You are on page 1of 113

DISAIN PENGUATAN PERAN DAN FUNGSI DPRD

Daftar Isi

Bab I Rasionalisasi thd Rancangan Sistematika Modul


Pendahuluan sebelumnya
1. Pengantar
Bab II a. Substansi setiap bab
Arah Demokrasi Baru, Reformasi b. Alur kerja yang menghubungkan semua
Keterwakilan dan Pengaruhnya komponen di tiap fungsi ( yg ada dalam
terhadap Kapasitas Keparlemenan setiap modul)- gambarkan dalam bagan
utama
Bab III 2. Pengertian dan Prinsip Dasar (Masing-masing
Pemilihan Langsung dan Akuntabilitas fungsi): Rujukan regulasi muncul dalam sub bab
Wakil Rakyat ini. Sajikan juga alat peraga, misal, dalam bentuk
formulir isian dari setiap tema penting beserta
Bab IV cara pengisiannya  Bab ini cenderung
Menjadi Wakil Rakyat dalam Konteks normatif saja: legislasi, penganggaran, dan
Otonomi Daerah pengawasan yang baik sesuai peraturan
perundangan
Bab V a. Konsepsi dasar dari substansi
Menjembatani dan Mengelola b. Jenis dan ruang lingkup substansi
Berbagai Kepentingan Politik Publik c. Ukuran dari derajat substansi
d. Mekanisme bekerjanya substansi
Bab VI e. Faktor-faktor yang mempengaruhi
Memahami Fungsi dan Tugas Wakil bekerjanya substansi
Rakyat 3. Problem dasar implementasi substansi
a. Limitasi regulasi
Bab VII b. Limitasi teknokratis administratif
Membangun Lembaga Perwakilan di c. Limitasi konteks lokal
Daerah yang Berwibawa 4. Insentif dan Strategi
a. Insentif implementasi substansi
Bab VIII b. Strategi implementasi substansi
Membangun Aliansi Strategis dan 5. Lampiran2
Memenangkan Kepentingan Rakyat a. Formulir-formulir isian yang muncul di
bab II
b. Direktori perundang-undangan pada
masing-masing fungsi
Bab I
PENGANTAR

Problematika Struktural: Konstruksi dan Format DPRD 2009


 Posisi DPRD dalam Pemilu Langsung dan Relasinya dengan Partai Politik
 Kendala Struktural Optimalisasi Tugas dan Fungsi DPRD
Problematika Kapasitas Kelembagaan: Organisasi dan Keanggotaan DPRD
 Kapasitas Organisasi DPRD
 Kapasitas Individual Anggota DPRD
Mendesain Penguatan Kapasitas DPRD
 Anggota DPRD: Kombinasi Politisi dan Teknokrat
 Prinsip Dasar Penguatan Kapasitas Organisasi DPRD
 Prinsip Dasar Penguatan Kapasitas Anggota DPRD
Alur Penguatan Fungsi dan Peran DPRD
 Berdasarkan Optimalisasi Fungsi DPRD (Bagan besar)
 Berdasarkan Optimalisasi Alat Kelengkapan
 Berdasarkan Optimalisasi Lembaga Pendukung (Setwan dan Tenaga Ahli)
 Berdasarkan Optimalisasi Kekuatan Masyarakat dan Media
Indikator DPRD yang Berkualitas
Nominal dan substansial
Hubungan Antara DPRD dan Pemerintah Daerah
Bagan hubungan dalam struktur fungsi umum dan sisi teknokratisnya.
Tantangan dan Hambatan dalam Implementasi Desain Penguatan Fungsi dan Peran
DPRD (yang dianjurkan dalam modul ini)
 Tantangan
o Waktu: bekal awal tidak cukup tdk ada kaderisasi di parpol
o Ruang: berhadapan dengan struktur sistemik dan pragmatisme
individual
 Hambatan
o Waktu:
o Ruang:
Insentif dan Strategi Penguatan Fungsi dan Peran
 Insentif agar ini DPRD Membangun Penguatan Fungsi dan Peran
o Kepercayaan Masyarakat dan Pemenuhan Janji: Menyelamatkan masa
depan politik elektoral
o Mempersiapkan Pemilu selanjutnya dan Merintis Karir Politisi ke level
Provinsi dan Pusat
o Insentif ekonomi (reward DPRD ditentukan oleh besaran PAD)
o
 Strategi yang bisa dilakukan
o
o
Lampiran
Pengantar Modul

Program pelatihan DPRD sudah banyak dilakukan, baik yang difasilitasi oleh
kalangan universitas, lembaga pelatihan profesional, lembaga donor, maupun oleh
kalangan organisasi masyarakat sipil. Namun, banyak dari pelatihan tersebut
seringkali tidak disiapkan dengan capaian strategis dan taktis yang terarah untuk
menjawab tantangan kongkrit dari DPRD.
Belum lagi, ada kecenderungan dari lembaga-lembaga penyelenggara
pelatihan tersebut untuk melihat problema DPRD di semua daerah secara seragam
sehingga materi pelatihannya cenderung terlalu umum, abstrak, teoritis, dan tidak
menyentuh secara mendalam masalah-masalah riil yang dihadapi oleh DPRD.
Akibatnya, hasil pelatihan seringkali tidak memiliki dampak perubahan yang jelas,
kecuali sekedar tambahan pengetahuan atau menebalkan kesadaran terhadap peran
DPRD sebagai wakil rakyat. Hasil pelatihan akhirnya akan sangat sulit diukur
keberhasilannya.
Hal tersebut bukan tidak penting, namun harus dipertajam lagi seiring
dengan kebutuhan anggota DPRD yang dituntut bukan hanya memiliki keahlian
sebagai politisi namun juga memiliki kapasitas teknokratis-administratif dalam
urusan pemerintahan daerah. Kapasitas teknokratis-administratif menjadi vital
karena, dalam semua urusannya, DPRD harus berinteraksi dengan pemerintah
daerah (eksekutif) yang logika kerjanya selalu didasarkan pada pranata ini. Tanpa
penguasaan terhadap wilayah ini, niscaya DPRD tidak akan mampu menjalankan
peran dan fungsinya secara optimal. Ini terjadi bukan karena anggota DPRD tidak
memiliki keinginan, namun seringkali karena tidak memiliki keahlian dan alat kerja
yang mencukupi dalam pelaksanaan fungsinya baik sebagai pengarah, mitra, dan
pengawas bagi pemerintah daerah.
Modul pelatihan ini ingin mengubah kecenderungan di atas dan menawarkan
“Pelatihan DPRD berbasis Riset”. Oleh sebab itu, nilai lebih yang dapat ditemukan
dalam modul ini adalah sebagai berikut:
1. Modul ini tidak hanya memberi perspektif perubahan, namun juga
menunjukkan pilihan-pilihan yang realistis dilakukan;
2. Modul ini tidak hanya menunjukkan berbagai peraturan perundang-
undangan terkait pelaksanaan fungsi dan peran DPRD, namun juga
memberikan alat kerja agar DPRD dapat menjalankan fungsi dan perannya
dengan jelas dan tepat;
3. Modul ini tidak hanya menunjukkan masalah, namun juga cara memecahkan
masalah; dan
4. Modul ini tidak hanya memberi panduan agar pelaksanaan fungsi dan peran
anggota DPRD sesuai aturan perundang-undangan, namun juga memberikan
kerangka kerja kritis dan inovatif dalam merancang perubahan.
Singkat kata, program penguatan dan pengembangan kapasitas DPRD hanya
bisa berarti jika didasarkan pada kondisi umum DPRD di Indonesia dan kondisi
khusus masing-masing daerah sekaligus yang dihadapi oleh masing-masing DPRD.
Meski fungsi dan tugasnya sama, tantangan yang dihadapi oleh setiap DPRD sangat
variatif. Konsekuensinya, hasil dari setiap pelatihan DPRD hanya akan optimal jika
didasarkan pada kebutuhan dari masing-masing daerah.
Bab I
Pendahuluan

Kedudukan, tugas, dan fungsi DPRD hasil pemilu legislatif 2009 dalam sistem
pemerintahan daerah tidak berbeda jauh dengan periode sebelumnya. UU Susduk
2009, yaitu No. 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD tidak mengubah format
dasar pengaturan DPRD yang sebelumnya diatur dalam UU No. 23/2003. Terkait
DPRD, perbedaan hanya terjadi pada……. Perubahan ini dilakukan
karena……………………………… . Antisipasi perbedaan mungkin akan dapat dilihat
nantinya dalam berbagai PP turunan UU ini, seperti PP tentang perumusan tata
tertib DPRD, PP tentang protokoler dan keuangan, PP ..............., dst.
Tantangan paling awal bagi kelembagaan DPRD hasil Pemilu 2009 adalah
karena resikonya sebagai lembaga perwakilan yang dipilih secara berkala, yaitu
kenyataan sebagian anggotanya belum memiliki pengalaman menjabat. Mereka ini
tentu membutuhkan adaptasi terlebih dahulu, terlebih bagi politisi yang sedari
karirnya di partai politik tidak memiliki atau tidak diberi bekal pemahaman yang jelas
tentang pelaksanaan tugas dan fungsi DPRD dalam kerja sehari-hari.
Merespon kendala ini, tugas paling awal dari setiap pelatihan DPRD adalah
memastikan bahwa setiap anggota DPRD menguasai dan memahami tugas dasarnya
sebagai wakil rakyat. Ini bisa dicukupi melalui pelatihan terkait penguatan kapasitas
dan peran anggota DPRD dalam menjalankan fungsinya di bidang legislasi, anggaran,
dan pengawasan. Baru setelahnya, pelatihan-pelatihan berbasis keahlian-keahlian
tertentu bisa dilakukan sebagai tambahan soft skill agar dinamika kerja DPRD dapat
berkembang, mampu merumuskan solusi permasalahan, serta kritis dan inovatif.
Kesemuanya ini pada gilirannya harus bisa ditransformasikan secara kelembagaan
sehingga sustainabilitas kualitas DPRD terjaga meskipun terjadi pergantian anggota
DPRD (pergantian antar waktu, pergantian periode).

Problematika Struktural: Konstruksi dan Format DPRD 2009


Ada dua hal penting untuk dicermati dalam melihat konstruksi dan format
DPRD hasil pemilu 2009. Pertama, konstruksi DPRD sebagai lembaga perwakilan
dalam desain sistem pemilu sebagaimana diatur dalam UU No. 10/2008 dan sistem
kepartaian sebagaimana diatur dalam UU No. 2/2008. Kedua, format DPRD
menyangkut kedudukan, tugas, dan fungsi DPRD sebagaimana diatur dalam UU No.
27/2009.

 Posisi DPRD dalam Pemilu Langsung dan Relasinya dengan Partai Politik
Berbeda dengan DPRD 2004, anggota DPRD 2009 dipilih melalui pemilihan
langsung dengan mekanisme suara terbanyak, tanpa harus memperhatikan nomor
urut pencalonan. Konsekuensinya, sebagai wakil rakyat, anggota DPRD 2009 memiliki
tingkat representasi politik yang lebih baik dari sebelumnya. Namun, representasi
politik saja tidaklah cukup. Kualitas anggota DPRD selanjutnya akan dilihat
sejauhmana kemampuannya mempresentasikan diri sebagai wakil rakyat, yaitu
kemampuannya menelurkan berbagai kebijakan yang berpihak pada kepentingan
masyarakat luas.
Dalam konteks ini, DPRD harus berhadapan dengan realitas dalam dirinya,
antara sebagai wakil rakyat dan wakil partai politik, yang tak jarang memiliki
kepentingan yang berbeda. Setelah terpilih, anggota DPRD sebenarnya tidak lagi
semata menjadi wakil dari partai politik tertentu atau terbatas pada konstituennya
saja. DPRD adalah wakil semua masyarakat.
Meski kontrol partai terhadap anggotanya yang ada di DPRD tetap kuat, yakni
melalui fraksi dan pemegang kewenangan untuk mengusulkan penggantian anggota
melalui penggatian antarwaktu (PAW), anggota DPRD tidak perlu khawatir sepanjang
tetap berpegang pada nilai-nilai kebajikan publik. Anggota DPRD justru memiliki
kewajiban agar terus mengawal kepentingan publik melalui fraksinya.
Fraksi adalah alat perpanjangan tangan dari partai politik untuk menjalankan
agenda politiknya melalui DPRD. Dalam konteks ini, anggota DPRD sudah semestinya
menjadi agen perjuangan partai politik. Fraksi berwewenang ………………………………….
Namun demikian, anggota DPRD juga semestinya mampu membangun perimbangan
terhadap kebijakan fraksi jika dinilai memperjuangkan kepentingan yang tidak
selaras dengan kepentingan publik.
Kontrol partai politik terhadap anggotanya juga terbilang kuat melalui
mekanisme PAW (UU No. 27/1999, Pasal 383 ayat 2 huruf e dan h). Kewenangan ini
patut dicermati mengingat selama ini sering menjadi pintu masuk dari partai politik
untuk ‘menertibkan’ wakilnya di DPRD
yang dinilai melenceng dari garis Penggantian Antarwaktu (PAW)
Selain karena melanggar aturan hukum
kebijakan partai. Dalam konteks DPRD pidana dan tata tertib DPRD, Anggota DPRD
2009, ketentuan terkait hal ini masih dapat diusulkan penggantiannya oleh partai
menanti Peraturan Pemerintah yang politik (PAW). Usulan penggantian ini karena
sampai saat ini belum diterbitkan. …………………….. atau karena anggota DPRD
Namun, anggota DPRD tidak perlu diberhentikan dari keanggotaan partai politik.
Jika diberhentikan, anggota DPRD yang
merisaukan kontrol dari partai politik bersangkutan dapat mengajukan keberatan
sepanjang tidak melakukan tindak melalui pengadilan. Usulan PAW baru bisa
pidana, pelanggaran tata tertib, ataupun dilakukan setelah adanya putusan pengadilan
berpindah sebagai anggota partai lain. yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.
Problem hubungan antara partai
politik dan anggotanya di DPRD kiranya justru muncul pada anggota DPRD dari partai
politik yang tidak lolos parliamentary threshold pada pemilu 2009 lalu atau yang
suaranya relatif kecil di daerah yang bersangkutan. Anggota DPRD dihadapkan pada
persoalan dilematis, antara mendekat ke partai politik yang lebih besar (untuk
mempertahankan peluangnya pada pemilu selanjutnya maupun untuk merlanjutkan
karir politiknya ke tingkat provinsi atau pusat) ataukah tetap bertahan di partainya
saat ini. Ini adalah konsekuensi UU Pemilu 2008 yang mempersempit ruang gerak
bagi partai-partai yang tidak mampu mendudukkan wakilnya di DPR Pusat.
Di sini rasionalitas anggota DPRD akan diuji. Namun, yang penting diingat
adalah bahwa sistem pemilu yang dipakai untuk pemilu selanjutnya kiranya mau
tidak mau akan tetap menggunakan pemilihan dengan mekanisme suara terbanyak,
seperti halnya pemilu 2009. Oleh karena itu, faktor fundamental yang menentukan
adalah kualitas personal dari anggota DPRD di hadapan masyarakat atau pemilih.
Konsekuensinya, kedekatan anggota DPRD terhadap aspirasi dan kepentingan
masyarakat justru akan menjadi kunci apakah dirinya akan dipilih atau tidak pada
pemilu selanjutnya.
 Kendala Struktural Optimalisasi Tugas dan Fungsi DPRD
Secara umum, kedudukan, tugas, dan fungsi DPRD sebagaimana diatur dalam
UU No. 27/2009 tidak berbeda jauh dari pengaturan sebelumnya di UU No. 23/2003
terkait pelaksanaan fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Namun, berdasarkan
pengalaman sebelumnya, secara struktural ada beberapa kendala dalam pengaturan
kedudukan, tugas, dan fungsi DPRD sebagai landasan agar DPRD dapat bekerja
secara optimal. Kendala struktural tersebut adalah:
a. terkait fungsi legislasi, kewenangan DPRD seringkali terhambat karena ada
produk-produk kebijakan nasional yang tidak memberikan keleluasaan
kepada daerah. Bahkan, dalam banyak kasus, banyak perda yang kemudian
dibatalkan oleh pemerintah pusat.
b. terkait fungsi anggaran, persetujuan dan pengawasan DPRD terbatas pada
wilayah APBD saja sehingga tidak memiliki ruang terhadap penggunaan
anggaran non-APBD yang bersal dari pemerintah pusat, seperti Dana Alokasi
Khusus dan Dana Darurat. Selain itu, dana insidental lainnya seperti bantuan
masyarakat saat terjadi bencana alam juga tidak diatur sebagai kewenangan
DPRD kecuali sebatas menerima laporannya dari pemerintah daerah.
c. terkait fungsi pengawasan, DPRD tidak mampu mengawasi pelaksanaan
perda secara maksimal karena wewenangnya tidak menjangkau sampai
dengan pembatalan peraturan atau keputusan kepala daerah (hak legislasi di
wilayah eksekutif) bilamana bertentangan dengan perda. Hal lain, terkait
pengawasan pelaksanaan APBD, wewenang DPRD dalam menerima laporan
pertanggungjawaban dari pemerintah daerah juga lebih dibatasi pada
pembacaan angka-angka saja seperti tertuang dalam Laporan Realisasi
Anggaran, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan Atas Laporan Keuangan.
Konsekuensinya, evaluasi DPRD terhadap kinerja pemerintah daerah sulit
menyentuh aspek-aspek pengelolan kebijakan dari pemda (di setiap SKPD) pada
tahap implementasi APBD.
Kendala-kendala tersebut tidak lantas membuat DPRD tidak bisa berfungsi
optimal. Hanya saja, DPRD butuh mencari terobosan untuk menutupi potensi
lubang-lubang kendala struktural ini. Dalam konteks optimalisasi fungsi legislasi,
DPRD dapat mengoptimalkan Badan Legislasi, sebagai alat kelengkapan DPRD 2009,
agar dapat memastikan bahwa setiap produk perda nantinya dapat disetujui
bersama pemerintah daerah dan tidak dibatalkan oleh pemerintah pusat (melalui
Peraturan Presiden). Dalam konteks urusan yang menyangkut hubungan antara
pemerintah pusat dan daerah, DPRD dapat terus-menerus melakukan memelopori
negosiasi kepada pemerintah pusat terkait pembagian urusan yang lebih
memberikan manfaat kepada daerah.
Demikian halnya dengan terobosan di wilayah fungsi anggaran. Meskipun
secara prinsip DAK adalah menjadi kewenangan pemerintah pusat, namun dalam
implementasinya program pembangunan yang didanai oleh DAK ini sebenarnya
sangat berimpit dengan urusan daerah, terlebih untuk mendapatkan DAK juga bisa
diusulkan oleh pemerintah daerah (Pasal 162 UU No. 32/2004 huruf b).
Keberimpitan urusan pusat dan daerah dalam DAK juga ditunjukkan oleh pengaturan
dalam Pasal 41 UU No. 33/2004 yang mensyaratkan adanya Dana Pendamping dari
daerah terhadap DAK minimal sebesar 10 persen dari total proyek (kecuali untuk
daerah dengan kemampuan fiskal yang rendah). Pada kasus ini, DPRD diharapkan
bisa mengadvokasi kewenangannya bukan hanya terbatas pada alokasi dan
pengawasan Dana Pendamping yang telah dimasukkan dalam komponen APBD.
Sedangkan terkait fungsi pengawasan, DPRD dapat mencari terobosan
dengan memperketat koordinasi, pemantauan, dan pengawasan terhadap
pemerintah daerah terkait pembuatan dan implementasi produk legislasi yang
menjadi wilayah eksekutif, yaitu peraturan kepala daerah dan keputusan kepala
daerah (Pasal 42 ayat 1, huruf c). Keterlibatan DPRD sejak lebih awal tentu dapat
mengurangi potensi sengketa materi hukum peraturan kepala daerah atau
keputusan kepala daerah, sehingga tidak perlu berujung pada reaksi penggunaan hak
interpelasi dan hak angket. Selain itu, dalam konteks pengawasan APBD, DPRD dapat
memperkaya evaluasi pertanggungjawaban implementasi APBD yang disampaikan
oleh pemerintah daerah bukan hanya berbasis pada laporan keuangan namun juga
mendasarkan pada capaian keberhasilan yang dirunut dari kinerja masing-masing
SKPD.

Problematika Kapasitas Kelembagaan: Organisasi dan Keanggotaan DPRD


Selain persoalan kondisi struktural yang menjadi batas kerangka kerja DPRD
di atas, persoalan lain yang tak kalah fundamental kapasitas kelembagaan dari DPRD
2009. Kapasitas kelembagan yang dimaksud di sini adalah menyangkut kapasitas
organisasi DPRD - mencakup alat kelengkapan DPRD dan sistem pendukung DPRD-
maupun kapasitas individual dari anggota-anggota DPRD dalam melaksanakan tugas
dan fungsinya.

 Kapasitas Organisasi DPRD


Pengalaman sebelum ini menunjukkan bahwa kapasitas organisasi DPRD
masih belum memadai. Dalam UU Susduk yang lama, yaitu UU No. 23/2003, alat
kelengkapan maupun sistem pendukung yang tersedia pada DPRD sangat terbatas
dan tidak terkonsolidir dalam satu kesatuan holistik pelaksanaan tugas dan fungsi
DPRD. Dalam bidang legislasi dan anggaran, misalnya, alat kelengkapan yang tersedia
hanya berbentuk kepanitiaan saja yang bekerja secara tentatif (ad hoc).
Konsekuensinya, pelaksanaan fungsi legislasi dan anggaran gagal dikonsolidasikan
dalam satu agenda strategis jangka panjang dan berlangsung secara sporadis. Tak
heran, produksi perda yang dihasilkan oleh DPRD relatif sangat sedikit. Belum lagi
berbagai perda yang sudah disahkan tiba-tiba dianulir atau dibatalkan oleh
pemerintah pusat karena dinilau bertentangan atau menghambat implementasi
berbagai produk pwerundang-undangan di tingkat nasional.
UU No. 27/2009 mengintrodusir dua komponen baru yang terdiri dari satu
alat kelengkapan dan satu sistem pendukung bagi DPRD yang tidak ada dalam UU
Susduk DPRD sebelumnya (UU No. 23/2003). Keduanya adalah Badan Legislasi
Daerah dan Kelompok Pakar atau Tim Ahli.

Perbandingan Alat Kelengkapan DPRD dan Unit kerja Lainnya


antara UU No. 23/2003 dan UU No. 27/2009
Pasal 353, UU No. 27/2009
UU No. 23/2003
(DPRD Kab/Kota)
Alat a. Pimpinan;
Kelengkapa b. Badan Musyawarah;
n c. Komisi;
d. Badan Legislasi Daerah;
e. Badan Anggaran;
f. Badan Kehormatan;
g. Alat kelengkapan lain yang
diperlukan dan dibentuk oleh
rapat paripurna.
Sekretariat Membantu dan mendukung
Dewan pelaksanaan tugas dan fungsi
DPRD dalam hal:
-
-
Kelompok Tidak ada Membantu alat kelengkapan
Pakar atau DPRD dalam pelaksanaan fungsi,
Tim Ahli tugas, dan wewenang DPRD
melalui berbagai kajian dan
analisis terhadap berbagai bidang
urusan DPRD

Tugas dari Badan Legislasi Daerah ini sebenarnya tidak disebutkan secara
tegas dalam UU No. 27/2009. Namun, jika mengikuti tugas alat kelengkapan Badan
Legislasi yang ada di DPR, maka Badan Legislasi Daerah dimaksudkan sebagai wadah
khusus dalam kelembagaan DPRD yang berfungsi untuk mengkoordinir,
mengkonsolidasikan, mengusulkan, merancang, dan menyusun legislasi daerah
dalam kerangka yang programatik. Dalam menjalankan tugasnya, Badan Legislasi
Daerah bekerjasama dengan semua komponen lain karena wewenang untuk
mengajukan perda masih tetap bisa datang dari pemerintah daerah, anggota DPRD,
atau alat kelengkapan DPRD lainnya.
Keberadaan Badan Legislasi Daerah dengan demikian sangat strategis dalam
konteks optimalisasi fungsi legislasi dari DPRD. Melalui keberadaannya, legislasi
daerah dapat disusun berdasarkan program legislasi daerah yang direncanakan
dalam kurun waktu lima tahun (satu waktu masa keanggotaan) yang diterjemahkan
ke dalam tahapan per tahun (setiap tahun anggaran) secara tepat. Masalah
rancangan perda yang saling berhimpit antara yang diajukan oleh Pemda dan yang
diajukan oleh inisiatif DPRD dengan demikian akan bisa teratasi sehingga proses
pembuatan perda menjadi lebih terarah dan efektif. Perda yang sudah disahkan juga
bisa diminimalisir potensinya dari pembatalan oleh pemerintah pusat (‘perda
bermasalah’) karena materi perda dapat disusun secara lebih hati-hati agar tidak
bertabrakan dengan berbagai regulasi yang ada di tingkat nasional.
Di sektor Sistem Pendukung, keberadaan Kelompok Pakar atau Tim Ahli tak
kalah strategis untuk memperkuat pelaksanaan tugas dan fungsi DPRD. Berbeda
dengan Sekretariat DPRD yang difokuskan pada dukungan teknis, adminsitratif, dan
pelaksanaan anggaran DPRD, Kelompok Pakar atau Tim Ahli ini dimaksudkan untuk
memberikan dukungan substantif yang membantu alat kelengkapan DPRD dalam
melaksanakan fungsinya. Kelompok pakar atau Tim Ahli ini direkrut berdasarkan
kompetensinya dalam disiplin ilmu tertentu yang dibutuhkan oleh alat kelengkapan
DPRD yang bertugas melakukan berbagai kajian dan analisis pada bidang-bidang
yang menjadi urusan DPRD. Melalui keberadaan Kelompok pakar atau Tim Ahli,
diharapkan DPRD mampu lebih optimal menjalankan fungsinya.
Kebutuhan adanya Kelompok pakar atau Tim Ahli sudah dirasakan selama ini
untuk memperkuat kelembagan DPRD. Ini mengingat keberadaan anggota DPRD
yang berasal dari beragam latar belakang dengan kapasitas dan keahlian yang
berbeda-beda. Bahkan, tak jarang ditemui anggota DPRD yang bahkan tidak memiliki
sedikitpun pengalaman terkait bidang-bidang kerja yang harus ditangani oleh DPRD.
Tak dapat dipungkiri, ini memang konsekuensi logis dari masih lemahnya sistem
rekrutmen politik anggota DPRD yang berpadu dengan belum matangnya rasionalitas
publik pemilih untuk memilih calon anggota DPRD yang berkualitas. Oleh sebab itu,
keberadaan Kelompok Pakar atau Tim Ahli diharapkan mampu menambal kebocoran
sistemik ini.
Hanya saja, keberadaan Kelompok Pakar atau Tim Ahli ini bisa saja menjadi
tidak efektif. Ada beberapa keterbatasan yang sangat mungkin mengganggu upaya
DPRD mengoptimalkan keberadaan mereka ini.
1. Penentuan prioritas kebutuhan
terhadap pekerjaan-pekerjaan Pembentukan Kelompok Pakar/Tim Ahli
1. Tentukan prioritas kebutuhan pekerjaan
DPRD yang membutuhkan yang memutuhkan dukungan Kelompok
dukungan dari Kelompok Pakar Pakar/Tim Ahli untuk masing-masing alat
atau Tim Ahli. kelengkapan;
2. Keterbatasan kemampuan 2. Tentukan ukuran kemampuan keuangan
keuangan daerah yang daerah untuk membiayai Kelompok
Pakar/Tim Ahli;
dialokasikan dalam anggaran 3. Tentukan standar pembiayaan Kelompok
DPRD untuk membiayai Pakar/Tim Ahli;
kebutuhan Kelompok Pakar atau 4. Tentukan mekanisme rekrutmen yang
Tim Ahli. terbuka dan kriteria seleksi yang jelas dari
3. Penentuan mekanisme rekrutmen Kelompok Pakar/Tim Ahli;
5. Tentukan tugas, fungsi, dan deskripsi
dan seleksi Kelompok Pakar atau tugas dari Kelompok Pakar/Tim Ahli;
Tim Ahli. 6. Tentukan target hasil kerja dari Kelompok
4. Penentuan tugas, fungsi, dan Pakar/Tim Ahli;
deskripsi tugas (job description) 7. Pastikan pengaturan hal-hal di atas ada
yang jelas dari Kelompok Pakar dalam Peraturan Tata tertib DPRD
atau Tim Ahli.
5. Penentuan target hasil kerja dari Kelompok Pakar atau Tim Ahli
Selanjutnya, pengaturan terhadap hal-hal di atas sangat penting untuk dilegalisasi
secara formal yang bisa menjadi bagian dalam Peraturan DPRD tentang Tata Tertib
DPRD.

 Kapasitas Individual Anggota DPRD


Sama halnya, kapasitas individual dari anggota DPRD selama ini cukup banyak
yang terbilang belum memenuhi standar keahlian ataupun pengalaman agar dapat
mewakili rakyat sebagai legislator. Profil anggota DPRD periode 2004-2009 ……………
banyak diisi oleh mereka yang …………………………………. Jika dilihat berdasarkan ukuran
tersebut, profik DPRD hasil Pemilu 2009 tampaknya belum berbeda jauh. Dari total
………….. anggota DPRD Kabupaten/Kota yang terpilih, hanya …………. diantaranya
yang memiliki basis pendidikan sarjana ……………………………. Jika dilihat dari komposisi
antara incumbent (sudah/pernah menjabat sebagai anggota DPRD) dan anggota
baru, maka kompoasisinya lebih banyak didominasi oleh…………….
Fakta ini memang tidak serta merta menjadi dasar untuk mengatakan bahwa
kapasitas dari anggota DPRD tidak mumpuni. Ini juga bukan lantas menafikan
kemampuan anggota DPRD untuk bisa beradaptasi. Hanya saja, mengingat
keterbatasan waktu jabatan yang hanya lima tahun, hambatan ini semestinya sudah
harus diminimalisir. Kendala ini sebenarnya sudah harus diantisipasi dengan
mengaktifkan peran partai-partai politik untuk melakukan program-program
kaderisasi yang jelas bagi anggotanya agar siap saji saat mejadi anggota DPRD. Paling
tidak, keahlian dasar sebagai seorang anggota DPRD sudah dimiliki sebelum
menjabat, sehingga program-program peningkatan kapasitas anggota DPRD
selanjutnya dapat lebih difokuskan pada pembelajaran dan penyelesaian berbagai
masalah-masalah kongkrit yang dihadapi oleh DPRD di setiap daerah.
Efektifitas DPRD dalam melaksanakan peran dan fungsi utama mereka
tergantung pada kapasitas para anggotanya dalam membuat kebijakan untuk
menjawab kebutuhan, tantangan, dan memiliki perspektif strategis bagi
pembangunan daerah. Tentu saja, akan ada keterbatasan dari anggota DPRD untuk
mengetahui secara mendetail semua masalah, namun yang tak mungkin ditawar lagi
adalah bahwa anggota DPRD sudah semestinya memliki pemahaman dan
kemampuan untuk meletakkan grand design dalam semua kebijakan daerah. Aspek
detail dari kesemua ini dapat didukung oleh masukan dari pemerintah daerah,
kelompok-kelompok profesional, akademisi, dan masyarakat luas. Dalam organisasi
DPRD sekarang, anggota DPRD dapat memanfaatkan yang optimal dari Kelompok
Pakar atau Tim Ahli dan Sekretariat DPRD yang menjadi bagian dari sistem
pendukung organisasi DPRD.
Hak Anggota DPRD terkait fungsinya adalah hak interpelasi, hak angket,d a
hak menyatakan pendapat ……………(Pasal………. UU No. 27/2009) ………..
Hak Anggota DPRD Kabupaten/Kota (Pasal 350 UU No. 27/2009). Anggota
DPRD kabupaten/kota mempunyai hak:
a. mengajukan rancangan peraturan daerah kabupaten/kota;
b. mengajukan pertanyaan;
c. menyampaikan usul dan pendapat;
d. memilih dan dipilih;
e. membela diri;
f. imunitas;
g. mengikuti orientasi dan pendalaman tugas;
h. protokoler; dan
i. keuangan dan administratif.
Gambarkan bagan yang menghubungkan antar alat kelengkapan DPRD
Kabupaten/Kota (Pasal 353) ini!!!
Komisi
a. Pimpinan;
Komisi DPRD berjumlah 3 (tiga) untuk DPRD yang beranggotakan 20-35 orang dan 4 (empat) komisi untuk
b. Badan Musyawarah;
DPRD yang beranggotakan 36-50 orang.
c. Komisi;
d. Badan Legislasi
Fungsi Pokok Daerah;
e. Badan Anggaran;
Fungsi Pokok di bidang legislasi:
f. Badan- Kehormatan;
Menyiapkan, menyusun, membahas, dan menyempurnakan raperda
Fungsi Pokok di bidang anggaran:
g. Alat kelengkapan lain yang diperlukan dan dibentuk oleh rapat paripurna.
- Pembicaraan pendahuluan mengenai penyusunan RAPBD bersama Pemerintah (KUA)
(2) Dalam
- menjalankan
Membahas dan tugasnya,
mengajukanalat usulkelengkapan
penyempurnaandibantu oleh sekretariat.
RAPBD bersama-sama dengan Pemerintah (KUA)
(3) Ketentuan mengenai
- Membahas tata cara pembentukan,
dan menetapkan alokasi anggaran susunan, serta
untuk fungsi, tugasdan
program, dankegiatan SKPD yang
wewenangmenjadi
alat kelengkapan DPRD
mitra kerja komisi kabupaten/kota diatur dengan peraturan DPRD
(PPAS)
- Membahas
kabupaten/kota laporan
tentang keuangan
tata tertib. pemerintah daerah dan pelaksanaan APBD, termasuk hasil audit
keuangan oleh BPK
- Hasil pembicaraan dan pembahasan di atas disampaikan kepada Badan Anggaran untuk sinkronisasi.
Hasil sinkronisasi ini dapat disempurnakan kembali oleh komisi sebelum kemudian diserahkan
Pimpinan kembali kepada Badan Anggaran sebagai bahan akhir penetapan APBD.
Fungsi Pokok
Fungsi Pokok di bidang pengawasan:
- Koordinasi
- dan sinergi pelaksanaan agenda
dan kegiatan
- dari alat kelengkapan DPRD
- Mewakili DPRD dalam berhubungan dengan
lembaga pihak luar,
(3) Tugas komisi baik
di sesama lembaga
bidang pengawasan adalah:
negaraa.maupun
melakukan lainnya
pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang, termasuk APBN, serta peraturan
pelaksanaannya yang termasuk dalam ruang lingkup tugasnya;
b. membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK yang berkaitan dengan ruang lingkup tugasnya;
Badan Musyawarah
c. melakukan pengawasan terhadap kebijakan Pemerintah; dan
Fungsi Pokok
d. membahas
- menetapkan agenda dan menindaklanjuti
persidangan usulan DPD.
beserta
perkiraan waktu dan memberi masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), dapat
(4) Komisi dalam melaksanakan tugas
untukmengadakan:
penanganan suatu masalah atau
a. rapat kerja dengan Pemerintah yang diwakili oleh menteri/pimpinan lembaga;
raperda
b. konsultasi
- memberikan dengan
pendapat DPD; pimpinan
kepada
DPRDc.dalam
rapat dengar pendapat
menentukan garisdengan pejabat Pemerintah yang mewakili instansinya;
kebijakan
yangd. rapat dengar
menyangkut pendapat umum,
pelaksanaan baik atas permintaan komisi maupun atas permintaan pihak lain;
tugas dan
e. rapatDPRD
wewenang kerja dengan menteri atau rapat dengar pendapat dengan pejabat Pemerintah yang mewakili
instansinya
- meminta dan/atau yang tidak termasuk
memberikan dalam ruang lingkup tugasnya apabila diperlukan; dan/atau
kesempatan
f. kunjungan
kepada kerja. DPRD untuk
alat kelengkapan
(5) Komisi
memberikan menentukan
penjelasan tindak lanjut hasil pelaksanaan tugas komisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
mengenai
ayat (2), tugas
pelaksanaan ayat (3), dan ayat (4).
masing-masing;
(6) Keputusan
- mengusulkan kepada dan/atau kesimpulan hasil rapat kerja komisi atau rapat kerja gabungan komisi bersifat
rapat paripurna
mengikat
mengenai antara
jumlah DPRruang
komisi, dan Pemerintah.
lingkup tugas
(7) dan
komisi, Komisi membuat
mitra laporan kinerja pada akhir masa keanggotaan DPR, baik yang sudah maupun yang
kerja komisi
belum terselesaikan untuk dapat digunakan sebagai bahan oleh komisi pada masa keanggotaan
berikutnya.
(8) Komisi menyusun rancangan anggaran untuk pelaksanaan tugasnya sesuai dengan kebutuhan yang
selanjutnya disampaikan kepada Badan Urusan Rumah Tangga.

Pasal 97
Jumlah, ruang lingkup tugas, dan mitra kerja komisi ditetapkan dengan keputusan DPR.

Pasal 98
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, susunan, tugas, wewenang dan mekanisme
Badan Legislasi
Pasal 100
(1) DPR
Badanmenetapkan
Anggaran susunan dan keanggotaan Badan Legislasi pada
permulaan
Pasal 104 masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang.
(2) Jumlah anggota
BadanBadan
Anggaran Badan
dibentuk
Kehormatan Legislasi
oleh ditetapkan dalam rapat
DPR dan merupakan alatparipurna
menurut perimbangan
kelengkapan
Pasal 124 DPR yang dan bersifat
pemerataan tetap.jumlah anggota tiap-tiap fraksi
padaPasal
permulaan
(1) DPRmasa
105 menetapkan susunan dan keanggotaan Badan Kehormatan
keanggotaan
(1) DPR DPR memperhatikan
dengan dan pada
menetapkan permulaan
susunan dan tahun sidang.
keanggotaan
perimbangan danBadan
pemerataan jumlah anggota
Anggaran menurut perimbangan dan pemerataan
tiap-tiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan jumlahDPR dan permulaan
Pasal 101 tahun
anggota tiap-tiap
sidang. fraksi pada permulaan masa
(1) Pimpinan
keanggotaan Badan
(2) AnggotaDPRLegislasi
dan
Badan merupakan
pada permulaan
Kehormatan satu kesatuan
tahun
berjumlah 11pimpinan
sidang. yang dan
(sebelas) orang
bersifat kolektif
(2) Susunan dan kolegial.
ditetapkankeanggotaan Badan Anggaran
dalam rapat paripurna sebagaimana
pada permulaan masa keanggotan
(2) Pimpinan
dimaksudDPRBadan
pada Legislasi
ayat
dan pada (1) terdiriatas
terdiri
permulaan atas
tahun 1 (satu)
anggota
sidang. orang
dari ketua dan paling
tiap-tiap
banyak 3 (tiga)
komisi yangorang
Pasal dipilihwakil
125 oleh ketua
komisiyangdengan dipilih dari dan oleh anggota
memperhatikan
Badan Legislasi
perimbangan berdasarkan
jumlah
(1) Pimpinan prinsip
anggota
Badan musyawarah
dan usulan
Kehormatan untuksatu
fraksi.
merupakan mufakat dan pimpinan
kesatuan
proporsional
Pasal 106
yang dengan
bersifat memperhatikan
kolektif dan kolegial.keterwakilan perempuan
menurut perimbangan
(1) Pimpinan Badanjumlah
(2) Pimpinan Anggaran
Badan anggota tiap-tiap
merupakan
Kehormatan fraksi.
satu
terdiri kesatuan
atas 1 (satu) orang ketua dan 2
(3) Pemilihan
pimpinan(dua)pimpinan
yang Badan
bersifat
orang wakil Legislasi
kolektif
ketua, dan sebagaimana
yang kolegial.
dipilih dari dan dimaksud pada Badan
oleh anggota
ayat(2)
(2)Pimpinan
dilakukan
Kehormatan dalam
Badan rapat Badan
Anggaran
berdasarkan Legislasi
terdiri
prinsipatas 1yang
(satu)dipimpin
musyawarah orang
untuk oleh
mufakat dan
pimpinan DPR setelahbanyak
ketua proporsional
dan paling dengan 3 (tiga) orang wakilketerwakilan
memperhatikan ketua yang perempuan menurut
penetapan susunan
dipilihperimbangan
dari dan olehdanjumlah
keanggotaan
anggota BadanBadan
anggota Legislasi.
Anggaran
tiap-tiap fraksi.
berdasarkan prinsippimpinan
(3) Pemilihan musyawarah Badan untuk mufakat dan
Kehormatan sebagaimana dimaksud pada
Pasal 102 ayat (2). dilakukan
proporsional .. dalam rapat Badan Kehormatan yang dipimpin oleh
(1) Badan Legislasi bertugas:
- 48 - pimpinan DPR setelah penetapan susunan dan keanggotaan Badan
a. menyusun
proporsional rancangan
denganprogram
Kehormatan. legislasi nasional
mempertimbangkan yang memuat daftar
keterwakilan
urutan danPasal
perempuan prioritas rancangan
menurut
126 undang-undang
perimbangan besertatiaptiap
jumlah anggota alasannya untuk
1 (satu) masa
fraksi. keanggotaan
Ketentuan dan untuk
lebih lanjut mengenaisetiaptata
tahuncaraanggaran
pembentukan di Badan
lingkungan DPR dengan
(3) Pemilihan
Kehormatan pimpinan mempertimbangkan
diaturBadan
dalamAnggaran
peraturan masukan
sebagaimana
DPR tentangdari DPD;
tata tertib.
b. mengoordinasi
dimaksudPasalpada
127penyusunan
ayat (2) dilakukanprogram legislasi
dalam rapatnasional
Badan antara DPR dan
Pemerintah;
Anggaran yang dipimpin oleh pimpinan DPR setelah
(1) Badan Kehormatan bertugas melakukan penyelidikan dan
c. menyiapkan
penetapan rancangan
susunan
verifikasi atas dan undang-undang
keanggotaan
pengaduan terhadap usulanggota
Badan DPR berdasarkan
Anggaran.
karena:
program prioritas yang telah ditetapkan;
a. tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal
d. melakukan 79; pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan
Pasal 107
konsepsi rancangan
(1) Badan Anggaran
b. tidak undang-undang
dapat bertugas:
melaksanakan yang diajukan
tugas secaraanggota, komisi,atau
berkelanjutan
gabungan komisi,
a. membahas
berhalangan atau
bersama DPD
tetap sebelum
Pemerintah rancangan
sebagai anggota undang-undang
yang diwakili oleh 3 (tiga) bulan berturut-
DPR selama
tersebut disampaikan
menteri untuk
turut tanpa kepada pimpinan
menentukan
keterangan pokok-pokok
apa pun; DPR; kebijakan
e. memberikan
fiskal secara
c. tidakpertimbangan
umum terhadap
dan prioritas
menghadiri rapat rancangan
anggaran
paripurna untuk undang-undang
dan/atau yang
rapat alat kelengkapan
diajukan oleh
dijadikan anggota,
DPRacuan bagikomisi,
yang menjadi setiap gabungan komisi, atausebanyak
kementerian/lembaga
tugas dan kewajibannya DPD di luar 6 (enam) kali
prioritas
dalamrancangan
menyusunundang-undang
berturut-turut usulan
tanpa alasantahun
anggaran; yangberjalan
sah; atau di luar
b. menetapkan
d. tidak lagipendapatan
memenuhinegara syaratbersama Pemerintah
sebagai calon anggota DPR sesuai dengan
dengan mengacuperaturan
ketentuan pada usulan komisi terkait;
perundangundangan mengenai pemilihan umum
anggota DPR, DPD, dan DPRD; dan/atau
e. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-
Panitia Khusus
Pasal 136
PanitiaBadan
khususUrusan
dibentuk Rumaholeh Tangga
DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang
Pasal
bersifat 131
sementara.
Badan Akuntabilitas
(1) DPR menetapkan susunan Keuangan Negara BURT pada permulaan
dan keanggotaan
Pasal 137 Pasal 110
(1) DPRmasa keanggotaan
menetapkan
Badan susunan
Badan
DPR dandan keanggotaan
Kerja Sama
Akuntabilitas
permulaan tahun
Keuangan Antar-Parlemen
Negara,
sidang. berdasarkan
panitia
yangkhusus
selanjutnya
(2) Jumlah
perimbangandisingkat anggota
dan pemerataan BURT ditetapkan
jumlah anggota dalam rapat
tiap-tiap paripurna
fraksi. menurut
Pasal
BAKN, 118 dibentukjumlaholeh DPR dan merupakan alat pada
perimbangan
(2) Jumlah anggota dan
panitia pemerataan
khusus anggota tiap-tiap fraksi
kelengkapan(1) DPR DPR yangditetapkan
menetapkan bersifat susunanolehdan
tetap. rapat paripurna paling
keanggotaan BKSAP pada permulaan
banyakpermulaan
30 (tiga masaorang.
puluh)
Pasal 111 masa
keanggotaan
keanggotaan
DPR dan
DPR dan
pada permulaan tahun sidang.
permulaan tahun sidang.
Pasal 132
Pasal 138 (1) DPRBURT(2) Jumlah anggota
menetapkan susunan BKSAPdan ditetapkan
keanggotaan dalam
BAKN rapat
pada paripurna menurut
(1) Pimpinan
(1) Pimpinan panitia khusus merupakan
merupakan satusatukesatuan
kesatuan pimpinan
pimpinan yangyangbersifat
bersifat
permulaan perimbangan dan pemerataan
masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun jumlah anggota tiap-tiap fraksi pada
kolektifkolektif dan kolegial.
dan sidang.
kolegial. permulaan masa keanggotaan DPR dan pada permulaan tahun sidang.
(2) Pimpinan
(2) Pimpinan panitia BURT
khusus terdiri atas 1 (satu) orang ketua yangdandijabat
palingoleh
(2) Pasal
Anggota 119terdiri
BAKN atas
berjumlah 1 paling
(satu) orang
sedikit ketua
7ketua
(tujuh) orang banyak
Ketua DPR
3 (tiga) orangdanwakil dan paling
ketua banyak
yang dipilih 3 (tiga)
dari orang
dan olehwakil
anggota yang
panitia dipilih
khusus dari
(1) Pimpinan
paling banyak BKSAP merupakan
9 (sembilan) orang atas satu kesatuan
usul fraksiuntukpimpinan yang bersifat
dan oleh
berdasarkanDPR anggota
prinsip BURT
musyawarah berdasarkan
untuk mufakat prinsip musyawarah
dan proporsional denganmufakat
yangkolektif dan kolegial.
ditetapkan dalam rapat paripurna pada perempuan
dan proporsional
memperhatikan jumlah dengan
panitia memperhatikan
khusus yang ada keterwakilan
serta keterwakilan
permulaan (2) Pimpinan
masa jumlah BKSAP terdiri
keanggotaan DPR atas
dan 1permulaan
(satu) orang ketua dan paling banyak 3
tahun
menurut
perempuan perimbangan
menurut perimbangan anggota
jumlah tiap-tiap fraksi.fraksi.
sidang. (tiga) orang wakil ketua,anggota tiap-tiap
yang dipilih dari dan oleh anggota BKSAP
(3) Pemilihan
(3) Pemilihan pimpinan pimpinan
panitiaBURTkhusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
Pasal 112berdasarkan prinsipsebagaimana
musyawarahdimaksud untuk mufakat pada ayat
dan (2)
proporsional dengan
dilakukan
dilakukan dalam dalam
rapat rapat
panitia BURT
khusus yang dipimpin
yang dipimpin oleh pimpinan
oleh pimpinan DPR setelah
DPRperimbangan jumlah
(1) memperhatikan
Pimpinan BAKN keterwakilan
merupakan satu perempuan
kesatuan menurut
pimpinan
setelahpenetapan susunan dan keanggotaan BURT.
anggota
yang bersifat tiap-tiap
kolektif danfraksi.
kolegial.
penetapan susunan
(2) danPemilihan
(3)
Pimpinan keanggotaan
BAKN terdiri panitia
pimpinan
atas 1BKSAP khusus.
(satu) sebagaimana
orang ketua dan dimaksud pada ayat (2)
Pasal 133
Pasal 139 1 (satu) dilakukan
orang wakildalam
ketua rapat
yang BKSAP
dipilih yang
dari dipimpin
dan oleh oleh pimpinan DPR setelah
BURTkhusus
(1) Panitia bertugas:bertugas melaksanakan tugas tertentu dalam jangka waktu
anggota penetapan
BAKN susunan dan
berdasarkan prinsipkeanggotaan
musyawarah BKSAP.
untuk
a. menetapkan
tertentu yang ditetapkan kebijakan kerumahtanggaan
olehmemperhatikan
rapat DPR;
paripurna.keterwakilan
mufakat Pasal
dengan 120 perempuan
b. melakukan
(2) Panitia khusus pengawasan
bertanggung terhadap
jawab kepada Sekretariat Jenderal DPR dalam
DPR. tiap-tiap
menurut (1)perimbangan
BKSAP bertugas: jumlah anggota fraksi. dimaksud
pelaksanaan
(3) Panitia khusus kebijakan
dibubarkan kerumahtanggaan
oleh DPR setelah DPR
jangka sebagaimana
(3) a. membina,
Pemilihan pimpinan mengembangkan,
BAKN sebagaimana danwaktu penugasannya
meningkatkan
dimaksud padahubungan
ayat (2) persahabatan
dalam
berakhir huruf
ataudilakukan
karena a, tugasnya
termasuk dinyatakan
pelaksanaan dan pengelolaan anggaran
selesai. DPR;
dandalam
kerjarapat
samaBAKN antarayang DPR dan parlemen
dipimpin oleh negara
pimpinan lain, baik secara bilateral
c. melakukan
(4) Rapat paripurna koordinasi
menetapkan dengan
tindak alat
lanjutkelengkapan
hasil kerja DPD
panitia alat DPR setelah
dankhusus.
penetapan maupun multilateral, termasuk organisasi internasional yang menghimpun
kelengkapan
Pasal 140 MPRsusunan dan
yang berhubungan dengan masalah
parlemen
keanggotaanDPR, BAKN. dan/atau anggota parlemen negara lain;
Panitiakerumahtanggaan
khusus menggunakan
b. menerima
DPD, danuntuk
anggaran MPR yang
kunjungan delegasi
ditugaskan
pelaksanaan
parlemen
oleh pimpinan
tugasnya
negara sesuai
lain yang menjadi tamu
DPR berdasarkan
dengan kebutuhan yang hasil rapat
diajukan Badan
kepada Musyawarah;
pimpinan DPR.
DPR;
Pasal 113 hasil keputusan dan kebijakan BURT kepada setiap
d. menyampaikan
Pasal 141 (1)DPR;
BAKN c. bertugas:
mengoordinasikan kunjungan kerja alat kelengkapan DPR ke luar negeri;
anggota
Ketentuan lebih lanjutdan
danmengenai
a. melakukan penelaahan tata cara pembentukan,
terhadap temuan susunan,
hasil tugas, BPK yang
pemeriksaan
e. menyampaikan
wewenang dan mekanisme laporan
kerja kinerja
panitia dalam
khusus rapat
diaturparipurna
dengan DPR yang DPR
peraturan
disampaikand. memberikan
kepada saran atau usul kepada pimpinan DPR tentang masalah
tentangkhusus diadakan untuk
tatab.tertib. itu. DPR;
kerja samahasil
menyampaikan antarparlemen.
penelaahan sebagaimana dimaksud dalam huruf
a kepada (2)komisi;
BKSAP membuat laporan kinerja pada akhir masa keanggotaan baik
Pasal 134
yang sudah hasil maupun yang belum terselesaikan untuk dapat
hasildigunakan
BURT c. menindaklanjuti
menyusun rancangan anggaran pembahasan untukkomisi terhadap
pelaksanaan temuan
tugasnya
pemeriksaansebagai BPKbahan
atas oleh BKSAP pada
permintaan komisi;masadan keanggotaan berikutnya.
sesuai dengan kebutuhan.
Pasal 121
d. memberikan masukan kepada BPK dalam hal rencana kerja
Pasal 135
pemeriksaanBKSAPtahunan,
menyusun rancangan
hambatan anggaran untuk
pemeriksaan, pelaksanaan
sertasusunan,
penyajian dan tugasnya sesuai
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan,
kualitas dengan
laporan. kebutuhan, yang selanjutnya disampaikan kepada Badan Urusan
tugas, wewenang dan mekanisme kerja BURT diatur dengan peraturan
(2) Dalam Rumah Tangga. tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
DPR tentang tatamelaksanakan
tertib.
Pasal 122
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, susunan, tugas,
UU No. 27/2009,wewenangPasal dan mekanisme
102 kerja BKSAP diatur dengan peraturan DPR
tentang tata
(1) Badan Legislasi bertugas: tertib.
a. menyusun rancangan program legislasi nasional yang memuat daftar urutan
dan prioritas rancangan undang-undang beserta alasannya untuk 1 (satu)
masa keanggotaan dan untuk setiap tahun anggaran di lingkungan DPR
dengan mempertimbangkan masukan dari DPD;
b. mengoordinasi penyusunan program legislasi nasional antara DPR dan
Pemerintah;
c. menyiapkan rancangan undang-undang usul DPR berdasarkan program
prioritas yang telah ditetapkan;
d. melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi
rancangan undang-undang yang diajukan anggota, komisi, gabungan komisi,
atau DPD sebelum rancangan undang-undang tersebut disampaikan kepada
pimpinan DPR;
e. memberikan pertimbangan terhadap rancangan undang-undang yang
diajukan oleh anggota, komisi, gabungan komisi, atau DPD di luar prioritas
rancangan undang-undang tahun berjalan atau di luar rancangan undang-
undang yang terdaftar dalam program legislasi nasional;
f. melakukan pembahasan, pengubahan, dan/atau penyempurnaan rancangan
undang-undang yang secara khusus ditugaskan oleh Badan Musyawarah;
g. mengikuti perkembangan dan melakukan evaluasi terhadap pembahasan
materi muatan rancangan undang-undang melalui koordinasi dengan komisi
dan/atau panitia khusus;
h. memberikan masukan kepada pimpinan DPR atas rancangan undang-undang
usul DPD yang ditugaskan oleh Badan Musyawarah; dan
i. membuat laporan kinerja dan inventarisasi masalah di bidang perundang-
undangan pada akhir masa keanggotaan DPR untuk dapat digunakan oleh
Badan Legislasi pada masa keanggotaan berikutnya.
(2) Badan Legislasi menyusun rancangan anggaran untuk pelaksanaan tugasnya
sesuai dengan kebutuhan yang selanjutnya disampaikan kepada Badan Urusan
Rumah Tangga.

Sistem Pendukung DPRD Kabupaten/Kota


Sekretariat
Pasal 398
(1) Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenang DPRD
kabupaten/kota, dibentuk sekretariat DPRD kabupaten/kota yang susunan
organisasi dan tata kerjanya ditetapkan dengan peraturan daerah
kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Sekretariat DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dipimpin oleh seorang sekretaris DPRD kabupaten/kota yang diangkat dan
diberhentikan dengan keputusan bupati/walikota atas persetujuan pimpinan
DPRD kabupaten/kota.
(3) Sekretaris DPRD kabupaten/kota dan pegawai secretariat DPRD kabupaten/kota
berasal dari pegawai negeri sipil.

Kelompok Pakar atau Tim Ahli


Pasal 399
(1) Dalam rangka melaksanakan tugas dan wewenang DPRD kabupaten/kota,
dibentuk kelompok pakar atau tim ahli.
Yang dimaksud dengan “kelompok pakar atau tim ahli” adalah sekelompok
orang yang mempunyai kemampuan dalam disiplin ilmu tertentu untuk
membantu alat kelengkapan dalam pelaksanaan fungsi serta tugas dan
wewenang DPRD kabupaten/kota.
Kelompok pakar atau tim ahli bertugas mengumpulkan data dan
menganalisis berbagai masalah yang berkaitan dengan fungsi serta tugas
dan wewenang DPRD kabupaten/kota. Penugasan kelompok pakar atau tim
ahli disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan daerah kabupaten/kota
(2) Kelompok pakar atau tim ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan
diberhentikan dengan keputusan sekretaris DPRD kabupaten/kota sesuai dengan
kebutuhan atas usul anggota dan kemampuan daerah.
(3) Kelompok pakar atau tim ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bekerja
sesuai dengan pengelompokan tugas dan wewenang DPRD kabupaten/kota yang
tercermin dalam alat kelengkapan DPRD kabupaten/kota.

Mendesain Penguatan Kapasitas DPRD


 Anggota DPRD: Kombinasi Politisi dan Teknokrat
Selain memiliki keahlian sebagai politisi, setiap anggota DPRD dituntut
memiliki kemampuan sebagai teknokrat. Ini dibutuhkan karena, dalam praktek
pemerintahan, fungsi-fungsi DPRD hanya akan berjalan optimal jika anggotanya
memiliki keahlian menerjemahkan
Pembahasan RAPBD
konsep-konsep strategis, yang muncul Anggota DPRD menilai pemerintah terlalu
sebagai kehendak politik DPRD, ke dalam kecil merencanakan target pendapatan
seperangkat aturan main yang lebih daerah dari sektor pajak. Secara politik, DPRD
praktis, programatik, dan terukur. mendesak pemerintah agar bekerja lebih
Kehendak politik tidak mungkin tercapai keras. Sayangnya, keberatan ini tidak disertai
data yang memadai dan langkah solusinya.
jika tidak mengetahui cara-cara o ”Masak tiap tahun targetnya stagnan”
mencapainya secara teknokratis dan o ”Targetnya selalu lebih rendah daripada
memahami fisibiltas prosedural- realisasi tahun sebelumnya. Ini kan
administratif yang ada. sama saja bohong”
Keahlian teknokratis dan o ”Data yang disajikan dinas pajak kepada
dewan bukanlah keberhasilan faktual”
administratif ini bukan dimaksudkan agar o “Pemerintah menyembunyikan selisih
DPRD mengambil wilayah yang telah penerimaan PAD”
menjadi wewenang pemerintah. Namun, Karena tidak disajikan dengan data
kemampuan ini dapat digunakan dalam memadai, kritik ini dengan mudah ditanggapi
kerangka pengawasan agar DPRD oleh pemerintah.
o “Apa dasar DPRD menilai target
mampu melakukan kontrol yang optimal
pemerintah terlalu rendah?”
terhadap kinerja pemerintah. o “DPRD tidak membuat kajian
Sebagai contoh, adalah penilaian komprehensif terhadap potensi PAD”
DPRD terhadap Rencana Kerja dan o “Pemerintah bersikap jujur dengan
Anggaran SKPD (RKA-SKPD) yang melaporkan semua laporan keuangan
diajukan sebagai dasar perumusan kepada DPRD”
RAPBD. Secara teknokrat-administratif, DPRD dapat melakukan pengecekan melalui
Pedoman Penyusunan RKA-SKPD yang disusun Bupati/Walikota untuk mengetahui
apakah RKA-SKPD yang disusun telah mengikuti ketentuan dalam KUA dan PPAS.
Dalam hal ini, DPRD dapat mengeceknya melalui Kepala Daerah, PPKD, dan Kepala
SKPD.
Dengan mengikuti prinsip anggaran berbasis kinerja, maka penilaian DPRD,
sebagaimana diatur dalam PP No. 58/2005 ayat (35) s/d (40), dapat dilakukan
dengan mengeceknya melalui: 1) hasil evaluasi setiap kepala SKPD terhadap hasil
pelaksanaan program dan kegiatan 2 (dua) tahun anggaran sebelumnya sampai
dengan semester pertama tahun anggaran berjalan; 2) penggunaan pendekatan
kerangka pengeluaran jangka menengah daerah, penganggaran terpadu, dan
penganggaran berdasarkan prestasi kerja dalam penyusunan RKA-SKPD.
Pemahaman terhadap hal di atas sangat diperlukan agar fungsi legislasi,
penganggaran, dan pengawasan dari DPRD dalam konteks RAPBD dapat berjalan
terarah dan menyentuh permasalahan. Lebih dari statemen politis, penilaian DPRD
pada akhirnya diharapkan mampu mendesak dan memberikan solusi agar
pemerintah daerah mampu bekerja lebih optimal.

 Prinsip Dasar Penguatan Kapasitas


- Paham fungsi, tugas, wewenang, kewajiban
- Paham teknokrasi kebijakan
- Sensitif terhadap adminsitasi pemerintahan
- Punya perspektif kuat: advokasi kepentingan masyarakat dan daerah
- Memperkuat jaringan aspirasi dan representasi publik

 Alur Penguatan Fungsi dan Peran DPRD


Setelah menyimak format dan konstruksi DPRD 2009 di atas, maka berbagai
potensi Kendala yang dapat menimbulkan tidak optimalnya pelaksanaan fungsi DPRD
secara umum dapat diidentifikasi, yaitu menyangkut pelaksanaan fungsi legislasi,
anggaran, dan pengawasan.

Jika ketiga fungsi tersebut dikorelasikan dengan tugas dan wewenang DPRD
serta hak DPRD, maka dapat digambarkan sebagai berikut:
Legislasi

AAGN – LGSP
ARAH DAN AGENDA REFORMASI DPRD: Memperkuat Kedudukan dan Kewenangan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Tugas dan Wewenang
Dalam dua forum tersebut, ada beberapa isu-isu kritis yang perluTugas dan Wewenang
dicermati:
Pengawasan Pelaksanaan APBD Penyusunan dan Pembahasan Perda
pertama, isu kedudukan DPRD dalam sistem desentralisasi danPembahasan
demokrasi.dan persetujuan
Kesesuaian RAPBD dengan KUA
danKedua,
PPAS isu ruang lingkup kewenangan, tugas pokok dan fungsi serta
Representasi RAPBD:hak-hak
KUA danDPRD.
PPAS
Ketiga, isu kapasitas
Laporan pelaksanaan APBD dan performance DPRD dalam menjalankan kewenangan
Pembahasan dan dan
persetujuan APBD
fungsinya
Semester I itu. Ketiga isu di atasTugas,
sangat berkaitandan Perubahan (Semester I)
dan disebutkan sebagai sumber dari
Wewenang,
Laporan pelaksanaan APBD:
problematika yang dihadapi DPRD Memberi pendapat, pertimbangan
saat ini (PLOD: 2006, KPB: 2006).
Kewajiban
Laporan Keuangan Pemerintah dan persetujuan kepada pemerintah
Mengusulkan pengangkatan
Daerah daerah terhadap rencana perjanjian
UU No. pelaksanaan
32 /2004 Perda dan/atau pemberhentian
UU No. kepala
27/2009 internasional
Pengawasan
Paragraf Ketiga daerah Tugas dan Wewenang DPRDpersetujuan terhadap
Memberi
Memilih wakil kepala daerah jika
Tugas dan Wewenang
Advokasi Kewenangan Kabupaten/Kota: Pasal 344kerja sama dengan daerah
rencana
terjadi kekosongan jabatan
Koordinasi dan persetujuan Tugas dan wewenang
Menyerap dan menghimpun DPRD
lain atau Provinsi
pihak ketiga yang
Pasal
legislasi 42
eksekutif (Peraturan dan Pasal 293 membebani masyarakat dan daerah
aspirasi konstituen
Keputusan Kepala Daerah) mengupayakan terlaksananya
menampung dan menindaklanjuti
Evaluasi
(1) pelaksanaan
DPRD mempunyaiprogramtugas danaspirasi
wewenang: kewajiban daerah sesuai ketentuan
Pasal 344
dan pengaduan
kerjaa.pemerintah dengan melihat peraturan perundang-undangan
membentuk Perda yang dibahas dengan
masyarakat (1) DPRD kabupaten/kota mempunyai tugas
pencapaian substanstif kinerja
kepala daerah untuk mendapat mempertanggungjawabkan
persetujuan dan wewenang:
SKPD (tidak terbatas menerima secara moral dana. politis kepada peraturan daerah
bersama;
laporan keterangan membentuk
b. membahas dan konstituen di daerah
menyetujui rancangan
pertanggungjawaban kepala kabupaten/kota bersama bupati/walikota;
pemilihannya
Perda tentang APBD bersama dengan
daerah) b. membahas dan memberikan persetujuan
Advokasi Kewenangan
kepala daerah; Advokasi Kewenangan
rancangan peraturan daerah mengenai
Evaluasi substantif RKA-SKPD
c. melaksanakan pengawasan terhadap Membangun beragamanggaranmedia
pendapatan dan belanja daerah urusan
Advokasi dalam pembagian
pelaksanaan Perda dan peraturan komunikasi dan penjaringan
kabupaten/kota yang diajukan oleh
pemerintah pusat dan pemerintah
aspirasi
perundang-undangan lainnya, peraturan bupati/walikota; daerah
kepala daerah, APBD, kebijakan Memaksimalkan
pemerintah rapat-rapat
c. melaksanakan pengawasan terhadap
DPRD berlaku terbuka
daerah dalam melaksanakan program pelaksanaan peraturan daerah dan anggaran
Menyusun indikator keberhasilan
pembangunan daerah, dan kerjatugas samaDPRD pendapatan dan belanja daerah
internasional di daerah; kabupaten/kota;
d. mengusulkan pengangkatan
Tugas dan Wewenangdan d. mengusulkan pengangkatan dan/atau
Pengawasan
pemberhentian kepala daerah/wakil
Pengawasan Pelaksanaankepala
APBD pemberhentian bupati/walikota dan/atau Anggaran
daerah kepadaKesesuaian
Presiden melalui Menteri
RAPBD dengan KUA dan PPAS
wakil bupati/wakil walikota kepada Menteri
Laporan
Dalam Negeri bagi pelaksanaan
DPRD APBD SemesterDalam
provinsi dan I Negeri melalui gubernur untuk
Laporan pelaksanaan APBD:
kepada Menteri Dalam Negeri melalui Laporan Keuangan
mendapatkanPemerintah Daerahpengangkatan
pengesahan
Gubernur bagiAdvokasi
DPRD kabupaten/kota;
Kewenangan dan/atau pemberhentian;
e. memilih wakil kepala daerah dalam hal
Pengawasan Pelaksanaan dana yang e. memilih
dikelola wakil bupati/wakil
pemerintah non-APBD walikota dalam
terjadi kekosongan jabatan wakil kepala hal terjadi kekosongan jabatan wakil
daerah. bupati/wakil walikota;
f. memberikan pendapat dan pertimbangan f. memberikan pendapat dan pertimbangan
kepada pemerintah daerah terhadap kepada pemerintah daerah kabupaten/kota
rencana perjanjian internasional di daerah; terhadap rencana perjanjian internasional di
g. memberikan persetujuan terhadap daerah;
rencana kerja sama internasional yang g. memberikan persetujuan terhadap
dilakukan oleh rencana kerja sama internasional yang
pemerintah daerah; dilakukan oleh pemerintah daerah
h. meminta laporan keterangan kabupaten/kota;
pertanggungjawaban kepala daerah dalam h. meminta laporan keterangan
penyelenggaraan pertanggungjawaban bupati/walikota dalam
pemerintahan daerah; penyelenggaraan pemerintahan daerah
i. membentuk panitia pengawas pemilihan kabupaten/kota;
kepala daerah; i. memberikan persetujuan terhadap
j. melakukan pengawasan dan meminta rencana kerja sama dengan daerah lain atau
laporan KPUD dalam penyelenggaraan dengan pihak ketiga yang membebani
pemilihan kepala daerah. masyarakat dan daerah;
k. memberikan persetujuan terhadap j. mengupayakan terlaksananya kewajiban
rencana kerja sama antardaerah dan dengan daerah sesuai dengan ketentuan peraturan
pihak ketiga yang membebani masyarakat perundangundangan; dan
dan daerah. k. melaksanakan tugas dan wewenang lain
yang diatur dalam ketentuan peraturan
(2) Selain tugas dan wewenang perundang-undangan.
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPRD
melaksanakan tugas (2) Ketentuan mengenai tata cara
dan wewenang lain yang diatur dalam pelaksanaan tugas dan wewenang
peraturan perundang-undangan. sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan peraturan DPRD kabupaten/kota
tentang tata tertib.

UU No. 27/2009
Hak DPRD Kabupaten/Kota
Pasal 349
(1) DPRD kabupaten/kota mempunyai hak:
a. interpelasi;
b. angket; dan
c. menyatakan pendapat.
(2) Hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah hak DPRD
kabupaten/kota untuk meminta keterangan kepada bupati/walikota mengenai
kebijakan pemerintah kabupaten/kota yang penting dan strategis serta
berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
(3) Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPRD
kabupaten/kota untuk melakukan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah
kabupaten/kota yang penting dan strategis serta berdampak luas pada
kehidupan masyarakat, daerah, dan negara yang diduga bertentangan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c adalah
hak DPRD kabupaten/kota untuk menyatakan pendapat terhadap kebijakan
bupati/walikota atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di daerah
disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya atau sebagai tindak lanjut
pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket.

Hak dan Kewajiban Anggota


Paragraf 1
Hak Anggota
Pasal 350
Anggota DPRD kabupaten/kota mempunyai hak:
a. mengajukan rancangan peraturan daerah kabupaten/kota;
b. mengajukan pertanyaan;
c. menyampaikan usul dan pendapat;
d. memilih dan dipilih;
e. membela diri;
f. imunitas;
g. mengikuti orientasi dan pendalaman tugas;
h. protokoler; dan
i. keuangan dan administratif.

Terkait Fungsi Perwakilan – UU No. 27/2009


Kewajiban Anggota
Pasal 351
Anggota DPRD kabupaten/kota mempunyai kewajiban:
a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila;
b. melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dan menaati peraturan perundangundangan;
c. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
d. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok,
dan golongan;
e. memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat;
f. menaati prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah;
g. menaati tata tertib dan kode etik;
h. menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga lain dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota;
i. menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen melalui kunjungan kerja
secara berkala;
j. menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat; dan
k. memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada
konstituen di daerah pemilihannya.

Indikator DPRD yang Berkualitas

Nominal: Legislasi: - Jumlah perda yang dihasilkan (komposisi inisiatif dan


yang diajukan eksekutif)
- Jumlah perda yang tidak dianulir oleh pemerintah
pusat
-
Anggaran - Jumlah anggota DPRD yang tidak terjerat korupsi,
tindak pidana, dll
- Peningkatan PAD, sumber PAD baru
- Efisiensi APBD
Pengawasan - Jumlah sanksi yang dikeluarkan Badan kehormatan
- Penggunaan hak angket, interpelasi, menyatakan
pendapat
- Jumlah RDP

Representasi -
Substansia Legislasi: -
l
Anggaran -
Pengawasan -
Representasi -

Hubungan Antara DPRD dan Pemerintah Daerah


Ada ……tiga…… cara pandang yang umum berkembang saat ini untuk melihat
hubungan antara DPRD dan pemerintah daerah.
Cara padang yang bisa dikembangkan dan disarankan oleh modul ini adalah
…………………….

Basis Perbedaan Sumberdaya antara DPRD dan Pemda


DPRD Birokrasi/Pemda
Basis DPRD adalah representasi dan Memiliki keahlian, pengalaman,
Kekuasaan wadah aspirasi rakyat informasi, profesional, dan lain-
lain
Tugas/fungsi Membawa aspirasi publik dan Menjalankan/melaksanakan
membuat keputusan politik keputusan dan memberikan
pelayanan publik
Pendekatan ‘Politik’ dan Populis Administratif-Birokratik-
Teknokratik
Pola Dipilih melalui Pemilu Diseleksi/diangkat lewat sistem
Rekrutmen karir
Sumber: Diadaptasi dari Etzioni-Halevy (1983)

________________________________________

Apa yang perlu diperhatikan dalam penyusunan program peningkatan kapasitas


DPRD?

Pada umumnya lembaga-lembaga pengembang program tidak lebih dulu


melakukan assessment yang memadai terhadap kapasitas DPRD untuk mengetahui
status awal, gambaran, dan dasar bagi penyusunan program pemberdayaan DPRD
secara mapan. Dalam berbagai program dan proyek yang dikembangkan, DPRD
hampir selalu dijadikan ”obyek” atau bahkan dapat dikatakan ’diproyekkan’.
Kapasitas dan kapabilitas anggota-anggota DPRD untuk melaksanakan fungsi dan
tugasnya belum menjadi dasar dalam evaluasi kelembagaan dan pengembangan
program. Lembaga-lembaga ’pemberdaya’ DPRD merasa mempunyai kemampuan
dan kompetensi yang lebih tinggi untuk memberdayakan DPRD.
Seringkali didapatkan, bahwa kegiatan-kegiatan pemberdayaan DPRD
dirumuskan sendiri oleh para pelaksana proyek dan tidak mendasarkan pada
kebutuhan riil DPRD. Dengan kata lain, berbagai assessment terhadap DPRD
dilakukan berdasarkan percieved needs dan bukan real needs dari lembaga-lembaga
pelaksana program. Walaupun banyak studi terhadap DPRD dilaksanakan sejak
setelah UU No. 22/1999 tentang Otonomi Daerah dikeluarkan maupun setelah
direvisi menjadi UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, fungsi dan tugas
pokok DPRD tidak belum dijadikan dasar dalam penentuan variabel dan indikator
studi. Hal ini terjadi karena beberapa alasan.
Pertama, karena DPRD lebih banyak dipandang sebagai pelaku politik dan
merupakan wadah dimana para wakil partai politik bertemu untuk memperjuangkan
kepentingan-kepentingan masing-masing. Akibatnya, banyak studi dan kajian
memberikan penekanan berlebihan pada aspek politis dari lembaga perwakilan ini.
Pendekatan politis memberikan penekanan pada interaksi kekuasaan antara DPRD
dengan dan pelaku politik lain seperti misalnya pemda, partai politik pada tingkat
lokal, organisasi massa (ormas) dan keagamaan (ormas), dan sebagainya.
Kemampuan DPRD dalam melakukan check and balance terhadap pemda, misalnya,
sangat dipentingkan.
Kedua, Kkarena melihat DPRD mempunyai posisi politik lebih kuat
dibandingkan dengan pemerintah, maka pada alasan yang kedua, beberapa studi
telah memberikan penekanan kepada aspek kelembagaan, yang menyoroti sejauh
mana kemampuan kelembagaan dari DPRD memberikan daya dukung dalam
melakukan check and balance.
Ketiga, berbagai studi kemudian dilakukan dalam rangka peningkatan
kapasitas lembaga-lembaga pemerintahan di daerah dalam rangka desentralisasi
dengan mengutamakan aspek teknis yang terdiri dari mkemampuan organisasional
dan manajerial. Studi tertentu lain, misalnya, dalam banyak aspek memberikan
penekanan penting pada kemampuan organisasional dan manajerial DPRD dan
sekretariatnya.
Pola yang keempat adalah pendekatan programatis, yang banyak dilakukan
oleh berbagai lembaga internasional yang bergerak dalam bidang politik
pemerintahan. Walaupun di negara asalnya lembaga-lembaga tersebut banyak
melakukan kajian yang mendalam dan menyeluruh namun lembaga-lembaga itu
tidak melakukan kegiatan studi dengan pendekatan yang sama di Indonesia.
Berbagai kegiatan evaluasi atau assessment keparlemenan telah dilakukan
dalam rangka pelaksanaan suatu program khusus pemberdayaan keparlemenan di
daerah. Misalnya, ketika lembaga tertentu akan membuat proyek pelatihan
legislative drafting, maka studi terbatas dilaksanakan dalam hal legislative capacity
building. Studi semacam ini dilaksanakan semata-mata untuk memberikan justifikasi
terhadap program.
Aspek yang belum diperhatikan adalah aspek-aspek struktural-fungsional
dalam pengembangan kapasitas DPRD. Berbagai program peningkatan kapasitas, kaji
tindak dan studi khusus yang berkaitan dengan pembangunan kapasitas DPRD hanya
sedikit memberi perhatian terhadap kompleksitas struktural dan fungsional dari
lembaga ini. Secara struktural, pemahaman terhadap kapasitas DPRD dapat dilihat
dalam konteks struktur internal, yaitu yang berkenaan dengan keseluruhan bagian-
bagian dalam dewan yang saling berhubungan dan konteks struktur yang lebih luas
yang menempatkan DPRD sebagai bagian dari struktur politik lokal.
Struktur internal dapat dikategorikan dalam dua bagian, yaitu struktur yang
diatur dalam peraturan perundang-undangan sebagai alat kelengkapan dewan dan
struktur internal yang ada tetapi tidak ditentukan sebagai alat kelengkapan dewan.
Struktur yang lebih umum menempatkan DPRD dalam hubungannya dengan pemda
serta berbagai kekuatan politik lain yang secara langsung berpengaruh terhadap
proses politik yang terjadi dalam DPRD dan implementasi berbagai kebijakan publik
yang dibuat oleh DPRD.
Analisis struktural terhadap DPRD meliputi analisis hubungan antara alat-alat
kelengkapan dewan yang terdiri dari pimpinan, komisi-komisi, dan panitia-
panitiabadan-badan. Berbagai studi yang telah dilakukan hampir tidak ada yang
secara komprehensif mengevaluasi kapasitas dari alat kelengkapan dewan itu. Hala
yang lebih jarang dilakukan adalah analisis terhadap struktur internal yang ada pada
fraksi-fraksi dan sekretariat dewan (setwan) yang bukan merupakan alat
kelengkapan dewan, tetapi keberadaan dan kapasitas mereka sangat berpengaruh
terhadap kinerja dewan secara keseluruhannya. Faktor luar yang paling diperhatikan
oleh dewan adalah pemda.
Negosiasi dengan pemda sangat vital dipentingkan oleh bagi DPRD karena ia
memberikan sumber daya yang diperlukan DPRD dalam melaksanakan fungsi dan
tugasnya. Selain itu, dan bahwa pemda harus diperhitungkan oleh DPRD karena ia
akan menjadi pelaksana dari berbagai kebijakan yang dirumuskan. Kenyataan
selanjutnya adalah fraksi-fraksi merupakan wakil dari partai-partai politik yang di
dalamnya juga tergabung dan organisasi-organisasi massa yang berafiliasi
dengannya. Kondisi ini mengharuskan adanya pemahaman yang lebih mendalam
dari organisasi massa tersebut untuk mengetahui jalur-jalur negosiasi dan lobby,
sehingga berbagai kepentingan mereka menjadi bagian dari preferensi kebijakan
publik yang dihasilkan dewan.
Pola yang sama perlu pula dilakukan untuk mengkaji hubungan antara DPRD
dengan dan berbagai asosiasi sosial dan profesional, organisasi-organisasi
masyarakat sipil serta media lokal yang dengan berbagai tindakannya mereka
mampu mempengaruhi proses politik yang berlangsung dalam dewan. Dalam
konteks perwakilan yang lebih luas, DPRD pun seringkali mementingkan pendapat
dan pilihan masyarakat karena mereka bermaksud memenuhi berbagai preferensi
publik, terutama dalam perumusan kebijakan publik yang menyangkut masyarakat
luas. Hubungan ini signifikan bagi dewan dalam upaya memenangkan dukungan dan
kepercayaan publik.
Analisis fungsional yang mengkaji tentang kapasitas DPRD dalam melakukan
fungsi-fungsi pembuatan peraturan perundang-undangan daerah, penyusunan dan
penentuan APBD, pengawasan pelaksanaan berbagai kebijakan publik yang
dirumuskan DPRD serta perwakilan berbagai kepentingan sosial dan politik pun
hampir tidak dilakukan dalam banyak penelitian atau kaji publik.
Terlebih jarang adalah assessment terhadap kapasitas setwan dalam
memberikan berbagai pelayanan kedewanan agar DPRD mampu melaksanakan
berbagai fungsinya secara efektif. Berkaitan dengan hal ini, fungsi pemberdayaan
DPRD terhadap setwan pun kiranya layak untuk dikaji lebih lanjut, sebab DPRD
seringkali menuntut berbagai pelayanan sr dari setwan tetapi enggan untuk
memperjuangkan sumber daya yang memadai agar sekretariat mampu
melaksanakan berbagai fungsi dan tugasnya secara profesional.
Lebih lanjut, dalam konteks hubungan DPRD dengan pelaku-pelaku tata
pemerintahan dari luar, kiranya juga perlu untuk menelusuri kapasitas DPRD dalam
memfasilitasi pelaksanaan berbagai kebijakan publik yang ada, memberikan contoh
yang baik bagi praktek-praktek pemerintahan demokratis serta menjadi pelaku
dalam pewujudan tata pemerintahan daerah yang demokratis.
Seluruh kerangka pemikiran dasar tersebut di atas adalah bingkai dari
rangkaian studi dan penulisan dari buku ini serta ketiga buku lain yang bersifat lebih
khusus. Buku yang pertama ini mendudukkan keberadaan dan kompleksitas
struktural dan fungsional dari DPRD. sSementara itu, ketiga buku yang berikutnya
menjabarkan sistem, prosedur, fungsi dan tugas DPRD dalam pembuatan peraturan
perundang-undangan, penentuan anggaran daerah dan pengawasan politik. Dengan
demikian, diharapkan bahwa keempat buku serial ini dapat memberikan dasar yang
memadai untuk berbagai program dan proyek dalam bidang peningkatan kapasitas
keparlemenan di daerah.

Apa dampak yang perlu menjadi orientasi program?

Walaupun berbagai program dan proyek dilaksanakan pada tingkat daerah


dan itu pun dengan sasaran utama DPRD, namun dampak yang segera dapat dilihat
mempunyai cakupan yang relatif luas. Selain hasil-hasil dan dampak langsung yang
akan dapat dirasakan oleh DPRD dan berbagai asosiasinya, berbagai kegiatan yang
dilaksanakan dalam proyek ini, terutama yang berkenaan dengan pembuatan
peraturan perundang-undangan dan pengawasan, juga akan mempunyai dampak
langsung pada perbaikan tata pemerintahan di daerah. Namun demikian, karena
DPRD bertekad untuk selalu terlibat aktif dalam berbagai dialog kebijakan dengan
lembaga-lembaga tata pemerintahan tingkat nasional maka berbagai kegiatan
proyek di daerah pun diharapkan mempunyai dampak langsung terhadap
perumusan berbagai kebijakan publik tingkat nasional yang yang akomodatif
terhadap kompleksitas realitas daerah.

Dampak langsung terhadap DPRD dan asosiasinya

Dengan kemampuan perumusan peraturan perundang-undangan yang lebih


baik, maka berbagai perda dan kebijakan publik daerah dapat dirumuskan dan
disinkronkan satu terhadap yang lain serta memenuhi kepentingan-kepentingan
masyarakat luas. Berbagai peraturan perundang-undangan nasional yang terkait
dengan desentralisasi dan otonomi daerah pun dapat dijabarkan dalam berbagai
perda yang relevan dengan waktu yang lebih singkat, sesuai dengan tata urutan
peraturan perundang-undangan. Konflik kebijakan antar daerah, yang biasanya
terjadi antara kota dengan kabupaten yang berdekatan, pun diharapkan dapat
diselesaikan dengan proses yang demokratis dan sesuai dengan prosedur.
Pemahaman dan penguasaan yang lebih baik terhadap program-program
pembangunan dan pemerintahan memungkinkan DPRD melaksanakan fungsi
penganggaran yang benar dan memenuhi harapan masyarakat. Ditambah dengan
berbagai peningkatan kemampuan analisis terhadap mekanisme penganggaran yang
biasanya dilaksanakan oleh pihak pemerintah sendiri, DPRD akan berada dalam
posisi yang lebih konstruktif dalam merumuskan kebijakan-kebijakan penganggaran.
Berbagai simulasi penganggaran yang dilaksanakan terkemudian akan
memungkinkan DPRD menyampaikan alternatif pembanding terhadap kebijakan dan
usulan APBD yang diusulkan oleh pemerintah.
Pelaksanaan fungsi pembuatan peraturan perundang-undangan (legislasi)
dan fungsiu penganggaran memungkinkan DPRD memiliki dasar yang kuat untuk
melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan.
Ukuran-ukuran dan mekanisme-mekanisme pengawasan pun menjadi lebih mapan
karena mendasarkan pada kriteria yang jelas dan tidak mendasarkan pada
kepentingan-kepentingan politik semata.
DPRD pun akan mempunyai kesempatan yang lebih banyak untuk
berinteraksi dengan masyarakat melalui dengar pendapat yang dilaksanakan di
dewan maupun melalui berbagai media lain yang diciptakan. Para anggota DPRD
mempunyai kesempatan untuk membuktikan bahwa mereka bukan hanya wakil
partai politik tetapi juga benar-benar merupakan wakil rakyat. Kemampuan
memfasilitasi dialog antara masyarakat dengan dan pemerintah yang dilaksanakan
oleh DPRD akan memperkuat posisinya menjadikannya lebih dipercaya sebagai kunci
dari lembaga perwakilan.
Setwan pun akan mendapatkan manfaat yang sangat besar dalam program
ini, yaitu dengan berbagai pelatihan yang dilakukan untuk para stafnya maupun
program-program lain yang dapat meningkatkan peran strategis dari setwan. Upaya-
upaya pengembangan setwan akan memungkinkannya melaksanakan fungsi-fungsi
pelayanan kedewanan secara profesional.
Asosiasi DPRD akan mendapatkan manfaat utama meliputi aspek administrasi
kesekretariatan dan aspek fasilitator dialog kebijakan regional, nasional dan
internasional. Program peningkatan kapasitas DPRD diharapkan menghasilkan
dampak untuk asosiasi sebagai berikut: Sekretariat Aasosiasi DPRD yang kuat dan
mampu memberikan pelayanan-pelayanan strategis bagi para anggotanya
merupakan dampak langsung yang sangat diharapkan. Pelayanan yang paling utama
adalah mobilisasi sumber daya yang dibutuhkan untuk pengembangan kapasitas
DPRD dan memfasilitasi dialog kebijakan antar anggota dengan lembaga-lembaga
tata pemerintahan terkait di tingkat pusat dan daerah. Selain itu, dalam beberapa
tahun mendatang diharapkan Aasosiasi DPRD mampu untuk mendirikan sekretariat
yang efektif dan efisien dengan dukungan pendanaan yang memadai dari para
anggotanya.

Dampak terhadap perbaikan tata pemerintahan di daerah

Pada tingkat tata pemerintahan di daerah, Aasosiasi DPRD dapat


mendesakkan perwujudan mengharapkan bahwa prinsip-prinsip tata pemerintahan
daerah yang baik dapat segera diwujudkan melalui berbagai sosialisasi dan
pelembagaan di semua lembaga tata pemerintahan. Dengan pelaksanaan seluruh
fungsi dan tugas kedewanan sebagaimana mestinya, maka DPRD akan menciptakan
perangkat dasar dari pemerintahan kota yang mementingkan warga. DPRD pada
gilirannya akan harus mampu menjadi simpul dari berbagai dialog publik yang
melibatkan berbagai aktor yang berkompeten.
Pada skala nasional, Aasosiasi DPRD juga dapat mendesakkan, melalui
mengharapkan bahwa dengan partisipasinya dalam berbagai dialog politik dan
kebijakan nasional, agar maka tata pemerintahan nasional akan mampu untuk
dikondisikan agar secara terus-menerus melibatkan aktor-aktor pemerintahan di
daerah dalam merumuskan berbagai bentuk kebijakan publik. Asosiasi DPRD dapat
hendak memberikan berbagai masukan penting bagi revisi puluhan berbagai
peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan pemerintahan di daerah.
Bab II
Arah Demokrasi Baru, Reformasi Keterwakilan dan Pengaruhnya terhadap
Kapasitas Keparlemenan
Agung Djojosoekarto

Kerangka politik demokrasi di Indonesia telah berubah dan upaya


pembaharuan sistem keterwakilan tengah berlangsung. Sebagai lembaga
perwakilan rakyat, DPRD pun diharuskan untuk menyesuaikan diri dengan berbagai
prasyarat baru dalam tata demokrasi. Sebagai pusat pilar demokrasi di daerah,
DPRD perlu mengembangkan diri menjadi model lembaga demokrasi dan sekaligus
pengarusutamaan nilai-nilai demokrasi terhadap berbagai lembaga tata
pemerintahan lain yang ada di daerah.

Upaya-upaya nasional untuk melakukan perubahan mendasar dalam


pemerintahan telah memuncak dengan dilengserkannya kepemimpinan politik Orde
Baru yang telah berkuasa selama lebih dari tiga dasawarsa. Gerakan-gerakan politik
yang dimotori oleh berbagai organisasi masyarakat sipil telah berhasil dalam
menanamkan wacana demokratisasi dan partisipasi politik masyarakat yang nyata
dan luas. Praktek-praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme yang mewarnai hampir
seluruh proses politik sempat menjebak sistem politik nasional yang tersusun selama
dalam suatu format birokrasi otoriter.
Selama rezim Orde Baru, seluruh lembaga dalam tata pemerintahan berada
di bawah kendali pemerintah yang didukung oleh ABRI dan Golkar serta partai-partai
politik hasil fusi. Sedemikan kuatnya budaya politik birokrasi otoriter dan keinginan
pemerintah untuk mengendalikan seluruh tata pemerintahan, sehingga
kepemimpinan nasional di bawah Orde Baru gagal untuk melakukan pembaharuan
dan konsolidasi tata pemerintahan. Bersamaan dengan perkembangan politik ini,
reformasi menyeluruh menuju tata pemerintahan yang lebih baik dan demokratis
telah diangkat menjadi agenda dan tekad nasional.

2.1. Dinamika demokrasi Indonesia beberapa tahun terakhir


Awal era reformasi politik di Indonesia ditandai oleh revisi terhadap Dengan
direvisinya tiga UU politik yang mengatur tentang pemilu, partai politik dan susunan
dan kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD., Cara ini dipilih sebagai Indonesia telah
memulai langkah dasar yang paling awal dari reformasi, yaitu dengan untuk
melakukan pembaharuan lembaga-lembaga perwakilan rakyat agar yang lebih
demokratis dan dipercaya oleh rakyat dibandingkan dengan periode Orde Baru.
Pembaruan dengan cara semacam ini dilakukan secara terus-menerus. Sejak
reformasi 1998, saat ini tiga UU Politik tersebut telah diperbaharui sebanyak tiga kali
(1999, 2003, dan 2008-2009) untuk menyesuaikan dengan dinamika politik yang ada.
Langkah ini terbukti efektif, paling tidak untuk membangun Dengan
antusiasme pemilih dalam pemilu yang yang sedemikian besar, lebih dari 140 juta
pemilih telah memberikan suara mereka dalam Pemilu 1999 yang langsung,
demokratis, dan bebas. Jumlah partai politik yang sebelumnya dibatasi, kini tumbuh
semarak. Dengan adanya wWakil-wakil partai politik di parlemen pemenang pemilu
kini juga yang lebih majemuk dan , lembaga-lembaga perwakilan rakyat tersebut
diharapkan tetap dapat efektif mewakili kepentingan-kepentingan rakyat dan partai
politik secara luas.

Apa konsekuensi pemilu langsung?


Pemilu demokratis sejak pertama dalam era reformasi telah berlangsung tiga
kali, yaitu pada dilaksanakan pada bulan Juni 1999, 2004, dan 2009 sebagai bagian
dari pemenuhan tuntutan pembaharuan tata pemerintahan di Indonesia. Jumlah
partai peserta pemilu juga berkembang dan beragamPemilu tersebut diikuti oleh 48
partai politik. Sistem pemilihan yang digunakan Pemilu ini masih dilakukan dengan
sistem proporsional dengan daftar terbuka yang dikombinasikan dengan pembagian
daerah pemilihan (dapil). Partai politik menentukan wakil-wakil yang akan
didudukkan dalam lembaga pemerintahan dan perwakilan. Selain memilih wakil
rakyat dalam DPR dan DPRD, pada pemilu 2004 dan 2009 juga dikenalkan pemilihan
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai representasi masyarakat dari setiap daerah
di tingkat pusat.
Dengan adanya revisi terhadap UU tentang pemilu, yaitu dengan
diterbitkannya UU No. 12/2003UU No. 10/2008 yang digunakan pada pemilu 2009,
rakyat mendapatkan kesempatan untuk melakukan pemilihan langsung terhadap
wakil-wakil mereka di DPRD. Walaupun seringkali dikritik karena tidak menerapkan
sistem distrik murni dan masih tingginya pengaruh partai politik, UU Pemilu 2008 UU
No. /1999 ini pada dasarnya memberikan kesempatan bagi rakyat untuk memilih
langsung orang-orang yang mereka percaya sebagai wakil rakyat yang handal,
terlebih setelah keputusan Mahkamah Konstitusi yang mengakibatkan penentuan
calon terpilih melalui suara terbanyak.
Namun demikian, mutu keterwakilan tergantung pada beberapa faktor
penentu. Pertama, pengenalan pemilih terhadap kapasitas keparlemenan dari para
calon wakil yang mencalonkan diri.mana dan fotonya tercantum dalam kertas suara.
Pengenalan terhadap ketokohan saja dinilai tidak cukup, karena tokoh yang terkenal
seringkali tidak mempunyai kapasitas kerja sebagai anggota dewan sesuai dengan
yang diharapkan oleh pemilih dan pemda sebagai mitra kerjanya.
Kedua, pemenuhan berbagai daya dukung bagi DPR/DPRD yang baru.
Bagaimanapun baiknya mutu perseorangan dari anggota DPRD yang dipilih, tetapi
jika mereka tidak mendapatkan fasilitas yang memadai untuk menjalankan fungsi
dan tugasnya maka DPR/DPRD dengan seluruh alat kelengkapan dan struktur
pendukungnya tidak akan mempunyai kapasitas dan kinerja yang optimum.
Ketiga, kesiapan para aktor tata pemerintahan lainnya dalam proses politik
lokal. Sekalipun DPR/DPRD dipilih secara langsung dan menghasilkan anggota yang
lebih bermutu, tetapi jika masyarakat sipil dan publik tidak mendesakkan agenda-
agenda daerah secara terstruktur dan sistematis maka DPR/DPRD akan tidak
mempunyai tantangan dan tanggungjawab yang berarti.
Sistem perwakilan saat ini yang akan datang memang memberikan tekanan
bahwa anggota dewanDPRD adalah wakil rakyat, seperti lewat sistem pemilihan
dengan suara terbanyak, , tetapi tetapi tidak sepenuhnya. Anggota DPRD dewan di
masa yang akan datang diharuskan untuk menjadi wakil rakyat dan wakil partai
politik secara lebih berimbang. Terpenting untuk dihindarkan adalah sisi negatif
kedekatan emosional yang terlembaga antara anggota DPRD dewan dengan
pemilihnya yang memungkinkan bersemainya praktek politik diskriminasi, korupsi,
kolusi, dan nepotisme.
Seringkali anggota DPRD dewan mengatakan bahwa mereka wajib
memperjuangkan kepentingan konstituen dan pemilihnya. Tetapi pada
kenyataannya tidak pernah ada yang tahu, warga mana memilih anggota DPRD
dewan yang mana. Oleh karena itu, upaya untuk mendudukkan bahwa anggota
DPRD dewan adalah wakil seluruh rakyat – seperti yang telah dilakukan oleh
beberapa DPRD di daerah – layak untuk dilanjutkan dan dilembagakan. Mungkin
yang lebih sulit adalah ketika ada menata hubungan organisasi kemasyarakatan
tertentu yang merupakan afiliasi dari partai politik , terlebih jika partai tersebut
dominan di parlemen dan menjadi pendukung dari pemerintahpemenang pemilu.

2.1. Perubahan sistem keterwakilan


Dalam sistem pemerintahan presidensial, lembaga legislatif tidak dalam posisi
untuk menjatuhkan pemerintah eksekutif, kecuali jika terjadi pelanggaran serius
terhadap prinsip-prinsip konstitusional. Dalam penerapannya di tingkat daerah,
kepala daerah/pemerintahan daerah yang dipilih langsung oleh rakyat juga akan
mempunyai legitimasi politik yang sangat kuat. DPRD tampaknya tidak lagi mungkin
untuk menjatuhkan kepala daerah terpilih melalui mekanisme pertanggungjawaban
tahunan.
Dalam konteks baru seperti ini, DPRD tentu dikehendaki untuk melaksanakan
fungsi dan tugasnya dengan pendekatan yang berbeda. Prioritasisasi di DPRD harus
dilakukan dengan pendekatan yang memungkinkan DPRD menghasilkan produk-
produk dewan yang mewujudkan check and balance lebih bermutu. Beberapa DPRD
terlihat gamang menghadapi perkembangan politik yang baru ini. Mereka tidak siap
untuk menata kembali perimbangan dan pembagian kekuasaan dengan eksekutif.
Dalam menghadapi realitas politik yang baru seperti ini, DPRD harus bekerja
bersama-sama dengan partai politik di daerah.
Partai politik harus ditransformasikan sebagai lembaga agregasi kepentingan
publik yang mendukung DPRD. Jika partai politik hanya berfungsi sebagai pengelola
politik perwakilan, maka partai tidak akan mendapatkan dukungan riil dalam proses
politik dan dengan sendirinya akan terpinggirkan dalam pemilu yang berikutnya.
Berbagai partai politik di daerah terlihat telah mendapatkan delegasi kewenangan
yang begitu besar dari dewan pimpinan pusat (DPP) mereka masing-masing,
termasuk dalam pemilihan calon legislator. Ini memungkinkan Ppartai politik di
daerah mulai melakukan fungsi rekrutmen secara profesional dan. Beberapa partai
politik juga menyatakan bahwa mereka sedang mempersiapkan program kepartaian
yang lebih substantif sebagai landasan kampanye dan rekrutmen politik.
Perubahan sistem dan politik perwakilan seperti tersebut di atas akan
menghendaki strategi peningkatan kapasitas dan kinerja DPRD yang berbeda.
Pendekatan yang mendasarkan pada proyek pelatihan tidak akan cukupsesuai,
karena ia hanya akan memberikan dasar-dasarnya saja. DPRD harus
mengembangkan program peningkatan kapasitas dengan struktur dan sistematika
baru, yang sesuai dengan realitas tersebut.

2.3. DPRD dalam tata keterwakilan baru


Bagaimana konstelasi dan hubungan politik antara DPRD dan pemda?

Indonesia telah memasuki tahap lanjutan dalam proses demokratisasi, seperti


ditunjukkan oleh pemilu langsung dan pembentukan pemerintahan yang lebih
memenuhi prinsip keterwakilan. Walaupun pejabat-pejabat politik baru telah dan
akan dipilih, keberadaan birokrasi tetap kuat dan tidak sepenuhnya ditentukan oleh
perubahan konstruksi politik yang ada. Dalam struktur politik baru ini, Maka, struktur
birokrasi haruslah tidak dipandang sebagai instrumen administrasi teknis saja,
melainkan juga sebagai sub sistem politik di mana koalisi mewujud untuk mencapai
pilihan-pilihan kebijakan tertentu yang terikat dan dimana ada hubungan-hubungan
pada struktur-struktur politik yang lebih luas dalam masyarakat.
Dengan memandang birokrasi sebagai bagian dari sistem politik, perhatian
politik kritis adalah pada interaksi kepemimpinan politik dan pelayanan umum.
Sejalan dengan perkembangan politik dewasa ini, birokrasi telah mengalami
perubahan paradigma yang cukup mendasar. Ada upaya-upaya yang sangat jelas dari
rezim yang lebih demokratis sekarang ini untuk mengendalikan birokrasi. Ini tentu
saja bukan upaya yang mudah dan bahkan dapat dikatakan sangat sulit, karena
birokrasi sebelumnyalama ini identik dengan kekuasaan partai politik tunggal yang
mempunyai diskresi kekuasaan yang sangat besar, atau hampir tanpa batas dan
kendali.

Bagaimana menyikapi kekuatan politik riil dari birokrasi?

DPRD di berbagai daerah ternyata menunjukkan tingkat ketergantungan yang


relatif tinggi terhadap birokrasi. Birokrasi adalah ’sistem kekaryaan manajerial yang
ditata secara hirarkis dimana orang dipekerjakan untuk mendapatkan upah atau gaji’
dari pemda. Perlu diperhatikan adalah bahwa pada kenyataannya birokrasi di daerah
yang sekarang adalah kelanjutan dari rezim bureaucratic authoritarian dari masa
Orde Baru. Maka, penting kiranya membangun realisme bahwa mungkin mudah
untuk menggantikan sistem politik, tapi proses dari pembaharuan birokrasi
membutuhkan waktu yang lebih lama.
Keinginan pemerintah untuk melakukan berbagai perbaikan dalam birokrasi
tidak lepas dari berbagai rekomendasi kelompok developmentalist yang memandang
bahwa birokrasi dapat memperbaiki diri dengan memperkenalkan metode
perencanaan pembangunan yang baru yang mampu merespon dan melembagakan
dinamika masyarakat., pPendekatan restrukturisasi terhadap masing-masing
lembaga pemerintah diyakini dapat mendukung proses pembangunan demi
pengentasan kemiskinan. yaitu dan jika lembaga-lembaga pemerintah dapat bekerja
lintas sektoral dan terpadu sehingga maka masalah-masalah penting dan kompleks
akan dapat diatasi bersama. Apapun metode yang dipilih untuk memperbaharui
birokrasi, sejauh kekuatan politik riil dari pelaku tata pemerintahan ini masih
dominan maka pengembangan DPRD harus menghadapi proses yang lebih berat.
Menanggapi kegagalan birokrasi lokal dalam melaksanakan berbagai program
pembangunan, para pemikir kritis lokal yang relatif radikal menyatakan bahwa
dominasi birokrasi yang telah gagal dalam melaksanakan pembangunan ini harus
dilawan. Perlawanan harus pula dilakukan terhadap struktur domestik dan asing
yang membantunya. Pandangan ini tentu berbeda dengan pandangan para politisi di
DPRD yang menginginkan perubahan yang lebih luwes atau soft namun mendasar,
yaitu dengan memberikan kesempatan pada pemerintah untuk memainkan peranan
ekonomis yang lebih luas seraya mempromosikan berbagai kerjasama dengan pihak
swasta yang antara lain dapat mengambil bentuk contracting-out untuk berbagai
jasa pelayanan publik.
Pada perkembangan selanjutnya, berbagai inisiatif internasional yang
mencoba untuk mendukung upaya pembaharuan birokrasi ada pula yang bersifat
lebih khusus, misalnya dalam hal pembelanjaan oleh pemerintah. Ketiga opsi politis
tersebut mempunyai dampak yang berbeda-beda antar daerah dalam kerangka
pemberdayaan DPRD. DPRD sendiri seringkali harus terjebak pada arah politik yang
berbeda dari ketiga pilihan politis tersebut.
Dalam kaitannya dengan peningkatan kapasitas DPRD, terdapat beberapa
permasalahan yang penting untuk dibahas berkaitan dengan kekuatan politik riil dari
birokrasi. Pertama adalah kesiapan birokrasi untuk dikembangkan menjadi birokrasi
profesional. Walaupun secara teoritis tuntutan ini tidak dapat ditawar dan harus
segera diupayakan namun pelembagaannya membutuhkan kehati-hatian tersendiri.
Di satu sisi, pembaharuan birokrasi tetap harus mengacu pada tujuan
pokoknya, yaitu ’rasionalisasi dari efisiensi kolektif’ yang memungkinkan birokrasi
’mampu mencapai efisiensi paling tinggi’. Birokrasi juga merupakan cara untuk
mengatakan menempatkan administrasi publik sesuai dengan tempatnya dalam
negara. Sifat-sifatnya adalah: wajib, terkait dengan hukum, dan akuntabilitas publik.
Dalam paradigma manajerialisme, birokrasi diarahkan untuk memasukkan teknik-
teknik manajemen sektor swasta. Ketika orang mengatakan birokrasi, yang dimaksud
seringkali adalah sektor publik.
Kedua, bagaimana sebenarnya pergeseran politik birokrasi? Ketika Orde Baru
berkuasa, birokrasi dengan jumlah besar telah memberikan dukungan kepada partai
yang berkuasa (Golkar). Struktur birokrasi menengah di daerah pada umumnya
relatif lemah dan ukurannya pun kecil. Kesenjangan antara birokrasi tingkat atas dan
tingkat bawah sangat jauh.
Proses pengambilan keputusan menjadi sentralistik dan paternalistik.
Birokrasi menengah yang jumlahnya kecil menjadi bumper terhadap kebijakan-
kebijakan tingkat atas dan menjadi pelaksana kegiatan-kegiatan yang bersifat
khusus. Desentralisasi ternyata tidak disertai dengan pengalihan fungsi dari sektor
pemerintah ke sektor LSM atau swasta. Hal ini mungkin disebabkan karena keinginan
birokrasi untuk tetap mengendalikan semua proses tata pemerintahan di daerah.
Ketiga, dalam hal profil sumber daya manusia, sifat dari struktur dan
prosedur administratif adalah fokus lain yang dapat menunjukkan tidak berfungsinya
birokrasi pembangunan. DPRD pun ikut mendukung kritik terhadap birokrasi yang
menyatakan lembaga ini penuh kerahasiaan, buruk dalam komunikasi, penundaan
operasi dan jarak antara pelayan publik dan klien mereka. Isu-isu yang berkenaan
dengan budaya paternalistik yang berorientasi pada budaya kerjaan (terutama Jawa)
yang sebenarnya merupakan elemen-elemen non birokratis lingkungan politik, telah
mempengaruhi ’instrumentalitas rasional’ untuk menciptakan pola-pola birokrasi
yang menyimpang. DPRD sering dipaksa untuk masuk dalam kerangka kerja seperti
ini, karena mereka sangat tergantung pada birokrasi di daerah.
Dalam berbagai pola hubungan kerja dan kerjasama antara DPRD dan
birokrasi muncul gejala ’the economy of affection’ yang berakar dari kekerabatan,
kesukuan, etnisitas dan agama yang mempengaruhi organisasi. Gejala ini tampaknya
masih terus berlangsung dalam konteks hubungan antara DPRD dan birokrasi di
daerah. Berkaitan dengan pengaruh budaya terhadap birokrasi, di Indonesia kini
tengah terjadi transisi yang membingungkan dan sering kehilangan orientasi, apakah
birokrasi mendasarkan pada budaya religius institutional atau mendasarkan pada
budaya sekuler instrumental atau (lebih kurang menguntungkan) pada budaya
religius instrumental, yang dalam jangka panjang dapat menimbulkan salah orientasi
atau bahkan gejala hipokrit.

2.4. Pra kondisi politik yang perlu diperhitungkan oleh DPRD

Bagaimana DPRD menyikapi tata pemerintahan yang demokratis?

Tata pemerintahan yang demokratis adalah salah satu bingkai penting untuk
peningkatan kapasitas DPRD. Kondisi ini pada dasarnya terwujud ketika lembaga-
lembaga tata pemerintahan tanggap terhadap aspirasi dan kepentingan seluruh
warga dan desentralisasi diwujudkan secara konsisten berdasarkan konstitusi demi
partisipasi warga yang lebih besar. Tata pemerintahan demokratis akan terwujud jika
pra kondisi politik, ekonomi, dan sosial dapat dipenuhi. Tata pemerintahan yang
demokratis bukanlah semata-mata urusan politis melainkan juga urusan ekonomis
dan sosial.
Agar DPRD mampu mengembangkan kapasitasnya, maka DPRD harus mampu
menarik resultante antara kondisi politik dan sosial. DPRD harus mampu
melembagakan desentralisasi kekuasaan untuk menjamin partisipasi rakyat dalam
pembuatan keputusan, baik di lembaga legislatif maupun eksekutif. Melalui
mekanisme dan prosedur pengawasannya, DPRD juga harus mampu menjaga
akuntabilitas dan transparansi dari para pembuat dan pelaksana keputusan tersebut.
Keterjangkauan dan kesetaraan hukum, penghapusan diskriminasi dan minoritas,
serta pengembangan perdamaian dan harmoni sosial pun harus tidak luput dari
perhatian DPRD.
Para politisi, media massa, dan masyarakat sipil pada umumnya sulit diajak
untuk mengembangkan konteks tata pemerintahan demokratis dengan kerangka
tersebut. Tata pemerintahan demokratis dipahami pada kerangka politik atau
pemenuhan hak-hak ekonomis dasar warga. Oleh karenanya, pembahasan dan
pengkajian langsung perlu diarahkan DPRD pada tema-tema yang relevan dan
mudah untuk diikuti. Kesulitan ini, diakui, disebabkan antara lain oleh pendidikan
politik yang kurang mencukupi, baik pada jalur pendidikan formal maupun
pembelajaran publik secara informal. Dampak dan jebakan pembodohan
(massification) tampaknya sangat dalam dan kuat, sehingga para pelaku tata
pemerintahan membutuhkan fasilitasi lebih banyak lagi untuk membangun wacana
baru.

Bagaimana DPRD mengelola pola-pola distribusi ulang sumber daya dan keadilan
sosial?
Permasalahan tentang prasyarat ekonomis tata pemerintahan demokratis
adalah pada tingkat kebijakan ekonomi. DPRD perlu dibekali dengan pemahaman
menyeluruh baik pada kebijakan ekonomi makro maupun pemenuhan aspek-aspek
ekonomi mikro yang mendasar.
Prasyarat ekonomis bagi tata pemerintahan demokratis yang pertama adalah
pemberian dan ketercukupan sumber daya atau anggaran untuk bidang-bidang
prioritas sosial. Aspek ini dikatakan penting untuk memberdayakan warga secara
ekonomis. Tanpa kekuatan atau daya ekonomis dasar, warga dinilai tidak akan
mampu berpartisipasi secara riil dalam berbagai proses politik, termasuk di DPRD.
Masyarakat selama ini dinilai tidak mampu berpartisipasi dalam politik
karena: (i) Lebih berkonsentrasi pada pekerjaan sebagai buruh (seperti masyarakat
buruh di Kalimantan Timur), (ii) Baru mulai mengenal kehidupan dan proses politik
riil (seperti terjadi di Sulawesi Selatan), atau (iii) Telah mempunyai kesadaran politik
yang lebih tinggi tetapi tetap apatis terhadap sistem yang ada atau memilih jalur
politik alternatif (seperti terjadi di kota pelajar Yogyakarta). Dengan kondisi sosio
ekonomi yang berbeda, DPRD di berbagai daerah telah mencoba untuk
mengembangkan kapasitas dan cara kerja yang mereka anggap sesuai dengan
realitas masing-masing.
Pra kondisi ekonomis yang kedua adalah perpajakan progresif dan adil serta
subsidi yang terjamin bagi daerah. Para politisi di DPRD pada umumnya menyambut
gembira desentralisasi karena daerah diberikan kewenangan lebih besar untuk
mengelola aset daerah. Tetapi mereka pun menyampaikan bahwa kondisi keuangan
di daerah masih jauh dari mencukupi untuk memenuhi pembiayaan daerah.
Mekanisme melalui DAU pun dipandang masih kurang menjamin pemenuhan
kebutuhan anggaran. Dalam kondisi seperti ini DPRD tidak mampu berkembang
secara optimal, sehingga ketergantungan terhadap pemda tidak dapat dihindari.
Kondisi seperti ini menjadikan DPRD tidak mampu memperjuangkan kepentingan
masyarakat yang beraneka ragam sekalipun mereka memahaminya.
Pra kondisi ketiga adalah keadilan jangkauan terhadap sumber daya
keuangan, modal dan tanah bagi para pelaku ekonomi di daerah. Para anggota DPRD
yang terlibat dalam diskusi pada umumnya menyatakan bahwa desentralisasi belum
mencakup aspek perekonomian. Aset-aset ekonomi besar masih dikuasai
pengelolaannya oleh pemerintah nasional. Berbagai peraturan yang diterapkan pada
sektor-sektor tertentu cenderung mendua, sehingga pemerintahan di daerah tidak
mampu untuk mengelola. Memang ada kecenderungan di mana daerah
mengutamakan pemenuhan PAD dengan pengelolaan sumber daya alam yang
kurang hati-hati tetapi ini dilakukan karena pemerintahan di daerah tidak melihat
kemungkinan lain. Sentralisasi juga terjadi pada sektor keuangan yang menguasai
permodalan di daerah. Bahkan, berbagai lembaga keuangan cenderung mengalirkan
dana kembali ke pusat sehingga para pelaku perekonomian di daerah tidak
mempunyai akses memadai terhadap modal. Kondisi seperti ini diperburuk dengan
penguasaan atas tanah oleh pelaku-pelaku atau pemilik-pemilik modal nasional atau
yang berlokasi di Jakarta. Warga di daerah pada umumnya hanya menguasai dan
mengelola sumber daya tanah dalam luasan yang relatif terbatas.
Keterbatasan bagi daerah ini, dalam konteks regulasi, dapat dilihat melalui
formula yang diatur dalam UU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah
Pusat dan Daerah, serta formula dalam pembagian urusan antara pemerintah pusat,
provinsi, dan kabupaten/kota yang diatur dalam PP No. 38/2007 sebagai turunan
dari UU No. 32/2004. Dalam PP ini, telah diatur urusan wajib dan urusan pilihan
dalam penyelenggaraan pemerintahan beserta norma, standar, prosedur, dan
kriteria yang wewenang penyusunannya diberikan kepada pemerintah pusat. Praktis,
sejak awal memang sudah terdapat keterbatasan dalam rangka menjamin
kepentingan nasional dalam proses pembangunan di semua daerah. Lebih jelas
tentang pembagian urusan ini dapat dilihat dalam bagian lampiran PP ini yang
mencakup pembagian urusan di semua bidang pemerintahan yang menghubungkan
antar tingkatan pemerintahan.

Bagaimana DPRD sebaiknya mengelola keterkaitan kepentingan antara pelaku


ekonomi dan politik?
Permasalahan yang selama ini banyak dibahas adalah bagaimana jika yang
menjadi anggota DPRD pada kenyataannya adalah para pelaku ekonomi kelas atas
atau menengah di daerah? Seringkali dikemukakan bahwa DPRD telah menjadi
tempat untuk ’membagi akses dan kendali’ ekonomi sehingga yang diutamakan
adalah kepentingan bisnis dari para anggota DPRD atau kelompok pendukungnya.
Hal ini seringkali telah Ini sesuai dengan permasalahan yang terjadi sejak pada proses
perumusan dan persetujuan DPRD terhadap tentang APBD yang diajukan pemda.
dimana pPemda seringkali berupaya untuk mengendalikan para anggota DPRD
dengan memberikan proyek-proyek tertentu kepada anggota DPRD atau kelompok
bisnisnya.
Kondisi perselingkuhan antara politik dan ekonomi ini dapat menjadi awal
munculnya rantai korupsi yang panjang. Ketika terjadi pelanggaran-pelanggaran
kebijakan atau program-program pembangunan, konstelasi keanggotaan DPRD
seperti ini menjadikan alat kelengkapan dan anggota dewan menjadi tidak berdaya
karena harus mengembangkan ”toleransi” antar kelompok di dalam DPRD sendiri.
yang diberikan oleh satu kelompok harus mendapatkan imbangan toleransi terhadap
kelompok yang lain. Singkatnya, perangkapan profesi sebagai pengusaha dan
anggota DPRD cenderung berdampak negatif karena, idealnya, tidaklah mungkin
para pelaku ekonomi menjadi anggota DPRD sekaligus.

2.5. DPRD dan tata pemerintahan demokratis di daerah

Beberapa pengamat politik di daerah menyatakan bahwa kapasitas DPRD


sekarang ini merupakan cerminan dari kapasitas masyarakat sipil. Sebagai contoh,
DPRD tidak dapat merumuskan perda inisiatif karena masyarakat sipil berpartisipasi
baru sebatas demonstrasi dan memprotes pelaksanaan kebijakan tertentu. Para
anggota dewan pun kemudian sibuk, layaknya pemadam kebakaran, dengan
menanggapi berbagai kegiatan demonstrasi yang dilakukan oleh kelompok-kelompok
masyarakat tertentu.
Penyelesaian masalah yang didesakkan oleh kelompok masyarakat tertentu
pun cenderung bersifat instan dan pragmatis. Anggota DPRD atau alat kelengkapan
DPRD cenderung bertindak sebagai fasilitator antara pemda dan masyarakat.
Peninjauan terhadap kebijakan publik (misalnya perda atau kebijakan pemda)
hampir tidak pernah dilakukan secara menyeluruh sebagai akibat dari keluhan
masyarakat. DPRD tidak dituntut untuk melakukan tindak lanjut sistematis antara
lain disebabkan karakteristik tuntutan masyarakat yang bersifat teknis. Dengan
kondisi masyarakat sipil seperti ini, DPRD belum mendapatkan tantangan
peningkatan kapasitas dan kinerja sebagaimana seharusnya.

Bagaimana mendayagunakan kapasitas politik masyarakat sipil?

Kapasitas politik praktis masyarakat yang terlembaga mungkin tidak dapat


berubah dengan cepat karena masyarakat pemilih di Indonesia belum mempunyai
kapasitas politik riil yang memadai. Indikasi lain menunjukkan bahwa mutu anggota
DPRD di masa yang akan datang mungkin sangat dipengaruhi oleh kesiapan politik
warga pemilih. Dalam pemilu langsung, jika warga masyarakat tidak siap dengan
memilih wakil yang relatif lebih bermutu (karena mereka cenderung hanya memilih
partai politik atau karena money politics) maka mereka tidak dijamin akan
mendapatkan mutu wakil rakyat yang lebih baik.
Sebagai tambahan, media massa pun melihat bahwa partisipasi politik riil dari
masyarakat seperti sekarang ini masih akan berlanjut untuk jangka menengah.
Pendidikan politik yang dilakukan oleh partai politik dinilai belum mencukupi dan
masih pada tahap sangat awal. Jika observasi yang dilakukan bersama dengan
masyarakat media benar, maka secara umum dapat diduga bahwa masyarakat
belum benar-benar siap untuk melakukan pemilihan langsung terhadap wakil-wakil
mereka di DPRD. Mungkin hal ini nya berbeda dengan pemilihan kepala daerah
karena calon yang ada lebih terbatas dan mendapatkan sorotan tajam dari
masyarakat.
Beberapa LSM dan kelompok intelektual yang mulai aktif dalam sektor politik
dinilai masih belum siap untuk melakukan transformasi, sebab mereka masih
cenderung mengambil jalan alternatif dan sering menyarankan sikap ’golput’.
Demokrasi yang kini tengah berkembang kiranya tidak sesuai dengan sikap politik
seperti ini sebab setiap warga negara dituntut untuk bertanggung jawab secara lebih
nyata dalam politik. Sikap seperti itu sebenarnya juga bertentangan dengan tata
pemerintahan yang baik karena dengan tidak memberikan suara berarti warga
memberikan dukungan politik pada calon yang mungkin kurang bermutu. Jika sikap
politik seperti ini ternyata berkembang, maka dapat dikatakan bahwa masyarakat
sipil dengan lembaga-lembaganya belum siap untuk masuk pada era demokrasi baru.
Kondisi seperti ini jelas tidak kondusif untuk upaya peningkatan kapasitas dan kinerja
DPRD.

Bagaimana DPRD memfasilitasi dinamika politik dari berbagai organisasi


kemasyarakatan?

Permasalahan lain yang perlu dikaji bersama oleh DPRD adalah dinamika
politik dari berbagai organisasi kemasyarakatan (ormas) yang ada di daerah. Baik
DPRD maupun media massa berpendapat bahwa ormas kini masih belum aktif dalam
berbagai kegiatan politik di daerah. Ormas ini menilai bahwa kontribusi mereka
dengan memberikan calon-calon legislator yang dapat dihandalkan sudah
mencukupi. Dalam berbagai kegiatan keparlemenan, para anggota DPRD menilai
bahwa partisipasi ormas dinilai masih sangat minimal dan oleh karena itu kontribusi
politik mereka pun relatif terbatas.
Ormas yang ada di daerah juga dinilai belum mampu berfungsi sebagai
kelompok penekan (pressure group) atau kelompok kepentingan (interest group).
Kelompok yang dinilai mempunyai kekuatan politik signifikan ini pun dinilai masih
membutuhkan upaya pemberdayaan tersendiri. DPRD menilai bahwa kekuatan
intelektual dan politik dari berbagai kelompok masyarakat yang berbasis politik atau
asosiasi perlu terus dikembangkan dalam rangka peningkatan kapasitas dan kinerja
DPRD. Permasalahan menjadi lebih rumit ketika ormas yang berkembang di
beberapa daerah justru berbasis kesukuan. Sementara gejala ini dinilai dapat
dimanfaatkan untuk sosialisasi politik di Kalimantan Timur, daerah-daerah lain
cenderung menilainya secara berhati-hati, karena ikatan kesukuan justru dapat
berakibat kurang menguntungkan untuk demokratisasi.

Bagaimana DPRD dapat mengoptimalkan strategi media?

Observasi yang dilaksanakan bersama dengan berbagai media lokal atau


perwakilan media nasional serta para wartawan keparlemenan menunjukkan bahwa
media massa tidak mempunyai strategi khusus untuk memfasilitasi demokratisasi
dan reformasi tata pemerintahan. Ini tidak berarti bahwa mereka tidak mendukung
proses tersebut. Di DPRD propinsi dan kota, media massa menempatkan wartawan
khusus untuk meliput berbagai kegiatan dewan yang diagendakan dan kegiatan-
kegiatan lain yang terkait dengan dinamika dewan.
Media massa pada umumnya mendapatkan kebebasan penuh untuk memuat
berita dan opini keparlemenan yang mereka anggap penting. Bahkan di beberapa
DPRD, seperti misalnya di Kota Samarinda dan Propinsi Yogyakarta, media massa
mendapatkan ruang khusus. Pada dasarnya para wartawan mendapatkan akses yang
sangat terbuka terhadap seluruh kegiatan DPRD dan informasi-informasi dasar
lainya.
Setiap media massa harus mengembangkan information intelligence masing-
masing. Walaupun belum mempunyai strategi khusus untuk mendukung
demokratisasi di daerah (yang dikatakan merupakan wewenang redaktur), mereka
memandang beberapa strategi berikut layak untuk dikembangkan. Pertama,
penyelenggaraan rubrik keparlemenan daerah perlu dan dapat dilakukan oleh
masing-masing media. Di beberapa daerah di Kalimantan Timur, beberapa DPRD
dikatakan mengalokasikan sejumlah anggaran untuk pemberitaan kegiatan DPRD.
Namun demikian, praktek seperti ini seringkali dikatakan kurang ideal karena
terdapat kesan wartawan ’dibiayai’ untuk memuat berita.
Kedua, media massa juga dapat secara terencana dan konsisten memuat
berita dan opini tentang demokratisasi baik yang bersifat umum maupun
kedaerahan. Ini memang seringkali dilakukan tetapi dinilai belum terencana oleh
para awak media massa. Ini merupakan fungsi pendidikan politik oleh media massa.
Ketiga, DPRD juga diharapkan untuk secara terjadwal mengadakan diskusi-diskusi
publik yang melibatkan atau yang dikhususkan untuk media massa.
Dalam diskusi-diskusi dengan media massa seperti ini, DPRD diharapkan
memberikan informasi secara jujur dan terbuka sehingga kesulitan memperoleh
informasi yang selama ini dialami dapat diatasi. Apakah berbagai berita dan opini
yang disampaikan oleh media massa berdampak nyata terhadap opini politik publik?
Para wartawan keparlemenan cenderung berpendapat negatif. Artinya, walaupun
mereka menilai masyarakat mempunyai perhatian, tetapi berita yang menyangkut
kepentingan publik pun seringkali tidak mendapatkan tindak lanjut.
BAB III
Pemilihan Langsung dan Akuntabilitas Wakil Rakyat

Diana fawzia
Agung Djojosoekarto

Kerangka hukum dan perundang-undangan politik di Indonesia telah


mengalami perubahan sistemik yang mendasar. Perubahan ini ditandai dengan
pemilihan langsung terhadap berbagai pejabat politik di pusat dan daerah. Dalam
Sebagai pengembangan cabang kekuasaan pemerintahan legislatif, sejak 2004
sudah dibentuk perubahan akan segera terjadi, yaitu dengan dibentuknya Dewan
Perwakilan Daerah (DPD). Dalam konteks baru ini, adalah penting bagi anggota
DPRD untuk menempatkan diri sebagai wakil yang langsung dipilih oleh rakyat
dalam konteks jaringan kerja yang lebih luas. Dengan demikian, akuntabilitas para
anggota dewan terhadap rakyat, harus ditinjau kembali dan didefinisikan ulang.

Dalam tata pemerintahan demokratis di Indonesia sekarang, pemilihan


langsung diharapkan dapat lebih menjamin terlaksananya prinsip-prinsip
keterwakilan, akuntabilitas, dan legitimasi politik terhadap rakyat. Dengan kata lain,
pemilihan langsung untuk memilih wakil rakyat dan wakil daerah serta untuk
membentuk pemerintahan yang demokratis dan kuat kini harus memperoleh
dukungan rakyat secara penuh. Bagi DPRD, Ddasar pemikiran dan dasar kerja dari
para anggota DPRD penting untuk ditata ulang sehingga mereka dapat sepenuhnya
menempatkan diri sebagai wakil yang langsung dipilih oleh rakyat. Oleh karena itu,
anggota DPRD terpilih sekarang dikehendaki untuk selalu peka dan tanggap terhadap
berbagai aspek sosial, ekonomi, politik, budaya, agama serta potensi sumber daya.
Hal ini sangat perlu dalam upaya memberikan pemenuhan dan pelayanan kepada
kepentingan rakyat.
Terdapat tiga alasan pokok mengapa pemilihan langsung selaras dengan
konteks desentralisasi dan otonomi daerah. Pertama, pemilihan langsung mambuka
ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas politik di daerah
secara setara (political equality). Rakyat kini tidak lagi berposisi sebagai peserta
dalam pemilihan umum yang dilaksanakan lima tahun sekali. Lebih dari sekedar
penggembira dalam pesta demokrasi, pemilihan langsung memberikan berbagai
peran pada rakyat untuk memberikan suara pada wakil mereka dan mengendalikan
proses politik yang terjadi dalam berbagai lembaga perwakilan, termasuk DPRD.
Kedua, pemilihan langsung memberikan akses politik kepada rakyat dalam
upaya mendapatkan berbagai pelayanan publik (public service) yang menjadi haknya.
Dengan pemilihan anggota DPRD secara langsung, misalnya, rakyat dapat menuntut
berbagai kebijakan dasar yang lebih kondusif bagi terwujudnya pelayanan publik
yang lebih baik. Sementara itu, dengan dilakukannya pemilihan langsung atas kepala
daerah, rakyat pun dapat menuntut pemda dalam pemberian pelayanan publik yang
lebih terjangkau dan bermutu.
Ketiga, pemilihan langsung juga memberikan jalur kendali yang lebih luas
bagi rakyat dalam memastikan terakomodasikannya kepentingan mereka-
kepentingan dalam kebijakan-kebijakan publik yang lebih tanggap (responsive and
accomodative policy). Hal ini dapat berlangsung karena adanya sistem check and
balance yang lebih baik. Sebagai contoh, jika kepentingan tertentu tidak dapat
terpenuhi melalui kebijakan dasar yang dihasilkan DPRD dalam bentuk perda,
rakyat dapat pergi ke pemda atau ke DPD agar kepentingan mereka itu dapat
diperhatikan. Terkait DPD, sebagaimana diatur dalam UU Susduk No. 27/2009,
kepentingan rakyat daerah tersebut dimungkinkan untuk didesakkan dari tingkat
pusat sepanjang berhubungan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta pengelolaan sumber daya alam dan
sumber daya ekonomi lainnya yang ada di daerah.

3.1. Konsekuensi dari pemilihan langsung

Apa konsekuensi dari pemilihan langsung?

Pemilu 2004 dan 2009 berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Dalam


pemilu sekarang pada dasarnya rakyat dapat secara langsung memilih wakil-wakilnya
di DPR, DPD, dan DPRD. Rakyat juga secara langsung memilih para pejabat politik
eksekutif, yaitu presiden dan wakil presiden serta kepala daerah. Di masa lalu, para
pejabat politik tersebut dipilih melalui rakyat melalui partai berdasarkan sistem
proporsional tertutup di parlemen. Perubahan peraturan perundang-undangan di
bidang politik telah mulai mendorong dilaksanakannya perubahan paradigma tata
pemerintahan yang lebih demokratis. Hal ini diharapkan akan membawa
konsekuensi logis bagi , dimana rakyat, sebagai pemegang kedaulatan tertinggi,
untuk akan mempunyai pengaruh sangat yang besar dalam proses politik di
Indonesia.
Dengan keikutsertaannya dalam pemilihan langsung, rakyat memilih dan
menempatkan para wakil mereka untuk duduk di lembaga-lembaga perwakilan
rakyat. Pemilihan terhadap para wakil tentu dilakukan berdasarkan kepercayaan dan
keyakinan. Oleh karena itu, dapatlah dikatakan bahwa pemilihan langsung dapat
membangun hubungan kontraktual politik yang lebih baik antara anggota dewan dan
konstituennya. Kontrak politik tersebut menghendaki para anggota dewan dan
pejabat politik lainnya mengoptimalkan pelaksanaan proses politik demi tata
pemerintahan yang lebih demokratis dan pembangunan di daerah yang
menyejahterakan rakyat.

Bagaimana mengefektifkan hubungan antara anggota DPRD dengan pemilihnya?

Rakyat kini telah memilih wakil-wakilnya secara langsung dan tidak dipilihkan
oleh partai politik seperti pada pemilu-pemilu sebelumnya. Pengaruh pilihan
langsung oleh rakyat akan mendorong anggota DPRD dalam meningkatkan
kinerjanya. Sebab, sekarang ada kesadaran baru bahwa rakyat memberikan
kepercayaan pada anggota DPRD untuk memperjuangkan kepentingan dan aspirasi
politiknya. Dalam konteks ini anggota DPRD akan selalu menghadapi banyak hal yang
berkenaan dengan kebutuhan program pembangunan, pelayanan pemerintahan,
dan sekaligus pelayanan masyarakat.
Bagaimana hubungan yang ideal antara anggota dewan dengan dan pemilih?
Secara umum terdapat empat tipe hubungan antara wakil (anggota DPRD) dan
terwakil (rakyat). Salah satu atau kombinasi di antaranya dapat dijadikan acuan
anggota DPRD dalam membangun hubungan dengan rakyat pemilihnya.
Tipe yang pertama adalah tipe wali (trustee). Dalam tipe ini anggota DPRD
bebas bertindak atau mengambil keputusan menurut pertimbangannya sendiri. Ia
tidak diharuskan berkonsultasi dengan yang diwakilinya, baik konstituen ataupun
partainya. Anggota DPRD dinilai sudah betul-betul memperoleh kepercayaan dari
rakyat melalui pemilu, sehingga posisinya sangat independent.
Dalam tipe yang kedua, yaitu tipe utusan (delegate). Anggota DPRD bertindak
sebagai utusan dari yang diwakilinya. Oleh karena itu, dalam melaksanakan fungsi
dan tugasnya, anggota DPRD harus selalu mengikuti keinginan dan petunjuk dari
yang diwakilinya. Ia tidak diharuskan untuk berkonsultasi dengan partainya.
Tipe yang ketiga adalah tipe politico, yang merupakan paduan antara tipe
wali dan tipe utusan. Dalam tipe ini anggota DPRD dapat bertindak bebas karena
legitimasinya, tetapi selama situasi tertentu ia harus bertindak sebagai utusan dan
berkonsultasi dengan yang diwakilinya. Tindakan anggota DPRD ditentukan oleh isu
atau materi yang dibahasnya.
Tipe yang terakhir adalah tipe partisan. Dalam tipe ini anggota DPRD dapat
bertindak sesuai dengan keinginan atau program dari partainya. Setelah anggota
DPRD terpilih dalam pemilu, lepaslah hubungan dengan pemilihnya. Selanjutnya
hubungan yang ada dalam menjalankan tugasnya hanya dijalin dengan partainya. Di
masa lalu, tipe ini sangat menonjol. Anggota DPRD lebih mewakili partainya daripada
mewakili rakyat.
Untuk mengoptimalkan hubungan antara anggota DPRD dan rakyat, tipe
politico tampaknya yang paling ideal sesuai dengan Pemilu 2004 dan 2009 yang
bersifat proporsional terbuka. Terlebih pada pemilu 2009, penentuan calon terpilih
didasarkan suara terbayak (bukan nomor urut seperti pada pemilu 2004). Perlu
diantisipasi adalah hubungan antara anggota DPRD dengan dan partainya yang
masih kuat, seperti karena peran partai sangat besar dalam penyusunan daftar calon
legislatif dan penentuan daerah pemilihan. Jika hal ini tidak diantisipasi dengan baik,
kecenderungan anggota DPRD untuk tetap partisan sangat terbuka. Agar hubungan
dengan rakyat lebih efektif, anggota DPRD juga sebaiknya membuat pemetaan
masalah-masalah kemasyarakatan yang terjadi di daerahnya, memahami potensi
daerah serta harus mampu melakukan seleksi prioritas atas berbagai permasalahan
yang ada.

Pemilihan langsung dan kebijakan partisipatif

Keeratan hubungan antara DPRD dengan pemilihnya paling mudah dilihat


dari mekanisme pembuatan kebijakan yang dilaksanakan secara partisipatif. Karena
perubahan tipe hubungan yang berubah secara radikal, maka yang paling penting
adalah dilakukannya pengrubahan pola pikir (mind set) dalam tata hubungan itu.
Prinsip yang paling penting adalah akuntabilitas anggota DPRD terhadap rakyat. Agar
pemenuhan kepentingan rakyat dapat lebih terjamin, para anggota DPRD yang telah
dipilih secara langsung dapat melakukan berbagai langkah sebagai berikut:
1. Melakukan need assessment tentang kebutuhan masyarakat untuk dijadikan
database, sebagai bagian pelibatan masyarakat (stakeholder) dalam proses
pemerintahan dan pembangunan.
2. Melakukan perbandingan antara hasil need assessment yang didapat dengan dan
rencana pembangunan yang disusun oleh eksekutif atau yang termuat dalam
dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Daerah (RPJMD), dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah
(RKPD) yang didalamnya termasuk Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja
Pemerintah Daerah (RKA-SKPD). rencana anggaran satuan kerja (RASK). Dengan
demikian, pengawasan dan persetujuan DPRD terhadap APBD yang diajukan oleh
eksekutif pada gilirannya diharapkan tidak hanya terbatas didasarkan pada
pembahasan Kebijakan Umum APBD (KUA) dan Prioritas dan Plafon Anggaran
Sementara (PPAS).
3. Melakukan kajian berdasarkan kepentingan dan kebutuhan rakyat terhadap
rencana anggaran sebelum diputuskan menjadi APBD.
4. Memutuskan dan mendorong insiatif suatu perda yang mengakomodasi sebesar-
besarnya kepentingan dan harapan rakyat, dan
5. Menginformasikan kepada masyarakat tentang kebijakan yang diputuskan dan
kegiatan yang telah dilaksanakan oleh DPRD disertai dengan alasan-alasan yang
rasional.

3.2. Kontrak sosial anggota DPRD dalam tata demokrasi baru

Apa tuntutan suatu tatanan demokrasi terhadap DPRD?

Secara ideal, tatanan demokrasi menghendaki adanya suatu pemerintahan


dari, oleh, dan untuk rakyat. Oleh karena itu, prinsip ini harus tercermin dalam
pelaksanaan fungsi-fungsi utama DPRD, yaitu pembuatan peraturan perundang-
undangan, penetapan anggaran daerah, dan pengawasan. Dalam prakteknya, prinsip
ini acapkali dilupakan. Oleh karenanya, pertanyaan-pertanyaan dasar berikut ini
perlu selalu dipertimbangkan setiap kali anggota DPRD melakukan fungsi dan
tugasnya:
1. Apakah pelaksanaan fungsi dan tugas telah menempatkan kepentingan rakyat
yang merupakan pemegang kedaulatan yang paling tinggi?
2. Apakah anggota DPRD dapat mempertanggunggugatkan semua produk
kedewanan yang dihasilkannya sebagai bukti akuntabilitas publik?
3. Apakah DPRD telah akomodatif terhadap stakeholders dalam merumuskan
berbagai arah kebijakan?
4. Apakah DPRD telah memperhitungkan seluruh unsur penentu yang penting bagi
penegakan supremasi hukum, baik secara internal maupun eksternal?
5. Apakah DPRD telah menciptakan produk kebijakan yang mampu mendukung
meningkatnya kualitas pelaksanaan pemilihan langsung di daerah dan
menerapkannya secara konsisten?
Dalam tata demokrasi yang mulai berkembang di tingkat nasional dan
daerah, ada beberapa pra kondisi penting yang perlu dipenuhi oleh DPRD. Pertama,
DPRD harus mampu berfungsi sebagai penyeimbang dan penyelaras dari berbagai
kepentingan (political prerequisite). Dewasa ini, kelompok-kelompok dalam
masyarakat sipil mulai mampu membentuk kekuatan-kekuatan politik. Harmonisasi
kepentingan merupakan tugas penting yang perlu dipertimbangkan dalam setiap
perumusan kebijakan oleh DPRD.
Kedua, dengan berbagai produk dan keputusannya, DPRD harus mampu
memfasilitasi redistribusi berbagai aset dan akses atas sumber daya dan hasil
pembangunan (economic prerequisite). Hal ini khususnya relevan untuk pemenuhan
kesejahteraan dari warga yang rentan terhadap kemiskinan dan keterbelakangan.
Dengan perda yang dihasilkannya DPRD dapat meminimalkan disparitas antar warga
masyarakat dan mewujudkan pemerataan yang lebih baik.
Ketiga, dalam tata demokrasi, DPRD pun diharuskan mampu membentuk
kerangka peraturan yang diperlukan untuk membangun lembaga dan struktur
pemerintahan di daerah yang efektif (institutional prerequisite). Pengembangan
kelembagaan ini harus memperhatikan spektrum pemerintahan yang luas, dari
tingkat nasional sampai tingkat daerah. Dalam sistem pemerintahan dewasa ini,
rentang kelembagaan yang perlu diperhitungkan DPRD sangat luas, mulai dari
peraturan perundang-undangan tingkat nasional sampai peraturan adat yang
berlaku lokal.
Keempat, dalam kerangka transformasi sosial yang lebih luas, DPRD pun
dikehendaki untuk melakukan berbagai program pematangan demokrasi pada
tingkat lokal. Oleh karena itu, ia harus terlibat aktif dalam memfasilitasi perubahan
sosial di lingkungannya (social prerequisite). Kemampuan DPRD dalam
mengembangkan budaya politik lokal yang kondusif untuk demokrasi akan
memberikan dampak yang positif untuk peningkatan kinerjanya sendiri. Jika rakyat
lebih mampu melakukan partisipasi politik secara terlembaga, DPRD akan
mendapatkan dukungan yang mempermudah pelaksanaan fungsi dan tugasnya.
AkhirnyaKelima, dalam tatanan demokrasi, DPRD adalah pembuat perda yang
merupakan kebijakan dasar di tingkat daerah. Oleh karena itu, DPRD selayaknya
menjadi penjaga integritas norma hukum dan perundang-undangan di lingkup
daerahnya (legal prerequisite). Anggota DPRD harus menjadi penjaga dan contoh
dalam hal ketaatan hukum.

Bagaimana menyikapi hubungan kontrak sosial yang baru?

Dalam Pemilu 2004 maupun 2009, sebagian besar rakyat mungkin belum
dapat mengetahui dengan persis tingkat kualitas memilih nama calon yang dipilihnya
secara langsung, sebab proses pengenalan berlangsung singkat. Betapapun
demikian, hal ini tidak menghilangkan prinsip konstitusional bahwa pemilihan umum
dilaksanakan secara langsung oleh rakyat. Setidaknya, nama-nama calon telah
disampaikan melalui berbagai media dan rakyat dapat secara langsung menentukan
pilihannya. Dengan berbagai kampanye melalui media massa, meski terbatas, rakyat
juga dapat menilai kesesuaian program dari partai politik yang akan dipilihnya.
Pemilu seperti itu menghasilkan hubungan kontrak sosial yang berbeda
dibandingkan dengan pemilu yang sebelumnya. Perbedaan itu dapat dipaparkan
secara singkat sebagai berikut:

Pemilu lama Pemilu baru


Indikator
(Pra 2004) (2004 dan 2009)
Siapa yang  Anggota DPRD  Rakyat/pemilih
berkontrak sosial?  Partai politik  Anggota DPRD
 Partai politik
Apa posisi Rakyat sebagai Rakyat sebagai Pemilih wakil
rakyat/pemilih? peserta/penggembira pesta rakyat yang ditawarkan
demokrasi partai politik
Bagaimana Rakyat cenderung emosional Rakyat bersikap lebih
realismenya? karena partai pilihannya rasional dalam memilih
Bagaimana Rakyat lemah dalam Rakyat dapat secara penuh
konsekuensinya? mengontrol para wakil mengontrol para wakil

Dalam kampanye yang lalu, berbagai partai politik menebar berbagai janji
melalui program-program yang ditawarkan pada rakyat. Anggota DPRD yang telah
terpilih mempunyai kewajiban untuk memenuhi berbagai janji politik itu. Kegagalan
dalam memenuhi janji politik akan berdampak disinsentive terhadap partai politik.
Beberapa kerugian yang dapat ditimbulkan antara lain:
- Partai politik akan kehilangan kepercayaan dari rakyat.
- Banyak protes akan ditujukan kepada fraksi tertentu di DPRD.
- DPRD akan mengalami kesulitan dalam melaksanakan fungsi dan
tugasnya secara demokratis.
- Akuntabilitas dan integritas DPRD akan dipertanyakan oleh rakyat dan
publik secara luas, serta
- Calon aAnggota yang telah terpilih tidak akan mendapatkan suara dalam
pemilihan langsung periode berikutnya.
Apakah memenuhi janji politik selama kampanye saja sudah cukup? Tentu
saja tidak. Para anggota DPRD secara terus-menerus perlu melakukan penilaian dan
penjajakan dinamika kepentingan dan orientasi politik rakyat. Upaya ini dapat
dilaksanakan dengan partai politiknya. Berbagai hasil yang didapatkan dapat diolah
lebih lanjut dan digunakan untuk mendukung keberhasilan pemilihan umum yang
berikutnya. Dalam konteks ini, hubungan kontrak sosial antara rakyat dan anggota
DPRD dapat dikatakan bersifat dinamis.
Oleh karena itu, sementara anggota DPRD melaksanakan fungsi dan tugas
konstitusionalnya, ia juga harus menciptakan gagasan terbaik untuk memaksimalkan
pemerintahan dan pembangunan di daerah. upaya ini penting bukan saja untuk
memenuhi janji politik, melainkan juga menjadi dasar rasional untuk
mengoptimalkan perolehan dukungan politik. Upaya ini dapat dilaksanakan dengan
cara memfasilitasi rakyat dalam memberikan kritik dan masukan bagi DPRD melalui
berbagai media. Dengan cara ini, anggota DPRD dapat menjaga apakah berbagai
kepentingan yang menjadi dasar kontrak sosialnya dapat dipenuhi dengan baik.

Bagaimana rakyat diharapkan mendukung kinerja DPRD?

Setelah memberikan kepercayaan politik pada para wakilnya, rakyat dapat


memberikan kebebasan pada mereka. Tapi agar kontrak politik menjadi lebih efektif
dan mendukung DPRD, konteks demokrasi baru memberikan peluang kepada rakyat
untuk ikut serta dalam meningkatkan kinerja dari DPRD dengan berbagai cara.
Upaya-upaya yang terkait dengan perbaikan proses pemerintahan dalam cabang
legislatif seperti yang telah dikemukakan terdahulu menunjukkan bahwa rakyat
dapat mendukung peningkatan kinerja dengan selalu mengontrol akuntabilitas dari
DPRD dan seluruh anggotanya.
Karena pemilihan umum hanyalah awal dari kontrak politik antara rakyat
dengan dan DPRD, maka partisipasi dalam perumusan dan penentuan kebijakan
dasar pemerintahan dan pembangunan daerah pun dapat dilakukan. Sebagai contoh,
rakyat dapat melibatkan diri secara aktif dalam pembahasan perda, atau RAPBD,
rapat dengar pendapat (RDP) dengan pemerintah, atau sidang-sidang komisi lainnya.
Dalam hal ini, rakyat tidak cukup dengan menunggu tawaran dari DPRD untuk ikut
serta dalam berbagai proses pembahasan tapi rakyat secara aktif dapat pula
mengikuti berbagai sidang terbuka. Sebaliknya, DPRD juga harus lebih membuka diri
agar forum-forum persidangan di DPRD dapat diakses oleh publik luas.
Hubungan kontrak politik yang diarahkan untuk mendukung peningkatan
kinerja DPRD juga menghendaki adanya arus informasi yang lancar antara DPRD dan
rakyat. Transparansi diperlukan bukan hanya untuk kebijakan-kebijakan yang
dihasilkan oleh DPRD, tetapi juga seberapa besar sumber daya yang disediakan
untuk DPRD dan seberapa efektif DPRD mendayagunakan untuk sebesar-besarnya
manfaat rakyat.
Sebagai tambahan, dalam rangka menegakkan pelaksanaan prinsip-prinsip
tata pemerintahan yang baik, rakyat di berbagai daerah telah menunjukkan bahwa
mereka dapat pula menuntut pelaksanaan law enforcement yang lebih tegas
terhadap anggota DPRD yang melakukan penyimpangan, termasuk dengan
memanfaatkan keberadaan institusi pengawasan internal seperti, Badan
Kehormatan DPRD, Inspektorat, Badan Pengawas Keuangan Pemerintah (BPKP), dan
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ataupun institusi pengawasan negara yang bersifat
independen seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Walaupun dalam jangka
pendek terkesan berlebihan, upaya kritis oleh rakyat ini dalam jangka panjang justru
akan menguntungkan DPRD dalam upaya membangun lembaga perwakilan rakyat
yang bersih dan berwibawa.
Proses pengendalian politik yang dapat dilaksanakan oleh rakyat seperti
dipaparkan di depan perlu disikapi secara positif dan arif oleh DPRD baru. Dengan
demikian, DPRD akan mempunyai prospek untuk menciptakan sistem insentif yang
lebih baik secara kelembagaan maupun karir politik perorangan.

3.3. Menjaga akuntabilitas wakil rakyat

Apa ciri-ciri wakil rakyat yang akuntabel?

Para wakil rakyat dapat dikatakan akuntabel jika ia, secara perorangan dan
kelembagaan, mampu mempertanggunggugatkan segala yang dilaksanakan dan
dihasilkannya. Akuntabilitas atau tingkat pertanggunggugatan tidak sama dengan
responsibilitas atau tingkat pertanggungjawaban. Dalam akuntabilitas, nuansa
konstraktual dan hukum lebih kental dan berdimensi eksternal dibandingkan
responsibilitas yang cenderung internal.
Maka, sesuai dengan ciri hubungan kontrak sosial dari para wakil rakyat,
maka para wakil rakyat dapat dikatakan akuntabel jika mereka siap untuk digugat
oleh rakyat atas apa yang dilaksanakan dan dihasilkannya sebagai anggota DPRD.
akuntabilitas perlu dan bahkan harus dipenuhi dalam beberapa tingkat: perorangan,
alat kelengkapan dewan (Komisi, Badan Musyawarah, Badan Legislasi Daerah, Badan
Anggaran, Badan Kehormatan, dan alat kelengkapan lainnya), fraksi, dan
kelembagaan secara keseluruhan.
Secara perorangan, anggota DPRD harus secara terbuka dan jelas
menyatakan sikap, posisi, dan target politiknya terhadap berbagai urusan politik
yang dilaksanakan dalam berbagai forum internal dan eksternal DPRD. Ketiga hal
tersebut akan menjadi dasar utama untuk menilai kinerja perorangan dan pedoman
dalam menyampaikan semua pertanggunggugatan politiknya di hadapan rakyat.
Ketika anggota DPRD tertentu dipilih atau ditunjuk menjadi anggota dari alat
kelengkapan dewan, baik dalam komisi atau panitia kerja tertentu, maka ia harus
secara aktif memastikan bahwa kebijakan dan langkah yang diambil oleh alat
kelengkapan dewan itu selaras dengan nilai-nilai politiknya. Jika ia tidak setuju
dengan kebijakan atau langkah tertentu, maka ia harus menyampaikan kepada
publik dengan jelas dan tegas. Bersikap diam akan berarti ia ikut bertanggung gugat
terhadap kebijakan dan tindakan alat kelengkapan dewan itu.
Selanjutnya, sebagai anggota fraksi yang merupakan bentuk kesatuan politik
berdasarkan partai, anggota DPRD harus pula mampu mempertanggunggugatkan
kinerjanya terhadap partai politik dan konstituen tertentu yang mendukung partai
politik itu. Partai politik akan menghendaki utusan-utusannya memperjuangkan
kepentingan-kepentingan politik yang telah digariskan dalam program partai.
DPRD juga dapat mulai merumuskan profil politik secara perorangan. Sebab,
sekalipun berasal dari partai politik yang sama, masing-masing anggota dapat
mempunyai profil politik yang unik.

Apa yang perlu diperhatikan agar dapat bertanggung gugat?

Hal penting pertama yang perlu diperhatikan oleh anggota DPRD adalah
penguasaan yang solid atas seluruh kerangka peraturan yang membingkai mandat,
fungsi, dan tugasnya. Ini berarti bahwa anggota DPRD harus memahami
UUDkonstitusi, peraturan perundang-undangan dengan jenis dan tingkatan
sebagaimana yang dimaksud dalam UU No. 10/2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, tata tertib dan kode etik DPRD, peraturan dari
partai politik serta berbagai aturan main lain yang telah ditentukan untuk
keberadaannya. Setiap anggota DPRD wajib secara aktif memastikan semua
informasi yang berkenaan dengan kerangka aturan tersebut tersedia untuknya.
Dalam posisinya sebagai aparatur negara, anggota DPRD juga harus dapat
memenuhi berbagai prosedur teknis yang berkenaan dengan penggunaan berbagai
sarana dan prasarana pendukung kerja. Sebagaimana diatur dalam UU No. 27/2009,
Para anggota DPRD tidak dapat secara semena-mena menggunakan berbagai sumber
daya yang disediakan oleh negara karena. hak keuangan dan administratif dari DPRD
telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP). Pun dalam menentukan uang
tunjangan, pengaturannya harus disesuaikan dengan kemampuan daerah, seperti
uang representasi, uang paket, tunjangan keluarga, tunjangan beras, serta
tunjangan pemeliharaan kesehatan. Agar kesalahan yang tidak perlu dapat
dihindarkan, anggota DPRD dapat melakukan pengecekan atau meminta penjelasan
dari setwan sebagai pengelolaan keuangan dan tunjangan DPRD.
Sebagai tambahan, agar pertanggunggugatan kinerja dapat dilaksanakan
dengan lebih mudah, anggota DPRD perlu secara terus-menerus mengecek, apakah
seluruh sikap, posisi dan target politiknya selaras dengan kebijakan dan sasaran
program-program pemerintahan dan pembangunan daerah. Sebagai anggota
lembaga yang mensahkan renstrada RPJMD, maka anggota DPRD wajib untuk
menjadikan dokumen ini sebagai acuan pokok. Hal ini sangat penting karena
dokumen ini merupakan dasar dalam pelaksanaan fungsi dan tugas pokok DPRD,
baik dalam hal legislasi penganggaran maupun pengawasan.

3.4. Menjaga kinerja DPRD

Pertimbangan fungsional

Pada dasarnya, kinerja pokok DPRD disusun dan dinilai berdasarkan pada
fungsi dan tugas konstitusionalnya. Sebagaimana diatur dalam UU No.
22/200327/2009 tentang, fungsi dan tugas pokok DPRD mencakup:
1. Legislasi, yaitu fungsi dan tugas DPRD untuk membentuk perda baik
dengan inisiatif mandiri ataupun bersama-sama pemda yang dipimpin kepala
daerah.
2. Anggaran adalah fungsi dan tugas DPRD bersama-sama pemda
untuk membahas dan memberikan persetujuan atau tidak memberikan
persetujuan terhadapmenyusun dan menetapkan RAPBD, yang di dalamnya
termasuk anggaran untuk pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang DPRD.
3. Pengawasan, adalah fungsi dan tugas DPRD untuk melakukan
pengawasan terhadap pelaksanaan UU, perda dan keputusan kepala daerah
serta kebijakan nasional lainnya.
Dalam mengoptimalkan kinerja fungsional tersebut, rujukan sebagai dasar
pertimbangan antara lain adalah:
1. Tata urutan peraturan perundang-undangan. Ini menyangkut
kesesuaian antara peraturan daerah di tingkat lokal dengan peraturan
perundang-undangan di atasnya. Dalam kasus beberapa tahun terakhir,
masalah ini mencuat karena banyaknya perda-perda yang bertentangan
dengan peraturan di atasnya sehingga kemudian dibatalkan pemberlakuannya
(perda bermasalah).
2. Materi perda ke arah penyelenggaraan otonomi daerah. Prinsip
otonomi daerah misalnya bisa digali dengan menelisik ruang fisibilitas regulasi
yang dimungkinkan sebagaimana diatur dalam UU No. 32/2004, UU No.
33/2004, PP No. 58/2005, serta PP No. 38/2007. Selain itu, sasaran perda juga
butuh dicantolkan pada upaya pencapaian target-target Milennium
Development Goals (MDG’s) setidaknya bagi jenis layanan-layanan publik
dasar, dan
3. Karakteristik lokal perlu sebagai bahan pertimbangan agar tercapai
kesesuaian arah pembangunan dengan kebutuhan masyarakat daerah.
Dasar pemikiran dalam melaksanakan fungsi anggaran dari anggota dewan
perlu disesuaikan dengan sistem anggaran kinerja yang berlaku sesuai perundang-
undangan. Pedoman anggaran kinerja secara umum bertujuan untuk:
1. Secara tepat menentukan tahapan penyusunan anggaran.
2. Mengidentifikasi masalah-masalah utama dan perubahan yang
berdampak pada proses anggaran tahun yang akan datang.
3. Memberikan pedoman umum mengenai pendekatan anggaran yang
digunakan, dan
4. Memberikan gambaran mengenai proses penyusunan anggaran secara
keseluruhan disertai dengan jadwalnya.
Pengelolaan Keuangan Daerah: Pengelolaan Keuangan Daerah:
Tahapan Perencanaan Tahapan Pelaksanaan

RPJMD Rancangan DPA SKPD

RKPD Verifikasi

KUA PPAS DPA SKPD

Dasar Pelaksanaan Anggaran


Nota Kesepakatan (Pemda-DPRD)

Pelaksanaan APBD
Pedoman Penyusunan RKA-SKPD
(Pendapatan, Belanja,
Pembiayaan)
RKA-SKPD

Laporan Realisasi
RAPBD Semester I

APBD Perubahan APBD

Pengelolaan Keuangan Daerah: Pengelolaan Keuangan Daerah:


Tahapan Penatasusahaan Tahapan Pertanggungjawaban

Akuntansi Akuntansi
Keuangan Daerah Keuangan Daerah

Penatausahaan Laporan keuangan


Pendapatan Pemerintah Daerah
 Laporan realisasi
anggaran
 Neraca
Penatausahaan  Laporan Arus Kas
Belanja  Catatan atas
Laporan Keuangan

Kekayaan dan
Kewajiban daerah
Pemeriksaan
 Kas Umum laporan keuangan
 Piutang (BPK)
 Investasi
 Barang
Raperda
 Dana Cadangan
Pertanggungjawaban
 Utang APBD
Dalam melakukan fungsi pengawasan, DPRD harus menyesuaikan diri dengan
berbagai lembaga pemerintahan lain di daerah (termasuk instansi pusat yang ada di
daerah) yang mempunyai kewenangan dalam bidang pengawasan seperti
Inspektorat, BPKP, BPK, ataupun KPK. DPRD perlu duduk bersama dengan berbagai
lembaga tersebut untuk menyepakati bidang, jangkauan dan mekanisme kerja yang
berkaitan dengan pengawasan.
BAB IV
Menjadi Wakil Rakyat
dalam Konteks Otonomi Daerah

Diana fawzia

Otonomi daerah memberikan kedekatan antara rakyat dan wakilnya di


lembaga-lembaga legislatif. DPRD perlu merumuskan kembali posisinya terhadap
lembaga-lembaga eksekutif dan yudikatif di daerah. Kesepakatan-kesepakatan baru
diperlukan agar masing-masing lembaga mengetahui batas-batas fungsi, tugas, dan
otoritasnya. Kesepakatan seperti ini dapat dibangun melalui konsensus di antara
lembaga-lembaga tata pemerintahan yang ada. Pendekatan-pendekatan dan
mekanisme-mekanisme konsensus perlu dipersiapkan, sebab peraturan perundang-
undangan yang ada belum secara jelas mengatur mekanisme politik seperti ini.

Otonomi daerah memberikan kedekatan antara rakyat dan wakilnya di


lembaga-lembaga legislatif. Karena itu langkah proaktif perlu dilakukan DPRD untuk
merumuskan kembali posisinya dengan baik dan seimbang dalam hubungannya
dengan lembaga-lembaga eksekutif dan yudikatif di daerah. Kesepakatan-
kesepakatan baru diperlukan agar masing-masing lembaga mengetahui batas-batas
fungsi, tugas dan otoritasnya. Kesepakatan seperti ini dapat dibangun melalui
konsensus di antara lembaga-lembaga tata pemerintahan yang ada. Pendekatan-
pendekatan dan mekanisme-mekanisme konsensus perlu dipersiapkan secara
cermat dan efektif, sebab peraturan pemerintah (PP) yang ada belum secara jelas
mengatur mekanisme politik seperti ini, agar penafsiran terhadap UU No. 2232/1999
2004 tidak berlebih.
Berangkat dari paradigma tersebut, maka hakekat dari otonomi daerah
adalah semakin mendekatkan pemerintah ke rakyat. Dalam arti yang sesungguhnya,
DPRD dapat memproduksi peraturan daerah yang dapat memberikan jaminan
pelayanan pemerintah dan pembangunan yang bermutu pada rakyat. DPRD tidak
hanya berfungsi sebagai perumus yang menetapkan peraturan-peraturan saja,
namun lebih jauh lagi dapat mewakili dan memperjuangkan segala kepentingan
rakyat meliputi berbagai aspek kebutuhan masyarakat di daerahnya.
Di lain pihak, rakyat didorong untuk mengembangkan prakarsa mandiri,
sehingga antara wakil rakyat dengan masyarakat tercipta hubungan harmonis dalam
memanfaatkan potensi yang ada untuk membangun daerah. Artinya, ada
kemampuan untuk membuat dan melaksanakan kebijakan yakni: merencanakan
pembangunan, melaksanakan pembangunan, mengatur pegawai, dan membiayai
sendiri pelaksanaan pembangunan. Otonomi daerah membutuhkan kemandirian,
karena tanpa kemandirian sulit diwujudkan otonomi yang sesungguhnya.

4.1. Otonomi daerah dan konsekuensinya bagi DPRD

Sebagai konsekuensi otonomi, DPRD harus mampu memandirikan daerah


dalam beragam pembangunan. Karena itu, DPRD sebagai wakil rakyat menjadi pusat
perubahan ke arah tersebut. Keserasian hubungan antara DPRD dengan jajaran
pemda menjadi mutlak untuk membangun kesamaan pandang dalam memanfaatkan
potensi daerah serta dalam hal penggunaan anggaran pembangunan sesuai urgensi
dan kebutuhan masyarakat. Hanya dengan ini masyarakat akan mampu didorong
sebagai bagian penting dari otonomi.
Salah satu implikasi dari UU No. 2232/1999 2004 tentang Otonomi
Pemerintahan Daerah dan UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, adalah menyangkut hubungan antara
lembaga legislatif dan lembaga eksekutif di daerah. Dalam perspektif Pemerintah
Pusat, keberadaan DPRD dan Pemerintah Daerah adalah tak terpisahkan sebagai
kesatuan dalam pemerintahan daerah. Dalam perspektif pemerintahan daerah,
keduanya dihubungkan baik sebagai mitra yang berkedudukan setara dan sejajar
(tidak saling membawahi) maupun penyeimbang jalannya pemerintahan daerah.
Selanjutnya, Pasal 16 ayat 2 menyatakan bahwa ”DPRD sebagai badan legislatif
daerah berkedudukan sejajar dan menjadi mitra dari pemda”. Jadi, hubungan kedua
lembaga itu bersifat sejajar. Kesejajaran dan kemitraan ini akan menjadi sebuah
sinergi bila kedua lembaga ini menempatkan kewenangan yang dimiliki pada
proporsi yang tepat.
Kewenangan yang amat besar yang dimiliki oleh DPRD saat ini seyogyanya
tidak dijadikan sebagai sarana atau kesempatan untuk menjatuhkan eksekutif atau
mengusulkan pemberhentian kepala daerah sebagaimana disebut dalam UU No.
32/2004 Pasal 42 ayat (1) huruf d yang mekanismenya diatur dalam pasal 29. Posisi
tawar yang demikian strategis hendaknya tidak dimanfaatkan untuk memberi
tekanan (memeras) KDH demi keuntungan pribadi atau kelompok. Atau lebih jauh
lagi, melakukan kolusi, korupsi, dan nepotisme dengan pihak KDH, bersama-sama
memanipulasi aspirasi rakyat untuk mengumpulkan kekayaan pribadi atau
kelompok.
Ketentuan ini diharapkan akan menciptakan kestabilan pemerintahan daerah
sehingga tidak mengulang preseden UU No. 22/1999 dalam hal kewenangan DPRD
untuk dapat menolak laporan pertanggungjawaban dari kepala daerah yang
seringkali berimplikasi secara politis untuk menjatuhkan kepala daerah. Dalam UU
No. 32/2004, pasal 42 ayat (1) huruf h, ketentutan terkait hal ini diubah menjadi
bahwa wewenang DPRD lebih dibatasi untuk sebatas meminta keterangan laporan
pertanggungjawaban dari kepala daerah. Namun demikian, ini diharapkan tidak
mengurangi sikap kritis DPRD terhadap pemerintah daerah dalam proses
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Kewenangan DPRD dalam UU No. 22/1999 dalam memilih, mengusulkan
pengangkatan dan pemberhentian KDH (gubernur, bupati, walikota beserta wakil-
wakilnya) serta menolak laporan pertanggungjawaban (LPJ) kepala daerah,
hendaknya tidak digunakan dengan tujuan semata-mata untuk menjatuhkan kepala
daerah, tetapi untuk lebih kritis lagi menilai kinerja kepala daerah, sesuai atau tidak
dengan tugas dan tanggung jawab yang sudah diputuskan. Fungsi pengawasan
hendaknya dilakukan dalam sebuah proses yang demokratis sehingga dapat
meminimalisasi perbedaan kepentingan politik yang seringkali mewarnai hubungan
antara DPRD dan pemerintah daerahkedua lembaga ini. UU No. 22/1999 tentang
pemda dengan jelas mengatur peran masing-masing pihak serta hubungan antara
keduanya. Pemahaman dan kepatuhan terhadap tugas-tugas yang dibebankan,
dapat menghindarkan terjadinya intervensi dan overlapping antar wilayah kerja
kedua institusi ini.
Di sini dibutuhkan kearifan untuk melakukan kompromi di antara kedua
kepentingan tersebut agar tidak menjadi konflik. Untuk itu, komunikasi yang efektif
dengan eksekutif harus dibangun sejak awal agar terjalin sebuah hubungan yang
saling mendukung dan bukan saling menjatuhkan. Terlebih lagi, semangat UU No.
32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang berlaku saat ini memberikan
penekanan pada pola hubungan keseimbangan dan keserasian yang sinergis.
Keserasian hubungan antara DPRD dengan jajaran pemda menjadi mutlak
ketika berbicara mengenai pemanfaatan potensi daerah dan berapa besar anggaran
pembangunan yang diperlukan untuk itu, sesuai dengan urgensi kebutuhan
masyarakat. Dalam merumuskan dan menetapkan peraturan daerah (policy making
power), kondisi daerah secara menyeluruh hendaknya menjadi dasar pertimbangan
utama. Apa yang dibutuhkan daerah, potensi apa yang dimiliki daerah, dan aset
mana yang harus dilindungi.
Kesemuanya itu dituangkan dan dirumuskan dalam perda. Misalnya, perda
yang memberi kemudahan bagi kalangan pengusaha dan investor untuk
menanamkan modalnya di daerah, hendaknya diikuti dengan dibuatnya peraturan
daerah yang membatasi masuknya tenaga kerja asing serta mengharuskan
perusahaan memberikan pelatihan peningkatan ketrampilan pada pekerja-pekerja
lokal. Dengan demikian, lahan usaha bertambah, lapangan pekerjaan bagi warga
masyarakat tercipta, tanpa harus ada kekhawatiran akan tersingkirnya tenaga kerja
lokal.
Mekanisme check and balance yang memberi peluang kepada DPRD dan
pemerintah daerah untuk saling mengontrol, mengawasi, dan mengimbangi,
menjadikan semua kebijakan publik pada tingkat lokal harus melibatkan kedua belah
pihak. Komunikasi yang tidak dibangun dengan baik akan mengakibatkan pola
hubungan di antara kedua institusi ini menjadi tidak sehat dan pada akhirnya
menghasilkan sebuah pemerintahan yang tidak stabil.
Secara umum demokrasi mengakui adanya kehidupan yang serba majemuk,
karena keberagaman masyarakat menjadi realitas sosial yang alamiah. Oleh
karenanya, diperlukan kepekaan yang kuat dalam menentukan prioritas
pembangunan daerah. Kemajemukan harus menjadi aset daerah yang perlu dikelola
dengan baik dalam tatanan politik, pemerintahan, dan pembangunan yang kondusif.
Kemampuan meletakkan posisi secara proporsional oleh DPRD dan pemerintah
daerah terhadap pemerintahan pusat akan menciptakan sinergi yang lebih optimal.
Berdasarkan penelitian terhadap peran dan fungsi DPRD selama ini,
menunjukkan bahwa proses demokrasi, pelaksanaan pemerintahan, dan
pembangunan tersendat justru karena peran DPRD yang kurang sesuai dengan
kepentingan daerah. Untuk itu, ke depan DPRD perlu memberikan makna otonomi
dalam konteks sebagai berikut.
Kedudukan DPRD tidak lagi menjadi bagian dari pemda tetapi sebagai badan
yang memiliki wewenang strategis dalam penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan daerah. Intervensi pemerintah pusat terbatas pada hal-hal tertentu,
selanjutnya sehingga daerah diharapkan dapat lebih berperan dalam menentukan
prioritas pembangunan. Peluang DPRD untuk menciptakan dan mendorong
pembangunan demokrasi di daerah semakin terbuka. Kepentingan masyarakat dapat
lebih diwadahi dan potensi daerah dapat dimanfaatkan secara lebih optimal.
Dalam hal ini, urusan murni pemerintah pusat, sebagaimana diatur dalam UU
No. 32/2004 terbatas menyangkut enam bidang, yaitu politik luar negeri ,
pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional , serta agama. Urusan di
bidang lainnya, menjadi urusan yang dibagi bersama antara pemerintah pusat,
pemerintah propinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.
Urusan bersama ini, sebagaimana diatur dalam PP No. 38/2007 terdiri dari
31 bidang urusan pemerintahan yang setelah diklasifikasikan diturunkan menjadi 26
urusan wajib dan 8 (delapan) urusan pilihan. Urusan wajib adalah urusan
pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh pemerintahan daerah provinsi dan
pemerintahan daerah kabupaten/kota berkaitan dengan pelayanan dasar.
Sedangkan urusan pilihan adalah urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan
berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi,
kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan yang ditentukan dan
ditetapkan oleh pemerintahan daerah. Terkait batasan kewenangan masing-masing
tingkatan pemerintahan dalam setiap urusan tersebut, juga telah diatur dalam
lampiran PP No. 38/2007 tersebut.

Urusan Pemerintahan Daerah dalam PP No. 38/2007


Urusan 1. pendidikan; 14. pemberdayaan perempuan dan
Wajib 2. kesehatan; perlindungan anak;
3. lingkungan hidup; 15. keluarga berencana dan keluarga
4. pekerjaan umum; sejahtera;
5. penataan ruang; 16. perhubungan;
6. perencanaan 17. komunikasi dan informatika;
pembangunan; 18. pertanahan;
7. perumahan; 19. kesatuan bangsa dan politik dalam
8. kepemudaan dan negeri;
olahraga; 20. otonomi daerah, pemerintahan umum,
9. penanaman modal; administrasi keuangan daerah, perangkat
10. koperasi dan usaha daerah, kepegawaian, dan persandian;
kecil dan menengah; 21. pemberdayaan masyarakat dan desa;
11. kependudukan dan 22. sosial;
catatan sipil; 23. kebudayaan;
12. ketenagakerjaan;] 24. statistik;
13. ketahanan pangan; 25. kearsipan; dan
26. perpustakaan.
Urusan 1. kelautan dan 5. pariwisata;
Pilihan perikanan; 6. industri;
2. pertanian; 7. perdagangan; dan
3. kehutanan; 8. ketransmigrasian.
4. energi dan sumber
daya mineral;

Untuk mewujudkan terciptanya penyelenggaraan pemerintahan yang baik


(good governance) di daerah diperlukan berbagai instrumen, yaitu perda, kebijakan
dan program berbasis kerakyatan, serta kualitas anggota DPRD yang mampu proaktif
merancang kebutuhan masyarakatnya. Oleh karenanya, mendahulukan diri dan
kelompok melalui peluang dan kewenangan yang dimilikinya merupakan hal yang
tidak boleh terjadi.
Dengan otonomi, daerah diharapkan mampu dan mandiri dalam membiayai
dirinya karena dana yang diperoleh dari pusat sangat terbatas. Pemda dituntut untuk
selalu meningkatkan PAD, tetapi ini harus dalam konteks tidak menjadi beban
aktivitas ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat. Peraturan daerah semacam pajak
dan retribusi yang kurang produktif, tidak dilanjutkan lagi, diganti dengan peraturan
yang dapat mendorong prakarsa masyarakat agar lebih produktif.
Terdapat kecenderungan bahwa pelaksanaan otonomi daerah relatif oleh
banyak pihak justru memperluas praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme. Ini sebagai
akibat dari lemahnya komitmen DPRD dalam menggunakan kewenangannya. Di
pPosisi tawar-menawar kuat yang dimiliki DPRD dalam kerangka akomodasi
kepentingan rakyat masih banyak tidak dijalankan dengan baik tapi justru
dimanfaatkan secara tidak bertanggung jawab tanpa menghiraukan kepentingan
rakyat daerah. Demikian pula praktik politik uang bukan lagi rahasia, terutama dalam
kerangka persetujuan RAPBD, Raperda yang diajukan pemerintah, ataupun momen
politis dalam pertanggungjawaban tahunan dari Kepala Daerah (KDH), dimana
banyak kalangan anggota DPRD terlibat di dalamnya. Artinya, fungsi pengawasan
dari DPRD masih banyak yang belumtidak berlangsung sesuai dengan UU dan
peraturan yang ada, tapi mengalami distorsi sedemikian rupa sehingga
pemerintahan yang bersih sangat masih sulit diwujudkan.

4.2. DPRD sebagai pembentuk karakter politik pemerintahan dan pembangunan

Selain sSebagai wakil rakyat, DPRD menghadapi tantangan baru untuk


menjadikan institusi ini sebagai agen perubahan. DPRD dituntut dapat
Mmenciptakan iklim politik yang sehat dan untuk memberikan pemahaman
bermakna pada masyarakat akan pentingnya kesadaran politik rakyat dalam
mendukung dan mengoreksi kebijakan pemerintahan. Demikian pula dalam
mendorong pemahaman bermutu pada rakyat terhadap pentingnya pembangunan
daerah berdasarkan potensi yang dimiliki untuk, digali dan dimanfatkan secara
bersama-sama.
DPRD memiliki nilai strategis yang sangat penting dalam mendorong
demokratisasi di semua sektor kehidupan. Peran partisipasi aktif masyarakat
diharapkan dapat tumbuh dan berkembang sejalan dengan kewenangan yang
dimiliki DPRD serta upayanya untuk dapat mengelola beragam kepentingan politik,
sehingga dapat menjadikan DPRD sebagai agen perubahan.
Pasal 16 ayat 1 UU No. 22/1999 menyatakan bahwa DPRD sebagai lembaga
perwakilan rakyat di daerah merupakan wahana untuk melaksanakan berdemokrasi
berdasarkan Pancasila dan pelibatan rakyat dalam pembangunan daerah. UU No.
32/2004 ini memberikan kekuasaan yang sangat besar pada DPRD dalam hak, tugas
dan wewenangnya. Ini hendaknya dimaknai sebagai peluang dan tantangan untuk
melakukan perubahan-perubahan ke arah demokratisasi di daerahnya, dan bukan
dilihat sebagai kesempatan untuk melakukan intervensi terhadap lembaga-lembaga
pemerintahan lainnya.
Dalam menjalankan fungsi legislasi misalnya, DPRD dapat harus membuat
perda-perda inisiatif dan sekaligus mendorong pemerintah untuk
membuatmengajukan perda-perda yang berpihak kepada rakyat. Dalam kaitannya
dengan tugas dan wewenangnya mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian
kepala daerah, selain mendengar usulan fraksi-fraksi DPRD juga dapat mengadakan
forum pertemuan dengan unsur-unsur masyarakat guna mendengarkan dan
mempertimbangkan aspirasi sekaligus penilaian mereka terhadap calon-calon kepala
daerah yang akan dipilih nantinya. Melalui cara ini, Sehingga diharapkan tidak terjadi
lagi adanya kepala-kepala daerah yang didukung DPRD tetapi tidak dikehendaki
rakyat. Untuk lebih mengefektifkan fungsi pengawasan, DPRD dapat menghidupkan
hak penyelidikan sehingga pengawasan politik terhadap jalannya pemerintahan
dapat diwujudkan.
Pembangunan daerah tidak akan berjalan bila sejumlah prasyarat tidak
dipenuhi, terutama oleh para penyelenggara pemerintahan di daerah yaitu pihak
legislatif dan eksekutif di daerah. DPRD bersama pemda (eksekutif) hendaknya
memfasilitasi segala bentuk kegiatan di daerah.
Dalam, terutama di bidang perekonomian,. Kkegiatan ekonomi jangan
diartikan semata-mata sebagai sumber PAD tetapi sebaiknya diterjemahkan sebagai
upaya untuk mengajak masyarakat daerah maupun luar daerah untuk
memanfaatkan dan mengembangkan potensi daerah. pengaturan sumber-sumber
pendapatan negara dan daerah, pembagian pendapatan dari kekayaan alam, pajak
dan retribusi, merupakan sebagian cara untuk mewujudkan itu, selain mendorong
kegiatan investasi, serta menggerakkan kegiatan ekonomi lintas daerah dan lintas
nasional. Beberapa fasilitas kemudahan hendaknya diadakan, misalnya, fasilitas
perijinan usaha, perpajakan, dan kemudahan untuk menggunakan sarana dan
prasarana serta sumber daya daerah (tanah, hutan, tambang, dan lain-lain) dengan
memperhatikan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan.
Semua pemanfaatan potensi daerah harus diatur dalam perda sebagai
jaminan adanya perlindungan terhadap kegiatan usaha dan pengembangannya., jika
Tanpa payung regulasi yang jelas dan tegas, tidak upaya pemanfaatan dapat berubah
menjadi penyalahgunaan. Tugas DPRD selanjutnya adalah mengawasi jalannya
perda-perda di bidang perekonomian tersebut.
Selanjutnya, beberapa pemahaman dan tindakan yang perlu ditampilkan
DPRD dalam mendukung pembangunan daerah yang lebih bertanggung jawab.
Beberapa upaya yang dapat dilakukan adalah:
1. memahami secara benar filosofi dan prinsip pembangunan di era otonomi
daerah, baik yang terkait dengan potensi yang dimiliki daerah maupun posisi
daerah dalam lintas pembangunan regional dan nasional.
2. memahami secara baik dan benar tentang penerapan secara menyeluruh
mengenai pemerintahan yang baik, yaitu: adanya partisipasi masyarakat,
penegakan hukum, transparansi, peningkatan daya tanggap, kesetaraan,
memiliki visi yang jauh kemasa depan, efektivitas, efisiensi, profesionalitas,
akuntabilitas, dan kemampuan pengawasan yang baik.
3. memahami dan mampu melaksanakan tugas, fungsi, kewajiban, dan tanggung
jawabnya sesuai yang digariskan dalam peraturan perundang-undanganUU No.
22/1999 tentang Pemda, agar seluruh pola pikir dan tindak yang dilakukan
dalam mendukung pembangunan daerah dapat lebih optimal dan sesuai
dengan koridor hukum.
4. memahami masalah daerah dan memuat peta pembangunan yang berbasis
kerakyatan berdasarkan kondisi, aspirasi, tuntutan, dan kebutuhan prioritas
masyarakat. Hal ini dimaksudkan untuk lebih memudahkan semua pihak dalam
mendukung setiap proses pemerintahan dan pembangunan.
Sebagai institusi yang mewakili beragam aspirasi masyarakat, DPRD
hendaknya membuka ruang komunikasi politik secara luas dengan seluruh unsur
masyarakat di daerahnya. Komunikasi yang intensif dan terarah akan melahirkan
kesadaran politik masyarakat. Serta mMemberikan pemahaman akan pentingnya
kesadaran politik sama artinya dengan menempatkan masyarakat dalam posisi
sebagai mitra. Dalam prinsip ketatapemerintahan yang baik, masyarakat adalah
mitra pemerintah dan DPRD dalam membangun daerahnya, dan bukan semata-mata
obyek pembangunan. Sebagai mitra yang dengan kesadaran politik yang baik, maka
masyarakat akan tahu kebijakan-kebijakan mana yang harus didukung dan mana
pula yang perlu dikoreksi.
Adanya iklim politik yang sehat akan mendukung peran DPRD sebagai
pembentuk karakter politik di daerahnya. Ini bisa dilakukan, Aantara lain, dengan
cara mengajak serta elemen-elemen masyarakat berpartisipasi aktif melalui fungsi
dan peran yang dimiliki masing-masing. Sebagai bagian dari pelaku-pelaku politik di
daerah, DPRD hendaknya melibatkan individu maupun lembaga yang memiliki
pengaruh besar di masyarakat dalam merumuskan kebijakan-kebijakan. Tokoh-tokoh
masyarakat, adat, dan agama adalah sebagian dari individu-individu yang dapat
memberi kontribusi melalui masukan dan kritik terhadap pemda dan DPRD. Selain
itu, dangkan LSM, ormas, dan partai politik akan selalu mencermati dan kritis
terhadap pelaksanaan peran dan fungsi serta kinerja DPRD dalam membangun
kebijakan dan pelayanan pemdapublik. Jika komunikasi seperti ini dilakukan terus-
menerus secara berkesinambungan, maka proses pembangunan demokrasi di
daerah dapat segera terwujud sebagaimana yang dicita-citakan.
Mencermati berbagai hal yang terjadi di daerah, memang banyak hal yang
menjadi kecenderungan dan permasalahan umum pembangunan di daerah,
terutama yang terkait dengan kondisi sosial yang perlu ditanggapi melalui
pendekatan pembangunan. Untuk mendukung aspek-aspek pembangunan yang
telah diuraikan di atas, terdapat beberapa alternatif pendekatan pembangunan yang
dapat didorong oleh DPRD ke arah yang lebih baik untuk dilakukan oleh pemerintah
daerah dalam merespon kondisi faktual yang berkembang.
Penguatan pelaksanaan desentralisasi pemerintahan dan pembangunan yang
dapat menjamin hak-hak dasar masyarakat daerah harus dilakukan. dalam berbagai
aspek, sehingga aAspirasi masyarakat bawah harus dapat terserap dan diangkat
menjadi permasalahan utama dalam proses perencanaan dan pengambilan
keputusan pembangunan untuk berbagai dimensi, baik itu politik, ekonomi, sosial,
maupun budaya. Terkait dengan ini, juga upaya debirokratisasi dan deregulasi di
tingkat pemerintahan lokal butuh dilakukanterus dikaji dan diperbaiki untuk
mengurangi hambatan-hambatan dalam mencapai keberhasilan sebuah kebijakan,
agar pelayanan yang diberikan kepada masyarakat memang diyakini berlangsung
efektif dan efisien.
Peningkatan kemampuan kelembagaan atau organisasi pembangunan
sektoral perlu dioptimalkan. Hal ini mencakup peningkatan kemampuan dalam
formulasi kebijakan dan perencanaan, transfer teknologi dan pengembangan
kemampuan, khususnya kemampuan untuk memberikan pelayanan secara tepat dan
tepat, serta menumbuhkan peranan sektor swasta dan lembaga swadaya
masyarakat.
Upaya peningkatan kualitas SDM hendaknya harus dilakukan pada semua lini
aktivitas masyarakat, baik yang bersifat formal maupun yang bersifat informal. Ini
dapat dan dilaksanakan dalam melalui berbagai paket-paket pelatihan, penyuluhan,
dan bimbingan keterampilan. Guna menjamin SDM yang berkualitas tersebut dapat
bermanfaat, maka harus diciptakan prakondisi yang memungkinkan Di samping itu,
juga perlu penekanan pada pemahaman konsep dalam kerangkalahirnya bisnis
kemitraan antar semua elemen dan lapisan sosial masyarakat. Upaya ini bisa
dilakukan dengan Konsep ini harus mampu menjamin ketersediaan lahan dan
sumber daya alam lainnya guna menampung tenaga kerja yang telah disiapkan.
Prakondisi lainnya yang juga butuh disiapkan adalah upaya Demikian pula, konsep ini
perlu menjamin kesinambungan suplai komoditi yang dibutuhkan dalam
pengembangan kreatifitas masyarakat. Oleh karena itu, Selanjutnya pelatihan-
pelatihan di bidang perdagangan barang, jasa, dan pengetahuan tentang
pembentukan jaringan bisnis yang bersifat kemitraan sangat penting perlu pula
dikembangkan, guna menjaga hubungan yang harmonis antara semua pelaku
ekonomi daerah.
DPRD perlu memperkuat dan meningkatkan prakarsa di tingkat lokal sehingga
dapat mendorong dan meningkatkan kemampuan berusaha yang berbasis
kerakyatan bagi tumbuh dan berkembangnya ’local enterpreneurship’ atau
pengusaha lokal yang kuat. Upaya membangkitkan kembali koperasi dan
permodalan dapat dilakukan untuk menumbuhkan usaha swadaya masyarakat.
Namun demikian, upaya ini harus menghindari adanya, tetapi dengan catatan tidak
memberikan beban baru bagi masyarakat miskin yang masih banyak tersebar di
berbagai daerah.
Kebijakan dasar program-program pembangunan (dalam arti luas) yang
dirumuskan DPRD perlu diorientasikan kepada mata pencaharian utama yang
digeluti masyarakat di suatu daerah, sehingga ke depan dapat menjadi basis
keunggulan daerah. Intinya, setiap metode penentuan proyek pembangunan harus
sesuai dengan keunggulan wilayah dan kapasitas masyarakat setempat agar potensi
yang terdapat di setiap daerah dapat dieksploitasi dimanfaatkan secara proporsional.
Pada gilirannya, , yang pada gilirannyaini diharapkan akan menciptakan situasi saling
ketergantungan (interdependen) dan keseimbangan ekonomi antar daerah.
Untuk Dalam kerangka perencanaan pembangunan, semua kondisi yang
dijelaskan di atas diharapkan mampu menemukan kesetaraan politik, sosial, dan
ekonomi masyarakat untuk memperoleh kesempatan yang sama dan peningkatan
kesejahteraan yang lebih adil dan lebih maju. Upaya meraih kesemua hal tersebut,
secara strategis membutuhkan peran DPRD sebagai pembentuk karakter politik
pemerintahan dan pembangunan.

4.3. Batas-batas fungsional antara DPRD dan lembaga pemerintahan lainnya

Sebagai lembaga politik, DPRD memiliki tugas-tugas yang hanya terbatas


pada dimensi-dimensi tertentu. Tugas yang dimaksud adalah legislasi, keuangan,
pengawasan pemerintahan dan pembangunan serta perannya sebagai wakil rakyat
yang menampung aspirasi dan menindaklanjutinya. Hal inilah yang penting
dikomunikasikan secara terus-menerus pada masyarakat agar mereka memahami
tugas-tugas utama DPRD, serta hubungan kerja, koordinasi dan tanggung jawab yang
ada pada DPRD. Demikian pula dengan hubungan kerja dan koordinasinya DPRD
dengan lembaga-lembaga pemerintahan daerah maupun dalam kerangka hubungan
dengan lembaga-lembaga lain seperti LSM, ormas, dan lain-lain secara luas.
Berdasarkan kondisi tersebut, maka setiap anggota DPRD wajib mengetahui,
memahami serta melaksanakan kewajiban sebagai tugas yang diamanatkan padanya
dan. Demikian pula berhak memperoleh hak sesuai dengan undang-undang dan
peraturan yang berlaku. Sumber referensi dari kewajiban dan hak anggota DPRD
telah diatur dengan baik di dalam UU No. 2232/19992004 dan UU No. 27/2009.

Fungsi, Hak, Tugas dan Wewenang DPRD (UU No. 32/2004 dan UU N0. 27/2009)
Fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan
Tugas dan a. membentuk perda;
Wewenang b. membahas dan memberikan persetujuan raperda mengenai APBD
yang diajukan oleh pemda;
c. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan perda dan APBD;
d. mengusulkan pengangkatan dan/atau pemberhentian kepala daerah
dan/atau wakil kepala daerah kepada Presiden melalui Mendagri;
e. memilih wakil kepala daerah dalam hal terjadi kekosongan jabatan;
f. memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemda terhadap
rencana perjanjian internasional di daerah;
g. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama internasional
yang dilakukan oleh pemda;
h. meminta laporan keterangan pertanggungjawaban kepala daerah
dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah;
i. memberikan persetujuan rencana kerja sama dengan daerah lain atau
dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah;
j. mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangundangan; dan
k. melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Hak DPRD a. interpelasi;
b. angket;
c. menyatakan pendapat.
Hak Anggota a. mengajukan rancangan peraturan daerah provinsi;
DPRD b. mengajukan pertanyaan;
c. menyampaikan usul dan pendapat;
d. memilih dan dipilih;
e. membela diri;
f. imunitas;
g. mengikuti orientasi dan pendalaman tugas;
h. protokoler; dan
i. keuangan dan administratif.
Adapun tugas dan wewenang yang dimaksud adalah:
1. Memilih kepala daerah (gubernur, bupati/walikota dan wakil-wakilnya).
Selanjutnya dalam revisi UU No. 22/1999 akan disepakati pilihan langsung
(gubernur, bupati/walikota dan wakil-wakilnya) oleh rakyat, sehingga ke depan
tugas ini tidak akan ada lagi dalam DPRD.
2. Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah (gubernur,
bupati/walikota dan wakil-wakilnya) sebelum revisi UU No. 22/1999 disetujui
oleh DPR-RI.
3. Bersama kepala daerah menetapkan APBD.
4. Melaksanakan pengawasan terhadap hal-hal sebagai berikut:
a. Perda dan peraturan lainnya.
b. Pelaksanaan keputusan kepala daerah.
c. Pelaksanaan APBD.
d. Pelaksanaan kerjasama.
e. Pelaksanaan kebijakan dan program penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan.
5. Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah terhadap
rencana perjanjian kerjasama.
6. Menampung aspirasi masyarakat daerah.
Selanjutnya hak DPRD diatur dalam Pasal 19 UU No. 22/1999. Selain itu,
anggota DPRD juga memiliki hak khusus sebagaimana yang diatur dalam Pasal 21 UU
No. 22/1999 yaitu mengajukan pertanyaan, protokoler dan keuangan/administrasi.
Sementara itu jJika dikaji lebih jauh, peran DPRD sebagaimana yang diatur
dalam UU peraturan perundang-undangan cukup luas, terutama dalam konteks
perannya sebagai wakil rakyat. Untuk itu, DPRD sebagai lembaga eksekutif daerah
hendaknya menjadi sumber inisiatif, ide, gagasan, dan konsep pembangunan daerah
yang secara optimal dapat dituangkan dalam peraturan daerah sebagai acuan dasar
dalam memajukan pemerintahan dan pembangunan ke arah yang lebih baik.
Untuk menjalankan (implementasi) perda, dapat dibuat keputusan peraturan
kepala daerah yang merupakan kewenangan penuh dari kepala daerah. Pembuatan
keputusan peraturan kepala daerah tidak memerlukan persetujuan DPRD. Meskipun
demikian, bila dipandang perlu, kepala daerah dapat berkonsultasi dengan DPRD.
Ssebab konsekuensi dari peraturankeputusan kepala daerahtersebut akan menjadi
bahan dipertanggungjawabkan kepala daerah di hadapan DPRD.
Dalam hal penyusunan anggaran keuangan daerah, banyak dialami hambatan
dan tantangan sehingga perlu dikelola dengan baik. Seperti aAlokasi untuk anggaran
DPRD, misalnya, seringkali menjadi titik konflik kepentingan antara DPRD dengan
Pemda. Bahkan, di banyak tempat, pihak DPRD menghendaki anggaran seimbang
antara DPRD dan pemda. Ini tentunya tidak proporsional karena , padahal anggaran
yang dikelola oleh pemda harus mencakup untuk semua kegiatan pembangunan
daerah. Inilah yang perlu dicermati oleh pihak DPRD agar gagasan-gagasan yang
diusulkan tidak kemudian menghambat gerak laju penyelenggaraan pemerintahan
dan pembangunan daerah.
Selanjutnya untukPada konteks pengawasan, DPRD perlu melakukan dengan
kontrol politik yang bersifat strategis (oversight), bukan pengawasan teknis dan
administratif. , sebab DPRD adalah lembaga politik sehingga arah pengawasan dapat
diarahkan pada sejauhmana pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan daerah
mencapai hasil yang diharapkan dalam RPJP, RPJMD, dan RKPD. Dalam praktiknya,
seringkali pelaksanaan pengawasan oleh DPRD menjadi titik konflik karena DPRD
masuk kepada hal-hal yang bersifat teknis-adminsitratif yang sebenarnya bukan
merupakan tugas dari DPRD. Wilayah pengawasan ini, dalam struktur tata
pemerintahan daerah sudah menjadi tugas dan wewenang dariKarena selain
lembaga DPRD, terdapat institusi/lembaga lainnya yang bertugas mengawasi
persoalan teknis dan administratif, yaitu: (1) Satuan pengawas internal seperti,
inspektorat provinsi dan inspektorat kabupaten/kota, (2) Satuan pengawas eksternal
seperti BPK, BPKP, KPK, akuntan publik, dan lain-lain.
Bertolak dari kenyataan UU yang relatif menempatkan kKedudukan DPRD
yang cukup kuat sebagaimana yang telah diuraikan luas dimuka, ada juga membuka
kecenderungan telah dan akan terjadi dominasi bahan legislatif daerah terhadap
pemda. Jika dominasi ini terus berlangsung, maka keputusan-keputusan pemerintah
daerah akan selalu sarat dengan nuansa politik yang tidak sehat. Potensi negatifnya
adalah bahwa Sehingga keputusan penyelenggara pemerintahan dan pembangunan
daerah yang ada bisa kurang memperhatikan aspek profesional, efektivitas dan
efisiensi, teknis, dan hukum-administratif.
Untuk itu, peran serta masyarakat untuk mendorong terciptanya
penyelenggaraan pemerintahan dan, pembangunan, dan kemasyarakatan sangat
penting sebagai konsekuensi dari upaya menempatkan masyarakat sebagai subyek
dan obyek pembangunan itu sendiri. Namun, kontrol dari masyarakat dalam
kerangka pengawasan pembangunan senantiasa perlu dilaksanakan dan disalurkan
secara proporsional, terarah, dan bertanggung jawab. Dengan demikian
kesalahpahaman akan senantiasa dapat dihindari dan obyektivitas tuntutan
masyarakat dapat dipertanggungjawabkan secara logis.
Sebagai lembaga perwakilan rakyat, DPRD merupakan salah satu wahana
untuk pmenyerap dan menyampaikan aspirasi masyarakat untuk ditindaklanjuti.
Sesuai dengan mekanisme yang berlaku, DPRD berkewajiban memfasilitasi dan
menindaklanjuti aspirasi dari masyarakat, organisasi maupun dari berbagai kelompok
lainnya. DPRD dalam hal ini dapat melakukannya dengan berbagai mekanisme,
antara lain:seperti Mmelalui rapat dengar pendapat, dialog, kunjungan kerja
lapangan, saluran-saluran alternatif untuk menyerap aduan dan pendapat publik
(saluran telpon, sms, e-mail, website, blog, dan sebagainya), surat atau hasil kajian,
rekomendasi, persetujuan, dan lain-lain untuk diakomodasi dalam peraturan daerah
atau ditindaklanjuti dalam bentuk kebijakan dan program pembangunan.
Satu hal yang sangat perlu dipahami oleh semua pihak adalah bahwa,
penyampaian aspirasi masyarakat ke DPRD akan berjalan sangat efektif apabila
masyarakat mengerti dan memahami kedudukan, wewenang, tugas dan hak DPRD
itu sendiri. Oleh sebab itu, DPRD perlu aktif menyosialisasikan tugas-tugas dan hak
politiknya kepada masyarakat luas. Demikian pula, pihak DPRD akan sangat efektif
melaksanakan tugas-tugasnya jika peka dan aktif merespon setiap dinamika
kehidupan masyarakat.
BAB V
Menjembatani dan Mengelola
Berbagai Kepentingan Politik Publik

Rahmi Yunita

Tugas Para wakil rakyat adalah pada intinya memang harus


memperjuangkan kepentingan rakyat. Di dalam DPRD dituntut mampu mengelola
dan menjembatani, bermuara berbagai kepentingan politik untuk yang harus
diakomodasikan sebaik mungkin dalam bentuk kebijakan publik yang paling
elementer di daerah, yaitu perda. Perda adalah salah satu produk hukum
pemerintahan daerah. dalam struktur peraturan perundang-undangan Indonesia
dan mengikat seluruh pihak di daerah. karena Oleh karena itu, kemampuan DPRD
adalah jembatan bagi berbagai kepentingan politik dalam menentukan kebijakan di
daerah ini, kemampuan untuk mengelola kepentingan-kepentingan yang
berkembang di daerah menjadi sangat penting.

Dalam tradisi demokrasi yang telah mapan, sudah terdapat pranata yang
berkembang dalam kehidupan berpolitik masyarakat yang dapat membantu wakil-
wakil rakyat melakukan tugasnya, misalnya tuntutan yang efektif akan keterbukaan
informasi, persaingan yang terbuka dari berbagai kepentingan, serta akuntabilitas
pertanggungjawaban publik dalam bidang hukum dan etika. Di negara demokrasi
muda seperti Indonesia, hal ini masih harus dibangun., dan kKondisiteks ini
melipatgandakan tantangan bagi para anggota DPRD terpilih.

5.1. DPRD sebagai wakil semua

Dalam sejarahnya, pemerintahan perwakilan lahir ketika masyarakat


memutuskan untuk menyerahkan sebagian urusannya kepada sebagian kecil orang.
Ketika demokrasi lahir, lembaga pemilu berkala yang jujur dan adil dipercaya sebagai
instrumen untuk menentukan siapa sebagian kecil orang yang diminta mengelola
kepentingan publik ini. Dalam perkembangannya, kendati berbagai bentuk
demokrasi pun lahir, mereka berakar dari dua model ekstrem di bawah ini:

1 2

Demokrasi parlementer Demokrasi presidensial


Model westminster Model pemisahan kekuasaan
Diawali oleh Inggris Diawali Presidensialisme AS

Bila pPada model parlementer, perdana menteri adalah pemimpin


pemerintahan sekaligus anggota parlemen., Sedangkan model demokrasi
presidensial mengandalkan sistemnya pada adanya dua lembaga pemerintahan yaitu
eksekutif yang menjalankan pemerintahan dan lembaga perwakilan yang
menetapkan kebijakan dan mengawasi pelaksanaannya.
Amandemen UUD 1945, yang telah dilakukan empat tahap, mengantarkan
Indonesia pada pemurnian model pemisahan kekuasaan ini., Salah satunya adalah
dengan menggariskan bahwa Presiden Republik Indonesia dipilih secara langsung
dalam pemilu. Dengan demikian, presiden mendapatkan legitimasi demokratis
langsung dari rakyat dan tidak dapat dijatuhkan dengan alasan politis oleh lembaga
perwakilan, seperti pengalaman kejatuhan Presiden Abdurrahman Wahid.
Mengikuti mekanisme rekruitmen kepala eksekutif tingkat nasional ini, UU
No. 2232/20034 juncto UU No. 12/2008 mengisyaratkan mempertegas bahwa
pilihan kepala daerah pun akan dilakukan dengan mekanisme yang sama, yaitu
pemilihan langsung. Kepala daerah tidak lagi dipilih oleh DPRD. Pasal 18 ayat 1 UU
No. 22/1999 menggariskan bahwa salah satu tugas dan wewenang DPRD adalah
”memilih gubernur/wakil gubernur, bupati /wakil bupati dan walikota/wakil
walikota”. Fungsi ini sudah terhapus ketika UU No. 22/2003 disahkan.

Dalam konteks baru ini, bagaimana seharusnya peran DPRD?

Dengan menguatnya lembaga eksekutif di daerah ini, maka peran lembaga


legislatif di daerah pun bergeser, dari berhak untuk ”meminta pertanggungjawaban
gubernur, bupati/walikota” menjadi lembaga untuk memastikan check and balance.
Dalam konteks pertanggungjawaban kepala daerah, maka wewenang DPRD kini
terbatas pada permintaan keterangan laporan pertanggungjawaban dari kepala
daerah. Kepala eksekutif telah mendapatkan mandatnya sendiri secara terpisah
untuk memerintah, dan memajukan sebuah agenda kebijakan seperti yang
dikampanyekan dalam platform-nya, sebagaimana akan dituangkan dalam RPJMD
yang akan berlaku selama lima tahun (satu periode kepemimpinan daerah).
Selain memiliki perimbangan mengimbangi kewenangan anggaran dari
cabang terhadap eksekutif, DPRD bertugas hadir sebagai wakil rakyat untuk
menyusun legislasi daerah (perda) serta mengawasi pelaksanaannya oleh eksekutif.
Di sisi lain, lembaga eksekutif memiliki kewenangan menerjemahkan kehendak
legislatif sebagaimana tertuang dalam perda melalui berbagai produk kebijakan
eksekutif seperti peraturan kepala daerah yang nantinya akan
dipertanggungjawabkan kepada DPRD.biasanya memiliki kekuatan veto yang
mengimbangi lembaga legislatif. Hubungan saling membutuhkan sekaligus dapat
”saling menyandera” inilah semangat dari prinsip pemisahan kekuasaan dalam
demokrasi presidensial.
Sebagai lembaga politik yang bersifat kolegial, beranggotakan banyak orang,
dapat dipahami bahwa DPRD tidak monolitik (tunggal/seragam). Artinya, DPRD
adalah arena yang mencerminkan berbagai preferensi politik yang beragam.
Dinamika dalam DPRD sendiri akanadalah mencerminkan berbagai aspirasi
masyarakat yang menuntut diakomodasisuarakan dalam pengambilan kebijakan
daerah. Meski Juga ketika kita menyadari bahwa tidak semua komponen masyarakat
terwakili dalam DPRD (karena tidak semua suara dalam pemilu teralokasikan
menjadi kursi), usai pengukuhan anggota DPRD, lembaga ini hakekatnya telah
menjelma menjadi lembaga perwakilan rakyat.
Konsekuensinya, Kkita tidak lagi dapat mempersoalkan apakah masyarakat
yang mengadu di gedung DPRD adalah bukan bagian dari golput alias dengan satu
atau lain alasan (tidak memberikan suaranya pada pemilu) lalu. Kita juga tidak lagi
dapat menyoal bahwa sebagian dari masyarakat di daerah pemilihan kita tertentu
bukanlah konstituen kita. Setelah pemilu usai, wakil rakyat harus berhadapan
dengan publik daerah secara keseluruhan yang sedapat mungkin suaranya harus
dikelola dapat terwakili demi legitimasi produk-produk politik kebijakan di daerah.
Maka iIni mengarahkan kita pada hal penting yaitu bahwa yang harus
digarisbawahi adalah hubungan antara anggota DPRD dengan dan masyarakat tidak
berhenti ketika yang bersangkutan terpilih. Justru sebaliknya, hubungan perwakilan
ini justru ”baru dimulai” tepat ketika anggota DPRD terpilih. Usai pemilu, DPRD
berubah dari wakil pemilih menjadi wakil semua.

5.2. Mengidentifikasi pelaku-pelaku politik utama

Politik menjadi arena dimana tempat sumber daya yang terbatas yang
dikelola pemerintah harus dialokasikan. Dalam konteks itulah, maka terjadilah
pertarungan antara berbagai aktor politik di daerah. dalam demokrasi mapan, partai-
partai politik secara umum mengidentifikasi dirinya dengan kecenderungan
kebijakan tertentu, misalnya apakah itu cenderung pro pasar atau cenderung
mengutamakan agenda-agenda kesejahteraan sosial. Ini tidak saja merupakan
respons terhadap ’pasar politik’ (kecenderungan) pemilih, namun lebih dari itu
merupakan terjemahan ideologis dari para aktivis partainya.
Indonesia memiliki konteks yang sedikit berbeda. Perebutan alokasi sumber
daya masih jarang mempersoalkan strategi kebijakan namun lebih
dimaksudkanterjebak sekedar untuk ’bagi-bagi rejeki’ di antara pejabat publik.
Situasi transisional, yang sering dimana mengakibatkan penegakan hukum belum
sepenuhnya terjadi, ini membuat situasi pembangunan politik di Indonesia, termasuk
di daerah menjadi rumit. Tidak ada yang memungkiri bahwa praktek korupsi,
termasuk di dalamnya adalah korupsi politik –korupsi dengan pemanfaatan jabatan-,
merupakan masalah besar dari yang pada dasarnya menentukan perilaku politik
pejabat daerah, termasuk pada masa lima tahun pertama reformasi. Kendati
rumitdemikian, bab ini berusaha tidak mengabaikan keduanya, baik kontek
demokrasi yang dewasa dan ideal harus terus disandingkan dengan tantangan
faktual maupun konteks Indonesia yang sedang menata demokrasinya.
Selalu ada pihak-pihak yang lebih diuntungkan dan kurang diuntungkan,
bahkan dirugikan, dalam pilihan kebijakan yang ditempuh pemerintah daerah dan
DPRD. Karena itu, bersikap mawas terhadap berbagai pelaku-pelaku politik ini akan
membantu DPRD mengantisipasi pelanggaran-pelanggaran hukum dan etika yang
dapat terjadi. Berikut ini digambarkan pembagian pelaku-pelaku politik yang ada
dalam sistem demokrasi pembagian kekuasaan (presidensial) dan
kontekstualisasinya di Indonesia.

1. Kepala eksekutif/kepala daerah (walikota/bupati)


Kepala daerah, secara ’rasional’, memiliki kepentingan untuk terpilih
kembali dalam pemilu berikutnya sehingga cenderung untuk berusaha untuk
memberikan kesan yang terbaik di mata masyarakat pemilih. Selain itu, ada juga
kecenderungan kepala daerah untuk menorehkan sejarah sebelum meletakkan
jabatan (vouloir conclure). Ini bisa berwujud pembangunan sebuah proyek
raksasa dan prestisius yang lebih sering bersifat fisik daripada mental agar karena
yang terakhir ini tidak mudah dilihat hasilnya dalam waktu singkat. Pada
fenomena ini ada resiko sumber daya masyarakat dihamburkan untuk proyek-
proyek mercusuar yang mahal tapi tidak banyak berguna.
Namun kepentingan yang ’rasional’ di atas memang sering tidak
permanenmengemuka. Kkarena kepala eksekutif daerah merupakan posisi yang
lazimnya dibatasi kesempatannya untuk dapat terpilih kembali., kKadang-kadang
pada masa jabatan terakhir, kepala eksekutif daerah kehilangan minat lagi untuk
menunjukkan kinerja dan terperangkap dalam fenomena lame duck (bebek
lumpuh) karena tidak ada insentif lagi untuk tampil prima. Sehingga pPada
fenomena ini, masyarakat akan memiliki pemimpin yang tidak efektif namun
tidak dapat dijatuhkan.
Fenomena lainnya, Ddalam situasi dimana penegakan hukum yang lemah,
posisi kepala eksekutif sering dijadikan kendaraan untuk melakukan akumulasi
kapital modal sebanyak-banyaknya yang pada gilirannya digunakan untuk
mendapatkan kekuasannya yang lebih besar lagi, misalnya berkampanye pada
pemilu jabatan publik yang lebih tinggi atau mempersiapkan lahan ekonomi
selepas menjabat.

2. Lembaga perwakilan (DPRD)


Sekali lagi, sSebagai lembaga yang kolegial dan , DPRD tidaklah monolitik,
DPRD dan justru bersandar pada keberagaman perbedaan pendapatlah yang
didorong sehingga terdapat lebih dari satu usulan solusi untuk permasalahan
daerah tertentu. Dinamika politik ini dapat menjadi ruang ’adu populer’ bagi
DPRD di depan masyarakat dan menyediakan insentif bagi anggota DPRD dan
partai politik untuk mencoba berlomba mewakili kepentingan masyarakat
dengan, lebih baik daripada yang lain.
Namun, dengan kewenangan yang dimilikinya, anggota DPRD sering
tergoda menggunakan kedudukannya untuk menggalang dana, baik untuk
kepentingan pribadi maupun terutama karena tuntutan dari partai politik
masing-masing yang harus mengumpulkan dana kampanye. Kepentingan ini akan
berkelanjutan bila UU Pemilu dan UU Parpol di Indonesiayang ada tidak tegas
mengatur pendanaan partai. Padahal, hingga kini terus mendorong praktek ini
sementara penegakan hukum dan akuntabilitas partai politik belum bisa
didorongmasih lemah.
Dalam konteks daerah, terbatasnya keterbukaan informasi dan, lemahnya
media massa di daerah membuat kepentingan DPRD untuk ’bertarung’ dan
berlomba berebut popularitas pemilih dengan cara memperdebatkan kebijakan
publik ini menjadi tidak signifikan. Karena ada sedikit saja iInsentif untuk populer
dan dekat di ’hati’ rakyat sering dinilai tidak cukup sehingga bahkan
menimbulkan masih ada keengganan. untuk mengambil posisi populer di antara
anggota yang lain, Ironisnya, maka trend yang lahir justru adalah ’korupsi
berjamaah’, baik dalam kepentingan keuangan langsung maupun dalam
pembuatan kebijakan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kualitasnya.
3. Partai politik (parpol)
Parpol lahir untuk memperjuangkan agenda politik tertentu. Karena itu,
parpol berkepentingan untuk duduk dalam lembaga politik di daerah, baik
legislatif maupun, bila memungkinkan, kepala eksekutif. Salah satu orientasi
parpol adalah menggapai kekuasaan agar dapat menjalankan agenda-agenda
politiknya sesuai dengan preferensi pemilihnya.
Jika berkuasanya sebuah partai menandai corak kebijakan tertentu di
demokrasi mapan, di Indonesia masih perlu waktu lagi sampai partai politik
dapat merumuskan agenda politiknya dengan tajam dan jelas,
menyampaikannya dalam kampanye secara relatif kontras dengan partai lain
(perbedaan program dan strategi), dan membawakannya menjalankannya dalam
pemerintahan.
Namun, Selama orientasi parpol bukan melulu masih dianggap sebagai
kendaraan menggapai kekuasaan untuk mengartikulasikan kepentingan
pemilihnya. , dengan kekuasaan berarti akses pada sumber daya keuangan baik
secara etis maupun tidak etis, maka agak sulit memastikan masa depan politik
yang akan membawa kebijakan yang lebih baik bagi daerah. Parpol juga memiliki
tanggungjawab dalam melakukan fungsi-fungsi sosialiasi politik, agergasi
kepentinga, serta pendidikan politik. Dalam hal ini, sebagian besar parpol yang
ada bahkan dapat dikatakan tertatih-tatih menjalankan fungsi pendidikan
politiknya, termasuk secara spesifik mengkader calon-calon pemimpin daerah
yang bertanggung jawab dan memiliki jiwa kepemimpinan yang dapat membawa
daerah ke masa depan yang lebih baik di tengah kompetisi global.
Dalam jangka lebih panjang, paling tidak melalui penegakan hukum dan
kedewasaan politik dari pemilih, yang diharapkan dapat perlahan-lahan
menggeser trend ini. Jalan radikal yang dapat ditempuh adalah mereformasi UU
Parpol dan UU Pemilu secara terus menerus agar lebih kian dekat dengan
kepentingan masyarakat di daerah. Pilihan radikalnya, meski akan sangat sulit
jika bukan malah mustahil, boleh jadi adalah dengan membolehkan hadirnya
partai-partai lokal untuk terjun dalam pemilu di daerah, seperti yang telah
diberlakukan di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam dalam rangka otonomi
khusus. Opsi lain yang bisa dipilih adalah merevitalisasi struktur parpol-parpol
nasional yang ada di tingkat lokal (setara dengan propinsi atau kabupaten/kota)
agar lebih sensitif terhadap kepentingan daerah. Apapun pilihannya, targetnya
adalah membangun iklim Dengan kompetitifsi yang lebih keras dalam ’memikat’
hati pemilih sehingga diharapkan, budaya politik dari partai politik mungkin akan
bergeser menjadi lebih akuntabel.

4. Masyarakat sipil
Masyarakat sipil dapat diwakili dengan oleh pelbagai asosiasi
(perkumpulan) yang ada di dalamnya, baik itu LSM, organisasi berbasis
masyarakat, ataupun asosiasi profesi. Berbagai ormas kelompok ini memiliki misi
untuk memberdayakan masyarakat, menguatkan kapasitas partisipasi mereka
dalam pembangunan, ataupun menggalang kekuatan untuk melakukan advokasi
kebijakan.
Lagi-lagi, karena desentralisasi dalam tata pemerintahan tidak dapat
sesegera mungkin diikuti dengan desentralisasi ormas (yang berskala nasional),
maka ormas pun rata-rata gagap berinteraksi dengan pemda yang masih meraba-
raba. Di sisi lain, organisasi massa yang berbasis warga, adat, agama, maupun
agama yang berbasis profesi sekalipun, lebih banyak yang merupakan warisan
dari masa pra reformasi dan tidak memiliki sumber daya untuk berlanjut secara
mandiri. Banyak di antara organisasi kemasyarakatan ini justru tergantung dari
negara, yang sebagaian adalah imbas dari struktur politik masa Orde Baru yang
sangat berkepentingan melakukan pengendalian aktivitas ormas. LSM yang
diharapkan dapat menjadi pendobrak kebuntuan ini juga banyak yang terjebak
pada skema ketergantungan, baik kepada pemerintah (LSM ’Plat Merah’)
ataupun kepada lembaga donor asing.
Walhasil, fenomena yang gampang dilihat di daerah adalah ormas
memburu proyek-proyek pemerintah daerah. Hanya dengan ikhtiar keras ormas-
ormas yang lebih bertanggung gugat maka citra ormas ini bisa digeser dan
diperbaiki, utamanya di mata pejabat publik di daerah yang kepalang skeptis
dengan keberadaan ormas ini.

5. Sektor swasta
Sektor swasta adalah pihak-pihak yang berkepentingan untuk kebijakan
ekonomi yang kondusif bagi perkngembangan bisnisnya. Dalam hal ini, seluruh
bagian dunia memiliki pengalaman mirip, bahwa pemain bisnis tidak segan-segan
menempuh berbagai cara untuk mencapai tujuannya. Kepentingan seperti ini
tentu saja harus dipahami namun harus dikelola kemanfaatan bisnisnya bagi
kemaslahatan masyarakat luas.
Dalam konteks negara-negara demokrasi baru, biasanya korupsi politik
marak dalam hal favoritisme kontrak proyek pemerintah karena absennya
lemahnya prosedur standar lelang beserta pengawasannya. Tak jarang yang
terjadi adalah praktek kolusi antara pemerintah dan pengusaha yang berakibat
pada ekonomi biaya tinggi dan kompetisi bisnis yang tidak sehat. Pengaturan dan
pengawasan, dengan demikian, Prosedur ini seharusnya ditegakkan untuk
memastikan proses kompetisi yang sehat dan tercapai efektivitas dan efisiensi
dalam mengelola sumber daya bagi kemanfaatan masyarakat.

Kembali ke konteks Indonesia, lagi-lagi kepentingan politik para aktor yang


terlibat lebih banyak berurusan dengan korupsi. Karena itu, dalam konteks
pertarungan kepentingan daerah, yang sering terjadi justru kolusi dan situasi saling
melindungi karena masing-masing ”memegang kartu as” dari yang lainnya. Tanpa
diseminasi dan replikasi praktek penyelenggaraan pemerintahan yang baik, yang
sudah mulai dirintis daerah tertentu, demokrasi di daerah tidak akan terwujud.
Resikonya adalah turunnya kepercayaan yang menerus dari masyarakat, rendahnya
kepemilikan masyarakat pada hasil-hasil pembangunan, dan legitimasi yang rendah
terhadap keberadaan pemerintahan demokratis itu sendiri.

BIROKRASI. Bila di banyak demokrasi maju birokrasi adalah mesin netral yang
mengabdi pada pilihan kebijakan yang diambil politisi, tidak demikian halnya
tradisi pada demokrasi muda yang mewarisi budaya KKN. Di Indonesia,
kepentingan-kepentingan penguasaan sumber daya merupakan isu ’hidup-mati’
bagi jajaran birokrasi karena ia merupakan semacam katup pelepasan dari
rendahnya imbalan nominal yang diterima PNS. sehingga kuantitas pProyek-
proyek pemerintah pada gilirannya merupakan dijadikan peluang sarana untuk
’bertahan’mencari tambahan sumber pemasukan ekonomi. Politisi di daerah, di
satu sisi lain, perlu menyadari lingkungan pengambilan kebijakan seperti ini
sembari, dalam jangka panjang, merumuskan strategi reformasi sektor publik yang
menantang di depan mata.

5.3. Kepentingan rakyat banyak sebagai fokus utama

Dalam konteks sistem pemisahan kekuasaan yang dianut Indonesia, sebagai


lembaga perwakilan (legislature), DPRD adalah cerminan dimana kepentingan-
kepentingan masyarakat dibawa dalam sebuah arena pengambilan keputusan politik.
Namun, selalu terdapat perdebatan bagaimana DPRD perlu memaknai posisinya
sebagai wakil rakyat atau wakil partai.
Dibandingkan dengan wakil rakyat yang duduk di parlemen, yang merupakan
lembaga perwakilan dalam sistem parlementer, wakil rakyat dalam sistem demokrasi
dengan pemisahan kekuasaan atau sistem presidensialisme ini, meski terikat dengan
agenda parpol namun relatif cenderung lebih independen dari partainya. Artinya,
memang aAnggota DPRD seperti berada dalam bandul pendulum yang mengayun di
antara dua kutub itu.
Bagaimana anggota DPRD dapat menentukan seperti apa kepentingan rakyat,
terlebih dalam carut-marut peta kepentingan di bagian berikutnya? Terdapat dua
teori besar mengenai peran anggota legislatif ini. Teori pertama, teori mandat
(delegate) meyakini bahwa anggota legislatif tidak boleh mengambil keputusan
apapun yang bertentangan dengan keinginan konstituennya. Sementara, yang
kedua, teori kebebasan (independensi/trustee) menyatakan anggota legislatif bebas
mengambil keputusan berdasarkan pendiriannya. Pada akhir masa bakti, dia dapat
bertanya kembali kepada konstituennya. Bila ia dianggap melakukan pekerjaannya
dengan baik maka dia dapat terpilih, jika tidak ia akan kehilangan kursinya.
Teori mandat dianggap tidak realistis namun kita dapat melihat
semangatnya masih kuat mewarnai baik pada UU No. 22/2003 maupun setelah
direvisi menjadi UU No. 27/2009. Beberapa indikasinya misalnya dapat dilihat dalam
menggariskan sepuluh rumusan kewajiban anggota DPRD kabupaten/kota pada
pasal 351 UU No. 27/2009 seperti misalnya dalam Pasal 81 butir e, f, hi, j, dan k,
yaitu:
i. menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen melalui kunjungan kerja
secara berkala;
j. menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat; dan
k. memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada
konstituen di daerah pemilihannya.

e. Memperhatikan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah.


f. Menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi
masyarakat, dan
h. Memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada
pemilih dan daerah pemilihannya.
Dari sini tampak bahwa UU berusaha memberikan acuan bagi penyusunan tata tertib
DPRD yang akan mengatur operasionalnya kewajiban anggota DPRD itu.
Namun demikian, dalam ketentuan mengenai pergantian antar waktu, UU
No. 22/2003 ternyata memberikan kewenangan kepada partai politik untuk me-
recall anggotanya (Pasal 94 383 ayat 1 2, huruf e dan hdan 3). Sementara,
masyarakat pemilih dari daerah pemilihan yang relevan karena telah memilih wakil
rakyat tersebut, hanya dapat memberikan pengaduan untuk kemudian diproses
dalam Badan Kehormatan DPRD.
Partai politik di negara demokrasi mapan memiliki tradisi yang sangat
menghargai kepercayaan pemilih. Di sisi lain, kedewasaan pemilih dalam
menggunakan hak pilihnya juga merupakan instrumen kontrol yang efektif bagi
partai. Kendati partai politik memang berkepentingan dengan garis kebijakan dan
standar perilaku tertentu dari wakil-wakilnya di DPRD, namun dikhawatirkan
kewenangan ini bisa digunakan oleh partai politik maupun kelompok-kelompok yang
kuat pengaruhnya di dalam partai politik tertentu untuk memberlakukan politik
sentimen dan favoritisme.
Dalam konteks seperti ini, anggota DPRD memang akan cenderung lebih
mendengarkan partai politiknya. Desakan dan insentif Ia lebih merupakan isu bagi
masyarakat untuk mendesak DPRD bahwa ada insentif politik yang besar bagi para
politisi untuk jika menjadikan kepentingan rakyat banyak sebagai fokus utama masih
belum berarti. Dalam kondisi semacam ini, Resiko hukuman atau dan ganjaran dari
publik sangat mungkin diberikan akan berlaku kemudian pada waktu pemilu tiba
yaitu dengan memilih kembali anggota DPRD yang dinilainya aspiratif dan sebaliknya
bagi yang tidak., Pada momen karena hanya pada saat pemilu itulah (sebenarnya)
rakyat dapat menghukum atau menyambut hangat kehadiran sebuah partai politik
beserta calon-calonnya.
Permasalahannya, apa yang dapat menjadi insentif bagi para politisi untuk
lebih mendengar suara rakyat daripada suara partainya? Untuk itu, mari kita
cermati beberapa temuan dari pemilihan umum DPRD di 2004 dan 2009 yang
kurang lebih serupa dalam konteks masalah ini.
1. Daerah pemilihan menjadi lebih kecil, maka anggota pun memiliki visibility
yang tinggi, sehingga akan terdorong untuk menyuarakan kepentingan
daerah pemilihnya.
2. Kecilnya ukuran distrik menunjukkan hasil pemilu tersebar ke banyak partai.
Maka selain anggota, partai pun memiliki visibility yang tinggi. Partai A,
misalnya, hanya mendudukan satu orang wakilnya dari sebuah daerah
pemilihan.
3. Penggunaan suara terbanyak dalam pemilu 2009 Presiden ”pilih langsung”,
tingginya perolehan suara beberapa calon perorangan menunjukkan bahwa
memberi insentif bagi masyarakat mulai terlatih danuntuk selektif dalam
menentukan siapa wakilnya.
Tingginya visibility dan makin terdidiknya pemilih ini akan menyediakan
insentif bagi politisi untuk memposisikan diri sebagai wakil rakyat., dan iIni akan
makin berkembang seiring dengan bertambahnya jumlah pemilu demokratis yang
kita adakan. Dikotomi wakil partai dan wakil rakyat ini diharapkan juga kian menipis
karena partai pun berkepentingan mempertahankan keterwakilannya di DPRD.
Dalam jangka lebih panjang, anggota DPRD dapat berupaya melakukan
pendekatan kepada rakyat sehingga posisi tawar dan akuntabilitas seorang politisi
menjadi benar-benar berada di tangan pemilih. Dalam konteks ini, apapun lembaga
recall yang ada, makin lama ia akan lebih mendengar pendapat umum, bukannya
sebagai alat kontrol parpol terhadap kadernya seperti di masa lalu. Karena itu, sekali
Anda menjadi politisi, kalau Anda menyukai pekerjaan ini, lebih baik Anda
melakukannya dengan sangat baik, sehingga partai Anda kehabisan alasan untuk
mengusulkan penggantian pada pemilu depan.

5.4. Mengelola kepentingan menjadi agenda politik publik

Apa kepentingan utama anggota DPRD? Beberapa orang pada periode awal
reformasi mungkin akan menjawab setengah bercanda,: ”Menumpuk kekayaan.”
Namun, kita berharap, preseden diseretnya banyak anggota DPRD ke pengadilan
dengan dakwaan korupsi serta merosotnya kepercayaan partai pada anggota DPRD
yang tidak bertanggung jawab –pada gilirannya juga menggerogoti kepercayaan
pemilih- membuat anggota DPRD lebih hati-hati merumuskan kepentingannya.
Sebab, sSebagaimana pemilu jurdil secara berkala dianggap sebagai lembaga
demokrasi paling penting, maka kepentingan tertinggi seorang politisi memang
diandaikan sebagai terpilihnya kembali dirinya di jabatan publik pada pemilu
berikutnya. Bila kepentingan seorang anggota DPRD bisa didefinisikan sejelas itu,
maka pekerjaan pun bisa segera dimulai. Berikut ini adalah bagan sederhana di
halaman berikut untuk menggambarkan proses penyusunan kebijakan publik.

Bagan Penyusunan Kebijakan Publik

KONSULTASI INFORMASI

RISET DAN VERIFIKASI

PERUMUSAN
KEBIJAKAN

PARTISIPASI
PENGARUH PENGARUH
LINGKUNGAN LINGKUNGAN

Kebijakan Publik

Sebagai wakil rakyat, DPRD harus selalu menggunakan proses konsultasi dan
informasi untuk mendasarkan kebijakan yang diusulkannya. Jika kapasitas anggota
DPRD harus ditingkatkan, maka kemampuan yang paling penting untuk dikuasainya
bukanlah teknik penulisan perundang-undangan (legal drafting), apalagi
penyusunan anggaran, namun bagaimana menggali pelbagai kebutuhan yang
seharusnya terungkap dalam proses ini.
Seorang anggota DPRD dapat saja mengunjungi sebuah sekolah dasar dan
mendapati bahwa proses belajar mengajar berlangsung namun abai bahwa yang
harus dinilai adalah hasil dari proses itu, seperti apakah anak-anak SD itu menerima
berhasil belajar sesuatu? Apakah mereka dapat menangani permasalahan
matematika untuk bahan ajar yang tepatsetingkat mereka?, Apakah ada jaminan
bahwa mereka akan dapat mengakses pendidikan yang lebih tinggi? Apakah ada
pungutan-pungutan sekolah yang memberatkan orang tua siswa? Apakah
ketersediaan dan mutu guru mencukupi? Apakah kesejahteraan guru sudah
memadai? Apakah fasilitas sekolah penunjang pendidikan tersedia dengan baik?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah contoh menunjukkan bahwa DPRD harus
memiliki tanggungjawab dan perspektif masa depan dari proses pendidikan di
daerahnya yang diterjemahkannya melalui pelbagai perda.
Riset dan verifikasi dilakukan untuk mendapatkan temuan mengenai
permasalahan yang terungkap di masyarakat. Bila verifikasi meliputi pengecekan
obyektif mengenai permasalahan yang dirasakan masyarakat, riset bertujuan untuk
mengumpulkan informasi yang mendukung bagi dirumuskannya tawaran-tawaran
pemecahan.
Proses politik kemudian akan menjadi arena bagi berbagai alternatif solusi
yang diajukan bagi masalah tersebut. Bisa jadi berbagai partai berbeda pendapat
mengenai sebuah solusi. Bisa jadi juga lembaga eksekutif tidak termotivasi untuk
melakukannya dan mengerem usulan yang dilontarkan.
Dalam proses politik ini berbagai aktor lain yang berkepentingan pun akan
ikut bermain untuk mencoba berpengaruhmempengaruhi. Ini bisa berupa LSM yang
memperjuangkan proses yang lebih terbuka, bisa pengusaha yang berpeluang
kecipratan/mendapat bagian rejeki bila perda digulirkan, bisa juga masyarakat yang
merasa dirugikan.
Kadang-kadang proses konsultasi publik pun perlu diulang untuk memastikan
bahwa semua pihak sudah dicoba untuk ditampung pendapatnya dalam pembuatan
kebijakan ini. Meskipun rata-rata anggota DPRD di Indonesia mengeluhkan alotnya
pembicaraan dalam konsultasi publik, apalagi yang dilakukan di lokasi yang terkena
dampak kebijakan, sebenarnya masalah serupa dihadapi pemegang kebijakan di
semua negara demokratis. Dengan kepentingan yang terlalu beragam dan sumber
daya terbatas, berdiskusi adalah cara tepat untuk mencari titik temunya.

5.5. Membangun dan memelihara hubungan dengan konstituen

Demokrasi tidak dibangun hanya dengan mewujudkan lembaga-lembaga


demokrasi secara fisik, berupa lembaga perwakilan yang dipilih lewat pemilu jurdil.
Lebih dari itu, demokrasi adalah proses terus-menerus yang ujungnya adalah
lahirnya keterwakilan rakyat secara optimal dalam pengambilan keputusan publik.
Keputusan publik diambil tidak hanya sekali dalam lima tahun. Keputusan publik
menjadi tantangan sehari-hari para pejabat dan wakil rakyat.
Di sisi lain, Sementara, pemilu hanya berlangsung secara berkala. Karena itu,
pemilu tidak hanya dimenangkan terbatas hanya pada hari-hari kampanye. Lebih
penting lagi, pemilu dimenangkan dengan kerja yang panjang, kerja pada hari demi
hari dalam periode panjang di antara dua pemilu.
Dalam demokrasi yang muda seperti di Indonesia, seringkali diragukan orang
sebelumnya masih ragu apakah jika menjalin hubungan baik dengan konstituen
maka akan terbayarkan dalam pemilu. Para calon anggota DPRD atau mereka yang
ingin mencalonkan diri kembali tergoda untuk menggunakan cara-cara instan seperti
Apakah masyarakat tidak cukup dismenyerbu saja dengan serbuan janji dan iming-
iming materi (money politic) agar pemilih memberikan suaranya.untuk dimintai
dukungannya?
Hasil survei Indonesia Corruption Watch mengenai korelasi korupsi dan
pilihan dalam Pemilu 1999 di sembilan kota di Indonesia (Jakarta, Padang, Bandar
Lampung, Bandung, Surabaya, Samarinda, Pontianak, Makassar, dan Mataram)
memperlihatkan bahwa ternyata perilaku pemilih di perkotaan mulai bergeser.
Mereka mulai mempertimbangkan kepercayaan terhadap partai politik dalam
menentukan pilihannya. Di kota-kota tersebut, partai-partai yang dianggap relatif
bersih mendapat suara lebih banyak daripada partai-partai yang dianggap tidak bisa
mengusung agenda pemberantasan korupsi.
Dalam jangka panjang, masyarakat diharapbayangkan menjadi pemilih yang
retrospektif, yakni dengan menilai akan mulaidan mempertimbangkan apa yang
dilakukan para kandidat dan partai politiknya, sepanjang periode di antara dua
pemilu. Jika tercapai, Iini berarti bahwa pemilu harus dimenangkan tidak hanya
dalam masa kampanye melainkan sepanjang periode di antara dua pemilu melalui
performa wakil-wakil dari partai politik yang duduk di pemerintahan.

Bagaimana membaca kurva kepercayaan?

Untuk lebih jelasnya, kita bisa membayangkan hubungan antara rakyat dan
wakilnya dalam sebuah kurva. Menjelang pemilu, dengan teknik-teknik kampanye
yang kian canggih, biasanya masyarakat akan menaruhik kepercayaan yang tinggi
pada politisi. Kemudian, beberapa saat setelah terpilih dan bertugas, mulai muncul
kekecewaan-kekecewaan. Walhasil, tingkat kepercayaan ini akan menurun. Jika pada
tengah masa di antara pemilu ini terjadi skandal apapun juga yang melibatkan
anggota dewan yang bersangkutan, bisa-bisa kurva kepercayaan ini turun tajam
menjadi semakin rendah lagi. Sepanjang lima tahun terakhir kita mungkin akrab
dengan banyak berita, mulai dakwaan korupsi, tertangkap sedang mengkonsumsi
narkoba sampai dengan kasus-kasus perdata. Walhasil, ketika periode kampanye
berikutnya datang, partai politik dan para caleg kelabakan memompa tingkat
kepercayaan ini.
Anda bBisa bayangkan, bila tingkat kepercayaan ini terpelihara sepanjang
periode di antara dua pemilu, pekerjaan memenangkan pemilu tidak perlu sekeras
gambaran sebelumnya. Ya, mMerupakan fenomena global bahwa pemilih jamaknya
merasa kecewa melihat kinerja wakilnya setelah duduk di parlemen, karena tentu
saja sulit memenuhi janji seratus persen. Namun, bila politisi di DPRD anda sudah
memiliki ’tabungan’ hubungan dengan konstituen, dan ’tabungan’ kepercayaan dari
mereka, anda niscaya akan jauh lebih siap menghadapi pemilu berikutnya.
Bagaimana hubungan dengan konstituen dilakukan?

Anda DPRD bisa melakukan banyak aktivitas untuk berinteraksi dengan


konstituen. Dalam konteks Indonesia dan budaya lokal yang sangat kaya bahkan
terdapat berbagai kesempatan potensi sosial budaya yang bisa digunakan untuk
mencapai maksud ini. Apapun aktivitas atau kemasan yang anda diambil, baik
berupa rapat umum, sarasehan, atau diskusi interaktif di radio, berikut adalah
substansi dari kegiatan anda di daerah konstituen andatersebut:
 Melakukan konsultasi publik.
Sesuai dengan amanat UU, peran Anda adalah menjadi Sebagai wakil rakyat,.
Karena itu, andaanggota DPRD perlu harus berkonsultasi dengan masyarakat
mengenai masalah yang mereka hadapi. Perlu diingat bahwa kata ’konsultasi’ ini
tidak akan membuat posisi anda anggota DPRD menjadi lebih rendah dalam
relasi ini. Konsultasi yang dimaksud adalah proses untuk mendapatkan
informasi., dan mMasyarakat yang anda temui adalah narasumber terbaik untuk
mendapatkan masukan mengenai kebijakan yang perlu diambil oleh daerah.
 Bertemu dengan masyarakat pemilih.
Di luar masyarakat secara umum yang harus anda diwakili oleh DPRD sebagai
wakil rakyat yang terpilih dari daerah pemilihan tersebut, anda anggota DPRD
secara khusus juga perlu menemui pemilih anda.
 Mengarahkan perhatian publik pada isu dan kebijakan yang tengah dibahas di
DPRD.
Kesempatan berinteraksi dengan konstituen juga merupakan ruang bagi fungsi
penyediaan informasi kepada publik. Banyak kalangan di pemerintahan
menyayangkan bahwa masyarakat kurang mampu dan atau tidak berminat untuk
berpartisipasi dalam program pemerintah. Faktanya, sering masyarakat tidak
memiliki cukup informasi untuk menilai apa yang direncanakan dan sedang
dilakukan pemerintah, sehingga dengan sendirinya mereka lebih suka mengambil
jarak.
 Menguatkan struktur partai.
Anda Anggota DPRD perlu menggunakan kesempatan ini untuk memberdayakan
partainya, anda sendiri, misalnya dengan pelibatan kader-kader partai dalam
pelbagai kegiatan andainteraktif dengan masyarakat.
Bagi Ppartai politik, kegiatan-kegiatan interaksi yang dilakukan anggota DPRD
ini anda dapat menggunakan digunakan sebagai kesempatan seperti ini untuk:
1. Menaikan profil partai di depan masyarakat dan media setempat.
Memang masih terdapat keluhan pada Pemilu 2004 lalu bahwa beras atau uang
(money politic) yang dibagikan pada pagi hari menjelang pencoblosan suara
masih lebih efektif daripada kerja-kerja jangka panjang seperti ini. nNamun,
lambat laun, sejarah akan menilai bagaimana masyarakat pemilih pasti akan
bertransformasi menjadi lebih rasional.
2. Mengaktifkan dan menguji struktur partai.
Kegiatan-kegiatan seperti ini juga akan merangsang partai untuk lebih eksis pada
periode di antara dua pemilu. Kepengurusan partai dihadapkan pada tantangan
untuk mendukung program konstituensi yang sukses. Kegiatan-kegiatan ini
merupakan latihan dan pemanasan yang berguna sebelum pemilu tiba. Dari
kegiatan seperti ini juga, kaderisasi internal partai akan bergulir.

Pentingnya ’kantor konstituensi’


Salah satu cara untuk mengembangkan hubungan dengan konstituen
sekaligus menaikkan profil diri dan, bila dianggap strategis, juga profil partai politik
adalah membangun kantor kontituensi (constituency office) di daerah pemilihan
andasetiap anggota DPRD. Kantor ini bisa lebih dari satu. Kantor ini bersifat sebagai
sekretariat yang menghubungkan antara anggota DPRD anda dan konstituen.
Staf dan aktivis di kantor konstituensi dapat melakukan sejumlah kegiatan
komunikasi dan interaksi publik, seperti menampung keluhan masyarakat,
memverifikasi masalah yang diadukan, dan menyebarkan informasi mengenai
kegiatan-kegiatan-kegiatan anda sebagai anggota dewan.

Jangan melupakan peran media massa

Ketika anda anggota DPRD melakukan aktivitas ini dan merasakan asyiknya
berinteraksi dengan masyarakat, jangan lupa bahwa anda setiap anggota DPRD juga
harus meningkatkan profilnya anda sendiri kepada masyarakat. Jangan pernah lupa
untuk melibatkan media massa dan menggunakannya untuk kepentingan anda. Jerih
payah anda anggota DPRD dapat menjadi sia-sia kalau tidak terdapat berdampak
pada kenaikanya profilnya anda di hadapan masyarakat dan konstituendalam politik
daerah. Naiknya profil anda seorang anggota DPRD mencerminkan dukungan bagi
kebijakan yang anda telah atau tengah diperjuangkan. dan dukungan bagi anda akan
membawa gGelombang dukungan ini akan yang lebih besar dengan melibatkan
peran media massa.
BAB VI
Memahami Fungsi dan Tugas Wakil Rakyat

Rahmi Yunita

Anggota DPRD pada umumnya dikritik karena tidak mampu melaksanakan


tugas secara optimal. Meskipun Ffungsi dan tugas wakil rakyat telah diatur dalam
peraturan-peraturan perundang-undangan, dan peraturan-peraturan pemerintah.
Ttetapi, peraturan-peraturan tersebut masih bersifat umum dan tidak secara
lengkap menjabarkan bagaimana mekanisme pelaksanaan masing-masing fungsi
untuk mencapai kinerja yang ideal. Anggota DPRD pada umumnya telah dikritik
dengan mengatakan mereka tidak mampu melaksanakan tugas secara optimal,
tetapi bagi mereka Akibatnya, DPRD tidak diberikan memiliki panduan dan acuan
yang mencukupi untuk mengatasi berbagai kendala kebijakan dan operasional.

6.1. Dasar-dasar penting

Fungsi dan tugas DPRD sebagai wakil rakyat sebenarnya telah diatur dalam
peraturan perundang-undangan. Namun, kerangka hukum itu hanya meletakkan
dasar-dasar acuan secara umum, dan tidak menjabarkan mekanisme pelaksanaan
masing-masing fungsi untuk mencapai kinerja yang mendekati ideal. Dalam
demokrasi Indonesia yang masih muda ini, dimanadan praktek-praktek demokrasi
belum berurat-berakar, anggota DPRD baru pun tak jarang menjadi kekurangan
acuan dalam menemukan peran yang pas. Salah satu akibatnya, anggota DPRD
sering dihujani kritik lima tahun belakangan ini bahwa mereka tidak menunjukkan
peran yang disuratkan dan efektivitas yang disiratkan dalam perundang-undangan
tersebut.
Dalam jangka pendek tuntutan yang demikian besar dari masyarakat ini
kadang-kadang justru memancing sikap defensif dari kalangan DPRD sendiri dan
resistensi terhadap pembaruan. Namun dalam jangka panjang, mau tidak mau,
lembaga-lembaga politik dalam demokrasi Indonesia memang harus
mengembangkan dirinya untuk dapat memenuhi tuntutan jzaman.
Pasal 77 343 UU No. 2722/20093 mengenai Susunan dan Kedudukan MPR,
DPR, DPD dan DPRD mengatur bahwa DPRD kabupaten/kota memiliki fungsi:
1. Legislasi, yakni membentuk perundang-undangan yang mengatur
kabupaten/kota, dalam hal ini berbentuk perda.
2. Anggaran, yakni membahas dan menyetujui anggaran daerah, yang merupakan
refleksi rencana program pemerintahan daerah dalam bentuk angka.
3. Pengawasan, untuk memastikan berjalannya perundangan yang ada dan
optimalnya kinerja eksekutif.

Apa pra kondisi yang perlu diperhatikan?


DPRD, sebagaimana lembaga-lembaga politik lainnya, baru dapat
menjalankan fungsinya dengan baik, bila memenuhi setidaknya tiga hal:
1. Sarana
Sarana yang dimaksud dapat berupa fasilitas yang wajar untuk melakukan
tugasnya berupa, dukungan keahlian dan staf kesekretariatan untuk
mengerjakan hal-hal teknis adminsitrasi dan anggaran. Ini diperlukan karena
banyaknya jenis dan lingkup pekerjaan yang jumlahnya tidak dapat dilakukan
anggota sendirian. UU No. 27/2009 memungkinkan adanya sistem pendukung
bagi pelaksanaan tugas DPRD yang tidak hanya berupa sekretariat DPRD, namun
juga kelompok pakar atau tim ahli yang kebutuhannya disesuaikan dengan alat
kelengkapan DPRD dan kemampuan keuangan daerah. serta anggaran yang
cukup baik untuk kegiatan DPRD maupun untuk sekretariat agar dapat
beroperasi.
2. Kesempatan
Kesempatan yang dimaksud adalah ketersediaan ruang dalam aturan main
internal DPRD agar dapat mengoptimalkan kinerjanya. Peraturan tata tertib yang
disusun harus memungkinkan anggota dewan dapat melakukan tugasnya dan
menunjukkan kinerja yang baik. Tata tertib adalah piranti untuk menuangkan
prinsip-prinsip demokrasi menjadi aturan main yang memastikan bahwa, antara
lain, semua orang anggota DPRD memiliki kesempatan untuk diwakili dan
menggunakan haknya dalam pengambilan keputusan.
3. Motif
Motif anggota DPRD untuk unjuk kinerja di hadapan masyarakat perlu didorong
agar mereka dapat bekerja optimal. Keinginan anggota DPRD untuk terpilih
kembali dalam pemilu secara berkala dapat dijadikan sebagai pintu masuk agar
mereka mengoptimalkan kinerjanya, bukan hanya terbatas di kalangan
pemilihnya, kelompok, atau partainya saja, namun bagi keseluruhan masyarakat
di daerah. Bila pada prinsipnya, lembaga politik dalam demokrasi seharusnya
bertindak berdasarkan mereka yang diwakilinya maka banyak kajian dalam
lapangan ilmu politik masih terus-menerus mencari cara bagaimana supaya
sistem politik dapat menyediakan motif bagi para politisi, termasuk anggota
DPRD di Indonesia, untuk menjalankan tugasnya dengan baik dan bukannya
bertindak berdasarkan kepentingan pribadi dan kelompoknya. Dalam keadaan
yang ideal, dan ini tidak sepenuhnya terjadi dalam kenyataan, keinginan untuk
terpilih kembali dalam pemilu secara berkala dianggap sebagai motif yang cukup
kuat untuk unjuk kinerja.
Dalam ketiga hal di atas, kita dapat mengatakan bahwa kita di Indonesia
masih dalam proses mencari format. DPRD di Indonesia bekerja dalam pemda yang
sebagian besar bekerja dengan anggaran yang relatif sangat terbatas, kapasitas
sekretariat yang jauh dari memadai, tekanan yang besar dari pihak eksekutif, tata
tertib yang belum melembaga sebagai aturan main, budaya politik masyarakat
pemilih yang belum terlampau ”kejam” (retrospektif) menghukum partai-partai
politik yang ingkar janji, UU Sistem pemilu dan kepartaian Politik yang masih bisa
didiskusikan dan terus-menerus diperbaharuiberubah, serta yang paling buruk,
penegakan hukum yang jauh dari harapan.
Bab ini sejenak akan mengabaikan agenda-agenda yang menantang di atas
yang sebenarnya menjadi konteks yang melingkupi DPRD dalam menjalankan
tugasnya. Sehubungan dengan fungsi-fungsi digariskan dalam UU N0. 27/2009 di
atas, maka bab ini akan membahas fungsi-fungsi di atastersebut sekaligus
memetakan peran-peran lain strategis yang menunggu butuh dimainkan oleh DPRD.
Topik-topik yang akan diangkat adalah sebagai berikut:
1. Membuat peraturan hukum dan kebijakan dasar
2. Membentuk perda
3. Menetapkan APBD
4. Melaksanakan pengawasan berbagai kebijakan publik
5. Mewakili kepentingan rakyat
6. Mewakili kepentingan daerah
7. Membangun sekwan yang andal
8. DPRD sebagai pendidik politik dan demokrasi
9. Membekali diri

6.2. Membuat peraturan hukum dan kebijakan dasar

Terhitung sejak 1999, Dengan adanya UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999
maka Indonesia mengalami sebuah terobosan desentralisasi yang bisa dikatakan
terbesar di seluruh dunia. Daerah diberi kewenangan untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (UU No. 2232/1999
2004, (Pasal 1 angka 5 dan 6butir i). Komitmen besar ini bahkan telah diawali melalui
Ketika Perubahan Kedua UUD 1945 berlangsung pada (tahun 2000), ketentuan ini
pun mendapatkan kedudukan hukum lebih tinggi dengan penjabarandalam
ketentuan mengenai pemerintahan daerah di Pasal 18, 18A, dan 18B.
Dengan adanya pendalaman desentralisasi ini, maka DPRD dan kepala daerah
pun kini lebih bertanggung jawab atas kepemimpinan dan masa depan daerah.
Kendati terdapat banyak keluhan di kalangan DPRD dan pimpinan eksekutif bahwa
sebagian besar daerah diberi kewenangan besar tanpa sumber daya yang memadai,
secara umum desentralisasi dianggap membawa banyak peluang. Dalam jangka
pendek, mungkin pemerintah daerah akan mencari-cari format untuk menjalankan
pemerintahan di daerah dengan efisien, namun dalam jangka panjang, desentralisasi
dianggap akan membuat pemerintahan lebih akuntabel dan relevan dengan
kebutuhan masyarakat di daerah.
Dalam konteks harapan yang besar itulah, salah satu peran strategis yang
dimainkan oleh pemerintahan daerah pasca reformasi dan ditetapkannya UU No.
22/1999 dan UU No. 25/1999 adalah kewenangan membuat kebijakan dan perda.
Lebih khusus lagi, kini tanggung jawab untuk menentukan arah pembangunan
daerah pun diletakkan di tangan pemda. Di satu sisi, tanggung jawab ini mungkin
bisa dipandang sebagai tugas yang rumit, mengingat kecilnya peran daerah dalam
pengambilan kebijakan sebelum reformasi bergulir. Namun kerumitan ini juga bisa
dilihat sebagai tantangan yang sangat menggairahkan. Babak baru dalam
pembangunan masyarakat Indonesia telah tiba. Pembangunan masyarakat tidak lagi
diatur dari Jakarta namun kini berada di tangan pemimpin di daerah-daerah sendiri,
termasuk di tangan anda.
Dalam tugas inilah lembaga DPRD menjadi arena dimana berbagai pandangan
politik maupun pilihan pendekatan dinegosiasikan untuk kemudian dirumuskan
bersama kepala daerah menjadi dokumen daerah. Tugas ini tentu saja sangat
menantang karena tanggungjawab yang harus diemban sangat luas mulai merancang
anda bisa bayangkan bagaimana arah pembangunan daerah dalam jangka pendek,
jangka menengah, dan mungkin jangka panjang, kini merupakan tanggung jawab
anda yang kemudian dikerangkai dalam regulasi-regulasi daerah.
Bentuk regulasi daerah ini adalah kerangka peraturan hukum dan kebijakan
dasar dituangkan melalui perda. Di sini, DPRD dan pemda dapat menuangkannya
dalam program legislasi daerah (Prolegda) untuk kurun waktu lima tahun dan
menentukan target per-tahunnya. Melalui Prolegda, kerangka peraturan hukum dan
kebijakan dasar yang dibutuhkan oleh daerah untuk waktu ke depan sudah dapat
dirancang.
Pembentukan Perda adalah otoritas DPRD, meski prosesnya dapat diajukan
melalui insiatif DPRD ataupun oleh Pemda. Perda selanjutnya akan menjadi alat
kontrol dari DPRD untuk melihat sejauh mana kinerja eksekutif dalam
mengimplementasikan perda tersebut, termasuk sejauhmana peraturan-peraturan
turunannya yang dibuat oleh ekesekutif (pemda) sesuai dengan ketentuan-
ketentuan di dalam perda. Di sini, pemda memiliki otoritas untuk membuat
peraturan turunan dari perda yang produk hukumnya bisa berupa pengaturan
ataupun penetapan. Dalam Pasal 3 Permendagri No. 16/2006, produk hukum yang
bersifat pengaturan, selain berupa perda, bisa berupa peraturan kepala daerah
ataupun peraturan bersama kepala daerah yang semuanya harus didasarkan pada
Prolegda. Sedangkan yang bersifat penetapan, bisa berupa keputusan kepala daerah
dan instruksi kepala daerah.
Salah satu agenda riil yang menyambut DPRD dalam hal penyusunan
kebijakan daerah adalah penyusunan dokumen-dokumen perencanaan daerah
jangka menengah. Dokumen-dokumen yang dimaksud adalah:
1. Pola dasar pembangunan daerah (poldas), yang meletakkan kerangka hukum dan
acuan bagi pembangunan daerah jangka waktu lima tahun, yang lazimnya pada
periode hasil pemilu 1999 sesuai dengan masa bakti DPRD.
2. Program pembangunan daerah lima tahun (propeda), yang merupakan
implementasi pada tataran konsep operasional dari poldas.
Kedua dokumen ini harus ditetapkan bersama-sama dengan kepala daerah
dan kemudian akan dijadikan acuan bagi dokumen perencanaan pembangunan
tahunan, yakni: AKU, repetada dan renstra.
Selain kerangka kebijakan dasar regulasi daerah yang diatur dalam Prolegda,
kebijakan dasar lain yang perlu dikawal serius adalah terkait perencanaan
pembangunan daerah. Dalam Pasal 150 UU No. 32/2004, d okumen perencanaan
pembangunan daerah berwujud tiga jenis dokumen dasar yaitu Rencana
pembangunan jangka panjang daerah (RPJP), Rencana pembangunan jangka
menengah daerah (RPJMD), dan Rencana kerja pembangunan daerah (RKPD). RPJP
daerah disusun untuk jangka waktu 20 tahun yang memuat visi, misi, dan arah
pembangunan daerah dengan mengacu kepada RPJP nasional. RPJMD disusun
untuk jangka waktu lima tahun sebagai penjabaran visi, misi, dan program kepala
daerah yang penyusunannya berpedoman kepada RPJP daerah dengan
memperhatikan RPJM nasional. Sedangkan RKPD adalah terjemahan RPJMD untuk
jangka waktu satu tahun, yang memuat rancangan kerangka ekonomi daerah,
prioritas pembangunan daerah, rencana kerja dan pendanaannya, baik yang
dilaksanakan langsung oleh pemerintah daerah maupun ditempuh dengan
mendorong partisipasi masyarakat, dengan mengacu kepada rencana kerja
Pemerintah.
DPRD sangat vital untuk mencermati RPJMD dari pemerintah daerah, baik
kesesuaiannya dengan RKPD atau dengan tantangan yang dibutuhkan daerah dalam
perspektif dan temuan-temuan DPRD. Ini penting karena melalui RPJMD, DPRD akan
memahami dan mempertajam arah yang dikehendaki pemerintah daerah sebab
dalam RPJMD telah termuat kebijakan keuangan daerah, strategi pembangunan
daerah, kebijakan umum, dan program satuan kerja perangkat daerah, lintas satuan
kerja perangkat daerah, dan program kewilayahan disertai dengan rencana kerja
dalam kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif.
Pada tahap perencanaan APBD, misalnya, keterlibatan DPRD akan sangat vital
pada tahapan Kebijakan Umum APBD (KUA) dan Prioritas dan Plafon Anggaran
Sementara (PPAS). Hasil dari pembahasan ini (berwujud Nota Kesepahaman) adalah
dasar dari DPRD untuk mengawal proses penyusunan Raperda APBD yang akan
diajukan oleh pemda dengan cara menilai sejauhmana program dan kegiatan yang
direncanakan sudah sesuai dengan nota kesepahaman dalam pembahasan KUA dan
PPAS. Hanya setelah mendapat persetujuan DPRD, Pemda baru kemudian dapat
menyusun Raperda tentang penjabaran APBD.
Sedangkan pada tahap pengawasan terhadap implementasi Perda APBD
tersebut, sebagaimana diatur dalam PP No. 58/2005, DPRD dapat melakukannya
dalam rapat pembahasan laporan realisasi pelaksanaan APBD dalam semester
pertama untuk melihat apakah dibutuhkan perubahan APBD. Fungsi pengawasan
terhadap pelaksanaan APBD juga masih akan muncul lagi sebagai bentuk
pertanggungjawaban pemda. Di sini DPRD dapat mengeceknya melalui pemeriksaan
semua laporan realisasi APBD, neraca, laporan arus kas, catatan atas laporan
keuangan, dan laporan keuangan dari perusahaan-perusahaan daerah (BUMD).
Peran DPRD dalam Penyusunan Kebijakan Umum APBD (KUA)

Ditetapkan
per tahun Pedoman
Mendagri Penyusunan
APBD

Menyusun berdasarkan
RKPD
Kepala Daerah Rancangan KUA DPRD

Pembahasan
Rancangan KUA

KUA

Peran DPRD dalam Penyusunan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara

KUA

Pemda DPRD

Menentukan skala prioritas Rancangan


dalam urusan wajib dan pilihan PPAS
Menentukan urutan program Program prioritas dan
dalam masing-masing urusan patokan batas
Menyusun plafon anggaran maksimum anggaran
PPAS SKPD untuk setiap
sementara untuk setiap
program program. Ini selanjutnya
menjadi acuan
penyusunan RKA-SKPD

Kerangka dasar yang perlu menjadi orientasi

Dalam menyusun dokumen-dokumen di atas, ini ada beberapa prinsip yang


dapat dijadikan acuan:
1. Kerangka visioner.
DPRD perlu berpikir jauh ke depan dalam menyusun kebijakan daerah. Apa yang
akan diletakkan selama lima tahun ke depan harus dapat menjadi landasan yang
kokoh dan dapat diterjemahkan secara bertahap dalam rencana tahunan. bagi
kehidupan anak cucu kita kelak.
2. Kerangka global.
Dalam menyusun apa yang akan dibangun di daerah kita tidak bisa mengabaikan
fakta bahwa abad 21 telah ditandai dengan globalisasi dalam skala yang tak
terbayangkan sebelumnya. Terobosan pembangunan yang akan dilakukan harus
peka terhadap tata persaingan dunia baru ini.
3. Kerangka proses.
Untuk dapat menemukan apa yang dicita-citakan orang banyak, memenuhi rasa
keadilan masyarakat luas, dan pada gilirannya membangkitkan rasa kepemilikan
masyarakat di daerah, proses yang ditempuh harus melibatkan banyak orang.
DPRD dapat memprakarsai pelbagai bentuk konsultasi publik, baik berupa rapat-
rapat umum, kuesioner maupun penelitian potensi daerah sebagai penunjang.
Harus disediakan cukup waktu untuk membahas kebijakan dasar yang akan
ditempuh sehingga dokumen yang dihasilkan bukan dokumen yang asal jadi dan
tidak akan dapat dijadikan acuan yang inspiratif di kemudian hari.

Bagaimana memahami anggaran yang sensitif gender?

Hal ini yang berada di dalam wilayah kebijakan dan dapat diprakarsai oleh
DPRD adalah dorongan bagi diadopsinya anggaran yang sensitif gender (gender
sensitive budget). Hal yang patut diperhatikan bahwa anggaran sensitif gender
bukanlah penyediaan anggaran khusus bagi perempuan. Anggaran sensitif gender
adalah analisis untuk melihat dampak dari program pembangunan dan
penganggaran bagi laki-laki dan perempuan serta bagi berbagai segmen laki-laki dan
perempuan. Kesadaran untuk menerapkannya memang mempersyaratkan pula
komitmen untuk membangun basis data yang memiliki segregasi berdasarkan aspek
gender, kelompok umur, dan kelompok sosial ekonomi.
Bila kebijakan ini tidak ditempuh, maka daerah beresiko terjebak pada
kebijakan-kebijakan yang mungkin dianggap netral gender, padahal ia sebenarnya
buta gender. Pada gilirannya pembangunan bisa berlangsung secara ”zalim gender”
(gender tidak adil) karena dampak pembangunan hanya dirasakan oleh sekelompok
(kecil) masyarakat yang bisa jadi sudah lebih beruntung daripada yang lainnya.

6.3. Membentuk peraturan daerah

Sebagai lembaga legislasi, fungsi DPRD adalah membuat perda. Dalam


konteks sistem politik Indonesiadesentralisasi, fungsi ini dijalankan bersama dengan
kepala daerah. Perda harus mendapatkan persetujuan dari kedua cabang
pemerintahan ini sebelum dapat ditetapkan sebagai mengikat bagi masyarakat di
daerah.
Dalam menyusun landasan dan arah kebijakan suatu perda, perlu
dipertimbangkan beberapa hal:
1. Koridor konstitusional atau lingkungan legal tempat perundangan dibuat,
termasuk tidak boleh dilanggarnya peraturan perundangan yang lebih tinggi
dalam hirarki perundang-undangan di Indonesia.
2. Prioritas kebijakan daerah yang bersangkutan, seperti dokumen-dokumen
perencanaan daerah yang meletakkan arah yang ingin dicapai daerah dalam
jangka waktu tertentu.
3. Aspirasi masyarakat yang berkembang sehingga perda tersebut mampu
mencerminkan kebutuhan dan keinginan masyarakat luas serta mendapatkan
legitimasi etis, nilai, sosial dan politik dari masyarakat.

Mengapa perda dibuat?

Pada dasarnya, perundang-undangan dibuat untuk menyelesaikan sebuah


masalah. Karena penyelesaian masalah memerlukan kerangka hukum yang ditangani
bersama, maka perda adalah instrumen di daerah yang harus dipatuhi oleh semua
orang yang ada di daerah, sehingga tatanan yang diinginkan di daerah dapat
tercapai.
Secara umum, perda dibuat untuk mengatasi permasalahan yang ada di
daerah. Namun di Indonesia sudah jamak adanya pendapat bahwa ”sudah ada
banyak aturan yang bagus namun penegakannya saja yang tidak konsisten”.
Demikian pula di daerah, kita sering mendengar keluhan betapa sebuah perda bak
”hidup enggan mati tak mau”. Entah karena tidak efektif ditegakkan atau karena
setelah ditetapkan dapat memancing kontroversi, tidak menyelesaikan masalah,
bahkan menimbulkan masalah baru. Sejumlah daerah juga mulai banyak
mengagendakan evaluasi peraturan daerah untuk menyortir hukum daerah ini
menjadi lebih ramping dan efektif.
Karena pengalaman-pengalaman di atas, maka untuk dapat menghasilkan
dan menetapkan sebuah perda, utamanya yang menyangkut masyarakat luas, DPRD
perlu lihai menerapkan checklist yang setidaknya mengandung pertanyaan-
pertanyaan di bawah ini:
1. Apa masalah yang hendak diselesaikan? Apakah merupakan masalah yang
sebenarnya atau hanyalah akibat dari masalah lain yang lebih mendalam, lebih
rumit dan menyangkut kepentingan lebih banyak orang?
2. Apa kemungkinan-kemungkinan solusinya? Apakah permasalahan ini bisa
dipecahkan dengan menghentikan perilaku lama yang buruk atau hanya bisa
dilakukan dengan mendorong perilaku baru? Apakah anda setiap orang akan
serta-merta mematuhi perda hanya karena ia telah ditetapkan dan
diundangkan? Bagaimana menciptakan insentif bagi orang-orang untuk
mengadopsi perilaku baru?
3. Apa hasil yang bisa diharapkan dalam jangka lebih panjang? Apakah perda ini
akan menyumbangkan kehidupan di daerah yang lebih baik, atau hanya
penghilang gejala masalah saja? Adakah hasil sampingan (eksternalitas) yang
diperoleh secara tidak langsung dari diterapkannya perda ini? Positif atau
negatif?
Dengan kerangka pertanyaan di atas, sebagai contoh, maka dalam penerapan
retribusi, misalnya, DPRD dapat mensimulasikan berbagai aspek yang akan timbul
dari diterapkannya sebuah perda. Bila sebuah retribusi adalah pendapatan bagi
pemda, apakah besarnya masih cukup kondusif bagi pertumbuhan ekonomi atau
justru mematikan keinginan-keinginan investasi?

Proses dasar penyusunan perda

Untuk bisa melahirkan perda yang komprehensif dan lolos dari saringan
pertanyaan di atas, maka DPRD dapat memanfaatkan proses penyusunan sebuah
perda secara partisipatoris. Di masa lalu, pembuat kebijakan sering berusaha
menghindar dari penyusunan kebijakan publik secara partisipatoris karena
dipandang berbelit-belit, makan waktu, dan menguras kesabaran. Namun demikian,
masyarakat merupakan sumber dari gagasan dan dukungan yang luar biasa.
Melibatkan masyarakat secara luas berarti menabung legitimasi politik dari sebuah
peraturan daerah jauh sebelum ia ditetapkan.
Masyarakat juga tidak hanya bisa dimaknai secara sempit dengan masyarakat
luas yang cair dan tidak terorganisasi. Banyak pembuat kebijakan, baik legislatif
maupun eksekutif, yang cukup dibuat trauma dengan suasana rapat umum yang
hiruk-pikuk, dihadiri massa yang ’tidak jelas identitasnya’, serta diskusi yang tidak
terarah. Proses-proses serupa adalah langkah kecil dari proses panjang belajar
berdemokrasi bagi pembuat kebijakan dan bagi masyarakat sendiri. Namun di sisi
lain, masyarakat yang dimintai konsultasi juga dapat berupa organisasi yang relevan
dengan permasalahan yang dibahas, perguruan tinggi, serta pemuka masyarakat.
Dengan demikian masukan-masukan yang diperoleh dari proses konsultasi ini dapat
membantu memperkuat muatan perda yang disusun.

Apa yang perlu diperhatikan dalam legislative drafting?

Banyak perda juga mengalami kegagalan dalam pelaksanaannya karena


perumusannya yang lemah. Sebagai perundang-undangan daerah, perda pun harus
peduli dengan pentingnya perumusan isi sehingga tafsir perda di lapangan sesuai
dengan kehendak pembuat peraturan daerah, dalam hal ini pemda dan DPRD.
Karena anggota DPRD tidak serta-merta merupakan pakar di bidang hukum,
DPRD tidak perlu merasa terbebani dengan keharusan menguasai teknik penulisan
UU (legal drafting). DPRD selalu dapat meminta bantuan ahli, baik perorangan
maupun kelembagaan untuk menganalisis raperda yang datang dari eksekutif
maupun untuk membantu DPRD menyusun raperda inisiatif. Dalam bagian akhir bab
ini juga diangkat kemungkinan bagi DPRD untuk memiliki staf yang menguasai bidang
penulisan UU di sekretariat sebagai salah satu pilihan bagi DPRD untuk memperkuat
kapasitasnya di bidang legislasi.

Mengapa harus ada perda?

DPRD perlu pula menimbang apakah semua permasalahan yang dihadapi


daerah memerlukan perda sebagai solusinya. Kadang-kadang cukup dibuat sebuah
perda yang tidak terperinci untuk kemudian ditindaklanjuti dengan keputusan kepala
daerah untuk menjabarkannya. Perda serupa dapat dibuat dalam kondisi-kondisi:
1. Tidak ada informasi yang cukup untuk menetapkan pengaturan yang
mendetail.
2. Keadaan yang berubah dengan cepat sehingga perlu antisipasi perundangan
yang lebih fleksibel.
3. Perbedaan-perbedaan dalam satu daerah yang perlu penyesuaian dalam
penerapannya, dan
4. Perlunya banyak penjelasan karena sifat teknisnya atau alasan lain.
Dengan demikian, maka perda yang ditetapkan akan dapat menjadi landasan hukum
yang kokoh bagi kehidupan kemasyarakatan di daerah.

6.4. Menetapkan APBD


Secara umum, anggaran merupakan estimasi kinerja yang hendak dicapai
selama periode waktu tertentu yang dinyatakan dalam ukuran-ukuran keuangan
berdasarkan capaian yang diinginkan. Sebagai anggaran sektor publik, APBD
merupakan suatu rencana keuangan yang menyatakan, pertama, berapa biaya atas
rencana-rencana yang dibuat (belanja), dan kedua, berapa banyak dan bagaimana
cara memperoleh uang untuk mendanai rencana tersebut (pendapatan). Di dalam
kesemua angka ini sesungguhnya menggambarkan arah dan perencanaan
pembangunan yang hendak dicapai oleh suatu daerah dalam setahun yang
diterjemahkan ke dalam program-program prioritas. Dalam konteks desentralisasi,
sebagaimana amanat UU No. 32/2004, maka program-program tersebut harus
mencakup urusan wajib dan urusan pilihan dari daerah bersangkutan.
Anggaran sektor publik, termasuk APBD, ditetapkan dengan sejumlah fungsi
utama yang harus dipenuhi, yakni:
1. Alat perencanaan. APBD memandu rencana tindakan yang akan dilakukan oleh
pemerintah untuk mencapai sasaran-sasaran pemerintahan, berapa biaya yang
dibutuhkan dan berapa atau bagaimana hasil yang diperoleh dari belanja
pemerintah tersebut.
DPRD tentu sangat sadar bahwa anggaran tetap merupakan dokumen politik
karena merupakan bentuk komitmen eksekutif dan kesepakatan legislatif atas
penggunaan dana publik. Karena itu, anggaran harus mencerminkan alokasi
pendanaan, indikator pencapaian, korelasi dengan visi dan misi serta
kemungkinan sumber pendapatan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat
yang diwakili oleh anggota DPRD. Ini penting bagi DPRD karena dari sini juga ,
karena lewat anggaran pula kinerja DPRD akan dinilai oleh masyarakat pemilih.
2. Alat pengendalian. Rencana terperinci yang terdapat pada anggaran membuat
pembelanjaan yang dilakukan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.
Sebagai instrumen pengendalian, anggaran dijadikan acuan untuk menghindari
adanya pemborosan (overspending), belanja yang terlalu irit (underspending)
dan belanja yang salah sasaran (misapropriation).
Proses pengendalian anggaran ini dilakukan dengan tahapan-tahapan:

Membandingkan kinerja aktual


dengan kinerja yang dianggarkan

Mengidentifikasi selisih
Menemukan penyebab selisih, baik yang dapat dikendalikan
maupun yang tidak dapat dikendalikan

Merevisi standar biaya atau target anggaran tahun berikutnya

Dengan adanya tahapan di atas, proses pengendalian anggaran akan dapat


menyumbang bagi perbaikan penganggaran tahun berikutnya dan berarti
memperbaiki alokasi dana publik.
3. Alat kebijakan fiskal. Kebijakan fiskal adalah usaha yang dilakukan pemerintah
untuk mempengaruhi keadaan ekonomi melalui sistem pengeluaran atau
sistem perpajakan untuk mencapai tujuan yang dikehendaki. Sebagai alat
kebijakan fiskal, anggaran perlu dipikirkan perannya dalam menstabilkan
ekonomi dan mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah.
4. Alat koordinasi dan komunikasi. Anggaran dapat disusun untuk mendeteksi
kekerasan antar unit kerja dalam mencapai tujuan-tujuan yang ditetapkan
pemda karena setiap unit kerja pemerintahan terlibat dalam proses
penyusunan anggaran.
5. Alat penilaian kerja. Anggaran dapat digunakan untuk menilai kinerja setiap
unit kerja, baik dalam pencapaian sasaran maupun dalam efisiensi anggaran.
6. Alat motivasi. Anggaran dapat digunakan sebagai alat untuk memotivasi
manajger dan staf agar bekerja secara ekonomis, efektif dan efisien dalam
mencapai target dan tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Target anggaran
hendaknya jangan terlalu tinggi sehingga tidak dapat dipenuhi, namun jangan
pula terlalu rendah sehingga terlalu mudah untuk dicapai. Dalam konteks
desentralisasi maka daerah dapat saling belajar satu sama lain, demikian pula
masyarakat di daerah dapat membandingkan daerahnya dengan daerah
lainnya sehingga tercipta kompetisi yang sehat.
7. Alat menciptakan ruang publik. Pelibatanrlu bahkan mutlaknya masyarakat
terlibat dalam proses penganggaran publik membuat proses penyusunan
anggaran membuka ruang bagi masyarakat untuk mengekspresikan dan
menyalurkan aspirasinya. Berbagai kelompok masyarakat dapat menggunakan
momentum penyusunan anggaran ini untuk berpartisipasi secara politik dalam
kebijakan daerah.

Apakah anggaran kinerja itu?

Sesuai dengan PP No. 10558/20050 tentang Pengelolaan dan


Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, APBD disusun dengan pendekatan kinerja
(prestasi kerja) yang dimulai sejak penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Satuan
Kerja Perangkat Daerah (RKA-SKPD). (Pasal 39 ayat (1) dan (2) dalam PP ini mengatur
bahwa Penyusunan RKA-SKPD dengan pendekatan prestasi kerja dilakukan dengan
memperhatikan keterkaitan antara pendanaan dan keluaran serta hasil yang
diharapkan dari setiap kegiatan dan program, termasuk di dalamnya adalah tingkat
efisiensi yang bisa dilakukan. Karena itu, rencana anggaran harus menyertakan
capaian kinerja, indikator kinerja, analisis standar belanja, standar satuan harga, dan
standar pelayanan minimal. Dengan pendekatan ini, berarti APBD harus
mencerminkan bagaimana sebuah keluaran (output), manfaat, hasil, dan dampak
tertentu dapat dicapai dengan sebuah masukan (input). Semua belanja yang
dikeluarkan senantiasa berhubungan dengan sebuah kinerja yang akan dapat
dievaluasi.
Di satu sisi penerapan anggaran kinerja ini akan memudahkan DPRD dalam
meminta akuntabilitas lembaga eksekutif dalam menjalankan tugasnya serta
memudahkan masyarakat melihat hasil kerja pemerintahan. Di sisi lain, karena
pendekatan baru ini, DPRD pun dituntut untuk menyesuaikan diri. Bila sebelumnya
anggaran disusun berdasarkan kegiatan yang akan dibiayai, maka sekarang ini
kegiatan yang akan dibiayai merupakan produk dari analisis perencanaan yang lebih
panjang. Sebuah kegiatan hanya bisa dibiayai bila ia menyumbang bagi pencapaian
sasaran tertentu yang sudah ada dalam dokumen-dokumen perencanaan daerah.

Bagaimana melakukan prioritasisasi?

Pemda dimanapun di penjuru dunia, kecuali di sejumlah kecil daerah yang


sangat kaya, selalu berkutat dengan masalah banyaknya kegiatan pelayanan publik
yang perlu dibiayai sementara volume anggaran yang tersedia sangat terbatas.
Karena itu, pembuat kebijakan publik termasuk DPRD selalu dihadapkan pada
masalah prioritasisasi. Dalam tahapan penyusunan APBD, fase ini berada dalam
pembahasan PPAS yang rencananya diajukan oleh Pemda dengan berpedoman pada
KUA yang sebelumnya sudah disepakati antara DPRD dan Pemda. Pertanyaan-
pertanyaan yang diajukan dalam tahap ini untuk membantu memprioritaskan alokasi
anggaran antara lain:
1. Apa kegiatan yang lebih sesuai dengan dokumen perencanaan daerah? apa
kegiatan yang menyumbang tercapainya sasaran tertentu yang sudah
disepakati dan menjadi komitmen bersama?
2. Apa kegiatan yang mendesak dilakukan karena menyangkut penanganan
keadaan darurat dan menyangkut kebutuhan masyarakat paling mendasar?
Apakah, misalnya, ada masalah keamanan di daerah yang harus diatasi?
3. Apa kegiatan yang memiliki efek pengganda (multiplier effect) lebih besar?
4. Apa kegiatan yang bisa mengundang pertisipasi sukarela masyarakat maupun
partisipasi pihak swasta sehingga tidak terlalu membebani APBD?
Pertanyaan-pertanyaan di atas dapat terus dikembangkan lagi untuk
membantu menyaring kegiatan-kegiatan yang perlu dibiayai APBD. Lagi-lagi,
sebagaimana dalam penyusunan kebijakan publik, DPRD perlu memberdayakan
masyarakat dalam prosesnya. Karena DPRD adalah wakil masyarakat, DPRD hanya
akan mengetahui apa yang terbaik bagi masyarakat di daerah dengan cara bertanya
pada mereka.

6.5. Melaksanakan pengawasan berbagai kebijakan publik

Pasal 18 42 ayat 1 butir f UU No. 2232/1999 2004 mengamanatkan pada


DPRD untuk melakukan fungsi pengawasan terhadap lima hal:
1. Pelaksanaan perda dan perundang-undangan lainnya.
2. Pelaksanaan keputusan gubernur dan bupati/walikota.
3. Pelaksanaan APBD.
4. Pelaksanaan kebijakan daerah.
5. Pelaksanaan Kerjasama internasional di daerah.
DPRD hasil Pemilu 1999 merupakan DPRD pertama yang menjalankan
kewenangannya menurut UU No. 22/1999. Salah satu kewenangan DPRD yang
berubah drastis sejak 1999 sampai kini, sebagaimana lazimnya diharapkan dari
demokratisasi, adalah kewenangan pengawasan berjalannya kebijakan dan
peraturan daerah oleh eksekutif. Pada lima tahun pertama transisi demokrasi
tersebut, pelaksanaan fungsi pengawasan ini dipandang kontroversial. Pemda
mengeluhkan ’agresivitas’ DPRD dalam menjalankan fungsinya ini.
DPRD sudah bukan mengawasi lagi, tapi sudah masuk ke wilayah
pemeriksaan, bahkan penyelidikan, demikian keluh pejabat eksekutif di banyak
daerah. Meskipun keluhan ini dapat menyiratkan kesan bahwa DPRD memang telah
bertindak ’overacting’ dalam melakukan fungsinya, keluhan ini juga menunjukkan
bahwa peran pengawasan DPRD telah mulai berjalan. Dengan demikian, ke depan,
dapat tercapai keseimbangan fungsi pengawasan penyelenggaraan pemerintahan
antara yang dilakukan oleh BPK dan jajarannya, KPK, pemda sendiri secara internal
melalui Bawasda dan Inspektorat, dan secara politik oleh DPRD.
Sebagaimana disuratkan dalam UU, semangat pengawasan oleh DPRD
meliputi dua hal:
Pertama, pengawasan atas dilaksanakannya perundang-undangan dan
kebijakan daerah. DPRD dapat menilai apakah sebuah perundangan, baik itu berupa
peraturan daerah maupun keputusan kepala daerah, dapat diterapkan dengan baik
di lapangan atau tidak. Dengan demikian, fungsi pengawasan dapat
menyumbangkan hasilnya bagi fungsi legislasi. Apakah peraturan yang lama telah
berjalan dengan baik? Apakah ada celah di lapangan yang membutuhkan pengaturan
tertentu dalam bentuk peraturan baru?
Kedua, pengawasan atas pelaksanaan pembangunan, terutama pelaksanaan
APBD, sehingga pemerintah bertanggung gugat (akuntabel) terhadap masyarakat
atas apa yang dilakukannya. Wilayah pengawasan DPRD dapat mencakup beberapa
hal. Di satu sisi ia harus membidik isu korupsi oleh eksekutif dan penyalahgunaan
kewenangan atau dana pemerintah. Sisi yang lain, apalagi dalam konteks penerapan
anggaran kinerja, berhubungan dengan efisiensi dan efektivitas bekerjanya
pemerintahan.
Dengan diterapkannya anggaran kinerja, maka DPRD dengan sendirinya akan
sangat terbantu dalam melakukan dua aspek pengawasan pelaksanaan APBD ini.
Apakah alokasi anggaran telah membawa hasil sesuai yang diharapkan dalam
perencanaan? Apakah prioritas-prioritas pembangunan terlaksana? Bagaimana
efisiensi dan efektivitas bisa ditingkatkan? Sekali lagi, tampak di sini bahwa fungsi
pengawasan akan menjadi berhubungan erat dengan fungsi penganggaran dan
fungsi pembentukan kebijakan daerah berikutnya.
Bagaimana fungsi pengawasan ini dilakukan? Secara terus-menerus DPRD
dapat melakukannya melalui komisi-komisinya yang membidangi hal-hal yang cukup
spesifik. Melalui komisi, sehingga anggota DPRD dapat melakukan pembidangan
kerja dan memfokuskan perhatiannya dalam bidang yang spesifik. Dengan adanya
komisi maka DPRD dapat mengerjakan banyak agenda sekaligus, proses pengawasan
dan diskusi di antara para anggota akan berjalan cukup mendalam, serta sementara
anggota DPRD juga cepat atau lambat akan menguasai permasalahan yang secara
khusus ditanganinya.
Dalam konteks Ketika kepala daerah sudah akan yang dipilih secara langsung
nantisaat ini, kesamaan partai/afiliasi politik antara kepala daerah dengan dan
mayoritas anggota DPRD tak terhindarkan lagi akan mempengaruhi corak
pengawasan yang akan dilakukan. Bila kepala daerah berasal dari partai/afiliasi yang
berbeda, DPRD akan memiliki insentif untuk melakukan pengawasan dengan yang
ketat dengan harapan akan menguak kelemahan yang dimiliki kepala daerah.
Di sisi lain, bila kepala daerah dan mayoritas anggota DPRD memiliki afiliasi
politik yang sama, bisa jadi kedua cabang pemerintahan akan ’berkonspirasi’ untuk
’tampil cantik’ di depan publik. Karena itu, kendati skenario yang pertama
memungkinkan ketegangan antara lembaga legislatif dan eksekutif yang
nantinya(namun tidak akan bisa saling menjatuhkan), namun ini ia cenderung
’dikehendaki’ dalam sistem presidensial karena lebih memastikan berjalannya fungsi
pengawasan oleh masyarakat melalui DPRD.
Bila DPRD bisa melakukan fungsinya ini dengan baik, maka yang dituju
sebenarnya adalah pemerintahan daerah yang lebih akuntabel dan efektif. Hasil
pengawasan ini harusnya bermuara pada penyusunan kebijakan/peraturan daerah
untuk menangani kelemahan yang masih ditemui baik mengenai sebuah program
pembangunan, pengaturan, maupun aspek pemerintahan lainnya. Ujung-ujungnya,
proses pemerintahan daerah akan menjadi siklus belajar kolektif yang terus-menerus
dan terus meningkat.

6.6. Mewakili kepentingan rakyat

Kita masuk pada fFungsi berikutnya yang sebenarnya sangat mendasar dalam
demokrasi perwakilan yakni adalah fungsi representasi. DPRD dapat saja melakukan
fungsi-fungsi sebelumnyalainnya seperti, membuat kebijakan, perda, termasuk
melakukan pengawasan, . Nnamun bila fungsi ini dilakukan tanpa mekanisme
representasi yang efektif, maka sistem ini akan kehilangan nilai demokratisnya,
utamanya karena layak diragukan bahwa DPRD bertindak mewakili masyarakat
secara keseluruhan.
Sebagai wakil rakyat, anggota DPRD bukannya diharapkan dapat menjadi
manusia serba bisa untuk dapat memenuhi harapan masyarakat di daerah. Namun
demikian, lembaga dan proses politik di DPRD diharapkan mampu menyelesaikan
semua masalah yang muncul di daerah. Karena itu, semangat yang ada dan prosedur
yang disusun dalam DPRD harus dapat memfasilitasi peran ini. Bila aAnggota DPRD
harus menguasai sesuatu keterampilan, maka keterampilan yang harus dikuasai
tersebut adalah bagaimana berkonsultasi dengan masyarakat yang diwakilinya,
sehingga keputusan-keputusan yang lahir dari DPRD adalah yang paling
representatif.
Masalahnya, masyarakat bukanlah kelompok yang homogen. Masyarakat
memiliki banyak kepentingan yang , tidak jarang dan sangat bisa jadi kepentingan
tersebut bertentangan satu sama lain. Karena itulah, teknik-teknik konsultasi dengan
masyarakat dan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan memang menjadi salah
satu langkah utama dalam upaya menegakkan demokrasi di seluruh dunia.
Secara umum, DPRD dapat mencari terobosan-terobosan baru dalam
memastikan bahwa keputusan-keputusan yang diambilnya selalu berusaha
memenuhi substansi prinsip keterwakilan ini. Dalam tabel di bawah,halaman berikut
ada beberapa contoh kegiatan yang bisa dilembagakan untuk memastikan bahwa
DPRD memiliki berbagai jalan untuk mencari dan menerima masukan dari
masyarakat.
Tanpa mekanisme yang disusun untuk mengantisipasi hal-hal yang harus
direspon dengan cepat, DPRD akan kesulitan mengatasi berbagai keluhan
masyarakat. Sering masyarakat frustasi karena aduannya ditanggapi komisi yang
tidak relevan, dengan keluhannya apalagi sedangkan pihak yang relevan sedang tidak
berada di tempat. Terkadang, DPRD juga tidak memiliki antisipasi mekanisme
verifikasi berbagai keluhan masyarakat yang bertentangan satu sama lain.

Proaktif: Reaktif:
Jemput Bola Tunggu Bola
Isu 1. Undangan rapat dengar 1. Mekanisme penanganan unjuk
Khusus pendapat (RDP) ke rasa
kelompok-kelompok 2. Mekanisme penanganan
kepentingan permohonan pertemuan
2. RDP umum (public hearing) 3. mekanisme penanganan
Isu 1. Kunjungan ke lapangan undangan seminar, diskusi, dll.
Umum 2. Pengadaan jajak pendapat 4. Penerimaan aduan melalui kantor
kepuasan pelayanan publik konstituensi
5. Kotak pos pengaduan

DPRD perlu bekerja dengan sekretariat dewan untuk memastikan bahwa


terdapat mekanisme untuk bersikap peka terhadap permasalahan masyarakat
sekaligus responsif terhadap tuntutan-tuntutan mereka.

6.7. Mewakili kepentingan daerah

Dalam sistem negara yang terdesentralisasi Indonesia mutakhir, format


kekuasaan di bagi secara bertingkat salah satu hubungan politik yang lain adalah
antar jenjang pemerintahan yang dijalankan dengan prinsip–prinsip otonomi. Pasca
1999, dimulai Kata jenjang di sini mungkin tepat karena UU No. 22/1999 yang
kemudian diganti dengan UU No. 32/2004, konsepsi hirarkhi pemerintahan mulai
diubah dengan memberikan lebih banyak tekanan pada munculnya kemandirian
daerah (otonomi daerah). Oleh sebab itu, dalam struktur pemerintahan daerah saat
ini, tidak mengenal hierarki seperti UU No. 5/1974. dalam konteks ini, DPRD bersama
pemda praktis menjadi pun menjadi ujung tombak perjuangan kepentingan daerah
di depan dua jenjang pemerintah lainnya, pemda propinsi dan pemerintah pusat.di
Jakarta.
Dengan format baru adanya desentralisasi dan otonomi daerah, yang saat ini
dikerangkai dua undang-undang utama, yaitu, pasca lahirnya UU No. 2232/1999
2004 dan UU No. 2533/1999 2004 yang membawa desentralisasi administrasi, fiskal
serta politik, maka hubungan antara daerah dengan pusat telah memasuki babak
baru. Dengan kewenangan untuk memberikan sebagai besar pelayanan publik,
daerah kini menyandang tanggung jawab baru yang praktis juga membawa
permasalahan tersendiri dalam bidang anggaran.
Lazimnya di seluruh dunia, maka peran yang disandang daerah adalah
advokasi untuk mendapatkan pembagian yang lebih adil, baik dalam besaranya dana
alokasi dari pemerintah dalam formula bagi hasil pendapatan yang diperoleh di
daerah, maupun dalam keleluasaan mengeluarkan kebijakan fiskal.
Dalam memperjuangkan kepentingan daerah, DPRD perlu memperdulikan
setting politik bahwa pemerintah pusat pun memiliki kepentingannya sendiri. Atas
nama jaminan untuk menyediakan pelayanan publik yang setara di seluruh tanah air,
pemerintah pusat dapat mengeluarkan berbagai argumen untuk menangkal
kepentingan-kepentingan daerah yang berbeda-beda. Karena perbedaan
kepentingan antar daerah inilah, maka sering pemerintah nasional (pusat) di negara-
negara desentralis untuk ’mengadu domba’ pemdanya. Kecuali daerah dapat bersatu
mengagregasikan kepentingannya untuk mendapatkan kompromi terbaik dalam
melakukan tawar-menawar dengan pemerintah pusat.di Jakarta.
Dalam konteks inilah maka asosiasi pemerintah daerah menjadi relevan.
Dengan adanya asosiasi pemerintahan daerah, daerah dapat berbagi informasi dan
prespektif mengenai perbedaan kepentingannya dan , kemudian merumuskan
strategi advokasinya bagi kompromi kepentingan terbaik bagi daerah. Kendati di
Indonesia asosiasi pemerintahan daerah masih terbagi-bagi dalam berbagai
organisasi, hal ini merupakan langkah penting maju dalam hubungan antar
pemerintahan di Indonesia.

ADEKSI dan ADKASI


Pada Juli 2001, Asosiasi DPRD Kota seluruh Indonesia (ADEKSI) resmi
berdiri dan bulan berikutnya Asosiasi DPRD Kabupaten seluruh Indonesia
(ADKASI). Asosiasi ini menjadi wadah bagi DPRD Kabupaten dan Kota seluruh
Indonesia dan anggotanya. Dengan adanya ADEKSI dan ADKASI, maka kepentingan
daerah dapat didiskusikan dan dikerucutkan sebelum diperjuangkan. Meskipun
asosiasi dapat menjadi wadah yang efektif untuk penguatan kapasitas anggota,
perluasan jaringan dan penyebaran informasi, namun tak pelak lagi advokasi
kebijakan merupakan fungsi yang kunci bagi asosiasi. Karena itu ADEKSI dan
ADKASI selalu aktif dalam diskusi kebijakan tingkat nasional, khususnya yang
berimplikasi pada di antaranya adalah mengenai revisi UU tentang pemerintahan
daerah dan aspek-aspek yang relevan dalam paket UU Politik.
APEKSI, APKASI, dan APPSI (Asosiasi Pemerintah Kabupaten seluruh
Indonesia, Asosiasi Pemerintahan Kota seluruh Indonesia, dan Asosiasi Pemerintah
Propinsi seluruh Indonesia) adalah asosiasi serupa yang menjadi wadah bagi
pemda untuk memperjuangkan kepentingannya yang dipimpin bupati, walikota
dan gubernur.

6.8. Membangun sekwan yang andal

Semua orang dengan mudah sepakat bahwa untuk mencapai tujuan-tujuan


perusahaan, dibutuhkan organisasi yang kuat. Demikian pula pemda, perhatian pada
pentingnya peningkatan kapasitas staf teknis sangat besar. Anehnya, perhatian
sebesar ini seringkali luput diberikan bila kita membicarakan lembaga sekretariat
DPRD, yang dipahami sebagai organisasi pendukung kinerja DPRD dan anggotanya.
Seperti yang sudah disinggung di awal bab ini, sekretariat hanyalah
merupakan sarana agar DPRD dapat menunjukkan kinerja yang baik. Namun sSkala
dukungan yang disediakan oleh dan melalui sekretariat ini sangatlah besar dan
karenanya memainkan peran yang kunci. Dukungan harus tersedia untuk menjamin
fungsi-fungsi legislasi, budgetinganggaran, pengawasan, dan yang terpentingjuga
keterwakilan. Untuk itu, sekretariat yang andal harus memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:
1. DPRD harus memiliki kendali penuh atas dukungan administratif yang
disediakan untuknya, baik dari segi pendelegasian, akuntabilitas, maupun
penganggaran. DPRD harus memiliki jalur pendelegasian dan
pertanggungjawaban dengan sekretariatnya. Jalur ini juga harus menjadi jalur
satu-satunya. Dengan demikian, DPRD dapat memperoleh dukungan sesuai
dengan yang diperlukannya dari Sekretariat. DPRD harus memiliki kekuasaan
penganggaran bagi kegiatan maupun fasilitas yang disediakan oleh
sekretariat. Dengan demikian, kebijakan yang memprioritaskan sumber daya
yang ada merupakan kewenangan dari DPRD sendiri untuk memenuhi
tuntutan akan kinerjanya.
2. Sekretariat DPRD harus memiliki staf yang andal, mencakup:
 Staf manajerial dan administrasi, yakni staf yang menyediakan dukungan
koordinatif dan administratif bagi kerja DPRD.
 Staf legal drafting. Anggota DPRD yang dipilih karena popularitas dan
kepercayaan pemilih kepada yang bersangkutan untuk memikirkan dan
mengambil keputusan mengenai masalah-masalah publik sangat bisa jadi
tidak memiliki kemampuan dalam hal teknis legal drafting. Namun,
Bbukan pula tugas anggota DPRD untuk mempelajari detil teknis
bagaimana menulis perundang-undangan. Sekretariat DPRD dapat
memiliki staf khusus yang dapat menerjemahkan kebijakan menjadi
dokumen perundang-undangan yang baik.
 Staf riset. Tugas anggota DPRD adalah membuat keputusan-keputusan,
Keputusan yang baik hanya bisa dilakukan jika dan untuknya diperlukan
didasarkan informasi yang memadai. Sebagai daerah yang sedang
membangun dan baru meletakkan dasar-dasar pembangunan daerah
pasca UU No. 22/1999, Banyaknya urusan, sering membuat DPRD sering
tidak memiliki waktu mencari informasi di perpustakaan dan
mempelajarinya sebagai bahan untuk pengembilan keputusan. Karena
itu, DPRD dapat memiliki staf khusus yang melakukan riset dan
menyediakan informasi yang diperlukan oleh anggota dalam format yang
mudah dipahami.
 Staf analisis anggaran. Sekali lagi, sebagai pembuat keputusan, DPRD
sering tidak memiliki cukup banyak waktu untuk memahami hal-hal
mendetail yang kadang-kadang diajukan pihak eksekutif, -bahkan kadang-
kadang memang sengaja diperumit untuk menggolkan tujuan politik
tertentu. Adanya staf khusus yang dapat membantu anggota
menyediakan analisis anggaran akan mengefektifkan fungsi penganggaran
dan pengawasan anggota.
 Staf komisi. Sebagai badan alat kelengkapan yang memegang peran
penting dalam pelaksanaan tugas-tugas DPRD, komisi memerlukan
dukungan staf ahli untuk dapat menjalankan tugasnya. Karena itu, bila
anggaran memungkinkan, komisi perlu dilengkapi dengan staf yang dapat
membantu anggota komisi melakukan tugas sesuai lingkup komisinya.
Sebelum praktek staf ahli komisi ini diperkenalkan, mungkin perlu dibuat
analisis apakah staf yang akan direkrut bersifat permanen atau yang
menerus lebih baik dan efisien secara anggaran atau staf yang bekerja
secara adhoc saja saat dibutuhkanketika agenda kerja DPRD
membutuhkannya.
 Staf fraksi. Diperlukan tidaknya staf fraksi sebenarnya dapat diserahkan
pilihan dan pendanaannya pada fraksi sendiri karena tidak etis bila
penyediaannya diambil staf fraksi dengandari APBD. akan merangsang
lahirnya fraksi-fraksi berukuran kecil yang tidak membebani anggaran
sekretariat. Di sisi lain, fraksi merupakan agregasi kepentingan politik
yang harus diakomodasi dalam demokrasi. Karena itu, DPRD perlu
memikirkan kelebihan dan kekurangan dari penyediaan fasilitas ini,
bahkan bilameskipun anggaran yang tersedia memadai.
 Staf pribadi anggota legislatif. Staf ini lazim dikenal di demokrasi mapan
utamanya yang menganut sistem pemilu distrik wakil tunggal. Karena
anggota legislatif tertentu merupakan wakil satu-satunya dari daerah
pemilihannya, maka ia benar-benar disediakan fasilitas untuk
menjalankan fungsinya dengan baik. Dalam konteks regulasi saat ini,
yaitu, UU No. 27/2009, posisi ini sayangnya belum diakomodasi bagi
anggota DPRD.

Pengembangan sekretariat DPRD.

Kebanyakan sekretariat DPRD di Indonesia saat ini tentu masih bekerja


dengan sarana dan sumber daya manusia yang masih terbatas. Dalam keadaan
seperti ini, pengembangan kapasitas SDM sekretariat mungkin akan terasa mahal
bila dilakukan sekaligus dalam satu tahun anggaran, misalnya. Karena itu, DPRD dan
sekwan dapat menyusun sebuah rencana pengembangan SDM untuk mendekati
kondisi yang diinginkan dalam satu masa bakti. Setelah penetapan target tahunan,
maka anggaran dapat dialokasikan untuk mencapai target penyediaan sarana atau
keahlian tertentu. Perlu diingat bahwa program penguatan sekretariat ini harus
terkendali, yaitu terukur dampak dan kemanfaatannya. Dampak dari setiap
’investasi’ yang ditanam harus dapat dilihat pada setiap tahunnya. Untuk
meningkatkan legitimasi politik DPRD, bertambahnya fasilitas maupun staf khusus di
DPRD seyogyanya tidak menjadi tujuan dalam dirinya namun menjadi sarana bagi
kinerja DPRD yang lebih baik di mata masyarakat.

6.9. DPRD sebagai pendidik politik dan demokrasi

Indonesia telah mengalami masa dimana tidak ada pemilu jurdil,


kemerdekaan pers, dan kemerdekaan berorganisasi. Reformasi 1998 telah
membawa perubahan dengan mendorong demokratisasi: Perubahan paket UU
Politik, pemilu yang relatif demokratis (setelah absen 35 tahun), serta rangkaian
perubahan UUD 1945 yang diharapkan meletakkan dasar bagi Indonesia yang lebih
demokratis.
Bersamaan dengan demokratisasi Indonesia juga lahir devolusi kewenangan
dari pusat ke daerah melalui UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999 yang kemudian
disempurnakan menjadi UU No. 32/2004 dan UU No. 33/2004. Dengan
diterapkannya UU barupembaruan dalam pengaturan pemerintahan daerah ini,
terjadi pula desentralisasi politik kepemimpinan daerah. Masyarakat dapat memilih
sendiri pemimpin-pemimpinnyakepala daerah dan merekalah yang kemudian
bertanggung jawab terhadap nasib masyarakat di daerah.
Karena dua proses ini berlangsung bersamaan, lepas dari rasa syukur akan
capaian-capaian yang sudah diraih pada enam tahun pertama reformasi, tak urung
ada banyak keluhan yang mengemuka. Ada beberapa resistensi atau keengganan
untuk menerima nilai-nilai baru yang dianggap ’semua semau sendiri’ sehingga
penuh ketidakpastian. Namun, ada juga yang sudah enggan kembali ke masa lalu
namun belum menemukan pegangan tentang apa yang harus dibangun dibagi masa
depan.
Sebagian besar kegagapan dan kegalauan ini lahir karena demokrasi perlu
waktu sebelum bisa mendatangkan hasil yang memuaskan. Mengubah praktek-
praktek buruk di masa lalu dan membangun pranata baru bukan proses yang secepat
kejatuhan penguasa lama dan usai hanya dengan sekali dua atau tiga kali pemilu
demokratis.
Demikian pula potret di daerah. Desentralisasi dan demokratisasi di daerah –
kewenangan yang membesar dan berimbangnya kewenangan eksekutif dan
legislatif- justru dikecam telah sukses mendesentralisasikan korupsi. Praktek-praktek
buruk yang dulu kita kecam kini justru merebak dan hadir di depan mata.
Agen sosialisasi politik yang dialami seorang warga masyarakat adalah
keluarga, teman sebaya, sekolah dan media massa. Karena itu, secara tidak langsung,
praktek politik di daerah dengan sendirinya sebenarnya merupakan pendidikan
politik dan demokrasi pada masyarakat. Dalam situasi politik seperti ini, mana yang
akan lebih banyak dipelajari oleh masyarakat: Demokrasi di daerah sebagai sarana
mendekatkan masyarakat pada pengambilan kebijakan yang berpengaruh pada
dirinya, ataukah desentralisasi sebagai penyebab naiknya berbagai retribusi dan
menurunnya kualitas puskesmas di dekat rumah?
Masyarakat juga perlu belajar bahwa demokrasi mengandaikan bekerjanya
fungsi kontrol dari pemilih untuk memastikan bahwa pejabat publik akan
bertanggung gugat (akuntabel) terhadap masyarakat. Yang menjadi krusial pada
masa-masa transisi seperti sekarang –dimana negara tidak lagi dapat memaksakan
kehendak seperti dulu namun masyarakat juga tidak dapat mengharapkan subsidi
dari negara- adalah memastikan bahwa masyarakat tidak frustasi dengan keadaan
sekitarnya. Bila dalam keadaan pertama masyarakat sudah frustasi dan enggan
beranjak ke keadaan kedua, maka proses belajar ini akan terputus dan demokrasi
tidak akan membawa perubahan ke keadaan yang lebih baik.
Ada banyak hal yang bisa dilakukan DPRD. Sebagai pemimpin masyarakat
pada masa-masa transisi yang sulit ini, DPRD harus memastikan bahwa masyarakat
pun belajar melakukan fungsi kontrolnya. Ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk
memastikan bahwa lingkaran belajar masyarakat di daerah ini tidak terputus, seperti
dalam mengikuti siklus sebagai berikut:
(I)
Persepsi masyarakat akan
Keadaan sekitarnya

(IV) (II)
Praktek pemerintahan yang Dorongan bagi partisipasi masyarakat
lebih baik dalam pemerintahan (governance)

(III)
Meningkatnya partisipasi masyarakat
dalam aspek-aspek pemerintahan

Karena itu, DPRD perlu mendorong praktek-praktek yang memastikan tata


pemerintahan yang baik dalam arti luas, antara lain dapat dilakukan dengan:
1. Memastikan adanya akses bagi masyarakat untuk mendapatkan dokumen-
dokumen publik seperti perda, APBD, dan dokumen perencanaan daerah.
2. Memastikan terbukanya sebanyak mungkin persidangan DPRD kepada
masyarakat. Pada dasarnya persidangan ini sifatnya terbuka (kecuali
dinayatkan tertutup oleh DPRD), sehingga DPRD dapat lebih mengoptimalkan
ruang ini.
3. Menyelenggarakan RDP dan jajak pendapat mengenai rancangan kebijakan dan
perda.
4. Mendorong berkembangnya media massa yang bebas.
5. Mendorong keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan,
termasuk dalam pencegahan korupsi dan pengadaan barang-barang publik
skala besar.
6. Memastikan adanya mekanisme transparansi bagi publik. Kota-kota besar
dengan jaringan internet luas dapat menggunakan website untuk menjalankan
fungsi ini.
DPRD perlu menyadari bahwa keberadaannya sebagai kepemimpinan kolegial
(kolektif) bagi daerah menjadikannya lembaga yang sangat penting bagi pengambilan
keputusan di daerah. Kepemimpinan kolegial dianggap merupakan sarana dalam
demokrasi yang memungkinkan keputusan yang diambil setelah melalui proses
pembahasan dan penggodokan yang serius dan matang. Ini tentu harus disikapi
sebagai sebuah tantangan. Setiap anggota DPRD harus mencamkan dalam dirinya,
bertahun-tahun dari sekarang, ketika ia melihat buah dari landasan yang
diletakkannya hari ini, ia akan merasa bangga bahwa ia telah mengambil keputusan
yang terbaik. Ia akan merasa bangga bahwa ia tidak tergoda untuk mengorbankan
cita-cita orang banyak bagi kebaikan daerah hanya karena demi kepentingan pribadi
dan kelompoknya semata. Ia akan merasa bangga, karena ia telah meletakkan suri
tauladan sebagaimana yang diharapkan datang dari masyarakat yang beradab dari
para pemimpinnya.

6.10. Membekali diri


Daftar panjang fungsi di atas dan penjabarannya rasanya merupakan
tantangan yang sangat menggairahkan namun sekaligus berat untuk dihadapi.
Sementara, di dalam budaya politik Indonesia, kepemimpinan politik belum memiliki
ladang penyemaian yang subur dan membuahkan kader-kader yang dapat membawa
daerah danerah masyarakatnya ke masa depan yang lebih baik, apalagi dengan
tanggung jawab yang luas datang dari UU pemda serta tantangan konteks globalisasi
dewasa ini.
Bahkan untuk para anggota DPRD yang sudah menjabat selama beberapa
periode, praktis hanya periode 1999-2004 yang mencerminkan tantangan yang akan
terus dihadapi ke depan ini. Sementara itu, hasil pemilu 2004 pun sering ditandai
dengan pergantian banyak anggota DPRD termasuk dan sama banyaknya partai
politik yang berhasil duduk di DPRD. Kondisi ini mengakibatkan akumulasi
pengetahuan dari politisi-politisi yang telah berpengalaman praktis tidak terwariskan
dengan masif pada periode berikutnya.
Keadaan ini tentu tidak perlu disesali. Pergantian anggota DPRD adalah
sesuatu yang niscaya, bahkan seringkali dikehendaki, dalam sistem demokrasi yang
menggunakan pemilu sebagai mekanisme rekrutmen politik. Namun iIni justruga
berarti, anggota DPRD harus membekali dirinya sehingga ia cepat mengadaptasikan
diri dengan tuntutan-tuntutan tugasnya yang penting dan strategis ini. Parpol perlu
merumuskan strategi yang lebih menyeluruh tentang bagaimana dapat disediakan
dukungan terus-menerus bagi wakil-wakilnya di DPRD, tidak hanya pembekalan
intensif pada awal periode saja. Partai politik juga perlu memikirkan perannya
sebagai persemaian pemimpin-pemimpin daerah yang akan menyandang peran
penting dalam penguatan desentralisasi di Indonesia ini.
Jika para anggota DPRD tidak mengerjakan ’pekerjaan rumah’nya untuk
membekali diri, maka ruang-ruang sidang DPRD hanya akan menjadi tempat belajar
dan anggaran DPRD hanya akan dihabiskan untuk pembekalan anggotanya. Dan
kKetika proses belajar usai, waktu menjabat sudah terlanjur akan habis dan
masyarakat mungkin sudah kehilangan selera untuk kembali memberikan suaranya.
BAB VII
Membangun Lembaga Perwakilan di Daerah
Yang Berwibawa

Rahmi Yunita

DPRD sekarang memang mempunyai kekuasaan politik yang besar dan jauh lebih
berperan dalam pemerintahan daerah. Saking besarnya, Banyak pihak bahkan
mengatakan bahwa kekuasaan DPRD terlalu besar sehingga lembaga eksekutif pun
beranggapan bahwa adalah sulit untuk bekerjasama dengan DPRD yang dinilai
kadang kebablasanmempunyai kekuasaan sebesar itu. Padahal, mungkin yang
terjadi adalah kekurangsiapan untuk menempatkan sistem check and balance pada
proporsi yang sesuai. Pada kondisi era reformasi ini, DPRD perlu dibangun menjadi
lembaga yang bersih dan berwibawa, sehingga dapat menjadi panutan bagi semua
lembaga tata pemerintahan di daerah. Salah satu agenda yang paling mendesak
adalah kapasitas DPRD dalam melembagakan prinsip tata pemerintahan yang baik,
baik untukbagi dirinya sendirinya maupun dalam upaya memfasilitasi para pelaku
tata pemerintahan lainnya di daerah.

Penerapan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik

Kendati dengan banyak tarik-menarik di daerah, tata pemerintahan yang baik


dalam pemerintahan di daerah lazimnya sudah menjadi hal yang menyemangati visi
yang harus dikejar daerah-daerah di Indonesia. Untuk dapat meraih wibawa di mata
publik, DPRD tentu perlu tak hanya menyuarakan tuntutan akan meningkatnya
kinerja pemerintaah namun juga wajib menerapkan tata pemerintahan yang baik
dalam dirinya. Karena itu, komitmen penerapan tata pemerintahan yang baik perlu
ditanamkan dalam DPRD, dan ini dapat dimulai dengan penerapan prinsip-
prinsipnya.

Bagaimana menerapkan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik?

Tentu saja sSebuah kegiatan dapat mengandung sejumlah penerapan prinsip


tata pemerintahan yang baik jika memenuhi prinsip-prinsip berikut: Berikut contoh-
contohnya:
1. Partisipasi. Dalam menjalankan tugasnya, DPRD memiliki dan menerapkan
mekanisme untuk mendapatkan masukan dari masyarakat, baik secara reaktif
maupun lebih penting lagi secara proaktif. Partisipasi masyarakat dalam
penyusunan kebijakan maupun pengalokasian anggaran akan menyumbang
bagi legitimasi produk DPRD dan keberadaan DPRD sendiri sebagai lembaga
politik.
2. Penegakan hukum. DPRD perlu menjunjung tinggi peraturan tata tertib dalam
menjalankan tugasnya serta patuh pada hierarki perundang-undangan dalam
menyusun pelbagai kebijakan daerah.
3. Transparansi. Rapat-rapat DPRD yang dinyatakan terbuka untuk umum dan
dapat diaksesnya dokumen-dokumen daerah merupakan penegakan prinsip ini.
Mengiringi tertib administrasi di DPRD, langkah lebih jauh dapat dilakukan
dengan membuka daftar hadir DPRD pada umum, risalah persidangan, bahkan
sampai pada tingkat lebih tinggi nanti, membuka informasi mengenai sikap
politik setiap anggota dalam pengambilan kebijakan tertentu.
4. Kesetaraan (ekuitas). Dalam penyusunan program, DPRD harus mawas dengan
tegaknya prinsip ini. Sering sekali penyusunan program pembangunan hanya
membidik kelompok sasaran tertentu, atau dengan tanpa sengaja
meminggirkan kelompok lainnya. DPRD harus memastikan adanya kesetaraan
pelayanan publik dalam pelbagai aspek, misalnya: Ddaerah urban dan rural
untuk pelayanan pendidikan, atau perempuan dan laki-laki untuk akses
terhadap ekonomi produktif.
5. Daya tanggap (responsivitas). Bagaimana menanggapi aspirasi yang
diteriakkan demonstran? Bagaimana merespon pengaduan tertulis? Bagaimana
menanggapi keluhan masyarakat dalam sebuah kunjungan lapangan? DPRD
bersama sekwan perlu menyusun mekanisme untuk memastikan bahwa semua
aspirasi dapat ditindaklanjuti secara kelembagaan, sesuai kewajiban yang
diamanatkan oleh UU No. 2232/20034 dan UU No. 27/2009.
6. Wawasan ke depan. DPRD perlu melakukan kepemimpinan dalam menyusun
arah pembangunan daerah. Visi dan misi daerah yang disusun, misalnya, harus
merupakan sesuatu yang dipercaya akan dapat dipertanggungjawabkan kepada
generasi masa depan daerah sendiri.
7. Tanggung gugat (akuntabilitas). DPRD harus siap mempertanggungjawabkan
kebijakan yang ditempuhnya. DPRD dapat membuat laporan tahunan di depan
masyarakat tentang kinerja dan anggarannya untuk meminta umpan balik.
Anggota DPRD harus menjalin komunikasi dengan konstituen di daerah
pemilihannya sebagai salah satu cara menjalankan prinsip ini.
8. Pengawasan. DPRD harus mampu menegakkan kode etik bagi para
anggotanya. DPRD juga harus melakukan pengawasan kepada pelaksanaan
kebijakan dan peraturan daerah tanpa maksud memperoleh keuntungan
pribadi dari kegiatan ini.
9. Hasil guna dan daya guna (efektivitas dan efisiensi). Pada akhirnya, DPRD akan
dinilai juga dari kinerjanya. DPRD perlu membuktikan bahwa perda yang
dihasilkannya, misalnya dapat dijalankan dan berkelanjutan. DPRD tidak dapat
menggunakan banyak anggaran peningkatan kapasitas, misalnya untuk studi
banding, tanpa menunjukkan dampak yang berarti.
10. Profesionalisme. DPRD harus menunjukkan profesionalismenya dengan terus
meningkatkan kemampuannya dalam menjalankan tugas, termasuk terus
mengembangkan diri ketika tantangan baru lahir, bukannya melemparkan
tanggung jawab, terutama ketika kesulitan menghadang pimpinan daerah.
Bagaimana prinsip-prinsip itu dapat dilembagakan? Tata tertib adalah
instrumennya. Dengan memastikan prinsip-prinsip ini mengejawantah dalam aturan
main DPRD, inilah maka internalisasi nilai-nilai tata pemerintahan yang baik akan
siap dimulai.

Tata tertib DPRD sebagai alat kendali politik internal


Tata Tertib adalah seperangkat aturan yang mengatur bagaimana DPRD dan
anggotanya menjalankan fungsi dan tugasnya, untuk memungkinkan semua anggota
dapat menyuarakan aspirasinya dan memudahkan pengambilan keputusan. UU No.
2227/20039 telah mengatur hal-hal yang harus tercantum dalam tata tertib.
Penyusunan tata tertib DPRD sendiripun harus mempedomani PP. Namun, pada
intinya, tata tertib yang mendetil tersebut memuat beberapa hal sehingga ia dapat
dioptimalkan untuk mengatur dinamika politik DPRD. Pengaturan untuk mencapai
kinerja optimal dapat dipaparkan sebagai berikut.

Bagaimana pengaturan komisi?

Komisi adalah alat kelengkapan DPRD yang dibentuk untuk


menyederhanakan dan membagi pekerjaan di dalam dewan. Beberapa pembicaraan
yang sulit dilakukan secara pleno karena relatif besarnya ukuran forum dapat
dilakukan lebih efektif dalam komisi. Selain itu, format komisi membuat pekerjaan di
DPRD, terutama dalam penyusunan legislasi dan pengawasan, menjadi terbagi dan
dapat dikerjakan lebih efisien. Terlebih, dalam format kelembagaan DPRD sekarang
ini, sebagaimana diatur dalam UU No. 27/2009, komisi akan lebih fokus lagi karena
adanya alat kelengkapan baru yang khusus menangani legislasi, yaitu Badan Legislasi.
Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana memastikan bahwa komisi dapat
mewakili berbagai pendapat dalam DPRD, yang dalam hal ini diwakili oleh banyak
partai politik?
Banyak lembaga perwakilan di dunia yang mengizinkan seorang anggota
DPRD parlemen untuk duduk lebih dari satu komisi. Namun, tidak sedikit pula yang
membatasi hal ini, dengan ketentuan bahwa seorang politisi hanya bisa menjadi
anggota komisi yang waktu sidangnya tidak bersamaan. Dalam hal ini, memang
terdapat penjadwalan waktu sidang, misalnya setengah jumlah komisi bisa bersidang
pada hari Senin dan rabu, sementara sisanya Selasa dan Kamis. Indonesia membagi
habis anggotanya sebanyak komisi dan karenanya hanya perlu mengatur bahwa
waktu persidangan komisi tidak boleh berbenturan dengan sidang pleno.
Jumlah komisi DPRD Kabupaten/Kota, sebagaimana diatur dalam Pasal 356
UU No. 27/2009 ada dua macam, yakni tiga komisi (bagi yang beranggotakan 20
sampai dengan 35 orang) dan empat komisi (bagi yang beranggotakan lebih dari 35
orang). sendiri tidak memiliki panduan pengaturan yang kaku. Yang jelas, komisi
harus merefleksikan pembagian peran untuk menampung semua bidang mandat
dalam cabang eksekutif dari pemerintahan juga. Selain itu, untuk menciptakan
representasi komisi terhadap fraksi, maka farkasi yang ada dalam DPRD harus
beranggiotakan minimal sejumlah komisi yang ada. Ini dimaksudkan agar setiap
fraksi memiliki wakil di setiap komisi. Detail pembahasan hal ini akan dibahas Kendati
tidak dibatasi, komisi perlu mempertimbangkan jumlah total anggota dan saling
mengimbangi dengan pengaturan ukuran fraksi, yang akan dibahas lebih jauh di
Buku 2 dari seri buku panduan ini.

Bagaimana pengaturan proses dan waktu penyusunan peraturan perundang-


undangan?
Yang ingin dipastikan di sini bukan hanya proses penyusunan kebijakan saja
yang, antara lain, harus partisipatif. , nNamun, intinya adalah tersedianya cukup
waktu agar sebuah usulan bisa diperdebatkan dengan menyeluruh sehingga tidak
terjadi penyusunan serangkaian perda secara ngebut dan ’kejar setoran’, misalnya.
Di samping itu, tugas anggota DPRD adalah menyuarakan, bahkan
memperdebatkan usulan kebijakan. Karena itu, pengaturan kesempatan dan waktu
bicara dalam persidangan juga merupakan isu yang penting dalam sebuah lembaga
politik. Aturan tata tertib DPRD karenanya perlu memastikan bahwa bahkan fraksi
kecil atau wakil tunggal dari sebuah partai politik pun dapat menyuarakan
pandangan dan sikapnya terhadap usulan kebijakan, sehingga DPRDmasyarakat
selalu punya kesempatan untuk membuka diri terhadap usulan kebijakan alternatif.
Di sisi lain, di tradisi demokrasi mapan yang sudah mulai diadopsi beberapa daerah
di Indonesia, tata tertib juga perlu mengatur lamanya seorang anggota DPRD
berbicara, untuk menghindari dominasi dan meningkatkan efisiensi forum. Yang
terakhir, aturan tata tertib juga harus memastikan bahwa media massa ataupun
masyarakat luas memiliki akses pada proses ini, sehingga konstituen dapat
memperoleh informasi mengenai sikap politik wakil-wakilnya.
Pasal 376 ayat (3) UU No. 27/2009 menyatakan bahwa paling minimal
peraturan tata tertib DPRD Kab/Kota harus memuat 12 hal. Keduabelas hal tersebut
ialah: a) pengucapan sumpah/janji; b) penetapan pimpinan; c) pemberhentian dan
penggantian pimpinan; d) jenis dan penyelenggaraan rapat; e) pelaksanaan fungsi,
tugas dan wewenang lembaga, serta hak dan kewajiban anggota; f) pembentukan,
susunan, serta tugas dan wewenang alat kelengkapan; g) penggantian antarwaktu
anggota; h) pembuatan pengambilan keputusan; i) pelaksanaan konsultasi antara
DPRD kabupaten/kota dan pemerintah daerah kabupaten/kota; j) penerimaan
pengaduan dan penyaluran aspirasi masyarakat; k) pengaturan protokoler; dan l)
pelaksanaan tugas kelompok pakar/ahli.
Selain kedua belas poin tersebut, DPRD sebenarnya dimungkinkan untuk
mengembangkan materi pengaturan internal kelembagaannya untuk memastikan
kinerjanya berlajalan optimal, termasuk hubungannya dengan publik. Beberapa hal
usulan penajaman meteri tata tertib DPRD dapat dilihat di sub bab selanjutnya.

Bagaimana mengelola hubungan dengan konstituen?

Tata tertib DPRD juga perlu memastikan adanya keleluasaan dan


dujunganatau sebenarnya membantu kepada anggotanya untuk menjalin hubungan
dengan konstituennya. Ini bisa dilembagakan dengan adanya masa reses untuk,
mengharuskan keharusan bagi anggota DPRD untuk kembali ke daerah pemilihannya
secara berkala dan menyerap aspirasi dari konstituen dan masyarakat luas.
Di satu sisiMeski sudah terdapat imbauan agar DPRD mau melakukan
terobosan dalam menyusun tata tertibnya,. Nnamun, ini kadang kurang direspon
dengan baik oleh DPRD karena dinilai tentu sajatidak cukup memberikan insentif,
apalagi aturan yang harus dibuat justru malah akan terdapat sedikit insentif bagi
anggota dewan sendiri untuk membuat aturan yang dapat digunakan untuk
”mengekang” dirinya sendiri. Di banyak tempat, Iini pun sudah lazim dikenal sebagai
dilema di semua rezim demokratis.
Dalam UU No. 27/2009 yang menggantikan UU No. 23/2003, Tata tertib
DPRD, baik propinsi maupun kabupaten/kota, ditetapkan oleh DPRD sendiri dengan
berpedoman pada peraturan perundang-undangan. Tidak cukup jelas disebut apakah
ini akan diatur secara khusus dalam peraturan pemerintah, meskipun sebenarnya
DPRD bisa menggunakan PP No. 25 tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan
Peraturan Tata Tertib DPRD. Dalam PP tersebut, Pasal 55 ayat (4) dan (5), diatur
bahwa masa reses akan dipergunakan oleh DPRD untuk mengunjungi daerah
pemilihannya dan menyerap aspirasi masyarakat. Dalam kegiatan tersebut, anggota
DPRD secara perseorangan atau kelompok wajib membuat laporan tertulis atas
pelaksanaan tugasnya yang disampaikan kepada Pimpinan DPRD dalam Rapat
Paripurna. Penajaman materi tata tertib yang akan dibuat dan disahkan oleh DPRD
bisa dengan memperkuat materi pengaturan dalam PP tersebut.
Karena itu, di Indonesia, banyak yang menganggap bahwa sudah seharusnya
pemerintah mengeluarkan PP tentang Pedoman mengenai hal-hal yang setidaknya
dimuat dalam Tata Tertib DPRD, untuk mengganti PP No. 1/2000 yang harus diganti
menyusul UU No. 22/2003 yang baru. Tanpa PP Pedoman ini, DPRD akan cenderung
membuat tata tertib yang minimalis. Nah, sependapatkah Anda?

Kode etik yang bersanksi dan Dewan Kehormatan

Isu etika dalam jabatan publik mencuat karena adanya banyak cara yang
digunakan oleh pegawai pemerintah untuk menyalahgunakan kekuasaan mereka.
Dalam lembaga perwakilan yang menganut prinsip pemisahan kekuasaan -di mana
lembaga perwakilan tidak memiliki kekuasaan eksekutif- ini dapat mencakup
beberapa hal. Misalnya, sikap khusus dalam pembuatan keputusan untuk
mengalokasikan sumber daya atau mempekerjakan seseorang, menggunakan
kedudukan seseorang untuk kepentingan pribadi, menggunakan milik publik untuk
penggunaan pribadi, intimidasi atau ancaman untuk mempengaruhi tindakan orang
lain, dan peraturan yang ada secara pilih kasih untuk mengistimewakan teman atau
menghukum lawan.
Ketika penyalahgunaan ini terjadi, tidak hanya sumber daya, yang menjadi
hak rakyat, yang seharusnya dialokasikan secara bijak menjadi terbuang, namun juga
ada sederet dampak negatif lainnya. Perilaku tidak etis memancing kecurigaan,
meruntuhkan kepercayaan publik, serta menciptakan suasana saling tuduh. Standar
etis yang tinggi sangatlah penting bagi kredibilitas suatu pemda di mata publik dan
organisasi swasta yang berhubungan dengannya. Jika tidak,, Secara politis sudah
akan sangat sulit untuk menegakkan sebuah peraturan dan memungut pajak atau
retribusi apalagi jika. Ini menjadi nyaris mustahil ketika korupsi adalah hal yang
dipandang masyarakat sudah berurat berakar dalam pemerintahan.
UU No. 2227/20039 mengenai Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan
DPRD menyebutkan dalam Pasal 81 butir (i) bahwa salah satu kewajiban DPRD
adalah “menaati tata tertib dan kode etik dan Peraturan Tata Tertib DPRD
kabupaten/kota”. Sayangnya, pengaturan tentang kode etik ini dalam UU tersebut
terbilang tidak jelas dan hanya menyebutkan bahwa DPRD menyusun kode etik yang
berisi norma yang wajib dipatuhi oleh setiap anggota selama menjalankan tugasnya
untuk menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas DPRD kabupaten/kota.
Tidak juga jelas apakah kode etik ini terkait dengan pengaturan larangan (pasal 378)
ataukah terkait dengan kewajiban anggota DPRD (pasal 351). Kejelasan yang ada
hanyalah pada keberadaan Badan Kehormatan yang kemudian diberikan
tanggungjawab sebagai pengawas kode etik DPRD.
Ketidakjelasan juga muncul dalam PP No. 25/2004 Pasal 104 nomor tujuh
(turunan UU Susduk sebelum UU No. 27/2009) yang menyebut bahwa Kode Etik
meliputi norma-norma atau aturan-aturan yang merupakan kesatuan landasan etik
atau filosofis dengan peraturan sikap, perilaku, ucapan, tatakerja, tata hubungan
antar lembaga pemerintahan daerah dan antar anggota serta antara anggota DPRD
dengan pihak lain mengenai hal-hal yang diwajibkan, dilarang, atau tidak patut
dilakukan oleh anggota DPRD. Namun, karena frasa ’kode etik’ ini tidak diawali
dengan huruf kapital, UU memang tidak mengamanatkan adopsi sebuah kode etik
yang terpisah. Dalam bagian ketiga UU ini mengenai Peraturan Tata Tertib Pasal 102
ayat (4) butir 1 menyebut bahwa salah satu yang setidaknya diatur dalam tata tertib
adalah ”pengaturan protokoler dan kode etik serta alat kelengkapan lembaga”.
Ketidakjelasan ini pada akhirnya membuat peran kode etik tidak terlalu vital
dan hanya menjadi penunjang atau pelengkap dari tata tertib saja. Pun jika
dilanggar, tidak berakibat serius bagi pelanggarnya. Hal Pengaturan ini terkesan
mengecilkan peran kode etik dalam kehidupan kelembagaan dewan.

Kode etik yang terpisah dari tata tertib?

Apakah daerah perlu mengadopsi sebuah kode etik yang terpisah, misalnya
semacam sebuah dokumen singkat yang memuat saripati peraturan mengenai etika
dalam tata tertib? Lazimnya terdapat pro dan kontra dalam hal ini. Pihak yang tidak
sependapat umumnya berkaca dari ketidaksuksesan penerapan kode etik dalam
lapangan profesi lainnya, dan menganggap bahwa perilaku yang baik harus datang
dari diri sendiri dan dikontrol oleh penegakan hukum pidana. Pihak ini mungkin akan
cenderung merujuk pada pedoman yang disediakan oleh pemerintah. Namun, pihak
yang menganggap perlunya kode etik dapat mengajukan tiga argumen:
1. Argumen substansial. Kode etik perlu untuk menyediakan acuan yang mudah
dipahami bagi standar moral yang diharapkan lahir dari para anggota dewan
dan memiliki kode etik secara spesifik akan membuatnya lebih diperhatikan.
2. Alasan persepsi. Dalam konteks Indonesia yang tengah memerangi KKN ini,
pengadopsian kode etik oleh DPRD akan membangun kesan bahwa DPRD
berkomitmen terhadap agenda ini dan mengundang dukungan masyarakat
untuk menegakkannya.
3. Alasan teknis. Kode etik yang efektif sebaiknya memenuhi beberapa hal
berikut:
 Aturan seharusnya muncul dari kelompok yang akan diatur, bukannya
peraturan yang disalin dari pihak lain tanpa dihayati.
 Agar tetap dijunjung tinggi, aturan ini harus bersifat realistis.
 Aturan ini perlu ditulis dalam bahasa yang sederhana dan tidak sarat
dengan istilah hukum.
 Aturan harus sesuai dengan peraturan perundangan -peraturan atau UU
yang ada.
 Kode etik jangan memberikan kesan terlalu kaku dan birokratis.
Kode etik yang sedemikian akan membuat lebih mudah disosialisasikan, baik
kepada anggota sendiri maupun kepada masyarakat luas untuk membantu
mendapatkan dukungan bagi penerapannya. Sementara itu, melalui tata tertib,
dapat menjabarkannya dijabarkan lebih mendetail dan teknis, serta mengatur
penegakannya lewat Badan Kehormatan.
Ada sejumlah hal yang lazim diatur dalam kode etik, yang detailnya bisa
dilihat pada Buku 2 dari seri buku panduan ini. Namun, secara prinsip hal yang ingin
ditekankan melalui kode etik adalah:
 Pejabat publik, termasuk DPRD, harus membuat keputusan berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan dalam kebijakan dan dampaknya sendiri,
bukan karena paksaan dari luar, termasuk godaan imbalan materi.
 Kata kunci bagi efektifnya pemerintahan demokratis adalah kepercayaan
masyarakat kepada pemerintah. Karenanya, perlu ditegakkan aturan yang
menjamin bahwa kepercayaan masyarakat ini sejauh mungkin tidak
terciderai.

Bagaimana membentuk Dewan Badan Kehormatan yang efektif?

Dewan Badan Kehormatan yang merupakan salah satu alat kelengkapan yang
diamanatkan oleh UU No. 2227/20039 merupakan instrumen untuk menegakkan
kode etika ini. lepas dari pilihan yang diambil di Indonesia, aAda pelbagai model
pendekatan untuk menyusun bagaimana komposisi BadanDewan Kehormatan ini.
Model pertama membedakan antara Komisi Investigasi Pelanggaran Etika
dengan dan ” BadanDewan Kehormatan” yang terdiri dari pimpinan dewan. Komisi
Investigasi terdiri atas orang-orang ’luar’, dan bersifat independen, dan akan
bertanggungjawab menindaklanjuti laporan mengenai dakwaan pelanggaran etika,
dan untuk kemudian melaporkannya dilaporkan kepada BadanDewan Kehormatan.
Selanjutnya, Dewan Kehormatan, yang kemudiansecara mandiri sendiri atau
bersama dalam pleno akan menjatuhkan sanksi. Jadi, dalam model ini, BadanDewan
Kehormatan tidak memiliki kewenangan investigasi.
Model kedua, wakil-wakil dari pimpinan dewan duduk dalam BadanDewan
Kehormatan dengan seorang anggota yang independen. Model ini ditempuh di
Inggris., dimana Badan Kehormatansetelah melakukan investigasi dan Dewan
Kehormatan akan menyusun laporan tertulis. Berdasarkan laporan ini tersebut akan
diputuskan apakah kasus perlu dibawa atau tidak ke depan sidang pleno.
Model terakhir adalah yang ditempuh Amerika, adalah Badan Kehormatan
yang terdiri dari anggota legislatif sendiri. BadanDewan ini akan menangani
pengaduan, melakukan investigasi, dan bila terbukti akan menyusun rekomendasi
mengenai putusan yang sebaiknya diambil oleh sidang pleno. Masalahnya, tentu saja
anggota legislatif lazimnya enggan melakukan peran aktif dalam model BadanDewan
Kehormatan seperti ini, karena, berdasarkan pengalaman, selama ini menunjukkan
bahwa anggota legislatif cenderung tidak akan menjelek-jelekkan rekannya. Di
Amerika, keanggotaan BadanDewan Kehormatan ini tidak ex-officio diambil oleh
pimpinan sehingga, dan akibatnya agak sulit mendapatkan anggota dewan yang
bersedia duduk di BadanDewan Kehormatan ini.

Penyelidikan dan sanksi


Kendati masyarakat harus memastikan bahwa wakil-wakil mereka senantiasa
menerapkan standar etika yang tinggi. Nnamun demikian, anggota pun perlu
dilindungi dari bahaya fitnah. Karena itu, lazimnya diatur hal-hal sebagai berikut:
 Laporan siapa yang dapat ditindaklanjuti? Apakah laporan masyarakat dengan
sejumlah tertentu? Apakah hanya laporan dari sejumlah tertentu anggota
legislatif sendiri yang boleh diproses lebih lanjut?
 Bagaimana prosedur Badan Kehormatan untuk menindaklajuti laporan? Siapa
yang menindaklanjuti? Apakah pimpinan dewan, Dewan Kehormatan ataukah
harus sidang pleno?
 Apa Bagaimana prosedur pemberian dan penentuan sanksinya? Apakah
anggota dikenakan skorsing, denda, ataukah pengumuman di depan publik
secara terang-terangan? Dalam Pasal 380 UU No. 27/2009, selain pasal-pasal
pidana, maka sanksi yang dapat diberikan oleh Badan Kehormatan adalah
berupa teguran lisan, teguran tertulis, dan/atau diberhentikan dari pimpinan
pada alat kelengkapan.
Supaya kepercayaan publik dapat diraih, kendati penyelidikan dilakukan
secara tertutup, apapun hasil proses ini tentu saja perlu dibuka kepada masyarakat
sebagai salah satu langkah akuntabilitas publik.

Bagaimana Memulainya?

Yang patut diingat, berperilaku etis lebih dari sekedar menghindari perilaku
korupsi. Anggota dewan dan para pejabat perlu mengembangkan serangkaian
prinsip untuk memandu perilaku mereka sehari-hari. Ini mencakup juga selalu
bertindak dalam kerangka kepentingan publik, selalu bersikap netral secara politik
ketika menjalankan tugas administratif, tidak membocorkan informasi rahasia,
bahkan lebih jauh lagi memberikan tauladan perilaku yang baik sebagai pemimpin
masyarakat.
Karena korupsi politik sudah mengakar di Indonesai, ikhtiar ini memang tidak
mudah. Karena itu, bahkan bila itikad sudah lahir, penegakan kode etik juga harus
diawali, bahkan dibarengi secara berkala, dengan sosialisasi mendalam kepada
anggota DPRD dan staf sekretariat mengenai bagaimana kode etik ini dipatuhi. Jika
perlu, sangat penting dibuat bahkan diperlukan sebuah buku panduan kode etik
untuk membantu anggota DPRD mematuhi standar etika mereka.
Meski bisa saja Ketika mungkin saat ini kita agak pesimis dengan hasil
penegakan kode etik ininya, suatu saat kita harus percaya bahwa kondisi ideal ini
pasti bisa dicapai. bahwa mManajemen etika memang bukan sekedar kegiatan
tunggal yang sekali jadi, namun merupakan sebuah proses yang terus-menerus. Jadi,
tidakkah sekarang waktu terbaik untuk memulai?

7.4. Membangun transparansi yang sesuai dengan kebutuhan publik

Bagaimana mendefinisikan transparansi? Ketika reformasi terjadi dan


tuntutan akan transparansi menguat di daerah, sejumlah pejabat mulai mengeluh
bahwa tuntutan ini menjadi berlebihan. Bahkan keluar istilah-istilah: ”Boleh minta
transparansi, tapi jangan minta kami menelanjangi diri”. Biasanya lalu dimulai debat
kusir mengenai mana yang ’transparan’ dan mana yang ’telanjang’.
Pada hakikatnya transparansi merupakan hak masyarakat untuk
mendapatkan informasi yang menyangkut kepentingan mereka. Karena pemerintah
demokratis bertanggung jawab kepada rakyat, transparansi merupakan kewajiban
bagi pemerintah untuk menyediakan informasi yang memadai, termasuk dengan
mudah dan akurat. Logikanya, absennya tiadanya transparansi akan menurunkan
kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggara negara., dan bila tidak tertangani
pada gilirannya terhadap demokrasi secara keseluruhan.
Kalau kita cermati, absen tiada atau kurangnya transparansi dalam
pemerintahan lazim terjadi karena dua alasan: a) penggelapan sebuah informasi
yang terkait dengan tindak korupsi, dan b) lemahnya sistem yang mendukung
penyediaan informasi yang dibutuhkan oleh warga negara.
Untuk kasus yang pertama, kita sendiri dapat merasakan betapa seringkali
terjadi, pejabat dan pegawai yang terlibat dalam perilaku tak etis menutupi jejak
mereka dengan pelbagai cara, entah dengan membungkam rekan kerja mereka atau
dengan mencoba mencari dalih yang sah untuk menutupi tindakan mereka.
Transparansi jelas bukan merupakan kepentingan dari pelaku tindakan seperti ini.
Karena itu, pendekatan hukum seperti dijaminnya hak-hak masyarakat dalam UU
Kebebasan Informasi dan peraturan daerah serupa di tingkat daerah dapat membidik
membantu mengatasi permasalahan ini.
Di bawah rezim etika yang sudah ditegakkan, transparansi pun mungkin tidak
serta merta mudah diwujudkan. Kadang transparansi gagal, melulu karena
manajemen informasi yang kurang baik. Bagaimana memastikan bahwa masyarakat
dapat mengetahui agenda persidangan dewan dan raperda yang sedang dibahas?
Apakah pers dapat memperoleh informasi mengenai tingkat kehadiran anggota
DPRD dalam persidangan dewan untuk melihat kinerjanya? Apakah masyarakat bisa
memperoleh risalah persidangan dan mengetahui bagaimana sikap dan pilihan-
pilihan politik wakil-wakilnya?
Dalam keadaan seperti itulah, maka diperlukan penguatan kelembagaan dan
sistem. Langkah yang dapat ditempuh antara lain:
 Penguatan sekwan
Sekwan perlu diberi anggaran yang memadai dan staf yang memiliki kualifikasi
tertentu untuk menyediakan dukungan sistemik yang diperlukan di atas.
Penguatan ini dapat sesederhana dilakukan dengan mengadakan pelatihan bagi
staf untuk pencatatan risalah sidang sampai penyediaan mesin fotokopi untuk
memastikan bahwa masyarakat dapat memfotokopi menggandakan dokumen
yang mereka butuhkan dari sekwan.
 Penyelenggaraan kegiatan-kegiatan informasi
Seringkali kesan tidak transparan lahir karena warga masyarakat tidak memiliki
pengalaman interaksi dengan para wakilnya. Karena masyarakat di daerah
belum selalu berpengalaman untuk terlibat memberikan masukan bagi
kebijakan publik, DPRD justru dapat memulai kegiatan-kegiatan seperti, acara
bincang-bincang kebijakan di radio lokal yang secara interaktif, penerbitan
kalawarta (newsletter) yang bisa ditempel di koran dinding desa, juga
penerbitan situs web yang memuat berbagai informasi kebijakan.
7.5. Menuju zero tolerance untuk praktek buruk DPRD

Salah satu isu kontroversial dalam lima tahun pertama reformasi dalam
penataan kelembagaan DPRD adalah PP No. 110/2000 mengenai Kedudukan
Keuangan DPRD karena. akibat pengaturan di dalamnya yang dianggap menciderai
rasa keadilan, penyiasatan terhadap PP ini berlaku dalamterkait penyusunan paket
renumerasi bagi pimpinan dan anggota DPRD. PP ini menyulut kontroversi luas
sebelum kemudian akhirnya direvisi. dan bahkan permasalahan hukum merebak
menyusul hal ini. Isu semacam ini sangat sensitif di hati masyarakat dan
menimbulkan banyak kecaman terhadap DPRD yang dituduh ladang korupsi dan
Media Indonesia tanggal 7 September 2003 pernah menulis serangkaian artikel
seputar isyu yang secara sederhana disebut ”Korupsi DPRD”, dengan judul-judul
keras seperti ”Wakil rakyat mpencuri uang rakyat”, ”Cara anggota dewan pamer
kebusukan”, bahkan ”Legislatif di titik nol”. Wacana ini tentu Anggota DPRD masa itu
yang membacanya pada umumnya merasa tersudutkanmenyudutkan kelembagaan
DPRD, meskipun harus diakui praktek-praktek korupsi masih banyak menimba
anggota-anggotanya. kendati tidak bisa menyangkal banyaknya kasus-kasus
mengenai praktek buruk DPRD. Kecaman-kecaman masyarakat itu Sejumlah artikel
ini sebenarnya mencerminkan betapa toleransi masyarakat sudah tergerus terhadap
praktek-praktek buruk yang dilakukan oleh oknum DPRD.

Pengalaman Penerapan Transparasi

Dengan bantuan program BUILD dari UNDP, beberapa pemerintah kota telah
melakukan praktek yang terpuji, yang mungkin dapat didorong oleh DPRD di
daerah-daerah lainnya. Menyadari strategisnya posisi kelurahan, dan kuatnya
peran radio serta media cetak, ada beberapa inisiatif yang sudah diambil beberapa
kota dalam menegakkan transparansi. Kota Metro membuka warung informasi
dan komunikasi sebagai wahana membincangkan pengaduan masyarakat kepada
eksekutif dan legislatif mengenai masalah ekonomi dan pertanian. Kota
Sawahlunto mendorong pos komunikasi desa untuk menjembatani pemerintah
dan masyarakat. Kota Kendari, sebagai contoh, menggunakan siaran talkshow
radio mingguan untuk mendiskusikan anggaran pembangunan. Mendorong
liputan media juga dapat ditempuh. Bila di Sawahlunto pemda berinisiatif
membiayai kolom di harian regional agar memberitakan kota Sawahlunto, dapat
pula diciptakan situasi kondusif untuk lahirnya media dari masyarakat community
newspaper yang dengan leluasa melakukan pemberitaan mengenai isu-isu
kepemerintahan, seperti yang dilakukan sejumlah aktivis muda di Mataram
dengan Jurnal Kota ”Wargatama” dan buletin ”Potret”, yang menyorot isu-isu
perempuan.

Kasus korupsi DPRD ini dapat dikatakan hanya salah satu potret dalam lima
tahun pertamaperjalanan reformasi, di samping masih banyaknya kekurangan di
sana-sini di tubuh lembaga perwakilan daerah. Praktek buruk yang sering
dilayangkan juga berupa komodifikasi perda, pengawasan yang ”kebablasan” serta
”pemerasan” dalam proses pilkada. Dalam hujan kritikan tersebut, kita menyaksikan
bahwa DPRD ”dibiarkan” sendirian dalam mencoba menjawab permasalahan.
Akibatnya, beberapa DPRD sanggup menerima tantangan dan lahir sebagai dewan
yang dihormati dan terpercaya, namun tidak jarang yang terperangkap dalam
budaya-budaya warisan lama tanpa tahu bagaimana membebaskan diri.
Karena tingginya tuntutan dan terbatasnya dukungan ini, secara internal,
DPRD perlu segera merespon dengan juga mengembangkan zero tolerance kepada
peluang praktek buruk dalam dirinya. Bagaimana caranya? DPRD perlu menyusun
agenda bagaimana mengembangkan diri anggotanya dan kelembagaannya. Salah
satu caranya adalah menyusun semacam perencanaan reformasi kelembagaan tiga
sampai tahun –ini dapat dilakukan dengan bantuan staf ahli sebagai fasilitator-
sehingga pada akhirnya nanti DPRD telah akan memiliki pranata yang tangguh untuk
menangkal praktek buruk dalam dirinya maupun di antara anggota-anggotanya.
Tuntutan jzaman dan perubahan sendiri agaknya tak terelakan. Informasi
kian terbuka, masyarakat dapat belajar satu sama lain, dari daerah satu dan lainnya,
bahkan dari belahan dunia yang berbeda. Jadi, apakah perbaikan perilaku ini akan
dimulai dengan prakarsa para anggota sendiri, atau menunggu gelombang desakan
masyarakat yang kian canggih dalam menyuarakan tuntutan-tuntutannya? Di tangan
para anggota DPRD sendirilah pilihannya berada.
BAB VIII
Membangun Aliansi Strategis
dan Memenangkan Kepentingan Rakyat

Diana Fawzia

Dalam tata demokrasi baru sekarang – yang ditandai dengan informasi


keterwakilan, lembaga perwakilan dan konstitusi- DPRD perlu mengembangkan
pendekatan kerja baru secara eksternal. DPRD perludengan membangun aliansi
strategis dengan para pelaku tata pemerintahan di tingkat daerah maupun nasional.
Secara umum, ada tiga cluster aktor yang perlu diperhitungkan dalam
pengembangan jaringan strategis, yaitu pemerintah, dunia usaha dan masyarakat
sipil. Kemampuan DPRD untuk membangun jaringan dan aliansi strategis dapat
meningkatkan kinerja internal maupun representatif terhadap akomodasi berbagai
kepentingan.

Mengapa perlu membangun aliansi strategis?

Perjuangan politik DPRD adalah Mmemperjuangkan kepentingan rakyat atau


kepentingan umum. adalah termasuk wilayah politik. Dalam artian perjuangan
kepentingan publik atau umum adalah perjuangan politik, bukan kepentingan
individu, meskipun terbuka kemungkinan masuknya kepentingan pribadi dalam
wilayah kepentingan. Tetapi dilihat dari ciri-ciri sebagai kepentingan publik jelas
bagian dari kehidupan politik. Kepentingan umum adalah, tentu memuat tujuan yang
hendak dicapai secara kolektif sehingga untuk memperjuangkannya, dalam
memperjuangkan tujuan kolektif diperlukan kerja sama dengan berbagai elemen
masyarakat. Elemen masyarakat bisa disederhanakan melalui. Untuk mewujudkan
kepentingan umum diperlukan keberadaan organisasi atau kelompok pendukung.
Untuk memelihara kepentingan umum diperlukan sebuah aturan main agar
tujuan kolektif dapat dicapai bersama. Guna mencapainya, Dari contoh ini, tujuan
kolektif, kerja sama, organisasi dan aturan main merupakan elemen yang akan
berhubungan dengan faktor kekuasaan sangat penting, sebab menentukan.
Kekuasaan diartikan sebagai proses tingkat pengaruh yang ditransformasikan oleh
satu pihak seorang atau kelompok kepada seorang atau kelompok untuk
mempengaruhi perilaku orangpihak lain sehingga orang lain bersedia mengikuti apa
dikehendaki oleh pihak yang mempengaruhi. Tanpa proses pengaruh dan
mempengaruhi, beragam kepentingan manusia tidak bisa digerakkan kepada suatu
tujuan bersama, membina kerja sama, dan membentuk organisasi. Bentuk
pPengaruh dalam bentuk konkrit sering dikatakan sebagai hakikat kekuasaan yang
penggunaannya, dimana pengaruh itu dapat dipaksakan baik secara persuasif
maupun dengan paksaan.
Upaya mempengaruhi pihak lain untuk tujuan tertentu dapat didesakkan
dengan Mmembangun aliansi adalah sebagai usaha membangun pengaruh dan
kekuatan untuk mempengaruhi pihak lain untuk tujuan tertentu. Tujuan yang
dimaksud bisa diartikan sebagai upaya membangun dukungan ataupun, bisa juga
untuk memperkuat kerjasama membentuk suatu kekuatan untuk keperluan atau
tujuan yang hendak dicapai. Aliansi dapat dilakukan antara terhadap kelompok atau
elit politik yang memiliki kesamaan tujuan, dan kepentingan yang dinilai strategis
untuk mencapai tujuan.sama.
Aliansi strategis berarti membangun kerja sama untuk meningkatkan
pengaruh dan kekuatan dengan kelompok atau elit tertentu. Pengertian strategis
memiliki pengertianmenunjuk kepada tingkatnilai pengaruh yang dimiliki oleh suatu
kelompok yang diajak beraliansi. TingkatNilai pengaruh ini bisa karena penguasaan
terhadap sumberdaya tertentu, seperti sumber kelangkaan termasuk kekuasaan,
kekuatan posisi, sumberdaya ekonomi, ilmu dan teknologi, maupun dan status sosial
dalam struktur masyarakat.
Memenangkan kepentingan rakyat berarti bahwa apapun yang dilakukan
oleh anggota dewan harus diarahkan tetap yang menjadi pemenang utama adalah
pada kepentingan rakyat. Dan iIni adalah tolak ukur keberhasilan perjuangan seorang
anggota dewan dalam membina karier politiknya. Pelbagai usaha dapat dilakukan
oleh seorang anggota dewan untuk membangun aliansi strategis guna
memenangkan kepentingan rakyat.

8.1. Agenda kerjasama regional dan nasional

Sebelum merumuskan agenda regional dan nasional, anggota DPRD perlu


menempuh langkah-langkah sebagai berikut.: Pertama, mengidentifikasi potensi dan
masalah yang berkembang dalam masyarakat, baik pada tingkat regional maupun
nasional. Mengapa? Mengidentifikasi potensi dan masalah yang ada dalam
masyarakat adalah langkah yang sangat penting untuk dilakukan. Dengan langkah
tersebut, seorang anggota dewan mengetahui persis bahwa masalah yang
diperjuangkannya adalah (jantung) kehidupan rakyat. Sebagai contoh, Misalnya
apabila mayoritas pekerjaan penduduk adalah petani, maka menjadi jelas bahwa
seorang akan membela sekuat tenaga bahwa nasib petani adalah membela
merupakan nasib rakyat pada umumnya, bukannya membela para kepentingan
pemilik industri yang jenis bisnisnya terkait dengan melakukan pencemaran dan
merusak perusakan lahan pertanian.
Kedua, memahami permasalahan. Hal ini berkaitan dengan penguasaan
anggota dewan terhadap substansi permasalahan, seperti sebab munculnya
masalah, yaitu perlu diteliti apa, mengapa muncul, bagaimana jejaring masalahnya,
aktor-aktor utama yang terlibat masalah, dan seterusnmya.dan di mana letaknya
suatu permasalahan itu muncul. Pemahaman terhadap suatu masalah sangat
diperlukan agar anggota dewan mudah mengambil solusi atau langkah-langkah
penyelesaian serta pendekatan apa yang sebaiknya dilakukan. Dengan pemahaman
yang benar dan tepat, maka untuk mperumuskan agenda kerjasama regional
maupun nasional akan lebih mudah. Setelah dua langkah tersebut dilakukan, DPRD
dapat menyiapkan Di samping agenda politik dan kebijakannya. yang sudah
dipersiapkan oleh DPRD, tidak menutup kemungkinan bahwa ada agenda publik
yang tidak mampu menyerap masalah yang berkembang ditengah publik. Ini berarti,
akan ada perubahan agenda atau agenda tambahan. Penambahan agenda ini
menyangkut kerjasama regional dan nasional.
Mengidentifikasi Identifikasi isu yang berkembang dalam masyarakat dapat
dilakukan dengan memperhatikan tingkat urgensi, lingkup masalah, bobot masalah,
nilai kerugian, dan kenyamanan. Dengan memperhatikan beberapa hal tersebut,
pemilihan agenda yang disusun DPRD akan memiliki tingkat akurasi dan memiliki
nilai representasi yang kuat.
Setelah teridentifikasi, isu yang didapat perlu diMempilah-pmilah lagi isu
atau masalah yang berkembang pun perlu dilakukan untuk mengetahui apakah isu
atau masalah tersebut bersifat riil atau hanya sekedar tindakan manipulasitidak.
Ssehingga apa yang menjadi agenda publik yang dicanangkan DPRD nantinya
memang benar-benar adalah gambaran riil dari masyarakat. Logika yang
berkembang dalam dewan hendaknya mencerminkan logika dan kepentingan publik
yang berada di luar parlemen. Tidak sebaliknya, agenda publik yang dirumuskan
lebih mencerminkan logika dan kepentingan kelompok atau elit politik tertentu saja
daripada kepentingan publik.
Setelah memilah-milah isu atau masalah, baru maju tahap berikutnya adalah
merumuskan isu publik tersebut menjadi agenda publik. Agenda publik untuk
membangun kerjasama regional dan nasiona yang disusun DPRD tersebut harus
mencerminkan beberapa hal berikut.: pPertama, agenda publik tersebut harus
memiliki kejelasan bobot representasi, nilai urgensi, nilai strategis, sebagai solusi,
serta dapat memberikan harapan dan optimisme perbaikan. Kedua, agenda publik
yang dibangun harus memperkuat landasan sosial, ekonomi, politik dan keamanan.
Ketiga, agenda publik harus membangun rasa keadilan masyarakat, menumbuhkan
persamaan dan hak asasi manusia, serta menjunjung martabat manusia. Keempat,
agenda publik harus diarahkan untuk dapat meningkatkan nilai kompetitif daerah
sesuai dengan potensi yang dimiliki. Kelima, agenda publik tersebut diorientasikan
dapat untuk meningkatkan kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam Mmerumuskan agenda kerjasama regional dan nasional, perlu ada
kriteria yang jelas agar kerja sama dapat saling menguntungkan ataupun membantu
daerah yang sebelumnya tertinggal. Agenda kerjasama tersebut juga harus rasional
untuk diimplementasikan. untuk menghindari overlapping dan ruang lingkup
masalah. Agenda kerjasama regional paling tidak mengandung bBeberapa kriteria
yang bisa digunakan adalah:
1. Terdapat ketimpangan potensi sosial, ekonomi, sumber daya alam, dan
manusia antar daerah sehingga memungkinkan dibangun kerjasama.
2. Terdapat perbedaan keunggulan masing-masing daerah dalam pelbagai bidang
sehingga memungkinkan untuk saling mentukar nilai keunggulan komparatif
tersebut.
3. Peluang akses transportasi, komunikasi dan informasi sehingga memungkinkan
daerah kawasan tersebut mengalami percepatan dalam pembangunan.
4.
5. Sehubungan hal tersebut mungkin ada beberapa aspek kehidupan masyarakat
yang dapat digali untuk dikembangkan dalam agenda kerjasama regional, misal
antara lain adanya kemungkinan:
Timbul pelbagai masalah, baik sosial, ekonomi, politik, hukum, lingkungan, dan
keamanan.
Pengembangan potensi antara daerah dalam satu kawasan terutama di bidang
ekonomi dan perdagangan, transportasi, pemanfaatan potensi laut, pariwisata,
pelestarian lingkungan, dan sebagainya.
Pengembangan bidang pendidikan, terutama membangun lembaga pendidikan
alternatif yang bermutu dan bermanfaat langsung bagi pengembangan potensi SDM
tingkat regional.
Merumuskan agenda kerjasama nasional juga memiliki beberapa kriteria antara lain:
6. Keterbatasan daerah dalam bidang investasi.
7. Terdapat ketidaksinkronan kebijakan pemerintah pusat dan regulasi di bidang
investasi dan perdagangan.
8. Menciptakan pAdanya peluang investasi sehingga memungkinkan masuknya
investasi baik dari pusat maupun dari luar negeri.
Setelah memahami potensi dan permasalahan yang dirumuskan ke dalam
agenda publik maka perlu diambil langkah teknis, yaitu membentuk kelompok kerja
atau forum. Hal ini dilakukan untuk mendorong dan memfasilitasi terbentuknya
kelompok kerja yang mewakili kelompok kepentingan dalam masyarakat.
Mengapa perlu membentuk kelompok kerja atau forum?

Setelah memahami potensi dan permasalahan kerjasama regional dan


nasional yang dirumuskan ke dalam agenda publik, maka perlu diambil langkah
teknis yaitu membentuk kelompok kerja atau forum. Mereka ini akan berfungsi
mewakili kelompok kepentingan dalam masyarakat.
Apabila DPRD membuat daftar masalah maka DPRD akan mendapatkan suatu
daftar masalah yang sangat panjang. Pelbagai masalah akan kita temui baik dalam
bidang ekonomi, sosial, politik, hukum, budaya, dan keamanan. Permasalahan yang
muncul jelas tidak pernah berkurang, bahkan bertambah dari waktu ke waktu.
Bahkan kualitas masalahpun bisa bertambah. Lebih dari itu, yang sangat penting
adalah membangun atau mengembangkan potensi ekonomi daerah.
Harus disadari, bahwa kapasitas dan kemampuan anggota dewan sangat
terbatas sehingga tidak mungkin mereka mampu menyelesaikan banyaknya masalah
yang mendesak untuk diselesaikan. Namun, ini bukan berarti tidak bisa dilakukan.
Mengapa? Karena esensi tata pemerintahan yang baik adalah adanya pembagian
peran dan fungsi antar berbagai komponen pembangunan. Pperanan yang dominan
tidak lagi hanya dimainkan oleh pemerintah atau dewan perwakilan, namun juga
masyarakat.
ESama juga dengan esensi pemerintahan demokratis menimpakan
pentingnyabahwa lembaga pemerintah eksekutif dan legislatif untuk lebih banyak
bertindak sebagai wasit, dan fasilitator, penjamin kepastian hukum, serta pelindung
bagi kepentingan umum. Kedua lembaga tersebut kini dituntut aktif memfasilitasi
kekuatan-kekuatan sosial lainnya untuk merumuskan agenda politiknya dan
memproses keputusan politik. Fungsi utama eksekutif dan legislatif adalah menjaga
dan menegakkan aturan main. Posisi kedua lembaga tersebut adalah posisiharus
netral tidak memihak, kecuali kepada kelompok masyarakat banyak yang dirugikan
dalam interaksi. Atau dDengan kata lain, perjuangan anggota dewan adalah untuk
memenangkan kepentingan rakyat, makna kepentingan rakyat disini adalah
kepentingan umum atau dan kepentingan bersama.
Namun dalam dataran empirik, tujuan ideal tersebut tidak mudah
diwujudkan, karena berbagai kendala. Dalam realitas politik selalu ada kekuatan
dominan, baik secara politik maupun ekonomi. Ketimpangan struktural ini membawa
implikasi kepada mekanisme kerja lembaga pemerintahan maupun lembaga dewan.
Kekuatan dominan selalu ingin menguasai, mendikte, bahkan menindas kepentingan
umum untuk kepentingannya sendiri. Kekuatan dominan bisa berada di dalam
pemerintahan maupun di luar pemerintahan, bahkan. Kkerap kali keberadaan para
politisi justru terkooptasi atau menjadi alat kepentingan kekuatan yang lebih
besardominan ini.
Dalam kaitan tersebut, misalnya wajar jika kemudian muncul kita dapat
mengetengahkan beberapa pertanyaan mengapa korupsi tidak pernah bisa
diberantas? Mengapa kebijakan pertanahan kerap sekali merugikan rakyat kecil
sebagai pemilik? Mengapa harga gabah petani tidak kunjung membaik? Mengapa
pedagang kecil dan menengah dan kecil tidak memperoleh dukungan dalam
pembuatan kebijakan? Mengapa tata kota menyimpang dari setplan perencanaan?
dan banyak pertanyaan lain yang bisa diteruskan. Jawabannya, pengambil keputusan
tidak berpihak kepada kepentingan rakyat, apalagi memenangkannya.

Langkah apa yang dapat dilakukan untuk membangun aliansi strategis guna
memenangkan kepentingan rakyat?

Ada beberapa langkah awal yang bisa disiapkan. Pertama, mengidentifikasi


kelompok masyarakat (stakeholders) mana yang merupakan sebagai sumber daya
pembangunan daerah atau sebagai sumber masalah. Mengidentifikasi Identifikasi
terhadap kelompok yang terlibat pentingini dilakukan guna untuk melihat seberapa
besar peranan yang bisa dimainkan kelompok tersebut, dan seberapa pengaruhnya,
serta apa dampak yang akan ditimbulkan oleh mereka baik yang bersifat konstruktif
maupun yang destruktifkonstruktif.
Kedua, mengidentifikasi kelompok strategis (stakeholder) mana yang memiliki
perhatian, kepentingan, atau sebagai kunci permasalahan. Mengidentifikasi
kelompok strategis sangat penting untuk melihat seberapa besar dukungan maupun
hambatan yang akan muncul apabila DPRD mengambildiambil langkah-langkah
politis, administratif dan hukumkebijakan tertentu.
Ketiga, membuat tabel masalah dan potensi yang bisa menghambat maupun
yang mendukung kinerja dewan. Hasil ini kemudian menjadi sebuah pemetaan
masalah dan potensi daerah. Ini kemudian digunakan sebagai bahan membentuk
kelompok kerja (forum) sektor publikdari DPRD yang difungsikan, yaitu mendorong
terbentuknya kelompok kerja yang mewakili kepentingan masyarakat dengan
kelompok kepentingan atau lembaga-lembaga publik. Maksud pembentukan
kelompok kerja adalah untuk mengorganisir aliansi strategis dengan berbagai
komponen lain. Aliansi ini , sehingga aliansi yang diharapkan dapat bertahan
terbentuk relatif lama dan efektif dalam memperjuangkan suatu agenda atau
kepentingan bersama.
Dalam membangun aliansi terdapat beberapa hal penting yang perlu
dipertimbangkan, antara lain:
1. Terdapat persamaan visi dan misi;.
2. Adanya tujuan yang sama;.
3. Adanya kepentingan yang sama; dan.
4. Cara pencapaian tujuan yang sama.
Aliansi yang terbangun tidak selalu dapat memenuhi semua kriteria tersebut.
Oleh karena itu, kriteria tersebut juga dapat dipandang sebagai gradasi sehingga
memungkinkan untuk terus-menerus menemukan, sebagai peluang kedekatan untuk
terjadi aliansi antar kelompok masyarakat dalam aliasi. Semakin tinggi gradasi yang
dapat dipenuhi, semakin tinggi pula tingkat kohesivitas sebuah aliansi.
Kinerja sebuah aliansi lebih bersifat jaringan kerja daripada hubungan dalam
suatu struktur yang kaku. Karena itu, esensi membangun aliansi adalah membangun
jaringan kerja kelompok.
Model jaringan kerja dapat dibagi ke dalam tiga bentuk. Pertama, jaringan
atau aliansi dapat berupa hubungan secara horisontal, yaitu aliansi yang dibangun
dalam wilayah yang sama dan kelompok yang setara. Kedua, model hubungan secara
vertikal, yaitu hubungan berjenjang misalnya pada level daerah dan pusat, level atas,
menengah, dan atas. Aliansi model ini sangat ditentukan oleh adanya ”hirarkhi”,
meskipun tidak bersifat formal. Ketiga, model hubungan kombinasi horisontal dan
vertikal dimana hubungan ini tidak dibatasi oleh arah horizontal maupun vertikal,
lebih bersifat kombinasi tergantung kepada kebutuhan dan tantangan yang dihadapi.
Langkah selanjutnya adalah membentuk kelompok aliansi pada setiap
wilayah kerja DPRD. Pembentukan kelompok aliansi ini didasarkan pada kebutuhan
dan dukungan yang diperlukan untuk memperjuangkan suatu tujuan atau
kepentingan. Pembentukan kelompok aliansi dapat dikembangkan tidak hanya pada
level internal daerah tetapi juga regional dan nasional.
Pembentukan level-level kelompok aliansi ini memiliki tugas, dan fungsi, serta
peranan yang harus dimainkan dimana masing-masing level tersebut untuk dapat
menjadi kunci atau penentu dalam memperjuangkan kepentingan rakyat. Level
kelompok aliansi tersebut dapat juga dilihat dari kemampuan membuka akses, dan
memobilisasi kekuatan, dan pengaruh untukkemampuan memberi tekanan pada
instansi terkait pembuat keputusan.
Aliansi yang sudah terbentuk harus dijaga keberlanjutannya. Langkah-langkah
yang perlu untuk mempertahankan aliansi, antara lain: merumuskan program kerja
yang jelas dan agenda perjuangan kelompok aliansi oleh anggota kelompok aliansi,
menyusun taktik strategi dan taktik yang jelas, membangun komunikasi yang intensif
antara satu kelompok dengan kelompok aliansi lainnya baik secara horisontal
maupun vertikal, membuat mekanisme kerja aliansi, serta membangun dukungan
yang luas dari kelompok masyarakat lainnya.
Alinsi strategis ini juga dapat menfasilitasi berbagai kelompok kepentingan
maupun lembaga pemerintah untuk ikut merumuskan agenda publik, dan dan
mencari solusi bersama. Ini merupakan upaya untuk mengakomodasi beragamnya
kepentingan kelompok masyarakat. Upaya ini dapat dilakukan dengan:
 Mendorong partisipasi kelompok masyarakat (stakeholders) untuk ikut
mengambil bagian dalam merumuskan agenda publik.;
 Ikut bersama-sama memperjuangkan kepentingan yang telah diruimuskan
bersama menjadi agenda publik.
 Aktif membentuk opini publik dan meyakinkan kepada publik bahwa agenda
yang diperjuangkan adalah kepentingan publik.
 Menyepakati mekanisme kerja kelompok kerja agar peranan mereka tetap
berkelanjutan.
 Menunjuk penanggung jawab kelompok kerja dan membuat pembagian tugas
anggota.
 Membangun dan memelihara komunikasi secara intensif dengan kelompok
kerja.
Aliansi ini juga dapat berperan penting dalam Mmendorong kinerja aparatur
atau lembaga pemerintahan yang terlibat dalam perencanaan, pelaksanaan, maupun
pengawasan kepentingan publik yang dengan cara lebih maju berkaitan erat dengan
upaya membangun dukungan terhadap keberadaan mereka dari kelompok-
kelompok masyarakat terhadap kinerja aparatur tersebut. Hal dapat dilakukan
dengan:
 Meyakinkan stakeholders bahwa partisipasi dan obligasi moril sangat
dibutuhkan dalam mendorong kinerja bekerjanya suatu pemerintah yang baik
adalah sebagai suatu kebutuhan bersama/publik.
 Untuk mencapai tTujuan bersama hanya bisa dicapai jika lakukan dengan
terdapat kerjasama yang kuat dari para stakeholders.
 Kerjasama dan dukungan publik sangat diperlukan untuk meningkatkan
keberhasilan pembangunan daerah serta kompetisi antar daerah.
Aliansi strategis juga dapat difungsikan untuk Mmendorong efektivitas fungsi
koordinasi antar instansi pemerintah, maupun instansi pemerintah dengan instansi
atau lembaga swasta dan LSM sebagai pelaku-pelaku pembangunan daerah.
Koordinasi antar elemen tersebut sangat vital harus mencakup perencanaan maupun
dalam upaya mencari solusi setiap masalah publik. Hal ini dapat dilakukan dengan:
 Menciptakan sistem komunikasi yang integral yang dan dapat melibatkan
dengan pelbagai kelompok strategis.
 Mengkomunikasikan berbagai kepentingan kelompok strategis dalam
merumuskan kepentingan bersama.
 Mendorong koordinasi dalam merencanakan dan memecahkan pelbagai isu
publik.
Upaya aliansi untuk Membangun kapasitas dalam mendorong koordinasi
antar elemen pembangunan di atas menjalankan fungsi koordinasi adalah upaya
anggota DPRD untuk menekan menjalankan fungsi dan peranannya di dalam
mendorong berjalannya fungsi munculnya koordinasi yang lebih baik antar sektor
atau lembaga yang terkait dengan kepentingan dan pelayanan publik. Dalam
mengupayakan hal ini, DPRD perlu mempertimbangkan beberapa hal sebagai
berikut:
 Problematika publik yang muncul ke permukaan kerap sekali tidak berdiri
sendiri dan. Ia dapat merupakan kompleksitas masalah berbagai sektor yang
saling terkait satu sama lainnya. Terkadang masalah yang muncul sebanarnya
tampak sangat sederhana dan bukan lagi persoalan, atau pada tingkat
konseptual. diperkirakan sudah matang, nNamun, pada tingkat implementasi,
masalah yang sangat krusial seringkali adalah lemahnya koordinasi.
 Fungsi koordinasi tidak semata-mata menjadi bagian dari mekanisme birokrasi
pemerintahan tetapi juga harus dijalankan oleh DPRD, baik untuk
meningkatkan kinerja internal dewan maupun fungsi yang harus didorong
untuk meningkatkan kinerja lembaga eksekutif sebagai lembaga yang
melaksanakan agenda publik.
 Dalam konteks perspektif koordinasi, cara pandang anggota dewan dalam
melihat masalah tidak sepotong-sepotong atau hanya melihat per sektor.
Semakin tinggi tingkat perkembangan masyarakat, masalah publik yang
ditimbulkan semakin kompleks. Tumpang tindih masalah satu sektor dengan
sektor lainnya tidak bisa dihindari. Misalnya, kasus munculnya pedagang kaki
lima (PKL) bak jamur di musim hujan, yang terus meningkat dan sangat
liar.sehingga Akibatnya mengganggu ruas jalan, dan menimbulkan kemacetan,
ataupun menimbulkan timbunan sampah. Kesalahan ini tidak semata-mata
ditimpakan kepada PKL karena tetapi akar masalah sebenarnya adalah karena
tidak ada perencanaan tata ruang kota baik fisik maupun non fisik secara yang
matang atau karena melemahnya penegakan aturan.
 Keterkaitan atau kompleksitas masalah publik juga dapat terjadi karena
aebagai letak dampak dari lingkungan atau daerah sekitar. Ini misalnya terkait
kasus persoalan lingkungan seperti geografis dalam satu kawasan tertentu. Hal
ini misalnya munculnya sejumlah persoalan publik sebagai akibat pencemaran
lingkunganudara, pembabatan hutan, masalah timbunan sampah, bencana
alam seperti banjir, tanah longsor dan lain sebagainya. Pemecahan masalah ini
tentu tidak bisa dilakukan oleh satu sektor saja yang terbatas dalam satu atau
hanya pemda tertimpa musibah tersebut tetapi harus melibatkan pemda
lainnya yang juga menjadi mata rantai masalah tersebut.
 Langkah-langkah antisipatif adalah mengidentifikasi sejumlah masalah yang
memiliki keterkaitan antar sektor. Mengapa? Karena bobot suatu masalah tidak
muncul dari sektor itu sendiri tetapi dapat juga sebagai akibat dari
ketimpangan dari sektor lain. Dari sini kemudian menimbulkan akumulasi
masalah, apalagi tidak pernah terjamah oleh kelompok atau pihak yang
berkepentingan.
 Mengidentifikasikan stakeholders yang terlibat baik dalam perencanaan,
pelaksana, pengguna dan pengawasan. Misalnya siapa yang terlibat langsung
dalam pengambilan keputusan? Siapa kelompok yang sangat dirugikan? Siapa
kelompok yang diuntungkan oleh suatu keputusan? Dari proses identifikasi ini
selanjutnya dapat dimerumuskan pendekatan dan langkah apa yang sebaiknya
dilakukan. Persoalan yang kerap muncul di sini adalah apabila stakeholders
yang terlibat ada mempunyai kekuasaan dan atau pengaruhnya yang besar
atau dapat juga suatu kelompok yang memiliki kekuatan ekonomi.
 Apabila kenyataan tersebut diharapkan kepada Anda apa yang dapat anda
lakukan? Menghindar, berpihak kepada kelompok yang kuat, atau tetap
memegang etika kedewanan berpihak kepada kelompok masyarakat yang
dirugikan? Semua ini berpulang kepada Anda, sikap apa yang sebaiknya anda
lakukan sebagai anggota dewan yang bertanggung jawab dan moral.
 Mendorong stakeholders untuk melakukan koordinasi dalam proses
mperencanakan, pelaksanaan, pengawasan maupun pengambilan keputusan.
Fungsi koordinasi tidak hanya dipahami sebagai sebuah konsep atau sebagai
bentuk mekanisme kerja lembaga tetapi sebagai suatu kebutuhan yang harus
dilaksanakan. Koordinasi terkadang mudah untuk diucapkan akan tetapi sulit
untuk diwujudkan.
 Untuk meningkatkan kinerja lembaga dewan maupun fungsi tata pemerintahan
yang baik hendaknya menempatkan masalah koordinasi sebagai bagian penting
dalam proses perencanaan, proses pengambilan keputusan maupun dalam
pengawasan dan evaluasi.
Akhirnya, upaya membangun fungsi koordinasi dan pengawasan
terlaksananya agenda kerja sama dapat diwujudkan dengan mendorong serta
melibatkan partisipasi aktif pelbagai kelompok masyarakat seluas-luasnya. Dengan
demikian proses politik yang berjalan baik pada level pemerintahan maupun pada
level DPRD dapat memenangkan kepentingan rakyat secara konstitusional, legal, dan
terlembaga.

You might also like