You are on page 1of 32

KATA PENGANTAR

Hukum Islam sebagai hukum yang berdiri sendiri telah mempunyai kedudukan yang kuat,
baik di masyarakat maupun dalam peraturan perundang-undangan negara. Dimana kerajaan-
kerajaan Islam yang pernah berdiri di Indonesia melaksanakan hukum Islam dalam wilayah
kekuasaannya masing-masing. Dengan timbulnya komunitas-komunitas masyarakat Islam, maka
kebutuhan akan lembaga peradilan yang memutus perkara berdasarkan hukum Islam makin
diperlukan.
Pada tahun 1830 Pemerintah Belanda menempatkan peradilan agama di bawah
pengawasan "landraad" (pengadilan negeri). Hanya lembaga landraad yang berkuasa untuk
memerintahkan pelaksanaan putusan pengadilan agama dalam bentuk "excecutoire verklaring"
(pelaksanaan putusan). Pengadilan Agama tidak berwenang untuk menyita barang dan uang (Daud
Ali : 223). Dan tidak adanya kewenangan yang seperti ini terus berlangsung sampai dengan
lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dengan keluarnya Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah memberikan landasan untuk
mewujudkan peradilan agama yang mandiri, sederajat dan memantapkan serta mensejajarkan
kedudukan peradilan agama dengan lingkungan peradilan lainnya.
Setelah dikeluarkan dan berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dengan tujuan
untuk rnewujudkan tata kehidupan bangsa, negara, dan masyarakat yang tertib, bersih, makmur,
dan berkeadilan bahwa Peradilan Agama merupakan lingkungan peradilan di bawah
Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Akan tetapi terjadi perubahan
kembali yaitu dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 masih perlu disempurnakan
kembali yaitu dengan mengadakan perubahan kedua yaitu dengan Undang-Undang Nomor 50
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tan 1989 tentang Peradilan
Agama.
Selnjutnya pada era reformasi, terjadi pula perubahan secara besar-besaran pada lembaga
peradilan, khususnya peradilan agama, dimana peradilan Agama harus menundukkan diri kepada
Undang-Undang Satu Atap yaitu UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkmah Agung-RI dan UU
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dan telah terjadi perubahan pada UU
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dengan UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman. Sedangkan pada UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung telah
diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung.
Demikianlah dasar pemikiran penulis dalam membuat makalah yang berjudul ” Tinjauan
dan Kajian Sejarah Peradilan Agama serta Implementasinya ”, untuk mengetahui sampai
sejauh mana perkembangan Sejarah Peradilan Agama di Indonesia.

Demikianlah uraian penulis yang mengurakan secara singkat alur pikir penulisan makalah
Penelusuran Literatur Hukum untuk memenuhi tugas yang diberikan penulis, semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi masyarakat umum maupun kalangan mahasiswa yang pada khususnya.

P e n u l i s,

Timur Abimanyu, SH.MH


Tinjauan dan Kajian Sejarah Peradilan Agama
serta Implementasinya
DAFTAR ISI

Kata Pengantar
Daftar Isi

Bab I : Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah

B. Identfikasi Masalah
C. Rumusan Masalah
D. Sumber Hukum
Bab II : Tinjauan dan Kajian Sejarah Peadilan Agama :
A. Jaman Sebelum Belanda Melancarkan Politik Hukum..
B. Jaman Sesudah Belanda Melancarkan Politik Hukum.
C. Jaman sesudah berlakunya UU No. I Tahun 1974 dan UU No.7 Tahun 1989.
D. Era Reformasi Dalam Peradilan Satu Atap.
1. Berlakuknya UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.
2. Berlakuknya UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
3. Berlakunya UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
4. Berlakuny UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
4. Berlakunya UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.
5. Berlakuknya UU No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Bab III : Analisa dan Implementasi Terhadap Sejarah Peradilan Agama di Indonesia..
Bab IV : - Kesimpulan.
- Saran
BAB I
PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

Perkembangan sejarah peradilan Agama diawali sebelum Belanda melancarkan


politik hukumnya di Indonesia, hukum Islam sebagai hukum yang berdiri sendiri telah
mempunyai kedudukan yang kuat, baik di masyarakat maupun dalam peraturan perundang-
undangan negara. Kerajaan-kerajaan Islam yang pernah berdiri di Indonesia melaksanakan
hukum Islam dalam wilayah kekuasaannya masing-masing. Dengan timbulnya komunitas-
komunitas masyarakat Islam, maka kebutuhan akan lembaga peradilan yang memutus perkara
berdasarkan hukum Islam makin diperlukan. Hal ini nampak jelas dari proses pembentukan
lembaga peradilan yang berdasarkan hukum Islam tersebut yakni: apabila dua orang yang
bersengketa itu dapat bertahkim kepada seseorang yang dianggap memenuhi syarat. Tahkim
(menundukkan diri kepada seseorang yang mempunyai otoritas menyelesaikan masaIah
hukum) hanya dapat berlaku apabila kedua belah pihak terlebih dahulu sepakat untuk
menerima dan mentaati putusannya nanti, juga tidak boleh menyangkut pelaksanaan pidana,
seperti had (ketentuan hukum yang sudah positif bentuk hukumnya) dan ta'zir (kententuan
hukum yang bentuk hukumnya melihat kemaslahatan masyarakat).1
Pengadilan Agama di masa raja-raja Islam diselenggarakan oleh para penghulu,
yaitu pejabat administrasi kemasjidan setempat. Sidang - sidang pengadilan agama pada masa
itu biasanya berlangsung di serambi masjid, sehingga pengadilan agama2 sering pula disebut
"Pengadilan Serambi".3 Kelembagaan Peradilan Agama sebagai wadah, dan hukum Islam
sebagai muatan atau isi pokok pegangan dalam menyelesaikan dan memutus perkara, tidak
dapat dipisahkan. Dalam sejarah perkembangannya, kelembagaan peradilan agama mengalami
pasang surut. Pada masa kekuasaan kerajaan Islam lembaga peradilan agama termasuk bagian
yang tak terpisahkan dengan pemerintahan umum, sebagai penghulu kraton yang mengurus

..A’la,
1
Rofiqul, Membongkar Suap, Jurnal Teras Pesantren, M3S PP. MUS Sarang
Rembang, 1424 H.
2
.Abdurrahman, al-Sayyid bin Muhammad bin Husain, Bughyat al-Mustarsyidin,
Surabaya: Al-Hidayah, tth.
3
.,Abu Zahrah, Muhammad, al-‘Uqubah wa al-Jarimah Fi al-Fiqh al-Islami, ttp, Dar al
Fikr al Arabi, tth.
keagamaan Islam dalam semua aspek kehidupan. Pada masa pemerintahan VOC,
kelembagaan peradilan agama akan dihapuskan dengan membentuk peradilan tersendiri
dengan hukum yang berlaku di negeri Belanda, namun kelembagaan ini tidak dapat berjalan
karena tidak menerapkan hukum Islam.
Pada tahun 1830 Pemerintah Belanda menempatkan peradilan agama di bawah
pengawasan "landraad"4 (pengadilan negeri). Hanya lembaga landraad yang berkuasa untuk
memerintahkan pelaksanaan putusan pengadilan agama dalam bentuk "excecutoire verklaring"
(pelaksanaan putusan). Pengadilan Agama tidak berwenang untuk menyita barang dan uang
(Daud Ali : 223). Dan tidak adanya kewenangan yang seperti ini terus berlangsung sampai
dengan lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.5
Lahirnya firman Raja Belanda (Koninklijk Besluit) tanggal 19 Januari 1882 Nomor
24, Staatsblad 1882 - 152 telah mengubah susunan dan status6 peradilan agama. Wewenang
pengadilan agam.a yang disebut dengan "preisterraacf' tetap daIam bidang perkawinan dan
kewarisan, serta pengakuan dan pengukuhan akan keberadaan pengadilan agama yang telah
ada sebelumnya (Achmad Rustandi: 2), dan hukum Islam sebagai pegangannya. Berlakunya
Staatsblad 1937 Nomor 116 telah mengurangi kompentensi pengadilan agama di Jawa dan
Madura daIam bidang perselisihan harta benda, yang berarti masaIah wakaf dan waris hams
diserahkan kepada pengadilan negeri. Mereka (Pemerintah Kolonial Belanda) berdalih, bahwa
dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, hukum Islam tidak mendalam pengaruhnya pada
aturan-aturan kewarisan dalam keluarga Jawa dan Madura serta di tempat-tempat lain di
seluruh Indo¬nesia (Daniel S Lev: 35-36). Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan memperkokoh keberadaan pengadilan agama. Di dalam undang-
undang ini tidak ada ketentuan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Pasa1 2 ayat (1)
undang-undang ini semakin memperteguh pelaksanaan ajaran Islam (Hukum Islam).

4
.Ahmad. S., Abu Abdul Halim, Suap Dampak Dan Bahyanya Bagi Masyarakat,
Cet 1, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1996.
5
.al Mawardi, Al-Ahkam al-Sultaniyah, Mesir: Dar al-Bab al-Halabi, 1973
al-Asqolani, Ibn Hajar, Fathu al-Bari, Juz 12, ttp., al-Maktabah al-Salafi, tth.
6
.Alatas, Syed Hussein, Sosiologi Korupsi Sebuah Penjelajahan Dengan Data
Kontemporer, Jakarta: LP3ES, 1986.
Suasana cerah kembali mewarnai perkembangan peradilan agama di Indonesia
dengan keluarnya Undang- undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah
memberikan landasan untuk mewujudkan peradilan agama yang mandiri, sederajat dan
memantapkan serta mensejajarkan kedudukan peradilan agama dengan lingkungan peradilan
lainnya. Masyarakat Indonesia (khususnya kaum Muslimin) di tanggal 29 Desember 1989,
menapaki perjalanan sejarah selama kurang lebih satu abad lebihuntuk sebuah pengharapan
eksisnya lembaga peradilan bagi masyarakat Islam7 (Peradilan Agama) yang independen dan
mantap, dimana DPR RI pada tanggal 14 Desember 1989 mensetujui Rancangan Undang-
Undang tentang Peradilan Agama dan kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 pada tanggal 29 Desember 1989. Proses pengaktulisasian Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1989 merupakan upaya keras untuk membangun hukum (khususnya peradilan)
sekaligus upaya keras mengikis habis implikasi politik hukum kolonial. Sehingga sangatlah
diwajarkan suara-suara, kecaman-kecaman dan UUPA8 kita anggap sebagai bukti nyata
bagaimana parahnya akibat dari rekayasa ilmu hukum kolonialisme dulu. Bahkan Mohammad
Daud Ali mengungkapkan bahwa pengesahan Undang-Undang Peradilan Agama itu
merupakan peristiwa penting yang bukan hanya bagi pembangunan perangkat hukum
nasional, tetapi juga bagi umat Islam di Indonesia. Hasil analisis M. Yahya Harahap yang
memperlihatkan bahwa di samping Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagai hal yang
memantapkan dan menjelaskan fungsi serta kewenangan Peradilan Agama, ternyata masih
banyak juga ketentuan-ketentuan yang kabur, mengambang bahkan bersifat konflik9 yang sarat
bersentuhan dengan lingkungan peradilan lain dan Hukum Adat.
Kemudian karena perkembangan jaman dan untuk memenuhi kebutuhan para
pencari keadilan bagi kaum muslim, maka diberlakukannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Dengan tujuan untuk rnewujudkan tata kehidupan bangsa, negara, dan masyarakat yang tertib,
bersih, makmur, dan berkeadilan bahwa Peradilan Agama merupakan lingkungan
7
.Al-Munzdiry, Hafizh, Sunan Abi Daud, jilid 4, alihbahasa Ustadz Bey Arifin dkk,
Semarang: CV. Asy Syifa’, 1993
8
.al-Qardawi, Muhammad Yusuf, Al-Halal wa al-Haram,ttp: Dar Ihya’ al Kitab
al-‘Arabiyah, tt.
9
.al-Rus, Ahmad Abu, Jara’im al-Syariqat wa al-Nasbi wa Khianat al-Amanah wa
al-Syaik Bi Duuni Rasiid, Iskandariyah, al-Maktabah al-Jami’i al- Hadits, 1997.
peradilan di bawah Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Akan
tetapi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 masih perlu disempurnkan kembali yaitu dengan
mengadakan perubahan kedua yaitu dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Di era reformasi, terjadi pula perubahan secara besar-besaran pada lembaga
peradilan, khususnya peradilan agama, dimana peradilan Agama harus menundukkan diri
kepada Undang-Undang Satu Atap yaitu UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkmah Agung-RI
dan UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dan telah terjadi perubahan
pada UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dengan UU Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Sedangkan pada UU No. 5 Tahun 2004 tentang
Mahkamah Agung telah diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung.

A. Identifikasi Masalah

1. Peradilan Agama pada jaman Sebelum Belanda Melancarkan Politik Hukum.

2. Peradilan Agama pada jaman Sesudah Belanda Melancarkan Politik Hukum..

3. Peradilan Agama sesudah berlakunya UU No. I Tahun 1974 dan UU No.7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama.

4. Peradilan Agama di Era Reformasi Dalam Peradilan Satu Atap.

5. Berlakuknya UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung dan berlakuknya UU No.
3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung.

6. Berlakunya UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan berlakuknya UU


No. 48 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999.

7. Berlakunya UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.

8. Berlakuknya UU No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang


Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
B. Rumusan Masalah

1. Apakah Keberadaan Peradilan Agama pada jaman kerajaan dan Penjajahan Belanda dapat
diterima oleh kaum muslim di Indonesia ?

2. Apakah yang terjadi perubahan terhadap Undang-Undang Peradilan Agama sampai pada
Era Peradilan satu atap ?

3. Apakah perubahan-perubahan perundang-undang kekuasaan kehakiman mempengaruhi


perkembangan Peradilan Agama di Indonesia ?

4. Apakah perubahan demi perubahan undang-undang Peradilan agama membawa dampak


Positif ?

C. Sumber Hukum

1. Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27 ayat (1) dan
Pasal 29 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/
1973.
2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3316) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4359) dan Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4358);
3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 9, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4359), Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3400) dan Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4338);
4. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3316) sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 3,
Tambahan Lembaran Negara Repulik Indonesia Nomor 4958);
5. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3400) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 22, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4611); dan Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);

Bab II
Tinjauan dan Kajian Sejarah Peradilan Agama
Pada bab dua menguraian mengenai tinjauan dan kajian sejarah peradilan Agama,
mulai sebelum jaman penjajahan Belanda sampai sesudah penjajahan penjajahan Belanda :

A. Jaman Sebelum Belanda Melancarkan Politik Hukum.


Belanda melancarkan politik hukumnya10 di Indonesia, hukum Islam sebagai hukum
yang berdiri sendiri telah mempunyai kedudukan yang kuat, baik di masyarakat maupun
dalam peraturan perundang- undangan negara. Kerajaan-kerajaan Islam yang pernah berdiri di
Indonesia melaksanakan hukum Islam dalam wilayah kekuasaannya masing-masing, dengan
timbulnya komunitas-komunitas masyarakat Islam, maka kebutuhan akan lembaga peradilan
yang memutus perkara berdasarkan hukum Islam makin diperlukan. Proses pembentukan
lembaga peradilan yang berdasarkan hukum Islam tersebut yakni: apabila dua orang yang
bersengketa itu dapat bertahkim kepada seseorang yang dianggap memenuhi syarat. Tahkim11
(menundukkan diri kepada seseorang yang mempunyai otoritas menyelesaikan masaIah
hukum) hanya dapat berlaku apabila kedua belah pihak terlebih dahulu sepakat untuk
menerima dan mentaati putusannya nanti, juga tidak boleh menyangkut pelaksanaan pidana,
seperti had12 (ketentuan hukum yang sudah positif bentuk hukumnya)13 dan ta'zir (kententuan
hukum yang bentuk hukumnya melihat kemaslahatan masyarakat).14
Pengadilan Agama di masa raja-raja Islam diselenggarakan oleh para penghulu,
yaitu pejabat administrasi kemasjidan setempat. Sidang - sidang pengadilan agama pada masa
itu biasanya berlangsung di serambi masjid, sehingga pengadilan agama sering pula disebut
"Pengadilan Serambi". Kelembagaan Peradilan Agama sebagai wadah, dan hukum Islam
sebagai muatan atau isi pokok pegangan dalam menyelesaikan dan memutus perkara, tidak
dapat dipisahkan. Dalam sejarah perkembangannya, kelembagaan peradilan agama mengalami
pasang surut. Pada masa kekuasaan kerajaan Islam lembaga peradilan agama termasuk bagian

10
.M Dawam Rahardjo, Prof., Ensiklopedia Al-Qur’an : Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep
Kunci, Paramadina, Jakarta, 1996.
11
.Kamsi. Pemikiran Hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia. Yogyakarta: Cakrawala
Media. 2008.
12
.Miriam Darus Badrulzaman, Prof., Dr., SH, Peranan BAMUI Dalam Pembangunan Hukum
Nasional (artikel dalam buku “Arbitrase Islam Di Indonesia”), BAMUI dan BMI, Jakarta, 1994.
13
.Muhammad Syafi’i Antonio, MSc., Bank Syariah Bagi Bankir & Praktisi
Keuangan, Bank Indonesia dan Tazkia Institute, Jakarta, 1999.
14
. Muhammad Syafi’i Antonio, MSc., Perkembangan Lembaga Keuangan Islam (artikel dalam buku
“Arbitrase Islam Di Indonesia”), BAMUI dan BMI, Jakarta, 1994.
yang tak terpisahkan dengan pemerintahan umum, sebagai penghulu kraton yang mengurus
keagamaan Islam dalam semua aspek kehidupan.

B. Jaman Sesudah Belanda Melancarkan Politik Hukum.


Pada masa pemerintahan VOC, kelembagaan peradilan agama akan dihapuskan
dengan membentuk peradilan tersendiri dengan hukum yang berlaku di negeri Belanda,
namun kelembagaan ini tidak dapat berjalan karena tidak menerapkan hukum Islam. Pada
tahun 1830 Pemerintah Belanda menempatkan peradilan agama di bawah pengawasan
"landraad" (pengadilan negeri). Hanya lembaga landraad yang berkuasa untuk memerintahkan
pelaksanaan putusan pengadilan agama dalam bentuk "excecutoire verklaring" (pelaksanaan
putusan). Pengadilan Agama tidak berwenang untuk menyita barang dan uang (Daud Ali :
223). Dan tidak adanya kewenangan yang seperti ini terus berlangsung sampai dengan
lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.15
Lahirnya firman Raja Belanda (Koninklijk Besluit) tanggal 19 Januari 1882 Nomor
24, Staatsblad 1882 - 152 telah mengubah susunan dan status peradilan agama. Wewenang
pengadilan agam.a yang disebut dengan "preisterraacf' tetap daIam bidang perkawinan dan
kewarisan, serta pengakuan dan pengukuhan akan keberadaan pengadilan agama yang telah
ada sebelumnya (Achmad Rustandi: 2), dan hukum Islam sebagai pegangannya. Berlakunya
Staatsblad 1937 Nomor 116 telah mengurangi kompentensi pengadilan agama di Jawa dan
Madura daIam bidang perselisihan harta benda, yang berarti masaIah wakaf dan waris hams
diserahkan kepada pengadilan negeri. Mereka (Pemerintah Kolonial Belanda) 16 berdalih,
bahwa dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, hukum Islam tidak mendalam pengaruhnya
pada aturan-aturan kewarisan dalam keluarga Jawa dan Madura serta di tempat-tempat lain di
seluruh Indonesia (Daniel S Lev: 35-36).17 Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan memperkokoh keberadaan pengadilan agama. Di dalam undang-
undang ini tidak ada ketentuan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Pasa1 2 ayat (1)
undang-undang ini semakin memperteguh pelaksanaan ajaran Islam (Hukum Islam).

15
.Muhammad Salam Madkur, Al Qadha-u Fil Islam, ”Darun Nahdhah Al’Arabiyah, Kairo, Tahun
1970, halamana. 11.
16
.Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Jilid III, ”Darul Bayan”, Cet.V, Kuwait, Tahun 1971, halaman 312.
17
.T.M. Hasby Ah Shiddieqy, ”Perailan Dan Hukum Acara Islam, Al Ma’arif, Bandung tanpa tahun,
halaman 29-30.
Dengan demikian jelaslah bahwa perjalanan sejarah peradilan agama secara umum
tidak dapat dipisahkan dengan perjalanan sejarah bangsa dan masyarakat Indonesia
(khususnya umat Islam) karena sepanjang sejarahnya, eksistensi Peradilan Agama di
Indonesia telah mengalami pasang surut seiring dengan pasang surutnya perjuangan
kemerdekaan nasional pada zaman penjajahan Barat dulu dimana Peradilan Agama adalah
salah satu sasaran dari politik devide et impera rezim kolonial dahulu. Sebelum tahun 1882
Peradilan Agama benar-benar merupakan peradilan dalam arti sebenarnya yang berdasarkan
temuan sejarah atas peraturan-peraturan tertulis menunjukkan adanya suatu peradilan agama
dalam pelbagai bentuk dan tingkat di seluruh Nusantara, walaupun aturan-aturan tersebut
bukan menciptakan tetapi memberikan petunjuk pada pejabat-pejabat waktu itu (Bupati) agar
tidak mengganggu peradilan agama yang ada. Namun di tahun 1882 melalui Stbl. 1882 : 152,
mulailah kewenangan dan kekuasan Peradilan Agama sedikit demi sedikit dikurangi dan
akhirnya dengan Stbl. 1931 yang untuk sebagian berlaku mulai tahun 1937 tepatnya pada
bulan April 1937 dikurangi lagi kekuasaan dan kewenangannya, sehingga praktis Peradilan
Agama saat itu merupakan pengadilan quasi yang hanya berwenang menangani NTR saja,
Bustanul Arifin membahasakan kenyataan tersebut sebagai pukulan bagi Peradilan Agama
yang pada hakekat pengadilan agama saat itu hanya berupa badan administrasi mengenai
Nikah, Talak dan Rujuk yang tidak memiliki kekuasaan untuk melaksanakan keputusan
sendiri, di mana dengan peraturan-peraturan itu rezim kolonial berhasil menciptakan image
tentang Pengadilan Agama sebagai pengadilan inferior, pengadilan yang tidak sesuai dengan
zaman modern, pengadilan yang asing bagi ahli-ahli hukum modern.
Perspektif sejarah tentang pasang surut eksistensi Peradilan Agama di Indonesia
tidak hanya dipengaruhi oleh faktor politik kolonial saja (sebagaimana fakta sejarah di atas),
namun faktor adanya konflik antara tiga sistem hukum yang berlaku di Indonesia (Hukum
Islam, Hukum Sipil/Barat, dan Hukum Adat) yang kemudian diperuncing oleh konsep-
konsep/teori-teori hukum yang dicetuskan para ahli hukum kolonial pun memiliki andil atas
pasang surutnya eksistensi Peradilan Agama. Sebut saja teori Receptio in complexu (Prof. Mr.
Lodewijk Willwm Christian Van Den Berg), teori Reseptie (Prof. Christian Snouck Hurgronje
dan C. Van vallenhoven), teori Receptie Exit (Prof. Dr. Hazairin, SH.) dan teori Receptie a
Contrario.
C. Jaman sesudah berlakunya UU No. I Tahun 1974 dan UU No.7 Tahun 1989.
Usaha untuk menghapuskan pengadilan agama masih terus berlangsung sampai
dengan keluarnya Undang-undang Nomor 19 Tahun 1948 dan Undang-undang Darurat Nomor
1 Tahun 1951 tentang Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan,
Kekuasaan dan Acara Pengadilan-pengadilan Sipil, antara lain mengandung ketentuan pokok
bahwa peradilan agama merupakan bagian tersendiri dati peradilan swapraja dan peradilan
adat tidak turut terhapus dan kelanjutannya diatur dengan peraturan pemerintah. Proses
keluarnya peraturan pemerintah inilah yang mengalami banyak hambatan, sehingga dapat
keluar setelah berjalan tujuh tahun dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun
1957.
Dengan keluarnya Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, maka kedudukan Peradilan Agama mulai nampak
jelas dalam sistem peradilan di Indonesia. Undang-undang ini menegaskan prinsip-prinsip
sebagai berikut :
Pertama, Peradilan dilakukan "Demi Keadilan Berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa";
Kedua, Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum,
Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Us aha Negara;
Ketiga, Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi.
Keempat, Badan-badan yang melaksanakan peradilan secara organisatoris, administratif, dan
finansial ada di bawah masing-masing departemen yang bersangkutan.
Kelima, susunan kekuasaan serta acara dari badan peradilan itu masing-masing diatur dalam
undang-undang tersendiri.
Hal ini dengan sendirinya memberikan landasan yang kokoh bagi kemandirian
peradilan agama, dan memberikan status yang sarna dengan peradilan-peradilan lainnya di
Indonesia. Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
memperkokoh keberadaan pengadilan agama. Di dalam undang¬undang ini tidak ada
ketentuan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Pasa12 ayat (1) undang-undang ini semakin
memperteguh pelaksanaan ajaran Islam (Hukum Islam). Suasana cerah kembali mewarnai
perkembangan peradilan agama di Indonesia dengan keluarnya Undang- undang Nomor 7
Tahun 1989 ten tang Peradilan Agama yang telah memberikan landasan untuk mewujudkan
peradilan agama yang mandiri, sed~r~jat dan memantapkan serta mensejajarkan kedudukan
peradilan agama dengan lingkungan peradilan lainnya.
Dalam sejarah perkembangannya, personil peradilan agama sejak dulu selalu
dipegang oleh para ulama yang disegani yang menjadi panutan masyarakat sekelilingnya. Hal
itu sudah dapat dilihat sejak dari proses pertumbuhan peradilan agama sebagai-mana disebut
di atas. Pada masa kerajaan-kerajaan Islam, penghulu keraton sebagai pemimpin keagamaan
Islam di lingkungan keraton yang membantu tug as raja di bidang keagamaan yang bersumber
dari ajaran Islam, berasal dari ulama seperti KaBjeng Penghulu Tafsir Anom IV pada
Kesunanan Surakarta. Ia pemah mendapat tugas untuk membuka Madrasah Mambaul Ulum
pada tahun 1905. Demikian pula para personil yang telah banyak berkecimpung dalam
penyelenggaraan peradilan agama adalah ulama-ulama yang disegani, seperti: KH. Abdullah
Sirad Penghulu Pakualaman, KH. Abu Amar Penghulu Purbalingga, K.H. Moh. Saubari
Penghulu Tegal, K.H. Mahfudl Penghulu Kutoarjo, KH. Ichsan Penghulu Temanggung, KH.
Moh. Isa Penghulu Serang, KH.Musta'in Penghulu T1;1ban, dan KH. Moh. Adnan Ketua
Mahkamah Islam Tinggi tiga zaman (Belanda, Jepang dan RI) (Daniel S. Lev: 5-7). Namun
sejak tahun 1970-an, perekrutan tenaga personil di lingkungan peradilan agama khususnya
untuk tenaga hakim dan kepaniteraan mulai diambil dati alumni lAIN dan perguruan tinggi
agama.

D. Era Reformasi Dalam Peradilan Satu Atap.18


Diera reformasi bangsa Indonesia berupaya untuk mengadakan peradilan satu atap,
khususnya peradilan Agama, dimana selama ini badannya berada dibawah departemen
kehakiman dan Departemen Agama dan kepalanya berada pada Mahkamah Agung. Upaya
penyatu atapan lingkungan peradilan adalah agar segala kebijakan yang menyangkut
kewenangan peradilan untuk menghindarkan tidak terjadi tumpang tindih kebijakan pada
lingkungan peradilan dan untuk melaksanakan amanat dari Undang Undang Dasar 1945.
1. Berlakuknya UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.
Dengan berlakunya UU No. 5 Tahun 2004 adalah semua peradilan yang berada dibawah
kekuasaan Negara Republik Indonesia berada ditangan Mahkmah Agung Republik

18
.Undang-Undang, Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, Pasal 1
Mahkamah Agung adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Indonesia. Dimana kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka yang
dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di
bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara, serta oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1985 sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat
dan ketatanegaraan menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, dengan bersumber pada Pasal 20, Pasal 21, Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B, dan
Pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Berlakuknya UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.19
Kemudian karena perkembangan jaman, UU No. 5 Tahun 2004 di uabh dan diganti
dengan UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Dimana kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di
bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi dan terhadap Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2004, sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan
ketatanegaraan menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan bersumber pada Pasal 20, Pasal 21, Pasal 24A, Pasal 24B, dan Pasal 25 Undang-

19
.Undang-Undang, Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung, Pasal 7
Untuk dapat diangkat menjadi hakim agung, calon hakim agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6B harus
memenuhi syarat: a. hakim karier: 1.warga Negara Indonesia,2. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,3.3. berijazah
magister di bidang hukum dengan dasar sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum,4.
berusiasekurang-kurangnya45(empatpuluhlima)tahun, 5. mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas
dan kewaj iban, 6.berpengalaman paling sedikit 20 (dua puluh) tahun menjadi hakim, termasuk paling sedikit 3
(tiga) tahun menjadi hakim tinggi; dan 7.tidak pernah dijatuhi sanksi pemberhentian sementara akibat
melakukan pelanggaran kode etik dan/atau pedoman perilaku hakim. Dan b. nonkarier: 1.memenuhi syarat
sebagaimana dimaksud pada huruf a angka 1, angka 2, angka 4, dan angka 5, 2berpengalaman dalam profesi hukum
dan/atau akademisi hukum paling sedikit 20 (dua puluh) tahun, 3berijazah doktor dan magister di bidang hukum dengan
dasar sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum; dan 4. tidak pernah dijatuhi pidana
penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak
pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih."
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
3. Berlakunya UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
UU No. 4 Tahun 2004 adalah sebagai undang-undang kekuasaan kehakiman yang
merupakan sebagai kekuasaan kehakiman satu atap, dimana kekuasaan kehakiman
menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan
kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi, untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan; Hal ini
dipengaruhi karena perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 telah membawa perubahan penting terhadap penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman sehingga Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuanketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 1999 perlu dilakukan penyesuaian dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan bersumber pada Pasal 20, Pasal 21,
Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B, Pasal 24C, dan Pasal 25 UndangUndang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
4. Berlakunya UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.20
UU No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman tidak bertahan lama didalam
melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman dan karena di pengaruhi oleh situasi dan
perkembangan hukum, maka undang-undang tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi dan

20
.Undang-Undang, Republik Indonesia. Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,
Pasal 1Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun /945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia, 2. Mahkamah Agung adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 3. Mahkamah Konstitusi adalah pelaku kekuasaan kehakiman
sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 4. Komisi Yudisial
adalah lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 5.
Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agam a, li ngkungan peradi l an mi l i t er, li ngkungan
peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut, 6.
Hakim Agung adalah hakim pada Mahkamah Agung, 7. Haki m Kons t i t us i adal ah hakim pada M ahkam ah
Konstitusi, 8. Pengadilan Khusus adalah pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan
memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di
bawah Mahkamah Agung yang diatur dalam undang-undang dan 9. Hakim ad hoc adalah hakim yang bersifat sementara
yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu
perkara yang pengangkatannya diatur dalam undangundang.
diganti dengan UU No. 48 Tahun 2009. Dimana kekuasaan kehakiman menurut Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan kekuasaan
yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan
yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan
oleh sebuah Mahkamah Konstitusi, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan, serta untuk mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan
peradilan yang bersih serta berwibawa perlu dilakukan penataan sistem peradilan
yang terpadu. Sumber hukum undang-undang kekuasaan kehakiman yang baru adalah
bersumber pada Pasal 20, Pasal 21, Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B, Pasal 24C
dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
5. Berlakunya UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.21
Khusus pengaturan Peradilan Agama yang sebelumnya diatur oleh UU No. 7 Tahun
1989, akan tetapi karena tututan modernisasi peradilan, maka undang-undang tersebut
diganti dengan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama. Dimana sebagaimana
kita ketahui bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negarg Republik Indonesia
Tahun 1945, bertujuan untuk rnewujudkan tata kehidupan bangsa, negara, dan masyarakat
yang tertib, bersih, makmur, dan berkeadilan. Khususnya pada Peradilan Agama
merupakan lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung sebagai pelaku
kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan. Ketentuan Peradilan Agama sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sudah tidak
21
.Undang-Undang, Republik Indonesia, Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama. Pasal 2,
Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam
mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. Di antara Pasal 3 dan Pasal 4
disisipkan pasal baru yakni Pasal 3A, yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 3A : Di lingkungan Peradilan
Agama dapat diadakan pengkhususan pengadilan yang diatur dengan Undang-Undang. Pasal 4 : (1)Pengadilan
agama berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota,
(2).Pengadilan tinggi agama berkedudukan di ibu kota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah
provinsi. Pasal 5: (1).Pembinaan teknis peradilan, organisasi, administrasi, dan finansial pengadilan dilakukan
oleh Mahkamah Agung dan (2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh mengurangi
kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. Pasal 11 : (1).Hakim pengadilan adalah pejabat yang
melakukan tugas kekuasaan kehakiman, (2).Syarat dan tata cara pengangkatan, pemberhentian, serta pelaksanaan
tugas hakim ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Pasal 12 : (1).Pembinaan dan pengawasan umum terhadap hakim
dilakukan oleh Ketua Mahkamah Agung, (2).Pembinaan dan pengawasan umum sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.
sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan
ketatanegaraan menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
maka perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dengan bersumber pada Pasal 20, Pasal
21, Pasal 24, dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, serta terdapat penambahan pasal 52A yaitu tentang
Pengadilan agama memberikan istbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan
pada tahun Hijriyah, yitu kewanangan baru Peradilan Agama. Dengan bersumber pada
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkmah Agung sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4359) dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3400) serta Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
8,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4338);
6. Berlakuknya UU No. 50 Tahun 200922 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Perjalanan sejarah perundang-undang Peradilan Agama terus berlanjut sesuai dengan
perkembangan hukum di Indonesia, karena kekuasaan kehakiman merupakan
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan sehingga perlu diwujudkan adanya lembaga peradilan yang bersih dan

22
.Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agma, Pasal 1 Dalam Undang-Undang
ini yang dimaksud dengan: 1. Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam, 2. Pengadilan
adalah pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama di lingkungan peradilan agama, 3. Hakim adalah hakim pada
pengadilan agama dan hakim pada pengadilan tinggi agama, 4. Pegawai Pencatat Nikah adalah pegawai
pencatat nikah pada kantor urusan agama, 5. Juru Sita dan/atau Juru Sita Pengganti adalah juru sita dan/atau juru sita
pengganti pada pengadilan agama, 6.Mahkamah Agung adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 7. Komisi Yudisial
adalah lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
8.Pengadilan Khusus adalah pengadilan yang m em punyai kewenangan unt uk m em eri ks a, mengadili, dan
memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di
bawah Mahkamah Agung yang diatur dalam undang-undang. 9.Hakim ad hoc adalah hakim yang bersifat
sementara yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
suatu perkara yang pengangkatannya diatur dalam undang-undang.
berwibawa dalam memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat, dimana keberadaam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan ketatanegaraan menurut Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan bersumber kepada Pasal 20, Pasal
21, Pasal 24, dan Pasal 25 UUD RI 1945, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) sebagaimana diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Repulik
Indonesia Nomor 4958), Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3400) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2006 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4611) dan
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
Demikianlah uraian tentang Peradilan Agama pada Era Reformasi dalam upaya-
upaya penyatu atapan kekuasaan kehakiman, serta terdapat kewenangan baru tentang ekonomi
syari’ah dan iisbat kesaksian rukyatul hilal.

Bab III
Analisa dan Implementasi Terhadap
Sejarah Peradilan Agama di Indonesia

A. Analisa Secara Faktor Internal


Secara faktor internal bahwa keberadaan Peradilan Agama pada jaman kerajaan dan
Penjajahan Belanda membawa dampak positif bagi fodamental peradilan Islam/ syariah di
Indonesia, karena dari jaman tersebutlah keberadaan peradilan agama dapat dimungkinkan
menjadi peradilan yang moden dan madiri untuk mencuptakan kepastian hukum berdasarkan
syariat Islam.

Atas dasar pemikiran faktor internal tersebut, maka sangat diperlukan upaya perubahan
dan penyempurnaan perundang-undang Peradilan Agama, yang secara internal untuk
kepentingan para pencari keadilan yang beragama Islam dan sedapat mungkin menggunakan
dan melaksanakan syariat Islam dan Al Quran.

Dan secara faktor internal serta khususnya Peradilan Agama sangat dipengaruhi oleh
perubahan perundang-undang kekuasaan kehakiman yang merupakan peradilan satu atap dan
sebagai peradilan yang mandiri serta modernisasi peradilan yang berdasarkan sayari’at Islam
dan Al Qur’an, yang selama ini bersandar pada undang-undang kekuasaan kehakiman untuk
peradilan umum, dengan adanya undang-undang penyatu atapan maka keberadaan dan
kedudukan Peradilan Agama sama dengan peradilan-peradilan lainnya sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan dibawah Mahkamah Agung.

Dengan upaya perubahan undang-undang Peradilan agama membawa dampak Positif,


yang secara faktor internal menguntungan para pencari keadilan yang bergama Islam, jika
terjadi sengketa atau perkara maka dapat diajukan kepada Peradilan Agama, dimana upaya
pilihan hukum (hak opsisi) menjadi lebih diperkecil.

B. Analisa Secara Faktor Eksternal

Secara faktor eksternal terhadap keberadaan Peradilan Agama pada jaman kerajaan dan
Penjajahan Belanda, dimana kolonial belanda yang berupaya memecah belah uamt muslim
pada masa itu, tidak berhasil, karena dengan keberadaan Peradilan Agama sudah mewadahi
kaum muslim yang bersengketa tidak dipengaruhi oleh kekuasaan kolonial belanda, yaitu
dengan sistim hukum yang berlaku di kerajaan Belanda. Pemikiran faktor eksternal yang
membawa para ulama dan santri untuk mengembangkan syariat Islam yang berasal dari Negara
Arab agar diterapkan di Indonesia, yang di sesuaikan dengan hukum adat yang berkembang
didalam masyarakat pluralime di Indonesia.
Khususnya bagi Peradilan Agama yang secara faktor eksternal dimana terhadap
perubahan perundang-undangan kekuasaan kehakiman yang telah disempurnakan menjadi
peradilan yang modern yaitu sebagai peradilan satu atap, untuk menunjukkan pada dunia
Internasional dalam era globalisasi dan pasar bebas, diharapkan dapat menyelesaikan sengketa
kesyariah pada dunia internasional terhadap bisnis syari’ah dengan prinsip-prinsip kesyariah
yang telah berkembang sangat pesat pada dunia internasional. Perubahan secara faktor
eksternal dampak Positif bagi Peradilan Agama, dengan adanya kewenangan baru tentang
ekonomi syariah dan itsbat kesaksian rukyatul hilal, agar jika terjadi sengketa maka sudah
terdapat peradilan agama yang bersifat internasional didalam penyelesaian sengketa
kesyariahan bagi kaum muslim yang berada di Indonesia maupun yang bertempat tinggal di
luar wilayah hukum Negara Indonesia/luar negeri.

===========

Bab IV
Penutup

- Kesimpulan
1. Peradilan Agama diawali sebelum Belanda melancarkan politik hukumnya di Indonesia,
hukum Islam sebagai hukum yang berdiri sendiri telah mempunyai kedudukan yang kuat,
baik di masyarakat maupun dalam peraturan perundang- undangan negara. Kerajaan-kerajaan
Islam yang pernah berdiri di Indonesia melaksanakan hukum Islam dalam wilayah
kekuasaannya masing-masing. Dengan timbulnya komunitas-komunitas masyarakat Islam,
maka kebutuhan akan lembaga peradilan yang memutus perkara berdasarkan hukum Islam
makin diperlukan.

2. Pada masa pemerintahan VOC, kelembagaan peradilan agama akan dihapuskan dengan
membentuk peradilan tersendiri dengan hukum yang berlaku di negeri Belanda, namun
kelembagaan ini tidak dapat berjalan karena tidak menerapkan hukum Islam. Pada tahun
1830 Pemerintah Belanda menempatkan peradilan agama di bawah pengawasan "landraad"
(pengadilan negeri).Hanya lembaga landraad yang berkuasa untuk memerintahkan
pelaksanaan putusan pengadilan agama dalam bentuk "excecutoire verklaring" (pelaksanaan
putusan). Pengadilan Agama tidak berwenang untuk menyita barang dan uang (Daud Ali :
223).

3. Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah untuk
memperkokoh keberadaan pengadilan agama dan undang-undang ini tidak ada ketentuan
yang bertentangan dengan ajaran Islam dan dalam Pasa1 2 ayat (1) undang-undang ini
semakin memperteguh pelaksanaan ajaran Islam (Hukum Islam). Kemudian dikeluarkannya
Undang- undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah memberikan
landasan untuk mewujudkan peradilan agama yang mandiri, sederajat dan memantapkan
serta mensejajarkan kedudukan peradilan agama dengan lingkungan peradilan lainnya.
Masyarakat Indonesia (khususnya kaum Muslimin).

4. Untuk memenuhi kebutuhan para pencari keadilan bagi kaum muslim, maka diberlakukannya
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dengan tujuan untuk mewujudkan tata kehidupan
bangsa, negara, dan masyarakat yang tertib, bersih, makmur, dan berkeadilan bahwa
Peradilan Agama merupakan lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung
sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan.
5. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, kemudian disempurnkan dengan Undang-Undang
Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama.

6. Dalam Peradilan Satu Atap dikelurakannya UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkmah Agung-
RI dan UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, akan tetapi undang-undang
tersebut telah diubah dengan UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. dan
UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung yang telah disempurnakan sesuai
dengan perkembangan hukum dan jaman di Negara Indonesia.

- Saran
1. Perlunya diadakan skema perunundang-undang tentang Peradilan Agama yang merupakan
sebagai fundamental peradilan syariah di Indonesia, agar generasi penerus dapat mengetahui
secara pasti mengenai perkembangan peradilan agama di Indonesia.

2. Dasar-dasar hukum prodak pemerintahan VOC adalah merupakan sebagai prodak hukum
yang menyesatkan, kana tetapi prodak hukum ini tidak boleh dikesampingkan karena
merupakan pula secagai cikal bakal tumbuhnya Peradilan agama di Indonesia.

3. Mengenai Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 perlu disempunakan, karena adanaya


permasalahan baru tentang Perkawinan Poligami, Perkawinan campuran yang merupaka
permasalahan baru dan bagaimana dampak pidananya terhadap Poligami yang tidak
mendapat ijin dari isteri pertama.

4. Mengenai keberadaan dan pemberlakukan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang


Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, perlu diatur
secara tegas tentang ekonomi syariah karena merupakan kewenangan baru, agar tidak terjadi
konflik kewenangan antara Peradilan Agama dan Peradilan Umum didalam penangan
ekonomi syariah.

5. Masih terdapat kesamaran pengaturan pada pemberlakuan Undang-Undang Nomor 50 Tahun


2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama, karena belum terdapat pengaturan secara tegas tentang ekonomi syariah dan
sebaiknya harus diatur agar tidak terjadi konflik yang berkepanjangan antara kedua
kewenangan peradilan yaitu antara Peradilan Agama dan Peradilan Umum.
6. Pengaturan Peradilan Satu Atap terkesan hanya untuk kepentingan politik saja karena dari
apa yang terdapat pada UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung, hanya terdapat
penambahan pasal yang mengatur tentang penambahan umur hami agung memasuki usia
pensiun.

==================

DAFTAR PUSTAKA

A’la, Rofiqul, Membongkar Suap, Jurnal Teras Pesantren, M3S PP. MUS Sarang Rembang, 1424
H.
Abdurrahman, al-Sayyid bin Muhammad bin Husain, Bughyat al-Mustarsyidin, Surabaya: Al-
Hidayah, tth.
Abu Zahrah, Muhammad, al-‘Uqubah wa al-Jarimah Fi al-Fiqh al-Islami, ttp, Dar al Fikr al Arabi,
tth.
Ahmad. S., Abu Abdul Halim, Suap Dampak Dan Bahyanya Bagi Masyarakat, Cet 1, Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 1996.
al Mawardi, Al-Ahkam al-Sultaniyah, Mesir: Dar al-Bab al-Halabi, 1973
al-Asqolani, Ibn Hajar, Fathu al-Bari, Juz 12, ttp., al-Maktabah al-Salafi, tth.
Alatas, Syed Hussein, Sosiologi Korupsi Sebuah Penjelajahan Dengan Data Kontemporer, Jakarta:
LP3ES, 1986.
--------------al-Azhari, Muhammad, Tahdzib al-Lughah, juz II, Kairo: Dar al-Qawmiyyah, 1964.
--------------al-Hamid, Syekh Muhammad, Rudud ‘ala Abathil, Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyyah,
1997.
--------------al-Khatib, Syarbini, Mughni al-Muhtaj, Mesir: dar al-Bab al-halabi wa Awladuhu,
1958.
Al-Munzdiry, Hafizh, Sunan Abi Daud, jilid 4, alihbahasa Ustadz Bey Arifin dkk, Semarang: CV.
Asy Syifa’, 1993
--------------al-Qardawi, Muhammad Yusuf, Al-Halal wa al-Haram,ttp: Dar Ihya’ al Kitab
al-‘Arabiyah, tt.
al-Rus, Ahmad Abu, Jara’im al-Syariqat wa al-Nasbi wa Khianat al-Amanah wa al-Syaik Bi
Duuni Rasiid, Iskandariyah, al-Maktabah al-Jami’i al- Hadits, 1997.
---------------Al-syatibi, al-Muwafaqat Fi Ushul Al Ahkam, Kairo: Matba’at Muhammad Ali
Subayh, 1970
---------------Agus Wahid, Dilema BMI di Tengah Tuntutan Umat, Ulumul Qur’an No. 4 Vol. VI,
Jakarta, 1995.

--------------Bisri, Cik Hasan. Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
1998.

--------------Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia.

--------------Ensiklopedi Hukum Islam, Ichtiar Baru Van Hove, Jakarta, 1997.


Hukum Nasional (artikel dalam buku “Arbitrase Islam Di Indonesia”), BAMUI dan BMI, Jakarta,
1994.

Kamsi. Pemikiran Hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia. Yogyakarta: Cakrawala
Media. 2008

Muhammad Syafi’i Antonio, MSc., Perkembangan Lembaga Keuangan Islam (artikel dalam buku
“Arbitrase Islam Di Indonesia”), BAMUI dan BMI, Jakarta, 1994.
Muhammad Syafi’i Antonio, MSc., Bank Syariah Bagi Bankir & Praktisi Keuangan, Bank
Indonesia dan Tazkia Institute, Jakarta, 1999.
M Dawam Rahardjo, Prof., Ensiklopedia Al-Qur’an : Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep
Kunci, Paramadina, Jakarta, 1996.
Miriam Darus Badrulzaman, Prof., Dr., SH, Peranan BAMUI Dalam Pembangunan Hukum
Nasional (artikel dalam buku “Arbitrase Islam Di Indonesia”), BAMUI dan BMI,
Jakarta, 1994.
Muhammad Salam Madkur, Al Qadha-u Fil Islam, ”Darun Nahdhah Al’Arabiyah, Kairo, Tahun
1970.
---------------Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Jilid III, ”Darul Bayan”, Cet.V, Kuwait, Tahun 1971,
Sutan Remy Sjahdeini, SH, Prof., Dr., Perbankan Islam dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum
Perbankan Indonesia, Grafiti, Jakarta, 1999.
---------------T.M. Hasby Ah Shiddieqy, ”Perailan Dan Hukum Acara Islam, Al Ma’arif, Bandung.
---------------www.inlawnesia.net | email: puf@inlawnesia.net

======================

RINGKASAN MAKALAH

1. Perkembangan sejarah peradilan Agama mulai jaman Kerajaan-kerajaan Islam yang pernah
berdiri di Indonesia melaksanakan hukum Islam dalam wilayah kekuasaannya masing-masing.
Timbulnya komunitas-komunitas masyarakat Islam, maka kebutuhan akan lembaga peradilan
yang memutus perkara berdasarkan hukum Islam makin diperlukan, dan pada masaIah hukum
hanya dapat berlaku apabila kedua belah pihak terlebih dahulu sepakat untuk menerima dan
mentaati putusannya, juga tidak boleh menyangkut pelaksanaan pidana, seperti had (ketentuan
hukum yang sudah positif bentuk hukumnya) dan ta'zir (kententuan hukum yang bentuk
hukumnya melihat kemaslahatan masyarakat).
2. Pada masa pemerintahan VOC, kelembagaan peradilan agama akan dihapuskan dengan
membentuk peradilan tersendiri dengan hukum yang berlaku di negeri Belanda, namun
kelembagaan ini tidak dapat berjalan karena tidak menerapkan hukum Islam. Pada tahun 1830
Pemerintah Belanda menempatkan peradilan agama di bawah pengawasan "landraad"
(pengadilan negeri). Hanya lembaga landraad yang berkuasa untuk memerintahkan
pelaksanaan putusan pengadilan agama dalam bentuk "excecutoire verklaring" (pelaksanaan
putusan). Pengadilan Agama tidak berwenang untuk menyita barang dan uang (Daud Ali :
223). Lahirnya firman Raja Belanda (Koninklijk Besluit) tanggal 19 Januari 1882 Nomor 24,
Staatsblad 1882 - 152 telah mengubah susunan dan status peradilan agama. Wewenang
pengadilan agam.a yang disebut dengan "preisterraacf' tetap daIam bidang perkawinan dan
kewarisan, serta pengakuan dan pengukuhan akan keberadaan pengadilan agama yang telah
ada sebelumnya (Achmad Rustandi: 2), dan hukum Islam sebagai pegangannya. Berlakunya
Staatsblad 1937 Nomor 116 telah mengurangi kompentensi pengadilan agama di Jawa dan
Madura daIam bidang perselisihan harta benda, yang berarti masaIah wakaf dan waris hams
diserahkan kepada pengadilan negeri.
3. Pemerintah Kolonial Belanda, dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, hukum Islam tidak
mendalam pengaruhnya pada aturan-aturan kewarisan dalam keluarga Jawa dan Madura serta
di tempat-tempat lain di seluruh Indo¬nesia (Daniel S Lev: 35-36). Dengan lahirnya Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memperkokoh keberadaan pengadilan
agama. Di dalam undang-undang ini tidak ada ketentuan yang bertentangan dengan ajaran
Islam. Pasa1 2 ayat (1) undang-undang ini semakin memperteguh pelaksanaan ajaran Islam
(Hukum Islam).
4. Identifikasi masalah pada Peradilan Agama mulai Sebelum Belanda Melancarkan Politik
Hukum, sesudah Belanda Melancarkan Politik Hukum dan mulai berlakunya UU No. I Tahun
1974 dan UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sampai berlakunya undang-undang
Peradilan Satu Atap. Dengan berlakunya UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung
dan berlakuknya UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No.
14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Serta berlakunya UU No. 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman dan kemudian pemberlakuan UU No. 48 Tahun 2009 tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35
Tahun 1999. Perkembangan Peradilan Agama dengan diberlakukannya UU No. 3 Tahun
2006 tentang Peradilan Agama dan terakhir Berlakuknya UU No. 50 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
4. Rumusan masalah :
1. Apakah Keberadaan Peradilan Agama pada jaman kerajaan dan Penjajahan Belanda dapat
diterima oleh kaum muslim di Indonesia ?

2. Apakah yang terjadi perubahan terhadap Undang-Undang Peradilan Agama sampai pada
Era Peradilan satu atap ?

3. Apakah perubahan-perubahan perundang-undang kekuasaan kehakiman mempengaruhi


perkembangan Peradilan Agama di Indonesia ?

4. Apakah perubahan demi perubahan undang-undang Peradilan agama membawa dampak


Positif ?

5. Sumber Hukum :
Undang-Undang Dasar 1945,Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung,
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
6. Jaman sesudah berlakunya UU No. I Tahun 1974 dan UU No.7 Tahun 1989, dimana usaha
untuk menghapuskan pengadilan agama masih terus berlangsung sampai dengan keluarnya
Undang-undang Nomor 19 Tahun 1948 dan Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951
tentang Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan
Acara Pengadilan-pengadilan Sipil, antara lain mengandung ketentuan pokok bahwa peradilan
agama merupakan bagian tersendiri dati peradilan swapraja dan peradilan adat tidak turut
terhapus dan kelanjutannya diatur dengan peraturan pemerintah. Proses keluarnya peraturan
pemerintah inilah yang mengalami banyak hambatan, sehingga dapat keluar setelah berjalan
tujuh tahun dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957.
7. Dengan keluarnya Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman, maka kedudukan Peradilan Agama mulai nampak jelas dalam sistem
peradilan di Indonesia.
8. Era Reformasi Dalam Peradilan Satu Atap yaitu dengan berlakunya UU No. 5 Tahun 2004
tentang Mahkamah Agung adalah semua peradilan yang berada dibawah kekuasaan Negara
Republik Indonesia berada ditangan Mahkmah Agung Republik Indonesia. Dimana kekuasaan
kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka yang dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata
usaha negara, serta oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
9. Kemudian karena perkembangan jaman, UU No. 5 Tahun 2004 di uabh dan diganti dengan
UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung. Dimana kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan yang dilakukan
oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
10. Berlakunya UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, adalah sebagai undang-
undang kekuasaan kehakiman yang merupakan sebagai kekuasaan kehakiman satu atap,
dimana kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi, untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan; Hal ini dipengaruhi
karena perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah
membawa perubahan penting terhadap penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sehingga
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999
perlu dilakukan penyesuaian dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
11. Berlakunya UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, akan tetapi tidak bertahan
lama didalam melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman dan karena di pengaruhi oleh situasi
dan perkembangan hukum, maka undang-undang tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi dan
diganti dengan UU No. 48 Tahun 2009.
12. Kemudian dengan berlakunya UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, khusus
pengaturan Peradilan Agama yang sebelumnya diatur oleh UU No. 7 Tahun 1989, akan tetapi
karena tututan modernisasi peradilan, maka undang-undang tersebut diganti dengan UU No. 3
Tahun 2006 tentang Peradilan Agama. Dimana sebagaimana kita ketahui bahwa Negara
Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negarg Republik Indonesia Tahun 1945, bertujuan untuk
rnewujudkan tata kehidupan bangsa, negara, dan masyarakat yang tertib, bersih, makmur, dan
berkeadilan.
13 Khususnya pada Peradilan Agama merupakan lingkungan peradilan di bawah
Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Ketentuan Peradilan
Agama sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat
dan kehidupan ketatanegaraan menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, maka perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dengan bersumber pada Pasal 20,
Pasal 21, Pasal 24, dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, serta terdapat penambahan pasal 52A yaitu tentang
Pengadilan agama memberikan istbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada
tahun Hijriyah, yitu kewanangan baru Peradilan Agama.
14. Dengan berlakuknya UU No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dalam perjalanan sejarah perundang-undang
Peradilan Agama terus berlanjut sesuai dengan perkembangan hukum di Indonesia, karena
kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan sehingga perlu diwujudkan adanya lembaga
peradilan yang bersih dan berwibawa dalam memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat,
dimana keberadaam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sudah tidak sesuai lagi
dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan ketatanegaraan menurut Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
15. Analisa Secara Faktor Internal bahwa keberadaan Peradilan Agama pada jaman kerajaan dan
Penjajahan Belanda membawa dampak positif bagi fodamental peradilan Islam/ syariah di
Indonesia, karena dari jaman tersebutlah keberadaan peradilan agama dapat dimungkinkan
menjadi peradilan yang modern dan madiri untuk mencuptakan kepastian hukum berdasarkan
syariat Islam, yang secara internal untuk kepentingan para pencari keadilan yang beragama
Islam dan sedapat mungkin menggunakan dan melaksanakan syariat Islam dan Al Quran.
Khususnya Peradilan Agama yang dipengaruhi oleh perubahan perundang-undangan
kekuasaan kehakiman yang merupakan peradilan satu atap dan sebagai peradilan yang mandiri
serta modern peradilan yang selama ini bersandar pada undang-undang kekuasaan kehakiman
untuk peradilan umum
16. Secara faktor eksternal bahwa keberadaan Peradilan Agama pada jaman kerajaan dan
Penjajahan Belanda, dimana kolonial belanda yang berupaya memecah belah umat muslim
pada masa itu, tidak berhasil, karena dengan keberadaan Peradilan Agama sudah mewadahi
kaum muslim yang bersengketa tidak dipengaruhi oleh kekuasaan kolonial belanda, yaitu
dengan sistim hukum yang berlaku di kerajaan Belanda dan atas dasar tersebutlah, yang
membawa para ulama dan santri untuk mengembangkan syariat Islam yang berasal dari
Negara Arab untuk diterapkan di Indonesia, yang di sesuaikan dengan hukum adat yang
berkembang didalam masyarakat pluralime di Indonesia.
17. Perlunya diadakan skema perunundang-undangan tentang Peradilan Agama yang merupakan
sebagai fundamental peradilan syariah di Indonesia, dengan tujuan agar generasi penerus
Bangsa Indonesia dapat mengetahui secara pasti mengenai perkembangan peradilan agama di
Indonesia dan terhadap dasar-dasar hukum prodak pemerintahan VOC adalah merupakan
sebagai prodak hukum yang menyesatkan, akan tetapi prodak hukum ini tidak boleh
dikesampingkan karena merupakan pula secagai cikal bakal tumbuhnya Peradilan agama di
Indonesia.
18. Sebaikny terhadap Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 perlu disempunakan lagi, karena
adanaya permasalahan tentang Poligami, Perkawinan campuran yang merupaka permasalahan
baru dan bagaimana dampak pidananya terhadap Poligami yang tidak mendapat ijin dari isteri
pertama belum dituangkan dan diatur secara tegas dan keberadaan dan pemberlakukan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, perlu diatur secara tegas tentang ekonomi syariah
karena merupakan kewenangan baru, agar tidak terjadi konflik kewenangan antara Peradilan
Agama dan Peradilan Umum didalam penangan ekonomi syariah.
19. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, karena belum terdapat
pengaturan secara tegas tentang ekonomi syariah dan sebaiknya harus diatur agar tidak terjadi
konflik yang berkepanjangan antara kedua kewenangan peradilan yaitu antara Peradilan
Agama dan Peradilan Umum.

You might also like