You are on page 1of 4

PERANG PADRI

Perang Paderi meletus di Minangkabau antara sejak tahun 1821 hingga 1837. Kaum Paderi dipimpin
Tuanku Imam Bonjol melawan penjajah Hindia Belanda.

Gerakan Paderi menentang perbuatan-perbuatan yang marak waktu itu di masyarakat Minang, seperti
perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat (opium), minuman keras, tembakau, sirih, juga
aspek hukum adat matriarkat mengenai warisan dan umumnya pelaksanaan longgar kewajiban ritual
formal agama Islam.

Perang ini dipicu oleh perpecahan antara kaum Paderi pimpinan Datuk Bandaro dan Kaum Adat
pimpinan Datuk Sati. Pihak Belanda kemudian membantu kaum adat menindas kaum Padri. Datuk
Bandaro kemudian diganti Tuanku Imam Bonjol.

Perang melawan Belanda baru berhenti tahun 1838 setelah seluruh bumi Minang ditawan oleh
Belanda dan setahun sebelumnya, 1837, Imam Bonjol ditangkap.

Meskipun secara resmi Perang Paderi berakhir pada tahun kejatuhan benteng Bonjol, tetapi benteng
terakhir Paderi, Dalu-Dalu, di bawah pimpinan Tuanku Tambusai, barulah jatuh pada tahun 1838.
Alam Minangkabau menjadi bagian dari pax neerlandica. Tetapi pada tahun 1842, pemberontakan
Regent Batipuh meletus.

Belanda menyerang benteng kaum Paderi di Bonjol dengan tentara yang dipimpin oleh jenderal dan
para perwira Belanda, tetapi yang sebagian besar terdiri dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura,
Bugis, dan Ambon. Dalam daftar nama para perwira pasukan Belanda adalah Letnan Kolonel Bauer,
Kapten MacLean, Letnan Satu Van der Tak, dan seterusnya, tetapi juga nama Inlandsche (pribumi)
seperti Kapitein Noto Prawiro, Indlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo,
Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, dan Merto Poero.

Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, 4.130 tentara pribumi,
Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen (pasukan pembantu Sumenap alias Madura). Ketika
dimulai serangan terhadap benteng Bonjol, orang-orang Bugis berada di bagian depan menyerang
pertahanan Paderi.

Dari Batavia didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda. Tanggal 20 Juli 1837 tiba dengan
Kapal Perle di Padang, Kapitein Sinninghe, sejumlah orang Eropa dan Afrika, 1 sergeant, 4 korporaals
dan 112 flankeurs. Yang belakangan ini menunjuk kepada serdadu Afrika yang direkrut oleh Belanda
di benua itu, kini negara Ghana dan Mali. Mereka disebut Sepoys dan berdinas dalam tentara Belanda.
Belanda menggunakan 2 benteng sebagai pertahanan selama perang Padri,Fort de Kock dan Fort van
der Capellen di Batusangkar.

Kepala Perang Bonjol ialah Baginda Telabie. Kepala-kepala lain adalah Tuanku Mudi Padang,
Tuanku Danau, Tuanku Kali Besar, Haji Mahamed, dan Tuanku Haji Berdada yang tiap hari dijaga
oleh 100 orang. Yang memberi perintah ialah Tuanku Haji Be Di Bonjol dengan pertahanan enam
meriam di daerah gunung. Halaman-halaman dikitari oleh pagar pertahanan dan parit-parit.

Pada tahun 1832, benteng Bonjol jatuh ke tangan serdadu Kompeni. Hal ini memicu kembali
peperangan. Pos Goegoer Sigandang yang dijaga oleh seorang sersan Belanda dan 18 serdadu
dipersenjatai dengan sebuah meriam pada tahun 1833 diserbu oleh orang-orang Minang. Mereka
membunuh sersan dan seluruh isi benteng. Kolonel Elout membalas dendam dengan cara memanggil
beberapa pemimpin dari daerah Agam untuk menghadapnya di Goegoer Sigandang dan 13 orang
menghadap. Atas perintah Kolonel, ke-13 orang itu digantung semua. Setelah kejadian ini Sultan
Bagagarsyah Alam dari Pagaruyung dibuang ke Batavia.

Selain penduduk Bonjol, terdapat pula di benteng 20 orang serdadu Jawa yang telah menyeberang ke
pihak Paderi. Di antara serdadu-serdadu yang telah meninggalkan tentara Belanda itu terdapat seorang
yang bernama Ali Rachman yang berupaya keras untuk merugikan Kompeni. Juga ada seorang
pemukul tambur bernama Saleya dan seorang awak meriam (kanonnier) bernama Mantoto. Ada juga
Bagindo Alam, Doebelang Alam, dan Doebelang Arab. Doebelang Arab secara khusus berkonsentrasi
untuk mencuri dalam benteng-benteng Belanda.

Pemerintah Hindia Belanda kini telah menyadari bahwa mereka tidak lagi hanya menghadapi kaum
paderi, tetapi masyarakat Minangkabau. Maka pemerintah pun mengeluarkan pengumuman yang
disebut Plakat Panjang (1833) berisi sebuah pernyataan bahwa kedatangan Kompeni ke Minangkabau
tidaklah bermaksud untuk menguasai negeri ini, mereka hanya datang untuk berdagang dan menjaga
keamanan, penduduk Minangkabau akan tetap diperintah oleh para penghulu adat mereka dan tidak
pula diharuskan membayar pajak.

Karena usaha Kompeni untuk menjaga keamanan, mencegah terjadinya "perang antar-nagari",
membuat jalan-jalan, membuka sekolah, dan sebagainya memerlukan biaya, maka penduduk
diwajibkan menanam kopi. Akhirnya benteng Bonjol jatuh juga untuk kedua kalinya pada tahun 1837

PERANG PATTIMURA

Penduduk Ambon-Lease memiliki unsur kehidupan yang dibawa dan dipadukan dengan budaya yang
telah ada oleh VOC yaitu sistem perkebunan cengkeh, sistem pemerintahan desa dan sistem
pendidikan desa. Sistem pemerintahan terjadi karena timbulnya daerah pemukiman baru.
Sistem perkebunan cengkeh mengharuskan menjual cengkeh rakyat ke VOC dengan harga yang
ditetapkan sepihak. Hak pengolahan tanah dibagi menjadi tanah pekebunan cengkeh dan tanah pusaka
warisan keluarga untuk ditanami bahan pangan untuk keluarga yang menggarapnya.

Ketiga jenis sistem tersebut menyebabkan keresahan masyarakat Maluku karena :


1. Banyak terjadi korupsi.
2. Adanya kewajiban membuat ikan asin dan garam untuk kapal perang belanda.
3. Pemuda negeri banyak yang dipaksa menjadi serdadu di Jawa.
4. Diberlakukan sirkulasi uang kertas di Ambon yang didapat dari hasil penjualan cengkeh namun
untuk membeli barang di toko pemerintah harus memakai uang logam.
5. Hukuman denda dibayar dari hasil penjualan cengkeh serta ditambah biaya untuk kepentingan
residen.
6. Penyerahan wajib leverantie bahan bangunan.
7. Adanya pelayaran hongi yang menebar penderitaan.

Tanggal 14 mei 1817 rakyat maluku bersumpah untuk melawan pemerintah dimulai dengan
menyerang dan membongkar perahu milik belanda orombaai pos yang hendak membawa kayu bahan
bangunan. Kemudian merebut benteng Duurstede oleh pasukan yang dipimpin Kapiten Pattimura
dan Thomas Matulesi. Pattimura kemudian menyerang pasukan yang dipimpin beetjes untuk merebut
benteng Zeelandia, namun sebelum menyerang zeelandia, Residen Uitenbroek di Haruku melkukan
hal berikut :
1. Memberi hadiah kepada Kepala Desa.
2. Membentuk komisi pendakatan Kepala-Kepala Desa di Haruku.
3. Mendatangkan pasukan bala bantuan Inggris dengan Kapal Zwaluw.

Karena adanya bantuan Inggris, Kapten Pattimura terdesak masuk hutan dan benteng-bentengnya
direbut kembali pemerintah.

Rakyat nusa laut menyerah tanggal 10 November 1817 setelah pimpinannya Kapiten Paulus Tiahahu
serta putrinya Kristina Martha Tiahahu. Tanggal 12 November 1817 Kapitan Pattimura ditangkap dan
bersama tiga penglimanya dijatuhi hukuman mati di Niuew Victoria di Ambon.

PERANG ACEH

Tahun 1873 pecah perang Aceh melawan Belanda. Perang Aceh disebabkan karena:

1. Belanda menduduki daerah Siak. Akibat dari perjanjian Siak 1858. Dimana Sultan Ismail menyerahkan
daerah Deli, Langkat, Asahan dan Serdang kepada Belanda, padahal daerah-daerah itu sejak Sultan Iskandar
Muda ada dibawah kekuasaan Aceh.
2. Belanda melanggar Siak, maka berakhirlah perjanjian London (1824). Dimana isi perjanjian London adalah
Belanda dan Inggris membuat ketentuan tentang batas-batas kekuasaan kedua daerah di Asia Tenggara yaitu
dengan garis lintang Sinagpura. Keduanya mengakui kedaulatan Aceh.
3. Aceh menuduh Belanda tidak menepati janjinya, sehingga kapal-kapal Belanda yang lewat perairan Aceh
ditenggelamkan Aceh. Perbuatan Aceh ini disetujui Inggris, karena memang Belanda bersalah.
4. Di bukanya terusan Suez oleh Ferdinand de Lessep. Menyebabkan perairan Aceh menjadi sangat penting
untuk lalulintas perdagangan.
5. Dibuatnya Perjanjian Sumatera 1871 antara Inggris dan Belanda, yang isinya, Inggris memberika keleluasaan
kepada Belanda untuk mengambil tindakan di Aceh. Belanda harus menjaga keamanan lalulintas di Selat
Sumatera. Belanda mengizinkan Inggris bebas berdagang di Siak dan menyerahkan daerahnya di Guinea Barat
kepada Inggris.
6. Akibat perjanjian Sumatera 1871, Aceh mengadakan hubungan diplomatik dengan Konsul Amerika, Italia,
Turki di Singapura. Dan mengirimkan utusan ke Turki 1871.
7. Akibat hubungan diplomatik Aceh dengan Konsul Amerika, Italia dan Turki di Singapura, Belanda
menjadikan itu sebagai alasan untuk menyerang Aceh. Wakil Presiden Dewan Hindia Nieuwenhuyzen dengan
2 kapal perangnya datang ke Aceh dan meminta keterangan dari Sultan Machmud Syah tengtang apa yang
sudah dibicarakan di Singapura itu, tetapi Sultan Machmud menolak untuk memberikan keterangan.

Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873 setelah melakukan beberapa ancaman
diplomatik. Sebuah ekspedisi dengan 3.000 serdadu yang dipimpin Mayor Jenderal Köhler dikirimkan pada
tahun 1874, namun dikalahkan tentara Aceh, di bawah pimpinan Panglima Polem dan Sultan Machmud Syah,
yang telah memodernisasikan senjatanya. Köhler sendiri berhasil dibunuh pada tanggal 10 April 1873.

You might also like