You are on page 1of 16

BAB I

PENDAHULUAN

Epilepsi berasal dari perkataan Yunani yang berarti "serangan" atau penyakit
yang timbul secara tiba-tiba. Epilepsi merupakan penyakit yang umum terjadi dan
penting di masyarakat. Permasalahan epilepsi tidak hanya dari segi medik tetapi juga
sosial dan ekonomi yang menimpa penderita maupun keluarganya. Dalam kehidupan
sehari-hari, epilepsi merupakan stigma bagi masyarakat. Mereka cenderung untuk
menjauhi penderita epilepsi. 2
Akibatnya banyak yang menderita epilepsi yang tak terdiagnosis dan
mendapat pengobatan yang tidak tepat sehingga menimbulkan dampak klinik dan
psikososial yang merugikan baik bagi penderita maupun keluarganya. 3 Oleh karena
itu, pada tinjauan kepustakaan ini akan dijabarkan tentang definisi, epidemiologi,
etiologi, klasifikasi, patofisiologi, gejala, diagnosis, dan terapi epilepsi

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Kejang merupakan manifestasi berupa pergerakan secara mendadak dan tidak


terkontrol yang disebabkan oleh kejang involunter saraf otak.4
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) dan International
Bureau for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 epilepsi didefinisikan sebagai suatu
kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat mencetuskan
kejang epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya
konsekuensi sosial yang diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu
riwayat kejang epilepsi sebelumnya. 5
Status epileptikus merupakan kejang yang terjadi > 30 menit atau kejang
berulang tanpa disertai pemulihan kesadaran kesadaran diantara dua serangan
kejang.5

2.2 . EPIDEMIOLOGI

Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum terjadi,
sekitar lima puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan ini. Angka
epilepsi lebih tinggi di negara berkembang. Insiden epilepsi di negara maju
ditemukan sekitar 50/100,000 sementara di negara berkembang mencapai
100/100,000.7
Di negara berkembang sekitar 80-90% diantaranya tidak mendapatkan
pengobatan apapun.8 Penderita laki-laki umumnya sedikit lebih banyak dibandingkan
dengan perempuan. Insiden tertinggi terjadi pada anak berusia di bawah 2 tahun
(262/100.000 kasus) dan uisa lanjut di atas 65 tahun (81/100.000 kasus). 9 Menurut
Irawan Mangunatmadja dari Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia (FKUI) Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta
angka kejadian epilepsi pada anak cukup tinggi, yaitu pada anak usia 1 bulan sampai
16 tahun berkisar 40 kasus per 100.000. 10

2
2.3. ETIOLOGI

Ditinjau dari penyebab, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu :11

• Epilepsi idiopatik : penyebabnya tidak diketahui, meliputi ± 50% dari


penderita epilepsi anak dan umumnya mempunyai predisposisi genetik, awitan
biasanya pada usia > 3 tahun. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan
ditemukannya alat – alat diagnostik yang canggih kelompok ini makin kecil

• Epilepsi simptomatik: disebabkan oleh kelainan/lesi pada susunan saraf pusat.


Misalnya : post trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat (SSP), gangguan metabolik,
malformasi otak kongenital, asphyxia neonatorum, lesi desak ruang, gangguan
peredaran darah otak, toksik (alkohol,obat), kelainan neurodegeneratif.

• Epilepsi kriptogenik: dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum


diketahui, termasuk disini adalah sindrom West, sindron Lennox-Gastaut dan
epilepsi mioklonik

2.4. KLASIFIKASI

Klasifikasi Internasional Kejang Epilepsi menurut International League


Against Epilepsy (ILAE) 1981: 12
I . Kejang Parsial (fokal)
A. Kejang parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
1. Dengan gejala motorik
2. Dengan gejala sensorik
3. Dengan gejala otonomik
4. Dengan gejala psikik
B. Kejang parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)
1. Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran
a. Kejang parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran
b. Dengan automatisme
2. Dengan gangguan kesadaran sejak awal kejang
a. Dengan gangguan kesadaran saja
b. Dengan automatisme

3
C. Kejang umum sekunder/ kejang parsial yang menjadi umum (tonik-klonik,
tonik atau klonik)
1. Kejang parsial sederhana berkembang menjadi kejang umum
2. Kejang parsial kompleks berkembang menjadi kejang umum
3. Kejang parsial sederhana berkembang menjadi parsial kompleks,
dan berkembang menjadi kejang umum
II. Kejang umum (konvulsi atau non-konvulsi)
A. lena/ absens
B. mioklonik
C. tonik
D. atonik
E. klonik
F. tonik-klonik
III. Kejang epileptik yang tidak tergolongkan

Klasifikasi Epilepsi berdasarkan Sindroma menurut ILAE 1989 :


I. Berkaitan dengan letak fokus
A. Idiopatik
 Benign childhood epilepsy with centrotemporal spikes
 Childhood epilepsy with occipital paroxysm

B. Simptomatik
o Lobus temporalis
o Lobus frontalis
o Lobus parietalis
o Lobus oksipitalis

II. Epilepsi Umum

A. Idiopatik
 Benign neonatal familial convulsions, benign neonatal
convulsions
 Benign myoclonic epilepsy in infancy
 Childhood absence epilepsy
 Juvenile absence epilepsy

4
 Juvenile myoclonic epilepsy (impulsive petit mal)
 Epilepsy with grand mal seizures upon awakening
 Other generalized idiopathic epilepsies

B. Epilepsi Umum Kriptogenik atau Simtomatik


 West’s syndrome (infantile spasms)
 Lennox gastaut syndrome
 Epilepsy with myoclonic astatic seizures
 Epilepsy with myoclonic absences

C. Simtomatik
 Etiologi non spesifik
 Early myoclonic encephalopathy
 Specific disease states presenting with seizures

2.5. PATOFISIOLOGI

Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan


transmisi pada sinaps. Ada dua jenis neurotransmitter, yakni neurotransmitter eksitasi
yang memudahkan depolarisasi atau lepas muatan listrik dan neurotransmitter
inhibisi (inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik saraf dalam sinaps) yang
menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil dan tidak mudah
melepaskan listrik. Di antara neurotransmitter-neurotransmitter eksitasi dapat disebut
glutamate, aspartat, norepinefrin dan asetilkolin sedangkan neurotransmitter inhibisi
yang terkenal ialah gamma amino butyric acid (GABA) dan glisin. Jika hasil
pengaruh kedua jenis lepas muatan listrik dan terjadi transmisi impuls atau rangsang.
Dalam keadaan istirahat, membran neuron mempunyai potensial listrik tertentu dan
berada dalam keadaan polarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan depolarisasi
membran neuron dan seluruh sel akan melepas muatan listrik.

Oleh berbagai faktor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau


mengganggu fungsi membran neuron sehingga membran mudah dilampaui oleh ion
Ca dan Na dari ruangan ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan letupan
depolarisasi membran dan lepas muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan
terkendali. Lepas muatan listrik demikian oleh sejumlah besar neuron secara sinkron
merupakan dasar suatu serangan epilepsi. Suatu sifat khas serangan epilepsi ialah

5
bahwa beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh proses inhibisi. Diduga
inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar sarang epileptic. Selain itu juga
sistem-sistem inhibisi pra dan pasca sinaptik yang menjamin agar neuron-neuron
tidak terus-menerus berlepas muatan memegang peranan. Keadaan lain yang dapat
menyebabkan suatu serangan epilepsi terhenti ialah kelelahan neuron-neuron akibat
habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi otak.13

Silbernagl S. Color Atlas of Pathophysiology. New York: Thieme. 2000

2.6 GEJALA

• Kejang parsial simplek


Seranagan di mana pasien akan tetap sadar. Pasien akan mengalami gejala berupa:
- “deja vu”: perasaan di mana pernah melakukan sesuatu yang sama
sebelumnya.

6
- Perasaan senang atau takut yang muncul secara tiba-tiba dan tidak dapat
dijelaskan
- Perasaan seperti kebas, tersengat listrik atau ditusuk-tusuk jarum pada
bagian tubih tertentu.
- Gerakan yang tidak dapat dikontrol pada bagian tubuh tertentu
- Halusinasi
• Kejang parsial (psikomotor) kompleks
Serangan yang mengenai bagian otak yang lebih luas dan biasanya bertahan lebih
lama. Pasien mungkin hanya sadar sebagian dan kemungkinan besar tidak akan
mengingat waktu serangan. Gejalanya meliputi:
- Gerakan seperti mencucur atau mengunyah
- Melakukan gerakan yang sama berulang-ulang atau memainkan
pakaiannya
- Melakukan gerakan yang tidak jelas artinya, atau berjalan
berkeliling dalam keadaan seperti sedang bingung
- Gerakan menendang atau meninju yang berulang-ulang
- Berbicara tidak jelas seperti menggumam.
• Kejang tonik klonik (epilepsy grand mal).
Merupakan tipe kejang yang paling sering, di mana terdapat dua tahap: tahap
tonik atau kaku diikuti tahap klonik atau kelonjotan. Pada serangan jenis ini
pasien dapat hanya mengalami tahap tonik atau klonik saja. Serangan jenis ini
biasa didahului oleh aura. Aura merupakan perasaan yang dialami sebelum
serangan dapat berupa: merasa sakit perut, baal, kunang-kunang, telinga
berdengung. Pada tahap tonik pasien dapat: kehilangan kesadaran, kehilangan
keseimbangan dan jatuh karena otot yang menegang, berteriak tanpa alasan yang
jelas, menggigit pipi bagian dalam atau lidah. Pada saat fase klonik: terjaadi
kontraksi otot yang berulang dan tidak terkontrol, mengompol atau buang air
besar yang tidak dapat dikontrol, pasien tampak sangat pucat, pasien mungkin
akan merasa lemas, letih ataupun ingin tidur setelah serangan semacam ini.14

7
2.7 DIAGNOSIS

Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan fisik dengan


hasil pemeriksaan EEG dan radiologis. 15

1. Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh. Anamnesis
menanyakan tentang riwayat trauma kepala dengan kehilangan kesadaran,
meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler dan penggunaan
obat-obatan tertentu.
Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi:
- Pola / bentuk serangan
- Lama serangan
- Gejala sebelum, selama dan paska serangan
- Frekueensi serangan
- Faktor pencetus
- Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
- Usia saat serangan terjadinya pertama
- Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
- Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
- Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

8
2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan
epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital,
gangguan neurologik fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab
terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai
pegangan. Pada anakanak pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan
perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat
menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral.

3. Pemeriksaan penunjang
a. Elektro ensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan
pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan diagnosis
epilepsi. Akan tetapi epilepsi bukanlah gold standard untuk diagnosis. Hasil EEG
dikatakan bermakna jika didukung oleh klinis. Adanya kelainan fokal pada EEG
menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya
kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau
metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal.
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer
otak.
2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding
seharusnya misal gelombang delta.
3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya
gelombang tajam, paku (spike) , dan gelombang lambat yang timbul secara
paroksimal.

b. Rekaman video EEG


Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang sedang
mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi sumber
serangan. Rekaman video EEG memperlihatkan hubungan antara fenomena klinis
dan EEG, serta memberi kesempatan untuk mengulang kembali gambaran klinis
yang ada. Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat untuk penderita yang
penyebabnya belum diketahui secara pasti, serta bermanfaat pula untuk kasus
epilepsi refrakter. Penentuan lokasi fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini sangat
diperlukan pada persiapan operasi.

9
c. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan untuk
melihat struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT Scan
maka MRl lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI
bermanfaat untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri serta untuk membantu
terapi pembedahan.

VIII. TERAPI

2.8 TERAPI
Status epileptikus merupakan kondisi kegawatdaruratan yang memerlukan
pengobatan yang tepat untuk meminimalkan kerusakan neurologik permanen
maupun kematian . Definisi dari status epileptikus yaitu serangan lebih dari 30
menit, akan tetapi untuk penanganannya dilakukan bila sudah lebih dari 5-10 menit

10
Algoritme manajemen status epileptikus

Tujuan terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup optimal untuk pasien.
Prinsip terapi farmakologi epilepsi yakni:

• OAE mulai diberikan bila diagnosis epilepsi sudah dipastikan, terdapat


minimal dua kali bangkitan dalam setahun, pasien dan keluarga telah
mengetahui tujuan pengobatan dan kemungkinan efek sampingnya.
• Terapi dimulai dengan monoterapi
• Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai
dosis efektif tercapai atau timbul efek samping; kadar obat dalam plasma
ditentukan bila bangkitan tidak terkontrol dengan dosis efektif.

11
• Bila dengan pengguanaan dosis maksimum OAE tidak dapat mengontrol
bangkitan, ditambahkan OAE kedua. Bila OAE kedua telah mencapai kadar
terapi, maka OAE pertama diturunkan bertahap perlahan-lahan.
• Penambahan OAE ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak
dapat diatasi dengan pengguanaan dosis maksimal kedua OAE pertama.

Pasien dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk dimulai terapi bila


kemungkinan kekambuhan tinggi , yaitu bila: dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada
EEG, terdapat riwayat epilepsi saudara sekandung, riwayat trauma kepala disertai
penurunan kesadaran, bangkitan pertama merupakan status epileptikus. 16
Prinsip mekanisme kerja obat anti epilepsi :
• Meningkatkan neurotransmiter inhibisi (GABA)
• Menurunkan eksitasi: melalui modifikasi kponduksi ion: Na+, Ca2+,
K+, dan Cl- atau aktivitas neurotransmiter.

Penghentian pemberian OAE


Pada anak-anak penghentian OAE secara bertahap dapat dipertimbangkan
setelah 2 tahun bebas serangan .
Syarat umum menghentikan OAE adalah sebagai berikut:
• Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau keluarganya
setelah minimal 2 tahun bebas bangkitan
• Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis
semula, setiap bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan
• Bila digunakan lebih dari satu OAE, maka penghentian dimulai dari
satu OAE yang bukan utama
Obat ezogabine merupakan obat baru dan memiliki mekanisme kerja sebagai
pembuka saluran kalium, mengaktivasi gerbang saluran kalium di otak. Akan tetapi
mekanisme unik ini memiliki beberapa efek toksik yang biasanya tidak terdapat pada
obat kejang lainnya seperti retensi urin.Hal inilah yang menyebabkan US Food and
Drug Administration's (FDA's) masih mempertimbangkan obat ini.17

12
Pemilihan OAE pada pasien anak berdasarkan bentuk bangkitan dan sindrom

Mekanisme kerja OAE

13
Obat epilepsi untuk anak18

14
DAFTAR PUSTAKA

1. http://www.epilepsy.ca/eng/content/sheet.html
2. http://www.searo.who.int/LinkFiles/Technical_documents_Ment-134.pdf

15
3. Tjahjadi,P.,Dikot,Y,Gunawan,D. Gambaran Umum Mengenai Epilepsi. In :
Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. 2005.
p119-127.
4. Heilbroner, Peter. Seizures, Epilepsy, and Related Disorder, Pediatric
Neurology: Essentials for General Practice. 1st ed. 2007
5. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15816939
6. M
7. Octaviana F. Epilepsi. In: Medicinus Scientific Journal of pharmaceutical
development and medical application. Vol.21 Nov-Des 2008. p.121-2.
8. http://www.who.int/mental_health/neurology/epilepsy_atlas_introdion.pdf
9. http://www.epilepsyfoundation.org/about/statistics.cfm
10. http://epilepsiindonesia.com/pengobatan/epilepsi-dan-anak/pahami-gejala-
epilepsi-pada-anak-2
11. http://www.epilepsysociety.org.uk/AboutEpilepsy/Whatisepilepsy/Causesofe
pilepsy
12. Shorvon SD. HANDBOOK OF Epilepsy Treatment Forms, Causes and
Therapy in Children and Adults.2nd ed. America: Blackwell Publishing Ltd.
2005
13. Price dan Wilson. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Prose-Proses Penyakit.
Ed: 6. Jakarta: EGC
14. Aminoff MJ dkk. Clinical Neurology. 6th ed. New York: McGraw-Hill.
15. Wilkinson I. Essential neurology. 4th ed. USA: Blackwell Publishing. 2005
16. PERDOSSI. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Ed. 3. Jakarta. 2008
17. http://www.medscape.com/viewarticle/726809
18. Kliegman. Treatment of Epilepsy.Nelson Textbook of Pediatrics.
Philadelphia: Saundres Elsevier. 2008. 593(6)

16

You might also like