Professional Documents
Culture Documents
Daftar Isi
Program pelatihan DPRD sudah banyak dilakukan, baik yang difasilitasi oleh
kalangan universitas, lembaga pelatihan profesional, lembaga donor, maupun oleh
kalangan organisasi masyarakat sipil. Namun, banyak dari pelatihan tersebut
seringkali tidak disiapkan dengan capaian strategis dan taktis yang terarah untuk
menjawab tantangan kongkrit dari DPRD.
Belum lagi, ada kecenderungan dari lembaga-lembaga penyelenggara
pelatihan tersebut untuk melihat problema DPRD di semua daerah secara seragam
sehingga materi pelatihannya cenderung terlalu umum, abstrak, teoritis, dan tidak
menyentuh secara mendalam masalah-masalah riil yang dihadapi oleh DPRD.
Akibatnya, hasil pelatihan seringkali tidak memiliki dampak perubahan yang jelas,
kecuali sekedar tambahan pengetahuan atau menebalkan kesadaran terhadap peran
DPRD sebagai wakil rakyat. Hasil pelatihan akhirnya akan sangat sulit diukur
keberhasilannya.
Hal tersebut bukan tidak penting, namun harus dipertajam lagi seiring
dengan kebutuhan anggota DPRD yang dituntut bukan hanya memiliki keahlian
sebagai politisi namun juga memiliki kapasitas teknokratis-administratif dalam
urusan pemerintahan daerah. Kapasitas teknokratis-administratif menjadi vital
karena, dalam semua urusannya, DPRD harus berinteraksi dengan pemerintah
daerah (eksekutif) yang logika kerjanya selalu didasarkan pada pranata ini. Tanpa
penguasaan terhadap wilayah ini, niscaya DPRD tidak akan mampu menjalankan
peran dan fungsinya secara optimal. Ini terjadi bukan karena anggota DPRD tidak
memiliki keinginan, namun seringkali karena tidak memiliki keahlian dan alat kerja
yang mencukupi dalam pelaksanaan fungsinya baik sebagai pengarah, mitra, dan
pengawas bagi pemerintah daerah.
Modul pelatihan ini ingin mengubah kecenderungan di atas dan menawarkan
“Pelatihan DPRD berbasis Riset”. Oleh sebab itu, nilai lebih yang dapat ditemukan
dalam modul ini adalah sebagai berikut:
1. Modul ini tidak hanya memberi perspektif perubahan, namun juga
menunjukkan pilihan-pilihan yang realistis dilakukan;
2. Modul ini tidak hanya menunjukkan berbagai peraturan perundang-
undangan terkait pelaksanaan fungsi dan peran DPRD, namun juga
memberikan alat kerja agar DPRD dapat menjalankan fungsi dan perannya
dengan jelas dan tepat;
3. Modul ini tidak hanya menunjukkan masalah, namun juga cara memecahkan
masalah; dan
4. Modul ini tidak hanya memberi panduan agar pelaksanaan fungsi dan peran
anggota DPRD sesuai aturan perundang-undangan, namun juga memberikan
kerangka kerja kritis dan inovatif dalam merancang perubahan.
Singkat kata, program penguatan dan pengembangan kapasitas DPRD hanya
bisa berarti jika didasarkan pada kondisi umum DPRD di Indonesia dan kondisi
khusus masing-masing daerah sekaligus yang dihadapi oleh masing-masing DPRD.
Meski fungsi dan tugasnya sama, tantangan yang dihadapi oleh setiap DPRD sangat
variatif. Konsekuensinya, hasil dari setiap pelatihan DPRD hanya akan optimal jika
didasarkan pada kebutuhan dari masing-masing daerah.
Bab I
Pendahuluan
Kedudukan, tugas, dan fungsi DPRD hasil pemilu legislatif 2009 dalam sistem
pemerintahan daerah tidak berbeda jauh dengan periode sebelumnya. UU Susduk
2009, yaitu No. 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD tidak mengubah format
dasar pengaturan DPRD yang sebelumnya diatur dalam UU No. 23/2003. Terkait
DPRD, perbedaan hanya terjadi pada……. Perubahan ini dilakukan
karena……………………………… . Antisipasi perbedaan mungkin akan dapat dilihat
nantinya dalam berbagai PP turunan UU ini, seperti PP tentang perumusan tata
tertib DPRD, PP tentang protokoler dan keuangan, PP ..............., dst.
Tantangan paling awal bagi kelembagaan DPRD hasil Pemilu 2009 adalah
karena resikonya sebagai lembaga perwakilan yang dipilih secara berkala, yaitu
kenyataan sebagian anggotanya belum memiliki pengalaman menjabat. Mereka ini
tentu membutuhkan adaptasi terlebih dahulu, terlebih bagi politisi yang sedari
karirnya di partai politik tidak memiliki atau tidak diberi bekal pemahaman yang jelas
tentang pelaksanaan tugas dan fungsi DPRD dalam kerja sehari-hari.
Merespon kendala ini, tugas paling awal dari setiap pelatihan DPRD adalah
memastikan bahwa setiap anggota DPRD menguasai dan memahami tugas dasarnya
sebagai wakil rakyat. Ini bisa dicukupi melalui pelatihan terkait penguatan kapasitas
dan peran anggota DPRD dalam menjalankan fungsinya di bidang legislasi, anggaran,
dan pengawasan. Baru setelahnya, pelatihan-pelatihan berbasis keahlian-keahlian
tertentu bisa dilakukan sebagai tambahan soft skill agar dinamika kerja DPRD dapat
berkembang, mampu merumuskan solusi permasalahan, serta kritis dan inovatif.
Kesemuanya ini pada gilirannya harus bisa ditransformasikan secara kelembagaan
sehingga sustainabilitas kualitas DPRD terjaga meskipun terjadi pergantian anggota
DPRD (pergantian antar waktu, pergantian periode).
Posisi DPRD dalam Pemilu Langsung dan Relasinya dengan Partai Politik
Berbeda dengan DPRD 2004, anggota DPRD 2009 dipilih melalui pemilihan
langsung dengan mekanisme suara terbanyak, tanpa harus memperhatikan nomor
urut pencalonan. Konsekuensinya, sebagai wakil rakyat, anggota DPRD 2009 memiliki
tingkat representasi politik yang lebih baik dari sebelumnya. Namun, representasi
politik saja tidaklah cukup. Kualitas anggota DPRD selanjutnya akan dilihat
sejauhmana kemampuannya mempresentasikan diri sebagai wakil rakyat, yaitu
kemampuannya menelurkan berbagai kebijakan yang berpihak pada kepentingan
masyarakat luas.
Dalam konteks ini, DPRD harus berhadapan dengan realitas dalam dirinya,
antara sebagai wakil rakyat dan wakil partai politik, yang tak jarang memiliki
kepentingan yang berbeda. Setelah terpilih, anggota DPRD sebenarnya tidak lagi
semata menjadi wakil dari partai politik tertentu atau terbatas pada konstituennya
saja. DPRD adalah wakil semua masyarakat.
Meski kontrol partai terhadap anggotanya yang ada di DPRD tetap kuat, yakni
melalui fraksi dan pemegang kewenangan untuk mengusulkan penggantian anggota
melalui penggatian antarwaktu (PAW), anggota DPRD tidak perlu khawatir sepanjang
tetap berpegang pada nilai-nilai kebajikan publik. Anggota DPRD justru memiliki
kewajiban agar terus mengawal kepentingan publik melalui fraksinya.
Fraksi adalah alat perpanjangan tangan dari partai politik untuk menjalankan
agenda politiknya melalui DPRD. Dalam konteks ini, anggota DPRD sudah semestinya
menjadi agen perjuangan partai politik. Fraksi berwewenang ………………………………….
Namun demikian, anggota DPRD juga semestinya mampu membangun perimbangan
terhadap kebijakan fraksi jika dinilai memperjuangkan kepentingan yang tidak
selaras dengan kepentingan publik.
Kontrol partai politik terhadap anggotanya juga terbilang kuat melalui
mekanisme PAW (UU No. 27/1999, Pasal 383 ayat 2 huruf e dan h). Kewenangan ini
patut dicermati mengingat selama ini sering menjadi pintu masuk dari partai politik
untuk ‘menertibkan’ wakilnya di DPRD
yang dinilai melenceng dari garis Penggantian Antarwaktu (PAW)
Selain karena melanggar aturan hukum
kebijakan partai. Dalam konteks DPRD pidana dan tata tertib DPRD, Anggota DPRD
2009, ketentuan terkait hal ini masih dapat diusulkan penggantiannya oleh partai
menanti Peraturan Pemerintah yang politik (PAW). Usulan penggantian ini karena
sampai saat ini belum diterbitkan. …………………….. atau karena anggota DPRD
Namun, anggota DPRD tidak perlu diberhentikan dari keanggotaan partai politik.
Jika diberhentikan, anggota DPRD yang
merisaukan kontrol dari partai politik bersangkutan dapat mengajukan keberatan
sepanjang tidak melakukan tindak melalui pengadilan. Usulan PAW baru bisa
pidana, pelanggaran tata tertib, ataupun dilakukan setelah adanya putusan pengadilan
berpindah sebagai anggota partai lain. yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.
Problem hubungan antara partai
politik dan anggotanya di DPRD kiranya justru muncul pada anggota DPRD dari partai
politik yang tidak lolos parliamentary threshold pada pemilu 2009 lalu atau yang
suaranya relatif kecil di daerah yang bersangkutan. Anggota DPRD dihadapkan pada
persoalan dilematis, antara mendekat ke partai politik yang lebih besar (untuk
mempertahankan peluangnya pada pemilu selanjutnya maupun untuk merlanjutkan
karir politiknya ke tingkat provinsi atau pusat) ataukah tetap bertahan di partainya
saat ini. Ini adalah konsekuensi UU Pemilu 2008 yang mempersempit ruang gerak
bagi partai-partai yang tidak mampu mendudukkan wakilnya di DPR Pusat.
Di sini rasionalitas anggota DPRD akan diuji. Namun, yang penting diingat
adalah bahwa sistem pemilu yang dipakai untuk pemilu selanjutnya kiranya mau
tidak mau akan tetap menggunakan pemilihan dengan mekanisme suara terbanyak,
seperti halnya pemilu 2009. Oleh karena itu, faktor fundamental yang menentukan
adalah kualitas personal dari anggota DPRD di hadapan masyarakat atau pemilih.
Konsekuensinya, kedekatan anggota DPRD terhadap aspirasi dan kepentingan
masyarakat justru akan menjadi kunci apakah dirinya akan dipilih atau tidak pada
pemilu selanjutnya.
Kendala Struktural Optimalisasi Tugas dan Fungsi DPRD
Secara umum, kedudukan, tugas, dan fungsi DPRD sebagaimana diatur dalam
UU No. 27/2009 tidak berbeda jauh dari pengaturan sebelumnya di UU No. 23/2003
terkait pelaksanaan fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Namun, berdasarkan
pengalaman sebelumnya, secara struktural ada beberapa kendala dalam pengaturan
kedudukan, tugas, dan fungsi DPRD sebagai landasan agar DPRD dapat bekerja
secara optimal. Kendala struktural tersebut adalah:
a. terkait fungsi legislasi, kewenangan DPRD seringkali terhambat karena ada
produk-produk kebijakan nasional yang tidak memberikan keleluasaan
kepada daerah. Bahkan, dalam banyak kasus, banyak perda yang kemudian
dibatalkan oleh pemerintah pusat.
b. terkait fungsi anggaran, persetujuan dan pengawasan DPRD terbatas pada
wilayah APBD saja sehingga tidak memiliki ruang terhadap penggunaan
anggaran non-APBD yang bersal dari pemerintah pusat, seperti Dana Alokasi
Khusus dan Dana Darurat. Selain itu, dana insidental lainnya seperti bantuan
masyarakat saat terjadi bencana alam juga tidak diatur sebagai kewenangan
DPRD kecuali sebatas menerima laporannya dari pemerintah daerah.
c. terkait fungsi pengawasan, DPRD tidak mampu mengawasi pelaksanaan
perda secara maksimal karena wewenangnya tidak menjangkau sampai
dengan pembatalan peraturan atau keputusan kepala daerah (hak legislasi di
wilayah eksekutif) bilamana bertentangan dengan perda. Hal lain, terkait
pengawasan pelaksanaan APBD, wewenang DPRD dalam menerima laporan
pertanggungjawaban dari pemerintah daerah juga lebih dibatasi pada
pembacaan angka-angka saja seperti tertuang dalam Laporan Realisasi
Anggaran, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan Atas Laporan Keuangan.
Konsekuensinya, evaluasi DPRD terhadap kinerja pemerintah daerah sulit
menyentuh aspek-aspek pengelolan kebijakan dari pemda (di setiap SKPD) pada
tahap implementasi APBD.
Kendala-kendala tersebut tidak lantas membuat DPRD tidak bisa berfungsi
optimal. Hanya saja, DPRD butuh mencari terobosan untuk menutupi potensi
lubang-lubang kendala struktural ini. Dalam konteks optimalisasi fungsi legislasi,
DPRD dapat mengoptimalkan Badan Legislasi, sebagai alat kelengkapan DPRD 2009,
agar dapat memastikan bahwa setiap produk perda nantinya dapat disetujui
bersama pemerintah daerah dan tidak dibatalkan oleh pemerintah pusat (melalui
Peraturan Presiden). Dalam konteks urusan yang menyangkut hubungan antara
pemerintah pusat dan daerah, DPRD dapat terus-menerus melakukan memelopori
negosiasi kepada pemerintah pusat terkait pembagian urusan yang lebih
memberikan manfaat kepada daerah.
Demikian halnya dengan terobosan di wilayah fungsi anggaran. Meskipun
secara prinsip DAK adalah menjadi kewenangan pemerintah pusat, namun dalam
implementasinya program pembangunan yang didanai oleh DAK ini sebenarnya
sangat berimpit dengan urusan daerah, terlebih untuk mendapatkan DAK juga bisa
diusulkan oleh pemerintah daerah (Pasal 162 UU No. 32/2004 huruf b).
Keberimpitan urusan pusat dan daerah dalam DAK juga ditunjukkan oleh pengaturan
dalam Pasal 41 UU No. 33/2004 yang mensyaratkan adanya Dana Pendamping dari
daerah terhadap DAK minimal sebesar 10 persen dari total proyek (kecuali untuk
daerah dengan kemampuan fiskal yang rendah). Pada kasus ini, DPRD diharapkan
bisa mengadvokasi kewenangannya bukan hanya terbatas pada alokasi dan
pengawasan Dana Pendamping yang telah dimasukkan dalam komponen APBD.
Sedangkan terkait fungsi pengawasan, DPRD dapat mencari terobosan
dengan memperketat koordinasi, pemantauan, dan pengawasan terhadap
pemerintah daerah terkait pembuatan dan implementasi produk legislasi yang
menjadi wilayah eksekutif, yaitu peraturan kepala daerah dan keputusan kepala
daerah (Pasal 42 ayat 1, huruf c). Keterlibatan DPRD sejak lebih awal tentu dapat
mengurangi potensi sengketa materi hukum peraturan kepala daerah atau
keputusan kepala daerah, sehingga tidak perlu berujung pada reaksi penggunaan hak
interpelasi dan hak angket. Selain itu, dalam konteks pengawasan APBD, DPRD dapat
memperkaya evaluasi pertanggungjawaban implementasi APBD yang disampaikan
oleh pemerintah daerah bukan hanya berbasis pada laporan keuangan namun juga
mendasarkan pada capaian keberhasilan yang dirunut dari kinerja masing-masing
SKPD.
Tugas dari Badan Legislasi Daerah ini sebenarnya tidak disebutkan secara
tegas dalam UU No. 27/2009. Namun, jika mengikuti tugas alat kelengkapan Badan
Legislasi yang ada di DPR, maka Badan Legislasi Daerah dimaksudkan sebagai wadah
khusus dalam kelembagaan DPRD yang berfungsi untuk mengkoordinir,
mengkonsolidasikan, mengusulkan, merancang, dan menyusun legislasi daerah
dalam kerangka yang programatik. Dalam menjalankan tugasnya, Badan Legislasi
Daerah bekerjasama dengan semua komponen lain karena wewenang untuk
mengajukan perda masih tetap bisa datang dari pemerintah daerah, anggota DPRD,
atau alat kelengkapan DPRD lainnya.
Keberadaan Badan Legislasi Daerah dengan demikian sangat strategis dalam
konteks optimalisasi fungsi legislasi dari DPRD. Melalui keberadaannya, legislasi
daerah dapat disusun berdasarkan program legislasi daerah yang direncanakan
dalam kurun waktu lima tahun (satu waktu masa keanggotaan) yang diterjemahkan
ke dalam tahapan per tahun (setiap tahun anggaran) secara tepat. Masalah
rancangan perda yang saling berhimpit antara yang diajukan oleh Pemda dan yang
diajukan oleh inisiatif DPRD dengan demikian akan bisa teratasi sehingga proses
pembuatan perda menjadi lebih terarah dan efektif. Perda yang sudah disahkan juga
bisa diminimalisir potensinya dari pembatalan oleh pemerintah pusat (‘perda
bermasalah’) karena materi perda dapat disusun secara lebih hati-hati agar tidak
bertabrakan dengan berbagai regulasi yang ada di tingkat nasional.
Di sektor Sistem Pendukung, keberadaan Kelompok Pakar atau Tim Ahli tak
kalah strategis untuk memperkuat pelaksanaan tugas dan fungsi DPRD. Berbeda
dengan Sekretariat DPRD yang difokuskan pada dukungan teknis, adminsitratif, dan
pelaksanaan anggaran DPRD, Kelompok Pakar atau Tim Ahli ini dimaksudkan untuk
memberikan dukungan substantif yang membantu alat kelengkapan DPRD dalam
melaksanakan fungsinya. Kelompok pakar atau Tim Ahli ini direkrut berdasarkan
kompetensinya dalam disiplin ilmu tertentu yang dibutuhkan oleh alat kelengkapan
DPRD yang bertugas melakukan berbagai kajian dan analisis pada bidang-bidang
yang menjadi urusan DPRD. Melalui keberadaan Kelompok pakar atau Tim Ahli,
diharapkan DPRD mampu lebih optimal menjalankan fungsinya.
Kebutuhan adanya Kelompok pakar atau Tim Ahli sudah dirasakan selama ini
untuk memperkuat kelembagan DPRD. Ini mengingat keberadaan anggota DPRD
yang berasal dari beragam latar belakang dengan kapasitas dan keahlian yang
berbeda-beda. Bahkan, tak jarang ditemui anggota DPRD yang bahkan tidak memiliki
sedikitpun pengalaman terkait bidang-bidang kerja yang harus ditangani oleh DPRD.
Tak dapat dipungkiri, ini memang konsekuensi logis dari masih lemahnya sistem
rekrutmen politik anggota DPRD yang berpadu dengan belum matangnya rasionalitas
publik pemilih untuk memilih calon anggota DPRD yang berkualitas. Oleh sebab itu,
keberadaan Kelompok Pakar atau Tim Ahli diharapkan mampu menambal kebocoran
sistemik ini.
Hanya saja, keberadaan Kelompok Pakar atau Tim Ahli ini bisa saja menjadi
tidak efektif. Ada beberapa keterbatasan yang sangat mungkin mengganggu upaya
DPRD mengoptimalkan keberadaan mereka ini.
1. Penentuan prioritas kebutuhan
terhadap pekerjaan-pekerjaan Pembentukan Kelompok Pakar/Tim Ahli
1. Tentukan prioritas kebutuhan pekerjaan
DPRD yang membutuhkan yang memutuhkan dukungan Kelompok
dukungan dari Kelompok Pakar Pakar/Tim Ahli untuk masing-masing alat
atau Tim Ahli. kelengkapan;
2. Keterbatasan kemampuan 2. Tentukan ukuran kemampuan keuangan
keuangan daerah yang daerah untuk membiayai Kelompok
Pakar/Tim Ahli;
dialokasikan dalam anggaran 3. Tentukan standar pembiayaan Kelompok
DPRD untuk membiayai Pakar/Tim Ahli;
kebutuhan Kelompok Pakar atau 4. Tentukan mekanisme rekrutmen yang
Tim Ahli. terbuka dan kriteria seleksi yang jelas dari
3. Penentuan mekanisme rekrutmen Kelompok Pakar/Tim Ahli;
5. Tentukan tugas, fungsi, dan deskripsi
dan seleksi Kelompok Pakar atau tugas dari Kelompok Pakar/Tim Ahli;
Tim Ahli. 6. Tentukan target hasil kerja dari Kelompok
4. Penentuan tugas, fungsi, dan Pakar/Tim Ahli;
deskripsi tugas (job description) 7. Pastikan pengaturan hal-hal di atas ada
yang jelas dari Kelompok Pakar dalam Peraturan Tata tertib DPRD
atau Tim Ahli.
5. Penentuan target hasil kerja dari Kelompok Pakar atau Tim Ahli
Selanjutnya, pengaturan terhadap hal-hal di atas sangat penting untuk dilegalisasi
secara formal yang bisa menjadi bagian dalam Peraturan DPRD tentang Tata Tertib
DPRD.
Pasal 97
Jumlah, ruang lingkup tugas, dan mitra kerja komisi ditetapkan dengan keputusan DPR.
Pasal 98
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, susunan, tugas, wewenang dan mekanisme
Badan Legislasi
Pasal 100
(1) DPR
Badanmenetapkan
Anggaran susunan dan keanggotaan Badan Legislasi pada
permulaan
Pasal 104 masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang.
(2) Jumlah anggota
BadanBadan
Anggaran Badan
dibentuk
Kehormatan Legislasi
oleh ditetapkan dalam rapat
DPR dan merupakan alatparipurna
menurut perimbangan
kelengkapan
Pasal 124 DPR yang dan bersifat
pemerataan tetap.jumlah anggota tiap-tiap fraksi
padaPasal
permulaan
(1) DPRmasa
105 menetapkan susunan dan keanggotaan Badan Kehormatan
keanggotaan
(1) DPR DPR memperhatikan
dengan dan pada
menetapkan permulaan
susunan dan tahun sidang.
keanggotaan
perimbangan danBadan
pemerataan jumlah anggota
Anggaran menurut perimbangan dan pemerataan
tiap-tiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan jumlahDPR dan permulaan
Pasal 101 tahun
anggota tiap-tiap
sidang. fraksi pada permulaan masa
(1) Pimpinan
keanggotaan Badan
(2) AnggotaDPRLegislasi
dan
Badan merupakan
pada permulaan
Kehormatan satu kesatuan
tahun
berjumlah 11pimpinan
sidang. yang dan
(sebelas) orang
bersifat kolektif
(2) Susunan dan kolegial.
ditetapkankeanggotaan Badan Anggaran
dalam rapat paripurna sebagaimana
pada permulaan masa keanggotan
(2) Pimpinan
dimaksudDPRBadan
pada Legislasi
ayat
dan pada (1) terdiriatas
terdiri
permulaan atas
tahun 1 (satu)
anggota
sidang. orang
dari ketua dan paling
tiap-tiap
banyak 3 (tiga)
komisi yangorang
Pasal dipilihwakil
125 oleh ketua
komisiyangdengan dipilih dari dan oleh anggota
memperhatikan
Badan Legislasi
perimbangan berdasarkan
jumlah
(1) Pimpinan prinsip
anggota
Badan musyawarah
dan usulan
Kehormatan untuksatu
fraksi.
merupakan mufakat dan pimpinan
kesatuan
proporsional
Pasal 106
yang dengan
bersifat memperhatikan
kolektif dan kolegial.keterwakilan perempuan
menurut perimbangan
(1) Pimpinan Badanjumlah
(2) Pimpinan Anggaran
Badan anggota tiap-tiap
merupakan
Kehormatan fraksi.
satu
terdiri kesatuan
atas 1 (satu) orang ketua dan 2
(3) Pemilihan
pimpinan(dua)pimpinan
yang Badan
bersifat
orang wakil Legislasi
kolektif
ketua, dan sebagaimana
yang kolegial.
dipilih dari dan dimaksud pada Badan
oleh anggota
ayat(2)
(2)Pimpinan
dilakukan
Kehormatan dalam
Badan rapat Badan
Anggaran
berdasarkan Legislasi
terdiri
prinsipatas 1yang
(satu)dipimpin
musyawarah orang
untuk oleh
mufakat dan
pimpinan DPR setelahbanyak
ketua proporsional
dan paling dengan 3 (tiga) orang wakilketerwakilan
memperhatikan ketua yang perempuan menurut
penetapan susunan
dipilihperimbangan
dari dan olehdanjumlah
keanggotaan
anggota BadanBadan
anggota Legislasi.
Anggaran
tiap-tiap fraksi.
berdasarkan prinsippimpinan
(3) Pemilihan musyawarah Badan untuk mufakat dan
Kehormatan sebagaimana dimaksud pada
Pasal 102 ayat (2). dilakukan
proporsional .. dalam rapat Badan Kehormatan yang dipimpin oleh
(1) Badan Legislasi bertugas:
- 48 - pimpinan DPR setelah penetapan susunan dan keanggotaan Badan
a. menyusun
proporsional rancangan
denganprogram
Kehormatan. legislasi nasional
mempertimbangkan yang memuat daftar
keterwakilan
urutan danPasal
perempuan prioritas rancangan
menurut
126 undang-undang
perimbangan besertatiaptiap
jumlah anggota alasannya untuk
1 (satu) masa
fraksi. keanggotaan
Ketentuan dan untuk
lebih lanjut mengenaisetiaptata
tahuncaraanggaran
pembentukan di Badan
lingkungan DPR dengan
(3) Pemilihan
Kehormatan pimpinan mempertimbangkan
diaturBadan
dalamAnggaran
peraturan masukan
sebagaimana
DPR tentangdari DPD;
tata tertib.
b. mengoordinasi
dimaksudPasalpada
127penyusunan
ayat (2) dilakukanprogram legislasi
dalam rapatnasional
Badan antara DPR dan
Pemerintah;
Anggaran yang dipimpin oleh pimpinan DPR setelah
(1) Badan Kehormatan bertugas melakukan penyelidikan dan
c. menyiapkan
penetapan rancangan
susunan
verifikasi atas dan undang-undang
keanggotaan
pengaduan terhadap usulanggota
Badan DPR berdasarkan
Anggaran.
karena:
program prioritas yang telah ditetapkan;
a. tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal
d. melakukan 79; pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan
Pasal 107
konsepsi rancangan
(1) Badan Anggaran
b. tidak undang-undang
dapat bertugas:
melaksanakan yang diajukan
tugas secaraanggota, komisi,atau
berkelanjutan
gabungan komisi,
a. membahas
berhalangan atau
bersama DPD
tetap sebelum
Pemerintah rancangan
sebagai anggota undang-undang
yang diwakili oleh 3 (tiga) bulan berturut-
DPR selama
tersebut disampaikan
menteri untuk
turut tanpa kepada pimpinan
menentukan
keterangan pokok-pokok
apa pun; DPR; kebijakan
e. memberikan
fiskal secara
c. tidakpertimbangan
umum terhadap
dan prioritas
menghadiri rapat rancangan
anggaran
paripurna untuk undang-undang
dan/atau yang
rapat alat kelengkapan
diajukan oleh
dijadikan anggota,
DPRacuan bagikomisi,
yang menjadi setiap gabungan komisi, atausebanyak
kementerian/lembaga
tugas dan kewajibannya DPD di luar 6 (enam) kali
prioritas
dalamrancangan
menyusunundang-undang
berturut-turut usulan
tanpa alasantahun
anggaran; yangberjalan
sah; atau di luar
b. menetapkan
d. tidak lagipendapatan
memenuhinegara syaratbersama Pemerintah
sebagai calon anggota DPR sesuai dengan
dengan mengacuperaturan
ketentuan pada usulan komisi terkait;
perundangundangan mengenai pemilihan umum
anggota DPR, DPD, dan DPRD; dan/atau
e. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-
Panitia Khusus
Pasal 136
PanitiaBadan
khususUrusan
dibentuk Rumaholeh Tangga
DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang
Pasal
bersifat 131
sementara.
Badan Akuntabilitas
(1) DPR menetapkan susunan Keuangan Negara BURT pada permulaan
dan keanggotaan
Pasal 137 Pasal 110
(1) DPRmasa keanggotaan
menetapkan
Badan susunan
Badan
DPR dandan keanggotaan
Kerja Sama
Akuntabilitas
permulaan tahun
Keuangan Antar-Parlemen
Negara,
sidang. berdasarkan
panitia
yangkhusus
selanjutnya
(2) Jumlah
perimbangandisingkat anggota
dan pemerataan BURT ditetapkan
jumlah anggota dalam rapat
tiap-tiap paripurna
fraksi. menurut
Pasal
BAKN, 118 dibentukjumlaholeh DPR dan merupakan alat pada
perimbangan
(2) Jumlah anggota dan
panitia pemerataan
khusus anggota tiap-tiap fraksi
kelengkapan(1) DPR DPR yangditetapkan
menetapkan bersifat susunanolehdan
tetap. rapat paripurna paling
keanggotaan BKSAP pada permulaan
banyakpermulaan
30 (tiga masaorang.
puluh)
Pasal 111 masa
keanggotaan
keanggotaan
DPR dan
DPR dan
pada permulaan tahun sidang.
permulaan tahun sidang.
Pasal 132
Pasal 138 (1) DPRBURT(2) Jumlah anggota
menetapkan susunan BKSAPdan ditetapkan
keanggotaan dalam
BAKN rapat
pada paripurna menurut
(1) Pimpinan
(1) Pimpinan panitia khusus merupakan
merupakan satusatukesatuan
kesatuan pimpinan
pimpinan yangyangbersifat
bersifat
permulaan perimbangan dan pemerataan
masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun jumlah anggota tiap-tiap fraksi pada
kolektifkolektif dan kolegial.
dan sidang.
kolegial. permulaan masa keanggotaan DPR dan pada permulaan tahun sidang.
(2) Pimpinan
(2) Pimpinan panitia BURT
khusus terdiri atas 1 (satu) orang ketua yangdandijabat
palingoleh
(2) Pasal
Anggota 119terdiri
BAKN atas
berjumlah 1 paling
(satu) orang
sedikit ketua
7ketua
(tujuh) orang banyak
Ketua DPR
3 (tiga) orangdanwakil dan paling
ketua banyak
yang dipilih 3 (tiga)
dari orang
dan olehwakil
anggota yang
panitia dipilih
khusus dari
(1) Pimpinan
paling banyak BKSAP merupakan
9 (sembilan) orang atas satu kesatuan
usul fraksiuntukpimpinan yang bersifat
dan oleh
berdasarkanDPR anggota
prinsip BURT
musyawarah berdasarkan
untuk mufakat prinsip musyawarah
dan proporsional denganmufakat
yangkolektif dan kolegial.
ditetapkan dalam rapat paripurna pada perempuan
dan proporsional
memperhatikan jumlah dengan
panitia memperhatikan
khusus yang ada keterwakilan
serta keterwakilan
permulaan (2) Pimpinan
masa jumlah BKSAP terdiri
keanggotaan DPR atas
dan 1permulaan
(satu) orang ketua dan paling banyak 3
tahun
menurut
perempuan perimbangan
menurut perimbangan anggota
jumlah tiap-tiap fraksi.fraksi.
sidang. (tiga) orang wakil ketua,anggota tiap-tiap
yang dipilih dari dan oleh anggota BKSAP
(3) Pemilihan
(3) Pemilihan pimpinan pimpinan
panitiaBURTkhusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
Pasal 112berdasarkan prinsipsebagaimana
musyawarahdimaksud untuk mufakat pada ayat
dan (2)
proporsional dengan
dilakukan
dilakukan dalam dalam
rapat rapat
panitia BURT
khusus yang dipimpin
yang dipimpin oleh pimpinan
oleh pimpinan DPR setelah
DPRperimbangan jumlah
(1) memperhatikan
Pimpinan BAKN keterwakilan
merupakan satu perempuan
kesatuan menurut
pimpinan
setelahpenetapan susunan dan keanggotaan BURT.
anggota
yang bersifat tiap-tiap
kolektif danfraksi.
kolegial.
penetapan susunan
(2) danPemilihan
(3)
Pimpinan keanggotaan
BAKN terdiri panitia
pimpinan
atas 1BKSAP khusus.
(satu) sebagaimana
orang ketua dan dimaksud pada ayat (2)
Pasal 133
Pasal 139 1 (satu) dilakukan
orang wakildalam
ketua rapat
yang BKSAP
dipilih yang
dari dipimpin
dan oleh oleh pimpinan DPR setelah
BURTkhusus
(1) Panitia bertugas:bertugas melaksanakan tugas tertentu dalam jangka waktu
anggota penetapan
BAKN susunan dan
berdasarkan prinsipkeanggotaan
musyawarah BKSAP.
untuk
a. menetapkan
tertentu yang ditetapkan kebijakan kerumahtanggaan
olehmemperhatikan
rapat DPR;
paripurna.keterwakilan
mufakat Pasal
dengan 120 perempuan
b. melakukan
(2) Panitia khusus pengawasan
bertanggung terhadap
jawab kepada Sekretariat Jenderal DPR dalam
DPR. tiap-tiap
menurut (1)perimbangan
BKSAP bertugas: jumlah anggota fraksi. dimaksud
pelaksanaan
(3) Panitia khusus kebijakan
dibubarkan kerumahtanggaan
oleh DPR setelah DPR
jangka sebagaimana
(3) a. membina,
Pemilihan pimpinan mengembangkan,
BAKN sebagaimana danwaktu penugasannya
meningkatkan
dimaksud padahubungan
ayat (2) persahabatan
dalam
berakhir huruf
ataudilakukan
karena a, tugasnya
termasuk dinyatakan
pelaksanaan dan pengelolaan anggaran
selesai. DPR;
dandalam
kerjarapat
samaBAKN antarayang DPR dan parlemen
dipimpin oleh negara
pimpinan lain, baik secara bilateral
c. melakukan
(4) Rapat paripurna koordinasi
menetapkan dengan
tindak alat
lanjutkelengkapan
hasil kerja DPD
panitia alat DPR setelah
dankhusus.
penetapan maupun multilateral, termasuk organisasi internasional yang menghimpun
kelengkapan
Pasal 140 MPRsusunan dan
yang berhubungan dengan masalah
parlemen
keanggotaanDPR, BAKN. dan/atau anggota parlemen negara lain;
Panitiakerumahtanggaan
khusus menggunakan
b. menerima
DPD, danuntuk
anggaran MPR yang
kunjungan delegasi
ditugaskan
pelaksanaan
parlemen
oleh pimpinan
tugasnya
negara sesuai
lain yang menjadi tamu
DPR berdasarkan
dengan kebutuhan yang hasil rapat
diajukan Badan
kepada Musyawarah;
pimpinan DPR.
DPR;
Pasal 113 hasil keputusan dan kebijakan BURT kepada setiap
d. menyampaikan
Pasal 141 (1)DPR;
BAKN c. bertugas:
mengoordinasikan kunjungan kerja alat kelengkapan DPR ke luar negeri;
anggota
Ketentuan lebih lanjutdan
danmengenai
a. melakukan penelaahan tata cara pembentukan,
terhadap temuan susunan,
hasil tugas, BPK yang
pemeriksaan
e. menyampaikan
wewenang dan mekanisme laporan
kerja kinerja
panitia dalam
khusus rapat
diaturparipurna
dengan DPR yang DPR
peraturan
disampaikand. memberikan
kepada saran atau usul kepada pimpinan DPR tentang masalah
tentangkhusus diadakan untuk
tatab.tertib. itu. DPR;
kerja samahasil
menyampaikan antarparlemen.
penelaahan sebagaimana dimaksud dalam huruf
a kepada (2)komisi;
BKSAP membuat laporan kinerja pada akhir masa keanggotaan baik
Pasal 134
yang sudah hasil maupun yang belum terselesaikan untuk dapat
hasildigunakan
BURT c. menindaklanjuti
menyusun rancangan anggaran pembahasan untukkomisi terhadap
pelaksanaan temuan
tugasnya
pemeriksaansebagai BPKbahan
atas oleh BKSAP pada
permintaan komisi;masadan keanggotaan berikutnya.
sesuai dengan kebutuhan.
Pasal 121
d. memberikan masukan kepada BPK dalam hal rencana kerja
Pasal 135
pemeriksaanBKSAPtahunan,
menyusun rancangan
hambatan anggaran untuk
pemeriksaan, pelaksanaan
sertasusunan,
penyajian dan tugasnya sesuai
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan,
kualitas dengan
laporan. kebutuhan, yang selanjutnya disampaikan kepada Badan Urusan
tugas, wewenang dan mekanisme kerja BURT diatur dengan peraturan
(2) Dalam Rumah Tangga. tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
DPR tentang tatamelaksanakan
tertib.
Pasal 122
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, susunan, tugas,
UU No. 27/2009,wewenangPasal dan mekanisme
102 kerja BKSAP diatur dengan peraturan DPR
tentang tata
(1) Badan Legislasi bertugas: tertib.
a. menyusun rancangan program legislasi nasional yang memuat daftar urutan
dan prioritas rancangan undang-undang beserta alasannya untuk 1 (satu)
masa keanggotaan dan untuk setiap tahun anggaran di lingkungan DPR
dengan mempertimbangkan masukan dari DPD;
b. mengoordinasi penyusunan program legislasi nasional antara DPR dan
Pemerintah;
c. menyiapkan rancangan undang-undang usul DPR berdasarkan program
prioritas yang telah ditetapkan;
d. melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi
rancangan undang-undang yang diajukan anggota, komisi, gabungan komisi,
atau DPD sebelum rancangan undang-undang tersebut disampaikan kepada
pimpinan DPR;
e. memberikan pertimbangan terhadap rancangan undang-undang yang
diajukan oleh anggota, komisi, gabungan komisi, atau DPD di luar prioritas
rancangan undang-undang tahun berjalan atau di luar rancangan undang-
undang yang terdaftar dalam program legislasi nasional;
f. melakukan pembahasan, pengubahan, dan/atau penyempurnaan rancangan
undang-undang yang secara khusus ditugaskan oleh Badan Musyawarah;
g. mengikuti perkembangan dan melakukan evaluasi terhadap pembahasan
materi muatan rancangan undang-undang melalui koordinasi dengan komisi
dan/atau panitia khusus;
h. memberikan masukan kepada pimpinan DPR atas rancangan undang-undang
usul DPD yang ditugaskan oleh Badan Musyawarah; dan
i. membuat laporan kinerja dan inventarisasi masalah di bidang perundang-
undangan pada akhir masa keanggotaan DPR untuk dapat digunakan oleh
Badan Legislasi pada masa keanggotaan berikutnya.
(2) Badan Legislasi menyusun rancangan anggaran untuk pelaksanaan tugasnya
sesuai dengan kebutuhan yang selanjutnya disampaikan kepada Badan Urusan
Rumah Tangga.
Jika ketiga fungsi tersebut dikorelasikan dengan tugas dan wewenang DPRD
serta hak DPRD, maka dapat digambarkan sebagai berikut:
Legislasi
AAGN – LGSP
ARAH DAN AGENDA REFORMASI DPRD: Memperkuat Kedudukan dan Kewenangan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Tugas dan Wewenang
Dalam dua forum tersebut, ada beberapa isu-isu kritis yang perluTugas dan Wewenang
dicermati:
Pengawasan Pelaksanaan APBD Penyusunan dan Pembahasan Perda
pertama, isu kedudukan DPRD dalam sistem desentralisasi danPembahasan
demokrasi.dan persetujuan
Kesesuaian RAPBD dengan KUA
danKedua,
PPAS isu ruang lingkup kewenangan, tugas pokok dan fungsi serta
Representasi RAPBD:hak-hak
KUA danDPRD.
PPAS
Ketiga, isu kapasitas
Laporan pelaksanaan APBD dan performance DPRD dalam menjalankan kewenangan
Pembahasan dan dan
persetujuan APBD
fungsinya
Semester I itu. Ketiga isu di atasTugas,
sangat berkaitandan Perubahan (Semester I)
dan disebutkan sebagai sumber dari
Wewenang,
Laporan pelaksanaan APBD:
problematika yang dihadapi DPRD Memberi pendapat, pertimbangan
saat ini (PLOD: 2006, KPB: 2006).
Kewajiban
Laporan Keuangan Pemerintah dan persetujuan kepada pemerintah
Mengusulkan pengangkatan
Daerah daerah terhadap rencana perjanjian
UU No. pelaksanaan
32 /2004 Perda dan/atau pemberhentian
UU No. kepala
27/2009 internasional
Pengawasan
Paragraf Ketiga daerah Tugas dan Wewenang DPRDpersetujuan terhadap
Memberi
Memilih wakil kepala daerah jika
Tugas dan Wewenang
Advokasi Kewenangan Kabupaten/Kota: Pasal 344kerja sama dengan daerah
rencana
terjadi kekosongan jabatan
Koordinasi dan persetujuan Tugas dan wewenang
Menyerap dan menghimpun DPRD
lain atau Provinsi
pihak ketiga yang
Pasal
legislasi 42
eksekutif (Peraturan dan Pasal 293 membebani masyarakat dan daerah
aspirasi konstituen
Keputusan Kepala Daerah) mengupayakan terlaksananya
menampung dan menindaklanjuti
Evaluasi
(1) pelaksanaan
DPRD mempunyaiprogramtugas danaspirasi
wewenang: kewajiban daerah sesuai ketentuan
Pasal 344
dan pengaduan
kerjaa.pemerintah dengan melihat peraturan perundang-undangan
membentuk Perda yang dibahas dengan
masyarakat (1) DPRD kabupaten/kota mempunyai tugas
pencapaian substanstif kinerja
kepala daerah untuk mendapat mempertanggungjawabkan
persetujuan dan wewenang:
SKPD (tidak terbatas menerima secara moral dana. politis kepada peraturan daerah
bersama;
laporan keterangan membentuk
b. membahas dan konstituen di daerah
menyetujui rancangan
pertanggungjawaban kepala kabupaten/kota bersama bupati/walikota;
pemilihannya
Perda tentang APBD bersama dengan
daerah) b. membahas dan memberikan persetujuan
Advokasi Kewenangan
kepala daerah; Advokasi Kewenangan
rancangan peraturan daerah mengenai
Evaluasi substantif RKA-SKPD
c. melaksanakan pengawasan terhadap Membangun beragamanggaranmedia
pendapatan dan belanja daerah urusan
Advokasi dalam pembagian
pelaksanaan Perda dan peraturan komunikasi dan penjaringan
kabupaten/kota yang diajukan oleh
pemerintah pusat dan pemerintah
aspirasi
perundang-undangan lainnya, peraturan bupati/walikota; daerah
kepala daerah, APBD, kebijakan Memaksimalkan
pemerintah rapat-rapat
c. melaksanakan pengawasan terhadap
DPRD berlaku terbuka
daerah dalam melaksanakan program pelaksanaan peraturan daerah dan anggaran
Menyusun indikator keberhasilan
pembangunan daerah, dan kerjatugas samaDPRD pendapatan dan belanja daerah
internasional di daerah; kabupaten/kota;
d. mengusulkan pengangkatan
Tugas dan Wewenangdan d. mengusulkan pengangkatan dan/atau
Pengawasan
pemberhentian kepala daerah/wakil
Pengawasan Pelaksanaankepala
APBD pemberhentian bupati/walikota dan/atau Anggaran
daerah kepadaKesesuaian
Presiden melalui Menteri
RAPBD dengan KUA dan PPAS
wakil bupati/wakil walikota kepada Menteri
Laporan
Dalam Negeri bagi pelaksanaan
DPRD APBD SemesterDalam
provinsi dan I Negeri melalui gubernur untuk
Laporan pelaksanaan APBD:
kepada Menteri Dalam Negeri melalui Laporan Keuangan
mendapatkanPemerintah Daerahpengangkatan
pengesahan
Gubernur bagiAdvokasi
DPRD kabupaten/kota;
Kewenangan dan/atau pemberhentian;
e. memilih wakil kepala daerah dalam hal
Pengawasan Pelaksanaan dana yang e. memilih
dikelola wakil bupati/wakil
pemerintah non-APBD walikota dalam
terjadi kekosongan jabatan wakil kepala hal terjadi kekosongan jabatan wakil
daerah. bupati/wakil walikota;
f. memberikan pendapat dan pertimbangan f. memberikan pendapat dan pertimbangan
kepada pemerintah daerah terhadap kepada pemerintah daerah kabupaten/kota
rencana perjanjian internasional di daerah; terhadap rencana perjanjian internasional di
g. memberikan persetujuan terhadap daerah;
rencana kerja sama internasional yang g. memberikan persetujuan terhadap
dilakukan oleh rencana kerja sama internasional yang
pemerintah daerah; dilakukan oleh pemerintah daerah
h. meminta laporan keterangan kabupaten/kota;
pertanggungjawaban kepala daerah dalam h. meminta laporan keterangan
penyelenggaraan pertanggungjawaban bupati/walikota dalam
pemerintahan daerah; penyelenggaraan pemerintahan daerah
i. membentuk panitia pengawas pemilihan kabupaten/kota;
kepala daerah; i. memberikan persetujuan terhadap
j. melakukan pengawasan dan meminta rencana kerja sama dengan daerah lain atau
laporan KPUD dalam penyelenggaraan dengan pihak ketiga yang membebani
pemilihan kepala daerah. masyarakat dan daerah;
k. memberikan persetujuan terhadap j. mengupayakan terlaksananya kewajiban
rencana kerja sama antardaerah dan dengan daerah sesuai dengan ketentuan peraturan
pihak ketiga yang membebani masyarakat perundangundangan; dan
dan daerah. k. melaksanakan tugas dan wewenang lain
yang diatur dalam ketentuan peraturan
(2) Selain tugas dan wewenang perundang-undangan.
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPRD
melaksanakan tugas (2) Ketentuan mengenai tata cara
dan wewenang lain yang diatur dalam pelaksanaan tugas dan wewenang
peraturan perundang-undangan. sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan peraturan DPRD kabupaten/kota
tentang tata tertib.
UU No. 27/2009
Hak DPRD Kabupaten/Kota
Pasal 349
(1) DPRD kabupaten/kota mempunyai hak:
a. interpelasi;
b. angket; dan
c. menyatakan pendapat.
(2) Hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah hak DPRD
kabupaten/kota untuk meminta keterangan kepada bupati/walikota mengenai
kebijakan pemerintah kabupaten/kota yang penting dan strategis serta
berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
(3) Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPRD
kabupaten/kota untuk melakukan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah
kabupaten/kota yang penting dan strategis serta berdampak luas pada
kehidupan masyarakat, daerah, dan negara yang diduga bertentangan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c adalah
hak DPRD kabupaten/kota untuk menyatakan pendapat terhadap kebijakan
bupati/walikota atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di daerah
disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya atau sebagai tindak lanjut
pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket.
Representasi -
Substansia Legislasi: -
l
Anggaran -
Pengawasan -
Representasi -
________________________________________
Tata pemerintahan yang demokratis adalah salah satu bingkai penting untuk
peningkatan kapasitas DPRD. Kondisi ini pada dasarnya terwujud ketika lembaga-
lembaga tata pemerintahan tanggap terhadap aspirasi dan kepentingan seluruh
warga dan desentralisasi diwujudkan secara konsisten berdasarkan konstitusi demi
partisipasi warga yang lebih besar. Tata pemerintahan demokratis akan terwujud jika
pra kondisi politik, ekonomi, dan sosial dapat dipenuhi. Tata pemerintahan yang
demokratis bukanlah semata-mata urusan politis melainkan juga urusan ekonomis
dan sosial.
Agar DPRD mampu mengembangkan kapasitasnya, maka DPRD harus mampu
menarik resultante antara kondisi politik dan sosial. DPRD harus mampu
melembagakan desentralisasi kekuasaan untuk menjamin partisipasi rakyat dalam
pembuatan keputusan, baik di lembaga legislatif maupun eksekutif. Melalui
mekanisme dan prosedur pengawasannya, DPRD juga harus mampu menjaga
akuntabilitas dan transparansi dari para pembuat dan pelaksana keputusan tersebut.
Keterjangkauan dan kesetaraan hukum, penghapusan diskriminasi dan minoritas,
serta pengembangan perdamaian dan harmoni sosial pun harus tidak luput dari
perhatian DPRD.
Para politisi, media massa, dan masyarakat sipil pada umumnya sulit diajak
untuk mengembangkan konteks tata pemerintahan demokratis dengan kerangka
tersebut. Tata pemerintahan demokratis dipahami pada kerangka politik atau
pemenuhan hak-hak ekonomis dasar warga. Oleh karenanya, pembahasan dan
pengkajian langsung perlu diarahkan DPRD pada tema-tema yang relevan dan
mudah untuk diikuti. Kesulitan ini, diakui, disebabkan antara lain oleh pendidikan
politik yang kurang mencukupi, baik pada jalur pendidikan formal maupun
pembelajaran publik secara informal. Dampak dan jebakan pembodohan
(massification) tampaknya sangat dalam dan kuat, sehingga para pelaku tata
pemerintahan membutuhkan fasilitasi lebih banyak lagi untuk membangun wacana
baru.
Bagaimana DPRD mengelola pola-pola distribusi ulang sumber daya dan keadilan
sosial?
Permasalahan tentang prasyarat ekonomis tata pemerintahan demokratis
adalah pada tingkat kebijakan ekonomi. DPRD perlu dibekali dengan pemahaman
menyeluruh baik pada kebijakan ekonomi makro maupun pemenuhan aspek-aspek
ekonomi mikro yang mendasar.
Prasyarat ekonomis bagi tata pemerintahan demokratis yang pertama adalah
pemberian dan ketercukupan sumber daya atau anggaran untuk bidang-bidang
prioritas sosial. Aspek ini dikatakan penting untuk memberdayakan warga secara
ekonomis. Tanpa kekuatan atau daya ekonomis dasar, warga dinilai tidak akan
mampu berpartisipasi secara riil dalam berbagai proses politik, termasuk di DPRD.
Masyarakat selama ini dinilai tidak mampu berpartisipasi dalam politik
karena: (i) Lebih berkonsentrasi pada pekerjaan sebagai buruh (seperti masyarakat
buruh di Kalimantan Timur), (ii) Baru mulai mengenal kehidupan dan proses politik
riil (seperti terjadi di Sulawesi Selatan), atau (iii) Telah mempunyai kesadaran politik
yang lebih tinggi tetapi tetap apatis terhadap sistem yang ada atau memilih jalur
politik alternatif (seperti terjadi di kota pelajar Yogyakarta). Dengan kondisi sosio
ekonomi yang berbeda, DPRD di berbagai daerah telah mencoba untuk
mengembangkan kapasitas dan cara kerja yang mereka anggap sesuai dengan
realitas masing-masing.
Pra kondisi ekonomis yang kedua adalah perpajakan progresif dan adil serta
subsidi yang terjamin bagi daerah. Para politisi di DPRD pada umumnya menyambut
gembira desentralisasi karena daerah diberikan kewenangan lebih besar untuk
mengelola aset daerah. Tetapi mereka pun menyampaikan bahwa kondisi keuangan
di daerah masih jauh dari mencukupi untuk memenuhi pembiayaan daerah.
Mekanisme melalui DAU pun dipandang masih kurang menjamin pemenuhan
kebutuhan anggaran. Dalam kondisi seperti ini DPRD tidak mampu berkembang
secara optimal, sehingga ketergantungan terhadap pemda tidak dapat dihindari.
Kondisi seperti ini menjadikan DPRD tidak mampu memperjuangkan kepentingan
masyarakat yang beraneka ragam sekalipun mereka memahaminya.
Pra kondisi ketiga adalah keadilan jangkauan terhadap sumber daya
keuangan, modal dan tanah bagi para pelaku ekonomi di daerah. Para anggota DPRD
yang terlibat dalam diskusi pada umumnya menyatakan bahwa desentralisasi belum
mencakup aspek perekonomian. Aset-aset ekonomi besar masih dikuasai
pengelolaannya oleh pemerintah nasional. Berbagai peraturan yang diterapkan pada
sektor-sektor tertentu cenderung mendua, sehingga pemerintahan di daerah tidak
mampu untuk mengelola. Memang ada kecenderungan di mana daerah
mengutamakan pemenuhan PAD dengan pengelolaan sumber daya alam yang
kurang hati-hati tetapi ini dilakukan karena pemerintahan di daerah tidak melihat
kemungkinan lain. Sentralisasi juga terjadi pada sektor keuangan yang menguasai
permodalan di daerah. Bahkan, berbagai lembaga keuangan cenderung mengalirkan
dana kembali ke pusat sehingga para pelaku perekonomian di daerah tidak
mempunyai akses memadai terhadap modal. Kondisi seperti ini diperburuk dengan
penguasaan atas tanah oleh pelaku-pelaku atau pemilik-pemilik modal nasional atau
yang berlokasi di Jakarta. Warga di daerah pada umumnya hanya menguasai dan
mengelola sumber daya tanah dalam luasan yang relatif terbatas.
Keterbatasan bagi daerah ini, dalam konteks regulasi, dapat dilihat melalui
formula yang diatur dalam UU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah
Pusat dan Daerah, serta formula dalam pembagian urusan antara pemerintah pusat,
provinsi, dan kabupaten/kota yang diatur dalam PP No. 38/2007 sebagai turunan
dari UU No. 32/2004. Dalam PP ini, telah diatur urusan wajib dan urusan pilihan
dalam penyelenggaraan pemerintahan beserta norma, standar, prosedur, dan
kriteria yang wewenang penyusunannya diberikan kepada pemerintah pusat. Praktis,
sejak awal memang sudah terdapat keterbatasan dalam rangka menjamin
kepentingan nasional dalam proses pembangunan di semua daerah. Lebih jelas
tentang pembagian urusan ini dapat dilihat dalam bagian lampiran PP ini yang
mencakup pembagian urusan di semua bidang pemerintahan yang menghubungkan
antar tingkatan pemerintahan.
Permasalahan lain yang perlu dikaji bersama oleh DPRD adalah dinamika
politik dari berbagai organisasi kemasyarakatan (ormas) yang ada di daerah. Baik
DPRD maupun media massa berpendapat bahwa ormas kini masih belum aktif dalam
berbagai kegiatan politik di daerah. Ormas ini menilai bahwa kontribusi mereka
dengan memberikan calon-calon legislator yang dapat dihandalkan sudah
mencukupi. Dalam berbagai kegiatan keparlemenan, para anggota DPRD menilai
bahwa partisipasi ormas dinilai masih sangat minimal dan oleh karena itu kontribusi
politik mereka pun relatif terbatas.
Ormas yang ada di daerah juga dinilai belum mampu berfungsi sebagai
kelompok penekan (pressure group) atau kelompok kepentingan (interest group).
Kelompok yang dinilai mempunyai kekuatan politik signifikan ini pun dinilai masih
membutuhkan upaya pemberdayaan tersendiri. DPRD menilai bahwa kekuatan
intelektual dan politik dari berbagai kelompok masyarakat yang berbasis politik atau
asosiasi perlu terus dikembangkan dalam rangka peningkatan kapasitas dan kinerja
DPRD. Permasalahan menjadi lebih rumit ketika ormas yang berkembang di
beberapa daerah justru berbasis kesukuan. Sementara gejala ini dinilai dapat
dimanfaatkan untuk sosialisasi politik di Kalimantan Timur, daerah-daerah lain
cenderung menilainya secara berhati-hati, karena ikatan kesukuan justru dapat
berakibat kurang menguntungkan untuk demokratisasi.
Diana fawzia
Agung Djojosoekarto
Rakyat kini telah memilih wakil-wakilnya secara langsung dan tidak dipilihkan
oleh partai politik seperti pada pemilu-pemilu sebelumnya. Pengaruh pilihan
langsung oleh rakyat akan mendorong anggota DPRD dalam meningkatkan
kinerjanya. Sebab, sekarang ada kesadaran baru bahwa rakyat memberikan
kepercayaan pada anggota DPRD untuk memperjuangkan kepentingan dan aspirasi
politiknya. Dalam konteks ini anggota DPRD akan selalu menghadapi banyak hal yang
berkenaan dengan kebutuhan program pembangunan, pelayanan pemerintahan,
dan sekaligus pelayanan masyarakat.
Bagaimana hubungan yang ideal antara anggota dewan dengan dan pemilih?
Secara umum terdapat empat tipe hubungan antara wakil (anggota DPRD) dan
terwakil (rakyat). Salah satu atau kombinasi di antaranya dapat dijadikan acuan
anggota DPRD dalam membangun hubungan dengan rakyat pemilihnya.
Tipe yang pertama adalah tipe wali (trustee). Dalam tipe ini anggota DPRD
bebas bertindak atau mengambil keputusan menurut pertimbangannya sendiri. Ia
tidak diharuskan berkonsultasi dengan yang diwakilinya, baik konstituen ataupun
partainya. Anggota DPRD dinilai sudah betul-betul memperoleh kepercayaan dari
rakyat melalui pemilu, sehingga posisinya sangat independent.
Dalam tipe yang kedua, yaitu tipe utusan (delegate). Anggota DPRD bertindak
sebagai utusan dari yang diwakilinya. Oleh karena itu, dalam melaksanakan fungsi
dan tugasnya, anggota DPRD harus selalu mengikuti keinginan dan petunjuk dari
yang diwakilinya. Ia tidak diharuskan untuk berkonsultasi dengan partainya.
Tipe yang ketiga adalah tipe politico, yang merupakan paduan antara tipe
wali dan tipe utusan. Dalam tipe ini anggota DPRD dapat bertindak bebas karena
legitimasinya, tetapi selama situasi tertentu ia harus bertindak sebagai utusan dan
berkonsultasi dengan yang diwakilinya. Tindakan anggota DPRD ditentukan oleh isu
atau materi yang dibahasnya.
Tipe yang terakhir adalah tipe partisan. Dalam tipe ini anggota DPRD dapat
bertindak sesuai dengan keinginan atau program dari partainya. Setelah anggota
DPRD terpilih dalam pemilu, lepaslah hubungan dengan pemilihnya. Selanjutnya
hubungan yang ada dalam menjalankan tugasnya hanya dijalin dengan partainya. Di
masa lalu, tipe ini sangat menonjol. Anggota DPRD lebih mewakili partainya daripada
mewakili rakyat.
Untuk mengoptimalkan hubungan antara anggota DPRD dan rakyat, tipe
politico tampaknya yang paling ideal sesuai dengan Pemilu 2004 dan 2009 yang
bersifat proporsional terbuka. Terlebih pada pemilu 2009, penentuan calon terpilih
didasarkan suara terbayak (bukan nomor urut seperti pada pemilu 2004). Perlu
diantisipasi adalah hubungan antara anggota DPRD dengan dan partainya yang
masih kuat, seperti karena peran partai sangat besar dalam penyusunan daftar calon
legislatif dan penentuan daerah pemilihan. Jika hal ini tidak diantisipasi dengan baik,
kecenderungan anggota DPRD untuk tetap partisan sangat terbuka. Agar hubungan
dengan rakyat lebih efektif, anggota DPRD juga sebaiknya membuat pemetaan
masalah-masalah kemasyarakatan yang terjadi di daerahnya, memahami potensi
daerah serta harus mampu melakukan seleksi prioritas atas berbagai permasalahan
yang ada.
Dalam Pemilu 2004 maupun 2009, sebagian besar rakyat mungkin belum
dapat mengetahui dengan persis tingkat kualitas memilih nama calon yang dipilihnya
secara langsung, sebab proses pengenalan berlangsung singkat. Betapapun
demikian, hal ini tidak menghilangkan prinsip konstitusional bahwa pemilihan umum
dilaksanakan secara langsung oleh rakyat. Setidaknya, nama-nama calon telah
disampaikan melalui berbagai media dan rakyat dapat secara langsung menentukan
pilihannya. Dengan berbagai kampanye melalui media massa, meski terbatas, rakyat
juga dapat menilai kesesuaian program dari partai politik yang akan dipilihnya.
Pemilu seperti itu menghasilkan hubungan kontrak sosial yang berbeda
dibandingkan dengan pemilu yang sebelumnya. Perbedaan itu dapat dipaparkan
secara singkat sebagai berikut:
Dalam kampanye yang lalu, berbagai partai politik menebar berbagai janji
melalui program-program yang ditawarkan pada rakyat. Anggota DPRD yang telah
terpilih mempunyai kewajiban untuk memenuhi berbagai janji politik itu. Kegagalan
dalam memenuhi janji politik akan berdampak disinsentive terhadap partai politik.
Beberapa kerugian yang dapat ditimbulkan antara lain:
- Partai politik akan kehilangan kepercayaan dari rakyat.
- Banyak protes akan ditujukan kepada fraksi tertentu di DPRD.
- DPRD akan mengalami kesulitan dalam melaksanakan fungsi dan
tugasnya secara demokratis.
- Akuntabilitas dan integritas DPRD akan dipertanyakan oleh rakyat dan
publik secara luas, serta
- Calon aAnggota yang telah terpilih tidak akan mendapatkan suara dalam
pemilihan langsung periode berikutnya.
Apakah memenuhi janji politik selama kampanye saja sudah cukup? Tentu
saja tidak. Para anggota DPRD secara terus-menerus perlu melakukan penilaian dan
penjajakan dinamika kepentingan dan orientasi politik rakyat. Upaya ini dapat
dilaksanakan dengan partai politiknya. Berbagai hasil yang didapatkan dapat diolah
lebih lanjut dan digunakan untuk mendukung keberhasilan pemilihan umum yang
berikutnya. Dalam konteks ini, hubungan kontrak sosial antara rakyat dan anggota
DPRD dapat dikatakan bersifat dinamis.
Oleh karena itu, sementara anggota DPRD melaksanakan fungsi dan tugas
konstitusionalnya, ia juga harus menciptakan gagasan terbaik untuk memaksimalkan
pemerintahan dan pembangunan di daerah. upaya ini penting bukan saja untuk
memenuhi janji politik, melainkan juga menjadi dasar rasional untuk
mengoptimalkan perolehan dukungan politik. Upaya ini dapat dilaksanakan dengan
cara memfasilitasi rakyat dalam memberikan kritik dan masukan bagi DPRD melalui
berbagai media. Dengan cara ini, anggota DPRD dapat menjaga apakah berbagai
kepentingan yang menjadi dasar kontrak sosialnya dapat dipenuhi dengan baik.
Para wakil rakyat dapat dikatakan akuntabel jika ia, secara perorangan dan
kelembagaan, mampu mempertanggunggugatkan segala yang dilaksanakan dan
dihasilkannya. Akuntabilitas atau tingkat pertanggunggugatan tidak sama dengan
responsibilitas atau tingkat pertanggungjawaban. Dalam akuntabilitas, nuansa
konstraktual dan hukum lebih kental dan berdimensi eksternal dibandingkan
responsibilitas yang cenderung internal.
Maka, sesuai dengan ciri hubungan kontrak sosial dari para wakil rakyat,
maka para wakil rakyat dapat dikatakan akuntabel jika mereka siap untuk digugat
oleh rakyat atas apa yang dilaksanakan dan dihasilkannya sebagai anggota DPRD.
akuntabilitas perlu dan bahkan harus dipenuhi dalam beberapa tingkat: perorangan,
alat kelengkapan dewan (Komisi, Badan Musyawarah, Badan Legislasi Daerah, Badan
Anggaran, Badan Kehormatan, dan alat kelengkapan lainnya), fraksi, dan
kelembagaan secara keseluruhan.
Secara perorangan, anggota DPRD harus secara terbuka dan jelas
menyatakan sikap, posisi, dan target politiknya terhadap berbagai urusan politik
yang dilaksanakan dalam berbagai forum internal dan eksternal DPRD. Ketiga hal
tersebut akan menjadi dasar utama untuk menilai kinerja perorangan dan pedoman
dalam menyampaikan semua pertanggunggugatan politiknya di hadapan rakyat.
Ketika anggota DPRD tertentu dipilih atau ditunjuk menjadi anggota dari alat
kelengkapan dewan, baik dalam komisi atau panitia kerja tertentu, maka ia harus
secara aktif memastikan bahwa kebijakan dan langkah yang diambil oleh alat
kelengkapan dewan itu selaras dengan nilai-nilai politiknya. Jika ia tidak setuju
dengan kebijakan atau langkah tertentu, maka ia harus menyampaikan kepada
publik dengan jelas dan tegas. Bersikap diam akan berarti ia ikut bertanggung gugat
terhadap kebijakan dan tindakan alat kelengkapan dewan itu.
Selanjutnya, sebagai anggota fraksi yang merupakan bentuk kesatuan politik
berdasarkan partai, anggota DPRD harus pula mampu mempertanggunggugatkan
kinerjanya terhadap partai politik dan konstituen tertentu yang mendukung partai
politik itu. Partai politik akan menghendaki utusan-utusannya memperjuangkan
kepentingan-kepentingan politik yang telah digariskan dalam program partai.
DPRD juga dapat mulai merumuskan profil politik secara perorangan. Sebab,
sekalipun berasal dari partai politik yang sama, masing-masing anggota dapat
mempunyai profil politik yang unik.
Hal penting pertama yang perlu diperhatikan oleh anggota DPRD adalah
penguasaan yang solid atas seluruh kerangka peraturan yang membingkai mandat,
fungsi, dan tugasnya. Ini berarti bahwa anggota DPRD harus memahami
UUDkonstitusi, peraturan perundang-undangan dengan jenis dan tingkatan
sebagaimana yang dimaksud dalam UU No. 10/2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, tata tertib dan kode etik DPRD, peraturan dari
partai politik serta berbagai aturan main lain yang telah ditentukan untuk
keberadaannya. Setiap anggota DPRD wajib secara aktif memastikan semua
informasi yang berkenaan dengan kerangka aturan tersebut tersedia untuknya.
Dalam posisinya sebagai aparatur negara, anggota DPRD juga harus dapat
memenuhi berbagai prosedur teknis yang berkenaan dengan penggunaan berbagai
sarana dan prasarana pendukung kerja. Sebagaimana diatur dalam UU No. 27/2009,
Para anggota DPRD tidak dapat secara semena-mena menggunakan berbagai sumber
daya yang disediakan oleh negara karena. hak keuangan dan administratif dari DPRD
telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP). Pun dalam menentukan uang
tunjangan, pengaturannya harus disesuaikan dengan kemampuan daerah, seperti
uang representasi, uang paket, tunjangan keluarga, tunjangan beras, serta
tunjangan pemeliharaan kesehatan. Agar kesalahan yang tidak perlu dapat
dihindarkan, anggota DPRD dapat melakukan pengecekan atau meminta penjelasan
dari setwan sebagai pengelolaan keuangan dan tunjangan DPRD.
Sebagai tambahan, agar pertanggunggugatan kinerja dapat dilaksanakan
dengan lebih mudah, anggota DPRD perlu secara terus-menerus mengecek, apakah
seluruh sikap, posisi dan target politiknya selaras dengan kebijakan dan sasaran
program-program pemerintahan dan pembangunan daerah. Sebagai anggota
lembaga yang mensahkan renstrada RPJMD, maka anggota DPRD wajib untuk
menjadikan dokumen ini sebagai acuan pokok. Hal ini sangat penting karena
dokumen ini merupakan dasar dalam pelaksanaan fungsi dan tugas pokok DPRD,
baik dalam hal legislasi penganggaran maupun pengawasan.
Pertimbangan fungsional
Pada dasarnya, kinerja pokok DPRD disusun dan dinilai berdasarkan pada
fungsi dan tugas konstitusionalnya. Sebagaimana diatur dalam UU No.
22/200327/2009 tentang, fungsi dan tugas pokok DPRD mencakup:
1. Legislasi, yaitu fungsi dan tugas DPRD untuk membentuk perda baik
dengan inisiatif mandiri ataupun bersama-sama pemda yang dipimpin kepala
daerah.
2. Anggaran adalah fungsi dan tugas DPRD bersama-sama pemda
untuk membahas dan memberikan persetujuan atau tidak memberikan
persetujuan terhadapmenyusun dan menetapkan RAPBD, yang di dalamnya
termasuk anggaran untuk pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang DPRD.
3. Pengawasan, adalah fungsi dan tugas DPRD untuk melakukan
pengawasan terhadap pelaksanaan UU, perda dan keputusan kepala daerah
serta kebijakan nasional lainnya.
Dalam mengoptimalkan kinerja fungsional tersebut, rujukan sebagai dasar
pertimbangan antara lain adalah:
1. Tata urutan peraturan perundang-undangan. Ini menyangkut
kesesuaian antara peraturan daerah di tingkat lokal dengan peraturan
perundang-undangan di atasnya. Dalam kasus beberapa tahun terakhir,
masalah ini mencuat karena banyaknya perda-perda yang bertentangan
dengan peraturan di atasnya sehingga kemudian dibatalkan pemberlakuannya
(perda bermasalah).
2. Materi perda ke arah penyelenggaraan otonomi daerah. Prinsip
otonomi daerah misalnya bisa digali dengan menelisik ruang fisibilitas regulasi
yang dimungkinkan sebagaimana diatur dalam UU No. 32/2004, UU No.
33/2004, PP No. 58/2005, serta PP No. 38/2007. Selain itu, sasaran perda juga
butuh dicantolkan pada upaya pencapaian target-target Milennium
Development Goals (MDG’s) setidaknya bagi jenis layanan-layanan publik
dasar, dan
3. Karakteristik lokal perlu sebagai bahan pertimbangan agar tercapai
kesesuaian arah pembangunan dengan kebutuhan masyarakat daerah.
Dasar pemikiran dalam melaksanakan fungsi anggaran dari anggota dewan
perlu disesuaikan dengan sistem anggaran kinerja yang berlaku sesuai perundang-
undangan. Pedoman anggaran kinerja secara umum bertujuan untuk:
1. Secara tepat menentukan tahapan penyusunan anggaran.
2. Mengidentifikasi masalah-masalah utama dan perubahan yang
berdampak pada proses anggaran tahun yang akan datang.
3. Memberikan pedoman umum mengenai pendekatan anggaran yang
digunakan, dan
4. Memberikan gambaran mengenai proses penyusunan anggaran secara
keseluruhan disertai dengan jadwalnya.
Pengelolaan Keuangan Daerah: Pengelolaan Keuangan Daerah:
Tahapan Perencanaan Tahapan Pelaksanaan
RKPD Verifikasi
Pelaksanaan APBD
Pedoman Penyusunan RKA-SKPD
(Pendapatan, Belanja,
Pembiayaan)
RKA-SKPD
Laporan Realisasi
RAPBD Semester I
Akuntansi Akuntansi
Keuangan Daerah Keuangan Daerah
Kekayaan dan
Kewajiban daerah
Pemeriksaan
Kas Umum laporan keuangan
Piutang (BPK)
Investasi
Barang
Raperda
Dana Cadangan
Pertanggungjawaban
Utang APBD
Dalam melakukan fungsi pengawasan, DPRD harus menyesuaikan diri dengan
berbagai lembaga pemerintahan lain di daerah (termasuk instansi pusat yang ada di
daerah) yang mempunyai kewenangan dalam bidang pengawasan seperti
Inspektorat, BPKP, BPK, ataupun KPK. DPRD perlu duduk bersama dengan berbagai
lembaga tersebut untuk menyepakati bidang, jangkauan dan mekanisme kerja yang
berkaitan dengan pengawasan.
BAB IV
Menjadi Wakil Rakyat
dalam Konteks Otonomi Daerah
Diana fawzia
Fungsi, Hak, Tugas dan Wewenang DPRD (UU No. 32/2004 dan UU N0. 27/2009)
Fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan
Tugas dan a. membentuk perda;
Wewenang b. membahas dan memberikan persetujuan raperda mengenai APBD
yang diajukan oleh pemda;
c. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan perda dan APBD;
d. mengusulkan pengangkatan dan/atau pemberhentian kepala daerah
dan/atau wakil kepala daerah kepada Presiden melalui Mendagri;
e. memilih wakil kepala daerah dalam hal terjadi kekosongan jabatan;
f. memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemda terhadap
rencana perjanjian internasional di daerah;
g. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama internasional
yang dilakukan oleh pemda;
h. meminta laporan keterangan pertanggungjawaban kepala daerah
dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah;
i. memberikan persetujuan rencana kerja sama dengan daerah lain atau
dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah;
j. mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangundangan; dan
k. melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Hak DPRD a. interpelasi;
b. angket;
c. menyatakan pendapat.
Hak Anggota a. mengajukan rancangan peraturan daerah provinsi;
DPRD b. mengajukan pertanyaan;
c. menyampaikan usul dan pendapat;
d. memilih dan dipilih;
e. membela diri;
f. imunitas;
g. mengikuti orientasi dan pendalaman tugas;
h. protokoler; dan
i. keuangan dan administratif.
Adapun tugas dan wewenang yang dimaksud adalah:
1. Memilih kepala daerah (gubernur, bupati/walikota dan wakil-wakilnya).
Selanjutnya dalam revisi UU No. 22/1999 akan disepakati pilihan langsung
(gubernur, bupati/walikota dan wakil-wakilnya) oleh rakyat, sehingga ke depan
tugas ini tidak akan ada lagi dalam DPRD.
2. Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah (gubernur,
bupati/walikota dan wakil-wakilnya) sebelum revisi UU No. 22/1999 disetujui
oleh DPR-RI.
3. Bersama kepala daerah menetapkan APBD.
4. Melaksanakan pengawasan terhadap hal-hal sebagai berikut:
a. Perda dan peraturan lainnya.
b. Pelaksanaan keputusan kepala daerah.
c. Pelaksanaan APBD.
d. Pelaksanaan kerjasama.
e. Pelaksanaan kebijakan dan program penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan.
5. Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah terhadap
rencana perjanjian kerjasama.
6. Menampung aspirasi masyarakat daerah.
Selanjutnya hak DPRD diatur dalam Pasal 19 UU No. 22/1999. Selain itu,
anggota DPRD juga memiliki hak khusus sebagaimana yang diatur dalam Pasal 21 UU
No. 22/1999 yaitu mengajukan pertanyaan, protokoler dan keuangan/administrasi.
Sementara itu jJika dikaji lebih jauh, peran DPRD sebagaimana yang diatur
dalam UU peraturan perundang-undangan cukup luas, terutama dalam konteks
perannya sebagai wakil rakyat. Untuk itu, DPRD sebagai lembaga eksekutif daerah
hendaknya menjadi sumber inisiatif, ide, gagasan, dan konsep pembangunan daerah
yang secara optimal dapat dituangkan dalam peraturan daerah sebagai acuan dasar
dalam memajukan pemerintahan dan pembangunan ke arah yang lebih baik.
Untuk menjalankan (implementasi) perda, dapat dibuat keputusan peraturan
kepala daerah yang merupakan kewenangan penuh dari kepala daerah. Pembuatan
keputusan peraturan kepala daerah tidak memerlukan persetujuan DPRD. Meskipun
demikian, bila dipandang perlu, kepala daerah dapat berkonsultasi dengan DPRD.
Ssebab konsekuensi dari peraturankeputusan kepala daerahtersebut akan menjadi
bahan dipertanggungjawabkan kepala daerah di hadapan DPRD.
Dalam hal penyusunan anggaran keuangan daerah, banyak dialami hambatan
dan tantangan sehingga perlu dikelola dengan baik. Seperti aAlokasi untuk anggaran
DPRD, misalnya, seringkali menjadi titik konflik kepentingan antara DPRD dengan
Pemda. Bahkan, di banyak tempat, pihak DPRD menghendaki anggaran seimbang
antara DPRD dan pemda. Ini tentunya tidak proporsional karena , padahal anggaran
yang dikelola oleh pemda harus mencakup untuk semua kegiatan pembangunan
daerah. Inilah yang perlu dicermati oleh pihak DPRD agar gagasan-gagasan yang
diusulkan tidak kemudian menghambat gerak laju penyelenggaraan pemerintahan
dan pembangunan daerah.
Selanjutnya untukPada konteks pengawasan, DPRD perlu melakukan dengan
kontrol politik yang bersifat strategis (oversight), bukan pengawasan teknis dan
administratif. , sebab DPRD adalah lembaga politik sehingga arah pengawasan dapat
diarahkan pada sejauhmana pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan daerah
mencapai hasil yang diharapkan dalam RPJP, RPJMD, dan RKPD. Dalam praktiknya,
seringkali pelaksanaan pengawasan oleh DPRD menjadi titik konflik karena DPRD
masuk kepada hal-hal yang bersifat teknis-adminsitratif yang sebenarnya bukan
merupakan tugas dari DPRD. Wilayah pengawasan ini, dalam struktur tata
pemerintahan daerah sudah menjadi tugas dan wewenang dariKarena selain
lembaga DPRD, terdapat institusi/lembaga lainnya yang bertugas mengawasi
persoalan teknis dan administratif, yaitu: (1) Satuan pengawas internal seperti,
inspektorat provinsi dan inspektorat kabupaten/kota, (2) Satuan pengawas eksternal
seperti BPK, BPKP, KPK, akuntan publik, dan lain-lain.
Bertolak dari kenyataan UU yang relatif menempatkan kKedudukan DPRD
yang cukup kuat sebagaimana yang telah diuraikan luas dimuka, ada juga membuka
kecenderungan telah dan akan terjadi dominasi bahan legislatif daerah terhadap
pemda. Jika dominasi ini terus berlangsung, maka keputusan-keputusan pemerintah
daerah akan selalu sarat dengan nuansa politik yang tidak sehat. Potensi negatifnya
adalah bahwa Sehingga keputusan penyelenggara pemerintahan dan pembangunan
daerah yang ada bisa kurang memperhatikan aspek profesional, efektivitas dan
efisiensi, teknis, dan hukum-administratif.
Untuk itu, peran serta masyarakat untuk mendorong terciptanya
penyelenggaraan pemerintahan dan, pembangunan, dan kemasyarakatan sangat
penting sebagai konsekuensi dari upaya menempatkan masyarakat sebagai subyek
dan obyek pembangunan itu sendiri. Namun, kontrol dari masyarakat dalam
kerangka pengawasan pembangunan senantiasa perlu dilaksanakan dan disalurkan
secara proporsional, terarah, dan bertanggung jawab. Dengan demikian
kesalahpahaman akan senantiasa dapat dihindari dan obyektivitas tuntutan
masyarakat dapat dipertanggungjawabkan secara logis.
Sebagai lembaga perwakilan rakyat, DPRD merupakan salah satu wahana
untuk pmenyerap dan menyampaikan aspirasi masyarakat untuk ditindaklanjuti.
Sesuai dengan mekanisme yang berlaku, DPRD berkewajiban memfasilitasi dan
menindaklanjuti aspirasi dari masyarakat, organisasi maupun dari berbagai kelompok
lainnya. DPRD dalam hal ini dapat melakukannya dengan berbagai mekanisme,
antara lain:seperti Mmelalui rapat dengar pendapat, dialog, kunjungan kerja
lapangan, saluran-saluran alternatif untuk menyerap aduan dan pendapat publik
(saluran telpon, sms, e-mail, website, blog, dan sebagainya), surat atau hasil kajian,
rekomendasi, persetujuan, dan lain-lain untuk diakomodasi dalam peraturan daerah
atau ditindaklanjuti dalam bentuk kebijakan dan program pembangunan.
Satu hal yang sangat perlu dipahami oleh semua pihak adalah bahwa,
penyampaian aspirasi masyarakat ke DPRD akan berjalan sangat efektif apabila
masyarakat mengerti dan memahami kedudukan, wewenang, tugas dan hak DPRD
itu sendiri. Oleh sebab itu, DPRD perlu aktif menyosialisasikan tugas-tugas dan hak
politiknya kepada masyarakat luas. Demikian pula, pihak DPRD akan sangat efektif
melaksanakan tugas-tugasnya jika peka dan aktif merespon setiap dinamika
kehidupan masyarakat.
BAB V
Menjembatani dan Mengelola
Berbagai Kepentingan Politik Publik
Rahmi Yunita
Dalam tradisi demokrasi yang telah mapan, sudah terdapat pranata yang
berkembang dalam kehidupan berpolitik masyarakat yang dapat membantu wakil-
wakil rakyat melakukan tugasnya, misalnya tuntutan yang efektif akan keterbukaan
informasi, persaingan yang terbuka dari berbagai kepentingan, serta akuntabilitas
pertanggungjawaban publik dalam bidang hukum dan etika. Di negara demokrasi
muda seperti Indonesia, hal ini masih harus dibangun., dan kKondisiteks ini
melipatgandakan tantangan bagi para anggota DPRD terpilih.
1 2
Politik menjadi arena dimana tempat sumber daya yang terbatas yang
dikelola pemerintah harus dialokasikan. Dalam konteks itulah, maka terjadilah
pertarungan antara berbagai aktor politik di daerah. dalam demokrasi mapan, partai-
partai politik secara umum mengidentifikasi dirinya dengan kecenderungan
kebijakan tertentu, misalnya apakah itu cenderung pro pasar atau cenderung
mengutamakan agenda-agenda kesejahteraan sosial. Ini tidak saja merupakan
respons terhadap ’pasar politik’ (kecenderungan) pemilih, namun lebih dari itu
merupakan terjemahan ideologis dari para aktivis partainya.
Indonesia memiliki konteks yang sedikit berbeda. Perebutan alokasi sumber
daya masih jarang mempersoalkan strategi kebijakan namun lebih
dimaksudkanterjebak sekedar untuk ’bagi-bagi rejeki’ di antara pejabat publik.
Situasi transisional, yang sering dimana mengakibatkan penegakan hukum belum
sepenuhnya terjadi, ini membuat situasi pembangunan politik di Indonesia, termasuk
di daerah menjadi rumit. Tidak ada yang memungkiri bahwa praktek korupsi,
termasuk di dalamnya adalah korupsi politik –korupsi dengan pemanfaatan jabatan-,
merupakan masalah besar dari yang pada dasarnya menentukan perilaku politik
pejabat daerah, termasuk pada masa lima tahun pertama reformasi. Kendati
rumitdemikian, bab ini berusaha tidak mengabaikan keduanya, baik kontek
demokrasi yang dewasa dan ideal harus terus disandingkan dengan tantangan
faktual maupun konteks Indonesia yang sedang menata demokrasinya.
Selalu ada pihak-pihak yang lebih diuntungkan dan kurang diuntungkan,
bahkan dirugikan, dalam pilihan kebijakan yang ditempuh pemerintah daerah dan
DPRD. Karena itu, bersikap mawas terhadap berbagai pelaku-pelaku politik ini akan
membantu DPRD mengantisipasi pelanggaran-pelanggaran hukum dan etika yang
dapat terjadi. Berikut ini digambarkan pembagian pelaku-pelaku politik yang ada
dalam sistem demokrasi pembagian kekuasaan (presidensial) dan
kontekstualisasinya di Indonesia.
4. Masyarakat sipil
Masyarakat sipil dapat diwakili dengan oleh pelbagai asosiasi
(perkumpulan) yang ada di dalamnya, baik itu LSM, organisasi berbasis
masyarakat, ataupun asosiasi profesi. Berbagai ormas kelompok ini memiliki misi
untuk memberdayakan masyarakat, menguatkan kapasitas partisipasi mereka
dalam pembangunan, ataupun menggalang kekuatan untuk melakukan advokasi
kebijakan.
Lagi-lagi, karena desentralisasi dalam tata pemerintahan tidak dapat
sesegera mungkin diikuti dengan desentralisasi ormas (yang berskala nasional),
maka ormas pun rata-rata gagap berinteraksi dengan pemda yang masih meraba-
raba. Di sisi lain, organisasi massa yang berbasis warga, adat, agama, maupun
agama yang berbasis profesi sekalipun, lebih banyak yang merupakan warisan
dari masa pra reformasi dan tidak memiliki sumber daya untuk berlanjut secara
mandiri. Banyak di antara organisasi kemasyarakatan ini justru tergantung dari
negara, yang sebagaian adalah imbas dari struktur politik masa Orde Baru yang
sangat berkepentingan melakukan pengendalian aktivitas ormas. LSM yang
diharapkan dapat menjadi pendobrak kebuntuan ini juga banyak yang terjebak
pada skema ketergantungan, baik kepada pemerintah (LSM ’Plat Merah’)
ataupun kepada lembaga donor asing.
Walhasil, fenomena yang gampang dilihat di daerah adalah ormas
memburu proyek-proyek pemerintah daerah. Hanya dengan ikhtiar keras ormas-
ormas yang lebih bertanggung gugat maka citra ormas ini bisa digeser dan
diperbaiki, utamanya di mata pejabat publik di daerah yang kepalang skeptis
dengan keberadaan ormas ini.
5. Sektor swasta
Sektor swasta adalah pihak-pihak yang berkepentingan untuk kebijakan
ekonomi yang kondusif bagi perkngembangan bisnisnya. Dalam hal ini, seluruh
bagian dunia memiliki pengalaman mirip, bahwa pemain bisnis tidak segan-segan
menempuh berbagai cara untuk mencapai tujuannya. Kepentingan seperti ini
tentu saja harus dipahami namun harus dikelola kemanfaatan bisnisnya bagi
kemaslahatan masyarakat luas.
Dalam konteks negara-negara demokrasi baru, biasanya korupsi politik
marak dalam hal favoritisme kontrak proyek pemerintah karena absennya
lemahnya prosedur standar lelang beserta pengawasannya. Tak jarang yang
terjadi adalah praktek kolusi antara pemerintah dan pengusaha yang berakibat
pada ekonomi biaya tinggi dan kompetisi bisnis yang tidak sehat. Pengaturan dan
pengawasan, dengan demikian, Prosedur ini seharusnya ditegakkan untuk
memastikan proses kompetisi yang sehat dan tercapai efektivitas dan efisiensi
dalam mengelola sumber daya bagi kemanfaatan masyarakat.
BIROKRASI. Bila di banyak demokrasi maju birokrasi adalah mesin netral yang
mengabdi pada pilihan kebijakan yang diambil politisi, tidak demikian halnya
tradisi pada demokrasi muda yang mewarisi budaya KKN. Di Indonesia,
kepentingan-kepentingan penguasaan sumber daya merupakan isu ’hidup-mati’
bagi jajaran birokrasi karena ia merupakan semacam katup pelepasan dari
rendahnya imbalan nominal yang diterima PNS. sehingga kuantitas pProyek-
proyek pemerintah pada gilirannya merupakan dijadikan peluang sarana untuk
’bertahan’mencari tambahan sumber pemasukan ekonomi. Politisi di daerah, di
satu sisi lain, perlu menyadari lingkungan pengambilan kebijakan seperti ini
sembari, dalam jangka panjang, merumuskan strategi reformasi sektor publik yang
menantang di depan mata.
Apa kepentingan utama anggota DPRD? Beberapa orang pada periode awal
reformasi mungkin akan menjawab setengah bercanda,: ”Menumpuk kekayaan.”
Namun, kita berharap, preseden diseretnya banyak anggota DPRD ke pengadilan
dengan dakwaan korupsi serta merosotnya kepercayaan partai pada anggota DPRD
yang tidak bertanggung jawab –pada gilirannya juga menggerogoti kepercayaan
pemilih- membuat anggota DPRD lebih hati-hati merumuskan kepentingannya.
Sebab, sSebagaimana pemilu jurdil secara berkala dianggap sebagai lembaga
demokrasi paling penting, maka kepentingan tertinggi seorang politisi memang
diandaikan sebagai terpilihnya kembali dirinya di jabatan publik pada pemilu
berikutnya. Bila kepentingan seorang anggota DPRD bisa didefinisikan sejelas itu,
maka pekerjaan pun bisa segera dimulai. Berikut ini adalah bagan sederhana di
halaman berikut untuk menggambarkan proses penyusunan kebijakan publik.
KONSULTASI INFORMASI
PERUMUSAN
KEBIJAKAN
PARTISIPASI
PENGARUH PENGARUH
LINGKUNGAN LINGKUNGAN
Kebijakan Publik
Sebagai wakil rakyat, DPRD harus selalu menggunakan proses konsultasi dan
informasi untuk mendasarkan kebijakan yang diusulkannya. Jika kapasitas anggota
DPRD harus ditingkatkan, maka kemampuan yang paling penting untuk dikuasainya
bukanlah teknik penulisan perundang-undangan (legal drafting), apalagi
penyusunan anggaran, namun bagaimana menggali pelbagai kebutuhan yang
seharusnya terungkap dalam proses ini.
Seorang anggota DPRD dapat saja mengunjungi sebuah sekolah dasar dan
mendapati bahwa proses belajar mengajar berlangsung namun abai bahwa yang
harus dinilai adalah hasil dari proses itu, seperti apakah anak-anak SD itu menerima
berhasil belajar sesuatu? Apakah mereka dapat menangani permasalahan
matematika untuk bahan ajar yang tepatsetingkat mereka?, Apakah ada jaminan
bahwa mereka akan dapat mengakses pendidikan yang lebih tinggi? Apakah ada
pungutan-pungutan sekolah yang memberatkan orang tua siswa? Apakah
ketersediaan dan mutu guru mencukupi? Apakah kesejahteraan guru sudah
memadai? Apakah fasilitas sekolah penunjang pendidikan tersedia dengan baik?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah contoh menunjukkan bahwa DPRD harus
memiliki tanggungjawab dan perspektif masa depan dari proses pendidikan di
daerahnya yang diterjemahkannya melalui pelbagai perda.
Riset dan verifikasi dilakukan untuk mendapatkan temuan mengenai
permasalahan yang terungkap di masyarakat. Bila verifikasi meliputi pengecekan
obyektif mengenai permasalahan yang dirasakan masyarakat, riset bertujuan untuk
mengumpulkan informasi yang mendukung bagi dirumuskannya tawaran-tawaran
pemecahan.
Proses politik kemudian akan menjadi arena bagi berbagai alternatif solusi
yang diajukan bagi masalah tersebut. Bisa jadi berbagai partai berbeda pendapat
mengenai sebuah solusi. Bisa jadi juga lembaga eksekutif tidak termotivasi untuk
melakukannya dan mengerem usulan yang dilontarkan.
Dalam proses politik ini berbagai aktor lain yang berkepentingan pun akan
ikut bermain untuk mencoba berpengaruhmempengaruhi. Ini bisa berupa LSM yang
memperjuangkan proses yang lebih terbuka, bisa pengusaha yang berpeluang
kecipratan/mendapat bagian rejeki bila perda digulirkan, bisa juga masyarakat yang
merasa dirugikan.
Kadang-kadang proses konsultasi publik pun perlu diulang untuk memastikan
bahwa semua pihak sudah dicoba untuk ditampung pendapatnya dalam pembuatan
kebijakan ini. Meskipun rata-rata anggota DPRD di Indonesia mengeluhkan alotnya
pembicaraan dalam konsultasi publik, apalagi yang dilakukan di lokasi yang terkena
dampak kebijakan, sebenarnya masalah serupa dihadapi pemegang kebijakan di
semua negara demokratis. Dengan kepentingan yang terlalu beragam dan sumber
daya terbatas, berdiskusi adalah cara tepat untuk mencari titik temunya.
Untuk lebih jelasnya, kita bisa membayangkan hubungan antara rakyat dan
wakilnya dalam sebuah kurva. Menjelang pemilu, dengan teknik-teknik kampanye
yang kian canggih, biasanya masyarakat akan menaruhik kepercayaan yang tinggi
pada politisi. Kemudian, beberapa saat setelah terpilih dan bertugas, mulai muncul
kekecewaan-kekecewaan. Walhasil, tingkat kepercayaan ini akan menurun. Jika pada
tengah masa di antara pemilu ini terjadi skandal apapun juga yang melibatkan
anggota dewan yang bersangkutan, bisa-bisa kurva kepercayaan ini turun tajam
menjadi semakin rendah lagi. Sepanjang lima tahun terakhir kita mungkin akrab
dengan banyak berita, mulai dakwaan korupsi, tertangkap sedang mengkonsumsi
narkoba sampai dengan kasus-kasus perdata. Walhasil, ketika periode kampanye
berikutnya datang, partai politik dan para caleg kelabakan memompa tingkat
kepercayaan ini.
Anda bBisa bayangkan, bila tingkat kepercayaan ini terpelihara sepanjang
periode di antara dua pemilu, pekerjaan memenangkan pemilu tidak perlu sekeras
gambaran sebelumnya. Ya, mMerupakan fenomena global bahwa pemilih jamaknya
merasa kecewa melihat kinerja wakilnya setelah duduk di parlemen, karena tentu
saja sulit memenuhi janji seratus persen. Namun, bila politisi di DPRD anda sudah
memiliki ’tabungan’ hubungan dengan konstituen, dan ’tabungan’ kepercayaan dari
mereka, anda niscaya akan jauh lebih siap menghadapi pemilu berikutnya.
Bagaimana hubungan dengan konstituen dilakukan?
Ketika anda anggota DPRD melakukan aktivitas ini dan merasakan asyiknya
berinteraksi dengan masyarakat, jangan lupa bahwa anda setiap anggota DPRD juga
harus meningkatkan profilnya anda sendiri kepada masyarakat. Jangan pernah lupa
untuk melibatkan media massa dan menggunakannya untuk kepentingan anda. Jerih
payah anda anggota DPRD dapat menjadi sia-sia kalau tidak terdapat berdampak
pada kenaikanya profilnya anda di hadapan masyarakat dan konstituendalam politik
daerah. Naiknya profil anda seorang anggota DPRD mencerminkan dukungan bagi
kebijakan yang anda telah atau tengah diperjuangkan. dan dukungan bagi anda akan
membawa gGelombang dukungan ini akan yang lebih besar dengan melibatkan
peran media massa.
BAB VI
Memahami Fungsi dan Tugas Wakil Rakyat
Rahmi Yunita
Fungsi dan tugas DPRD sebagai wakil rakyat sebenarnya telah diatur dalam
peraturan perundang-undangan. Namun, kerangka hukum itu hanya meletakkan
dasar-dasar acuan secara umum, dan tidak menjabarkan mekanisme pelaksanaan
masing-masing fungsi untuk mencapai kinerja yang mendekati ideal. Dalam
demokrasi Indonesia yang masih muda ini, dimanadan praktek-praktek demokrasi
belum berurat-berakar, anggota DPRD baru pun tak jarang menjadi kekurangan
acuan dalam menemukan peran yang pas. Salah satu akibatnya, anggota DPRD
sering dihujani kritik lima tahun belakangan ini bahwa mereka tidak menunjukkan
peran yang disuratkan dan efektivitas yang disiratkan dalam perundang-undangan
tersebut.
Dalam jangka pendek tuntutan yang demikian besar dari masyarakat ini
kadang-kadang justru memancing sikap defensif dari kalangan DPRD sendiri dan
resistensi terhadap pembaruan. Namun dalam jangka panjang, mau tidak mau,
lembaga-lembaga politik dalam demokrasi Indonesia memang harus
mengembangkan dirinya untuk dapat memenuhi tuntutan jzaman.
Pasal 77 343 UU No. 2722/20093 mengenai Susunan dan Kedudukan MPR,
DPR, DPD dan DPRD mengatur bahwa DPRD kabupaten/kota memiliki fungsi:
1. Legislasi, yakni membentuk perundang-undangan yang mengatur
kabupaten/kota, dalam hal ini berbentuk perda.
2. Anggaran, yakni membahas dan menyetujui anggaran daerah, yang merupakan
refleksi rencana program pemerintahan daerah dalam bentuk angka.
3. Pengawasan, untuk memastikan berjalannya perundangan yang ada dan
optimalnya kinerja eksekutif.
Terhitung sejak 1999, Dengan adanya UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999
maka Indonesia mengalami sebuah terobosan desentralisasi yang bisa dikatakan
terbesar di seluruh dunia. Daerah diberi kewenangan untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (UU No. 2232/1999
2004, (Pasal 1 angka 5 dan 6butir i). Komitmen besar ini bahkan telah diawali melalui
Ketika Perubahan Kedua UUD 1945 berlangsung pada (tahun 2000), ketentuan ini
pun mendapatkan kedudukan hukum lebih tinggi dengan penjabarandalam
ketentuan mengenai pemerintahan daerah di Pasal 18, 18A, dan 18B.
Dengan adanya pendalaman desentralisasi ini, maka DPRD dan kepala daerah
pun kini lebih bertanggung jawab atas kepemimpinan dan masa depan daerah.
Kendati terdapat banyak keluhan di kalangan DPRD dan pimpinan eksekutif bahwa
sebagian besar daerah diberi kewenangan besar tanpa sumber daya yang memadai,
secara umum desentralisasi dianggap membawa banyak peluang. Dalam jangka
pendek, mungkin pemerintah daerah akan mencari-cari format untuk menjalankan
pemerintahan di daerah dengan efisien, namun dalam jangka panjang, desentralisasi
dianggap akan membuat pemerintahan lebih akuntabel dan relevan dengan
kebutuhan masyarakat di daerah.
Dalam konteks harapan yang besar itulah, salah satu peran strategis yang
dimainkan oleh pemerintahan daerah pasca reformasi dan ditetapkannya UU No.
22/1999 dan UU No. 25/1999 adalah kewenangan membuat kebijakan dan perda.
Lebih khusus lagi, kini tanggung jawab untuk menentukan arah pembangunan
daerah pun diletakkan di tangan pemda. Di satu sisi, tanggung jawab ini mungkin
bisa dipandang sebagai tugas yang rumit, mengingat kecilnya peran daerah dalam
pengambilan kebijakan sebelum reformasi bergulir. Namun kerumitan ini juga bisa
dilihat sebagai tantangan yang sangat menggairahkan. Babak baru dalam
pembangunan masyarakat Indonesia telah tiba. Pembangunan masyarakat tidak lagi
diatur dari Jakarta namun kini berada di tangan pemimpin di daerah-daerah sendiri,
termasuk di tangan anda.
Dalam tugas inilah lembaga DPRD menjadi arena dimana berbagai pandangan
politik maupun pilihan pendekatan dinegosiasikan untuk kemudian dirumuskan
bersama kepala daerah menjadi dokumen daerah. Tugas ini tentu saja sangat
menantang karena tanggungjawab yang harus diemban sangat luas mulai merancang
anda bisa bayangkan bagaimana arah pembangunan daerah dalam jangka pendek,
jangka menengah, dan mungkin jangka panjang, kini merupakan tanggung jawab
anda yang kemudian dikerangkai dalam regulasi-regulasi daerah.
Bentuk regulasi daerah ini adalah kerangka peraturan hukum dan kebijakan
dasar dituangkan melalui perda. Di sini, DPRD dan pemda dapat menuangkannya
dalam program legislasi daerah (Prolegda) untuk kurun waktu lima tahun dan
menentukan target per-tahunnya. Melalui Prolegda, kerangka peraturan hukum dan
kebijakan dasar yang dibutuhkan oleh daerah untuk waktu ke depan sudah dapat
dirancang.
Pembentukan Perda adalah otoritas DPRD, meski prosesnya dapat diajukan
melalui insiatif DPRD ataupun oleh Pemda. Perda selanjutnya akan menjadi alat
kontrol dari DPRD untuk melihat sejauh mana kinerja eksekutif dalam
mengimplementasikan perda tersebut, termasuk sejauhmana peraturan-peraturan
turunannya yang dibuat oleh ekesekutif (pemda) sesuai dengan ketentuan-
ketentuan di dalam perda. Di sini, pemda memiliki otoritas untuk membuat
peraturan turunan dari perda yang produk hukumnya bisa berupa pengaturan
ataupun penetapan. Dalam Pasal 3 Permendagri No. 16/2006, produk hukum yang
bersifat pengaturan, selain berupa perda, bisa berupa peraturan kepala daerah
ataupun peraturan bersama kepala daerah yang semuanya harus didasarkan pada
Prolegda. Sedangkan yang bersifat penetapan, bisa berupa keputusan kepala daerah
dan instruksi kepala daerah.
Salah satu agenda riil yang menyambut DPRD dalam hal penyusunan
kebijakan daerah adalah penyusunan dokumen-dokumen perencanaan daerah
jangka menengah. Dokumen-dokumen yang dimaksud adalah:
1. Pola dasar pembangunan daerah (poldas), yang meletakkan kerangka hukum dan
acuan bagi pembangunan daerah jangka waktu lima tahun, yang lazimnya pada
periode hasil pemilu 1999 sesuai dengan masa bakti DPRD.
2. Program pembangunan daerah lima tahun (propeda), yang merupakan
implementasi pada tataran konsep operasional dari poldas.
Kedua dokumen ini harus ditetapkan bersama-sama dengan kepala daerah
dan kemudian akan dijadikan acuan bagi dokumen perencanaan pembangunan
tahunan, yakni: AKU, repetada dan renstra.
Selain kerangka kebijakan dasar regulasi daerah yang diatur dalam Prolegda,
kebijakan dasar lain yang perlu dikawal serius adalah terkait perencanaan
pembangunan daerah. Dalam Pasal 150 UU No. 32/2004, d okumen perencanaan
pembangunan daerah berwujud tiga jenis dokumen dasar yaitu Rencana
pembangunan jangka panjang daerah (RPJP), Rencana pembangunan jangka
menengah daerah (RPJMD), dan Rencana kerja pembangunan daerah (RKPD). RPJP
daerah disusun untuk jangka waktu 20 tahun yang memuat visi, misi, dan arah
pembangunan daerah dengan mengacu kepada RPJP nasional. RPJMD disusun
untuk jangka waktu lima tahun sebagai penjabaran visi, misi, dan program kepala
daerah yang penyusunannya berpedoman kepada RPJP daerah dengan
memperhatikan RPJM nasional. Sedangkan RKPD adalah terjemahan RPJMD untuk
jangka waktu satu tahun, yang memuat rancangan kerangka ekonomi daerah,
prioritas pembangunan daerah, rencana kerja dan pendanaannya, baik yang
dilaksanakan langsung oleh pemerintah daerah maupun ditempuh dengan
mendorong partisipasi masyarakat, dengan mengacu kepada rencana kerja
Pemerintah.
DPRD sangat vital untuk mencermati RPJMD dari pemerintah daerah, baik
kesesuaiannya dengan RKPD atau dengan tantangan yang dibutuhkan daerah dalam
perspektif dan temuan-temuan DPRD. Ini penting karena melalui RPJMD, DPRD akan
memahami dan mempertajam arah yang dikehendaki pemerintah daerah sebab
dalam RPJMD telah termuat kebijakan keuangan daerah, strategi pembangunan
daerah, kebijakan umum, dan program satuan kerja perangkat daerah, lintas satuan
kerja perangkat daerah, dan program kewilayahan disertai dengan rencana kerja
dalam kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif.
Pada tahap perencanaan APBD, misalnya, keterlibatan DPRD akan sangat vital
pada tahapan Kebijakan Umum APBD (KUA) dan Prioritas dan Plafon Anggaran
Sementara (PPAS). Hasil dari pembahasan ini (berwujud Nota Kesepahaman) adalah
dasar dari DPRD untuk mengawal proses penyusunan Raperda APBD yang akan
diajukan oleh pemda dengan cara menilai sejauhmana program dan kegiatan yang
direncanakan sudah sesuai dengan nota kesepahaman dalam pembahasan KUA dan
PPAS. Hanya setelah mendapat persetujuan DPRD, Pemda baru kemudian dapat
menyusun Raperda tentang penjabaran APBD.
Sedangkan pada tahap pengawasan terhadap implementasi Perda APBD
tersebut, sebagaimana diatur dalam PP No. 58/2005, DPRD dapat melakukannya
dalam rapat pembahasan laporan realisasi pelaksanaan APBD dalam semester
pertama untuk melihat apakah dibutuhkan perubahan APBD. Fungsi pengawasan
terhadap pelaksanaan APBD juga masih akan muncul lagi sebagai bentuk
pertanggungjawaban pemda. Di sini DPRD dapat mengeceknya melalui pemeriksaan
semua laporan realisasi APBD, neraca, laporan arus kas, catatan atas laporan
keuangan, dan laporan keuangan dari perusahaan-perusahaan daerah (BUMD).
Peran DPRD dalam Penyusunan Kebijakan Umum APBD (KUA)
Ditetapkan
per tahun Pedoman
Mendagri Penyusunan
APBD
Menyusun berdasarkan
RKPD
Kepala Daerah Rancangan KUA DPRD
Pembahasan
Rancangan KUA
KUA
KUA
Pemda DPRD
Hal ini yang berada di dalam wilayah kebijakan dan dapat diprakarsai oleh
DPRD adalah dorongan bagi diadopsinya anggaran yang sensitif gender (gender
sensitive budget). Hal yang patut diperhatikan bahwa anggaran sensitif gender
bukanlah penyediaan anggaran khusus bagi perempuan. Anggaran sensitif gender
adalah analisis untuk melihat dampak dari program pembangunan dan
penganggaran bagi laki-laki dan perempuan serta bagi berbagai segmen laki-laki dan
perempuan. Kesadaran untuk menerapkannya memang mempersyaratkan pula
komitmen untuk membangun basis data yang memiliki segregasi berdasarkan aspek
gender, kelompok umur, dan kelompok sosial ekonomi.
Bila kebijakan ini tidak ditempuh, maka daerah beresiko terjebak pada
kebijakan-kebijakan yang mungkin dianggap netral gender, padahal ia sebenarnya
buta gender. Pada gilirannya pembangunan bisa berlangsung secara ”zalim gender”
(gender tidak adil) karena dampak pembangunan hanya dirasakan oleh sekelompok
(kecil) masyarakat yang bisa jadi sudah lebih beruntung daripada yang lainnya.
Untuk bisa melahirkan perda yang komprehensif dan lolos dari saringan
pertanyaan di atas, maka DPRD dapat memanfaatkan proses penyusunan sebuah
perda secara partisipatoris. Di masa lalu, pembuat kebijakan sering berusaha
menghindar dari penyusunan kebijakan publik secara partisipatoris karena
dipandang berbelit-belit, makan waktu, dan menguras kesabaran. Namun demikian,
masyarakat merupakan sumber dari gagasan dan dukungan yang luar biasa.
Melibatkan masyarakat secara luas berarti menabung legitimasi politik dari sebuah
peraturan daerah jauh sebelum ia ditetapkan.
Masyarakat juga tidak hanya bisa dimaknai secara sempit dengan masyarakat
luas yang cair dan tidak terorganisasi. Banyak pembuat kebijakan, baik legislatif
maupun eksekutif, yang cukup dibuat trauma dengan suasana rapat umum yang
hiruk-pikuk, dihadiri massa yang ’tidak jelas identitasnya’, serta diskusi yang tidak
terarah. Proses-proses serupa adalah langkah kecil dari proses panjang belajar
berdemokrasi bagi pembuat kebijakan dan bagi masyarakat sendiri. Namun di sisi
lain, masyarakat yang dimintai konsultasi juga dapat berupa organisasi yang relevan
dengan permasalahan yang dibahas, perguruan tinggi, serta pemuka masyarakat.
Dengan demikian masukan-masukan yang diperoleh dari proses konsultasi ini dapat
membantu memperkuat muatan perda yang disusun.
Mengidentifikasi selisih
Menemukan penyebab selisih, baik yang dapat dikendalikan
maupun yang tidak dapat dikendalikan
Kita masuk pada fFungsi berikutnya yang sebenarnya sangat mendasar dalam
demokrasi perwakilan yakni adalah fungsi representasi. DPRD dapat saja melakukan
fungsi-fungsi sebelumnyalainnya seperti, membuat kebijakan, perda, termasuk
melakukan pengawasan, . Nnamun bila fungsi ini dilakukan tanpa mekanisme
representasi yang efektif, maka sistem ini akan kehilangan nilai demokratisnya,
utamanya karena layak diragukan bahwa DPRD bertindak mewakili masyarakat
secara keseluruhan.
Sebagai wakil rakyat, anggota DPRD bukannya diharapkan dapat menjadi
manusia serba bisa untuk dapat memenuhi harapan masyarakat di daerah. Namun
demikian, lembaga dan proses politik di DPRD diharapkan mampu menyelesaikan
semua masalah yang muncul di daerah. Karena itu, semangat yang ada dan prosedur
yang disusun dalam DPRD harus dapat memfasilitasi peran ini. Bila aAnggota DPRD
harus menguasai sesuatu keterampilan, maka keterampilan yang harus dikuasai
tersebut adalah bagaimana berkonsultasi dengan masyarakat yang diwakilinya,
sehingga keputusan-keputusan yang lahir dari DPRD adalah yang paling
representatif.
Masalahnya, masyarakat bukanlah kelompok yang homogen. Masyarakat
memiliki banyak kepentingan yang , tidak jarang dan sangat bisa jadi kepentingan
tersebut bertentangan satu sama lain. Karena itulah, teknik-teknik konsultasi dengan
masyarakat dan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan memang menjadi salah
satu langkah utama dalam upaya menegakkan demokrasi di seluruh dunia.
Secara umum, DPRD dapat mencari terobosan-terobosan baru dalam
memastikan bahwa keputusan-keputusan yang diambilnya selalu berusaha
memenuhi substansi prinsip keterwakilan ini. Dalam tabel di bawah,halaman berikut
ada beberapa contoh kegiatan yang bisa dilembagakan untuk memastikan bahwa
DPRD memiliki berbagai jalan untuk mencari dan menerima masukan dari
masyarakat.
Tanpa mekanisme yang disusun untuk mengantisipasi hal-hal yang harus
direspon dengan cepat, DPRD akan kesulitan mengatasi berbagai keluhan
masyarakat. Sering masyarakat frustasi karena aduannya ditanggapi komisi yang
tidak relevan, dengan keluhannya apalagi sedangkan pihak yang relevan sedang tidak
berada di tempat. Terkadang, DPRD juga tidak memiliki antisipasi mekanisme
verifikasi berbagai keluhan masyarakat yang bertentangan satu sama lain.
Proaktif: Reaktif:
Jemput Bola Tunggu Bola
Isu 1. Undangan rapat dengar 1. Mekanisme penanganan unjuk
Khusus pendapat (RDP) ke rasa
kelompok-kelompok 2. Mekanisme penanganan
kepentingan permohonan pertemuan
2. RDP umum (public hearing) 3. mekanisme penanganan
Isu 1. Kunjungan ke lapangan undangan seminar, diskusi, dll.
Umum 2. Pengadaan jajak pendapat 4. Penerimaan aduan melalui kantor
kepuasan pelayanan publik konstituensi
5. Kotak pos pengaduan
(IV) (II)
Praktek pemerintahan yang Dorongan bagi partisipasi masyarakat
lebih baik dalam pemerintahan (governance)
(III)
Meningkatnya partisipasi masyarakat
dalam aspek-aspek pemerintahan
Rahmi Yunita
DPRD sekarang memang mempunyai kekuasaan politik yang besar dan jauh lebih
berperan dalam pemerintahan daerah. Saking besarnya, Banyak pihak bahkan
mengatakan bahwa kekuasaan DPRD terlalu besar sehingga lembaga eksekutif pun
beranggapan bahwa adalah sulit untuk bekerjasama dengan DPRD yang dinilai
kadang kebablasanmempunyai kekuasaan sebesar itu. Padahal, mungkin yang
terjadi adalah kekurangsiapan untuk menempatkan sistem check and balance pada
proporsi yang sesuai. Pada kondisi era reformasi ini, DPRD perlu dibangun menjadi
lembaga yang bersih dan berwibawa, sehingga dapat menjadi panutan bagi semua
lembaga tata pemerintahan di daerah. Salah satu agenda yang paling mendesak
adalah kapasitas DPRD dalam melembagakan prinsip tata pemerintahan yang baik,
baik untukbagi dirinya sendirinya maupun dalam upaya memfasilitasi para pelaku
tata pemerintahan lainnya di daerah.
Isu etika dalam jabatan publik mencuat karena adanya banyak cara yang
digunakan oleh pegawai pemerintah untuk menyalahgunakan kekuasaan mereka.
Dalam lembaga perwakilan yang menganut prinsip pemisahan kekuasaan -di mana
lembaga perwakilan tidak memiliki kekuasaan eksekutif- ini dapat mencakup
beberapa hal. Misalnya, sikap khusus dalam pembuatan keputusan untuk
mengalokasikan sumber daya atau mempekerjakan seseorang, menggunakan
kedudukan seseorang untuk kepentingan pribadi, menggunakan milik publik untuk
penggunaan pribadi, intimidasi atau ancaman untuk mempengaruhi tindakan orang
lain, dan peraturan yang ada secara pilih kasih untuk mengistimewakan teman atau
menghukum lawan.
Ketika penyalahgunaan ini terjadi, tidak hanya sumber daya, yang menjadi
hak rakyat, yang seharusnya dialokasikan secara bijak menjadi terbuang, namun juga
ada sederet dampak negatif lainnya. Perilaku tidak etis memancing kecurigaan,
meruntuhkan kepercayaan publik, serta menciptakan suasana saling tuduh. Standar
etis yang tinggi sangatlah penting bagi kredibilitas suatu pemda di mata publik dan
organisasi swasta yang berhubungan dengannya. Jika tidak,, Secara politis sudah
akan sangat sulit untuk menegakkan sebuah peraturan dan memungut pajak atau
retribusi apalagi jika. Ini menjadi nyaris mustahil ketika korupsi adalah hal yang
dipandang masyarakat sudah berurat berakar dalam pemerintahan.
UU No. 2227/20039 mengenai Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan
DPRD menyebutkan dalam Pasal 81 butir (i) bahwa salah satu kewajiban DPRD
adalah “menaati tata tertib dan kode etik dan Peraturan Tata Tertib DPRD
kabupaten/kota”. Sayangnya, pengaturan tentang kode etik ini dalam UU tersebut
terbilang tidak jelas dan hanya menyebutkan bahwa DPRD menyusun kode etik yang
berisi norma yang wajib dipatuhi oleh setiap anggota selama menjalankan tugasnya
untuk menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas DPRD kabupaten/kota.
Tidak juga jelas apakah kode etik ini terkait dengan pengaturan larangan (pasal 378)
ataukah terkait dengan kewajiban anggota DPRD (pasal 351). Kejelasan yang ada
hanyalah pada keberadaan Badan Kehormatan yang kemudian diberikan
tanggungjawab sebagai pengawas kode etik DPRD.
Ketidakjelasan juga muncul dalam PP No. 25/2004 Pasal 104 nomor tujuh
(turunan UU Susduk sebelum UU No. 27/2009) yang menyebut bahwa Kode Etik
meliputi norma-norma atau aturan-aturan yang merupakan kesatuan landasan etik
atau filosofis dengan peraturan sikap, perilaku, ucapan, tatakerja, tata hubungan
antar lembaga pemerintahan daerah dan antar anggota serta antara anggota DPRD
dengan pihak lain mengenai hal-hal yang diwajibkan, dilarang, atau tidak patut
dilakukan oleh anggota DPRD. Namun, karena frasa ’kode etik’ ini tidak diawali
dengan huruf kapital, UU memang tidak mengamanatkan adopsi sebuah kode etik
yang terpisah. Dalam bagian ketiga UU ini mengenai Peraturan Tata Tertib Pasal 102
ayat (4) butir 1 menyebut bahwa salah satu yang setidaknya diatur dalam tata tertib
adalah ”pengaturan protokoler dan kode etik serta alat kelengkapan lembaga”.
Ketidakjelasan ini pada akhirnya membuat peran kode etik tidak terlalu vital
dan hanya menjadi penunjang atau pelengkap dari tata tertib saja. Pun jika
dilanggar, tidak berakibat serius bagi pelanggarnya. Hal Pengaturan ini terkesan
mengecilkan peran kode etik dalam kehidupan kelembagaan dewan.
Apakah daerah perlu mengadopsi sebuah kode etik yang terpisah, misalnya
semacam sebuah dokumen singkat yang memuat saripati peraturan mengenai etika
dalam tata tertib? Lazimnya terdapat pro dan kontra dalam hal ini. Pihak yang tidak
sependapat umumnya berkaca dari ketidaksuksesan penerapan kode etik dalam
lapangan profesi lainnya, dan menganggap bahwa perilaku yang baik harus datang
dari diri sendiri dan dikontrol oleh penegakan hukum pidana. Pihak ini mungkin akan
cenderung merujuk pada pedoman yang disediakan oleh pemerintah. Namun, pihak
yang menganggap perlunya kode etik dapat mengajukan tiga argumen:
1. Argumen substansial. Kode etik perlu untuk menyediakan acuan yang mudah
dipahami bagi standar moral yang diharapkan lahir dari para anggota dewan
dan memiliki kode etik secara spesifik akan membuatnya lebih diperhatikan.
2. Alasan persepsi. Dalam konteks Indonesia yang tengah memerangi KKN ini,
pengadopsian kode etik oleh DPRD akan membangun kesan bahwa DPRD
berkomitmen terhadap agenda ini dan mengundang dukungan masyarakat
untuk menegakkannya.
3. Alasan teknis. Kode etik yang efektif sebaiknya memenuhi beberapa hal
berikut:
Aturan seharusnya muncul dari kelompok yang akan diatur, bukannya
peraturan yang disalin dari pihak lain tanpa dihayati.
Agar tetap dijunjung tinggi, aturan ini harus bersifat realistis.
Aturan ini perlu ditulis dalam bahasa yang sederhana dan tidak sarat
dengan istilah hukum.
Aturan harus sesuai dengan peraturan perundangan -peraturan atau UU
yang ada.
Kode etik jangan memberikan kesan terlalu kaku dan birokratis.
Kode etik yang sedemikian akan membuat lebih mudah disosialisasikan, baik
kepada anggota sendiri maupun kepada masyarakat luas untuk membantu
mendapatkan dukungan bagi penerapannya. Sementara itu, melalui tata tertib,
dapat menjabarkannya dijabarkan lebih mendetail dan teknis, serta mengatur
penegakannya lewat Badan Kehormatan.
Ada sejumlah hal yang lazim diatur dalam kode etik, yang detailnya bisa
dilihat pada Buku 2 dari seri buku panduan ini. Namun, secara prinsip hal yang ingin
ditekankan melalui kode etik adalah:
Pejabat publik, termasuk DPRD, harus membuat keputusan berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan dalam kebijakan dan dampaknya sendiri,
bukan karena paksaan dari luar, termasuk godaan imbalan materi.
Kata kunci bagi efektifnya pemerintahan demokratis adalah kepercayaan
masyarakat kepada pemerintah. Karenanya, perlu ditegakkan aturan yang
menjamin bahwa kepercayaan masyarakat ini sejauh mungkin tidak
terciderai.
Dewan Badan Kehormatan yang merupakan salah satu alat kelengkapan yang
diamanatkan oleh UU No. 2227/20039 merupakan instrumen untuk menegakkan
kode etika ini. lepas dari pilihan yang diambil di Indonesia, aAda pelbagai model
pendekatan untuk menyusun bagaimana komposisi BadanDewan Kehormatan ini.
Model pertama membedakan antara Komisi Investigasi Pelanggaran Etika
dengan dan ” BadanDewan Kehormatan” yang terdiri dari pimpinan dewan. Komisi
Investigasi terdiri atas orang-orang ’luar’, dan bersifat independen, dan akan
bertanggungjawab menindaklanjuti laporan mengenai dakwaan pelanggaran etika,
dan untuk kemudian melaporkannya dilaporkan kepada BadanDewan Kehormatan.
Selanjutnya, Dewan Kehormatan, yang kemudiansecara mandiri sendiri atau
bersama dalam pleno akan menjatuhkan sanksi. Jadi, dalam model ini, BadanDewan
Kehormatan tidak memiliki kewenangan investigasi.
Model kedua, wakil-wakil dari pimpinan dewan duduk dalam BadanDewan
Kehormatan dengan seorang anggota yang independen. Model ini ditempuh di
Inggris., dimana Badan Kehormatansetelah melakukan investigasi dan Dewan
Kehormatan akan menyusun laporan tertulis. Berdasarkan laporan ini tersebut akan
diputuskan apakah kasus perlu dibawa atau tidak ke depan sidang pleno.
Model terakhir adalah yang ditempuh Amerika, adalah Badan Kehormatan
yang terdiri dari anggota legislatif sendiri. BadanDewan ini akan menangani
pengaduan, melakukan investigasi, dan bila terbukti akan menyusun rekomendasi
mengenai putusan yang sebaiknya diambil oleh sidang pleno. Masalahnya, tentu saja
anggota legislatif lazimnya enggan melakukan peran aktif dalam model BadanDewan
Kehormatan seperti ini, karena, berdasarkan pengalaman, selama ini menunjukkan
bahwa anggota legislatif cenderung tidak akan menjelek-jelekkan rekannya. Di
Amerika, keanggotaan BadanDewan Kehormatan ini tidak ex-officio diambil oleh
pimpinan sehingga, dan akibatnya agak sulit mendapatkan anggota dewan yang
bersedia duduk di BadanDewan Kehormatan ini.
Bagaimana Memulainya?
Yang patut diingat, berperilaku etis lebih dari sekedar menghindari perilaku
korupsi. Anggota dewan dan para pejabat perlu mengembangkan serangkaian
prinsip untuk memandu perilaku mereka sehari-hari. Ini mencakup juga selalu
bertindak dalam kerangka kepentingan publik, selalu bersikap netral secara politik
ketika menjalankan tugas administratif, tidak membocorkan informasi rahasia,
bahkan lebih jauh lagi memberikan tauladan perilaku yang baik sebagai pemimpin
masyarakat.
Karena korupsi politik sudah mengakar di Indonesai, ikhtiar ini memang tidak
mudah. Karena itu, bahkan bila itikad sudah lahir, penegakan kode etik juga harus
diawali, bahkan dibarengi secara berkala, dengan sosialisasi mendalam kepada
anggota DPRD dan staf sekretariat mengenai bagaimana kode etik ini dipatuhi. Jika
perlu, sangat penting dibuat bahkan diperlukan sebuah buku panduan kode etik
untuk membantu anggota DPRD mematuhi standar etika mereka.
Meski bisa saja Ketika mungkin saat ini kita agak pesimis dengan hasil
penegakan kode etik ininya, suatu saat kita harus percaya bahwa kondisi ideal ini
pasti bisa dicapai. bahwa mManajemen etika memang bukan sekedar kegiatan
tunggal yang sekali jadi, namun merupakan sebuah proses yang terus-menerus. Jadi,
tidakkah sekarang waktu terbaik untuk memulai?
Salah satu isu kontroversial dalam lima tahun pertama reformasi dalam
penataan kelembagaan DPRD adalah PP No. 110/2000 mengenai Kedudukan
Keuangan DPRD karena. akibat pengaturan di dalamnya yang dianggap menciderai
rasa keadilan, penyiasatan terhadap PP ini berlaku dalamterkait penyusunan paket
renumerasi bagi pimpinan dan anggota DPRD. PP ini menyulut kontroversi luas
sebelum kemudian akhirnya direvisi. dan bahkan permasalahan hukum merebak
menyusul hal ini. Isu semacam ini sangat sensitif di hati masyarakat dan
menimbulkan banyak kecaman terhadap DPRD yang dituduh ladang korupsi dan
Media Indonesia tanggal 7 September 2003 pernah menulis serangkaian artikel
seputar isyu yang secara sederhana disebut ”Korupsi DPRD”, dengan judul-judul
keras seperti ”Wakil rakyat mpencuri uang rakyat”, ”Cara anggota dewan pamer
kebusukan”, bahkan ”Legislatif di titik nol”. Wacana ini tentu Anggota DPRD masa itu
yang membacanya pada umumnya merasa tersudutkanmenyudutkan kelembagaan
DPRD, meskipun harus diakui praktek-praktek korupsi masih banyak menimba
anggota-anggotanya. kendati tidak bisa menyangkal banyaknya kasus-kasus
mengenai praktek buruk DPRD. Kecaman-kecaman masyarakat itu Sejumlah artikel
ini sebenarnya mencerminkan betapa toleransi masyarakat sudah tergerus terhadap
praktek-praktek buruk yang dilakukan oleh oknum DPRD.
Dengan bantuan program BUILD dari UNDP, beberapa pemerintah kota telah
melakukan praktek yang terpuji, yang mungkin dapat didorong oleh DPRD di
daerah-daerah lainnya. Menyadari strategisnya posisi kelurahan, dan kuatnya
peran radio serta media cetak, ada beberapa inisiatif yang sudah diambil beberapa
kota dalam menegakkan transparansi. Kota Metro membuka warung informasi
dan komunikasi sebagai wahana membincangkan pengaduan masyarakat kepada
eksekutif dan legislatif mengenai masalah ekonomi dan pertanian. Kota
Sawahlunto mendorong pos komunikasi desa untuk menjembatani pemerintah
dan masyarakat. Kota Kendari, sebagai contoh, menggunakan siaran talkshow
radio mingguan untuk mendiskusikan anggaran pembangunan. Mendorong
liputan media juga dapat ditempuh. Bila di Sawahlunto pemda berinisiatif
membiayai kolom di harian regional agar memberitakan kota Sawahlunto, dapat
pula diciptakan situasi kondusif untuk lahirnya media dari masyarakat community
newspaper yang dengan leluasa melakukan pemberitaan mengenai isu-isu
kepemerintahan, seperti yang dilakukan sejumlah aktivis muda di Mataram
dengan Jurnal Kota ”Wargatama” dan buletin ”Potret”, yang menyorot isu-isu
perempuan.
Kasus korupsi DPRD ini dapat dikatakan hanya salah satu potret dalam lima
tahun pertamaperjalanan reformasi, di samping masih banyaknya kekurangan di
sana-sini di tubuh lembaga perwakilan daerah. Praktek buruk yang sering
dilayangkan juga berupa komodifikasi perda, pengawasan yang ”kebablasan” serta
”pemerasan” dalam proses pilkada. Dalam hujan kritikan tersebut, kita menyaksikan
bahwa DPRD ”dibiarkan” sendirian dalam mencoba menjawab permasalahan.
Akibatnya, beberapa DPRD sanggup menerima tantangan dan lahir sebagai dewan
yang dihormati dan terpercaya, namun tidak jarang yang terperangkap dalam
budaya-budaya warisan lama tanpa tahu bagaimana membebaskan diri.
Karena tingginya tuntutan dan terbatasnya dukungan ini, secara internal,
DPRD perlu segera merespon dengan juga mengembangkan zero tolerance kepada
peluang praktek buruk dalam dirinya. Bagaimana caranya? DPRD perlu menyusun
agenda bagaimana mengembangkan diri anggotanya dan kelembagaannya. Salah
satu caranya adalah menyusun semacam perencanaan reformasi kelembagaan tiga
sampai tahun –ini dapat dilakukan dengan bantuan staf ahli sebagai fasilitator-
sehingga pada akhirnya nanti DPRD telah akan memiliki pranata yang tangguh untuk
menangkal praktek buruk dalam dirinya maupun di antara anggota-anggotanya.
Tuntutan jzaman dan perubahan sendiri agaknya tak terelakan. Informasi
kian terbuka, masyarakat dapat belajar satu sama lain, dari daerah satu dan lainnya,
bahkan dari belahan dunia yang berbeda. Jadi, apakah perbaikan perilaku ini akan
dimulai dengan prakarsa para anggota sendiri, atau menunggu gelombang desakan
masyarakat yang kian canggih dalam menyuarakan tuntutan-tuntutannya? Di tangan
para anggota DPRD sendirilah pilihannya berada.
BAB VIII
Membangun Aliansi Strategis
dan Memenangkan Kepentingan Rakyat
Diana Fawzia
Langkah apa yang dapat dilakukan untuk membangun aliansi strategis guna
memenangkan kepentingan rakyat?