You are on page 1of 60

Hubungan internasional

Hubungan Internasional, adalah cabang dari ilmu politik, merupakan suatu


studi tentang persoalan-persoalan luar negeri dan isu-isu global di antara negara-
negara dalam sistem internasional, termasuk peran negara-negara, organisasi-
organisasi antarpemerintah, organisasi-organisasi nonpemerintah atau lembaga
swadaya masyarakat, dan perusahaan-perusahaan multinasional. Hubungan
Internasional adalah suatu bidang akademis dan kebijakan publik dan dapat bersifat
positif atau normatif karena Hubungan Internasional berusaha menganalisis serta
merumuskan kebijakan luar negeri negara-negara tertentu. Selain ilmu politik,
Hubungan Internasional menggunakan pelbagai bidang ilmu seperti ekonomi, sejarah,
hukum, filsafat, geografi, sosiologi, antropologi, psikologi, studi-studi budaya dalam
kajian-kajiannya. HI mencakup rentang isu yang luas, dari globalisasi dan dampak-
dampaknya terhadap masyarakat-masyarakat dan kedaulatan negara sampai
kelestrarian ekologis, proliferasi nuklir, nasionalisme, perkembangan ekonomi,
terorisme, kejahatan yang terorganisasi, keselamatan umat manusia, dan hak-hak asasi
manusia.

Sejarah
Sejarah hubungan internasional sering dianggap berawal dari [Perdamaian
Westphalia] pada [1648], ketika sistem negara modern dikembangkan. Sebelumnya,
organisasi-organisasi otoritas politik abad pertengahan [Eropa] didasarkan pada
tatanan hirarkis yang tidak jelas. Westphalia membentuk konsep legal tentang
kedaulatan, yang pada dasarnya berarti bahwa para penguasa, atau kedaulatan-
kedaulatan yang sah tidak akan mengakui pihak-pihak lain yang memiliki kedudukan
yang sama secara internal dalam batas-batas kedaulatan wilayah yang sama. Otoritas
Yunani dan Roma kuno kadang-kadang mirip dengan sistem Westphalia, tetapi
keduanya tidak memiliki gagasan kedaulatan yang memadai.

Teori hubungan internasional


Artikel utama: Teori hubungan internasional

Apa yang secara eksplisit diakui sebagai teori hubungan internasional tidak
dikembangkan sampai setelah Perang Dunia I, dan dibahas secara lebih rinci di bawah
ini. Namun, teori HI memiliki tradisi panjang menggunakan karya ilmu-ilmu sosial
lainnya. Penggunaan huruf besar “H” dan “I” dalam hubungan internasional bertujuan
untuk membedakan disiplin Hubungan Internasional dari fenomena hubungan
internasional. Banyak orang yang mengutip Sejarah Perang Peloponnesia karya
Thucydides sebagai inspirasi bagi teori realis, dengan Leviathan karya Hobbes dan
The Prince karya Machiavelli memberikan pengembangan lebih lanjut. Demikian
juga, liberalisme menggunakan karya Kant dan Rousseau, dengan karya Kant sering
dikutip sebagai pengembangan pertama dari Teori Perdamaian Demokratis. Meskipun
hak-hak asasi manusia kontemporer secara signifikan berbeda dengan jenis hak-hak
yang didambakan dalam hukum alam, Francisco de Vitoria, Hugo Grotius, dan John
Locke memberikan pernyataan-pernyataan pertama tentang hak untuk mendapatkan
hak-hak tertentu berdasarkan kemanusiaan secara umum. Pada abad ke-20, selain
teori-teori kontemporer intenasionalisme liberal, Marxisme merupakan landasan
hubungan internasional.

Teori Epistemologi dan teori HI

Teori-teori Utama Hubungan Internasional Realisme Neorealisme Idealisme


Liberalisme Neoliberalisme Marxisme Teori dependensi Teori kritis
Konstruksivisme Fungsionalisme Neofungsiionalisme

Secara garis besar teori-teori HI dapat dibagi menjadi dua pandangan epistemologis
“positivis” dan “pasca-positivis”. Teori-teori positivis bertujuan mereplikasi metode-
metode ilmu-ilmu sosial dengan menganalisis dampak kekuatan-kekuatan material.
Teori-teori ini biasanya berfokus berbagai aspek seperti interaksi negara-negara,
ukuran kekuatan-kekuatan militer, keseimbangan kekuasaaan dan lain-lain.
Epistemologi pasca-positivis menolak ide bahwa dunia sosial dapat dipelajari dengan
cara yang objektif dan bebas-nilai. Epistemologi ini menolak ide-ide sentral tentang
neo-realisme/liberalisme, seperti teori pilihan rasional, dengan alasan bahwa metode
ilmiah tidak dapat diterapkan ke dalam dunia sosial dan bahwa suatu “ilmu” HI
adalah tidak mungkin.

Perbedaan kunci antara kedua pandangan tersebut adalah bahwa sementara teori-teori
positivis, seperti neo-realisme, menawarkan berbagai penjelasan yang bersifat sebab-
akibat (seperti mengapa dan bagaimana kekuasaan diterapkan), teori pasca-positivis
pasca-positivis berfokus pada pertanyaan-pertanyaan konstitutif, sebagai contoh apa
yang dimaksudkan dengan “kekuasaan”; hal-hal apa sajakah yang membentuknya,
bagaimana kekuasaan dialami dan bagaimana kekuasaan direproduksi. Teori-teori
pasca-positivs secara eksplisit sering mempromosikan pendekatan normatif terhadap
HI, dengan mempertimbangkan etika. Hal ini merupakan sesuatu yang sering
diabaikan dalam HI “tradisional” karena teori-teori positivis membuat perbedaan
antara “fakta-fakta” dan penilaian-penilaian normatif, atau “nilai-nilai”. Selama
periode akhir 1980-an/1990 perdebatan antara para pendukung teori-teori positivis
dan para pendukung teori-teori pasca-positivis menjadi perdebatan yang dominan dan
disebut sebagai “Perdebatan Terbesar” Ketiga (Lapid 1989.)Teori-teori
pascastrukturalis

Teori-teori pascastrukturalis dalam HI berkembang pada 1980-an dari studi-studi


pascamodernis dalam ilmu politik. Pasca-strukturalisme mengeksplorasi dekonstruksi
konsep-konsep yang secara tradisional tidak problematis dalam HI, seperti kekuasaan
dan agensi dan meneliti bagaimana pengkonstruksian konsep-konsep ini membentuk
hubungan-hubungan internasional. Penelitian terhadap “narasi” memainkan peran
yang penting dalam analisis pascastrukturalis, sebagai contoh studi pascastrukturalis
feminis telah meneliti peran yang dimainkan oleh “kaum wanita” dalam masyarakat
global dan bagaimana kaum wanita dikonstruksi dalam perang sebagai “tanpa dosa”
(innocent) dan “warga sipil”. Contoh-contoh riset pasca-positivis mencakup: Pelbagai
bentuk feminisme (perang "gender" war—“gendering” war) Pascakolonialisme
(tantangan-tantangan dari sentrisme Eropa dalam HI)

Konsep-konsep dalam hubungan internasional


Konsep-konsep level sistemik

Hubungan internasional sering dipandang dari pelbagai level analisis, konsep-konsep


level sistemik adalah konsep-konsep luas yang mendefinisikan dan membentuk
lingkungan (milieu) internasional, yang dikarakterkan oleh Anarki.

Kekuasaan

Konsep Kekuasaan dalam hubungan internasional dapat dideskripsikan sebagai


tingkat sumber daya, kapabilitas, dan pengaruh dalam persoalan-persoalan
internasional. Kekuasaan sering dibagi menjadi konsep-konsep kekuasaan yang keras
(hard power) dan kekuasaan yang lunak (soft power), kekuasaan yang keras terutama
berkaitan dengan kekuasaan yang bersifat memaksa, seperti penggunaan kekuatan,
dan kekuasaan yang lunak biasanya mencakup ekonomi, diplomasi, dan pengaruh
budaya. Namun, tidak ada garis pembagi yang jelas di antara dua bentuk kekuasaan
tersebut.

Polaritas

Polaritas dalam Hubungan Internasional merujuk pada penyusunan kekuasaan dalam


sistem internasional. Konsep tersebut muncul dari bipolaritas selama Perang Dingin,
dengan sistem internasional didominasi oleh konflik antara dua negara adikuasa dan
telah diterapkan sebelumnya. Sebagai akibatnya, sistem internasional sebelum 1945
dapat dideskripsikan sebagai terdiri dari banyak kutub (multi-polar), dengan
kekuasaan dibagi-bagi antara negara-negara besar. Runtuhnya Uni Soviet pada 1991
telah menyebabkan apa yang disebut oleh sebagian orang sebagai unipolaritas, dengan
AS sebagai satu-satunya negara adikuasa. Beberapa teori hubungan internasional
menggunakan ide polaritas tersebut. Keseimbangan kekuasaan adalah konsep yang
berkembang luas di Eropa sebelum Perang Dunia Pertama, pemikirannya adalah
bahwa dengan menyeimbangkan blok-blok kekuasaan hal tersebut akan menciptakan
stabilitas dan mencegah perang dunia. Teori-teori keseimbangan kekuasaan kembali
mengemuka selama Perang Dingin, sebagai mekanisme sentral dalam Neorealisme
Kenneth Waltz. Di sini konsep-konsep menyeimbangkan (meningkatkan kekuasaan
untuk menandingi kekuasaan yang lain) dan bandwagoning (berpihak dengan
kekuasaan yang lain) dikembangkan. Teori stabilitas hegemonik juga menggunakan
ide Polaritas, khususnya keadaan unipolaritas. Hegemoni adalah terkonsentrasikannya
sebagian besar kekuasaan yang ada di satu kutub dalam sistem internasional, dan teori
tersebut berargumen bahwa hegemoni adalah konfigurasi yang stabil karena adanya
keuntungan yang diperoleh negara adikuasa yang dominan dan negara-negara yang
lain dari satu sama lain dalam sistem internasional. Hal ini bertentangan dengan
banyak argumen Neorealis, khususnya yang dikemukakan oleh Kenneth Waltz, yang
menyatakan bahwa berakhirnya Perang Dingin dan keadaan unipolaritas adalah
konfigurasi yang tidak stabil yang secara tidak terelakkan akan berubah. Hal ini dapat
diungkapkan dalam teori peralihan Kekuasaan, yang menyatakan bahwa mungkin
suatu negara besar akan menantang suatu negara yang memiliki hegemoni (hegemon)
setelah periode tertentu, sehingga mengakibatkan perang besar. Teori tersebut
mengemukakan bahwa meskipun hegemoni dapat mengontrol terjadinya pelbagai
perang, hal tersebut menyebabkan terjadinya perang yang lain. Pendukung utama teori
tersebut, A.F.K. Organski, mengemukakan argumen ini berdasarkan terjadinya
perang-perang sebelumnya selama hegemoni Inggris. Portugis, dan Belanda.
Interdependensi

Banyak orang yang menyokong bahwa sistem internasional sekarang ini


dikarakterkan oleh meningkatnya interdepedensi atau kesalingbergantungan:
tanggung jawab terhadap satu sama lain dan dependensi (ketergantungan) terhadap
pihak-pihak lain. Para penyokong pendapat ini menunjuk pada meningkatnya
globalisasi, terutama dalam hal interaksi ekonomi internasional. Peran institusi-
institusi internasional, dan penerimaan yang berkembang luas terhadap sejumlah
prinsip operasional dalam sistem internasional, memperkukuh ide-ide bahwa
hubungan-hubungan dikarakterkan oleh interdependensi.

Dependensi

Teori dependensi adalah teori yang paling lazim dikaitkan dengan Marxisme, yang
menyatakan bahwa seperangkat negara Inti mengeksploitasi kekayaan sekelompok
negara Pinggiran yang lebih lemah. Pelbagai versi teori ini mengemukakan bahwa hal
ini merupakan keadaan yang tidak terelakkan (teori dependensi standar), atau
menggunakan teori tersebut untuk menekankan keharusan untuk berubah (Neo-
Marxisme).

Perangkat-perangkat sistemik dalam hubungan internasional

• Diplomasi adalah praktik komunikasi dan negosiasi antara pelbagai


perwakilan negara-negara. Pada suatu tingkat, semua perangkat hubungan
internasional yang lain dapat dianggap sebagai kegagalan diplomasi. Perlu
diingat, penggunaan alat-alat yang lain merupakan bagian dari komunikasi dan
negosiasi yang tak terpisahkan di dalam negosiasi. Pemberian sanksi,
penggunaan kekuatan, dan penyesuaian aturan perdagangan, walau bukan
merupakan bagian dari diplomasi yang biasa dipertimbangkan, merupakan
perangkat-perangkat yang berharga untuk mempermudah serta mempermulus
proses negosiasi.
• Pemberian sanksi biasanya merupakan tindakan pertama yang diambil setelah
gagalnya diplomasi dan merupakan salah satu perangkat utama yang
digunakan untuk menegakkan pelbagai perjanjian (treaties). Sanksi dapat
berbentuk sanksi diplomatik atau ekonomi dan pemutusan hubungan dan
penerapan batasan-batasan terhadap komunikasi atau perdagangan.
• Perang, penggunaan kekuatan, sering dianggap sebagai perangkat utama
dalam hubungan internasional. Definisi perang yang diterima secara luas
adalah yang diberikan oleh Clausewitz, yaitu bahwa perang adalah “kelanjutan
politik dengan cara yang lain.” Terdapat peningkatan studi tentang “perang-
perang baru” yang melibatkan aktor-aktor selain negara. Studi tentang perang
dalam Hubungan Internasional tercakup dalam disiplin Studi Perang dan Studi
Strategis.
• Mobilisasi tindakan mempermalukan secara internasional juga dapat dianggap
sebagai alat dalam Hubungan Internasional. Hal ini adalah untuk mengubah
tindakan negara-negara lewat “menyebut dan mempermalukan” pada level
internasional. Penggunaan yang terkemuka dalam hal ini adalah prosedur
Komisi PBB untuk Hak-hak Asasi Manusia 1235, yang secara publik
memaparkan negara-negara yang melakukan pelanggaran terhadap hak asasi
manusia.
• Pemberian keuntungan-keuntungan ekonomi dan/atau diplomatik. Salah satu
contohnya adalah kebijakan memperbanyak keanggotaan Uni Eropa. Negara-
negara kandidat diperbolehkan menjadi anggota Uni Eropa setelah memenuhi
kriteria Copenhagen.

Konsep-konsep unit level dalam hubungan


internasional
Sebagai suatu level analisis level unit sering dirujuk sebagai level negara, karena level
analisis ini menempatkan penjelasannya pada level negara, bukan sistem
internasional.

Tipe rezim

Sering dianggap bahwa suatu tipe rezim negara dapat menentukan cara suatu negara
berinteraksi dengan negara-negara lain dalam sistem internasional. Teori Perdamaian
Demokratis adalah teori yang mengemukakan bahwa hakikat demokrasi berarti bahwa
negara-negara demokratis tidak akan saling berperang. Justifikasi terhadap hal ini
adalah bahwa negara-negara demokrasi mengeksternalkan norma-norma mereka dan
hanya berperang dengan alasan-alasan yang benar, dan bahwa demokrasi mendorong
kepercayaan dan penghargaan terhadap satu sama lain. Sementara itu, komunisme
menjustifikasikan suatu revolusi dunia, yang juga akan menimbulkan koeksitensi
(hidup berdampingan) secara damai, berdasarkan masyarakat global yang proletar.

Revisionisme/Status quo

Negara-negara dapat diklasifikasikan menurut apakah mereka menerima status quo,


atau merupakan revisionis, yaitu menginginkan perubahan. Negara-negara revisionis
berusaha untuk secara mendasar mengubah pelbagai aturan dan praktik dalam
hubungan internasional, merasa dirugikan oleh status quo (keadaan yang ada). Mereka
melihat sistem internasional sebagai untuk sebagian besar merupakan ciptaan barat
yang berfungsi mengukuhkan pelbagai realitas yang ada. Jepang adalah contoh negara
yang beralih dari negara revisionis menjadi negara yang puas dengan status quo,
karena status quo tersebut kini menguntungkan baginya.

Agama

Sering dianggap bahwa agama dapat memiliki pengaruh terhadap cara negara
bertindak dalam sistem internasional. Agama terlihat sebagai prinsip pengorganisasi
terutama bagi negara-negara Islam, sementara sekularisme terletak yang ujung lainnya
dari spektrum dengan pemisahan antara negara dan agama bertanggung jawab atas
tradisi Liberal.

Konsep level sub unit atau individu


Level di bawah level unit (negara) dapat bermanfaat untuk menjelaskan pelbagai
faktor dalam Hubungan Internasional yang gagal dijelaskan oleh teori-teori yang lain,
dan untuk beranjak menjauhi pandangan yang berpusat pada negara (negara-sentris)
dalam hubungan internasional.

• Faktor-faktor psikologis dalam Hubungan Internasional - Pengevaluasian


faktor-faktor psikologis dalam hubungan internasional berasal dari
pemahaman bahwa negara bukan merupakan kotak hitam seperti yang
dikemukakan oleh Realisme bahwa terdapat pengaruh-pengaruh lain terhadap
keputusan-keputusan kebijakan luar negeri. Meneliti peran pelbagai
kepribadian dalam proses pembuatan keputusan dapat memiliki suatu daya
penjelas, seperti halnya peran mispersepsi di antara pelbagai aktor. Contoh
yang menonjol dalam faktor-faktor level sub-unit dalam hubungan
internasional adalah konsep pemikiran-kelompok (Groupthink), aplikasi lain
yang menonjol adalah kecenderungan para pembuat kebijakan untuk berpikir
berkaitan dengan pelbagai analogi-analogi
• Politik birokrat – Mengamati peran birokrasi dalam pembuatan keputusan,
dan menganggap berbagai keputusan sebagai hasil pertarungan internal
birokratis (bureaucratic in-fighting), dan sebagai dibentuk oleh pelbagai
kendala.
• Kelompok-kelompok keagamaan, etnis, dan yang menarik diri —
Mengamati aspek-aspek ini dalam level sub-unit memiliki daya penjelas
berkaitan dengan konflik-konflik etnis, perang-perang keagamaan, dan aktor-
aktor lain yang tidak menganggap diri mereka cocok dengan batas-batas
negara yang pasti. Hal ini terutama bermanfaat dalam konteks dunia negara-
negara lemah pra-modern.
• Ilmu, Teknologi, dan Hubungan Internasional—Bagaimana ilmu dan
teknologi berdampak pada perkembangan, teknologi, lingkungan, bisnis, dan
kesehatan dunia.

Institusi-institusi dalam hubungan internasional


Institusi-institusi internasional adalah bagian yang sangat penting dalam Hubungan
Internasional kontemporer. Banyak interaksi pada level sistem diatur oleh institusi-
institusi tersebut dan mereka melarang beberapa praktik dan institusi tradisional
dalam Hubungan Internasional, seperti penggunaan perang (kecuali dalam rangka
pembelaan diri).

Ketika umat manusia memasuki tahap peradaban global, beberapa ilmuwan dan
teoritisi politik melihat hirarki institusi-institusi global yang menggantikan sistem
negara-bangsa berdaulat yang ada sebagai komunitas politik yang utama. Mereka
berargumen bahwa bangsa-bangsa adalah komunitas imajiner yang tidak dapat
mengatasi pelbagai tantangan modern seperti efek Dogville (orang-orang asing dalam
suatu komunitas homogen), status legal dan politik dari pengungsi dan orang-orang
yang tidak memiliki kewarganegaraan, dan keharusan untuk menghadapi pelbagai
masalah dunia seperti perubahan iklim dan pandemik. Pakar masa depan Paul Raskin
telah membuat hipotesis bahwa bentuk politik Global yang baru dan lebih absah dapat
didasarkan pada pluralisme yang dibatasi (connstrained pluralism). Prinsip ini
menuntun pembentukan institusi-institusi berdasarkan tiga karakteristik:
ireduksibilitas (irreducibility), di mana beberapa isu harus diputuskan pada level
global; subsidiaritas, yang membatasi cakupan otoritas global pada isu-isu yang
benar-benar bersifat global sementara isu-isu pada skala yang lebih kecil diatur pada
level-level yang lebih rendah; dan heterogenitas, yang memungkinkan pelbagai
bentuk institusi lokal dan global yang berbeda sepanjang institusi-institusi tersebut
memenuhi kewajiban-kewajiban global.

PBB

(Artikel Utama: PBB) PBB adalah organisasi internasional yang mendeskripsikan


dirinya sendiri sebagai “himpunan global pemerintah-pemerintah yang memfasilitasi
kerjasama dalam hukum internasional, keamanan internasional, perkembangan
ekonomi, dan kesetaraan sosial”. PBB merupakan institusi internasional yang paling
terkemuka. Banyak institusi legal memiliki struktur organisasi yang mirip dengan
PBB.

Institusi Ekonomi

• Bank Pembangunan Asia


• Dana Moneter Internasional
• Organisasi Perdagangan Dunia
• Bank Dunia

Badan Hukum Internasional

Hak Asasi Manusia

• European Court of Human Rights


• Human Rights Committee
• Inter-American Court of Human Rights
• Pengadilan Kriminal Internasional
• Pengadilan Internasonal untuk Rwanda
• Pengadilan Internasional untuk Bekas Yugoslavia
• Dewan Hak Asasi Manusia PBB

Hukum

• African Court of Justice


• European Court of Justice
• Mahkamah Internasional
• Mahkamah Internasional untuk Hukum Laut

Organisasi tingkat regional

• ASEAN
• Liga Arab
• Persemakmuran Negara-negara Merdeka
• CSCAP
• NATO
• Organisasi Kerjasama Shanghai

Politik
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang
antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara.
Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda
mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik.

Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun
nonkonstitusional.

Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain:

politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan
bersama (teori klasik Aristoteles)
politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara
politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan
kekuasaan di masyarakat
politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan
publik.
Dalam konteks memahami politik perlu dipahami beberapa kunci, antara lain:
kekuasaan politik, legitimasi, sistem politik, perilaku politik, partisipasi politik, proses
politik, dan juga tidak kalah pentingnya untuk mengetahui seluk beluk tentang partai
politik.

Teori politik
Teori politik memiliki dua makna: makna pertama menunjuk teori sebagai pemikiran
spekulatif tentang bentuk dan tata cara pengaturan masyarakat yang ideal, makna
kedua menunjuk pada kajian sistematis tentang segala kegiatan dalam masyarakat
untuk hidup dalam kebersamaan. Contoh teori politik yang merupakan pemikiran
spekulatif adalah teori politik Marxis-Leninis atau komunisme, contoh lain adalah
teori politik yang berdasar pada pemikiran Adam Smith kapitalisme. Pemikiran Tan
Malaka dalam tulisannya Madilog, merupakan contoh teori politik Indonesia.
Nasakom yang diajukan Soekarno merupakan contoh lain.

Sedangkan teori politik sebagai hasil kajian empirik bisa dicontohkan dengan teori
struktural - fungsional yang diajukan oleh Talcot Parson (seorang sosiolog), antara
lain diturunkan kedalam teori politik menjadi Civic Culture. Konsep sistem politik
sendiri merupakan ciptaan para akademisi yang mengkaji kehidupan politik
(sesungguhnya diturunkan dari konsep sistem sosial).

Lembaga politik

Secara awam berarti suatu organisasi, tetapi lembaga bisa juga merupakan suatu
kebiasaan atau perilaku yang terpola. Perkawinan adalah lembaga sosial, baik yang
diakui oleh negara lewat KUA atau Catatan Sipil di Indonesia maupun yang diakui
oleh masyarakat saja tanpa pengakuan negara. Dalam konteks ini suatu organisasi
juga adalah suatu perilaku yang terpola dengan memberikan jabatan pada orang-orang
tertentu untuk menjalankan fungsi tertentu demi pencapaian tujuan bersama,
organisasi bisa formal maupun informal. Lembaga politik adalah perilaku politik yang
terpola dalam bidang politik.

Pemilihan pejabat, yakni proses penentuan siapa yang akan menduduki jabatan
tertentu dan kemudian menjalankan fungsi tertentu (sering sebagai pemimpin dalam
suatu bidang/masyarakat tertentu) adalah lembaga demokrasi. Bukan lembaga
pemilihan umumnya (atau sekarang KPU-nya) melainkan seluruh perilaku yang
terpola dalam kita mencari dan menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin
ataupun wakil kita untuk duduk di parlemen.

Persoalan utama dalam negara yang tengah melalui proses transisi menuju demokrasi
seperti indonesia saat ini adalah pelembagaan demokrasi. Yaitu bagaimana
menjadikan perilaku pengambilan keputusan untuk dan atas nama orang banyak bisa
berjalan sesuai dengan norma-norma demokrasi, umumnya yang harus diatasi adalah
merobah lembaga feodalistik (perilaku yang terpola secara feodal, bahwa ada
kedudukan pasti bagi orang-orang berdasarkan kelahiran atau profesi sebagai
bangsawan politik dan yang lain sebagai rakyat biasa) menjadi lembaga yang terbuka
dan mencerminkan keinginan orang banyak untuk mendapatkan kesejahteraan.

Untuk melembagakan demokrasi diperlukan hukum dan perundang-undangan dan


perangkat struktural yang akan terus mendorong terpolanya perilaku demokratis
sampai bisa menjadi pandangan hidup. Karena diyakini bahwa dengan demikian
kesejahteraan yang sesungguhnya baru bisa dicapai, saat tiap individu terlindungi
hak-haknya bahkan dibantu oleh negara untuk bisa teraktualisasikan, saat tiap
individu berhubungan dengan individu lain sesuai dengan norma dan hukum yang
berlaku.

Partai dan Golongan

Hubungan Internasional

Dalam bentuk klasiknya hubungan internasional adalah hubungan antar negara,


namun dalam perkembangan konsep ini bergeser untuk mencakup semua interaksi
yang berlangsung lintas batas negara. Dalam bentuk klasiknya hubungan internasional
diperankan hanya oleh para diplomat (dan mata-mata) selain tentara dalam medan
peperangan. Sedangkan dalam konsep baru hubungan internasional, berbagai
organisasi internasional, perusahaan, organisasi nirlaba, bahkan perorangan bisa
menjadi aktor yang berperan penting dalam politik internasional.

Peran perusahaan multinasional seperti Monsanto dalam WTO (World Trade


Organization/Organisasi Perdagangan Dunia) misalnya mungkin jauh lebih besar dari
peran Republik Indonesia. Transparancy International laporan indeks persepsi
korupsi-nya di Indonesia mempunyai pengaruh yang besar.

Persatuan Bangsa Bangsa atau PBB merupakan organisasi internasional terpenting,


karena hampir seluruh negara di dunia menjadi anggotanya. Dalam periode perang
dingin PBB harus mencerminkan realitas politik bipolar sehingga sering tidak bisa
membuat keputusan efektif, setelah berakhirnya perang dingin dan realitas politik
cenderung menjadi unipolar dengan Amerika Serikat sebagai kekuatan Hiper Power,
PBB menjadi relatif lebih efektif untuk melegitimasi suatu tindakan internasional
sebagai tindakan multilateral dan bukan tindakan unilateral atau sepihak. Upaya AS
untuk mendapatkan dukungan atas inisiatifnya menyerbu Irak dengan melibatkan
PBB, merupakan bukti diperlukannya legitimasi multilateralisme yang dilakukan
lewat PBB.

Untuk mengatasi berbagai konflik bersenjata yang kerap meletus dengan cepat di
berbagai belahan dunia misalnya, saat ini sudah ada usulan untuk membuat pasukan
perdamaian dunia (peace keeping force) yang bersifat tetap dan berada di bawah
komando PBB. Hal ini diharapkan bisa mempercepat reaksi PBB dalam mengatasi
berbagai konflik bersenjata. Saat misalnya PBB telah memiliki semacam polisi tetap
yang setiap saat bisa dikerahkan oleh Sekertaris Jendral PBB untuk beroperasi di
daerah operasi PBB. Polisi PBB ini yang menjadi Civpol (Civilian Police/polisi sipil)
pertama saat Timor Timur lepas dari Republik Indonesia.

Hubungan internasional telah bergeser jauh dari dunia eksklusif para diplomat dengan
segala protokol dan keteraturannya, ke arah kerumitan dengan kemungkinan setiap
orang bisa menjadi aktor dan mempengaruhi jalannya politik baik di tingkat global
maupun lokal. Pada sisi lain juga terlihat kemungkinan munculnya pemerintahan
dunia dalam bentuk PBB, yang mengarahkan pada keteraturan suatu negara
(konfederasi?).

Masyarakat
adalah sekumpulan orang orang yang mendiami wilayah suatu negara.

Kekuasaan
Dalam teori politik menunjuk pada kemampuan untuk membuat orang lain melakukan
sesuatu yang tidak dikehendakinya. Max Weber menuliskan adanya tiga sumber
kekuasaan: pertama dari perundangundangan yakni kewenangan; kedua, dari
kekerasan seperti penguasaan senjata; ketiga, dari karisma.

Negara
negara merupakan suatu kawasan teritorial yang didalamnya terdapat sejumlah
penduduk yang mendiaminya, dan memiliki kedaulatan untuk
menjalankan pemerintahan, dan keberadaannya diakui oleh negara
lain. ketentuan yang tersebut diatas merupakan syarat berdirinya suatu
negara menurut konferensi Montevideo pada tahun 1933

Tokoh tokoh pemikir Ilmu Politik dari kalangan teoris klasik, modern maupun
kontempoter antara lain adalah: Aristoteles, Adam Smith, Cicero, Friedrich Engels,
Immanuel Kant, John Locke, Karl Marx, Lenin, Martin Luther, Max Weber, Nicolo
Machiavelli, Rousseau, Samuel P Huntington, Thomas Hobbes, Antonio Gramsci,
Harold Crouch, Douglas E Ramage.

Indonesia
Beberapa tokoh pemikir dan penulis materi Ilmu Politik dan Hubungan Internasional
dari Indonesia adalah: Miriam Budiharjo, Salim Said dan Ramlan Surbakti.

Perilaku politik
Perilaku politik atau (Inggris:Politic Behaviour)adalah perilaku yang dilakukan oleh
insan/individu atau kelompok guna memenuhi hak dan kewajibannya sebagai insan
politik.Seorang individu/kelompok diwajibkan oleh negara untuk melakukan hak dan
kewajibannya guna melakukan perilaku politik adapun yang dimaksud dengan
perilaku politik contohnya adalah:

• Melakukan pemilihan untuk memilih wakil rakyat / pemimpin


• Mengikuti dan berhak menjadi insan politik yang mengikuti suatu partai
politik atau parpol , mengikuti ormas atau organisasi masyarakat atau lsm
lembaga swadaya masyarakat
• Ikut serta dalam pesta politik
• Ikut mengkritik atau menurunkan para pelaku politik yang berotoritas
• Berhak untuk menjadi pimpinan politik
• Berkewajiban untuk melakukan hak dan kewajibannya sebagai insan politik
guna melakukan perilaku politik yang telah disusun secara baik oleh undang-
undang dasar dan perundangan hukum yang berlaku

Hubungan Internasional, adalah cabang dari ilmu politik, merupakan suatu studi
tentang persoalan-persoalan luar negeri dan isu-isu global di antara negara-negara
dalam sistem internasional, termasuk peran negara-negara, organisasi-organisasi
antarpemerintah, organisasi-organisasi nonpemerintah atau lembaga swadaya
masyarakat, dan perusahaan-perusahaan multinasional. Hubungan Internasional
adalah suatu bidang akademis dan kebijakan publik dan dapat bersifat positif atau
normatif karena Hubungan Internasional berusaha menganalisis serta merumuskan
kebijakan luar negeri negara-negara tertentu. Selain ilmu politik, Hubungan
Internasional menggunakan pelbagai bidang ilmu seperti ekonomi, sejarah, hukum,
filsafat, geografi, sosiologi, antropologi, psikologi, studi-studi budaya dalam kajian-
kajiannya. HI mencakup rentang isu yang luas, dari globalisasi dan dampak-
dampaknya terhadap masyarakat-masyarakat dan kedaulatan negara sampai
kelestrarian ekologis, proliferasi nuklir, nasionalisme, perkembangan ekonomi,
terorisme, kejahatan yang terorganisasi, keselamatan umat manusia, dan hak-hak asasi
manusia.

Institusi-institusi dalam hubungan internasional

Institusi-institusi internasional adalah bagian yang sangat penting dalam Hubungan


Internasional kontemporer. Banyak interaksi pada level sistem diatur oleh institusi-
institusi tersebut dan mereka melarang beberapa praktik dan institusi tradisional
dalam Hubungan Internasional, seperti penggunaan perang (kecuali dalam rangka
pembelaan diri).
Ketika umat manusia memasuki tahap peradaban global, beberapa ilmuwan dan
teoritisi politik melihat hirarki institusi-institusi global yang menggantikan sistem
negara-bangsa berdaulat yang ada sebagai komunitas politik yang utama. Mereka
berargumen bahwa bangsa-bangsa adalah komunitas imajiner yang tidak dapat
mengatasi pelbagai tantangan modern seperti efek Dogville (orang-orang asing dalam
suatu komunitas homogen), status legal dan politik dari pengungsi dan orang-orang
yang tidak memiliki kewarganegaraan, dan keharusan untuk menghadapi pelbagai
masalah dunia seperti perubahan iklim dan pandemik. Pakar masa depan Paul Raskin
telah membuat hipotesis bahwa bentuk politik Global yang baru dan lebih absah dapat
didasarkan pada pluralisme yang dibatasi (connstrained pluralism). Prinsip ini
menuntun pembentukan institusi-institusi berdasarkan tiga karakteristik:
ireduksibilitas (irreducibility), di mana beberapa isu harus diputuskan pada level
global; subsidiaritas, yang membatasi cakupan otoritas global pada isu-isu yang
benar-benar bersifat global sementara isu-isu pada skala yang lebih kecil diatur pada
level-level yang lebih rendah; dan heterogenitas, yang memungkinkan pelbagai
bentuk institusi lokal dan global yang berbeda sepanjang institusi-institusi tersebut
memenuhi kewajiban-kewajiban global.

PBB
(Artikel Utama: PBB) PBB adalah organisasi internasional yang
mendeskripsikan dirinya sendiri sebagai “himpunan global pemerintah-pemerintah
yang memfasilitasi kerjasama dalam hukum internasional, keamanan internasional,
perkembangan ekonomi, dan kesetaraan sosial”. PBB merupakan institusi
internasional yang paling terkemuka. Banyak institusi legal memiliki struktur
organisasi yang mirip dengan PBB.

Kerja sama internasional


Kerja sama internasional adalah bentuk hubungan yang dilakukan oleh suatu negara
dengan negara lain yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan rakyat dan untuk
kepentingan negara-negara di dunia. Kerja sama internasional, yang meliputi kerja
sama di bidang politik, sosial, pertahanan keamanan, kebudayaan, dan ekonomi,
berpedoman pada politik luar negeri masing-masing.

Fungsi
1. Memperlancar hubungan ekonomi baik dalam bentuk pertukaran hasil
produksi dan faktor-faktor produksi serta memperlancar sistem pembayaran
antarnegara.
2. Menciptakan kerja sama secara timbal balik antarnegara melalui perjanjian
ataupun melalui badan/organisasi internasional.

Hubungan Internasional di Asia Tenggara


Juli 10, 2006 oleh Editor

MASALAH LAUT CINA SELATANPASCA LOKAKARYA DI BANDUNGLAUT


Cina Selatan (LCS) sudah sering disebut sebagai sumber konflik baru di Asia-Pasifik,
jika saja masalah Kamboja terselesaikan dalam waktu dekat ini. Saling klaim berhak
atas wilayah di kawasan itu pernah terbukti menjadi bentrok senjata antara Cina
melawan Vietnam tahun 1988, makin memperkuat asumsi betapa potensialnya
konflik. Wilayah yang membentang seluas 2,3 juta kilometer persegi itu, kaya
sumber-sumber alam dan secara geografis amat strategis. LCS menjadi rute vital
armada militer ataupun komersial. Jepang, misalnya, memanfaatkan LCS sebagai
jalur impor bahan-bahan mentah ekspor berbagai produk manufakturnya. Sekitar 600
juta ton bahan mentah dialirkan ke Jepang, sedangkan 60 juta ton produk manufaktur
dikirim setiap tahunnya lewat LCS. Namun jangan melihat potensi konfliknya saja.
Ada sisi lain yang memberikan peluang kerja sama di LCS, peluang yang sedang
dibahas dalam lokakarya antarnegara sekitar LCS. Keikutsertaan Cina dan Vietnam
dalam lokakarya itu memberikan isyarat yang positif. Situasi internasional yang baru
memang memberikan peluang lebih besar terjadinya prakarsa kerja sama. Berakhirnya
era Perang Dingin memberikan kemungkinan baru, mengubah konflik menjadi kerja
sama. Berkurangnya ketegangan internasional telah menyedot perhatian sejumlah
negara akan masalah-masalah domestik dan isu keamanan sekitarnya. Oleh sebab
itulah ada kecenderungan negara-negara di sekitar LCS menaruh perhatian pada
penyelesaian konflik di LCS dengan cara damai. Cara ini bertujuan untuk menjamin
berlanjutnya pembangunan dalam negeri masing-masing negara. Bagi Indonesia
sendiri, yang tidak terlibat langsung dalam klaim teritorial, sangat mengharapkan
kestabilan LCS. Fakta penting adanya pangkalan udara di Natuna, menunjukan
perhatian Indonesia untuk memonitor setiap gejolak di LCS. Fakta penting lainnya,
yakni menjadi tuan rumah lokakarya LCS, juga menandakan betapa pentingnya LCS
sebagai lingkungan strategis bagi Indonesia.

***

TETAPI perubahan dunia internasional itu belum menjamin langsung akan


tercapainya bentuk kerja sama apa yang sebenarnya akan dituju, dan bagaimana
bentuknya. Taiwan, misalnya, beranggapan tidak perlu ada kerja sama keselamatan
pelayaran karena soal navigasi sudah melibatkan penggunaan satelit yang tak bisa lagi
dikontrol dan dilembagakan lagi sebagai wadah kerja sama. Atau seperti pernah
dilontarkan seorang peserta, apakah mungkin kerja sama terjalin sementara masalah
kedaulatan wilayah sendiri belum terselesaikan. Salah satu gagasan yang muncul
adalah kerja sama di bidang nonpolitis dan tidak kontroversial, untuk menumbuhkan
saling pengertian. Namun masih belum jelas apakah, misalnya, pengembangan
bersama (joint development), eksplorasi bersama, atau penelitian ilmiah di LCS,
hanya berlaku di Kepulauan Spratly atau Kepulauan Paracel. Juga masih
dipertanyakan apakah Cina bersedia menyertakan Vietnam ke dalam gagasan kerja
sama. Memang membaiknya hubungan Cina-Vietnam akhir-akhir ini, akan
berdampak besar. Hasil kongres Partai Komunis Vietnam (PKV) menegaskan
kehendak Vietnam berbaik-baik dengan Cina. Beijing pun sudah mengisyaratkan pula
bersedia menormalisasi hubungan tahap demi tahap. Namun persoalan LCS tidak
hanya menyangkut dua negara itu, ada juga faktor hubungan Taiwan dengan Cina.
Pasukan Taiwan digelarkan di Itu Aba, salah satu pulau besar di Spartly. Apakah Cina
mau duduk berunding dalam forum kerja sama, padahal Beijing tidak mengakui
Taiwan sebagai suatu entitas yang berdaulat. Lalu ada pula kesepakatan antara
Taiwan dengan Filipina bulan ini, yang menimbulkan masalah baru karena Cina
merasa tersinggung. Antarnegara negara ASEAN juga masih saling klaim kedaulatan
di LCS. Malaysia, Filipina dan Brunei mengklaim sebagian wilayah Spratly. Malaysia
menggelarkan pasukan di Terumbu Layang Layang. Klaim Malaysia dikontraklaim
bukan oleh Cina, Taiwan dan Vietnam saja, tetapi juga oleh dua anggota ASEAN,
Brunei dan Filipina. Brunei dan Malaysia saling klaim Louisa Reef. Filipina menjadi
negara ASEAN yang mengklaim Spratly dalam wilayah yang terbesar, yakni Kalayan
yang terdiri dari sekitar 60 pulau kecil, pulau karang dan atol. Klaim Manila terhadap
Kalayan, dengan memasukannya ke dalam Propinsi Palawan, juga mengundang
kontraklaim dari Beijing, Hanoi dan Kuala Lumpur. Barangkali perlu diperjelas,
pulau-pulau mana yang termasuk. Kepulauan Spratly, dan mana yang bisa disebut
sebagai pula yang berdiri sendiri. Mungkin dengan begitu saling klaim atas pulau-
pulau di LCS tidak sekaligus melibatkan banyak negara seperti sekarang ini, yang
konsekuensinya membutuhkan komunikasi “banyak arah” antarnegara pengklaim.
Yang mungkin dipertimbangkan sebagai salah satu faktor berpengaruh lainnya adalah
kepentingan AS dan Uni Soviet, dan, dalam batas tertentu, kepentingan India.
Meskipun negara adidaya seperti AS dan Uni Soviet secara bertahap mengurangi
kehadiran militernya secara fisik, namun ada gejala peningkatan secara kualitatif.

***

KITA optimis saja, kendatipun masih ada saling klaim, masih lebih besar lagi peluang
bekerja sama. Kerja sama yang tampaknya akan disepakati semua negara di bidang
perlindungan lingkungan dan ekologi serta riset ilmiah. Dalam paket kerja sama ini
termasuk ekspedisi bersama, sistem pengawasan iklim serta polusi. Kerja sama
pengawasan polusi ini penting di masa depan. Polusi bersumber dari kapal laut, benda
dan zat yang dibuang ke laut, polusi dari darat, dan polusi akibat eksplorasi serta
eksploatasi sumber alam. Jelas dalam bidang-bidang nonpolitis ada kesamaan
pandangan, meskipun rinciannya belum tuntas. Soal bentuk, mekanisme dan siapa
yang menanggung biaya semua operasi, belum terselesaikan. Lalu, jika sudah ada
kemauan untuk bekerja sama dalam bidang tertentu, forum atau institusi apa yang
menanganinya. Seperti diakui Indonesia, sejauh ini memang belum ada institusi yang
mengatur secara isu LCS kecuali lokakarya berseri. Institusi yang diusulkan Indonesia
untuk dipertimbangkan antara lain ASEAN, COST (Committee on Science and
Technology), COFAF (Committee on Food, Agriculture and Forestry), ASOEAN
(ASEAN Senior Officials on Environment) dan ESCAP (Economic and Social
Commission for Asia and the Pacific). Kemudian dimunculkan pula tiga usulan,
meskipun belum mengarah pada aksi bersama. Pertama, Malaysia mengusulkan
Maritime Consultative Council for the South China Sea (MCCSCS) Kedua,
melanjutkan forum seperti lokakarya. Ketiga, membuat satu atau dua program yang
jelas, lalu berdasarkan program itu dibuat suatu jaringan. Hasjim Djalal, perintis
lokakarya LCS, memperkirakan setidaknya dalam tempo tiga tahun baru bisa
dijalankan suatu kerja sama yang mapan. Namun perlu dicatat, gagasan itu pun
mengandaikan tidak ada perubahan radikal dalam tatanan politik dan keamanan di
sekitar LCS. Yang menarik adalah usulan mengundang Jepang ke lokakarya
mendatang mengingat Jepang pengguna LCS yang tidak bisa disepelekan sehingga
peranannya dibutuhkan untuk memberikan bantuan finansial dan teknologis.
Meskipun ada pandangan untuk mengesampingkan Jepang, dengan dalih forum yang
ada sekarang masih mencukupi. Seperti halnya pertemuan informal lainnya, lokakarya
ini masih terbatas menghasilkan rekomendasi untuk para pemerintah. Langkah
selanjutnya akan tergantung dari pemerintah masing-masing. Apakah, misalnya,
rekomendasi akan dilanjutkan dengan perundingan formal, atau pembentukan forum
kerja sama, atau menunggu kesempatan lain yang lebih besar. *

KOMPAS, Kamis, 18-07-1991.

MENUNGGU “MACAN BARU” MASUK PANGKALAN militer AS tahun ini


harus sudah angkat kaki dari bumi Filipina. Ini berarti takkan ada lagi pangkalan
militer AS permanen di Asia Tenggara. Sebagai gantinya beberapa negara Asia
Tenggara seperti Singapura dan Malaysia menawarkan tempat perbaikan kapal perang
AS. Dengan kata lain Washington masih memiliki akses militer kepada Asia
Tenggara. Uni Soviet saingan AS sudah terlebih dahulu mundur dari Asia Tenggara
karena sekarang telah bubar. Rusia yang mengambil alih warisan militer Uni Soviet
tak lagi seagresif moyangnya dahulu. Bahkan Menlu Rusia Andrei Kozyrev
menyatakan akan mengubah fasilitas militer di Cam Ranh. Dua kekuatan besar ini
tidak lagi secara fisik hadir di Asia Tenggara. Inilah yang disebut-sebut Menlu
Manglapus sebagai “kekosongan kekuatan” (vacum of power). Masalah yang muncul,
siapakah yang mengisi kekosongan ini? Siapa “macan baru” yang akan masuk?
Sedikitnya dua negara disebut-sebut: Cina dan Jepang. Lalu bagaimana bentuk
pengaturan keamanan Asia Tenggara? Pada saat rivalitas AS-Uni Soviet masih ada,
masing-masing negara besar menjaga kesimbangan kawasan dengan menempatkan
pangkalan di Vietnam untuk Uni Soviet dan Filipina untuk AS. Lalu bagaimana
jawaban ASEAN sendiri sebagai perhimpunan yang sudah berusia 25 tahun?
Sejumlah pandangan dikemukakan oleh para Menlu ASEAN pada pertemuan
tahunannya di Manila. Pada prinsipnya disepakati dialog intensif untuk menyamakan
pandangan tentang suatu masalah. KTT ASEAN sendiri sudah memutuskanagar
intensif mengadakan dialog politik dan keamanan intra ASEAN sendiri dengan negara
mitra dialog. Namun masih juga jadi masalah apakah dialog keamanan itu
berlangsung pada forum yang ada seperti ASEAN Annual Ministerial Meeting
(AMM) atau Post Miniserial Meeting (PMC). Perdebatan ini masih berlangsung
sementara masalah keamanan di Spratly sudah menyita perhatian dan mendesak
adanya suatu forum yang mewadahi pembahasan masalah keamanan. Sementara
persepsi tentang kekuatan yang akan mengisi Asia Tenggara berbeda-beda di
kalangan anggota ASEAN (lihat tulisan lainnya).

Incaran Cina Salah satu negara besar yang paling dekat ke Asia Tenggara adalah
Cina. Tidak hanya itu dalam sejarah Cina sudah lama mengincar Asia Tenggara
sebagai wilayah pengaruhnya. Sejarah kerajaan di Indonesia mengungkapkan
bagaimana tentara Cina mendarat di Jawa dengan misi menaklukan kerajaan yang ada
di sini. Kini setelah AS menarik diri dan Uni Soviet tidak lagi terlibat konfrontasi di
Asia Tenggara, Beijing memanfaatkan momentum ini. “Mengembangkan
persahabatan jangka panjang dan stabil serta hubungan bertetangga baik dan kerja
sama dengan ASEAN dan begara-negara ASEAN adalah kebijakan dasar negara
(basic state policy) Cina,” ujar Menlu Qian Qichen setibanya di Manila. Pernyataan
ini bisa memiliki banyak arti. Cina mungkin memang benar-benar akan mendekati
Asia Tenggara dengan mengembangkan kerja sama. Namun ada pula arti lain, Beijing
mungkin akan menancapkan pengaruhnya, sehingga di satu sisi tidak dicurigai di sisi
lain bisa bebas bergerak. Satu-satunya yang menghubungkan Cina secara langsung
adalah konflik di Kepualauan Spratly. Tiga anggota ASEAN - Brunei Darussalam,
Malaysia dan Filipina - terlibat dalam klaim Spratly.Dalam kasus ini jelas Cina akan
menampakkan seagai negara yang cinta damai. Dua kali ASEAN sudah menjadikan
Cina tamu dalam pertemuannya. Pertama di Kuala Lumpur dan berikutnya di Manila.
Ini perkembangan yang diinginkan sekali Cina. Bahkan bisa ditebak, Cina ingin
dimasukkan sebagai negara mitra dialog, status tertinggi dalam berhubungan dengan
ASEAN. Tawaran Cina memasuki ASEAN ini dimulai dengan kerja sama ilmiah dan
teknologi, bidang yang aman dari konflik. Mengenai kekosongan kekuasaan di Asia
Tenggara, Cina tidak setuju dengan pendapat itu. Namun anehnya juga menentang
“kekosongan kekuasaan itu diisi”. Dua kalimat yang bertentangan ini dikemukakan
pada peremuan para Menlu ASEAN dengan Cina. Ini cocok dengan ungkapakan
seorang diplomat, “Cina itu tidak konsisten. Apa yang dikatakannya tidak sama
dengan apa yang dikerjakannya.” Sebagai contoh dalam masalah Spratly, Cina berniat
menyelesaikan masalah itu dengan cara damai. Namun juga mengirim pasukan baru
ke Spratly serta menjalin kerja sama dengan perusahaan AS, Crestone Energy Corp.
untuk eksplorasi minyak. Tindakan bersifat provokatif ini mendapat kecaman
Vietnam. Untuk menghilangkan kecurigaan, Cina juga menyatakan menentang
hegemoni dan pemaksaaan kekuasaan politik terhadap negara-negara kcil. Bahkan
dengan simpatik menyatakan di depan para Menlu ASEAN, “Kami mendukung
usulan ASEAN membentuk Zona Perdamaian, Bebas dan Netral (ZOPFAN) serta
Zona Bebas Senjata Nuklir di Asia Tenggara,” salah satu konsep yang diperjuangkan
Indonesia. Kebijakan ke Cina ini mendapat perhatian penuh Vietnam, negara yang
pernah jadi sekutu sekaligus musuh bebuyutan. Mengetahui perhatian Cina ke Asia
Tenggara meningkat, Hanoi segera mengajukan gagasan menerima Perjanjian
Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara. Status observer diberikan para Menlu
ASEAN begitu Vietnam dan sekutu dekatnya, Laos, begitu selesai upacara
penyerahan dokumen persetujuan kedua negara. Sejumlah pengamat berpendapat,
status peninjau ini memberi peluang banyak untuk memperketat hubungan dengan
ASEAN sekaligus menjalin hubungan ekonomi lebih dekat. Di sisi lain, Vietnam
ingin mengimbangi langkah yang diambil Cina. Dengan demikian status peninjau ini
memungkinkan Vietnam mengawasi gerak-gerik Cina ke ASEAN.

Faktor Jepang Aktor lain yang disebutkan sejumlah pengamat bakal mengisi
kekosongan itu adalah Jepang. PM Miyazawa dalam suatu kesempatan menyatakan
negara-negara Asia perlu memiliki payung organisasi untuk menjamin keamanan dan
peramaian kawasan. Pesan Miyazawa ini menandai peranan baru Jepang dalam
bidang keamanan setelah kekuatan ekonominya menjulang tinggi tak terkejar negara
lain. Namun Tokyo berhati-hati dalam mengajukan formula baru keamanan Asia
seiring dengan mengurangnya pasukan AS. Adalah terlalu tergesa-gesa kalu
menyatakan Jepang menggantikan peranan AS di Asia dalam bidang keamanan.
Langkah ini akan mengundang kecurigaan negara-negara Asia yang pernah
dijajahnya. Inilah yang membedakan Cina dengan Jepang. Lagi pula jika Jepang
memainkan peranan ini akan sulit melancarkan hubungannya terutama di bidang
ekonomi. Oleh sebab itu Jepang akan tetap mendompleng AS. Untuk menunjang
langkah ini Jepang bersedia meningkatkan dana bagi pasukan AS yang berada di
jepang. Tahun anggaran 1992 jumlah dan untuk pasukan AS mencapai 4 milyar
dollar. Diproyeksikan menjadi 7 milyar dollar AS pada tahun 1995. Kekuatan
ekonomi Jepang memang bertumpu di luar negeri sehingga makin lama ada kesadaran
keamanannya harus dijamin. Salah satu urat nadi ekonomi itu terletak di Asia
Tenggara. Kalau dihitung investasi Jepang di ASEAN masih kalah dibandingkan
dengan Eropa atau Amerika. Namun jalur minyak dan perdagangan tetap melalui
Selat Malaka dan tentu saja Laut Cina Selatan, wilayah yang diramalkan menjadi titik
perhatian baru setelah Kamboja.

Faktor Rusia Bagaimana dengan pengganti Uni Soviet? Masihkah ada kekuatan ke
Asia Tenggara? Indikasi yang diberikan Menlu Rusia Adrei Koyzrev menunjukkan
upaya Rusia masuk Asia Tenggara. Artinya ingin melanjutkan kebijakan bekas Uni
Soviet ke Asia Tenggara dalam kapasitas yang bersahabat. Koyzrev menegaskan,
Angkatan Laut Rusia akan membantu mempertahankan stabilitas regional, namun
bertindak bukan sebagai agen konfonrtasi tetapi berhubngan yang konstruktif. Ada
anggapan kehadiran AL Rusia mungkin disambut baik sebagai tandaingan kekuatan
Cina, terutama setelah kehadiran AS secara fisik menurun. Pangkalan Cam Ranh
sendiri menghadapi Laut Cina Selatan , wilayah yang jadi perhatian karena terlibat
enam negara mengklaim Kepulauan Spratly. Menurut Kozyrev, setelah pertemuan
dengan Menlu Vietnam Nguyen Manh Cam, kedua pihak mencapai “pengertian jelas”
bahwa kapal perang Rusia yang beroperasi dari Cam Ranh Bay takkan berkonfrontasi
dengan kapal perang AS atau kekuatan di wilayah itu. Ia menambahkan, kapal Rusia
di wilayah itu hanya menjadi unsur penjaga stabilitas. Rusia tampaknya tidak akan
begitu saja meninggalkan Asia Tenggara meskipun saat ini posisinya sangat lemah.
Setidaknya status sebagai tamu memungkinkannya melangkah dalam kerja sama yang
lebih lunak dengan ASEAN seperti di bidang perdagangan. Kekosongan kekuatan,
istilah yang banyak digunakan Filipina, memang mengundang berbagai kemungkinan.
Filipina, Thailand dan Singapura memangdangnya dari kemungkinan negatif. Artinya
ada dua kekuatan yang bisa masuk Cina atau Jepang. Namun tentu saja harus ada
aturan mainnya terlebih dahulu. Nah, aturan main ini yang belum ada karena harus
ada penyesuaian lebih dahulu. Indonesia memiliki pandangan independen dengan
mengeajukan konsep Zona Bebas Damai dan Netral yang sudah disepakati ASEAN.
Namun ada anggapan konsep ini sudah kuno, harus dicari kode etik baru.

KOMPAS, Minggu, 26-07-1992. Hal. 9

Tarik Menarik Masalah Keamanan Regional

MASALAH keamanan regional memang menjadi topik menarik dan banyak


dibicarakan dalam ASEAN Annual Ministerial Meeting (AMM) ke-25 di Manila yang
dilanjutkan dengan Post Ministerial Meeting (PMC), tanggal 21-26 Juli 1992.
Pertemuan itu membawa para partisipan dalam acara tarik-menarik masalah cara
pembahasan keamanan regional serta persepsi terhadap keamanan. Uniknya di antara
anggota ASEAN sendiri belum ada kesepakatan mengenai persepsi ancaman saat ini
dan bagaimana menghadapinya. Agaknya diperlukan proses pengendapan untuk
saling memahami posisi baru masing-masing. Tarik-menarik itu terjadi terutama
setelah Eropa Timur dan Eropa Tengah berubah secara mendasar ditambah dengan
berhentinya Perang Dingin. Tentunya keadaan ini menimbulkan beberapa
ketidakpastian, seperti memberi peluang pada terjadinya konflik-konflik yang
menjurus ke arah terjadinya perang. Walau diakui, perkembangan itu membawa
dampak positif bagi kawasan Asia Tenggara dan Asia Pasifik, khususnya di bidang
ekonomi. Menlu Belgia Juan Abel Matutes sebagai Wakil Komisi ME mencatat,
situasi ini justru membuka peluang lebih besar bagi kerja sama perdagangan dan
memberikan suasana kompetitif. Bahkan Menlu Korea Lee Sang-Ock menilai,
kawasan Asia Timur dan Lautan Pasifik Merupakan dua tempat yang memiliki
perkembangan saling ketergantungan ekonomi cukup tinggi. Khusus bagi ASEAN,
pada saat ini justru merupakan kesempatan baik untuk meningkatkan kerja sama dan
melupakan masa lalu, yaitu melirik dan memperhatikan ancaman besar pada stabilitas
dan perdamaian kawasan. Juga banyak disebut, dekade ini menjadi bagian dalam
mendekati kondisi sesuai kehendak Deklarasi ZOPFAN tahun 1971, yaitu kondisi
yang damai, bebas, dan netral.

***

DI satu sisi, anggapan itu mungkin benar. Setidaknya itu menurut pandangan
Indonesia. Beberapa diplomat mengatakan, dalam situasi seperti ini, Indonesia
melihat peluang bagi keseimbangan baru dengan meletakkan pendekatan-pendekatan
baru bagi negara-negara besar. Bahkan Indonesia memandang, saat ini merupakan
kesempatan untuk menyelesaikan konflik dengan cara damai tanpa menggunakan
kekuatan militer dan kontak senjata. Namun ternyata, pandangan ini menimbulkan
situasi terjadinya tarik-menarik yakni untuk tetap bertumpu pada kemampuan
kawasan dengan menyandarkan diri pada kekuatan seperti AS. Karena pandangan itu,
Indonesia berpendapat pembicaraan keamanan regional harus dikembangkan dengan
landasan konsep ZOPFAN. Diakui, konsep ZOPFAN memang dicetuskan dalam
situasi yang berbeda dengan keadaan sekarang. Atau dengan kata lain, konsep itu
muncul saat Perang Dingin masih berlangsung dan Uni Soviet pun belum bubar.
Indonesia berkeras mengatakan, konsep itu masih bisa tetap berlaku. Alasannya,
ASEAN akan tetap memiliki keinginan hidup merdeka, damai, dan netral seperti yang
tercetus dalam konsep tersebut. Dengan pandangan ini, Indonesia yakin, konsep
ZOPFAN masih relevan. Pendapat ini agaknya didukung Malaysia dan Brunei
Darussalam. Menlu RI Ali Alatas menegaskan, tidak perlu lagi menciptakan wahana
baru untuk membicarakan dan mendiskusikan keamanan regional. Artinya, untuk
tingkat ASEAN, acara itu bisa ditampung melalui pertemuan pejabat tinggi atau SOM
(Senior Official Meeting) dan pertemuan tahunan Menteri ASEAN atau AMM.
Sedang dialog dengan rekan di luar ASEAN bisa dilakukan melalui ajang PMC.
Pendapat ini didukung Masyarakat Eropa (ME) yang diucapkan Menlu Inggris
Douglas Hurd dalam sambutan troikanya.

***

NAMUN, konsep itu ternyata tidak disepakati oleh Thailand, Filipina, dan terutama
Singapura. Pada pokoknya ketiga negara itu lebih melihat segi negatif ZOPFAN.
Ketiga negara itu memandang konsep ZOPFAN merupakan proses jangka panjang.
Dan yang lebih hebat lagi, mereka mengatakan ZOPFAN sudah tidak begitu relevan
dengan perkembangan zaman. Bahkan mereka pun tidak yakin pada kemampuan
ZOPFAN dalam menjamin keamanan dan stabilitas Asia Tenggara. Oleh karena itu,
mereka ingin membentuk kerja sama lebih luas yang mencakup kawasan Asia Pasifik,
khususnya dengan negara-negara besar. Hal itu dimaksudkan, agar interaksi dalam
kerja sama itu bisa mempengaruhi stabilitas keamanan kawasan. Masalah ini menjadi
bahan diskusi yang paling menarik dalam diskusi formasi 6+7 PMC. Pembicaraan itu
memang lalu tidak hanya masalah keamanan dalam pengertian militer, namun
mengarah pada keamanan dalam pengertian komprehensif yang menyangkut seluruh
aspek kehidupan seperti sosial, ekonomi, politik, lingkungan, ataupun kebudayaan.
Diskusi semakin hangat setelah Kanada mengusulkan membentuk forum dialog baru
tentang keamanan regional yang dinamakan “The North Pacific Cooperative Security
Dialog” atau NPCSD. Ide itu muncul setelah Kanada melihat perlunya kerja sama
yang kooperatif dalam bidang keamanan, terutama untuk mengatasi berbagai masalah
regional seperti sektor ekonomi, narkotika, lingkungan hidup, dan terorisme. Sambil
berjalan, diharapkan kerja sama itu menumbuhkan rasa saling percaya yang
dimungkinan dari pelaksanaan dialog informal yang konstruktif. Sementara itu pada
dasarnya Jepang setuju dengan pendapat Indonesia tentang penggunaan jalur PMC
untuk membicarakan keamanan regional. Namun Menlu Taro Nakayama memadang
jalur itu saja belum cukup. Menurut dia, pertemuan itu harus bisa menghasilkan
dialog politis tentang keamanan yang bisa dirasakan oleh seluruh partai. Untuk itu,
Jepang mengusulkan teknik “two-track”. Artinya, jalur yang menggabungkan
pendekatan sub regional dengan dialog politis dalam skala yang lebih luas. Jepang
menilai, dialog dengan commitment pendekatan sub regional hanya bisa mengatasi
masalah dalam satu kawasan. Sementara itu pada saat yang sama, diperlukan pula
dialog yang mencakup spektrum lebih luas dan melibatkan berbagai negara. PM
Jepang Miyazawa di Washington menekankan, dialog politis dalam skala yang lebih
luas ini penting karena pada kenyataannya dewasa ini telah hadir berbagai kerja sama
internasional dengan bermacam cara dan tujuan. Karena itu, Wakil Menlu Jepang
Koji Kakizawa dalam pertemuan PMC di Manila kali ini menegaskan, ASEAN perlu
memiliki forum dialog dalam skala yang lebih luas seperti itu. Menlu Korea Lee
Sang-Ock menambahkan, saat ini merupakan waktu yang tepat untuk menelaah
kembali cara-cara baru yang bisa digunakan sebagai forum mengkonsultasikan
keamanan regional. Walau tanpa menyebut satu bentuk yang jelas, Lee mengatakan,
forum itu penting mengingat adanya perubahan regional yang semakin kompleks.
Pendapat senada diungkapkan oleh Menlu Australia Gareth Evans. Pada prinsipnya,
Australia memandang keamanan regional harus didekati secara multi dimensional.
Artinya, menggunakan pendekatan yang melibatkan segi militer atau pertahanan serta
dimensi lain, seperti diplomasi, ekonomi, perdagangan, serta berbagai cara untuk
menghadapi ancaman. Pendeknya, Australia akan tetap menggunakan kebijakan
constructive commitment untuk kawasan Pasifik Selatan dan comprehensive
engagement untuk Asia Tenggara. Berakhirnya Perang Dingin antara AS dan Uni
Soviet yang pasti membawa perubahan pola politik dari bipolar ke arah multipolar.
Beberapa pengamat mengatakan, AS beberapa tahun terakhir ini telah mengubah
pendekatannya terhadap Asia, namun tetap memberi payung penangkal kepada
Jepang, Korea Selatan, dan Filipina. Bahkan memperluasnya. AS menegaskan
komitmennya untuk tetap hadir di Asia diantaranya melalui akses pangkalan militer
seperti yang dilakuka terhadap Singapura. Namun, di tengah perubahan pola politik
ini, tampaknya AS merasa terlalu berat dengan tanggung jawab keamanannya. Lalu
AS ingin membagi tanggung jawab itu dengan negara-negara Asia. Karena itu, AS
berharap negara-negara Asia mampu mandiri dalam menghadapi ancaman militer
lokal. Sementara itu, AS hanya akan bergerak bila ada ancaman lebih besar dan
potensial. Hanya, kehadiran AS dalam PMC ternyata semakin menjauhkan
pembicaraan dari pencapaian hasil maksimal. Hingga akhir pertemuan, tarik-menarik
ajang dialog ini tetap terjadi. Tidak ditemukan rumusan resmi tentang ajang atau
mekanisme dialog keamanan regional tersebut. Sebuah sumber menyebutkan, pada
umumnya setiap negara masih tetap dalam konstalasi pikiran masing-masing tentang
rumusan forum dialog keamanan regional. Namun pada umumnya, rata-rata
sependapat keamanan regional harus didasarkan pada rasa aman, tenteram, damai, dan
netral. Namun yang pasti, dari pertemuan PMC di Manila ini terungkap, seluruh
negara tetap menghendaki kehadiran Amerika di kawasan Asia baik secara fisik
maupun non fisik. “Demi keseimbangan,” kata mereka.***
KOMPAS, Minggu, 26-07-1992. Hal. 9

MENENGOK PERCATURAN POLITIK DI FILIPINA

MABUHAY! Selamat datang! Kata ini yang pertama kali dijumpai, begitu kaki
menginjak tanah Filipina. Dan tak perlu berpanjang kata untuk mengenal keramahan
masyarakat Filipino yang merupakan perpaduan dari Indo-Melayu, Cina, dan
Spanyol. Para Manilenos (baca: manilenios) yang rata-rata lancar berbahasa Inggris
itu, memang memberi perhatian istimewa pada tetamu, khususnya tamu asing. Namun
mengenang Filipina, kesan muram lalu muncul. Hiruk pikuk, kotor, panas, dan
berdebu. Tak jarang wajah Manila, ibu kota Filipina, menjadi muram. Di balik
gedung-gedung tinggi nan angkuh dan terbalut semen pudar hingga seolah tak
bersahabat dengan alam sekitar itu, wajah Manila bagai gadis manis yang sedang
patah hati. Muram, murung, tak bersinar. Keadaan ini jauh berbeda dengan Manila
sebelum terkena ‘darah’ bangsa Spanyol. Konon, pada awalnya ada sekelompok
rumpun yang berdiam di tepian Sungai Pasig. Sungai ini tepat bermuara di kota
Metropolitan Manila atau lebih dikenal dengan sebutan Metro Manila, yang kini
terdiri dari Caloocan, Pasay, dan Quezon. Tepi selatan sungai dikuasai Raja
Sulayman. Sedang tepi utara diperintah oleh paman Suleyman, Lakandula. Mereka
menanami tepian Sungai Pasig dengan bunga-bunga nilad. Tak heran bila di
sepanjang sungai itu, lalu dipenuhi warna kuning keemasan. Orang pun lalu menyebut
wilayah ini sebagai Maynilad. Namun, keindahan alami itu tiba-tiba runtuh setelah
bangsa Spanyol datang. Satu persatu bunga nylad gugur, seiring dengan kematian
Raja Sulayman dalam pertempuran di Bangkusay. Nama Maynilad pun hilang.
Selanjutnya, Miguel Lopez de Legaspi, pemimpin ekspedisi Spanyol, menyebutnya
Manila. Di tangan Legaspi, Manila diubah menjadi replika Eropa. Dan terjelmalah
keindahan khas Eropa di Asia. Bahkan pada 24 Juni 1571, Raja Spanyol menyebutnya
sebagai “The Noble and Ever Loyal City”. Resmilah Maynilad menjadi Manila.

***

SAYANG, Maynila-ku hilang. Mungkin ucapan itu terlalu memerahkan telinga.


Namun kata itu tak bisa lepas dari ingatan begitu mata tertumbuk pada wajah Manila
yang sekarang. Kesan kotor dan bau tak terhindarkan. Lebih parah lagi, hampir setiap
sudut kota berhiaskan sampah yang berserakan, genangan air, serta aroma yang sama
sekali tidak sedap. Tak jelas tempat-tempat mana yang bisa menjadi kebanggaan.
Sungai Pasig yang konon pernah menjadi lambang keindahan, sudah pasti tidak lagi
menampakkan bekasnya. Tepian sungai yang dulu berhiaskan kemilau emasnya
bunga nilad, kini telah berubah fungsi menjadi tempat menjemur pakaian yang
strategis. Di sektor ini, wajah Manila lebih banyak dihiasi susunan potongan kayu
sederhana yang menjadi bagian dari deratan rumah-rumah penduduk. “Hiasan” ini
nyaris membungkus dan menyembunyikan kemegahan Istana Malacanang yang
terbelah oleh Sungai Pasig. Sama sekali tidak bijaksana bila menuding para penghuni
di tepian sungai itu sebagai perusak keindahan. Filipina pada saat ini memang sedang
dalam kesulitan di segala sektor, baik sosial, ekonomi, maupun politik. Negara
dengan 7.107 pulau itu terjepit masalah pengangguran, kelaparan, dan tuna wisma.
Setidaknya, negara dengan 62 juta jiwa itu tahun 1991 memiliki 131.315 pencari
kerja. Angka itu masih ditambah dengan 35.000 pengangguran sebagai akibat
ditutupnya Pangkalan AS di Clark dan Subic. Di sektor pangan, dua per tiga dari 1,1
juta anak mengalami kelaparan dan kurang gizi. Di Metro Manila angka resmi
menyebut 2.991 anak jalanan yang tak bertuan. Tangga masuk gedung Legaspi Tower
di Metro Manila penuh para tuna wisma yang tidur berjajar dalam segala posisi di
malam hari. Negara di ujung utara Kalimantan yang sarat gempa dan taifun itu, pada
September 1991 memiliki tambahan tuna wisma sebanyak 23.542 sebagai akibat
bencana alam.

***

KEADAAN di atas merupakan cermin yang harus dihadapi oleh Presiden Ramos.
Namun ternyata masih banyak hal lain yang musti dibereskan. Seperti dikatakan Dr
Julius Caesar F Parrenas, peneliti pada Center of Research and Communication,
tentang Miriam Santiago yang sampai sekarang tetap menganggap Ramos curang
dalam pemilu lalu. Atau Kardinal Sin yang semula memang menolak Ramos yang
beragama Kristen. Namun pada umumnya saingan Ramos pada pemilihan presiden
menyatakan dukungan kepadanya, kecuali Santiago. Imelda Marcos, Eduardo
Conjuangco, Jovito Salonga dan Ramon Mitra mau menerima kemenangan Ramos.
Itu berarti posisi Ramos saat ini kuat sekali, terutama setelah Ketua Majelis Tinggi
(Senat) Neptali A Gonzales dan Ketua Majelis Rendah (House of the Representatives)
Jose de Venevecia Jr berhasrat kerja sama dengannya. Bila basis Cory berasal dari
tuan tanah, Ramos sama sekali tidak memiliki latar belakang itu. Ia berasal dari
kalangan birokrat. Ayah Ramos adalah wartawan yang diangkat jadi Sekjen
Kementerian Luar Negeri. Jadi basis kekuatan Ramos bukan para tuan tanah
melainkan birokrasi dan sejumlah pengusaha. Ini bisa berarti land reform dapat
berjalan mulus karena Ramos tidak memiliki kepentingan langsung, berbeda dengan
Cory dahulu. Tetapi anehnya hal ini tidak terjadi karena Ramos lebih memfokuskan
pada peningkatan produktivitas dan pengurangan kemiskinan ketimbang menekankan
pada land reform. Masalah Ramos tidak hanya menyangkut soal kerja sama dengan
kaum elit tuan tanah, pengusaha atau politisi karir, tetapi juga menghadapi ancaman
dari kaum pemberontak. Yang menonjol tentu saja ekstrem kanan dari tubuh militer
yang mengguncang pemerintahan Cory dengan serentetan kudeta. Tokoh sentral
pembangkangan dari tubuh militer adalah Kolonel Gregorio “Gringo” Honasan yang
kini masih bersembunyi. Baik Parrenas maupun Alexander Magno dari Pusat Studi
Dunia Ketiga, University of the Philippines sependapat kekuatan mereka sudah
melemah. Antara lain karena isu yang dilontarkan seperti perbaikan taraf hidup
serdadu, ekonomi dan pemberantasan korupsi sudah kurang relevan. Ramos begitu
terpilih sudah berjanji memberikan sekitar 30 persen kenaikan gaji bagi kalangan
militer. Ini berbeda dengan Cory yang dianggap “menelantarkan” militer. Menurut
Parennas pembangkang militer ini juga sudah melemah karena ada tiga faksi militer
yakni RAM (Reformed the Armed Forces Movement) di bawah Honasan, kelompok
loyalis SFP (Soldiers of the Filipino People) dan kelompok YOU (Young officer’s
Union). Bagaimana dengan pemberontak komunis ? Parrenas menyatakan, ideologi
komunis lagi sekarat. Konon kekuatan bersenjata komunis tinggal sekitar 17.000 dari
100.000 orang. Demikian pula dengan pemberontak Moro yang berhasil dijinakkan
pada masa Cory. Ramos tampaknya akan melanjutkan kebijakan terdahulu dengan
cara menarik satu kelompok dengan memberi jabatan penting dan membiarkan
kelompok lain sehingga kekuatan Moro yang terdiri dari Front Pembebasan Nasional
Moro (MNLF), Front Pembebasan Islam Moro (MILF) dan Organisasi Pembebasan
Bangsa Moro (BMLO) tak lagi bersatu. Masyarakat muslim sendiri ketika
berlangsung pemilihan presiden turut memberikan suaranya.
***

SATU lagi kekuatan yang tak bisa diabaikan dalam percaturan politik Filipina yakni
gereja. Kebetulan Ramos menjadi presiden pertama dari kalangan non-Katolik.
Karena itu, dalam masa pemilihan ia pernah ditolak oleh Kardinal Sin, meski pada
akhirnya dia pun secara khusus memberi dukungan . Gereja Katolik selama ini
memang tidak pernah melibatkan pihak Protestan, khususnya dalam kebijaksanaan
yang berhubungan dengan konsensus Gereja atau yang bertentangan dengan ajaran
Gereja. Lembaga ini juga memiliki kedudukan penting dalam pengambilan keputusan.
Mantan Presiden Corazon Aquino menegaskan, tidak adanya pemisahan antara gereja
dan penguasa negara. Sedang Kardinal Sin mengatakan, politik merupakan kegiatan
manusiawi, karena itu memiliki dimensi moral. “Sudah merupakan tanggung jawab
gereja untuk mengajak para pengikutnya mengusahakan pemilihan umum yang
bersih, jujur, dan adil serta tidak memilih calon yang dikenal sebagai koruptor atau
tidak jujur,” jelas Sin. Dengan alasan itu, Sin menegaskan perlunya peranan gereja
dalam kehidupan politik. Tugas gereja, lanjutnya, termasuk mengaktifkan masyarakat
untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik. “Gereja Katolik punya hak untuk
bersuara, khususnya dalam kebijaksanaan politik yang menyangkut moralitas,”
tegasnya. Menyimak penjelasan itu, sudah pasti gereja memang akan menjadi kunci
penting dalam masa kepemimpinan Ramos, meski Kardinal Sin sendiri telah
menegaskan akan mendukung dan tidak lagi akan memasalahkan soal agama. Namun,
yang pasti, Ramos ingin mempersatukan kehidupan politik. Ia pun lalu berusaha
mengurangi keterlibatan gereja, karena akan bertentangan dengan upaya pemersatuan
ini. Dilihat dari masa kepemimpinannya yang baru berumur 56 hari ketika laporan ini
ditulis (ia disahkan 22 Juni 1992), Ramos memang boleh dibilang baru menggeliat
dari tidur. Melihat seluruh tantangan itu, lalu memang timbul pertanyaan, mampukah
Ramos? Atau akankah Maynilad-ku kembali? “Sana,” kata orang Filipina. “Semoga,”
kata orang kita. ***

KOMPAS, Minggu, 16-08-1992. Hal. 9

“EDDIENOMICS”, JURUS EKONOMI GAYA RAMOSAGAKNYA penduduk


Manila benar-benar peniru yang baik gaya hidup konsumtif Amerika. Bahasa Inggris
dipakai sebagai bahasa pengantar di televisi dan surat kabar, bahkan juga di parlemen.
Kedai Mc Donald’s, Pizza Hut, Kentucky Fried Chicken serta Jolibee — yang
terakhir milik orang Filipina — tersebar di sudut-sudut jalan. Konon sebuah keluarga
yang miskin sekali pun akan menyediakan waktu khusus untuk makan siang di Mc
Donald’s. Tidak perduli menyantap hidangan di tempat itu dikenakan pajak.
Tampaknya fast food gaya Amerika ini sudah menyatu dengan kehidupan Manila.
Buku petunjuk pariwisata mengakui bahwa Metro Manila adalah wilayah paling ke
barat-baratan (baca Amerika) di Asia Tenggara. Saking hebatnya pengaruh Amerika,
sampai-sampai plat mobil saja persis seperti di Amerika. Kalau di Amerika
dicantumkan nama negara bagian, di Manila ditulis “pilipine”! Suasana seperti
makmur yang ditampilkan 10 juta penduduk Metro Manila tak bisa mewakili 63 juta
penduduk Filipina. Dalam kenyataannya mereka ditekan kesulitan sangat besar.
Masyarakat pedesaan terus mengalir ke kota mencari alternatif kehidupan yang lebih
baik daripada bekerja di lahan-lahan milik tuan tanah. Padahal penduduk kota berjejal
mencari penghidupan. Keinginan mencari hidup lebih baik akhirnya mendorong orang
bekerja di negeri orang. “Mereka ingin jadi orang kaya,” ujar Lili, seorang penduduk
Manila. Negerinya ditinggalkan untuk mencari dollar AS. Meskipun mereka bersedia
bekerja di mana saja, termasuk Lybia, namun tujuan utama tetap hidup di Amerika
Serikat, negeri impian pencari keberuntungan. Situasi terakhir ekonomi Filipina bisa
dilihat dari pernyataan Ramos di depan Kongres. Sekitar 20 persen keluarga kaya
menerima 50 persen total penghasilan negara. Kurang dari 20 persen hanya menerima
lima persen. Sekitar 5,8 juta keluarga tidak mendapatkan kebutuhan pokok yang
cukup. Tahun 1991, 2,3 juta pekerja kehilangan pekerjaannya, sementara 7,6 juta
lainnya bekerja kurang dari 40 jam sepekannya. Angkatan kerja bertambah sekitar
860.000 setiap tahunnya. Dua masalah Ramos mewarisi ekonomi kurang beres dari
Corazon Aquino yang memerintah selama enam tahun. Aquino menjadi pahlawan
demokrasi karena menumbangkan Marcos melalui people’s power. Ia juga bisa
dianggap berhasil menyerahkan tongkat kepresidenan dengan jalan damai. Namun
selama berkuasa Cory dibebani berbagai masalah yang tak selesai, salah satunya
masalah ekonomi. Aquino tak banyak berprestasi dalam sektor ekonomi.
Pembangunan fisik nyaris sangat mininim, kecuali yang patut dibanggakan adalah
pembangunan jalan layang di Manila. Meletusnya Gunung Pinatubo, banjir serta
gempa susul menyusul malahan membuat gedung-gedung dan jalan yang ada ambruk.
Pangkalan udara AS, Clark, yang bisa diganti untuk keperluan komersial rusak sama
sekali. Tinggal Subic yang disebut-sebut potensial tapi jelas memakan waktu untuk
memanfaatkannya karena banyak masalah ekonomi lain yang lebih penting menunggu
Ramos. “Ada dua masalah pokok dalam ekonomi yang dihadapai Ramos,” ujar Dr
Julius Caesar F Parrenas dari Center of Research and Communication. Pertama
menyangkut infrastruktur ekonomi Filipina yang lemah sama sekali. Dimulai dari
masalah langkanya energi, beban ekonomi Filipina merembet ke sana kemari. Energi
listrik dan bahan bakar sebagai sarana vital industri sangat kurang sehingga
diperkirakan tidak akan mampu memenuhi target pertumbuhan ekonomi 10 persen.
“Akibat listrik mahal, timbul biaya ekonomi tinggi,” tambah Parrenas. Rentetan
berikutnya, investor terutama dari luar negeri tak mau ambil risiko. Rendahnya
investor menjadikan ekonomi mandek. Masalah kedua datang dari luar negeri.
Lembaga keuangan dunia, International Monetary Fund mendikte ekonomi Filipina
seperti membatasi defisit dan melarang pajak atas nilai tukar peso terhadap dollar.
“IMF memang kurang populer di kalangan pejabat pemerintah Filipina,” jelas
Alexander R Magno, Direktur Pusat Studi Dunia Ketiga, University of the
Philippines.

“Eddienomics” Bagaimana Ramos menghadapi tantangan itu? Seperti rumus lainnya


dalam bidang ekonomi, rencana selalu menjanjikan optimisme. Rencananya oleh pers
lokal disebut “Eddienomics” meniru istilah Reaganomics di AS. Eddie adalah
panggilan akrab Ramos. Ia merencanakan enam tahun pembangunan mulai 1993-
1998. Melalui anggaran ini ia bertekad memompa pertumbuhan, merangsang investasi
dan menyediakan pelayanan sosial serta program peningkatan produktivitas
khususnya di bidang pertanian, perikanan dan buruh. Soal utang luar negeri? Ramos
berjanji memacu strategi pertumbuhan untuk memenuhi kewajiban membayar utang.
Penjadwalan utang sebesar 4,8 milyar dari 30 milyar sudah dilaksanakannya 24 Juli
lalu. Ini berarti Ramos selamat dari pembayaran bunga utang sebesar 1,6 milyar
dolllar dalam enam tahun mendatang. Dengan berbagai upaya beban utang terhadap
GNP turun dari 94 persen menjadi 66 persen. “Sejak Aquino mulai berkuasa tahun
1986 jumlah utang luar negeri diperkirakan 28 milyar dollar AS. Selama ia berkuasa
16 milyar telah dibayar berikut bunganya. Namun sekarang utang menjadi 30 milyar
dollar sehingga ada joke 28 dikurangi 16 sama dengan 30!” tutur Magno. Namun
masalah terberat ekonomi Filipina tetap berakar pada pemilikan tanah. Land reform
yang dijanjikan Aquino menurut penulis kolom The Manila Standard Calixto V
Chikiamco, diabaikan. Akibat monopoli ini pertanian sama sekali tidak produktif bagi
seluruh bangsa. Tuan tanah besar yang jumlahnya kurang dari lima persen penduduk
Filipina — termasuk keluarga Aquino — hanya mengeruk keuntungan pribadi, tidak
peduli ekonomi negara. Menurut Magno, soal tanah ini bisa dipecahkan melalui
antara lain pengalihan pemilikan tanah ke petani desa. Transfer tanah semasa Aquino
rata-rata tiap tahun hanya 9.691 hektar tetapi tahun lalu sekitar 293.000 hektar
didistribusikan ke 173 ribu petani. Kelanjutan landreform pesimis karena
bagaimanapun distribusi tanah itu memerlukan kompensasi kepada tuan tanah. Magno
menilai salah satu kritik terhadap Ramos, ia tidak menekankan land reform dalam
pidato kenegaraan pertama kalinya di depan Kongres. Padahal ia sendiri yang
menegaskan akan memerangi kemiskinan. Dalam masalah ini Ramos meminimalkan
keterlibatan negara dalam ekonomi. Padahal, kata Magno, ini yang menyebabkan
banyaknya utang Filipina karena kebanyakan modal dipinjam dari bank asing. Untuk
pemasukan kas negara, Ramos mengeluarkan jurus ekonomi lainnya yakni
penggalakkan pajak. Upaya terakhir adalah mengenakan pajak atas rokok dan
minuman. Dua usulan ini sempat menjadi polemik hangat. Masalahnya pajak di
Filipina sudah sedemikian banyaknya sehingga bila banyak barang dikenakan pajak
akan membebani rakyat. Namun bagi lapisan penguasa ekonomi apa pun jurus
ekonomi Ramos tidak akan berpengharuh banyak. Bahkan kelompok konglomerat ini
dengan basis di Makati semakin menancapkan pengaruhnya. Siapa sebenarnya
kelompok penguasa ekonomi Filipina? Magno maupun Perennas berpendapat orang-
orang Cina menguasai bisnis besar. Shoe-Mart, jaringan pasar swalayan terbesar juga
milik keturunan Cina yang bekerja sama dengan orang Filipina. Shoe Mart termasuk
ranking ke-14 dari 1000 perusahaan top Filipina. Keluarga Alaya disebut-sebut pula
tokoh keturunan Cina yang “menguasai” Makati, pusat bisnis di Manila. Dapat
disebut pula disini keluarga lokal seperti Cojuangco dan Benedicto yang memonopoli
perdagangan kelapa dan gula. Mereka juga beraliansi seperti terjadi antara keluarga
Disini dengan Westinghouse atau keluarga Benedicto dengan para pedagang Jepang.
***

KOMPAS, Minggu, 16-08-1992. Hal. 9

Pengelolaan Konflik di Laut Cina Selatan JALUR BILATERAL, MULTILATERAL


DAN MILITER

PANORAMA dunia pasca-perang dingin ditandai dengan meningkatnya konflik


teritorial, menggantikan bentrokan ideologi kelas dunia. Penyerbuan Irak ke Kuwait
barangkali termasuk yang spektakulerdan menyadarkan bahwa klaim kedaulatan
sangatlah rawan. Perang perbatasan Peru lawan Ekuador juga termasuk contoh paling
aktual betapa harga sebuah wilayah sangatlah mahal. Kawasan Laut Cina Selatan
(LCS) tidak terkecuali. Di dalamnya terdapat Kepulauan Spratly dan Paracel yang
tergolong titik rawan dalam soal klaim teritorial. Menurut geologiawan asal Bandung,
Ediar Usman, Spratly merupakan gugusan pulau-pulau kecil berupa terumbu karbonat
yang terbesar di sepanjang LCS, dengan ukuran yang bervariasi. Di bagian pinggir
ukurannya relatif lebih besar berjumlah hampir 30 buah, antara lain Spratly, Swallow,
Southwest Cay, Dallas dan Nanshan. Sedangkan di bagian pusat bentuknya cekungan
berukuran relatif lebih kecil, berupa pulau karang terisolir yang berjumlah sampai
ratusan buah. Ketika Perang Dingin memuncak, kawasan itu dipandang dalam arti
ideologis. Kini titik beratnya adalah rasa nasionalisme bercampur kepentingan
ekonomi. Artinya karena di dalamnya juga mengandung minyak dan gas bumi, maka
perebutan wilayah semakin alot antara Cina, Vietnam, Taiwan, Malaysia, Filipina dan
Brunei Darussalam. Sedikitnya ada tiga kecenderungan dalam penyelesaian klaim
tumpang tindih di Laut Cina Selatan (LCS). Pertama, perundingan bilateral antara
yang berkepentingan seperti dilakukan Cina dan Filipina. Kedua, jalur perundingan
multilateral di mana semua pengklaim berkumpul bersama baik melalui forum
internasional maupun regional untuk menyelesaikan kasus mereka. Ketiga, tidak
tertutup kemungkinan laras meriam berbicara lebih keras dibanding adu pendapat di
meja perundingan. Bentrokan militer tahun 1988 antara Cina dan Vietnam adalah
contoh nyata betapa masih kuatnya kecenderungan ketiga. Bahkan perang kata antara
Vietnam dan Cina maupun antara Cina dan Filipina sangat sering berlangsung akhir-
akhir ini. Jika perang mulut ini dibiarkan menggantung tanpa saluran penyelesaian
politik, titik rawan itu bisa jadi meledak dalam suatu perkelahian militer. Dua negara
saja yang terlibat konflik teritorial berupa pulau, daratan atau lautan sudah sulit
diselesaikan, apalagi dengan klaim tumpang tindih yang terjadi di Spratly dan Paracel
yang melibatkan enam negara. Betapa pelik dan tegang penyelesaiannya. Jalur
bilateral Berbagai optimisme berkembang dengan gagasan, jalur pertemuan bilateral
lebih efektif dibandingkan multilateral. Taiwan dan Cina tahun lalu mengupayakan
eksplorasi minyak bersama dalam suatu pertemuan di Singapura. Perusahaan minyak
Taiwan CPC dan perusahaan minyak nasional Cina CNOCC Oktober lalu menjajagi
kerja sama di Paracel. Kepulauan Paracel diklaim sedikitnya dua negara, sedangkan
Spratly enam negara. Cina dengan Vietnam juga membentuk kelompok khusus untuk
membahas pertikaian teritorial seperti diungkapkan Menlu Qian Qichen November
lalu. Dikatakan, Cina dan Vietnam sepakat menyelesaikan kasus Spratly secara
bilateral. Sekjen Partai Komunis Cina Jiang Zemin dan Persiden Vietnam Le Duc
Anh mencapai “kesepakatan oral” untuk menyisihkan isu kedaulatan di Spratly. Bulan
Juni 1993, Malaysia dan Vietnam secara resmi menyetujui perjanjian eksplorasi
minyak dan gas bumi selama 40 tahun, di wilayah Laut Cina Selatan yang
disengketakan enam negara. “Kami berhasil mengubah isu (sengketa) yang potensial
menjadi kerja sama di wilayah itu. Kami tentu saja ingin memberi contoh kepada
yang lain,” kata Ahmad Kamil Jaafar, Sekjen Kementerian Luar Negeri Malaysia.
Cina dan Filipina dua tahun lalu sepakat menyisihkan sengketa atas Kepuluan Spratly,
dan bertekad bekerja sama untuk mengembangkan dan mengeksplorasi wilayah itu.
Perjanjian ditandai pertemuan antara Presiden Cina Jiang Zemin dengan Presiden
Filipina Fidel Ramos di Beijing. Benarkah jalur bilateral bisa menyelesaikan konflik
kedaulatan di LCS? Perkembangan akhir-akhir ini memperlihatkan kenyataan
sebaliknya. Filipina meningkatkan kehadiran militer ketika ketegangan dengan Cina
meningkat. Cina mengecam Vietnam yang sudah menjalin kerja sama penyelidikan
kelautan dengan Rusia. Beijing juga mengkritik Hanoi karena mengizinkan
perusahaan minyak AS melakukan eksplorasi di perairan yang diklaimnya. Sejumlah
bukti itu memperlihatkan kelemahan kesepakatan bilateral. Memang kontak dua
negara bisa dengan cepat menyelesaikan pentingnya pemanfaatan kekayaan alam di
LCS. Namun tidak tersentuhnya isu kedaulatan yang menjadi inti konflik
menyebabkan kesepakatan itu limbung. Terkena sedikit angin, bubarlah kesepakatan
itu digantikan kekuatan militer yang berbicara lebih vokal.

Forum multilateral Satu-satunya forum mulilateral yang ditempuh negara yang


terlibat konflik adalah Lokakarya Pengelolaan Konflik di Laut Cina Selatan yang
sudah berlangsung lima kali di Indonesia. Meskipun pertemuan itu bersifat informal
namun tidak menghilangkan bobotnya sebagai forum tukar pikiran dan kerja sama.
Kekuatan forum ini terletak pada kelengkapan peserta yang terus menerus hadir
walaupun sudah lima kali berjalan sejak 1990. Tidaklah mudah menghadirkan
perwakilan sekalipun informal selama lima kali pertemuan membahas masalah yang
memang sangat peka. Tokoh akademis atau pejabat dalam kapasitas pribadi turut
memberikan argumennya mengenai sikap negaranya dalam membuktikan keabsahan
klaimnya. Tidak jarang bila sudah menyentuh soal bagaimana rekomendasi ke
pemerintah masing-masing, pertemuan bisa berlangsung sangat panas diwarnai
perdebatan sengit. Sejauh ini kesepakatan untuk dijadikan rekomendasi adalah untuk
tidak menyelesaikan konflik dengan jalan kekerasan. Rekomendasi ini memang tidak
mengikat sehingga sering terjadi ketegangan tak terhindarkan di wilayah yang diklaim
masing-masing. Pada pertemuan terakhir di Bukittinggi Oktober tahun silam, hasil
lokakarya tak hanya basa basi tetapi sudah mencapai proyek konkret yakni riset
bersama di LCS mengenai keaneragaman hayati. Tampaknya forum multilateral ini
tidak hanya jalan untuk penyelesaian komprehensif tetapi juga membuka prospek
untuk diformalkan seperti diusulkan Menlu Ali Alatas di Bukittinggi. Persoalan
semakin pelik jika peserta sudah merupakan wakil negara. Misalnya apakah Cina mau
menerima kehadiran Taiwan dalam suatu forum resmi antarpemerintah. Selama ini
karena perwakilan bersifat informal, delegasi Cina tidak mengguggat keberadaan
Taiwan. Tantangan Indonesia untuk melangkah lebih maju ke arah formalisasi
perundingan memang tidak mudah. Namun juga tidak menutup kemungkinan terbuka
peluangnya. Masalahnya jalur multilateral lebih mendesak daripada jalur bilateral
antara negara yang berselisih karena berbagai kelebihannya. Diharapkan melalui jalur
multilateral bisa ditempuh cara pengembangan potensi LCS secara bersama-sama.
Proyek yang akan diwujudkan dalam riset oseanografi itu diharapkan menelorkan
hasil yakni saling pengertian antarpemerintah. Secara teoritis, jika sudah timbul saling
pengertian diharapkan isu inti yakni klaim tumpang tindih di lautan ini bisa ditempuh
secara bertahap. Berbagai makalah tentang solusi multilateral sudah diajukan.
Misalnya pakar dari Kanada mengambil contoh forum kerja sama di Teluk Maine
antara AS dan Kanada. Karena dua negara bersahabat, kerja sama berjalan baik.
Namun bila suasana tidak mendukung, seperti terjadi misalnya dalam kerja sama di
Laut Baltik, Mediterania dan Laut Hitam, maka hasilnya tak maksimal. Juga
hubungan dua negara antara Argentina dan Cile mempersulit kerja sama di Terusan
Beagle. Mark J Valencia dan Noel Ludwig dari East-West Center, Hawaii (AS) serta
Jon M van Dyke dari University of Hawaii lebih jauh lagi mengajukan gagasan
perlunya Spratly Management Authority (Otoritas Pengelolaan Spratly). Suatu dewan
yang terdiri negara pengklaim,dan yang bukan pengklaim ditambah kekuatan maritim
global merupakan puncak dalam otoritas itu. Otoritas ini dilengkapi dengan
sekretariat dan sekjen yang membawahi komite teknis urusan sumberdaya hayati dan
nonhayati serta komite lingkungan dankomite keuangan. Langkah militer Berbagai
bukti historis diajukan untuk membenarkan klaim setiap pihak. Namun kadang-
kadang bila bukti-bukti yang diajukan setiap pihak itu tidak memuaskan atau
menyudutkan pihak lain, jalur ketiga sangat mungkin ditempuh. Kedaulatan adalah
kebanggaan nasional maka salah satu jalan mempertahankan klaimnya adalah dengan
mengirim satuan militer ke wilayah konflik. Pembangunan landas pacu dan
pengiriman kapal militer oleh Cina bukan rahasia lagi. Klaim yurisdiksi ini bahkan
diperkuat landasan hukum di Cina sendiri sehingga bagi militer adalah sah saja
menganggap LCS milik Beijing seluruhnya. Mereka yang mengklaim secara sebagian
seperti Filipina, Malaysia atau Brunei dianggapnya merongrong kedaulatan. Bagi
negara tetangga Cina, berhadapan dengan naga raksasa ini sangatlah menakutkan.
Namun mereka tidak sendiri. Bagi Filipina, keberanian itu dimungkinkan karena
keyakinan bahwa Amerika Serikat bahkan mungkin Jepang, takkan membiarkan Cina
menjadi kekuatan hegemoni di LCS. Faktor AS dan Jepang serta Indonesia pada
tingkat tertentu menjadikan Cina hanya berani main gertak saja. Persoalannya, main
gertak ini kalau justru merunyamkan masalah bisa-bisa terlibat bentrokan terbatas,
sesuatu yang bakal mempersulit kerja sama mengelola potensi sumber daya alam di
LCS. Lebih-lebih penyelesaian masalah kedaulatan.

KOMPAS, Minggu, 19-02-1995. Hal. 3. Foto: 1

Transisi di Myanmar POLITIK “SARUNG” MENGHADAPI “SERAGAM


HIJAU”"SAYA ingin Myanmar bebas,” kata tokoh oposisi Myanmar Aung San Suu
Kyi (50), yang baru saja lepas dari tahanan rumah setelah hampir enam tahun
mendekam. Sepanjang enam tahun itu, Suu Kyi tidak hanya diperintahkan diam di
rumah, tetapi juga total tidak boleh berkomunikasi dengan rekan dan para
pengikutnya. Ungkapan Suu Kyi menggambarkan keinginan sekelompok masyarakat
— bahkan sangat mungkin mayoritas rakyat — akan situasi di negeri itu. Sebagai
salah satu tokoh pendiri Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD: National League for
Democracy), ia merasakan betapa represifnya rezim yang sekarang ada. Ia adalah
wakil tokoh prodemokrasi yang semua kegiatannya dipasung sampai kepada halyang
bersifat pribadi. Boleh dikatakan, ia juga mewakili aspirasi kebanyakan aktivis dan 45
juta jiwa rakyat Myanmar. Namun demikian, penilaian yang bernada positif pun
muncul terhadap kemampuan rezim militer yang mampu mengendalikan stabilitas
politik dan keamanan. Sedikitnya pemerintah yang berjalan tanpa konstitusi — yang
disebut juga dengan Dewan Pemulihan Hukum dan Ketertiban Negara (SLORC: State
Law and Order Restoration Council) — sudah memperlihatkan prestasi di bidang
ekonomi. Keterbukaan ekonomi telah membawa perbaikan secara fisik, tetapi
dihadang berbagai konsekuensi perkembangan ekonomi. Tidak hanya sandang dan
pangan yang semakin tidak terjangkau, malahan rakyat dikekang dengan berbagai
peraturan supaya tidak boleh protes atau mengeluh apa pun, kecuali menelan berbagai
kesulitan. Dua arus inilah yang sedang berjalan semakin kencang. SLROC yang
mewakili penguasa menyatakan Myanmar kini lebih baik. Banyak kemajuan sudah
dicapai. Sebaliknya NLD dengan Suu Kyi sebagai salah satu tokoh pentingnya
menganggap langkah represif militer tidak membawa kebaikan bagi mayoritas rakyat.
Mereka beranggapan kemajuan hanya bersifat semu dan hanya menguntungkan
segelintir orang yakni kubu militer dan mereka yang berkolaborasi dengannya.
Pertahankan status quo Rezim berkuasa senantiasa menekankan melalui media massa
yang dikontrolnya bahwa empat motto harus dipertahankan agar Myanmar maju.
Keempat motto ini bisa disebut sebagai ideologi yang dianut SLORC. Dalam televisi
maupun surat kabar motto ini terus dikumandangkan untuk menjaga stabilitas.
Keempat motto ini meliputi bidang politik, ekonomi, dan sosial.Di bidang politik ada
empat tujuan yang hendak dicapai yakni stabilitas negara, rekonsolidasi nasional
(bukan rekonsiliasi seperti gagasan yang diajukan Suu Kyi), munculnya Konsitusi
Negara, dan pembangunan negara yang maju dan modern. Di bidang ekonomi,
SLORC menentukan pembangunan pertanian, evolusi sistem ekonomi berorientasi
pasar, mengundang partisipasi asing, dan prakarsa ekonomi tetap di tangan negara dan
rakyat. Sedangkan empat bidang sosial yang ditargetkan rezim militer adalah
mengangkat moral bangsa, mengangkat integritas serta melindungi warisan budaya,
membangkitkan semangat patriotik,dan menaikkan standar kesehatan dan pendidikan.
Tampak sekali bahwa junta militer ingin menunjukkan bahwa merekalah yang benar-
benar berjasa dalam pembangunan Myanmar, dan bukannya kelompok sipil maupun
kelompok politik lainnya. Lucunya, koran pemerintah seperti The New Light of
Myanmar pernah juga mengutip berita asing yang menyebut pemerintahnya sebagai
junta militer! Padahal istilah ini sering berkonotasi negatif. Dalam berita lokal, hampir
setiap hari lawatan Jenderal Senior Than Shwe dan para jenderal lainnya yang
menjabat sebagai menteri dan wakil menteri diberitakan. Diperlihatkan, mereka
sedang berpidato pada acara peresmian suatu proyek atau tengah memberikan
pengarahan. Kegiatan mereka yang intensif mengandung pesan bahwa mereka sangat
sibuk dengan urusan membangun negara. Mereka juga seolah-olah menampakkan diri
sangat memperhatikan kebutuhan rakyat mulai dari soal pengairan, transportasi,
pendidikan, sampai keamanan negara. Begitu banyaknya kegiatan pejabat Myanmar,
sehingga rasanya tidak ada hari tanpa pengarahan dan peresmian proyek. Bahkan
yang sangat mencolok adalah berita utama koran berbahasa Inggris, yang diisi dengan
kehadiran Than Shwe dengan titelnya “Jenderal Senior” sekaligus Chairman SLORC.
Di situ dituliskan ia didampingi para menteri yang dijabat perwira tinggi plus para
penyambutnya yang juga menjabat tugas sipil dengan pangkat kemiliterannya.
Sehingga hampir separuh dari sebuah berita utama sering diisi dengan nama dan
pangkat para pejabat SLORC. Dengan kata lain mereka mewakili aliran politik
dengan “seragam hijau” militer. Fenomena liputan pers ini sedikit banyak
menggambarkan betapa kerasnya kerja militer. Pesan seperti proganda ini juga
merupakan kelanjutan penegasan bahwa SLORC yang dikendalikan militer bisa
memberikan sumbangan pembangunan yang berarti. Peranan militer “SLORC
menyadari bahwa mereka tak disukai rakyat. Mereka juga sadar tidak mungkin terus-
menerus berkuasa karena sifat pemerintahan sekarang adalah darurat,” komentar
seorang diplomat Asia. Penahanan Suu Kyi sepanjang enam tahun menyadarkan
bahwa sikap rezim selama ini tidak hanya memupuk kebencian rakyat, melainkan
juga memperkuat perlawanan kelompok prodemokrasi. Oleh sebab itu Suu Kyi
kemudian dibebaskan. Dalam arti legal, seperti diungkapkan Dubes RI untuk
Myanmar Mochamad Sanusi, pembebasan itu memang sudah diperkirakan.
Dikatakan, semula Suu Kyi ditahan berdasarkan UU No. 3 tahun 1975, yang bisa
menahan seseorang tanpa diadili dengan alasan yang bersangkutan bisa “mengancam
keselamatan negara”. Tahun 1991 klausul penahanan Suu Kyi diubah lagi dengan
menambahkan soal tahanan rumah. Ini artinya, lama penahanan sangat bergantung
pada keputusan SLORC. Jika dikaji lebih dekat, pembebasan Suu Kyi adalah bagian
dari rencana besar SLORC untuk menanamkan rasa simpati rakyat terhadap rezim itu.
Sejumlah penduduk dan diplomat di Yangoon menduga ada suatu “proyek” besar di
balik pembebasan Suu Kyi, baik dengan melihat kondisi di dalam maupun di luar
negeri. Sampai sekarang belum terungkap apa sebetulnya rencana rezim militer ini.
Tampaknya di dalam negeri, peranan militer takkan hilang. Kendati demikian peranan
itu mungkin akan mengalami perubahan. Salah satu model yang ditiru oleh junta
militer Myanmar adalah ABRI. Menurut Mochamad Sanusi, yang juga dimuat dalam
laporan tahunan majalah Far Eastern Economic Review, dwifungsi ABRI menjadi
bahan kajian intensif militer Myanmar. Mereka ingin meniru militer Indonesia yang
menjalankan fungsi sebagai kekuatan sosial-politik dan keamanan. Yang menarik,
tidak hanya peran militer sebagai kekuatan ganda yang ditiru, partai politik semacam
Golkar pun sudah dibentuk. Mereka menamakannya Union Solidarity and
Development Association (USDA). Di dalamnya terdapat tidak hanya unsur militer
yang sudah pensiun, tetapi juga tentara aktif. USDA dibentuk tahun 1993 sebagai
pengganti National Unity Party (NUP) yang kehilangan muka setelah kalah dalam
pemilu 1990 oleh NLD. Ketika itu militer tidak siap menghadapi keuletan NLD yang
disambut rakyat dengan antusias. NUP yang merupakan instrumen militer tidak
mendapat dukungan rakyat. Kini militer mempersiapkan betul-betul USDA untuk
mengalahkan NLD jika pemilu suatu saat berlangsung di masa depan. Selain itu,
mobilisasi kekuatan sipil juga dilakukan oleh USDA.Konon anggota USDA Myanmar
ini sudah mencapai tiga juta orang. Bandingkan dengan kekuatan NLD yang kabarnya
sudah mencapai sekitar 13 juta aktivis dan simpatisan. Setelah mendengar kabar
pembebasan Suu Kyi, aktivis NLD dari berbagai derah segera datang berbondong-
bondong ke rumah “sang pemimpin” di Yangoon. Peranan militer ini juga ditekankan
dalam penyusunan konstitusi. SLORC mendukung Konvensi Nasional sebagai salah
satu forum untuk mempertemukan berbagai aliran politik. Tugas utama konvensi ini
adalah menyusun konstitusi untuk peralihan politik ke arah yang stabil dan normal.
Dalam konstitusi ini banyak hal yang diadopsi dari Indonesia, terutama soal peranan
militer dalam pemerintahan. Jika memakai paham konvensional barat, militer
ditempatkan sebagai penjaga keamanan. Mereka tidak boleh masuk dalam politik
sipil. Tetapi militer Myanmar tampak tak menghendaki pola demikian. Mereka ingin
terjun dalam dunia pemerintahan. Prinsip inilah yang akan dipertahankan di masa
depan. Pembebasan Suu Kyi tidak hanya menyangkut posisi tawar-menawar terhadap
keinginan itu, tetapi juga menggalang dukungan untuk pertemuan Konvensi Nasional
September nanti.

Inginkan perubahan Bagi orang luar, nama Suu Kyi berasosiasi dengan kebebasan dan
demokrasi. Pemikiran dan pandangannya pun tidak lepas dari isu demokratisasi dan
pembebasan masyarakat dari belenggu junta militer. Ia menginginkan dialog. Ia
sangat berminat untuk rekonsiliasi. Pesan perubahan ini tidak hanya merupakan
refleksi dari pengalaman penahanan selama enam tahun yang dialaminya, tetapi juga
bagian dari tuntutan masyarakat internasional. Suasana pasca Perang Dingin — yang
sangat menonjolkan isu hak asasi manusia — menempatkan rezim Myanmar dalam
posisi sulit. Jika penahanan dilanjutkan, Myanmar akan semakin terisolasi dari modal
dan teknologi. Sebaliknya kalau ia dibebaskan, risiko yang harus dihadapi adalah
militer berbagi kekuasaan dengan Suu Kyi dan kelompok NLD yang menjadi idola
masyarakat kebanyakan. Suu Kyi yang dibesarkan di luar negeri tampaknya tidak
kunjung mengerti bagaimana militer bisa berkuasa tanpa konstitusi dan badan
legislatif atau parlemen sejak 1988. “Salah satu keunikan pemerintah Myanmar
sekarang, ia berdiri tanpa konstitusi,” komentar seorang pengamat di Yangoon.
Gagasan utama Suu Kyi adalah soal rekonosiliasi, demokratisasi, dan pembebasan
Myanmar dari segala macam tirani. Ia pernah ditawari untuk keluar negeri sebagai
ganti dari tahanan rumahnya. Namun putri pejuang Myanmar, Jenderal Aung San, ini
sangat keras pendapatnya. Ia memilih terisolasi dan menderita untuk kebebasan
negerinya. Apa sebetulnya yang diinginkan Suu Kyi dengan NLD-nya? Walaupun
ayah Suu Kyi sendiri seorang jenderal, kekuasaan militer yang represif dan
berkepanjangan telah membangkitkan semangat kelompok ini untuk mendorong
kehidupan demokrasi. Ketika ditanya apa makna demokrasi, Suu Kyi menjawab,
untuk istilah itu hanya rakyatlah yang lebih tahu. Terbukti dalam pemilu 1990 rakyat
mendukung gagasan yang dibawa NLD untuk mengantar pada kemajuan Myanmar.
Suu Kyi memang menempati posisi sentral dalam perubahan sosial politik di
Myanmar. Perubahan ini jugalah yang bisa mengantar pada perubahan ekononmi.
Barat masih memegang ucapan Suu Kyi sebagai indikator apakah akan perlu segera
menamam modal secara besar-besaran atau menunda dulu. Sebaliknya negara-negara
Asia mengambil sikap lain dengan menjalin hubungan dengan Myanmar. Masalah
yang dihadapi oleh NLD saat ini dalam Konvensi Nasional adalah kekuatan mereka
tidak sebanding dengan kekuatan pemerintahan. Menurut Kyi Win (76), pihaknya
hanya bisa menggalang dua kekuatan dalam melawan lima kelompok propemerintah.
“Kita selalu kalah dalam pengambilan keputusan,” kata tokoh tua NLD yang
berpangkat kolonel. Pernyataan ini mencerminkan situasi yang rawan bagi NLD dan
simpatisannya, karena tidak semua ide bisa masuk dalam konstitusi. Hal ini dipahami
Suu Kyi. Karena itu ia meminta rekonsiliasi,dalam arti posisinya dihargai tinggi, dan
bukannya dihitung sekadar sebagai satu kelompok kecil di Konvensi Nasional. Rakyat
sipil yang biasa memakai sarung kebanyakan mendukung posisi Suu Kyi. Tidak
hanya karena ia tokoh karismatis yang tampak menonjol pada tahun 1988, tetapi juga
karena rakyat sangat menghargai perjuangannya walaupun sudah ditahan selama
enam tahun. Inilah yang semakin menumbuhkan keberanian dan optimisme rakyat
dan pendukung NLD, sehingga mereka yakin akan ada perubahan. Seperti
diungkapkan Kyi Win, sebenarnya NLD mampu menempuh perjuangan bersenjata,
karena ada ratusan anggota militer yang bergabung di NLD, termasuk di dalamnya
Jenderal Tin U (mantanKepala Staf AB dan Menteri Pertahanan) yang kini jadi ketua
NLD. Namun pada umumnya mereka tidak berseragam lagi, mereka seperti umumnya
rakyat Myanmar, mengenakan sarung. Oleh sebab itulah tampak jelas sekali
bagaimana seragam hijau militer yang terjun dalam dunia politik di Myanmar, seolah-
olah menghadapi rakyat berpolitik yang mengenakan sarung atau longyi (bagi
perempuan). Identitas budaya berpakaian ini sudah bisa membedakan mana aliran
“sarung” dan mana aliran “seragam hijau”, tidak hanya dari cara berpikir tapi juga
kegiatan politik mereka. Rekonsiliasi dan bentrokan dua kekuatan politik inilah yang
akan mewarnai perjalanan panjang menuju Myanmar yang demokratis. ***

KARISMA SUU KYI — Pada minggu-minggu pertama setelah pembebasannya,


Aung San Suu Kyi muncul setiap hari di depan umum. Karismanya mampu menarik
ratusan orang, bahkan pernah lebih dari 1.000 orang, untuk berkumpul di depan
rumahnya. Tahun 1988 pidato kampanyenya pernah menyedot massa sampai 500 ribu
orang.

RUMAH TAHANAN — Di rumahnya yang cukup luas ini, Suu Kyi mendekam
selama enam tahun. Ia terisolasi sama sekali dari dunia luar. Hanya sebuah radio yang
menemaninya setiap hari. Suami (Michael Aris) dan kedua anaknya (Kim dan
Alexandra) tidak boleh menemani, kecuali setahun sekali, itu pun harus atas izin
regim militer.

KOMPAS, Sabtu, 12-08-1995. Hal. 16. Foto: 2

NEGERI DENGAN DUA MATA UANG

SEORANG turis yang baru masuk Myanmar diharuskan menukar 300 dollar AS
dengan Foreign Exchange Certificate (FEC). Di mata uang kertas ini tertulis: satu
dollar sama dengan satu FEC. Jadi nilainya tidak bergantung pada fluktuasi kurs
dollar. Selain itu jangan lupa, FEC ini tak bisa dikembalikan. Belanjakan semuanya
atau rugi sama sekali. FEC memang tidak berlaku di luar Myanmar. Mata uang ini
hanyaberlaku untuk turis dan orang asing. Lagi pula FEC tidak bisa dipakai untuk
membeli makanan di toko-toko biasa, kecuali di toko besar khusus untuk turis. Bayar
hotel boleh dengan FEC, tapi naik taksi harus menggunakan mata uang lain, bernama
Kyat. Kyat (baca: cat) adalah mata uang resmi bagi penduduk Myanmar.Jika FEC
nilainya stabil, maka Kyat punya dua nilai: resmi dan gelap. Menurut informasi, satu
dollar AS resminya bernilai 6 Kyat. Tapi jika Anda menukar dollar di pasar gelap
nilainya bisa mencapai 80 sampai 100 Kyat! Lalu pemerintah menggunakan nilai
yang mana? “Kalau untuk data resmi pakai nilai formal, tapi harga-harga di pasaran
menggunakan nilai pasar gelap,” komentar Thein Win, seorang warga Yangoon. Nilai
uang yang ganda serta berlakunya dua mata uang memang bisa membuat pusing,
tidak hanya orang asing tapi juga penduduk setempat. Akhirnya, seperti diamati Thein
Win, semua orang baik pejabat maupun penduduk berlomba-lomba mencari dollar
AS. “Saya menyimpan dollar untuk berjaga-jaga dan membeli barang dari luar,” kata
Thein Win, direktur Topaz International Ltd. Tambahan lain, dikabarkan ada FEC
palsu beredar di masyarakat, entah dari mana asalnya. “Yang penting pemerintah
mendapatkan dollar, tidak peduli berapa banyak FEC beredar,” ujar seorang penduduk
Yangoon. Situasi ini menambah rumit kondisi moneter yang tampak membutuhkan
suntikan lembaga keuangan internasional untuk menjaga stabilitas harga.*** BUKAN
hanya mata uang yang memusingkan rakyat Myanmar. Soal bahan bakar pun juga
memberatkan. Setiap kendaraan di Myanmar hanya mendapat jatah delapan liter
seminggu. “Mana cukup?” ujar seorang sopir taksi. Solusinya adalah membeli bahan
bakar di pasar gelap. Konon bensin yang beredar di pasar gelap ini berasal dari para
pejabat yang menjual diam-diam ke tempat-tempat penampungan ilegal. Sejumlah
pejabat ini kabarnya sering mengambil bahan bakar dari pompa bensin resmi
sebanyak-banyaknya. Jatah bahan bakar ini memperlihatkan dimensi lain, betapa
Myanmar masih harus bekerja keras dalam membangun ekonomi pasar ala mereka.
Tidak adanya konstitusi semakin mempersulit perkembangan bisnis. Meskipun
demikian diakui pula bahwa dalam beberapa tahun terakhir SLORC mampu
membawa perubahan fisik yang mencolok. Jumlah kendaraan dan gedung-gedung
baru di Yangoon merupakan indikator bangkitnya kegiatan ekonomi Myanmar.
Gedung baru berupa hotel atau pusat pertokoan tampak sedang dibangun di sejumlah
sudut Yangoon. Singapura adalah salah satu negara yang aktif menanam modal di
pasar yang potensial ini. Namun keberhasilan pembangunan fisik saat ini di Myanmar
membawa konsekuensi lain bagi rakyat. Seperti diakui Thein Win dan banyak
diplomat di Yangoon, pembangunan fisik berjalan pesat. Namun, katanya, harga
sandang dan pangan semakin tidak terjangkau. Pesatnya harga-harga tidak berimbang
dengan kenaikan pendapatan masyarakat. Seperti diamati Suu Kyi, tingkat inflasi di
Myanmar memang sangat membahayakan. Untuk menggambarkan betapa sulitnya
ekonomi rakyat, salah satu indikatornya adalah harga makanan. Menurut Thein yang
juga diakui Patrick Khan (penduduk muslim Myanmar), antara tahun 1987-1988,
untuk sekali makan diperlukan 10 Kyat. Pada saat itu pendapatan normal penduduk
sekitar 500 Kyat. “Sekarang untuk sekali makan setiap orang sedikitnya
mengeluarkan 100 Kyat. Padahal gaji seorang pegawai kecil sekitar 1.000 Kyat per
bulannya,” tutur Thein. Sedangkan gaji kalangan profesional seperti dokter, insinyur,
atau pengacara berkisar 5.000 Kyat lebih. Jika kurs satu dollar adalah 80 Kyat, artinya
kaum profesional cuma menerima sekitar 63 dollar sebulan (Rp 140.000). ***
SITUASI ekonomi riil kehidupan rakyat menunjukkan betapa Myanmar masih
menghadapi soal berat di bidang ekonomi. Berbagai berita lokal yang memperlihatkan
pembangunan gencar di seluruh pelosok Myanmar belum bisa menyelesaikan soal
standar hidup yang makin menurun. Bagi kalangan tertentu, terutama mereka yang
dekat dengan militer dan mendapat gaji dollar AS, Myanmar memang surga. Segala
kemudahan terbentang luas. Sebaliknya, dari pengamatan di jalan menuju Bagu,
misalnya, kemiskinan dan kesulitan rakyat pinggiran sangat terasa. Sawah yang
membentang luas (Myanmar terkenal sebagai gudang padi) bahkan sekarang harus
berjuang keras untuk memberi makan rakyat. Indikator ekonomi resmi pemerintah
tidak selamanya bisa mengukur tingkat keberhasilan pembangunan ekonomi. Dengan
GNP per kapita sekitar 220 dollar AS, Myanmar tergolong negara miskin. Lebih dari
itu, pendapatan negara masih bergantung pada pertanian dengan angka 38,3 persen.
Seperti dikutip dalam Myanmar Business & Economic Review (1994), pemasukan
dari manufaktur baru 9,2 persen. Walaupun demikian industri batu permata, turisme,
dan pertanian masih belum tergali maksimal. Indonesia sebenarnya memiliki peluang
besar masuk pasar Myanmar, tetapi saat ini pengusaha Singapura melangkah lebih
agresif. Selain potensi alam, semangat nasionalisme di Myanmar juga merupakan
potensi besar bagi pengembangan sumber daya manusia. “Saking tingginya
nasionalisme ini, maka dulu diperintahkan semua rakyat memakai sarung sebagai
pakaian nasionalnya,” komentar Atase Pertahanan RI Kolonel YA Hascaryo. Tak
heran, bila kita melihat, pegawai kantor, pedagang, bahkan sopir taksi sekalipun
mengenakan sarung. Kesulitan-kesulitan ekonomi ini juga menimbulkan berbagai
persoalan bagi Myanmar untuk bergabung dengan ASEAN. Dari segi ekonomi,
penggabungan itu memerlukan perbaikan sistem perekonomian dan dukungan
keuangan internasional. Celakanya, dunia internasional akan mendukung secara
finansial bila ada perbaikan hak asasi manusia dan demokratisasi, termasuk
pembebasan tahanan politik. Oleh sebab itulah, kemajuan ekonomi sangat bergantung
pada rekonsiliasi politik. Lebih baik lagi jika pemilu yang demokratis sudah
berlangsung, walaupun mungkin sekali dimenangkan kelompok politik pro rezim
militer. ***

Teks Foto: Kompas/sep

KEMAJUAN EKONOMI — Kemajuan ekonomi mulai terasa di Yangoon, ibu kota


Myanmar. Kegiatan bisnis, seperti diakui beberapa pengusaha, mulai pulih. Di pusat
bisnis Yangoon, tampak Pagoda Sule berdiri tegak di antara kesibukan ibukota.

KOMPAS, Sabtu, 12-08-1995. Hal. 17. Foto: 1

PANGGUNG DEMOKRASI DI DEPAN RUMAH SUU KYI

TEPUK tangan massa yang berkumpul di depan pintu gerbang kompleks rumah Aung
San Suu Kyi terdengar membahana, begitu pengeras suara dipasang di kedua sisi
pintu. Teriakan gembira dan tepuk tangan semakin gemuruh, saat Suu Kyi yang
bertubuh kecil munculdi atas gerbang dengan sapaannya yang riang. Ia mengingatkan
massa agar bekerja keras dan tidak hanya berkumpul di depan pintu rumahnya.
“Bekerja lebih penting daripada sekadar bicara,” ujar Suu Kyi. Namun sebagian
menjawab bahwa mereka sangat ingin mendengar dan melihat Suu Kyi sehat. Mereka
sangat rindu pada Suu Kyi setelah enam tahun tak terlihat. Walaupun secara formal
larangan berkumpul lebih dari lima orang masih berlaku, namun ratusan orang masih
setia datang pada minggu-minggu pertama pembebasan Suu Kyi. Di depan rumah Suu
Kyi yang terletak di University Avenue nomor 54, Yangoon, ini boleh dikatakan telah
berubah menjadi panggung demokrasi kecil-kecilan. Massa yang ditemui di sini
adalah rakyat jelata. Mereka tidak menunjukkan strata sosial tinggi. Mereka adalah
rakyat biasa yang ingin mendengarkan suara dan pesan Suu Kyi. Sungguh
mengesankan bahwa mayoritas pendengar setia Suu Kyi adalah wanita, baik tua
maupun muda. Mereka rela berjongkok menunggu sekitar satu jam di tengah terik
matahari Myanmar atau di tengah siraman hujan. Pertemuan selama 10 menit seperti
mengobati keinginan mereka.
***

SUU Kyi memang idola rakyat Myanmar yang memimpikan demokratisasi di


Myanmar. Sejak kemenangan Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) tahun 1990 —
yang kemudian dibatalkan militer dengan alasan menimbulkan kerusuhan — rakyat
pendukung NLD bermimpi aspirasinya akan diakui. “Militer tidak jelek, yang buruk
adalah mereka yang berkuasa,” ujar Kyi Win, kolonel purnawirawan yang kini jadi
aktivis NLD. Walaupun mantan militer, Kyi Win juga punya impian soal demokrasidi
Myanmar. Sedangkan Soe Win Than, wartawan Kantor Berita Myanmar, berpendapat
lain tentang rezim ini. “Semula SLORC ini memang dibenci, namun kemudian
mendapat simpati karena berhasil di bidang ekonomi.” Sebaliknya Han Htwe Aung
yang setiap hari hadir membantu wartawan asing sangat mengharapkan Suu Kyi
segera bertindak. Ibrahim (28), warga Muslim Myanmar, mengaku telah bekerja di
Malaysia selama empat tahun ini. “Rezim sekarang rasialis. Mereka tidak
memberikan kesempatan kerja kepada warga muslim,” katanya. Ia mengaku di
Malaysia mendapatkan gaji lumayan dan bisa pulang setiap tahun selama sebulan.
Patrick Khan, warga muslim Yangoon, juga merasakan hal serupa walaupun ia dulu
bergerak di sektor swasta. Diskusi politik memang sangat hangat di depan rumah Suu
Kyi. Rakyat seperti bebas bicara setelah rumah itu sehari-sehari sejak enam tahun lalu
dijaga tentara bersenjata lengkap. Perbedaan pandangan dan beraneka ragam
keinginan bermunculan dalam wawancara di depan rumah Suu Kyi. “Panggung
demokrasi” di depan rumah Suu Kyi pun terbangun, kendati di dekatnya beberapa
tentara tetap berjaga. “Perjalanan Myanmar menuju demokrasi masih jauh,” komentar
Konsul RI Bidang Politik, Marchinus Samosir. Pandangannya memang pas dengan
situasi Myanmar di waktu mendatang. Agenda yang harus diselesaikan Suu Kyi dan
rezim sekarang masih banyak, mulai dari soal persatuan nasional, ekonomi,
rekonsiliasi politik, bantuan luar negeri, pemilu, konstitusi, gerapan separatis Karen,
soal suku Rohingya dan bahkan aksi melawan pedagang narkotika dari Khun Sha.
Beban yang akan dipikul Suu Kyi dan bangsanya memang tidak ringan.Itulah
alasannya mengapa Suu Kyi berkali-kali bilang perlu bantuandan simpatiinternasional
untuk menangani berbagai persoalan bangsanya. ***

Teks Foto: Kompas/sep

MEMBACA KOMPAS — Meski tak bisa berbahasa Indonesia, Aung San Suu Kyi
antusias memperhatikan harian Kompas yang memuat berita pembebasannya.
Tampak ia tengah mengamati wajah dirinya yang dimuat harian Kompas edisi 12 Juli,
saat ditemui tanggal 21 Juli lalu.

KOMPAS, Sabtu, 12-08-1995. Hal. 17. Foto: 1

PERDEBATAN NILAI-NILAI ASIA DALAM KEAJAIBAN EKONOMI

PERTUMBUHAN ekonomi Asia yang mengesankan tak hanya menjadi perhatian


para pengambil keputusan di pemerintahan dan pengusaha, tetapi juga para akademisi.
PM Singapura Lee Kuan Yew dan PM Malaysia Mahathir Mohamad sering mengulas
kemajuan ekonomi sebagai bagian dari keberhasilan membangun sistem politik baru
di Asia yang berbeda dengan Barat. Sedangkan kalangan akademis mempersoalkan
apakah pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu merupakan sebab dari logika yang
terjadi di Barat. Misalnya karena investasi yang naik, stabilitas politik yang
berkesinambungan, atau sebab lain seperti sumber daya alam yang tersedia berlimpah.
Misteri tentang sebab-sebab atau faktor yang mendukung pertumbuhan ekonomi
sampai soal nilai-nilai Asia (Asian values) yang turut menentukan arah kemajuan
ekonomi, menjadi menarik untuk disimak. Dari perdebatan mengenai pengaruh nilai-
nilai Asia terhadap keajaiban ekonomi ini setidaknya muncul dua aliran. Pertama,
mereka yang yakin bahwa nilai-nilai Asia itu tidak seperti yang disodorkan para
pemimpin Asia. Nilai yang mereka anut bersifat universial dan keberhasilannya pun
sudah teruji dalam masyakarat lain. Dengan kata lain, mereka meragukan adanya
suatu nilai unik Asia yang jadi faktor penunjang booming ekonomi. Kedua, nilai-nilai
Asia memang ada dan sangat berpengaruh dalam perubahan sosial ekonomi di
kawasan ini. Keyakinan bahwa nilai-nilai Asia atau cara-cara Asia dalam pengelolaan
ekonomi itu eksis terlihat dari keberhasilan dalam tiga dekade ini di kawasan Asia.
Esensi nilai-nilai Asia Yang menjadi sentral perhatian persoalan nilai-nilai Asia
adalah pertanyaan, faktor apa yang menggerakkan masyarakat Asia sehingga
mencapai tahap pertumbuhan ekonomi seperti sekarang ini. Tommy Koh, pensiunan
diplomat senior Singapura mencatat adanya 10 nilai-nilai positif. Ia antara lain
menyebutkan hemat, bersahaja, hormat kepada leluhur dan perhatian yang sangat
tinggi terhadap keluarga. Mantan PM Singapura Lee Kuan Yew bahkan
mempertentangkan paham sentralitas keluarga sebagai nilai Asia yang sangat penting
dibandingkan paham invidualisme yang subur di Barat. Sebuah lembaga yang
menamakan diri Komisi Asia Baru - pimpinan pakar asal Malaysia Noordin Sopiee -
mengidentifikasi 16 premis dasar dan prinsip-prinsip yang akan menuntun aspirasi
Asia pada tahun 2020. Kembalinya nilai-nilai tradisi yang dipengaruhi agama dan
budaya Asia ikut memberikan warna. Michael Haas, salah seorang ilmuwan asal
Amerika Serikat, lebih lanjut menghubungkan nilai-nilai itu dalam praktek
pemerintah di Asia. Menurut dia ada dua tahap dan enam prinsip yang perlu
dipertimbangkan untuk memahami gaya Asia (Asian Way). Haas sendiri menganggap
ungkapan Asian Way atau Asian Values dapat dirunut dari ucapan salah seorang
pejabat Malaysia, yakni U Nyun. Haas menyatakan, “Tahap pertama terdiri dari
keyakinan umum dan orientasi terhadap manusia dan hubungan internasional. Tingkat
kedua terdiri dari praktek-praktek dan prosedur yang diikuti dalam situasi kongkret”.
Sementara itu Desmond Ball, pakar tentang Asia, mengidentifikasi faktor-faktor yang
fundamental bagi budaya Asia. Ball menyingkatnya dengan menyebutkan faktor
penghormatan terhadap hirarki dan otoritas, penghindaran konflik dalam hubungan
sosial, dan penekanan pada ketertiban dan harmoni. Tema tentang nilai Asia ini
memang menarik, sehingga David Hitchcock pun melakukan sebuah penelitian
langsung dengan mewawancarai kalangan eksekutif, akademisi, dan pakar di Asia
untuk merumuskan persoalan ini. Penulis buku Asian Values and The United States
ini akhirnya menemukan bahwa norma-norma Asia meliputi keluarga, rasa hormat
terhadap otoritas, komunitarianisme dan kerja sama, komitmen kuat terhadap
pendidikan, disiplin diri dan penghargaan terhadap ketertiban, “negara”, dan “generasi
tua”. Nilai Asia universal Gubernur Hongkong Chris Patten sebagai seorang praktisi
pemerintahan yakin bahwa apa yang disebut nilai-nilai Asia itu tidak khusus. Ia
berkeyakinan cara Asia dalam pengembangan sektor ekonomi adalah sama dengan
yang pernah berlangsung di Barat. Alasan pertama, faktor sangat penting dalam
kebangkitan Asia adalah keyakinan dalam hati dan pikiran ratusan juta warga Asia
bahwa hidup “dapat dan harus” dikembangkan untuk mereka dan keluarga. Dalam
artikelnya Is There an ‘Asian Way’?, penjelasan teknis bagaimanapun dan kekuatan
ekonomi apa yang mendorong keberhasilan Asia adalah tekad untuk memperbaiki
keluarga dari kepapaan dan kemiskinan menuju kehidupan yang lebih baik (Survival,
1996). Alasan kedua keberhasilan ekonomi adalah kebebasan ekonomi (economic
liberty). Patten melihat, meskipun banyak pemerintahan jauh dari sikap toleransi
terhadap kebebasan sipil dan politik, banyak pula yang mengakui perlunya
memberikan kebebasan ekonomi kepada warga negaranya. Patten menilai, faktor
kedua ini yang menjadi kunci keberhasilan ekonomi abad yang lalu, namun harus
mempelajari hal baru dari fenomena Asia. Apa yang membuat ekonomi Asia sukses
adalah jika pemerintah menghambat perusahaan dengan pajak tinggi, pasar kelas dua,
dan mendistorsi ekonomi dengan subsidi dan kontrol, sehingga membuat ekonomi
tinggi. Dengan kata lain, masyarakat hidup dengan ekonomi biaya tinggi, namun
hidup dengan standar lebih rendah dan pelayanan umum yang tak memadai. Ini bisa
berati pula, kata Patten, pengusaha kurang kompetitif di pasar global dan kurang
menarik minat investasi dari luar. Alasan ketiga bagi keajaiban ekonomi adalah
perdagangan bebas (free trade). Keyakinan terhadap kemajuan dan kebebasan
ekonomi telahmembawa masyarakat Asia dalam jalan menuju kemakmuran. Namun
menurut Patten, yang lebih penting lagi justru perdagangan bebas. Akses ke Amerika
Utara dan Eropa Barat memungkinkan pertumbuhan cepat setelah Perang Dunia II
berakhir. Akhirnya ia menyimpulkan bahwa tiga alasan itu dapat disingkat sebagai
keyakinan akan kemajuan, keyakinan akan economic liberty (kebebasan ekonomi),
dan keyakinan akan perdagangan bebas. Dari seluruh alasan itu, Patten menilai bahwa
tak ada yang bisa dikategorikan nilai Eropa atau Amerika. Keyakinan itu bagian dari
sejarah revolusi industri Eropa sehingga bersifat univesal. Nilai Asia unik Anggapan
bahwa nilai Asia unik muncul terutama dari para pemimpin dan pakar asal Asia.
Gagasan ini sendiri mulai menonjol pertengahan 1980-an. Kemudian awal 1990-an
dari berbagai pidato dan tulisan para pemimpin dan tokoh Asia, kajian dan
kepercayaan terhadap nilai-nilai Asia sebagai “bahan bakar” pertumbuhan ekonomi
semakin gencar. Pada umumnya mereka menyerukan agar kembali kepada nilai-nilai
tradisional yang sama bagi masyarakat Asia. Mereka juga menonjolkan perbedaan apa
yang disebut nilai Asia dan Barat. Sejumlah pakar Jepang berusaha untuk
merekonseptualisasi dan memodernisasi nilai-nilai Asia. Misalnya pakar bernama
Yoichi Funabashi beranggapan bahwa kawasan ini bukannya “di-Asiakan kembali”
(re-Asianised), namun sedang “di-Asiakan” (Asianised). Funabashi menilai, bukannya
kembali kepada nilai-nilai dan prakteklama, namun menciptakan “benih baru sivilisasi
campuran yang subur”, di mana akan muncul “sivilisasi Cina dan Indo-Cina
dikombinasikan dengan Jepang dan Amerika menjadi satu”. Sejalan dengan argumen
itu, muncul tulisan para pejabat dan pakar Cina. Li Xianglu yakin, Asia Timur
memeluk nilai-nilai Kong Hu Cu, di mana dukungan terhadap kerja keras, hemat,
kesalehan, dan kebanggaan nasional” telah mendorong pertumbuhan ekonomi. Peran
nilai Asia Dari perdebatan pro-kontra apakah nilai-nilai Asia itu universal atau khas,
tampaknya fokusnya terlalu disoroti pada konsep-konsep yang berkaitan dengan
budaya, agama, sosial, dan ekonomi, bukan pada peran nilai-nilai itu bagi
pertumbuhan ekonomi. Sentralitas perhatian bangsa-bangsa di Asia terhadap
pentingnya keluarga atau ikatan kekeluargaan hampir memiliki kesamaan, mulai
Jepang di belahan utara sampai Indonesia di selatan. Lee Kuan Yew sangat percaya
bahwa keluarga dan keutuhan keluarga menjadi sentral dalam kehidupan masyarakat
Asia. Demikian pula tatkala menjalankan praktek ekonomi, sulit melepaskan diri dari
kultur seperti ini. Bahkan ketika Singapura semakin makmur pun Lee masih
menekankan bahwa ikatan keluarga menjadi pilar utama kesejahteraan masyarakat.
Praktek yang lahir dalam kegiatan ekonomi berupa kultur senioritas yang kuat dalam
bidang usaha. Senioritas ini melahirkan ketertiban dan keharmonisan, karena generasi
baru tidak berusaha mematahkan ta-tanan yang sudah tercipta pendahulunya.
Beberapa aspek penting nilai yang ada di Asia seperti penghematan, bersahaja, dan
kepercayaan akan nasib ikut mempengaruhi seperti halnya nilai-nilai “tidak
produktif” yang disebutkan PM Mahathir berupa feodalisme, anti materialisme yang
berlebihan, dan perbedaan otoritas berlebihan, yang ikut mempengaruhi pola dan arah
pertumbuhan ekonomi. Akhirnya dapat disimpulkan sementara bahwa, betapapun
nilai-nilai Asia itu memiliki ciri universalitas namun juga kekhasan tertentu. Nila-nilai
Asia hidup bukan di ruang yang vakum, sehingga pengaruh Barat pun tak
terhindarkan lagi. Pengaruh luar itu memang diadaptasi sesuai dengan kapasitas
kulturnya, sehingga tidak serta merta berubah total. Nilai-nilai yang dibantu Asia itu
pun cukup berperan dalam membentuk dan menggerakkan mesin ekonomi negara-
negara di Asia. Namun tidak semua nilai-nilai Asia memberikan dukungan terhadap
pertumbuhan ekonomi seperti halnya tidak semua nilai-nilai non Asia berpengaruh
buruk bagi iklim ekonomi Asia. (asep setiawan)

KOMPAS, Selasa, 11-03-1997. Hal. 22. Foto: 1

ASEAN 30 TAHUNASEAN PENYUMBANG STABILITAS ASIA PASIFIK

DI kawasan Asia Pasifik, sumber instabilitas yang sering disebut-sebut adalah


Semenanjung Korea Utara (Korut). Di kawasan ini, warisan Perang Dingin masih
hidup. Jurang ideologi antara komunisme radikal dengan kapitalisme masih terlihat
jelas. Korut dan Korsel secara resmi masih berada dalam keadaan perang. Selain itu,
Jepang, yang menjadi negara besar di kawasan Asia Timur, juga resminya masih
dalam keadaan perang dengan Uni Soviet dan pewarisnya Rusia. Meskipun hubungan
kedua negara relatif mulus, tapi isu Kepulauan Kuril masih jadi penghambat utama
hubungan kedua negara. Sebaliknya kawasan Asia Tenggara dengan kehadiran
ASEAN telah dilihat sebagai kawasan yang makin stabil sejak berdirinya ASEAN
tahun 1967. Stabilitas telah menjadi ciri utama ASEAN. Kata kunci ini mengingatkan
pada trilogi pembangunan Indonesia yakni stabilitas politik, pertumbuhan dan
pemerataan. Dengan jumlah penduduk sekitar 300 juta dan sekitar 200 juta tinggal di
Indonesia, Asia Tenggara memiliki peran penting dalam memberikan sumbangan bagi
stabilitas tak hanya di kawasan ini tapi juga Asia Pasifik. Digunakannya konsep (Zone
of Peace, Freedom and Neutrality) ZOFPAN dan dikukuhkannya Southeast Asia
Nuclear Weapon Free Zone (SEANWFZ) telah memberikan ciri dukungan ASEAN
terhadap stabilitas keamanan regional. ***

KITA lihat saja dalam masalah konflik Kamboja yang menyita energi ASEAN sangat
besar. Banyak pengamat menilai, konflik Kamboja tak lain dari perpanjangan
kepentingan negara-negara besar yang terlibat dalam Perang Dingin tahap kedua di
Asia Pasifik. Perang saudara di Kamboja yang ditandai dengan penggulingan Raja
Norodom Sihanouk oleh berbagai unsur kekuatan pro AS di bawah pengaruh Jenderal
Lon Nol tahun 1970. Di belakang Lon Nol adalah Dinas Intelijen Amerika Serikat,
CIA. Lo Nol digulingkan Khmer Merah yang akhirnya dipimpin Pol Pot. Kehadiran
Khmer Merah mewakili Cina, salah satu negara besar. Tahun 1978, pasukan yang
antara lain melibatkan Hun Sen menyerbu masuk Kamboja dari Vietnam. Vietnam
saat itu banyak dinilai dipengaruhi Uni Soviet. Kehadiran Uni Soviet di Kamboja
membuat gerah AS. Melalui Thailand, Washington berharap akan ada perimbangan.
Jadi konflik Kamboja yang diakhiri dengan penandatanganan perdamaian di Paris
tahun 1991, tak lain daripada perpanjangan perang Cina, Rusia dan AS. ASEAN
menunjukkan identitasnya dengan mengetengahkan bahwa konflik regional harus
diselesaikan secara regional bukan oleh kekuatan asing. Setelah melalui liku-liku
diplomasi yang rumit dan menegangkan, Indonesia dan Perancis menjadi ketua
bersama dalam menggulirkan penandatanganan perdamaian di Paris. Berakhirnya
perang di Kamboja yang melibatkan kekuatan asing menandai dimulainya era
perdamaian di Asia Tenggara. Perdamaian itu pun tercipta karena ditopang oleh
prakarsa ASEAN. Konflik yang bisa diselesaikan ini telah mendorong iklim
pertumbuhan ekonomi yang menjadi ciri kawasan Asia Timur. Malaysia, Indonesia,
Singapura, Thailand dan kemudian Filipina adalah “macan-macan muda” Asia yang
mencengangkan Eropa dan AS dengan pertumbuhan yang mengesankan. Di sini
terbukti bahwa, stabilitas yang diusahakan ASEAN secara langsung berpengaruh
terhadap meluasnya kemakmuran di tengah tengah bangsa Asia Tenggara. ***

TIDAK cukup dengan perdamaian di Kamboja, ASEAN melangkah lebih dengan


menyentuh hal-hal yang bertetangga secara fisik seperti Laut Cina Selatan. Ketika
konflik Kamboja berakhir, banyak yang memperkirakan Laut Cina Selatan (LCS)
sebagai kawasan berikutnya yang jadi ajang konflik. Indonesia memulai dengan
lokakarya Pengelolaan Potensi Konflik diLaut Cina Selatan tahun 1990 di Bali.
Kemudian berturut-turut di Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Bukittinggi, Balikpapan,
dan terakhir di Batam (1996). Serangkaian lo-kakarya yang dihadiri para ilmuwan dan
pejabat dalam kapasitas pribadi ini memberikan sumbangsih tak sedikit terhadap
pentingnya penyelesaian damai di LCS. Tahun 1992, ASEAN untuk pertama kalinya
menggunakan hasil lokakarya di Bandung, yakni ditempuhnya penyelesaian damai
dalam konflik di Kepulauan Spratly dan Paracel. ASEAN mendesak agar tidak
ditempuh jalan kekerasan di kawasan yang mengandung cadangan minyak dan
mineral itu. Meskipun sampai sekarang, mekanisme penyelesaian secaraformal belum
tercapai namun pandangan ASEAN tentang perlunya jalan damai ditempuh dalam
klaim tumpang tindih kedaulatan di Laut Cina Selatan sudah menunjukkan betapa
pentingnya kawasan itu bagi stabilitas regional. Mengapa demikian? Empat anggota
ASEAN - Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina dan Vietnam - terlibat langsung
dalam konflik teritorial dengan Cina dan Taiwan. Jika pecah konflik terbuka seperti
antara Cina dan Vietnam tahun 1988, terbuka pula intervensi asing yang bisa
mengakibatkan instabilitas di kawasan yang sedang tumbuh pesat ini. ***

GAYA ASEAN untuk menyumbangkan stabilitas di kawasan Asia Pasifik juga


terlihat dari terbentuknya ASEAN Regional Forum (ARF). Forum yang biasanya
berlangsung pada pertemuan tahunan menlu ASEAN dan pertemuan ASEAN dengan
mitra dialog ini bisa merangkul AS, Cina dan kemudian Rusia pada satu forum dialog.
Bermula dari kerja sama ekonomi, sosial dan budaya, ASEAN meluas untuk
membahas isu politik-keamanan Asia Pasifik yang semula sulit dicari forumnya.
Persaingan AS-Cina dan Uni Soviet masih berpengaruh dalam tatanan di Asia Pasifik.
Namun ASEAN dengan gaya diplomatik yang low profile mampu menampung
negara-negara besar itu untuk membahas masalah keamanan. ARF kini menjadi
sebuah forum yang secara terbuka membahas masalah-masalah keamanan tanpa
terjatuh pada retorika Perang Dingin. Secara tak langsung, pembicaraan soal-soal
peka ini dapat menumbuhkan saling percaya untuk memelihara stabilitas politik dan
keamanan di Asia Pasifik. Menyebut-nyebut perlunya penyelesaian damai, saling
percaya dan menghindari alat kekerasan - yang jadi pilar Perjanjian Persahabatan dan
Kerja Sama (TAC = Treaty of Amity and Cooperation) dalam ASEAN - memberikan
dampak psikologis pada para politikus dan pengambil kebijakan di bidang militer
negara-negara Asia Pasifik. Secara psikologis juga, ASEAN memberikan pengaruh
bahwa model di Asia Tenggara ini bisa dijadikan rujukan dalam menangani masalah
pelik dan rawan seperti terjadi di Kamboja dan menghadapi tantangan baru. ASEAN
telah ikut andil dalam memelihara salah satu jalur yang sangat vital bagi pertumbuhan
ekonomi kawasan Asia.

KOMPAS, Jumat, 08-08-1997. Hal. 4

KARENA KRISIS, NILAI-NILAI ASIA MENDAPAT UJIANADALAH wartawan


International Herald Tibune (IHT) Michael Richardson yang mulai mengungkit-
ungkit lagi perdebatan lama tentang unik dan tidaknya nilai-nilai Asia dalam krisis
ekonomi sekarang. Di harian IHT edisi 15 November lalu, ia mengajukan pertanyaan
apakah pemerintahan demokrasi liberal atau sistem lebih otoritarian yang lebih baik
dalam mempertahankan pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang? Empat
negara Asia Tenggara - Thailand, Malaysia, Indonesia dan Filipina - ditimpa musibah
jatuhnya nilai mata uang mereka terhadap dollar Amerika Serikat (AS). Keempat
negara itu dan beberapa negara Asia lainnya berbeda sistem politiknya. Namun
sebagai bagian dari Asia, karakter dan dinamikanya tak lepas dari “jiwa” Asia.
Merosotnya nilai mata uang itu sangat besar artinya. Perusahaan swasta dan negara
yang tergantung pembayaran utangnya pada dollar sangat terpukul. Di sinilah karakter
bangsa Asia yang tercermin dari empat negara itu diuji keandalannya. Sebenarnya
krisis moneter itu tak hanya menimbulkan penderitaan di Asia Tenggara. Namun
dampaknya menyebar sampai Hongkong saat pasar modalnya diguncang krisis, Korea
Selatan dengan ekspansi konglomerat dan Dana Moneter Internasional (IMF) yang
dipanggil bantuannya. Bahkan Jepang juga dilanda getaran itu dengan bangkrutnya
perusahaan sekuritas Yamauchi. Pertanyaan yang dilontarkan Richardson memang
khas bagi mereka yang dibesarkan dalam alam pikiran Barat. Selalu timbul gugatan
apakah kemajuan di Asia itu memang oleh karena nilai-nilai Asia yang tercermin
dalam pemerintahan atau kehidupan sosialnya atau memang karena pengaruh Barat
dengan nilai-nilai demokrasi liberalnya plus sistem ekonomi kapitalisnya. ***

SEBAGIAN para pemimpin Asia seperti PM Malaysia Mahathir, Deputi PM


Malaysia Anwar Ibrahim dan mantan PM Singapura Lee Kuan Yew berpendapat,
Asia memiliki nilai-nilai yang berbeda dari nilai yang dibawa Barat. Lee dengan jelas
mencontohkan sifat kekeluargaan dan musyawarah sebagai salah satu identitas yang
membedakan kultur Barat yang didominasi dengan kebebasan individu dan demokrasi
liberal. Senioritas dan hormat kepada orang tua juga termasuk hal yang menonjol
dalam budaya Asia. Banyak pengamat Barat beranggapan, nilai-nilai Asia yang dibela
para pemimpin Asia itu mengalami batu ujian sangat berat. Bagi Mahathir sendiri
krisis ini sangat meresahkannya karena setelah bekerja keras untuk mendongkrak
pendapatan per kapita rakyat negaranya, dalam tempo singkat para spekulan uang
merontokkannya. Dapat dimengerti betapa ia sangat marah dengan manajer investasi
seperti George Soros. Padahal Mahathir sendiri sangat mengharapkan Malaysia
memasuki standar sebagai negara maju pada 2020 nanti. Semua rencana telah dibuat
kecuali satu, rencana darurat menghadapi krisis yang memperlambat pertumbuhan
ekonomi. Mantan Gubernur Hongkong Chris Patten menyebut nilai-nilai Asia itu
didasarkan pada tiga proposisi utama (Jurnal Survival, 1996). Pertama, tradisi Kong
Hu Cu di Asia yang menekankan penghargaan pada otoritas, kewajiban kolektif atas
hak-hak individual dan pentingnya keluarga sebagai basis unit organisasi sosial.
Kedua, masyarakat Asia sedang mengembangkan bentuk pemerintahan sendiri
dengan mempertahankan tradisi konsensus dan menghormati otoritas. Menurut Chris
Patten, argumentasi ketiga adalah rendahnya tingkat kejahatan, rendahnya tingkat
ketergantungan kesejahteraan kepada negara, rendahnya tingkat perceraian di banyak
negara Asia yang berbeda dari Barat umumnya dan khususnya AS. Anwar Ibrahim
menyebutnya nilai Asia adalah kombinasi pencerminan agama Hindu, Islam dan
Kong Hu Cu. ***

“NILAI-nilai Asia pada dasarnya adalah demokrasi yang defisit dan ekonomi
surplus,” kata David Roche, direktur pelaksana Independent Srategy Ltd, sebuah
perusahaan konsultan investasi. Kemudian ia meramalkan, “Keduanya kini memiliki
defisit, itulah kesulitannya. Anda memiliki lembaga-lembaga politik yang kurang
dewasa dan struktur partai yang tunggal, tak mampu memperdebatkan banyak kasus,”
lanjutnya seperti dikutip IHT. Lebih jelas ia menekankan, “Demokrasi adalah alat
yang hebat untuk mencapai konsensus dan mendukung kebijakan yang tegas.”
Penilaiannya mengingatkan bahwa lembaga-lembaga politik yang bisa menopang
kemajuan dan pertumbuhan mesin ekonomi itu sedang mengalami “turun mesin”.
Situasi ini memang menyakitkan karena tidak hanya bertaruh soal apakah mata uang
Asia bisa mengimbangi lagi dollar AS atau kembali ke jalur cepat pertumbuhan, tetapi
juga soal kredibilitas karakter dalam menghadapi kesulitan ekonomi ini. Apakah jalan
pintas yang diambil para pemimpin Asia tanpa memperdulikan urun pendapat dari
berbagai lapisan masyarakat. Bila melihat ke belakang memang pertumbuhan macan-
macan Asia ini mengagetkan Barat. Banjirnya barang-barang Asia, tak hanya datang
dari Jepang, Hongkong, Korea Selatan, Taiwan dan Singapura tetapi juga dari
Indonesia, Malaysia, Thailand dan kemudian akhirnya Filipina. Jika pertumbuhan
negara-negara Eropa rata-rata tak lebih dari dua persen, maka kawasan Asia
mengalami booming ekonomi dengan pertumbuhan antara 6-12 persen. Jika
momentum pertumbuhan ini dipertahankan, Malaysia berani meramal pada 2020 akan
menjadi negara maju, sejajar dengan Barat sekarang. ***

BAGI negara-negara Barat, krisis ini secara tidak langsung membangkitkan lagi
peluang masuk untuk mempengaruhi proses pembangunan ekonomi dan politik Asia.
Bantuan International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia takkan lepas dari
paradigma penyelesaian ekonomi rasional ala Barat. IMF datang ke Thailand
membawa 17,2 milyar dollar, ke Indonesia 23 milyar dollar AS sedangkan Korea
Selatan diberikan “bantuan” darurat sekitar 20 milyar dollar. Persoalannya, kebijakan
yang dikeluarkan lembaga keuangan internasional itu akan memaksakan nilai-nilai
atau bahkan tradisi ekonomi-politik yang telah hidup mapan dalam periode
pertumbuhan. Di satu sisi, resep IMF atau lembaga keuangan Barat akan menjadi
penyembuh kemelut finansial negara-negara Asia dalam jangka pendek. Kepercayaan
investor asing akan bangkit kembali. Di sisi lain, kedatangan mereka seolah-olah
sebuah pesan Asia tak bisa menandingi ekonomi pasar Barat. Dengan kata lain,
jangan bertepuk dada dengan “nilai-nilai Asia” yang memelihara pertumbuhan itu tapi
sekarang jatuh gara-gara tidak menguasai pasar uang internasional dan fundamental
ekonominya rapuh. Tak mengherankan, PM Mahathir sampai bisa menganalisis,
jangan-jangan ada “konspirasi” kelompok tertentu di Barat untuk memperlambat laju
pertumbuhan ekonomi Malaysia, Indonesia dan beberapa negara Asia lainnya.
Bahkan ada kecurigaan pula konspirasi itu akan menjatuhkan perekonomian di
kawsan Asia Tenggara khususnya dan Asia umumnya. Di sinilah masuk dimensi
politik internasional yang menentukan jalannya pembangunan ekonomi Asia. Anwar
Ibrahim dalam bukunya The Asian Renaissance (1996) bahkan menilai, produk murah
Asia tak hanya ancaman bagi hegemoni industri Barat tapi juga perasaan jiwanya.
Bahkan, tulis Anwar, ada yang melukiskan produk Asia sebagai ancaman menakutkan
bagi gaya hidup Barat saat ini bahkan terhadap peradaban Barat itu sendiri. Sebab
itulah “keajaiban” Asia Timur menjadi “mimpi buruk” bagi Barat. Mana yang benar
antara “teori konspirasi” atau akibat alamiah dari persaingan pasar, yang pasti sistem
pemerintahan di Asia serta nila-nilai Asia mendapat ujian. Banyak hikmah yang
diperoleh dari krisis ekonomi di Asia yang akhirnya justru bisa menguatkan landasan
untuk “menguasai” pertumbuhan ekonomi abad ke-21. Resepnya tentu menggali
kekuatan nilai-nilai Asia itu untuk tetap proaktif menilai masa depan termasuk di
dalamnya segala macam hambatan yang terlihat maupun terselubung, baik hambatan
dari dalam Asia sendiri ataupun dari kelompok yang tak menghendaki Asia “merajai”
pasar dunia.

KOMPAS, Minggu, 30-11-1997. Hal. 3. Foto: 1TIGA REVOLUSI DUNIA YANG


MENGGESER POLA LAMA

MEROSOTNYA nilai mata uang sejumlah negara Asia terhadap dollar Amerika
Serikat (AS) sangat “menyakitkan” kawasan ini. Tanpa “dosa”apa-apa tiba-tiba
sebagian besar rakyat menjadi lebih miskin dari sebelumnya karena krisis moneter itu.
Seiring dengan kenaikandollar AS, harga-harga barang dan jasa pun membumbung
tinggi tanpa diketahui lagi kapan berakhirnya. Semua akibat itu tak lain karena
ekonomi negara-negara yang dulu disebut “macan-macan Asia” sudah mengglobal.
Industrialisasidan keterbukaan terhadap ekonomi pasar yang menjadi andalan ajaran
kapitalisme telah dirasakan buah pahitnya oleh negara-negara yang semula berada di
pinggiran ini. Kalau meminjam istilah Johan Galtung (University of Oslo) dalam
artikelnya Suatu Teori Struktural tentang Imperialisme maka perasaan kesal dan
kecewa itu yang dirasakan Asia sekarang diakibatkan “kekejaman struktural”.
Penguasa dan pengendali struktur itu yang tak lain AS dan negara-negara Eropa Barat
akan berusaha mengendalikan negara-negara periferal yang baru berkenalan dengan
sistem kapitalisme. Jika sebelumnya “buah manis” kapitalisme itu telah mendorong
pertumbuhan tinggi di kawasan Asia, maka kini konsekuensi ekonomi pasar ini telah
menimbulkan keguncangan sosial dan politik. Di sinilah tampak apa yang disebut
revolusi gagasan ekonomi pasar telah menimbulkan korban karena tidak peduli
terhadap sisi-sisi berbahaya ekonomi pasar. Swasta dan pemerintah yang mengutang
tanpa kontrol akhirnya menjadikan banyak negara Asia nyaris bangkrut kalau tidak
dibantu Dana Moneter Internasional (IMF), sebuah perangkat lembaga keuangan
bagian dari ajaran ekonomi pasar. Kekuatan pasar yang telah memaksa ekonomi
negara-negara Asia untuk menyusun ulang perkiraan pertumbuhannya itu tak lain
akibat dari mewabahnya perdagangan bebas, jargon yang didengung-dengungkan AS
dan sahabatnya. Resep inilah yang telah membius banyak praktisi dan teoretisi bahwa
dengan ekonomi pasar adalah jalan yang harus ditempuh menuju kemajuan. Dalam
kaitan itulah, maka perkiraan sebuah lembaga pemikiran asal AS akan adanya tiga
macam revolusiyang berjalan saat ini layak disimak.

Revolusi geostrategis Dalam sebuah laporan berjudul Strategic Assessment 1997 yang
diterbitkan Institute for National Strategic Studies (INSS), AS menyebutkan di dunia
ini telah terjadi perubahan-perubahan strategis. Di antaranya, pola Perang Dingin
sedang digantikan oleh hubungan multiporal asimetris di mana AS sebagai negara
paling kuat yang mengendalikan jaringan internasional (lihat skema). Meskipun
demikian kekuatan negara lain penting karena berpengaruh di masing-masing
kawasan. Salah satu perkembangan menarik dari perubahan geostrategis global seperti
diuraikan dalam laporan tersebut adalah kemenangan gagasan demokrasi dan
ekonomi pasar (democracy market). AS melihat bahwa gagasan itu diterima di mana
pun di dunia, kecuali di Cina, sebagai cara terbaik dalam memimpin masyarakat. Oleh
sebab itulah maka INSS membagi tiba kategori negara. Pertama, negara sukses
melaksanakan tujuan demokrasi pasar. Kedua, negara yang sedang dalam transisi dari
otoritarianisme menuju demokrasi pasar namun berisiko membeku dengan ekonomi
politik dan sebagian sistem politik bebas. Ketiga, negara-negara bermasalah yang
tertinggal dari negara lainnya dan bahkan banyak berjuang untuk keluar dari
ekstremisne etnik dan religius dan mungkin krisis separatisme. Patut dicatat fenomena
dari kemitraan strategis antara AS dan Cina serta Cina dan Rusia. Kemitraan ini
secara langsung telah mengeluarkan Cina dari isolasionisme dunia menjadi lebih
terbuka terhadap respons dunia. Bahkan muncul pendapat, dengan kemitraan itu Cina
takkan lagi berubah menjadi ekstrem karena tidak merasa frustrasi dengan apa yang
dinamakan oleh AS sebagai politik pembendungan Cina.

Revolusi teknologi informasi Perkembangan teknologi informasi memang sudah


dirasakan sebagian besar lapisan masyarakat di planet bumi ini. Komputer, faksimile,
kabel optik fiber, telepon genggam, siaran televisi yang global serta satelit telah
mempercepat aliran informasi menembus batas-batas negara tanpa bisa dihentikan.
Oleh karena itulah revolusi ini mempercepat penyebaran gagasan-gagasan politik
yang semakin membuka mata masyarakat. Sejauh ini sulit diramalkan akan ke mana
arah revolusi bidang teknologi ini. Namun satu hal yang jelas bahwa akses terhadap
teknologi informasi telah menjadi syarat bagi pertumbuhan ekonomi terutama di
negara-negara maju. Data tentang utang yang jatuh tempo di sejumlah negara Asia
telah dimanfaatkan pialang perdagangan mata uang di Barat seperti George Soros
untuk mengeruk keuntungan dari krisis moneter ini. Di sisi lain, kemajuan
komunikasi global ini telah menjadi pintu gerbang bagi lalu lintas kepentingan,
budaya dan nilai-nilai dari Barat ke Timur dan sebaliknya. Namun seperti terlihat di
berbagai negara, superioritas budaya dalam bentuk produk makanan, musik, novel,
dan film telah mengalahkan budaya lain di sebagian negara seperti “macan-macan
Asia”. Di samping itu, ketersediaan informasi yang berlimpa ruah, terutama karena
adanya jaringan Internet, telah merusak kemampuan pemerintah totaliter untuk
mengontrol apa yang didengar, dibaca dan dilihat masyarakat. Kelompok-kelompok
yang tidak puas atau bahkan kelompok pembangkang memiliki banyak saluran untuk
menyampaikan aspirasinya. Tidak mengherankan, pada masa mendatang, akibat
pesatnya teknologi informasi, perang di medan tempur tak lain dari pertempuran
berbasiskan informasi. Sudah banyak yang meramal bahwa pertempuran mendatang
banyak melibatkan komputer, jaringan Internet, satelit dan telepon satelit. Program-
program komputer baik yang berupa virus dan sistem keamanan bakal menjadi ukuran
dari kekuatan sebuah negara. Mantan PM Inggris Margareth Thatcher pun pernah
membandingkan jika pada era Perang Dingin, tumpukan mesiu dan nuklir jadi
andalan, maka pada pasca-Perang Dingin ini senjatanya adalah mata uang, modal dan
teknologi.

Revolusi dalam pemerintahan Berbeda dengan lima dekade lalu, wilayah kontrol
negarakini sedang menyusut. Di banyak negara maju, kekuasaan dialihkan ke
pemerintahan regional atau lokal. Bahkan ada pula yang diserahkan ke sektor swasta,
terutama dalam penguasaan sumber daya alam, dana dan manusia. Fenomena ini telah
memperkuat kecenderungan menuju masyarakat pluralis. Berkurangnya kekuasaan
pemerintah ini terlihat seperti di Rusia, AS, Uni Eropa dan mungkin Cina. Pemerintah
pusat cenderung memindahkan lebih banyak otoritasnya ke pemerintah lokal atau
regional. Berkurangnya fungsi pemerintahan pusat ini antara lain karena
berkurangnya anggaran dan mungkin pula karena krisis anggaran di banyak negara.
Tidak mengherankan jika banyak terjadi swastanisasi perusahaan negara seperti di
Rusia dan Cina. Alasannya, meningkatkan efektif dan efisensi sehingga bisa
menggenjot pertumbuhan ekonomi. Kekuatan bisnis internasional juga telah
meningkatkan kekuatannya dalam berhadapan dengan pemerintahan. Namun
demikian tentu saja dalam saat-saat tertentu seperti selama perang, kemampuan
pemerintah memobilisasi berbagai sumber untuk mendukungkepentingan nasionalnya
masih bisa diandalkan.

Hubungan kekuatan besar Menurut analisis telah terjadi tiga perubahan cepat dalam
dekade ini dan hal ini sepertinya banyak menguntungkan negara adidaya seperti AS.
Dalam skema hubungan antarkekuatan besar terlihat AS masih berada di poros, tidak
seperti pada Perang Dingin dengan dua poros. Salah satu kecenderungan yang muncul
adalah, AS akan senantiasa mempertahankan kekuatannya dengan jalan apa pun
meskitentu mengorbankan sekutunya. Berbagai perkiraan bahwa Cina dan Rusia
masih berusaha untuk mengimbangi atau mengejar ketinggalannya akan dipandang
Washington sebagai ancaman. Tentu saja di sini berlaku sebuah aturan di mana
negara yang bisa menguasai sumber-sumber strategis maka ia akan menguasai masa
depan. Sejauh ini AS paling siap dengan masa depan apalagi dengan krisis moneter
seperti sekarang, kekuatan-kekuatan baru di Asia makin sulit mengejar
ketinggalannya. 28/12/97

ABAD ASIA-PASIFIK JADI TERTUNDA

RAMALAN akan datangnya Abad Pasifik pada abad ke-21 telah menjadi
perbincangan jauh-jauh hari sebelum booming ekonomi di kawasan ini.Prakiraan itu
terutama didasarkan pada sumber daya alam, sumberdaya manusia (dua pertiga
manusia hidup di Asia), dan potensi yang terkandung di keduanya. Padahal seperti
kita lihat sekarang, yang paling menentukan dalam kemajuan suatu bangsa bukannya
jumlahnya tetapi kualitasnya. Dengan kata lain, kekuatan sumber daya alam terutama
daya kreasi, inovasi dan analisisnya telah menjadi andalan di atas semuanya. Modal
intelektual (intelectual capital) itulah yang banyak dibahas saat ini. Makanya pakar
manajemen Peter Drucker (Post-Capitalist Society) sangat yakin bahwa ekonomi
masa depan adalah ekonomi pengetahuan. Artinya semua aktivitas ekonomi
merupakan aktivitas padat ilmu. Kuncinya ada dalam kehandalan sektor pendidikan.
Di samping soal sumber daya dan sumber alam, juga terlihat bahwa hampir semua
negara besar masa kini dan mendatang, terletak atau bersinggungan dengan kawasan
Asia-Pasifik. Amerika Serikat, Cina, Rusia dan Jepang serta macan-macan baru Asia
semuanya berada dalam ceruk Pasifik. Inilah yang menjadi dasar mengapa Abad
Asia-Pasifik akan munculdi suatu hari di masa depan. Namun dengan krisis moneter
yang menghempaskan kepercayaan diri sebagian dari negara-negara Asia maka
timbul pertanyaan apakah benar Asia dengan “nilai-nilainya” yang bisa menyaingi AS
dan Barat bisa tumbuh berkembang? Dengan kata lain apakah Abad Asia-Pasifik itu
akan datang lebih cepat atau lebih lambat atau takkan muncul selamanya karena
keinginan AS mempertahankan hegemoninya di ekonomi, politik dan militer global?

***
MARK Borthwick dalam buku berjudul Pacific Century mencatatadanya kekuatan
Jepang sebagai salah satu motor perkembangan ekonomi di kawasan ini. Namun ia
pun melihat bahwa, Jepang yang jadi motor ini juga tergantung kepada AS. Dalam
bagian lain ia melihat bahwamesin ekonomi Asia berkembang cepat juga karena
terbukanya pasar diEropa untuk ekspansi seperti terlihat dalam semangat ekspor
Korea, Hongkong dan Taiwan. Futurolog John Naisbitt dalam Megatrends Asia
(1996) atau dalam Megatrends 2000 (1990) sudah wanti-wanti, jika melihat masa
depan tengoklah Asia. Dengan berbagai angka dan argumen yang diajukan tentang
kekuatan Cina perantauan yang merupakan kekuatan super di Asia, Naisbit sampai
pada kesimpulan memang masa depan ini milikAsia. Pakar lain, Lester Thurow yang
menulis Changing The Nature of Capitalism dalam buku Rethinking The Future
(1997) mengulas bahwa masa depan ada tiga kekuatan: Asia (terutama Jepang) Eropa
dan Amerika Serikat. Merekalah yang bakal jadi pilar-pilar dunia. Namun seperti
diingatkan Deputi PM Malaysia Anwar Ibrahim dalam The Asian Renaissance
(1996), Barat ini alergi dengan produk danjasa dari Asia yang banjir ke Eropa dan
Amerika. Jadi jangan harap, supremasi ekonomi-politik bisa direnggut begitu saja dari
Barat (baca AS dan sekutunya) kecuali dengan kerja keras dan cerdas. Namun Anwar
menginginkan masa depan hubungan Asia dan Barat lebih didasarkan pada hubungan
yang sederajat dan bukan rivalitas. Dengan demikian peradaban-peradaban besar ini
berlomba memberikan sumbangsih pada peradaban dunia, bukannya bernafsu ingin
mendominasi seperti terlihat dari perilaku negara besar saat ini.

***

BILA kita lihat angka-angka ramalan pertumbuhan ekonomi yang dikeluarkan IMF
misalnya, betapa suramnya masa depan macan-macan ekonomi Asia Timur dan Asia
Tenggara ini. Pemulihan ekonomi ini disebut-sebut berlangsung paling cepat dalam
tempo dua tahun. Dengan beban utang yang Korsel sendiri akui sampai 200 milyar
dollar AS serta beban utang luar negeri Thailand, Indonesia dan Filipina cukup besar
maka di sini faktor struktur internasional yang dikuasai AS dengan mata uangnya
menjadi penentu masa depan kekuatan ekonomi di wilayah ini. Namun demikian ujian
berat yang datang dari anjloknya nilai mata uang ini tidak mengendurkan semangat
akan datangnya masa pencerahan asalkan syarat-syaratnya dipenuhi. Untuk menepis
skenario pesimis itulah, mantan PM Singapura Lee Kuan Yew menegaskan,
“Keajaiban Asia” takkan jadi “Penyakit Asia”. Ia yakin nilai-nilai Asia dengan
berbagai kekuatan dan kelemahannya mampu menjadikan kawasan Asia tetap
menjadi primadona ekonomi. Dengan optimis ia menegaskan, “Cina akan melebihi
AS dalam pengertian GNP pada abad ke depan. Ini saja bakal menggeser bobot
keseimbangan dunia dari Atlantik ke Pasifik. Krisis sekarang di Asia takkan
mengubah perspektif historis.” Itu pula yang dilihat Lina Sieg dari Reuters dalam
laporannya baru-baru ini. Abad ke-21 yang seyogyanya menjadi Abad Asia-pasifik
dengan pusat gravitasi global di kawasan ini karena “keajaiban ekonomi” selama ini
masih akan terwujud. Namun meskipun kawasan ini menderita gejolak mata uang dan
kebingungan finansial dan mungkin diikuti dengan guncangan ekonomi dan politik,
tetapi akhirnya akan pulih lagi dengan dinamisme baru. Jika memang sisi optimisme
digunakan untuk melihat lahirnya Abad Asia-Pasifik, maka boleh dengan mudah
ditebak masa itu akan tertunda. Penderitaan anjloknya pendapatan per kapita macan-
macan Asia sehingga membuat PM Mahathir Mohamad berang ini harapannya
berlangsung sementara sebelum matahari pertumbuhan ekonomi yang sehat terbit
kembali menyinari Asia-Pasifik. AS sendiri takkan bisa menghentikan laju ekonomi
Asia. Sebaliknya, skenario pesimisme memang masih muncul karena adanya suatu
kekhawatiran bahwa justru di dalam bidang politik-lah sejumlah negara yang cepat
tumbuh ini masih memerlukan reformasi terus-menerus sehingga apa yang sering
disebut-sebut sebagai “masyarakat madani” (Civil Society) tumbuh berkembang.
(sep) 28/12/97

Tarik Menarik Pada Isu Keamanan Regional

Masalah keamanan regional memang menjadi topik menarik dan banyak dibicarakan
dalam ASEAN Annual Ministerial Meeting (AMM) ke-25 di Manila yang dilanjutkan
dengan Post Ministerial Meeting (PMC), tanggal 21-26 Juli 1992. Pertemuan itu
membawa para partisipan dalam acara tarik-menarik masalah cara pembahasan
keamanan regional serta persepsi terhadap keamanan. Uniknya di antara anggota
ASEAN sendiri belum ada kesepakatan mengenai persepsi ancaman saat ini dan
bagaimana menghadapinya. Agaknya diperlukan proses pengendapan untuk saling
memahami posisi baru masing-masing. Tarik-menarik itu terjadi terutama setelah
Eropa Timur dan Eropa Tengah berubah secara mendasar ditambah dengan
berhentinya Perang Dingin. Tentunya keadaan ini menimbulkan beberapa
ketidakpastian, seperti memberi peluang pada terjadinya konflik-konflik yang
menjurus ke arah terjadinya perang. Walau diakui, perkembangan itu membawa
dampak positif bagi kawasan Asia Tenggara dan Asia Pasifik, khususnya di bidang
ekonomi. Menlu Belgia Juan Abel Matutes sebagai Wakil Komisi ME mencatat,
situasi ini justru membuka peluang lebih besar bagi kerja sama perdagangan dan
memberikan suasana kompetitif. Bahkan Menlu Korea Lee Sang-Ock menilai,
kawasan Asia Timur dan Lautan Pasifik merupakan dua tempat yang memiliki
perkembangan saling ketergantungan ekonomi cukup tinggi. Khusus bagi ASEAN,
pada saat ini justru merupakan kesempatan baik untuk meningkatkan kerja sama dan
melupakan masa lalu, yaitu melirik dan memperhatikan ancaman besar pada stabilitas
dan perdamaian kawasan. Juga banyak disebut, dekade ini menjadi bagian dalam
mendekati kondisi sesuai kehendak Deklarasi ZOPFAN tahun 1971, yaitu kondisi
yang damai, bebas, dan netral.***

DI satu sisi, anggapan itu mungkin benar. Setidaknya itu menurut pandangan
Indonesia. Beberapa diplomat mengatakan, dalam situasi seperti ini, Indonesia
melihat peluang bagi keseimbangan baru dengan meletakkan pendekatan-pendekatan
baru bagi negara-negara besar. Bahkan Indonesia memandang, saat ini merupakan
kesempatan untuk menyelesaikan konflik dengan cara damai tanpa menggunakan
kekuatan militer dan kontak senjata. Namun ternyata, pandangan ini menimbulkan
situasi terjadinya tarik-menarik yakni untuk tetap bertumpu pada kemampuan
kawasan dengan menyandarkan diri pada kekuatan seperti AS. Karena pandangan itu,
Indonesia berpendapat pembicaraan keamanan regional harus dikembangkan dengan
landasan konsep ZOPFAN. Diakui, konsep ZOPFAN memang dicetuskan dalam
situasi yang berbeda dengan keadaan sekarang. Atau dengan kata lain, konsep itu
muncul saat Perang Dingin masih berlangsung dan Uni Soviet pun belum bubar.
Indonesia berkeras mengatakan, konsep itu masih bisa tetap berlaku. Alasannya,
ASEAN akan tetap memiliki keinginan hidup merdeka, damai, dan netral seperti yang
tercetus dalam konsep tersebut. Dengan pandangan ini, Indonesia yakin, konsep
ZOPFAN masih relevan. Pendapat ini agaknya didukung Malaysia dan Brunei
Darussalam. Menlu RI Ali Alatas menegaskan, tidak perlu lagi menciptakan wahana
baru untuk membicarakan dan mendiskusikan keamanan regional. Artinya, untuk
tingkat ASEAN, acara itu bisa ditampung melalui pertemuan pejabat tinggi atau SOM
(Senior Official Meeting) dan pertemuan tahunan Menteri ASEAN atau AMM.
Sedang dialog dengan rekan di luar ASEAN bisa dilakukan melalui ajang PMC.
Pendapat ini didukung Masyarakat Eropa (ME) yang diucapkan Menlu Inggris
Douglas Hurd dalam sambutan troikanya.

***

NAMUN, konsep itu ternyata tidak disepakati oleh Thailand, Filipina, dan terutama
Singapura. Pada pokoknya ketiga negara itu lebih melihat segi negatif ZOPFAN.
Ketiga negara itu memandang konsep ZOPFAN merupakan proses jangka panjang.
Dan yang lebih hebat lagi, mereka mengatakan ZOPFAN sudah tidak begitu relevan
dengan perkembangan zaman. Bahkan mereka pun tidak yakin pada kemampuan
ZOPFAN dalam menjamin keamanan dan stabilitas Asia Tenggara. Oleh karena itu,
mereka ingin membentuk kerja sama lebih luas yang mencakup kawasan Asia Pasifik,
khususnya dengan negara-negara besar. Hal itu dimaksudkan, agar interaksi dalam
kerja sama itu bisa mempengaruhi stabilitas keamanan kawasan. Masalah ini menjadi
bahan diskusi yang paling menarik dalam diskusi formasi 6+7 PMC. Pembicaraan itu
memang lalu tidak hanya masalah keamanan dalam pengertian militer, namun
mengarah pada keamanan dalam pengertian komprehensif yang menyangkut seluruh
aspek kehidupan seperti sosial, ekonomi, politik, lingkungan, ataupun kebudayaan.
Diskusi semakin hangat setelah Kanada mengusulkan membentuk forum dialog baru
tentang keamanan regional yang dinamakan “The North Pacific Cooperative Security
Dialog” atau NPCSD. Ide itu muncul setelah Kanada melihat perlunya kerja sama
yang kooperatif dalam bidang keamanan, terutama untuk mengatasi berbagai masalah
regional seperti sektor ekonomi, narkotika, lingkungan hidup, dan terorisme. Sambil
berjalan, diharapkan kerja sama itu menumbuhkan rasa saling percaya yang
dimungkinan dari pelaksanaan dialog informal yang konstruktif. Sementara itu pada
dasarnya Jepang setuju dengan pendapat Indonesia tentang penggunaan jalur PMC
untuk membicarakan keamanan regional. Namun Menlu Taro Nakayama memadang
jalur itu saja belum cukup. Menurut dia, pertemuan itu harus bisa menghasilkan
dialog politis tentang keamanan yang bisa dirasakan oleh seluruh partai. Untuk itu,
Jepang mengusulkan teknik “two-track”. Artinya, jalur yang menggabungkan
pendekatan sub regional dengan dialog politis dalam skala yang lebih luas. Jepang
menilai, dialog dengan commitment pendekatan sub regional hanya bisa mengatasi
masalah dalam satu kawasan. Sementara itu pada saat yang sama, diperlukan pula
dialog yang mencakup spektrum lebih luas dan melibatkan berbagai negara. PM
Jepang Miyazawa di Washington menekankan, dialog politis dalam skala yang lebih
luas ini penting karena pada kenyataannya dewasa ini telah hadir berbagai kerja sama
internasional dengan bermacam cara dan tujuan. Karena itu, Wakil Menlu Jepang
Koji Kakizawa dalam pertemuan PMC di Manila kali ini menegaskan, ASEAN perlu
memiliki forum dialog dalam skala yang lebih luas seperti itu. Menlu Korea Lee
Sang-Ock menambahkan, saat ini merupakan waktu yang tepat untuk menelaah
kembali cara-cara baru yang bisa digunakan sebagai forum mengkonsultasikan
keamanan regional. Walau tanpa menyebut satu bentuk yang jelas, Lee mengatakan,
forum itu penting mengingat adanya perubahan regional yang semakin kompleks.
Pendapat senada diungkapkan oleh Menlu Australia Gareth Evans. Pada prinsipnya,
Australia memandang keamanan regional harus didekati secara multi dimensional.
Artinya, menggunakan pendekatan yang melibatkan segi militer atau pertahanan serta
dimensi lain, seperti diplomasi, ekonomi, perdagangan, serta berbagai cara untuk
menghadapi ancaman. Pendeknya, Australia akan tetap menggunakan kebijakan
constructive commitment untuk kawasan Pasifik Selatan dan comprehensive
engagement untuk Asia Tenggara. Berakhirnya Perang Dingin antara AS dan Uni
Soviet yang pasti membawa perubahan pola politik dari bipolar ke arah multipolar.
Beberapa pengamat mengatakan, AS beberapa tahun terakhir ini telah mengubah
pendekatannya terhadap Asia, namun tetap memberi payung penangkal kepada
Jepang, Korea Selatan, dan Filipina. Bahkan memperluasnya. AS menegaskan
komitmennya untuk tetap hadir di Asia diantaranya melalui akses pangkalan militer
seperti yang dilakukan terhadap Singapura. Namun, di tengah perubahan pola politik
ini, tampaknya AS merasa terlalu berat dengan tanggung jawab keamanannya. Lalu
AS ingin membagi tanggung jawab itu dengan negara-negara Asia. Karena itu, AS
berharap negara-negara Asia mampu mandiri dalam menghadapi ancaman militer
lokal. Sementara itu, AS hanya akan bergerak bila ada ancaman lebih besar dan
potensial. Hanya, kehadiran AS dalam PMC ternyata semakin menjauhkan
pembicaraan dari pencapaian hasil maksimal. Hingga akhir pertemuan, tarik-menarik
ajang dialog ini tetap terjadi. Tidak ditemukan rumusan resmi tentang ajang atau
mekanisme dialog keamanan regional tersebut. Sumber Kompas menyebutkan, pada
umumnya setiap negara masih tetap dalam konstalasi pikiran masing-masing tentang
rumusan forum dialog keamanan regional. Namun pada umumnya, rata-rata
sependapat keamanan regional harus didasarkan pada rasa aman, tenteram, damai, dan
netral. Namun yang pasti, dari pertemuan PMC di Manila ini terungkap, seluruh
negara tetap menghendaki kehadiran Amerika di kawasan Asia baik secara fisik
maupun non fisik. “Demi keseimbangan,” kata mereka.*** (rien/sep/27/7/92)

Organisasi internasional adalah suatu bentuk dari gabungan beberapa negara atau
bentuk unit fungsi yang memiliki tujuan bersama mencapai persetujuan yg juga
merupakan isi dari perjanjian atau charter.

Peran Internasional Indonesia dalam Hubungannya dengan Kepentingan Nasional

KabarIndonesia - Peran Internasional Indonesia Dalam Hubungannya Dengan


Kepentingan Nasional Global Village, itulah yang bisa menggambarkan interaksi
antar bangsa di dunia saat ini. Global village dapat diartikan sebagai menyatunya
negara-negara di dunia dalam satu sistem internasional, dimana satu negara
membutuhkan keunggulan negara lain yang diimplementasikan dalam bentuk
kerjasama. Hilangnya batas-batas nasional memudahkan pergerakan ekonomi berjalan
leluasa seperti jasa, barang, modal, dan manusia yang idealnya nantinya akan
berdampak pada peningkatan pertumbuhan ekonomi dunia dengan kata lain
memperbaiki kesejahteraan masyarakat dunia. Selain menjadi indikasi pertumbuhan
isu ekonomi juga menimbulkan permasalahan sosial (ketimpangan),
keamanan(penyelundupan), lingkungan (polusi dan limbah), HAM (pengabaian hak
buruh) dan lainnya.

Sekarang bagaimana usaha Indonesia mampu memainkan perannya di dunia


internasional secara maksimal. Untuk mewujudkannya diperlukan kondisi ekonomi,
dan stabiltas politik yang kuat di dalam negeri terlebih dahulu dalam menciptakan
internal power yang nantinya diperlukan dalam posisi tawar dalam hubungannya
dengan negara lain dalam mencapai kepentingan nasional. Kemampuan diplomasi dan
meracik kebijakan luar negeri akan menentukan peran serta Indonesia dalam
menyelesaikan masalah-masalah internasional. Kebijakan Luar negeri dikatakan
sebagai visi dan misi dimana perencanaanya didasarkan pada pengetahuan atau pun
pengalaman baik dalam tindakan maupun tingkah laku dalam hubungan internasional
yang mempunyai tujuan untuk mempromosikan dan melindungi kepentingan suatu
negara. Sedangkan diplomasi menurut Harold Nicholson adalah Kebijaksanaan politik
luar negeri melalui negosiasi dan mekanisme sebagai jalan keluar dalam
menyelesaikan perselisihan atau konflik atau masalah luar negeri. Semakin kuat suatu
negara dalam arti tingkat kemajuan dan kemakmuran, maka negara itu makin
dipercaya, dihargai dan perhitungkan dalam percaturan internasional yang otomatis
mendukung suatu upaya diplomasi. Untuk itu perlulah kiranya kita melihat peran
internasional apa saja pada periode pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang
bisa menjadikan Indonesia sebagai the role country setidaknya dalam scop Asia?

Indonesia disebut salah satu negara demokrasi terbesar yang telah sukses memilih
presiden secara langsung yang mayoritas penduduknya adalah Muslim yang
menjadikan Indonesia dipandang masyarakat internasional sebagai model masyarakat
muslim yang moderat. Indonesia sebagai anggota OIC (Organization Islamic
Conference) menjadi pendorong bagi perdamaian di Timur Tengah khususnya
mendukung Palestina sebagai negara merdeka dari pendudukan zionisme Israel.
Indonesia juga menjadi tuan rumah dan pemrakarsa Konferensi Internasional Ulama
sedunia pada bulan April 2007 di Bogor. Disini para ulama sedunia menyuarakan
penghentian kekerasan di Irak, Lebanon dan Palestina. Pertemuan itu mengeluarkan
pernyataan agar Amerika Serikat tidak menjadi pemecah-belah umat Islam di Timur
Tengah yang ditenggarai para ulama sebagai alasan tidak terselesaikannya
perdamaian di dunia Arab. Indonesia juga mempromosikan Islam yang moderat,
toleran, solidaritas, serta meningkatan dialog lintas budaya dan peradaban, karena
pada saat ini masyarakat internasional salah persepsi bahwa penyerangan yang
dilakukan oleh segelintir orang muslim terhadap kepentingan barat dalam bentuk teror
dipahami sebagai benturan antar peradaban, tapi melainkan terjadi karena
ketidakadilan dan ketimpangan sosial di dunia.

Peran Indonesia dalam hal HAM yaitu, telah meratifikasi Konvenan Internasional
tentang Hak ekonomi sosial dan budaya dan Konvenan internasional tentang hak Sipil
dan politik. Kemudian, kepercayaan Internasional kepada Indonesia menjadikan
Indonesia sebagai ketua Komisi HAM tahun 2006 dan terpilih kembali menjadi
Dewan HAM dalam periode satu tahun 2006-2007. Walaupun begitu Indonesia belum
menegakkan HAM secara tegas dengan belum terungkapnya kasus-kasus seperti,
Tragedi Tanjung Priok, Talangsari, kerusuhan Mei 1998, tragedi Semanggi dan
kematian Munir yang belum juga terungkap.

Di badan PBB Indonesia terpilih bersama Qatar dari kawasan Asia menjadi DK tidak
tetap di PBB, namun Indonesia tidak menunjukkan Independensinya dengan ikut
menyetujui sanksi terhadap Iran yang dituduh Amerika Serikat (AS) mengoperasikan
reaktor nuklir untuk membuat senjata nuklir yang dirasa AS akan mengancam
keamanan negerinya. Saya berpendapat Indonesia melakukan itu karena mendapat
tekanan dari AS dimana kepentingan nasional Indonesia banyak bergantung kepada
AS. Sebagai anggota PBB Indonesia juga telah banyak ikut serta dalam Peace
Keeping Operation salah satunya di Lebanon setelah penyerangan Israel baru-baru ini.
Dibidang pertahanan Indonesia telah menjajaki kerjasama dalam bidang produksi
senjata dengan India dalam pertemuan Komite Bersama Kerja Sama Pertahanan RI-
India di Jakarta, 12-14 Juni 2007, yang diharapkan Indonesia mampu menciptakan
alat utama sistem persenjataan secara mandiri yang diperlukan dalam menjaga
kedaulatan negara dari ancaman pihak luar. Pembelian pesawat tempur dan kapal
selam Rusia juga ditempuh agar tidak tergantung dengan negara Barat khususnya
Amerika Serikat. Pada isu perlucutan senjata Indonesia sempat menjadi Ketua Komite
I pada konfrensi The 2005 Review Conference of States Parties to the Treaty on Non-
Proliferation of Nuclear Weapons/NPT) yang berlangsung sejak tanggal 2 Mei 2005
di Markas Besar PBB, New York, yang di ketuai Sudjadnan Parnohadiningrat yang
berhasil menyampaikan kertas kerja (working papers) kepada konfrensi itu.

Di bidang ekonomi kunjungan Wapres Jusuf Kalla ke Jepang 22-27 Mei 2007 dan
China 6-10 Juni 2007 mengindikasikan ingin ditingkatkannya hubungan dagang
kedua negara dimana terutama Cina telah menjadi salah satu raksasa ekonomi dunia.
Kemudian Baru-baru ini juga telah diadakan petemuan D8 di nusa dua Bali, yaitu
kerjasama dalam bentuk perdagangan antara Negara-negara berkembang (Bangladesh,
Mesir, Iran, Malaysia, Pakistan, Nigeria, Turki, dan Indonesia). Dalam kerjasama
regional ASEAN telah menciptakan kerjasama ASEAN+3 (Korsel, Cina, dan Jepang
yang memungkinkan Indonesia mengambil manfaat ekonomi dari pembentukan
kerjasama itu. Di forum regional Indonesia juga memprakarsai visi ASEAN kearah
ASEAN Community layaknya Uni Eropa sekarang ini dan Common Security dimana
ASEAN akan memiliki nilai-nilai bersama sebagai suatu komunitas besar baik
ekonomi, kemakmuran, dan keamanan bersama.

Semua peran internasional Indonesia diatas dalam berbagai forum merupakan poin
penting untuk meningkatkan kepercayaan kepada masyarakat internasional dalam ikut
menyelesaikan masalah internasional. Bila masyarakat internasional telah hormat dan
segan kepada Indonesia, diyakini pihak-pihak luar enggan mengusik Indonesia.
Dengan modal kepercayaan itulah Indonesia akan mencapai posisi tawar yang tinggi
untuk mencapai kepentingan nasional dalam hubungannya dengan negara lain dan
bangsa Indonesia dapat menentukan nasibnya sendiri tanpa didikte pihak lain. Apalagi
Indonesia kini memerlukan dukungan dunia internasional agar mendukung keutuhan
negara Indonesia dari gerakan separatisme yang sedang gencar menggrogoti keutuhan
negara dari dalam. Tidak kalah pentingnya peran Indonesia dalam menjaga
perdamaian dunia merupakan amanah dari pembukaan UUD 1945, yaitu ikut
mewujudkan perdamaian dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial. Semoga kedepannya bangsa Indonesia akan lebih baik menata
diri, memperbaiki kekeliruan yang ada demi kemakmuran dan kesejahteraan bangsa
dan negara.
Perjanjian internasional adalah sebuah perjanjian yang dibuat di bawah hukum
internasional oleh beberapa pihak yang berupa negara atau organisasi internasional.
Sebuah perjanjian multilateral dibuat oleh beberapa pihak yang mengatur hak dan
kewajiban masing-masing pihak. Perjanjian bilateral dibuat antara dua negara.

CONTOH-CONTOH ORGANISASI INTERNASIONAL

Posted February 8th, 2009 by d_vid.martinTugas Kuliah Lainnya


PENGGOLONGAN ORGANISASI INTERNASIONAL

Penggolongan organisasi internasional ada bermacam-macam, menurut segi tinjauan


berdasarkan :

A. Kegiatan Administrasi

• Organisasi Internasional Antar Pemerintah (Inter-Govermental Organization) yang


lazim disingkat IGO.

Contoh : PBB, ASEAN, SAARC, OAU, NAM, dls.

• Organisasi Internasional Non-Pemerintah (Non-Govermental Organization) yang


lazim disingkat NGO.

Contoh : IBF, ICC, Dewan Masjid Sedunia, Dewan Gereja Sedunia, Perhimpunan
Donor Darah Sedunia, dls.

B.Ruang Lingkup (wilayah) kegiatan dan keanggotaan

• Organisasi Internasional Global

Wilayah kegiatan adalah global (seluruh dunia), dan keanggotaan terbuka dalam
ruang lingkup diberbagai penjuru dunia.

Contoh : PBB/UNO, OKI/OIC, GNB/NAM, dls.

• Organisasi Internasional Regional

Wilayah kegiatan adalah regional, dan keanggotaan hanya diberikan bagi negara-
negara pada kawasan tertentu saja.

Contoh : ASEAN, OAU, GCC, EC, SAARC, dls.

C. Bidang Kegiatan (Operasional) Organisasi.

• Bidang Ekonomi

KADIN Internasional
• Bidang Lingkungan Hidup

UNEP

• Bidang Kesehatan

WHO, IDF, dls.

• Bidang Pertambangan

ITO.

• Bidang Komoditi (pertanian dan industri)

IWTO, ICO ,dls.

• Bidang Bea Cukai dan Perdagangan Internasional

GATT, dls.

D. Tujuan dan Luas Bidang Kegiatan Organisasi.

• Organisasi Internasional Umum (menyangkut hal-hal umum).

Tujuan organisasi serta bidang kegiatannya bersifat luas dan umum, bukan hanya
menyangkut bidang tertentu.

Contoh : PBB/UNO, dls.

• Organisasi Internasional Khusus (menyangkut hal-hal khusus).

Tujuan organisasi dan kegiatannya adalah khusus pada bidang tertentu atau
mengyangkut hal khusus saja.

Contoh : OPEC, dan termasuk organisasi-organisasi khusus dibawah naungan PBB,


seperti : UNESCO, UNICEF, ITU, UPU, dls.

E. Ruang Lingkup Bidang Kegiatan.

• Organisasi Internasional : Global-Umum.

Contoh : PBB/UNO, dls.

• Organisasi Internasional : Global-Khusus.

Contoh : OPEC, ICAO, IMCO, ITU, UPU, UNESCO, WHO, FAO dan ICRC.

• Organisasi Internasional : Regional-Umum.

Contoh : ASEAN, EC, OAS, OAU, SAARC, GCC, Liga Arab, dls.
• Organisasi Internasional : Regional-Khusus.

Contoh : AIPO, OAPEC, PATA, dls.

F. Menurut Taraf Kewenangan (kekuasaan)

• Organisasi Supra-Nasional

• Organisasi Kerja sama.

Contohnya banyak sekali (PBB, ASEAN, OKI, OPEC, dll). Karena semua organisasi
internasional dewasa ini adalah didasarkan pada pola kerjasama, bukan pola supra
nasional.

G. Bentuk dan Pola Kerjasama.

• Kerjasama Pertahanan-Keamanan (collective security), yang adalah disebut


“institutionalized alliance”

Contoh : NATO, dls.

• Kerjasama Fungsional (functional cooperation)

Contoh : PBB, ASEAN, OKI, OPEC, SAARC, OAU, GCC, dls.

H. Fungsi Organisasi

• Organisasi Politikal, yaitu organisasi yang dalam kegiatannya menyangkut masalah-


masalah politik dan hubungan internasional.

Seperti halnya ASEAN yang mencanangkan konsep ZOPFAN.

Contoh : PBB, ASEAN, NATO, ANZUS, SAARC, OAU, Liga Arab, dls.

• Organisasi Administratif (administrative organization), yaitu organisasi yang


sepenuhnya hanya melaksanakan kegiatan teknis secara administratif.

Contoh : UPU, ITU, OPEC, ICAO, ICRC, dls.

• Organisasi Peradilan (judicial organization), yaitu organisasi yang menyangkut


penyelesaian sengketa pada berbagai bidang atau aspek (politik, ekonomi, hukum,
sosbud). Menurut prosedur hukum dan melalui proses peradilan (sesuai ketentuan
internasional dan perjanjian-perjanjian internasional)

Contoh : Mahkamah Internasional, dls.

Perwakilan Republik Indonesia di Luar


Negeri
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri adalah lembaga negara yang


mewakili kepentingan Indonesia secara keseluruhan di negara lain atau pada
organisasi internasional. Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri dapat berupa
Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI), Konsulat Jenderal Republik Indonesia
(Konjen RI), Konsulat RI, Perutusan Tetap RI pada PBB, maupun Perwakilan RI
tertentu yang bersifat sementara.

Perwakilan RI terdiri atas:

• Perwakilan Diplomatik, kegiatannya mencakup semua kepentingan negara


RI dan wilayah kerjanya meliputi seluruh wilayah negara penerima atau yang
bidang kegiatannya meliputi bidang kegiatan suatu organisasi internasional.
• Perwakilan Konsuler, kegiatannya mencakup semua kepentingan negara RI
di bidang konsuler dan mempunyai wilayah kerja tertentu dalam wilayah
negara penerima.

Propaganda
Salah satu teknik propaganda oleh produk pasta gigi dimana senyum bahagia
diasosiasikan dengan produk mereka.

Poster dari Angkatan Laut Amerika tentang Jepang yang diasosiasikan sebagai tikus
(binatang yang merugikan) mendekati perangkap yang diberi tanda "Angkatan Laut
Sipil", sebagai latar belakang peta negara bagian Alaska

Propaganda (dari bahasa Latin modern: propagare yang berarti mengembangkan


atau memekarkan. ) adalah rangkaian pesan yang bertujuan untuk mempengaruhi
pendapat dan kelakuan masyarakat atau sejumlah orang yang banyak. Propaganda
tidak menyampaikan informasi secara obyektif, tetapi memberikan informasi yang
dirancang untuk mempengaruhi pihak yang mendengar atau melihatnya.

Propaganda kadang menyampaikan pesan yang benar, namun seringkali menyesatkan


dimana umumnya isi propaganda lebih menyampaikan fakta-fakta yang pilihan yang
dapat menghasilkan pengaruh tertentu, atau lebih menghasilkan reaksi emosional
daripada reaksi rasional. Tujuannya adalah untuk merubah pikiran kognitif narasi
subjek dalam kelompok sasaran yang lebih lanjut untuk kepentingan agenda politik.

Propaganda adalah sebuah upaya disengaja dan sistematis untuk membentuk persepsi,
memanipulasi alam pikiran atau kognisi, dan berpengaruh langsung pada perilaku
untuk pencapaian suatu respon yang sama dengan niat yang dikehendaki dari pelaku
propaganda.

Sebagai komunikasi satu ke banyak orang (one-to-many), propaganda memisahkan


komunikator dari komunikannya. Namun menurut Ellul, komunikator dalam
propaganda sebenarnya merupakan wakil dari organisasi yang berusaha melakukan
pengontrolan terhadap masyarakat komunikannya. Sehingga dapat disimpulkan,
komunikator dalam propaganda adalah seorang yang ahli dalam teknik
penguasaan/kontrol sosial. Dengan berbagai macam teknis, setiap penguasa negara
atau yang bercita-cita menjadi penguasa negara harus mempergunakan propaganda
sebagai suatu mekanisme alat kontrol sosial.[1

Propaganda dengan perbuatan (atau propaganda aksi, b. Inggris: propaganda by


the deed, b. Perancis: propagande par le fait) adalah sebuah konsep tradisional
anarkis, yang berkembang diera akhir abad ke-19, yang mempromosikan tindakan
kekerasan secara fisik melawan musuh-musuh politik dan dilakukan baik oleh
individu maupun kelompok, sebagai cara untuk memberikan inspirasi terhadap massa
dan mendorong terjadinya revolusi.

Tidak ada definisi tunggal mengenai propaganda dengan perbuatan. Propaganda


dengan perbuatan dapat terdiri dari banyak bentuk, tetapi dalam kebanyakan kasus,
penggunaan kekerasan melawan orang yang dipandang sebagai ancaman bagi kelas
pekerja (seperti dalam kasus usaha pembunuhan Henry Clay Frick oleh Alexander
Berkman).

Dalam beberapa fakta atas konsep "propaganda dengan perbuatan" ini, gerakan
anarkis sering dicap sebagai kekerasan dan "teroris", diawali dengan beberapa
pemboman dan pembunuhan di akhir era abad ke-19. Gambaran ini masih tetap
melekat sampai saat ini pada setiap anarkis, meski telah banyak dalam pemikiran
anarkis modern yang menyatakan bahwa konsep tersebut telah usang.

PROSES PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL


MENJADI UNDANG-UNDANG DI INDONESIA

I. Latar Belakang

Hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional dalam sistem tata hukum
merupakan hal yang sangat menarik baik dilihat dari sisi teori hukum atau ilmu
hukum maupun dari sisi praktis. Kedudukan hukum internasional dalam tata hukum
secara umum didasarkan atas anggapan bahwa hukum internasional sebagai suatu
jenis atau bidang hukum merupakan bagian dari hukum pada umumnya. Anggapan ini
didasarkan pada kenyataan bahwa hukum internasional sebagai suatu perangkat
ketentuan dan asas yang efektif yang benar-benar hidup dalam kenyataan sehingga
mempunyai hubungan yang efektif dengan ketentuan dan asas pada bidang hukum
lainnya. Bidang hukum lainnya yang paling penting adalah bidang hukum nasional.

Hal ini dapat dilihat dari interaksi masyarakat internasional dimana peran negara
sangat penting dan mendominasi hubungan internasional. Karena peran dari hukum
nasional negara-negara dalam memberikan pengaruh dalam kancah hubungan
internasional mengangkat pentingnya isu bagaimana hubungan antara hukum
internasional dan hukum nasional dari sudut pandang praktis.

Dalam memahami berlakunya hukum internasional terdapat dua teori, yaitu teori
voluntarisme,[1] yang mendasarkan berlakunya hukum internasional pada kemauan

[
negara, dan teori objektivis[2] yang menganggap berlakunya hukum internasional
lepas dari kemauan negara.[3]
Perbedaan pandangan atas dua teori ini membawa akibat yang berbeda dalam
memahami hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional. Pandangan
teori voluntarisme memandang hukum nasional dan hukum internasional sebagai dua
perangkat hukum yang berbeda, saling berdampingan dan terpisah. Berbeda dengan
pandangan teori objektivis yang menganggap hukum nasional dan hukum
internasional sebagai dua perangkat hukum dalam satu kesatuan perangkat hukum.

II. Teori Keberlakuan Hukum Internasional

A. Aliran Dualisme

Aliran dualisme bersumber pada teori bahwa daya ikat hukum internasional
bersumber pada kemauan negara, hukum internasional dan hukum nasional
merupakan dua sistem atau perangkat hukum yang terpisah.[4]

Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh aliran dualisme untuk menjelaskan hal
ini:

1. Sumber hukum, paham ini beranggapan bahwa hukum nasional dan hukum
internasional mempunyai sumber hukum yang berbeda, hukum nasional
bersumber pada kemauan negara, sedangkan hukum internasional bersumber
pada kemauan bersama dari negara-negara sebagai masyarakat hukum
internasional;
2. Subjek hukum internasional, subjek hukum nasional adalah orang baik dalam
hukum perdata atau hukum publik, sedangkan pada hukum internasional
adalah negara;
3. Struktur hukum, lembaga yang diperlukan untuk melaksanakan hukum pada
realitasnya ada mahkamah dan organ eksekutif yang hanya terdapat dalam
hukum nasional. Hal yang sama tidak terdapat dalam hukum internasional.

4. Kenyataan, pada dasarnya keabsahan dan daya laku hukum nasional tidak
dipengaruhi oleh kenyataan seperti hukum nasional bertentangan dengan
hukum internasional. Dengan demikian hukum nasional tetap berlaku secara
efektif walaupun bertentangan dengan hukum internasional.[5]

Maka sebagai akibat dari teori dualisme ini adalah kaidah-kaidah dari perangkat
hukum yang satu tidak mungkin bersumber atau berdasar pada perangkat hukum yang
lain. Dengan demikian dalam teori dualisme tidak ada hirarki antara hukum nasional
dan hukum internasional karena dua perangkat hukum ini tidak saja berbeda dan tidak
bergantung satu dengan yang lain tetapi juga terlepas antara satu dengan yang lainnya.

Akibat lain adalah tidak mungkin adanya pertentangan antara kedua perangkat hukum
tersebut, yang mungkin adalah renvoi.[6] Karena itu dalam menerapkan hukum
[
[
[
[
[
internasional dalam hukum nasional memerlukan transformasi menjadi hukum
nasional.

B. Aliran Monisme

Teori monisme didasarkan pada pemikiran bahwa satu kesatuan dari seluruh hukum
yang mengatur hidup manusia.[7] Dengan demikian hukum nasional dan hukum
internasional merupakan dua bagian dalam satu kesatuan yang lebih besar yaitu
hukum yang mengatur kehidupan manusia. Hal ini berakibat dua perangkat hukum ini
mempunyai hubungan yang hirarkis. Mengenai hirarki dalam teori monisme ini
melahirkan dua pendapat yang berbeda dalam menentukan hukum mana yang lebih
utama antara hukum nasional dan hukum internasional.

Ada pihak yang menganggap hukum nasional lebih utama dari hukum internasional.
Paham ini dalam teori monisme disebut sebagai paham monisme dengan primat
hukum nasional. Paham lain beranggapan hukum internasional lebih tinggi dari
hukum nasional. Paham ini disebut dengan paham monisme dengan primat hukum
internasional. Hal ini dimungkinkan dalam teori monisme.

Monisme dengan primat hukum nasional, hukum internasional merupakan


kepanjangan tangan atau lanjutan dari hukum nasional atau dapat dikatakan bahwa
hukum internasional hanya sebagai hukum nasional untuk urusan luar negeri.[8]
Paham ini melihat bahwa kesatuan hukum nasional dan hukum internasional pada
hakikatnya adalah hukum internasional bersumber dari hukum nasional. Alasan yang
kemukakan adalah sebagai berikut:

1. tidak adanya suatu organisasi di atas negara-negara yang mengatur kehidupan


negara-negara;

2. dasar hukum internasional dapat mengatur hubungan antar negara terletak


pada wewenang negara untuk mengadakan perjanjian internasional yang
berasal dari kewenangan yang diberikan oleh konstitusi masing-masing
negara.[9]

Monisme dengan primat hukum internasional, paham ini beranggapan bahwa hukum
nasional bersumber dari hukum internasional.[10] Menurut paham ini hukum nasional
tunduk pada hukum internasional yang pada hakikatnya berkekuatan mengikat
berdasarkan pada pendelegasian wewenang dari hukum internasional.

Pada kenyataannya kedua teori ini dipakai oleh negara-negara dalam menentukan
keberlakuan dari hukum internasional di negara-negara. Indonesia sendiri menganut
teori dualisme dalam menerapkan hukum internasional dalam hukum nasionalnya.

III. Perjanjian Internasional sebagai Sumber Hukum Internasional


Dalam hukum internasional terdapat beberapa sumber hukum internasional. Menurut
sumber tertulis yang ada terdapat dua konvensi yang menjadi rujukan apa saja yang
[
[
[
[
menjadi sumber hukum internasional. Pada Konvensi Den Haag XII, Pasal 7,
tertanggal 18 Oktober 1907, yang mendirikan Mahkamah Internasional Perampasan
Kapal di Laut (International Prize Court) dan dalam Piagam Mahkamah Internasional
Permanen, Pasal 38 tertanggal 16 Desember 1920, yang pada saat ini tercantum dalam
Pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional tertanggal 26 Juni 1945.[11]

Sesuai dengan dua dokumen tertulis tersebut yang berisi penunjukan pada sumber
hukum formal, hanya dua dokumen yang penting untuk dibahas, yaitu Piagam
Mahkamah Internasional Permanen dan Piagam Mahkamah Internasional. Ini
disebabkan karena Mahkamah Internasional mengenai Perampasan Kapal tidak
pernah terbentuk, karena tidak tercapainya minimum ratifikasi. Dengan demikian
Pasal 38 Mahkamah Internasional Permanen dan Pasal 38 ayat 1 Mahkamah
Internasional, dengan demikian hukum positif yang berlaku bagi Mahkamah
Internasional dalam mengadili perkara yang diajukan dihadapannya adalah:

1. Perjanjian Internasional;
2. Kebiasaan Internasional;
3. Prinsip Hukum Umum;

4. Keputusan Pengadilan dan ajaran para sarjana yang terkemuka dari berbagai
negara sebagai sumber tambahan untuk menetapkan hukum.[12]

Perjanjian internasional yang dimaksud adalah perjanjian yang dibuat atau dibentuk
oleh dan diantara anggota masyarakat internasional sebagai subjek hukum
internasional dan bertujuan untuk mengakibatkan hukum tertentu.[13]

Dewasa ini dalam hukum internasional kecendrungan untuk mengatur hukum


internasional dalam bentuk perjanjian intenasional baik antar negara ataupun antar
negara dan organisasi internasioanal serta negara dan subjek internasional lainnya
telah berkembang dengan sangat pesat, ini disebabkan oleh perkembangan yang pesat
dari masyarakat internasional, termasuk organisasi internasional dan negara-negara.

Perjanjian internasional yang dibuat antara negara diatur dalam Vienna Convention
on the Law of Treaties (Konvensi Wina) 1969. Konvensi ini berlaku (entry into force)
pada 27 Januari 1980. Dalam Konvensi ini diatur mengenai bagaimana prosedur
perjanjian internasional sejak tahap negosiasi hingga diratifikasi menjadi hukum
nasional.[14]

Banyak istilah yang digunakan untuk perjanjian internasional diantaranya adalah


traktat (treaty), pakta (pact), konvensi (convention), piagam (statute), charter,
deklarasi, protokol, arrangement, accord, modus vivendi, covenant, dan lain-lain.
Semua ini apapun namanya mempunyai arti yang tidak berbeda dengan perjanjian
internasional.[15]

[
[
[
[
[
Dalam praktik beberapa negara perjanjian internasional dapat dibedakan menjadi dua
golongan. Golongan pertama adalah perjanjian yang dibentuk melalui tiga tahap
pembentukan yakni perundingan, penandatanganan dan ratifikasi.[16] Golongan yang
kedua adalah perjanjian yang dibentuk melalui dua tahap, yaitu perundingan dan
penandatanganan.[17] Untuk golongan pertama biasanya dilakukan untuk perjanjian
yang dianggap sangat penting sehingga memerlukan persetujuan dari dari badan yang
memiliki hak untuk mengadakan perjanjian (treaty making power). Hal ini biasanya
berdasarkan alasan adanya pembentukan hukum baru atau menyangkut masalah
keuangan negara. Sedangkan golongan kedua lebih sederhana, perjanjian ini tidak
dianggap begitu penting dan memerlukan penyelesaian yang cepat.

Selanjutnya apa yang menjadi ukuran suatu perjanjian mana yang termasuk golongan
yang penting, sehingga memerlukan ratifikasi dari Dewan Perwakilan Rakyat dan
perjanjian mana yang tidak di Indonesia.

Proses pembentukan Perjanjian Internasional, menempuh berbagai tahapan dalam


pembentukan perjanjian internasional, sebagai berikut:

1. Penjajakan: merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang
berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional.
2. Perundingan: merupakan tahap kedua untuk membahas substansi dan masalah-
masalah teknis yang akan disepakati dalam perjanjian internasional.
3. Perumusan Naskah: merupakan tahap merumuskan rancangan suatu perjanjian
internasional.
4. Penerimaan: merupakan tahap menerima naskah perjanjian yang telah
dirumuskan dan disepakati oleh para pihak. Dalam perundingan bilateral,
kesepakatan atas naskah awal hasil perundingan dapat disebut "Penerimaan"
yang biasanya dilakukan dengan membubuhkan inisial atau paraf pada naskah
perjanjian internasional oleh ketua delegasi masing-masing. Dalam
perundingan multilateral, proses penerimaan (acceptance/approval) biasanya
merupakan tindakan pengesahan suatu negara pihak atas perubahan perjanjian
internasional.
5. Penandatanganan : merupakan tahap akhir dalam perundingan bilateral untuk
melegalisasi suatu naskah perjanjian internasional yang telah disepakati oleh
kedua pihak. Untuk perjanjian multilateral, penandatanganan perjanjian
internasional bukan merupakan pengikatan diri sebagai negara pihak.
Keterikatan terhadap perjanjian internasional dapat dilakukan melalui
pengesahan (ratification/accession/acceptance/approval).

IV. Pengesahan Pernjanjian Internasional di Indonesia

Pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional antara Pemerintah Indonesia


dengan pemerintah negara-negara lain, organisasi internasional dan subjek hukum
internasional lain adalah suatu perbuatan hukum yang sangat penting karena mengikat
negara dengan subjek hukum internasional lainnya. Oleh sebab itu pembuatan dan
pengesahan suatu perjanjian internasional dilakukan berdasarkan undang-undang.

[
[
Sebelum adanya Undang-Undang No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional,
kewenangan untuk membuat perjanjian internasional seperti tertuang dalam Pasal 11
Undang Undang Dasar 1945, menyatakan bahwa Presiden mempunyai kewenangan
untuk membuat perjanjian internasional dengan persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat. Pasal 11 UUD 1945 ini memerlukan suatu penjabaran lebih lanjut bagaimana
suatu perjanjian internasional dapat berlaku dan menjadi hukum di Indonesia. Untuk
itu melalui Surat Presiden No. 2826/HK/1960 mencoba menjabarkan lebih lanjut
Pasal 11 UUD 1945 tersebut.[18]

Pengaturan tentang perjanjian internasional selama ini yang dijabarkan dalam bentuk
Surat Presiden No. 2826/HK/1960, tertanggal 22 Agustus 1960, yang ditujukan
kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, dan telah menjadi pedoman dalam proses
pengesahan perjanjian internasional selama bertahun-tahun.[19] Pengesahan
perjanjian internasional menurut Surat Presiden ini dapat dilakukan melalui undang-
undang atau keputusan presiden, tergantung dari materi yang diatur dalam perjanjian
internasional. Tetapi dalam prateknya pelaksanaan dari Surat Presiden ini banyak
terjadi penyimpangan sehingga perlu untuk diganti dengan Undang-Undang yang
mengatur secara khusus mengenai perjanjian internasional.

Hal ini kemudian yang menjadi alasan perlunya perjanjian internasional diatur dalam
Undang-Undang No. 24 Tahun 2000. Dalam Undang Undang No. 24 Tahun 2000,
adapun isi yang diatur dalam undang-undang tersebut adalah:

• Ketentuan Umum
• Pembuatan Perjanjian Internasional
• Pengesahan Perjanjian Internasional
• Pemberlakuan Perjanjian Internasional
• Penyimpanan Perjanjian Internasional
• Pengakhiran Perjanjian Internasional
• Ketentuan Peralihan

• Ketentuan Penutup[20]

Dalam pengesahan perjanjian internasional terbagi dalam empat kategori, yaitu:

1. Ratifikasi (ratification), yaitu apabila negara yang akan mengesahkan suatu


perjanjian internasional turut menandatangani naskah perjanjian internasional;
2. Aksesi (accesion), yaitu apabila negara yang akan mengesahkan suatu
perjanjian internasional tidak turut menandatangani naskah perjanjian;
3. Penerimaan (acceptance) atau penyetujuan (approval) yaitu pernyataan
menerima atau menyetujui dari negara-negara pihak pada suatu perjanjian
internasional atas perubahan perjanjian internasional tersebut;
4. Selain itu juga ada perjanjian-perjanjian internasional yang sifatnya self-
executing (langsung berlaku pada saat penandatanganan).

Dalam suatu pengesahan perjanjian internasional penandatanganan suatu perjanjian


tidak serta merta dapat diartikan sebagai pengikatan para pihak terhadap perjanjian
[
[
[
tersebut. Penandatanganan suatu perjanjian internasional memerlukan pengesahan
untuk dapat mengikat. Perjanjian internasional tidak akan mengikat para pihak
sebelum perjanjian tersebut disahkan.

Seseorang yang mewakili pemerintah dengan tujuan menerima atau menandatangani


naskah suatu perjanjian atau mengikatkan negara terhadap perjanjian internasional,
memerlukan Surat Kuasa (Full Powers).[21] Pejabat yang tidak memerlukan surat
kuasa adalah Presiden dan Menteri.

Tetapi penandatanganan suatu perjanjian internasional yang menyangkut kerjasama


teknis sebagai pelaksanaan dari perjanjian yang sudah berlaku dan materinya berada
dalam lingkup kewenangan suatu lembaga negara atau lembaga pemerintah, baik
departemen maupun non-departemen, dilakukan tanpa memerlukan surat kuasa.

Pengesahan perjanjian internasional oleh pemerintah dilakukan sepanjang


dipersyaratkan oleh perjanjian interansional tersebut. Pengesahan suatu perjanjian
internasional dilakukan berdasarkan ketetapan yang disepakati oleh para pihak.
Perjanjian internasional yang memerlukan pengesahan mulai berlaku setelah
terpenuhinya prosedur pengesahan yang diatur dalam undang-undang.[22]

Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang atau keputusan


Presiden.[23] Pengesahan dengan undang-undang memerlukan persetujuan DPR.[24]
Pengesahan dengan keputusan Presiden hanya perlu pemberitahuan ke DPR.[25]
Pengesahan perjanjian internasional dilakukan melalui undang-undang apabila
berkenaan dengan:

• masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;


• perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara;
• kedaulatan atau hak berdaulat negara;
• hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
• pembentukan kaidah hukum baru;

• pinjaman dan/atau hibah luar negeri.[26]

Di dalam mekanisme fungsi dan wewenang, DPR dapat meminta pertanggung


jawaban atau keterangan dari pemerintah mengenai perjanjian internasional yang
telah dibuat. Apabila dipandang merugikan kepentingan nasional, perjanjian
internasional tersebut dapat dibatalkan atas permintaan DPR, sesuai dengan ketentuan
yang ada dalam undang-undang No. 24 tahun 2000.

Indonesia sebagai negara yang menganut paham dualisme, hal ini terlihat dalam Pasal
9 ayat 2 UU No. 24 tahun 2000, dinyatakan bahwa:

[
[
[
[
[
[
”Pengesahan perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat(1)
dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden.”

Dengan demikian pemberlakuan perjanjian internasional ke dalam hukum nasional


indonesia tidak serta merta. Hal ini juga memperlihatkan bahwa Indonesia
memandang hukum nasional dan hukum internasional sebagai dua sistem hukum yang
berbeda dan terpisah satu dengan yang lainnya.

Perjanjian internasional harus ditransformasikan menjadi hukum nasional dalam


bentuk peraturan perundang-undangan. Perjanjian internasional sesuai dengan UU
No. 24 tahun 2000, diratifikasi melalui undang-undang dan keputusan presiden.
Undang-undang ratifikasi tersebut tidak serta merta menjadi perjanjian internasional
menjadi hukum nasional Indonesia, undang-undang ratifikasi hanya menjadikan
Indonesia sebagai negara terikat terhadap perjanjian internasional tersebut. Untuk
perjanjian internasional tersebut berlaku perlu dibuat undang-undang yang lebih
spesifik mengenai perjanjanjian internasional yang diratifikasi, contoh Indonesia
meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights melalui undang-
undang, maka selanjutnya Indonesia harus membuat undang-undang yang menjamin
hak-hak yang ada di covenant tersebut dalam undang-undang yang lebih spesifik.

Perjanjian internasional yang tidak mensyaratkan pengesahan dalam


pemberlakuannya, biasanya memuat materi yang bersifat teknis atau suatu pelaksana
teknis terhadap perjanjian induk. Perjanjian internasional seperti ini dapat lansung
berlaku setelah penandatanganan atau pertukaran dokumen perjanjian/nota
diplomatik, atau melalui cara lain yang disepakati dalam perjanjian oleh para pihak.

Perjanjian yang termasuk dalam kategori ini diantaranya adalah perjanjian yang
materinya mengatur secara teknis kerjasama bidang pendidikan, sosial, budaya,
pariwisata, penerangan kesehatan, pertanian, kehutanan dan kerjasam antar propinsi
atau kota. Perjanjian internasional mulai berlaku dan mengikat para pihak setelah
memenuhi ketentuan yang ditetapkan dalam perjanjian tersebut.

You might also like