You are on page 1of 8

Gerakan mahasiswa di Indonesia adalah kegiatan kemahasiswaan yang ada di dalam maupun di luar

perguruan tinggi yang dilakukan untuk meningkatkan kecakapan, intelektualitas dan kemampuan
kepemimpinan para aktivis yang terlibat di dalamnya.
Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, gerakan mahasiswa seringkali menjadi cikal bakal
perjuangan nasional, seperti yang tampak dalam lembaran sejarah bangsa.

Sejarah
[sunting] 1908
Boedi Oetomo, merupakan wadah perjuangan yang pertama kali memiliki struktur pengorganisasian
modern. Didirikan di Jakarta, 20 Mei 1908 oleh pemuda-pelajar-mahasiswa dari lembaga pendidikan
STOVIA, wadah ini merupakan refleksi sikap kritis dan keresahan intelektual terlepas dari
primordialisme Jawa yang ditampilkannya.
Pada konggres yang pertama di Yogyakarta, tanggal 5 Oktober 1908 menetapkan tujuan perkumpulan :
Kemajuan yang selaras buat negeri dan bangsa, terutama dengan memajukan pengajaran, pertanian,
peternakan dan dagang, teknik dan industri, serta kebudayaan.
Dalam 5 tahun permulaan BU sebagai perkumpulan, tempat keinginan-keinginan bergerak maju dapat
dikeluarkan, tempat kebaktian terhadap bangsa dinyatakan, mempunyai kedudukan monopoli dan oleh
karena itu BU maju pesat, tercatat akhir tahun 1909 telah mempunyai 40 cabang dengan lk.10.000
anggota.
Disamping itu, para mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Belanda, salah satunya Mohammad
Hatta yang saat itu sedang belajar di Nederland Handelshogeschool di Rotterdam mendirikan Indische
Vereeninging yang kemudian berubah nama menjadi Indonesische Vereeninging tahun 1922, disesuaikan
dengan perkembangan dari pusat kegiatan diskusi menjadi wadah yang berorientasi politik dengan jelas.
Dan terakhir untuk lebih mempertegas identitas nasionalisme yang diperjuangkan, organisasi ini kembali
berganti nama baru menjadi Perhimpunan Indonesia, tahun 1925.
Berdirinya Indische Vereeninging dan organisasi-organisasi lain,seperti: Indische Partij yang melontarkan
propaganda kemerdekaan Indonesia, Sarekat Islam, dan Muhammadiyah yang beraliran nasionalis
demokratis dengan dasar agama, Indische Sociaal Democratische Vereeninging (ISDV) yang berhaluan
Marxisme, menambah jumlah haluan dan cita-cita terutama ke arah politik. Hal ini di satu sisi membantu
perjuangan rakyat Indonesia, tetapi di sisi lain sangat melemahkan BU karena banyak orang kemudian
memandang BU terlalu lembek oleh karena hanya menuju "kemajuan yang selaras" dan terlalu sempit
keanggotaannya (hanya untuk daerah yang berkebudayaan Jawa) meninggalkan BU. Oleh karena cita-cita
dan pemandangan umum berubah ke arah politik, BU juga akhirnya terpaksa terjun ke lapangan politik.
Kehadiran Boedi Oetomo,Indische Vereeninging, dll pada masa itu merupakan suatu episode sejarah
yang menandai munculnya sebuah angkatan pembaharu dengan kaum terpelajar dan mahasiswa sebagai
aktor terdepannya, yang pertama dalam sejarah Indonesia : generasi 1908, dengan misi utamanya
menumbuhkan kesadaran kebangsaan dan hak-hak kemanusiaan dikalangan rakyat Indonesia untuk
memperoleh kemerdekaan, dan mendorong semangat rakyat melalui penerangan-penerangan pendidikan
yang mereka berikan, untuk berjuang membebaskan diri dari penindasan kolonialisme.
[sunting] 1928
Pada pertengahan 1923, serombongan mahasiswa yang bergabung dalam Indonesische Vereeninging
(nantinya berubah menjadi Perhimpunan Indonesia) kembali ke tanah air. Kecewa dengan perkembangan
kekuatan-kekuatan perjuangan di Indonesia, dan melihat situasi politik yang di hadapi, mereka
membentuk kelompok studi yang dikenal amat berpengaruh, karena keaktifannya dalam diskursus
kebangsaan saat itu. Pertama, adalah Kelompok Studi Indonesia (Indonesische Studie-club) yang
dibentuk di Surabaya pada tanggal 29 Oktober 1924 oleh Soetomo. Kedua, Kelompok Studi Umum
(Algemeene Studie-club) direalisasikan oleh para nasionalis dan mahasiswa Sekolah Tinggi Teknik di
Bandung yang dimotori oleh Soekarno pada tanggal 11 Juli 1925.
Diinspirasi oleh pembentukan Kelompok Studi Surabaya dan Bandung, menyusul kemudian Perhimpunan
Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), prototipe organisasi yang menghimpun seluruh elemen gerakan
mahasiswa yang bersifat kebangsaan tahun 1926, Kelompok Studi St. Bellarmius yang menjadi wadah
mahasiswa Katolik, Cristelijke Studenten Vereninging (CSV) bagi mahasiswa Kristen, dan Studenten
Islam Studie-club (SIS) bagi mahasiswa Islam pada tahun 1930-an.
Dari kebangkitan kaum terpelajar, mahasiswa, intelektual, dan aktivis pemuda itulah, munculnya generasi
baru pemuda Indonesia yang memunculkan Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Sumpah
Pemuda dicetuskan melalui Konggres Pemuda II yang berlangsung di Jakarta pada 26-28 Oktober 1928,
dimotori oleh PPPI.
[sunting] 1945
Dalam perkembangan berikutnya, dari dinamika pergerakan nasional yang ditandai dengan kehadiran
kelompok-kelompok studi, dan akibat pengaruh sikap penguasa Belanda yang menjadi Liberal, muncul
kebutuhan baru untuk menjadi partai politik, terutama dengan tujuan memperoleh basis massa yang luas.
Kelompok Studi Indonesia berubah menjadi Partai Bangsa Indonesia (PBI), sedangkan Kelompok Studi
Umum menjadi Perserikatan Nasional Indonesia (PNI).
Secara umum kondisi pendidikan maupun kehidupan politik pada zaman pemerintahan Jepang jauh lebih
represif dibandingkan dengan kolonial Belanda, antara lain dengan melakukan pelarangan terhadap segala
kegiatan yang berbau politik; dan hal ini ditindak lanjuti dengan membubarkan segala organisasi pelajar
dan mahasiswa, termasuk partai politik, serta insiden kecil di Sekolah Tinggi Kedokteran Jakarta yang
mengakibatkan mahasiswa dipecat dan dipenjarakan.
Praktis, akibat kondisi yang vacuum tersebut, maka mahasiswa kebanyakan akhirnya memilih untuk lebih
mengarahkan kegiatan dengan berkumpul dan berdiskusi, bersama para pemuda lainnya terutama di
asrama-asrama. Tiga asrama yang terkenal dalam sejarah, berperan besar dalam melahirkan sejumlah
tokoh, adalah Asrama Menteng Raya, Asrama Cikini, dan Asrama Kebon Sirih. Tokoh-tokoh inilah yang
nantinya menjadi cikal bakal generasi 1945, yang menentukan kehidupan bangsa.
Salah satu peran angkatan muda 1945 yang bersejarah, dalam kasus gerakan kelompok bawah tanah yang
antara lain dipimpin oleh Chairul Saleh dan Soekarni saat itu, yang terpaksa menculik dan mendesak
Soekarno dan Hatta agar secepatnya memproklamirkan kemerdekaan, peristiwa ini dikenal kemudian
dengan peristiwa Rengasdengklok.
[sunting] 1966
Sejak kemerdekaan, muncul kebutuhan akan aliansi antara kelompok-kelompok mahasiswa, diantaranya
Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI), yang dibentuk melalui Kongres Mahasiswa
yang pertama di Malang tahun 1947.
Selanjutnya, dalam masa Demokrasi Liberal (1950-1959), seiring dengan penerapan sistem kepartaian
yang majemuk saat itu, organisasi mahasiswa ekstra kampus kebanyakan merupakan organisasi dibawah
partai-partai politik. Misalnya, PMKRI Perhimpunan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia dengan
Partai Katholik,Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dekat dengan PNI, Concentrasi Gerakan
Mahasiswa Indonesia (CGMI) dekat dengan PKI, Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia (Gemsos)
dengan PSI, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) berafiliasi dengan Partai NU, Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI) dengan Masyumi, dan lain-lain.
Diantara organisasi mahasiswa pada masa itu, CGMI lebih menonjol setelah PKI tampil sebagai salah
satu partai kuat hasil Pemilu 1955. CGMI secara berani menjalankan politik konfrontasi dengan
organisasi mahasiswa lainnya, bahkan lebih jauh berusaha mempengaruhi PPMI, kenyataan ini
menyebabkan perseteruan sengit antara CGMI dengan HMI dan, terutama dipicu karena banyaknya
jabatan kepengurusan dalam PPMI yang direbut dan diduduki oleh CGMI dan juga GMNI-khususnya
setelah Konggres V tahun 1961.
Mahasiswa membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) tanggal 25 Oktober 1966 yang
merupakan hasil kesepakatan sejumlah organisasi yang berhasil dipertemukan oleh Menteri Perguruan
Tinggi dan Ilmu Pendidikan (PTIP) Mayjen dr. Syarief Thayeb, yakni PMKRI, HMI,PMII,Gerakan
Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Sekretariat Bersama Organisasi-organisasi Lokal (SOMAL),
Mahasiswa Pancasila (Mapancas), dan Ikatan Pers Mahasiswa (IPMI). Tujuan pendiriannya, terutama
agar para aktivis mahasiswa dalam melancarkan perlawanan terhadap PKI menjadi lebih terkoordinasi
dan memiliki kepemimpinan.
Munculnya KAMI diikuti berbagai aksi lainnya, seperti Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI),
Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), dan lain-
lain.
Pada tahun 1965 dan 1966, pemuda dan mahasiswa Indonesia banyak terlibat dalam perjuangan yang ikut
mendirikan Orde Baru. Gerakan ini dikenal dengan istilah Angkatan '66, yang menjadi awal kebangkitan
gerakan mahasiswa secara nasional, sementara sebelumnya gerakan-gerakan mahasiswa masih bersifat
kedaerahan. Tokoh-tokoh mahasiswa saat itu adalah mereka yang kemudian berada pada lingkar
kekuasaan Orde Baru, di antaranya Cosmas Batubara (Eks Ketua Presidium KAMI Pusat), Sofyan
Wanandi, Yusuf Wanandi ketiganya dari PMKRI,Akbar Tanjung dari HMI dll. Angkatan '66 mengangkat
isu Komunis sebagai bahaya laten negara. Gerakan ini berhasil membangun kepercayaan masyarakat
untuk mendukung mahasiswa menentang Komunis yang ditukangi oleh PKI (Partai Komunis Indonesia).
Setelah Orde Lama berakhir, aktivis Angkatan '66 pun mendapat hadiah yaitu dengan banyak yang duduk
di kursi DPR/MPR serta diangkat dalam kabibet pemerintahan Orde Baru. di masa ini ada salah satu
tokoh yang sangat idealis,yang sampai sekarang menjadi panutan bagi mahasiswa-mahasiswa yang idealis
setelah masanya,dia adalah seorang aktivis yang tidak peduli mau dimusuhi atau didekati yang penting
pandangan idealisnya tercurahkan untuk bangsa ini,dia adealah soe hok gie
[sunting] 1974
Realitas berbeda yang dihadapi antara gerakan mahasiswa 1966 dan 1974, adalah bahwa jika generasi
1966 memiliki hubungan yang erat dengan kekuatan militer, untuk generasi 1974 yang dialami adalah
konfrontasi dengan militer.
Sebelum gerakan mahasiswa 1974 meledak, bahkan sebelum menginjak awal 1970-an, sebenarnya para
mahasiswa telah melancarkan berbagai kritik dan koreksi terhadap praktek kekuasaan rezim Orde Baru,
seperti:
 Golput yang menentang pelaksanaan pemilu pertama di masa Orde Baru pada 1972 karena
Golkar dinilai curang.
 Gerakan menentang pembangunan Taman Mini Indonesia Indah pada 1972 yang menggusur
banyak rakyat kecil yang tinggal di lokasi tersebut.
Diawali dengan reaksi terhadap kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), aksi protes lainnya yang
paling mengemuka disuarakan mahasiswa adalah tuntutan pemberantasan korupsi. Lahirlah, selanjutnya
apa yang disebut gerakan "Mahasiswa Menggugat" yang dimotori Arif Budiman yang progaram
utamanya adalah aksi pengecaman terhadap kenaikan BBM, dan korupsi.
Menyusul aksi-aksi lain dalam skala yang lebih luas, pada 1970 pemuda dan mahasiswa kemudian
mengambil inisiatif dengan membentuk Komite Anti Korupsi (KAK) yang diketuai oleh Wilopo.
Terbentuknya KAK ini dapat dilihat merupakan reaksi kekecewaan mahasiswa terhadap tim-tim khusus
yang disponsori pemerintah, mulai dari Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), Task Force UI sampai
Komisi Empat.
Berbagai borok pembangunan dan demoralisasi perilaku kekuasaan rezim Orde Baru terus mencuat.
Menjelang Pemilu 1971, pemerintah Orde Baru telah melakukan berbagai cara dalam bentuk rekayasa
politik, untuk mempertahankan dan memapankan status quo dengan mengkooptasi kekuatan-kekuatan
politik masyarakat antara lain melalui bentuk perundang-undangan. Misalnya, melalui undang-undang
yang mengatur tentang pemilu, partai politik, dan MPR/DPR/DPRD.
Muncul berbagai pernyataan sikap ketidakpercayaan dari kalangan masyarakat maupun mahasiswa
terhadap sembilan partai politik dan Golongan Karya sebagai pembawa aspirasi rakyat. Sebagai bentuk
protes akibat kekecewaan, mereka mendorang munculnya Deklarasi Golongan Putih (Golput) pada
tanggal 28 Mei 1971 yang dimotori oleh Arif Budiman, Adnan Buyung Nasution, Asmara Nababan.
Dalam tahun 1972, mahasiswa juga telah melancarkan berbagai protes terhadap pemborosan anggaran
negara yang digunakan untuk proyek-proyek eksklusif yang dinilai tidak mendesak dalam
pembangunan,misalnya terhadap proyek pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) di saat
Indonesia haus akan bantuan luar negeri.
Protes terus berlanjut. Tahun 1972, dengan isu harga beras naik, berikutnya tahun 1973 selalu diwarnai
dengan isu korupsi sampai dengan meletusnya demonstrasi memprotes PM Jepang Kakuei Tanaka yang
datang ke Indonesia dan peristiwa Malari pada 15 Januari 1974. Gerakan mahasiswa di Jakarta
meneriakan isu "ganyang korupsi" sebagai salah satu tuntutan "Tritura Baru" disamping dua tuntutan
lainnya Bubarkan Asisten Pribadi dan Turunkan Harga; sebuah versi terakhir Tritura yang muncul setelah
versi koran Mahasiswa Indonesia di Bandung sebelumnya. Gerakan ini berbuntut dihapuskannya jabatan
Asisten Pribadi Presiden.
[sunting] 1978
Setelah peristiwa Malari, hingga tahun 1975 dan 1976, berita tentang aksi protes mahasiswa nyaris sepi.
Mahasiswa disibukkan dengan berbagai kegiatan kampus disamping kuliah sebagain kegiatan rutin,
dihiasi dengan aktivitas kerja sosial, Kuliah Kerja Nyata (KKN), Dies Natalis, acara penerimaan
mahasiswa baru, dan wisuda sarjana. Meskipun disana-sini aksi protes kecil tetap ada.
Menjelang dan terutama saat-saat antara sebelum dan setelah Pemilu 1977, barulah muncul kembali
pergolakan mahasiswa yang berskala masif. Berbagai masalah penyimpangan politik diangkat sebagai
isu, misalnya soal pemilu mulai dari pelaksanaan kampanye, sampai penusukan tanda gambar, pola
rekruitmen anggota legislatif, pemilihan gubernur dan bupati di daerah-daerah, strategi dan hakekat
pembangunan, sampai dengan tema-tema kecil lainnya yang bersifat lokal. Gerakan ini juga mengkritik
strategi pembangunan dan kepemimpinan nasional.
Awalnya, pemerintah berusaha untuk melakukan pendekatan terhadap mahasiswa, maka pada tanggal 24
Juli 1977 dibentuklah Tim Dialog Pemerintah yang akan berkampanye di berbagai perguruan tinggi.
Namun demikian, upaya tim ini ditolak oleh mahasiswa. Pada periode ini terjadinya pendudukan militer
atas kampus-kampus karena mahasiswa dianggap telah melakukan pembangkangan politik, penyebab lain
adalah karena gerakan mahasiswa 1978 lebih banyak berkonsentrasi dalam melakukan aksi diwilayah
kampus. Karena gerakan mahasiswa tidak terpancing keluar kampus untuk menghindari peristiwa tahun
1974, maka akhirnya mereka diserbu militer dengan cara yang brutal. Hal ini kemudian diikuti oleh
dihapuskannya Dewan Mahasiswa dan diterapkannya kebijakan NKK/BKK di seluruh Indonesia.
Soeharto terpilih untuk ketiga kalinya dan tuntutan mahasiswa pun tidak membuahkan hasil. Meski
demikian, perjuangan gerakan mahasiswa 1978 telah meletakkan sebuah dasar sejarah, yakni tumbuhnya
keberanian mahasiswa untuk menyatakan sikap terbuka untuk menggugat bahkan menolak kepemimpinan
nasional.
[sunting] Era NKK/BKK
Setelah gerakan mahasiswa 1978, praktis tidak ada gerakan besar yang dilakukan mahasiswa selama
beberapa tahun akibat diberlakukannya konsep Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi
Kemahasiswaan (NKK/BKK) oleh pemerintah secara paksa.
Kebijakan NKK dilaksanakan berdasarkan SK No.0156/U/1978 sesaat setelah Dooed Yusuf dilantik
tahun 1979. Konsep ini mencoba mengarahkan mahasiswa hanya menuju pada jalur kegiatan akademik,
dan menjauhkan dari aktivitas politik karena dinilai secara nyata dapat membahayakan posisi rezim.
Menyusul pemberlakuan konsep NKK, pemerintah dalam hal ini Pangkopkamtib Soedomo melakukan
pembekuan atas lembaga Dewan Mahasiswa, sebagai gantinya pemerintah membentuk struktur
keorganisasian baru yang disebut BKK. Berdasarkan SK menteri P&K No.037/U/1979 kebijakan ini
membahas tentang Bentuk Susunan Lembaga Organisasi Kemahasiswaan di Lingkungan Perguruan
Tinggi, dan dimantapkan dengan penjelasan teknis melalui Instruksi Dirjen Pendidikan Tinggi tahun 1978
tentang pokok-pokok pelaksanaan penataan kembali lembaga kemahasiswaan di Perguruan Tinggi.
Kebijakan BKK itu secara implisif sebenarnya melarang dihidupkannya kembali Dewan Mahasiswa, dan
hanya mengijinkan pembentukan organisasi mahasiswa tingkat fakultas (Senat Mahasiswa Fakultas-SMF)
dan Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas (BPMF). Namun hal yang terpenting dari SK ini terutama
pemberian wewenang kekuasaan kepada rektor dan pembantu rektor untuk menentukan kegiatan
mahasiswa, yang menurutnya sebagai wujud tanggung jawab pembentukan, pengarahan, dan
pengembangan lembaga kemahasiswaan.
Dengan konsep NKK/BKK ini, maka peranan yang dimainkan organisasi intra dan ekstra kampus dalam
melakukan kerjasama dan transaksi komunikasi politik menjadi lumpuh. Ditambah dengan munculnya
UU No.8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan maka politik praktis semakin tidak diminati oleh
mahasiswa, karena sebagian Ormas bahkan menjadi alat pemerintah atau golongan politik tertentu.
Kondisi ini menimbulkan generasi kampus yang apatis, sementara posisi rezim semakin kuat.
Sebagai alternatif terhadap suasana birokratis dan apolitis wadah intra kampus, di awal-awal tahun 80-an
muncul kelompok-kelompok studi yang dianggap mungkin tidak tersentuh kekuasaan refresif penguasa.
Dalam perkembangannya eksistensi kelompok ini mulai digeser oleh kehadiran wadah-wadah Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) yang tumbuh subur pula sebagai alternatif gerakan mahasiswa. Jalur
perjuangan lain ditempuh oleh para aktivis mahasiswa dengan memakai kendaraan lain untuk
menghindari sikap represif pemerintah, yaitu dengan meleburkan diri dan aktif di Organisasi
kemahasiswaan ekstra kampus seperti HMI (himpunan mahasiswa islam), PMII (Pergerakan Mahasiswa
Islam Indonesia), GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa
Katolik Republik Indonesia), GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia) atau yang lebih dikenal
dengan kelompok Cipayung. Mereka juga membentuk kelompok-kelompok diskusi dan pers mahasiswa.
Beberapa kasus lokal yang disuarakan LSM dan komite aksi mahasiswa antara lain: kasus tanah waduk
Kedung Ombo, Kacapiring, korupsi di Bapindo, penghapusan perjudian melalui Porkas/TSSB/SDSB.
[sunting] 1990
Memasuki awal tahun 1990-an, di bawah Mendikbud Fuad Hasan kebijakan NKK/BKK dicabut dan
sebagai gantinya keluar Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan (PUOK). Melalui PUOK ini
ditetapkan bahwa organisasi kemahasiswaan intra kampus yang diakui adalah Senat Mahasiswa
Perguruan Tinggi (SMPT), yang didalamnya terdiri dari Senat Mahasiswa Fakultas (SMF) dan Unit
Kegiatan Mahasiswa (UKM).
Dikalangan mahasiswa secara kelembagaan dan personal terjadi pro kontra, menamggapi SK tersebut.
Oleh mereka yang menerima, diakui konsep ini memiliki sejumlah kelemahan namun dipercaya dapat
menjadi basis konsolidasi kekuatan gerakan mahasiswa. Argumen mahasiswa yang menolak mengatakan,
bahwa konsep SMPT tidak lain hanya semacam hiden agenda untuk menarik mahasiswa ke kampus dan
memotong kemungkinan aliansi mahasiswa dengan kekuatan di luar kampus.
Dalam perkembangan kemudian, banyak timbul kekecewaan di berbagai perguruan tinggi karena
kegagalan konsep ini. Mahasiswa menuntut organisasi kampus yang mandiri, bebas dari pengaruh
korporatisasi negara termasuk birokrasi kampus. Sehingga, tidaklah mengherankan bila akhirnya berdiri
Dewan Mahasiswa di UGM tahun 1994 yang kemudian diikuti oleh berbagai perguruan tinggi di tanah air
sebagai landasan bagi pendirian model organisasi kemahasiswaan alternatif yang independen.
Dengan dihidupkannya model-model kelembagaan yang lebih independen, meski tidak persis serupa
dengan Dewan Mahasiswa yang pernah berjaya sebelumnya upaya perjuangan mahasiswa untuk
membangun kemandirian melalui SMPT, menjadi awal kebangkitan kembali mahasiswa ditahun 1990-an.
Gerakan yang menuntut kebebasan berpendapat dalam bentuk kebebasan akademik dan kebebasan
mimbar akademik di dalam kampus pada 1987 - 1990 sehingga akhirnya demonstrasi bisa dilakukan
mahasiswa di dalam kampus perguruan tinggi. Saat itu demonstrasi di luar kampus termasuk
menyampaikan aspirasi dengan longmarch ke DPR/DPRD tetap terlarang.
[sunting] 1998
Gerakan 1998 menuntut reformasi dan dihapuskannya "KKN" (korupsi, kolusi dan nepotisme) pada
1997-1998, lewat pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa, akhirnya memaksa Presiden
Soeharto melepaskan jabatannya. Berbagai tindakan represif yang menewaskan aktivis mahasiswa
dilakukan pemerintah untuk meredam gerakan ini di antaranya: Peristiwa Cimanggis, Peristiwa Gejayan,
Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi I dan II , Tragedi Lampung. Gerakan ini terus berlanjut hingga
pemilu 1999.
BERBEDA dengan yang lain, mahasiswa merupakan predikat tertinggi bagi orang yang masih mengais
pengetahuan. Mahasiswa mempunyai peran signifikan di tengah masyarakat, bangsa dan negara. Dalam
sejarahnya, pergerakan mahasiswa telah melakukan banyak perubahan dalam berbagai sektor
kehidupan. Yang sangat lekat di benak kita adalah fenomena tumbangnya orde baru di mana pergerakan
mahasiswa memiliki peran strategis dalam prosesnya.

Sampai detik ini gerakan mahasiswa terus berada di depan untuk mengawal perubahan baik dalam
masalah ekonomi, sosial, politik pemerintahan, pendidikan, dan semacamnya. Pergerakan semisal
meneliti, mengkritisi, menuntut, menentang, bahkan menolak kebijakan-kebijakan yang dilihat tidak
sesuai dengan nurani masyarakat atau menyimpang dari undang-undang yang berlaku telah menjadi
ritual wajib bagi mahasiswa.

Jelas, gerakan mahasiswa yang didominasi oleh para pemuda yang memiliki watak orang muda tak lain
adalah menginginkan perubahan. Pada konteks inilah mahasiswa akan terlihat jelas apakah mampu
meraih kesaktian dengan predikat agent of social change and control.

Oleh sebab itu, detik ini adalah waktu yang tepat untuk membangun kembali spirit pergerakan
mahasiswa mengingat problema yang dihadapi masyarakat semakin kompleks. Kebutuhan masyarakat
akan ide-ide segar anak bangsa semakin mendesak. Bukanlah saatnya sebuah pergerakan mahasiswa
bergantung pada momentum atau instansi yang tidak bertanggung jawab, karena ketergantungan
terhadap momentum dan instansi tersebut hanya akan membuat gerakan menjadi statis. Pada
gilirannya akan menghambat tercapainya perjuangan dalam membangun gerbang pencerahan
(enlightment).

Tigadimensi

Kini, mahasiswa dituntut untuk sadar akan tujuan awal dari pada pendidikan yang sedang digeluti.
Pendidikan tak lain bertujuan untuk mensejahterkan dan mengembangkan masyarakat (community
development).

Dalam dunia pendidikan saat ini, ribuan dan bahkan jutaan mahasiswa yang memiliki kecerdasan luar
biasa, memiliki prestasi yang menggunung dan motivasi serta etika yang membanggakan. Mereka adalah
generasi muda yang kreatif, inovatif dan bahkan visioner yang siap menjadi pionir di bidangnya masing-
masing.

Pada pundak mahasiswa nasib rakyat dipertaruhkan. Lantas apa yang harus menjadi ikon utama dari visi
misi eksistensi pergerakan mahasiswa saat ini agar benar-benar mampu merealisasikan harapan dan
mimpi-mimpi rakyat?

Setidaknya, dalam gelora pergerakan mahasiswa harus mencerminkan beberapa bentuk sebagai
penopang pergerakan yang akan dilakoni. Pertama: intelektualitas. Mahasiswa adalah kaum terpelajar
yang dituntut bersikap rasional, arif dan bijak. Tidak anarkis karena bahasa kekerasan tidak pernah
diajarkan dalam lingkungan kaum akademisi. Kekerasan, dalam kamus apapun, tidak akan pernah ditulis
sebagai jalan yang harus ditempuh, kecuali kamus bangsa Barbar yang hobi perang.

Kedua: orientasi dan kultur. Hal ini penting sebagai rujukan untuk mentransendensikan hati nurani
mahasiswa, bagaimana gerakan mahasiswa tidak lagi bersifat ritual temporal melainkan ikut membantu
masyarakat terhadap problem-problem yang mengakar demi menciptakan kehidupan yang lebih baik di
masa depan (future orientation).

Ketiga: program gerakan mahasiswa yang bermakna strategis-taktis. Dalam artian, apa yang menjadi
primary meaning harus benar-benar dimaksimalkan. Jangan sampai gerakan mahasiswa hanya menjadi
suguhan tarian semata, akan tetapi dapat merubah kebijakan-kebijakan yang kurang tepat untuk rakyat.

Harus diingat bahwa dalam rentetan sejarah pergerakan mahasiswa memiliki fokus, karakteristik dan
spiritnya masing-masing. Pergerakan mahasiswa angkatan 66 berusaha untuk membumikan isu
otoritarian state dengan “Ikon Tritura”. Angkatan 74 mengusung isu NKK/BKK dengan “Ikon
Otonomisasi”. Angkatan 78 mengangkat isu perlunya merealisasi demokrasi, transparansi, akuntabilitas,
bahkan pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen dengan “Ikon menolak
Soeharto sebagai calon presiden”. Angkatan 98 mengumbar isu reformasi dengan “Ikon enam visi
reformasi”. Angkatan 2001 dengan isu reformasi jilid 2 berikon “Demokratisasi”.

Ketiga dimensi di atas harus dijadikan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, sehingga pergerakan
mahasiswa dapat menampilkan citra positif dan meyakinkan kepada publik bahwa setiap zaman
melahirkan generasi zamannya dan generasi kini biasa “mengejutkan” generasi sebelumnya. Lawan
mahasiswa hanya satu: ketidakadilan. Kawannya juga satu: kebenaran untuk membela rakyat.

Organisasi Mahasiswa: Pembelajaran dan Pengabdian


i
Menjadi mahasiswa adalah kesempatan. Masuk organisasi adalah pilihan. Ya, dari sekian anak negeri ini
yang lulus dari Sekolah Menengah Atas/Kejuruan (SMA/SMK) hanya sebagian kecil yang meneruskan
pendidikan ke perguruan tinggi. Oleh karena itu, besar harapan masyarakat terhadap kaum muda yang
bergelut dengan dunia intelektual ini.

Fenomena mahalnya biaya pendidikan, menuntut mahasiswa untuk menyelesaikan studi tepat waktu.
Sehingga segala energi dikerahkan untuk mengondol gelar sarjana/diploma sesegera mungkin. Tak ayal
lagi tren study oriented mewabah di kalangan mahasiswa.

Tapi apakah cukup dengan hanya mengandalkan ilmu dari perkuliahan dan indeks prestasi yang tinggi
untuk mengarungi kehidupan pasca wisuda? Ternyata tidak. Dunia kerja yang akan digeluti oleh alumnus
perguruan tinggi tidak bisa diarungi dengan dua modal itu saja. Ada elemen yang lebih penting, yakni
kemampuan soft skill. Kemampuan ini terkait dengan kemampuan berkomunikasi dan bahasa, bekerja
dalam satu team, serta kemampuan memimpin dan dipimpin.

Kapabilitas soft skill ini tidak diajarkan lewat bangku kuliah. Namun, bisa didapatkan melalui organisasi-
organisasi mahasiswa, baik itu Organisasi Intra Kampus seperti Badan Eksekutif Mahasiswa, Unit
Kegiatan Mahasiswa, Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala), dan Koperasi Mahasiswa, maupun Organisasi
Ekstra Kampus semisal Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia
(GMNI), Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Gerakan Mahasiswa Kristen
Indonesia (GMKI), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia,
Front Mahasiswa Nasional, Perhimpunan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), dan lain sebagainya. Lewat
media inilah seorang mahasiswa bisa menempa diri, belajar berkomunitas, dan berinteraksi dengan
banyak pemikiran.

Hal yang ingin penulis tegaskan di sini adalah keberadaan organisasi mahasiswa menjadi penting karena
kemanfaatannya terpulang kepada mahasiswa itu sendiri. Mungkin ada yang takut ketika masuk
organisasi waktunya untuk belajar akan terganggu yang pada akhirnya berpengaruh kepada lamanya
studi. Penulis katakan memang ada sebagian kecil mahasiswa yang lalai kuliah akibat terlalu sibuk
mengurus organisasi. Tapi kenyataan juga membuktikan, betapa banyak penggiat organisasi yang
berhasil lulus tepat waktu, dan dengan indeks prestasi yang sangat memuaskan. Jadi ini hanyalah
masalah manajemen waktu.

Selain berfungsi sebagai pembelajaran diri, organisasi mahasiswa merupakan wahana bagi mahasiswa
berempati dengan situasi yang terjadi di masyarakat. Negara berkembang layaknya Indonesia, banyak
dihadapkan masalah-masalah sosial terutama menyangkut kesenjangan ekonomi, kecurangan,
ketidakadilan, dan ketidakstabilan politik. Organisasi mahasiswa membawa para anggotanya
bersinggungan langsung dengan persoalan-persoalan ini, sekaligus mengugah rasa kritis untuk mencari
solusi atas apa yang terjadi.

Organisasi mahasiswa menjembatani domain menara gading kampus yang elitis dengan ruang
masyarakat. Sehingga, ketika terbiasa menghadapi problem kehidupan, mahasiswa tidak lagi canggung
bergumul dengan ruang baru, baik di masyarakat maupun di dunia kerja selepas lulus dari perguruan
tinggi.

You might also like