Professional Documents
Culture Documents
MH
LATAR BELAKANG
Telah terjadi peristiwa luapan Lumpur Lapindo Sidoarjo Surabaya, Jawa Timur
pada Tanggal 28 Mei 2006, sekitar pukul 22.00, karena terjadinya kebocoran gas hidrogen
sulfida (H2S) di areal ladang eksplorasi gas Rig TMMJ # 01, di lokasi Banjar Panji
perusahaan PT. Lapindo Brantas (Lapindo) di Desa Ronokenongo, Kecamatan Porong,
Kabupaten Sidoarjo. Dimana kebocoran gas tersebut berupa semburan asap putih dari
rekahan tanah, membumbung tinggi sekitar 10 meter. Semburan gas tersebut disertai
keluarnya cairan lumpur dan meluber kelahan warga. Semburan lumpur panas di kabupaten
Sidoarjo sampai saat ini belum juga bisa teratasi. Semburan yang akhirnya membentuk
kubangan lumpur panas ini telah memporak-porandakan sumber-sumber penghidupan
warga setempat dan sekitarnya. Kompas edisi Senin (19/6/06), melaporkan, tak kurang 10
pabrik harus tutup1, dimana 90 hektar sawah dan pemukiman penduduk tak bisa digunakan
dan ditempati lagi, begitu pula dengan tambak-tambak bandeng, belum lagi jalan tol
Surabaya-Gempol yang harus ditutup karena semua tergenang lumpur panas. Berdasarkan
data yang didapat WALHI Jawa Timur, yang mencatat jumlah pengungsi di lokasi Pasar
Porong Baru sejumlah 1110 Kepala Keluarga dengan Rincian 4345 jiwa dan 433 Balita,
Lokasi Kedung Bendo jumlah pengungsi sebanyak 241 Kepala Keluarga yang terdiri dari
1111 Jiwa dan 103 Balita, Lokasi Balai Desa Ronokenongo sejumlah 177 Kepala keluarga
dengan rincian 660 jiwa.
1
. Kompas edisi Senin , Tanggal 19- 06 tahun 2006.
Didalam kasus luapan Lumpur lapindo, telah terjadi juga aspek pelanggaran Hak
Asasi Manusia (HAM),2 dimana PT Lapindo Brantas Inc. telah merugikan masyarakat
dalam pelbagai segi, misalnya, ekonomi, sosial, dan budaya, tidak dapat dibayangkan,
terdapatnya ribuan pekerja kehilangan mata pencaharian, produktivitas kerja masyarakat
menurun, ribuan (bahkan jutaan dimasa yang akan datang) anak terancam putus sekolah,
dan perekonomian Jawa Timur tersendat. Sampai pada era Reformasi di Tahun 2009
terhadap penegakan hukum atas kasus lumpur Lapindo tak kunjung dapat terselesaikan
dengan secara damai. Kebijakan politik minus etika lebih dikedepankan ketimbang aspek
keadilan masyarakat. Dari berbagai aspek yang seharusnya merupakan tanggung jawab
sepenuhnya PT Lapindo Brantas Inc./PT Energi Mega Persada yang mencakup aspek
pelanggaran hak asasi manusia (HAM), hukum, politik, perdata dan pidana. Lambannya
penyelesaian kasus lumpur Lapindo, WALHI mengupayakan adanya cara yang ditempuh
oleh masyarakat melalui DPR (Public Inquiry), guna meminta pertanggung jawaban PT
Lapindo Brantas Inc dari kasus tersebut.
Berkaitan terhadap kasus tersebut, Jaksa Agung dapat ditunjuk untuk mewakili
korban Lumpur Lapindo melakukan menuntut terhadap PT Lapindo Brantas Inc, yang
terkait dengan kejahatan Lingkungan Hidup dan pelanggaran multi-dimensi akibat lumpur
panas. Melalui Public Inquiry (pemberitahuan kepada masyarakat) terhadap pihak-pihak
yang bertanggung jawab secara politik dan hukum untuk memberi ganti kerugian terhadap
kasus Lumpur Lapindo tersebut.3 Berdasarkan fenomena-fenomena inilah penulis berusaha
menuangkan fikiran, dan serta memberikan cara berfikir dengan dasar landasan hukum
yang berlaku, agar para pencari keadilan agar tidak salah melangkah didalam menentukan
sikap dalam memperjuangkan hak-haknya yang berdasarkan rasa keadilan.
2
. Data WALHI, Sidoarjo Surabaya, Jawa Timur, tanggal 7 Juni 2006.
3
. http://www,google.com, sumber data dari artikel yang terkait.
terhadap saksi ahli dari BMG4, dengan menyatakan telah terjadinya kelalaian yang
merupakan kesengajaan Lapindo, akibat dari dampak besar bagi lingkungan dan kerugian
cukup besar bagi masyarakat yang merupakan bencana ekologi5, di Sidoarjo, Surabaya
Jawa Timur.
D. LANDASAN HUKUM
Kerangka dasar yaitu UU Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) bahwa Bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya, yang penguasaannya ditugaskan kepada
Negara Republik Indonesia, harus dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat, TAP MPR IX/MPR/2001 Uraian 116D dan 116 E, dan Peraturan Pemerintah RI
No.51 Tahun 1993 tentang analisis mengenai dampak lingkungan, PP No. 51 Tahun
1993 KEPMEN LH No. 10 Th 1994 tentang Analisis mengenai dampak lingkungan
(KEPMEN LH No. 11 Th 1994, KEPMEN LH No. 12 Th 1994, KEPMEN LH No. 13
Th 1994, KEPMEN LH No. 14 Th 1994, KEPMEN LH No. 15 Th 1994 ) ; KEPMEN
LH No. 42 Th 1994, KEPKA BAPEDAL No. 056 Tahun 1994, KEPMEN LH No. 54
4
. dikutip Berita ANTV, tanggal 8 Juni 2006.
5
. Direktur Eksekutif WALHI Jawa Timur, Ridho Saiful Ashadi, dikutip Surabaya Pagi, 7 Juni 2006, isa,
herinta).
Th 1995, KEPMEN LH No. 55 Th 1995, KEPMEN LH No. 57 Th 1995, KEPMEN LH
No. 39 Th 1996 dan KEPKA BAPEDAL No. 299/BAPEDAL/11/1996 tentang
Pedoman Teknis Kajian Aspek Sosial dalam Penyusunan Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan. LIMBAH B3 (bahan berbahaya dan beracun) : PP No. 19 Th 1995, PP 12
Th 1994 tentang perubahan PP No. 19 Th 1994 ; PENCEMARAN AIR : PP RI. No. 20
Th 1990, KEPMEN LH. No. 52/MENLH/101/1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair,
KEPMEN LH. No. 58/MENLH/12/1995, KEPMEN LH. No. 42/MENLH/101/1996
KEPMEN LH. No. 43/MENLH/101/1996, dan PENCEMARAN UDARA : KEPMEN
LH. No. 35/MENLH/101/1993, KEPMEN LH. No. Kep-13/MENLH/3/1995, KEPMEN
LH. No. 50/MENLH/11/1996.
Dalam Bab IX, Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup, dan telah diatur sanksi pidana (penjara dan denda) terhadap badan
hukum yang melakukan pencemaran. Selanjutnya, pada pasal 46 UU No.23/1997
dinyatakan bila badan hukum terbukti melakukan tindak pidana, maka sanksinya
dijatuhkan selain terhadap badan hukum, juga terhadap mereka yang memberi perintah
atau yang menjadi pemimpin dalam perbuatan tersebut. Dan Inpres No. 1/1976 tentang
sinkronisasi pelaksanaan tugas bidang keagrariaan dengan bidang kehutanan,
pertambangan, transmigrasi dan pekerjaan umum, Undang Undang No. 11/1967. Lokasi
pemboran Sumur BJP-1, dan Perda Kabupaten Sidoarjo No.16 tahun 2003.
E. METODE PENELITIAN
Didalam penulisan makalah ini, penulis hanya menggunakan data primair yang
terdiri dari bahan-bahan Pengetahuan lapangan akibat dampak pencemaran yang dari
akibat luapan lumpur panas disertai dengan gas beracun, serta bahan Pengetahuan
Hukum primair yaitu produk-produk hukum undang-undang yang terkait yang mengatur
dampak pencemaran lingkungan hidup, yang terdiri dari Kebijakan Dasar dan
Kebijakan Pemberlakuan dari kebijakan pemerintah didalam menjalankan
kekuasaannya, dan berupa bahan-bahan dari arikel di Web Site dan media cetak lainya
yang berkaitan dengan judul makalah tersebut diatas.
F. PERUMUSAN MASALAH
Terdapat beberapa permasalahan yang sering diabaikan, didalam penerapan
hukum terhadap dampak pencemaran lumpur lapindo yang didalam prakteknya belum
memenuhi rasa keadilan :
1. Apakah yang berdasarkan ketentuan perundang-undangan, terhadap suatu badan
hukum/Perusahaan yang sudah menganggap peusahaan tersebut tidak mampu
membayar/pailit dapat terlepas dari kewajiban untuk membayar dari pihak-pihak
yang dirugikan tersebut ?
2. Jika memang demikian sampai seberapa jauhkah tanggung jawab dari pemerintah
untuk mencari solusi dalam masalah korban lumpur lapindo, jika melihat keterkaitan
dari Instansi Pemerintah yang telah memberi ijin terhadap perusahaan yang
melakukan pemboran gas tersebut ?
3. Mengapa gugatan dari korban lumpur lapindo tidak melalui gugatan Class Action
yang dalam hal ini diwakili oleh suatu Yayasan yang berbentuk Badan Hukum/
Lembaga Perlindungan Konsumen Indonesia atau yang sejenisnya ? mengingat
gugatan Class Action harus diwakili oleh Suatu yang berbentuk Badan Hukum ?
G. ASUMSI
Asumsi sementara dari penulisan makalah dari ini, adalah sebagai berikut :
1. Jika luapan Lumpur lapindo di difinisikan sebagai bencana alam, maka kerusakan
yang terjadi tersebut tidak didasari adanya suatu kegiatan disekitar lokasi/obyek
bencana tersebut, bukanlah disebabkan oleh suatu bencana yang terjadi karena
proses alam, akan tetapi luapan Lumpur lapindo berserta dengan gas beracun adalah
disebabkan karena ketidak hati-hatian dari manusia, karena adanya kegiatan
pemboran, yang seharusnya proses didalam pengerjaannya pemboran tersebut harus
sesuai dari apa yang tertuang didalam proposal kegiatan pemboran dengan melalui
suatu penelitian yang terperinci dan sedetail-detailnya.
2. Kegiatan pemboran yang dilakukan oleh suatu badan hukum yang mendapat ijin
dari Pemerintah terkait, dan jika perusahaan tersebut tidak mampu membayar/pailit
yang dengan melalui prosedur peradilan yang menyatakan perusahaan tersebut
dinyatakan pailit dengan suatu penetapan, maka dalam hal ini sudah seharusnya
Pemerintah terkait yang memberi ijin tersebut (berdasarkan Proposal), harus
mencarikan solusi atau jalan keluar untuk kehidupan masyarakat yang terkena
bencana lumpur lapindo tersebut. Pemerintah yang terkait, yang berdasarkan
kebijakan dasar maupun kebijakan pemberlakuan dari kasus luapan Lumpur lapindo,
maka berdasarkan kebijakan dasar maupun kebijakan pemberlakuan sudah dianggap
telah tidak melaksanakan amanat dari UU Dasar 1945 dan UU Hak Asasi Manusia
(Konfensi Intenasional), yang telah mengenyampingkan produk hukumnya sendiri
yaitu UU tentang Lingkungan Hidup (AMDAL) dan peraturan-peraturan lainnya
yang terkait dengan bencana tersebut.
7
.Dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 Pasal 1 angka 1 : “menyatakan : Ruang adalah wadah yang
meliputi ruang daratan, ruang lautan dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah tempat manusia dan makhluk
hidup lainnya dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya”.
Pemerintah ditetapkan sebagai hutan, industri, kayu bakar, bambu, rotan, rumpu-
rumputan dan hasil hewan seperti satwa buru, satwa elok.8
Berdasarkan Hukum Adat sebagai dasar pembangunan hukum, didalam mengadakan
unifikasi hukum adalah tidak memilih Hukum Adat sebagai dasar utama pembangunan
Hukum Tanah yang baru, yang secara sadar diadakan kesatuan hukum yang memuat
lembaga-lembaga dan unsur-unsur, baik yang terdapat dalam Hukum Adat maupun Hukum
Baru/Perundang-undangan yang berlaku. Pada umumnya orang melihat dan mengartikan
Hukum Adat hanya sebagai hukum positif yaitu sebagai hukum yang merupakan suatu
rangkaian norma-norma hukum, yang menjadi pegangan bersama dalam kehidupan
bermasyarakat. Hal tersebut berbeda sekali dengan norma-norma hukum tertulis, yang
dituangkan dengan sengaja secara tegas oleh Penguasa Legislatif dalam bentuk peraturan
perundang-undangan, norma-norma Hukum Adat sebagai hukum tidak tertulis adalah
rumusan-rumusan para ahli (hukum) dan hakim. Rumusan-rumusan tersebut bersumber
pada rangkaian kenyataan mengenai sikap dan tingkah laku para anggota masyarakat
hukum adat dalam menerapkan konsepsi dan asas-asas hukum, yang merupakan
perwujudan kesadaran hukum warga masyarakat hukum adat tersebut dalam menyelesaikan
kasus-kasus konkret/dampak akibat pencemaran lingkungan yang dihadapi dikawasan
lingkungan hidup.9
Dasar-dasar penjelasan tersebut, sangat berkaitan erat dengan kasus luapan lumpur
lapindo yang disertai dengan semburan gas beracun di sidoarjo Surabaya Jawa Timur,
didalam hal mengenai dampak pencemaran Lingkungan Hidup yang telah merusak
ekosistim dan infrastruktur serta merugikan bagi kalangan masyarakat, perusahaan-
perusahaan kecil maupun besar, yang menyebakan kegiatan disekitar luapan Lumpur
Lapindo Sidoarjo tersebut menjadi lumpuh total.
8
.Seminar Hukum adat dan Pembangunan Hukum Nasional. Lembaga Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Kehakiman, Yogyakarta Tahun 1975 “ Hukum Adat adalah hukum aslinya golongan rakyat pribumi,
yang merupakan hukum yang hidup dalam bentuk tidak tertulis dan mengandung unsur-unsur nasional yang asli,
yaitu sifat kemasyarakatan dan kekeluargaan, yang berdasarkan keseimbangan serta diliputi oleh suasana
keagamaan “
9
Konsepsi Hukum Adat adalah “dirumuskan sebagai konsepsi yang komunalistik religius, yang
memungkinkan penguasaan tanah secara individual , dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus
mengandung unsur-nsur kebersamaan “. Sifat komunalistik menunjuk kepada adanya hak bersama para anggota
masyarakat hukum adat atas tanah, yang dalam kepustakaan hukum disebut Hak Ulayat.
D. Kajian Hukum Lingkungan Hidup Sebelum Terjadinya Luapan Lumpur Lapindo
Sidoarjo
Aspek pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), yang menurut WALHI, bahwa PT
Lapindo Brantas Inc. telah merugikan masyarakat dalam pelbagai segi, misalnya, ekonomi,
sosial, dan budaya dan tidak dapat dibayangkan, dimana ribuan pekerja kehilangan mata
pencaharian, produktivitas kerja masyarakat menurun, ribuan (bahkan jutaan dimasa yang
akan datang) anak terancam putus sekolah, dan perekonomian Jawa Timur tersendat.
Sampai pada saat sekarang ini, terhadap penegakan hukum atas kasus luapan Lumpur
Lapindo tak kunjung jelas, terdapatnya kebijakan politik yang minus etika lebih
dikedepankan ketimbang aspek keadilan masyarakat. Bedasarkan pengamatan WALHI, dari
pelbagai aspek yang mesti menjadi tanggung jawab PT Lapindo Brantas Inc./PT Energi
Mega Persada mencakup aspek pelanggaran hak asasi manusia (HAM), hukum, politik,
perdata dan pidana., sangat lambannya penyelesaian kasus lumpur Lapindo, dimana
WALHI akan mengupayakan suatu tindakan public inquiry, yang merupakan upaya yang
akan ditempuh oleh masyarakat melalui Dewan Perwakilan Rakyat, untuk meminta
pertanggung jawaban PT Lapindo Brantas Inc.
Dalam kaitan dengan masalah tersebut, Jaksa Agung dapat ditunjuk sebagai
pengacara negara untuk menuntut PT Lapindo Brantas Inc. terkait dengan kejahatan
lingkungan dan pelanggaran multi-dimensi akibat lumpur panas, yang disebabkan
kebocoran Gas yang beracun. Ada beberapa pendapat mengenai penyebab bocornya gas
yang disertai meluapnya lumpur Lapindo yaitu : 1.Kasus kebocoran gas dan melubernya
lumpur tidak disebabkan oleh gempa diwilayah Jogjakarta, 2. Kasus yang merupakan
kesengajaan Lapindo dan memberikan dampak besar bagi lingkungan dan masyarakat, yang
merupakan bencana ekologi terbesar terjadi di Jawa Timur, 3.Semburan gas Lapindo
disebabkan pecahnya formasi sumur pengeboran, ketika bor akan diangkat untuk mengganti
rangkaian tiba-tiba bor macet, sehingga gas tidak bisa keluar melalui saluran fire pit dalam
rangkaian pipa bor dan menekan ke samping. Gas mencari celah untuk keluar,
4.Menyemburnya lumpur hidrokarbon pada sumur minyak yang merupakan bencana alam,
tapi karena faktor ketidak beruntungan/kelalaian atau karena ketidak hati-hatian, 5.Bahwa
hidrogen sulfida (H2S), yaitu 20 ppm ceiling yang diberlakukan perusahaan hanya dapat
diterapkan bagi pekerja, sedangkan bukan bagi masyarakat yang menghirup gas tersebut,
yang dianggap sangat berbahaya bagi saluran pernafasan manusia, 6. Semburan lumpur
Lapindo tersebut kemungkinan disebabkan kesalahan prosedural yang mengakibatkan
terjadinya blow out, 7. Terhadap gempa di Yogyakarta terjadi karena pergeseran Sesar
Opak yang tidak berhubungan situasi di Surabaya, jika hal tersebut benar (Blow Out
Prevenery/BOP) telah pecah sebelum terjadi semburan lumpur, jika hal itu benar maka telah
terjadi kesalahan teknis dalam pengeboran yang berarti pula telah terjadi kesalahan pada
prosedur operasional standar, dan 8. terdapatnya zona yang lemah tidak diantisipasi
Lapindo, berupa sesar (patahan) yang kini meretakkan struktur geologi kawasan
pengeboran di Porong sehingga mengakibatkan semburan lumpur.
Akibat Dampak luapan Lumpur Panas, mengakibatkan banyaknya lingkungan fisik
yang rusak, kesehatan warga setempat juga terganggu, yang menyebabkan infeksi saluran
pernapasan dan iritasi kulit, karena lumpur tersebut juga mengandung bahan karsinogenik
jika menumpuk di tubuh dapat menyebabkan penyakit serius seperti kanker, mengurangi
kecerdasan, yang berdasarkan uji laboratorium terdapat kandungan bahan beracun dan
berbahaya (B3) yang melebihi ambang batas. Dalam sampel lumpur dan dianalisis oleh
laboratorium uji kualitas air terdapatnya fenol berbahaya untuk kesehatan dan kontak
langsung di kulit dapat membuat kulit seperti terbakar dan gatal-gatal dimana efek sistemik
atau efek kronis bisa disebabkan fenol masuk ke tubuh melalui makanan.
Kejahatan Korporasi, sesuai dengan Landasan Hukum, dimana pada Bab IX
Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU
No.23/1997), telah diatur sanksi pidana (penjara dan denda) terhadap badan hukum yang
melakukan pencemaran. Selanjutnya, pada pasal 46 UU No.23/1997 dinyatakan bila badan
hukum terbukti melakukan tindak pidana, maka sanksinya dijatuhkan selain terhadap badan
hukum, juga terhadap mereka yang memberi perintah atau yang menjadi pemimpin dalam
perbuatan tersebut. Kejahatan korporasi dalam sistim hukum Indonesia, diatur dalam UU
No.23/1997 tentang Lingkungan Hidup.
Simpson menyatakan ada tiga ide pokok dari definisi Braithwaite mengenai
kejahatan korporasi. Pertama, tindakan ilegal dari korporasi dan agen-agennya berbeda
dengan perilaku kriminal kelas sosio-ekonomi bawah dalam hal prosedur administrasi.
Karenanya, yang digolongkan kejahatan korporasi tidak hanya tindakan kejahatan atas
hukum pidana, tetapi juga pelanggaran atas hukum perdata dan administrasi. Kedua, baik
korporasi (sebagai "subyek hukum perorangan "legal persons") dan perwakilannya
termasuk sebagai pelaku kejahatan (as illegal actors), dimana dalam praktek yudisialnya,
bergantung pada antara lain kejahatan yang dilakukan, aturan dan kualitas pembuktian dan
penuntutan. Ketiga, motivasi kejahatan yang dilakukan korporasi bukan bertujuan untuk
keuntungan pribadi, melainkan pada pemenuhan kebutuhan dan pencapaian keuntungan
organisasional. Tidak menutup kemungkinan motif tersebut ditopang pula oleh norma
operasional (internal) dan sub-kultur organisasional. Mas Achmad Santosa (Good
Governance Hukum Lingkungan: 2001) mengatakan, kejahatan korporasi sebagaimana
diatur dalam pasal 45 dan 46 UU No.23/1997 merupakan rumusan kejahatan korporasi
sebagaimana diatur dalam KUHP Belanda. Jadi korporasi sebagai legal persoon, dapat
dipidana berdasarkan UU No.23/1997.
Menurutnya, pertanggungjawaban pidana (criminal liability) dari pimpinan
korporasi (factual leader) dan pemberi perintah (instrumention giver), keduanya dapat
dikenakan hukuman secara berbarengan. Hukuman tersebut bukan karena perbuatan fisik
atau nyatanya, akan tetapi berdasarkan fungsi yang diembannya di dalam suatu
perusahaan.10 Sejalan dengan PP No. 85/1999 mengenai pengelolaan limbah B3. Dan dari
aspek pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), PT Lapindo Brantas Inc. telah merugikan
masyarakat dalam pelbagai segi, misalnya, ekonomi, sosial, dan budaya. Tidak dapat
dibayangkan, bahwa banyak ribuan pekerja kehilangan mata pencaharian, produktivitas
kerja masyarakat menurun, ribuan (bahkan jutaan dimasa yang akan datang) anak terancam
putus sekolah, dan perekonomian Jawa Timur tersendat, dengan pelaksanaan penegakan
hukum atas kasus lumpur Lapindo tak kunjung jelas.serta adanya kebijakan politik minus
etika lebih dikedepankan ketimbang aspek keadilan masyarakat. Dan dalam aspek dampak
materiil maupun spikologis seharusnya yang menjadi tanggung jawab PT Lapindo Brantas
Inc./PT Energi Mega Persada mencakup aspek pelanggaran hak asasi manusia (HAM),
hukum, politik, perdata dan pidana.
Akibat dampak pencemaran tersebut, maka sudah seharusnya bagi Pemerintah
Indonesia harus : 1.mengambil langkah untuk menutup PT Lapindo Brantas Inc, 2. dengan
membebankan tanggung jawab penuh dalam penyelesaian masalah lumpur panas, PT
10
.Data : ANTV, Tgl 8 Juni 2006, Kompas,Tgl 8 Juni 2006, Try Harijono, Jawa Pos,Tgl 2 Juni 2006,
Surya, Tgl 10 Juni 2006, iit/ant., Marcilinus, anggota Ikatan Ahli Geologi Indonesia dan Koran Tempo, tgl 16 Juni
2006.
Lapindo Brantas Inc./PT Energi Mega Persada harus menjamin sepenuhnya hak hidup
masyarakat korban dan pemulihan kerusakan lingkungan hidup akibat lumpur panas, 3.
aparat penegak hukum konsisten dalam mengusut aspek kejahatan lingkungan yang
dilakukan oleh PT Lapindo Brantas Inc., meliputi pemegang saham, dan meminta
keterangan dari pihak-pihak terkait, seperti Mentri Energi dan Sumber Daya Mineral
(ESDM) dan BP Migas, 4. Presiden melalui ESDM, Dirjen Migas, dan BP Migas,
bertanggungjawab untuk memastikan penyelesaian masalah lumpur panas tanpa membebani
anggaran belanja negara maupun daerah, 5.mengkaji ulang seluruh perundang-undangan
yang terkait dengan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya mineral dan menempatkan
aspek keselamatan dan kesejahteraan rakyat serta keselamatan dan keberlanjutan
lingkungan hidup sebagai prioritas pertama dan utama dan melakukan proses audit atas
eksplorasi dan eksploitasi migas di kawasan pemukiman padat untuk meninjau kembali
kelayakan proyek-proyek tersebut.
Peristiwa luapan Lumpur Lapindo Sidoarjo Surabaya, Jawa Timur yang terjadi
pada tanggal 28 Mei 2006 kira-kira pukul 22.00, disebabkan kebocoran gas hidrogen sulfida
(H2S) di areal ladang eksplorasi gas Rig TMMJ # 01, di lokasi Banjar Panji perusahaan PT.
Lapindo Brantas (Lapindo) di Desa Ronokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo.
Dimana kebocoran gas tersebut berupa semburan asap putih dari rekahan tanah,
membumbung tinggi sekitar 10 meter. Semburan gas tersebut disertai keluarnya cairan
lumpur dan meluber ke lahan warga. Semburan lumpur panas di kabupaten Sidoarjo sampai
saat ini belum juga bisa teratasi. Semburan yang akhirnya membentuk kubangan lumpur
panas ini telah memporak-porandakan sumber-sumber penghidupan warga setempat dan
sekitarnya. Kompas edisi Senin (19/6/06) melaporkan, tak kurang 10 pabrik harus tutup,
dimana 90 hektar sawah dan pemukiman penduduk tak bisa digunakan dan ditempati lagi,
begitu pula dengan tambak-tambak bandeng, belum lagi jalan tol Surabaya-Gempol yang
harus ditutup karena semua tergenang lumpur panas. Berdasarkan data yang didapat
WALHI Jawa Timur, yang mencatat jumlah pengungsi di lokasi Pasar Porong Baru
sejumlah 1110 Kepala Keluarga dengan Rincian 4345 jiwa dan 433 Balita, Lokasi Kedung
Bendo jumlah pengungsi sebanyak 241 Kepala Keluarga yang terdiri dari 1111 Jiwa dan
103 Balita, Lokasi Balai Desa Ronokenongo sejumlah 177 Kepala keluarga dengan rincian
660 jiwa.
Bencana luapan Lumpur lapindo didasari aspek politis, yang merupakan sebagai
legalitas usaha (eksplorasi atau eksploitasi), dimana Lapindo telah mengantongi izin usaha
kontrak bagi hasil/production sharing contract (PSC) dari Pemerintah sebagai otoritas
penguasa kedaulatan atas sumberdaya alam. Berdasarkan poin tersebut dalam kaitannya
pada kasus luapan lumpur panas, pemerintah Indonesia telah lama menganut sistem
ekonomi neoliberal dalam berbagai kebijakannya, dimana seluruh potensi tambang migas
dan sumberdaya alam (SDA) “dijual” kepada swasta/individu (corporate based). Orientasi
profit an sich yang menjadi paradigma korporasi menjadikan manajemen korporasi buta
akan hal-hal lain yang menyangkut kelestarian lingkungan, peningkatan taraf hidup rakyat,
bahkan hingga bencana ekosistem. Di Jawa Timur saja, tercatat banyak kasus bencana yang
diakibatkan lalainya para korporat penguasa tambang migas, seperti contoh kasus pada
kebocoran sektor migas di kecamatan Suko, Tuban, milik Devon Canada dan Petrochina
(2001); kadar hidro sulfidanya yang cukup tinggi menyebabkan 26 petani dirawat di rumah
sakit. Kemudian kasus tumpahan minyak mentah (2002) karena eksplorasi Premier Oil.18,
yang terakhir tepat 2 bulan setelah tragedi semburan lumpur lapindo Sidoarjo, sumur
minyak Sukowati Desa Campurejo, Kabupaten Bojonegoro terbakar. Akibatnya, ribuan
warga sekitar sumur minyak Sukowati harus dievakuasi untuk menghindari ancaman gas
mematikan. Pihak Petrochina East Java, meniru modus cuci tangan yang dilakukan
Lapindo, mengaku tidak tahu menahu penyebab terjadinya kebakaran. Penjualan aset-aset
bangsa oleh pemerintahnya sendiri tidak terlepas dari persoalan kepemilikan. Dalam
perspektif Kapitalisme dan ekonomi neoliberal seperti di atas, isu privatisasilah yang
mendominasi setiap kasus pada dampak pencemaran lingkungan hidup.
Peristiwa luapan lumpur lapindo sidoarjo yang disebabkan karena tidak terdapatnya
sosial kontrol serta kurangnya penerapan sangsi pidana terhadap pelanggaran dari akibat
dampak pencemaran Lingkungan Hidup yang diatur oleh UU No. 23 Tahun 1997, dan
berkaitan dengan masalah tersebut Walhi sebagai wadah pengamat yang mempunyai tugas
dan fungsi terhadap lingkungan hidup yang seharusnya lebih serius untuk mengamati
gejala-gejala yang terjadi di sidoarjo surabaya jawa timur. Dimana kelalaian yang telah
terjadi yang menyebabkan luapan lumpur panas tersebut adalah merupakan sudah menjadi
tugas pemerintah untuk melaksanakan ketentuan UU No.23 tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No7/2004 tentang Sumber Dyaa Air c.q PP
No.42/2008 tentang Pengelolaan Sumberdaya Air dan UU 24/2007 tentang
Penanggulangan Bencana..
Sudah menjadi kewajiban dari Pemerintah terkait untuk merevitalisasi dari korban-
korban serta dampak dari luapan lumpur lapindo tersebut terhadap keharusan dari PT
Lapindo untuk memberikan ganti kerugian terhadap kerugian yang diderita oleh
masyarakat maupun perusahaan-perusahaan yang berada disekitar luapan lumpur sidoarjo,
surabaya jawa timur. Terhadap suatu kejahatan korporasi dapat dituntut atau dikenakan
sangsi pidana serta penuntutan ganti kerugian yang berdasarkan Undang-Undang N0. 23
Tahun 1997 tentang Lingkunga Hidup yang didalam pasal 29 ayat 5, yang berdasarkan
hasil audit lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat ini merupakan dokumen yang
bersifat terbuka untuk umum, sebagai upaya perlindungan masyarakat karena itu harus
diumumkan. Kemudian dalam pasal 30 ayat 1, 2 dan 3 menyatakan untuk melindungi hak
keperdataan para pihak yang bersengketa, dengan maksud untuk mencegah terjadinya
putusan yang berbeda mengenai suatu sengketa lingkungan hidup dan untuk menjamin
kepastian hukum.
D. Sangsi Hukuman Berupa Tuntutan Sangsi Pidana dan Perdata serta Sangsi
Administratif Terhadap Badan Hukum yang telah Melakukan Kelalaian.
Terdapatnya aspek pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan sejalan dengan PP
No. 85/1999 mengenai pengelolaan limbah B3, yang dilakukan oleh PT Lapindo Brantas
Inc, baik secara langsung maupun tidak langsung yang telah merugikan masyarakat dalam
pelbagai segi, misalnya, ekonomi, sosial, dan budaya. Tak bisa dibayangkan, ribuan pekerja
kehilangan mata pencaharian, produktivitas kerja masyarakat menurun, ribuan (bahkan
jutaan dimasa yang akan datang) anak terancam putus sekolah, dan perekonomian Jawa
Timur tersendat. Yang sampai sekarang terhadap penegakan hukum atas kasus luapan
Lumpur Lapindo tak kunjung ada kejelasannya. Dan terhadap pertanggung jawaban pidana
(criminal liability) dari pimpinan korporasi (factual leader) dan pemberi perintah
(instrumention giver), keduanya dapat dikenakan hukuman secara berbarengan. Hukuman
tersebut bukan karena perbuatan fisik atau yang nyata, akan tetapi berdasarkan fungsi yang
diembannya di dalam suatu perusahaan.
Melihat kepada data-data serta fakta-fakta pelanggaran konspiratif dalam perolehan
ijin eksplorasi, pengawasan pemerintah yang tidak serius kepada Lapindo, termasuk
pembiaran penggunaan peralatan dan teknologi pemboran yang asal-asalan, prediksi
geologis pemboran Sumur BJP-1 yang banyak kelirunya sehingga pelaksanaan pemboran
menyimpang dari perencanaan, lalu menimbulkan semburan lumpur yang menghancurkan
nasib masyarakat secara meluas yang ditangani dengan cara ketidakadilan, maka peristiwa
itu dapat dikategorikan sebagai kejahatan kemanusiaan sebagai bentuk pelanggaran HAM
berat, dengan terusirnya kelompok penduduk akibat konspirasi pengelolaan usaha migas
Blok Brantas itu. Pelanggaran HAM berat yang dirumuskan pasal 9 huruf d dan e UU No.
26/2000 tentang Pengadilan HAM menentukan: "Kejahatan terhadap kemanusiaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan
sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa
serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa : ... d.
pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; e. perampasan kemerdekaan atau
perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas)
ketentuan pokok hukum internasional; ..." Penegak HAM harus memahami tafsir historis
UU No. 26/2000 tersebut yang diadobsi dari Roma Statute of The International Criminal
Court (Statuta Roma), yang memuat ketentuan tentang kejahatan kemanusiaan yang sangat
serius (the most serious crimes) yang kemudian diterjemahkan menjadi `pelanggaran HAM
berat´ oleh UU No. 26/2000. Tetapi pembuat UU No. 26/2000 memotong kalimat pada
huruf k pasal 7 ayat (1) Statuta Roma yang menentukan bentuk kejahatan kemanusiaan lain,
yaitu : “Other inhumane acts of a similar character intentionally causing great suffering, or
serious injury to body or to mental or physical health”.
Sebagimana pengaturan sanksi hukumam terhadap bencana luapan Lumpur panas
Lapindo sidoarjo, dapat diancam hukuman sebagai mana yang diatur pelaku dalam Undang-
Undang No. 23 Tahun 1997 mengatur mengenai sangsi berupa sanksi Administrasi diatur
oleh Pasal 25 sampai dengan Pasal 27 dan sanksi Pidana diatur oleh Pasal 41 sampai
dengan Pasal 48. Dan terhadap sangsi administrasi adalah merupakan sebagai hukuman
yang dijatuhkan bagi pelaku pelanggaran terhadap lingkungan hidup, yang berupa
pencabutan perizinan usaha/kegiatan yang berkaitan dengan lingkungan hidup dan
berakibat usaha/kegiatan tersebut berhenti secara total, dengan berkewajiban memulihkan
kembali lingkungan hidup yang telah tercemar atau yang telah hancur akiban luapan
lumpur panas sidoarjo yang sampai sekarang belum dapat diatasi..
Sedangkan terhadap sanksi pidana adalah merupakan sebagai hukuman yang
dilakukan dengan sengaja, kealpaannya, kelalaian atau informasi palsu melakukan
perbuatan yang mengakibatkan pencemaran atau pengrusakan akibat jebolnya tanggul dapat
di ancam pidana penjara sekurang-kurangnya 5 tahun atau sampai seberat-beratnya 15
tahun atau denda sekurang-kurangnya Rp.100.000.000,- atau sampai sebesar Rp.
500.000.000,- sesuai dengan tingkat pelanggaran/kelalaian yang dilakukan oleh pelaku
usaha lingkungan hidup dalam hal ini pemerintah terkait. Sesuai dengan kasus luapan
lumpur panas lapindo, dimana pada kasus tersebut adalah sebagai akibat tidak
terealisasikannya landasan hukum serta social kontrol pengawasan terhadap dampak luapan
lumpur lapindo dalam kaitannya terhadap pencemaran terhadap lingkungan hidup, terutama
pada instansi terkait yang telah memberi perizinan terhadap pemboran disidoarjo tersebut.
Walaupun sudah jelas pengaturan dari Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang
lingkungan hidup yang merupakan sebagai payung hukum untuk melandasi segala kegiatan
yang membawa dampak lingkungan hidup, yang sudah pasti akan berdampak negatif
terhadap kehidupan manunusia, begitu pula terhadap pengaturan sanksi administrative dan
sanksi pidananya.
Tindakan Gugatan Class Action dimana dasar hukum yang diajukannya adalah pasal
1365 KUH Perdata yang menyatakan bahwa "setiap perbuatan melanggar hukum, yang
membawa kerugian bagi orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan
kerugian, mengganti kerugian tersebut."? Untuk dapat dikatakan sebagai Perbuatan
Melawan Hukum berdasar Pasal 1365 KUH Perdata, suatu perbuatan harus memenuhi
unsur-unsur sebagai berikut :
1. Adanya perbuatan melawan hukum.
2. Adanya unsur kesalahan.
3. Adanya kerugian.
4. Adanya hubungan sebab akibat yang menunjukkan bahwa adanya kerugian disebabkan
oleh kesalahan seseorang.
Terdapat unsur melawan hukum dimana suatu perbuatan melawan hukum memenuhi unsur-
unsur yang dianggap :
1. Bertentangan dengan hak orang lain.
2. Bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri.
3. Bertentangan dengan kesusilaan.
4. Bertentangan dengan keharusan yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat
mengenai orang lain atau benda.
Unsur-unsur yang pada dasarnya bersifat alternatif, artinya untuk memenuhi bahwa
suatu perbuatan melawan hukum, tidak harus dipenuhi semua unsur tersebut. Jika suatu
perbuatan sudah memenuhi salah satu unsur saja, maka perbuatan tersebut dapat dikatakan
sebagai perbuatan melawan hukum. Dalam perkara ini, perbuatan melawan hukum yang
dilakukan para tergugat adalah yang bertentangan dengan hak orang lain dan kewajiban
hukumnya sendiri. Berkaitan dengan kasus tersebut, banyak masyarakat konsumen merasa
dirugikan dengan masalah kualitas pelayanan. Mengenai masalah kualitas pelayanan, pihak
Komparta telah melakukan riset di wilayah Jakarta Barat, Jakarta Utara, Jakarta Timur, Jakarta
Selatan dan Jakarta Pusat. Dari kelima wilayah, pihak Komparta menemukan bahwa banyak
konsumen air minum yang dirugikan khususnya dengan adanya berbagai persoalan mengenai
kualitas pelayanan yang tidak memadai. Kedua, masalah teknis juga terkadang dialami oleh
para konsumen.
Masalah teknis itu seperti masalah indikasi kebocoran dan juga selain itu juga
mengenai persoalan aktivitas dari pihak perusahaan air minum itu banyak merugikan
masyarakat atau lingkungan sekitarnya, misalnya dalam persoalan mengenai penanaman pipa,
kelambanan memperbaiki galian. Semua hal itu melandasi bahwa masyarakat konsumen ini
banyak mengalami kerugian-kerugian selama pelayanan-pelayanan maupun dari sisi kebijakan-
kebijakan yang dilakukan dan juga dirasakan oleh masyarakat konsumen. Menyalahi UUPKI ?
Menanggapi gugatan itu, kuasa hukum para tergugat dari kuasa hukumnya Gubernur DKI
jakarta dan DPRD DKI Jakarta menilai bahwa gugatan yang dilayangkan LSM Komparta tidak
memenuhi persyaratan yang ditetapkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK).
Dimana kuasa hukum tergugat mendalilkan pendapatnya pada pasal 46 ayat (1) UUPK.
Berdasarkan ketentuan ini gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh (1)
seorang konsumen; (2) sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama; (3)
lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, dan (4) pemerintah atau instansi terkait.
Tergugat sepakat bahwa gugatan Komparta dapat dikategorikan sebagai gugatan yang diajukan
lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat. Namun, gugatan tersebut tidak
memenuhi persyaratan sebagai gugatan class action. Berdasarkan pasal 46 ayat (1) huruf
UUPK, lembaga konsumen swadaya masyarakat (yang mengajukan gugatan) haruslah
berbentuk badan hukum atau yayasan.
Berdasarkan penelusuran tergugat, Komparta baru dideklarasikan pada 21 Maret 2003
dan beranggotakan 17 orang, dimana organisasi tersebut memang mempunyai struktur
kepengurusan, anggaran dasar, dan anggaran rumah tangga. Tetapi dari segi yuridis, Komparta
belum masuk kategori badan hukum atau yayasan. Sebab, ternyata Komparta baru terdaftar di
kantor notaris di Jakarta. Sudaryatmo, Divisi Litigasi YLKI, berpendapat bahwa ketentuan
pasal 46 di atas harus dilihat sebagai upaya pembuat undang-undang menciptakan lembaga
konsumen swadaya masyarakat yang baik. Lembaga yang mewakili konsumen harus benar-
benar menunjukkan kiprahnya sehingga layak disebut mewakili konsumen.Seingat Sudaryatmo,
ketentuan di atas merujuk ketentuan serupa di Belanda. Di lembaga konsumen yang menggugat
mewakili konsumen harus secara riil membuktikan kiprahnya. Status organisasi harus
mencantumkan kegiatan mereka di bidang perlindungan konsumen.
Namun demikian dalam putusan sela pertama, hakim menolak eksepsi dari para pihak
tergugat tersebut, demikian juga pada sebelum putusan akhir dibacakan majelis hakim pun
menolak materi eksepsi dari. Para Tergugat berpendapat dalam eksepsinya bahwa gugatan
Penggugat seharusnya dilayangkan ke PTUN, bukan ke Pengadilan Negeri, sehingga pada
akhirnya majelis hakim mengabulkan tuntutan dari para pihak Penggugat yang diwakili oleh
LSM Komparta tersebut. Berkaitan dengan kasus-kasus class action tersbut diatas dan juga
perkara Class Action yang ada di Indonesia, seperti pada sidang gugatan Class Action Korban
Tahun 1965. Pada sidang gugatan class action korban-korban orde baru pada tahun 1965 di
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (3/diganggu sekelompok orang yang mengatas namakan
kelompok keagamaan dan nasionalisme. Sunarno, 71 tahun eks tapol yang saat ini menjadi
Dewan Pengurus Pusat Lembaga Penelitian Korban Peristiwa 1965, menyatakan hanya
menuntut hak mereka dan tidak ingin macam-macam. “Kami merasa tidak bersalah tapi
dipersalahkan begitu saja,”katanya. Selain itu menurut Sunarno kedatangan eks tapol-napol
secara berombongan bahkan dari daerah pada acara persidangan tersebut dikarenakan mereka
ingin mengetahui pengadilan tersebut akan meluruskan orang-orang yang tidak pernah
dinyatakan salah dalam pengadilan. “Kalau salah, ya, salah, tapi biar nanti pengadilan yang
menentukan. Menanggapi sikap sekelompok orang yang mendomo gugatan para korban
kekejaman orde baru itu, Sunarno hanya bisa sabar. “Terserah itu hak mereka, kami
menghormati hak orang, jadi hargailah kami, kami juga berhak mengajukan gugatan lebih baik
saling menghargai hak masing-masing,”katanya. Dan senada dengan perkataan tersebut, Toga
Tambunan menyatakan harapannya agar haknya sebagai Warga Negara dikembalikan. “Kami
mengharapkan keadilan dari sisi ekonomi, sosial dan budaya dipulihkan, paling tidak kita setara
dengan masyarakat umum dalam perkara hukum,” ujarnya. Menurut Toga, dia pada usia 13,5
tahun ditahan tanpa pernah diadili dan itu merupakan kerugian besar bagi seseorang yang di
penjara. “Kami dipenjara tapi tidak tau apa dan siapa yang melakukan hal ini padahal dari sisi
hukum mestinya yang bersalah yang dituntut,” Sebenarnya kejahatan orde baru di bawah
Suharto bukan hanya terjadi pada orang-orang yang disebut PKI, tetapi juga terhadap ummat
Islam dan kelompok-kelompok yang menentang pemerintah diktatorial dan korup.
Berkaitan dengan kasus-kasus tersebut, penulis mengutip penyataan Wakil Ketua
Mahkamah Agung RI, dalam Pengarahan pada Rapat Kerja Nasional Tahun 2008 di Jakarta,
Mengenai kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara yang berkaitan dengan kasus Class
Action, dimana adanya gugatan yang diajukan oleh beberapa orang mewakili orang banyak
yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan TUN yang dikeluarkan oleh
Pejabat TUN. Gugatan dimaksud adalah gugatan perwakilan kelompok (class action), namun
permasalahannya adalah apakah sengketa tersebut merupakan sengketa TUN yang timbul
karena dikeluarkannya keputusan TUN. Dimana keputusan TUN, menurut Pasal 1 angka 3
Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986
tentang Peradilan TUN, adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau
Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN yang berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual dan final, yang menimbulkan akibat
hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Pada intinya, bahwa keputusan TUN yang disengketakan itu harus bersifat konkrit,
individual dan final (kif). Dalam suatu gugatan class action, wakil kelompok yang mengajukan
gugatan bukan saja bertindak untuk diri mereka sendiri tetapi juga anggota kelompok yang
jumlahnya banyak yang identitasnya ada yang belum diketahui. Sedangkan Pasal 53 ayat (1)
Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 dengan tegas menyatakan bahwa Penggugat dalam suatu
gugatan haruslah orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh
suatu keputusan TUN yakni penetapan tertulis yang bersifat konkrit, individual dan final.
Keputusan TUN yang bersifat individual adalah keputusan TUN yang tidak ditujukan untuk
umum, melainkan tertentu baik alamat maupun hal yang dituju. Jika yang dituju tersebut lebih
dari seorang, maka tiap-tiap nama orang yang terkena keputusan itu harus disebutkan.
Berdasarkan yang telah uraian, gugatan class action tidak dimungkinkan pada Pengadilan
dalam Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (TUN).
Terdapatnya titik singgung dengan Peradilan Umum, dimana Seringkali gugatan
pembatalan suatu sertifikat tanah diajukan oleh seseorang (yang tidak menguasai tanah
sengketa) yang merasa kepentingannya dirugikan karena dikeluarkannya sertifikat tanah
dimaksud atas nama orang lain. Dalam sengketa sertifikat tanah tersebut Hakim haruslah
berhati-hati dengan benar-benar mempertimbangkan apakah sengketa tersebut adalah sengketa
TUN ataukah sengketa kepemilikan atas tanah dimaksud yang menjadi kompetensi Peradilan
Umum untuk memeriksa dan memutusnya. Yang seyogyanya Peradilan TUN dalam memeriksa
dan memutus gugatan tentang sertifikat tanah berpegang teguh pada ketentuan Pasal 53 ayat (2)
Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 yakni : a. Apakah keputusan TUN yang digugat (i.c.
sertifikat tanah) bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. Apakah
keputusan TUN yang digugat bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Dalam permaslahan ini, Hakim harus juga memperhatikan Pasal 2 Undang-Undang No.
9 Tahun 2004, antara lain keputusan TUN yang merupakan perbuatan hukum perdata
sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 2 huruf a Undang-Undang No. 9 Tahun 2004,
tidak termasuk dalam pengertian keputusan TUN menurut undang-undang tersebut. Kebijakan
Hukum yang harus diambil, pada tanggal 9 September 2006, Presiden telah menandatangani
surat keputusan pembentukan Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo,
yang didalamnya menyebutkan tim dibentuk untuk menyelamatkan penduduk di sekitar lokasi
bencana, menjaga infrastruktur dasar, dan menyelesaikan masalah semburan lumpur dengan
risiko lingkungan paling kecil dan Tim dipimpin Basuki Hadi Muljono, Kepala Badan
Penelitian dan Pengembangan Departemen Pekerjan Umun, dengan tim pengarah sejumlah
menteri, diberi mandat selama enam bulan dan seluruh biaya untuk pelaksanaan tugas tim
nasional ini dibebankan pada PT Lapindo Brantas.
Dilakukan penahanan terhadap tersangka, Polda Jawa Timur telah menetapkan 12
tersangka, yaitu 5 orang dari PT Medici Citra Nusantara, 3 orang dari PT Lapindo Brantas, 1
orang dari PT Energi Mega Persada dan 3 orang dari PT Tiga Musim Jaya. PT Tiga Musim
Jaya terkait kasus Lapindo karena ia merupakan penyedia operator rig (alat bor). Dimana
tersangka dijerat Pasal 187 dan Pasal 188 KUHP dan UU No 23/1997 Pasal 41 ayat 1 dan Pasal
42 tentang pencemaran lingkungan, dengan ancaman hukum 12 tahun penjara, yang secara
otomatis UU pencemaran lingkungan hidup ini sudah termasuk kejahatan korporasi karena
merusak lingkungan hidup.
.
MENGANALISA PERMASALAHAN
Sebagai jawaban dari perumusan masalah yang secara factor internal, penulis
berusaha menganalisa permasalahan badan hukum/Perusahaan yang sudah menganggap
perusahaan tersebut tidak mampu membayar/pailit dapat terlepas dari kewajiban untuk
membayar dari pihak-pihak yang dirugikan tersebut, jika dengan berdasarkan suatu putusan
pengadilan yang didalam pertimbangannya bahwa PT. Lapindo dianggap pailit, akan tetapi
PT. Lapindo tersebut tidak terlepas dari kewajiban untuk tetap memberi ganti kerugian
kepada masyarakat maupun perusahaan yang mengalami kerugian akibat kecerobohan
maupun kelalaian dari Kegiatan pemboran gas tersebut. Karena mengingat setiap ekplotasi
dari pemboran gas tersebut sudah pasti telah dilakukan jaminan asuransi lokal maupun
asuransi internasional.
Berkaitan dengan masalah pertanggung jawaban dari akibat luapan Lumpur lapindo,
yang harus bertanggung jawab adalah selain PT. Lapindo, juga Pemerintah Daerah
(Gubernur) dan Pemerintah Pusat, yang harus segera mencari solusi atau jalan keluarnya,
sebagai penanggulangan dari dampak pencemaran luapan Lumpur lapindo, sidoarjo. Hal
mana yang keterkaitan pemerintah daerah maupun pemerintah pusat, didalam hal
pemberian izin, yang baik berdasarkan kebijakan ekonomi maupun kebijakan politis, baik
secara internal adalah berupakan sebagai kebijakan dasar maupun kebijakan pemberlakukan
dari Pemerintah daerah dan Pemerintah Pusat. Karena jika kita melihat ketentuan dari UU
No. 23 Tahun 1997 yang telah diuraikan diatas, yang bertanggung jawab untuk memberikan
ganti kerugian kepada korban luapan Lumpur panas sidoarjo adalah sudah merupakan
kewajiban dari badan hukum maupun pemerintah yang terkait yang menimbulkan dampak
pencemaran terhadap lingkungan hidup.
Sehubungan dengan gugatan Class Action yang diwakili oleh suatu Yayasan yang
berbentuk Badan Hukum/Lembaga Perlindungan Konsumen Indonesia, yang berdasarkan
pada dasar-dasar Ilmu Psikologis, Ilmu Hukum Pidana maupun Perdata, Politik Hukum,
Hak Asasi Manusia, Lingkungan Hidup dan pandangan Filsafat Hukum, dimana terhadap
korban lumpur lapindo dapat dimungkinkan melakukan gugatan Class Action yang dalam
hal ini diwakili oleh suatu Yayasan/Badan Hukum yang telah mendapat ijin dari Pemerintah
dengan berdasarkan Penetapan Pengadilan Negeri. Melihat dari kasus tersebut bahwa
gugatan Class Action adalah yang dianggap paling efektif untuk menyelesaikan kasus
korban Lumpur Lapindo, karena dari aspek-aspek keilmuannya telah terbuktinya telah
memenuhi berbagai unsur, yang dapat menjadi dasar tuntutan/gugatan ganti kerugian bagi
para korban luapan lumpur lapindo sidoarjo. Dengan tidak terlepas pula dari unsur-unsur
pidana yang dapat dibebankan hukuman yang berlapis, seperti Tindak Pidana Pelanggaran
Hak Asasi Manusia, Tindak Pidana Korporasi sesama instansi terkait, Tindak Pidana
Pencemaran Lingkungan Hidup, Tindak Pidana Korupsi dan lain-lain sebagainya.
Jika terhadap realisasi yang berdasarkan factor internal, tidak berjalan dengan
sebagaimana mestinya didalam hal mengenai pengganti kerugian dari para korban luapan
Lumpur Lapindo, Sidoarjo maka secara factor eksternal dimana pandangan dari dunia
internasional bahwa terhadap penerapan sistim hukum di Indonesia, belum dapat dikatakan
menjamin kepastian hukum. Mengingat terhadap kasus yang sudah jelas-jelas terlihat
adanya pelanggaran (secara factor internal) yaitu adanya pelanggaran Hak Asasi Manusia,
Tindak Pidana Korporasi sesama instansi terkait, Tindak Pidana Pencemaran Lingkungan
Hidup, Tindak Pidana Korupsi. Maka sudah dapat dipastikan Negara Indonesia akan
mendapat kecaman dari dunia Internasional karena tidak menjalankan dari apa yang sudah
merupakan hasil keputusan konfensi Internasional. Dan sudah barang tentu pula akan
membuat resah atau adanya keragu-raguan dari para infestor asing untuk menanamkan
modalnya di Indonesia, karena melihat bahwa undang-undang yang berlaku di Indonesia
tidak dapat menjamin terciptanya kepastian hukum.
K e s i m p u l a n.
1. Llingkungan Hidup sebagai karunia dan rahmat Tuhan Yang Maha Esa kepada rakyat dan
bangsa Indonesia yang merupakan ruang bagi kehidupan dalam segala aspek dan
lingkungannya yang selaras dengan Wawasan Nusantara, didalam rangka mendayagunakan
sumber daya alam serta untuk memajukan kesejahteraan umum seperti diamanatkan dalam
UU Dasar 1945, yang didasari dan diatur dalam UU No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (LN Tahun 1982 No. 12, Tambahan
Lembaran Negara No. 3215) untuk mencapai tujuan pembangunan yang berkelanjutan Cq
UU No. 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup.
3. Setelah terjadinya peristiwa Luapan Lumpur Lapindo Sidoarjo Surabaya, Jawa Timur
dimana Tanggal 28 Mei 2006, sekitar pukul 22.00 terjadi kebocoran gas hidrogen sulfida
(H2S) di areal ladang eksplorasi gas Rig TMMJ # 01, lokasi Banjar Panji perusahaan PT.
Lapindo Brantas (Lapindo) di Desa Ronokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten
Sidoarjo. Kebocoran gas tersebut berupa semburan asap putih dari rekahan tanah,
membumbung tinggi sekitar 10 meter. Semburan gas tersebut disertai keluarnya cairan
lumpur dan meluber ke lahan warga dan semburan lumpur panas tersebut sampai saat ini
belum juga bisa teratasi. Semburan yang akhirnya membentuk kubangan lumpur panas ini
telah memporak-porandakan sumber-sumber penghidupan warga setempat dan sekitarnya
yaitu tidak kurang dari 10 pabrik harus tutup, 90 hektar sawah dan pemukiman penduduk
tak bisa digunakan dan ditempati lagi, demikian juga dengan tambak-tambak banding dan
lain sebagainya. Dan terhadap data yang didapat bahwa terdapatnya jumlah pengungsi di
lokasi Pasar Porong Baru sejumlah 1110 Kepala Keluarga dengan Rincian 4345 jiwa dan
433 Balita, Lokasi Kedung Bendo jumlah pengungsi sebanyak 241 Kepala Keluarga yang
terdiri dari 1111 Jiwa dan 103 Balita, Lokasi Balai Desa Ronokenongo sejumlah 177
Kepala keluarga dengan rincian 660 jiwa.
4. Menurut analisa lingkungan, Bappedal Jawa Timur, Dinas Lingkungan Hidup dan
Pertambangan Sidoarjo, dan PT Lapindo Brantas Inc., disebutkan bahwa lumpur yang
menggenangi lebih dari 5 perkampungan warga mengandung konsentrasi fenol yang
melebihi ambang batas. Misalnya, dengan konsentrasi pada air, 46mg/1, 50% populasi ikan
mas mati. Selain itu, fenol merupakan racun bagi tumbuhan air, meski dalam kadar yang minimal,
dapat diurai oleh mikro organisme dan pada titik ini, dapat berbahayanya bila lumpur di buang ke
laut, karena mengandung kadar fenol yang melebihi batas normal amat rentan bagi kesehatan
manusia.
6. Berdasarkan Pendekatan Hukum Alam, yang tidak terlepas dari Hukum Kehutanan yang
mengatur hak-hak penguasaan atas hutan dan hasil hutan, dimana menurut UU No. 5
Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (LN.8/1967, TLN. 2832),
Hutan adalah suatu lapangan bertumbuh pohon-pohon yang secara keseluruhan merupakan
persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya yang oleh Pemerintah
ditetapkan sebagai hutan, industri, kayu bakar, bambu, rotan, rumpu-rumputan dan hasil
hewan seperti satwa buru, satwa elok. Berdasarkan Hukum Adat sebagai dasar
pembangunan hukum, didalam mengadakan unifikasi hukum adalah tidak memilih Hukum
Adat sebagai dasar utama pembangunan Hukum Tanah yang baru, yang secara sadar
diadakan kesatuan hukum yang memuat lembaga-lembaga dan unsur-unsur, baik yang
terdapat dalam Hukum Adat maupun Hukum Baru/Perundang-undangan yang berlaku.
Pada umumnya orang melihat dan mengartikan Hukum Adat hanya sebagai hukum positif
yaitu sebagai hukum yang merupakan suatu rangkaian norma-norma hukum, yang menjadi
pegangan bersama dalam kehidupan bermasyarakat.
7. Aspek pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), yang menurut WALHI, bahwa PT Lapindo
Brantas Inc. telah merugikan masyarakat dalam pelbagai segi, misalnya, ekonomi, sosial,
dan budaya dan tidak dapat dibayangkan, dimana ribuan pekerja kehilangan mata
pencaharian, produktivitas kerja masyarakat menurun, ribuan (bahkan jutaan dimasa yang
akan datang) anak terancam putus sekolah, dan perekonomian Jawa Timur tersendat.
Sampai pada saat sekarang ini, terhadap penegakan hukum atas kasus luapan Lumpur
Lapindo tak kunjung jelas, terdapatnya kebijakan politik yang minus etika lebih
dikedepankan ketimbang aspek keadilan masyarakat. Bedasarkan pengamatan WALHI, dari
pelbagai aspek yang mesti menjadi tanggung jawab PT Lapindo Brantas Inc./PT Energi
Mega Persada mencakup aspek pelanggaran hak asasi manusia (HAM), hukum, politik,
perdata dan pidana., sangat lambannya penyelesaian kasus lumpur Lapindo, dimana
WALHI akan mengupayakan suatu tindakan public inquiry, yang merupakan upaya yang
akan ditempuh oleh masyarakat melalui Dewan Perwakilan Rakyat, untuk meminta
pertanggung jawaban PT Lapindo Brantas Inc.
8. Terdapatnya suatu Kejahatan Korporasi, sesuai dengan Landasan Hukum, dimana pada Bab
IX Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU
No.23/1997), telah diatur sanksi pidana (penjara dan denda) terhadap badan hukum yang
melakukan pencemaran. Selanjutnya, pada pasal 46 UU No.23/1997 dinyatakan bila badan
hukum terbukti melakukan tindak pidana, maka sanksinya dijatuhkan selain terhadap badan
hukum, juga terhadap mereka yang memberi perintah atau yang menjadi pemimpin dalam
perbuatan tersebut. Kejahatan korporasi dalam sistim hukum Indonesia, diatur dalam UU
No.23/1997 tentang Lingkungan Hidup.
9. Pertanggung jawaban pidana (criminal liability) dari pimpinan korporasi (factual leader)
dan pemberi perintah (instrumention giver), keduanya dapat dikenakan hukuman secara
berbarengan. Hukuman tersebut bukan karena perbuatan fisik atau nyatanya, akan tetapi
berdasarkan fungsi yang diembannya di dalam suatu perusahaan. Sejalan dengan PP No.
85/1999 mengenai pengelolaan limbah B3. Dan dari aspek pelanggaran Hak Asasi Manusia
(HAM), PT Lapindo Brantas Inc. telah merugikan masyarakat dalam pelbagai segi,
misalnya, ekonomi, sosial, dan budaya. Tidak dapat dibayangkan, bahwa banyak ribuan
pekerja kehilangan mata pencaharian, produktivitas kerja masyarakat menurun, ribuan
(bahkan jutaan dimasa yang akan datang) anak terancam putus sekolah, dan perekonomian
Jawa Timur tersendat, dengan pelaksanaan penegakan hukum atas kasus lumpur Lapindo
tak kunjung jelas.serta adanya kebijakan politik minus etika lebih dikedepankan ketimbang
aspek keadilan masyarakat. Dan dalam aspek dampak mateiil maupun spikologis
seharusnya yng menjadi tanggung jawab PT Lapindo Brantas Inc./PT Energi Mega Persada
mencakup aspek pelanggaran hak asasi manusia (HAM), hukum, politik, perdata dan
pidana.
10. Bencana luapan Lumpur lapindo didasari aspek politis, yang merupakan sebagai legalitas
usaha (eksplorasi atau eksploitasi), dimana Lapindo telah mengantongi izin usaha kontrak
bagi hasil/production sharing contract (PSC) dari Pemerintah sebagai otoritas penguasa
kedaulatan atas sumberdaya alam. Berdasarkan poin tersebut dalam dalam kaitannya pada
kasus luapan lumpur panas, pemerintah Indonesia telah lama menganut sistem ekonomi
neoliberal dalam berbagai kebijakannya, dimana seluruh potensi tambang migas dan
sumberdaya alam (SDA) “dijual” kepada swasta/individu (corporate based). Orientasi profit
an sich yang menjadi paradigma korporasi menjadikan manajemen korporasi buta akan hal-
hal lain yang menyangkut kelestarian lingkungan, peningkatan taraf hidup rakyat, bahkan
hingga bencana ekosistem.
11. Akibat Dampak luapan Lumpur Panas, mengakibatkan banyaknya lingkungan fisik yang
rusak, kesehatan warga setempat juga terganggu, yang menyebabkan infeksi saluran
pernapasan dan iritasi kulit, karena lumpur tersebut juga mengandung bahan karsinogenik
jika menumpuk di tubuh dapat menyebabkan penyakit serius seperti kanker, mengurangi
kecerdasan, yang berdasarkan uji laboratorium terdapat kandungan bahan beracun dan
berbahaya (B3) yang melebihi ambang batas. Dalam sampel lumpur dan dianalisis oleh
laboratorium uji kualitas air terdapatnya fenol berbahaya untuk kesehatan dan kontak
langsung di kulit dapat membuat kulit seperti terbakar dan gatal-gatal dimana efek sistemik
atau efek kronis bisa disebabkan fenol masuk ke tubuh melalui makanan.
12. Luapan lumpur lapindo sidoarjo yang disebabkan karena tidak terdapatnya sosial kontrol
serta kurangnya penerapan sangsi pidana terhadap pelanggaran dari akibat dampak
pencemaran Lingkungan Hidup yang diatur oleh UU No. 23 Tahun 1997, dan berkaitan
dengan masalah tersebut Walhi sebagai wadah pengamat yang mempunyai tugas dan fungsi
terhadap lingkungan hidup yang seharus lebih serius untuk mengamati gejala-gejala yang
terjadi di sidoarjo surabaya jawa timur. Dimana kelalaian yang telah terjadi yang
menyebabkan luapan lumpur panas tersebut yang merupakan sudah menjadi tugas
pemerintah untuk melaksanakan ketentuann UU No.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup, UU No7/2004 tentang Sumber Dyaa Air c.q PP No.42/2008 tentang
Pengelolaan Sumberdaya Air dan UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana.
13. Terdapatnya aspek pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan sejalan dengan PP No.
85/1999 mengenai pengelolaan limbah B3, yang dilakukan oleh PT Lapindo Brantas Inc,
baik secara langsung maupun tidak langsung yang telah merugikan masyarakat dalam
pelbagai segi, misalnya, ekonomi, sosial, dan budaya. Tak bisa dibayangkan, ribuan pekerja
kehilangan mata pencaharian, produktivitas kerja masyarakat menurun, ribuan (bahkan
jutaan dimasa yang akan datang) anak terancam putus sekolah, dan perekonomian Jawa
Timur tersendat. Yang sampai sekarang terhadap penegakan hukum atas kasus lupana
lumpur Lapindo tak kunjung ada kejelasnnya. Dan terhadap pertanggung jawaban pidana
(criminal liability) dari pimpinan korporasi (factual leader) dan pemberi perintah
(instrumention giver), keduanya dapat dikenakan hukuman secara berbarengan. Hukuman
tersebut bukan karena perbuatan fisik atau yang nyata, akan tetapi berdasarkan fungsi yang
diembannya di dalam suatu perusahaan.
14. Sanksi hukumam terhadap pelsku ysng menyebsbksn bencana luapan lumpur panas lapindo
sidoarjo, dapat diancam hukuman sebagai mana yang diatur pelaku dalam Undang-Undang
No. 23 Tahun 1997 mengatur mengenai sangsi berupa sanksi Administrasi diatur oleh Pasal
25 sampai dengan Pasal 27 dan sanksi Pidana diatur oleh Pasal 41 sampai dengan Pasal 48.
Dan terhadap sangsi administrasi adalah merupakan sebagai hukuman yang dijatuhkan bagi
pelaku pelanggaran terhadap lingkungan hidup, yang berupa pencabutan perizinan
usaha/kegiatan yang berkaitan dengan lingkungan hidup dan berakibat usaha/kegiatan
tersebut berhenti secara total, dengan berkewajiban memulihkan kembali lingkungan hidup
yang telah tercemar atau yang telah hancur akiban luapan lumpur panas sidoarjo yang
sampai sekarang belum dapat diatasi.
15. Sanksi pidana, merupakan sebagai hukuman yang dilakukan dengan sengaja, kealpaannya,
kelalaian atau informasi palsu melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran atau
pengrusakan akibat jebolnya tanggung dapat di ancama pidana penjara sekurang-kurangnya
5 tahun atau sampai seberat-beratnya 15 tahun atau denda sekurang-kurangnya
Rp.100.000.000,- atau sampai sebesar Rp. 500.000.000,- sesuai dengan tingkat
pelanggaran/kelalaian yang dilakukan oleh pelaku usaha lingkungan hidup dalam hal ini
pemerintah terait. Sesuai dengan kasus luapan lumpur panas lapindo, dimana pada kasus
tersebut adalah sebagai akibatkan tidak terealisasikannya landasan hukum serta social
kontrol pengawasan terhadap dampak luapan lumpur lapindo dalam kaitannya terhadap
pencemaran terhadap lingkungan hidup, terutama pada instansi terkaita yang telah memberi
perizinan terhadap pemboran disidoarjo tersebut.
16. Gugatan Class Action dimana dasar hukum yang diajukannya adalah pasal 1365 KUH
Perdata yang menyatakan bahwa "setiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa
kerugian bagi orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian,
mengganti kerugian tersebut. Untuk dapat dikatakan sebagai Perbuatan Melawan Hukum
berdasar Pasal 1365 KUH Perdata, suatu perbuatan harus memenuhi unsur-unsur sebagai
berikut : 1. Adanya perbuatan melawan hukum, 2. Adanya unsur kesalahan, 3. Adanya
kerugian dan 4. Adanya hubungan sebab akibat yang menunjukkan bahwa adanya kerugian
disebabkan oleh kesalahan seseorang. Terdapat unsur melawan hukum dimana suatu
perbuatan melawan hukum memenuhi unsur-unsur yang dianggap : 1. Bertentangan dengan
hak orang lain, 2. Bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri, 3. Bertentangan
dengan kesusilaan dan 4. Bertentangan dengan keharusan yang harus diindahkan dalam
pergaulan masyarakat mengenai orang lain atau benda.
17. Unsur-unsur yang bersifat alternatif, artinya untuk memenuhi bahwa suatu perbuatan
melawan hukum, tidak harus dipenuhi semua unsur tersebut. Jika suatu perbuatan sudah
memenuhi salah satu unsur saja, maka perbuatan tersebut dapat dikatakan sebagai perbuatan
melawan hukum. Dalam perkara ini, perbuatan melawan hukum yang dilakukan para
tergugat adalah yang bertentangan dengan hak orang lain dan kewajiban hukumnya sendiri.
Berkaitan dengan kasus tersebut, banyak masyarakat konsumen merasa dirugikan dengan
masalah kualitas pelayanan.
18. Berkaitan dengan keputusan TUN, yang disengketakan itu harus bersifat konkrit, individual
dan final (kif). Dalam suatu gugatan class action, wakil kelompok yang mengajukan
gugatan bukan saja bertindak untuk diri mereka sendiri tetapi juga anggota kelompok yang
jumlahnya banyak yang identitasnya ada yang belum diketahui. Sedangkan Pasal 53 ayat
(1) Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 dengan tegas menyatakan bahwa Penggugat dalam
suatu gugatan haruslah orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya
dirugikan oleh suatu keputusan TUN yakni penetapan tertulis yang bersifat konkrit,
individual dan final. Keputusan TUN yang bersifat individual adalah keputusan TUN yang
tidak ditujukan untuk umum, melainkan tertentu baik alamat maupun hal yang dituju. Jika
yang dituju tersebut lebih dari seorang, maka tiap-tiap nama orang yang terkena keputusan
itu harus disebutkan. Berdasarkan yang telah uraian, gugatan class action tidak
dimungkinkan pada Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (TUN).
19. Terdapatnya titik singgung dengan Peradilan Umum, dimana Seringkali gugatan pembatalan
suatu sertifikat tanah diajukan oleh seseorang (yang tidak menguasai tanah sengketa) yang
merasa kepentingannya dirugikan karena dikeluarkannya sertifikat tanah dimaksud atas
nama orang lain. Dalam sengketa sertifikat tanah tersebut Hakim haruslah berhati-hati
dengan benar-benar mempertimbangkan apakah sengketa tersebut adalah sengketa TUN
ataukah sengketa kepemilikan atas tanah dimaksud yang menjadi kompetensi Peradilan
Umum untuk memeriksa dan memutusnya. Peradilan TUN dalam memeriksa dan memutus
gugatan tentang sertifikat tanah berpegang teguh pada ketentuan Pasal 53 ayat (2) Undang-
Undang No. 9 Tahun 2004 yakni : a. Apakah keputusan TUN yang digugat (i.c. sertifikat
tanah) bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. Apakah
keputusan TUN yang digugat bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang
baik.
20. Secara factor internal, bahwa badan hukum/Perusahaan yang sudah menganggap peusahaan
tersebut tidak mampu membayar/pailit dapat terlepas dari kewajiban untuk membayar dari
pihak-pihak yang dirugikan tersebut, jika dengan berdasarkan suatu putusan pengadilan
yang didalam pertimbangannya bahwa PT. Lapindo dianggap pailit, akan tetapi PT. lapindo
tersebut tidak terlepas dari kewajiban untuk tetap memberi ganti kerugian kepada
masyarakat maupun perusahaan yang mengalami kerugian akibat kecerobohan maupun
kelalaian dari Kegiatan pemboran gas tersebut. Dan terhadapa gugatan Class Action yang
diwakili oleh suatu Yayasan yang berbentuk Badan Hukum/Lembaga Perlindungan
Konsumen Indonesia, yang berdasarkan pada dasar-dasar Ilmu Psikologis, Ilmu Hukum
Pidana maupun Perdata, Politik Hukum, Hak Asasi Manusia, Lingkungan Hidup dan
pandangan Filsafat Hukum, dimana terhadap korban lumpur lapindo dapat dimungkinkan
melakukan gugatan Class Action yang dalam hal ini diwakili oleh suatu Yayasan/Badan
Hukum yang telah mendapat ijin dari Pemerintah dengan berdasarkan Penetapan
Pengadilan Negeri.
21. secara faktor eksternal, terhadap penggantian kerugian terhadap dari para korban luapan
Lumpur lapindo, sidoarjo, maka akan membawa dampak negatif karena pandangan dari
dunia internasional yang berkaitan dengan melihat dari kasus lumpur lapindo yang sampai
pada saat sekarang ini masih belum dapat diselesaikan baik semburan lupunya maupun
dalam hal penggantia kerugian terhadap para korban luapan lumpur lapindo tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Allen, Linda. “ Capital Markets And Institutions “: A Global View.New York, Brisbane,
Singapore : Jhon Wiley & Sons’s, Inc., 1997.
Asmon, I.E.” Pemilikan Saham Oleh Karyawan: Suatu Sistem Demokrasi Ekonomi Bagi
Indonesia”, dalam Didik J.Rachbini, ed , Pemikiran Kea rah Demokrasi Ekonomi.
Jakarta, LP3ES, 1990.
ANTV, Tgl 8 Juni 2006, Kompas,Tgl 8 Juni 2006, Try Harijono, Jawa Pos,Tgl 2 Juni 2006, Surya, Tgl 10 Juni
2006, iit/ant., Marcilinus, anggota Ikatan Ahli Geologi Indonesia dan Koran Tempo, tgl 16 Juni 2006.
Arsyad, Lincolin. “ Ekonomi Pembangunan”, Penerbit : Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN,
Edisi ke 4, tahun 2004.
Black and Daniel, “ Money and Bangkok”, Contemporary Pranctices, Politik and Isues
Business Publication INC.Plano, Texas 1991.
Beaver, William H. “ The Nature of Mandated Disclosure”, dalam Richard A. Posner dan
Kenneth E.Scott, ed, Economic of Corporation Law and Securities Regulation.Boston,
Toronto : Little Brown & Company, 1980.
Black, Henry Campbell.Black’s Law Dictionary, Sixt Edition.ST.Paul. Minn: West Publishing
Co, 1990.
Cabut PSC Lapindo, Solusi Terhadap Ancaman Bencana Bagi Masyarakat di Sekitar Blok
Brantas, http:// www.walhi. or.id/ kampanye/ cemar/industri/ 060728_psclapindo_ rep/
Coffe, Jhon C.Jr.” Market Failure And The Economic Case For A Mandatory Disclosure
System”.Virginia Law Review, vol. 70, 1984.
Corgill, Dennis.S.” Insider Trading, Price Signals, and Noisy Information”. Indiana Law
Journal, vol. 71, 1996.
Downes, John dan Jordan Elliot Gooman, “ Dictionary of Finance and Investment Term
“Diterjemahkan oleh Soesanto Budhidarmo. Jakarta : PT.Elex Media
Komputindo,1991.
Direktur Eksekutif WALHI Jawa Timur, Ridho Saiful Ashadi, dikutip Surabaya Pagi, 7 Juni 2006, isa, herinta).
Eisert, Edward G “ Legal Strategis for Avoiding Class Action Law Suit Against Mutual
Funds”. Securities Regulation Law Journal. Vol.24, 1996.
---------- (en) BBC: Ahli geologis menentukan bahwa penyebab musibah adalah pengeboran
Lapindo
Fischel, Daniel R.” Efficient Capital Markets, The Crash, and the Fraud on the Market Theory”.
Delaware Journal of Corporate Law, vol. 74, 1989.
Frederic.S.Mishkin, The Economics of Money, Bangking and Financial Market, Sixth Edition,
Addison Wesley Longman USA, 2001.
Harzel Leo & Richard Shepro.” Setting the Boundaries for Disclosure”.Delevare Journal of
Corporate Law, vol. 74 1989.
Hidayat, Ade, Marthen Selamet Susanto, dan Sri Unggul Azul Sjafrie.I.Putu Gede Ary Suta.
“Menuju Pasar Modal Modern’. Jakarta : Yayasan SAD Satria Bhaktu, 2000.
-------------- http://www,google.com, sumber data dari artikel yang terkait.
----------- Hot Mud Flow in East Java, Indonesia, Blog.
----------- Holm, C. Muckraking in Java’s gas fields. Asia Times Online. 14 Juli 2006.
----------- Hot Mud Flow in East Java, Indonesia, Blog.
----------- Hamid, A. Bahaya Lumpur Lapindo. ICMI Online. 20 Juni 2006.
----------- Hot Mud Flow in East Java, Indonesia, ibid.
----------- Hessen, R. Capitalism. The Concise Encyclopedia of Economics.
----------- Heilbroner, R. Socialism. The Concise Encyclopedia of Economics.
----------- Hardin, G. The Tragedy of the Commons. SCIENCE 162 (1968): 1243-48.
Jeffrey D. Snavely. “Centrak Bank v. First Intersyaye Bank” : Will the Death of the Salesman
Stop the Selling?” University of Toledo Law Review (Vol.26, Spring 1995), hal.
695.and Frank H. Easterbrook dan Daniel R.Fischel, 1, The Economoc Structure of
Corporate Law.(Cambridge, Massachusetts, London : Harvard University Press,
1996), hal.296-297.
Konsepsi Hukum Adat adalah “dirumuskan sebagai konsepsi yang komunalistik religius, yang
memungkinkan penguasaan tanah secara individual , dengan hak-hak atas tanah yang
bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsure kebersamaan “. Sifat komunalistik
menunjuk kepada adanya hak bersama para anggota masyarakat hokum adat atas
tanah, yang dalam kepustakaan hokum disebut Hak Ulayat.
Kertas Posisi WALHI Terhadap Kasus Lumpur Panas PT. Lapindo Brantas,
http://www.walhi.or.id/kampanye/cemar/industri/070707_lumpurlapindo_kp/
Karmel, Roberta S.” Is the Shingle Theory Dead”.Washington & Lee Law Review, vol 52,
1995.
Karnaen Perwataatmadja dan Muhammad Syafe’I Antonio, “Apa dan Bagaimana Bank Islam”,
PT.Dara Bhakti Prima Yasa Yogyakarta, 1992., Kasmir, “ Bank dan Lembaga
Keuangan lainnya”, Pt.Raja Grafindo, Jakarta, 1997.
-------------- Kompas edisi Senin , Tanggal 19- 06 tahun 2006.
----------- Koran Tempo, 16 Juni 06.
----------- Kompas, 8 Juni 2006.
Lynn A. Stout, Op.cit, hal 615.lihat juga Marvin G. Pickholz dan Edwar B.Horahan III, “The
SEC’s Version of the Efficient Market Theory and Its Impact on Securities Law
Liabilities”,Washington and Lee Law Review.(Vo;.39, 1982).
------------ Lapindo Press Release, 15 Juni 2006.
Marc I. Steinberg, I. Understanding Securities Law, Second Edition, (New York, San Fransisco
: Matthew Bender & Co.Inc, (1996).
------------ Marcilinus, anggota Ikatan Ahli Geologi Indonesia.
Saptariani, N. Potret Perspektif Keadilan Gender dalam Pengelolaan SDA di Indonesia. Jurnal
Perdikan.
Soejono Soekanto, Mengenai Sosiologi Hukum, Bandung, PT. Citra Bakti, 1989.
Teguh Pudjo Mulyono, “Anlisis Laporan Keuangan untuk Perbankan”, Penerbit
Djambatan , Jakarta, 1999.
Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 Pasal 1 angka 1 : “menyatakan : Ruang adalah wadah
yang meliputi ruang daratan, ruang lautan dan ruang udara sebagai satu kesatuan
wilayah tempat manusia dan makhlik lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta
memelihara kelangsungan hidupnya”.
----------- Zallum, A.Q. 1988. Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah (terj.). Hizbut Tahrir.
Menimbang:
e. bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut pada huruf a, b, c, d, dan e di atas perlu
ditetapkan Undang-undang tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;
Mengingat:
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945;
DenganPersetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Ruang lingkup lingkungan hidup Indonesia meliputi ruang, tempat Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berWawasan Nusantara dalam melaksanakan kedaulatan, hak berdaulat, dan
yurisdiksinya.
BAB II
ASAS, TUJUAN, DAN SASARAN
Pasal 3
Pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggarakan dengan asas tanggung jawab negara, asas
berkelanjutan, dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan
yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya
dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa.
Pasal 4
BAB III
HAK, KEWAJIBAN, DAN PERAN MASYARAKAT
Pasal 5
(1) Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
(2) Setiap orang mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan
peran dalam pengelolaan lingkungan hidup.
(3) Setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka
pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundangundangan yang
berlaku.
Pasal 6
(2) Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban memberikan informasi
yang benar dan akurat mengenai pengelolaan lingkungan hidup.
Pasal 7
(1) Masyarakat mempunyai kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan
dalam pengelolaan lingkungan hidup.
(2) Pelaksanaan ketentuan pada ayat (1) di atas, dilakukan dengan cara:
(1) meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan kemitraan;
(1) menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat;
(2) menumbuhkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk melakukan
pengawasan sosial;
(3) memberikan saran pendapat;
(5) menyampaikan informasi dan/atau menyampaikan laporan.
BAB IV
WEWENANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
Pasal 8
(1) Sumber daya alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi
kemakmuran rakyat, serta pengaturannya ditentukan oleh Pemerintah.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 9
(3) Pengelolaan lingkungan hidup wajib dilakukan secara terpadu dengan penataan ruang,
perlindungan sumber daya alam non hayati, perlindungan sumber daya buatan, konservasi
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, keanekaragaman hayati dan
perubahan iklim.
Pasal 10
(5) mengembangkan dan menerapkan perangkat yang bersifat preemtif, preventif, dan
proaktif dalam upaya pencegahan penurunan daya dukung dan daya tampung lingkungan
hidup;
Pasal 11
(1) Pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat nasional dilaksanakan secara terpadu oleh
perangkat kelembagaan yang dikoordinasi oleh Menteri.
(2) Ketentuan mengenai tugas, fungsi, wewenang dan susunan organisasi serta tata kerja
kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Keputusan
Presiden.
Pasal 12
(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 13
(1) Dalam rangka pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah dapat menyerahkan
sebagian urusan kepada Pemerintah Daerah menjadi urusan rumah tangganya.
(2) Penyerahan urusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
BAB V
PELESTARIAN FUNGSI LINGKUNGAN HIDUP
Pasal 14
(1) Untuk menjamin pelestarian fungsi lingkungan hidup, setiap usaha dan/atau kegiatan
dilarang melanggar baku mutu dan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
(1) Ketentuan mengenai baku mutu lingkungan hidup, pencegahan dan penanggulangan pencemaran
serta pemulihan daya tampungnya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 15
Pasal 16
(1) Penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
menyerahkan pengelolaan limbah tersebut kepada pihak lain.
(3) Ketentuan pelaksanaan pasal ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 17
BAB VI
PERSYARATAN PENAATAN LINGKUNGAN HIDUP
Bagian Pertama Perizinan
Pasal 18
(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan
penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan
hidup untuk memperoleh izin melakukan usaha dan/atau kegiatan.
Pasal 19
Pasal 20
(1) Setiap orang dilarang membuang limbah yang berasal dari luar wilayah
Indonesia ke media lingkungan hidup Indonesia.
(3) Pembuangan limbah ke media lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) hanya dapat dilakukan di lokasi pembuangan yang ditetapkan oleh Menteri.
(5) Ketentuan pelaksanaan pasal ini diatur lebih lanjut dengan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 21
Setiap orang dilarang melakukan impor limbah bahan berbahaya dan beracun.
Pasal 22
(2) Untuk melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat
menetapkan pejabat yang berwenang melakukan pengawasan.
(3) Dalam hal wewenang pengawasan diserahkan kepada Pemerintah Daerah, Kepala
Daerah menetapkan pejabat yang berwenang melakukan pengawasan.
Pasal 23
Pengendalian dampak lingkungan hidup sebagai alat pengawasan dilakukan oleh suatu
lembaga yang dibentuk khusus untuk itu oleh Pemerintah.
Pasal 24
Pasal 25
(1) Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I berwenang melakukan paksaan
pemerintahan terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk mencegah dan
mengakhiri terjadinya pelanggaran, serta menanggulangi akibat yang ditimbulkan oleh
suatu pelanggaran, melakukan tindakan penyelamatan, penanggulangan, dan/atau
pemulihan atas beban biaya penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan, kecuali
ditentukan lain berdasarkan Undang-undang.
(2) Wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diserahkan kepada
Bupati/Walikotamadya/Kepala Daerah Ti ngkat II dengan Peratu ran Daerah Tingkat I.
(3) Pihak ketiga yang berkepentingan berhak mengajukan permohonan kepada pejabat
yang berwenang untuk melakukan paksaan pemerintahan, sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2).
(4) Paksaan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), didahului
dengan surat perintah dari pejabat yang berwenang.
Pasal 26
(1) Tata cara penetapan beban biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal
25 ayat (1) dan ayat (5) serta penagihannya ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.
(1) Dalam hal peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum
dibentuk, pelaksanaannya menggunakan upaya hukum menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pasal 27
(1) Pelanggaran tertentu dapat dijatuhi sanksi berupa pencabutan izin usaha dan/atau
kegiatan.
(2) Kepala Daerah dapat mengajukan usul untuk mencabut izin usaha dan/atau kegiatan
kepada pejabat yang berwenang.
Pasal 28
(2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang diperintahkan untuk melakukan
audit lingkungan hidup wajib melaksanakan perintah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
(2) Jumlah beban biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan
oleh Menteri.
BAB VII
PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP
Bagian Pertama Umum
Pasal 30
(1) Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau
di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa.
(2) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak berlaku terhadap tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam
Undang-undang ini.
Pasal 32
Pasal 33
(1) Pemerintah dan/atau masyarakat dapat membentuk lembaga penyedia jasa pelayanan
penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang bersifat bebas dan tidak berpihak.
Pasal 34
(2) Selain pembebanan untuk melakukan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), hakim dapat menetapkan pembayaran uang paksa atas setiap hari
keterlambatan penyelesaian tindakan tertentu tersebut.
Pasal 35
(3) Dalam hal terjadi kerugian yang disebabkan oleh pihak ketiga
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, pihak ketiga bertanggung
jawab membayar ganti rugi.
Pasal 36
Pasal 37
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 38
(1) Hak mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbatas pada
tuntutan untuk hak melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali
biaya atau pengeluaran riil.
Tata cara pengajuan gugatan dalam masalah lingkungan hidup oleh orang, masyarakat,
dan/atau organisasi lingkungan hidup mengacu pada Hukum Acara Perdata yang
berlaku.
BAB VIII
PENYIDIKAN
Pasal 40
(1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga Pejabat
Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup
tugas dan tanggung jawabnya di bidang pengelolaan lingkungan hidup,
diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Hukum Acara Pidana yang berlaku.
(1) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berwenang :
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan
berkenaan dengan tindak pidana di bidang lingkungan hidup;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga
melakukan tindak pidana di bidang lingkungan hidup;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan
dengan peristiwa tindak pidana di bidang lingkungan hidup;
d. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain
berkenaan dengan tindak pidana di bidang lingkungan hidup;
a. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga
terdapat bahan bukti, pembukuan, catatan, dan dokumen lain serta melakukan
penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan
bukti dalam perkara tindak pidana di bidang lingkungan hidup;
e. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan
tindak pidana di bidang lingkungan hidup.
(5) Penyidikan tindak pidana lingkungan hidup di perairan Indonesia dan Zona
Ekonomi Ekslusif dilakukan oleh penyidik menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
BAB IX
KETENTUAN PIDANA
Pasal 41
(1) Barang siapa yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan
perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup,
diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 42
Pasal 43
(3) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku tindak pidana diancam dengan pidana
penjara paling lama sembilan tahun dan denda paling banyak Rp450.000.000,00 (empat
ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 44
Pasal 45
Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh atau atas nama suatu
badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, ancaman pidana denda
diperberat dengan sepertiga.
(1) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh atau
atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan
pidana dilakukan dan sanksi pidana serta tindakan tata tertib sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 47 dijatuhkan baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan
atau organisasi lain tersebut maupun terhadap mereka yang memberi perintah untuk
melakukan tindak pidana tersebut atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam
perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya.
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini, dilakukan oleh atau atas
nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, dan dilakukan
oleh orang-orang, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, yang
bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau
organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana dijatuhkan terhadap
mereka yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin tanpa
mengingat apakah orang-orang tersebut, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar
hubungan lain, melakukan tindak pidana secara sendiri atau bersama-sama.
(3) Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan atau
organisasi lain, panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat-surat panggilan
itu ditujukan kepada pengurus di tempat tinggal mereka, atau di tempat pengurus
melakukan pekerjaan yang tetap.
Pasal 47
Selain ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
dan Undang-undang ini, terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup dapat pula
dikenakan tindakan tata tertib berupa:
(1) perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau
(2) penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan; dan/atau
(3) perbaikan akibat tindak pidana; dan/atau
(4) mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
(5) meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
(6) menempatkan perusahaan di bawah pengampuan paling lama tiga tahun
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini adalah kejahatan.
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 49
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 50
Pasal 51
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 19 September 1997 PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
ttd.
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 19 September 1997
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd.
MOERDIONO
I. UMUM
(2) Lingkungan hidup dalam pengertian ekologi tidak mengenal batas wilayah, baik
wilayah negara maupun wilayah administratif. Akan tetapi, lingkungan hidup yang
berkaitan dengan pengelolaan harus jelas batas wilayah wewenang pengelolaannya.
Lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan hidup Indonesia.
Secara hukum, lingkungan hidup Indonesia meliputi ruang tempat negara
Republik Indonesia melaksanakan kedaulatan dan hak berdaulat serta
yurisdiksinya. Dalam hal ini lingkungan hidup Indonesia tidak lain adalah
wilayah, yang menempati posisi silang antara dua benua dan dua samudera
dengan iklim tropis dan cuaca serta musim yang memberikan kondisi alam dan
kedudukan dengan peranan strategis yang tinggi nilainya sebagai tempat rakyat
dan bangsa Indonesia menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara dalam segala aspeknya. Dengan demikian, wawasan dalam
menyelenggarakan pengelolaan lingkungan hidup Indonesia adalah Wawasan
Nusantara.
Undang-undang ini memuat norma hukum lingkungan hidup. Selain itu, Undang-
undang ini akan menjadi landasan untuk menilai dan menyesuaikan semua peraturan
perundang-undangan yang memuat ketentuan tentang lingkungan hidup yang berlaku,
yaitu peraturan perundang-undangan mengenai pengairan, pertambangan dan energi,
kehutanan, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, industri, permukiman,
penataan ruang, tata guna tanah, dan lain-lain.
Pasal 1
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Berdasarkan asas tanggung jawab negara, di satu sisi, negara menjamin bahwa
pemanfaatan sumber daya alam akan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi
kesejahteraan dan mutu hidup rakyat, baik generasi masa kini maupun generasi masa
depan. Di lain sisi, negara mencegah dilakukannya kegiatan pemanfaatan sumber daya
alam dalam wilayah yurisdiksinya yang menimbulkan kerugian terhadap wilayah
yurisdiksi negara lain, serta melindungi negara terhadap dampak kegiatan di luar
wilayah negara. Asas keberlanjutan mengandung makna setiap orang memikul
kewajibannya dan tanggung jawab terhadap generasi mendatang, dan terhadap
sesamanya dalam satu generasi. Untuk terlaksananya kewajiban dan tanggung jawab
tersebut, maka kemampuan lingkungan hidup, harus dilestarikan. Terlestarikannya
kemampuan lingkungan hidup menjadi tumpuan terlanjutkannya pembangunan.
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Hak atas informasi lingkungan hidup merupakan suatu konsekuensi logis dari hak berperan
dalam pengelolaan lingkungan hidup yang berlandaskan pada asas kerterbukaan. Hak atas
informasi lingkungan hidup akan meningkatkan nilai dan efektivitas peranserta dalam
pengelolaan lingkungan hidup, di samping akan membuka peluang bagi masyarakat untuk
mengaktualisasikan haknya atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Informasi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat ini dapat berupa data,
keterangan, atau informasi lain yang berkenaan dengan pengelolaan lingkungan hidup
yang menurut sifat dan tujuannya memang
terbuka untuk diketahui masyarakat, seperti dokumen analisis mengenai dampak
lingkungan hidup, laporan dan evaluasi hasil pemantauan lingkungan hidup, baik
pemantuan penaatan maupun pemantauan perubahan kualitas lingkungan hidup, dan
rencana tata ruang.
Ayat (3)
Peran sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini meliputi peran dalam proses pengambilan
keputusan, baik dengan cara mengajukan keberatan, maupun dengar pendapat atau dengan
cara lain yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Peran tersebut dilakukan
antara lain dalam proses penilaian analisis mengenai dampak lingkungan hidup atau
perumusan kebijakan lingkungan hidup. Pelaksanaannya didasarkan pada prinsip
keterbukaan. Dengan keterbukaan dimungkinkan masyarakat ikut memikirkan
dan memberikan pandangan serta pertimbangan dalam pengambilan keputusan di
bidang pengelolaan lingkungan hidup.
Pasal 6
Ayat (1)
Kewajiban setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat ini tidak terlepas dari
kedudukannya sebagai anggota masyarakat mencerminkan harkat manusia sebagai
individu dan makhluk sosial. Kewajiban tersebut mengandung makna bahwa setiap
orang turut berperanserta dalam upaya memelihara lingkungan hidup. Misalnya, peranserta
dalam mengembangkan budaya bersih lingkungan hidup, kegiatan penyuluhan dan
bimbingan di bidang lingkungan hidup.
Ayat (2)
Informasi yang benar dan akurat itu dimaksudkan untuk menilai ketaatan penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Kemandirian dan keberdayaan masyarakat merupakan prasyarat untuk menumbuhkan
kemampuan masyarakat sebagai pelaku dalam pengelolaan lingkungan hidup bersama
dengan pemerintah dan pelaku pembangunan lainnya.
Huruf b
Meningkatnya kemampuan dan kepeloporan masyarakat akan meningkatkan efektifitas
peran masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup
Huruf c
Meningkatnya ketanggapsegeraan masyarakat akan semakin menurunkan kemungkinan
terjadinya dampak negatif.
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Dengan meni ngkatnya ketanggapsegeraan akan meni ngkatkan kecepatan pemberian
informasi tentang suatu masalah lingkungan hidup sehingga dapat segera ditindak
lanjuti.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Kegiatan yang mempunyai dampak sosial merupakan kegiatan yang berpengaruh
terhadap kepentingan umum, baik secara kultural maupun secara struktural.
Huruf e
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Dalam rangka penyusunan kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan hidup dan
penataan ruang wajib diperhatikan secara rasional dan proporsional potensi,
aspirasi, dan kebutuhan serta nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang di masyarakat.
Misalnya, perhatian terhadap masyarakat adat yang hidup dan kehidupannya bertumpu
pada sumber daya alam yang terdapat di sekitarnya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 10
Huruf a
Yang dimaksud dengan pengambil keputusan dalam ketentuan ini adalah pihak-pihak
yang berwenang yaitu Pemerintah, masyarakat dan pelaku pembangunan lainnya.
Huruf b
Kegiatan ini dilakukan melalui penyuluhan, bimbingan, serta pendidikan dan pelatihan
dalam rangka peningkatan kualitas dan kuantitas sumber daya man usia.
Huruf c
Peran masyarakat dalam Pasal ini mencakup keikutsertaan, baik dalam upaya maupun
dalam proses pengambilan keputusan tentang pelestarian daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup. Dalam rangka peran masyarakat dikembangkan kemitraan para pelaku
pengelolaan lingkungan hidup, yaitu pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat termasuk
antara lain lembaga swadaya masyarakat dan organisasi profesi keilmuan.
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan perangkat yang bersifat preemtif adalah tindakan
yang dilakukan pada tingkat pengambilan keputusan dan perencanaan, seperti tata ruang
dan analisis dampak lingkungan hidup. Adapun preventif adalah tindakan tingkatan
pelaksanaan melalui penataan
baku mutu limbah dan/atau instrumen ekonomi. Proaktif adalah tindakan pada tingkat
produksi dengan menerapkan standarisasi lingkungan hidup, seperti ISO 14000.
Perangkat pengelolaan lingkungan hidup yang bersifat preemtif, preventif dan proaktif
misalnya adalah pengembangan dan penerapan teknologi akrab lingkungan hidup, penerapan
asuransi lingkungan hidup dan audit lingkungan hidup yang dilakukan secara sukarela
oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan guna meningkatkan kinerja.
Pasal 11
Ayat (1)
Lingkup pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup pada dasarnya meliputi berbagai sektor
yang menjadi tanggung jawab berbagai departemen dan instansi pemerintah. Untuk
menghindari tumpang tindih wewenang dan benturan kepentingan perlu adanya koordinasi,
integrasi, sinkronisasi dan simplifikasi melalui perangkat kelembagaan yang dikoordinasi
oleh Menteri.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Huruf a
Negara Kesatuan Republik Indonesia kaya akan keaneragaman potensi sumber daya
alam hayati dan non-hayati, karakteristik kebhinekaan budaya masyarakat, dan aspirasi
dapat menjadi modal utama pembangunan nasional. Untuk itu guna mencapai
keterpaduan dan kesatuan pola pikir, dan gerak langkah yang menjamin terwujudnya
pengelolaan lingkungan hidup secara berdayaguna dan berhasilguna yang berlandaskan
Wawasan Nusantara, maka Pemerintah Pusat dapat menetapkan wewenang tertentu dengan
memperhatikan situasi dan kondisi daerah baik potensi alam maupun kemampuan daerah,
kepada perangkat instansi pusat yang ada di daerah dalam rangka pelaksanaan asas
dekonsentrasi.
Huruf b
Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah Tingkat I dapat menugaskan kepada
Pemerintah Daerah Tingkat II untuk berperan dalam pelaksanaan kebijaksanaan
pengelolaan lingkungan hidup sebagai tugas pembantuan.
Melalui tugas pembantuan ini maka wewenang, pembiayaan, peralatan, dan tanggung
jawab tetap berada pada pemerintah yang menugaskannya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Dengan memperhatikan kemampuan, situasi dan kondisi daerah, Pemerintah Pusat dapat
menyerahkan urusan di bidang lingkungan hidup kepada daerah menjadi wewenang, tugas,
dan tanggung jawab Pemerintah Daerah berdasarkan asas desentralisasi.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 14
Pasal 15
Ayat (1)
Analisis mengenai dampak lingkungan hidup di satu sisi merupakan bagian studi
kelayakan untuk melaksanakan suatu rencana usaha dan/atau kegiatan, di sisi lain
merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan izin melakukan usaha
dan/atau kegiatan. Berdasarkan analisis ini dapat diketahui secara lebih jelas dampak besar
dan penting terhadap lingkungan hidup, baik dampak negatif maupun dampak positif yang
akan timbul dari usaha dan/atau kegiatan sehingga dapat dipersiapkan langkah untuk
menanggulangi dampak negatif dan mengembangkan dampak positif.
Untuk mengukur atau menentukan dampak besar dan penting tersebut di antaranya
digunakan kriteria mengenai :
a besarnya jumlah manusia yang akan terkena dampak rencana usaha
dan/atau kegiatan;
b luas wilayah penyebaran dampak;
c intensitas dan lamanya dampak berlangsung;
d banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan terkena
dam pa k;
e sifat kumulatif dampak;
f berbalik (reversible) atau tidak berbaliknya (irreversible) dampak.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Pengelolaan limbah merupakan rangkaian kegiatan yang mencakup penyimpanan,
pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan limbah termasuk
penimbunan hasil pengolahan tersebut.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (1)
Kewajiban untuk melakukan pengelolaan dimaksud merupakan upaya untuk mengurangi
terjadinya kemungkinan risiko terhadap lingkungan hidup berupa terjadinya
pencemaran atau perusakan lingkungan hidup, mengingat bahan berbahaya dan beracun
mempunyai potensi yang cukup besar untuk menimbulkan efek negatif.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1)
Contoh izin yang dimaksud antara lain izin kuasa pertambangan untuk usaha di bidang
pertambangan, atau izin usaha industri untuk usaha di bidang industri.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Dalam izin melakukan usaha dan/atau kegiatan harus ditegaskan kewajiban yang berkenaan
dengan penaatan terhadap ketentuan mengenai pengelolaan lingkungan hidup yang harus
dilaksanakan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dalam melaksanakan usaha
dan/atau kegiatannya. Bagi
usaha dan/atau kegiatan yang diwajibkan untuk membuat atau melaksanakan
analisis mengenai dampak lingkungan hidup, maka rencana pengelolaan dan rencana
pemantauan lingkungan hidup yang wajib dilaksanakan oleh penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan harus dicantumkan dan dirumuskan dengan jelas dalam izin
melakukan usaha dan/atau kegiatan. Misalnya kewajiban untuk mengolah limbah, syarat
mutu limbah yang boleh dibuang ke dalam media lingkungan hidup, dan kewajiban yang
berkaitan dengan pembuangan limbah, seperti kewajiban melakukan swapantau dan
kewajiban untuk melaporkan hasil swapantau tersebut kepada instansi yang
bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan hidup. Apabila suatu
rencana usaha dan/atau kegiatan, menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku
diwajibkan melaksanakan analisis dampak lingkungan hidup, maka persetujuan atas
analisis mengenai dampak lingkungan hidup tersebut harus diajukan bersama dengan
permohonan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan.
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pengumuman izin melakukan usaha dan/atau kegiatan merupakan pelaksanaan atas
keterbukaan pemerintahan. Pengumuman izin melakukan usaha dan/atau kegiatan tersebut
memungkinkan peranserta masyarakat khususnya yang belum menggunakan
kesempatan dalam prosedur keberatan, dengar pendapat, dan lain-lain dalam proses
pengambilan keputusan izin.
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Suatu usaha dan/atau kegiatan akan menghasilkan limbah. Pada umumnya limbah ini
harus diolah terlebih dahulu sebelum dibuang ke media lingkungan hidup sehingga tidak
menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Dalam hal tertentu,
limbah yang dihasilkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan itu dapat dimanfaatkan
sebagai bahan baku suatu produk. Namun dari proses pemanfaatan tersebut akan
menghasilkan limbah, sebagai residu yang tidak dapat dimanfaatkan kembali, yang akan
dibuang ke media lingkungan hidup.
Pembuangan (dumping) sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini adalah pembuangan limbah
sebagai residu suatu usaha dan/atau kegiatan dan/atau bahan lain yang tidak terpakai atau
daluwarsa ke dalam media lingkungan hidup, baik tanah, air maupun udara. Pembuangan
limbah dan/atau bahan tersebut ke media lingkungan hidup akan menimbulkan dampak
terhadap ekosistem. Sehingga dengan ketentuan Pasal ini, ditentukan bahwa pada
prinsipnya pembuangan limbah ke media lingkungan hidup merupakan hal yang
dilarang, kecuali ke media lingkungan hidup tertentu yang telah ditetapkan oleh Pemerintah.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Dalam hal menetapkan pejabat yang berwenang dari instansi lain untuk melakukan
pengawasan, Menteri melakukan koordinasi dengan pimpinan instansi yang bersangkutan.
Ayat (3)
Ketentuan pada ayat ini merupakan pelaksanaan
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan memperhatikan situasi dan kondisi tempat pengawasan
adalah menghormati nilai dan norma yang berlaku baik yang tertulis maupun
yang tidak tertulis.
Pasal 25
Ayat (1) sampai ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup
jelas Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 27
Ayat (1)
Bobot pelanggaran peraturan lingkungan hidup bisa berbeda-beda mulai dari
pelanggaran syarat administratif sampai dengan pelanggaran yang
menimbulkan korban.
Yang dimaksud dengan pelanggaran tertentu adalah pelanggaran oleh
usaha dan/atau kegiatan yang dianggap berbobot untuk dihentikan kegiatan
usahanya, misalnya telah ada warga masyarakat yang terganggu kesehatannya
aki bat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 28
Pasal 29
Ayat (1) Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Hasil audit lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat ini merupakan
dokumen yang bersifat terbuka untuk umum, sebagai upaya perlindungan
masyarakat karena itu harus diumumkan.Ketentuan pada ayat ini dimaksudkan
untuk melindungi hak keperdataan para pihak yang bersengketa.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Ketentuan pada ayat ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya putusan yang
berbeda mengenai satu sengketa lingkungan hidup untuk menjamin kepastian
hukum.
Pasal 31
Pasal 32
Pasal 33
Ayat (1)
Lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup ini dimaksudkan
sebagai suatu lembaga yang mampu memperlancar pelaksanaan mekanisme
pilihan penyelesaian sengketa dengan mendasarkan pada prinsip
ketidakberpihakan dan profesionalisme. Lembaga penyedia jasa yang dibentuk
Pemerintah dimaksudkan sebagai pelayanan publik.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 34
Ayat (1)
Ayat ini merupakan realisasi asas yang ada dalam hukum lingkungan hidup yang
disebut asas pencemar membayar. Selain diharuskan membayar ganti rugi,
pencemar dan/atau perusak lingkungan hidup dapat pula dibebani oleh hakim untuk
melakukan tindakan hukum tertentu, misalnya perintah untuk :
memasang atau memperbaiki unit pengolahan limbah sehingga limbah sesuai dengan
baku mutu lingkungan hidup yang ditentukan; memulihkan fungsi lingkungan
hidup;
menghilangkan atau memusnahkan penyebab timbulnya pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Ayat (2)
Pembebanan pembayaran uang paksa atas setiap hari keterlambatan pelaksanaan
perintah pengadilan untuk melaksanakan tindakan tertentu adalah demi pelestarian
fungsi lingkungan hidup.
Pasal 35
Ayat (1)
Pengertian bertanggung jawab secara mutlak atau strict liability, yakni unsur kesalahan
tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti
kerugian. Ketentuan ayat ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang
perbuatan melanggar hukum pada umumnya. Besarnya nilai ganti rugi yang dapat
dibebankan terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup menurut Pasal ini
dapat ditetapkan sampai batas tertentu. Yang dimaksudkan sampai batas tertentu,
adalah jika menurut penetapan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
ditentukan keharusan asuransi bagi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan atau
telah tersedia dana lingkungan hidup.
Ayat (2)
Huruf a sampai huruf c Cukup
jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan tindakan pihak ketiga dalam ayat ini merupakan
perbuatan persaingan curang atau kesalahan yang dilakukan Pemerintah.
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas Ayat
(2)
Cukup jelas
Pasal 37
Ayat (1)
Yang dimaksud hak mengajukan gugatan perwakilan pada ayat ini adalah hak
kelompok kecil masyarakat untuk bertindak mewakili masyarakat dalam jumlah besar
yang dirugikan atas dasar kesamaan permasalahan, fakta hukum, dan tuntutan yang
ditimbulkan karena pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 38
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Gugatan yang diajukan oleh organisasi lingkungan hidup tidak dapat berupa tuntutan
membayar ganti rugi, melainkan hanya terbatas gugatan lain, yaitu :
a. memohon kepada pengadilan agar seseorang diperintahkan untuk melakukan
tindakan hukum tertentu yang berkaitan dengan tujuan pelestarian fungsi
lingkungan hidup;
b. menyatakan seseorang telah melakukan perbuatan melanggar hukum karena
mencemarkan atau merusak lingkungan hidup;
c. memerintahkan seseorang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan untuk
membuat atau memperbaiki unit pengolah limbah.
Yang dimaksud dengan biaya atau pengeluaran riil adalah biaya yang nyata-nyata
dapat dibuktikan telah dikeluarkan oleh organisasi lingkungan hidup.
Ayat (3)
Tidak setiap organisasi lingkungan hidup dapat mengatasnamakan lingkungan hidup,
melainkan harus memenuhi persyaratan tertentu. Dengan adanya persyaratan
sebagaimana dimaksud di atas, maka secara selektif keberadaan organisasi
lingkungan hidup diakui memiliki ius standi untuk mengajukan gugatan atas nama
lingkungan hidup ke pengadilan, baik ke peradilan umum ataupun peradilan tata
usaha negara, tergantung pada kompetensi peradilan yang bersangkutan dalam
memeriksa dan mengadili perkara yang dimaksud.
Pasal 39
Cukup jelas
Pasal 40
Ayat (1) sampai ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Cukup jelas