You are on page 1of 2

Tajuk rencana

Berharap ''Efek Nurwahid'' Terus Bergulir

- Kalau kita memandangnya sebagai sebuah harapan, maka


momentum puasa Ramadan 1425 Hijriah, keterpilihan Hidayat
Nurwahid sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR),
dan pengambilan sumpah/ janji presiden-wakil presiden terpilih
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-M Jusuf Kalla, seperti terangkai
dalam satu kesatuan hikmah. Hidup memang harus dipandang
sebagai harapan ketika setiap momentum dimaknai sebagai awal
untuk mengubah suatu keadaan. Dan pada hakikatnya selalu ada
dan dibutuhkan terapi-terapi untuk menuju ke arah perubahan.
Mengapa penting melihat persentuhannya dengan bulan suci? Ya,
sekecil apa pun, dinamika-dinamika aktual kenegaraan yang
berlangsung patut disikapi dan dijaga untuk tetap dalam trek
perubahan.

- Contoh menyikapi kesederhanaan fasilitas dinas selaku pejabat


negara yang dilakukan Hidayat Nurwahid, sebenarnya bukan
langkah yang fenomenal. Tetapi menjadi terasa sangat bermakna
karena kultur dan konsepsi kehidupan kita sendirilah yang selama ini
telah memosisikan sesuatu yang biasa dan ''seharusnya'' menjadi
''tidak biasa''. Hal yang bagi Nurwahid bukan luar biasa, akhirnya
kita lihat sebagai ''besar'', namun tetap harus diakui menjadi
dekonstruktif karena terdapat nilai ketekadan untuk berani keluar
dari kungkungan yang telanjur dianggap biasa. Yakni sebagai
pimpinan dan memiliki peluang untuk bermewah-mewah dan
mendapat layanan fasilitas lebih, padahal sebenarnya bisa untuk
menekan peluang-peluang itu dengan berbagai pertimbangan.

- Menariknya, ''efek Nurwahid'' ini mulai terasa menjelang sidang


paripurna pengambilan sumpah presiden - wakil presiden terpilih.
Sejumlah anggota MPR, yang dipelopori PKB dan PAN, menyatakan
menolak fasilitas penginapan hotel mewah, setelah Hidayat
Nurwahid memilih tidur di ruang kantor. Sebelum itu, para pimpinan
MPR juga menyikapi langkah yang sama dengan menolak mobil
dinas Volvo dan fasilitas royale suite room hotel. Sidang paripurna
juga diperpendek waktunya dari dua hari menjadi hanya sehari.
Kembali kita menegaskan gerakan moral ini memang baru awal,
selanjutnya tergantung pada keistikamahan sikap para wakil rakyat.
Yang penting bukan semata-mata karena kehadiran seorang
Nurwahid, melainkan diarahkan agar mampu menciptakan
internalisasi moral.
- Bisa jadi muncul penilaian terlalu normatif menghubungkan
gerakan moral ini dengan momentum Ramadan. Tetapi seperti yang
ditulis oleh Prof Dr Abu Su'ud kemarin, itu bukan sesuatu yang
dikarang-karang, karena secara faktual terjadi berbagai peristiwa
penting di Tanah Air. Kemerdekaan diproklamasikan pada bulan
Ramadan 1945, dan kini kita mengayuh harapan baru pada bulan
yang sama. Disadari, tidak mungkin sejumlah momentum sekarang
ini akan cepat membawa perubahan. Hanya, harapan rakyat
janganlah dipadamkan ketika momentum-momentum penting itu
bergerak dengan dinamika yang menjanjikan. Gerakan moral itu
merupakan bentuk keberpihakan kepada rakyat dengan sikap-sikap
simpati, dan empati, yang selalu mengedepankan compassion.

- Hal yang paling sulit dalam menjaga keutuhan perilaku moral


adalah istikamah. Kita percaya terhadap integritas Nurwahid, yang
diperkirakan bakal bergerak terus dengan konsep
penyederhanaannya. Persoalannya, bagaimana dia melangkah
dengan ide-ide keteladanan itu di tengah sikap terhadap fasilitas
yang selama ini telanjur menjadi penyakit struktural? Di sini kita
melihat fakta menarik. Setelah dekonstruksi ''Volvoisme''-nya,
Nurwahid kembali memberi contoh dengan memilih tinggal di ruang
kerjanya daripada di hotel mewah. Dia tidak hanya mengajak
dengan pernyataan, tetapi benar-benar memberi contoh dalam
melaksanakan kesederhanaan. Kita berharap ini bisa membuat rikuh
anggota MPR yang lain, setidak-tidaknya dengan tidak mengumbar
kemewahan fasilitas.

- Dalam ukuran minimalis, contoh yang diberikan oleh Ketua MPR itu
diharapkan diikuti para anggota dengan pertama-tama
memanfaatkan fasilitas secara wajar, patut, dan tidak mencari-cari
bentuk layanan lain. Momentum ini juga sepantasnya ditangkap oleh
pemerintahan baru sebagai awal untuk memulai ''hidup baru''. Para
pejabat di berbagai level perlu merenungkan kembali bahwa mereka
bisa bekerja dengan kesederhanaan tampilan, fasilitas dinas, dan
layanan yang tidak mengada-ada. Merunut persoalan ini ke
belakang, contoh dan keteladanan mesti dimulai dari para pemegang
kekuasaan yang memiliki peluang untuk dilayani. Kalau sekadar
semangat berbicara tetapi berbeda dalam perilaku, mestinya mereka
malu ketika menengok ajakan dan pembuktian Hidayat Nurwahid.
 
(SUARA MERDEKA, Kamis, 21 Oktober 2004)

You might also like