You are on page 1of 12

Candi Mendut

Candi Mendut merupakan candi kedua terbesar di daerah Kudu setelah Barabudur. Candi ini
terletak di desa Mendut, Mungkid, Magelang, berjarak sekitar 38 km ke arah barat laut kota
Yogyakarta dan 3 km dari Candi Barabudur. Candi mendut bersifat Budhistis dan terkait erat
dengan Candi Borobudur serta Candi Pawon. Bahkan ketiga candi tersebut merupakan suatu
kesatuan dan berada dalam satu garis lurus.

Candi Mendut juga tidak diketahui secara pasti tahun pembangunannya dan raja yang berkuasa
saat itu. Namun J.G. de Casparis dalam disertasinya menghubungkan Candi Mendut dengan raja
Indra, salah seorang raja keturunan Sailendra. Sebuah prasasti yang ditemukan di desa
karangtengah berangka tahun 824 M yang dikeluarkan raja Sailendra lainnya yaitu
Samarattungga, menyebutkan bahwa raja Indra ayah Samarattungga telah membangun sebuah
bangunan suci bernama Venuvana (hutan bambu). Jika pendapat Casparis ini benar, maka Candi
Mendut didirikan sekitar tahun 8000 M juga. Data lain yang dapat digunakan sebagai
pertanggalan Candi mendut adalah ditemukannya tulisan pendek (bagian dari mantra Budhis)
yang diduga berasal dari bagian atas pintu masuk.

Dari segi paleografis tulisan tersebut ada persamaan dengan tulisan-tulisan pendek pada relief
Karmawibhangga di Candi Barabudur sehingga diduga Candi Mendut sezaman dengan
Barabudur dan mungkin lebih tua.

Pada tahun 1834 Candi Mendut mulai mendapat perhatian meskipun mengalami nasib yang sama
dengan candi-candi lainnya, yaitu dalam kondisi runtuh dan hancur. Hartman, seorang residen
Kedu saat itu mulai memperhatikan Candi Mendut. Dalam tahun 1897 dilakukan persiapan-
persiapan untuk pemugaran. Dari tahun 1901-1907 J.L.A. Brandes melangkah lebih maju dan
berusaha merestorasi Candi Mendut dan kemudian tahun 1908 dilanjutkan oleh Van Erp
meskipun tidak berhasil merekonstruksi secara lengkap.

J.G. de Casparis berpendapat bahwa Candi Mendutdibangun untuk memuliakan leluhur-leluhur


Sailendra. Di bilik utama candi ini terdapat 3 buah arca yang menurut para ahli arca-arca tersebut
diidentifikasi sebagai Cakyamuni yang diapit oleh Bodhisatwa, Lokeswara dan Bajrapani. Dalam
kitab Sang Hyang Kamahayanikan disebutkan bahwa realitas yang tertinggi (advaya)
memanifestasikan dirinya dalam 3 dewa (Jina) yaitu : Cakyamuni, Lokesvara, dan Bajrapani.
Sebagai candi yang bersifat Budhistist, relief-relief di Candi mendut juga berisi cerita-cerita
ajaran moral yang biasanya berupa cerita-cerita binatang yang bersumber dari Pancatantra dari
India. Cerita tersebut antara lain adalah seekor kura-kura yang diterbangkan oleh dua ekor angsa
dan di bawahnya dilukiskan beberpa anal gembala yang seolah-olah mengejek kura-kura
tersebut. Oleh karena kura-kura tersebut emosional dalam menanggapi ejekan, maka terlepaslah
gigitannya dari tangkai kayu yang dipegang sehingga terjatuh dan mati. Inti ceritanya adalah
ajaran tentang sifat kesombongan yang akan mencelakakan diri sendiri.

Arah candi Mendut tidak tepat ke arah barat, tetapi sedikit bergeser ke arah barat laut. Luas
bengunan keseluruhan adalah 13,7 x 13,7 meter dan tinggi sampai sebagian atapnya sekitar 26,5
meter.
Posted by BuLaN at 9:43 PM 0 comments

Berbagai Candi di indonesia

DATA CANDI
Peninggalan bangunan kuna yang terbuat dari susunan batu berbentuk Candi umumnya terbagi
menjadi dua ragam, yaitu: ragam Jawa Tengah dan ragam jaawa Timur. Ciri-ciri ragam Jawa
Tengah ialah: bentuk bangunannya tambun, atasnya berundak-undak, puncak berbentuk ratna
atau stupa, gawang pintu dan relug berhias Kalamakara, reliefnya timbul agak tinggi berlukiskan
naturalis, letak candi di tengah halaman, menghadap ke timur, dan terbuat dari batu andesit.
Ciri-ciri ragam Jawa Timur, ialah: bentuk bangunan ramping, atapnya merupakan perpaduan
tingkatan, puncak berbentuk kubus, makara tidak ada, relief timbul sedikit dengan lukisan
simbolis menyerupai wayang kulit, letak candi di belakang halaman, menghadap ke barat,
kebanyakan terbuat dari bata.

Candi Brahma

Nama candi di kompleks Candi Prambanan, terletak di sebelah selatan Candi Siwa. Didalamnya
terdapat patung Brahma yang berkepala empat sebagai dewa pencipta alam. Dibawah patung
Brahma terdapat sebuah sumur. Pada setiap dinding kamar candi terdapat batu yang menonjol
yang berfungsi sebagai tempat meletakkan lampu.

Candi Asu

Nama candi yang terletak di Desa Candi Pos, kelurahan Sengi, kecamatan Dukun, kabupaten
magelang, propinsi Jawa tengah. Di dekatnya juga terdapat 2 buah candi Hindu lainnya, yaitu
candi Pendem dan candi Lumbung. Nama candi tersebut merupakan nama baru yang diberikan
oleh masyarakat sekitarnya. Disebut Candi Asu karena didekat candi itu terdapat arca Lembu
Nandi, wahana dewa Siwa yang diperkirakan penduduk sebagai arca asu ‘anjing’. Disebut Candi
Lumbung karena diduga oleh penduduk setempat dahulu tempat menyimpan padi. Ketiga candi
tersebut terletak di pinggir Sungai Pabelan, dilereng barat Gunung Merapi, di daerah bertemunya
(tempuran) Sungai Pabelan dan Sungai Tlingsing. Ketiganya menghadap ke barat. Candi Asu
berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 7,94 meter. Tinggi kaki candi 2,5 meter, tinggi tubuh
candi 3,35 meter. Tinggi bagian atap candi tidak diketahui karena telah runtuh dan sebagian
besar batu hilang. Melihat ketiga candi tersebut dapat diperkirakan bahwa candi-candi itu
termasuk bangunan kecil. Di dekat Candi Asu telah diketemukan dua buah prasati batu
berbentuk tugu (lingga), yaitu prasasti Sri Manggala I ( 874 M ) dan Sri Manggala II ( 874 M ).
Posted by BuLaN at 9:39 PM 0 comments

Candi Prambanan
CANDI PRAMBANAN merupakan candi Hindu terbesar di Indonesia, berketinggian 47 meter,
dibangun pada abad 9. Letaknya berada 17 km arah timur Yogyakarta di tepi jalan raya menuju
Solo. Candi yang utama yaitu Candi Siwa (tengah), Candi Brahma (selatan), Candi Wisnu
(utara). Didepannya terletak Candi Wahana (kendaraan) sebagai kendaraan Trimurti; Candi
Angkasa adalah kendaraan Brahma (Dewa Penjaga), Candi Nandi (Kerbau) adalah kendaraan
Siwa (Dewa Perusak) dan Candi Garuda adalah kendaraan Wisnu (Dewa Pencipta).

Pada dinding pagar langkan candi Siwa dan candi Brahma dipahatkan relief cerita Ramayana ,
sedangkan pada pagar langkah candi Wisnu dipahatkan relief Krisnayana. masuk candi Siwa dari
arah timur belok ke kiri akan anda temukan relief cerita Ramayana tersebut searah jarum jam,
relief cerita selanjutnya bersambung di candi Brahma.

Candi Prambanan dikenal kembai saat seorang Belanda bernama C.A.Lons mengunjungi Jawa
pada tahun 1733 dan melaporkan tentang adanya reruntuhan candi yang ditumbuhi semak
belukar. Usaha pertama kali untuk menyelamatkan Candi Prambanan dilakukan oleh Ijzerman
pada tahun 1885 dengan membersihkan bilik-bilik candi dari reruntuhan batu. Pada tahun 1902
baru dimulai pekerjaan pembinaan yang dipimpin oleh Van Erp untuk candi Siwa, candi Wisnu
dan candi Brahma. Perhatian terhadap candi Prambanan terus berkembang. Pada tahun 1933
berhasil disusun percobaan Candi Brahma dan Wisnu. Setelah mengalami berbagai hambatan,
pada tanggal 23 Desember 1953 candi Siwa selesai dipugar. Candi Brahma mulai dipugar tahun
1978 dan diresmikan 1987. Candi Wisnu mulai dipugar tahun 1982 dan selesai tahun 1991.
Kegiatan pemugaran berikutnya dilakukan terhadap 3 buah candi perwara yang berada di depan
candi Siwa, Wisnu dan Brahma besarta 4 candi kelir dan 4 candi disudut / patok.

Kompleks candi Prambanan dibangun oleh Raja-raja Wamca (Dinasty) Sanjaya pada abad ke-9.
Candi Prambanan merupakan kompleks percandian dengan candi induk menghadap ke timur,
dengan bentuk secara keseluruhan menyerupai gunungan pada wayang kulit setinggi 47 meter.
Agama Hindu mengenal Tri Murti yang terdiri dari Dewa Brahma sebagai Sang Pencipta, Dewa
Wisnu sebagai Sang Pemelihara, Dewa Shiwa sebagai Sang Perusak. Bilik utama dari candi
induk ditempati Dewa Shiwa sebagai Maha Dewa sehingga dapat disimpulkan candi Prambanan
merupakan candi Shiwa. Candi Prambanan atau candi Shiwa ini juga sering disebut sebagai
candi Loro Jonggrang berkaitan dengan legenda yang menceritakan tentang seorang dara yang
jonggrang atau gadis yang jangkung, putri Prabu Boko, yang membangun kerajaannya diatas
bukit di sebelah selatan kompleks candi Prambanan.

Bagian tepi candi dibatasi dengan pagar langkan, yang dihiasi dengan relief Ramayana yang
dapat dinikmati bilamana kita berperadaksina (berjalan mengelilingi candi dengan pusat cansi
selalu di sebelah kanan kita) melalui lorong itu. Cerita itu berlanjut pada pagar langkan candi
Brahma yang terletak di sebelah kiri (sebelah selatan) candi induk. Sedang pada pagar langkan
candi Wishnu yang terletak di sebelah kanan (sebelah utara) candi induk, terpahat relief cerita
Kresnadipayana yang menggambarkan kisah masa kecil Prabu Kresna sebagai penjelmaan Dewa
Wishnu dalam membasmi keangkaramurkaan yang hendak melanda dunia.

Bilik candi induk yang menghadap ke arah utara berisi parung Durga, permaisuri Dewa Shiwa,
tetapi umumnya masyarakat menyebutnya sebagai patung Roro Jonggrang, yang menurut
legenda, patung batu itu sebelumnya adalah tubuh hidup dari putri cantik itu, yang dikutuk oleh
ksatria Bandung Bondowoso, untuk melengkapi kesanggupannya menciptakan seribu buah
patung dalam waktu satu malam.

Candi Brahma dan candi Wishnu masing-masing memiliki satu buah bilik yang ditempati oleh
patung dewa-dewa yang bersangkutan.

Dihadapan ketiga candi dari Dewa Trimurti itu terdapat tiga buah candi yang berisi wahana
(kendaraan) ketiga dewa tersebut. Ketiga candi itu kini sudah dipugar dan hanya candi yang
ditengah ( di depan candi Shiwa) yang masih berisi patung seekor lembu yang bernama Nandi,
kendaraan Dewa Shiwa.

Patung angsa sebagai kendaraan Brahma dan patung garuda sebagai kendaraan Wishnu yang
diperkirakan dahulu mengisi bilik-bilik candi yang terletak di hadapan candi kedua dewa itu kini
telah dipugar.

Keenam candi itu merupakan 2 kelompok yang saling berhadapan, terletak pada sebuah halaman
berbentuk bujur sangkar, dengan sisi sepanjang 110 meter.

Didalam halaman masih berdiri candi-candi lain, yaitu 2 buah candi pengapit dengan ketinggian
16 meter yang saling berhadapan, yang sebuah berdiri di sebelah utara dan yang lain berdiri di
sebelah selatan, 4 buah candi kelir dan 4 buah candi sedut.

Halaman dalam yang dianggap masyarakat Hindu sebagai halaman paling sacral ini, terletak di
tengah halaman tengah yang mempunyai sisi 222 meter, dan pada mulanya berisi candi-candi
perwara sebanyak 224 buah berderet-deret mengelilingi halaman dalam 3 baris.

Posted by BuLaN at 9:15 PM 0 comments

Tuesday, November 3, 2009


KERAJAAN MAJAPAHIT

Kerajaan Majapahit Didirikan tahun 1294 oleh Raden Wijaya yang bergelar Kertarajasa
Jayawardana yang merupakan keturunan Ken Arok raja Singosari.

Raja-Raja yang pernah memerintah Kerajaan Majapahit:

1. Raden Wijaya 1273 - 1309


2. Jayanegara 1309-1328
3. Tribhuwanatunggaldewi 1328-1350
4. Hayam Wuruk 1350-1389
5. Wikramawardana 1389-1429
6. Kertabhumi 1429-1478

Kerajaan Majapahit ini mencapai puncak kejayaannya di masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk
(1350-1389). Kebesaran kerajaan ditunjang oleh pertanian sudah teratur, perdagangan lancar dan
maju, memiliki armada angkutan laut yang kuat serta dipimpin oleh Hayam Wuruk dengan patih
Gajah Mada.

Di bawah patih Gajah Mada Majapahit banyak menaklukkan daerah lain. Dengan semangat
persatuan yang dimilikinya, dan membuatkan Sumpah Palapa yang berbunyi “Ia tidak akan
makan buah palapa sebelum berhasil menyatukan seluruh wilayah Nusantara”.
Mpu Prapanca dalam bukunya Negara Kertagama menceritakan tentang zaman gemilang
kerajaan di masa Hayam Wuruk dan juga silsilah raja sebelumnya tahun 1364 Gajah Mada
meninggal disusun oleh Hayam Wuruk di tahun 1389 dan kerajaan Majapahit mulai mengalami
kemunduran.

Penyebab kemunduran:
Majapahit kehilangan tokoh besar seperti Hayam Wuruk dan Gajah Mada meletusnya Perang
Paragreg tahun 1401-1406 merupakan perang saudara memperebutkan kekuasaan daerah
bawahan mulai melepaskan diri.

Peninggalan kerajaan Majapahit:


Bangunan: Candi Panataran, Sawentar, Tiga Wangi, Muara Takus
Kitab: Negara Kertagama oleh Mpu Prapanca, Sitosoma oleh Mpu Tantular yang memuat slogan
Bhinneka Tunggal Ika.

Paraton Kidung Sundayana dan Sorandaka R Wijaya Mendapat Wangsit Mendirikan Kerajaan
Majapahit.

Dua pohon beringin di pintu masuk Pendopo Agung di Trowulan, Mojokerto. Dua pohon
beringin itu ditanam pada 22 Desemebr 1973 oleh Pangdam Widjojo Soejono dan Gubernur
Moehammad Noer.

Di belakang bangunan Pendopo Agung yang memampang foto para Pangdam Brawijaya,
terdapat bangunan mungil yang dikelilingi kuburan umum. Bangunan bernama Petilasan
Panggung itu diyakini Petilasan Raden Wijaya dan tempat Patih Gajah Mada mengumandangkan
Sumpah Palapa.

Begitu memasuki bangunan Petilasan Panggung, yang memiliki pendopo mini sebagai latarnya,
tampak beberapa bebatuan yang dibentuk layaknya kuburan, dinding di sekitar ” kuburan ” itu
diselimuti kelambu putih transparan yang mampu menambah kesakralan tempat itu.

Menurut Sajadu ( 53 ) penjaga Petilasan Panggung, disinilah dulu Raden Wijaya bertapa sampai
akhirnya mendapat wangsit mendirikan kerajaan Majapahit. Selain itu, ditempat ini pula Patih
Gajah Mada mengumandangkan Sumpah Palapa. ” Tempat ini dikeramatkan karena dianggap
sebagai Asnya Kerajaan Majapahit ” katanya.

Pada waktu tertentu khususnya bertepatan dengan malam jumat legi, banyak orang datang untuk
berdoa dan mengharapkan berkah. ” orang berdatangan untuk berdoa, agar tujuannya tercapai ”
kata Sajadu yang menyatakan pekerjaan menjaga Petilasan Panggung sudah dilakukan turun-
temurun sejak leluhurnya.

Sembari menghisap rokok kreteknya, pria yang mewarisi sebagai penjaga petilasan dari ayahnya
sejak 1985 juga menceritakan, dulunya tempat itu hanya berupa tumpukkan bebatuan. Sampai
sekarang, batu tersebut masih ada di dalam, katanya.
Kemudian pada 1964, dilakukan pemugaran pertama kali oleh Ibu Sudarijah atau yang dikenal
dengan Ibu Dar Moeriar dari Surabaya. Baru pada tahun 1995 dilakukan pemugaran kembali
oleh Pangdam Brawijaya yang saat itu dijabat oleh Utomo.

Memasuki kawasan Petilasan Panggung, terpampang gambar Gajah Mada tepat disamping pintu
masuk. Sedangkan dibagian depan pintu bergantung sebuah papan kecil dengan tulisan ” Lima
Pedoman ” yang merupakan pedoman suri teladan bagi warga.

Selengkapnya ” Ponco Waliko ” itu bertuliskan ” Kudutrisno Marang Sepadane Urip, Ora Pareng
Ngilik Sing Dudu Semestine, Ora Pareng Sepatah Nyepatani dan Ora Pareng Eidra Hing Ubaya ”

Dikisahkan Sajadu pula, Petilasan Panggung ini sempat dinyatakan tertutup bagi umum pada
tahun 1985 hingga 1995. Baru setelah itu dibuka lagi untuk umum, sejak dinyatakan dibuka lagi,
pintu depan tidak lagi tertutup dan siangpun boleh masuk.

MASA KEJAYAAN MAJAPAHIT


Kerajaan Majapahit mencapai masa keemasan ketika dipimpin oleh Hayam Wuruk dengan
patihnya Gajah Mada yang terkenal dengan Sumpah Palapa. Majapahit menaklukkan hampir
seluruh Nusantara dan melebarkan sayapnya hingga ke seluruh Asia Tenggara. Pada masa ini
daerah Malang tidak lagi menjadi pusat kekuasaan karena diduga telah pindah ke daerah
Nganjuk. Menurut para ahli di Malang ditempatkan seorang penguasa yang disebut Raja pula.

Dalam Negara Kertagama dikisahkan Hayam Wuruk sebagai Raja Majapahit melakukan ziarah
ke makam leluhurnya (yang berada disekitar daerah Malang), salah satunya di dekat makam Ken
Arok. Ini menunjukkan bahwa walaupun bukan pusat pemerintahan namun Malang adalah
kawasan yang disucikan karena merupakan tanah makam para leluhur yang dipuja sebagai
Dewa. Beberapa prasasti dan arca peninggalan Majapahit dikawasan puncak Gunung Semeru
dan juga di Gunung Arjuna menunjukkan bahwa kawasan Gunung tersebut adalah tempat
bersemayam para Dewa dan hanya keturunan Raja yang boleh menginjakkan kaki di wilayah
tersebut. Bisa disimpulkan bahwa berbagai peninggalan tersebut merupakan rangkaian yang
saling berhubungan walaupun terpisah oleh masa yang berbeda sepanjang 7 abad.

Keruntuhan Majapahit

Tersebutlah kisah, Adipati Terung meminta Sultan Bintara alias Raden Patah yang masih
“kapernah” kakaknya, untuk menghadap Prabu Brawijaya. Tapi Sultan Demak itu tidak mau
karena ayahnya dianggap masih kafir.Brawijaya adalah raja Majapahit, kerajaan Hindu yang
pernah jaya ditanah Jawa. Bahkan kemudian Raden Patah lalu mengumpulkan para bupati pesisir
seperti Tuban, Madura dan Surabaya serta para Sunan untuk bersama-sama menyerbu Majapahit
yang kafir itu.

Prajurit Islam dikerahkan mengepung ibu kota kerajaan, karena segan berperang dengan
puteranya sendiri, Prabu Brawijaya meloloskan diri dari istana bersama pengikut yang masih
setia. Sehingga ketika Raden Patah dan rombongannya (termasuk para Sunan) tiba, istana itu
kosong. Atas nasihat Sunan Ampel, untuk menawarkan segala pengaruh raja kafir, diangkatlah
Sunan Gresik jadi raja Majapahit selama 40 hari. Sesudah itu baru diserahkan kepada Sultan
Bintara untuk diboyong ke Demak.

Cerita ini masih dibumbui lagi, yaitu setelah Majapahit jatuh, Adipati Terung ditugasi
mengusung paseban raja Majapahit ke Demak untuk kemudian dijadikan serambi masjid. Adipati
Bintara itu kemudian bergelar “Senapati Jinbun Ngabdurrahman Panembahan Palembang
Sayidina Panatagama”.

Cerita mengenai serbuan tentara Majapahit itu dapat ditemui dalam “BABAD TANAH JAWI”.
Tapi cerita senada juga terdapat dalam “Serat Kanda”. Disebutkan, Adipati Bintara bersama
pengikutnya memberontak pada Prabu Brawijaya. Bala tentara Majapahit dipimpin oleh
Mahapatih Gajah Mada, Adipati Terung dan Andayaningrat (Bupati Pengging). Karena takut
kepada Syekh Lemah Abang, gurunya, Kebo Kenanga (Putra Bupati Pengging) membelot ikut
musuh. Sementara itu Kebo Kanigara saudaranya tetap setia kepada Sang Prabu Brawijaya.

Tentara Demak dibawah pimpinan Raden Imam diperlengkapi dengan senjata sakti “Keris
Makripat” pemberian Sunan Giri yang bisa mengeluarkan hama kumbang dan “Badhong”
anugerah Sunan Cirebon yang bisa mendatangkan angin ribut. Tentara Majapahit berhasil
dipukul mundur sampai keibukota, cuma rumah adipati Terung yang selamat karena ia memeluk
Islam.

Karena terdesak, Prabu Brawijaya mengungsi ke (Tanjung) sengguruh beserta keluarganya


diiringi Patih gajah Mada. Itu terjadi tahun 1399 Saka atau 1477 Masehi. Setelah dinobatkan
menjadi Sultan Demak bergelar “Panembahan Jinbun”, adipati Bintara mengutus Lembu Peteng
dan jaran panoleh ke sengguruh meminta sang Prabu masuk agama Islam. tapi beliau tetap
menolak. Akhirnya Sengguruh diserbu dan Prabu Brawijaya lari kepulau Bali.

Cerita versi BABAD TANAH JAWI dan SERAT KANDA itulah yang selama ini populer
dikalangan masyarakat Jawa, bahkan pernah juga diajarkan disebagian sekolah dasar dimasa
lalu. Secara garis besar, cerita itu boleh dibilang menunjukkan kemenangan Islam. Padahal
sebenarnya sebaliknya, bisa memberi kesan yang merugikan, sebab seakan-akan Islam
berkembang di Jawa dengan kekerasan dan darah. Padahal kenyataannya tidak begitu.

Selain fakta lain banyak menungkap bahwa masuknya Islam dan berkembang ditanah Jawa
dengan jalan damai. Juga fakta keruntuhan Majapahit juga menunjukkan bukan disebabkan
serbuan tentara Islam demak.

Prof. Dr. Slamet Muljana dalam bukunya “Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit”
secara panjang lebar membantah isi cerita itu berdasarkan bukti-bukti sejarah. Dikatakan Babad
Tanah Jawi dan Serat Kanda yang ditulis abad XVII dijaman Mataram itu tanpa konsultasi
sumber sejarah yang dapat dipercaya. Sumber sejarah itu antara lain beberapa prasasti dan karya
sejarah tentang Majapahit, seperti “Negara Kertagama dan Pararaton”. Karena itu tidak
mengherankan jika uraiannya tentang Majapahit banyak yang cacat.

“Prasasti Petak” dan “Trailokyapuri” menerangkan, raja Majapahit terakhir adalah Dyah
Suraprahawa, runtuh akibat serangan tentara keling pimpinan Girindrawardhana pada tahun 1478
masehi, sesuai Pararaton. Sejak itu Majapahit telah berhenti sebagai ibu kota kerajaan. Dengan
demikian tak mungkin Majapahit runtuh karena serbuan Demak. Sumber sejarah Portugis tulisan
Tome Pires juga menyebutkan bahwa Kerajaan Demak sudah berdiri dijaman pemerintahan
Girindrawardhana di Keling.

Saat itu Tuban, Gresik, Surabaya dan Madura serta beberapa kota lain dipesisir utara Jawa
berada dalam wilayah kerajaan Kediri, sehingga tidak mungkin seperti diceritakan dalam Babad
Jawa, Raden Patah mengumpulkan para bupati itu untuk menggempur Majapahit.

Penggubah Babad Tanah Jawi tampaknya mencampur adukkan antara pembentukan kerajaan
Demak pada tahun 1478 dengan runtuhnya Kediri oleh serbuan Demak dijaman pemerintahan
Sultan Trenggano 1527. Penyerbuan Sultan Trenggano ini dilakukan karena Kediri mengadakan
hubungan dengan Portugis di Malaka seperti yang dilaporkan Tome Pires. Demak yang memang
memusuhi Portugis hingga menggempurnya ke Malaka tidak rela Kediri menjalin hubungan
dengan bangsa penjajah itu.

Setelah Kediri jatuh (Bukan Majapahit !) diserang Demak, bukan lari kepulau Bali seperti
disebutkan dalam uraian Serat Kanda, melainkan ke Panarukan, Situbondo setelah dari
Sengguruh, Malang. Bisa saja sebagian lari ke Bali sehingga sampai sekarang penduduk Bali
berkebudayaaan Hindu, tetapi itu bukan pelarian raja terakhir Majapahit seperti disebutkan
Babad itu. Lebih jelasnya lagi raden Patah bukanlah putra Raja Majapahit terakhir seperti
disebutkan dalam Buku Babad dan Serat Kanda itu, demikian Dr. Slamet Muljana.

Sejarawan Mr. Moh. Yamin dalam bukunya “Gajah Mada” juga menyebutkan bahwa runtuhnya
Brawijaya V raja Majapahit terakhir, akibat serangan Ranawijaya dari kerajaan Keling, jadi
bukan serangan dari Demak. Uraian tentang keterlibatan Mahapatih Gajah Mada memimpin
pasukan Majapahit ketika diserang Demak 1478 itu sudah bertentangan dengan sejarah.
Soalnya Gajah Mada sudah meninggal tahun 1364 Masehi atau 1286 Saka.

Penuturan buku “Dari Panggung Sejarah” terjemahan IP Simanjuntak yang bersumber dari
tulisan H.J. Van Den Berg ternyata juga runtuhnya Majapahit bukan akibat serangan Demak atau
tentara Islam. Ma Huan, penulis Tionghoa Muslim, dalam bukunya “Ying Yai Sheng Lan”
menyebutkan, ketika mendatangi Majapahit tahun 1413 Masehi sudah menyebutkan masyarakat
Islam yang bermukim di Majapahit berasal dari Gujarat dan Malaka. Disebutkannya, tahun 1400
Masehi saudagar Islam dari Gujarat dan Parsi sudah bermukim di pantai utara Jawa.

Salah satunya adalah Maulana Malik Ibrahim yang dimakamkan di Pasarean Gapura Wetan Kab.
Gresik dengan angka tahun 12 Rabi’ul Awwal 882 H atau 8 April 1419 Masehi, berarti pada
jaman pemerintahan Wikramawardhana (1389-1429) yaitu Raja Majapahit IV setelah Hayam
Wuruk. Batu nisan yang berpahat kaligrafi Arab itu menurut Tjokrosujono (Mantan kepala
Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala, Mojokerto), nisan itu asli bukan buatan baru.

Salah satu bukti bahwa sejak jaman Majapahit sudah ada pemukiman Muslim diibu kota, adalah
situs Kuna Makam Troloyo, Kecamatan Trowulan, Mojokerto, JATIM. Makam-makam Islam
disitus Troloyo Desa Sentonorejo itu beragam angka tahunnya, mulai dari tahun 1369 (abad XIV
Masehi) hingga tahun 1611 (abad XVII Masehi).
Nisan-nisan makam petilasan di Troloyo ini penuh tulisan Arab hingga mirip prasati. Lafalnya
diambil dari bacaan Doa, kalimah Thayibah dan petikan ayat-ayat AlQuran dengan bentuk huruf
sedikit kaku. Tampaknya pembuatnya seorang mualaf dalam Islam. Isinya pun bukan bersifat
data kelahiran dan kematian tokoh yang dimakamkan, melainkan lebih banyak bersifat dakwah
antara lain kutipan Surat Ar-Rahman ayat 26-27.

P.J. Veth adalah sarjana Belanda yang pertama kali meneliti dan menulis makam Troloyo dalam
buku JAVA II tahun 1873.
L.C. Damais peneliti dari Prancis yang mengikutinya menyebutkan angka tahun pada nisan
mulai abad XIV hingga XVI. Soeyono Wisnoewhardono, Staf Suaka Peninggalan Sejarah dan
Purbakala di Trowulan mengatakan, nisan-nisan itu membuktikan ketika kerajaan Majapahit
masih berdiri, orang-orang Islam sudah bermukim secara damai disekitar ibu kota.
Tampak jelas disini agama Islam masuk kebumi Majapahit penuh kedamaian dan toleransi.

Satu situs kepurbakalaan lagi dikecamatan trowulan yakni diDesa dan kecamatan Trowulan
adalah Makam Putri Cempa. Menurut Babad Tanah jawi, Putri Cempa (Jeumpa, bahasa Aceh)
adalah istri Prabu Brawijaya yang beragama Islam. Dua nisan yang ditemukan dikompleks
kekunaan ini berangka tahun 1370 Saka (1448 Masehi) dan 1313 Saka (1391 Masehi).
Dalam legenda rakyat disebutkan dengan memperistri Putri Cempa itu, sang Prabu sebenarnya
sudah memeluk agama Islam. Ketika wafat ia dimakamkan secara Islam dimakam panjang
(Kubur Dawa). Dusun Unggah-unggahan jarak 300 meter dari makam Putri Cempa bangsawan
Islam itu.

Dari fakta dan situs sejarah itu, tampak bukti otentik tentang betapa tidak benarnya bahwa Islam
dikembangkan dengan peperangan. Justru beberapa situs kesejarahan lain membuktikan Islam
sangat toleran terhadap agama lain (termasuk Hindu) saat Islam sudah berkembang pesat ditanah
Jawa.

Dikompleks Sunan Bonang di Tuban, Jawa Timur misalnya, berdiri tegak Candi Siwa Budha
dengan angka tahun 1400 Saka (1478 masehi) yang kini letaknya berada dibelakang kantor
Pemda tuban. Padahal, saat itu sudah berdiri pondok pesantren asuhan Sunan Bonang. Pondok
pesantren dan candi yang berdekatan letaknya ini dilestarikan dalam sebuah maket kecil dari
kayu tua yang kini tersimpan di Museum Kambang Putih, Tuban.

Di Kudus, Jawa Tengah, ketika Sunan Kudus Ja’far Sodiq menyebarkan ajaran Islam disana, ia
melarang umat Islam menyembelih sapi untuk dimakan. Walau daging sapi halal menurut Islam
tetapi dilarang menyembelihnya untuk menghormati kepercayaan umat Hindu yang memuliakan
sapi.

Untuk menunjukkan rasa toleransinya kepada umat Hindu, Sunan Kudus menambatkan sapi
dihalaman masjid yang tempatnya masih dilestarikan sampai sekarang. Bahkan menara Masjid
Kudus dibangun dengan gaya arsitektur candi Hindu.

ketika kerajaan Majapahit berdiri sebagai bagian dari perjalanan bangsa Indonesia. Sejak
didirikan Raden Wijaya yang bergelar Kertanegara Dharmawangsa, kerajaan ini senantiasa
diliputi fenomena pemberontakan.
Pewaris tahta Raden Wijaya, yakni masa pemerintahan Kalagemet/Jayanegara (1309-1328),
yang dalam sebuah prasasti dianggap sebagai titisan Wisnu dengan Lencana negara Minadwaya
(dua ekor ikan) dalam memerintah banyak menghadapi pemberontakan-pemberontakan terhadap
Majapahit dari mereka yang masih setia kepada Kertarajasa.

Pemberontakan pertama sebetulnya sudah dimulai sejak Kertarajasa masih hidup, yaitu oleh
Rangga Lawe yang berkedudukan di Tuban, akibat tidak puas karena bukan dia yang menjadi
patih Majapahit tetapi Nambi, anak Wiraraja. Tetapi usahanya (1309) dapat digagalkan.

Pemberontakan kedua di tahun 1311 oleh Sora, seorang rakryan di Majapahit, tapi gagal. Lalu
yang ketiga dalam tahun 1316, oleh patihnya sendiri yaitu Nambi, dari daerah Lumajang dan
benteng di Pajarakan. Ia pun sekeluarga ditumpas.
Pemberontakan selanjutnya oleh Kuti di tahun 1319, dimana Ibukota Majapahit sempat diduduki,
sang raja melarikan diri dibawah lindungan penjaga-penjaga istana yang disebut Bhayangkari
sebanyak 15 orang dibawah pimpinan Gajah Mada.

Namun dengan bantuan pasukan-pasukan Majapahit yang masih setia, Gajah Mada dengan
Bhayangkarinya menggempur Kuti, dan akhirnya Jayanegara dapat melanjutkan
pemerintahannya.

Berhenti pemberontakan Kuti, tahun 1331 muncul pemberontakan di Sadeng dan Keta (daerah
Besuki). Maka patih Majapahit Pu Naga digantikan patih Daha yaitu Gajah Mada, sehingga
pemberontakan dapat ditumpas. Keberhasilan Gajah Mada memadamkan pemberontakan Sadeng
membawanya meraih karier diangkat sebagai mahapatih kerajaan.

Namun pada masa pemerintahan Hayam Wuruk pada tahun 1350-1389, berkali-kali sang patih
Gajah Mada –yang juga panglima ahli perang di masa itu– harus menguras energi untuk
memadamkan pemberontakan di beberapa daerah. Pemberontakan Ronggolawe sampai serangan
kerajaan Dhaha, Kediri.

Bahkan salah satu penyebab kemunduran dan hancurnya kerajaan Majapahit adalah ketika
meletusnya Perang Paragreg tahun 1401-1406 merupakan perang saudara memperebutkan
kekuasaan, daerah bawahan mulai melepaskan diri dan berkembangnya Islam di daerah pesisir

Kerajaan Majapahit yang pernah mengalami masa keemasan dan kejayaan harus runtuh
terpecah-pecah setelah kehilangan tokoh besar seperti Hayam Wuruk dan Gajah Mada.

You might also like