You are on page 1of 15

Budaya Politik Di Indonesia

Budaya politik adalah kebiasaan berpolitik. Negara kita ini adalah negeri yang menganut
paham Demokrasi. Yang dimana dalam prakteknya semua hal harus dibicarakan bersama
dan mencapai kesepakatan yang mufakat, contohnya pemilu yang merupakan Budaya
politik di Indonesia. Indonesia memiliki kepala negara yaitu presiden, tetapi kekuasaan
tertinggi berada ditangan rakyat dan dikembalikan lagi untuk rakyat.

Indonesia harus melewati 4 tahap dalam mencapai kemerdekaanya, tahapan-tahapan itu


sebagai berikut :

• Angkatan Perintis ( 1908 )

Dalam angkatan perintis ini, Indonesia masih bersifat kedaerahan.


Angkatan ini dimulai dari berdirinya organisasi budi utomo yang diketahui
oleh sutomo, yang merupakan pelopor dari berdirinya organisasi-
organisasi daerah.

• Angkatan Penegas (1928 )

Dalam angkatan penegas ini, Indonesia telah bersifat Nasional atau


kebangsaan yang dipelopori oleh patih gajah mada. Yang teklah
mempersatukan organisasi-organisasi di daerah-daerah untuk bersatu dan
menjadi organisasi nasional dengan dipersatukan melalui semboyan
Bhineka Tunggal Ika yang artinya berbeda-beda tetap satu jua.

• Angkatan Pendobrak ( 1945 )

Pada angkatan pendobrak ini Indonesia Merdeka. Dan otomatis perubahan


status indonesia yang awalnya berbentuk kebangsaan menjadi kenegaraan.

Menurut isi yang ada di UUD 1945 alenia 1 merupakan penjabaran Indonesia
sebelummerdeka yang ditandai dengan kalimat “Penjajahan diatas dunia harus
dihapuskan”, alenia 2 merupakan penjbaran Indonesia hampir merdeka yang ditandai
dengan kalimat “Menuju pintu depan kemerdekaan”, alenia 3 merupakan penjabaran
Indonesia merdeka yang ditandai dengan kalimat “Rakyat indonesia menyatakan dengan
ini Kemerdekaannya”, alenia 4 merupakan penjabaran Indonesia setelah merdeka yang
ditandai dengan 4M,yaitu :

1. Melindungi segenap bangsa indonesia


2. Memajukan kesejahteraan umum
3. Mencerdaskan kehidupan bangsa
4. Melaksanakan ketertiban dunia

Indonesia telah melaksanakan pemilu 10 kali,pemilu yang pertama pada tahun 1945
kepemimpinan diketuai oleh Ir.Soekarnon dengan wakilnya MOH. Hatta akan tetapi
kepemimpinan ini belum berbentuk kepresidenan dikarenakan tidak adanya pelantikan.
Pada tahun 1955,1971,1977,1982,1987,1992,1997 Indonesia dibawah pimpinan
Soeharto, 1999 Habibi,2004 Gusdur yang lengser dan hanya sesaat dalam masa
jabatannya kemudian digantikan oleh Megawati,yang pemilihannya dilakukan oleh MPR
dan terakhir tahun 2009 SBY, yang cara pemilihannya dilakukan secara pemilu oleh
semua rakyat indonesia.
Budaya Politik Negara Maju & Berkembang lawan Budaya
politik Indonesia Oktober 18, 2009

Diarsipkan di bawah: 1 — mahierra @ 12:36 pm

A. Budaya Politik Di Negara Maju (Singapura)

Budaya politik di Singapura telah mengalami berbagai pengaruh dari luar terutama
pengaruh ketika dijajah oleh colonial Inggris, sehingga perkembangan sistem politik di
Singapura lebih signifikan dan telah mengalami kemajuan daripada Negara lain.

Konstitusi Singapura berdasarkan sistem Westminster karana Singapura merupakan


bekas jajahan Inggris. Posisi presiden adalah simbolis dan kekuasaan pemerintahan
berada di tangan perdana menteri yang merupakan ketua partai politik yang memiliki
kedudukan mayoritas di parlemen. Urutan Presiden Singapura adalah: Yusof bin Ishak,
Benjamin Henry Sheares, C.V. Devan Nair, Wee Kim Wee, Ong Teng Cheong, dan yang
sekarang menjabat adalah S. R. Nathan.

Arena politik dikuasai oleh Partai Aksi Rakyat (PAP) yang telah memerintah sejak
Singapura merdeka. Pemerintah PAP sering dikatakan memperkenalkan undang-undang
yang tidak memberi kesempatan tumbuhnya penumbuhan partai-partai oposisi yang
efektif. Cara pemerintahan PAP dikatakan lebih cenderung kepada otoriter daripada
demokrasi yang sebenarnya. Namun, cara pemerintahan tersebut berhasil menjadikan
Singapura sebuah negara yang maju, bebas daripada korupsi dan memiliki pasar ekonomi
yang terbuka. Para ahli politik menganggap Singapura sebuah negara yang berideologi
‘Demokrasi Sosialis‘.

Meskipun begitu Lee Kwan Yew, pendiri dan perancang sistem politik negara Singapura
juga telahmengembangkan konsep yang menempatkan nilai budaya sebagai elemen
penting dalam sebuah sistem politik. Menurutnya politik berbasis multibudaya tidak akan
pas bagi negara dengan masyarakat yang multirasial seperti Singapura.

Sebagai konsekuensinya, di Singapura ditetapkan sebuah sistem yang oleh dunia Barat
dianggap tidak demokratis. Hal ini menunjukkan bahwa Singapura merupakan
“anauthoritarian Confucian anomaly among the wealthy countries of the world”
(Huntington, 1991: 302).

Hasil pemikiran para pakar umunya menyimpulkan bahwa budaya memberikan pengaruh
tertentu bagaimana demokrasi diadopsi oleh berbagai negara (lihat Alagappa, 1996;
Fukuyama, 1996; Lipset, 1996; Huntington, 1996: Inglehart, 2000). Berkembang
pemikiran nilai budaya sebagai faktor determinan yang menentukan suksesnya ekonomi
negara-negara Asia Timur. Tetapi sejak terjadinya krisis ekonomi, argumentasi mengenai
keunggulan nilai budaya Asia (Asian values) seakan menghilang.

Amartya Sen (2001: 6) mengritik hipotesis Lee Kwan Yew bahwa negara yang
didominasi oleh budaya Confucianism mempunyai peluang pertumbuhan ekonomi yang
lebih cepat,
hanyalah berbasis pada perhitungan empiris yang sporadik dari informasi yang terbatas
dan sangat selektif.

Kenyataan memang menunjukan negara-negara di Asia dalam membangun sistem


demokrasinya lebih banyak mengedepankan gaya demokrasi ala barat seperti Filipina,
Korea,Thailand, Taiwan dan sekarang ini Indonesia. Walaupun demikian nilai budaya
masih dianggap
sebagai variabel penting dalam pelaksanaan demokrasi. Seperti dinyatakan oleh Inglehart
(2000: 96) bahwa dalam jangka panjang, demokrasi tidak hanya didasari pada perubahan
institusi atau perilaku elit politik, melainkan keberlangsungannya akan tergantung pada
nilai dan kepercayaan dari masyarakat awam di wilayahnya.

Dahl (1997: 34) memperkuat gagasan bahwa konsolidasi demokrasi menuntut budaya
demokrasi yang kuat yang memberikan kematangan emosional dan dukungan yang
rasional untuk menerapkan prosedur-prosedur demokrasi. Ia melandaskan penekanannya
pada pentingnya budaya demokrasi pada asumsi bahwa semua sistem politik termasuk
sistem demokrasi, cepat atau lambat akan menghadapi krisis, dan budaya demokrasi yang
tertanam dengan kuatlah yang akan menolong negara-negara demokrasi melewati krisis
tersebut.

Implikasinya proses demokratisasi tanpa budaya demokrasi yang mengakar menjadi


rentan dan bahkan hancur ketika menghadapi krisis seperti kemerosotan ekonomi, konflik
regional atau konflik sosial, atau krisis politik yang disebabkan oleh korupsi atau
kepemimpinan yang terpecah. Sejalan dengan pemikiran Dahl, Huntington (ibid: 258)
memfokuskan pada isu budaya demokrasi dalam hubungan antara kinerja dan efektifitas
pemerintah demokratis baru dan legitimasinya, sebagai bentuk kepercayaan publik dan
elit politik terhadap sistem nilai demokrasi. Budaya demokratis harus berarti
adanya pemahaman bahwa demokrasi bukanlah panacea. Karena itu, konsolidasi
demokrasi terjadi bila masyarakat menyadari bahwa demokrasi merupakan solusi dari
masalah tirani tetapi belum tentu untuk masalah lain (ibid: 263).

Huntington memperingatkan bahwa tahun-tahun pertama berjalannya masa kekuasaan


pemerintahan demokratis yang baru, umumnya akan ditandai dengan bagi-bagi
kekuasaan di antara koalisi yang menghasilkan transisi demokrasi tersebut, penurunan
efektifitas kepemimpinan dalam pemerintahan yang baru sedangkan dalam pelaksanaan
demokrasi itu sendiri belum akan mampu menawarkan solusi mendasar terhadap
berbagai permasalahan sosial dan ekonomi di negara yang bersangkutan. Tantangan bagi
konsolidasi demokrasi adalah bagaimana menyelesaikan masalah-masalah tersebut dan
tidak justru hanyut oleh permasalahan-permasalahan itu.

B. Budaya Politik Di Negara Berkembang (Thailand)

Berbicara mengenai Thailand, masalah kudeta militer dan rezim junta militer sangatlah
kental dalam perpolitikan di Thailand. Tak heran jika proses demokratisasi disana
mengalami hambatan dan tantangan menuju sistem demokrasi yang sesungguhnya.
Tentunya dinamika ini tak lepas juga dari budaya politik masyarakat Thai yang masih
bersandar dan berpegang pada nilai-nilai tradisional, sementara dalam demokrasi
membutuhkan nilai-nilai kontemporer yang mengacu pada budaya Barat. Hal inilah yang
kemudian berimplikasi pada pembentukan state-building dan konstitusi yang mengatur
distribusi kekuasaan politik Thailand dimana selalu diwarnai oleh perebutan dan
persaingan antara elit militer, sipil, dan cendekiawan.

Nilai paternalisme dan patriakal dalam budaya Thai masih melekat erat, dimana mereka
menganggap raja sebagai “father” dalam mengarahkan masyarakat ke arah yang lebih
baik. Selain itu, raja dianggap sebagai perwakilan Wisnu, Siwa, dan Budhisattava yang
merupakan titisan dewa. Sehingga tak heran bila masyarakat Thai lebih mencintai raja
daripada politik. Segala tindak raja merupakan pengejahwantahan dewa yang harus
dipatuhi. Hal ini kemudian bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi yang dilandaskan
pada nilai-nilai liberal. Nilai-nilai tersebut tidak hanya bertentangan tapi nilai tradisional
tersebut teatap dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Thai. Akibatnya,
budaya politik dan derajat partisipasi masyarakat Thailand sangat pasif. Padahal untuk
membangun sistem demokrasi diperlukan budaya dan derajat partisipasi politik yang
signifikan, yaitu sebuah budaya politik partisipan dan subjek (Almond). Implikasinya
adalah, dengan kepasifan politik masyarakat Thailand, maka perebutan kekuasaan antara
militer, sipil, dan cendekiawan selalu terjadi dan ini menjadi salah satu problem lain
dalam demokrasi di Thailand. Elit militer merasa dirinya memiliki kapabilitas dan
kapasitas dalam menjalakan pemerintahan dan negara karena latarbelakang pendidikan
akademi militer dapat membuat mereka berpikir strategis dan taktis yang memang
diperlukan oleh pertahanan dan keamanan negara. Selain itu, secara historis mereka
menganggap dirinya berjasa atas pertahanan dan keamanan Thailand dari kekuatan
eksternal baik pada zaman monarki maupun saat revolusi. Di pihak lain, sipil
menganggap bahwa masalah politik merupakan wilayah sipil yang harus lepas dari
campur tangan militer. Mereka cenderung mendukung profesionalisme militer daripada
fungsi militer di ranah politik. Anggapan mereka bahwa campur tangan militer dapat
menghambat proses politik dan demokrasi. Menurut Sundhaussen (1999) bahwa
kebiasaan militer cenderung anti-demokrasi. Lanjutnya bahwa persepsi tentang lawan dan
bagaimana berurusan dengan mereka sering kali menggiring rezim militer
memperlakukan lawan politik lebih keras dari sepatutnya sehingga merintangi
penyelesaian politik. Sementara, pihak cendekiawan menganggap bahwa dalam
menjalankan pemerintahan dan negara diperlukan sebuah kerangka berpikir dan ilmu
mengenai pemerintahan dan politik dimana hanya kaum cendekiawan itulah yang bisa
melakukan. Dengan pondasi pengetahuan dan ilmu yang yang mereka miliki tersebut
mereka menganggap bisa menjalankan dan selalu menemukan penyelesaian masalah
dalam menghadapi krisis.

Perselisihan dan persaingan politik tersebut pada hakikatnya tak membawa masyarakat
Thailand pada kondisi riot seperti di Filipina ataupun Myanmar. Karena peran Raja tetap
eksis sebagai simbol zaman keemasan Thailand dan sebagai pengayom masyarakat Thai.
Setidaknya pandangan tersebut menjadikan masyarakat Thai sebagai masyarakat yang
“tentram” tanpa ada pertumpahan darah sebagai akibat persaingan kaum elit tersebut.
Secara garis besar, ada beberapa karakteristik budaya politik Thailand, yaitu:

1. Otoritarianisme => budaya politik yang ada di Thailand cenderung mengarah


pada otoritarianisme dimana kepemimpinan dipandang sebagai representasi dari
dewa sehingga pelaksanaan perintah nyaris tanpa celah untuk dikritisi. Terlebih
ini didukung dengan budaya patriakal dan paternalistik yang cenderung
mengagungkan pemimpin sebagai “father” dalam keluarga yang punya wewenang
dan kekuasaan atas keluarganya.
2. Patron Klien => kaum elit lebih mengedepankan kepentingan kelompoknya
sendiri dari pada kepentingan untuk melayani rakyat. Sehingga karakter elit lebih
pada “tuan yang diagungkan” dari pada “servant of people”. Hal ini berdampak
pada hubungan antar elit atas kelompoknya lebih kuat daripada dengan rakyat.
3. Personalisme => hubungan personal lebih penting dalam politik Thailand. Begitu
pula fungsi seorang tokoh akan sangat menentukan garis kebijakan politik karena
orang Thailand yang pragmatis lebih melihat figur tokoh daripda ideologi ataupun
latarbelakang partai.
4. Hirarkis => orang Thailand lebih mementingkan tingkatan status daripada
pencapaian seseorang. Senioritas, strata sosial, kekayaan, menjadi faktor utama
daripada prestasi seseorang. Hal ini kemudian yang mengarahkan masyarakat
Thailand pada masyarakat yang unequal.
5. Tradisionalisme => masyarakat Thailand masih memegang kuat kepercayaan
mistis dan tahayul serta kepercayaan pada nenek moyang. Hal ini membuat
irasionalitas menjadi hal yang umum terjadi dalam menghadapi kehidupan (sifat
konservatif).
6. Pasivitas => sifat tradisional dan percaya pada adanya hirarki serta takdir
membuat masyarakat Thailand menjadi pasif dan tidak memiliki interest terhadap
proses dan partisipasi politik.
7. Cinta Damai => hal ini tak lepas dari pengaruh agama Budha yang dianut orang
Thailand yang mengajarkan ajara-ajaran cinta dan damai. Sehingga mereka lebih
memilih untuk mengalah dalam rangka mencapai kedamaian bersama aripada
konfrontasi yang berdampak pada ketidakdamaian. Sehingga tak heran manakala
terjadi kudeta militer tidak sampai terjadi peristiwa berdarah. Karena selain peran
Raja yang berpengaruh terhadap legitimasi kudeta tersebut, peran agama Budha
yang cinta damai juga tak kalah pengaruhnya terhadap way of life masyarakat
Thai.

Berdasarkan hal tersebut diatas maka dapat dilihat bahwa demokrasi yang ada di
Thailand akan selalu mengalami dan menghadapi two face of dillema dan binarry
opposition, yaitu di satu sisi nilai demokrasi berusaha diterapkan dan dijalankan dengan
sepenuh hati namun disisi lain ada nilai-nilai tradisional yang berberturan dengan paham
demokrasi. Terlebih hal itu diperparah dengan persaingan politik antara kaum elit yang
ada. Jadi, proses transisi menuju Demokrasi yang sesungguhnya sesuai dengan nilai-nilai
liberalisme sangat panjang dan berliku yang musti dihadapi oleh Thailand.

Tentunya untuk menerapkan sebuah rezim demokrasi di Thailand butuh waktu yang
panjang dan proses adaptasi yang memakan biaya-sosial yang tinggi manakala nilai-nilai
liberalisme Barat harus menjadi nilai utama dalam tranformasi sosial menuju demokrasi
sesungguhnya. Hal ini diperlukan karena, demokrasi tidak akan bisa diterapkan tanpa
menerapkan nilai-nilai Barat yang memang merupakan pondasi utama bagi kemajuan
demokrasi suatu negara. Permasalahan yang muncul adalah apakah masyarakat bisa
menerima dengan begitu saja sebuah nilai yang bukan merupakan nilai yang berasal dari
budaya setempat? Tentunya antara ya dan tidak. Ya, jika mereka telah merubah tatanan
nilai dan norma sesuai dengan nilai Barat. Tidak, jika mereka menganggap bahwa nilai
tradisional mereka merupakan nilai yang tidak dapat dihilangkan dan ditinggalkan begitu
saja karena telah mengakar kuat dalam akar budaya dan sistem kepercayaan mereka. Bagi
masyarakat Thai, hal tersebut cenderung pada Tidak, karena nilai-nilai yang mereka
miliki meruupakan nilai warisan nenek moyang dan merupakan hal yang sakral apabila
ditinggalkan. Terlebih, akar budaya agama Budha sangatlah kental dalam membentuk
karakter masyarakat Thai. Tak heran jika budaya politik mereka adalah Parokial,
dicirikan dengan rendahnya pengetahuan dan kesadaran politik, dan Subjek, dicirikan
kepatuhan pada pejabat-pejabat pemerintahan dan hukum yang berlaku.

Oleh karena itu, merujuk pada kaum postmodernis, nilai-nilai demokrasi pada hakikatnya
bisa diterapkan sesuai dengan tata nilai dan budaya yang ada di Thailand sendiri, jadi
Demokrasi ala Thailand. Karena, pembangunan politik dan sosial suatu bangsa bisa jadi
sama, yaitu ingin mencapai masyarakat yang adil, makmur, dan madani, namun wujud
untuk mencapainya berbeda. Sehingga nilai terbaik bagi Thailand sebenarnya bukanlah
nilai Demokrasi sesuai dengan standar Barat tetapi dapat diadaptasi dan dimodifikasi
dengan nilai-nilai dan tradisi Thai yang pada akhirnya akan tercipta rezim demokrasi
sesuai dengan social-character masyarakat Thai. Bila itu tercapai maka tidaklah suatu hal
yang mustahil jika kondisi politik akan stabil tanpa ada persaingan antar elit.

Hal yang perlu dilihat lagi adalah untuk membangun rezim demokrasi ala Thailand
seharusnya ketiga elit yang bertentangan tersebut harus menyadari akan nilai-nilai Thai
sehingga mereka dapat berkumpul bersama dengan raja dan rakyatnya untuk membentuk
semacam konsensus nasional bagi pembanguanan state building yang diinginkan. Tetapi,
apakah itu mungkin? Kita lihat saja bagaimana tekanan dari negara tetangga terhadap
Thailand akan merubah semua itu dan bagaimanan kaum elit tersebut sadar akan posisi
nilai di masyarakat Thai. Sekali lagi kapan?

C. Perbandingan Dengan Budaya Politik Di Indonesia

Budaya yang berasal dari kata ‘buddhayah’ yang berarti akal, atau dapat juga
didefinisikan secara terpisah yaitu dengan dua buah kata ‘budi’ dan ‘daya’ yang apabila
digabungkan menghasilkan sintesa arti mendayakan budi, atau menggunakan akal budi
tersebut. Bila melihat budaya dalam konteks politik hal ini menyangkut dengan sistem
politik yang dianut suatu negara beserta segala unsur (pola bersikap & pola bertingkah
laku) yang terdapat didalamnya.
Sikap & tingkah laku politik seseorang menjadi suatu obyek penanda gejala-gejala politik
yang akan terjadi pada orang tersebut dan orang-orang yang berada di bawah politiknya.
Contohnya ialah jikalau seseorang telah terbiasa dengan sikap dan tingkah laku politik
yang hanya tahu menerima, menurut atau memberi perintah tanpa mempersoalkan atau
memberi kesempatan buat mempertanyakan apa yang terkandung dalan perintah itu.
Dapat diperkirakan orang itu akan merasa aneh, canggung atau frustasi bilamana ia
berada dalam lingkungan masyarakatnya yang kritis, yang sering, kalaulah tidak selalu,
mempertanyakan sesuatu keputusan atau kebijaksanaan politik.
Kebudayaan politik Indonesia pada dasarnya bersumber pada pola sikap dan tingkah laku
politik yang majemuk.
Idealisme diakui memanglah penting. Tetapi bersikap berlebihan atas idealisme itu akan
menciptakan suatu ideologi yang sempit yang biasanya akan menciptakan suatu sikap dan
tingkahlaku politik yang egois dan mau menang sendiri. Demokrasi biasanya mampu
menjadi jalan penengah bagi atas polemik ini.

D. Kesimpulan

Meskipun, Negara Indonesia termasuk Negara baru merdeka atau baru berkembang dari
Negara lainnya, namun Negara Indonesia memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri
terhadap perkembangan dunia Internasional saat itu.

Budaya politik yang diterapkan oleh Negara Indonesia pun tidak mengalami pengaruh
dari intimidasi Negara lain. Itulah dia budaya politik “Demokrasi” yang menjunjung
sikap dan perilaku yang terpuji, baik dari per Individu maupun kolektif.

Kita sebagai warga Negara Indonesia sebaiknya kita berbanga hati karena Negara kita
memiliki budaya politik yang sangat sistematis, dan tersusun rapi dalam pelaksanaan
nya, dan tidak mengalami pengaruh dari luar.

Meskipun, pengaruh dari luar memilki pengaruh yang sangat baik bagi perkembagan
budaya politik kita. Namun, itu akan memudarkan keaslian dari budaya politik Indonesia
yang sesungguhnya. Bhineka tunggal Ika itulah kita “berbeda-beda tetapi satu jua”

Itulah juga yang menjadi inspirasi bagi budaya politik kita.

Layaknya Negara Singapura yang dulunya juga merupakan wilayah jajahan Inggris
sekarang telah menjadi atau termasuk salah satu Negara Maju itu karena mereka juga
memilki kemampuan untuk menerima dan menyeleksi pengaruh dari luar agar dapat
menjadi sebuah kemajuan bagi bangsanya sendiri terutama di bidang pembangunan,
politik, ekonomi, dan lain lain. Malah mereka memiliki budaya politik yang lebih maju.

Saya mengatakan seperti itu, bukan berarti Negara Indonesia juga tidak bisa melakukan
seperti apa yang bisa mereka lakukan. Beberapa factor mempengaruhi kenapa pengaruh
luar itu sangat tidak sesuai bagi perkembangan Negara kita baik di bidang budaya,
politik, patriotisme, dan lainnya.

Namun sepert itulah Indonesia, negara yang mampu, negara yang kuat, dan selalu
berusaha serta tolong menolong.
…………di Indonesia, budaya kepemimpinan serta budaya politik masih
saja
menyisakan sejumlah masalah besar. Kendati bangsa ini sudah lama
mendeklarasikan kemerdekaannya, namun hingga kini upaya pengisian
kemerdekaan
itu melalui pencerminan sikap dan perilaku, khususnya

para pemimpin bangsa ini tetap saja belum mengalami perubahan.


Tradisi
mempertahankan kekuasaan kendati sudah diambang kesalahan tetap saja
dipertahankan. Bahkan yang dicari bukannya solusi, tetapi alasan
pembenaran
agar mereka terhindar dari jerat hukum yang sedang melilitnya.

Berbeda jauh misalnya kalau dibandingkan dengan Jepang. Penulis


melihat
perbandingan yang cukup kontras ini setelah baru-baru ini seorang
pemimpin
Jepang mengundurkan diri karena menganggap telah gagal dalam
menjalankan amanah
tugasnya. Adalah giliran Yukio Hatoyama yang memberi pelajaran itu.
Kegagalannya memenuhi janji kampanye, yakni memindahkan pangkalan
militer AS di
kawasan penduduk padat di kepulauan bagian selatan, Okinawa, ke kawasan
pantai
yang lebih sepi di pulau itu, serta skandal pendanaan politik yang
melibatkan
dirinya bersama Sekjen Partai Demokratik Jepang Ichiro Ozawa, menjadi
alasan
bagi Perdana Menteri (PM) Jepang itu mengundurkan diri.

Hatoyama merupakan PM Jepang keempat yang mengundurkan diri dalam


empat
tahun terakhir. Hatoyama memenangi Pemilu Agustus 2009 berkat janjinya
memindahkan Pangkalan Futenma milik AS di Okinawa atas desakan warga
setempat.
Namun, meski baru 8 bulan memimpin, dia memutuskan mundur karena tak
berhasil
menepati janji. Akhir-akhir ini PM Jepang itu memang terus mendapat
tekanan.

Bahkan berdasarkan jajak pendapat beberapa media setempat, 61


persen dari
responden menolak kabinet Hatoyama. Apa yang dilakukan Hatoyama dan
beberapa
perdana Menteri "Negeri Matahari Terbit" sebelumnya sangat bertolak
belakang
dengan yang diperlihatkan kebanyakan pemimpin di Nusantara. Di
Indonesia,
seorang pemimpin akan berjuang dengan berbagai cara mempertahankan
kedudukannya, meski nyata-nyata gagal memenuhi janji dan tak habis-
habisnya
mendapat penolakan dari masyarakat, serta didemo dan dihujat.
Bahkan pemimpin di negeri ini cenderung menjadikan kekuasaan
turun-temurun, berlanjut ke istri, anak, dan saudara. Tidak salah
apabila ada
pendapat bahwa urat malu para pemimpin di Indonesia sudah putus. Meski
nama
mereka berulang kali disebut-sebut terkait penyelewengan uang negara,
diduga
melakukan hal-hal terkait korupsi, tak satupun di antaranya yang
bersedia
mundur atau hanya sekadar meletakkan jabatan untuk sementara hingga
kasus
mereka terang benderang. Bahkan ketika bukti sudah kuat dan vonis sudah
jatuh,
tak sedikit di antara pemimpin yang jelas-jelas bobrok tetap keukeuh
menyatakan
diri mereka tidak salah.

Pernah Ada

Di Indonesia, budaya semacam itu memang pernah ada. Adalah Bung


Hatta,
wakil presiden pertama RI, yang telah menunjukkan jiwa dan semangat
dari budaya
politik itu. Dia mengundurkan diri sebagai wakil presiden pada 1
Desember 1956.
Pengunduran diri itu setahun sebelumnya sudah diajukan. Hatta tidak
ingin
terhanyut dalam kekuasaan yang mulai tidak dikontrol lagi karena
demokrasi
mulai dibelokkan Soekarno menjadi demokrasi terpimpin. Setelah Hatta
resmi
mundur, dwitunggal Soekarno- Hatta yang telah melekat di hati rakyat
selama
lebih satu dasawarsa sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 retak.

Setelah itu, Soekarno melenggang sendiri sebagai presiden tanpa


didampingi wakilnya hingga akhir kekuasaan dan akhir hidupnya. Dalam
konteks
berbeda, Soeharto juga mengundurkan diri sebagai presiden kedua RI di
masa
jabatan keenam, 21 Mei 1998, setelah aksi mahasiswa besar-besaran dalam
gelombang reformasi yang tidak bisa dihindari. Keputusan Soeharto
sangat
berbeda dengan apa yang diambil Hatta. Soeharto mundur karena tekanan
dan
desakan, sedangkan Hatta karena inisiatif sendiri dan diajukan beberapa
kali.

Dalam banyak aspek, masa pemerintahan Soeharto yang dikenal


sebagai era
Orde Baru justru banyak mematikan budaya politik yang telah ditanam
para
pendiri bangsa. Praktis, masa Orde Baru telah mengubah tradisi dan
budaya
politik Indonesia yang membekas hingga sekarang meskipun reformasi
telah
menjungkirbalikkan sistem dan tatanan politik lama. Tapi, budaya
instan, korup,
dan mengutamakan jabatan dan kepentingan kelompok makin kentara.

Tidak heran apabila dampak dari budaya instan dan korup di


kalangan
pejabat dan penyelenggara negara membuat mereka mempertahankan jabatan
mati-matian.

Meskipun ada indikasi penyalahgunaan kewenangan, atau bahkan


indikasi
melakukan korupsi, mereka tidak mau mundur. Ironisnya, mereka terus
berdalih
dan mencari pengacara hebat untuk membela perbuatan dan mempertahankan
kekuasaan. Mereka pun berdalih mundur bukan budaya Indonesia. Pelajaran
politik
berharga dari Jepang perlu direnungkan para pejabat dan penyelenggara
negara.

Karena itu, seharusnya para pemimpin Indonesia belajar ke Jepang


untuk
membangkitkan kembali "urat malu". Pemimpin bangsa ini seharusnya
terketuk dan
sadar bahwa jabatan adalah amanah yang harus dijalankan, bukannya
dijadikan
untuk aji mumpung, berbuat sesuka hati, apalagi untuk mengumpulkan
kekayaan
pribadi dengan berbagai cara guna dimanfaatkan sampai tujuh keturunan.
Agar
seorang pemimpin benar-benar amanah, maka budaya malu memang harus
selalu
dijaga.

Sebagai sesama bangsa Timur, pemimpin di Indonesia seharusnya


malu atas
apa yang dilakukan pemimpin dari Jepang yang dengan sportif dan dalam
waktu
singkat melepas jabatan karena tak berhasil memenuhi janji. Beberapa
pemimpin
negara Eropa saja-yang menurut anggapan bangsa Timur tak memiliki latar
belakang budaya malu-ada yang berani mundur dari jabatan, tentunya
sudah sangat
keterlaluan apabila pemimpin Indonesia tetap ngotot menguasai jabatan
hanya
karena alasan dipilih rakyat, meski tak mampu berbuat apa-apa. Bukti
banyak
pemimpin di Indonesia tak mampu memenuhi janji mereka sendiri sudah
cukup
banyak.

Tapi nyatanya, kita belum pernah mendengar seorang pemimpin


Indonesia
mundur dengan alasan tak mampu menepati janji. Jika pun ada yang
"cabut", itu
karena alasan lain, termasuk karena dimundurkan atasannya. Pemimpin di
negeri
ini lebih banyak yang berani malu ketimbang yang amanah. Buktinya kasus
korupsi, kolusi, dan nepotisme tetap marak. Sanggupkah bangsa ini
keluar dari
jerat korupsi dan berbagai bentuk penyimpangan lainnya.? Tentu
jawabannya akan
terlihat secara nyata bila negeri ini mampu menjadi pewaris tradisi
politik
Jepang, tradisi mundur bila ternyata gagal mengemban amanah rakyat. ***
Mampukah Indonesia Mengikuti Tradisi Politik
Jepang?
Oleh : Harry Veryanto Sihite

di Indonesia, budaya kepemimpinan serta budaya politik masih saja menyisakan sejumlah
masalah besar. Kendati bangsa ini sudah lama mendeklarasikan kemerdekaannya, namun
hingga kini upaya pengisian kemerdekaan itu melalui pencerminan sikap dan perilaku,
khususnya

para pemimpin bangsa ini tetap saja belum mengalami perubahan. Tradisi
mempertahankan kekuasaan kendati sudah diambang kesalahan tetap saja dipertahankan.
Bahkan yang dicari bukannya solusi, tetapi alasan pembenaran agar mereka terhindar dari
jerat hukum yang sedang melilitnya.

Berbeda jauh misalnya kalau dibandingkan dengan Jepang. Penulis melihat perbandingan
yang cukup kontras ini setelah baru-baru ini seorang pemimpin Jepang mengundurkan diri
karena menganggap telah gagal dalam menjalankan amanah tugasnya. Adalah giliran
Yukio Hatoyama yang memberi pelajaran itu. Kegagalannya memenuhi janji kampanye,
yakni memindahkan pangkalan militer AS di kawasan penduduk padat di kepulauan
bagian selatan, Okinawa, ke kawasan pantai yang lebih sepi di pulau itu, serta skandal
pendanaan politik yang melibatkan dirinya bersama Sekjen Partai Demokratik Jepang
Ichiro Ozawa, menjadi alasan bagi Perdana Menteri (PM) Jepang itu mengundurkan diri.

Hatoyama merupakan PM Jepang keempat yang mengundurkan diri dalam empat tahun
terakhir. Hatoyama memenangi Pemilu Agustus 2009 berkat janjinya memindahkan
Pangkalan Futenma milik AS di Okinawa atas desakan warga setempat. Namun, meski
baru 8 bulan memimpin, dia memutuskan mundur karena tak berhasil menepati janji.
Akhir-akhir ini PM Jepang itu memang terus mendapat tekanan.

Bahkan berdasarkan jajak pendapat beberapa media setempat, 61 persen dari responden
menolak kabinet Hatoyama. Apa yang dilakukan Hatoyama dan beberapa perdana
Menteri "Negeri Matahari Terbit" sebelumnya sangat bertolak belakang dengan yang
diperlihatkan kebanyakan pemimpin di Nusantara. Di Indonesia, seorang pemimpin akan
berjuang dengan berbagai cara mempertahankan kedudukannya, meski nyata-nyata gagal
memenuhi janji dan tak habis-habisnya mendapat penolakan dari masyarakat, serta
didemo dan dihujat.

Bahkan pemimpin di negeri ini cenderung menjadikan kekuasaan turun-temurun,


berlanjut ke istri, anak, dan saudara. Tidak salah apabila ada pendapat bahwa urat malu
para pemimpin di Indonesia sudah putus. Meski nama mereka berulang kali disebut-sebut
terkait penyelewengan uang negara, diduga melakukan hal-hal terkait korupsi, tak satupun
di antaranya yang bersedia mundur atau hanya sekadar meletakkan jabatan untuk
sementara hingga kasus mereka terang benderang. Bahkan ketika bukti sudah kuat dan
vonis sudah jatuh, tak sedikit di antara pemimpin yang jelas-jelas bobrok tetap keukeuh
menyatakan diri mereka tidak salah.
Pernah Ada

Di Indonesia, budaya semacam itu memang pernah ada. Adalah Bung Hatta, wakil
presiden pertama RI, yang telah menunjukkan jiwa dan semangat dari budaya politik itu.
Dia mengundurkan diri sebagai wakil presiden pada 1 Desember 1956. Pengunduran diri
itu setahun sebelumnya sudah diajukan. Hatta tidak ingin terhanyut dalam kekuasaan yang
mulai tidak dikontrol lagi karena demokrasi mulai dibelokkan Soekarno menjadi
demokrasi terpimpin. Setelah Hatta resmi mundur, dwitunggal Soekarno- Hatta yang telah
melekat di hati rakyat selama lebih satu dasawarsa sejak Proklamasi Kemerdekaan 17
Agustus 1945 retak.

Setelah itu, Soekarno melenggang sendiri sebagai presiden tanpa didampingi wakilnya
hingga akhir kekuasaan dan akhir hidupnya. Dalam konteks berbeda, Soeharto juga
mengundurkan diri sebagai presiden kedua RI di masa jabatan keenam, 21 Mei 1998,
setelah aksi mahasiswa besar-besaran dalam gelombang reformasi yang tidak bisa
dihindari. Keputusan Soeharto sangat berbeda dengan apa yang diambil Hatta. Soeharto
mundur karena tekanan dan desakan, sedangkan Hatta karena inisiatif sendiri dan
diajukan beberapa kali.

Dalam banyak aspek, masa pemerintahan Soeharto yang dikenal sebagai era Orde Baru
justru banyak mematikan budaya politik yang telah ditanam para pendiri bangsa. Praktis,
masa Orde Baru telah mengubah tradisi dan budaya politik Indonesia yang membekas
hingga sekarang meskipun reformasi telah menjungkirbalikkan sistem dan tatanan politik
lama. Tapi, budaya instan, korup, dan mengutamakan jabatan dan kepentingan kelompok
makin kentara.

Tidak heran apabila dampak dari budaya instan dan korup di kalangan pejabat dan
penyelenggara negara membuat mereka mempertahankan jabatan mati-matian.

Meskipun ada indikasi penyalahgunaan kewenangan, atau bahkan indikasi melakukan


korupsi, mereka tidak mau mundur. Ironisnya, mereka terus berdalih dan mencari
pengacara hebat untuk membela perbuatan dan mempertahankan kekuasaan. Mereka pun
berdalih mundur bukan budaya Indonesia. Pelajaran politik berharga dari Jepang perlu
direnungkan para pejabat dan penyelenggara negara.

Karena itu, seharusnya para pemimpin Indonesia belajar ke Jepang untuk membangkitkan
kembali "urat malu". Pemimpin bangsa ini seharusnya terketuk dan sadar bahwa jabatan
adalah amanah yang harus dijalankan, bukannya dijadikan untuk aji mumpung, berbuat
sesuka hati, apalagi untuk mengumpulkan kekayaan pribadi dengan berbagai cara guna
dimanfaatkan sampai tujuh keturunan. Agar seorang pemimpin benar-benar amanah,
maka budaya malu memang harus selalu dijaga.

Sebagai sesama bangsa Timur, pemimpin di Indonesia seharusnya malu atas apa yang
dilakukan pemimpin dari Jepang yang dengan sportif dan dalam waktu singkat melepas
jabatan karena tak berhasil memenuhi janji. Beberapa pemimpin negara Eropa saja-yang
menurut anggapan bangsa Timur tak memiliki latar belakang budaya malu-ada yang
berani mundur dari jabatan, tentunya sudah sangat keterlaluan apabila pemimpin
Indonesia tetap ngotot menguasai jabatan hanya karena alasan dipilih rakyat, meski tak
mampu berbuat apa-apa. Bukti banyak pemimpin di Indonesia tak mampu memenuhi janji
mereka sendiri sudah cukup banyak.

Tapi nyatanya, kita belum pernah mendengar seorang pemimpin Indonesia mundur
dengan alasan tak mampu menepati janji. Jika pun ada yang "cabut", itu karena alasan
lain, termasuk karena dimundurkan atasannya. Pemimpin di negeri ini lebih banyak yang
berani malu ketimbang yang amanah. Buktinya kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme tetap
marak. Sanggupkah bangsa ini keluar dari jerat korupsi dan berbagai bentuk
penyimpangan lainnya.? Tentu jawabannya akan terlihat secara nyata bila negeri ini
mampu menjadi pewaris tradisi politik Jepang, tradisi mundur bila ternyata gagal
mengemban amanah rakyat.

You might also like