You are on page 1of 6

CARA TAKHRIJ HADIS

A. Pendahuluan
Sebagai sumber ajaran Islam kedua sesudah al-Qur'an, hadits mempunyai peranan penting
dalam mengembangkan kandungan ajaran Islam, baik yang telah ditetapkan dalam al-Qur'an
maupun yang belum.

B. Pengertian Takhrij al-Hadits


Ada tiga istilah yang berkaitan erat dengan takh¬rij, yaitu takhrij (‫)تخريج‬, ikhraj (‫)إخراج‬, dan
istikhraj (‫)إستخراج‬. Takhrij berasal dari kata kharra¬ja (‫ )خرِّج‬yang berarti tampak atau jelas.
Sedangkan menurut Mahmud al-Thahhan, secara etimologis, takhrij berarti berkumpulnya dua
persoalan dalam satu hal. Selanjutnya ia menjelaskan bahwa ada tiga pengertian takhrij, yaitu
‫( اإلستنباط‬mengeluarkan), ‫( التدريب‬melatih atau membiasakan), dan ‫( التوجيه‬mengarahkan).
Sedangkan menurut ulama ahli hadits, kata takhrij mempunyai beberapa arti, yaitu:
1. Kata takhrij (‫ )تخريج‬sama dengan kata ikhraj yang berarti menampakkan hadits kepada orang
lain dengan menyebutkan sumbernya. Misalnya, hadits ini dikeluarkan oleh al-Bukhari atau
ditakhrij oleh al-Bukhari. Artinya, ia meriwayatkannya dan menyebutkan tempat
dikeluarkannya secara independen.
2. Takhrij kadang-kadang digunakan untuk arti mengeluarkan hadits dan meriwayatkannya.
3. Takhrij terkadang juga disebut dilalah, artinya petun¬juk sumber-sumber asli hadits dan
mengacu kepadanya dengan menyebutkan penyusun yang pernah meriwayatkan¬nya.
Secara terminologis, takhrij berarti petunjuk jalan ke tempat/letak suatu hadits (menyebut
sejumlah buku yang di dalamnya terdapat hadits itu) pada sumber- sumbernya yang orisinal
berikut sanadnya, dan menjelaskan martabat¬nya jika diperlukan.
Secara lebih rinci, Syuhudi Ismail mengumpulkan pendapat-pendapat ulama hadits di seputar
arti takhrij sebagai berikut:
1. Mengemukakan hadits kepada orang banyak dengan menye¬butkan para periwayatnya
dalam sanad yang telah menyam¬paikan hadits itu dengan metode periwayatan yang
ditem¬puhnya.
Termasuk dalam kategori pengertian ini adalah kegiatan yang telah dilakukan oleh para
periwayat hadits yang menghimpun hadits ke dalam kitab yang mereka susun masing-masing.
Misalnya, Imam al-Bukhari dengan kitab sahih-nya, Imam Muslim dengan sahih-nya, dan Abu
Daud dengan kitab Sunan-nya.
2. Mengemukakan berbagai hadits yang telah dikemukakan oleh para guru hadits atau berbagai
kitab atau lainnya, yang susunannya dikemukakan berdasarkan riwayatnya sendiri atau para
gurunya atau temannya atau orang lain, dengan menerangkan siapa periwayatnya dari para
penyusun kitab atau karya yang dijadikan sumber pengam¬bilan.
Pengertian takhrij seperti ini telah dilakukan oleh para ulama hadits, seperti Imam al-Baihaqi
yang telah banyak mengambil hadits dari kitab al-Sunan yang disu¬sun oleh Abu al-Hasan al-
Basri al-Saffar, lalu al-Baihaqi mengemukakan sanadnya sendiri.
3. Menunjukkan asal-usul hadits dan mengemukakan sumber pengambilannya dari berbagai
kitab hadits yang disusun oleh mukharrij-nya langsung (yaitu para periwayat yang juga sebagai
penghimpun hadits yang mereka riway¬atkan). Pengertian takhrij semacam ini banyak dijumpai
pada kitab-kitab himpunan hadits, seperti Bulugh al-Maram yang disusun oleh Ibn Hajar
al-'Atsqalani. Dalam kategori ini, hadits yang dikutip tidak hanya matannya saja, juga minimal
nama mukharrij-nya dan nama periway¬at pertama (Sahabat Nabi) yang meriwayatkan hadits
itu.
4. Mengemukakan atau menunjukkan letak asal hadits pada sumbernya yang asli yang di
dalamnya dikemukakan hadits itu secara lengkap dengan sanadnya masing-masing, kemudian -
untuk kepentingan penelitian - dijelaskan kualitas hadits yang bersangkutan. Pengertian ini
biasanya digunakan oleh para ulama hadits untuk menje¬laskan berbagai hadits yang termuat
di dalam kitab ter¬tentu, seperti kitab Ihya' 'Ulum al-Din karya Imam al-Ghazali. Di dalam
penjelasan takhrijnya dikemukakan sumber pengambilan tiap-tiap hadits dan kualitasnya
masing-masing.

C. Latar Belakang Munculnya Ilmu Takhrij al-Hadits


Mahmud al-Thahhan mengatakan bahwa pada mulanya ilmu takhrij al-hadits tidak dibutuhkan
oleh ulama dan peneliti hadits karena pengetahuan mereka tentang hadits sangat luas dan
mantap. Lagi pula, hubungan para ulama dengan sumber hadits aslinya pada waktu itu sangat
dekat dan melekat, sehingga ketika mereka hendak menjelaskan validitas suatu hadits, mereka
cukup menjelaskan tempat atau sumbernya dalam berbagai kitab hadits. Mereka menge¬tahui
cara-cara kitab sumber hadits itu ditulis, sehingga dengan potensi dan kemampuan yang dimiliki
mereka tidak mengalami kesulitan untuk menggunakan dan mencari sumber dalam rangka
mengemukakan suatu hadits. Apabila dibacakan kepada mereka suatu hadits yang bukan dari
kitab hadits, maka dengan mudah mereka menjelaskan sumber aslinya.
Beberapa abad kemudian, para ulama hadits merasa kesulitan untuk mengetahui hadits dari
sumber aslinya, terutama setelah berkembang karya-karya besar di bidang Syari'ah yang
banyak menggunakan hadits sebagai dasar ketetapan hukum, begitu juga dengan ilmu-ilmu
yang lain seperti Tafsir, Sejarah, dan lainnya. Keadaan ini menjadi latar belakang timbulnya
keinginan para ulama untuk melakukan takhrij. Upaya yang mereka lakukan adalah dengan
menjelaskan atau menunjukkan hadits kepada sumber aslinya, menjelaskan metodenya, dan
menentukan kualitas hadits sesuai dengan kedudukannya.
Hasil jerih payah para ulama itu memunculkan kitab-kitab takhrij, di antaranya yang terkenal
dalah Fawaid al-Muntakhabah al-Shahah karya Abu Qasim al-Husaini, Takhrij al-Fawaid al-
Muntakhabah al-Shahah wa al-Gharaib karya Abu Qasim al-Mahrawani.

D. Tujuan dan Manfaat Takhrij al-Hadits


Dalam proses penelitian hadits, takhrij merupakan kegiatan penting yang tidak boleh diabaikan.
Tanpa melaku¬kan kegiatan takhrij, seorang peneliti hadits akan kehi¬langan wawasan untuk
mengetahui eksistensi hadits dari berbagai sisi. Sisi- sisi penting yang perlu diperhatikan oleh
seorang peneliti hadits dalam hubungannya dengan takhrij ini meliputi kajian asal-usul riwayat
suatu hadits, berbagai riwayat yang meriwayatkan hadits itu, ada atau tidak adanya
coroboration (syahid dan muttabi') dalam sanad hadits yang diteliti.
Dengan demikian, tujuan dan manfaat takhrij al-hadits pada dasarnya adalah:
1. Untuk mengetahui asal-usul riwayat hadits yang diteliti
2. Untuk mengetahui seluruh riwayat bagi hadits yang di¬teliti.
3. Untuk mengetahui ada atau tidaknya syahid atau muttabi' pada sanad yang diteliti.
4. Adanya syahid dan atau muttabi' yang kuat dapat memperkuat sanad yang diteliti.
E. Metode Takhrij al-Hadits
Mencari sebuah hadits tidaklah sama dan semudah mencari ayat al-Qur'an. Untuk mencari ayat
al-Qur'an cukup dengan sebuah kamus seperti al-Mu'jam al-Mufahras li Alfadz al-Qur'an al-
Karim dan sebuah mushaf al-Qur'an. Sedangkan hadits, karena ia terhimpun dalam banyak
kitab, diperlukkan waktu yang lebih lama untuk menelusurinya sampai sumber asalnya.
Meskipun begitu, para ulama hadits telah menulis kitab-kitab yang dapat membantu seorang
peneliti hadits dalam rangka kegiatan takhrij. Tetapi, hanya sedikit yang sampai kepada kita.
Kitab-kitab yang dapat dijumpai hanya¬lah merupakan alat bantu, seperti al-Jami' al-Shaghir, al-
Mu'jam al-Mufahras li Alfadz al-Hadits al-Nabawi, Miftah Kunuz al-Sunnah, kitab-kitab al-Athraf,
dan lain-lainnya.
Mengenai cara-cara mentakhrij hadits, al-Mahdi dan al-Thahhan mengemukakan lima metode
takhrij sebagai beri¬kut.

l. Takhrij melalui periwayat pertama (al-rawi al-a'la)

Takhrij dengan metode ini dapat dilakukan dengan terlebih dahulu mengetahui secara pasti
perawi pertamanya, baik dari kalangan Sahabat ataupun tabi'in. Langkah perta¬ma dari metode
ini adalah mengenal nama perawi pertama dari hadits yang akan ditakhrij. Langkah berikutnya
adalah mencari nama perawi yang diinginkan dari kitab-kitab al-Athraf atau Musnad. Bila nama
perawi pertama yang dicari telah ditemukan, kemudian dicari hadits yang diinginkan di antara
hadits-hadits yang tertera di bawah nama perawi tersebut. Bila sudah ditemukan, maka akan
diketahui ulama hadits yang meriwayatkannya.
Kitab yang membantu untuk kegiatan takhrij berda¬sarkan metode ini adalah kitab-kitab al-
Athraf dan Musnad. Al-Athraf adalah himpunan hadits yang berasal dari kitab induknya di mana
yang dicantumkan hanyalah bagian atau potongan hadits dari setiap hadits yang diriwayatkan
oleh Sahabat atau tabi'in. Di antara kitab-kitab al-Athraf yang terkenal adalah Athraf al-
Shahihain karya Imam Abu Mas'ud Ibrahim ibn Muhanmmad ibn Ubaid al-Dimasyq, Athraf al-
Kutub al-Sittah karya Syamsuddin Abu al-Fadhli Muhammad ibn Tahin ibn Ahmd al-Maqdisi, Al-
Isyraf 'ala ma'rifah al-Athraf karya Abu al-Qasim Ali ibn Abi Muhammad al-Hasan al-Dimasyq,
Tuhfat al-Asyraf bi Ma'rifat al-Asyraf karya Jamal al-din Abu al-Hajjaz Yusuf ibn 'Abd al-Rahman.
Musnad adalah kitab hadits yang disusun berda¬sarkan nama-nama Sahabat yang
meriwayatkannya. Cara penyu¬sunan nama-nama Sahabat dalam kitab ini tidak sama, ada yang
disusun secara alpabet dan ada juga yang disusun berdasarkan waktu masuk Islam atau
keutamaan Sahabat. Di antara kitab-kitab Musnad tersebut adalah kitab Musnad karya Imam
Ahmad ibn Hanbal, karya Abu Bakr 'Abdullah ibn al-Zubair al-Humaidi, dan karya Abu Daud al-
Tayalisi.
Keunggulan metode ini : cepat sampai pada sahabat yg meriwayatkan hadis krn alfabetis
Kekurangannya : lama sampai pd hadis yg dicari jika sahabat tsb. banyak meriwayatkan hadis

2. Takhrij melalui Lafadz pertama Matan Hadits

Penggunaan metode didasarkan atas lafadz pertama matan hadits. Melalui metode ini,
pentakhrij terlebih dahulu menghimpun lafadz pertama hadits berdasarkan huruf-huruf
hijaiyah. Setelah pentakhrij mengetahui lafadz pertama yang terletak dalam hadits tersebut,
selanjutnya ia mencari lafadz itu dalam kitab-kitab takhrij yang disusun sesuai dengan metode
ini berdasarkan huruf perta¬ma, huruf kedua dan seterusnya. Contoh, hadits yang ber¬bunyi ‫من‬
‫ غشانا فليس منا‬Langkah pertama, karena lafadz pertamanya adalah ‫ من‬, maka pentakhrij harus
mencarinya pada bab mim ( ‫) م‬. Langkah kedua mencari huruf nun ( ‫ ) ن‬setelah mim ( ‫) م‬
tersebut. Ketiga, mencari huruf-huruf selanjutnya yang mengiringinya, yaitu ghain ( ‫) غ‬, dan
demikian seterusnya.
Kitab-kitab yang dapat digunakan untuk mentakhrij dengan metode ini di antaranya adalah al-
Jami' al-Kabir karya Imam Suyuthi, al-Jami' al-Azhar karya al-Manawi, al-Jami' al-Shaghir min
Hadits al-Basyir al-Nazhir karya Jalaluddin al-Suyuthi.
Dalam kitab al-Jami' al-Shaghir min Hadits al-Basyir al-Nazhir, Jalaluddin al-Suyuthi
menghimpun dan menyusun hadits-hadits yang diatur berdasarkan urutaan huruf hijaiyyah,
mulai dari huruf alif, ba', ta', dan seterusnya.
Dalam menjelaskan kualitas hadits, kitab ini meng¬gunakan rumus-rumus sebagai berikut: ‫صح‬
untuk hadits berkualitas shahih; ‫ ح‬untuk hadits berkualitas hasan; dan ‫ ض‬untuk hadits
berkualitas dla'if. Sedangkan untuk kode mukharrij dari hadits yang bersangkutan digunakan
kode ‫ خ‬untuk Bukhari, ‫ م‬untuk Muslim, ‫ حم‬untuk Ahmad, ‫ ت‬untuk Turmuzhi.
Dengan menggunakan metode ini, memungkinkan pen¬takhrij untuk cepat menemukan hadits
yang dicari. Kesuli¬tan yang mungkin dijumpai adalah apabila terdapat perbe¬daan lafadz
pertama, seperti hadits yang berbunyi:
‫إذا اتــاكم من ترضون دينه وخلقه فزوجوه‬
Menurut bunyi hadits di atas, lafadz pertamanya adalah ‫ إذا اتــاكم‬Tetapi, bila lafadz pertama yang
kita ingat adalah ‫لو اتــاكم‬, akan sulit menemukan hadits itu karena adanya perbedaan lafadz
tersebut. Demikian juga apabila lafadz yang kita jumpai berbunyi ‫ إذا جاءكم‬, sekali¬pun semuanya
memiliki pengertian yang sama.
Keunggulannya: 1. meskipun tdk hapal semua hadis, dg lafal pertama saja dpt dg cepat
menyampaikan pd hadis yg dicari; 2. Akan ditemukan hadis lain yg tdk menjadi objek pencarian
n mungkin dibutuhkan
Kekurangan metode ini: 1.jika lafal yg dianggap awal hadis bkn awal hadis; 2. jika trjadi
penggantian lafal yg diucapkan Rasul.

3. Takhrij melalui penggalan kata-kata yang tidak banyak diungkap dalam lisan

Menurut Mahmud al-Thahhan, mentakhrij hadits dengan metode ini dapat menggunakan kitab
al-Mu'jam al-Mufahras li Alfadz al-Hadits al-Nabawi karya A.J. Wensinck yang di¬terjemahkan
oleh Muhammd Fuad 'Abd al-Baqi. Kitab ini merujuk kepada kitab-kitab yang menjadi sumber
pokok hadits, yaitu Kutub al-Sittah, al-Muwaththa', Musnad Imam Ahmad, dan Musnad al-
Darimi.Cara penggunaan kitab al-Mu'jam di atas dapat dilihat pada jilid 7 bagian permulaan. Di
sana akan dipe¬roleh penjelasan tentang bagaimana menggunakan kitab ini secara mudah. Dua
hal penting yang perlu dijelaskan di sini adalah pemberian kode nama yang dijadikan sumber
rujukan, misalnya ‫ حم‬untuk Ahmad, ‫ ت‬untuk Turmuzhi, ‫ جه‬untuk Ibn Majjah, ‫ مى‬untuk Darimi;
dan penjelasan tentang kitab atau bab dan halaman kitab yang dirujuk, misalnya Musnad
Ahmad, nomor setelah rumus/kode terdapat dua ben¬tuk: nomor kecil menunjukkan jilid dan
nomor besar menun¬jukkan halaman dari kitab yang dimaksud.
Kelebihan metode ini di antaranya:
a. mempercepat pencarian hadits;
b. membatasi hadits-haditsnya pada kitab-kitab induk dengan menyebutkan nama kitab, juz',
bab, dan halaman;
c. memungkinkan pencarian hadits melalui kata apa saja yang terdapat dalam matan hadits.
Sedangkan kekurangannya:
a. pentakhrij harus memi¬liki kemampuan berbahasa Arab beserta perangkat-perangkat
ilmunya, karena metode ini menuntut untuk mengembalikan kata kuncinya kepada kata dasar;
b. terkadang suatu hadits tidak dapat ditemukan dengan satu kata kunci, sehingga pentakhrij
harus mencarinya dengan menggunakan kata-kata yang lain.

4. Takhrij berdasarkan topik hadits

Seorang pentakhrij boleh saja tidak terikat dengan bunyi atau lafadz matan hadits yang
ditakhrijnya, tetapi berupaya memahami melalu topiknya. Upaya penelusurannya memerlukan
kitab atau kamus yang dapat memberikan penjela¬san riwayat hadits melalui topik yang telah
ditentukan.
Di antara kitab yang dapat membantu kegiatan takh¬rij dengan metode ini adalah Miftah Kunuz
al-Sunnah, al-Jawami' al-Shahih, al-Mustadrak 'ala Shahihain, Jam'u al-Fawaid min Jam'i al-
Ushul wa Majma' al-Zawaid.
Menurut Mahmud al-Thahhan, kitab hadits yang dijadikan acuan oleh kitab-kitab di atas
jumlahnya banyak sekali. Di antaranya, Kutub al-Sittah, al-Muwaththa', Musnad Ahmad, Sunan
al-Darimi, Musnad Zaid ibn Al, Sirah ibn Hisyam, Maghazi al-Waqidi, dan Thabaqah ibn Sa'ad.
Keunggulan metode ini di antaranya adalah:
a. metode ini mendidik ketajaman pemahaman terhadap hadits pada diri pentakhrij;
b. metode ini dapat memperkenalkan pentakhrij dengan hadits-hadits lain yang senada dengan
hadits yang dicari.
Sedangkan kelemahannya:
a. Terkadang kandungan hadits itu sulit disimpulkan oleh pentakhrij sehingga tidak dapat
ditentukan temanya. Akibatnya ia tidak mungkin menggunakan metode ini, apalagi kalau topik
yang dikandung hadits itu lebih dari satu;
b. Terkadang pemahaman pen¬takhrij tidak sesuai dengan pemahamaan penyusun kitab,
karena penyusun kitab meletakkan suatu hadits pada topik yang tidak diduga oleh pentakhrij.

5. Takhrij berdasarkan status hadits

Melalui kitab-kitab tertentu, para ulama berupaya menyusun hadits-hadits berdasarkan


statusnya, seperti hadits qudsi, masyhur, mursal, dan lain-lain.
Kelebihan metode ini dapat memudahkan proses takhrij, karena hadits-hadits yang
diperlihatkan berdasarkan statusnya jumlahnya sangat sedikit dan tidak rumit. Meskipun
demikian, keku¬rangannya tetap ada yaitu terbatasnya kitab-kitab yang memuat hadits
menurut statusnya. Di antara kitab yang disusun menurut metode ini adalah: al-Azhar al-
Mutanatsirah fi al-Akhbar al-Mutawatirah karya Suyuthi, yang memuat hadits-hadits mutawatir;
al-Ittihafath al-Saniah fi al-Ahadits al-Qudsiyah karya al-Madani yang memuat hadits-hadits
qudsi; al-Maqashid al-Hasanah karya Sakhawi yang memuat hadits-hadits populer; al-Marasil
karya Abu Daud yang memuat hadits-hadits mursal; Tanzih al-Syari'ah al-Marfu'ah 'an al-Akhbar
al-Syani'ah al-Maudlu'ah karya Ibn Iraq yang memuat hadits-hadits maudlu'

F. Penutup
Takhrij hadits pada dasarnya hanyalah langkah awal dari penelitian hadits. Di antara langkah-
langkah penting berikutnya yang harus dilakukan dalam kerangka penelitian hadits adalah kritik
matan (naqd al-matn) dan kritik sanad.

You might also like