Professional Documents
Culture Documents
Manajemen
Vol 10. No. 04
Pelayanan Kesehatan
The Indonesian Journal of Health Service Management
h.157-214
MAKALAH KEBIJAKAN
Politik dalam Organisasi (Suatu Tinjauan Menuju Etika Berpolitik)
ARTIKEL PENELITIAN
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
RESENSI
Health Systems Assessment Approach : A How to Manual
KORESPONDENSI
Predicting Willingness to Extend Contractual Assignment Among Medical Doctor in West Java
Terakreditasi
Tahun Nomor Hlm. Yogyakarta ISSN
JMPK Ditjen Dikti
2007
Daftar Isi
Editorial
Kebijakan Contracting-Out untuk Penyediaan Tenaga Kesehatan 157
di Daerah Terpencil dan Sulit: dari Pengalaman Menuju Bukti Ilmiah
Makalah Kebijakan
Politik dalam Organisasi (Suatu Tinjauan Menuju Etika Berpolitik)
Siswanto 159
Artikel Penelitian
Dampak Kemitraan Praktisi Swasta terhadap Keterlambatan dan Biaya Penanganan
Tuberkulosis di Kota Denpasar, Bali
Luh Putu Sri Armini, Yodi Mahendradhata, Adi Utarini 166
Resensi Buku
Health Systems Assessment Approach : A How to Manual 201
Korespondensi
Predicting Willingness to Extend Contractual Assignment Among Medical Doctor in West Java 203
Indeks 205
JURNAL MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN
VOLUME 10 No. 04 Desember l 2007 Halaman 157 - 158
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
Editorial
Masalah ketersediaan sumber daya manusia Kabupaten Aceh Barat oleh FK UGM dan RSUP Dr.
di daerah yang sulit, terpencil, ataupun berbahaya Sardjito. Pengiriman tenaga ini dapat disebut
merupakan masalah besar yang klasik terdapat di sebagai bukti anekdot untuk kebijakan distribusi
Indonesia. Daerah terpencil kekurangan tenaga tenaga medik dan kesehatan di daerah sulit. Dalam
kesehatan yang penting seperti dokter, dokter gigi, konteks penyebaran tenaga kerja di daerah sulit,
perawat, bidan, epidemiolog, ahli gizi. Tantangan ke pada tahun 2005, dipicu oleh musibah Tsunami di
depan adalah: (1) bagaimanakah kebijakan Aceh dilakukan pengiriman tenaga kerja melalui
pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam pendekatan kontrak tim (bukan kontrak perorangan)
penempatan tenaga medik dan kesehatan di daerah untuk menggantikan tenaga kesehatan. Dengan
terpencil dan sulit? (2) apakah kebijakan sekarang dukungan dana dari World Vision Australia, Fakultas
ini dapat diteruskan walaupun sudah terbukti tidak Kedokteran UGM bersama University of Melbourne
bisa memenuhi harapan seperti data yang diperoleh dikontrak untuk menyediakan bantuan tenaga
Pusrengun Departemen Kesehatan. Di samping itu, dokter, dokter spesialis, perawat, dan tenaga-tenaga
ada pertanyaan apakah kebijakan yang diambil dapat manajemen di RS Tjut Nya’ Dien. RS ini berada di
menggunakan prinsip-prinsip Evidence Based Policy pesisir barat Propinsi NAD, di kota Melaboh. Kota
Making ? ini merupakan salahsatu daerah yang mendapat
Apa persamaan dan perbedaan antara Evidence dampak paling dahysat Tsunami. Selama 3 tahun
Based Medicine (EBM) dan Evidence Based Policy- telah dikirim sekitar 500 tenaga dengan sekitar 50
Making (EBP). Sackett dkk mendefinisikan EBM gelombang pemberangkatan.
sebagai: “the conscientious, explicit, and judicious Tujuan pengiriman tenaga medik ke RSD Tjut
use of current best evidence in making decisions Nya Dien untuk: (1) Memperkuat dan mendukung
about the case of individual patient’. Untuk EBP, pemenuhan kebutuhan tenaga medis / nonmedis RS
Cookson memberikan definisi yang serupa, namun Tjut Nya’ Dien melalui pengiriman tim medis secara
berfokus pada keputusan public tentang kelompok rotasi dan menyiapkan staf local permanent; (2)
atau masyarakat, bukan sebuah keputusan tentang Revitalisasi penuh RS Tjut Nya’ Dien melalui
individu pasien. Lebih lanjut Cookson pemenuhan kebutuhan tenaga medis / non medis
menggambarkan hubungan antara bukti ilmiah berdasarkan penilaian kebutuhan. Di pandang dari
dengan keputusan. Keputusan berupa kebijakan hubungan antarberbagai pihak yang terlibat,
publiK dapat dipengaruhi oleh berbagai hal yaitu (1) pengiriman tenaga medik dan kesehatan RSUP Dr.
kepercayaan; (2) nilai-nilai yang dianut oleh Sardjito dan FK UGM ke Aceh Barat merupakan
masyarakat; dan (3) berbagai hal lain seperti aspek kegiatan contracting-out.
politik, ekonomi, hukum, dan etik. Peran bukti ilmiah Apakah kegiatan pengiriman tenaga ke Aceh
adalah mempengaruhi kepercayaan pengambil Barat ini dapat dikembangkan sebagai dasar
keputusan tentang hal yang harus ditetapkan. Akan pengambilan kebijakan nasional dan daerah dalam
tetapi kepercayaan ini dipengaruhi pula oleh penyebaran tenaga medik dan kesehatan?
pengalaman, bukti anekdot, ataupun opini yang Pertanyaan lebih lanjut: apakah model contracting-
didengar dan dibaca oleh pengambil kebijakan. out ini dapat dipergunakan untuk menyediakan
Apabila tidak ada bukti ilmiah, dapat dipahami bahwa tenaga medik dan kesehatan di daerah terpencil dan
pengambilan keputusan dipengaruhi oleh sulit oleh pemerintah daerah dan pusat?
kepercayaan yang berasal dari opini misalnya. Beberapa pemerintah daerah tertarik untuk
Sebagai salah satu kasus menarik tentang membuat keputusan berdasarkan pengalaman yang
penggunaan Evidence Based Policy adalah ada di Aceh Barat. Kasus ini terjadi di Kabupaten
pengiriman tenaga ke RSD Tjut Nya’Dien di Berau (yang masih belum berjalan) dan Kabupaten
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 10, No. 4 Desember 2007 l 157
Laksono Trisnantoro: Kebijakan Contracting-out untuk Penyediaan Tenaga Kesehatan
Nias dan Kabupaten Nias Selatan (sudah berjalan, contracting-out yang telah dipergunakan oleh
sama dengan Aceh Barat). Bagaimana dengan beberapa pemerintah daerah untuk mencari solusi.
pemerintah pusat? Sampai sekarang ini Departemen Namun disadari bahwa bukti pengalaman ini perlu
Kesehatan belum mempunyai agenda untuk dikembangkan untuk menjadi bukti ilmiah sehingga
contracting-out. Dalam hal ini pemerintah pusat mempengaruhi kepercayaan dalam menetapkan
sebenarnya dapat melakukan pilot untuk penelitian keputusan. Untuk ini diharapkan Departemen
kebijakan agar pengalaman mengenai model Kesehatan berani melakukan penelitian pilot untuk
contracting-out dalam distribusi tenaga medik di kebijakan contracting-out dalam distribusi tenaga
Kabupaten Aceh Barat, Kabupaten Nias, Kabupaten medik dan tenaga kesehatan di daerah yang terpencil
Nias Selatan dan Kabupaten Berau (kalau jadi) dapat dan sulit. Laksono Trisnantoro (trisnantoro@yahoo.com)
diperkuat menjadi bukti.
Sebagai ringkasan, kebijakan untuk distribusi KEPUSTAKAAN
tenaga medik dan kesehatan di daerah terpencil 1. Merupakan Background Paper untuk Sarasehan
perlu terus dicari dan dikembangkan. Dari perspektif Alumni FK UGM, Ruang Rapat Senat FK UGM,
Evidence Based Policy Making, saat ini sudah ada Yogyakarta. Tanggal 5 Maret 2000.
bukti anekdot atau pengalaman berupa kebijakan
158 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 10, No. 4 Desember 2007
JURNAL MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN
VOLUME 10 No. 04 Desember l 2007 Halaman 159 - 165
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
Makalah Kebijakan
Siswanto
Puslitbang Sistem dan Kebijakan Kesehatan,
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Depkes RI, Surabaya
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 10, No. 4 Desember 2007 l 159
Siswanto: Politik dalam Organisasi
yang lebih baik. Semestinya, profesionalitas sebagai selalu ada dalam setiap kehidupan organisasi.
manajer haruslah diinterpretasikan sebagai Berkenaan dengan praktik manajemen melalui
penguasaan ’semua paradigma manajemen’, pendekatan politik, maka seorang manajer
kemudian mampu menggunakannya secara tepat (termasuk pemain lainnya) harus paham bagaimana
orang dan tepat waktu (contingency of people and bermain politik yang etis dan elegant, sehingga
of timeliness). Salah satu paradigma manajemen secara etis dapat diterima oleh anggota lainnya.
yang harus dipertimbangkan oleh praktisi Permainan politik yang tidak etis dalam jangka
manajemen adalah politik organisasi (organizational panjang akan berakibat buruk terhadap kredibilitas
politics). pelakunya.
Masyarakat kebanyakan sering memaknai Melihat aktivitas organisasi sebagai aktivitas
politik dengan konotasi negatif dan kotor. Umat politik merupakan penyegaran terhadap pemahaman
manusia adalah makhluk sosial dalam memenuhi kehidupan ‘organisasi’ yang selama ini selalu
kebutuhan hidupnya dan saling berinteraksi satu didominasi oleh cara pandang instrumental, yang
dengan lainnya. Proses interaksi memenuhi analisisnya mengabaikan motif dan kepentingan
kebutuhannya tersebut manusia membentuk aktor yang terlibat dalam organisasi. Dalam
kelompok-kelompok komunitas serta manusia akan kelompok sosial, termasuk organisasi, manusia
selalu dihadapkan pada unsur kekuasaan dan selalu terlibat interaksi antar satu dengan lainnya.
pengaruh. Kekuasaan dan pengaruh merupakan Setiap anggota akan membawa minat, kepentingan,
unsur utama dalam politik. Untuk memenuhi persepsi, dan tujuan yang berbeda-beda. Oleh karena
kepentingannya (meraih cita-cita dan tujuannya), itu, proses pengaruh-mempengaruhi merupakan hal
setiap manusia mau tidak mau harus menggunakan yang wajar dalam kehidupan organisasi. Dengan kata
politik (kekuasaan dan pengaruh) sebagai alat lain, politik adalah suatu kenyataan sosial yang harus
berinteraksi antara manusia satu dengan manusia dihadapi oleh anggota organisasi, termasuk manajer.
lainnya. Dengan demikian, politik adalah kenyataan Ada ungkapan yang menarik “meskipun kita tidak
hidup yang harus dihadapi dan dijalankan oleh setiap suka politik, kita tidak bisa menghindar dari politik”.
orang selama ia berinteraksi secara sosial. Politik didefinisikan oleh Dahl2 sebagai “setiap
Tulisan ini akan mendiskusikan beberapa isu pola hubungan yang kokoh antarmanusia dan
penting tentang paradigma politik organisasi, di melibatkan secara cukup mencolok kendali,
antaranya organisasi sebagai wahana politik, pengaruh, kekuasaan dan kewenangan”. Pada
kekuasaan dan sumber-sumbernya, praktik politik prinsipnya politik adalah suatu jaringan interaksi
dalam organisasi, dan akhirnya didiskusikan etika antarmanusia dengan kekuasaan diperoleh,
berpolitik dalam organisasi. Dengan memahami ditransfer, dan digunakan. Dengan menggunakan
politik organisasi, diharapkan para praktisi definisi ini, maka dapat dikatakan bahwa politik tidak
manajemen dapat memperluas cakrawala hanya terjadi pada sistem pemerintahan, namun
pandangnya tentang politik organisasi sebagai politik juga terjadi pada organisasi formal, badan
paradigma alternatif dalam mengelola organisasi. usaha, klub-klub pribadi, organisasi keagamaan,
kelompok suku primitif, marga, dan bahkan pada
Organisasi Sebagai Wahana Politik unit keluarga. Pusat analisis politik adalah
Organisasi sebagai salah satu entitas sosial kekuasaan dan pengaruh. Kekuasaan didefinisikan
juga tidak terlepas dari politik. Setiap orang dalam sebagai potensi seorang aktor dapat mempengaruhi
organisasi akan menggunakan taktik dan strateginya aktor lain, sehingga aktor lain tersebut menuruti
masing-masing untuk memperebutkan sumber daya kemauan aktor pertama. Dalam kontes saling
yang terbatas, baik itu menyangkut distribusi pengaruh-mempengaruhi ini, maka tiap-tiap aktor
informasi, kekuasaan, karir maupun penghargaan akan saling beradu kekuasaan untuk memenangkan
lainnya. Organisasi kesehatan, seperti rumah sakit ‘kepentingan’, dengan taktik memainkan
juga tidak terlepas dari kegiatan politik. Strauss1 kekusaannya masing-masing.
dalam penelitiannya di institusi rumah sakit Pemahaman bahwa organisasi adalah sebuah
mengidentifikasi pola interaksi antar aktor di rumah entitas politik akan mampu menyadarkan manajer
sakit (dokter, perawat dan staf administrasi) sebagai melihat organisasi secara ‘utuh’ dan tidak hanya
‘keteraturan hasil negosiasi’ (negotiated order). Tak mengandalkan pada cara-cara instrumental saja.
dapat disangkal bahwa ‘negosiasi’ merupakan salah Morgan3 dan Bolman & Deal4 misalnya, melihat
satu bentuk aktivitas politik untuk mendapatkan organisasi sebagai wahana atau gelanggang politik
komitmen bersama. Untuk menjadi manajer yang tempat bernegosiasi kepentingan oleh para
efektif, seorang manajer harus sadar bahwa ‘politik’ anggotanya. Drory5 mendefinisikan politik organisasi
160 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 10, No. 4 Desember 2007
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
sebagai perilaku informal di dalam organisasi dengan tapi merefleksikan sumber kekuatan untuk
menggunakan kekuasaan dan pengaruh melalui mempengaruhi tindakan orang lain. Kekuasaan
tindakan terencana yang diarahkan untuk peningkatan bersifat netral, apakah akan bersifat baik atau buruk
karir individu pada situasi untuk memperoleh banyak tergantung dari motif yang menggunakannya. Ada
pilihan keputusan. Selanjutnya, Miles6 mendefinisikan baiknya kita renungkan ungkapan Baltasar Gracian
politik organisasi sebagai proses yaitu setiap aktor berikut: “Satu-satunya keuntungan memiliki
atau kelompok dalam organisasi membangun kekuasaan adalah bahwa Anda dapat melakukan
kekuasaan untuk mempengaruhi penetapan tujuan, lebih banyak kebaikan”.9
kriteria atau proses pengambilan keputusan Berbeda dengan kekuasaan yang merujuk
organisasional dalam rangka memenuhi kepada ketersediaan sumber daya, pengaruh
kepentingannya. Analisis organisasi dari perspektif merujuk kepada tindakan atau praktik. Pengaruh
politik melibatkan tiga diskursus yaitu kepentingan, dapat didefinisikan sebagai penggunaan kekuasaan
kekuasaan dan pengaruh. atau otoritas untuk mempersuasi orang lain agar
Morgan3 mendefinisikan kepentingan sebagai mereka mengikuti kehendak si pengguna
“predisposisi yang mempengaruhi tindakan kekuasaan.10 Lebih jauh, Yukl11 menyebutkan bahwa
seseorang dalam berinteraksi secara sosial, meliputi pengaruh adalah efek dari tindakan agen tehadap
tujuan, nilai, keinginan, harapan, dan orientasi pihak lain (target). Secara sekuensial dapat
seseorang”. Lebih jauh, Morgan 3 membagi dikatakan bahwa kekuasaan menimbulkan pengaruh
kepentingan ke dalam tiga kategori yaitu kepentingan dan akhirnya pengaruh mempengaruhi tindakan
pekerjaan, kepentingan karir dan kepentingan orang lain (kekuasaan à pengaruh à tindakan orang
ekstramural. Kepentingan pekerjaan adalah lain). Namun demikian, beberapa rujukan tentang
kepentingan yang terkait dengan tugas seseorang perilaku politik sering mempertukarkan istilah
sesuai kedudukan dan jabatan yang diembannya. kekuasaan dan pengaruh.2
Sementara, kepentingan karir terkait dengan masa Asumsi dasar organisasi sebagai entitas
depan seseorang dalam organisasi (posisi dan politik3,4,12 yaitu: (1) organisasi adalah koalisi yang
jabatan yang lebih baik), yang bisa saja tidak terdiri dari berbagai individu dan kelompok dengan
berhubungan dengan kepentingan pekerjaan. Dalam berbagai kepentingan, (2) dalam organisasi selalu
komponen kepentingan juga termasuk kepentingan ada potensi perbedaan menyangkut kepribadian,
ekstramural yang terdiri dari kepribadian, sikap, nilai, keyakinan, kepentingan, sikap, persepsi, dan minat
keyakinan dan komitmen di luar pekerjaan yang dari para anggotanya, (3) kekuasaan memainkan
semuanya akan membingkai pola perilaku seseorang peranan penting dalam memperebutkan sumber
baik menyangkut pekerjaan maupun karir. daya, (4) tujuan organisasi, pengambilan keputusan
Dalam interaksi antaraktor dalam organisasi, dan proses manajemen lainnya adalah hasil dari
setiap aktor menggunakan kekuasaan dan pengaruh bargaining, negosiasi, dan brokering dari berbagai
untuk dapat memenuhi tujuannya. Kekuasaan faksi peserta, (5) karena keterbatasan sumber daya
didefinisikan sebagai “peluang seorang aktor dalam dan setiap aktor berebut kepentingan, maka konflik
interaksi sosialnya berada di posisi memenangkan adalah wajar (natural) dalam kehidupan organisasi.
keinginannya meski ada hambatan dari pihak lain”.7
Sebagai ilustrasi, ‘A’ mempunyai kekuasaan Kekuasaan dan Sumber-Sumbernya
terhadap ‘B’, kalau ‘A’ dapat mempengaruhi atau Untuk memahami lebih jauh tentang bagaimana
memaksa ‘B’ untuk melakukan sesuatu yang para aktor dalam organisasi saling mempengaruhi
diinginkan oleh ‘A’.8 Dengan kata lain, kekuasaan dan mengapa aktor tertentu dapat mengendalikan
adalah suatu sumber daya yang merefleksikan aktor lainnya, kita harus mengenal sumber-sumber
kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang kekuasaan dalam organisasi. Sumber-sumber
lain untuk bertindak sesuai dengan keinginan orang kekuasaan yang dipakai para aktor untuk saling
pertama. Kekuasaan bukan merefleksikan tindakan, mempengaruhi adalah sebagaimana ditunjukkan
pada Tabel 1.
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 10, No. 4 Desember 2007 l 161
Siswanto: Politik dalam Organisasi
Pada Tabel 1 terlihat bahwa kelompok sumber mengelaborasi atau mengumpulkan sumber-sumber
kekuasaan berdasarkan kedudukan akan berlimpah kekuasaan lainnya dengan baik, ia akan kehilangan
pada orang-orang yang secara hirarkis mempunyai legitimasinya sebagai ‘leader’, yang berakibat pada
kedudukan dalam organisasi. Seorang manajer akan munculnya ‘leader-leader’ bayangan dalam
mempunyai kekuasaan kedudukan paling besar organisasi.
karena ia mampu memainkan keseluruhan sumber-
sumber kekuasaan berdasarkan kedudukan. Posisi Praktik Politik dalam Organisasi
di bawah manajer, seperti kepala bidang atau kepala Setiap aktor termasuk manajer menggunakan
bagian akan menguasai sumber kekuasaan tertentu taktik dan strategi untuk mempengaruhi aktor lain
lebih banyak daripada sumber kekuasaan lainnya dengan menggunakan sumber kekuasaan yang
sesuai tugas dan fungsinya. Sebagai contoh, kepala dimiliki. Secara deskriptif, beberapa taktik yang
bidang perencanaan akan mempunyai kontrol lebih dipakai oleh para aktor adalah sebagai berikut:12
besar terhadap distribusi sumber daya; sementara 1). Membentuk koalisi dengan pihak lain untuk
kepala bagian tata usaha akan mempunyai kontrol meningkatkan dukungan dan sumber daya
lebih besar terhadap ekologi pekerjaan seseorang. 2). Menciptakan suasana (seremoni dan simbol)
Dengan memahami sumber-sumber kekuasaan untuk membentuk persepsi dan perilaku orang-
dalam organisasi, dapat dimengerti bahwa aktor orang sesuai dengan peran dan fungsinya
paling berkuasa adalah aktor yang mampu 3). Mentransformasikan kepentingan kita menjadi
mengumpulkan banyak sumber-sumber kekuasaan; kepentingan pihak lain dengan mengubah
dan hal ini tidak selalu merujuk kepada manajer. persepsi dan tindakan pihak lain
Memang, manajer mempunyai kesempatan lebih 4). Memperluas jumlah pemain yang terlibat dalam
besar untuk mengumpulkan sumber-sumber suatu isu yang menjadi kepentingan kita untuk
kekuasaan. Setidaknya, posisi manajer sudah mendapatkan perhatian yang lebih luas
mendapatkan tiga sumber kekuasaan yaitu otoritas 5). Melaksanakan negosiasi dan tawar-menawar
formal, penggunaan struktur dan aturan, serta kendali dengan pihak lain yang bersinggungan dengan
pengambilan keputusan. Manajer yang tidak mampu kepentingan kita untuk mendapatkan kompromi
162 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 10, No. 4 Desember 2007
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
6). Memilih waktu yang tepat untuk setiap tindakan Cara-cara mempengaruhi orang dengan pendekatan
agar situasi menguntungkan kita (manajer). rasa takut (paksaan), baik pendekatan lunak maupun
Sarana aktivitas politik untuk saling pendekatan keras akan menghasilkan kendali yang
mempengaruhi antar aktor dalam organisasi adalah bersifat sementara dan reaktif. Efek yang muncul
melalui komunikasi. Hubungan antara komunikasi, akibat mempengaruhi dengan paksaan adalah
penggunaan sumber kekuasaan, menanamkan permusuhan, pertengkaran, oposisi, ketergantungan,
pengaruh, dan pemenangan kepentingan dapat balas dendam, pengendalian sementara, sabotase,
diabstraksikan sebagaimana skema pada Gambar 1. kepatuhan terpaksa, hubungan menang-kalah, hasil-
Lee9 dalam bukunya The Power Principle, hasil sementara, bahkan pemberontakan.9
membagi proses mempengaruhi (proses berkuasa) Di samping cara mempengaruhi dengan
menjadi tiga macam yaitu: (i) mempengaruhi dengan menebar rasa takut, banyak dari kita mempengaruhi
paksaan (rasa takut), (ii) mempengaruhi berdasarkan orang lain dengan cara memberi dan menerima,
manfaat (tukar-menukar), dan (iii) mempengaruhi bertukar, berdagang, dan berusaha melakukan tukar-
berdasarkan prinsip. Mempengaruhi dengan paksaan menukar yang adil (asas pertukaran manfaat).
menghasilkan efek rasa takut; mempengaruhi Dengan demikian, mempengaruhi berdasarkan azas
berdasarkan manfaat menghasilkan efek kewajaran; manfaat pada dasarnya adalah “menemukan
selanjutnya mempengaruhi berdasarkan prinsip akan kesepakatan antar kedua belah pihak yang saling
menghasilkan efek rasa hormat. menguntungkan”. Konsesi yang dipertukarkan dapat
Mempengaruhi orang dengan rasa takut berupa uang, informasi, keahlian tertentu atau akses
meliputi pendekatan keras dan pendekatan lunak. terhadap sumber daya.9 Sumber-sumber kekuasaan
Cara-cara dengan pendekatan keras, misalnya: berdasarkan azas pertukaran manfaat adalah
menindas, memaksa, mengendalikan, menusuk dari kekuasaan memberi imbalan, kekuasaan
belakang, mengkambinghitamkan, mengintimidasi, berdasarkan posisi, kekuasaan berdasarkan
mengganggu, mengancam, menakut-nakuti, keahlian, kekuasaan terhadap informasi, kekuasaan
meremehkan, menyepelekan, menyalahkan dan terhadap sumber daya, kekuasaan berdasarkan
melemahkan. 9,13 Sementara itu, cara-cara peluang, dan kekuasaan berdasarkan koneksi.9
pendekatan lunak, misalnya: mengaburkan, Apa yang kita lakukan dalam mempengaruhi
memperdayai, menipu, merayu, menghambat, orang lain berdasarkan azas pertukaran manfaat
mengalihkan, membuat sedih, membuat kecil hati, yaitu: (i) membuat kesepakatan, (ii) tawar-menawar,
menghalangi, menyiasati dan merampas hak.9,13 (iii) berdebat, (iv) mengadakan pertukaran,
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 10, No. 4 Desember 2007 l 163
Siswanto: Politik dalam Organisasi
(v) konsensus, (vi) saling mengalah, (vii) bahwa setiap individu mempunyai kebebasan untuk
memperebutkan, (viii) bertengkar, dan (ix) mengemukakan pendapat dan berbicara,
berkompromi. Apa yang kita peroleh dari cara sebagaimana diatur dalam Piagam Hak Asasi
mempengaruhi berdasarkan azas manfaat adalah Manusia. Prinsip ’keadilan’ mengisyaratkan individu
pola interaksi yang bersifat fungsional dan wajar untuk memberlakukan dan menegakkan aturan-
(tanpa rasa takut). Namun demikian, pola hubungan aturan secara adil dan tidak berat sebelah sehingga
berdasarkan manfaat bersifat sementara dan terdapat distribusi manfaat dan biaya yang pantas.15
bersyarat, artinya bila situasi berubah dan manfaat Tampak bahwa ketiga kriteria penilaian etis dan
tidak didapatkan lagi maka kekuasaan akan tidak etis tersebut bersifat bersaing (trade-off), satu
menghilang (menguap).9 kriteria dapat saling melemahkan atau meniadakan
Cara ketiga untuk mempegaruhi orang lain kriteria lainnya. Misalnya, dalam rangka peningkatan
adalah berdasarkan prinsip kehormatan. Prinsip- efisiensi dan produktivitas organisasi, perusahaan
prinsip kekuasaan berdasarkan kehormatan memecat 10% karyawan yang kurang produktif.
diantaranya adalah persuasif, sabar, lembut, Dalam pandangan utilitarianisme, keputusan ini
menerima, bermurah hati, mengasihi, mengajari, bermanfaat untuk jumlah terbanyak, namun boleh
mendisiplinkan, bersikap konsisten dan hidup jadi mengabaikan hak-hak individu (hak mendapatkan
berintegritas. Hasil-hasil yang diperoleh dari pekerjaan dan penghidupan) dan rasa keadilan
kekuasaan berdasarkan prinsip kehormatan adalah (adanya perlakukan diskriminatif yaitu adanya
kemitraan, sinergi, peningkatan kapasitas, pemecatan sebagian kecil karyawan). Dalam
pengendalian internal yang positif, penguasaan diri, melakukan tindakan politik, siapapun aktornya (bisa
perilaku etis, kesalingtergantungan, proaktivitas, manajer atau staf) haruslah berpedoman pada tiga
kepercayaan, solusi menang-menang, kesepakatan kriteria etis tadi.
kemitraan, dan pola hubungan jangka panjang yang Di samping ketiga kriteria tersebut, ada the
memuaskan.9 golden rule dari perilaku politik, yaitu ”Perlakukan
Perhatikan ungkapan mutiara berikut: ”Kekuasaan orang lain sebagaimana kamu menginginkan orang
bisa dipandang sebagai ’kekuasaan dengan’ lain memperlakukanmu” (Do unto others as you want
ketimbang ’kekuasaan atas’, dan kekuasaan dapat them to do unto you) atau ”Jangan lakukan sesuatu
digunakan untuk membangkitkan kompetensi dan pada orang lain yang mana kamu tidak menginginkan
kooperasi, bukannya dominansi serta pengendalian” orang lain melakukan hal itu kepadamu” (Don’t do
Anne L Barstow (Dikutip dari Lee9). anything to anyone that you wouldn’t want them to
do to you).
Etika Berpolitik dalam Organisasi Sebagai saringan dapat juga dipakai empat
Pembahasan politik organisasi tidaklah langkah pertanyaan berikut: (i) apakah perilaku itu
lengkap tanpa berbicara tentang etika berpolitik merupakan kebenaran?, (ii) apakah perilaku itu adil
dalam organisasi. Pertimbangan etis haruslah untuk semua pihak terkait?, (iii) apakah perilaku itu
merupakan suatu kriteria pengontrol dalam perilaku akan membangun komitmen dan pertemanan yang
politik untuk mempengaruhi pihak lain. Etik adalah lebih baik?, dan (iv) apakah perilaku itu bermanfaat
standar moral apakah suatu perilaku baik atau buruk untuk semua pihak terkait? Apabila jawaban dari
menurut norma masyarakat.14 Perilaku politik yang keempat pertanyaan saringan tersebut, dalam batas-
etis adalah perilaku yang bermanfaat untuk individu batas tertentu memenuhi syarat, maka dapat
dan organisasi, sedangkan perilaku politik yang tidak dikatakan perilaku tersebut adalah etis.14
etis adalah perilaku yang bermanfaat untuk individu Perilaku politik dalam ”kelompok cara
tetapi melukai organisasi.14 mempengaruhi dengan menebar rasa takut”,
Setidaknya terdapat tiga kriteria untuk menilai misalnya menusuk dari belakang, mengintimidasi,
apakah cara kita bertindak etis atau tidak etis yaitu mengkambinghitamkan, mengganggu, mengancam,
prinsip utilitarianisme, hak dan keadilan. Prinsip menakut-nakuti, meremehkan, menyepelekan,
utilitarianisme mengajarkan bahwa keputusan yang menyalahkan, melemahkan, mengaburkan,
kita ambil haruslah ’memberikan manfaat terbesar memperdayai, menipu, merayu, menghambat,
untuk jumlah orang terbesar’. Pandangan demikian mengalihkan, membuat sedih, membuat kecil hati,
menekankan pada kinerja kelompok (kinerja menghalangi, menyiasati dan merampas hak adalah
organisasi). Dengan kata lain, pengambilan perilaku politik yang kurang atau tidak etis. Siapapun
keputusan adalah dalam rangka efisiensi dan orangnya akan ”sakit hati” bila ditusuk dari belakang,
produktivitas organisasi, bukan untuk mengambil dikambinghitamkan, disepelekan, diremehkan,
keuntungan sepihak. Prinsip ’hak’ menekankan diperdayai dan tindakan sejenisnya.
164 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 10, No. 4 Desember 2007
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 10, No. 4 Desember 2007 l 165
JURNAL MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN
VOLUME 10 No. 04 Desember l 2007 Halaman 166 - 172
Luh Putu Sri Armini, dkk.: Dampak Kemitraan Praktisi Swasta ...
Artikel Penelitian
166 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 10, No. 4 Desember 2007
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
puskesmas, akan tetapi angka penemuan kasus diagnosis dan pengobatan dan untuk
tetap belum dapat mencapai target program 70%.3 mendeskripsikan biaya yang dikeluarkan oleh pasien
Situasi yang sama terjadi di kota Denpasar, untuk penanggulangan TB.
meskipun sejak tahun 2000 semua puskesmas telah
melaksanakan program TB. Sejak tahun 2002, BAHAN DAN CARA PENELITIAN
kemitraan dengan praktisi swasta (PSw) mulai Penelitian ini merupakan penelitian kuasi-
dikembangkan secara bertahap. Pada tahun 2002- eksperimental dengan rancangan pre-post test
2004, telah dilakukan sosialisasi mengenai strategi menggunakan subyek yang berbeda. Penelitian
DOTS kepada dokter praktik swasta (DPS), namun dilaksanakan di kota Denpasar. Sampel penelitian
pelatihan ini belum diikuti dengan tindak lanjut ini adalah 49 pasien TB BTA (+) triwulan III (bulan
monitoring dan evaluasi penerapan strategi DOTS Juli-September 2004) sebagai kelompok pembanding
di DPS. dan 51 pasien pada triwulan IV (Oktober-Desember)
Sejak September 2004, dilakukan kegiatan kerja sebagai kelompok intervensi setelah kemitraan.
sama dengan Pusat Manajemen Pelayanan Variabel utama yang diteliti adalah
Kesehatan, Fakultas Kedokteran UGM dan Fidelis keterlambatan diagnosis, keterlambatan pengobatan,
IUATLD untuk memperkuat kemitraan Puskesmas biaya langsung dan tidak langsung, akses pelayanan
dan PSw dokter, bidan dan perawat. Intervensi terdiri kesehatan dan perilaku mencari pengobatan.
dari advokasi ke PSw tentang DOTS dan pilihan peran Instrumen penelitian yang digunakan adalah
PSw melalui lunch seminar, pelatihan detailing bagi kuesioner yang dimodifikasi dari kuesioner limited
petugas TB puskesmas untuk melakukan surveilans access (LA) Fidelis-IUATLD dan kuesioner evaluasi
ke PSw melalui kunjungan ke tempat praktik, form PPM DOTS yang dilaksanakan di Hyderabad India6.
pengiriman pasien untuk diagnosis/pengobatan Data pasien BTA (+) diperoleh dari register TB
rangkap tiga (untuk disimpan dokter, dibawa pasien kabupaten. Sejumlah lima surveyor dilatih untuk
dan diambil petugas TB ketika berkunjung), menggunakan instrumen dengan cara wawancara
pertemuan monitoring bulanan dengan petugas TB pasien. Analisis data menggunakan uji Chi Square
yang diselenggarakan di tingkat Puskesmas Rujukan dan Mann Whitney-U.
Mikroskopis, dan pertemuan monitoring triwulanan
dengan petugas TB/wasor. Kontribusi PSw dalam HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
menemukan BTA(+) mencapai 20% dari total BTA(+) Perbedaan karakteristik responden yang
di 3 kabupaten yang diintervensi (Denpasar, Badung bermakna sebelum dan sesudah kemitraan adalah
dan Buleleng).5 Namun demikian, dampak intervensi dalam hal pekerjaan, khususnya yang bekerja
tersebut bagi pasien belum dievaluasi. Penelitian ini sebagai buruh (6.1% versus 21.6%) dan yang tidak
bertujuan untuk mengevaluasi dampak kemitraan bekerja (49.0% versus 19.6%).
dengan praktisi swasta terhadap keterlambatan
Tabel 1. Karakteristik Responden Penelitian (n=100)
Sebelum Kemitraan Setelah Kemitraan
Karakteristik Responden (n 49) (n 51) X2 p
n % n %
Jenis Kelamin
Laki-laki 25 51.0 25 49.0 0,000 0,999
Perempuan 24 49.0 26 51.0
Pendidikan
Tamat SD 14 28.6 15 29.4 0,205 0,977
SMP 11 22.4 12 23.5
SLTA 21 42.9 20 39.2
PT 3 6.1 4 7.8
Pekerjaan
Buruh 3 6.1 11 21.6 14,389 0,006
PNS 3 6.1 2 3.9
Karyawan Swasta 16 32.7 18 35.3
Wiraswasta 3 6.1 10 19.6
Tidak bekerja 24 49.0 10 19.6
Memiliki Kartu Sehat
Ya 10 20.4 10 19.6 0,000 0,999
Tidak 39 79.6 41 80.4
Status Perkawinan
Kawin 33 67.3 39 76.5 0,000 0,999
Tidak Kawin 16 32.7 12 23.5
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 10, No. 4 Desember 2007 l 167
Luh Putu Sri Armini, dkk.: Dampak Kemitraan Praktisi Swasta ...
Pada Tabel 2 dapat dilihat UPK yang pertama dibandingkan kelompok responden sebelum
kali dikunjungi responden untuk mengobati kemitraan. Perbedaan median tersebut signifikan
penyakitnya adalah praktik swasta diikuti oleh secara statistik (p<0,05).
pengobat tradisional puskesmas dan rumah sakit. Program kemitraan belum mempercepat waktu
UPK yang pertama kali menganjurkan responden dari mulai terdiagnosa hingga diobati karena nilai
memeriksa dahak pada kelompok sebelum median (Q2) lama waktu mulai terdiagnosis hingga
kemitraan masih didominasi Puskesmas. Pada diobati pada kelompok responden setelah kemitraan
kelompok setelah kemitraan justru PSw yang sama dengan kelompok responden sebelum
pertama kali menganjurkan pemeriksaan dahak. kemitraan. Perbedaan median tersebut tidak
UPK tempat pengobatan DOTS terbanyak adalah di signifikan secara statistik (p>0,05).
Puskesmas, diikuti dengan rumah sakit dan praktik Lama waktu dari mulai muncul gejala hingga
swasta. Hanya sekitar 20% responden baik sebelum pasien melakukan kunjungan pertama kali pada
maupun setelah kemitraan yang langsung suatu UPK pada kelompok sebelum kemitraan dan
mendapatkan pengobatan DOTS. sesudah kemitraan relatif sama. Hal tersebut
Lama sejak mulai muncul gejala hingga ditunjukkan oleh nilai median (Q2) yang relatif sama
diagnosis menunjukkan bahwa program kemitraan karena tidak signifikan secara statistik (p>0,05).
mempercepat penemuan kasus TB. Hal tersebut Program kemitraan belum mampu menurunkan lama
ditunjukkan oleh nilai median (Q2) lama waktu mulai muncul gejala hingga pasien berkunjungan pertama
muncul gejala hingga terdiagnosis pada kelompok kali pada suatu UPK.
responden setelah kemitraan lebih kecil
Tabel 2. Upaya Mencari Pengobatan Sebelum dan Sesudah mendapatkan Pengobatan DOTS
Sebelum Kemitraan Setelah Kemitraan
Uraian (n 49) ( n 51) X2 p
n % n %
UPK yang pertama kali dikunjungi
sebelum pengobatan DOTS
Tradisional 7 17,5 7 16,7 2,222 0,528
Praktik Swasta 27 67,5 30 71,4
Puskesmas 4 10,0 5 11,9
Rumah sakit 2 5,0 0 ,0
UPK yang pernah dikunjungi
sebelum pengobatan DOTS
Tradisional 9 22,5 11 26,2 0,017 0,895
Praktik Swasta 32 80,0 36 85,7 0,155 0,694
Puskesmas 18 45,0 18 42,9 0,001 0,999
Rumah sakit 11 27,5 9 21,4 0,146 0,702
UPK yang menganjurkan
pemeriksaan Dahak
Praktik Swasta 10 20,4 22 43,1 6,763 0, 034
Puskesmas 28 57,1 18 35,3
Rumah sakit 11 22,4 11 21,6
UPK tempat pengobatan DOTS
Praktik Swasta 3 6,1 3 5,9 1,501 0,305
Puskesmas 31 63,3 29 56,9
Rumah sakit 15 30,6 19 37,3
Sebelumnya mencari pengobatan
lain
Ya 40 81,6 42 82,4 0,001 0, 999
Tidak 9 18,4 9 21,6
Tabel 3. Lama Waktu Sejak Muncul Gejala, Kunjungan Pertama ke Pelayanan Kesehatan,
Diagnosis hingga Pengobatan
168 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 10, No. 4 Desember 2007
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
Lama waktu dari mulai kunjungan pertama kali statistik juga menunjukkan tidak terdapat perbedaan
ke suatu pelayanan kesehatan hingga diobati yang signifikan (p>0,05). Hal tersebut berarti selama
menunjukkan bahwa program kemitraan menjalani pengobatan TB kebanyakan responden
mempercepat pengobatan kasus TB. Hal tersebut tidak mengeluarkan biaya atau gratis. Median biaya
ditunjukkan oleh nilai median (Q2) lama waktu mulai tak langsung sebesar Rp43.200,00 pada kelompok
kunjungan pertama kali ke suatu pelayanan responden kelompok sebelum kemitraan dan
kesehatan hingga diobati pada kelompok responden Rp47.400,00 pada kelompok setelah kemitraan
setelah kemitraan lebih kecil dibandingkan kelompok namun tidak berbedaan secara signifikan (p>0,05).
responden sebelum kemitraan. Secara statistik Median total biaya yang dikeluarkan selama
perbedaan tersebut signifikan. pengobatan sebesar Rp69.600,00 pada kelompok
Lama waktu dari mulai muncul gejala hingga sebelum kemitraan dan Rp68.000,00 pada
diobati menunjukkan bahwa program kemitraan juga responden setelah kemitraan dan secara statistik
mempercepat pengobatan kasus TB, karena juga menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang
terdapat perbedaan yang signifikan pada kelompok signifikan (p>0,05). Total biaya keseluruhan yang
tersebut. Nilai median (Q2) lama waktu mulai muncul dikeluarkan sebelum mendapatkan pengobatan
gejala hingga diobati pada kelompok responden DOTS, baik biaya langsung, biaya tak langsung
setelah kemitraan lebih kecil dibandingkan kelompok maupun total biaya, responden sebelum kemitraan
responden sebelum kemitraan. Secara statistik dan setelah kemitraan juga relatif sama karena hasil
perbedaan tersebut signifikan. Dari Tabel 3 dapat Mann Withney tidak signifikan (p>0,05).
disimpulkan bahwa program kemitraan Biaya yang telah dikeluarkan untuk mencari
mempercepat penemuan dan pengobatan kasus TB pengobatan penyakitnya, baik biaya langsung
di Kota Denpasar. maupun tak langsung dan total biaya yang
Median biaya langsung yang dikeluarkan dikeluarkan, di setiap UPK sebelum mendapatkan
selama pengobatan DOTS sebesar 0 dan secara pengobatan DOTS terpapar dalam Tabel 5.
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 10, No. 4 Desember 2007 l 169
Luh Putu Sri Armini, dkk.: Dampak Kemitraan Praktisi Swasta ...
Median biaya langsung untuk mencari jaringan TB DOTS ke seluruh petugas puskesmas
pengobatan tradisional yang dikeluarkan responden pembantu di Bali termasuk Denpasar.
kelompok sebelum kemitraan lebih besar Keterlibatan UPK praktik swasta yang semakin
dibandingkan kelompok setelah kemitraan, besar mempercepat waktu dari muncul nya gejala
sebaliknya biaya tak langsung sebelum kemitraan hingga terdiagnosis maupun pengobatan DOTS.
lebih kecil dibandingkan kelompok setelah Semakin banyak UPK praktisi swasta yang terlibat
kemitraan. Total biaya di UPK pengobatan tradisional dengan dalam penemuan kasus TB menunjukkan
tidak ada perbedaan yang signifikan (p>0,05). program kemitraan di Denpasar semakin berhasil.
Median biaya langsung, biaya tak langsung dan total Penderita yang lebih dini ditemukan akan
biaya yang dikeluarkan responden kelompok mempengaruhi kecepatan pengobatannya.
sebelum kemitraan dan setelah kemitraan tidak Program kemitraan telah berhasil
terdapat perbedaan baik pada UPK praktik swasta, mempengaruhi perilaku UPK untuk mencurigai
puskemas dan rumah sakit (p>0,05). pasien yang batuk dan keluhan dada lain untuk
diperiksa lebih lanjut terutama pada praktik swasta
PEMBAHASAN dan rumah sakit. Di Provinsi Bali khususnya di Kota
1. Pembahasan Metodologis Denpasar masih banyak potensi pelayanan praktisi
Untuk mengetahui efektifitas pelaksanaan swasta yang memungkinkan untuk dilibatkan dalam
program kemitraan di Kota Denpasar seharusnya penemuan kasus TB. Hasil Survei prevalensi TB
dilakukan penelitian komparatif. Penelitian ini tidak tahun 2004 menemukan bahwa proporsi pasien yang
dapat membandingkan daerah yang melaksanakan mendapat pengobatan awal di puskesmas hampir
program kemitraan dengan daerah lain yang belum sama dengan praktik swasta yaitu sekitar 40-60%,
melaksanakan program tersebut. Penggunaan di ikuti dengan rumah sakit umum, rumah sakit
kontrol pelaksanaan program kemitraan dengan swasta dan klinik swasta, sehingga banyak fasilitas
daerah lain tidak dilakukan karena pelaksanaan pelayanan kesehatan selain puskesmas yang harus
program kemitraan telah dilaksanakan di seluruh dilibatkan. 7 Responden kelompok sebelum
Provinsi Bali, sehingga program kemitraan juga telah kemitraan yang berkunjung ke UPK praktik swasta
dilaksanakan di semua kabupaten lain. Pembanding lebih banyak tidak menganjurkan pemeriksaan
diambil dari pasien TB BTA(+) triwulan III sebelum dahak, sedangkan pada responden kelompok
kemitraan dilaksanakan. setelah kemitraan justru lebih banyak yang telah
Biaya yang dianalisis dalam penelitian ini adalah dianjurkan untuk memeriksakan dahak. Perubahan
biaya tunai yang dikeluarkan oleh penderita selama tersebut karena program kemitraan yang dilakukan
mencari pengobatan dan menjalani pengobatan dengan melatih UPK praktik swasta untuk
DOTS. Biaya akibat kehilangan waktu kerja selama menemukan TB. Keterlambatan tersebut
mencari pengobatan penyakitnya dan menjalani kemungkinan karena pasien disebut ”patient delay”
pengobatan DOTS tidak dihitung. Bagi penelitian lain yaitu rentang waktu antara gejala dimulai sampai
disarankan untuk melakukan penelitian tentang pasien mengunjungi fasilitas kesehatan.8 Beberapa
biaya yang harus ditanggung akibat dari pencarian hal yang mempengaruhi keterlambatan dari pasien
pengobatan penyakitnya dan menjalani pengobatan antara lain : pengetahuan pasien tentang TB, tempat
DOTS. tinggal pasien yang jauh dari fasilitas kesehatan dan
bila pasien itu seorang pecandu alkohol. 9
2. Pembahasan Isi dan Konteks Program TB Biaya yang dikeluarkan oleh penderita TB untuk
di Denpasar Bali mencari pengobatan sebelum menjalani pengobatan
Program kemitraan mempercepat penemuan DOTS baik responden sebelum kemitraan maupun
kasus TB BTA (+) di UPK praktik swasta dan pasien setelah kemitraan tidak berbeda bermakna. Hal
segera mendapatkan pengobatan DOTS. Akan tetapi tersebut menunjukkan bahwa perilaku masyarakat
tidak semua praktik swasta dipilih menjadi tempat dalam pencarian untuk penyakit yang dideritanya
pengobatan DOTS secara rutin bagi penderita TB. baik pada kelompok responden sebelum kemitraan
Responden yang ditemukan oleh UPK praktik swasta maupun setelah kemitraan masih relatif sama.
kemungkinan melanjutkan pengobatan DOTS di Berbeda dengan hasil evaluasi ekonomi yang
Puskesmas atau Rumah Sakit. Sesuai kebijakan dilaksanakan pada pelaksanaan PPM DOTS di
Dinas Kesehatan Provinsi Bali dan kota Denpasar Hyderrabad dan New Delhi India, PPM DOTS yang
perluasan TB DOTS dilaksanakan pada lebih banyak dilaksanakan di Hyderrabad dan New Delhi India
rumah sakit swasta dan praktisi swasta termasuk mengurangi biaya yang dikeluarkan oleh pasien,
bidan dan perawat, disamping juga akan memperluas perbedaan tersebut karena di Hyderrabad dan New
170 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 10, No. 4 Desember 2007
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
Delhi India pelaksanaan PPM DOTS dilaksanakan DOTS di Denpasar didanai dari Global Fund (GF),
oleh lebih banyak sektor praktisi swasta, rumah sakit diperlukan juga suatu komitmen dari pemerintah kota
swasta, perawat swasta, dan laboratorium swasta untuk pembiayaan DOTS ini kalau GF sudah tidak
yang tidak memungut bayaran pada pasien TB yang mensubsidi dana lagi. Perluasan manajemen DOTS
berobat, sedangkan di Denpasar yang tidak dibayar di Denpasar dikaitkan juga dengan regulasi perijinan
oleh pasien hanya alat TB (di semua UPK dan dokter praktik swasta yang mencari izin praktik.
praktisi) dan laboratorium (di Puskesmas).
KESIMPULAN DAN SARAN
3. Implikasi Hasil Penelitian terhadap Kesimpulan
Kebijakan dan Program TB di Denpasar Kesimpulan studi ini adalah bahwa program
Program kemitraan yang dilakukan di Kota kemitraan Puskesmas-praktisi swasta di Denpasar
Denpasar telah meningkatkan penemuan kasus TB dapat mempercepat penemuan kasus TB BTA (+)
BTA (+) dan memperpendek waktu dari munculnya dan mempersingkat jarak antara diagnosis dan
gejala hingga diagnosis dan pengobatan. Hal tersebut pengobatan dengan DOTS. Akan tetapi program
berarti keterlibatan praktik swasta di Kota Denpasar kemitraan ini belum dapat menurunkan biaya yang
terhadap pemberantasan TB semakin besar, dikeluarkan oleh pasien, baik sebelum maupun
walaupun belum optimal. Hasil penelitian sesudah memperoleh pengobatan DOTS.
menemukan masih terdapat UPK praktik swasta
yang tidak menganjurkan pemeriksaan dahak kepada Saran
pasien dengan gejala TB. Pemeriksaan dahak Disarankan agar Dinas Kesehatan membuat
merupakan salah satu upaya untuk menegakkan kebijakan untuk melanjutkan model kemitraan
diagnosis TB pada pasien yang diduga terjangkit TB. Puskesmas-PSw ini. Selain itu, petugas TB
Diagnosis TB paru pada orang dewasa dapat Puskesmas menyarankan PSw untuk melakukan
ditegakkan dengan ditemukannya BTA pada promosi kesehatan terhadap pasien dan
pemeriksaan dahak secara mikroskopis. memberikan penjelasan mengenai kemungkinan
Pemeriksaan dahak secara mikroskopis dilakukan kunjungan oleh Puskesmas apabila terjadi mangkir
terhadap dahak sewaktu pagi sewaktu (SPS) secara pengobatan. Penelitian lebih lanjut disarankan untuk
mikroskopis identik dengan pemeriksaan secara menghitung total biaya pasien, termasuk opportunity
kultur atau biakan.10 cost. Kelompok pembanding (yaitu kabupaten yang
Undang-Undang Praktik Kedokteran No. 29/ belum melaksanakan kemitraan Puskesmas-PSw)
2004 secara spesifik menyebutkan adanya dapat memperkuat rancangan penelitiannya.
kewajiban dari semua praktisi dokter untuk
memberikan pelayanan kesehatan sesuai standar KEPUSTAKAAN
yang artinya praktisi swasta seharusnya mengetahui 1. WHO. WHO Report 2006: Global Tuberculosis
dan menerapkan International Standar TB Care Control.2006.
(ISTC) yaitu manajemen DOTS. Secara kualitas 2. Arora, V.K., Lonnroth, K. & Sarin, R. Improved
maupun kuantitas, keterlibatan praktik swasta harus Case Detection of Tuberculosis through a Public-
ditingkatkan dengan melibatkan UPK yang lebih Private Partnership Indian Journal of Chest
banyak karena pada tahap awal UPK praktik swasta Disease & Allied sciences. 2004;46:133-6.
yang dilibatkan, termasuk UPK praktik swasta 3. Sub Dinas PPM & PLP Dinas Kesehatan
paramedis dan bidan. Advokasi DOTS dan promosi Provinsi Bali. Laporan Hasil P2 Tuberkulosis di
standar pelayanan TB dari Dinas Kesehatan Kota Bali. 2004.
Denpasar diperlukan memperkuat jejaring antara 4. Sub Dinas P2P Dinas Kesehatan Denpasar Bali.
klinik praktik swasta, rumah sakit dan pelayanan Laporan Hasil P2 Tuberkulosis di Denpasar.
kesehatan yang lain yang belum menerapkan DOTS. 2004.
Hal tersebut dikarenakan kebijakan kesehatan 5. Utarini, A., Mahendradhata, Y., Syahrizal, B.M.
merupakan kewenangan daerah akibat dari Project Report Program Akselerasi Kemitraan
desentralisasi masalah kesehatan. Pemerintah – Praktisi Swasta Dalam
Peran Dinas Kesehatan yang lebih besar Pengendalian Tuberkulosis di Provinsi DIY dan
dibutuhkan untuk melibatkan lebih banyak praktisi Bali. PMPK FK UGM, Fidelis & IUATLD. 2005.
swasta yang ada di Denpasar. Hal tersebut tidaklah 6. Murthy, K.J.R., Frieden, T.R., Yazdani, A.,
mudah karena banyaknya praktisi swasata yang ada Hreshikesh, P., (2001). Public-Private
di Denpasar dan memerlukan pembiayaan untuk Partnership in Tuberculosis Control: Experience
melaksanakan ekspansi tersebut. Saat ini ekspansi in Hyderabad, India. The International Journal
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 10, No. 4 Desember 2007 l 171
Luh Putu Sri Armini, dkk.: Dampak Kemitraan Praktisi Swasta ...
of Tuberculosis and Lung Disease. 2001;5 (4): 9. Rajeswari, R., Chandrasekaran V., Suhader, M.,
354-9. Siva Subramaniam,.S., Sudha, G., Renu, G.
7. Soemantri, S. Senewe, F.P. eds. Tuberculosis Factors Associated with Patient and Health
Prevalence Survey in Indonesia 2004; Project System Delays in The Diagnosis of Tuberculosis
DOTS Expansions GF ATM. 2005. in South India. The International Journal of
8. Demissie, M, Lindtjorn, B, & Berhane, Y. Patient Tuberculosis and Lung Disease. 2002;6 (9):
and Health Service Delay in the Diagnosis of 789-95.
Pulmonary Tuberculosis in Ethiopia. 10. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Biomedcentral Public Health. 2002; 2(23):1-7. Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis, Jakarta. 2002.
172 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 10, No. 4 Desember 2007
JURNAL MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN
VOLUME 10 No. 04 Desember l 2007 Halaman 173 - 180
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
Artikel Penelitian
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 10, No. 4 Desember 2007 l 173
Evie Sopacua, dkk.: Opsi-Opsi Kebijakan untuk Pelatihan Sumber Daya Manusia ...
daerah (otoda). Terkait dengan pelaksanaan penelitian di Provinsi Jawa Timur (Jatim), Provinsi
desentralisasi kesehatan maka kecenderungan Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Provinsi Kalimantan
perubahan rumah sakit dan puskesmas ke arah Timur (Kaltim). Secara purposif dipilih dua kabupaten/
lembaga usaha atau enterpreneurship, sedangkan kota di tiap provinsi penelitian dan sasaran penelitian
dinas kesehatan cenderung menjadi lembaga birokrat adalah kepala dan staf dinas kesehatan kabupaten/
yang harus memahami good governance atau kota, direktur dan staf rumah sakit umum kabupaten/
menjadi holding company dari puskesmas dan kota, serta kepala dan staf di dua puskesmas di
berbagai lembaga pelayanan kesehatan lainnya.1 kabupaten/kota penelitian.
Fenomena perubahan institusi pelayanan kesehatan Pada penelitian tahap pertama tahun 20022
kearah dua kutub yang berbeda yaitu kutub birokrasi dilakukan pengkajian untuk menemukan gap antara
dan kutub lembaga usaha perlu dipahami oleh para keterampilan manajerial SDM kesehatan yang
pimpinan lembaga kesehatan khususnya di daerah diharapkan dan kenyataannya. Variabel yang dikaji
karena masing-masing kutub mempunyai kultur yang pada keterampilan manajerial meliputi manajemen
berbeda. Sehubungan dengan itu, hasil penelitian perubahan yang diukur dari penanganan perubahan
Gilsons menurut Trisnantoro1 menunjukkan bahwa reaktif dan proaktif. Kemudian manajemen konflik
secara praktis perlu perubahan yang incremental, yang diukur dari bentuk manajemen konflik (stimulasi/
khususnya dalam pengembangan sumber daya penekanan/penyelesaian) dan metode yang
manusia (SDM) yang terlibat didalamnya, sedangkan digunakan. Manajemen strategik diukur melalui
menurut Prud’Homme & Mc Lure seperti yang dicatat perumusan visi, misi, tujuan, kajian faktor eksternal
Trisnantoro 1, dalam keadaan otonomi daerah dan internal lembaga, isu strategik/pengembangan,
diperlukan berbagai keterampilan baru dalam aplikasi strategi umum, bisnis dan fungsional, penerapan
otonomi daerah. Trisnantoro1 menjelaskan bahwa strategi dan rencana pelaksanaan dalam rencana
keterampilan yang diperlukan SDM kesehatan strategik institusi. Keterampilan kepemimpinan
adalah mengelola perubahan, menciptakan usaha, dikaji pada variabel keterampilan direktif, supportif,
dan mengelola aspek sosial, budaya, politik, dan partisipatif dan orientasi prestatif dan keterampilan
ekonomi yang kesemuanya akan berdampak pada kewirausahaan pada variabel keterampilan
kinerja organisasi. Untuk itu, kemampuan manajerial keberanian mengambil risiko, pemasaran, negosiasi
SDM kesehatan yang perlu dimiliki adalah lobi, orientasi pada tugas–hasil dan optimisme/
keterampilan manajerial, kepemimpinan dan percaya diri. Pengumpulan data dilaksanakan
kewirausahaan. dengan wawancara dan observasi. Wawancara
Kebutuhan pelatihan untuk meningkatkan menggunakan kuesioner dengan skala peringkat dan
kompetensi SDM kesehatan tentang keterampilan sistem skoring untuk mengukur aspek konatif SDM
manajerial, kepemimpinan dan kewirausahaan perlu kesehatan tentang keterampilan manajemen
dilakukan. Maka Puslitbang Pelayanan dan perubahan dan manajemen konflik, keterampilan
Teknologi Kesehatan melaksanakan penelitian pola kepemimpinan, serta keterampilan kewirausahaan.
peningkatan kompetensi SDM dalam otonomi Observasi dan penelusuran dokumen rencana
daerah bidang kesehatan pada tahun 2002 – 2004. strategik dinas kesehatan, rumah sakit umum daerah
dan rencana tahunan puskesmas dilakukan untuk
Pelaksanaan Penelitian Pola Peningkatan mengkaji pemahaman konsep manajemen strategik.
Kompetensi SDM Dalam Otonomi Daerah Data dianalisis secara deskriptif untuk
Bidang Kesehatan menggambarkan keterampilan dari SDM kesehatan.
Penelitian pengembangan ini dilaksanakan Hasil kajian merupakan kebutuhan SDM kesehatan
dalam suatu pola dengan beberapa tahapan untuk peningkatan keterampilan. Berdasarkan hasil
pelaksanaan yaitu pengkajian keterampilan pengkajian dibuat draf modul untuk peningkatan
manajerial SDM kesehatan yang diharapkan dan kompetensi SDM kesehatan. Hasil penelitian
kenyataannya tahun 20022, implementasi hasil kajian menunjukkan gambaran keterampilan manajerial,
melalui pelatihan tahun 2003 3 dan evaluasi kepemimpinan dan kewirausahaan SDM kesehatan
implementasi pelatihan tahun 2004. 4 Lokasi seperti yang ditunjukkan Tabel 1.
174 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 10, No. 4 Desember 2007
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
Kesimpulan pada tahap pengkajian ini adalah atau Customer Relationship Marketing (CRM)
bahwa keterampilan kepemimpinan dan sebagai strategi pemasaran. Pengembangan modul
kewirausahaan SDM kesehatan masih kurang, baik didampingi expert dari Program Studi Administrasi
di dinas kesehatan, rumah sakit umum daerah dan dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan
puskesmas di Provinsi Kalimantan Timur, Nusa Masyarakat Universitas Airlangga, Surabaya sebagai
Tenggara Barat dan Jawa Timur. Untuk itu, perlu konsultan karena keterbatasan waktu dan anggaran,
meningkatkan kompetensi SDM kesehatan sesuai implementasi modul dalam tahap kedua penelitian
dengan perkembangan pelayanan rumah sakit dan dilaksanakan dengan dua cara. Cara pertama adalah
puskesmas di masa mendatang, maka draft modul proses pembelajaran dengan penjelasan materi
yang dibuat tentang keterampilan kewirausahaan modul, mengisi kertas kerja berupa refleksi
dalam aspek pemasaran. Disarankan untuk pemahaman terhadap materi modul dan diskusi.
melaksanakan capacity building melalui pelatihan Proses pembelajaran ini dilaksanakan selama tiga
untuk implementasi modul. hari, masing-masing di satu kabupaten pada ketiga
Pada tahap kedua penelitian tahun 20033, draf provinsi penelitian. Evaluasi proses pembelajaran
modul disempurnakan menjadi modul Menuju dilakukan dengan menggunakan format evaluasi
Kewirausahaan dalam Pembangunan Kesehatan, tahap satu dari Kirkpatrick6 dan observasi peneliti
Panduan Strategi Pemasaran Pelayanan Kesehatan (menggunakan format). Hasil evaluasi pelaksanaan
di Puskesmas dan Rumah Sakit. Modul pembelajaran modul terlihat pada Tabel 2.
dikembangkan menggunakan hubungan pelanggan
Tabel 2. Hasil Evaluasi Proses Pembelajaran Modul Menuju Kewirausahaan dalam Pembangunan Kesehatan,
Panduan Strategi Pemasaran Pelayanan Kesehatan di Puskesmas dan Rumah Sakit
di Kabupaten pada Tiga Provinsi Penelitian
Kabupaten A Provinsi Jatim Kabupaten B Provinsi Kaltim Kabupaten C Provinsi NTB
Variabel Yang Dinilai n=22 (100%) n=22 (100%) n=25 (100%)
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1. Pembelajaran materi
modul relevan - - 17 5 - 1 16 5 - - 23 2
dengan tupoksi (77,3) (22,7) (4.5) (72,7) (22.7) (92.0) (8.0)
sehari-hari
2. Pembelajaran materi
modul relevan - 1 17 4 - 4 14 4 - 5 17 3
dengan program (4,5) (77,3) (18,2) (18.2) (63.6) (18.2) (20.0) (68.0) (12.0)
institusi
3. Cara penyampaian
materi modul dalam - 2 16 4 - 3 15 4 - 5 20 -
pembelajaran (9,1) (72,7) (18,2) (13.6) (68.2) (18.2) (20.0) (80.0)
Keterangan : Skor : 1. Sangat tidak sesuai, 2. Tidak sesuai, 3. Sesuai, 4. Sangat sesuai
Sumber : Budijanto dan Sopacua3
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 10, No. 4 Desember 2007 l 175
Evie Sopacua, dkk.: Opsi-Opsi Kebijakan untuk Pelatihan Sumber Daya Manusia ...
Cara kedua adalah sosialisasi yaitu penjelasan menggunakan evaluasi 4 tahap dari Kirkpatrick.6
materi dengan diskusi tanpa pengisian kertas kerja, Evaluasi dilaksanakan pada responden dari
dilakukan dalam satu hari, masing-masing di satu puskesmas dan rumah sakit, baik yang mengikuti
kabupaten pada ke tiga provinsi penelitian. Evaluasi pembelajaran dan sosialisasi pada penelitian tahun
proses sosialisasi hanya dengan observasi peneliti 2003, tetapi yang menerapkan materi modul dalam
menggunakan format evaluasi. Proses pembelajaran pekerjaannya sehari-hari. Penilaian pada setiap
dan sosialisasi ini diikuti oleh responden yang sama tahap evaluasi adalah sebagai berikut.
pada penelitian tahun 2002, tetapi hanya yang a. Evaluasi tahap 1 atau Reaction Level: 60%
berasal dari rumah sakit umum daerah dan dari dua responden menyatakan materi pelatihan
puskesmas terpilih di tiga provinsi penelitian serta bermanfaat karena relevan dengan
kepala dinas dan kepala subdin bina pelayanan dinas pekerjaan sehari-hari (tupoksi).
kesehatan kabupaten/kota. Proses pembelajaran b. Evaluasi tahap 2 atau Learning Level: 60%
dan sosialisasi bukan metode yang tepat untuk responden menyatakan dapat menerapkan
pengalihan pengetahuan materi modul, tetapi sebagian dari materi pelatihan ke dalam
keterbatasan anggaran dan waktu menyebabkan integritas pekerjaan mereka sehari-hari.
pilihan ini. Pelatihan merupakan komponen penting c. Evaluasi tahap 3 atau Behaviour Level: 60%
dari pembelajaran atau learning5 tetapi diharapkan responden menyatakan telah
proses ini dapat menghasilkan perubahan yaitu mendiseminasikan sebagian materi
didapatnya kemampuan baru yang berlaku untuk pelatihan kepada teman sekerja dalam
waktu yang relatif lama. unit/bidang yang sama dalam integritas
Kesimpulan pada penelitian tahap kedua ini pekerjaan mereka sehari-hari (perubahan
bahwa proses pembelajaran dan sosialisasi materi keahlian).
modul sebagai cara pelatihan untuk meningkatkan d. Evaluasi tahap 4 atau Result Level: 60%
keterampilan SDM kesehatan dapat dilakukan. peserta pelatihan dapat membuat rencana
Tetapi disarankan agar implementasi modul penerapan materi pelatihan untuk
dilanjutkan dengan pendampingan sehingga dilaksanakan dalam kegiatan sehari-hari.
diperoleh pengalihan pengetahuan sebagai hasil dari
implementasi modul. Perlu dilakukan evaluasi Walau sebenarnya evaluasi tahap 1 dari
implementasi (evaluasi pascapelatihan) untuk Kirkpatrick6 sudah dilakukan pada penelitian tahun
menilai apakah materi modul benar-benar 2003 (Tabel 2), tetapi pengulangan penilaian
dimanfaatkan dalam pekerjaan sehari-hari dan dilakukan untuk mendapatkan kesinambungan
berdampak bagi puskesmas dan rumah sakit, penilaian dari tahap 1 sampai 4 pada responden yang
khususnya dalam menciptakan program-program sama. Hasilnya tidak jauh berbeda karena
CRM sebagai suatu strategi pemasaran. kesesuaian materi modul pada Tabel 2, lebih dari
Pada tahap ketiga penelitian tahun 20044, 60% di ketiga provinsi penelitian sama dengan
dilakukan evaluasi implementasi modul evaluasi tahap 1 (reaction level) dalam Tabel 3.
Tabel 3. Evaluasi Implementasi Modul Menuju Kewirausahaan dalam Pembangunan Kesehatan, Panduan
Strategi Pemasaran Pelayanan Kesehatan di Puskesmas dan Rumah Sakit Menggunakan Evaluasi 4 Tahap dari
Kirkpatrick di Tiga Provinsi Penelitian
Evaluasi Implementasi Modul Tahap 1 – 4 dari Kirkpatrick Provinsi Jatim Provinsi Kaltim Provinsi NTB
n=17 (%) n=17 (%) n=14 (%)
Tahap 1 : Reaction level : materi pelatihan bermanfaat karena relevan dengan pekerjaan sehari-hari (tupoksi)
1. Bermanfaat 5 (29.4) 4 (33.3) 5 (35.7)
2. Cukup Bermanfaat 12 (70.6) 5 (41.7) 6 (42.9)
3. Tidak berpendapat - 3 (25.0) 3 (21.4)
Tahap 2 : Learning level : kesempatan menerapkan materi modul dan dukungan fasilitas untuk itu
1. Ada kesempatan menerapkan sebagian materi dan
cukup dukungan fasilitas 17 (100) 12 (100) 13 (92.9)
2. Tidak ada kesempatan dan dukungan fasilitas - - 1 (7.1)
Tahap 3 : Behaviour Level : pelaksanaan diseminasi materi modul
1. Dilakukan, hanya sebagian materi 12 (70.6) 8 (66.7) 7 (50.0)
2. Tidak berpendapat 5 (29.4) 4 (33.3) 7 (50.0)
Tahap 4: Result level: rencana penerapan materi modul di institusi (puskesmas & rumah sakit umum daerah)
1. Sudah ada rencana penerapan 16 (94.1) 8 (66.7) 10 (71.4)
2. Belum ada rencana penerapan 1 (5.9) 3 (25.0) 2 (14.3)
3. Tidak berpendapat - 1 (8.3) 2 (14.3)
Sumber : Sopacua, Budijanto, Prajoga4
176 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 10, No. 4 Desember 2007
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
Tabel 3 menunjukkan bahwa target yang ini kemudian dibandingkan dengan hasil pengkajian
ditentukan pada evaluasi setiap tahap yaitu 60%, kebutuhan pelatihan pada penelitian tahap satu,
untuk evaluasi tahap 1, 2 dan 4 di ketiga provinsi sehingga dapat diketahui apakah ada peningkatan
penelitian tercapai. Pada evaluasi tahap 3 target keterampilan setelah pelatihan.
tersebut dicapai Provinsi Jatim dan Kaltim.
Menurut Kirkpatrick6, ke-4 tahap evaluasi ini Lesson Learned Dari Penelitian Pola
berkaitan sehingga pencapaian tahap berikut Peningkatan Kompetensi SDM Dalam Otonomi
tergantung tahap sebelumnya. Walau di Provinsi Daerah Bidang Kesehatan
NTB, pencapaian evaluasi tahap 3 hanya 50%, tetapi Penelitian pada tahun 2002-2004 seperti yang
pada evaluasi tahap 4 target evaluasi tercapai karena diuraikan di atas menggambarkan suatu pola
sebenarnya terjadi perubahan keahlian. Kendala yang peningkatan kompetensi SDM kesehatan dalam
dihadapi dalam implementasi modul di puskesmas otonomi daerah bidang kesehatan. Lesson learned
khususnya adalah belum ada dukungan dinas yang diperoleh adalah bahwa:
kesehatan. Ada dua hal yang ditengarai sebagai 1. Pola peningkatan kompetensi SDM kesehatan
penyebab yaitu materi modul belum merupakan diawali dengan suatu pengkajian kebutuhan
prioritas dan ketidakpahaman dinas kesehatan pelatihan (training need assessment = TNA)
tentang materi modul walau saat pembelajaran dan yang menjelaskan gap antara harapan dan
sosialisasi dinas kesehatan terlibat dan hadir. kenyataan yang ada. Hasil kajian digunakan
Kirkpatrick6 menganjurkan agar pada evaluasi tahap sebagai dasar perencanaan pelatihan bagi SDM
3 dan 4 dilakukan penilaian ulang dengan tenggang kesehatan yang diharapkan berdampak pada
waktu yang ditentukan, tetapi pada penelitian ini kinerja organisasi baik dinas kesehatan, rumah
tidak dapat dilakukan karena keterbatasan waktu sakit dan puskesmas. Selain itu, hasil kajian
dan anggaran. Keterbatasan ini juga menyebabkan merupakan data awal atau data dasar yang pada
pada evaluasi tahap 4 tidak dilakukan pengkajian evaluasi pascapelatihan dapat dibandingkan
ulang tentang keterampilan kewirausahaan dengan untuk menilai keberhasilan pelatihan.
materi yang sama yang digunakan pada penelitian 2. Modul materi pelatihan untuk peningkatan
tahap satu sehingga peningkatan keterampilan SDM kompetensi SDM kesehatan sesuai hasil kajian
kesehatan dampak pelatihan dapat diukur. apabila belum ada, perlu dikembangkan dan
Kesimpulan evaluasi implementasi modul pengembangan modul membutuhkan waktu,
menunjukkan bahwa materi modul dapat diterapkan dana dan experts.
di puskesmas dan rumah sakit, tetapi untuk itu 3. Pelatihan bukan sesuatu yang dapat
diperlukan dukungan dari dinas kesehatan dan juga dilaksanakan secara instan, tetapi memerlukan
pemerintah daerah. Dukungan diperlukan agar materi perencanaan yang matang dan komprehensif
modul diterapkan secara terintegrasi dengan kegiatan dengan keterlibatan berbagai pemangku
lain yang diselenggarakan puskesmas dan rumah kepentingan .
sakit sehingga dapat dianggarkan. Keterbatasan 4. Pelatihan pada SDM kesehatan untuk
waktu dan anggaran menyebabkan pola peningkatan peningkatan kompetensi sebaiknya
kemampuan SDM kesehatan melalui penelitian ini direncanakan berdasarkan kebutuhan pelatihan
tidak dapat dilaksanakan sebagaimana yang yang normatif sehingga ada dukungan
seharusnya. Disarankan agar evaluasi 4 tahap dari pascapelatihan dari institusi ketika materi
Kirkpatrick dilakukan pada pelatihan jangka panjang pelatihan diimplementasikan. Perencanaan
yang terencana dengan baik di puskesmas dan pelatihan sebaiknya sudah mengandung
rumah sakit. Pendampingan pada aplikasi materi pelaksanaan evaluasi 4 tahap dari Kirkpatrick
pelatihan dalam pekerjaan sehari-hari diperlukan dengan waktu penjadwalan yang sudah
sehingga pengalihan pengetahuan dapat terlaksana. diagendakan dan anggaran yang sudah
Pelatihan sebaiknya direncanakan berdasarkan diperhitungkan berdasarkan kegiatan yang akan
suatu analisis kebutuhan pelatihan. Evaluasi tahap dilakukan. Kegiatan yang dihitung sudah
3 dan 4 sebaiknya dilakukan dua kali dengan termasuk pengkajian kebutuhan pelatihan dan
tenggang waktu yang sudah ditentukan dalam pelaksanaan evaluasi tahap 3 dan 4 dengan
perencanaan pelatihan. Di samping itu, pada evaluasi pengulangan pada tenggang waktu yang sudah
tahap 4 seharusnya dilakukan pengkajian ulang ditentukan dalam perencanaan pelatihan.
tentang keterampilan kewirausahaan dengan materi Kegiatan juga termasuk pengkajian ulang pada
yang sama yang digunakan pada tahap satu evaluasi tahap 4 dengan materi yang juga
penelitian. Hasil pengkajian pada evaluasi tahap 4 digunakan pada pengkajian kebutuhan
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 10, No. 4 Desember 2007 l 177
Evie Sopacua, dkk.: Opsi-Opsi Kebijakan untuk Pelatihan Sumber Daya Manusia ...
pelatihan. Hasil pengkajian pada evaluasi tahap evaluasi pada tahap 1 dan 2 dari Kirkpatrick
4 dibandingkan dengan hasil pengkajian merupakan evaluasi formative sebab menghasilkan
kebutuhan pelatihan sehingga dapat diketahui informasi untuk organisasi tentang penyelenggaraan
apakah ada peningkatan keterampilan setelah pelatihan, sedangkan evaluasi tahap 3 dan 4
pelatihan. merupakan evaluasi summative karena menghasilkan
informasi yang berfokus pada dampak pelatihan bagi
Opsi-Opsi Kebijakan organisasi atau pascapelatihan. Evaluasi pelatihan
Ada beberapa pelajaran yang diperoleh dari menurut Assessors and Workplace Trainers (dikutip
penelitian pola peningkatan kompetensi SDM dalam Sofo7) merujuk pada proses pengkonfirmasian bahwa
otonomi daerah bidang kesehatan yang dapat seseorang telah mencapai kompetensi. Kompetensi
menjadi beberapa opsi kebijakan. Opsi pertama menurut Sofo7 dapat didefinisikan sebagai apa yang
adalah penataan pola peningkatan kompetensi SDM diharapkan di tempat kerja dan merujuk pada
kesehatan dalam suatu sistem (Gambar 1). pengetahuan, keahlian dan sikap yang dipersyaratkan
Sebagai sistem, masukan atau input adalah bagi pekerja untuk mengerjakan pekerjaannya. Oleh
pengkajian kebutuhan pelatihan yang merupakan sebab itu, evaluasi pelatihan menurut Kirkpatrick6
data dasar untuk perencanaan pelatihan dan adalah untuk menentukan efektivitas dari suatu
pengembangan modul pelatihan. Proses dalam program pelatihan, bukan hanya melakukan
sistem adalah pelaksanaan pelatihan diikuti evaluasi perbandingan kemampuan peserta sebelum dan
tahap 1 dari Kirkpatrick6 selain pre dan postes. sesudah pelatihan (pre dan postes). Efektivitas
Evaluasi tahap 2 dapat ditanyakan bersamaan pelatihan menurut Newby yang dikutip Irianto8
dengan evaluasi tahap 1 dan diulangi ketika peserta berkaitan dengan sejauh mana program pelatihan yang
pelatihan sudah kembali bekerja, sehingga diperoleh diselenggarakan mampu mencapai apa yang memang
dua kali pengukuran sebagai kondisi pre dan postes telah diputuskan sebagai tujuan yang harus dicapai.
output atau luaran adalah peningkatan keterampilan Dalam makalah pengembangan model unit diklat
dan pengetahuan serta perubahan keahlian dan kesehatan 5 dikatakan bahwa pada umumnya
perilaku peserta pelatihan yang diukur melalui perencanaan dan penyelenggaraan pelatihan di dinkes
evaluasi tahap 3 dari Kirkpatrick.6 Dampak atau kabupaten/kota diserahkan kepada masing-masing
outcome pelatihan yang diharapkan adalah subdinas/bidang, sehingga pelatihan-pelatihan lebih
peningkatan kinerja individu dan organisasi serta cenderung kepada pelatihan yang mendukung
return of investmen (ROI) yang dinilai melalui pelaksanaan program, serta berkaitan dengan tugas
evaluasi tahap 4 dari Kirkpatrick.6 Pada evaluasi pokok dan fungsi (tupoksi) masing-masing pemegang
tahap 4 ini juga dilakukan pengkajian ulang dengan program. Sebagian besar pelatihan, titik beratnya
materi yang juga digunakan pada pengkajian adalah pada pelaksanaan atau penyampaian bahan
kebutuhan pelatihan yang hasilnya merupakan data belajar, tidak melalui suatu rancangan pelatihan yang
dasar kompetensi yang dimiliki SDM kesehatan. seharusnya, seperti penyiapan kurikulum dan materi
Hasil pengkajian pada evaluasi tahap 4 dibandingkan pembelajaran. Sebagian sudah melakukan evaluasi
dengan data dasar untuk menilai peningkatan kinerja pembelajaran atau evaluasi hasil belajar, walaupun
SDM kesehatan sebagai akibat pelatihan. masih terbatas pada pre dan postes, sebagian lainnya
Opsi kedua adalah memasukan pola evaluasi 4 belum melakukan. Evaluasi pascapelatihan hampir
tahap dari Kirkpatrick6 dalam evaluasi pelatihan karena belum dilakukan.
178 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 10, No. 4 Desember 2007
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
Untuk itu, opsi ketiga adalah memperhatikan sangat terbatas.5 Sesuai dengan PP No. 38/2007
Keputusan Menteri Kesehatan RI No.725/Menkes/ pengganti PP No. 25/2000 bahwa dinas kesehatan
SK/V/2003 bahwa pelatihan adalah proses kabupaten/kota menjalankan fungsi regulator.
pembelajaran dalam rangka meningkatkan kinerja, Berkenaan dengan pelatihan, maka hal ini dapat
profesionalisme dan atau menunjang pengembangan diantisipasi dinas kesehatan kabupaten/kota ketika
karier tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugas merestrukturisasi struktur organisasi sesuai PP No.
dan fungsinya.5 Maka dalam peningkatan kompetensi 41/2007 dengan memasukkan pendidikan dan
SDM kesehatan, perencanaan dan implementasi pelatihan sebagai seksi pada kelompok fungsional
program pelatihan yang efektif sebaiknya atau pada bidang SDM.9 Kepada mereka yang
mengandung 10 langkah kegiatan menurut ditempatkan di seksi atau bidang SDM ini terlebih
Kirkpatrick6 yaitu: tentukan kebutuhan pelatihan, dulu diberikan pemahaman tentang tugas pokok dan
tetapkan tujuan akhir yang akan dicapai, tentukan fungsi berkaitan dengan pendidikan dan pelatihan
materi, tentukan kriteria peserta, tetapkan sehingga dapat merancang pelatihan untuk
penjadwalan, tetapkan fasilitas dan sarana yang peningkatan kompetensi SDM kesehatan berjangka
akan digunakan, tetapkan narasumber, siapkan panjang dan komprehensif. Pelatihan SDM
audio visual aids, koordinasikan program ini dengan kesehatan tidak hanya untuk mendukung
bagian lain atau sektor lain terkait dan evaluasi pelaksanaan program tetapi dirancang berdasarkan
program pelatihan. Maka anggaran untuk pelatihan pengkajian kebutuhan pelatihan. Pelaksanaan
dihitung dengan memperhatikan setiap langkah pelatihan dengan penyiapan kurikulum dan materi
kegiatan dan tahapan sesuai perencanaan. pembelajaran sesuai dengan hasil kajian. Dampak
Penghitungan anggaran termasuk waktu pelatihan diharapkan menyebabkan peningkatan
pelaksanaan evaluasi pascapelatihan tahap 1 – 4 kinerja SDM kesehatan dan institusi.
dari Kirkpatrick, yang untuk tahap 3 dan 4 mungkin
dilaksanakan setelah 1 tahun pascapelatihan. KESIMPULAN
Opsi keempat, bahwa penataan pelaksanaan Opsi-opsi kebijakan yang diusulkan
suatu pelatihan untuk peningkatan kompetensi SDM berdasarkan lesson learned dari pelaksanaan
kesehatan dilaksanakan dengan melibatkan penelitian di Puslitbang Pelayanan dan Teknologi
berbagai pemangku kepentingan. Kerja sama para Kesehatan tahun 2002 – 2004, perlu mendapatkan
pemangku kepentingan diperlukan dalam melakukan pertimbangan dalam restrukturisasi dinas kesehatan
analisis kebutuhan pelatihan, perencanaan dan kabupaten kota khususnya. Pertimbangan utama
pelaksanaan pelatihan yang komprehensip. Para bahwa dengan berbagai perubahan yang terjadi
pemangku kepentingan di antaranya adalah termasuk perubahan organisasi kesehatan maka
pemerintah daerah, perguruan tinggi, Badan kompetensi SDM kesehatan dalam keterampilan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan manajerial perlu ditingkatkan. Upaya peningkatan
(Balitbangkes), dinas kesehatan, rumah sakit, Balai dilaksanakan melalui pelatihan sesuai keputusan
Pelatihan Kesehatan (Bapelkes), Badan Menkes RI No.725/Menkes/SK/V/2003 yang
Pengembangan dan Pemberdayaan SDM Kesehatan dirancang secara efektif dan komprehensif dengan
(BPPSDM), Direktorat Jenderal Pelayanan Medik memperhatikan berbagai pemangku kepentingan
(Ditjen Yanmedik) dan Direktorat Jenderal Bina serta peraturan perundangan yang berlaku.
Kesehatan Masyarakat (Ditjen Binkesmas)
Departemen Kesehatan RI. Ditjen Yanmedik, KEPUSTAKAAN
Binkesmas dan BPPSDM mendukung anggaran dan 1. Trisnantoro, L. Keterampilan Manajerial
pelaksanaan analisis kebutuhan pelatihan, Desentralisasi. Fakultas Kedokteran, UGM.
perencanaan dan pelaksanaan pelatihan dengan Yogyakarta. 2000.
peraturan dan perundangan sebagai payung yang 2. Budijanto, D., Sopacua, E. Pola Peningkatan
dirujuk oleh Balitbangkes, dinas kesehatan, rumah Kompetensi Sumber Daya Manusia Dalam
sakit dan Bapelkes. Hal ini dapat diatur dengan Otonomi Daerah Bidang Kesehatan (Tahap I:
mensinergikan berbagai kepentingan dalam tata Assesment Keterampilan Manajerial Sumber
kerja sama yang disepakati. Daya Manusia Dalam Otonomi Daerah Bidang
Opsi kelima, SDM di dinas kesehatan Kesehatan). Puslitbang Pelayanan dan
kabupaten/kota perlu memiliki kompetensi dalam Teknologi Kesehatan. Surabaya. 2002.
menyelenggarakan pelatihan karena pada 3. Budijanto, D., Sopacua, E. Pengembangan
kenyataannya selama ini sudah melakukan Kapasitas Keterampilan Manajerial Dalam
penyelenggaraan pelatihan dengan kapasitas yang Berwirausaha Bagi Tenaga Kesehatan
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 10, No. 4 Desember 2007 l 179
Evie Sopacua, dkk.: Opsi-Opsi Kebijakan untuk Pelatihan Sumber Daya Manusia ...
180 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 10, No. 4 Desember 2007
JURNAL MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN
VOLUME 10 No. 04 Desember l 2007 Halaman 181 - 188
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
Artikel Penelitian
Misnaniarti
Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya, Sumatera Selatan
ABSTRACT ABSTRAK
Background: Avian Influenza pandemic which is caused of Latar Belakang: Ancaman pandemi flu burung yang
H5N1 virus pushed various goverment effort to look for disebabkan oleh virus H5N1, mendorong berbagai upaya
prevention way, overcoming and curing it, one of them is pemerintah untuk mencari cara mencegah, menanggulangi dan
preparation policy of antiviral drugs. This preparation of antiviral mengobatinya, di antaranya dengan kebijakan penyediaan obat
drugs played the most important role, so that it must be managed antiviral. Penyediaan obat antiviral ini memegang peranan yang
well and basic policy must pursuant to the right formulation, sangat penting, sehingga harus dikelola secara baik dan
starting from planning until control phase. Therefore, require kebijakan yang melandasinya harus berdasarkan formulasi
to be analyzed comprehensively based on policy system aspect yang tepat mulai dari tahap perencanaan hingga pengendalian.
such as: public policies, policy stakeholders, and policy Oleh karena itu perlu dianalisis secara komprehensif dengan
environment. This studi purpose is for analyzing management melihat aspek-aspek pada sistem kebijakan meliputi public
policy of Oseltamivir in controlling Avian Influenza case and its policies, policy stakeholders, dan policy environment.
implementation at reference hospital in Daerah Khusus Ibukota Metode: Jenis penelitian adalah kualitatif yang dilakukan secara
(DKI) Jakarta 2005 – 2007. retrospektif dengan menganalisis sistem kebijakan, melibatkan
Method: This study used a qualitative method which has 10 informan. Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam
done retrospectively by analyzing policy system with 10 dan telaah dokumen, kemudian dilakukan analisis isi.
informants. The data were collected by in-depth interview and Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan
study document. The data were a content analyzed. perencanaan penyediaan Oseltamivir belum bisa berdasarkan
Results: Study result indicated that planning policy of data evidences jumlah kasus riil yang terjadi pada instansi
oseltamivir can not base on evidences data of reality case rumah sakit (RS) rujukan ataupun kebutuhan RS akan obat
number that happen on reference hospital instance or the tersebut. Hal ini karena pertimbangan kasus yang dihadapi
need of medicine for hospital, considering of presence case is merupakan kasus baru yang terus menunjukkan progresivitas
a new case which indicated human mortality level angka kematian pada manusia, sehingga dilakukan strategi
progressively, so it has dones stockpilling strategy which stockpilling yang memperhitungkan jumlah kebutuhan
calculated stock number based on percentage prediction of berdasarkan pada prediksi persentase jumlah penduduk
Indonesian population number which will happen because of Indonesia yang akan terkena jika terjadi pandemi. Besaran
pandemic. If allocation is done by dropping technique so it anggaran yang disediakan mengalami peningkatan dibandingkan
makes heaping medicine at reference hospital, but this done dengan anggaran yang dialokasikan sebelumnya. Pengadaan
because of medicine donation from another country, so that dengan teknik dropping dapat mengakibatkan terjadinya
medicine must be distributed to health service unit to use it penumpukkan obat di RS rujukan, tetapi hal tersebut dilakukan
considering its expire so close relatively. A limited distribution karena adanya hibah obat dari negara lain sehingga obat harus
for goverment instance and it is not for sale freely has done segera didistribusikan ke unit pelayanan kesehatan agar bisa
considering how important that medicine for human safety, but terpakai mengingat masa kadaluarsanya yang relatif dekat.
it is important that acces for private health service unit (hospital/ Pendistribusiannya secara terbatas pada instansi pemerintah
clinic) to obtain this medicine. dan tidak dijual bebas dilakukan mengingat pentingnya obat
Conclusion: Management policy of antiviral drugs in tersebut bagi keselamatan manusia, akan tetapi perlu dipikirkan
overcoming Avian Influenza case at reference hospital in DKI juga akses unit pelayanan kesehatan swasta (RS/klinik) untuk
Jakarta is made limited and its implementation dose not involve memperoleh obat tersebut.
for all sides. It was suggested for health service department Kesimpulan: Kebijakan pengelolaan Oseltamivir dalam
to involve reference apotek for providing antiviral drugs so it is penanganan kasus flu burung di RS rujukan di wilayah DKI
easy on access for health service unit in stockpile. It was also Jakarta dibuat secara terbatas dan pada pelaksanaannya tidak
suggested for hospital to perform a research to proving the mencakup pada keseluruhan lini yang memerlukan. Diharapkan
this effectiveness Oseltamivir on human avian influenza. pihak Depkes dalam pengelolaan Oseltamivir ini juga
memberdayakan apotek yang ditunjuk untuk menyediakan-nya
Keywords : Oseltamivir, management policy sehingga selain mempermudah akses unit pelayanan kesehatan
swasta lainnya dalam memperoleh obat tersebut dan bisa
dijadikan stockpile. Bagi RS diharapkan memberikan
rekomendasi desain kebijakan pengelolaan Oseltamivir yang
sesuai dengan kondisi di RS kepada Depkes.
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 10, No. 4 Desember 2007 l 181
Misnaniarti: Analisis Kebijakan Pengelolaan Oseltamivir ...
182 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 10, No. 4 Desember 2007
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
sistem kebijakan mulai dari Dunn WN5, Buse K et penerimaan Oseltamivir, kartu stok obat di instansi
al 6 , dan Walt G 7 untuk menggali dan RS yang diteliti. Selanjutnya meneliti rekam medis
mensinkronisasikan pendekatan policy system pasien, profil kesehatan dan Prosedur Tetap (Protap)
dengan kebijakan yang terkait dengan manajemen di RS, serta peraturan dan dokumen-dokumen yang
pengelolaan Oseltamivir. terkait dengan kebijakan pengolaan antiviral dalam
Pengumpulan data primer diperoleh dengan cara pengendalian dan penanganan kasus flu burung.
wawancara mendalam pada 10 orang informan kunci Setelah seluruh data telah terkumpul kemudian
yang diambil dari berbagai level tingkatan diverifikasi menggunakan metode triangulasi, dan
administrasi sesuai dengan topik yang akan digali. dianalisis dengan cara content analysis.
Pemilihan informan dilakukan secara purposive
dengan mengacu pada prinsip kesesuaian HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
(appropriateness) dan kecukupan (adequacy) karena Hasil penelitian melalui wawancara mendalam,
terkait dengan substansi dan sesuai kebutuhan penelitian dokumen dan pengamatan mengenai
penelitian. Data sekunder diperoleh dengan cara kebijakan pengelolaan Oseltamivir di tataran Depkes
telaah dokumen berupa data laporan pendistribusian dan di tingkat RS dapat dilihat pada Tabel 1 dan
Oseltamivir, dan di-cross check dengan laporan Tabel 2.
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 10, No. 4 Desember 2007 l 183
Misnaniarti: Analisis Kebijakan Pengelolaan Oseltamivir ...
Mulai tahun 2006 Depkes baru membuat kebutuhan, yang mengakibatkan terjadinya
perencanaan untuk penyediaan Oseltamivir melalui penumpukan obat karena kebutuhan obat RS
strategi stockpilling yaitu penyediaan obat dalam tidaklah sebanyak yang di-dropping oleh Depkes,
jumlah besar untuk menghadapi suatu keadaan sebab tingkat konsumsinya memang rendah. Oleh
kemungkinan terjadinya pandemi. Kebutuhan karena itu strategi stockpilling dipilih sebagai salah
penyediaan Oseltamivir dihitung berdasarkan satu langkah antisipasi pemerintah menghadapi
perkiraan sekitar 0,5%-1% dari total penduduk kondisi darurat (upaya kesiapsiagaan menghadapi
Indonesia akan terkena pandemi influenza, hal ini pandemi flu burung) dengan memperhitungkan
relevan dengan dokumen Renstra Nasional FBPI.8 jumlah kebutuhan berdasarkan pada prediksi
Dengan jumlah penduduk Indonesia sekitar 220 juta persentase jumlah penduduk Indonesia yang akan
jiwa, diperkirakan Depkes harus menyiapkan terkena jika terjadi pandemi. Jadi, strategi ini dipilih
sebanyak 11 juta – 12 juta obat antiviral sebagai karena pertimbangan kasus flu burung yang dihadapi
stockpile, sehingga faktor yang berpengaruh dalam merupakan kasus baru yang terus menunjukkan
membuat perencanaan untuk penyediaan progresivitas angka kematian cukup tinggi dibuktikan
Oseltamivir ini adalah jumlah seluruh penduduk dengan adanya peningkatan CFR.
Indonesia, serta mengadopsi kebijakan dari Penyediaan Oseltamivir yang dihitung
beberapa negara lain yang disesuaikan dengan berdasarkan perkiraan banyaknya penduduk yang
kemampuan finansial Indonesia. akan terkena pandemi. Menurut Bowersox9 metode
Untuk di RS mekanisme pangadaannya melalui ini termasuk kategori fluctuation stock yaitu
teknik dropping langsung dari Depkes, sehingga persediaan yang dibuat untuk memenuhi kebutuhan
penyediaan Oseltamivir ini tidak berdasarkan yang tidak dapat diramalkan (metode spekulasi).
kebutuhan pemakaian obat. Hal ini berbeda dengan Keuntungannya adalah bisa mendapatkan potongan
obat lainnya yang dibuat perencanaan dan harga yang lebih banyak, biaya pemesanan dan
pengadaan secara triwulan berdasarkan pemakaian pengangkutan menjadi lebih murah. Metode
dan kebutuhan RS (evidences based). Bisa spekulasi di salah satu sisi bisa menguntungkan
dikatakan bahwa kebijakan perencanaan Oseltamivir karena obat selalu tersedia di unit pelayanan
di RS yang diteliti belum dibuat berdasarkan data kesehatan, di sisi lain potensial akan terjadi
evidences jumlah kasus yang riil terjadi atau sesuai pemborosan karena wilayah tanpa adanya indikasi
184 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 10, No. 4 Desember 2007
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
penyakit juga menerima stok yang pada akhirnya membeli 16 jutaan kapsul Oseltamivir. Merupakan
menyebabkan pembengkakan anggaran dan tentu angka yang cukup besar dalam hal pengadaan
saja menjadi tidak cost effective. barang. Biaya yang sangat besar ini tentunya akan
Perencanaan kebutuhan obat merupakan salah menjadi beban yang sangat berat bagi pemerintah
satu fungsi yang menentukan dalam proses pusat. Walaupun tak dapat dipungkiri bahwa belanja
penyediaan obat, yang bertujuan untuk menentukan obat memang merupakan bagian terbesar dari
jenis dan jumlah obat sesuai dengan pola penyakit belanja kesehatan di seluruh negara di dunia13.
dan kebutuhan pelayanan kesehatan,10 sehingga Program yang cenderung ke arah kuratif dan
selain faktor jumlah penduduk, diharapkan kebijakan memakan banyak biaya ini perlu ditinjau ulang,
pemerintah tentang perencanaan dan pengadaan pemerintah tidak bisa sepenuhnya mengandalkan
obat antiviral harus memperhatikan faktor pola pada obat-obatan karena bagian yang terpenting dari
penyakit yang dominan, jumlah kebutuhan riil hal ini adalah aspek pencegahan yaitu upaya
masyarakat, jumlah biaya yang tersedia.11 Dengan penghentian penularan dari unggas ke manusia,
mempertimbangkan hal tersebut maka dapat sehingga lebih memprioritaskan pada upaya preventif
dirumuskan kebijakan pengadaan obat yang rasional. sebagai salah satu upaya manajemen kasus
Rasionalisasi antara pola produksi obat dan berbasis wilayah yang salah satunya dengan
kebutuhan nyata harus ditingkatkan terutama agar melakukan manajemen faktor risiko dari penyakit.
dana untuk obat dapat digunakan secara lebih efisien. Perlu pemikiran dan penelitian lebih lanjut tentang
Adanya penyediaan stok yang berlebih cost effektiveness dari program kuratif penyediaan
cenderung menyebabkan pemborosan dalam obat antiviral ini, karena berdasarkan data dari
pemakaian,11 perlu ruang penyimpanan yang besar Aditama TY14 dilaporkan bahwa rata-rata pasien flu
serta mengandung risiko kadaluarsa obat yang lebih burung yang datang ke rumah sakit setelah lebih
tinggi.12 Langkah antisipasi yang dapat dilakukan dari 2 hari merasakan gejala flu burung. Jadi jangan
agar tidak terjadi penumpukan obat ini salah satunya sampai pemerintah membuat program yang sia-sia
dengan memperbaiki mekanisme penyediaannya, dengan menyediakan obat antiviral karena obat
yaitu Depkes melihat dari RS mengajukan tersebut hanya efektif apabila pasien dapat terapi 2
permohonan permintaan obat (pertanda stock mulai x 24 jam dari adanya gejala flu burung, sehingga
menipis). sebaiknya pemerintah juga memprioritaskan pada
Dalam kasus penyakit yang sudah jelas trend- upaya promotif dan preventif dalam penanganan
nya seperti demam berdarah, metode pengadaan kasus flu burung ini selain biaya yang diperlukan
dengan cara membeli biasanya didahului dengan jauh lebih sedikit daripada upaya kuratif, juga karena
perhitungan besarnya volume pembelian yang dampak yang akan didapatkan dari tindakan
ditetapkan berdasarkan kebutuhan dalam satuan promotif-preventif tersebut akan dirasakan
waktu dan kuantum unit masing-masing produk manfaatnya dalam jangka waktu yang lama.
misalnya kebutuhan untuk mingguan atau 1 bulanan Sistem pendistribusian Oseltamivir yang bersifat
atau setahun. Dalam hal ini Depkes tidak top down sentral dari Depkes bahwa untuk
melakukannya karena perhitungan volume pembelian pendistribusiannya sampai ke tingkat Puskesmas
hanya berdasarkan prediksi saja. Padahal dilakukan dengan bantuan pos, dengan alasan untuk
pengadaan merupakan titik awal dari pengendalian efisiensi biaya dan tenaga. Dengan cara seperti ini
persediaan, jika titik awal ini sudah tidak tepat maka perlu dipilih teknik yang tepat mulai dari kualitas
pengendalian akan sulit dikontrol. 12 Selain itu transportasi seperti jalan dan alat angkut, juga harus
Indonesia juga masih menerima bantuan obat memperhatikan metode pengepakan yang baik agar
tersebut dari WHO dan negara lain. Komitmen obat tidak rusak di jalan.15 Keadaan geografis dan
pemerintah menerima bantuan ini dilakukan karena demografis daerah di Indonesia yang khas akan
memang membutuhkan obat tersebut, selain juga membutuhkan sistem pendistribusian yang tepat
untuk menjaga hubungan baik dengan negara agar merata, misalnya melalui sarana apotek, RS,
pendonor. Namun seharusnya pemerintah lebih poliklinik, puskesmas. Dalam hal ini, sistem
selektif lagi jangan sampai obat yang diterima sudah pendistribusian Oseltamivir yang diatur pemerintah
mendekati masa kadaluarsa, ataupun berupaya belum merata sebab RS/poliklinik swasta, belum
menghindari power negara pendonor jangan sampai bisa mengakses obat ini secara lancar, khususnya
menjadi unsur interest politik luar negeri yang sangat bagi RS swasta di daerah yang kurang informasi
dominan.7 tentang cara mendapat obat tersebut. Otomatis
Dalam hal penganggaran, Depkes tahun 2006 apabila ada pasien yang suspeck flu burung maka
harus menyediakan dana Rp200 milyar untuk pihak RS tidak bisa memberikan terapi obat antiviral
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 10, No. 4 Desember 2007 l 185
Misnaniarti: Analisis Kebijakan Pengelolaan Oseltamivir ...
sesegera mungkin karena obat tersebut tidak kategori penggunaan obat yang rasional. Akan tetapi,
tersedia. Hal ini tentu akan memperparah kondisi hal ini dilakukan oleh prescriber dalam rangka
pasien karena tidak cepat ditanggulangi. Langkah meningkatkan manfaat ke pasien karena dosis yang
pemecahan masalah ini salah satunya dengan selama ini dipakai pada umumnya belum
memberdayakan apotek yang ditunjuk pemerintah menunjukkan perbaikan kondisi pasien. Pola
untuk menyediakan Oseltamivir, sehingga penggunaan obat yang tidak rasional dapat berakibat
memudahkan masyarakat mengakses obat ini tapi menurunnya mutu pelayanan pengobatan misalnya
tetap dengan resep dokter. Apotek harus dijadikan meningkatnya efek samping obat, meningkatnya
ujung tombak pelayanan obat yang harus ikut kegagalan pengobatan, meningkatnya resistensi
mengamankan kebijakan penyediaan (penyimpanan) obat. 16 Masalah-masalah yang timbul dalam
Oseltamivir secara merata, agar tidak ada kejadian penggunaan obat tidak semata-mata berkaitan
keterlambatan menangani pasien AI. dengan kurangnya informasi dan pengetahuan
Obat mempunyai peran yang sangat penting dokter, pasien dan masyarakat, tetapi juga berkaitan
dalam pelayanan kesehatan, penanganan dan dengan kebiasaan yang sudah mendalam dan
pencegahan penyakit tidak dapat dilepaskan dari perilaku pihak-pihak yang terlibat didalamnya,
tindakan terapi dengan obat. Agar memberikan misalnya promosi obat yang berlebihan atau
manfaat klinik yang optimal, maka obat harus kelemahan sistem regulasi yang ada. Adanya
digunakan secara benar. Para pemberi pelayanan peningkatan dosis Oseltamivir pada pengobatan
(provider) khususnya para dokter (prescriber) harus beberapa pasien flu burung, harus berdasarkan
mengetahui secara rinci obat yang akan dipakai indikasi yang jelas,sehingga dapat memberikan
melalui informasi yang benar.16 Informasi tentang manfaat klinik yang berguna bagi keperluan ilmu
obat sebaiknya adalah yang didukung oleh bukti- pengetahuan dan teknologi.
bukti ilmiah yang berkaitan dengan kemanfaatan dan Tingkat keamanan obat juga bisa dilakukan
keamanan penggunaan obat, sehingga informasi dengan memantau masa kadaluarsa. Obat yang
yang ada merupakan informasi yang telah ditelaah mendekati masa kadaluarsa tidak layak lagi dipakai
secara cermat berdasarkan data penelitian. Selain sehingga perlu upaya penghapusan obat. Hal ini juga
itu, menurut prinsip kedokteran disebutkan bahwa diberlakukan pada obat kadaluarsa, obat yang sudah
tujuan pedoman pengobatan adalah meningkatkan rusak, yang akan membahayakan pasien jika tetap
mutu pelayanan melalui penggunaan obat yang dipakai. Adanya obat yang kadaluarsa dan rusak
aman, efektif, rasional dan juga dalam rangka akan merugikan instansi pemilik karena upaya
efisiensi biaya pengobatan.16 Dikaitkan dengan penghapusan barang/obat akan memerlukan biaya
kasus flu burung pada saat ini data penelitian tentang yang cukup besar. Oleh karena itu, perlu dicari jalan
kemanfaatan dan keamanan penggunaan Oseltamivir keluar untuk menghindari tingginya tingkat
baru efektif sebatas pada influenza biasa, bukan kadaluarsa obat ini, salah satunya adalah dengan
H5N1, sehingga perlu penelitian lebih lanjut. mengatur keseimbangan antara jumlah persediaan
Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) dengan jumlah pemakaian. Hal yang harus dipahami
merupakan badan yang bertugas membuat informasi agar tercapainya pengendalian persediaan11 adalah
tentang obat yang mencakup indikasi, penggunaan dengan menjaga keseimbangan pengendalian dan
dan cara penggunaan, keamanan yang resmi, yang pembelian, sehingga semua permintaan konsumen
disetujui (approved) pada saat obat diizinkan untuk dapat dipenuhi, tidak terjadi kekurangan maupun
digunakan dalam pelayanan kesehatan untuk kelebihan stok. Selanjutnya terkait dengan khasiat
menghindari salah informasi tentang obat, sehingga nyata dari obat, sesuai dengan sasaran kebijakan
hanya obat yang terbukti memberikan manfaat klinik umum di bidang obat, maka perlu upaya pendaftaran
yang paling besar, paling aman, paling ekonomis obat.11 Sasaran utama pendaftaran obat adalah agar
dan paling sesuai dengan sistem pelayanan obat yang beredar hanya yang khasiatnya nyata,
kesehatan yang ada yang dianjurkan untuk keamanannya memadai, kualitasnya baik, dan
digunakan. Bila dikaitkan penggunaan obat yang merupakan teknologi medis yang dibutuhkan.17
rasional dengan acuan biomedicus context Hubungannya dengan Tamiflu yang merupakan obat
penggunaan obat yang rasional adalah kebutuhan jadi import yang telah disetujui beredar di negara
obat sesuai dengan kepentingan kedokteran dan lain, maka tetap harus didaftarkan melalui proses
klinik, sesuai kebutuhan dosis individu, jangka waktu uji klinik di BPOM, kemudian registrasi obat sebelum
pemberian yang cukup, harga yang murah dan dapat beredar di masyarakat sehingga mutu obat terjamin.
dijangkau oleh masyarakat luas.16 Maka penggunaan Pembuatan kebijakan pengelolaan obat antiviral
Oseltamivir di tempat penelitian ini belum termasuk dalam penanggulangan kasus flu burung di Indonesia
186 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 10, No. 4 Desember 2007
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 10, No. 4 Desember 2007 l 187
Misnaniarti: Analisis Kebijakan Pengelolaan Oseltamivir ...
16. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 17. Kamps BS, Hoffmann C, Preiser W. Influenza
IONI : Informatorium Obat Nasional Indonesia Report 2006. http://www.influenzaReport.com.
2000. Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan 2006.
Makanan Depkes RI. Jakarta. 2000. 18. WHO. WHO – Advice On Use Of Oseltamivir.
17 Maret 2006.
188 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 10, No. 4 Desember 2007
JURNAL MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN
VOLUME 10 No. 04 Desember l 2007 Halaman 177 - 182
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
Artikel Penelitian
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 10, No. 4 Desember 2007 l 177
Raditya & Dumilah: Penyiapan Implementasi Business Intelligence ...
178 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 10, No. 4 Desember 2007
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 10, No. 4 Desember 2007 l 179
Raditya & Dumilah: Penyiapan Implementasi Business Intelligence ...
wilayah data ada di bawah unit Public Service Center tabulasi silang (pelanggan, geografi, produk). Nilai
(PSC) Dalam hal ketersediaan data, keseluruhannya standar belum terdapat pada keseluruhan jenis.
dalam bentuk file non database. Untuk time interval
update data, seluruhnya bulanan. Nilai standar ada 6. Kriteria process management
pada jenis product information dan handling Dari keseluruhan kriteria process management
complaints. malcolm baldrige terdapat 84 jenis informasi yang
keseluruhannya terdiri dari 6 kelompok yaitu proses
4. Kriteria measurement, analysis and kunci layanan kesehatan RSDS, QMS ISO
knowledge management 9001:2000, OHSAS 18001 (patient safety, K3), six
Dalam kriteria measurement, analysis and sigma, GKM dan 5R. Terdapat 19 wilayah data dan
knowledge management malcolm baldrige, didapat yang terbanyak adalah di bawah unit MR sebanyak
lima variabel informasi yaitu services modules, PSC 23,8% kemudian rawat inap sebanyak 11,9% dan
modules, attending system modules, psychiatry IPSRS sebanyak 9,5%. Mayoritas ketersediaan data
departement report serta sentralisir dan digitalisasi sudah dalam bentuk file non database yaitu
dokumen di Manager Representative (MR). sebanyak 82,1%. Sebanyak 92,9% data time interval
Keseluruhan wilayah data ada di bawah unit EDP, update-nya adalah tiga bulanan. Keseluruhan jenis
kecuali sentralisir dan digitalisasi dokumen MR tidak memerlukan forecast kecuali pada satu jenis
berada di bawah MR. Dalam hal ketersediaan data, yaitu peningkatan pertumbuhan 30% per tahun dalam
keseluruhannya dalam bentuk file non database 5 tahun. Profil kompetitor diperlukan pada jenis waktu
kecuali psychiatry departement report yang belum layanan registrasi 5 menit, waktu layanan rawat jalan
tersedia. Untuk time interval update data, seluruhnya 40 menit, response time layanan IGD <2 menit 95%,
tiga bulanan kecuali sentralisir dan digitalisasi waktu layanan RJ umum 10 menit, infeksi
dokumen di MR yang time intervalnya realtime. Tidak nosokomial <5%, angka kejadian malpraktik 0%,
ada informasi yang memerlukan forecast, profil angka kejadian medical error 0%, serta peningkatan
kompetitor maupun tabulasi silang (pelanggan, pertumbuhan 30% per tahun dalam 5 tahun. Tabulasi
geografi, produk). Nilai standar belum terdapat pada silang (pelanggan, geografi dan produk) diperlukan
keseluruhan jenis. pada jenis kepuasan pelanggan 80% pada pelayanan
pasien jiwa, pelayanan pasien narkoba dan
5. Kriteria human resources focus pelayanan pasien nonjiwa. Keseluruhan data sudah
Dalam kriteria human resources focus malcolm memiliki nilai standar.
baldrige, didapat 13 variabel informasi yang terdiri
dari 3 kelompok besar yaitu Competency Based 7. Kriteria business result
Human Resources Management (CBHRM), Kriteria business result malcolm baldrige terdiri
Kapitalisasi Pengembangan Ide serta dari dua jenis yaitu performance management dan
communication and skill sharing. Untuk CBHRM, human resources competencies, dan keduanya
keseluruhan wilayah data ada di bawah unit SDM, digabung ke poin 5.1 karena kesamaan informasinya.
kapitalisasi pengembangan ide di bawah unit MR Jumlah variabel informasi yang diperoleh peneliti pada
serta communication and skill sharing sifat wilayah penelitian ini mencapai 147 variabel. Informasi
datanya spesifik unit pelayanan. Dalam hal sebanyak ini dengan berbagai atributnya merupakan
ketersediaan data, keseluruhan jenis kapitalisasi hal yang cukup kompleks, keberadaan business
pengembangan ide serta communication and skill intelligence akan sangat membantu untuk
sharing masih dalam bentuk laporan manual, mengambil keputusan yang tepat dari keseluruhan
sedangkan jenis seleksi yang merupakan bagian dari informasi tadi.
CBHRM data sudah tersedia dalam bentuk database, Jumlah variabel informasi terbanyak ada pada
3 jenis sisanya (training gap, kebutuhan jam training kriteria malcolm baldrige process management,
per orang per tahun serta pay for performance) dalam sebanyak 84 variabel informasi, dimana 65 variabel
bentuk file non database. Untuk time interval update diantaranya berasal dari proses kunci layanan RS
data, keseluruhan jenis kapitalisasi pengembangan DS. Ini menunjukkan standarisasi informasi yang
ide serta communication and skill sharing intervalnya telah berjalan dengan baik, sehingga akan dapat
bulanan, sedangkan jenis seleksi yang merupakan memudahkan pengguna business intelligence untuk
bagian dari CBHRM seluruhnya realtime dan sisanya mendapatkan informasi yang luas pada kategori ini
interval tiga bulanan. Tidak ada informasi yang sehingga akan memberikan lebih banyak alternatif
memerlukan forecast, profil kompetitor maupun pertimbangan pada pengambilan keputusan.
180 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 10, No. 4 Desember 2007
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 10, No. 4 Desember 2007 l 181
Raditya & Dumilah: Penyiapan Implementasi Business Intelligence ...
182 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 10, No. 4 Desember 2007
JURNAL MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN
VOLUME 10 No. 04 Desember l 2007 Halaman 195 - 200
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
Artikel Penelitian
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 10, No. 4 Desember 2007 l 195
Sukri Palutturi, dkk.: Determinan Kinerja Bidan di Puskesmas ...
Peningkatan kesehatan ibu dan bayi di tinggi sehingga timbul dorongan dalam dirinya untuk
Indonesia adalah salah satu komitmen Departemen memberikan pelayanan kebidanan yang baik kepada
Kesehatan melalui penerapan rencana pengurangan pasien.1
angka kematian dan kesakitan ibu dan bayi dan Keberhasilan seseorang dalam mewujudkan
target untuk menurunkan AKI dari 307/100.000 tujuan dan harapannya sangat ditentukan oleh masa
kelahiran hidup menjadi 225/100.000 kelahiran hidup kerja yang dimiliki. Seseorang bidan dituntut untuk
dan AKB dari 35/100.000 kelahiran hidup menjadi menggunakan kemampuan dalam berbagai aspek
20/1000 kelahiran hidup, sedangkan target kehidupan khususnya dalam memberikan pelayanan
Internasional AKI di bawah 125/100.000 kelahiran pada pasien, sehingga dengan demikian dapat
hidup tahun 2005 dan 75/100.000 kelahiran hidup memberikan dampak yang positif sesuai dengan
tahun 2015, dan AKB menjadi 15/1000 kelahiran bidang ilmu yang dimilikinya.Untuk itu diperlukan
hidup.2 tenaga bidan yang memiliki kualitas profesional yang
Salah satu upaya yang dilakukan Departemen dapat memberikan pelayanan kebidanan yang efektif
Kesehatan dalam mempercepat penurunan AKI dan efisien serta berkualitas yang akhirnya dapat
adalah mendekatkan pelayanan kebidanan kepada membantu memperbaiki dan meningkatkan
setiap ibu yang membutuhkannya. Untuk itu sejak kesehatan masyarakat dengan berorientasi pada
tahun 1990 telah ditempatkan bidan di desa yang upaya-upaya pencegahan baik pencegahan
pada tahun 1996 telah mencapai target 54.120 bidan primer,sekunder dan tertier. Selain itu, disiplin dan
di desa. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa motivasi tenaga bidan yang tinggi dalam pelayanan
hampir semua desa di wilayah Indonesia mempunyai kebidanan bagi masyarakat merupakan harapan bagi
akses untuk pelayanan kebidanan.3 Penempatan semua pengguna pelayanan kebidanan. Kesehatan
bidan di desa adalah upaya untuk menurunkan AKI, ibu hamil dapat dicapai bila kehamilan diperiksa
bayi dan anak balita. Masih tingginya AKB dan AKI secara teratur dan risiko yang ditemukan ditangani
menunjukkan bahwa pelayanan kesehatan masih secara memadai. Tindakan (KI-K4) yang diberikan
belum memadai dan belum menjangkau masyarakat oleh petugas kesehatan (bidan) pada saat
banyak, khususnya dipedesaan. Namun bidan di pemeriksaan kehamilan seorang ibu di pusat
desa yang sudah ditempatkan belum didayagunakan pelayanan kesehatan (puskesmas) akan banyak
secara optimal dalam upaya menurunkan AKI dan berpengaruh terhadap kesehatan ibu dan janin yang
AKB. Untuk itu diperlukan suatu instrumen untuk dikandungnya karena dengan pemeriksaan yang
memantau kinerja bidan di desa. lengkap akan mudah mendeteksi kelainan - kelainan
Pengetahuan adalah hasil dari tahu dan ini terjadi yang mungkin terjadi pada saat kehamilan atau
setelah orang melakukan penginderaan terhadap menjelang kelahiran.
suatu objek.4 Jadi pengetahuan dapat diartikan Secara nasional tahun 1999 K1 (92,72%) dan
sebagai hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang K4 (75,66%), cakupan tablet Fel (77,47%)dan Fe3
melakukan penginderaan pada objek tertentu, (63,45%), dan cakupan TT 1 (85,10%) dan TT2
penginderaan terjadi melalui pancaindera manusia (78,10%), standar untuk cakupan Kl yaitu minimal
yaitu indera penglihatan, pendengaran, penciuman 90% dan K4 minimal 80%.5 Berdasarkan laporan
rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia yang ada pada Dinas Kesehatan di Provinsi Maluku
diperoleh melalui mata dan telinga baik melalui dari 5 Kabupaten Angka Kematian Ibu (AKI) pada
pendidikan formal maupun non formal. tahun 2005 sebanyak 36/100.000 kelahiran hidup,
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami dan AKI terbanyak di Kabupaten Maluku Tenggara
bahwa pengetahuan merupakan sekumpulan bahan sebanyak 10/kelahiran hidup, AKB pada tahun 2005
yang luas dengan hal-hal yang terperinci yang tetap sebanyak 82/100.000 kelahiran hidup, dan AKB
dipelajari sebelumnya serta mengingatkan hal terbanyak di Kabupaten Maluku Tenggara sebanyak
tersebut sebagai bahan yang sudah diketahui. 45/kelahiran hidup dengan cakupan KI 27,719 atau
Keberhasilan program penempatan bidan di desa 80% dan K4 22.829 atau 62% cakupan Fe1 27.719
sangat dipengaruhi kemampuan dan keterampilan atau 80% dan Fe3 22.829 atau 62% cakupan TT1
bidan di desa di samping faktor lingkungan dan faktor 27.719 atau 80% dan TT2 22.829 atau 62%.5
kebutuhan masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, Di Kabupaten Maluku Tenggara yang terdiri dari
seorang bidan harus memiliki pengetahuan yang luas 17 puskesmas dengan cakupan K1 3.408 atau 62%
mengenai keperawatan khususnya kebidanan baik dan K4 2871 atau 52% cakupan Fel 3.408 atau 62%
yang diperoleh melalui pendidikan formal maupun dan Fe3 2871 atau 52% cakupan TT1 3.408 atau
pendidikan non formal, seperti pelatihan. Selain itu 62% dan cakupan TT2 2871 atau 52%.6 (Profil
seorang bidan juga harus memiliki motivasi yang Kesehatan Kabupaten Maluku Tenggara). Di
196 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 10, No. 4 Desember 2007
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
Kecamatan Pulau Dullah Selatan (Puskesmas Tual HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
dan Un), untuk cakupan pemeriksaan ibu hamil atau Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
KI sebesar 70,14% dan cakupan K4 65%, cakupan gambaran kinerja tenaga bidan dalam pelaksanaan
Fe l 60,10% dan cakupan Fe 3 65% sedangkan standar pelayanan kebidanan di Puskesmas
cakupan TT 1 70,14% dan cakupan TT2 65%. Wilayah Kecamatan Pulau Dullah Selatan tahun
Cakupan K1 ini dapat menggambarkan tingkat upaya 2006. Penelitian dilaksanakan mulai bulan April 2006
kesehatan ibu dan anak dan perilaku kesehatan ibu sampai dengan bulan Mei 2006. Besar sampel
hamil dalam memeriksakan kehamilannya. Hal ini sebanyak 32 responden bidan dengan menjawab
menunjukkan bahwa pelayanan antenatal belum pertanyaan yang diberikan pada kuesioner. Untuk
dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat.7 lebih memperjelas hasil pemaparan penelitian maka
dibagi dalam tiga bagian yaitu pertama: karakteristik
Jenis penelitian responden untuk mendeskripsikan karakteristik
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian responden yaitu tingkat pendidikan dan umur. Kedua:
observasional dengan pendekatan Cross Sectional deskriptif variabel penelitian yaitu variabel independen
Study7 untuk mengetahui hubungan pengetahuan, mengenai pengetahuan, keterampilan, masa kerja
keterampilan, masa kerja, motivasi dan kinerja bidan dan motivasi dan variabel dependen yaitu kinerja.
di Puskesmas Tual dan Un Wilayah Kecamatan Ketiga, tabulasi silang antara variabel independen
Pulau Dullah Selatan Kabupaten Maluku Tenggara. dengan variabel dependen. Hasil dari penelitian
diuraikan pada tabel dan penjelasan berikut.
Lokasi penelitian
Penelitian ini dilakukan pada Puskesmas Tual dan A. Hubungan pengetahuan dengan kinerja
Un Wilayah Kecamatan Pulau Dullah Selatan bidan
Kabupaten Maluku Tenggara dengan pertimbangan Tabel 1 menunjukkan dari 25 responden (78,1%)
belum pernah dilakukan penelitian tentang kinerja dengan pengetahuan yang cukup terdapat 21
tenaga bidan di lokasi tersebut. responden (84,0%) memiliki kinerja baik dan 4
responden (16,0%) memiliki kinerja kurang,
Populasi dan sampel sedangkan dari 7 responden dengan pengetahuan
Populasi adalah semua tenaga bidan yang bekerja yang kurang terdapat 1 responden (14,3%) memiliki
di Puskesmas Tual dan Un Kecamatan Pulau Dullah kinerja baik dan 6 responden (85,7%) memiliki kinerja
Selatan Kabupaten Maluku Tenggara tahun 2006 kurang. Hasil uji statistik dengan Yate’s Corection
dengan total sampel sebanyak 32 bidan. Sampel diperoleh nilai p = 0.000 ( p< 0,05 ) maka Ho ditolak.
adalah semua tenaga bidan yang melakukan Hal ini berarti ada hubungan antara pegetahuan
pelayanan kebidanan dan bekerja di Puskesmas Tual dengan kinerja bidan di puskesmas wilayah
dan Un Kecamatan Pulau Dullah Selatan Kabupaten Kecamatan Pulau Dullah Selatan Kabupaten Maluku
Maluku Tenggara tahun 2006. Total sampel yang Tenggara.
diperoleh sebanyak 32 bidan.
Tabel 1. Hubungan Pengetahuan dengan Kinerja
Bidan di Puskesmas Wilayah Kecamatan Pulau Dullah
Metode pengumpulan data Selatan Kabupaten Maluku Tenggara Tahun 2006
Data ini diperoleh dengan cara observasi atau
pengamatan terhadap kegiatan pemeriksaan ibu
Kinerja
hamil yang dilakukan oleh tenaga bidan, di Pengetahuan Baik Kurang
Total
Puskesmas Tual dan Un Kecamatan Pulau Dullah n % n % n %
Selatan Kabupaten Maluku Tenggara. Data sekunder Cukup 21 84,0 4 16,0 25 78,1
diperoleh dari laporan cakupan program KIA (PWS Kurang 1 14,3 6 85,7 7 21,9
Total 22 68,8 10 31,3 32 100
KIA) Puskesmas Tual dan Un Kecamatan Pulau
Sumber : Data Primer
Dullah Selatan Kabupaten Maluku Tenggara.
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 10, No. 4 Desember 2007 l 197
Sukri Palutturi, dkk.: Determinan Kinerja Bidan di Puskesmas ...
terdapat 2 responden (25,0%) memiliki kinerja baik hubungan antara Motivasi dengan kinerja bidan di
dan 6 responden (75,0%) memiliki kinerja kurang. puskesmas wilayah Kecamatan Pulau Dullah
Hasil uji statistik dengan Yate’s Corection diperoleh Selatan Kabupaten Maluku Tenggara.
nilai p = 0.002 ( p< 0,05 ) maka Ho ditolak. Hal ini
berarti ada hubungan antara keterampilan dengan Tabel 4. Hubungan Motivasi dengan Kinerja Bidan di
Puskesmas Wilayah Kecamatan Pulau Dullah Selatan
kinerja bidan di puskesmas wilayah Kecamatan Kabupaten Maluku Tenggara Tahun 2006
Pulau Dullah Selatan Kabupaten Maluku Tenggara. Kinerja
Total
Motivasi Baik Kurang
Tabel 2. Hubungan Keterampilan dengan Kinerja n % n % n %
Bidan di Puskesmas Wilayah Kecamatan Pulau Dullah Cukup 21 91,3 2 8,7 23 71,9
Selatan Kabupaten Maluku Tenggara Tahun 2006 Kurang 1 11,1 8 88,9 9 28,1
Kinerja Total 22 68,8 10 31,3 32 100
Total
Keterampilan Baik Kurang Sumber : Data Primer
n % N % n %
Cukup 20 83,3 4 16,7 24 75,0
Kurang 2 25,0 6 75,0 8 25,0
Total 22 68,8 10 31,3 32 100 PEMBAHASAN
Sumber : Data Primer Kinerja adalah penampilan hasil kerja personal
baik kualitas maupun kuantitas dalam suatu
C. Hubungan masa kerja dengan kinerja bidan organisasi. Kinerja adalah hasil kerja yang dapat
Tabel 3 menunjukkan dari 21 responden (65,6%) dicapai oleh seseorang atau kelompok orang dalam
dengan masa kerja yang lama terdapat 15 suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan
responden (71,4%) memiliki kinerja baik dan 6 tanggung jawab masing-masing, dalam rangka upaya
responden (28,6%) memiliki kinerja kurang, sedang mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara
dari 11 responden dengan masa kerja yang tidak legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan
lama terdapat 7 responden (63,6%) memiliki kinerja moral atau pun etika.9 Kinerja seseorang terkait erat
baik dan 4 responden (36,4%) memiliki kinerja dengan proses kerja dan faktor-faktor yang
kurang. Hasil uji statistik dengan Yate’s Corection mempengaruhinya. Dalam penelitian ini, faktor-faktor
diperoleh nilai p = 0.652 (p> 0,05) maka Ho diterima. yang mempengaruhi kinerja meliputi faktor individu
Hal ini berarti tidak ada hubungan masa kerja dengan keterampilan, faktor organisasi yang terdiri dari:
kinerja bidan di Puskesmas Wilayah Kecamatan kepemimpinan dan struktur imbalan/kompensasi
Pulau Dullah Selatan Kabupaten Maluku Tenggara. serta faktor-faktor psikologis yang meliputi: motivasi
dan kepuasan kerja. Untuk kinerja bidan maka faktor
Tabel 3. Hubungan Pengetahuan dengan Kinerja yang paling berpengaruh dan merupakan faktor kunci
Bidan di Puskesmas Wilayah Kecamatan Pulau Dullah
untuk mencapai hasil kerja yang baik harus memiliki
Selatan Kabupaten Maluku Tenggara tahun 2006
kemampuan dan keterampilan yang baik, adanya
Masa Kinerja
Total motivasi yang kuat merupakan pendorong yang
Kerja Baik Kurang
(Tahun) n % n % n % memadai serta adanya kepemimpinan dan bidan itu
Lama sendiri. Hasil penelitian terhadap kinerja bidan pada
15 71,4 6 28,6 21 65,6
(> 5 tahun) bagian sebelumnya memberikan acuan untuk
Tidak
Lama 7 63,6 4 36,4 11 34,4
membahas keempat faktor tersebut terhadap kinerja.
(< 5 tahun) Pembahasan lebih lanjut sebagai berikut.
Total 22 68,8 10 31,3 32 100
Sumber : Data Primer 1. Pengetahuan dengan kinerja bidan
Pengetahuan adalah apa yang diketahui dan
d. Hubungan motivasi dengan kinerja bidan mampu diingat oleh setiap orang setelah mengalami,
Tabel 4 menunjukkan dari 23 responden (71,9%) menyaksikan, mengamati atau diajar sejak lahir
dengan motivasi yang cukup terdapat 21 responden sampai dewasa, khususnya setelah diberikan
(91,3%) memiliki kinerja baik dan 2 responden (8,7%) pendidikan formal maupun non formal. Hasil
memiliki kinerja kurang, sedang dari 9 responden penelitian menunjukkan dengan pengetahuan yang
dengan motivasi yang kurang terdapat 1 responden baik sebanyak 21 bidan (84,0%) yang memiliki
(11,1%) memiliki kinerja baik dan 8 responden kinerja yang baik sedangkan dengan pengetahuan
(88,9%) memiliki kinerja kurang. Hasil uji statistik yang kurang menyebabkan 4 bidan (16,0%) yang
dengan Yate’s Corection diperoleh nilai p = 0.000 mempunyai kinerja kurang. Hasil uji statistik
(p< 0,05) maka Ho ditolak. Hal ini berarti ada menunjukan bahwa ada hubungan antara
198 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 10, No. 4 Desember 2007
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
pengetahuan dengan kinerja bidan di Puskesmas ditetapkan. Akan halnya motivasi kerja adalah sesuatu
Wilayah Kecamatan Pulau Dullah Selatan hal yang berasal dari internal individu (keinginan,
Kabupaten Maluku Tenggara harapan, kebutuhan, dan kesukaan) yang menimbulkan
dorongan atau semangat untuk bekerja keras.13,14 Hasil
2. Keterampilan dengan kinerja bidan penelitian menunjukkan dengan motivasi yang baik
Menjalankan tugas dan tanggung jawab secara sebanyak 21 bidan (91,3%) yang memiliki kinerja baik
profesional dengan melaksanakan fungsi sebagai dan dengan motivasi yang kurang terdapat 2 bidan
bidan menuntut suatu keterampilan sebagai bidan (8,7%) memiliki kinerja kurang. Hasil uji statistik
yaitu merencanakan asuhan keperawatan sesuai menunjukkan bahwa ada hubungan antara motivasi
dengan hasil pengkajian kebutuhan dan masalah dengan kinerja bidan di Puskesmas Wilayah
keperawatan kebidanan. 10,11,12 Hasil penelitian Kecamatan Pulau Dullah Selatan Kabupaten Maluku
menunjukkan dengan keterampilan bidan yang baik Tenggara.
sebanyak 20 bidan (83,3%) memiliki kinerja yang
baik sedangkan dengan keterampilan yang Baik KESIMPULAN DAN SARAN
sebanyak 4 bidan (16,7%) memiliki kinerja kurang. Kesimpulan
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan Pengetahuan bidan berhubungan dengan kinerja
antara keterampilan dengan kinerja bidan di bidan. Bidan yang mempunyai kerja baik lebih
Puskesmas Wilayah Kecamatan Pulau Dullah banyak memiliki pengetahuan cukup (84,3%)
Selatan Kabupaten Maluku Tenggara. dibanding pengetahuan kurang (14,3%).
Keterampilan bidan berhubungan dengan kinerja
3. Masa kerja dengan kinerja bidan bidan. Bidan yang mempunyai kerja baik lebih
Masa kerja merupakan suatu proses pendidikan banyak memiliki keterampilan cukup (83,3%)
formal untuk mengubah, memperbaiki, dibanding keterampilan kurang (25,0%). Masa kerja
meningkatkan dan mengembangkan kemampuan bidan tidak berhubungan dengan kinerja bidan. Bidan
personil dalam jangka waktu relatif singkat yang yang mempunyai kerja baik lebih banyak memiliki
mengutamakan pengetahuan praktis sehingga Masa kerja hampir sama antara yang telah bekerja
personil dapat melaksanakan tugas yang diberikan selama 5 tahun atau lebih (71,4%), dibanding dengan
kepadanya. Hasil penelitian menunjukkan dari 21 bidan yang telah bekerja kurang dari 5 tahun
bidan yang masa kerja lama sebanyak 15 bidan (63,6%). Motivasi berhubungan dengan kinerja bidan.
(71,4%) dengan kinerja baik dan sebanyak 6 Bidan yang mempunyai kinerja baik lebih banyak
responden (28,6%) dengan kinerja yang kurang. memiliki motivasi cukup (91,3%) dibanding yang
Masa kerja yang dimaksud dalam penelitian ini memiliki motivasi kurang (11,1%).
adalah khusus pelatihan tentang standar pelayanan
kebidanan. Dari hasil penelitian menunjukkan bidan Saran
yang telah mengikuti pelatihan yang sesuai dengan Diharapkan kepala Dinas Kesehatan Kabupaten
tugasnya sehari-hari, akan bekerja lebih terarah, untuk memberikan pelatihan secara kontinyu kepada
lebih lancar dalam melaksanakan pekerjaan yang semua bidan yang ada di wilayah kerja Puskesmas
dibebankan kepadanya. Hal ini disebabkan pelatihan Pulau Dullah Selatan sehingga dapat meningkatkan
memiliki arti yang luas bahwa sebagai salah satu pengetahuan bidan dalam menerapkan standar
usaha untuk mengembangkan SDM terutama di pelayanan kebidanan yang baik. Diharapkan Kepala
dalam hal pengetahuan, kemampuan dan Puskemas untuk melakukan pemantauan secara
keterampilan. Dari hasil penelitian diperoleh distribusi berkala terhadap bidan tentang pengisian format
terbesar sebagian besar responden telah bekerja =5 laporan dan penggunaan peralatan serta cara
tahun sebanyak 21 responden (65,6%), kemudian pelayanan dalam menggunakan standar pelayanan
selama <5 tahun sebanyak 11 responden (34,4%). kebidanan. Agar Kepala Puskesmas memperhatikan
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak ada pemberian insentif kepada semua bidan dan
hubungan antara massa kerja dengan kinerja bidan penghargaan kepada bidan yang mempunyai prestasi
di Puskesmas Wilayah Kecamatan Pulau Dullah sehingga dapat menjadi salah satu pemicu
Selatan Kabupaten Maluku Tenggara. peningkatan kinerja mereka. Pengadaan minimal
bidan kit kepada semua bidan yang bertugas oleh
4. Motivasi dengan kinerja bidan Dinas Kesehatan sehingga bidan dapat
Motivasi adalah kesiapan khusus seseorang untuk melaksanakan standar pelayanan kebidanan dengan
melakukan atau melanjutkan serangkaian aktivitas yang baik, dan mereka dapat menampilkan kinerja yang
ditujukan untuk mencapai beberapa sasaran yang telah baik pula.
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 10, No. 4 Desember 2007 l 199
Sukri Palutturi, dkk.: Determinan Kinerja Bidan di Puskesmas ...
200 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 10, No. 4 Desember 2007
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
VOLUME 10 No. 04 Desember l 2007 Halaman 201 - 202
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
Resensi
B
uku ini terdiri dari 11 bab. Secara umum Bab 3, membahas mengenai perencanaan dan
buku ini memaparkan mengenai alat (tools) penyusunan penilaian. Bab ini terdiri dari dua belas
dalam penilaian cepat terhadap fungsi- sub bahasan. Bahasan pertama merupakan
fungsi kunci sistem kesehatan mencakup: pengantar. Bahasan kedua sampai kedua belas
pemerintahan, pembiayaan kesehatan, pelayanan merupakan latihan atau kegiatan. Kegiatan yang
kesehatan, SDM kesehatan, manajemen farmasi dan dimaksud mencakup 11 kegiatan yaitu :
perbekalan kesehatan serta sistem informasi mengidentifikasikan kebutuhan dan prioritas dari misi
kesehatan. Masing-masing fungsi sistem kesehatan USAID, kesepakatan terhadap ruang lingkup,
ini diuraikan di masing-masing bab secara lebih detil. kerangka waktu, dan penilaian terhadap penentuan
Konsep yang digunakan dalam buku ini juga sejalan waktu. Kegiatan selanjutnya adalah mempersiapkan
dengan apa yang digunakan oleh WHO terhadap penaksiran anggaran. Aktivitas keempat adalah
konsep sistem kesehatan. Penggunaan bahasa memasang penaksiran tim beserta tanggung jawab
yang mudah dimengerti, konsep yang sejalan dari masing-masing personil dari tim. Aktivitas
dengan WHO dan disertai contoh-contoh aplikasi kelima adalah menyiapkan ceklis logistik. Aktivitas
sistem kesehatan di beberapa negara menjadikan keenam adalah membuat jadual dan menyusun
buku ini sangat mudah dipahami dan aplikatif. rencana pertemuan dengan tim. Aktivitas ketujuh
Bab 1, merupakan pengantar yang mengulas adalah mengumpulkan dan mereview materi latar
mengenai pengenalan terhadap kekuatan sistem belakang. Aktivitas kedelapan adalah menyiapkan
kesehatan. Dalam bab ini dibahas tujuh sub pokok daftar contact person dan daftar narasumber untuk
bahasan, yaitu bahasan pertama merupakan melakukan wawancara. Aktivitas kesembilan adalah
pengantar mencakup definisi sistem Kesehatan dan mengatur menyiapkan workshop dengan stakeholder
penguatan sistem kesehatan. Bahasan kedua terkait. Aktivitas kesepuluh adalah melakukan
menguraikan mengenai stewardship (dalam wawancara akhir sesuai kebutuhan. Aktivitas terakhir
hubungannya dengan pemerintahan), kebijakan dan adalah menyiapkan laporan penilaian.
advokasi. Bahasan ketiga menguraikan mengenai Bab 4, membahas mengenai pengumpulan
pembiayaan kesehatan. Bahasan keempat penemuan-penemuan dan penyusunan beberapa
menjelaskan mengenai sumber daya manusia dan rekomendasi. Bab ini terdiri dari lima sub bahasan.
sumberdaya fisik lainnya. Bahasan kelima Bahasan pertama merupakan pengantar. Bahasan
menjelaskan mengenai manajemen dan organisasi kedua dan keempat merupakan tahapan dalam
untuk pelayanan kesehatan. Bahasan keenam pengembangan rekomendasi. Phase 1, membahas
memaparkan mengenai sistem informasi kesehatan. mengenai pengumpulan penemuan-penemuan dan
Bahasan terakhir menjelaskan mengenai strategi kesimpulan awal untuk masing-masing modul.
dalam penguatan sistem kesehatan beserta Phase 2, membahas mengenai pengumpulan
implikasinya. penemuan-penemuan dan rekomendasi melalui
Bab 2, menguraikan mengenai tinjauan penilaian modul. Phase 3, membahas mengenai
pendekatan yang digunakan. Bab ini terdiri dari persiapan dan implementasi bagian pengesahan.
empat pokok bahasan. Bahasan pertama merupakan Phase 4, membahas mengenai penemuan-
pengantar. Bahasan kedua memaparkan mengenai penemuan final dan rekomendasi dari beberapa
kerangka kerja konseptual dalam pendekatan penilaian laporan.
penilaian sistem kesehatan. Bahasan ketiga Bab 5, membahas mengenai modul utama. Bab
menguraikan mengenai tinjauan terhadap modul ini terdiri dari tiga sub bahasan. Bahasan pertama
teknis dan bahasan terakhir menguraikan mengenai merupakan pengantar. Bahasan kedua dan ketiga
hasil yang diharapkan dari penilaian. merupakan komponen dari modul utama. Komponen
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 10, No. 4 Desember 2007 l 201
Resensi
202 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 10, No. 4 Desember 2007
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
VOLUME 10 No. 04 Desember l 2007 Halaman 216 - 217
Korespondensi
Korespondensi
216 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 10, No. 4 Desember 2007
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
masa Bakti dan Cara Lain (Health Minister American Clinical and Climatological
Decree of Republic of Indonesia No. 1540/ Association..
Menkes/SK/XII/2002 regarding the placement
of medical workforce through service period and Sukri Palutturi
other schemes). Health Policy and Administration Department
4. Collier, V.U. (2007). Use of Pay for Performance Faculty of Public Health
in a Community Hospital Private Hospitalize Hasanuddin University
Group: A Preliminary Report. Philadelphia: The Email: sukri_tanatoa@yahoo.com
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 10, No. 4 Desember 2007 l 217
JURNAL MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN
VOLUME 10 No. 04 Desember l 2007 Halaman 205 - 214
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
Indeks
Editorial
Memperbesar Peran Ahli Kebijakan dan Ahli Manajemen Pelayanan Kesehatan di Indonesia 01
Laksono Trisnantoro
Makalah Kebijakan
Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit sebagai Persyaratan Badan Layanan Umum
dan Sarana Peningkatan Kinerja 03
Tjahyono Kuntjoro, Hanevi Djasri
Artikel Penelitian
Pengetahuan, Persepsi, dan Pelaksanaan Manajemen Risiko Klinis di Lima Rumah Sakit
di Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Banten Tahun 2005 11
Arjaty Daud, Dumilah Ayuningtyas, Purnawan Junadi
Budaya Organisasi dan Mindset Petugas Penanggulangan Tb Paru Melalui Strategi Dots
di Puskesmas Labibia Kota Kendari 40
Asiah Hamzah, Sukri, Laode Bariun
Resensi Buku
Redefining Health Care: Creating Value-Based Competition on Results 52
Trisasi
Korespondensi
Koordinasi Lintas Sektoral pada Tim Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi
di Kabupaten Sleman 53
Chriswardhani Suryawati
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 10, No. 4 Desember 2007 l 205
Indeks
Editorial
Kebijakan Asuransi Kesehatan bagi Masyarakat Miskin: Saatnya untuk
Melakukan Evaluasi Menyeluruh 55
Laksono Trisnantoro
Makalah Kebijakan
Pendekatan Sistem dalam Perencanaan Program Daerah 56
Mubasysyir Hasanbasri
Artikel Penelitian
Evaluasi Praktik Donasi Obat Pascatragedi Bom Bali 64
Ida Prista Maryetty, Sri Suryawati
Efisiensi Pemanfaatan Rumah Sakit Umum Daerah di Provinsi Sumatera Barat dengan
Data Envelopment Analysis 85
Asmaliza, Anis Fuad, Adi Utarini
Resensi Buku
Know How: The 8 Skills That Separate People Who Perform From Those Who Don’t 98
Putu Eka Andayani
Korespondensi
Analisis Hubungan Budaya Organisasi dan Kepemimpinan Terhadap Perilaku Karyawan
dalam Rangka Menjadi Rumah Sakit Badan Layanan Umum Daerah 101
Rimawati
206 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 10, No. 4 Desember 2007
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
Editorial
Situasi Survailans yang Belum Menggembirakan 103
Laksono Trisnantoro
Makalah Kebijakan
Cost Effectiveness Analysis dalam Penentuan Kebijakan Kesehatan:
Sekedar Konsep atau Aplikatif? 104
Ari Probandari
Artikel Penelitian
Evaluasi Continuous Quality Improvement (Cqi) di Rumah Sakit yang
Mengimplementasikan Sistem Manajemen Mutu Iso 9000 di Indonesia 108
Chatila Maharani, Tjahjono Kuntjoro, Hanevi Djasri
Proses Penyusunan Anggaran Berbasis Kinerja di Dinas Kesehatan Provinsi Jambi Tahun 2006 117
Durachman, Sunartono, Julita Hendrartini
Predicting Willingness to Extend Contractual Assignent among Medical Doctors in West Java 124
Irvan Afriandi, Elsa Pudji Setiawati, Nita Arisanti, Deni Kurniadi Sunjaya
Resensi Buku
Getting to Yes: Teknik Berunding Menuju Kesepakatan Tanpa Memaksakan 154
Widya Febryanti
Korespondensi
Ke Mana Pemilik Kartu Sehat Mencari Pertolongan?
Analisis Survei Sosial Ekonomi Nasional 2001 156
Deni Harbiyanto
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 10, No. 4 Desember 2007 l 207
Indeks
Editorial
Kebijakan Contracting Out untuk Penyediaan Tenaga Kesehatan di Daerah Terpencil
dan Sulit: Dari Pengalaman Menuju Bukti Ilmiah 157
Laksono Trisnantoro
Makalah Kebijakan
Politik dalam Organisasi (Suatu Tinjauan Menuju Etika Berpolitik) 159
Siswanto
Artikel Penelitian
Dampak Kemitraan Praktisi Swasta Terhadap Keterlambatan dan Biaya Penanganan
Tuberkulosis di Kota Denpasar, Bali 166
Luh Putu Sri Armini, Yodi Mahendradhata, Adi Utarini
Resensi Buku
Health Systems Assessment Approach: A How to Manual 201
Korespondensi
Predicting Willingness to Extend Contractual Assignment among Medical Doctor in West Java 203
Sukri Palutturi
208 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 10, No. 4 Desember 2007
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
INDEKS PENULIS
Adisasmito, W.
Lihat, Suryanegara, S. W.
Afriandi, I.
Predicting Willingness to Extend Contractual Assignment among Medical Doctors in West Java, 10(03):
124-Ap.
Andayani, P. E.
Know How: The 8 Skills That Separate People Who Perform From Those Who Don’t, 10(02): 98-Rb.
Arisanti, N.
Lihat, Afriandi, I.
Armini, L. P. S.
Dampak Kemitraan Praktisi Swasta Terhadap Keterlambatan dan Biaya Penanganan Tuberkulosis di Kota
Denpasar, Bali, 10(04): 166-Ap.
Asmaliza
Efisiensi Pemanfaatan Rumah Sakit Umum Daerah di Provinsi Sumatera Barat dengan Data Envelopment
Analysis, 10(02): 85-Ap.
Ayuningtyas, D.
Lihat, Daud, A.
Lihat, Wisuda, R. A.
Bariun, L.
Lihat, Hamzah, A.
Budijanto, D.
Lihat, Sopacua, E.
Daud, A.
Pengetahuan, Persepsi, dan Pelaksanaan Manajemen Risiko Klinis di Lima Rumah Sakit di Daerah Khusus
Ibukota Jakarta dan Banten Tahun 2005, 10(01): 11-Ap.
Djasri, H.
Lihat, Kuntjoro, T.
Lihat, Maharani, C.
Durachman
Proses Penyusunan Anggaran Berbasis Kinerja di Dinas Kesehatan Provinsi Jambi Tahun 2006, 10(03):
117-Ap.
Febryanti, W.
Getting to Yes: Teknik Berunding Menuju Kesepakatan Tanpa Memaksakan, 10(03): 154-Rb.
Fuad, A.
Lihat, Asmaliza
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 10, No. 4 Desember 2007 l 209
Indeks
Hamzah, A.
Budaya Organisasi dan Mindset Petugas Penanggulangan Tb Paru Melalui Strategi Dots di Puskesmas
Labibia Kota Kendari, 10(01): 40-Ap.
Harbiyanto, D.
Ke Mana Pemilik Kartu Sehat Mencari Pertolongan?
Analisis Survei Sosial Ekonomi Nasional 2001, 10(03): 156-Koresp.
Hasanbasri, M.
Lihat, Untari, J.
Pendekatan Sistem dalam Perencanaan Program Daerah, 10(02): 56-Mk.
Lihat, Saripawan, Y.
Hendrartini, J.
Lihat, Samba, I. G. S.
Lihat, Durachman
Junadi, P.
Lihat, Daud, A.
Kuntjoro, T.
Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit sebagai Persyaratan Badan Layanan Umum dan Sarana
Peningkatan Kinerja, 10(01): 03-Mk
Lihat, Maharani, C.
Maharani, C.
Evaluasi Continuous Quality Improvement (CQI) di Rumah Sakit yang Mengimplementasikan Sistem
Manajemen Mutu ISO 9000 di Indonesia, 10(03): 108-Ap.
Mahendradhata, Y.
Lihat, Armini, L. P. S.
Mandak, N.
Lihat, Palutturi, S.
Maryetty, I. P.
Evaluasi Praktik Donasi Obat Pascatragedi Bom Bali, 10(02): 64-Ap.
Misnaniarti
Analisis Kebijakan Pengelolaan Oseltamivir dan Implementasinya di Rumah Sakit Rujukan Kasus Flu
Burung, 10(04): 181-Ap.
Mukti, A. G.
Lihat, Samba, I. G. S.
Muninjaya, A. A. G.
Lihat, Trisna, A. A. I. N.
Nurhayani
Lihat, Palutturi, S.
Oktarina
Kajian Pemberdayaan Masyarakat dalam Rangka Making Pregnancy Safer di Daerah Miskin Pedesaan,
10(03): 148-Ap.
210 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 10, No. 4 Desember 2007
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
Palutturi, S.
Determinan Kinerja Bidan di Puskesmas Tahun 2006, 10(04): 195-Ap.
Predicting Willingness to Extend Contractual Assignment among Medical Doctor in West Java, 10(04):
203-koresp.
Pinzon, R.
Pengembangan Proses Verifikasi Pra-Operasi untuk Meningkatkan Keselamatan Pasien di Rumah Sakit,
10(03): 143-Ap.
Probandari, A.
Cost Effectiveness Analysis dalam Penentuan Kebijakan Kesehatan: Sekedar Konsep atau Aplikatif?,
10(03): 104-Mk.
Rimawati
Analisis Hubungan Budaya Organisasi dan Kepemimpinan Terhadap Perilaku Karyawan dalam Rangka
Menjadi Rumah Sakit Badan Layanan Umum Daerah, 10(02): 101-Koresp.
Health Systems Assessment Approach : A How to Manual, 10(04):201-Rb
Ristrini
Lihat, Oktarina
Samba, I. G. S.
Analisis Besaran Premi Jaminan Pemeliharaan Kesehatan di Kabupaten Jembrana Provinsi Bali, 10(02):
72-Ap.
Saripawan, Y.
Implementasi Posyandu dan Supervisi oleh Puskesmas di Pontianak, 10(02): 90-Ap.
Setiawati, E. P.
Lihat, Afriandi, I.
Siswanto
Politik dalam Organisasi (Suatu Tinjauan Menuju Etika Berpolitik), 10(04): 159-Mk.
Sopacua, E.
Opsi-Opsi Kebijakan untuk Pelatihan Sumber Daya Manusia Kesehatan;Pembelajaran Dari Penelitian Pola
Peningkatan Kompetensi Sumber Daya Manusia dalam Otonomi Daerah Bidang Kesehatan, 10(04): 173-
Ap.
Sukri
Lihat, Hamzah, A.
Sunartono
Lihat, Durachman
Sunjaya, D. K.
Lihat, Afriandi, I.
Suryanegara, S. W.
Analisis Hubungan Budaya Organisasi dan Kepemimpinan Terhadap Perilaku Karyawan dalam Rangka
Menjadi Rumah Sakit Badan Layanan Umum Daerah, 10(02): 79-Ap.
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 10, No. 4 Desember 2007 l 211
Indeks
Suryawati, C.
Koordinasi Lintas Sektoral pada Tim Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi di Kabupaten Sleman, 10(01):
53-Koresp.
Suryawati, S.
Lihat, Viperiati, N.
Lihat, Maryetty, I. P.
Lihat, Winarni, S.
Trisasi
Redefining Health Care: Creating Value-Based Competition On Results, 10(01): 52-Rb.
Trisna, A. A. I. N.
Survei Pasar Jaminan Kesehatan Sosial Bali, 10(01): 29-Ap.
Trisnantoro, L.
Memperbesar Peran Ahli Kebijakan dan Ahli Manajemen Pelayanan Kesehatan di Indonesia, 10(01): 01-
Ed.
Kebijakan Asuransi Kesehatan bagi Masyarakat Miskin: Saatnya untuk Melakukan Evaluasi Menyeluruh,
10(02): 55-Ed.
Situasi Survailans yang Belum Menggembirakan, 10(03): 103-Ed.
Kebijakan Contracting Out untuk Penyediaan Tenaga Kesehatan di Daerah Terpencil dan Sulit: Dari
Pengalaman Menuju Bukti Ilmiah, 10(04): 157-Ed.
Untari, J.
Ke Mana Pemilik Kartu Sehat Mencari Pertolongan? Analisis Survai Sosial Ekonomi Nasional 2001, 10(01):
46-Ap.
Utarini, A
Lihat, Asmaliza
Lihat, Armini, L. P. S.
Viperiati, N.
Pengaruh Penyerahan Dana dan Pengelolaan Asuransi Kesehatan Sepenuhnya kepada Puskesmas Terhadap
Efisiensi Pengadaan dan Mutu Penggunaan Obat, 10(01): 20-Ap.
Winarni, S.
Perbandingan Efisiensi dan Efektivitas Pengadaan Obat dan Alat Kesehatan dengan Lelang, Penunjukan
Langsung, dan Kemitraan, 10(03): 132-Ap.
Wisuda, R. A.
Penyiapan Implementasi Business Intelligence Berbasis Malcolm Baldrige, 10(04):189-Ap.
212 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 10, No. 4 Desember 2007
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
INDEKS SUBJEK
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 10, No. 4 Desember 2007 l 213
Indeks
214 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 10, No. 4 Desember 2007