Professional Documents
Culture Documents
Sejarah
Sejarah hubungan internasional sering dianggap berawal dari [Perdamaian
Westphalia] pada [1648], ketika sistem negara modern dikembangkan. Sebelumnya,
organisasi-organisasi otoritas politik abad pertengahan [Eropa] didasarkan pada
tatanan hirarkis yang tidak jelas. Westphalia membentuk konsep legal tentang
kedaulatan, yang pada dasarnya berarti bahwa para penguasa, atau kedaulatan-
kedaulatan yang sah tidak akan mengakui pihak-pihak lain yang memiliki kedudukan
yang sama secara internal dalam batas-batas kedaulatan wilayah yang sama. Otoritas
Yunani dan Roma kuno kadang-kadang mirip dengan sistem Westphalia, tetapi
keduanya tidak memiliki gagasan kedaulatan yang memadai.
Apa yang secara eksplisit diakui sebagai teori hubungan internasional tidak
dikembangkan sampai setelah Perang Dunia I, dan dibahas secara lebih rinci di bawah
ini. Namun, teori HI memiliki tradisi panjang menggunakan karya ilmu-ilmu sosial
lainnya. Penggunaan huruf besar “H” dan “I” dalam hubungan internasional bertujuan
untuk membedakan disiplin Hubungan Internasional dari fenomena hubungan
internasional. Banyak orang yang mengutip Sejarah Perang Peloponnesia karya
Thucydides sebagai inspirasi bagi teori realis, dengan Leviathan karya Hobbes dan
The Prince karya Machiavelli memberikan pengembangan lebih lanjut. Demikian
juga, liberalisme menggunakan karya Kant dan Rousseau, dengan karya Kant sering
dikutip sebagai pengembangan pertama dari Teori Perdamaian Demokratis. Meskipun
hak-hak asasi manusia kontemporer secara signifikan berbeda dengan jenis hak-hak
yang didambakan dalam hukum alam, Francisco de Vitoria, Hugo Grotius, dan John
Locke memberikan pernyataan-pernyataan pertama tentang hak untuk mendapatkan
hak-hak tertentu berdasarkan kemanusiaan secara umum. Pada abad ke-20, selain
teori-teori kontemporer intenasionalisme liberal, Marxisme merupakan landasan
hubungan internasional.
Secara garis besar teori-teori HI dapat dibagi menjadi dua pandangan epistemologis
“positivis” dan “pasca-positivis”. Teori-teori positivis bertujuan mereplikasi metode-
metode ilmu-ilmu sosial dengan menganalisis dampak kekuatan-kekuatan material.
Teori-teori ini biasanya berfokus berbagai aspek seperti interaksi negara-negara,
ukuran kekuatan-kekuatan militer, keseimbangan kekuasaaan dan lain-lain.
Epistemologi pasca-positivis menolak ide bahwa dunia sosial dapat dipelajari dengan
cara yang objektif dan bebas-nilai. Epistemologi ini menolak ide-ide sentral tentang
neo-realisme/liberalisme, seperti teori pilihan rasional, dengan alasan bahwa metode
ilmiah tidak dapat diterapkan ke dalam dunia sosial dan bahwa suatu “ilmu” HI
adalah tidak mungkin.
Perbedaan kunci antara kedua pandangan tersebut adalah bahwa sementara teori-teori
positivis, seperti neo-realisme, menawarkan berbagai penjelasan yang bersifat sebab-
akibat (seperti mengapa dan bagaimana kekuasaan diterapkan), teori pasca-positivis
pasca-positivis berfokus pada pertanyaan-pertanyaan konstitutif, sebagai contoh apa
yang dimaksudkan dengan “kekuasaan”; hal-hal apa sajakah yang membentuknya,
bagaimana kekuasaan dialami dan bagaimana kekuasaan direproduksi. Teori-teori
pasca-positivs secara eksplisit sering mempromosikan pendekatan normatif terhadap
HI, dengan mempertimbangkan etika. Hal ini merupakan sesuatu yang sering
diabaikan dalam HI “tradisional” karena teori-teori positivis membuat perbedaan
antara “fakta-fakta” dan penilaian-penilaian normatif, atau “nilai-nilai”. Selama
periode akhir 1980-an/1990 perdebatan antara para pendukung teori-teori positivis
dan para pendukung teori-teori pasca-positivis menjadi perdebatan yang dominan dan
disebut sebagai “Perdebatan Terbesar” Ketiga (Lapid 1989.)Teori-teori
pascastrukturalis
Kekuasaan
Polaritas
Dependensi
Teori dependensi adalah teori yang paling lazim dikaitkan dengan Marxisme, yang
menyatakan bahwa seperangkat negara Inti mengeksploitasi kekayaan sekelompok
negara Pinggiran yang lebih lemah. Pelbagai versi teori ini mengemukakan bahwa hal
ini merupakan keadaan yang tidak terelakkan (teori dependensi standar), atau
menggunakan teori tersebut untuk menekankan keharusan untuk berubah (Neo-
Marxisme).
Tipe rezim
Sering dianggap bahwa suatu tipe rezim negara dapat menentukan cara suatu negara
berinteraksi dengan negara-negara lain dalam sistem internasional. Teori Perdamaian
Demokratis adalah teori yang mengemukakan bahwa hakikat demokrasi berarti bahwa
negara-negara demokratis tidak akan saling berperang. Justifikasi terhadap hal ini
adalah bahwa negara-negara demokrasi mengeksternalkan norma-norma mereka dan
hanya berperang dengan alasan-alasan yang benar, dan bahwa demokrasi mendorong
kepercayaan dan penghargaan terhadap satu sama lain. Sementara itu, komunisme
menjustifikasikan suatu revolusi dunia, yang juga akan menimbulkan koeksitensi
(hidup berdampingan) secara damai, berdasarkan masyarakat global yang proletar.
Revisionisme/Status quo
Agama
Sering dianggap bahwa agama dapat memiliki pengaruh terhadap cara negara
bertindak dalam sistem internasional. Agama terlihat sebagai prinsip pengorganisasi
terutama bagi negara-negara Islam, sementara sekularisme terletak yang ujung lainnya
dari spektrum dengan pemisahan antara negara dan agama bertanggung jawab atas
tradisi Liberal.
Ketika umat manusia memasuki tahap peradaban global, beberapa ilmuwan dan
teoritisi politik melihat hirarki institusi-institusi global yang menggantikan sistem
negara-bangsa berdaulat yang ada sebagai komunitas politik yang utama. Mereka
berargumen bahwa bangsa-bangsa adalah komunitas imajiner yang tidak dapat
mengatasi pelbagai tantangan modern seperti efek Dogville (orang-orang asing dalam
suatu komunitas homogen), status legal dan politik dari pengungsi dan orang-orang
yang tidak memiliki kewarganegaraan, dan keharusan untuk menghadapi pelbagai
masalah dunia seperti perubahan iklim dan pandemik. Pakar masa depan Paul Raskin
telah membuat hipotesis bahwa bentuk politik Global yang baru dan lebih absah dapat
didasarkan pada pluralisme yang dibatasi (connstrained pluralism). Prinsip ini
menuntun pembentukan institusi-institusi berdasarkan tiga karakteristik:
ireduksibilitas (irreducibility), di mana beberapa isu harus diputuskan pada level
global; subsidiaritas, yang membatasi cakupan otoritas global pada isu-isu yang
benar-benar bersifat global sementara isu-isu pada skala yang lebih kecil diatur pada
level-level yang lebih rendah; dan heterogenitas, yang memungkinkan pelbagai
bentuk institusi lokal dan global yang berbeda sepanjang institusi-institusi tersebut
memenuhi kewajiban-kewajiban global.
PBB
Institusi Ekonomi
Hukum
• ASEAN
• Liga Arab
• Persemakmuran Negara-negara Merdeka
• CSCAP
• NATO
• Organisasi Kerjasama Shanghai
Politik
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang
antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara.
Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda
mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik.
Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun
nonkonstitusional.
Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain:
politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan
bersama (teori klasik Aristoteles)
politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara
politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan
kekuasaan di masyarakat
politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan
publik.
Dalam konteks memahami politik perlu dipahami beberapa kunci, antara lain:
kekuasaan politik, legitimasi, sistem politik, perilaku politik, partisipasi politik, proses
politik, dan juga tidak kalah pentingnya untuk mengetahui seluk beluk tentang partai
politik.
Teori politik
Teori politik memiliki dua makna: makna pertama menunjuk teori sebagai pemikiran
spekulatif tentang bentuk dan tata cara pengaturan masyarakat yang ideal, makna
kedua menunjuk pada kajian sistematis tentang segala kegiatan dalam masyarakat
untuk hidup dalam kebersamaan. Contoh teori politik yang merupakan pemikiran
spekulatif adalah teori politik Marxis-Leninis atau komunisme, contoh lain adalah
teori politik yang berdasar pada pemikiran Adam Smith kapitalisme. Pemikiran Tan
Malaka dalam tulisannya Madilog, merupakan contoh teori politik Indonesia.
Nasakom yang diajukan Soekarno merupakan contoh lain.
Sedangkan teori politik sebagai hasil kajian empirik bisa dicontohkan dengan teori
struktural - fungsional yang diajukan oleh Talcot Parson (seorang sosiolog), antara
lain diturunkan kedalam teori politik menjadi Civic Culture. Konsep sistem politik
sendiri merupakan ciptaan para akademisi yang mengkaji kehidupan politik
(sesungguhnya diturunkan dari konsep sistem sosial).
Lembaga politik
Secara awam berarti suatu organisasi, tetapi lembaga bisa juga merupakan suatu
kebiasaan atau perilaku yang terpola. Perkawinan adalah lembaga sosial, baik yang
diakui oleh negara lewat KUA atau Catatan Sipil di Indonesia maupun yang diakui
oleh masyarakat saja tanpa pengakuan negara. Dalam konteks ini suatu organisasi
juga adalah suatu perilaku yang terpola dengan memberikan jabatan pada orang-orang
tertentu untuk menjalankan fungsi tertentu demi pencapaian tujuan bersama,
organisasi bisa formal maupun informal. Lembaga politik adalah perilaku politik yang
terpola dalam bidang politik.
Pemilihan pejabat, yakni proses penentuan siapa yang akan menduduki jabatan
tertentu dan kemudian menjalankan fungsi tertentu (sering sebagai pemimpin dalam
suatu bidang/masyarakat tertentu) adalah lembaga demokrasi. Bukan lembaga
pemilihan umumnya (atau sekarang KPU-nya) melainkan seluruh perilaku yang
terpola dalam kita mencari dan menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin
ataupun wakil kita untuk duduk di parlemen.
Persoalan utama dalam negara yang tengah melalui proses transisi menuju demokrasi
seperti indonesia saat ini adalah pelembagaan demokrasi. Yaitu bagaimana
menjadikan perilaku pengambilan keputusan untuk dan atas nama orang banyak bisa
berjalan sesuai dengan norma-norma demokrasi, umumnya yang harus diatasi adalah
merobah lembaga feodalistik (perilaku yang terpola secara feodal, bahwa ada
kedudukan pasti bagi orang-orang berdasarkan kelahiran atau profesi sebagai
bangsawan politik dan yang lain sebagai rakyat biasa) menjadi lembaga yang terbuka
dan mencerminkan keinginan orang banyak untuk mendapatkan kesejahteraan.
Hubungan Internasional
Untuk mengatasi berbagai konflik bersenjata yang kerap meletus dengan cepat di
berbagai belahan dunia misalnya, saat ini sudah ada usulan untuk membuat pasukan
perdamaian dunia (peace keeping force) yang bersifat tetap dan berada di bawah
komando PBB. Hal ini diharapkan bisa mempercepat reaksi PBB dalam mengatasi
berbagai konflik bersenjata. Saat misalnya PBB telah memiliki semacam polisi tetap
yang setiap saat bisa dikerahkan oleh Sekertaris Jendral PBB untuk beroperasi di
daerah operasi PBB. Polisi PBB ini yang menjadi Civpol (Civilian Police/polisi sipil)
pertama saat Timor Timur lepas dari Republik Indonesia.
Hubungan internasional telah bergeser jauh dari dunia eksklusif para diplomat dengan
segala protokol dan keteraturannya, ke arah kerumitan dengan kemungkinan setiap
orang bisa menjadi aktor dan mempengaruhi jalannya politik baik di tingkat global
maupun lokal. Pada sisi lain juga terlihat kemungkinan munculnya pemerintahan
dunia dalam bentuk PBB, yang mengarahkan pada keteraturan suatu negara
(konfederasi?).
Masyarakat
adalah sekumpulan orang orang yang mendiami wilayah suatu negara.
Kekuasaan
Dalam teori politik menunjuk pada kemampuan untuk membuat orang lain melakukan
sesuatu yang tidak dikehendakinya. Max Weber menuliskan adanya tiga sumber
kekuasaan: pertama dari perundangundangan yakni kewenangan; kedua, dari
kekerasan seperti penguasaan senjata; ketiga, dari karisma.
Negara
negara merupakan suatu kawasan teritorial yang didalamnya terdapat sejumlah
penduduk yang mendiaminya, dan memiliki kedaulatan untuk
menjalankan pemerintahan, dan keberadaannya diakui oleh negara
lain. ketentuan yang tersebut diatas merupakan syarat berdirinya suatu
negara menurut konferensi Montevideo pada tahun 1933
Tokoh tokoh pemikir Ilmu Politik dari kalangan teoris klasik, modern maupun
kontempoter antara lain adalah: Aristoteles, Adam Smith, Cicero, Friedrich Engels,
Immanuel Kant, John Locke, Karl Marx, Lenin, Martin Luther, Max Weber, Nicolo
Machiavelli, Rousseau, Samuel P Huntington, Thomas Hobbes, Antonio Gramsci,
Harold Crouch, Douglas E Ramage.
Indonesia
Beberapa tokoh pemikir dan penulis materi Ilmu Politik dan Hubungan Internasional
dari Indonesia adalah: Miriam Budiharjo, Salim Said dan Ramlan Surbakti.
Perilaku politik
Perilaku politik atau (Inggris:Politic Behaviour)adalah perilaku yang dilakukan oleh
insan/individu atau kelompok guna memenuhi hak dan kewajibannya sebagai insan
politik.Seorang individu/kelompok diwajibkan oleh negara untuk melakukan hak dan
kewajibannya guna melakukan perilaku politik adapun yang dimaksud dengan
perilaku politik contohnya adalah:
Hubungan Internasional, adalah cabang dari ilmu politik, merupakan suatu studi
tentang persoalan-persoalan luar negeri dan isu-isu global di antara negara-negara
dalam sistem internasional, termasuk peran negara-negara, organisasi-organisasi
antarpemerintah, organisasi-organisasi nonpemerintah atau lembaga swadaya
masyarakat, dan perusahaan-perusahaan multinasional. Hubungan Internasional
adalah suatu bidang akademis dan kebijakan publik dan dapat bersifat positif atau
normatif karena Hubungan Internasional berusaha menganalisis serta merumuskan
kebijakan luar negeri negara-negara tertentu. Selain ilmu politik, Hubungan
Internasional menggunakan pelbagai bidang ilmu seperti ekonomi, sejarah, hukum,
filsafat, geografi, sosiologi, antropologi, psikologi, studi-studi budaya dalam kajian-
kajiannya. HI mencakup rentang isu yang luas, dari globalisasi dan dampak-
dampaknya terhadap masyarakat-masyarakat dan kedaulatan negara sampai
kelestrarian ekologis, proliferasi nuklir, nasionalisme, perkembangan ekonomi,
terorisme, kejahatan yang terorganisasi, keselamatan umat manusia, dan hak-hak asasi
manusia.
PBB
(Artikel Utama: PBB) PBB adalah organisasi internasional yang
mendeskripsikan dirinya sendiri sebagai “himpunan global pemerintah-pemerintah
yang memfasilitasi kerjasama dalam hukum internasional, keamanan internasional,
perkembangan ekonomi, dan kesetaraan sosial”. PBB merupakan institusi
internasional yang paling terkemuka. Banyak institusi legal memiliki struktur
organisasi yang mirip dengan PBB.
Fungsi
1. Memperlancar hubungan ekonomi baik dalam bentuk pertukaran hasil
produksi dan faktor-faktor produksi serta memperlancar sistem pembayaran
antarnegara.
2. Menciptakan kerja sama secara timbal balik antarnegara melalui perjanjian
ataupun melalui badan/organisasi internasional.
***
***
KITA optimis saja, kendatipun masih ada saling klaim, masih lebih besar lagi peluang
bekerja sama. Kerja sama yang tampaknya akan disepakati semua negara di bidang
perlindungan lingkungan dan ekologi serta riset ilmiah. Dalam paket kerja sama ini
termasuk ekspedisi bersama, sistem pengawasan iklim serta polusi. Kerja sama
pengawasan polusi ini penting di masa depan. Polusi bersumber dari kapal laut, benda
dan zat yang dibuang ke laut, polusi dari darat, dan polusi akibat eksplorasi serta
eksploatasi sumber alam. Jelas dalam bidang-bidang nonpolitis ada kesamaan
pandangan, meskipun rinciannya belum tuntas. Soal bentuk, mekanisme dan siapa
yang menanggung biaya semua operasi, belum terselesaikan. Lalu, jika sudah ada
kemauan untuk bekerja sama dalam bidang tertentu, forum atau institusi apa yang
menanganinya. Seperti diakui Indonesia, sejauh ini memang belum ada institusi yang
mengatur secara isu LCS kecuali lokakarya berseri. Institusi yang diusulkan Indonesia
untuk dipertimbangkan antara lain ASEAN, COST (Committee on Science and
Technology), COFAF (Committee on Food, Agriculture and Forestry), ASOEAN
(ASEAN Senior Officials on Environment) dan ESCAP (Economic and Social
Commission for Asia and the Pacific). Kemudian dimunculkan pula tiga usulan,
meskipun belum mengarah pada aksi bersama. Pertama, Malaysia mengusulkan
Maritime Consultative Council for the South China Sea (MCCSCS) Kedua,
melanjutkan forum seperti lokakarya. Ketiga, membuat satu atau dua program yang
jelas, lalu berdasarkan program itu dibuat suatu jaringan. Hasjim Djalal, perintis
lokakarya LCS, memperkirakan setidaknya dalam tempo tiga tahun baru bisa
dijalankan suatu kerja sama yang mapan. Namun perlu dicatat, gagasan itu pun
mengandaikan tidak ada perubahan radikal dalam tatanan politik dan keamanan di
sekitar LCS. Yang menarik adalah usulan mengundang Jepang ke lokakarya
mendatang mengingat Jepang pengguna LCS yang tidak bisa disepelekan sehingga
peranannya dibutuhkan untuk memberikan bantuan finansial dan teknologis.
Meskipun ada pandangan untuk mengesampingkan Jepang, dengan dalih forum yang
ada sekarang masih mencukupi. Seperti halnya pertemuan informal lainnya, lokakarya
ini masih terbatas menghasilkan rekomendasi untuk para pemerintah. Langkah
selanjutnya akan tergantung dari pemerintah masing-masing. Apakah, misalnya,
rekomendasi akan dilanjutkan dengan perundingan formal, atau pembentukan forum
kerja sama, atau menunggu kesempatan lain yang lebih besar. *
Incaran Cina Salah satu negara besar yang paling dekat ke Asia Tenggara adalah
Cina. Tidak hanya itu dalam sejarah Cina sudah lama mengincar Asia Tenggara
sebagai wilayah pengaruhnya. Sejarah kerajaan di Indonesia mengungkapkan
bagaimana tentara Cina mendarat di Jawa dengan misi menaklukan kerajaan yang ada
di sini. Kini setelah AS menarik diri dan Uni Soviet tidak lagi terlibat konfrontasi di
Asia Tenggara, Beijing memanfaatkan momentum ini. “Mengembangkan
persahabatan jangka panjang dan stabil serta hubungan bertetangga baik dan kerja
sama dengan ASEAN dan begara-negara ASEAN adalah kebijakan dasar negara
(basic state policy) Cina,” ujar Menlu Qian Qichen setibanya di Manila. Pernyataan
ini bisa memiliki banyak arti. Cina mungkin memang benar-benar akan mendekati
Asia Tenggara dengan mengembangkan kerja sama. Namun ada pula arti lain, Beijing
mungkin akan menancapkan pengaruhnya, sehingga di satu sisi tidak dicurigai di sisi
lain bisa bebas bergerak. Satu-satunya yang menghubungkan Cina secara langsung
adalah konflik di Kepualauan Spratly. Tiga anggota ASEAN - Brunei Darussalam,
Malaysia dan Filipina - terlibat dalam klaim Spratly.Dalam kasus ini jelas Cina akan
menampakkan seagai negara yang cinta damai. Dua kali ASEAN sudah menjadikan
Cina tamu dalam pertemuannya. Pertama di Kuala Lumpur dan berikutnya di Manila.
Ini perkembangan yang diinginkan sekali Cina. Bahkan bisa ditebak, Cina ingin
dimasukkan sebagai negara mitra dialog, status tertinggi dalam berhubungan dengan
ASEAN. Tawaran Cina memasuki ASEAN ini dimulai dengan kerja sama ilmiah dan
teknologi, bidang yang aman dari konflik. Mengenai kekosongan kekuasaan di Asia
Tenggara, Cina tidak setuju dengan pendapat itu. Namun anehnya juga menentang
“kekosongan kekuasaan itu diisi”. Dua kalimat yang bertentangan ini dikemukakan
pada peremuan para Menlu ASEAN dengan Cina. Ini cocok dengan ungkapakan
seorang diplomat, “Cina itu tidak konsisten. Apa yang dikatakannya tidak sama
dengan apa yang dikerjakannya.” Sebagai contoh dalam masalah Spratly, Cina berniat
menyelesaikan masalah itu dengan cara damai. Namun juga mengirim pasukan baru
ke Spratly serta menjalin kerja sama dengan perusahaan AS, Crestone Energy Corp.
untuk eksplorasi minyak. Tindakan bersifat provokatif ini mendapat kecaman
Vietnam. Untuk menghilangkan kecurigaan, Cina juga menyatakan menentang
hegemoni dan pemaksaaan kekuasaan politik terhadap negara-negara kcil. Bahkan
dengan simpatik menyatakan di depan para Menlu ASEAN, “Kami mendukung
usulan ASEAN membentuk Zona Perdamaian, Bebas dan Netral (ZOPFAN) serta
Zona Bebas Senjata Nuklir di Asia Tenggara,” salah satu konsep yang diperjuangkan
Indonesia. Kebijakan ke Cina ini mendapat perhatian penuh Vietnam, negara yang
pernah jadi sekutu sekaligus musuh bebuyutan. Mengetahui perhatian Cina ke Asia
Tenggara meningkat, Hanoi segera mengajukan gagasan menerima Perjanjian
Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara. Status observer diberikan para Menlu
ASEAN begitu Vietnam dan sekutu dekatnya, Laos, begitu selesai upacara
penyerahan dokumen persetujuan kedua negara. Sejumlah pengamat berpendapat,
status peninjau ini memberi peluang banyak untuk memperketat hubungan dengan
ASEAN sekaligus menjalin hubungan ekonomi lebih dekat. Di sisi lain, Vietnam
ingin mengimbangi langkah yang diambil Cina. Dengan demikian status peninjau ini
memungkinkan Vietnam mengawasi gerak-gerik Cina ke ASEAN.
Faktor Jepang Aktor lain yang disebutkan sejumlah pengamat bakal mengisi
kekosongan itu adalah Jepang. PM Miyazawa dalam suatu kesempatan menyatakan
negara-negara Asia perlu memiliki payung organisasi untuk menjamin keamanan dan
peramaian kawasan. Pesan Miyazawa ini menandai peranan baru Jepang dalam
bidang keamanan setelah kekuatan ekonominya menjulang tinggi tak terkejar negara
lain. Namun Tokyo berhati-hati dalam mengajukan formula baru keamanan Asia
seiring dengan mengurangnya pasukan AS. Adalah terlalu tergesa-gesa kalu
menyatakan Jepang menggantikan peranan AS di Asia dalam bidang keamanan.
Langkah ini akan mengundang kecurigaan negara-negara Asia yang pernah
dijajahnya. Inilah yang membedakan Cina dengan Jepang. Lagi pula jika Jepang
memainkan peranan ini akan sulit melancarkan hubungannya terutama di bidang
ekonomi. Oleh sebab itu Jepang akan tetap mendompleng AS. Untuk menunjang
langkah ini Jepang bersedia meningkatkan dana bagi pasukan AS yang berada di
jepang. Tahun anggaran 1992 jumlah dan untuk pasukan AS mencapai 4 milyar
dollar. Diproyeksikan menjadi 7 milyar dollar AS pada tahun 1995. Kekuatan
ekonomi Jepang memang bertumpu di luar negeri sehingga makin lama ada kesadaran
keamanannya harus dijamin. Salah satu urat nadi ekonomi itu terletak di Asia
Tenggara. Kalau dihitung investasi Jepang di ASEAN masih kalah dibandingkan
dengan Eropa atau Amerika. Namun jalur minyak dan perdagangan tetap melalui
Selat Malaka dan tentu saja Laut Cina Selatan, wilayah yang diramalkan menjadi titik
perhatian baru setelah Kamboja.
Faktor Rusia Bagaimana dengan pengganti Uni Soviet? Masihkah ada kekuatan ke
Asia Tenggara? Indikasi yang diberikan Menlu Rusia Adrei Koyzrev menunjukkan
upaya Rusia masuk Asia Tenggara. Artinya ingin melanjutkan kebijakan bekas Uni
Soviet ke Asia Tenggara dalam kapasitas yang bersahabat. Koyzrev menegaskan,
Angkatan Laut Rusia akan membantu mempertahankan stabilitas regional, namun
bertindak bukan sebagai agen konfonrtasi tetapi berhubngan yang konstruktif. Ada
anggapan kehadiran AL Rusia mungkin disambut baik sebagai tandaingan kekuatan
Cina, terutama setelah kehadiran AS secara fisik menurun. Pangkalan Cam Ranh
sendiri menghadapi Laut Cina Selatan , wilayah yang jadi perhatian karena terlibat
enam negara mengklaim Kepulauan Spratly. Menurut Kozyrev, setelah pertemuan
dengan Menlu Vietnam Nguyen Manh Cam, kedua pihak mencapai “pengertian jelas”
bahwa kapal perang Rusia yang beroperasi dari Cam Ranh Bay takkan berkonfrontasi
dengan kapal perang AS atau kekuatan di wilayah itu. Ia menambahkan, kapal Rusia
di wilayah itu hanya menjadi unsur penjaga stabilitas. Rusia tampaknya tidak akan
begitu saja meninggalkan Asia Tenggara meskipun saat ini posisinya sangat lemah.
Setidaknya status sebagai tamu memungkinkannya melangkah dalam kerja sama yang
lebih lunak dengan ASEAN seperti di bidang perdagangan. Kekosongan kekuatan,
istilah yang banyak digunakan Filipina, memang mengundang berbagai kemungkinan.
Filipina, Thailand dan Singapura memangdangnya dari kemungkinan negatif. Artinya
ada dua kekuatan yang bisa masuk Cina atau Jepang. Namun tentu saja harus ada
aturan mainnya terlebih dahulu. Nah, aturan main ini yang belum ada karena harus
ada penyesuaian lebih dahulu. Indonesia memiliki pandangan independen dengan
mengeajukan konsep Zona Bebas Damai dan Netral yang sudah disepakati ASEAN.
Namun ada anggapan konsep ini sudah kuno, harus dicari kode etik baru.
***
DI satu sisi, anggapan itu mungkin benar. Setidaknya itu menurut pandangan
Indonesia. Beberapa diplomat mengatakan, dalam situasi seperti ini, Indonesia
melihat peluang bagi keseimbangan baru dengan meletakkan pendekatan-pendekatan
baru bagi negara-negara besar. Bahkan Indonesia memandang, saat ini merupakan
kesempatan untuk menyelesaikan konflik dengan cara damai tanpa menggunakan
kekuatan militer dan kontak senjata. Namun ternyata, pandangan ini menimbulkan
situasi terjadinya tarik-menarik yakni untuk tetap bertumpu pada kemampuan
kawasan dengan menyandarkan diri pada kekuatan seperti AS. Karena pandangan itu,
Indonesia berpendapat pembicaraan keamanan regional harus dikembangkan dengan
landasan konsep ZOPFAN. Diakui, konsep ZOPFAN memang dicetuskan dalam
situasi yang berbeda dengan keadaan sekarang. Atau dengan kata lain, konsep itu
muncul saat Perang Dingin masih berlangsung dan Uni Soviet pun belum bubar.
Indonesia berkeras mengatakan, konsep itu masih bisa tetap berlaku. Alasannya,
ASEAN akan tetap memiliki keinginan hidup merdeka, damai, dan netral seperti yang
tercetus dalam konsep tersebut. Dengan pandangan ini, Indonesia yakin, konsep
ZOPFAN masih relevan. Pendapat ini agaknya didukung Malaysia dan Brunei
Darussalam. Menlu RI Ali Alatas menegaskan, tidak perlu lagi menciptakan wahana
baru untuk membicarakan dan mendiskusikan keamanan regional. Artinya, untuk
tingkat ASEAN, acara itu bisa ditampung melalui pertemuan pejabat tinggi atau SOM
(Senior Official Meeting) dan pertemuan tahunan Menteri ASEAN atau AMM.
Sedang dialog dengan rekan di luar ASEAN bisa dilakukan melalui ajang PMC.
Pendapat ini didukung Masyarakat Eropa (ME) yang diucapkan Menlu Inggris
Douglas Hurd dalam sambutan troikanya.
***
NAMUN, konsep itu ternyata tidak disepakati oleh Thailand, Filipina, dan terutama
Singapura. Pada pokoknya ketiga negara itu lebih melihat segi negatif ZOPFAN.
Ketiga negara itu memandang konsep ZOPFAN merupakan proses jangka panjang.
Dan yang lebih hebat lagi, mereka mengatakan ZOPFAN sudah tidak begitu relevan
dengan perkembangan zaman. Bahkan mereka pun tidak yakin pada kemampuan
ZOPFAN dalam menjamin keamanan dan stabilitas Asia Tenggara. Oleh karena itu,
mereka ingin membentuk kerja sama lebih luas yang mencakup kawasan Asia Pasifik,
khususnya dengan negara-negara besar. Hal itu dimaksudkan, agar interaksi dalam
kerja sama itu bisa mempengaruhi stabilitas keamanan kawasan. Masalah ini menjadi
bahan diskusi yang paling menarik dalam diskusi formasi 6+7 PMC. Pembicaraan itu
memang lalu tidak hanya masalah keamanan dalam pengertian militer, namun
mengarah pada keamanan dalam pengertian komprehensif yang menyangkut seluruh
aspek kehidupan seperti sosial, ekonomi, politik, lingkungan, ataupun kebudayaan.
Diskusi semakin hangat setelah Kanada mengusulkan membentuk forum dialog baru
tentang keamanan regional yang dinamakan “The North Pacific Cooperative Security
Dialog” atau NPCSD. Ide itu muncul setelah Kanada melihat perlunya kerja sama
yang kooperatif dalam bidang keamanan, terutama untuk mengatasi berbagai masalah
regional seperti sektor ekonomi, narkotika, lingkungan hidup, dan terorisme. Sambil
berjalan, diharapkan kerja sama itu menumbuhkan rasa saling percaya yang
dimungkinan dari pelaksanaan dialog informal yang konstruktif. Sementara itu pada
dasarnya Jepang setuju dengan pendapat Indonesia tentang penggunaan jalur PMC
untuk membicarakan keamanan regional. Namun Menlu Taro Nakayama memadang
jalur itu saja belum cukup. Menurut dia, pertemuan itu harus bisa menghasilkan
dialog politis tentang keamanan yang bisa dirasakan oleh seluruh partai. Untuk itu,
Jepang mengusulkan teknik “two-track”. Artinya, jalur yang menggabungkan
pendekatan sub regional dengan dialog politis dalam skala yang lebih luas. Jepang
menilai, dialog dengan commitment pendekatan sub regional hanya bisa mengatasi
masalah dalam satu kawasan. Sementara itu pada saat yang sama, diperlukan pula
dialog yang mencakup spektrum lebih luas dan melibatkan berbagai negara. PM
Jepang Miyazawa di Washington menekankan, dialog politis dalam skala yang lebih
luas ini penting karena pada kenyataannya dewasa ini telah hadir berbagai kerja sama
internasional dengan bermacam cara dan tujuan. Karena itu, Wakil Menlu Jepang
Koji Kakizawa dalam pertemuan PMC di Manila kali ini menegaskan, ASEAN perlu
memiliki forum dialog dalam skala yang lebih luas seperti itu. Menlu Korea Lee
Sang-Ock menambahkan, saat ini merupakan waktu yang tepat untuk menelaah
kembali cara-cara baru yang bisa digunakan sebagai forum mengkonsultasikan
keamanan regional. Walau tanpa menyebut satu bentuk yang jelas, Lee mengatakan,
forum itu penting mengingat adanya perubahan regional yang semakin kompleks.
Pendapat senada diungkapkan oleh Menlu Australia Gareth Evans. Pada prinsipnya,
Australia memandang keamanan regional harus didekati secara multi dimensional.
Artinya, menggunakan pendekatan yang melibatkan segi militer atau pertahanan serta
dimensi lain, seperti diplomasi, ekonomi, perdagangan, serta berbagai cara untuk
menghadapi ancaman. Pendeknya, Australia akan tetap menggunakan kebijakan
constructive commitment untuk kawasan Pasifik Selatan dan comprehensive
engagement untuk Asia Tenggara. Berakhirnya Perang Dingin antara AS dan Uni
Soviet yang pasti membawa perubahan pola politik dari bipolar ke arah multipolar.
Beberapa pengamat mengatakan, AS beberapa tahun terakhir ini telah mengubah
pendekatannya terhadap Asia, namun tetap memberi payung penangkal kepada
Jepang, Korea Selatan, dan Filipina. Bahkan memperluasnya. AS menegaskan
komitmennya untuk tetap hadir di Asia diantaranya melalui akses pangkalan militer
seperti yang dilakuka terhadap Singapura. Namun, di tengah perubahan pola politik
ini, tampaknya AS merasa terlalu berat dengan tanggung jawab keamanannya. Lalu
AS ingin membagi tanggung jawab itu dengan negara-negara Asia. Karena itu, AS
berharap negara-negara Asia mampu mandiri dalam menghadapi ancaman militer
lokal. Sementara itu, AS hanya akan bergerak bila ada ancaman lebih besar dan
potensial. Hanya, kehadiran AS dalam PMC ternyata semakin menjauhkan
pembicaraan dari pencapaian hasil maksimal. Hingga akhir pertemuan, tarik-menarik
ajang dialog ini tetap terjadi. Tidak ditemukan rumusan resmi tentang ajang atau
mekanisme dialog keamanan regional tersebut. Sebuah sumber menyebutkan, pada
umumnya setiap negara masih tetap dalam konstalasi pikiran masing-masing tentang
rumusan forum dialog keamanan regional. Namun pada umumnya, rata-rata
sependapat keamanan regional harus didasarkan pada rasa aman, tenteram, damai, dan
netral. Namun yang pasti, dari pertemuan PMC di Manila ini terungkap, seluruh
negara tetap menghendaki kehadiran Amerika di kawasan Asia baik secara fisik
maupun non fisik. “Demi keseimbangan,” kata mereka.***
KOMPAS, Minggu, 26-07-1992. Hal. 9
MABUHAY! Selamat datang! Kata ini yang pertama kali dijumpai, begitu kaki
menginjak tanah Filipina. Dan tak perlu berpanjang kata untuk mengenal keramahan
masyarakat Filipino yang merupakan perpaduan dari Indo-Melayu, Cina, dan
Spanyol. Para Manilenos (baca: manilenios) yang rata-rata lancar berbahasa Inggris
itu, memang memberi perhatian istimewa pada tetamu, khususnya tamu asing. Namun
mengenang Filipina, kesan muram lalu muncul. Hiruk pikuk, kotor, panas, dan
berdebu. Tak jarang wajah Manila, ibu kota Filipina, menjadi muram. Di balik
gedung-gedung tinggi nan angkuh dan terbalut semen pudar hingga seolah tak
bersahabat dengan alam sekitar itu, wajah Manila bagai gadis manis yang sedang
patah hati. Muram, murung, tak bersinar. Keadaan ini jauh berbeda dengan Manila
sebelum terkena ‘darah’ bangsa Spanyol. Konon, pada awalnya ada sekelompok
rumpun yang berdiam di tepian Sungai Pasig. Sungai ini tepat bermuara di kota
Metropolitan Manila atau lebih dikenal dengan sebutan Metro Manila, yang kini
terdiri dari Caloocan, Pasay, dan Quezon. Tepi selatan sungai dikuasai Raja
Sulayman. Sedang tepi utara diperintah oleh paman Suleyman, Lakandula. Mereka
menanami tepian Sungai Pasig dengan bunga-bunga nilad. Tak heran bila di
sepanjang sungai itu, lalu dipenuhi warna kuning keemasan. Orang pun lalu menyebut
wilayah ini sebagai Maynilad. Namun, keindahan alami itu tiba-tiba runtuh setelah
bangsa Spanyol datang. Satu persatu bunga nylad gugur, seiring dengan kematian
Raja Sulayman dalam pertempuran di Bangkusay. Nama Maynilad pun hilang.
Selanjutnya, Miguel Lopez de Legaspi, pemimpin ekspedisi Spanyol, menyebutnya
Manila. Di tangan Legaspi, Manila diubah menjadi replika Eropa. Dan terjelmalah
keindahan khas Eropa di Asia. Bahkan pada 24 Juni 1571, Raja Spanyol menyebutnya
sebagai “The Noble and Ever Loyal City”. Resmilah Maynilad menjadi Manila.
***
***
KEADAAN di atas merupakan cermin yang harus dihadapi oleh Presiden Ramos.
Namun ternyata masih banyak hal lain yang musti dibereskan. Seperti dikatakan Dr
Julius Caesar F Parrenas, peneliti pada Center of Research and Communication,
tentang Miriam Santiago yang sampai sekarang tetap menganggap Ramos curang
dalam pemilu lalu. Atau Kardinal Sin yang semula memang menolak Ramos yang
beragama Kristen. Namun pada umumnya saingan Ramos pada pemilihan presiden
menyatakan dukungan kepadanya, kecuali Santiago. Imelda Marcos, Eduardo
Conjuangco, Jovito Salonga dan Ramon Mitra mau menerima kemenangan Ramos.
Itu berarti posisi Ramos saat ini kuat sekali, terutama setelah Ketua Majelis Tinggi
(Senat) Neptali A Gonzales dan Ketua Majelis Rendah (House of the Representatives)
Jose de Venevecia Jr berhasrat kerja sama dengannya. Bila basis Cory berasal dari
tuan tanah, Ramos sama sekali tidak memiliki latar belakang itu. Ia berasal dari
kalangan birokrat. Ayah Ramos adalah wartawan yang diangkat jadi Sekjen
Kementerian Luar Negeri. Jadi basis kekuatan Ramos bukan para tuan tanah
melainkan birokrasi dan sejumlah pengusaha. Ini bisa berarti land reform dapat
berjalan mulus karena Ramos tidak memiliki kepentingan langsung, berbeda dengan
Cory dahulu. Tetapi anehnya hal ini tidak terjadi karena Ramos lebih memfokuskan
pada peningkatan produktivitas dan pengurangan kemiskinan ketimbang menekankan
pada land reform. Masalah Ramos tidak hanya menyangkut soal kerja sama dengan
kaum elit tuan tanah, pengusaha atau politisi karir, tetapi juga menghadapi ancaman
dari kaum pemberontak. Yang menonjol tentu saja ekstrem kanan dari tubuh militer
yang mengguncang pemerintahan Cory dengan serentetan kudeta. Tokoh sentral
pembangkangan dari tubuh militer adalah Kolonel Gregorio “Gringo” Honasan yang
kini masih bersembunyi. Baik Parrenas maupun Alexander Magno dari Pusat Studi
Dunia Ketiga, University of the Philippines sependapat kekuatan mereka sudah
melemah. Antara lain karena isu yang dilontarkan seperti perbaikan taraf hidup
serdadu, ekonomi dan pemberantasan korupsi sudah kurang relevan. Ramos begitu
terpilih sudah berjanji memberikan sekitar 30 persen kenaikan gaji bagi kalangan
militer. Ini berbeda dengan Cory yang dianggap “menelantarkan” militer. Menurut
Parennas pembangkang militer ini juga sudah melemah karena ada tiga faksi militer
yakni RAM (Reformed the Armed Forces Movement) di bawah Honasan, kelompok
loyalis SFP (Soldiers of the Filipino People) dan kelompok YOU (Young officer’s
Union). Bagaimana dengan pemberontak komunis ? Parrenas menyatakan, ideologi
komunis lagi sekarat. Konon kekuatan bersenjata komunis tinggal sekitar 17.000 dari
100.000 orang. Demikian pula dengan pemberontak Moro yang berhasil dijinakkan
pada masa Cory. Ramos tampaknya akan melanjutkan kebijakan terdahulu dengan
cara menarik satu kelompok dengan memberi jabatan penting dan membiarkan
kelompok lain sehingga kekuatan Moro yang terdiri dari Front Pembebasan Nasional
Moro (MNLF), Front Pembebasan Islam Moro (MILF) dan Organisasi Pembebasan
Bangsa Moro (BMLO) tak lagi bersatu. Masyarakat muslim sendiri ketika
berlangsung pemilihan presiden turut memberikan suaranya.
***
SATU lagi kekuatan yang tak bisa diabaikan dalam percaturan politik Filipina yakni
gereja. Kebetulan Ramos menjadi presiden pertama dari kalangan non-Katolik.
Karena itu, dalam masa pemilihan ia pernah ditolak oleh Kardinal Sin, meski pada
akhirnya dia pun secara khusus memberi dukungan . Gereja Katolik selama ini
memang tidak pernah melibatkan pihak Protestan, khususnya dalam kebijaksanaan
yang berhubungan dengan konsensus Gereja atau yang bertentangan dengan ajaran
Gereja. Lembaga ini juga memiliki kedudukan penting dalam pengambilan keputusan.
Mantan Presiden Corazon Aquino menegaskan, tidak adanya pemisahan antara gereja
dan penguasa negara. Sedang Kardinal Sin mengatakan, politik merupakan kegiatan
manusiawi, karena itu memiliki dimensi moral. “Sudah merupakan tanggung jawab
gereja untuk mengajak para pengikutnya mengusahakan pemilihan umum yang
bersih, jujur, dan adil serta tidak memilih calon yang dikenal sebagai koruptor atau
tidak jujur,” jelas Sin. Dengan alasan itu, Sin menegaskan perlunya peranan gereja
dalam kehidupan politik. Tugas gereja, lanjutnya, termasuk mengaktifkan masyarakat
untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik. “Gereja Katolik punya hak untuk
bersuara, khususnya dalam kebijaksanaan politik yang menyangkut moralitas,”
tegasnya. Menyimak penjelasan itu, sudah pasti gereja memang akan menjadi kunci
penting dalam masa kepemimpinan Ramos, meski Kardinal Sin sendiri telah
menegaskan akan mendukung dan tidak lagi akan memasalahkan soal agama. Namun,
yang pasti, Ramos ingin mempersatukan kehidupan politik. Ia pun lalu berusaha
mengurangi keterlibatan gereja, karena akan bertentangan dengan upaya pemersatuan
ini. Dilihat dari masa kepemimpinannya yang baru berumur 56 hari ketika laporan ini
ditulis (ia disahkan 22 Juni 1992), Ramos memang boleh dibilang baru menggeliat
dari tidur. Melihat seluruh tantangan itu, lalu memang timbul pertanyaan, mampukah
Ramos? Atau akankah Maynilad-ku kembali? “Sana,” kata orang Filipina. “Semoga,”
kata orang kita. ***
Inginkan perubahan Bagi orang luar, nama Suu Kyi berasosiasi dengan kebebasan dan
demokrasi. Pemikiran dan pandangannya pun tidak lepas dari isu demokratisasi dan
pembebasan masyarakat dari belenggu junta militer. Ia menginginkan dialog. Ia
sangat berminat untuk rekonsiliasi. Pesan perubahan ini tidak hanya merupakan
refleksi dari pengalaman penahanan selama enam tahun yang dialaminya, tetapi juga
bagian dari tuntutan masyarakat internasional. Suasana pasca Perang Dingin — yang
sangat menonjolkan isu hak asasi manusia — menempatkan rezim Myanmar dalam
posisi sulit. Jika penahanan dilanjutkan, Myanmar akan semakin terisolasi dari modal
dan teknologi. Sebaliknya kalau ia dibebaskan, risiko yang harus dihadapi adalah
militer berbagi kekuasaan dengan Suu Kyi dan kelompok NLD yang menjadi idola
masyarakat kebanyakan. Suu Kyi yang dibesarkan di luar negeri tampaknya tidak
kunjung mengerti bagaimana militer bisa berkuasa tanpa konstitusi dan badan
legislatif atau parlemen sejak 1988. “Salah satu keunikan pemerintah Myanmar
sekarang, ia berdiri tanpa konstitusi,” komentar seorang pengamat di Yangoon.
Gagasan utama Suu Kyi adalah soal rekonosiliasi, demokratisasi, dan pembebasan
Myanmar dari segala macam tirani. Ia pernah ditawari untuk keluar negeri sebagai
ganti dari tahanan rumahnya. Namun putri pejuang Myanmar, Jenderal Aung San, ini
sangat keras pendapatnya. Ia memilih terisolasi dan menderita untuk kebebasan
negerinya. Apa sebetulnya yang diinginkan Suu Kyi dengan NLD-nya? Walaupun
ayah Suu Kyi sendiri seorang jenderal, kekuasaan militer yang represif dan
berkepanjangan telah membangkitkan semangat kelompok ini untuk mendorong
kehidupan demokrasi. Ketika ditanya apa makna demokrasi, Suu Kyi menjawab,
untuk istilah itu hanya rakyatlah yang lebih tahu. Terbukti dalam pemilu 1990 rakyat
mendukung gagasan yang dibawa NLD untuk mengantar pada kemajuan Myanmar.
Suu Kyi memang menempati posisi sentral dalam perubahan sosial politik di
Myanmar. Perubahan ini jugalah yang bisa mengantar pada perubahan ekononmi.
Barat masih memegang ucapan Suu Kyi sebagai indikator apakah akan perlu segera
menamam modal secara besar-besaran atau menunda dulu. Sebaliknya negara-negara
Asia mengambil sikap lain dengan menjalin hubungan dengan Myanmar. Masalah
yang dihadapi oleh NLD saat ini dalam Konvensi Nasional adalah kekuatan mereka
tidak sebanding dengan kekuatan pemerintahan. Menurut Kyi Win (76), pihaknya
hanya bisa menggalang dua kekuatan dalam melawan lima kelompok propemerintah.
“Kita selalu kalah dalam pengambilan keputusan,” kata tokoh tua NLD yang
berpangkat kolonel. Pernyataan ini mencerminkan situasi yang rawan bagi NLD dan
simpatisannya, karena tidak semua ide bisa masuk dalam konstitusi. Hal ini dipahami
Suu Kyi. Karena itu ia meminta rekonsiliasi,dalam arti posisinya dihargai tinggi, dan
bukannya dihitung sekadar sebagai satu kelompok kecil di Konvensi Nasional. Rakyat
sipil yang biasa memakai sarung kebanyakan mendukung posisi Suu Kyi. Tidak
hanya karena ia tokoh karismatis yang tampak menonjol pada tahun 1988, tetapi juga
karena rakyat sangat menghargai perjuangannya walaupun sudah ditahan selama
enam tahun. Inilah yang semakin menumbuhkan keberanian dan optimisme rakyat
dan pendukung NLD, sehingga mereka yakin akan ada perubahan. Seperti
diungkapkan Kyi Win, sebenarnya NLD mampu menempuh perjuangan bersenjata,
karena ada ratusan anggota militer yang bergabung di NLD, termasuk di dalamnya
Jenderal Tin U (mantanKepala Staf AB dan Menteri Pertahanan) yang kini jadi ketua
NLD. Namun pada umumnya mereka tidak berseragam lagi, mereka seperti umumnya
rakyat Myanmar, mengenakan sarung. Oleh sebab itulah tampak jelas sekali
bagaimana seragam hijau militer yang terjun dalam dunia politik di Myanmar, seolah-
olah menghadapi rakyat berpolitik yang mengenakan sarung atau longyi (bagi
perempuan). Identitas budaya berpakaian ini sudah bisa membedakan mana aliran
“sarung” dan mana aliran “seragam hijau”, tidak hanya dari cara berpikir tapi juga
kegiatan politik mereka. Rekonsiliasi dan bentrokan dua kekuatan politik inilah yang
akan mewarnai perjalanan panjang menuju Myanmar yang demokratis. ***
RUMAH TAHANAN — Di rumahnya yang cukup luas ini, Suu Kyi mendekam
selama enam tahun. Ia terisolasi sama sekali dari dunia luar. Hanya sebuah radio yang
menemaninya setiap hari. Suami (Michael Aris) dan kedua anaknya (Kim dan
Alexandra) tidak boleh menemani, kecuali setahun sekali, itu pun harus atas izin
regim militer.
SEORANG turis yang baru masuk Myanmar diharuskan menukar 300 dollar AS
dengan Foreign Exchange Certificate (FEC). Di mata uang kertas ini tertulis: satu
dollar sama dengan satu FEC. Jadi nilainya tidak bergantung pada fluktuasi kurs
dollar. Selain itu jangan lupa, FEC ini tak bisa dikembalikan. Belanjakan semuanya
atau rugi sama sekali. FEC memang tidak berlaku di luar Myanmar. Mata uang ini
hanyaberlaku untuk turis dan orang asing. Lagi pula FEC tidak bisa dipakai untuk
membeli makanan di toko-toko biasa, kecuali di toko besar khusus untuk turis. Bayar
hotel boleh dengan FEC, tapi naik taksi harus menggunakan mata uang lain, bernama
Kyat. Kyat (baca: cat) adalah mata uang resmi bagi penduduk Myanmar.Jika FEC
nilainya stabil, maka Kyat punya dua nilai: resmi dan gelap. Menurut informasi, satu
dollar AS resminya bernilai 6 Kyat. Tapi jika Anda menukar dollar di pasar gelap
nilainya bisa mencapai 80 sampai 100 Kyat! Lalu pemerintah menggunakan nilai
yang mana? “Kalau untuk data resmi pakai nilai formal, tapi harga-harga di pasaran
menggunakan nilai pasar gelap,” komentar Thein Win, seorang warga Yangoon. Nilai
uang yang ganda serta berlakunya dua mata uang memang bisa membuat pusing,
tidak hanya orang asing tapi juga penduduk setempat. Akhirnya, seperti diamati Thein
Win, semua orang baik pejabat maupun penduduk berlomba-lomba mencari dollar
AS. “Saya menyimpan dollar untuk berjaga-jaga dan membeli barang dari luar,” kata
Thein Win, direktur Topaz International Ltd. Tambahan lain, dikabarkan ada FEC
palsu beredar di masyarakat, entah dari mana asalnya. “Yang penting pemerintah
mendapatkan dollar, tidak peduli berapa banyak FEC beredar,” ujar seorang penduduk
Yangoon. Situasi ini menambah rumit kondisi moneter yang tampak membutuhkan
suntikan lembaga keuangan internasional untuk menjaga stabilitas harga.*** BUKAN
hanya mata uang yang memusingkan rakyat Myanmar. Soal bahan bakar pun juga
memberatkan. Setiap kendaraan di Myanmar hanya mendapat jatah delapan liter
seminggu. “Mana cukup?” ujar seorang sopir taksi. Solusinya adalah membeli bahan
bakar di pasar gelap. Konon bensin yang beredar di pasar gelap ini berasal dari para
pejabat yang menjual diam-diam ke tempat-tempat penampungan ilegal. Sejumlah
pejabat ini kabarnya sering mengambil bahan bakar dari pompa bensin resmi
sebanyak-banyaknya. Jatah bahan bakar ini memperlihatkan dimensi lain, betapa
Myanmar masih harus bekerja keras dalam membangun ekonomi pasar ala mereka.
Tidak adanya konstitusi semakin mempersulit perkembangan bisnis. Meskipun
demikian diakui pula bahwa dalam beberapa tahun terakhir SLORC mampu
membawa perubahan fisik yang mencolok. Jumlah kendaraan dan gedung-gedung
baru di Yangoon merupakan indikator bangkitnya kegiatan ekonomi Myanmar.
Gedung baru berupa hotel atau pusat pertokoan tampak sedang dibangun di sejumlah
sudut Yangoon. Singapura adalah salah satu negara yang aktif menanam modal di
pasar yang potensial ini. Namun keberhasilan pembangunan fisik saat ini di Myanmar
membawa konsekuensi lain bagi rakyat. Seperti diakui Thein Win dan banyak
diplomat di Yangoon, pembangunan fisik berjalan pesat. Namun, katanya, harga
sandang dan pangan semakin tidak terjangkau. Pesatnya harga-harga tidak berimbang
dengan kenaikan pendapatan masyarakat. Seperti diamati Suu Kyi, tingkat inflasi di
Myanmar memang sangat membahayakan. Untuk menggambarkan betapa sulitnya
ekonomi rakyat, salah satu indikatornya adalah harga makanan. Menurut Thein yang
juga diakui Patrick Khan (penduduk muslim Myanmar), antara tahun 1987-1988,
untuk sekali makan diperlukan 10 Kyat. Pada saat itu pendapatan normal penduduk
sekitar 500 Kyat. “Sekarang untuk sekali makan setiap orang sedikitnya
mengeluarkan 100 Kyat. Padahal gaji seorang pegawai kecil sekitar 1.000 Kyat per
bulannya,” tutur Thein. Sedangkan gaji kalangan profesional seperti dokter, insinyur,
atau pengacara berkisar 5.000 Kyat lebih. Jika kurs satu dollar adalah 80 Kyat, artinya
kaum profesional cuma menerima sekitar 63 dollar sebulan (Rp 140.000). ***
SITUASI ekonomi riil kehidupan rakyat menunjukkan betapa Myanmar masih
menghadapi soal berat di bidang ekonomi. Berbagai berita lokal yang memperlihatkan
pembangunan gencar di seluruh pelosok Myanmar belum bisa menyelesaikan soal
standar hidup yang makin menurun. Bagi kalangan tertentu, terutama mereka yang
dekat dengan militer dan mendapat gaji dollar AS, Myanmar memang surga. Segala
kemudahan terbentang luas. Sebaliknya, dari pengamatan di jalan menuju Bagu,
misalnya, kemiskinan dan kesulitan rakyat pinggiran sangat terasa. Sawah yang
membentang luas (Myanmar terkenal sebagai gudang padi) bahkan sekarang harus
berjuang keras untuk memberi makan rakyat. Indikator ekonomi resmi pemerintah
tidak selamanya bisa mengukur tingkat keberhasilan pembangunan ekonomi. Dengan
GNP per kapita sekitar 220 dollar AS, Myanmar tergolong negara miskin. Lebih dari
itu, pendapatan negara masih bergantung pada pertanian dengan angka 38,3 persen.
Seperti dikutip dalam Myanmar Business & Economic Review (1994), pemasukan
dari manufaktur baru 9,2 persen. Walaupun demikian industri batu permata, turisme,
dan pertanian masih belum tergali maksimal. Indonesia sebenarnya memiliki peluang
besar masuk pasar Myanmar, tetapi saat ini pengusaha Singapura melangkah lebih
agresif. Selain potensi alam, semangat nasionalisme di Myanmar juga merupakan
potensi besar bagi pengembangan sumber daya manusia. “Saking tingginya
nasionalisme ini, maka dulu diperintahkan semua rakyat memakai sarung sebagai
pakaian nasionalnya,” komentar Atase Pertahanan RI Kolonel YA Hascaryo. Tak
heran, bila kita melihat, pegawai kantor, pedagang, bahkan sopir taksi sekalipun
mengenakan sarung. Kesulitan-kesulitan ekonomi ini juga menimbulkan berbagai
persoalan bagi Myanmar untuk bergabung dengan ASEAN. Dari segi ekonomi,
penggabungan itu memerlukan perbaikan sistem perekonomian dan dukungan
keuangan internasional. Celakanya, dunia internasional akan mendukung secara
finansial bila ada perbaikan hak asasi manusia dan demokratisasi, termasuk
pembebasan tahanan politik. Oleh sebab itulah, kemajuan ekonomi sangat bergantung
pada rekonsiliasi politik. Lebih baik lagi jika pemilu yang demokratis sudah
berlangsung, walaupun mungkin sekali dimenangkan kelompok politik pro rezim
militer. ***
TEPUK tangan massa yang berkumpul di depan pintu gerbang kompleks rumah Aung
San Suu Kyi terdengar membahana, begitu pengeras suara dipasang di kedua sisi
pintu. Teriakan gembira dan tepuk tangan semakin gemuruh, saat Suu Kyi yang
bertubuh kecil munculdi atas gerbang dengan sapaannya yang riang. Ia mengingatkan
massa agar bekerja keras dan tidak hanya berkumpul di depan pintu rumahnya.
“Bekerja lebih penting daripada sekadar bicara,” ujar Suu Kyi. Namun sebagian
menjawab bahwa mereka sangat ingin mendengar dan melihat Suu Kyi sehat. Mereka
sangat rindu pada Suu Kyi setelah enam tahun tak terlihat. Walaupun secara formal
larangan berkumpul lebih dari lima orang masih berlaku, namun ratusan orang masih
setia datang pada minggu-minggu pertama pembebasan Suu Kyi. Di depan rumah Suu
Kyi yang terletak di University Avenue nomor 54, Yangoon, ini boleh dikatakan telah
berubah menjadi panggung demokrasi kecil-kecilan. Massa yang ditemui di sini
adalah rakyat jelata. Mereka tidak menunjukkan strata sosial tinggi. Mereka adalah
rakyat biasa yang ingin mendengarkan suara dan pesan Suu Kyi. Sungguh
mengesankan bahwa mayoritas pendengar setia Suu Kyi adalah wanita, baik tua
maupun muda. Mereka rela berjongkok menunggu sekitar satu jam di tengah terik
matahari Myanmar atau di tengah siraman hujan. Pertemuan selama 10 menit seperti
mengobati keinginan mereka.
***
MEMBACA KOMPAS — Meski tak bisa berbahasa Indonesia, Aung San Suu Kyi
antusias memperhatikan harian Kompas yang memuat berita pembebasannya.
Tampak ia tengah mengamati wajah dirinya yang dimuat harian Kompas edisi 12 Juli,
saat ditemui tanggal 21 Juli lalu.
KITA lihat saja dalam masalah konflik Kamboja yang menyita energi ASEAN sangat
besar. Banyak pengamat menilai, konflik Kamboja tak lain dari perpanjangan
kepentingan negara-negara besar yang terlibat dalam Perang Dingin tahap kedua di
Asia Pasifik. Perang saudara di Kamboja yang ditandai dengan penggulingan Raja
Norodom Sihanouk oleh berbagai unsur kekuatan pro AS di bawah pengaruh Jenderal
Lon Nol tahun 1970. Di belakang Lon Nol adalah Dinas Intelijen Amerika Serikat,
CIA. Lo Nol digulingkan Khmer Merah yang akhirnya dipimpin Pol Pot. Kehadiran
Khmer Merah mewakili Cina, salah satu negara besar. Tahun 1978, pasukan yang
antara lain melibatkan Hun Sen menyerbu masuk Kamboja dari Vietnam. Vietnam
saat itu banyak dinilai dipengaruhi Uni Soviet. Kehadiran Uni Soviet di Kamboja
membuat gerah AS. Melalui Thailand, Washington berharap akan ada perimbangan.
Jadi konflik Kamboja yang diakhiri dengan penandatanganan perdamaian di Paris
tahun 1991, tak lain daripada perpanjangan perang Cina, Rusia dan AS. ASEAN
menunjukkan identitasnya dengan mengetengahkan bahwa konflik regional harus
diselesaikan secara regional bukan oleh kekuatan asing. Setelah melalui liku-liku
diplomasi yang rumit dan menegangkan, Indonesia dan Perancis menjadi ketua
bersama dalam menggulirkan penandatanganan perdamaian di Paris. Berakhirnya
perang di Kamboja yang melibatkan kekuatan asing menandai dimulainya era
perdamaian di Asia Tenggara. Perdamaian itu pun tercipta karena ditopang oleh
prakarsa ASEAN. Konflik yang bisa diselesaikan ini telah mendorong iklim
pertumbuhan ekonomi yang menjadi ciri kawasan Asia Timur. Malaysia, Indonesia,
Singapura, Thailand dan kemudian Filipina adalah “macan-macan muda” Asia yang
mencengangkan Eropa dan AS dengan pertumbuhan yang mengesankan. Di sini
terbukti bahwa, stabilitas yang diusahakan ASEAN secara langsung berpengaruh
terhadap meluasnya kemakmuran di tengah tengah bangsa Asia Tenggara. ***
“NILAI-nilai Asia pada dasarnya adalah demokrasi yang defisit dan ekonomi
surplus,” kata David Roche, direktur pelaksana Independent Srategy Ltd, sebuah
perusahaan konsultan investasi. Kemudian ia meramalkan, “Keduanya kini memiliki
defisit, itulah kesulitannya. Anda memiliki lembaga-lembaga politik yang kurang
dewasa dan struktur partai yang tunggal, tak mampu memperdebatkan banyak kasus,”
lanjutnya seperti dikutip IHT. Lebih jelas ia menekankan, “Demokrasi adalah alat
yang hebat untuk mencapai konsensus dan mendukung kebijakan yang tegas.”
Penilaiannya mengingatkan bahwa lembaga-lembaga politik yang bisa menopang
kemajuan dan pertumbuhan mesin ekonomi itu sedang mengalami “turun mesin”.
Situasi ini memang menyakitkan karena tidak hanya bertaruh soal apakah mata uang
Asia bisa mengimbangi lagi dollar AS atau kembali ke jalur cepat pertumbuhan, tetapi
juga soal kredibilitas karakter dalam menghadapi kesulitan ekonomi ini. Apakah jalan
pintas yang diambil para pemimpin Asia tanpa memperdulikan urun pendapat dari
berbagai lapisan masyarakat. Bila melihat ke belakang memang pertumbuhan macan-
macan Asia ini mengagetkan Barat. Banjirnya barang-barang Asia, tak hanya datang
dari Jepang, Hongkong, Korea Selatan, Taiwan dan Singapura tetapi juga dari
Indonesia, Malaysia, Thailand dan kemudian akhirnya Filipina. Jika pertumbuhan
negara-negara Eropa rata-rata tak lebih dari dua persen, maka kawasan Asia
mengalami booming ekonomi dengan pertumbuhan antara 6-12 persen. Jika
momentum pertumbuhan ini dipertahankan, Malaysia berani meramal pada 2020 akan
menjadi negara maju, sejajar dengan Barat sekarang. ***
BAGI negara-negara Barat, krisis ini secara tidak langsung membangkitkan lagi
peluang masuk untuk mempengaruhi proses pembangunan ekonomi dan politik Asia.
Bantuan International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia takkan lepas dari
paradigma penyelesaian ekonomi rasional ala Barat. IMF datang ke Thailand
membawa 17,2 milyar dollar, ke Indonesia 23 milyar dollar AS sedangkan Korea
Selatan diberikan “bantuan” darurat sekitar 20 milyar dollar. Persoalannya, kebijakan
yang dikeluarkan lembaga keuangan internasional itu akan memaksakan nilai-nilai
atau bahkan tradisi ekonomi-politik yang telah hidup mapan dalam periode
pertumbuhan. Di satu sisi, resep IMF atau lembaga keuangan Barat akan menjadi
penyembuh kemelut finansial negara-negara Asia dalam jangka pendek. Kepercayaan
investor asing akan bangkit kembali. Di sisi lain, kedatangan mereka seolah-olah
sebuah pesan Asia tak bisa menandingi ekonomi pasar Barat. Dengan kata lain,
jangan bertepuk dada dengan “nilai-nilai Asia” yang memelihara pertumbuhan itu tapi
sekarang jatuh gara-gara tidak menguasai pasar uang internasional dan fundamental
ekonominya rapuh. Tak mengherankan, PM Mahathir sampai bisa menganalisis,
jangan-jangan ada “konspirasi” kelompok tertentu di Barat untuk memperlambat laju
pertumbuhan ekonomi Malaysia, Indonesia dan beberapa negara Asia lainnya.
Bahkan ada kecurigaan pula konspirasi itu akan menjatuhkan perekonomian di
kawsan Asia Tenggara khususnya dan Asia umumnya. Di sinilah masuk dimensi
politik internasional yang menentukan jalannya pembangunan ekonomi Asia. Anwar
Ibrahim dalam bukunya The Asian Renaissance (1996) bahkan menilai, produk murah
Asia tak hanya ancaman bagi hegemoni industri Barat tapi juga perasaan jiwanya.
Bahkan, tulis Anwar, ada yang melukiskan produk Asia sebagai ancaman menakutkan
bagi gaya hidup Barat saat ini bahkan terhadap peradaban Barat itu sendiri. Sebab
itulah “keajaiban” Asia Timur menjadi “mimpi buruk” bagi Barat. Mana yang benar
antara “teori konspirasi” atau akibat alamiah dari persaingan pasar, yang pasti sistem
pemerintahan di Asia serta nila-nilai Asia mendapat ujian. Banyak hikmah yang
diperoleh dari krisis ekonomi di Asia yang akhirnya justru bisa menguatkan landasan
untuk “menguasai” pertumbuhan ekonomi abad ke-21. Resepnya tentu menggali
kekuatan nilai-nilai Asia itu untuk tetap proaktif menilai masa depan termasuk di
dalamnya segala macam hambatan yang terlihat maupun terselubung, baik hambatan
dari dalam Asia sendiri ataupun dari kelompok yang tak menghendaki Asia “merajai”
pasar dunia.
MEROSOTNYA nilai mata uang sejumlah negara Asia terhadap dollar Amerika
Serikat (AS) sangat “menyakitkan” kawasan ini. Tanpa “dosa”apa-apa tiba-tiba
sebagian besar rakyat menjadi lebih miskin dari sebelumnya karena krisis moneter itu.
Seiring dengan kenaikandollar AS, harga-harga barang dan jasa pun membumbung
tinggi tanpa diketahui lagi kapan berakhirnya. Semua akibat itu tak lain karena
ekonomi negara-negara yang dulu disebut “macan-macan Asia” sudah mengglobal.
Industrialisasidan keterbukaan terhadap ekonomi pasar yang menjadi andalan ajaran
kapitalisme telah dirasakan buah pahitnya oleh negara-negara yang semula berada di
pinggiran ini. Kalau meminjam istilah Johan Galtung (University of Oslo) dalam
artikelnya Suatu Teori Struktural tentang Imperialisme maka perasaan kesal dan
kecewa itu yang dirasakan Asia sekarang diakibatkan “kekejaman struktural”.
Penguasa dan pengendali struktur itu yang tak lain AS dan negara-negara Eropa Barat
akan berusaha mengendalikan negara-negara periferal yang baru berkenalan dengan
sistem kapitalisme. Jika sebelumnya “buah manis” kapitalisme itu telah mendorong
pertumbuhan tinggi di kawasan Asia, maka kini konsekuensi ekonomi pasar ini telah
menimbulkan keguncangan sosial dan politik. Di sinilah tampak apa yang disebut
revolusi gagasan ekonomi pasar telah menimbulkan korban karena tidak peduli
terhadap sisi-sisi berbahaya ekonomi pasar. Swasta dan pemerintah yang mengutang
tanpa kontrol akhirnya menjadikan banyak negara Asia nyaris bangkrut kalau tidak
dibantu Dana Moneter Internasional (IMF), sebuah perangkat lembaga keuangan
bagian dari ajaran ekonomi pasar. Kekuatan pasar yang telah memaksa ekonomi
negara-negara Asia untuk menyusun ulang perkiraan pertumbuhannya itu tak lain
akibat dari mewabahnya perdagangan bebas, jargon yang didengung-dengungkan AS
dan sahabatnya. Resep inilah yang telah membius banyak praktisi dan teoretisi bahwa
dengan ekonomi pasar adalah jalan yang harus ditempuh menuju kemajuan. Dalam
kaitan itulah, maka perkiraan sebuah lembaga pemikiran asal AS akan adanya tiga
macam revolusiyang berjalan saat ini layak disimak.
Revolusi geostrategis Dalam sebuah laporan berjudul Strategic Assessment 1997 yang
diterbitkan Institute for National Strategic Studies (INSS), AS menyebutkan di dunia
ini telah terjadi perubahan-perubahan strategis. Di antaranya, pola Perang Dingin
sedang digantikan oleh hubungan multiporal asimetris di mana AS sebagai negara
paling kuat yang mengendalikan jaringan internasional (lihat skema). Meskipun
demikian kekuatan negara lain penting karena berpengaruh di masing-masing
kawasan. Salah satu perkembangan menarik dari perubahan geostrategis global seperti
diuraikan dalam laporan tersebut adalah kemenangan gagasan demokrasi dan
ekonomi pasar (democracy market). AS melihat bahwa gagasan itu diterima di mana
pun di dunia, kecuali di Cina, sebagai cara terbaik dalam memimpin masyarakat. Oleh
sebab itulah maka INSS membagi tiba kategori negara. Pertama, negara sukses
melaksanakan tujuan demokrasi pasar. Kedua, negara yang sedang dalam transisi dari
otoritarianisme menuju demokrasi pasar namun berisiko membeku dengan ekonomi
politik dan sebagian sistem politik bebas. Ketiga, negara-negara bermasalah yang
tertinggal dari negara lainnya dan bahkan banyak berjuang untuk keluar dari
ekstremisne etnik dan religius dan mungkin krisis separatisme. Patut dicatat fenomena
dari kemitraan strategis antara AS dan Cina serta Cina dan Rusia. Kemitraan ini
secara langsung telah mengeluarkan Cina dari isolasionisme dunia menjadi lebih
terbuka terhadap respons dunia. Bahkan muncul pendapat, dengan kemitraan itu Cina
takkan lagi berubah menjadi ekstrem karena tidak merasa frustrasi dengan apa yang
dinamakan oleh AS sebagai politik pembendungan Cina.
Revolusi dalam pemerintahan Berbeda dengan lima dekade lalu, wilayah kontrol
negarakini sedang menyusut. Di banyak negara maju, kekuasaan dialihkan ke
pemerintahan regional atau lokal. Bahkan ada pula yang diserahkan ke sektor swasta,
terutama dalam penguasaan sumber daya alam, dana dan manusia. Fenomena ini telah
memperkuat kecenderungan menuju masyarakat pluralis. Berkurangnya kekuasaan
pemerintah ini terlihat seperti di Rusia, AS, Uni Eropa dan mungkin Cina. Pemerintah
pusat cenderung memindahkan lebih banyak otoritasnya ke pemerintah lokal atau
regional. Berkurangnya fungsi pemerintahan pusat ini antara lain karena
berkurangnya anggaran dan mungkin pula karena krisis anggaran di banyak negara.
Tidak mengherankan jika banyak terjadi swastanisasi perusahaan negara seperti di
Rusia dan Cina. Alasannya, meningkatkan efektif dan efisensi sehingga bisa
menggenjot pertumbuhan ekonomi. Kekuatan bisnis internasional juga telah
meningkatkan kekuatannya dalam berhadapan dengan pemerintahan. Namun
demikian tentu saja dalam saat-saat tertentu seperti selama perang, kemampuan
pemerintah memobilisasi berbagai sumber untuk mendukungkepentingan nasionalnya
masih bisa diandalkan.
Hubungan kekuatan besar Menurut analisis telah terjadi tiga perubahan cepat dalam
dekade ini dan hal ini sepertinya banyak menguntungkan negara adidaya seperti AS.
Dalam skema hubungan antarkekuatan besar terlihat AS masih berada di poros, tidak
seperti pada Perang Dingin dengan dua poros. Salah satu kecenderungan yang muncul
adalah, AS akan senantiasa mempertahankan kekuatannya dengan jalan apa pun
meskitentu mengorbankan sekutunya. Berbagai perkiraan bahwa Cina dan Rusia
masih berusaha untuk mengimbangi atau mengejar ketinggalannya akan dipandang
Washington sebagai ancaman. Tentu saja di sini berlaku sebuah aturan di mana
negara yang bisa menguasai sumber-sumber strategis maka ia akan menguasai masa
depan. Sejauh ini AS paling siap dengan masa depan apalagi dengan krisis moneter
seperti sekarang, kekuatan-kekuatan baru di Asia makin sulit mengejar
ketinggalannya. 28/12/97
RAMALAN akan datangnya Abad Pasifik pada abad ke-21 telah menjadi
perbincangan jauh-jauh hari sebelum booming ekonomi di kawasan ini.Prakiraan itu
terutama didasarkan pada sumber daya alam, sumberdaya manusia (dua pertiga
manusia hidup di Asia), dan potensi yang terkandung di keduanya. Padahal seperti
kita lihat sekarang, yang paling menentukan dalam kemajuan suatu bangsa bukannya
jumlahnya tetapi kualitasnya. Dengan kata lain, kekuatan sumber daya alam terutama
daya kreasi, inovasi dan analisisnya telah menjadi andalan di atas semuanya. Modal
intelektual (intelectual capital) itulah yang banyak dibahas saat ini. Makanya pakar
manajemen Peter Drucker (Post-Capitalist Society) sangat yakin bahwa ekonomi
masa depan adalah ekonomi pengetahuan. Artinya semua aktivitas ekonomi
merupakan aktivitas padat ilmu. Kuncinya ada dalam kehandalan sektor pendidikan.
Di samping soal sumber daya dan sumber alam, juga terlihat bahwa hampir semua
negara besar masa kini dan mendatang, terletak atau bersinggungan dengan kawasan
Asia-Pasifik. Amerika Serikat, Cina, Rusia dan Jepang serta macan-macan baru Asia
semuanya berada dalam ceruk Pasifik. Inilah yang menjadi dasar mengapa Abad
Asia-Pasifik akan munculdi suatu hari di masa depan. Namun dengan krisis moneter
yang menghempaskan kepercayaan diri sebagian dari negara-negara Asia maka
timbul pertanyaan apakah benar Asia dengan “nilai-nilainya” yang bisa menyaingi AS
dan Barat bisa tumbuh berkembang? Dengan kata lain apakah Abad Asia-Pasifik itu
akan datang lebih cepat atau lebih lambat atau takkan muncul selamanya karena
keinginan AS mempertahankan hegemoninya di ekonomi, politik dan militer global?
***
MARK Borthwick dalam buku berjudul Pacific Century mencatatadanya kekuatan
Jepang sebagai salah satu motor perkembangan ekonomi di kawasan ini. Namun ia
pun melihat bahwa, Jepang yang jadi motor ini juga tergantung kepada AS. Dalam
bagian lain ia melihat bahwamesin ekonomi Asia berkembang cepat juga karena
terbukanya pasar diEropa untuk ekspansi seperti terlihat dalam semangat ekspor
Korea, Hongkong dan Taiwan. Futurolog John Naisbitt dalam Megatrends Asia
(1996) atau dalam Megatrends 2000 (1990) sudah wanti-wanti, jika melihat masa
depan tengoklah Asia. Dengan berbagai angka dan argumen yang diajukan tentang
kekuatan Cina perantauan yang merupakan kekuatan super di Asia, Naisbit sampai
pada kesimpulan memang masa depan ini milikAsia. Pakar lain, Lester Thurow yang
menulis Changing The Nature of Capitalism dalam buku Rethinking The Future
(1997) mengulas bahwa masa depan ada tiga kekuatan: Asia (terutama Jepang) Eropa
dan Amerika Serikat. Merekalah yang bakal jadi pilar-pilar dunia. Namun seperti
diingatkan Deputi PM Malaysia Anwar Ibrahim dalam The Asian Renaissance
(1996), Barat ini alergi dengan produk danjasa dari Asia yang banjir ke Eropa dan
Amerika. Jadi jangan harap, supremasi ekonomi-politik bisa direnggut begitu saja dari
Barat (baca AS dan sekutunya) kecuali dengan kerja keras dan cerdas. Namun Anwar
menginginkan masa depan hubungan Asia dan Barat lebih didasarkan pada hubungan
yang sederajat dan bukan rivalitas. Dengan demikian peradaban-peradaban besar ini
berlomba memberikan sumbangsih pada peradaban dunia, bukannya bernafsu ingin
mendominasi seperti terlihat dari perilaku negara besar saat ini.
***
BILA kita lihat angka-angka ramalan pertumbuhan ekonomi yang dikeluarkan IMF
misalnya, betapa suramnya masa depan macan-macan ekonomi Asia Timur dan Asia
Tenggara ini. Pemulihan ekonomi ini disebut-sebut berlangsung paling cepat dalam
tempo dua tahun. Dengan beban utang yang Korsel sendiri akui sampai 200 milyar
dollar AS serta beban utang luar negeri Thailand, Indonesia dan Filipina cukup besar
maka di sini faktor struktur internasional yang dikuasai AS dengan mata uangnya
menjadi penentu masa depan kekuatan ekonomi di wilayah ini. Namun demikian ujian
berat yang datang dari anjloknya nilai mata uang ini tidak mengendurkan semangat
akan datangnya masa pencerahan asalkan syarat-syaratnya dipenuhi. Untuk menepis
skenario pesimis itulah, mantan PM Singapura Lee Kuan Yew menegaskan,
“Keajaiban Asia” takkan jadi “Penyakit Asia”. Ia yakin nilai-nilai Asia dengan
berbagai kekuatan dan kelemahannya mampu menjadikan kawasan Asia tetap
menjadi primadona ekonomi. Dengan optimis ia menegaskan, “Cina akan melebihi
AS dalam pengertian GNP pada abad ke depan. Ini saja bakal menggeser bobot
keseimbangan dunia dari Atlantik ke Pasifik. Krisis sekarang di Asia takkan
mengubah perspektif historis.” Itu pula yang dilihat Lina Sieg dari Reuters dalam
laporannya baru-baru ini. Abad ke-21 yang seyogyanya menjadi Abad Asia-pasifik
dengan pusat gravitasi global di kawasan ini karena “keajaiban ekonomi” selama ini
masih akan terwujud. Namun meskipun kawasan ini menderita gejolak mata uang dan
kebingungan finansial dan mungkin diikuti dengan guncangan ekonomi dan politik,
tetapi akhirnya akan pulih lagi dengan dinamisme baru. Jika memang sisi optimisme
digunakan untuk melihat lahirnya Abad Asia-Pasifik, maka boleh dengan mudah
ditebak masa itu akan tertunda. Penderitaan anjloknya pendapatan per kapita macan-
macan Asia sehingga membuat PM Mahathir Mohamad berang ini harapannya
berlangsung sementara sebelum matahari pertumbuhan ekonomi yang sehat terbit
kembali menyinari Asia-Pasifik. AS sendiri takkan bisa menghentikan laju ekonomi
Asia. Sebaliknya, skenario pesimisme memang masih muncul karena adanya suatu
kekhawatiran bahwa justru di dalam bidang politik-lah sejumlah negara yang cepat
tumbuh ini masih memerlukan reformasi terus-menerus sehingga apa yang sering
disebut-sebut sebagai “masyarakat madani” (Civil Society) tumbuh berkembang.
(sep) 28/12/97
Masalah keamanan regional memang menjadi topik menarik dan banyak dibicarakan
dalam ASEAN Annual Ministerial Meeting (AMM) ke-25 di Manila yang dilanjutkan
dengan Post Ministerial Meeting (PMC), tanggal 21-26 Juli 1992. Pertemuan itu
membawa para partisipan dalam acara tarik-menarik masalah cara pembahasan
keamanan regional serta persepsi terhadap keamanan. Uniknya di antara anggota
ASEAN sendiri belum ada kesepakatan mengenai persepsi ancaman saat ini dan
bagaimana menghadapinya. Agaknya diperlukan proses pengendapan untuk saling
memahami posisi baru masing-masing. Tarik-menarik itu terjadi terutama setelah
Eropa Timur dan Eropa Tengah berubah secara mendasar ditambah dengan
berhentinya Perang Dingin. Tentunya keadaan ini menimbulkan beberapa
ketidakpastian, seperti memberi peluang pada terjadinya konflik-konflik yang
menjurus ke arah terjadinya perang. Walau diakui, perkembangan itu membawa
dampak positif bagi kawasan Asia Tenggara dan Asia Pasifik, khususnya di bidang
ekonomi. Menlu Belgia Juan Abel Matutes sebagai Wakil Komisi ME mencatat,
situasi ini justru membuka peluang lebih besar bagi kerja sama perdagangan dan
memberikan suasana kompetitif. Bahkan Menlu Korea Lee Sang-Ock menilai,
kawasan Asia Timur dan Lautan Pasifik merupakan dua tempat yang memiliki
perkembangan saling ketergantungan ekonomi cukup tinggi. Khusus bagi ASEAN,
pada saat ini justru merupakan kesempatan baik untuk meningkatkan kerja sama dan
melupakan masa lalu, yaitu melirik dan memperhatikan ancaman besar pada stabilitas
dan perdamaian kawasan. Juga banyak disebut, dekade ini menjadi bagian dalam
mendekati kondisi sesuai kehendak Deklarasi ZOPFAN tahun 1971, yaitu kondisi
yang damai, bebas, dan netral.***
DI satu sisi, anggapan itu mungkin benar. Setidaknya itu menurut pandangan
Indonesia. Beberapa diplomat mengatakan, dalam situasi seperti ini, Indonesia
melihat peluang bagi keseimbangan baru dengan meletakkan pendekatan-pendekatan
baru bagi negara-negara besar. Bahkan Indonesia memandang, saat ini merupakan
kesempatan untuk menyelesaikan konflik dengan cara damai tanpa menggunakan
kekuatan militer dan kontak senjata. Namun ternyata, pandangan ini menimbulkan
situasi terjadinya tarik-menarik yakni untuk tetap bertumpu pada kemampuan
kawasan dengan menyandarkan diri pada kekuatan seperti AS. Karena pandangan itu,
Indonesia berpendapat pembicaraan keamanan regional harus dikembangkan dengan
landasan konsep ZOPFAN. Diakui, konsep ZOPFAN memang dicetuskan dalam
situasi yang berbeda dengan keadaan sekarang. Atau dengan kata lain, konsep itu
muncul saat Perang Dingin masih berlangsung dan Uni Soviet pun belum bubar.
Indonesia berkeras mengatakan, konsep itu masih bisa tetap berlaku. Alasannya,
ASEAN akan tetap memiliki keinginan hidup merdeka, damai, dan netral seperti yang
tercetus dalam konsep tersebut. Dengan pandangan ini, Indonesia yakin, konsep
ZOPFAN masih relevan. Pendapat ini agaknya didukung Malaysia dan Brunei
Darussalam. Menlu RI Ali Alatas menegaskan, tidak perlu lagi menciptakan wahana
baru untuk membicarakan dan mendiskusikan keamanan regional. Artinya, untuk
tingkat ASEAN, acara itu bisa ditampung melalui pertemuan pejabat tinggi atau SOM
(Senior Official Meeting) dan pertemuan tahunan Menteri ASEAN atau AMM.
Sedang dialog dengan rekan di luar ASEAN bisa dilakukan melalui ajang PMC.
Pendapat ini didukung Masyarakat Eropa (ME) yang diucapkan Menlu Inggris
Douglas Hurd dalam sambutan troikanya.
***
NAMUN, konsep itu ternyata tidak disepakati oleh Thailand, Filipina, dan terutama
Singapura. Pada pokoknya ketiga negara itu lebih melihat segi negatif ZOPFAN.
Ketiga negara itu memandang konsep ZOPFAN merupakan proses jangka panjang.
Dan yang lebih hebat lagi, mereka mengatakan ZOPFAN sudah tidak begitu relevan
dengan perkembangan zaman. Bahkan mereka pun tidak yakin pada kemampuan
ZOPFAN dalam menjamin keamanan dan stabilitas Asia Tenggara. Oleh karena itu,
mereka ingin membentuk kerja sama lebih luas yang mencakup kawasan Asia Pasifik,
khususnya dengan negara-negara besar. Hal itu dimaksudkan, agar interaksi dalam
kerja sama itu bisa mempengaruhi stabilitas keamanan kawasan. Masalah ini menjadi
bahan diskusi yang paling menarik dalam diskusi formasi 6+7 PMC. Pembicaraan itu
memang lalu tidak hanya masalah keamanan dalam pengertian militer, namun
mengarah pada keamanan dalam pengertian komprehensif yang menyangkut seluruh
aspek kehidupan seperti sosial, ekonomi, politik, lingkungan, ataupun kebudayaan.
Diskusi semakin hangat setelah Kanada mengusulkan membentuk forum dialog baru
tentang keamanan regional yang dinamakan “The North Pacific Cooperative Security
Dialog” atau NPCSD. Ide itu muncul setelah Kanada melihat perlunya kerja sama
yang kooperatif dalam bidang keamanan, terutama untuk mengatasi berbagai masalah
regional seperti sektor ekonomi, narkotika, lingkungan hidup, dan terorisme. Sambil
berjalan, diharapkan kerja sama itu menumbuhkan rasa saling percaya yang
dimungkinan dari pelaksanaan dialog informal yang konstruktif. Sementara itu pada
dasarnya Jepang setuju dengan pendapat Indonesia tentang penggunaan jalur PMC
untuk membicarakan keamanan regional. Namun Menlu Taro Nakayama memadang
jalur itu saja belum cukup. Menurut dia, pertemuan itu harus bisa menghasilkan
dialog politis tentang keamanan yang bisa dirasakan oleh seluruh partai. Untuk itu,
Jepang mengusulkan teknik “two-track”. Artinya, jalur yang menggabungkan
pendekatan sub regional dengan dialog politis dalam skala yang lebih luas. Jepang
menilai, dialog dengan commitment pendekatan sub regional hanya bisa mengatasi
masalah dalam satu kawasan. Sementara itu pada saat yang sama, diperlukan pula
dialog yang mencakup spektrum lebih luas dan melibatkan berbagai negara. PM
Jepang Miyazawa di Washington menekankan, dialog politis dalam skala yang lebih
luas ini penting karena pada kenyataannya dewasa ini telah hadir berbagai kerja sama
internasional dengan bermacam cara dan tujuan. Karena itu, Wakil Menlu Jepang
Koji Kakizawa dalam pertemuan PMC di Manila kali ini menegaskan, ASEAN perlu
memiliki forum dialog dalam skala yang lebih luas seperti itu. Menlu Korea Lee
Sang-Ock menambahkan, saat ini merupakan waktu yang tepat untuk menelaah
kembali cara-cara baru yang bisa digunakan sebagai forum mengkonsultasikan
keamanan regional. Walau tanpa menyebut satu bentuk yang jelas, Lee mengatakan,
forum itu penting mengingat adanya perubahan regional yang semakin kompleks.
Pendapat senada diungkapkan oleh Menlu Australia Gareth Evans. Pada prinsipnya,
Australia memandang keamanan regional harus didekati secara multi dimensional.
Artinya, menggunakan pendekatan yang melibatkan segi militer atau pertahanan serta
dimensi lain, seperti diplomasi, ekonomi, perdagangan, serta berbagai cara untuk
menghadapi ancaman. Pendeknya, Australia akan tetap menggunakan kebijakan
constructive commitment untuk kawasan Pasifik Selatan dan comprehensive
engagement untuk Asia Tenggara. Berakhirnya Perang Dingin antara AS dan Uni
Soviet yang pasti membawa perubahan pola politik dari bipolar ke arah multipolar.
Beberapa pengamat mengatakan, AS beberapa tahun terakhir ini telah mengubah
pendekatannya terhadap Asia, namun tetap memberi payung penangkal kepada
Jepang, Korea Selatan, dan Filipina. Bahkan memperluasnya. AS menegaskan
komitmennya untuk tetap hadir di Asia diantaranya melalui akses pangkalan militer
seperti yang dilakukan terhadap Singapura. Namun, di tengah perubahan pola politik
ini, tampaknya AS merasa terlalu berat dengan tanggung jawab keamanannya. Lalu
AS ingin membagi tanggung jawab itu dengan negara-negara Asia. Karena itu, AS
berharap negara-negara Asia mampu mandiri dalam menghadapi ancaman militer
lokal. Sementara itu, AS hanya akan bergerak bila ada ancaman lebih besar dan
potensial. Hanya, kehadiran AS dalam PMC ternyata semakin menjauhkan
pembicaraan dari pencapaian hasil maksimal. Hingga akhir pertemuan, tarik-menarik
ajang dialog ini tetap terjadi. Tidak ditemukan rumusan resmi tentang ajang atau
mekanisme dialog keamanan regional tersebut. Sumber Kompas menyebutkan, pada
umumnya setiap negara masih tetap dalam konstalasi pikiran masing-masing tentang
rumusan forum dialog keamanan regional. Namun pada umumnya, rata-rata
sependapat keamanan regional harus didasarkan pada rasa aman, tenteram, damai, dan
netral. Namun yang pasti, dari pertemuan PMC di Manila ini terungkap, seluruh
negara tetap menghendaki kehadiran Amerika di kawasan Asia baik secara fisik
maupun non fisik. “Demi keseimbangan,” kata mereka.*** (rien/sep/27/7/92)
Organisasi internasional adalah suatu bentuk dari gabungan beberapa negara atau
bentuk unit fungsi yang memiliki tujuan bersama mencapai persetujuan yg juga
merupakan isi dari perjanjian atau charter.
Indonesia disebut salah satu negara demokrasi terbesar yang telah sukses memilih
presiden secara langsung yang mayoritas penduduknya adalah Muslim yang
menjadikan Indonesia dipandang masyarakat internasional sebagai model masyarakat
muslim yang moderat. Indonesia sebagai anggota OIC (Organization Islamic
Conference) menjadi pendorong bagi perdamaian di Timur Tengah khususnya
mendukung Palestina sebagai negara merdeka dari pendudukan zionisme Israel.
Indonesia juga menjadi tuan rumah dan pemrakarsa Konferensi Internasional Ulama
sedunia pada bulan April 2007 di Bogor. Disini para ulama sedunia menyuarakan
penghentian kekerasan di Irak, Lebanon dan Palestina. Pertemuan itu mengeluarkan
pernyataan agar Amerika Serikat tidak menjadi pemecah-belah umat Islam di Timur
Tengah yang ditenggarai para ulama sebagai alasan tidak terselesaikannya
perdamaian di dunia Arab. Indonesia juga mempromosikan Islam yang moderat,
toleran, solidaritas, serta meningkatan dialog lintas budaya dan peradaban, karena
pada saat ini masyarakat internasional salah persepsi bahwa penyerangan yang
dilakukan oleh segelintir orang muslim terhadap kepentingan barat dalam bentuk teror
dipahami sebagai benturan antar peradaban, tapi melainkan terjadi karena
ketidakadilan dan ketimpangan sosial di dunia.
Peran Indonesia dalam hal HAM yaitu, telah meratifikasi Konvenan Internasional
tentang Hak ekonomi sosial dan budaya dan Konvenan internasional tentang hak Sipil
dan politik. Kemudian, kepercayaan Internasional kepada Indonesia menjadikan
Indonesia sebagai ketua Komisi HAM tahun 2006 dan terpilih kembali menjadi
Dewan HAM dalam periode satu tahun 2006-2007. Walaupun begitu Indonesia belum
menegakkan HAM secara tegas dengan belum terungkapnya kasus-kasus seperti,
Tragedi Tanjung Priok, Talangsari, kerusuhan Mei 1998, tragedi Semanggi dan
kematian Munir yang belum juga terungkap.
Di badan PBB Indonesia terpilih bersama Qatar dari kawasan Asia menjadi DK tidak
tetap di PBB, namun Indonesia tidak menunjukkan Independensinya dengan ikut
menyetujui sanksi terhadap Iran yang dituduh Amerika Serikat (AS) mengoperasikan
reaktor nuklir untuk membuat senjata nuklir yang dirasa AS akan mengancam
keamanan negerinya. Saya berpendapat Indonesia melakukan itu karena mendapat
tekanan dari AS dimana kepentingan nasional Indonesia banyak bergantung kepada
AS. Sebagai anggota PBB Indonesia juga telah banyak ikut serta dalam Peace
Keeping Operation salah satunya di Lebanon setelah penyerangan Israel baru-baru ini.
Dibidang pertahanan Indonesia telah menjajaki kerjasama dalam bidang produksi
senjata dengan India dalam pertemuan Komite Bersama Kerja Sama Pertahanan RI-
India di Jakarta, 12-14 Juni 2007, yang diharapkan Indonesia mampu menciptakan
alat utama sistem persenjataan secara mandiri yang diperlukan dalam menjaga
kedaulatan negara dari ancaman pihak luar. Pembelian pesawat tempur dan kapal
selam Rusia juga ditempuh agar tidak tergantung dengan negara Barat khususnya
Amerika Serikat. Pada isu perlucutan senjata Indonesia sempat menjadi Ketua Komite
I pada konfrensi The 2005 Review Conference of States Parties to the Treaty on Non-
Proliferation of Nuclear Weapons/NPT) yang berlangsung sejak tanggal 2 Mei 2005
di Markas Besar PBB, New York, yang di ketuai Sudjadnan Parnohadiningrat yang
berhasil menyampaikan kertas kerja (working papers) kepada konfrensi itu.
Di bidang ekonomi kunjungan Wapres Jusuf Kalla ke Jepang 22-27 Mei 2007 dan
China 6-10 Juni 2007 mengindikasikan ingin ditingkatkannya hubungan dagang
kedua negara dimana terutama Cina telah menjadi salah satu raksasa ekonomi dunia.
Kemudian Baru-baru ini juga telah diadakan petemuan D8 di nusa dua Bali, yaitu
kerjasama dalam bentuk perdagangan antara Negara-negara berkembang (Bangladesh,
Mesir, Iran, Malaysia, Pakistan, Nigeria, Turki, dan Indonesia). Dalam kerjasama
regional ASEAN telah menciptakan kerjasama ASEAN+3 (Korsel, Cina, dan Jepang
yang memungkinkan Indonesia mengambil manfaat ekonomi dari pembentukan
kerjasama itu. Di forum regional Indonesia juga memprakarsai visi ASEAN kearah
ASEAN Community layaknya Uni Eropa sekarang ini dan Common Security dimana
ASEAN akan memiliki nilai-nilai bersama sebagai suatu komunitas besar baik
ekonomi, kemakmuran, dan keamanan bersama.
Semua peran internasional Indonesia diatas dalam berbagai forum merupakan poin
penting untuk meningkatkan kepercayaan kepada masyarakat internasional dalam ikut
menyelesaikan masalah internasional. Bila masyarakat internasional telah hormat dan
segan kepada Indonesia, diyakini pihak-pihak luar enggan mengusik Indonesia.
Dengan modal kepercayaan itulah Indonesia akan mencapai posisi tawar yang tinggi
untuk mencapai kepentingan nasional dalam hubungannya dengan negara lain dan
bangsa Indonesia dapat menentukan nasibnya sendiri tanpa didikte pihak lain. Apalagi
Indonesia kini memerlukan dukungan dunia internasional agar mendukung keutuhan
negara Indonesia dari gerakan separatisme yang sedang gencar menggrogoti keutuhan
negara dari dalam. Tidak kalah pentingnya peran Indonesia dalam menjaga
perdamaian dunia merupakan amanah dari pembukaan UUD 1945, yaitu ikut
mewujudkan perdamaian dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial. Semoga kedepannya bangsa Indonesia akan lebih baik menata
diri, memperbaiki kekeliruan yang ada demi kemakmuran dan kesejahteraan bangsa
dan negara.
Perjanjian internasional adalah sebuah perjanjian yang dibuat di bawah hukum
internasional oleh beberapa pihak yang berupa negara atau organisasi internasional.
Sebuah perjanjian multilateral dibuat oleh beberapa pihak yang mengatur hak dan
kewajiban masing-masing pihak. Perjanjian bilateral dibuat antara dua negara.
A. Kegiatan Administrasi
Contoh : IBF, ICC, Dewan Masjid Sedunia, Dewan Gereja Sedunia, Perhimpunan
Donor Darah Sedunia, dls.
Wilayah kegiatan adalah global (seluruh dunia), dan keanggotaan terbuka dalam
ruang lingkup diberbagai penjuru dunia.
Wilayah kegiatan adalah regional, dan keanggotaan hanya diberikan bagi negara-
negara pada kawasan tertentu saja.
• Bidang Ekonomi
KADIN Internasional
• Bidang Lingkungan Hidup
UNEP
• Bidang Kesehatan
• Bidang Pertambangan
ITO.
GATT, dls.
Tujuan organisasi serta bidang kegiatannya bersifat luas dan umum, bukan hanya
menyangkut bidang tertentu.
Tujuan organisasi dan kegiatannya adalah khusus pada bidang tertentu atau
mengyangkut hal khusus saja.
Contoh : OPEC, ICAO, IMCO, ITU, UPU, UNESCO, WHO, FAO dan ICRC.
Contoh : ASEAN, EC, OAS, OAU, SAARC, GCC, Liga Arab, dls.
• Organisasi Internasional : Regional-Khusus.
• Organisasi Supra-Nasional
Contohnya banyak sekali (PBB, ASEAN, OKI, OPEC, dll). Karena semua organisasi
internasional dewasa ini adalah didasarkan pada pola kerjasama, bukan pola supra
nasional.
H. Fungsi Organisasi
Contoh : PBB, ASEAN, NATO, ANZUS, SAARC, OAU, Liga Arab, dls.
Propaganda
Salah satu teknik propaganda oleh produk pasta gigi dimana senyum bahagia
diasosiasikan dengan produk mereka.
Poster dari Angkatan Laut Amerika tentang Jepang yang diasosiasikan sebagai tikus
(binatang yang merugikan) mendekati perangkap yang diberi tanda "Angkatan Laut
Sipil", sebagai latar belakang peta negara bagian Alaska
Propaganda adalah sebuah upaya disengaja dan sistematis untuk membentuk persepsi,
memanipulasi alam pikiran atau kognisi, dan berpengaruh langsung pada perilaku
untuk pencapaian suatu respon yang sama dengan niat yang dikehendaki dari pelaku
propaganda.
Dalam beberapa fakta atas konsep "propaganda dengan perbuatan" ini, gerakan
anarkis sering dicap sebagai kekerasan dan "teroris", diawali dengan beberapa
pemboman dan pembunuhan di akhir era abad ke-19. Gambaran ini masih tetap
melekat sampai saat ini pada setiap anarkis, meski telah banyak dalam pemikiran
anarkis modern yang menyatakan bahwa konsep tersebut telah usang.
I. Latar Belakang
Hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional dalam sistem tata hukum
merupakan hal yang sangat menarik baik dilihat dari sisi teori hukum atau ilmu
hukum maupun dari sisi praktis. Kedudukan hukum internasional dalam tata hukum
secara umum didasarkan atas anggapan bahwa hukum internasional sebagai suatu
jenis atau bidang hukum merupakan bagian dari hukum pada umumnya. Anggapan ini
didasarkan pada kenyataan bahwa hukum internasional sebagai suatu perangkat
ketentuan dan asas yang efektif yang benar-benar hidup dalam kenyataan sehingga
mempunyai hubungan yang efektif dengan ketentuan dan asas pada bidang hukum
lainnya. Bidang hukum lainnya yang paling penting adalah bidang hukum nasional.
Hal ini dapat dilihat dari interaksi masyarakat internasional dimana peran negara
sangat penting dan mendominasi hubungan internasional. Karena peran dari hukum
nasional negara-negara dalam memberikan pengaruh dalam kancah hubungan
internasional mengangkat pentingnya isu bagaimana hubungan antara hukum
internasional dan hukum nasional dari sudut pandang praktis.
Dalam memahami berlakunya hukum internasional terdapat dua teori, yaitu teori
voluntarisme,[1] yang mendasarkan berlakunya hukum internasional pada kemauan
[
negara, dan teori objektivis[2] yang menganggap berlakunya hukum internasional
lepas dari kemauan negara.[3]
Perbedaan pandangan atas dua teori ini membawa akibat yang berbeda dalam
memahami hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional. Pandangan
teori voluntarisme memandang hukum nasional dan hukum internasional sebagai dua
perangkat hukum yang berbeda, saling berdampingan dan terpisah. Berbeda dengan
pandangan teori objektivis yang menganggap hukum nasional dan hukum
internasional sebagai dua perangkat hukum dalam satu kesatuan perangkat hukum.
A. Aliran Dualisme
Aliran dualisme bersumber pada teori bahwa daya ikat hukum internasional
bersumber pada kemauan negara, hukum internasional dan hukum nasional
merupakan dua sistem atau perangkat hukum yang terpisah.[4]
Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh aliran dualisme untuk menjelaskan hal
ini:
1. Sumber hukum, paham ini beranggapan bahwa hukum nasional dan hukum
internasional mempunyai sumber hukum yang berbeda, hukum nasional
bersumber pada kemauan negara, sedangkan hukum internasional bersumber
pada kemauan bersama dari negara-negara sebagai masyarakat hukum
internasional;
2. Subjek hukum internasional, subjek hukum nasional adalah orang baik dalam
hukum perdata atau hukum publik, sedangkan pada hukum internasional
adalah negara;
3. Struktur hukum, lembaga yang diperlukan untuk melaksanakan hukum pada
realitasnya ada mahkamah dan organ eksekutif yang hanya terdapat dalam
hukum nasional. Hal yang sama tidak terdapat dalam hukum internasional.
4. Kenyataan, pada dasarnya keabsahan dan daya laku hukum nasional tidak
dipengaruhi oleh kenyataan seperti hukum nasional bertentangan dengan
hukum internasional. Dengan demikian hukum nasional tetap berlaku secara
efektif walaupun bertentangan dengan hukum internasional.[5]
Maka sebagai akibat dari teori dualisme ini adalah kaidah-kaidah dari perangkat
hukum yang satu tidak mungkin bersumber atau berdasar pada perangkat hukum yang
lain. Dengan demikian dalam teori dualisme tidak ada hirarki antara hukum nasional
dan hukum internasional karena dua perangkat hukum ini tidak saja berbeda dan tidak
bergantung satu dengan yang lain tetapi juga terlepas antara satu dengan yang lainnya.
Akibat lain adalah tidak mungkin adanya pertentangan antara kedua perangkat hukum
tersebut, yang mungkin adalah renvoi.[6] Karena itu dalam menerapkan hukum
[
[
[
[
[
internasional dalam hukum nasional memerlukan transformasi menjadi hukum
nasional.
B. Aliran Monisme
Teori monisme didasarkan pada pemikiran bahwa satu kesatuan dari seluruh hukum
yang mengatur hidup manusia.[7] Dengan demikian hukum nasional dan hukum
internasional merupakan dua bagian dalam satu kesatuan yang lebih besar yaitu
hukum yang mengatur kehidupan manusia. Hal ini berakibat dua perangkat hukum ini
mempunyai hubungan yang hirarkis. Mengenai hirarki dalam teori monisme ini
melahirkan dua pendapat yang berbeda dalam menentukan hukum mana yang lebih
utama antara hukum nasional dan hukum internasional.
Ada pihak yang menganggap hukum nasional lebih utama dari hukum internasional.
Paham ini dalam teori monisme disebut sebagai paham monisme dengan primat
hukum nasional. Paham lain beranggapan hukum internasional lebih tinggi dari
hukum nasional. Paham ini disebut dengan paham monisme dengan primat hukum
internasional. Hal ini dimungkinkan dalam teori monisme.
Monisme dengan primat hukum internasional, paham ini beranggapan bahwa hukum
nasional bersumber dari hukum internasional.[10] Menurut paham ini hukum nasional
tunduk pada hukum internasional yang pada hakikatnya berkekuatan mengikat
berdasarkan pada pendelegasian wewenang dari hukum internasional.
Pada kenyataannya kedua teori ini dipakai oleh negara-negara dalam menentukan
keberlakuan dari hukum internasional di negara-negara. Indonesia sendiri menganut
teori dualisme dalam menerapkan hukum internasional dalam hukum nasionalnya.
Sesuai dengan dua dokumen tertulis tersebut yang berisi penunjukan pada sumber
hukum formal, hanya dua dokumen yang penting untuk dibahas, yaitu Piagam
Mahkamah Internasional Permanen dan Piagam Mahkamah Internasional. Ini
disebabkan karena Mahkamah Internasional mengenai Perampasan Kapal tidak
pernah terbentuk, karena tidak tercapainya minimum ratifikasi. Dengan demikian
Pasal 38 Mahkamah Internasional Permanen dan Pasal 38 ayat 1 Mahkamah
Internasional, dengan demikian hukum positif yang berlaku bagi Mahkamah
Internasional dalam mengadili perkara yang diajukan dihadapannya adalah:
1. Perjanjian Internasional;
2. Kebiasaan Internasional;
3. Prinsip Hukum Umum;
4. Keputusan Pengadilan dan ajaran para sarjana yang terkemuka dari berbagai
negara sebagai sumber tambahan untuk menetapkan hukum.[12]
Perjanjian internasional yang dimaksud adalah perjanjian yang dibuat atau dibentuk
oleh dan diantara anggota masyarakat internasional sebagai subjek hukum
internasional dan bertujuan untuk mengakibatkan hukum tertentu.[13]
Perjanjian internasional yang dibuat antara negara diatur dalam Vienna Convention
on the Law of Treaties (Konvensi Wina) 1969. Konvensi ini berlaku (entry into force)
pada 27 Januari 1980. Dalam Konvensi ini diatur mengenai bagaimana prosedur
perjanjian internasional sejak tahap negosiasi hingga diratifikasi menjadi hukum
nasional.[14]
[
[
[
[
[
Dalam praktik beberapa negara perjanjian internasional dapat dibedakan menjadi dua
golongan. Golongan pertama adalah perjanjian yang dibentuk melalui tiga tahap
pembentukan yakni perundingan, penandatanganan dan ratifikasi.[16] Golongan yang
kedua adalah perjanjian yang dibentuk melalui dua tahap, yaitu perundingan dan
penandatanganan.[17] Untuk golongan pertama biasanya dilakukan untuk perjanjian
yang dianggap sangat penting sehingga memerlukan persetujuan dari dari badan yang
memiliki hak untuk mengadakan perjanjian (treaty making power). Hal ini biasanya
berdasarkan alasan adanya pembentukan hukum baru atau menyangkut masalah
keuangan negara. Sedangkan golongan kedua lebih sederhana, perjanjian ini tidak
dianggap begitu penting dan memerlukan penyelesaian yang cepat.
Selanjutnya apa yang menjadi ukuran suatu perjanjian mana yang termasuk golongan
yang penting, sehingga memerlukan ratifikasi dari Dewan Perwakilan Rakyat dan
perjanjian mana yang tidak di Indonesia.
1. Penjajakan: merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang
berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional.
2. Perundingan: merupakan tahap kedua untuk membahas substansi dan masalah-
masalah teknis yang akan disepakati dalam perjanjian internasional.
3. Perumusan Naskah: merupakan tahap merumuskan rancangan suatu perjanjian
internasional.
4. Penerimaan: merupakan tahap menerima naskah perjanjian yang telah
dirumuskan dan disepakati oleh para pihak. Dalam perundingan bilateral,
kesepakatan atas naskah awal hasil perundingan dapat disebut "Penerimaan"
yang biasanya dilakukan dengan membubuhkan inisial atau paraf pada naskah
perjanjian internasional oleh ketua delegasi masing-masing. Dalam
perundingan multilateral, proses penerimaan (acceptance/approval) biasanya
merupakan tindakan pengesahan suatu negara pihak atas perubahan perjanjian
internasional.
5. Penandatanganan : merupakan tahap akhir dalam perundingan bilateral untuk
melegalisasi suatu naskah perjanjian internasional yang telah disepakati oleh
kedua pihak. Untuk perjanjian multilateral, penandatanganan perjanjian
internasional bukan merupakan pengikatan diri sebagai negara pihak.
Keterikatan terhadap perjanjian internasional dapat dilakukan melalui
pengesahan (ratification/accession/acceptance/approval).
[
[
Sebelum adanya Undang-Undang No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional,
kewenangan untuk membuat perjanjian internasional seperti tertuang dalam Pasal 11
Undang Undang Dasar 1945, menyatakan bahwa Presiden mempunyai kewenangan
untuk membuat perjanjian internasional dengan persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat. Pasal 11 UUD 1945 ini memerlukan suatu penjabaran lebih lanjut bagaimana
suatu perjanjian internasional dapat berlaku dan menjadi hukum di Indonesia. Untuk
itu melalui Surat Presiden No. 2826/HK/1960 mencoba menjabarkan lebih lanjut
Pasal 11 UUD 1945 tersebut.[18]
Pengaturan tentang perjanjian internasional selama ini yang dijabarkan dalam bentuk
Surat Presiden No. 2826/HK/1960, tertanggal 22 Agustus 1960, yang ditujukan
kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, dan telah menjadi pedoman dalam proses
pengesahan perjanjian internasional selama bertahun-tahun.[19] Pengesahan
perjanjian internasional menurut Surat Presiden ini dapat dilakukan melalui undang-
undang atau keputusan presiden, tergantung dari materi yang diatur dalam perjanjian
internasional. Tetapi dalam prateknya pelaksanaan dari Surat Presiden ini banyak
terjadi penyimpangan sehingga perlu untuk diganti dengan Undang-Undang yang
mengatur secara khusus mengenai perjanjian internasional.
Hal ini kemudian yang menjadi alasan perlunya perjanjian internasional diatur dalam
Undang-Undang No. 24 Tahun 2000. Dalam Undang Undang No. 24 Tahun 2000,
adapun isi yang diatur dalam undang-undang tersebut adalah:
• Ketentuan Umum
• Pembuatan Perjanjian Internasional
• Pengesahan Perjanjian Internasional
• Pemberlakuan Perjanjian Internasional
• Penyimpanan Perjanjian Internasional
• Pengakhiran Perjanjian Internasional
• Ketentuan Peralihan
• Ketentuan Penutup[20]
Indonesia sebagai negara yang menganut paham dualisme, hal ini terlihat dalam Pasal
9 ayat 2 UU No. 24 tahun 2000, dinyatakan bahwa:
[
[
[
[
[
[
”Pengesahan perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat(1)
dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden.”
Perjanjian yang termasuk dalam kategori ini diantaranya adalah perjanjian yang
materinya mengatur secara teknis kerjasama bidang pendidikan, sosial, budaya,
pariwisata, penerangan kesehatan, pertanian, kehutanan dan kerjasam antar propinsi
atau kota. Perjanjian internasional mulai berlaku dan mengikat para pihak setelah
memenuhi ketentuan yang ditetapkan dalam perjanjian tersebut.