Professional Documents
Culture Documents
Oleh :
B. Zanuar Ichsan, S. ked G0005068
Ermawati Sudarsono, S. ked G0005089
Rochmadina Suci Bestari, S. ked G0003172
Kautsar Heridho, S. Ked G0004131
Pembimbing :
Prof.Dr.Bambang Soebagyo,dr., Sp.A(K)
2. AMEBIASIS
a. Etiologi
Amebiasis disebabkan oleh Entamoeba histolytica. Protozoa ini termasuk
dalam kelas rhizopoda. Dalam daur hidupnya Entamoeba histolytica mempunyai
tiga stadium yaitu :
(1) Bentuk histolitika
ukuran 20-40 µm.
ektoplasma bening homogen pada tepi sel dan terlihat nyata.
endoplasma berbutir halus dan tidak mengandung bakteri/sisa makanan,
mengandung sel eritrosit dan inti entamoeba.
berkembang biak dengan pembelahan biner di jaringan dan merusak
jaringan tersebut sesuai dengan nama spesiesnya Entamoeba histolytica
(histo = jaringan, lisis = hancur).
patogen pada usus besar, hati paru-paru, otak, kulit dan vagina
e. Diagnosis
Amoebiasis intestinal kadang-kadang sukar dibedakan dari irritable bowel
syndrom, divertikulitis, enteritis regional dan hemorroid interna, sedang disentri
amoeba sukar dibedakan dengan disentri basilar (Shigellosis) atau Salmonellosis,
kolitis ulserosa dan skistosomiasis. Pemeriksaan tinja sangat penting. Tinja penderita
amebiasis tidak banyak mengandung leukosit, tetapi banyak mengandung bakteri.
Diagnosis pasti baru dapat ditegakkan apabila ditemukan amoeba (trofozoit). Akan
tetapi dengan diketemukan ameba tersebut tidak berarti menyingkirkan
kemungkinan diagnosis penyakit lain, karena amoebiasis dapat terjadi bersamaan
dengan penyakit lain pada seorang penderita. Sering amoebiasis terdapat bersamaan
dengan karsinoma usus besar. Oleh karena itu apabila penderita amebiasis yang telah
mendapat pengobatan spesifik masih tetap mengelus perutnya sakit, perlu dilakukan
pemeriksaan lain, seperti endoskopi, foto kolon dengan barium enema atau biakan
tinja.
f. Pemeriksaan Penunjang
1) Laboratorium hematologi, kimia klinik
2) Laboratorium mikrobiologi
3) Ultrasonografi
4) Scanning hati
Dari pemeriksaan penunjang pada penderita amoebiasis akan didapatkan :
1) Leukositosis
2) Adanya trofozoit atau kista di dalam feses atau trofozoit di dalam pus
hasil aspirasi atau dalam specimen jaringan.
Tes diagnostik laboratorium yang paling baik untuk menegakkan diagnosa diare
adalah diagnosa laboratorium tinja. Pengambilan tinja harus dilakukan sebelum
pemakaian terapi antimikroba. Tinja yang diambil tidak boleh terkontaminasi urin.
Jadi, sebaiknya pasien diminta berkemih dahulu sebelum mengeluarkan tinja. Tinja
yang telah diambil diawetkan dalam larutan fiksatif polivinil alkohol(PVA) atau
metiolat iodium formalin(MIF). Kemudian tinja disimpan pada media transport(dapat
berupa media Cary Blair & Stuart atau pepton water).
Pemeriksaan mikroskopis:
– Tinja dioleskan dalam preparat.
– Tinja diperiksa dengan meneteskan larutan garam fisiologis.
– Tutup dengan dek gelas
– Perhatikan kuman yang terdapat dalam hapusan tersebut.
– Misalnya, teramati tropozoit yang bergerak cepat ke satu arah dengan menjulurkan
pseudopodiainfeksi Entamoeba histolytica.
– Untuk pemeriksaan lebih jelas, tambahkan lugol
teramati kista entamoeba ukuran 5-20 µm, inti berwarna coklat tua dengan
sitoplasma berwarna kuninginfeksi Entamoeba histolytica.
g. Komplikasi
Beberapa penyulit dapat terjadi pada disentri ameba, baik berat maupun
ringan. Berdasarkan lokasinya, penyulit tersebut dapat dibagi menjadi :
1) Komplikasi Intestinal
Perdarahan usus
Perforasi usus
Ameboma
Intususepsi
2) Komplikasi Ektra Intestinal
Amebiasis hati
Amebiasis pleuropulmonal
Abses otak, limpa, dan organ lain
Amoebiasis kulit
h. Terapi
Amoeba dapat ditemukan di dalam lumen usus, di dalam dinding usus,
maupun di luar usus. Hampir semua obat amebisid tidak dapat bekerja efektif di
semua tempat tersebut, terutama bila diberikan obat tunggal. Oleh karena itu sering
digunakan kombinasi obat untuk meningkatkan hasil pengobatan.
1) Carrier (cyst passer)
Carrier atau cyst passer, walaupun tanpa keluhan dan gejala klinis,
sebaiknya diobati. Hal ini disebabkan karena ameba yang hidup sebagai
komensal di dalam lumen usus besar, sewaktu-waktu dapat berubah menjadi
patogen. Di samping itu carrier merupakan sumber infeksi utama. Trofozoit
banyak dijumpai di lumen usus besar tanpa atau sedikit sekali menimbulkan
kelainan mukosa usus. Ulkus yang ditimbulkan hanya superfisial, tidak
mencapai lapisan submukosa. Kelainan tersebut tidak menimbulkan gangguan
peristaltik usus, sehingga tidak menimbulkan keluhan dan gejala klinis. Obat
yang diberikan adalah amebisid luminal, misalnya :
Diloksanit furoat (Diloxanite furoate)
Dosis 3 x 500 mg sehari, selama 10 hari. Saat ini obat ini merupakan
amoebisid luminal pilihan.
Diyodohidroksikin (Diiodohydroxyquin)
Dosis 3 x 600 mg sehari, selama 10 hari
Yodoklorohidroksikin (Iodochloro-hydroxyquin) atau kliokinol
(clioquinol)
Dosis 3 x 250 mg sehari, selama 10 hari
Karbarson (carbarsone)
Dosis 3 x 500 mg sehari, selama 7 hari
Bisthmuth glycoarsanilate
Dosis 3 x 500 mg sehari, selama 7 hari
Klefamid (clefamide)
Dosis 3 x 500 mg sehari, selama 10-13 hari
Paromomycin
Dosis 3 x 500 mg sehari, selama 5 hari
Oleh karena ada kemungkinan invasi amuba ke mukosa usus besar,
walaupun tidak mengakibatkan gangguan peristaltik usus, dianjurkan untuk
menambah amebisid jaringan sebagai profilaksis. Obat amebisid jaringan yang
dapat dipakai adalah :
Klorokin difosfat (chloroquin diphosphate)
Dosis 2 x 500 mg sehari, selama 1-2 hari, kemudian dilanjutkan 2 x
250 mg, selama 7-12.
Metronidazol
Dosis 35 x 50 mg/kgBB atau 3 x 500 mg sehari, selama 5 hari
Tinidazol
Dosis 50 mg/kgBB atau 2 mg sehari, selama 2 – 3 hari
Omidazol
Dosis 50-60 mg/kgBB atau 2 mg sehari, selama 3 hari
Ketiga obat tersebut termasuk golongan nitroimidazol yang dapat
bekerja baik di dalam lumen usus, di dalam dinding usus maupun di luar usus.
Efek samping yang sering terjadi adalah mual, muntah, pusing dan nyeri
kepala.Tidak dianjurkan yang mengidap penyakit darah, juga pada ibu hamil
karena bersifat karsinogenik dan teratogenik serta dapat mengakibatkan mutasi
bakteri.
2) Amebiasis intestinal ringan – sedang
Penderita akan mengalami diare atau disentri, tetapi tidak berat,
sehingga tidak memerlukan infus cairan elektrolit atau transfusi darah. Oleh
karena didapatkan trofozoit di dalam lumen usus besar, maka sebagai obat
pilihan adalah :
Metronidazol
Dosis 3 x 750 mg sehari, selama 5-10 hari
Tinidazol
Dosis 50 mg/kgBB atau 2 mg sehari, selama 2 – 3 hari
Imidazol
Dosis 50-60 mg/kgBB atau 2 mg sehari, selama 3 hari
Oleh karena pada penderita yang sudah sembuh dengan pengobatan
metronidazol dapat timbul abses hati dalam jangka waktu 3-4 bulan kemudian,
maka dianjurkan untuk menambah dengan obat amebisid luminal. Obat ini
akan memberantas sumber trofozoit di dalam lumen usus.
Diyodohidroksikin
Dosis 3 x 600 mg sehari, selama 10 hari
Kliokinol atau diloksanid furoat
Dosis 3 x 500 mg sehari, selama 10 hari
Tetrasiklin
Dosis 4 x 500 mg sehari, selama 5 hari
3) Disentri amoeba berat
Penderita ini tidak hanya memerlukan obat amoebisid saja, tetapi juga
memerlukan infus cairan elektrolit atau transfusi darah. Selain pengobatan
seperti pada disentri amoeba ringan dan sedang perlu ditambah emetin atau
dihidroemetin. Obat ini diberikan secara suntikan intramuskular atau subkutan
yang dalam. Tidak diperbolehkan memberikan secara intravena. Dosis emetin
1 mg/kgBB sehari( maksimum 60 mg sehari) selama 3-5 hari. Penderita
sebaiknya dirawat di rumah sakit dan tirah baring selama pengobatan. Hal ini
disebabkan karena bahaya efek samping emetin terhadap jantung. Pemberian
dosis tinggi dapat mengakibatkan nekrosis otot jantung dan penderita
meninggal mendadak.
4) Amoebiasis Ektraintestinal dan Ameboma
Penderita abses hati ameba dapat diberi :
Metronidazol
Dosis 35-50 mg/kg BB atau 3x 500 mg sehari, selama 5 hari
Tinidazol
Dosis 50 mg/kgBB atau 2 mg sehari, selama 2 – 3 hari
Omidazol
Dosis 50-60 mg/kgBB atau 2 mg sehari, selama 3 hari
Klorokindifosfat
Dosis 1 g sehari, selama 1-2 hari, dilanjutkan dengan 600 mg sehari,
selama 4 minggu.
Masing-masing obat tersebut perlu ditambah dehidroemetin atau
emetin dengan dosis seperti tersebut diatas selama 10 hari. Kadang-kadang
apabila abses hati sangat besar sukar sembuh. Perlu dipertimbangkan tindakan
pungsi abses, untuk mempercepat penyembuhan. Pada amoebiasis
ekstraintestinal lainnya dan ameboma obat-obat tersebut di atas dapat
diberikan, kecuali klorokuin.
i. Prognosis
Prognosis ditentukan oleh berat ringannya penyakit, diagnosis dan
pengobatan dini yang tepat, serta kepekaan amoeba terhadap obat yang diberikan.
Pada umumnya prognosis amoebiasis adalah baik terutama yang tanpa komplikasi.
Pada abses hati amoeba kadang-kadang diperlukan tindakan pungsi untuk
mengeluarkan nanah. Demikian pula pada amoebiasis yang disertai penyulit efusi
pleura. Prognosis yang kurang baik adalah abses otak amoeba.
j. Pencegahan
Makanan, minuman dan keadaan lingkungan hidup yang memenuhi syarat
kesehatan merupakan sarana pencegahan penyakit yang sangat penting. Air minum
sebaiknya dimasak dulu, karena kista akan binasa bila air dipanaskan 40 0C selama 5
menit. Pemberian klor dalam jumlah yang biasa digunakan dalam proses pembuatan
air bersih, ternyata tidak bisa membinasakan nkista. Penting sekali adanya jamban
keluarga, isolasi dan pengobatan carrier. Carrier dilarang bekerja sebagai juru
masak atau segala pekerjaan yang berhubungan dengan makanan.
d. Patogenesis
Diare disebabkan oleh aktivitas yang dilakukan virus. Malabsorbsi terjadi
oleh karena kerusakan sel usus (enterocyt). Racun yang diprosuksi Rotavirus berupa
protein NSP4 menyebabkan sekresi ion kalsium, mengganggu SGLT1 dalam proses
reabsorbsi air, menghambat aktivitas membran silia disakarida, dan kemungkinan
mengganggu reflek simpatis parasimpatis usus. Enterocyt yang sehat
mengsekresikan lactase ke usus kecil, intoleransi susu dapat terjadi oleh karena
defisiensi lactase dan menjadi gejala khas dari infeksi rotavirus ini, dan kondisi ini
dapat berlangsung sampai satu minggu. Diare sedang yang berulang oleh karena
pengenalan susu buatan pada anak terjadi oleh karena fermentasi disakarida laktosa
oleh bakteri di usus.
e. Gejala Klinis
Gejala yang didapatkan pada gastroenteritis oleh karena rotavirus antara lain
dapat berupa muntah, diare air, dan demam sumer-sumer. Ketika seorang anak
terinfeksi virus ini perlu waktu inkubasi selama kurang lebih 2 hari sebelum
timbulnya gejala klinis. Dehidrasi lebih sering terjadi pada infeksi rotavirus daripada
oleh karena bakteri patogen, dan menjadi penyebab kematian tersering oleh karena
infeksi rotavirus ini.
Infeksi rotavirus dapat terjadi seumur hidup, infeksi pertama kali
menimbulkan gejala, namun infeksi berikutnya tidak menimbulkan gejala oleh
karena adanya peningkatan sistem imunitas tubuh. Oleh karena itu, infeksi dengan
manifestasi klinis terbanyak pada usia di bawah 2 tahun dan menurun sampai dengan
usia 45 tahun. Infeksi pada neonatus biasanya asimtomatik atau infeksi sedang,
infeksi yang berat biasanya pada anak usia 6 bulan sampai 2 tahun, juga pada anak
yang lebih tua dengan imunokompromis. Oleh karena imunitas yang didapat pada
waktu anak, orang dewasa kebal terhadap infeksi rotavirus, diare pada dewasa lebih
sering disebabkan hal lain, selain rotavirus, akan tetapi infeksi asimtomatik pada
dewasa ini dapat menjadi sumber penularan. Infeksi simptomatis pada dewasa dapat
disebabkan rotavirus tipe A dengan serotipe yang lain.
f. Diagnosis
Diagnosis infeksi Rotavirus normalnya mengikuti diagnose gastroenteritis
yang menyebabkan diare berat. Kebanyakan anak yang masuk rumah sakit dengan
gastroenteritis diperiksa untuk infeksi Rotavirus A. Diagnosis yang lebih spesifik
dengan mengidentifikasi virus pada tinja pasien dengan menggunakan teknik enzim
immunoassay. Ada banyak alat test berlisensi yang beredar di pasaran, yang sensitif,
spesifik dan dapat mendeteksi semua serotype Rotavirus A. Metode lain,
menggunakan mikoroskop elektron, dan elektroporesis policrylamide gel, digunakan
pada laboratorium penelitian. Reverse transcription-polymerase chain reaction (RT-
PCR) dapat mendeteksi dan mengidentifikasi semua spesies dan serotype Rotavirus
pada manusia.
g. Terapi
Penatalaksanaan infeksi Rotavirus akut tidak spesifik, meliputi terapi gejala
yang ada, dan sangat penting untuk mengatasi dehidrasinya. Berdasarkan berat
ringannya diare, terapi meliputi oral rehidrasi baik dengan air putih, air dengan
garam, atau air dengan garam dan gula. Pada beberapa infeksi yang berat dengan
kondisi yang mengkhawatirkan perlu dirawatinapkan, sehingga cairan dapat
diberikan secara intravena, ataupun melalui nasogastric tube, selain itu kadar
elektrolit, dan gula dapat terus dimonitor dengan baik.
4. GIARDIASIS
a. Etiologi
Giardiasis disebabkan oleh Giardia lamblia. Transmisinya secara fekal-oral.
Terdapat 2 stadium dalam daur hidupnya, yaitu:
1) Bentuk tropozoit
Pear shape (Bentuk tropozoit bilateral simetris seperti buah jambu monyet
yang bagian anteriornya membulat dan bagian posteriornya meruncing.
Permukaan dorsalnya cembung (konveks) dan pipih di sebelah ventral),
9-20 μm x 5-15 μm
2 nukleus di bagian anterior, 8 flagela
Aksonema, badan tengah
2) Bentuk kista
Ukuran 8-12 µm, 4 nukleus
Dinding tipis dan kuat dan letaknya terpisah dari dinding kista
Sitoplasma berbutir halus
Kista yang baru terbentuk mempunyai 2 inti, yang matang mempunyai 4
inti, letaknya pada 1 kutub.
Sewaktu kista dibentuk, tropozoit menarik kembali flagel-flagel ke dalam
aksonema sehingga tampak sebagai 4 pasang benda sabit (sisa dari flagel)
G.lamblia hidup di rongga usus kecil, yaitu duodenum dan bagian proksimal
yeyunum dan kadang-kadang di saluran dan kandung empedu. Dengan pergerakan
flagel yang cepat tropozoit bergerak dari satu tempat ke tempa lain dengan batil isap
melekatkan diri pada epitel usus. Tropozoit berkembangbiak dengan cara belah
pasang longitudinal. Dalam tinja cair biasanya hanya ditemukan tropozoit. Enkistasi
terjadi dalam perjalanan ke kolon, bila tinja mulai menjadi padat. Bila kista matang
tertelan ole hospes, maka terjadi ekskistasi di duodenum, kemudian sitoplasmanya
membelah dan flagel tumbuh dari aksonema sehingga terbentuklah 2 tropozoit. Cara
infeksi ialah dengan menelan kista matang.
b. Epidemiologi
Manusia adalah hospes alamiah Giardia lamblia. Spesies Giardia dengan
morfologi yang sama ditemukan pada berbagai hewan. Parasit ini tersebar
kosmopolit, prevalensinya 2-25% atau lebih, tergantung dari golongan umur yang
diperiksa dan sanitiasi lingkungan. Lebih sering ditemukan di daerah beriklim panas
daripada di daerah beriklim dingin. Parasit ini juga ditemukan di Indonesia.
Prevalensi yang pernah ditemukan di Jakarta ialah 4,4%. Prevalensinya di Jakarta
antara tahun 1983 dan 1990 adalah sebesar 2,9% (194 positif dari 6810 sampel tinja
yang dikirim ke bagian Parasitologi FKUI dari penderita di Jakarta).
Transmisi terjadi dengan tertelannya kista matang. Makanan dan minuman
yang terkontaminasi dengan tinja, juga lalat atau penjaja makanan merupakan
sumber infeksi, tetapi kadang-kadang transisi terjadi karena kontak langsung antara
individu yang terinfeksi dengan individu yang tidak terinfeksi seperti pada infeksi
cacing kremi (hand-to-mouth).
G.lamblia lebih sering ditemukan pada anak daripada orang dewasa,
terutama pada anak berumur 6-10 tahun dari keluarga besar, di rumah yatim piatu
dan di sekolah dasar. Terjadinya epidemic giardiasis telah dilaporkan di tempat
perawatan anak (day care centers).
Pada orang dewasa giardiasis ditemukan pada orang yang bepergian
(traveler’s diarrhea), karena air minum yang terkontaminasi. Karena infeksi
G.lamblia terjadi di hutan-hutan di daeah pegunungan di Amerika Serikat pada
orang yang berkemah, maka diduga bahwa hewan liar (muskrat, beaver) merupakan
sumber G.lamblia yang dapat menginfeksi manusia. G.lamblia juga dianggap
sebagai parasit yang ditularkan melalui seks pada kaum homoseksual maupun
heteroseksual ang mempraktekkan seks oral-anal. Infeksi G.lamblia juga makin
banyak ditemukan pada penderita AIDS. Selain daripada menyebabkan gangguan
gastrointestinal, infeksi G.lamblia juga dihubungkan dengan sindrom alergi seperti
urtikaria kronik, arteritis retinal dan iridosiklitis pada anak-anak dewasa.
c. Patologi
Giardia tidak selalu menimbulkan gejala meskipun batil isapnya melekat
pada mukosa duodenum dan jejunum. Bila timbul kelainan biasanya hanya berupa
iritasi yang disebabkan oleh melekatnya parasit pada mukosa dengan batil isapnya.
Lesi berupa vilus yang menjadi lebih pendek dan peradangan pada kripta dan lamina
propria, seperti tampak pada sindroma malabsorbi. Tidak diketahui apakah kelainan
mukosa oleh Giardia disebabkan faktor mekanik, toksik, atau faktor lainnya. Infeksi
Giardia dapat menyebabkan diare, disertai steatorhoe karena gangguan absorbsi
lemak. Selain itu, terdapat pula gangguan absorbsi karoten, folat, dan vitamin B12.
Produksi enzim mukosa juga berkurang. Penyerapan bilirubin oleh Giardia
menghambat aktivase lipase pankreatik. Kelainan fungsi usus kecil ini disebut
sindrom malabsorbsi, yang menimbulkan gejala kembung, abdomen membesar dan
tegang, mual, anoreksia, feses banyak dan berbau busuk dan mungkin penurunan
berat badan.
Flora normalTropozoit dalam tinja cairEnkitasi sepanjang prosesTinja
mulai padatKista matang dalam tinja padatEksitasi pada duodenum
Proses eksitasi: KistaTropozoitSitoplasma membelahFlagel tumbuh dari
Aksonema2 tropozoitmenginvasi usus halus
Giardia lamblia tidak menginvasi mukosa, tetapi menyerang vili. Protozoa ini
menyebabkan atropi vili yang mengarah pada malabsorpsidiare.
d. Gejala Klinis
Giardiasis biasanya asimptomatik. Gejala giardiasis paling banyak terlihat
pada orang yang bepergian. Fase inkubasi biasanya berlangsung 9-15 hari. Stadium
akut ditandai dengan rasa tidak enak di perut dan diikuti dengan mual dan anoreksia.
Dapat muncul demam yang tidak terlalu tinggi dan menggigil. Kemudian diikuti
diare yang encer, berbau tidak enak, dan banyak. Nyeri perut dan buang angina.
Stadium ini berlangsung 3-4 hari. Jika tidak diobati maka gejala akan menetap
sampai beberapa bulan. Giardiasis kronis dapat menyebabkan malabsorbsi. Gejala
giardiasis bervariasi dari orang ke orang, tergantung ukuran tempat melekat parasit,
lama infeksi, dan faktor pejamu, individu dan parasit.
e. Diagnosis
Gejala klinis giardiasis tidak khas. Diagnosis ditegakkan dengan menemukan
bentuk tropozoit dalam tinja encer dan cairan duodenum dan bentuk kista dalam tinj
padat. Dalam sediaan basah dengan larutan iodin atau dalam sediaan yang dipulas
dengan trikom. Morfologi G.lamblia dapat dibedakan dengan jelas dari protozoa
lain. Tropozoit hanya dapat ditemukan dalam tinja segar, sebelum tropozoit
mengalami disintegrasi. Teknik konentrasi dapat meningkatkan penemuan kista.
Dengan enterotest harus ditelan kapsul gelatin, kemudian mukus usus yang
menempel pada kapsul dapat diperiksa secara mikroskopik. Tetapi ditemukannya
parasit ini belum membuktikannya sebagai penyebab gejala duodenitis. Tukak
lambung, karsinoma, strongloidiasis dan gastroenteritis oleh sebab lain harus
disingkirkan dahulu.
f. Komplikasi
Kolera adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Vibrio cholerae. Vibrio
cholerae merupakan kuman aerob gram negative dengan ukuran 0,2-0,4 mm x 1,5-4
mm, mudah ditemukan dalam sediaan tinja kolera dengan pewarnaan gram sebagai
batang-batang pendek sedikit pendek (koma), tersusun berkelompok seperti
gerombolan ikan. Terdapat 2 biotipe yaitu klasik dan El Tor. Tiap biotipe dibagi
menjadi 2 serotipe yaitu inawa dan ogawa. Diagnosis presumtit dengan mikroskop
fluoresensi dengan memakai antibodi tipe spesifik yang telah dilabeli dengan
fluoresen. Kuman kolera tumbuh cepat dalam berbagai media selektif seperti agar
empedu, agar thiosufate-citrate-bile salt-sucrose (TCBS). Dalam medium ini koloni
vibrio tampak berwarna kuning suram. Identifikasi V. cholera biotipe El Tor penting
untuk tujuan epidemiologis.
b. Epidemiologi
Kolera ditularkan melalui jalur oral. Bila berhasil melalui pertahanan primer
dalam mulut bakteri ini akan cepat mati oleh karena asam lambung yang tidak di
encerkan. Jika V. Cholera dapat melewati asam lambung dia akan berkembang di
usus halus. Suasana alkali usus halus merupakan medium yang menguntungkan bagi
vibrio untuk hidup dan memperbanyak diri.
Penempelan vibrio pada usus halus dapat terjadi karena adanya membran
protein terluar dan adhesi flagella. V. cholera merupakan bakteri yang invasif,
patogenesis yang mendasari terjadinya penyakit ini disebabkan oleh enterotoksin
pada sel epitel duodenum dan jejunum sehingga menyebabkan hilangnya cairan dan
elektrolit secara masif.
Toksin kolera mengandung dua sub unit yaitu B (binding) dan A (active).
Sub unit B terikat pada gangliosid monosialosil yang spesifik, reseptor GM1 yang
terdapat pada sel epitel usus halus sehingga sub unit A dapat menembus membrane
sel epitel. Sub unit tersebut memiliki akifitas adenosine diphosphate (ADP)
ribosyltransferase dan menyebabkan transfer ADP ribose dari nicotinamide-adenine
dinucleotide (NAD) ke sebuah guanosine triphospate (GTP) binding protein yang
mengatur aktivitas adenilat siklase. Hal ini menyebabkan peningkatan produksi
cAMP, yang menghambat absorbsi Nacl dan merangsang ekskresi klorida yang
menyebabkan hilangnya air, Nacl, kalium dan bikarbonat.
Toksin-toksin tambahan yang diketahui terlibat pada patogenesis kolera yaitu
Zonula Ocludens Toxin (Zot) meningkatkan permeabilitas mukosa usus halus
dengan mempengaruhi struktur tight junction interseluler dan Accessory cholera
exotoxin (Ace) yang meningkatkan transpor ion transmembran.
Figure 17-32 Mechanisms of cholera toxin action.
d. Gejala Klinis
Kolera dikenal dengan manifestasi diare disertai muntah akut dan hebat
akibat enterotoksin yang dihasilkan kuman tersebut. Manifestasi klinis khasnya bisa
mengakibatkan dehidrasi, berlanjut dengan renjatan hipovolemik dan asidosis
metabolik yang terjadi dalam waktu yang sangat singkat akibat diare sekretorik dan
dapat berakhir kematian.
Masa inkubasi kolera berlangsung antara 16-72 jam. Gejala klinis kolera
bervariasi mulai dari asimtomatik sampai dehidrasi berat. Gejala klinis khasnya
ditandai dengan diare encer dan banyak tanpa didahului rasa mulas maupun
tenesmus. Feces berupa cairan putih keruh (seperti air cucian beras), tidak berbau
busuk, ataupun amis tapi ’manis’ menusuk. Muntah timbul setelah diare tanpa
didahului mual, kejang otot dapat menyusul baik dalam bentuk fibrilasi maupun
fasikulasi, maupun kejang klonik yang mengganggu. Kejang otot ini disebabkan
karena berkurangnnya kalsium dan klorida pada sambungan neuromuskular.
Gejala dan tanda kolera terjadi akibat kehilangan elektrolit serta asidosis.
Pasien dalam keadaan lemah lunglai, namun kesadaran relatif baik di banding
dengan berat penyakitnya. Tanda-tanda dehidrasi tampak jelas, nadi cepat, napas
lebih cepat, suara serak seperti bebek manila (vox cholerica), turgor kulit menurun,
bibir kering, perut cekung (skafoid), suara peristaltik menurun,ujung jari keriput
(washer woman hand), diuresis berangsur berkurang berakhir dengan anuria.
e. Diagnosis
f. Terapi
Dengan diketahui patogenesis dan patofisiologi penyakit kolera saat ini tidak
ada masalah dengan pengobatannya. Dasar pengobatan kolera adalah terapi
simtomatik dan kasual secara simultan. Tata laksana mencakup penggantian
kehilangan cairan tubuh dengan segera dan cermat, koreksi gangguan elektrolit dan
bikarbonat (baik kehilangan cairan melalui tinja, muntahan, kemih, keringat, dan
kehilangan insensibel), serta terapi antimikrobial.
Rehidrasi dilaksanakan dalam dua tahap yaitu terapi rehidrasi dan rumatan.
Pada dehidrasi yang disertai renjatan hipovolemik, muntah yang tak terkontrol, atau
dengan penyulit yang berat yang dapat mempengaruhi keberhasilan pengobatan
rehidrasi harus secara infus intravena. Pada kasus sedang dan ringan rehidrasi dapat
secara peroral dengan cairan rehidrasi oral atau oral rehydration solution (ORS).
Sedang tahap pemeliharaan dapat dilakukan sepenuhnya dengan cairan rehidrasi oral
baik pada kasus dehidrasi berat, sedang, maupun ringan.
DAFTAR PUSTAKA
B. Soebagyo. 2008. Diare akut pada anak. Sebelas Maret University Press
Lung E. Acute diarrheal diseases dalam current diagnosis abd treatment in gastroenterology.
Ed. Friedman S ; edisi ke 2 New Tork 2003 :McGraw Hill,hal 131-49
Robbins et al. 2007. Basic pathology of disease. Philadelphia. Elsevier Saunders, 18: 833-893