You are on page 1of 23

KONSEP “BANGSA INDONESIA ASLI” DITINJAU DARI SISI KONSTITUSIONAL

DAN UNDANG-UNDANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA

A. Pengertian Dan Hakikat Bangsa


Bangsa (nation) atau nasional, nasionalitas atau kebangsaan, nasionalisme atau paham
kebangsaan, semua istilah tersebut dalam kajian sejarah terbukti mengandung konsep-konsep
yang sulit dirumuskan, sehingga para pakar di bidang Politik, Sosiologi, dan Antropologi pun
sering tidak sependapat mengenai makna istilah-istilah tersebut. Selain istilah bangsa, dalam
bahasa Indonesia, kita juga menggunakan istilah nasional, nasionalisme yang diturunkan dari
kata asing “nation” yang bersinonim dengan kata bangsa. Tidak ada rumusan ilmiah yang
bisa dirancang untuk mendefinisikan istilah bangsa secara objektif, tetapi fenomena
kebangsaan tetap aktual hingga saat ini.
Dalam kamus ilmu Politik dijumpai istilah bangsa, yaitu “natie” dan “nation”, artinya
masyarakat yang bentuknya diwujudkan oleh sejarah yang memiliki unsur  sebagai berikut :
1. Satu kesatuan bahasa ;
2. Satu kesatuan daerah ;
3. Satu kesatuan ekonomi ;
4. Satu Kesatuan hubungan ekonomi ;
5. Satu kesatuan jiwa yang terlukis dalam kesatuan budaya.
Istilah natie (nation) mulai populer sekitar tahun 1835 dan sering diperdebatkan,
dipertanyakan apakah yang dimaksud dengan bangsa?, sehingga melahirkan berbagai teori
tentang bangsa sebagai berikut :
 
1. Teori Ernest Renan
 
Pembahasan mengenai pengertian bangsa dikemukakan pertama kali oleh Ernest
Renan tanggal 11 Maret 1882, yang dimaksud dengan bangsa adalah jiwa, suatu asas
kerohanian yang timbul dari : (1). Kemuliaan bersama di waktu lampau, yang
merupakan aspek historis. (2). Keinginan untuk hidup bersama (le desir de vivre
ensemble) diwaktu sekarang yang merupakan aspek solidaritas, dalam bentuk dan
besarnya tetap mempergunakan warisan masa lampau, baik untuk kini dan yang akan
datang.
Dasar dari suatu paham kebangsaan, yang menjadi bekal bagi berdirinya suatu
bangsa, ialah suatu kejayaan bersama di zaman yang lampau dimilikinya orang-orang
besar dan diperolehnya kemenangan-kemenangan, sebab penderitaan itu
menimbulkan kewajiban-kewajiban, yang selanjutnya mendorong kearah adanya
usaha bersama. Lebih lanjut Ernest Renan mengatakan bahwa hal penting merupakan
syarat mutlak adanya bangsa adalah plebisit, yaitu suatu hal yang memerlukan
persetujuan bersama pada waktu sekarang, yang mengandung hasrat untuk mau hidup
bersama dengan kesediaan memberikan pengorbanan-pengorbanan. Bila warga
bangsa bersedia memberikan pengorbanan bagi eksistensi bangsanya, maka bangsa
tersebut tetap bersatu dalam kelangsungan hidupnya (Rustam E. Tamburaka, 1999 :
82).
Titik pangkal dari teori Ernest Renan adalah pada kesadaran moral (conscience
morale), teori ini dapat digolongkan pada Teori Kehendak, berbeda dengan teori
kebudayaan (cultuurnatie theorie) yang menyatakan bahwa bangsa merupakan
perwujudan persamaan kebudayaan: persamaan bahasa, agama, dan keturunan.
Berbeda juga dengan teori kenegaraan (staatsnatie theorie) yang menyatakan bahwa
bangsa dan ras kebangsaan timbul karena persamaan negara.
Menurut teori Ernest Renan, jiwa, rasa, dan kehendak merupakan suatu faktor
subjektif, tidak dapat diukur dengan faktor-faktor objektif. Faktor agama, bahasa, dan
sejenisnya hanya dapat dianggap sebagai faktor pendorong dan bukan merupakan
faktor pembentuk (consttuief element) dari bangsa. Karena merupakan plebisit yang
diulangi terus-menerus, maka bangsa dan rasa kebangsaan tidak dapat dibatasi secara
teritorial, sebab daerah suatu bangsa bukan merupakan sesuatu yang statis, tapi dapat
berubah-ubah secara dinamis, sesuai dengan jalannya sejarah bangsa itu sendiri.
Teori Renan tentang nation (waktu itu masih digunakan kata bangsa) dianut dan
secara langsung sebagai tokoh teori nasionalisme menegaskan suatu negara hanya ada
karena adanya kemauan bersama. Kemauan bersama diperlukan supaya semua daerah
dari satu negara akan mempunyai pengaruh dalam komunitas dunia.
Dari konsep nasionalisme Ernest Renan pada masa itu telah membangkitkan rasa
nasionalisme kelompok mahasiswa dan cendekiawan-cendekiawan Indonesia pada
tahun 1920-an seperti Perhimpunan Indonesia, Indonesische Studieclub, dan
Algemeene Studieclub yang merupakan pembentuk dan penyebar nasionalisme
Indonesia serta memberi orientasi bagi perjuangan bangsa terjajah di wilayah Hindia
Belanda dalam rangka membebaskan diri dari cengkeraman penjajahan Belanda, yang
kemudian lazim disebut awal gerakan kebangkitan nasional.
Teori Renan mengatakan bahwa etniksitis tidak diperlukan untuk kebangkitan
nasionalisme, jadi nasionalisme bisa jadi dalam suatu komunitas yang multi etnis,
persatuan agama juga tidak diperlukan untuk kebangkitan nasionalisme. Persatuan
bahasa mempermudah perkembangan nasionalisme tetapi tidak mutlak diperlukan
untuk kebangkitan nasionalisme. Dalam hal nasionalisme, syarat yang mutlak dan
utama adalah adanya kemauan dan tekad bersama. (Frank Dhont, 2005 : 8)
 
2. Teori Otto Bauer
 
Persoalan : was ist eine nation, dijawab oleh Otto Bauer adalah eine nation ist aus
schicksalameinschaft erwachsene charaktergemeinschaft (suatu bangsa ialah suatu
masyarakat ketertiban yang muncul dari masyarakat yang senasib) atau bangsa adalah
suatu kesamaan perangai yang timbul karena senasib (Rustam E. Tamburaka, 1999 :
83).
 
3. Teori Rudolf Kjellen
Rudolf Kjellen membuat suatu analogi/membandingkan bangsa dengan suatu
organisme biotis dan menyamakan jiwa bangsa dengan nafsu hidup dari organisme
termaksud. Suatu bangsa mempunyai dorongan kehendak untuk hidup, mempertahankan
dirinya dan kehendak untuk berkuasa (Rustam E. Tamburaka, 1999 : 84-85).
Suatu bangsa dianggap ada, apabila mulai sadar sebagai suatu bangsa jika para
warganya bersumpah pada dirinya, seperti yang telah dilakukan oleh bangsa Swiss waktu
mendirikan persekutuannya: wir wollen sein ein einzig volk von brudern (kita ingin
menjadi satu rakyat yang bersaudara satu sama lainnya), seperti juga yang dilakukan oleh
pemuda Indonesia dalam Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 untuk pertama
kalinya pemuda Indonesia memproklamasikan kesatuan Indonesia secara kultural dan
politik dalam 3 (tiga) konsep : satu tanah air, Indonesia ; satu bangsa, Indonesia ; dan satu
bahasa, Indonesia, hal ini merupakan modal sosial (social capital) penting bagi perjalanan
sejarah masyarakat Indonesia karena pada peristiwa itu untuk pertama kalinya konsep jati
diri (identity) sebagai “bangsa” (nation) dengan konsep Indonesia sebagai simbol
pemersatu keragaman masyarakat Indonesia dinyatakan secara tegas, jelas, dan berani.
Sumpah Pemuda merupakan tekad generasi muda tersebut pada dasarnya menempatkan
kepentingan bersama diatas kepentingan suku, bangsa, ras, agama, dan kebudayaan yang
berasal dari berbagai penjuru. Melalui ikrarnya itu, mereka menyatukan derap langkah
dan gerak maju menuju kepada kehidupan kebangsaan Indonesia yang berlandaskan pada
asas kesatuan dan persatuan.
Suatu bangsa yang menjelma membentuk suatu negara, maka ia dapat
memperoleh isi rohani yang lebih tinggi yang semula tidak dipunyainya. Hal ini
merupakan isi dari asas kebangsaan dan sekaligus cita-citanya yang terakhir, yang pernah
menggemparkan setiap zaman. Suatu bangsa baru akan dianggap sempurna, apabila
batas-batasnya sudah sama dengan batas-batas negaranya. Dengan demikian kesadaran
berkebangsaan dan sekaligus memiliki kebudayaan yang sama yang merupakan
identitasnya. Kesatuan yang utuh dalam segala aspek kehidupan, selalu diusahakan secara
terus-menerus. Menurut Rudolf Kjellen dibalik suatu bahasa terdapat suatu kebangsaan.
Dengan demikian, bahasa bukan merupakan sebab, tetapi akibat dari kebangsaan, teori ini
disebut dengan teori Lebenssehnsucht  (nafsu hidup bangsa).
 
4. Teori Geopolitik
Teori ini bersangkutan dengan Blood and Boden Theorie (Teori Darah dan Tanah)
oleh Karl Haushofer yang dianggap sebagai sendi bagi politik imperialisme Jerman, tetapi
digunakan pula oleh kaum nasionalis di Asia, khususnya untuk membela cita-cita
kemerdekaan, persatuan bangsa, dan tanah air. Geopolitik mendasarkan diri pada faktor-
faktor geografis sebagai suatu faktor yang konstan (Rustam E. Tamburaka, 1999 : 86).
 
B. Latar Belakang Munculnya Konsep Bangsa Indonesia Asli
Dari berbagai teori tentang bangsa dihubungkan dengan sebelum ada negara Republik
Indonesia, kata bangsa sudah digunakan oleh kelompok-kelompok masyarakat yang sekarang
sering disebut kelompok etnis atau suku bangsa. Harsja W. Bachtiar  (1987 : 3) juga mencatat
bahwa sebelum kita mengacu diri kita sebagai bangsa Indonesia terdapat beraneka-ragam
suku bangsa yang biasa dinamakan bangsa, misalnya, bangsa Melayu, bangsa Jawa, bangsa
Bugis. Selanjutnya dia mencatat bahwa :
 
“Masing-masing suku bangsa mempunyai kebudayaan sendiri, yang selain terdiri dari nilai-nilai dan
aturan-aturan tertentu juga terdiri dari kepercayaan-kepercayaan tertentu serta pengetahuan tertentu yang
diwarisi dari para nenek moyang suku bangsa yang bersangkutan. Masing-masing suku bangsa juga
mempunyai bahasa sendiri, struktur masyarakat sendiri, sistem politik sendiri, dan ini yang amat penting,
wilayah tempat pemukiman (tanah air) sendiri.”
Kalau batas bahasa dapat dianggap bertumpang tindih dengan batas suku bangsa, maka
dapat dibayangkan betapa besar jumlah suku bangsa yang tadinya disebut bangsa (jadi bukan
suku bangsa) terdapat di Indonesia ini, karena menurut perkiraan para ahli bahasa dewasa ini
ada sekitar 400 bahasa daerah (bukan dialek) di Indonesia (Maurits Simatupang, 2002 : 113).
Untuk melanjutkan pembahasan kita mengenai pengertian bangsa dalam konteks
Indonesia, ada baiknya kita menoleh ke belakang ketika paham kebangsaan mulai
dibicarakan di kalangan kaum muda terpelajar Indonesia, terutama kelompok terpelajar yang
memperoleh pendidikan modern pada permulaan abad ke-20.
Marilah kita perhatikan Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 itu. Tidak banyak
kita ketahui tentang proses terjadinya Sumpah Pemuda tersebut. Bagaimana para pemuda
yang terdiri dari berbagai kelompok etnis itu memutuskan bahwa mereka merupakan satu
bangsa, yaitu bangsa Indonesia, tidak begitu jelas. Risalah rapat-rapat yang diadakan tidak
ada; yang ada hanyalah laporan tentang diadakannya pertemuan dan dicetuskannya Sumpah
Pemuda tersebut pada tanggal 28 Oktober 1928. Secara detail laporan peristiwa tanggal 28
Oktober 1928 disampaikan oleh Hans Van Miert dalam bukunya “DENGAN SEMANGAT
BERKOBAR, Nasionalisme dan Gerakan Pemuda Di Indonesia”, 1918-1930, (Hasta Mitra-
Pustaka Utan Kayu, 2003 : 498-509).
Berbeda halnya dengan tokoh-tokoh yang terlibat dalam Badan Penyelidik Usaha-
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) yang merancang dasar-dasar negara Indonesia yang sekarang kita sebut
Pancasila dan UUD 1945 karena kita dapat mengikuti pendapat-pendapat yang dikemukakan
dalam sidang-sidang melalui laporan yang “secara relatif lengkap terdapat dalam buku
karangan Prof. Mr. Haji Muhammad Yamin, 1959, Naskah Persiapan UUD 1945, jilid I
penerbitan Yayasan Prapantja, Jakarta” yang kemudian edisi keduanya dicetak ulang oleh
Sekretariat Negara tahun 1992. (Maurits Simatupang, 2002 : 113 – 115).
Sangat menarik, misalnya, mengikuti pendapat-pendapat Prof. Dr. Mr. Soepomo dan
Mr. Muhammad Yamin, yang keduanya mempunyai latar belakang ilmu hukum yang
tentunya telah mengenal dengan baik konsep-konsep bangsa (natie, nation), negara (staat,
state), negara-bangsa (nationale-staat, nation-state) dan istilah-istilah politik lainnya yang
berhubungan dengan bangsa dan negara. Ketika Soepomo mengutip pendapat Ernest Renan
tentang persyaratan suatu bangsa, le desire d’etre ensemble (keinginan untuk bersatu), M.
Yamin menganggap bahwa konsep Renan itu sudah kuno (verouderd). Bung Karno ketika
gilirannya berbicara juga mengutip pendapat Otto Bauer tentang bangsa yang menurutnya
juga sudah kuno : Eine Nation ist eine aus Schiksalsgemein-schaft erwachsene
Charaktergemeinschaft. (Bangsa adalah satu persatuan perangai yang timbul karena
persatuan nasib.) karena dia menganggap bahwa persyaratan-persyaratan bangsa yang
dikemukakan oleh Renan dan Bauer itu kurang lengkap, maka ia lalu menambahkan unsur
baru pada kedua konsep Renan dan Bauer itu, yaitu konsep tempat tinggal yang berasal dari
ilmu Geopolitik (Teori Geopolitik berasal dari Karl Haushofer, lebih jauh dikembangkan oleh
Bung Karno dalam konteks Indonesia), yang menurut Bung Karno belum ada dalam zaman
Renan dan Bauer. Menurut Geopolitik yang dikemukakan oleh Bung Karno itu, bumi yang
terdapat di antara ujung Sumatera sampai ke Irian itu adalah kesatuan bumi di Indonesia 
karena atas “ketentuan Allah SWT” didiami oleh 70.000.000 manusia yang mempunyai le
desire d’etre ensemble dan Charaktergemeinschaft (Community of character). Selanjutnya,
Bung Karno menganjurkan untuk “mendirikan satu Nationale Staat, di atas kesatuan bumi
Indonesia dari Ujung Sumatera sampai ke Irian.” Dalam pandangan Bung Karno, bentuk
ideal suatu negara bukanlah negara yang rakyatnya terdiri dari hanya satu kelompok etnis
saja (mono-ethnic state) :
 
“Demikian pula bukan semua negeri-negeri di tanah air kita yang merdeka di zaman dahulu, adalah
nationale staat. Kita hanya dua kali mengalami nationale staat, yaitu di zaman Sriwijaya dan di zaman
Majapahit. Di luar dari itu tidak mengalami nationale staat. Saya berkata dengan penuh hormat kepada
kita punya raja-raja dahulu, saya berkata dengan beribu-ribu hormat kepada Sultan Agung
Hanjokrokoesoemo, bahwa Mataram, meskipun merdeka, bukan nationale staat. Dengan perasaan
hormat kepada Prabu Siliwangi di Pajajaran, saya berkata, bahwa kerajaannya bukan nationale staat.
Dengan perasaan hormat  kepada Prabu Sultan Agung Tirtayasa, saya berkata, bahwa kerajaannya di
Banten, meskipun merdeka, bukan nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Sultan Hasanuddin
di Sulawesi yang telah membentuk Kerajaan Bugis, saya berkata, bahwa tanah Bugis yang merdeka itu
bukan nationale staat.” (Lihat Pidato Bung Karno, 1 Juni 1945)
 
Konsep geopolitik seperti dikemukakan Bung Karno ini, yaitu “kesatuannya semua
pulau-pulau Indonesia dari ujung Utara Sumatera sampai ke Irian” kemudian kita
kembangkan dalam Wawasan Nusantara yang tercantum dalam GBHN tahun 1978 dan 1983
yang mencakup :
 
“Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai suatu kesatuan politik, satu kesatuan sosial budaya, satu
kesatuan ekonomi, satu kesatuan pertahanan dan keamanan.” (Lihat Kohar Hari Sumarno, 1985.)
 
Sebagai dasar pertama negara Indonesia yang akan dibentuk itu, Bung Karno
mengusulkan dasar kebangsaan :
 
“Kebangsaan Indonesia. Kebangsaan Indonesia yang bulat bukan kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan
Sumatera, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi, Bali, atau lain-lain, tetapi kebangsaan Indonesia, yang
bersama-sama menjadi dasar satu nationale staat.” (Lihat Pidato Bung Karno, 1 Juni 1945)
 
Kita dapat mengerti mengapa Bung Karno (bersama kaum nasionalis lainnya)
mengajukan paham kebangsaan ini. Pada permulaan tahun 30-an, telah ada perdebatan di
antara kaum pergerakan kemerdekaan tentang dasar negara yang akan didirikan. Ada
kelompok yang mempertahankan bahwa hanya faham agama tertentulah yang dapat menjadi
dasar kebangsaan Indonesia (Rickless, 1981 : 285).
Kalau kita perhatikan istilah-istilah people, nationality, dan nation (Karl W. Deutsch,
1996 : 17) yang digunakan oleh para ahli di bidang politik di waktu yang lalu di Barat, maka
kita melihat bahwa konsep-konsep dan istilah-istilah itu juga dikemukakan dalam sidang-
sidang BPUPKI dan PPKI dan dipakai sebagai landasan berpikir dan mengembangkan lebih
lanjut konsep-konsep bernegara dan berbangsa untuk bangsa Indonesia. Marilah kita simak
beberapa pengertian yang terkandung dalam konsep-konsep yang dikembangkan di Barat itu
dan kita bandingkan dengan konsep-konsep dan pengertian-pengertian yang dikemukakan
dalam sidang-sidang tersebut. (Maurits Simatupang, 2002 : 115 – 116)
Menurut satu definisi (Karl W. Deutsch, 1966 : 18), dikatakan bahwa “a people is a
group of individuals who have some objective characteristics in common. These
characteristics usually then are said to include language, territorial residence, traditions,
habits, historical memories, and the like. To these are then added....certain subjective
elements such as mutual, affection, consciousness of difference from other peoples, or the
will to belong to this particular people.”
Nation diartikan sebagai “a people living in a state ‘of its own.’ By this is meant, it
seems, that the rulling personnel of this state consists largely of individuals who share the
main characteristics of this people, and that the administration of this state is carried on in
this people’s language and in line with what are considered to be its characteristic
institutions and patterns of custom.”
Tentang pengertian nationality dikatakan bahwa “ a nationality in this widespread
usage is, then, a term which may be applied to a people among whom there exists a
significant movement toward political, economic, or cultural autonomy, that is to say, toward
a political organization, or a market, or an area of literary or cultural interchange within the
personnel and the characteristics of  this people will pre-dominate.”
Namun (Karl W. Deutsch, 1966 : 18) mengingatkan kita bahwa pengertian-pengertian di
atas tidak bebas dari masalah-masalah yang sulit. Beberapa karakteristik objektif yang sering
dikemukakan sebagai milik suatu “bangsa” (people) nampaknya tidak merupakan bagian
yang esensial dari kesatuan suatu “bangsa”. Mengenai bahasa, misalnya, dikatakan bahwa
warga “bangsa” Inggris ada yang berbahasa Inggris atau bahasa Welsh ; warga Kanada,
bahasa Inggris atau Perancis ; Afrika Selatan, Inggris atau Afrikaans ; warga Irlandia, Inggris
atau Gaelik ; warga Belgia, Vlaam atau Perancis ; dan warga Swiss, bahasa Jerman, Perancis,
Italia, dan Roman. Bahasa yang sama bisa digunakan oleh bangsa-bangsa yang berbeda.
(Maurits Simatupang, 2002 : 116 – 117)
Dari segi linguistik semata-mata, keadaan kebahasaan yang digambarkan di atas
terdapat juga persamaannya dengan keadaan kebahasaan Indonesia dan pemakaian bahasa
Indonesia (sebagai dialek bahasa Melayu tentunya) di luar Indonesia (Malaysia dan Brunai).
Pengertian tempat kediaman bersama (common territory) juga mengandung masalah.
Contoh yang diberikan adalah pengalaman pergerakan nasional kaum Zionis yang selama
berabad-abad tidak mempunyai tanah air sebelum mendirikan negara Israel pada tahun 1948
yang ditentang oleh penduduk Palestina yang nenek moyangnya telah menduduki tempat itu
dan mengadopsi bahasa dan budaya Arab. Tanpa mengemukakan aspek Geopolitik yang
dikemukakan oleh Bung Karno itu dan tanpa mengembangkannya menjadi Wawasan
Nusantara (lihat rumusannya, antara lain, dalam GBHN tentang Wawasan Nusantara dalam
TAP MPR No. II, 1993), barangkali akan sulit bagi kita untuk menjelaskan konsep common
territory yang merupakan salah satu persyaratan bangsa Indonesia, apalagi dengan (atau
unifikasi?) Timor Timur ke dalam Republik Indonesia, kecuali mengatakan bahwa hal itu
sudah kehendak Tuhan. (Maurits Simatupang, 2002 : 117)
Bahkan konsep yang ditawarkan Ernest Renan yang dikutip oleh Bung Karno itu pun
dapat ditanyakan keabsahannya. Renan melihat bahwa salah satu unsur esensial dari soul or
spiritual principle suatu bangsa terdiri dari “[the] possession in common of a rich heritage of
memories...a heritage of glory and of grief to be shared...to have suffered, rejoiced and hoped
together...” Pertanyaannya ialah kapan warisan bersama (common heritage) itu milik
bersama? (When is a “common” heritage common?)
Dalam usaha mencari sejarah bersama sebagai karateristik bersama yang objektif dan
dapat diamati, Otto Bauer mencoba mengemukakan konsep community of fate
(Schiksalgemein-schaft) yang mengikat para warga suatu bangsa ke dalam suatu community
of character (Characktergemeinschaft). Menurut Bung Karno konsep Ernest Renan le desir
d’etre ensemble dan definisi Otto Bauer Aus Schiksalgemeinschaft erwachsene
Charaktergemeinschaft itu tidak cukup. Itulah sebabnya dia menambahkan konsep Geopolitik
seperti telah disinggung di atas dan yang berlaku bagi bangsa Indonesia setidak-tidaknya.
(Maurits Simatupang, 2002 : 117-118)
Dengan mengacu pada Ernest Renan dan Otto Bauer tersebut, Bung Karno menegaskan
sesuatu yang amat penting : kesatuan bangsa Indonesia tidak bersifat alami, melainkan
historis. Artinya yang mempersatukan masyarakat di bumi Indonesia adalah sejarah yang
dialami bersama, sebuah sejarah pendirian, penindasan, perjuangan kemerdekaan dan tekad
pembangunan kehidupan bersama. Dari “nasib” bersama itu tumbuh hasrat untuk tetap
bersama. Itulah dasar kesatuan bangsa Indonesia, dengan demikian kesatuan Indonesia
sebenarnya lebih merupakan kesatuan historis dan persatuan etis, bukan bersifat etnik atau ras
tertentu.
Bangsa Indonesia terbentuk dari berbagai suku bangsa, berbagai kepentingan ekonomi,
kepentingan agama yang secara historis adalah suatu berkah bahwa dari kebhinekaan tersebut
dapat didirikan suatu bangsa yang mempersatukan masyarakat di bumi Indonesia. Dorongan
persamaan nasib bersama telah membentuk bangsa Indonesia sangat kuat sehingga bangsa
Indonesia memperoleh kemerdekaan, yang merupakan perekat atau faktor integratif bangsa
Indonesia adalah kesadaran masyarakat Indonesia yang saling menopang atau saling
memerlukan dalam keanekaragaman masing-masing.
Konsep bangsa Indonesia asli timbul dan berkembang dalam sejarah. Sifat dasar
masyarakat Indonesia sebagai masyarakat Nusantara adalah Bhineka Tunggal Ika. Sifat itu
masuk sejak dahulu kala ke dalam tubuh kebudayaan Indonesia, baik yang bersifat lahir
maupun batin. Kebhinekaan “masyarakat Indonesia” bersifat multi-dimensional, dan
kenyataan itu sudah diketahui dan ditandai ketika penjelajah-penjelajah mancanegara mulai
mendarati pantai-pantai kepulauan Nusantara. Republik Indonesia yang kemudian
diproklamasikan terdiri dari 13.677 (tiga belas ribu enam ratus tujuh puluh tujuh) pulau
jumlahnya dengan luas keseluruhan 1.900.000 km2 (satu juta sembilan ratus ribu kilometer
persegi). Dimensi pertama yang dapat dikedepankan adalah dimensi geografis sebagaimana
merupakan hasil pengamatan dari Alfred Wallace dan Weber. Temuan Wallace kemudian
dikukuhkan dalam geografi sebagai Garis Wallacea yang membentang dari laut Sulu di utara
melalui selat Makasar hingga ke selat Lombok di selatan, dan Garis Weber yang tidak
semasyhur Garis Wallacea membentang dari pantai barat Pulau Halmahera di utara melalui
Laut Seram hingga ke Laut Timor di selatan. Garis Wallacea dan Garis Weber secara fisiko-
geografis membedakan (bukan memisahkan) Dangkalan Sunda di sebelah barat (yang
meliputi pulau-pulau Sulawesi dan sebagian pulau-pulau Nusa Tenggara sebelah barat), dan
dari Dangkalan Sahul di sebelah timur (yang meliputi kepulauan Halmahera, Aru, dan
Papua). Kebedaan itu merupakan akibat dari proses perkembangan fisiko-geografis yang
ditinggalkan oleh akhir dari zaman es. Kebedaan fisiko-geografis itu berakibat menentukan
pada kebedaan dunia flora dan fauna dari masing-masing kelompok kepulauan itu. (Budiono
Kusumohamidjojo, 2000 : 16 – 17)
Dimensi kedua adalah dimensi yang etnografis, yang merupakan perpaduan
konsekuensi dari dimensi fisiko-geografis dan proses migrasi bangsa-bangsa purba. Etnologi
adalah cabang antropologi kebudayaan yang mempelajari kebudayaan manusia dengan
mengadakan pendekatan perbandingan dari berbagai kebudayaan secara individual yang
terdapat di muka bumi ini. Dalam kerangka dimensi etnografis itulah kita lalu dapat melihat
adanya kebedaan etnis pada penduduk yang mendiami berbagai pulau-pulau nusantara. Asal
usul dari penduduk yang mendiami kepulauan nusantara masih merupakan objek perdebatan
teoritis di kalangan ahli arkeologi dan antropologi. Tentang asal usul dari umat manusia saja
terdapat 2 (dua) teori. Teori yang pertama seperti yang dikemukakan oleh E. von Eickstedt
(1934) beranggapan bahwa tempat asal dari evolusi ras manusia Homo Sapiens adalah di
Asia Tengah. Teori yang kedua C.S. Coon (1965) berpendapat bahwa ada beberapa pusat
evolusi dari beberapa ras manusia di dunia. Sampai sekarang belum ada kesimpulan
mengenai kesalahan atau kebenaran dari masing-masing teori itu. Namun demikian, dari
penemuan tulang belulang Pithecanthropus Erectus dari zaman Pleistocenum Bawah (kira-
kira 600.000 sampai 300.000 tahun yang lalu) di Trinil di tepi Bengawan Solo pada tahun
1891 oleh Eugene Dubois, dan kemudian penemuan Homo Soloensis (yang oleh Teuku Jacob
disebut Pithecanthropus Soloensis) dari zaman Pleistocenum Atas (kira-kira 40.000 tahun
yang lalu) di Desa Ngandong, juga di tepi Bengawan Solo pada tahun 1931 oleh Oppenoorth
dan von Koenigswald, orang menduga, bahwa pulau Jawa merupakan tempat asal usul
manusia purba. Meskipun penemuan-penemuan itu penting sekali artinya bagi antropologi
dan biologi pada umumnya, Bernard Vlekke tidak menilainya sebagai terlalu relevan untuk
sejarah Indonesia : “The Indonesian historic times are the descendants of immigrants from
the Asian continent”. Dengan kata lain, sejarah Indonesia modern lebih merupakan hasil dari
bangsa-bangsa pendatang, dan bukan “penduduk asli”! (Budiono Kusumohamidjojo, 2000 :
17 – 18)
Tetapi justru tentang asal usul dari kaum imigran itu juga terdapat teori yang berbeda-
beda. Sarasin bersaudara (1893 dan 1905) misalnya berpendapat bahwa imigran pertama
adalah orang Vedda yang juga mereka temukan di Sri Lanka, dan tergolong pada ras Negrito.
Gelombang imigran yang berikutnya mendatangkan mula-mula orang Proto Melayu (kira-
kira tahun 200 – 300 SM), yang berasal usul di Propinsi Yunnan (Cina) sekarang, dan datang
melalui Indocina dan Muangthai. Suku bangsa yang masih dekat dengan keturunan orang
Proto Melayu adalah orang Gayo dan Alas di Aceh serta orang Toraja di Sulawesi. Penduduk
Indonesia, selebihnya, kecuali di Pulau Papua dan kepulauan Aru, adalah orang-orang yang
dekat dengan keturunan orang Deutero Melayu. Namun, Vlekke sendiri menaruh keraguan
terhadap teori Sarasin dan Sarasin itu, karena ternyata kurang lebih 170 bahasa yang
digunakan di kepulauan Nusantara, dengan beberapa kekecualian, pada umumnya dapat
digolongkan ke dalam rumpun bahasa Austronesia atau Melayu-Polinesia, yang oleh
Koentjaraningrat disebut juga sebagai rumpun bahasa Austro-Melanesia. Bagaimanapun,
Vlekke menarik kesimpulan, bahwa pengelompokkan bahasa di Indonesia tidak niscaya
sejalan dengan pengelompokkan ras, dan kenyataan itu membuat berbagai teori itu seperti
semakin jauh dari suatu kesimpulan akhir. (Budiono Kusumohamidjojo, 2000 : 18 – 19)
Problem itulah yang juga dipertanyakan oleh Koentjaraningrat, yang mengamati adanya
beberapa gelombang imigrasi dengan versi yang berbeda-beda. Di samping itu,
Koentjaraningrat juga melihat adanya 2 (dua) sumber migrasi, yaitu, kecuali yang berasal dari
daratan Asia, juga yang berasal dari benua Australia. Migrasi orang Paleo-Mongoloid dari
Asia dan orang Austro-Melanesoid dari Australia dan yang disusul dengan percampuran ras
dan kebudayaan di Sulawesi Selatan itu diperkirakan terjadi antara 10.000 dan 2.000 tahun
SM, jadi sebelum datangnya orang-orang Proto Melayu yang dikonstatasi oleh Sarasin dan
Sarasin. (Koentjaraningrat, 1990 : 9)
Koentjaraningrat juga memperhatikan arus migrasi itu dari sisi penyebaran teknologi
sebagai salah satu aspek yang terpenting dari kebudayaan. Kepandaian menanam padi
misalnya yang kabarnya mula-mula dilakukan di Assam Utara (India) atau Burma Utara,
menyebar ke kepulauan Nusantara dan Filipina melalui lembah-lembah sungai Yangtze dan
Mekhong. Unsur teknologi kedua yang juga berperanan besar adalah kepandaian menuang
perunggu (campuran tembaga dengan kurang lebih 15 % timah). Teknologi itu mula-mula
ditemukan di Mesopotamia (Asia Barat Daya) kira-kira pada tahun 3.000 SM, dan tiba di
pusat kebudayaan Cina kira-kira pada tahun 2.000 SM. Melalui lembah Dongsan di Vietnam
Utara, teknologi itu kemudian menyebar ke Asia Tenggara dan kepulauan Nusantara, dan
bahkan hingga ke Sentani di pantai utara Papua Barat, tetapi tidak sampai ke kepulauan
Filipina. (Koentjaraningrat, 1990 : 14, 19)
Aspek kebudayaan lain yang diamatinya adalah organisasi sosial dan sistem
pemerintahan yang lebih besar dari ukuran desa, yang diperkirakan telah berkembang di Asia
Tenggara di sekitar abad pertama TM, seperti kita ketahui, pada awal abad II SM, Qin
Xihuang Di mempersatukan Cina sebagai kekaisaran, sehingga tidaklah mengherankan jika
negara-negara tertua di Asia Tenggara kontinental terpengaruh oleh aspek kebudayaan Cina
itu, dan pada gilirannya juga mempengaruhi negara-negara tertua di kepulauan Nusantara.
Namun, bersamaan dengan masuknya kepandaian politik itu, datang juga agama Hindu dan
Buddha yang justru membawa unsur kebudayaan yang sangat penting, yaitu tulisan
(Koentjaraningrat, 1990 : 20 - 21). Bukti tertua untuk itu di kawasan Nusantara ditemukan di
Muara Kanam, kira-kira 160 km dari muara sungai Mahakam di Kalimantan Timur, dan
berasal dari abad ke V TM dan mengindikasikan pandangan Hindu. Kerajaan Kutai dengan
Mulawarman sebagai rajanya itu bolehlah dipandang sebagai titik tolak bagi kita untuk mulai
dapat membahas perkembangan “masyarakat Nusantara” sampai kemudian menjadi “
masyarakat Indonesia” dewasa ini. (Budiono Kusumohamidjojo : 2000 : 19 – 20)
Pembahasan mengenai bangsa Indonesia asli dan subdimensi kemasyarakatan tidak bisa
menghindarkan kita untuk sedikit memahami pendapat para ahli untuk membagi manusia ke
dalam 3 (tiga) kelompok ras yang besar, yaitu : ras Caucasoid, Mongoloid, dan Negroid
sementara itu, Blumenbach yang berpedoman pada ciri-ciri warna kulit serta faktor geografi
membagi manusia ke dalam 5 (lima) kelompok ras : Caucasia, Ethiopia, Mongolia, America,
dan Malaya. Stock Mongoloid memiliki relevansi lebih jauh bagi “masyarakat Indonesia”.
Stock Mongoloid itu terbagi dalam kelompok (E : ) Old World Mongoloid (L, Paleo-
Mongoloid) dan New World Mongoloid (Neo-Mongoloid). “Old World Mongoloid  terpecah
dalam ras Tionghoa dan ras Malaya, sedangkan ras-ras Ainu dan Polynesia kedudukannya
tidak jelas”.
Jika kita mengingat akibat-akibat yang bisa merupakan konsekuensi dan Garis Wallacea
serta Garis Weber dan konsekuensi dari pembagian manusia ke dalam 5 (lima) kelompok ras
dari Blumenbach, mudah dimengerti jika “masyarakat Indonesia” dapat dipandang sebagai
kenyataan kelompok kehidupan bersama yang terdiri dari paling sedikit 2 (dua) kelompok ras
yang mendasar. Di samping itu, juga diakui luas, bahwa sebagian besar suku bangsa di
Indonesia pada akhirnya merupakan hasil dari percampuran antar ras, atau paling sedikit
antar etnik.
Jadi, sebenarnya kita bisa mempertanyakan, bagaimana pengertian “orang Indonesia
asli” (yang stereotipikal) itu dapat didefinisikan. Dalam mengacu ke masa depan, kenyataan
ini perlu disadari dengan lebih mendalam oleh “masyarakat Indonesia” terutama para pemuka
dan pemimpinnya. Penyangkalannya secara sengaja atau tidak sengaja akan bisa
mengakibatkan tersesatnya proses pembuatan keputusan yang menyangkut kepentingan
umum, lebih-lebih dalam konteks kenegaraan yang berjangka panjang. Cobalah kita
bayangkan, seandainya di Amerika Serikat juga digunakan istilah “orang Amerika asli”.
Konsekuensi dari tata pandang yang stereotipikal itu pastilah akan bermuara dalam
kesimpulan, bahwa mayoritas warga Amerika Serikat bukanlah “orang Amerika asli”.
(Budiono Kusumohamidjojo, 2000: 24 – 25). Seperti digambarkan oleh Samuel Huntington
bahwa ada perasaan gamang dan ketidakmengertian atas identitas mereka sebagai anggota
dari sebuah “Bangsa” yang bernama Amerika. Tak heran bila kemudian penulis buku
kontroversial, Clash of Civilization, itu menyodorkan pertanyaan keras pada rakyat Amerika,
“Who Are We?”, yang kemudian menjadi tajuk buku kontroversialnya yang baru. Mengutip
komentar seorang warga, Huntington menunjukkan bagaimana kegalauan itu masuk ke
tingkat pribadi: “Umur 19 saya pindah ke New York...... Bila kau bertanya padaku untuk
menjelaskan siapa diriku ini, maka aku selalu mengatakan aku ini seorang musikus, penyair,
dan seniman dalam level politis tertentu seorang perempuan, lesbian, dan Yahudi. Menjadi
seorang Amerika tidak pernah ada dalam daftarku.”(Huntington, 2004: hal 4)
Dalam buku Hoakiau di Indonesia (1960), Pramoedya Ananta Toer menggugat dan
mempertanyakan tentang keaslian orang Indonesia, bahkan mempertanyakan “Indonesia”
sebagai sebuah konsep. Ia mengkritik tentang kemurnian ras yang menjadi landasan politik
anti Tionghoa warisan kolonial. Dan dalam buku tersebut, Pram mengajukan tesis yang cukup
eksentrik, misalnya tentang “vlek biru” yang ditinggalkan tentara Monggol pada pantat bayi
Asia dan Eropa dan berkesimpulan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa pendatang bukan
asli dan tidak ada seorangpun di Indonesia dapat membuktikan dirinya asli ‘Indonesia’. (lihat
Pramoedya Ananta Toer, 1960: 23 – 27)
 
C. Teori Bangsa Sebagai Konsep Komunitas Imajiner (Imagined Community)
Benedict Anderson dikenal terutama karena teorinya tentang asal usul kebangkitan
bangsa-bangsa di dunia, yang pemikirannya masih berada dalam pengaruh pandangan dan
kelanjutan pengembangan teori Ernest Renan; Menurutnya, kurangnya kepedulian para
pengkaji gerakan kebangsaan terhadap rasa kebangsaan-rasa nasionalitas - perasaan pribadi
dan kultural bahwa seseorang dan orang-orang lain tertentu adalah satu bangsa - bahwa anda
dan saya merasa sebagai ‘orang Indonesia’, bahwa anda dan saya adalah kita, bahwa orang-
orang lain adalah mereka. Padahal, kenyataan yang kita selami sebagai bangsa Indonesia ini,
tutur Anderson, hanyalah realitas imajiner ; kekitaan kita adalah komunitas imajiner yang kita
namai Indonesia ini. Apa yang selama ini kita telan mentah-mentah sebagai ‘Indonesia’,
seperti kata Bung Karno, dari Sabang sampai Merauke sebagai pengejawantahan rasa
keindonesiaan kita, adalah kesatuan ujud bayangan semata. (Benedict Anderson, 1999 : x –
xi)
Istilah komunitas-komunitas imajiner menurut Anderson memuat arti “kesatuan hidup
(manusia) dalam wilayah geografis yang batas-batasnya telah tertentu, yang sebagaimana
dipahami (conceived), dipikir (thought), diserap sebagai gambaran mental (surmised mental
image) oleh orang-orang yang bersangkutan (yang menganggap diri terlibat di dalam
kesatuan hidup itu atau menganggap diri sebagai anggotanya).
Proses-proses penciptaan ‘komunitas-komunitas imajiner’ atau bangsa-bangsa ini,
menurut Anderson, melewati teritorialisasi keyakinan-keyakinan keagamaan, kemerosotan
kerajaan-kerajaan kuno, hubungan timbal balik antara kapitalisme dengan cetak-mencetak,
perkembangan bahasa resmi negara yang diangkat dari bahasa ibu/daerah tertentu, serta
konsepsi-konsepsi tentang waktu yang berubah. (Benedict Anderson, 1999 : xiii)
Nampaknya lebih baik kita renungkan sejenak konsep ‘nasion’ atau ‘bangsa’ itu sendiri,
dan Anderson akan menawarkan sebuah definisi yang bisa kita pakai. Selama ini para
teoretisi nasionalisme telah sering didera kebingungan, kalau tidak bisa dikatakan kegusaran,
akibat 3 (tiga) paradoks ini : 1). Modernitas objektif bangsa-bangsa di mata para sejarawan
vs. kepurbaan subjektifnya di mata para nasionalis ; 2). Universalitas formal kebangsaan
sebagai suatu konsep sosio-kultural ; dalam jagat  modern semua orang bisa, musti, akan
‘punya’ suatu kebangsaan tertentu, sama seperti tiap manusia ‘punya’ gender tertentu vs.
kekhususan pengejawantahan kongkretnya yang tak bisa ‘diobati’, misalnya, berdasarkan
definisinya, kebangsaan ‘Yunani’ bersifat sui generis atau mencakup keseluruhannya ; 3).
Daya ‘politis’ nasionalisme vs. kemelaratan filosofisnya, atau malah ketidak-koherenannya.
Dengan kata-kata yang berbeda, tidak seperti sebagian besar ‘isme’ lain, nasionalisme belum
pernah melahirkan pemikir besarnya sendiri : nasionalisme tak punya tokoh-tokoh semacam
Thomas Hobbes, Alexis de Tocqueville, Karl Marx, atau Max Weber. ‘Kehampaan’ ini
dengan gampang membangkitkan sifat rendah diri sampai ke tingkat tertentu di tengah
kumpulan intelektual kosmopolitan yang berbahasa majemuk. Bagai novelis Gertrude Stein
di depan hamparan ranah Oakland, orang bisa agak terlalu cepat menyimpulkan bahwa “tidak
ada di sana di sana” (‘no there there’). Tom Nairn, pengkaji nasionalisme yang begitu simpati
terhadap subjeknya pun, tak urung menulis bahwa : “Nasionalisme” adalah patologi sejarah
pembangunan modern, tak bisa dielakkan sama seperti ‘neurosis’ dalam sesosok pribadi,
lengkap dengan kemenduan asasi yang melekat padanya, dengan kemampuan yang sudah
‘dari sononya’ untuk anjlok ke kegilaan, berakar pada dilema-dilema ketidakberdayaan yang
disorongkan kehadapan sebagian besar jagat ini (sederajat dengan infantilisme bagi
masyarakat-masyarakat) dan pada umumnya tak mungkin disembuhkan. (Benedict Anderson,
1999 : 6)
Bangsa adalah sesuatu yang imajiner karena para anggota bangsa terkecil sekali pun
tidak bakal tahu dan takkan kenal sebagian besar anggota lain, tidak akan bertatap muka
dengan sebagian besar anggota lain itu, bahkan mungkin tidak pula pernah mendengar
tentang mereka. Namun toh di benak setiap orang yang menjadi anggota bangsa itu hidup
sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka. Ernest Renan mengacu kepada pembayangan
ini tatkala ia menulis bahwa “Or l’essence d’une nation est que tous les individus aient
beaucoup de choses en commun, et aussi que tous aient oublié bien des choses.” Dengan
tegas Ernest Gellner menetapkan : “Nasionalisme bukanlah bangkitnya kesadaran diri suatu
bangsa : nasionalisme menemukan bangsa-bangsa di mana mereka tidak ada. Namun
rumusan ini masih punya kekurangan, lantaran Gellner terburu-buru ingin menunjukkan
bahwa nasionalisme menjadi jubah yang dianyam dari serat-serat kepalsuan, makanya ia
memilih ‘penemuan’ hingga ke ‘pemalsuan’ ; ketimbang ‘pembayangan’ serta ‘penciptaan’.
Dengan begitu ia mengisyaratkan bahwa komunitas-komunitas ‘sejati’ itu ada, yang
kemudian secara menguntungkan dipaskan dengan bangsa-bangsa. Dalam kenyataan, semua
komunitas, asalkan lebih besar dari dusun-dusun primordial di mana para anggotanya bisa
saling bertatap muka langsung setiap hari (bahkan mungkin komunitas semacam ini pun),
adalah komunitas imajiner. Pembedaan antarkomunitas dilakukan bukan berdasarkan
kesejatian/kepalsuannya, melainkan menurut gaya pembayangannya. Para penduduk dusun-
dusun di Jawa senantiasa tahu bahwa mereka punya keterkaitan dengan orang-orang yang
sama sekali belum pernah mereka lihat, tetapi ikatan-ikatan ini dahulu dibayangkan secara
khusus dan ‘jelas’ sebagai jaring-jaring kekerabatan dan keklienan yang luwes (bisa mulur,
bisa menciut), (Benedict Anderson, 1999 : 7 - 8).
Anderson menjelaskan bahwa bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada
hakikatnya bersifat terbatas karena bahkan bangsa-bangsa paling besar pun, yang anggotanya
mungkin semilyar manusia, memiliki garis-garis perbatasan yang pasti meski elastis. Di luar
perbatasan itu adalah bangsa-bangsa lain. Tak satu bangsa pun membayangkan dirinya
meliputi seluruh umat manusia di bumi. Para nasionalis yang paling mendekati  sikap ‘juru
selamat’ pun tidak mendambakan datangnya hari agung di mana seluruh anggota spesies
manusia bakal bergabung dengan bangsa mereka dengan cara seperti, dalam zaman-zaman
tertentu, orang-orang Kristen memimpikan sebuah planet yang seutuhnya Kristen.
Anderson melukiskan bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang berdaulat, lantaran
konsep itu lahir dalam kurun waktu di mana Pencerahan dan Revolusi memporak-porandakan
keabsahan ranah dinasti berjenjang berkat pentahbisan oleh Tuhan sendiri. Konsep itu
beranjak matang di masa para pengikut paling setia pun dari agama universal mana pun tak
ayal lagi di hadang kemajemukan semua agama universal yang hidup, dan harus menghadapi
alomorfisme antara masing-masing klaim keimanan ontologis serta bentang kewilayahannya,
bangsa-bangsa yang bermimpi tentang kebebasan, dan andai pun di bawah lindungan Tuhan,
secara langsung tanpa perantara. Panji-panji dan penaksir kebebasan ini adalah negara
berdaulat.
Akhirnya, bangsa dibayangkan sebagai sebuah komunitas, sebab, tak peduli akan
ketidaksetaraan nyata dan eksploitasi yang mungkin lestari dalam tiap bangsa, bangsa itu
sendiri dipahami sebagai kesetiakawanan yang mendalam dan arahnya mendatar/horisontal.
Dalam 2 (dua) dasawarsa terakhir, rasa persaudaraan inilah yang memungkinkan begitu
banyak orang, jutaan jumlahnya, jangankan untuk melenyapkan nyawa orang lain, mereka
pun bersedia meregang nyawa sendiri demi pembayangan terbatas seperti itu. Kematian-
kematian itu menyeret kita ke hadapan problema pokok yang dibawa nasionalisme : apa yang
menjadikan pembayangan-pembayangan yang kian menciut dalam kerangka sejarah terkini
(tidak lebih dari dua abad saja) bisa menggugah pengorbanan kolosal seperti itu?. Dan
menurut Anderson bahwa permulaan jawabannya tergeletak di akar-akar budaya
nasionalisme. (Benedict Anderson, 1999 : 8 - 9)
Sejarawan Sartono Kartodirdjo menyatakan bahwa nasionalisme, sebagai tampilan
gejala historis, merupakan jawaban atas kondisi politik, ekonomi, dan sosial yang timbul
lantaran penjajahan :
 
.....tidak dapat disangkal lagi nasionalisme merupakan hasil yang paling penting
daripada pengaruh kekuasaan Barat di negeri-negeri Asia pada zaman modern...Hal
yang esensial bagi tujuan kami adalah, bahwa nasionalisme dan kolonialisme itu tidak
terlepas satu sama lain, dan terasa juga adanya pengaruh timbal- balik antara
nasionalisme yang sedang berkembang dan politik kolonial dengan ideologinya.
(Pengantar Sejarah Indonesia Baru : Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme
Sampai Nasionalisme, Jilid 2, Jakarta : Gramedia, 1990 : 58)
 
Proses-proses penciptaan “komunitas-komunitas imajiner” atau bangsa-bangsa ini,
menurut Anderson, melewati teritorialisasi keyakinan-keyakinan keagamaan, kemerosotan
kerajaan-kerajaan kuno, hubungan timbal balik antara kapitalisme dengan cetak-mencetak,
perkembangan bahasa resmi negara yang diangkat dari bahasa ibu/daerah tertentu, serta
konsepsi-konsepsi tentang waktu yang berubah. (Benedict Anderson, 1999 : xiii)
Sesungguhnya Anderson memandang bangsa atau nasion sebagai gejala yang relatif
modern sebagai konsekuensi modernisasi dunia barat di abad ke-20.
Modernisasi mendatangkan banyak perkembangan, seperti kemajuan ekonomi,
perluasan dan standarisasi pendidikan, kemajuan teknologi, perbaikan infrastruktur, sarana
komunikasi modern, pertumbuhan birokrasi, dan perkembangan bahasa baku untuk berbicara,
menulis, mengelola, dan memerintah. Karena perkembangan inilah dimungkinkan lahirnya
masyarakat besar manusia yang anggotanya merasa terikat satu sama lain. Masyarakat
tersebut oleh Anderson dinamakan “imagined community” disebut “imagined”, karena tak
seorangpun anggota bangsa atau nasion akan pernah melihat semua anggota yang lain,
namun ia merasakan adanya ikatan khusus tertentu dengan anggota-anggota lainnya. Dalam
keadaan-keadaan tertentu, misalnya perang, ia bahkan siap mengorbankan jiwa untuk
anggota-anggota lain yang tidak dikenalnya “ia mati untuk tanah air”.
Anderson menjelaskan bahwa bangsa atau nasion itu sebagai masyarakat manusia yang
tinggal di wilayah yang jelas batas-batasnya dengan rasa keterikatan horizontal yang
mendalam dengan budaya massa yang kurang lebih seragam, dan dengan semangat yang kuat
untuk menentukan nasib sendiri.
Tulisan Anderson bahwa bangsa atau nasion adalah hasil dari imajinasi orang-orang
yang membayangkan mereka berada dalam satu negara dan merasakan perasaan nasib serta
mitos tentang masa lampau bersama yang jaya, dalam konteks ini juga perlu dilihat secara
kritis. Imajinasi tentang bangsa atau nasion dalam konsep Anderson tetaplah mengacu pada
model bangsa-bangsa atau nasion-nasion yang tersedia dalam pengalaman barat.
Republik Indonesia adalah negara kebangsaan, dan negara kebangsaan merupakan
tempat dimana kita merasa ada ikatan alamiah satu sama lain lantaran kita semua memahami
bahasa yang sama, agama yang sama, atau apapun lainnya yang cukup kuat untuk menjalani
keragaman menjadi satu, dan membuat kita merasa berbeda dari yang lain. (Benedict
Anderson, 1999 : xii).
Dari narasi yang dikemukakan para ahli antropologi, sosiologi, dan budaya tersebut
dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya konsep Bangsa Indonesia Asli merupakan suatu
konsep yang sangat kompleks, dan bukan suatu konsep yang sudah seluruhnya jelas ; Bahkan
penelitian secara antropologi, sosiologi, dan kultural secara tegas membuktikan bahwa
bangsa Indonesia asli dapat dikatakan sebagai suatu kelompok ras hasil dari percampuran
antara ras dan/atau antar etnik yang sulit dibuktikan atau bahkan perlu dipertanyakan apakah
ada garis pemisah yang tegas untuk memahami konsep Bangsa Indonesia Asli yang mampu
menggambarkan realitas dan mampu menjawab keaslian bangsa Indonesia. Kita maklum
bahwa negara bangsa adalah sebuah kreasi ; Konstruksinya tidak pernah usai, dan dalam
keserasiannya, state building dan nation building adalah selalu sebuah proses menjadi bukan
suatu keadaan yang statis (becoming instead of being). Meminjam pemikiran Anderson
bahwa bangsa bukanlah entitas yang tetap dengan asal usul yang pasti pada peradaban kuno
tertentu ; Ia adalah komunitas politik yang dibayangkan. Kebangsaan dengan demikian tidak
harus dikonsepsikan berdasarkan landasan kesamaan rasial, dan atau antar etnik, ini argumen
utama yang sepantasnya menjadi jawaban dan realitas bangsa Indonesia. Dan Indonesia
sebagai sebuah identitas sebenarnya bukan sesuatu yang mati, tetapi memerlukan penafsiran
yang terus menerus (Sardono W. Kusumo, Kompas tanggal 13 Januari 2007, hal 13)
Dengan demikian Bangsa (nation) adalah suatu ‘konsepsi kultural’ tentang suatu
komunitas yang diimajinasikan sebagai entitas dari suatu kinship (kerabat) yang biasanya
diikat oleh suatu kemampuan self-rule. Negara (state) adalah suatu ‘konsepsi politik’ tentang
sebuah entitas politik yang tumbuh berdasarkan kontrak sosial yang meletakkan individu
kedalam kerangka kewarganegaraan (citizenship). Dalam kerangka ini, individu dipertautkan
dengan suatu komunitas politik (negara) dalam kedudukan yang sederajat di depan hukum.
Dengan kata lain bangsa beroperasi atas prinsip kekariban. Sedangkan negara beroperasi atas
prinsip hukum dan keadilan. (Dr. Yudi Latif, 2004: 17)
 
D. Konsep Yuridis “Bangsa Indonesia Asli” Menurut Konstitusi UUD 1945 &
Undang-Undang Kewarganegaraan

Dari berbagai teori tentang bangsa dan kajian mengenai konsep Bangsa Indonesia Asli
tersebut diatas menunjukkan makna relatif tentang konsep bangsa, dan tidak ada ukuran
objektif untuk menentukan apa yang benar-benar dimaksud dengan Bangsa Indonesia Asli.
Seiring dengan tumbuhnya gerakan nasionalisme pada awal abad 20. Gerakan tersebut
bertujuan meniadakan kekuasaan penjajah Belanda dan Jepang dengan keinginan kuat untuk
membentuk Negara Indonesia sendiri sampai di ujung perjuangan kemerdekaan Indonesia
konsep kebangsaan Indonesia kembali diperdebatkan dalam sidang BPUPKI dan PPKI yang
bertugas merumuskan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945);
Dalam sidang BPUPKI dibahas pula masalah orang asing dan statusnya nanti dalam
Negara Republik Indonesia (lihat pidato Liem Koen Hian dalam sidang BPUPKI Jakarta
tanggal 28 Mei, 22 Agustus 1945, Risalah Sidang BPUPKI, Jakarta Sekretariat Negara RI,
1990, hal 166-172) dan pada akhirnya konsep kebangsaan Indonesia dikukuhkan dalam
konstitusi UUD 1945.
Sejak kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945,
konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), UUD 1945 tak pernah bermaksud
menganut kebijaksanaan diskriminatif terhadap warga negaranya. Baik atas warga yang asli
pribumi maupun keturunan asing. Tetapi jika tidak segera didingatkan kembali oleh wakil-
wakil kelompok minoritas Protestan dan Katolik, kesan sikap diskriminatif UUD 1945 nyaris
terjadi. Yaitu pada anak kalimat di belakang sila “ke-Tuhanan Yang Maha Esa, dengan
kewajiban menjalankan syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Anak kalimat itu memang hanya mengenai rakyat yang beragama Islam. Namun wakil
kelompok minoritas itu mengingatkan, pencantuman ketentuan begitu dalam suatu dasar yang
manjadi pokok undang-undang dasar, berarti juga melakukan diskriminasi terhadap golongan
minoritas jika “diskriminasi” itu, (naskah berisi anak kalimat hasil perumusan Panitia
Sembilan tanggal 22 Juni 1945 yang kelak akan lazim dikenal dengan nama Piagam Jakarta)
akan ditetapkan juga (jadi Mukadimah UUD 1945), maka kelompok minoritas, khususnya di
kawasan Timur “terpaksa lebih suka berdiri di luar” Republik Indonesia. (Muhammad Hatta,
1978 : 454 – 456)
Krisis ketatanegaraan itu nyaris membelah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
belum genap berusia 1 (satu) hari itu, bisa diatasi dalam tempo 15 menit. Kuncinya
kenegarawanan Muhammad Hatta dan kearifan tokoh Islam Ki Bagus Hadikusumo, Wahid
Hasjim, KH. Karar Muzakir, H. Agus Salim, Kasman Singodimedjo, dan Teuku M. Hassan
mereduksi pemberlakuan syariat Islam bagi para pemeluknya adalah bentuk toleransi paling
nyata dalam sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia. Karena jika Negara Kesatuan
Republik Indonesia pecah, mudah dikuasai Belanda kembali lewat politik divide et impera
terutama luar Jawa dan Sumatera. Pencapaian monumental tersebut diresmikan pada tanggal
18 Agustus 1945 dengan diberlakukannya UUD 1945 tanpa konsepsi Piagam Jakarta.
Pada masa pembentukkan konstitusi UUD 1945 wadah kelahiran di tempat penyebaran
konsep, gagasan, dan ideologi “Bangsa Indonesia Asli” menjadi dasar nasionalisme dan titik
awal berkebangsaan konsep “Bangsa Indonesia Asli” untuk mengatasi konsep Hindia
Belanda dan Jepang.
Namun kesan diskriminatif konstitusional terhadap kelompok minoritas dalam UUD
1945, sesungguhnya masih ada. Yaitu tercantum pada persyaratan menjadi Presiden, UUD
1945 Pasal 6 (1) menyebut : Presiden ialah orang Indonesia asli.
Tetapi pencantuman kata asli itu juga didasari pertimbangan kedaruratan situasi ketika
itu. Demi menutup peluang, agar orang Jepang tidak bisa menjadi Presiden Indonesia ; Badan
yang bertugas menyusun undang-undang dasar, Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai (Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia– BPUPKI), meski 29 April 1945
sudah terbentuk, tapi baru bisa bersidang 28 Mei 1945 setelah diresmikan Pejabat Pemerintah
Pendudukan Militer Jepang, Saiko Sikikan Y. Nagano. Dan pada sidang BPUPKI tanggal 29
Mei, 30 Mei, dan 1 Juni 1945 disampaikan pidato Mr. Muhammad Yamin, DR. Supomo, dan
Bung Karno yang berisi rumusan-rumusan mengenai konsep kebangsaan Indonesia (Lihat
Muhammad Yamin, NASKAH PERSIAPAN UUD 1945, Jakarta, Yayasan Prapantja, : 87-
107, 109-121, dan 61-81), yang dalam perjalanan sejarahnya telah diterima rumusan tentang
konsep kebangsaan sebagai ideologi bangsa Indonesia dan menjadi dasar negara kita yakni
lima dasar negara yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
Pada awalnya konsep Bangsa Indonesia Asli tertera pada konstitusi UUD 1945 dalam
rangka menghadapi kedaruratan situasi ketika itu, sejak Negara Bangsa ini terbentuk, para
founding fathers sudah menyadari adanya persoalan yang tidak sederhana ini dan mencari
berbagai upaya untuk memecahkanya. Pada masa orde lama antara lain sejarah mencatat
Program Benteng 1951 dan PP 10 tahun 1959 yang dimaksudkan untuk memecah persoalan
polarisasi sosial Warga Negara asli dan Warga Negara tidak asli (Pri dan Non Pri; fakta
sejarah mencatat bahwa kedua kebijaksanaan tersebut terbukti gagal dan efektivitasnya
cenderung terbatas. Pada masa tahun 1945 sampai berlakunya dekrit presiden 5 Juli 1959
merupakan masa pengembangan konsep kebangsaan. Dalam kurun waktu itu terjadi usaha-
usaha untuk menggantikan konsep kebangsaan itu dengan konsep atau ideologi lain, yaitu
munculnya pemberontakan yang bersifat politis ideologis dan separatis.
Kemudian lahir orde baru dengan tujuan untuk melaksanakan UUD 1945 secara murni
dan konsekuen ternyata tidak berhasil, yang terjadi justru kebalikannya yakni hukum
berperan menjadi sarana untuk melanggengkan kekuasaan dan status quo; Selama orde baru,
banyak praktik hukum yang tidak aspiratif dan tidak demokratis, sebaliknya sebagai produk
hukum orde baru telah memberangus hak-hak warga negara yang diatur oleh UUD 1945 dan
hukum internasional, contoh konkrit sebagai ekspresi yang membawa implikasi praktek
politik hukum yang diskriminatif orde baru yaitu berusaha menggarap masalah Warga Negara
Indonesia Tionghoa secara serius, mendasar dan mendalam yaitu melalui politik hukum
pembuatan produk hukum yang berbentuk resolusi MPRS No. III/RES/MPRS/1966 tentang
Pembinaan Kesatuan Bangsa, seterusnya rezim orde baru yang berciri legalistik dalam
seluruh kebijaksanaan yang diambilnya selalu didasarkan pada format perundangan seperti
TAP MPR, UU, PP, Keppres, dan Instruksi Presiden dalam melaksanakan proses konsep
kebangsaan Indonesia. Untuk keperluan legalitas tersebut, maka sejak periode awal, salah
satu langkah untuk memecah persoalan etnik Tionghoa pemerintahan orde baru telah
mengeluarkan Instruksi Presidium Kabinet No. 31/U/IN/12/1966 kepada Menteri Kehakiman
RI untuk tidak menggunakan penggolongan penduduk Indonesia berdasarkan pasal 131 dan
163 IS dan Keppres No. 24 tahun 1967 tentang Kebijaksanaan Pokok yang menyangkut
Warga Negara Indonesia keturunan asing. Dalam konteks mengupayakan kesatuan dan
persatuan bangsa Indonesia dianggap perlu untuk meniadakan semua praktik yang mengarah
pada pemilahan atau pengkotak-kotakan golongan penduduk kepada Warga Negara Indonesia
Tionghoa dimungkinkan untuk mengganti nama mereka dengan nama-nama Indonesia
sebagaimana ditentukan dalam keputusan Presidium Kabinet Nomor 127/4/Kep/12/1966
tanggal 27 Desember 1966.
Pada orde baru proses produk hukum yang dimonopoli negara yang bersifat
diskriminatik kurang lebih 64 peraturan perundang-undangan bernuansa rasial dan tidak
demokratis, sebab telah menutup peluang bagi masyarakat dan Warga Negara Indonesia
Tionghoa untuk berpartisipasi, padahal produk hukum itu sendiri justru untuk mengatur
kepentingan mereka. Pada masa itu tercatat usaha untuk memecah persoalan serupa dengan
diterapkan kebijaksanaan asimilasi yang sesuai dengan kehendak penguasa dan sistem
asimilasi selalu dieksploitasi dan dijadikan komoditas politik; termasuk berbagai
kebijaksanaan pemerataan pembangunan yang dalam kenyataannya terbukti tidak efektif dan
hasilnya juga terbatas, bahkan justru berkembang semakin tajam konfigurasi pemilahan sosial
Warga Negara asli dan Warga Negara tidak asli (Pri – Non Pri). Oleh sebab itu ditinjau dari
segi kehidupan kebangsaan Indonesia pada masa orde baru, mendorong perkembangan
politik hukum diskriminatif dan tidak demokratis serta tidak sesuai dengan acuan yang
disepakati dan dipersembahkan oleh para founding fathers  maupun Pancasila dan UUD
1945. Selama periode orde baru dalam penyelenggaraan ketentuan konstitusi sehari-hari,
telah berkembang semacam politik diskriminatif yang diterapkan pemerintah nasional pada
kelompok warga negaranya? Secara resmi praktek politik semacam itu cepat dibantah dengan
aneka legitimasi dan justifikasi. Namun secara nyata, pihak yang terkena baik kelompok
minoritas maupun mayoritas, rasa diperlakukan diskriminatif niscaya sulit dibantah. Apalagi
jika diskriminasi itu dilatari perbedaan asal, suku, agama atau kategorisasi lain.
Kalau dilihat dari sisi konstitusi seperti tersebut dalam Pasal 26 UUD 1945 (sebelum
amandemen) menentukan bahwa yang menjadi warga negara ialah orang-orang Bangsa
Indonesia Asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai
warga negara. Selanjutnya ditentukan bahwa syarat yang mengenai kewarganegaraan negara
ditetapkan dengan undang-undang.
Dari bunyi pasal tersebut belumlah dapat menentukan siapakah yang dianggap menjadi
Warga Negara Indonesia pada saat UUD 1945 disahkan oleh PPKI (Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia), pasal tersebut menghendaki pengaturan lebih lanjut mengenai
kewarganegaraan diatur dengan undang-undang, baru 9 (sembilan) bulan kemudian setelah
kemerdekaan Republik Indonesia mulai terbentuk undang-undang organik yaitu pada tanggal
10 April 1946 diumumkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1946 Tentang Warga Negara,
Penduduk Negara yang mengalami beberapa kali perubahan yaitu dengan Undang-Undang
Nomor 6 dan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1947 serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun
1948.
Sumber hukum utama Undang-Undang Kewarganegaraan Indonesia sebagai pegangan
siapa yang menjadi Warga Negara Indonesia adalah Pasal 26 UUD 1945. Yang menentukan
Warga Negara Indonesia adalah orang-orang Bangsa Indonesia Asli dan orang bangsa lain
yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. Jadi secara yuridis
konstitusional di sini dibedakan antara orang Bangsa Indonesia Asli dan orang bangsa lain.
Siapakah yang dimaksud dengan orang-orang Bangsa Indonesia Asli tersebut?, Dalam
penjelasan UUD 1945 tidak ada penjelasannya, sehingga menurut hukum tata negara
ditafsirkan berdasarkan pengertian yuridis sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor
3 Tahun 1946 yang menyatakan bahwa Warga Negara Indonesia ialah orang yang asli dalam
negara Indonesia. Dan perlu ditegaskan bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1946
merupakan Undang-Undang Kewarganegaraan pertama kali dibentuk oleh  founding fathers
yang secara tegas dalam penjelasannya menegaskan bahwa “dalam Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1946 ini sama sekali tidak berdasarkan atas ras criterium”
Sedangkan dimaksud dengan orang-orang bangsa lain oleh Penjelasan UUD 1945
diberikan contoh misalnya orang peranakan Belanda, peranakan Tionghoa, dan peranakan
Arab yang bertempat tinggal di Indonesia, mengakui Indonesia sebagai tanah airnya, dan
bersikap setia kepada wilayah negara Republik Indonesia, dapat menjadi warga negara,
secara yuridis merupakan syarat-syarat konstitusional yang mutlak harus dipenuhi,
sebagaimana dimaksud Pasal 26 ayat (2) UUD 1945 (sebelum amandemen) secara tegas
menentukan syarat-syarat mengenai kewarganegaraan ditetapkan dengan Undang-Undang.
Hal ini menunjukkan secara konstitusional bahwa untuk orang-orang bangsa Indonesia asli
secara otomatis merupakan warga negara, sedangkan bagi orang-orang bangsa lain untuk
menjadi warga negara harus disahkan terlebih dahulu dengan Undang-undang.
Dengan demikian setiap orang, apapun rasnya, bangsa, atau suku bangsa (etnis), warna
kulit, rambut, keturunan, dan sebagainya, asal telah menjadi Warga Negara Indonesia
bertempat kedudukan di Indonesia, mengaku Indonesia sebagai tanah airnya, bersikap setia
kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia dan disahkan menjadi Warga Negara Indonesia
berdasarkan Undang-undang kewarganegaraan Republik Indonesia Nomor: 3 Tahun 1946
maka orang tersebut adalah Warga Negara Indonesia asli yang mempunyai hak dan kewajiban
yang sama. Hal ini mengandung makna bahwa konsep kebangsaan Indonesia tidak
berdasarkan konsep etnis serta tidak memandang hak dan kewajiban atas dasar perbedaan
ciri-ciri eksklusif dan diskriminatif. Konsepsi Nation atau bangsa seperti inilah sesungguhnya
dipersembahkan oleh para founding fathers kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sejalan dengan pengertian orang-orang Bangsa Indonesia “Asli” tersebut dapat pula
kita lihat Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 (sebelum amandemen) Tentang Presiden; Yang
berbunyi: “Presiden ialah orang Indonesia asli“, oleh pembentuk undang-undang pengertian
tersebut dianggap telah jelas, sehingga tidak perlu lagi diberikan suatu penjelasan mengenai
hal itu.
Senafas dengan pengertian orang-orang Bangsa Indonesia “Asli” juga kita lihat pada
Pasal 1 huruf (a) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1946 menegaskan bahwa : “Warga Negara
Indonesia ialah orang yang asli dalam negara Indonesia “ dan kemudian dalam huruf (b)
ditentukan bahwa orang peranakan yang lahir dan bertempat tinggal di Indonesia paling
sedikit 5 (lima) tahun  paling akhir dan berturut-turut serta berumur 21 (dua puluh satu) tahun
juga adalah Warga Negara Indonesia.
Interpretasi tentang pengertian orang-orang Bangsa Indonesia “Asli” di dalam Pasal 26
dan Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 (sebelum amandemen) dengan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1946 lebih bersifat yuridis konstitusional, bukan bersifat biologis etnik ataupun
sosiologis kultural. Namun didalam pelaksanaanya ketentuan tersebut menimbulkan keragu-
raguan mengenai kriteria atau batasan mengenai orang-orang bangsa Indonesia asli menjadi
tidak jelas dan mengandung persoalan hukum diskriminatif pada pelaksanaan hukum
kewarganegaraan.
Undang-Undang Kewarganegaraan Indonesia Nomor 3 Tahun 1946 sesungguhnya telah
memberi kebebasan pada etnik minoritas untuk memilih atau menolak kewarganegaraan
Indonesia. Tetapi karena situasi Republik Indonesia pada masa itu diwarnai dengan situasi
revolusi, pelaksanaan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1946 jauh dari memuaskan. Warga
Tionghoa pada masa itu terjepit antara berbagai kepentingan, baik kepentingan Nasional
maupun Internasional, karena banyak diantara mereka masih ragu untuk menjadi Warga
Negara Indonesia. Menurut mereka menjadi Warga Negara Indonesia akan menghilangkan
ketionghoaan mereka. Sebagian besar mereka juga merasa diri bukan orang Indonesia, dan
pada saat itu Pemerintah Indonesia tidak bisa memberikan kepastian Hukum. Bahkan
Undang-Undang yang mengatur Kewarganegaraan dalam praktiknya justru mempersulit
Warga Tionghoa untuk menjadi Warga Negara Indonesia. Disisi lain, pemerintah Republik
Rakyat Tionghoa masih memberlakukan sistem Kewarganegaraan ganda bagi Warga
Tionghoa di perantauan.
Dalam situasi tersebut kemudian diberlakukan Undang-Undang Kewarganegaraan
Nomor 62 Tahun 1958 ternyata tidak terdapat suatu definisi tentang orang-orang Bangsa
Indonesia Asli. Pemerintah pada masa itu memberi alasan hukum bahwa tidak perlu untuk
mengadakan definisi tersendiri dari apa yang dimaksudkan dengan istilah Warga Negara
Indonesia karena hubungan itu termasuk ilmu hukum (Rechtswetenchap). Tidak pada
tempatnya untuk sesuatu Undang-Undang Kewarganegaraan memberikan perumusan tentang
apa yang diartikan dengan istilah Warga Negara ini (Sudargo Gautama, 1983 : 30). Menurut
Sudargo Gautama, bahwa pendirian pemerintah memang tepat. Dalam suatu Undang-Undang
Kewarganegaraan hanya ditentukan siapa saja Warga Negara, bagaimana cara memperoleh
dan kehilangan status tersebut. Apa yang diartikan dengan pengertian itu, apa yang termasuk
isi dari status  Warga Negara itu tidaklah dapat dibaca dalam Undang-Undang
Kewarganegaraan. Materi ini termasuk dalam bidang ilmu hukum, terdapat dalam buku-buku
pelajaran ilmu hukum dan dalam pelbagai peraturan-peraturan yang memberi isi kepada
paham kewarganegaraan ini (Sudargo Gautama, 1983 : 30).
Dari perjalanan panjang perumusan konsep Bangsa Indonesia Asli tersebut, landasan
konstitusionalnya di dalam amandemen Pasal 26 UUD 1945 dirumuskan kembali dengan
nafas yang sama yaitu :
 Yang menjadi Warga Negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan
orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan Undang-Undang sebagai
Warga Negara.
 Penduduk ialah Warga Negara Indonesia dan Orang asing yang bertempat
tinggal di Indonesia.
 Setiap Warga Negara dan penduduk diatur dengan Undang-Undang.
Setelah Pasal 26 UUD 1945 diamandemen dan kemudian telah dibentuk Undang-
Undang organik yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006, konsep dan pengertian orang-
orang Bangsa Indonesia Asli masih menyisakan persoalan politik yang tidak tuntas, sekalipun
fakta politik persoalan kewarganegaraan Indonesia yang berdimensi diskriminatif, yaitu
dikenal dengan istilah Pribumi dan Non Pribumi sudah mulai ditinggalkan, bahkan secara
khusus Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan komitmen pemerintah yang tidak
memberlakukan diskriminasi atas dasar apapun, apakah itu suku, ras atau agama semua
warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama dan kita tidak lagi mengenal warga
Pribumi dan Non Pribumi meskipun warga asli atau keturunan semua mempunyai hak
pelayanan publik yang sama (Kompas, 25 Pebruari 2007).
Konsep orang-orang bangsa Indonesia asli sebagaimana dikonstruksikan dan
dirumuskan Undang-Undang Kewarganegaraan baru yaitu Undang-Undang Nomor 12 tahun
2006 menawarkan sebagai solusi bagi penyelesaian persoalan hukum kewarganegaraan yang
timbul dimasa orde baru dan sekaligus menghilangkan diskriminasi dari peraturan-peraturan
yang ada sebelumnya, upaya koreksi terhadap kekeliruan orde baru dalam menerapkan
konsep kebangsaan berdasarkan siasat kesatuan dan persatuan yang telah secara sistematik
melenyapkan arti keberagaman dan menekan perbedaan dengan suatu budaya unilateral.
Oleh karena itu, dengan berlakunya  Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
diharapkan masyarakat Indonesia yang bersifat plural dan multikultur lebih terjamin keadilan
dan kepastian hukum bagi semua pihak, terutama dalam pengakuan akan pluralisme kultural
dan keterikatan etnik tertentu terhadap budaya dan komunitas etniknya sendiri tidak lagi
mengalami kesulitan menjadi Warga Negara Indonesia sebagai identitas Bangsa Indonesia
Asli sebagaimana dimaksud dari ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
menentukan bahwa “Yang menjadi Warga Negara Indonesia adalah orang-orang Bangsa
Indonesia Asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai
Warga Negara.” Dalam penjelasan Pasal 2 tersebut menerangkan pengertian orang-orang
Bangsa Indonesia Asli adalah “Warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah
menerima kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri”. Kemudian ketentuan pasal 4
menegaskan bahwa anak yang dilahirkan di wilayah Negara Republik Indonesia dianggap
Warga Negara Indonesia sekalipun status Kewarganegaraan orang tuanya tidak jelas, hal ini
berarti secara yuridis ketentuan ini oleh pembentuk Undang-Undang dimaksudkan se dapat
mungkin mencegah timbulnya keadaan tanpa kewarganegaraan dan memberi perlindungan
terhadap segenap Warga Negara Indonesia.
Pemikiran pembentuk Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 dilihat dari segi
perspektif hukum kewarganegaraan mengandung makna bahwa kata orang-orang Bangsa
Indonesia asli ditentukan oleh keaslian berdasarkan tempat kelahiran. Dengan demikian
penjabaran Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 mengenai konsep bangsa Indonesia asli
tidak didefinisikan berdasrkan etnis, melainkan berdasarkan pada hukum bahwa keaslian
Warga Negara Indonesia ditentukan berdasarkan tempat kelahiran dalam wilayah Negara
Republik Indonesia.
Oleh karena itu, dengan menerapkan asas kelahiran (ius soli), orang yang lahir di
wilayah Negara Republik Indonesia sekalipun status kewarganegaraan orang tuanya tidak
jelas wajib mendapatkan perlindungan dan kepastian hukum, karena mereka adalah warga
negara Republik Indonesia. Titik berat diletakkan asas kelahirannya dalam wilayah negara
Republik Indonesia dengan tujuan supaya tidak ada anak yang lahir menjadi apatride. Namun
Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru menganut asas Ius soli secara terbatas, yang
diberlakukan terbatas bagi anak-anak dan anak-anak  tersebut setelah berusia 18 tahun atau
sudah kawin harus menggunakan hak opsinya yaitu anak-anak tersebut harus menentukan
kewarganegaraannya sesuai dengan ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2006 memberi penegasan mengenai hak opsi dalam hal penentuan kewarganegaraan
seseorang.
Hal ini berarti bahwa semua Warga Negara Indonesia dan/atau lahir di Indonesia, tidak
peduli etnis Tioghoa, Arab, India dan lain-lain. Semuanya dianggap Warga Negara Indonesia
asli. Konsekuensi yuridisnya semua Warga Negara Indonesia keturunan yang sudah menikah 
dan mempunyai keturunan yang sudah lahir di wilayah Negara Republik Indonesia demi
hukum menjadi orang-orang bangsa Indonesia asli karenanya secara yuridis tidak diperlukan
lagi membuat Surat Bukti Kewarganegaraan  Republik Indonesia (SBKRI) melainkan cukup
menunjukkan akta kelahiran saja.
Interpretasi tentang pengertian orang-orang Bangsa Indonesia Asli ini, setidak-tidaknya
telah memperjelas pengertian “Asli” yang bersifat yuridis konstitusional yang tidak dapat kita
abaikan sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 26 dan Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 (sebelum
amandemen) dengan Pasal 1 huruf (a) dan (b) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1946,
sehingga mereka yang menjadi warga negara Republik Indonesia berdasarkan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2006 sama aslinya seperti yang dimaksud asli berdasarkan
proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 ditetapkan oleh Konstitusi UUD 1945 dan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1946 bahwa Warga Negara Indonesia sejak kelahirannya
adalah orang-orang Bangsa Indonesia Asli dalam negara Republik Indonesia secara otomatis
menjadi warga negara Republik Indonesia.
Landasan konstitusional dan ketegasan siapa orang-orang Bangsa Indonesia Asli
berdasar UUD 1945 dipertegas secara yuridis dengan berlakunya Undang-Undang
Kewarganegaraan baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 berikut penjelasan dan Pasal 4
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 telah memperjelas dan mempertegas kedudukan dan
kepastian hukum bagi setiap Warga Negara Indonesia yang sejak kelahirannya di wilayah
Negara Republik Indonesia dengan ketentuan yang bersangkutan tidak pernah menerima
kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri adalah Bangsa Indonesia Asli, hal yang sama
berlaku juga terhadap anak yang dilahirkan di wilayah Negara Republik Indonesia dianggap
Warga Negara Indonesia sekalipun status kewarganegaraan orang tuanya tidak jelas.
Konsep Bangsa Indonesia Asli yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2006 merupakan upaya pembentuk Undang-Undang untuk meluruskan makna dan sekaligus
mewujudnyatakan pemikiran yang dibangun di atas prinsip konsep harmonisasi yang senafas
dan sejalan dengan ketentuan Pasal 26 ayat (1) dan Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 (sebelum dan
setelah amandemen); batasan yuridis mengenai bangsa Indonesia asli telah saling mendekati
dan saling menguatkan dengan konsep yang tertera pada Undang-Undang Nomor 3 tahun
1946, sehingga dengan demikian sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
dilihat pada tataran yuridis konstitusional terutama dalam interpretasi tentang pengertian
Warga Negara Indonesia sejak kelahirannya di wilayah Negara Republik Indonesia dan yang
bersangkutan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain dan/atau sekalipun status
kewarganegaraan orang tuanya tidak jelas berdasarkan batasan yuridis dalam Undang-
Undang Nomor 12 tahun 2006 tetap diakui sebagai orang-orang Bangsa Indonesia Asli.
Sejak era reformasi kita telah mengalami begitu banyak perubahan didalam sistem
ketatanegaraan Indonesia, Undang-Undang 1945 telah di amandemen dengan memasukan
semangat kesetaraan antara semua Warga Negara, tanpa membedakan asal usul keturunanya.
Seperti pasal 6 Undang-Undang  Dasar 1945 sebelum diamandemen mensyaratkan seorang
untuk menjadi Presiden haruslah “orang Indonesia asli” setelah diamandemen perkataan itu
dihapuskan dan diganti dengan kata-kata “Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus
seorang Warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima
Kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri. Dengan demikian siapa saja tanpa
membedakan asli dan bukan asli, sepanjang yang bersangkutan memenuhi rumusan ketentuan
yang baru ini dapat maju ke pencalonan Presiden (sambutan Presiden tanggal 4 Pebruari 2006
pada perayaan Tahun Baru Imlek 2557).
Dengan demikian amanat ketentuan Pasal 6 dan pasal 26 Undang-Undang Dasar 1945
setelah amandemen memiliki jiwa yang senafas dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2006 secara yuridis memberi batasan atau kriteria orang-orang bangsa Indonesia asli
berdasarkan tempat kelahiran dan sepanjang yang bersangkutan memenuhi ketentuan
Undang-Undang Kewarganegaraan tersebut demi hukum semua Warga Negara Indonesia
keturunan, termasuk pula Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa yang meliputi
golongan Tionghoa peranakan dan Tionghoa Totok yang sejak kelahirannya di wilayah
Negara Republik Indonesia, sudah menikah dan mempunyai keturunan dalam hitungan
beberapa generasi, tinggal dan mencari nafkah di Indonesia dan pada umumnya sudah
berbaur dengan masyarakat Indonesia secara yuridis konstitusional dan berdasarkan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2006 mereka adalah orang-orang Bangsa Indonesia Asli dan
menjadi anggota penuh warga bangsa Indonesia yang harus diperlakukan sederajat dengan
Warga Negara Indonesia lainnya yang berasal dari berbagai golongan dalam masyarakat, baik
dari segi agama, ras, suku bangsa (etnis), kultural, bahasa maupun profesi. Oleh karena itu
mereka mempunyai hak dan kewajiban, tugas dan tanggung jawab yang sama dengan sesama
anggota warga Indonesia yang lain.
Dan fakta sosiologis yuridis bahwa sebagian besar dari keturunan Tionghoa Peranakan
dan keturunan Tionghoa Totok telah ada dan lahir di Indonesia sejak Indonesia menyatakan
kemerdekaannya dan mengakui Negara Republik Indonesia sebagai tanah airnya, bahkan
sudah menggunakan bahasa Indonesia sebagai komunikasi sehari-hari, baik di dalam maupun
di luar rumah, bertingkah laku seperti pada umumnya keturunan Indonesia asli lainnya, dan
orientasi budaya mereka pun sudah menyatu kepada kebudayaan lokal tempat mereka
berdomisili seperti kita saksikan pada keturunan Tionghoa Benteng di kampung belakang
Kamal, Kalideres, Tangerang. Sebagian dari mereka belum sepenuhnya menerima hak-hak
yang layak selaku warga negara sekalipun secara legal telah memiliki kedudukan formal dan
payung hukum yang memberi jaminan hak-hak mereka sebagai warga negara. Dengan
berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 sudah semestinya Warga Negara
Indonesia keturunan Tionghoa Benteng dan Warga Negara Indonesia keturunan
lainnya secara otomatis menjadi Warga Negara Indonesia, tidak diperlukan lagi melalui
proses naturalisasi untuk dianggap sebagai Warga Negara Indonesia asli.
Menurut Ariel Heryanto bahwa kaum pejuang Nasionalis Indonesia yang awal, punya
wawasan sama dengan tahun akademisi mutakhir yang mempelajari sejarah dan politik
berdirinya bangsa-bangsa di dunia. Menurut mereka, bangkitnya “bangsa-negara” bukan
sebuah peristiwa alam atau takdir Ilahi, melainkan sebuah keputusan politik dan hukum yang
sadar oleh sebagian kalangan terdidik, yang kemudian didukung khalayak umum. Bangsa dan
negara hanya ada karena diadakan oleh sebuah proses dan birokrasi modern. Nasion
dipahami sebagai sebuah proyek besar yang didukung secara bebas dan sukarela oleh orang
dari berbagai warna kulit, jenis kelamin, atau keturunan, tapi bersepakat untuk menjadi
sederajat.
Dalam pemahaman seperti itu tidak ada warga negara yang bisa “asli”, seperti halnya
tidak ada bangsa yang “asli”. Semuanya merupakan hasil “bikinan”, “rekaan”, “rekayasa”
yang cemerlang. Maka, status kewarganegaraan setiap orang bisa saja bersifat sementara
(bukan takdir yang mutlak dan fatal), bisa sewaktu-waktu dipilih, ganda, diganti, atau
diminta.
Selanjutnya Ariel Heryanto menegaskan bahwa Undang-Undang Kewarganegaraan
yang baru telah merombak pengertian warga negara dan memasukkan semua kaum minoritas
berbagai etnis sebagai “orang Indonesia asli”. Niatnya terpuji : menciptakan kesetaraan,
keadilan, dan persaudaraan. Sebagian perumusannya mengaku melakukan dekolonialisasi
hukum Indonesia. Sayang, bahasa yang dipakai untuk niat baik ini agak rancu, kadaluarsa,
dan kelewat kolonial. ”Indonesia asli” merupakan sebuah istilah yang bertentangan dengan
dirinya sendiri, seperti ungkapan “bayi tua renta”, “kuyup kering”, atau “ledakan sunyi”.
Kalau sesuatu disebut Indonesia, ia tidak mungkin asli ; Kalau asli tidak mungkin Indonesia.
Akan lebih tepat bila niat baik itu dipahami dan dirumuskan sebaliknya : kita setara karena
sama-sama tidak asli Indonesia. Dalam wawasan kebangsaan modern, kita semua sama-sama
nonpribumi, migran, alias hoakiao. Bangsa-negara yang paling awal menerima dan
menyadari hal ini, tanpa sesal, tapi bangga, telah menjadi berjaya: seperti Kanada, Amerika
Serikat, Australia, dan Singapura.
Baik secara material maupun historis, berbagai bangsa-negara di dunia selalu
mengandaikan percampuran, gado-gado, kemajemukan etnis, tradisi, agama, bahasa. Juga
Indonesia. (Ariel Heryanto : Majalah Tempo, tanggal 23 Juli 2006 : 34)
Secara historis konsep Bangsa Indonesia Asli dari perjalanan panjang Konstitusi UUD
1945 (sebelum dan setelah di amandemmen), Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1946,
Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 sampai berlakunya Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2006 semestinya dipahami sebagai konsekuensi logis dari pluralitas kebangsaan kita
dalam ikatan kebangsaan Indonesia. Dengan fakta pluralitas kebangsaan kita maka untuk
memperoleh status kewarganegaraan Indonesia sudah semestinya aparatur Negara harus
mampu menegakkan prinsip-prinsip supremasi hukum yang memahami pluralitas kebangsaan
kita sehingga hak-hak dan kewajiban politik tidak diikatkan kepada etnis/etnik/suku/ras,
kepercayaan, adat istiadat, agama dan kultural tertentu, melainkan kepada individu yang
memiliki kedudukan yang sama dihadapan hukum.
Implementasi Undang-Undang Kewarganegaraan dan politik hukum perundang-
undangan kewarganegaraan Indonesia dimasa depan diharapkan menuju pada semangat
menghilangkan perbedaan antara sesama Warga Negara Indonesia dengan bertitik tolak dari
nilai-nilai dan cita-cita serta dinamika batin perjalanan sejarah bangsa Indonesia untuk
menjadi suatu nation yang sedang berada dalam pertumbuhan, dengan sekaligus
mengukuhkan kerangka norma-norma dan nilai-nilai utuh terpadu yang telah lama ada dan
telah berakar dalam jati diri bangsa Indonesia; ide tentang negara bangsa Indonesia
(Staatsidee) dan konsep kebangsaan Indonesia telah dikukuhkan dalam Konstitusi UUD
1945. Hal ini mungkin sekali terjadi, oleh karena nilai-nilai konsep kebangsaan Indonesia
didasarkan atas kesamaan cita-cita dan aspirasi kemasyarakatan bahwa keindonesiaan dalam
keanekaragaman merupakan pilihan yang terbaik bagi terselenggaranya kehidupan sebagai
bangsa dan negara yang sedang berada dalam keadaan pertumbuhan itu sesuai dengan nilai-
nilai konsep kebangsaan Indonesia diangkat dari kondisi priil masyarakat Indonesia yang
plural dan multikultural. Artinya konsep kebangsaan Indonesia itu bukan didasarkan pada
ikatan atau kesamaan etnik, ras, agama, dan kepercayaan, adat istiadat, serta kultural.
Dengan latar belakang pemahaman bahwa masyarakat Indonesia bersifat plural dan
multikultural maka kehadiran peraturan perundang-undangan kewarganegaraan baru dengan
asas dan nilai baru, tetap mengacu dan didasarkan pada nilai-nilai yang terkandung di dalam
konstitusi UUD 1945 (baik sebelum maupun sesudah amandemen) dan nilai-nilai yang
terkandung di dalam pola kehidupan yang menghargai pluralisme dan multikuralisme
Indonesia dengan bersendikan pada Pancasila. Dengan kata lain perubahan dan perombakan
pengertian Warga Negara dan memasukkan semua kaum minoritas berbagai ras dan/atau etnis
sebagai Bangsa Indonesia Asli dimungkinkan asalkan tidak merusak harmoni wawasan
kebangsaan Indonesia, karena perubahan terhadap norma-norma yang telah lama ada dan
telah berakar dapat menyebabkan disharmoni, namun hal ini dianggap wajar sejauh diikuti
oleh sesuatu usaha ke arah pembentukan harmoni wawasan kebangsaan Indonesia yang
responsif terhadap perbedaan dan kemajemukan masyarakat. Dalam hal ini pluralisme dan
multikulturalisme adalah prasyarat yang harus diterima bukan ditakuti. Mengingat bahwa
yang bernaung dalam kerangka negara bangsa adalah komunitas politik ; selama konsep
Bangsa Indonesia Asli mendapatkan ruang dalam komunitas politik tersebut maka sama
sekali tidak ada alasan untuk semua kaum minoritas berbagai ras dan/atau etnis, agama dan
kepercayaan, adat istiadat, serta kultural sebagai bangsa Indonesia melepaskan diri dari
kerangka negara bangsa Indonesia.
 
E. Pelaksanaan Otonomi Daerah Dan Wawasan Kebangsaan
Perlu dicermati akan timbulnya persoalan baru dalam perspektif politik pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi dengan Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang pemberian otonomi yang luas kepada pemerintahan daerah telah
menimbulkan sejumlah persoalan politik hubungan Pemerintah  pusat dan daerah, antara lain
dibeberapa daerah terus bergolak menuju peguatan basis etnik yang diaktualisasikan dalam
tuntutan penerapan demokrasi di semua sektor kehidupan, berikut munculnya kekuatan
egoisme daerah dan kesukuan serta terjadinya konflik horisontal dan vertikal akibat praktik
demokrasi pemilihan kepala daerah. Apakah implementasi Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2006 tentang Kewarganegaraan Indonesia pada tingkat daerah tidak tertutup kemungkinan
terjadi birokrasi pemerintahan mempergunakan hak-hak dan kekuasaan yang dipercayakan
dan diamanatkan dalam Undang-Undang Kewarganegaraan digunakan sebagai alat untuk
memaksakan kemauan atas rakyat untuk kepentingan politik sendiri ataupun kepentingan
golongan, mengingat munculnya kekuatan egoisme daerah dan kesukuan yang beragam
kepentingan membuat potensi konflik maupun perlakuan diskriminatif terhadap sesama
warga negara, mengingat munculnya konflik kedaerahan yang makin marak akhir-akhir ini
disebabkan kurangnya pemahaman wawasan kebangsaan sebagian besar masyarakat.
Parahnya lagi banyak tokoh masyarakat dan pemimpin yang tidak mencerminkan sifat
dan watak pemimpin yang nasionalis dan berwawasan kebangsaan Indonesia melainkan lebih
menonjolkan adanya keterikatan suatu kelompok etnik terhadap nilai-nilai budaya dan
komunitas etniknya sendiri. Dengan kata lain yang terjadi adalah kenyataan bahwa
kelompok-kelompok masyarakat dengan terus mempertahankan identitas etnik masing-
masing. Dengan demikian, hingga jarak tertentu identitas sebagai Bangsa Indonesia justru
lebih jelas dalam identitas kultural kejawaan, kemakasaran, kebatakan, keacehan,
keminangan, dan lain-lain sebagainya.
Terdorong oleh derasnya arus kebebasan dan keterbukaan dewasa ini menyebabkan
mereka kurang peduli tehadap masyarakat lain sehingga muncul konflik-konflik kedaerahan
yang merebak dimana-mana terutama sejak era reformasi masyarakat majemuk Indonesia
tampak kesulitan untuk menerapkan integrasi kedalam “nation” Indonesia sebagai akibat
euforia politik. Harapan kita dalam perspektif yang lebih luas, diperlukan usaha
meningkatkan pendekatan kesatuan dan persatuan bangsa merupakan usaha yang mendesak;
sebab bila hal ini terabaikan, tidak tertutup kemungkinan dapat terjadi sumber ancaman yang
potensial dan sumber kerawanan sosial kultural, rasial, ekonomi, dan politik yang bersifat
disintegratif dan akan mengganggu pemerintahan dan pembangunan nasional.
Dalam konstelasi pemikiran diatas dan munculnya konflik-konflik kedaerahan yang
merebak, jenis konflik yang terjadi diantaranya konflik politik bercirikan vertikal dan
struktural, aksi anarkis di berbagai daerah yang terkait dengan pemilihan kepala daerah dan
munculnya kekuatan egoisme daerah serta kesukuan, jelas menunjukkan  masih rendahnya
kesadaran demokrasi masyarakat serta lemahnya wawasan kebangsaan Indonesia; karenanya
perlu pendekatan kesatuan dan persatuan bangsa yang berangkat dari penghargaan terhadap
pluralisme dan multikularisme untuk menghindarkan dan menjauhkan serta menghilangkan
benak dan sikap egoisme daerah dan kesukuan, diskriminasi, saling membedakan diantara
berbagai golongan dan masyarakat, baik dari segi agama, ras, suku bangsa, kultural, dan
kepentingan politik serta ekonomi. Pemerintah dari pusat sampai ke daerah dan segenap
aparatnya perlu mendukung pendekatan kesatuan dan persatuan bangsa secara langsung,
konkrit, dan nyata. Pluralisme dan multikularisme di Indonesia harus tetap berlangsung
dalam kerangka Bhineka Tunggal Ika. Dalam negara menganut paham kebangsaan Indonesia,
semestinya memiliki ikatan wawasan kesejarahan kebangsaan berkesinambungan dan
wawasan kebangsaan Indonesia adalah bentuk final Negara Republik Indonesia.
Pemberlakuan Undang-undang Kewarganegaraan Nomor 12 Tahun 2006 secara sama
bagi setiap warga berarti Undang-Undang mengakui eksistensi pluralisme dan
multikulturalisme masyarakat Indonesia. Selanjutnya membuka peluang terjadinya perubahan
politik hukum kewarganegaraan di Indonesia, karenanya setting politik hukum
kewarganegaraan yang mengakomodasi pluralisme dan multikultural tidak terbatas pada
terpenuhinya asas legalitas, tetapi lebih diutamakan aspek legitimasinya dan implementasi
Undang-Undang Kewarganegaraan memberi arti penting bagi masyarakat majemuk
Indonesia untuk berintegrasi kedalam “Nation” Indonesia.
 
F. Penutup
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
Republik Indonesia secara yuridis telah mempertegas konsep Bangsa Indonesia Asli,
memperkokoh konsep kebangsaan Indonesia yang tidak berdiri sendiri, sejak semula konsep
kebangsaan Indonesia memang tidak berdasarkan atas kesamaan ras, etnik (suku bangsa),
bahasa, golongan, maupun agama. Konsep Bangsa Indonesia Asli secara konstitusional
diakui dalam UUD 1945 maupun dalam Undang-Undang Kewarganegaraan yang tumbuh
sebagai jati diri bangsa yang diangkat dari pengalaman bersama di dalam sejarah, rasa
senasib dan sepenanggungan yang telah lama tumbuh dari masyarakat Indonesia yang plural
dan multikultural, beragam tetapi tetap menyatu, dalam kesatuan dan persatuan Indonesia.
Konsep kebangsaan Indonesia asli memperoleh acuannya secara ideologis dalam
Pancasila dan secara konstitusional dalam UUD 1945 serta secara organik diatur baik 
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1946, Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958, dan 
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006. Itu  berarti bahwa semua penyelesaian mengenai
konsep Bangsa Indonesia Asli haruslah bertitik tolak dari konsep tentang bangsa yang
terkandung dalam Pancasila maupun UUD 1945. Dalam konsep tersebut jelas bahwa
pengertian tentang bangsa atau nation Indonesia tidak sama dengan pengertian bangsa dalam
arti ras atau etnik, bahasa, golongan, maupun agama, sebagai konsep Bangsa Indonesia Asli
tidak didasarkan atas ras, etnik, bahasa tertentu, agama tertentu, kesamaan kepentingan,
ataupun batas-batas  alamiah yang dapat dilihat pada peta. Dapat dikatakan bahwa persepsi
atas konsep Bangsa Indonesia Asli berkembang dengan cara yang berbeda-beda pada setiap
periode perkembangan ketatanegaraan Republik Indonesia dan masalahnya terletak pada
problem legitimasi bukan suatu konsep yang sudah seluruhnya jelas. Problem legitimasi tidak
semata-mata berdasarkan pada tata tertib, norma hukum dan perundang-undangan yang
memenuhi asas legalitas hukum, melainkan juga harus memenuhi asas legitimasi hukum dan
iklim sosio kultural yang kondusif di dalam kehidupan hukum masyarakat Indonesia.
Konsep Bangsa Indonesia  Asli dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 pada
dasarnya bersifat politis kemasyarakatan yang mengakui pluralitas kebangsaan dan
kemajemukan masyarakat Indonesia suatu pilihan terbaik untuk kondisi masyarakat
Indonesia yang plural dan multikultural. Sikap mental dan kejiwaan dari semua pihak yang
berbeda-beda untuk menyatu padu dalam ikatan kesatuan kebangsaan adalah landasan pokok
paham kebangsaan Indonesia karenanya semua Warga Negara Indonesia keturunan yaitu
termasuk Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa, Arab, India dan lain-lainnya yang
sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 diperlakukan secara
diskriminatif dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang membedakan Warga
Negara Indonesia keturunan tidak boleh lagi terjadi dan wajib dihapus, agar semua warga
negara keturunan yang sudah lahir dan/atau status kewarganegaraan orang tuanya tidak jelas,
semuanya demi hukum menjadi orang-orang bangsa Indonesia asli.
Dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 pada essensinya mengakui semua Warga
Negara Indonesia sama, setara dan setujuan, Warga Negara Indonesia tidak dibeda-bedakan
atas dasar warna kulit, ras, suku bangsa/etnik, agama dan kultural karenanya semua warga
negara keturunan, siapapun dan dari etnik apapun, apakah keturunan Tionghoa, Arab, India
dan lain-lainnya yang lahir di Indonesia semua dianggap orang-orang bangsa Indonesia asli.
Mereka adalah warga Negara Indonesia. Sebuah Undang-Undang yang menjunjung tinggi
persamaan hak warga negara dan memberikan kemudahan kepada warga negara. diharapkan
dalam penerapan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 semua perlakuan diskriminatif
segera dihapus dari Bumi Pertiwi.
Ciri fisik maupun nilai-nilai primordial bukan merupakan dasar kesamaan dalam ikatan
kebangsaan Indonesia. Dan bangsa Indonesia tidak harus didefinisikan dalam arti Bangsa
Indonesia yang Pribumi. Bangsa Indonesia harus bangga akan kekayaan asal usul etnik yang
beragam. Perlu ditegaskan bahwa Indonesia merupakan sebuah konsep yang terdiri dari
keberagaman etnik, masing-masing etnis mengembangkan sifat komunalisme secara otonom
yang hidup berkembang dengan wajar dan alamiah dalam bentuk-bentuknya yang spesifik.
Masing-masing etnis kemudian terlibat pola interaksi intensif dan menghasilkan tata
pergaulan masyarakat beragam.
Dasar kesamaan yang menyatu padu menjadi satu bangsa justru terletak di dalam
kebhinekaan masyarakat Indonesia bersifat multidimensional, sebab dalam kebhinekaan
masyarakat Indonesia yang mempunyai keanekaragaman lingkungan-lingkungan tradisi,
kebhinekaan agama, ras, suku bangsa (etnik), bahasa, dan kebudayaan tersebut harus tetap
berlangsung bersatu dalam keindonesiaan. Kodrat bangsa Indonesia yang bhineka tidak dapat
dielakkan. Dan kebhinekaan masyarakat Indonesia merupakan sebuah kekuatan yang harus
didorong menjadi potensi kebersamaan untuk kepentingan bersama membangun bangsa
dengan rasa dan wawasan kebangsaan yang tinggi, mengutamakan kepentingan umum
(bangsa), bukan kepentingan pribadi serta menghargai kebebasan dan kesamaan derajat bagi
setiap anggota masyarakat.

You might also like