Professional Documents
Culture Documents
Dari berbagai teori tentang bangsa dan kajian mengenai konsep Bangsa Indonesia Asli
tersebut diatas menunjukkan makna relatif tentang konsep bangsa, dan tidak ada ukuran
objektif untuk menentukan apa yang benar-benar dimaksud dengan Bangsa Indonesia Asli.
Seiring dengan tumbuhnya gerakan nasionalisme pada awal abad 20. Gerakan tersebut
bertujuan meniadakan kekuasaan penjajah Belanda dan Jepang dengan keinginan kuat untuk
membentuk Negara Indonesia sendiri sampai di ujung perjuangan kemerdekaan Indonesia
konsep kebangsaan Indonesia kembali diperdebatkan dalam sidang BPUPKI dan PPKI yang
bertugas merumuskan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945);
Dalam sidang BPUPKI dibahas pula masalah orang asing dan statusnya nanti dalam
Negara Republik Indonesia (lihat pidato Liem Koen Hian dalam sidang BPUPKI Jakarta
tanggal 28 Mei, 22 Agustus 1945, Risalah Sidang BPUPKI, Jakarta Sekretariat Negara RI,
1990, hal 166-172) dan pada akhirnya konsep kebangsaan Indonesia dikukuhkan dalam
konstitusi UUD 1945.
Sejak kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945,
konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), UUD 1945 tak pernah bermaksud
menganut kebijaksanaan diskriminatif terhadap warga negaranya. Baik atas warga yang asli
pribumi maupun keturunan asing. Tetapi jika tidak segera didingatkan kembali oleh wakil-
wakil kelompok minoritas Protestan dan Katolik, kesan sikap diskriminatif UUD 1945 nyaris
terjadi. Yaitu pada anak kalimat di belakang sila “ke-Tuhanan Yang Maha Esa, dengan
kewajiban menjalankan syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Anak kalimat itu memang hanya mengenai rakyat yang beragama Islam. Namun wakil
kelompok minoritas itu mengingatkan, pencantuman ketentuan begitu dalam suatu dasar yang
manjadi pokok undang-undang dasar, berarti juga melakukan diskriminasi terhadap golongan
minoritas jika “diskriminasi” itu, (naskah berisi anak kalimat hasil perumusan Panitia
Sembilan tanggal 22 Juni 1945 yang kelak akan lazim dikenal dengan nama Piagam Jakarta)
akan ditetapkan juga (jadi Mukadimah UUD 1945), maka kelompok minoritas, khususnya di
kawasan Timur “terpaksa lebih suka berdiri di luar” Republik Indonesia. (Muhammad Hatta,
1978 : 454 – 456)
Krisis ketatanegaraan itu nyaris membelah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
belum genap berusia 1 (satu) hari itu, bisa diatasi dalam tempo 15 menit. Kuncinya
kenegarawanan Muhammad Hatta dan kearifan tokoh Islam Ki Bagus Hadikusumo, Wahid
Hasjim, KH. Karar Muzakir, H. Agus Salim, Kasman Singodimedjo, dan Teuku M. Hassan
mereduksi pemberlakuan syariat Islam bagi para pemeluknya adalah bentuk toleransi paling
nyata dalam sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia. Karena jika Negara Kesatuan
Republik Indonesia pecah, mudah dikuasai Belanda kembali lewat politik divide et impera
terutama luar Jawa dan Sumatera. Pencapaian monumental tersebut diresmikan pada tanggal
18 Agustus 1945 dengan diberlakukannya UUD 1945 tanpa konsepsi Piagam Jakarta.
Pada masa pembentukkan konstitusi UUD 1945 wadah kelahiran di tempat penyebaran
konsep, gagasan, dan ideologi “Bangsa Indonesia Asli” menjadi dasar nasionalisme dan titik
awal berkebangsaan konsep “Bangsa Indonesia Asli” untuk mengatasi konsep Hindia
Belanda dan Jepang.
Namun kesan diskriminatif konstitusional terhadap kelompok minoritas dalam UUD
1945, sesungguhnya masih ada. Yaitu tercantum pada persyaratan menjadi Presiden, UUD
1945 Pasal 6 (1) menyebut : Presiden ialah orang Indonesia asli.
Tetapi pencantuman kata asli itu juga didasari pertimbangan kedaruratan situasi ketika
itu. Demi menutup peluang, agar orang Jepang tidak bisa menjadi Presiden Indonesia ; Badan
yang bertugas menyusun undang-undang dasar, Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai (Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia– BPUPKI), meski 29 April 1945
sudah terbentuk, tapi baru bisa bersidang 28 Mei 1945 setelah diresmikan Pejabat Pemerintah
Pendudukan Militer Jepang, Saiko Sikikan Y. Nagano. Dan pada sidang BPUPKI tanggal 29
Mei, 30 Mei, dan 1 Juni 1945 disampaikan pidato Mr. Muhammad Yamin, DR. Supomo, dan
Bung Karno yang berisi rumusan-rumusan mengenai konsep kebangsaan Indonesia (Lihat
Muhammad Yamin, NASKAH PERSIAPAN UUD 1945, Jakarta, Yayasan Prapantja, : 87-
107, 109-121, dan 61-81), yang dalam perjalanan sejarahnya telah diterima rumusan tentang
konsep kebangsaan sebagai ideologi bangsa Indonesia dan menjadi dasar negara kita yakni
lima dasar negara yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
Pada awalnya konsep Bangsa Indonesia Asli tertera pada konstitusi UUD 1945 dalam
rangka menghadapi kedaruratan situasi ketika itu, sejak Negara Bangsa ini terbentuk, para
founding fathers sudah menyadari adanya persoalan yang tidak sederhana ini dan mencari
berbagai upaya untuk memecahkanya. Pada masa orde lama antara lain sejarah mencatat
Program Benteng 1951 dan PP 10 tahun 1959 yang dimaksudkan untuk memecah persoalan
polarisasi sosial Warga Negara asli dan Warga Negara tidak asli (Pri dan Non Pri; fakta
sejarah mencatat bahwa kedua kebijaksanaan tersebut terbukti gagal dan efektivitasnya
cenderung terbatas. Pada masa tahun 1945 sampai berlakunya dekrit presiden 5 Juli 1959
merupakan masa pengembangan konsep kebangsaan. Dalam kurun waktu itu terjadi usaha-
usaha untuk menggantikan konsep kebangsaan itu dengan konsep atau ideologi lain, yaitu
munculnya pemberontakan yang bersifat politis ideologis dan separatis.
Kemudian lahir orde baru dengan tujuan untuk melaksanakan UUD 1945 secara murni
dan konsekuen ternyata tidak berhasil, yang terjadi justru kebalikannya yakni hukum
berperan menjadi sarana untuk melanggengkan kekuasaan dan status quo; Selama orde baru,
banyak praktik hukum yang tidak aspiratif dan tidak demokratis, sebaliknya sebagai produk
hukum orde baru telah memberangus hak-hak warga negara yang diatur oleh UUD 1945 dan
hukum internasional, contoh konkrit sebagai ekspresi yang membawa implikasi praktek
politik hukum yang diskriminatif orde baru yaitu berusaha menggarap masalah Warga Negara
Indonesia Tionghoa secara serius, mendasar dan mendalam yaitu melalui politik hukum
pembuatan produk hukum yang berbentuk resolusi MPRS No. III/RES/MPRS/1966 tentang
Pembinaan Kesatuan Bangsa, seterusnya rezim orde baru yang berciri legalistik dalam
seluruh kebijaksanaan yang diambilnya selalu didasarkan pada format perundangan seperti
TAP MPR, UU, PP, Keppres, dan Instruksi Presiden dalam melaksanakan proses konsep
kebangsaan Indonesia. Untuk keperluan legalitas tersebut, maka sejak periode awal, salah
satu langkah untuk memecah persoalan etnik Tionghoa pemerintahan orde baru telah
mengeluarkan Instruksi Presidium Kabinet No. 31/U/IN/12/1966 kepada Menteri Kehakiman
RI untuk tidak menggunakan penggolongan penduduk Indonesia berdasarkan pasal 131 dan
163 IS dan Keppres No. 24 tahun 1967 tentang Kebijaksanaan Pokok yang menyangkut
Warga Negara Indonesia keturunan asing. Dalam konteks mengupayakan kesatuan dan
persatuan bangsa Indonesia dianggap perlu untuk meniadakan semua praktik yang mengarah
pada pemilahan atau pengkotak-kotakan golongan penduduk kepada Warga Negara Indonesia
Tionghoa dimungkinkan untuk mengganti nama mereka dengan nama-nama Indonesia
sebagaimana ditentukan dalam keputusan Presidium Kabinet Nomor 127/4/Kep/12/1966
tanggal 27 Desember 1966.
Pada orde baru proses produk hukum yang dimonopoli negara yang bersifat
diskriminatik kurang lebih 64 peraturan perundang-undangan bernuansa rasial dan tidak
demokratis, sebab telah menutup peluang bagi masyarakat dan Warga Negara Indonesia
Tionghoa untuk berpartisipasi, padahal produk hukum itu sendiri justru untuk mengatur
kepentingan mereka. Pada masa itu tercatat usaha untuk memecah persoalan serupa dengan
diterapkan kebijaksanaan asimilasi yang sesuai dengan kehendak penguasa dan sistem
asimilasi selalu dieksploitasi dan dijadikan komoditas politik; termasuk berbagai
kebijaksanaan pemerataan pembangunan yang dalam kenyataannya terbukti tidak efektif dan
hasilnya juga terbatas, bahkan justru berkembang semakin tajam konfigurasi pemilahan sosial
Warga Negara asli dan Warga Negara tidak asli (Pri – Non Pri). Oleh sebab itu ditinjau dari
segi kehidupan kebangsaan Indonesia pada masa orde baru, mendorong perkembangan
politik hukum diskriminatif dan tidak demokratis serta tidak sesuai dengan acuan yang
disepakati dan dipersembahkan oleh para founding fathers maupun Pancasila dan UUD
1945. Selama periode orde baru dalam penyelenggaraan ketentuan konstitusi sehari-hari,
telah berkembang semacam politik diskriminatif yang diterapkan pemerintah nasional pada
kelompok warga negaranya? Secara resmi praktek politik semacam itu cepat dibantah dengan
aneka legitimasi dan justifikasi. Namun secara nyata, pihak yang terkena baik kelompok
minoritas maupun mayoritas, rasa diperlakukan diskriminatif niscaya sulit dibantah. Apalagi
jika diskriminasi itu dilatari perbedaan asal, suku, agama atau kategorisasi lain.
Kalau dilihat dari sisi konstitusi seperti tersebut dalam Pasal 26 UUD 1945 (sebelum
amandemen) menentukan bahwa yang menjadi warga negara ialah orang-orang Bangsa
Indonesia Asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai
warga negara. Selanjutnya ditentukan bahwa syarat yang mengenai kewarganegaraan negara
ditetapkan dengan undang-undang.
Dari bunyi pasal tersebut belumlah dapat menentukan siapakah yang dianggap menjadi
Warga Negara Indonesia pada saat UUD 1945 disahkan oleh PPKI (Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia), pasal tersebut menghendaki pengaturan lebih lanjut mengenai
kewarganegaraan diatur dengan undang-undang, baru 9 (sembilan) bulan kemudian setelah
kemerdekaan Republik Indonesia mulai terbentuk undang-undang organik yaitu pada tanggal
10 April 1946 diumumkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1946 Tentang Warga Negara,
Penduduk Negara yang mengalami beberapa kali perubahan yaitu dengan Undang-Undang
Nomor 6 dan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1947 serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun
1948.
Sumber hukum utama Undang-Undang Kewarganegaraan Indonesia sebagai pegangan
siapa yang menjadi Warga Negara Indonesia adalah Pasal 26 UUD 1945. Yang menentukan
Warga Negara Indonesia adalah orang-orang Bangsa Indonesia Asli dan orang bangsa lain
yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. Jadi secara yuridis
konstitusional di sini dibedakan antara orang Bangsa Indonesia Asli dan orang bangsa lain.
Siapakah yang dimaksud dengan orang-orang Bangsa Indonesia Asli tersebut?, Dalam
penjelasan UUD 1945 tidak ada penjelasannya, sehingga menurut hukum tata negara
ditafsirkan berdasarkan pengertian yuridis sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor
3 Tahun 1946 yang menyatakan bahwa Warga Negara Indonesia ialah orang yang asli dalam
negara Indonesia. Dan perlu ditegaskan bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1946
merupakan Undang-Undang Kewarganegaraan pertama kali dibentuk oleh founding fathers
yang secara tegas dalam penjelasannya menegaskan bahwa “dalam Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1946 ini sama sekali tidak berdasarkan atas ras criterium”
Sedangkan dimaksud dengan orang-orang bangsa lain oleh Penjelasan UUD 1945
diberikan contoh misalnya orang peranakan Belanda, peranakan Tionghoa, dan peranakan
Arab yang bertempat tinggal di Indonesia, mengakui Indonesia sebagai tanah airnya, dan
bersikap setia kepada wilayah negara Republik Indonesia, dapat menjadi warga negara,
secara yuridis merupakan syarat-syarat konstitusional yang mutlak harus dipenuhi,
sebagaimana dimaksud Pasal 26 ayat (2) UUD 1945 (sebelum amandemen) secara tegas
menentukan syarat-syarat mengenai kewarganegaraan ditetapkan dengan Undang-Undang.
Hal ini menunjukkan secara konstitusional bahwa untuk orang-orang bangsa Indonesia asli
secara otomatis merupakan warga negara, sedangkan bagi orang-orang bangsa lain untuk
menjadi warga negara harus disahkan terlebih dahulu dengan Undang-undang.
Dengan demikian setiap orang, apapun rasnya, bangsa, atau suku bangsa (etnis), warna
kulit, rambut, keturunan, dan sebagainya, asal telah menjadi Warga Negara Indonesia
bertempat kedudukan di Indonesia, mengaku Indonesia sebagai tanah airnya, bersikap setia
kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia dan disahkan menjadi Warga Negara Indonesia
berdasarkan Undang-undang kewarganegaraan Republik Indonesia Nomor: 3 Tahun 1946
maka orang tersebut adalah Warga Negara Indonesia asli yang mempunyai hak dan kewajiban
yang sama. Hal ini mengandung makna bahwa konsep kebangsaan Indonesia tidak
berdasarkan konsep etnis serta tidak memandang hak dan kewajiban atas dasar perbedaan
ciri-ciri eksklusif dan diskriminatif. Konsepsi Nation atau bangsa seperti inilah sesungguhnya
dipersembahkan oleh para founding fathers kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sejalan dengan pengertian orang-orang Bangsa Indonesia “Asli” tersebut dapat pula
kita lihat Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 (sebelum amandemen) Tentang Presiden; Yang
berbunyi: “Presiden ialah orang Indonesia asli“, oleh pembentuk undang-undang pengertian
tersebut dianggap telah jelas, sehingga tidak perlu lagi diberikan suatu penjelasan mengenai
hal itu.
Senafas dengan pengertian orang-orang Bangsa Indonesia “Asli” juga kita lihat pada
Pasal 1 huruf (a) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1946 menegaskan bahwa : “Warga Negara
Indonesia ialah orang yang asli dalam negara Indonesia “ dan kemudian dalam huruf (b)
ditentukan bahwa orang peranakan yang lahir dan bertempat tinggal di Indonesia paling
sedikit 5 (lima) tahun paling akhir dan berturut-turut serta berumur 21 (dua puluh satu) tahun
juga adalah Warga Negara Indonesia.
Interpretasi tentang pengertian orang-orang Bangsa Indonesia “Asli” di dalam Pasal 26
dan Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 (sebelum amandemen) dengan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1946 lebih bersifat yuridis konstitusional, bukan bersifat biologis etnik ataupun
sosiologis kultural. Namun didalam pelaksanaanya ketentuan tersebut menimbulkan keragu-
raguan mengenai kriteria atau batasan mengenai orang-orang bangsa Indonesia asli menjadi
tidak jelas dan mengandung persoalan hukum diskriminatif pada pelaksanaan hukum
kewarganegaraan.
Undang-Undang Kewarganegaraan Indonesia Nomor 3 Tahun 1946 sesungguhnya telah
memberi kebebasan pada etnik minoritas untuk memilih atau menolak kewarganegaraan
Indonesia. Tetapi karena situasi Republik Indonesia pada masa itu diwarnai dengan situasi
revolusi, pelaksanaan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1946 jauh dari memuaskan. Warga
Tionghoa pada masa itu terjepit antara berbagai kepentingan, baik kepentingan Nasional
maupun Internasional, karena banyak diantara mereka masih ragu untuk menjadi Warga
Negara Indonesia. Menurut mereka menjadi Warga Negara Indonesia akan menghilangkan
ketionghoaan mereka. Sebagian besar mereka juga merasa diri bukan orang Indonesia, dan
pada saat itu Pemerintah Indonesia tidak bisa memberikan kepastian Hukum. Bahkan
Undang-Undang yang mengatur Kewarganegaraan dalam praktiknya justru mempersulit
Warga Tionghoa untuk menjadi Warga Negara Indonesia. Disisi lain, pemerintah Republik
Rakyat Tionghoa masih memberlakukan sistem Kewarganegaraan ganda bagi Warga
Tionghoa di perantauan.
Dalam situasi tersebut kemudian diberlakukan Undang-Undang Kewarganegaraan
Nomor 62 Tahun 1958 ternyata tidak terdapat suatu definisi tentang orang-orang Bangsa
Indonesia Asli. Pemerintah pada masa itu memberi alasan hukum bahwa tidak perlu untuk
mengadakan definisi tersendiri dari apa yang dimaksudkan dengan istilah Warga Negara
Indonesia karena hubungan itu termasuk ilmu hukum (Rechtswetenchap). Tidak pada
tempatnya untuk sesuatu Undang-Undang Kewarganegaraan memberikan perumusan tentang
apa yang diartikan dengan istilah Warga Negara ini (Sudargo Gautama, 1983 : 30). Menurut
Sudargo Gautama, bahwa pendirian pemerintah memang tepat. Dalam suatu Undang-Undang
Kewarganegaraan hanya ditentukan siapa saja Warga Negara, bagaimana cara memperoleh
dan kehilangan status tersebut. Apa yang diartikan dengan pengertian itu, apa yang termasuk
isi dari status Warga Negara itu tidaklah dapat dibaca dalam Undang-Undang
Kewarganegaraan. Materi ini termasuk dalam bidang ilmu hukum, terdapat dalam buku-buku
pelajaran ilmu hukum dan dalam pelbagai peraturan-peraturan yang memberi isi kepada
paham kewarganegaraan ini (Sudargo Gautama, 1983 : 30).
Dari perjalanan panjang perumusan konsep Bangsa Indonesia Asli tersebut, landasan
konstitusionalnya di dalam amandemen Pasal 26 UUD 1945 dirumuskan kembali dengan
nafas yang sama yaitu :
Yang menjadi Warga Negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan
orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan Undang-Undang sebagai
Warga Negara.
Penduduk ialah Warga Negara Indonesia dan Orang asing yang bertempat
tinggal di Indonesia.
Setiap Warga Negara dan penduduk diatur dengan Undang-Undang.
Setelah Pasal 26 UUD 1945 diamandemen dan kemudian telah dibentuk Undang-
Undang organik yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006, konsep dan pengertian orang-
orang Bangsa Indonesia Asli masih menyisakan persoalan politik yang tidak tuntas, sekalipun
fakta politik persoalan kewarganegaraan Indonesia yang berdimensi diskriminatif, yaitu
dikenal dengan istilah Pribumi dan Non Pribumi sudah mulai ditinggalkan, bahkan secara
khusus Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan komitmen pemerintah yang tidak
memberlakukan diskriminasi atas dasar apapun, apakah itu suku, ras atau agama semua
warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama dan kita tidak lagi mengenal warga
Pribumi dan Non Pribumi meskipun warga asli atau keturunan semua mempunyai hak
pelayanan publik yang sama (Kompas, 25 Pebruari 2007).
Konsep orang-orang bangsa Indonesia asli sebagaimana dikonstruksikan dan
dirumuskan Undang-Undang Kewarganegaraan baru yaitu Undang-Undang Nomor 12 tahun
2006 menawarkan sebagai solusi bagi penyelesaian persoalan hukum kewarganegaraan yang
timbul dimasa orde baru dan sekaligus menghilangkan diskriminasi dari peraturan-peraturan
yang ada sebelumnya, upaya koreksi terhadap kekeliruan orde baru dalam menerapkan
konsep kebangsaan berdasarkan siasat kesatuan dan persatuan yang telah secara sistematik
melenyapkan arti keberagaman dan menekan perbedaan dengan suatu budaya unilateral.
Oleh karena itu, dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
diharapkan masyarakat Indonesia yang bersifat plural dan multikultur lebih terjamin keadilan
dan kepastian hukum bagi semua pihak, terutama dalam pengakuan akan pluralisme kultural
dan keterikatan etnik tertentu terhadap budaya dan komunitas etniknya sendiri tidak lagi
mengalami kesulitan menjadi Warga Negara Indonesia sebagai identitas Bangsa Indonesia
Asli sebagaimana dimaksud dari ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
menentukan bahwa “Yang menjadi Warga Negara Indonesia adalah orang-orang Bangsa
Indonesia Asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai
Warga Negara.” Dalam penjelasan Pasal 2 tersebut menerangkan pengertian orang-orang
Bangsa Indonesia Asli adalah “Warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah
menerima kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri”. Kemudian ketentuan pasal 4
menegaskan bahwa anak yang dilahirkan di wilayah Negara Republik Indonesia dianggap
Warga Negara Indonesia sekalipun status Kewarganegaraan orang tuanya tidak jelas, hal ini
berarti secara yuridis ketentuan ini oleh pembentuk Undang-Undang dimaksudkan se dapat
mungkin mencegah timbulnya keadaan tanpa kewarganegaraan dan memberi perlindungan
terhadap segenap Warga Negara Indonesia.
Pemikiran pembentuk Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 dilihat dari segi
perspektif hukum kewarganegaraan mengandung makna bahwa kata orang-orang Bangsa
Indonesia asli ditentukan oleh keaslian berdasarkan tempat kelahiran. Dengan demikian
penjabaran Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 mengenai konsep bangsa Indonesia asli
tidak didefinisikan berdasrkan etnis, melainkan berdasarkan pada hukum bahwa keaslian
Warga Negara Indonesia ditentukan berdasarkan tempat kelahiran dalam wilayah Negara
Republik Indonesia.
Oleh karena itu, dengan menerapkan asas kelahiran (ius soli), orang yang lahir di
wilayah Negara Republik Indonesia sekalipun status kewarganegaraan orang tuanya tidak
jelas wajib mendapatkan perlindungan dan kepastian hukum, karena mereka adalah warga
negara Republik Indonesia. Titik berat diletakkan asas kelahirannya dalam wilayah negara
Republik Indonesia dengan tujuan supaya tidak ada anak yang lahir menjadi apatride. Namun
Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru menganut asas Ius soli secara terbatas, yang
diberlakukan terbatas bagi anak-anak dan anak-anak tersebut setelah berusia 18 tahun atau
sudah kawin harus menggunakan hak opsinya yaitu anak-anak tersebut harus menentukan
kewarganegaraannya sesuai dengan ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2006 memberi penegasan mengenai hak opsi dalam hal penentuan kewarganegaraan
seseorang.
Hal ini berarti bahwa semua Warga Negara Indonesia dan/atau lahir di Indonesia, tidak
peduli etnis Tioghoa, Arab, India dan lain-lain. Semuanya dianggap Warga Negara Indonesia
asli. Konsekuensi yuridisnya semua Warga Negara Indonesia keturunan yang sudah menikah
dan mempunyai keturunan yang sudah lahir di wilayah Negara Republik Indonesia demi
hukum menjadi orang-orang bangsa Indonesia asli karenanya secara yuridis tidak diperlukan
lagi membuat Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) melainkan cukup
menunjukkan akta kelahiran saja.
Interpretasi tentang pengertian orang-orang Bangsa Indonesia Asli ini, setidak-tidaknya
telah memperjelas pengertian “Asli” yang bersifat yuridis konstitusional yang tidak dapat kita
abaikan sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 26 dan Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 (sebelum
amandemen) dengan Pasal 1 huruf (a) dan (b) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1946,
sehingga mereka yang menjadi warga negara Republik Indonesia berdasarkan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2006 sama aslinya seperti yang dimaksud asli berdasarkan
proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 ditetapkan oleh Konstitusi UUD 1945 dan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1946 bahwa Warga Negara Indonesia sejak kelahirannya
adalah orang-orang Bangsa Indonesia Asli dalam negara Republik Indonesia secara otomatis
menjadi warga negara Republik Indonesia.
Landasan konstitusional dan ketegasan siapa orang-orang Bangsa Indonesia Asli
berdasar UUD 1945 dipertegas secara yuridis dengan berlakunya Undang-Undang
Kewarganegaraan baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 berikut penjelasan dan Pasal 4
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 telah memperjelas dan mempertegas kedudukan dan
kepastian hukum bagi setiap Warga Negara Indonesia yang sejak kelahirannya di wilayah
Negara Republik Indonesia dengan ketentuan yang bersangkutan tidak pernah menerima
kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri adalah Bangsa Indonesia Asli, hal yang sama
berlaku juga terhadap anak yang dilahirkan di wilayah Negara Republik Indonesia dianggap
Warga Negara Indonesia sekalipun status kewarganegaraan orang tuanya tidak jelas.
Konsep Bangsa Indonesia Asli yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2006 merupakan upaya pembentuk Undang-Undang untuk meluruskan makna dan sekaligus
mewujudnyatakan pemikiran yang dibangun di atas prinsip konsep harmonisasi yang senafas
dan sejalan dengan ketentuan Pasal 26 ayat (1) dan Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 (sebelum dan
setelah amandemen); batasan yuridis mengenai bangsa Indonesia asli telah saling mendekati
dan saling menguatkan dengan konsep yang tertera pada Undang-Undang Nomor 3 tahun
1946, sehingga dengan demikian sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
dilihat pada tataran yuridis konstitusional terutama dalam interpretasi tentang pengertian
Warga Negara Indonesia sejak kelahirannya di wilayah Negara Republik Indonesia dan yang
bersangkutan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain dan/atau sekalipun status
kewarganegaraan orang tuanya tidak jelas berdasarkan batasan yuridis dalam Undang-
Undang Nomor 12 tahun 2006 tetap diakui sebagai orang-orang Bangsa Indonesia Asli.
Sejak era reformasi kita telah mengalami begitu banyak perubahan didalam sistem
ketatanegaraan Indonesia, Undang-Undang 1945 telah di amandemen dengan memasukan
semangat kesetaraan antara semua Warga Negara, tanpa membedakan asal usul keturunanya.
Seperti pasal 6 Undang-Undang Dasar 1945 sebelum diamandemen mensyaratkan seorang
untuk menjadi Presiden haruslah “orang Indonesia asli” setelah diamandemen perkataan itu
dihapuskan dan diganti dengan kata-kata “Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus
seorang Warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima
Kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri. Dengan demikian siapa saja tanpa
membedakan asli dan bukan asli, sepanjang yang bersangkutan memenuhi rumusan ketentuan
yang baru ini dapat maju ke pencalonan Presiden (sambutan Presiden tanggal 4 Pebruari 2006
pada perayaan Tahun Baru Imlek 2557).
Dengan demikian amanat ketentuan Pasal 6 dan pasal 26 Undang-Undang Dasar 1945
setelah amandemen memiliki jiwa yang senafas dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2006 secara yuridis memberi batasan atau kriteria orang-orang bangsa Indonesia asli
berdasarkan tempat kelahiran dan sepanjang yang bersangkutan memenuhi ketentuan
Undang-Undang Kewarganegaraan tersebut demi hukum semua Warga Negara Indonesia
keturunan, termasuk pula Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa yang meliputi
golongan Tionghoa peranakan dan Tionghoa Totok yang sejak kelahirannya di wilayah
Negara Republik Indonesia, sudah menikah dan mempunyai keturunan dalam hitungan
beberapa generasi, tinggal dan mencari nafkah di Indonesia dan pada umumnya sudah
berbaur dengan masyarakat Indonesia secara yuridis konstitusional dan berdasarkan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2006 mereka adalah orang-orang Bangsa Indonesia Asli dan
menjadi anggota penuh warga bangsa Indonesia yang harus diperlakukan sederajat dengan
Warga Negara Indonesia lainnya yang berasal dari berbagai golongan dalam masyarakat, baik
dari segi agama, ras, suku bangsa (etnis), kultural, bahasa maupun profesi. Oleh karena itu
mereka mempunyai hak dan kewajiban, tugas dan tanggung jawab yang sama dengan sesama
anggota warga Indonesia yang lain.
Dan fakta sosiologis yuridis bahwa sebagian besar dari keturunan Tionghoa Peranakan
dan keturunan Tionghoa Totok telah ada dan lahir di Indonesia sejak Indonesia menyatakan
kemerdekaannya dan mengakui Negara Republik Indonesia sebagai tanah airnya, bahkan
sudah menggunakan bahasa Indonesia sebagai komunikasi sehari-hari, baik di dalam maupun
di luar rumah, bertingkah laku seperti pada umumnya keturunan Indonesia asli lainnya, dan
orientasi budaya mereka pun sudah menyatu kepada kebudayaan lokal tempat mereka
berdomisili seperti kita saksikan pada keturunan Tionghoa Benteng di kampung belakang
Kamal, Kalideres, Tangerang. Sebagian dari mereka belum sepenuhnya menerima hak-hak
yang layak selaku warga negara sekalipun secara legal telah memiliki kedudukan formal dan
payung hukum yang memberi jaminan hak-hak mereka sebagai warga negara. Dengan
berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 sudah semestinya Warga Negara
Indonesia keturunan Tionghoa Benteng dan Warga Negara Indonesia keturunan
lainnya secara otomatis menjadi Warga Negara Indonesia, tidak diperlukan lagi melalui
proses naturalisasi untuk dianggap sebagai Warga Negara Indonesia asli.
Menurut Ariel Heryanto bahwa kaum pejuang Nasionalis Indonesia yang awal, punya
wawasan sama dengan tahun akademisi mutakhir yang mempelajari sejarah dan politik
berdirinya bangsa-bangsa di dunia. Menurut mereka, bangkitnya “bangsa-negara” bukan
sebuah peristiwa alam atau takdir Ilahi, melainkan sebuah keputusan politik dan hukum yang
sadar oleh sebagian kalangan terdidik, yang kemudian didukung khalayak umum. Bangsa dan
negara hanya ada karena diadakan oleh sebuah proses dan birokrasi modern. Nasion
dipahami sebagai sebuah proyek besar yang didukung secara bebas dan sukarela oleh orang
dari berbagai warna kulit, jenis kelamin, atau keturunan, tapi bersepakat untuk menjadi
sederajat.
Dalam pemahaman seperti itu tidak ada warga negara yang bisa “asli”, seperti halnya
tidak ada bangsa yang “asli”. Semuanya merupakan hasil “bikinan”, “rekaan”, “rekayasa”
yang cemerlang. Maka, status kewarganegaraan setiap orang bisa saja bersifat sementara
(bukan takdir yang mutlak dan fatal), bisa sewaktu-waktu dipilih, ganda, diganti, atau
diminta.
Selanjutnya Ariel Heryanto menegaskan bahwa Undang-Undang Kewarganegaraan
yang baru telah merombak pengertian warga negara dan memasukkan semua kaum minoritas
berbagai etnis sebagai “orang Indonesia asli”. Niatnya terpuji : menciptakan kesetaraan,
keadilan, dan persaudaraan. Sebagian perumusannya mengaku melakukan dekolonialisasi
hukum Indonesia. Sayang, bahasa yang dipakai untuk niat baik ini agak rancu, kadaluarsa,
dan kelewat kolonial. ”Indonesia asli” merupakan sebuah istilah yang bertentangan dengan
dirinya sendiri, seperti ungkapan “bayi tua renta”, “kuyup kering”, atau “ledakan sunyi”.
Kalau sesuatu disebut Indonesia, ia tidak mungkin asli ; Kalau asli tidak mungkin Indonesia.
Akan lebih tepat bila niat baik itu dipahami dan dirumuskan sebaliknya : kita setara karena
sama-sama tidak asli Indonesia. Dalam wawasan kebangsaan modern, kita semua sama-sama
nonpribumi, migran, alias hoakiao. Bangsa-negara yang paling awal menerima dan
menyadari hal ini, tanpa sesal, tapi bangga, telah menjadi berjaya: seperti Kanada, Amerika
Serikat, Australia, dan Singapura.
Baik secara material maupun historis, berbagai bangsa-negara di dunia selalu
mengandaikan percampuran, gado-gado, kemajemukan etnis, tradisi, agama, bahasa. Juga
Indonesia. (Ariel Heryanto : Majalah Tempo, tanggal 23 Juli 2006 : 34)
Secara historis konsep Bangsa Indonesia Asli dari perjalanan panjang Konstitusi UUD
1945 (sebelum dan setelah di amandemmen), Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1946,
Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 sampai berlakunya Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2006 semestinya dipahami sebagai konsekuensi logis dari pluralitas kebangsaan kita
dalam ikatan kebangsaan Indonesia. Dengan fakta pluralitas kebangsaan kita maka untuk
memperoleh status kewarganegaraan Indonesia sudah semestinya aparatur Negara harus
mampu menegakkan prinsip-prinsip supremasi hukum yang memahami pluralitas kebangsaan
kita sehingga hak-hak dan kewajiban politik tidak diikatkan kepada etnis/etnik/suku/ras,
kepercayaan, adat istiadat, agama dan kultural tertentu, melainkan kepada individu yang
memiliki kedudukan yang sama dihadapan hukum.
Implementasi Undang-Undang Kewarganegaraan dan politik hukum perundang-
undangan kewarganegaraan Indonesia dimasa depan diharapkan menuju pada semangat
menghilangkan perbedaan antara sesama Warga Negara Indonesia dengan bertitik tolak dari
nilai-nilai dan cita-cita serta dinamika batin perjalanan sejarah bangsa Indonesia untuk
menjadi suatu nation yang sedang berada dalam pertumbuhan, dengan sekaligus
mengukuhkan kerangka norma-norma dan nilai-nilai utuh terpadu yang telah lama ada dan
telah berakar dalam jati diri bangsa Indonesia; ide tentang negara bangsa Indonesia
(Staatsidee) dan konsep kebangsaan Indonesia telah dikukuhkan dalam Konstitusi UUD
1945. Hal ini mungkin sekali terjadi, oleh karena nilai-nilai konsep kebangsaan Indonesia
didasarkan atas kesamaan cita-cita dan aspirasi kemasyarakatan bahwa keindonesiaan dalam
keanekaragaman merupakan pilihan yang terbaik bagi terselenggaranya kehidupan sebagai
bangsa dan negara yang sedang berada dalam keadaan pertumbuhan itu sesuai dengan nilai-
nilai konsep kebangsaan Indonesia diangkat dari kondisi priil masyarakat Indonesia yang
plural dan multikultural. Artinya konsep kebangsaan Indonesia itu bukan didasarkan pada
ikatan atau kesamaan etnik, ras, agama, dan kepercayaan, adat istiadat, serta kultural.
Dengan latar belakang pemahaman bahwa masyarakat Indonesia bersifat plural dan
multikultural maka kehadiran peraturan perundang-undangan kewarganegaraan baru dengan
asas dan nilai baru, tetap mengacu dan didasarkan pada nilai-nilai yang terkandung di dalam
konstitusi UUD 1945 (baik sebelum maupun sesudah amandemen) dan nilai-nilai yang
terkandung di dalam pola kehidupan yang menghargai pluralisme dan multikuralisme
Indonesia dengan bersendikan pada Pancasila. Dengan kata lain perubahan dan perombakan
pengertian Warga Negara dan memasukkan semua kaum minoritas berbagai ras dan/atau etnis
sebagai Bangsa Indonesia Asli dimungkinkan asalkan tidak merusak harmoni wawasan
kebangsaan Indonesia, karena perubahan terhadap norma-norma yang telah lama ada dan
telah berakar dapat menyebabkan disharmoni, namun hal ini dianggap wajar sejauh diikuti
oleh sesuatu usaha ke arah pembentukan harmoni wawasan kebangsaan Indonesia yang
responsif terhadap perbedaan dan kemajemukan masyarakat. Dalam hal ini pluralisme dan
multikulturalisme adalah prasyarat yang harus diterima bukan ditakuti. Mengingat bahwa
yang bernaung dalam kerangka negara bangsa adalah komunitas politik ; selama konsep
Bangsa Indonesia Asli mendapatkan ruang dalam komunitas politik tersebut maka sama
sekali tidak ada alasan untuk semua kaum minoritas berbagai ras dan/atau etnis, agama dan
kepercayaan, adat istiadat, serta kultural sebagai bangsa Indonesia melepaskan diri dari
kerangka negara bangsa Indonesia.
E. Pelaksanaan Otonomi Daerah Dan Wawasan Kebangsaan
Perlu dicermati akan timbulnya persoalan baru dalam perspektif politik pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi dengan Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang pemberian otonomi yang luas kepada pemerintahan daerah telah
menimbulkan sejumlah persoalan politik hubungan Pemerintah pusat dan daerah, antara lain
dibeberapa daerah terus bergolak menuju peguatan basis etnik yang diaktualisasikan dalam
tuntutan penerapan demokrasi di semua sektor kehidupan, berikut munculnya kekuatan
egoisme daerah dan kesukuan serta terjadinya konflik horisontal dan vertikal akibat praktik
demokrasi pemilihan kepala daerah. Apakah implementasi Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2006 tentang Kewarganegaraan Indonesia pada tingkat daerah tidak tertutup kemungkinan
terjadi birokrasi pemerintahan mempergunakan hak-hak dan kekuasaan yang dipercayakan
dan diamanatkan dalam Undang-Undang Kewarganegaraan digunakan sebagai alat untuk
memaksakan kemauan atas rakyat untuk kepentingan politik sendiri ataupun kepentingan
golongan, mengingat munculnya kekuatan egoisme daerah dan kesukuan yang beragam
kepentingan membuat potensi konflik maupun perlakuan diskriminatif terhadap sesama
warga negara, mengingat munculnya konflik kedaerahan yang makin marak akhir-akhir ini
disebabkan kurangnya pemahaman wawasan kebangsaan sebagian besar masyarakat.
Parahnya lagi banyak tokoh masyarakat dan pemimpin yang tidak mencerminkan sifat
dan watak pemimpin yang nasionalis dan berwawasan kebangsaan Indonesia melainkan lebih
menonjolkan adanya keterikatan suatu kelompok etnik terhadap nilai-nilai budaya dan
komunitas etniknya sendiri. Dengan kata lain yang terjadi adalah kenyataan bahwa
kelompok-kelompok masyarakat dengan terus mempertahankan identitas etnik masing-
masing. Dengan demikian, hingga jarak tertentu identitas sebagai Bangsa Indonesia justru
lebih jelas dalam identitas kultural kejawaan, kemakasaran, kebatakan, keacehan,
keminangan, dan lain-lain sebagainya.
Terdorong oleh derasnya arus kebebasan dan keterbukaan dewasa ini menyebabkan
mereka kurang peduli tehadap masyarakat lain sehingga muncul konflik-konflik kedaerahan
yang merebak dimana-mana terutama sejak era reformasi masyarakat majemuk Indonesia
tampak kesulitan untuk menerapkan integrasi kedalam “nation” Indonesia sebagai akibat
euforia politik. Harapan kita dalam perspektif yang lebih luas, diperlukan usaha
meningkatkan pendekatan kesatuan dan persatuan bangsa merupakan usaha yang mendesak;
sebab bila hal ini terabaikan, tidak tertutup kemungkinan dapat terjadi sumber ancaman yang
potensial dan sumber kerawanan sosial kultural, rasial, ekonomi, dan politik yang bersifat
disintegratif dan akan mengganggu pemerintahan dan pembangunan nasional.
Dalam konstelasi pemikiran diatas dan munculnya konflik-konflik kedaerahan yang
merebak, jenis konflik yang terjadi diantaranya konflik politik bercirikan vertikal dan
struktural, aksi anarkis di berbagai daerah yang terkait dengan pemilihan kepala daerah dan
munculnya kekuatan egoisme daerah serta kesukuan, jelas menunjukkan masih rendahnya
kesadaran demokrasi masyarakat serta lemahnya wawasan kebangsaan Indonesia; karenanya
perlu pendekatan kesatuan dan persatuan bangsa yang berangkat dari penghargaan terhadap
pluralisme dan multikularisme untuk menghindarkan dan menjauhkan serta menghilangkan
benak dan sikap egoisme daerah dan kesukuan, diskriminasi, saling membedakan diantara
berbagai golongan dan masyarakat, baik dari segi agama, ras, suku bangsa, kultural, dan
kepentingan politik serta ekonomi. Pemerintah dari pusat sampai ke daerah dan segenap
aparatnya perlu mendukung pendekatan kesatuan dan persatuan bangsa secara langsung,
konkrit, dan nyata. Pluralisme dan multikularisme di Indonesia harus tetap berlangsung
dalam kerangka Bhineka Tunggal Ika. Dalam negara menganut paham kebangsaan Indonesia,
semestinya memiliki ikatan wawasan kesejarahan kebangsaan berkesinambungan dan
wawasan kebangsaan Indonesia adalah bentuk final Negara Republik Indonesia.
Pemberlakuan Undang-undang Kewarganegaraan Nomor 12 Tahun 2006 secara sama
bagi setiap warga berarti Undang-Undang mengakui eksistensi pluralisme dan
multikulturalisme masyarakat Indonesia. Selanjutnya membuka peluang terjadinya perubahan
politik hukum kewarganegaraan di Indonesia, karenanya setting politik hukum
kewarganegaraan yang mengakomodasi pluralisme dan multikultural tidak terbatas pada
terpenuhinya asas legalitas, tetapi lebih diutamakan aspek legitimasinya dan implementasi
Undang-Undang Kewarganegaraan memberi arti penting bagi masyarakat majemuk
Indonesia untuk berintegrasi kedalam “Nation” Indonesia.
F. Penutup
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
Republik Indonesia secara yuridis telah mempertegas konsep Bangsa Indonesia Asli,
memperkokoh konsep kebangsaan Indonesia yang tidak berdiri sendiri, sejak semula konsep
kebangsaan Indonesia memang tidak berdasarkan atas kesamaan ras, etnik (suku bangsa),
bahasa, golongan, maupun agama. Konsep Bangsa Indonesia Asli secara konstitusional
diakui dalam UUD 1945 maupun dalam Undang-Undang Kewarganegaraan yang tumbuh
sebagai jati diri bangsa yang diangkat dari pengalaman bersama di dalam sejarah, rasa
senasib dan sepenanggungan yang telah lama tumbuh dari masyarakat Indonesia yang plural
dan multikultural, beragam tetapi tetap menyatu, dalam kesatuan dan persatuan Indonesia.
Konsep kebangsaan Indonesia asli memperoleh acuannya secara ideologis dalam
Pancasila dan secara konstitusional dalam UUD 1945 serta secara organik diatur baik
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1946, Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958, dan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006. Itu berarti bahwa semua penyelesaian mengenai
konsep Bangsa Indonesia Asli haruslah bertitik tolak dari konsep tentang bangsa yang
terkandung dalam Pancasila maupun UUD 1945. Dalam konsep tersebut jelas bahwa
pengertian tentang bangsa atau nation Indonesia tidak sama dengan pengertian bangsa dalam
arti ras atau etnik, bahasa, golongan, maupun agama, sebagai konsep Bangsa Indonesia Asli
tidak didasarkan atas ras, etnik, bahasa tertentu, agama tertentu, kesamaan kepentingan,
ataupun batas-batas alamiah yang dapat dilihat pada peta. Dapat dikatakan bahwa persepsi
atas konsep Bangsa Indonesia Asli berkembang dengan cara yang berbeda-beda pada setiap
periode perkembangan ketatanegaraan Republik Indonesia dan masalahnya terletak pada
problem legitimasi bukan suatu konsep yang sudah seluruhnya jelas. Problem legitimasi tidak
semata-mata berdasarkan pada tata tertib, norma hukum dan perundang-undangan yang
memenuhi asas legalitas hukum, melainkan juga harus memenuhi asas legitimasi hukum dan
iklim sosio kultural yang kondusif di dalam kehidupan hukum masyarakat Indonesia.
Konsep Bangsa Indonesia Asli dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 pada
dasarnya bersifat politis kemasyarakatan yang mengakui pluralitas kebangsaan dan
kemajemukan masyarakat Indonesia suatu pilihan terbaik untuk kondisi masyarakat
Indonesia yang plural dan multikultural. Sikap mental dan kejiwaan dari semua pihak yang
berbeda-beda untuk menyatu padu dalam ikatan kesatuan kebangsaan adalah landasan pokok
paham kebangsaan Indonesia karenanya semua Warga Negara Indonesia keturunan yaitu
termasuk Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa, Arab, India dan lain-lainnya yang
sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 diperlakukan secara
diskriminatif dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang membedakan Warga
Negara Indonesia keturunan tidak boleh lagi terjadi dan wajib dihapus, agar semua warga
negara keturunan yang sudah lahir dan/atau status kewarganegaraan orang tuanya tidak jelas,
semuanya demi hukum menjadi orang-orang bangsa Indonesia asli.
Dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 pada essensinya mengakui semua Warga
Negara Indonesia sama, setara dan setujuan, Warga Negara Indonesia tidak dibeda-bedakan
atas dasar warna kulit, ras, suku bangsa/etnik, agama dan kultural karenanya semua warga
negara keturunan, siapapun dan dari etnik apapun, apakah keturunan Tionghoa, Arab, India
dan lain-lainnya yang lahir di Indonesia semua dianggap orang-orang bangsa Indonesia asli.
Mereka adalah warga Negara Indonesia. Sebuah Undang-Undang yang menjunjung tinggi
persamaan hak warga negara dan memberikan kemudahan kepada warga negara. diharapkan
dalam penerapan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 semua perlakuan diskriminatif
segera dihapus dari Bumi Pertiwi.
Ciri fisik maupun nilai-nilai primordial bukan merupakan dasar kesamaan dalam ikatan
kebangsaan Indonesia. Dan bangsa Indonesia tidak harus didefinisikan dalam arti Bangsa
Indonesia yang Pribumi. Bangsa Indonesia harus bangga akan kekayaan asal usul etnik yang
beragam. Perlu ditegaskan bahwa Indonesia merupakan sebuah konsep yang terdiri dari
keberagaman etnik, masing-masing etnis mengembangkan sifat komunalisme secara otonom
yang hidup berkembang dengan wajar dan alamiah dalam bentuk-bentuknya yang spesifik.
Masing-masing etnis kemudian terlibat pola interaksi intensif dan menghasilkan tata
pergaulan masyarakat beragam.
Dasar kesamaan yang menyatu padu menjadi satu bangsa justru terletak di dalam
kebhinekaan masyarakat Indonesia bersifat multidimensional, sebab dalam kebhinekaan
masyarakat Indonesia yang mempunyai keanekaragaman lingkungan-lingkungan tradisi,
kebhinekaan agama, ras, suku bangsa (etnik), bahasa, dan kebudayaan tersebut harus tetap
berlangsung bersatu dalam keindonesiaan. Kodrat bangsa Indonesia yang bhineka tidak dapat
dielakkan. Dan kebhinekaan masyarakat Indonesia merupakan sebuah kekuatan yang harus
didorong menjadi potensi kebersamaan untuk kepentingan bersama membangun bangsa
dengan rasa dan wawasan kebangsaan yang tinggi, mengutamakan kepentingan umum
(bangsa), bukan kepentingan pribadi serta menghargai kebebasan dan kesamaan derajat bagi
setiap anggota masyarakat.