pada kurun waktu 1997 – 1998 saja tidak kurang dari 1,7 juta hektar hutan
terbakar di Sumatra dan Kalimantan akibat pengaruh El Nino. Bahkan WWF (2000)
menyebutkan angka yang lebih besar, yakni antara 2 hingga 3,5 juta hektar pada periode yang
sama. Apabila tidak diambil langkah-langkah yang tepat maka kerusakan hutan – khususnya
yang berfungsi lindung – akan menyebabkan run-off yang besar pada kawasan hulu,
meningkatkan resiko pendangkalan dan banjir pada wilayah hilir , serta memperluas kelangkaan
air bersih pada jangka panjang.

Antisipasi Dampak Kenaikan Muka Air Laut dan Banjir melalui Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional

Dengan memperhatikan dampak pemanasan global yang memiliki skala nasional dan dimensi
waktu yang berjangka panjang, maka keberadaan RTRWN menjadi sangat penting. Secara garis
besar RTRWN yang telah ditetapkan aspek legalitasnya melalui PP No.47/1997 sebagai
penjabaran pasal 20 dari UU No.24/1992 tentang Penataan Ruang memuat arahan kebijaksanaan
pemanfaatan ruang negara yang memperlihatkan adanya pola dan struktur wilayah nasional yang
ingin dicapai pada masa yang akan datang.
Pola pemanfaatan ruang wilayah nasional memuat : (a) arahan kebijakan dan kriteria pengelolaan
kawasan lindung (termasuk kawasan rawan bencana seperti kawasan rawan gelombang pasang
dan banjir) ; dan (b) arahan kebijakan dan kriteria pengelolaan kawasan budidaya (hutan
produksi, pertanian, pertambangan, pariwisata, permukiman, dsb). Sementara struktur
pemanfaatan ruang wilayah nasional mencakup : (a) arahan pengembangan sistem permukiman
nasional dan (b) arahan pengembangan sistem prasarana wilayah nasional (seperti jaringan
transportasi, kelistrikan, sumber daya air, dan air baku.

Sesuai dengan dinamika pembangunan dan lingkungan strategis yang terus berubah, maka
dirasakan adanya kebutuhan untuk mengkajiulang (review) materi pengaturan RTRWN (PP
47/1997) agar senantiasa dapat merespons isu-isu dan tuntutan pengembangan wilayah nasional
ke depan. (mohon periksa Tabel 3 pada Lampiran). Oleh karenanya, pada saat ini Pemerintah
tengah mengkajiulang RTRWN yang diselenggarakan dengan memperhatikan perubahan
lingkungan strategis ataupun paradigma baru sebagai berikut :

 globalisasi ekonomi dan implikasinya,


 otonomi daerah dan implikasinya,
 penanganan kawasan perbatasan antar negara dan sinkronisasinya,
 pengembangan kemaritiman/sumber daya kelautan,
 pengembangan kawasan tertinggal untuk pengentasan kemiskinan dan krisis ekonomi,
 daur ulang hidrologi,
 penanganan land subsidence,
 pemanfaatan jalur ALKI untuk prosperity dan security, serta
 pemanasan global dan berbagai dampaknya.

Dengan demikian, maka aspek kenaikan muka air laut dan banjir seyogyanya akan menjadi salah
satu masukan yang signifikan bagi kebijakan dan strategi pengembangan wilayah nasional yang
termuat didalam RTRWN khususnya bagi pengembangan kawasan pesisir mengingat : (a)
besarnya konsentrasi penduduk yang menghuni kawasan pesisir khususnya pada kota-kota
pantai, (b) besarnya potensi ekonomi yang dimiliki kawasan pesisir, (c) pemanfaatan ruang
wilayah pesisir yang belum mencerminkan adanya sinergi antara kepentingan ekonomi dengan
lingkungan, (d) tingginya konflik pemanfaatan ruang lintas sektor dan lintas wilayah, serta (e)
belum terciptanya keterkaitan fungsional antara kawasan hulu dan hilir, yang cenderung
merugikan kawasan pesisir.

Berdasarkan studi yang dilakukan oleh ADB (1994), maka dampak kenaikan muka air laut dan
banjir diperkirakan akan memberikan gangguan yang serius terhadap wilayah-wilayah seperti :
Pantura Jawa, Sumatera bagian Timur, Kalimantan bagian Selatan, Sulawesi bagian Barat Daya,
dan beberapa spot pada pesisir Barat Papua

Untuk kawasan budidaya, maka perhatian yang lebih besar perlu diberikan untuk kota-kota
pantai yang memiliki peran strategis bagi kawasan pesisir, yakni sebagai pusat pertumbuhan
kawasan yang memberikan pelayanan ekonomi, sosial, dan pemerintahan bagi kawasan tersebut.
Kota-kota pantai yang diperkirakan mengalami ancaman dari kenaikan muka air laut diantaranya
adalah Lhokseumawe, Belawan, Bagansiapi-api, Batam, Kalianda, Jakarta, Tegal, Semarang,
Surabaya, Singkawang, Ketapang, Makassar, Pare-Pare, Sinjai. (Selengkapnya mohon periksa
Tabel 1 pada Lampiran).
Kawasan-kawasan fungsional yang perlu mendapatkan perhatian terkait dengan kenaikan muka
air laut dan banjir meliputi 29 kawasan andalan, 11 kawasan tertentu, dan 19 kawasan tertinggal.
(selengkapnya mohon periksa Tabel 2 pada Lampiran).

Perhatian khusus perlu diberikan dalam pengembangan arahan kebijakan dan kriteria
pengelolaan prasarana wilayah yang penting artinya bagi pengembangan perekonomian nasional,
namun memiliki kerentanan terhadap dampak kenaikan muka air laut dan banjir, seperti :

 sebagian ruas-ruas jalan Lintas Timur Sumatera (dari Lhokseumawe hingga Bandar Lampung
sepanjang ± 1600 km) dan sebagian jalan Lintas Pantura Jawa (dari Jakarta hingga Surabaya
sepanjang ± 900 km) serta sebagian Lintas Tengah Sulawesi (dari Pare-pare, Makassar hingga
Bulukumba sepanjang ± 250 km).
 beberapa pelabuhan strategis nasional, seperti Belawan (Medan), Tanjung Priok (Jakarta),
Tanjung Mas (Semarang), Pontianak, Tanjung Perak (Surabaya), serta pelabuhan Makassar.
 Jaringan irigasi pada wilayah sentra pangan seperti Pantura Jawa, Sumatera bagian Timur dan
Sulawesi bagian Selatan.
 Beberapa Bandara strategis seperti Medan, Jakarta, Surabaya, Denpasar, Makassar, dan
Semarang.

Untuk kawasan lindung pada RTRWN, maka arahan kebijakan dan kriteria pola pengelolaan
kawasan rawan bencana alam, suaka alam-margasatwa, pelestarian alam, dan kawasan
perlindungan setempat (sempadan pantai, dan sungai) perlu dirumuskan untuk dapat
mengantisipasi berbagai kerusakan lingkungan yang mungkin terjadi.

Selain antisipasi yang bersifat makro-strategis diatas, diperlukan pula antisipasi dampak
kenaikan muka air laut dan banjir yang bersifat mikro-operasional. Pada tataran mikro, maka
pengembangan kawasan budidaya pada kawasan pesisir selayaknya dilakukan dengan
mempertimbangkan beberapa alternatif yang direkomendasikan oleh IPCC (1990) sebagai
berikut :

 Relokasi ; alternatif ini dikembangkan apabila dampak ekonomi dan lingkungan akibat kenaikan
muka air laut dan banjir sangat besar sehingga kawasan budidaya perlu dialihkan lebih menjauh
dari garis pantai. Dalam kondisi ekstrim, bahkan, perlu dipertimbangkan untuk menghindari
sama sekali kawasan-kawasan yang memiliki kerentanan sangat tinggi.
 Akomodasi ; alternatif ini bersifat penyesuaian terhadap perubahan alam atau resiko dampak
yang mungkin terjadi seperti reklamasi, peninggian bangunan atau perubahan agriculture
menjadi budidaya air payau (aquaculture) ; area-area yang tergenangi tidak terhindarkan,
namun diharapkan tidak menimbulkan ancaman yang serius bagi keselamatan jiwa, asset dan
aktivitas sosial-ekonomi serta lingkungan sekitar.
 Proteksi ; alternatif ini memiliki dua kemungkinan, yakni yang bersifat hard structure seperti
pembangunan penahan gelombang (breakwater) atau tanggul banjir (seawalls) dan yang
bersifat soft structure seperti revegetasi mangrove atau penimbunan pasir (beach nourishment).
Walaupun cenderung defensif terhadap perubahan alam, alternatif ini perlu dilakukan secara
hati-hati dengan tetap mempertimbangkan proses alam yang terjadi sesuai dengan prinsip
“working with nature”.
Sedangkan untuk kawasan lindung, prioritas penanganan perlu diberikan untuk sempadan pantai,
sempadan sungai, mangrove, terumbu karang, suaka alam margasatwa/cagar alam/habitat flora-
fauna, dan kawasan-kawasan yang sensitif secara ekologis atau memiliki kerentanan tinggi
terhadap perubahan alam atau kawasan yang bermasalah. Untuk pulau-pulau kecil maka
perlindungan perlu diberikan untuk pulau-pulau yang memiliki fungsi khusus, seperti tempat
transit fauna, habitat flora dan fauna langka/dilindungi, kepentingan hankam, dan sebagainya.

Agar prinsip keterpaduan pengelolaan pembangunan kawasan pesisir benar-benar dapat


diwujudkan, maka pelestarian kawasan lindung pada bagian hulu – khususnya hutan tropis -
perlu pula mendapatkan perhatian. Hal ini penting agar laju pemanasan global dapat dikurangi,
sekaligus mengurangi peningkatan skala dampak pada kawasan pesisir yang berada di kawasan
hilir.

Kebutuhan Intervensi Kebijakan Penataan Ruang dalam rangka Mengantisipasi Dampak


Pemanasan Global terhadap Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Dalam kerangka kebijakan penataan ruang, maka RTRWN merupakan salah satu instrumen
kebijakan yang dapat dimanfaatkan untuk dampak pemanasan global terhadap kawasan pesisir
dan pulau-pulau kecil. Namun demikian, selain penyiapan RTRWN ditempuh pula kebijakan
untuk revitalisasi dan operasionalisasi rencana tata ruang yang berorientasi kepada pemanfaatan
dan pengendalian pemanfaatan ruang kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dengan tingkat
kedalaman yang lebih rinci.

Intervensi kebijakan penataan ruang diatas pada dasarnya ditempuh untuk memenuhi tujuan-
tujuan berikut :

 Mewujudkan pembangunan berkelanjutan pada kawasan pesisir, termasuk kota-kota pantai


dengan segenap penghuni dan kelengkapannya (prasarana dan sarana) sehingga fungsi-fungsi
kawasan dan kota sebagai sumber pangan (source of nourishment) dapat tetap berlangsung.
 Mengurangi kerentanan (vulnerability) dari kawasan pesisir dan para pemukimnya (inhabitants)
dari ancaman kenaikan muka air laut, banjir, abrasi, dan ancaman alam (natural hazards)
lainnya.
 Mempertahankan berlangsungnya proses ekologis esensial sebagai sistem pendukung
kehidupan dan keanekaragaman hayati pada wilayah pesisir agar tetap lestari yang dicapai
melalui keterpaduan pengelolaan sumber daya alam dari hulu hingga ke hilir (integrated coastal
zone management).
 Untuk mendukung tercapainya upaya revitalisasi dan operasionalisasi rencana tata ruang, maka
diperlukan dukungan-dukungan, seperti : (a) penyiapan Pedoman dan Norma, Standar, Prosedur
dan Manual (NSPM) untuk percepatan desentralisasi bidang penataan ruang ke daerah -
khususnya untuk penataan ruang dan pengelolaan sumber daya kawasan pesisir/tepi air; (b)
peningkatan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia serta pemantapan format dan
mekanisme kelembagaan penataan ruang, (c) sosialisasi produk-produk penataan ruang kepada
masyarakat melalui public awareness campaig, (d) penyiapan dukungan sistem informasi dan
database pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang memadai, serta (e) penyiapan
peta-peta yang dapat digunakan sebagai alat mewujudkan keterpaduan pengelolaan kawasan
pesisir dan pulau-kecil sekaligus menghindari terjadinya konflik lintas batas.
 Selanjutnya, untuk dapat mengelola pembangunan kawasan pesisir secara efisien dan efektif,
diperlukan strategi pendayagunaan penataan ruang yang senada dengan semangat otonomi
daerah yang disusun dengan memperhatikan faktor-faktor berikut :
 Keterpaduan yang bersifat lintas sektoral dan lintas wilayah dalam konteks pengembangan
kawasan pesisir sehingga tercipta konsistensi pengelolaan pembangunan sektor dan wilayah
terhadap rencana tata ruang kawasan pesisir.
 Pendekatan bottom-up atau mengedepankan peran masyarakat (participatory planning process)
dalam pelaksanaan pembangunan kawasan pesisir yang transparan dan accountable agar lebih
akomodatif terhadap berbagai masukan dan aspirasi seluruh stakeholders dalam pelaksanaan
pembangunan.
 Kerjasama antar wilayah (antar propinsi, kabupaten maupun kota-kota pantai, antara kawasan
perkotaan dengan perdesaan, serta antara kawasan hulu dan hilir) sehingga tercipta sinergi
pembangunan kawasan pesisir dengan memperhatikan inisiatif, potensi dan keunggulan lokal,
sekaligus reduksi potensi konflik lintas wilayah
 Penegakan hukum yang konsisten dan konsekuen – baik PP, Keppres, maupun Perda - untuk
menghindari kepentingan sepihak dan untuk terlaksananya role sharing yang ‘seimbang’ antar
unsur-unsur stakeholders.
Pengaruh Kenaikan Suhu terhadap Zooxanthellae pada Terumbu Karang
Terumbu karang merupakan ekosistem yang pada dasarnya dibangun oleh biota penghasil kapur atau
scleractinia bersama ribuan spesies lain, baik ikan, invertebrata bakteri maupun alga. Proses ekologis
yang sangat penting terjadi dalam ekosistem terumbu karang karena siklus nutrien dan transfer energi
kemudian membentuk suatu perairan yang kaya akan biodiversitas (Bryant et al., 1998).
Karang adalah hewan tak bertulang belakang yang termasuk dalam filum Coelenterata (hewan
berongga) atau Cnidaria (Nybakken, 1992). Hubungan simbiosis antara karang dengan zooxanthellae
memberikan keuntungan pada kedua pihak. Zooxanthellae mendapatkan ruang untuk hidup di dalam
habitat yang terlindungi dengan baik, yaitu dalam jaringan karang disamping ketersediaan nutrisi dasar
seperti fosfat dan amonia, juga menyediakan CO2 dalam jumlah yang tidak terbatas yang merupakan
hasil respirasi hewan karang (Tomascik, et al., 1997).
Keberadaan suatu spesies karang pada suatu wilayah tertentu dipengaruhi oleh faktor lingkungan yaitu
cahaya, suhu, kedalaman, salinitas, kekeruhan, sedimen, substrat dan pergerakan massa air (Nybakken,
1992). Tekanan terhadap ekosistem karang, banyak berkaitan dengan degradasi lingkungan lokal
misalnya pada saat ini karang mengalami stress akibat dampak dari perubahan iklim. Kecenderungan
suhu bumi yang terus meningkat karena pemanasan global mengakibatkan terjadinya pemutihan
terumbu karang dalam skala luas. Apabila kenaikan suhu ini dibandingkan dengan batas toleransi karang
terhadap pemutihan dalam 100 tahun terakhir, maka pada tahun 2020, diprediksikan bahwa pemutihan
terumbu karang akan terjadi setiap tahun (Hoegh&Guldberg, 1999).
Tahun 1997-1998 Indonesia mengalami pemutihan karang yang mencapai sekitar 50% atau lebih dari
tutupan karang tercatat yang terjadi di Taman Nasional Bali Barat (mencapai hingga 100%), Karimun
Jawa( mencapai 50-60%), Taman Nasional Pulau Seribu, Kepulauan Gili, Lombok (mencapai hingga 90%)
dan Kalimatan Timur. (Irdez et al, 1998 dalam Setiasih, 2008).
Secara umum terjadinya degradasi ekosistem terumbu karang ditimbulkan oleh dua penyebab utama,
yaitu akibat kegiatan manusia dan akibat alam. Kegiatan manusia yang menyebabkan terjadinya
degradasi terumbu karang antara lain penambangan dan pengambilan karang, penangkapan ikan
dengan menggunakan alat dan metode yang merusak, penangkapan yang berlebih, pencemaran
perairan, kegiatan pembangunan di wilayah pesisir, dan kegiatan pembangunan di wilayah hulu.
Sementara itu, degradasi terumbu karang yang disebabkan oleh alam antara lain oleh predator,
pemanasan global, bencana alam seperti angin taufan, gempa tektonik, banjir dan tsunami serta
bencana alam lainnya seperti El-Nino dan La-Nina (Westmacott, Teleki, Wells dan West, 2000;
COREMAP, 2001; Burke et al., 2002).
Degradasi terumbu karang yang disebabkan alam seperti pemanasan global menyebabkan suhu air laut
meningkat secara tidak normal yang menjadi ancaman besar bagi kerusakan ekosistem karang dan
mengganggu kemampuan zooxanthellae untuk berfotosintesis. Faktor yang mengakibatkan adanya
pemanasan global disebabkan oleh pemanasan permukaan air laut, mencairnya es di kutub dan
rekayasa lingkungan oleh manusia (Hoegh&Guldberg, 2004).
Pengaruh pemanasan global terhadap pemutihan karang di dunia belum dirasakan secara signifikan,
namun faktor itu telah menjadi kekhawatiran bagi pemerhati lingkungan pesisir. Upaya menanggulangi
masalah tersebut khususnya dalam rangka memulihkan kembali fungsi dan peranan ekosistem terumbu
karang sebagai habitat biota laut, perlu segera diambil tindakan nyata untuk menjaga kelestarian
ekosistem karang melalui upaya rehabilitasi sumber daya karang yang sudah mengalami kerusakan.
Dalam upaya menanggulangi masalah kerusakan ekosistem karang telah dilakukan berbagai upaya
antara lain, peraturan seperti pengembangan teknologi baik transplantasi maupun terumbu karang
buatan. Banyak negara mengembangkan teknologi tersebut dan terbukti menguntungkan baik dari segi
ekonomi, sosial dan ekologi (Wasilun dan Murniyati, 1997).
Terumbu karang yang hidup dan tumbuh dengan baik mempunyai nilai penting diantaranya sebagai
gudang keanekaragaman hayati biota-biota laut, sebagai pendaur ulang unsur hara yang paling efektif
dan efisien, sebagai pelindungan pantai dari hempasan gelombang. dan terumbu karang yang bagus,
dapat menyuplai oksigen (O2), ke atmosfer sekaligus menekan terjadinya global warming (Westmacott
et al., 2002).

PERMASALAHAN
Pemanasan global (global warming) membawa ancaman serius terhadap kelestarian ekosistem terumbu
karang. Fenomena yang juga disebut sebagai pergeseran iklim global (global climate change) tersebut
diduga merupakan dampak dari efek rumah kaca yang dibawa oleh kelebihan CO2 (karbondioksida) dan
gas-gas rumah kaca lainnya di atmosfir. Pengaruh pemanasan global pada ekosistem terumbu karang
diduga telah menyebabkan lebih sering munculnya pemutihan karang (coral bleaching) dalam tiga
dekade terakhir (Bachtiar, 2003).
Pemutihan karang adalah perubahan warna pada jaringan karang dari warna alaminya yang kecoklat-
coklatan atau kehijau-hijauan menjadi warna putih pucat yang merupakan karakteristik dari sehatnya
binatang karang atau terpisahnya alga yang bersimbiosis (Zooxanthellae) dari induk karang terjadi akibat
berbagai macam tekanan, baik secara alami maupun karena manusia yang menyebabkan degenerasi
atau hilangnya zooxanthellae pewarna dari jaringan karang (Brown, 1997; Szmant dan Gasman 1990;
Suharsono 1998). Penyebab pemutihan karang dapat disebabkan oleh satu faktor ataupun gabungan
dari beberapa faktor misalnya kombinasi antara kenaikan suhu dan radiasi sinar matahari, oleh karena
itu sulit untuk mengidentifikasi penyebab peristiwa pemutihan di suatu tempat. Secara umum penyebab
karang mengalami pemutihan, diantaranya adalah perubahan lingkungan (Hoegh&Guldberg, 1999).
Pemutihan karang dapat dipicu dari perubahan salinitas yang drastis dan pencemaran terhadap logam
tertentu atau bahan beracun juga dapat menyebabkan pemutihan karang (Hoegh&Guldberg, 1999).
Secara masal pemutihan karang disebabkan oleh perubahan suhu yang melewati batas toleransi karang
dan peningkatan intensitas cahaya matahari (Hoegh&Guldberg, 1999). Kenaikan suhu lebih dari 1 – 20C
di atas suhu air laut normal akan mengakibatkan pemutihan karang (Goreau dan Hayes, 2005). Suhu
yang naik dapat menyebabkan karang memutih tergantung dari penyesuaian karang tersebut terhadap
rata-rata suhu air laut di sekitar lingkungannya. Pemutihan Karang terjadi apabila suhu lingkungan
meningkat secara tajam dalam waktu singkat atau peningkatan suhu secara perlahan-lahan dalam waktu
yang lama (Wilkinson, 2000).
Kelangsungan simbiosis mutualisme antara inang karang dengan zooxanthellae merupakan penentu
kelangsungan hidup karang itu sendiri, karena tanpa keberadaan zooxanthellae maka karang akan mati.
Adapun simbiosis tersebut juga sangat peka terhadap perubahan lingkungan dan dampak kegiatan
manusia (Veron, 2000). Perubahan keadaan lingkungan saat ini telah mengakibatkan meningkatnya
frekuensi terjadinya pemutihan karang di dunia (Wellington et al, 2001 dalam West dan Salm, 2003).
Berdasarkan hal tersebut, mengenai ekosistem terumbu karang maka perlu dilakukan usaha yang serius
untuk tetap menjaga kelestarian dan kelangsungan hidup ekosistem terumbu karang. Salah satu usaha
yang dapat dilakukan adalah penelitian mengenai ekosistem terumbu karang dengan segala aspeknya,
diantaranya pengaruh kenaikan suhu air laut terhadap zooxanthellae pada karang Porites lobata,
Pocillopora damicormis, dan Acropora aspera.
Fakta #1: Mencairnya es di kutub utara & selatan

Pemanasan Global berdampak langsung pada terus mencairnya es di


daerah kutub utara dan kutub selatan. Es di Greenland yang telah mencair
hampir mencapai 19 juta ton! Dan volume es di Artik pada musim panas
2007 hanya tinggal setengah dari yang ada 4 tahun sebelumnya!

Mencairnya es saat ini berjalan jauh lebih cepat dari model-model prediksi
yang pernah diciptakan oleh para ilmuwan. Beberapa prediksi awal yang
pernah dibuat sebelumnya memperkirakan bahwa seluruh es di kutub akan
lenyap pada tahun 2040 sampai 2100. Tetapi data es tahunan yang tercatat
hingga tahun 2007 membuat mereka berpikir ulang mengenai model
prediksi yang telah dibuat sebelumnya.

Para ilmuwan mengakui bahwa ada faktor-faktor kunci yang tidak mereka
ikutkan dalam model prediksi yang ada. Dengan menggunakan data es
terbaru, serta model prediksi yang lebih akurat, Dr. H. J. Zwally, seorang
ahli iklim NASA membuat prediksi baru yang sangat mencengangkan:

HAMPIR SEMUA ES DI KUTUB UTARA AKAN LENYAP PADA AKHIR


MUSIM PANAS 2012!
Baru-baru ini sebuah fenomena alam kembali menunjukkan betapa
seriusnya kondisi ini. Pada tanggal 6 Maret 2008, sebuah bongkahan es
seluas 414 kilometer persegi (hampir 1,5 kali luas kota Surabaya)
di Antartika runtuh.

Menurut peneliti, bongkahan es berbentuk lempengan yang sangat besar itu


mengambang permanen di sekitar 1.609 kilometer selatan Amerika Selatan,
barat daya Semenanjung Antartika. Padahal, diyakini bongkahan es itu
berada di sana sejak 1.500 tahun lalu. “Ini akibat pemanasan global,” ujar
ketua peneliti NSIDC Ted Scambos. Menurutnya, lempengan es yang
disebutWilkins Ice Shelf itu sangat jarang runtuh.

Sekarang, setelah adanya perpecahan itu, bongkahan es yang tersisa tinggal


1.950 kilometer persegi, ditambah 5,6 kilometer potongan es yang
berdekatan dan menghubungkan dua pulau. “Sedikit lagi, bongkahan es
terakhir ini bisa turut amblas. Dan, separo total area es bakal hilang dalam
beberapa tahun mendatang,” ujar Scambos.

“Beberapa kejadian akhir-akhir ini merupakan titik yang memicu dalam


perubahan sistem,” ujar Sarah Das, peneliti dari Institut Kelautan Wood
Hole. Perubahan di Antartika sangat kompleks dan lebih terisolasi dari
seluruh bagian dunia.

Antartika di Kutub Selatan adalah daratan benua dengan wilayah


pegunungan dan danau berselimut es yang dikelilingi lautan. Benua ini jauh
lebih dingin daripada Artik, sehingga lapisan es di sana sangat jarang
meleleh, bahkan ada lapisan yang tidak pernah mencair dalam sejarah.
Temperatur rata-ratanya minus 49 derajat Celsius, tapi pernah mencapai
hampir minus 90 derajat celsius pada Juli 1983. Tak heran jika fenomena
mencairnya es di benua yang mengandung hampir 90 persen es di seluruh
dunia itu mendapat perhatian serius peneliti.
Urutan gambar satelit proses keruntuhan Wilkins Ice Shelf. Gambar besar di
sebelah kiri diambil pada tanggal 6 Maret 2008. NSIDC mengambil gambar-
gambar ini melalui satelit Aqua dan Terra milik NASA.

Fakta #2: Meningkatnya level permukaan laut.

Mencairnya es di kutub utara dan kutub selatan berdampak langsung pada


naiknya level permukaan air laut (grafik di samping menunjukkan hasil
pengukuran level permukaan air laut selama beberapa tahun terakhir). Para
ahli memperkirakan apabila seluruh Greenland mencair. Level permukaan
laut akan naik sampai dengan 7 meter! Cukup untuk menenggelamkan
seluruh pantai, pelabuhan, dan dataran rendah di seluruh dunia.

Fakta #3: Perubahan Iklim/cuaca yang semakin ekstrim

NASA menyatakan bahwa pemanasan global berimbas pada semakin


ekstrimnya perubahan cuaca dan iklim bumi. Pola curah hujan berubah-ubah
tanpa dapat diprediksi sehingga menyebabkan banjir di satu tempat, tetapi
kekeringan di tempat lain. Topan dan badai tropis baru akan bermunculan
dengan kecenderungan semakin lama semakin kuat.

Tanpa diperkuat oleh pernyataan NASA di atas-pun Anda sudah dapat


melihat efeknya pada lingkungan di sekitar kita. Anda tentu menyadari
betapa panasnya suhu disekitar Anda belakangan ini. Anda juga dapat
melihat betapa tidak dapat di prediksinya kedatangan musim hujan ataupun
kemarau yang mengakibatkan kerugian bagi petani karena musim tanam
yang seharusnya dilakukan pada musim kemarau ternyata malah hujan.
Anda juga dapat mencermati kasus-kasus badai ekstrim yang belum pernah
melanda wilayah-wilayah tertentu di Indonesia. Tahun-tahun belakangan ini
kita semakin sering dilanda badai-badai yang mengganggu jalannya
pelayaran dan pengangkutan baik via laut maupun udara.
Bila fenomena dalam negeri masih belum cukup bagi Anda, Anda juga dapat
mencermati berita-berita internasional mengenai bencana alam. Badai topan
di Jepang dan Amerika Serikat terus memecahkan rekor baru dari tahun ke
tahun. Anda dapat mencermati informasi-informasi ini melalui media masa
maupun internet. Tidak ada satu benua pun di dunia ini yang luput dari
perubahan iklim yang ekstrim ini.

Fakta #4: Gelombang Panas menjadi Semakin Ganas

Pemanasan Global mengakibatkan gelombang panas menjadi semakin sering


terjadi dan semakin kuat. Tahun 2007 adalah tahun pemecahan rekor baru
untuk suhu yang dicapai oleh gelombang panas yang biasa melanda Amerika
Serikat.

Daerah St. George, Utah memegang rekor tertinggi dengan suhu tertinggi
mencapai 48° Celcius! (Sebagai perbandingan, Anda dapat membayangkan
suhu kota Surabaya yang terkenal panas ‘hanya’ berkisar di antara 30°-
37° Celcius). Suhu di St. George disusul oleh Las Vegas dan Nevada yang
mencapai 47° Celcius, serta beberapa kota lain di Amerika Serikat yang
rata-rata suhunya di atas 40° Celcius. Daerah Death Valley di California
malah sempat mencatat suhu 53° Celcius!.
Serangan gelombang panas kali ini bahkan memaksa pemerintah di
beberapa negara bagian untuk mendeklarasikan status darurat siaga 1.
Serangan tahun itu memakan beberapa korban meninggal (karena
kepanasan), mematikan ratusan ikan air tawar, merusak hasil pertanian,
memicu kebakaran hutan yang hebat, serta membunuh hewan-hewan
ternak.

Pada tahun 2003, daerah Eropa Selatan juga pernah mendapat serangan
gelombang panas hebat yang mengakibatkan tidak kurang dari 35.000
orang meninggal dunia dengan korban terbanyak dari Perancis (14.802
jiwa). Perancis merupakan negara dengan korban jiwa terbanyak karena
tidak siapnya penduduk dan pemerintah setempat atas fenomena
gelombang panas sebesar itu. Korban jiwa lainnya tersebar mulai dari
Inggris, Italia, Portugal, Spanyol, dan negara-negara Eropa lainnya.
Gelombang panas ini juga menyebabkan kekeringan parah dan kegagalan
panen merata di daerah Eropa.

Mungkin kita tidak mengalami gelombang-gelombang panas maha dahsyat


seperti yang dialami oleh Eropa dan Amerika Serikat, tetapi melalui
pengamatan dan dari apa yang Anda rasakan sehari-harinya. Anda dapat
juga merasakan betapa panasnya suhu di sekitar Anda. Cobalah perhatikan
seberapa sering Anda mendengar ataupun mungkin mengucapkan sendiri
kata-kata seperti: “Panas banget ya hari ini!”

Apabila Anda kebetulan bekerja di dalam ruangan ber-AC dari pagi hingga
siang hari sehingga Anda tidak sempat merasakan panasnya suhu
belakangan ini, Anda dapat menanyakannya kepada teman-teman ataupun
orang disekitar Anda yang kebetulan bekerja di luar ruang. Orang-orang
yang sehari-harinya bekerja dengan menggunakan kendaraan terbuka di
siang hari bolong (misalnya sales dengan sepeda motor) mungkin dapat
menceritakan dengan lebih jelas beta-pa panasnya sinar matahari yang
menyengat punggung mereka.

Fakta #5: Habisnya Gletser-Sumber Air Bersih Dunia

Mencairnya gletser-gletser dunia mengancam ketersediaan air bersih, dan


pada jangka panjang akan turut menyumbang peningkatan level air laut
dunia. Dan sayangnya itulah yang terjadi saat ini. Gletser-gletser dunia saat
ini mencair hingga titik yang mengkhawatirkan!.
NASA mencatat bahwa sejak tahun 1960 hingga 2005 saja, jumlah gletser-
gletser di berbagai belahan dunia yang hilang tidak kurang dari 8.000 meter
kubik! Para ilmuwan NASA kini telah menyadari bahwa cairnya gletser,
cairnya es di kedua kutub bumi, meningkatnya temperatur bumi secara
global, hingga meningkatnya level air laut merupakan bukti-bukti bahwa
planet bumi sedang terus memanas. Dan dipastikan bahwa umat manusialah
yang bertanggung jawab untuk hal ini.
Pemanasan Global Semakin Luar Biasa
Posted by arieDRifke at 7:00 PM . Wednesday, July 7, 2010
Labels: Info Khas Share 

Assalamualaikum..
Seperti yang kita semua ketahui, kesan pemanasan global semakin hari semakin meningkat. Suhu
di seluruh dunia semakin meningkat dan ini menyebabkan ais di kutub utara dan selatan semakin
lama semakin mencair. Rata-rata pakar diseluruh dunia semakin ramai yang menyampaikan
kebimbangan mengenai hal ini dan perkara ini seperti tiada penghujungnya lagi.

Apa Itu Pemanasan Global?


Pemanasan global atau Global Warming adalah adanya proses peningkatan suhu rata-rata
atmosfer, laut, dan daratan Bumi.

Suhu rata-rata global pada permukaan Bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 °C (1.33 ± 0.32 °F)
selama seratus tahun terakhir. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)
menyimpulkan bahwa, "sebagian besar peningkatan suhu rata-rata global sejak pertengahan abad
ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat
aktivitas manusia"[1] melalui efek rumah kaca. Kesimpulan dasar ini telah dikemukakan oleh
setidaknya 30 badan ilmiah dan akademik, termasuk semua akademi sains nasional dari negara-
negara G8. Akan tetapi, masih terdapat beberapa ilmuwan yang tidak setuju dengan beberapa
kesimpulan yang dikemukakan IPCC tersebut.

Model iklim yang dijadikan acuan oleh projek IPCC menunjukkan suhu permukaan global akan
meningkat 1.1 hingga 6.4 °C (2.0 hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 dan 2100.[1] Perbedaan
angka perkiraan itu disebabkan oleh penggunaan skenario-skenario berbeda mengenai emisi gas-
gas rumah kaca di masa mendatang, serta model-model sensitivitas iklim yang berbeda.
Walaupun sebagian besar penelitian terfokus pada periode hingga 2100, pemanasan dan
kenaikan muka air lautdiperkirakan akan terus berlanjut selama lebih dari seribu tahun walaupun
tingkat emisi gas rumah kaca telah stabil. Ini mencerminkan besarnya kapasitas panas dari
lautan.

Meningkatnya suhu global diperkirakan akan menyebabkan perubahan-perubahan yang lain


seperti naiknya permukaan air laut, meningkatnya intensitas fenomena cuaca yang ekstrim, serta
perubahan jumlah dan pola presipitasi. Akibat-akibat pemanasan global yang lain adalah
terpengaruhnya hasil pertanian, hilangnya gletser, dan punahnya berbagai jenis hewan.

Beberapa hal-hal yang masih diragukan para ilmuwan adalah mengenai jumlah pemanasan yang
diperkirakan akan terjadi di masa depan, dan bagaimana pemanasan serta perubahan-perubahan
yang terjadi tersebut akan bervariasi dari satu daerah ke daerah yang lain. Hingga saat ini masih
terjadi perdebatan politik dan publik di dunia mengenai apa, jika ada, tindakan yang harus
dilakukan untuk mengurangi atau membalikkan pemanasan lebih lanjut atau untuk beradaptasi
terhadap konsekuensi-konsekuensi yang ada. Sebagian besar pemerintahan negara-negara di
dunia telah menandatangani dan meratifikasi Protokol Kyoto, yang mengarah pada pengurangan
emisi gas-gas rumah kaca.

Penyebab pemanasan global


Efek rumah kaca

Segala sumber energi yang terdapat di Bumi berasal dari Matahari. Sebagian besar energi
tersebut berbentuk radiasi gelombang pendek, termasuk cahaya tampak. Ketika energi ini tiba
permukaan Bumi, ia berubah dari cahaya menjadi panas yang menghangatkan Bumi. Permukaan
Bumi, akan menyerap sebagian panas dan memantulkan kembali sisanya. Sebagian dari panas ini
berwujud radiasi infra merah gelombang panjang ke angkasa luar. Namun sebagian panas tetap
terperangkap di atmosfer bumi akibat menumpuknya jumlah gas rumah kaca antara lain uap air,
karbon dioksida, dan metana yang menjadi perangkap gelombang radiasi ini. Gas-gas ini
menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan Bumi dan akibatnya
panas tersebut akan tersimpan di permukaan Bumi. Keadaan ini terjadi terus menerus sehingga
mengakibatkan suhu rata-rata tahunan bumi terus meningkat.

Gas-gas tersebut berfungsi sebagaimana gas dalam rumah kaca. Dengan semakin meningkatnya
konsentrasi gas-gas ini di atmosfer, semakin banyak panas yang terperangkap di bawahnya.

Efek rumah kaca ini sangat dibutuhkan oleh segala makhluk hidup yang ada di bumi, karena
tanpanya, planet ini akan menjadi sangat dingin. Dengan temperatur rata-rata sebesar 15 °C (59
°F), bumi sebenarnya telah lebih panas 33 °C (59 °F)dari temperaturnya semula, jika tidak ada
efek rumah kaca suhu bumi hanya -18 °C sehingga es akan menutupi seluruh permukaan Bumi.
Akan tetapi sebaliknya, apabila gas-gas tersebut telah berlebihan di atmosfer, akan
mengakibatkan pemanasan global.
Efek umpan balik

Anasir penyebab pemanasan global juga dipengaruhi oleh berbagai proses umpan balik yang
dihasilkannya. Sebagai contoh adalah pada penguapan air. Pada kasus pemanasan akibat
bertambahnya gas-gas rumah kaca seperti CO2, pemanasan pada awalnya akan menyebabkan
lebih banyaknya air yang menguap ke atmosfer. Karena uap air sendiri merupakan gas rumah
kaca, pemanasan akan terus berlanjut dan menambah jumlah uap air di udara sampai tercapainya
suatu kesetimbangan konsentrasi uap air. Efek rumah kaca yang dihasilkannya lebih besar bila
dibandingkan oleh akibat gas CO2 sendiri. (Walaupun umpan balik ini meningkatkan kandungan
air absolut di udara, kelembaban relatif udara hampir konstan atau bahkan agak menurun karena
udara menjadi menghangat). Umpan balik ini hanya berdampak secara perlahan-lahan karena
CO2 memiliki usia yang panjang di atmosfer.

Efek umpan balik karena pengaruh awan sedang menjadi objek penelitian saat ini. Bila dilihat
dari bawah, awan akan memantulkan kembali radiasi infra merah ke permukaan, sehingga akan
meningkatkan efek pemanasan. Sebaliknya bila dilihat dari atas, awan tersebut akan
memantulkan sinar Matahari dan radiasi infra merah ke angkasa, sehingga meningkatkan efek
pendinginan. Apakah efek netto-nya menghasilkan pemanasan atau pendinginan tergantung pada
beberapa detail-detail tertentu seperti tipe dan ketinggian awan tersebut. Detail-detail ini sulit
direpresentasikan dalam model iklim, antara lain karena awan sangat kecil bila dibandingkan
dengan jarak antara batas-batas komputasional dalam model iklim (sekitar 125 hingga 500 km
untuk model yang digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC ke Empat). Walaupun demikian,
umpan balik awan berada pada peringkat dua bila dibandingkan dengan umpan balik uap air dan
dianggap positif (menambah pemanasan) dalam semua model yang digunakan dalam Laporan
Pandangan IPCC ke Empat

Umpan balik penting lainnya adalah hilangnya kemampuan memantulkan cahaya (albedo) oleh
es. Ketika temperatur global meningkat, es yang berada di dekat kutub mencair dengan
kecepatan yang terus meningkat. Bersamaan dengan melelehnya es tersebut, daratan atau air di
bawahnya akan terbuka. Baik daratan maupun air memiliki kemampuan memantulkan cahaya
lebih sedikit bila dibandingkan dengan es, dan akibatnya akan menyerap lebih banyak radiasi
Matahari. Hal ini akan menambah pemanasan dan menimbulkan lebih banyak lagi es yang
mencair, menjadi suatu siklus yang berkelanjutan.

Umpan balik positif akibat terlepasnya CO2 dan CH4 dari melunaknya tanah beku (permafrost)
adalah mekanisme lainnya yang berkontribusi terhadap pemanasan. Selain itu, es yang meleleh
juga akan melepas CH4 yang juga menimbulkan umpan balik positif.

Kemampuan lautan untuk menyerap karbon juga akan berkurang bila ia menghangat, hal ini
diakibatkan oleh menurunya tingkat nutrien pada zona mesopelagic sehingga membatasi
pertumbuhan diatom daripada fitoplankton yang merupakan penyerap karbon yang rendah.
Variasi Matahari

Terdapat hipotesa yang menyatakan bahwa variasi dari Matahari, dengan kemungkinan diperkuat
oleh umpan balik dari awan, dapat memberi kontribusi dalam pemanasan saat ini.[6] Perbedaan
antara mekanisme ini dengan pemanasan akibat efek rumah kaca adalah meningkatnya aktivitas
Matahari akan memanaskan stratosfer sebaliknya efek rumah kaca akan mendinginkan stratosfer.
Pendinginan stratosfer bagian bawah paling tidak telah diamati sejak tahun 1960,yang tidak akan
terjadi bila aktivitas Matahari menjadi kontributor utama pemanasan saat ini. (Penipisan lapisan
ozon juga dapat memberikan efek pendinginan tersebut tetapi penipisan tersebut terjadi mulai
akhir tahun 1970-an.) Fenomena variasi Matahari dikombinasikan dengan aktivitas gunung
berapi mungkin telah memberikan efek pemanasan dari masa pra-industri hingga tahun 1950,
serta efek pendinginan sejak tahun 1950.

Ada beberapa hasil penelitian yang menyatakan bahwa kontribusi Matahari mungkin telah
diabaikan dalam pemanasan global. Dua ilmuan dari Duke University mengestimasikan bahwa
Matahari mungkin telah berkontribusi terhadap 45-50% peningkatan temperatur rata-rata global
selama periode 1900-2000, dan sekitar 25-35% antara tahun 1980 dan 2000. Stott dan rekannya
mengemukakan bahwa model iklim yang dijadikan pedoman saat ini membuat estimasi
berlebihan terhadap efek gas-gas rumah kaca dibandingkan dengan pengaruh Matahari; mereka
juga mengemukakan bahwa efek pendinginan dari debu vulkanik dan aerosol sulfat juga telah
dipandang remeh.[ Walaupun demikian, mereka menyimpulkan bahwa bahkan dengan
meningkatkan sensitivitas iklim terhadap pengaruh Matahari sekalipun, sebagian besar
pemanasan yang terjadi pada dekade-dekade terakhir ini disebabkan oleh gas-gas rumah kaca.

Pada tahun 2006, sebuah tim ilmuan dari Amerika Serikat, Jerman dan Swiss menyatakan bahwa
mereka tidak menemukan adanya peningkatan tingkat "keterangan" dari Matahari pada seribu
tahun terakhir ini. Siklus Matahari hanya memberi peningkatan kecil sekitar 0,07% dalam tingkat
"keterangannya" selama 30 tahun terakhir. Efek ini terlalu kecil untuk berkontribusi terhadap
pemansan global. Sebuah penelitian oleh Lockwood dan Fröhlich menemukan bahwa tidak ada
hubungan antara pemanasan global dengan variasi Matahari sejak tahun 1985, baik melalui
variasi dari output Matahari maupun variasi dalam sinar kosmis.

Kesan pemanasan global


Para ilmuan menggunakan model komputer dari temperatur, pola presipitasi, dan sirkulasi
atmosfer untuk mempelajari pemanasan global. Berdasarkan model tersebut, para ilmuan telah
membuat beberapa prakiraan mengenai dampak pemanasan global terhadap cuaca, tinggi
permukaan air laut, pantai, pertanian, kehidupan hewan liar dan kesehatan manusia.

Iklim Mulai Tidak Stabil

Para ilmuan memperkirakan bahwa selama pemanasan global, daerah bagian Utara dari belahan
Bumi Utara (Northern Hemisphere) akan memanas lebih dari daerah-daerah lain di Bumi.
Akibatnya, gunung-gunung es akan mencair dan daratan akan mengecil. Akan lebih sedikit es
yang terapung di perairan Utara tersebut. Daerah-daerah yang sebelumnya mengalami salju
ringan, mungkin tidak akan mengalaminya lagi. Pada pegunungan di daerah subtropis, bagian
yang ditutupi salju akan semakin sedikit serta akan lebih cepat mencair. Musim tanam akan lebih
panjang di beberapa area. Temperatur pada musim dingin dan malam hari akan cenderung untuk
meningkat.
Daerah hangat akan menjadi lebih lembab karena lebih banyak air yang menguap dari lautan.
Para ilmuan belum begitu yakin apakah kelembaban tersebut malah akan meningkatkan atau
menurunkan pemanasan yang lebih jauh lagi. Hal ini disebabkan karena uap air merupakan gas
rumah kaca, sehingga keberadaannya akan meningkatkan efek insulasi pada atmosfer. Akan
tetapi, uap air yang lebih banyak juga akan membentuk awan yang lebih banyak, sehingga akan
memantulkan cahaya matahari kembali ke angkasa luar, dimana hal ini akan menurunkan proses
pemanasan (lihat siklus air). Kelembaban yang tinggi akan meningkatkan curah hujan, secara
rata-rata, sekitar 1 persen untuk setiap derajat Fahrenheit pemanasan. (Curah hujan di seluruh
dunia telah meningkat sebesar 1 persen dalam seratus tahun terakhir ini)[22]. Badai akan menjadi
lebih sering. Selain itu, air akan lebih cepat menguap dari tanah. Akibatnya beberapa daerah
akan menjadi lebih kering dari sebelumnya. Angin akan bertiup lebih kencang dan mungkin
dengan pola yang berbeda. Topan badai (hurricane) yang memperoleh kekuatannya dari
penguapan air, akan menjadi lebih besar. Berlawanan dengan pemanasan yang terjadi, beberapa
periode yang sangat dingin mungkin akan terjadi. Pola cuaca menjadi tidak terprediksi dan lebih
ekstrim.

Peningkatan permukaan laut

Perubahan tinggi rata-rata muka laut diukur dari daerah dengan lingkungan yang stabil secara
geologi.

Ketika atmosfer menghangat, lapisan permukaan lautan juga akan menghangat, sehingga
volumenya akan membesar dan menaikkan tinggi permukaan laut. Pemanasan juga akan
mencairkan banyak es di kutub, terutama sekitar Greenland, yang lebih memperbanyak volume
air di laut. Tinggi muka laut di seluruh dunia telah meningkat 10 – 25 cm (4 - 10 inchi) selama
abad ke-20, dan para ilmuan IPCC memprediksi peningkatan lebih lanjut 9 – 88 cm (4 - 35 inchi)
pada abad ke-21.

Perubahan tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi kehidupan di daerah pantai. Kenaikan
100 cm (40 inchi) akan menenggelamkan 6 persen daerah Belanda, 17,5 persen daerah
Bangladesh, dan banyak pulau-pulau. Erosi dari tebing, pantai, dan bukit pasir akan meningkat.
Ketika tinggi lautan mencapai muara sungai, banjir akibat air pasang akan meningkat di daratan.
Negara-negara kaya akan menghabiskan dana yang sangat besar untuk melindungi daerah
pantainya, sedangkan negara-negara miskin mungkin hanya dapat melakukan evakuasi dari
daerah pantai.

Bahkan sedikit kenaikan tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi ekosistem pantai.
Kenaikan 50 cm (20 inchi) akan menenggelamkan separuh dari rawa-rawa pantai di Amerika
Serikat. Rawa-rawa baru juga akan terbentuk, tetapi tidak di area perkotaan dan daerah yang
sudah dibangun. Kenaikan muka laut ini akan menutupi sebagian besar dari Florida Everglades.

Suhu global cenderung meningkat


Orang mungkin beranggapan bahwa Bumi yang hangat akan menghasilkan lebih banyak
makanan dari sebelumnya, tetapi hal ini sebenarnya tidak sama di beberapa tempat. Bagian
Selatan Kanada, sebagai contoh, mungkin akan mendapat keuntungan dari lebih tingginya curah
hujan dan lebih lamanya masa tanam. Di lain pihak, lahan pertanian tropis semi kering di
beberapa bagian Afrika mungkin tidak dapat tumbuh. Daerah pertanian gurun yang
menggunakan air irigasi dari gunung-gunung yang jauh dapat menderita jika snowpack
(kumpulan salju) musim dingin, yang berfungsi sebagai reservoir alami, akan mencair sebelum
puncak bulan-bulan masa tanam. Tanaman pangan dan hutan dapat mengalami serangan
serangga dan penyakit yang lebih hebat.

Gangguan ekologi

Hewan dan tumbuhan menjadi makhluk hidup yang sulit menghindar dari efek pemanasan ini
karena sebagian besar lahan telah dikuasai manusia. Dalam pemanasan global, hewan cenderung
untuk bermigrasi ke arah kutub atau ke atas pegunungan. Tumbuhan akan mengubah arah
pertumbuhannya, mencari daerah baru karena habitat lamanya menjadi terlalu hangat. Akan
tetapi, pembangunan manusia akan menghalangi perpindahan ini. Spesies-spesies yang
bermigrasi ke utara atau selatan yang terhalangi oleh kota-kota atau lahan-lahan pertanian
mungkin akan mati. Beberapa tipe spesies yang tidak mampu secara cepat berpindah menuju
kutub mungkin juga akan musnah.

Kesan sosial dan politik

Perubahan cuaca dan lautan dapat mengakibatkan munculnya penyakit-penyakit yang


berhubungan dengan panas (heat stroke) dan kematian. Temperatur yang panas juga dapat
menyebabkan gagal panen sehingga akan muncul kelaparan dan malnutrisi. Perubahan cuaca
yang ekstrem dan peningkatan permukaan air laut akibat mencairnya es di kutub utara dapat
menyebabkan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan bencana alam (banjir, badai dan
kebakaran) dan kematian akibat trauma. Timbulnya bencana alam biasanya disertai dengan
perpindahan penduduk ke tempat-tempat pengungsian dimana sering muncul penyakit, seperti:
diare, malnutrisi, defisiensi mikronutrien, trauma psikologis, penyakit kulit, dan lain-lain.

Pergeseran ekosistem dapat memberi dampak pada penyebaran penyakit melalui air (Waterborne
diseases) maupun penyebaran penyakit melalui vektor (vector-borne diseases). Seperti
meningkatnya kejadian Demam Berdarah karena munculnya ruang (ekosistem) baru untuk
nyamuk ini berkembang biak. Dengan adamya perubahan iklim ini maka ada beberapa spesies
vektor penyakit (eq Aedes Agipty), Virus, bakteri, plasmodium menjadi lebih resisten terhadap
obat tertentu yang target nya adala organisme tersebut. Selain itu bisa diprediksi kan bahwa ada
beberapa spesies yang secara alamiah akan terseleksi ataupun punah dikarenakan perbuhan
ekosistem yang ekstreem ini. hal ini juga akan berdampak perubahan iklim (Climat change)yang
bis berdampak kepada peningkatan kasus penyakit tertentu seperti ISPA (kemarau panjang /
kebakaran hutan, DBD Kaitan dengan musim hujan tidak menentu)

Gradasi Lingkungan yang disebabkan oleh pencemaran limbah pada sungai juga berkontribusi
pada waterborne diseases dan vector-borne disease. Ditambah pula dengan polusi udara hasil
emisi gas-gas pabrik yang tidak terkontrol selanjutnya akan berkontribusi terhadap penyakit-
penyakit saluran pernafasan seperti asma, alergi, coccidiodomycosis, penyakit jantung dan paru
kronis, dan lain-lain.
Variasi Matahari

Variasi Matahari selama 30 tahun terakhir.

You might also like