Professional Documents
Culture Documents
1. Di Indonesia salah satu penerimaan negara yang sangat penting, artinya bagi pelaksanaan
dan kesejahteraan masyarakat adalah pajak. Oleh karenanya, pajak perlu dikelola secara
seksama dengan meningkat peran serta seluruh lapisan masyarakat dan dari aparat
perpajakan sendiri.
Pajak merupakan alat bagi pemerintah dalam mencapai tujuan untuk mendapatkan penerimaan baik
yang bersifat langsung maupun tidak langsung dari masyarakat guna membiayai pengeluaran rutin
serta pembangunan nasional dan ekonomi masyarakat. Sistem perpajakan selalu mengalami
perubahan dari masa ke masa sesuai perkembangan masyarakat dan Negara, baik dalam bidang
kenegaraan maupun bidang dalam bidang sosial dan ekonomi. Pemungutan pajak merupakan suatu
bentuk kewajiban warga Negara selaku Wajib Pajak serta peran aktif untuk membiayai berbagai
keperluan Negara yaitu berupa pembangunan nasional yang pelaksanaannya diatur dalam undang-
Untuk menjalankan pemerintahan dan pembangunan pemerintah membutuhkan dana yang tidak
sedikit. Dana tersebut dari berbagai sumber penghasilan antara lain kekayaan alam, barang-barang
yang dikuasai oleh pemerintah, denda-denda, atau warisan yang diberikan kepada Negara, hibah,
wasiat, dan iuran masyarakat kepada Negara berdasarkan undang-undang (dipaksakan) dengan
tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi yang dapat ditunjuk dan yang digunakan untuk
membayar pengeluaran).
Perencanaan pajak juga dapat berkonotasi positif yaitu sebagai perencanaan pemenuhan kewajiban
perpajakan secara lengkap, benar, dan tepat waktu sehingga dapat menghindari pemborosan sumber
daya secara optimal. Dalam pelaksanaannya terdapat perbedaan kepentingan antara pemerintah dan
Wajib Pajak. Wajib Pajak berusaha untuk membayar pajak sekecil mungkin, karena dengan
membayar pajak berarti mengurangi kemampuan Wajib Pajak. Dilain pihak pemerintah
memerlukan dana untuk membiayai pengeluaran dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan,
yang sebagian besar berasal dari penerimaan pajak. Adanya perbedaan kepentingan tersebut
menyebabkan Wajib Pajak cenderung untuk mengurangi jumlah pembayaran pajak baik secara
legal maupun ilegal. Karena untuk menjalankan pemerintahan dan pembangunan pemerintah
membutuhkan dana yang tidak sedikit. Dana tersebut dari berbagai sumber penghasilan kekayaan
alam, hasil usaha BUMN, barang-barang yang dikuasai pemerintah, denda-denda, atau warisan
yang diberikan kepada negara, hibah, wafat, dan iuran masyarakat kepada Negara berdasarkan
undang-undang (dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi yang dapat ditunjuk
dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran).
Peran serta Wajib Pajak dalam sistem pemungutan pajak sangat menentukan tercapainya rencana
penerimaan pajak. Penerimaan pajak yang optimal dapat dilihat dari berimbangnya tingkat
penerimaan pajak aktual dengan penerimaan pajak potensial atau tidak terjadi tax gap. Menurut
James yang dikutip oleh Gunadi (2005, p. 4) menyatakan bahwa: “Besarnya tax gap mencerminkan
tingkat kepatuhan membayar pajak (tax compliance)”. Oleh karena itu, kepatuhan Wajib Pajak
merupakan faktor utama yang mempengaruhi realisasi penerimaan pajak. Kepatuhan yang
dimaksudkan merupakan istilah tingkat sampai dimana Wajib Pajak mematuhi undang-undang
perpajakan dan memenuhi bidang perpajakan. Misal jika Wajib Pajak membayar dan melaporkan
pajak terutangnya tepat waktu, maka Wajib Pajak dapat dianggap patuh.
Sejalan dengan reformasi perpajakan (tax reform) tahun 1983 yang menghasilkan perubahan yang
mendasar pada sistem dan mekanisme pemungutan pajak (dari official assessment menjadi self
assessment system ), dimana dalam hal ini Wajib Pajak lah yang harus aktif dalam melaksanakan
kewajiban perpajakan, mulai dari mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak, menghitung,
memperhitungkan, membayar serta melaporkan pajaknya dengan menggunakan Surat
Pemberitahuan (SPT) nya.
Sistem perhitungan dan penetapan jumlah pajak terutang meliputi (1) self assessment system (wajb
pajak menghitung sendiri pajaknya), (2) official assessment (wajib pajak menyampaikan informasi
objek pajaknya, kemudian administrasi pajak menghitung utang pajak), (3) hybrid system
(campuran antara self dan official assessment dengan berbagai kombinasinya). Informasi keuangan
yang dihasilkan proses pembukuan diperlukan untuk keperluan menghitung pajak terutang dan
vertiksi, serta pemeriksaan investigasi terhadap kebenaran penghitungan jumlah utang pajak itu.
Sistem self assessment memberikan kepercayaan penuh kepada Wajib Pajak, maka selayaknya
diimbangi dengan adanya pengawasan yang diberikan tidak disalahgunakan. Ini menjadikan tugas
Direktorat Jenderal Pajak untuk menetapkan pajak setiap Wajib Pajak menjadi berkurang. Dalam
prinsip self assesment system, penentuan besarnya pajak terutang dipercayakan kepada Wajib Pajak
sendiri melalui Surat Pemberitahuan ( SPT ) yang disampaikan.
Tugas pokok Direktorat Jenderal Pajak dalam hal ini khususnya yang sangat menonjol sesuai
dengan fungsinya adalah melakukan pembinaan, penelitian, pengawasan, dan pelayanan dalam
hubungan dengan pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakan dari Wajib Pajak, sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan Perpajakan yang berlaku.
Fungsi Pengawasan sebagai salah satu tugas pokok Direktorat Jenderal Pajak pada dasarnya
meliputi kegiatan penelitian dan pemeriksaan di bidang perpajakan. Apabila ditinjau dari segi
pelaksanaannya, kegiatan – kegiatan tersebut merupakan suatu proses yang berkaitan satu sama
lainnya, terutama dalam hubungannya dengan usaha penegakan Peraturan Perundang – undangan
Perpajakan yang bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak akan kewajiban
perpajakannya.
Perubahan sistem pemungutan pajak dari official assessment menjadi self assessment, merupakan
salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan kemandirian dalam pembiayaan pembangunan
dari penerimaan dalam negeri yang berasal dari pajak, karena penerimaan dari migas tidak dapat
diandalkan lagi, sementara sumber dana dalam negeri hanya sebagai pelengkap.
Pemungutan pajak di suatu Negara, menurut Gunadi (1997: 1), dianggap sukses apabila terdapat
enam kondisi pendukung, yaitu:
1. Sebagian besar aktifitas ekonomi dilaksanakan dalam transaksi uang.
1. Tersedianya jaringan dan akses terhadap informasi serta komunikasi yang efektif
Sejak diterapkannya sistem self assessment dalam undang-undang perpajakan Indonesia, peranan
positif Wajib Pajak dalam memenuhi seluruh kewajiban perpajakannya (tax compliance) menjadi
Agar sistem self assessment berjalan secara efektif, keterbukaan dan pelaksanaan penegak hukum
merupakan hal yang paling penting. Penegakan hukum ini dapat dilakukan dengan adanya
pemeriksaan/penyidikan pajak dan penagihan pajak. Pemeriksanaan pajak merupakan instrumen
yang baik untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak, baik formal maupun material dari peraturan
perpajakan, yang tujuannya untuk menguji dan meningkatkan kepatuhan perpajakan seorang Wajib
Pajak (Priatara 2000), kepatuhan ini akan sangat berdampak baik secara langsung maupun tak
langsung pada penerimaan pajak.
Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa besar pajak dapat dipengaruhi oleh kepatuhan
Wajib Pajak dalam kewajiban perpajakannya dan dipengaruhi pula oleh pelaksanaan pajak.
Hal tersebut menyebabkan ketertarikan penulis untuk melakukan penelitian dengan judul
“PENGARUH PENERAPAN SELF ASSESSMENT SYSTEM TERHADAP TINGKAT
KEPATUHAN WAJIB PAJAK BADAN PADA KPP DKI JAKARTA KHUSUSNYA
JAKARTA PUSAT”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar berlakang dan identifikasi permasalahan di atas, maka dalam penelitian ini
1. Bagaimana pengaruh penerapan self assessment system terhadap tingkat kepatuhan Wajib Pajak
Badan pada Kantor Pelayanan Pajak DKI Jakarta khususnya Jakarta Pusat?
2. Bagaimana pengaruh penerapan self assessment system terhadap Realisasi penerimaan pajak
Wajib Pajak Badan KPP DKI Jakarta khususnya Jakarta Pusat?
C. Batasan Masalah
Untuk mempersempit masalah maka penulis membatasi ruang lingkup masalah mengenai pengaruh
pelaporan SPT terhadap realisasi pada Kantor Pelayanan Pajak Jakarta Pusat.
D. Tujuan Penelitian
E. Manfaat Penelitian
Adapun kegunaan serta manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
F. Metode Penelitian
Dalam penulisan ini penulis menggunakan dua metode untuk memperoleh atau mendapatkan data
1. Objek Penelitian
Objek yang digunakan dalam penulisan ini adalah KKP DKI Jakarta
khususnya Jakarta Pusat.
2. Data / Variabel
Data yang digunakan berupa kuantitatif berupa tabel SPT Badan Diterima, WP Badan Terdaftar,
WP Badan Efektif, dan Realisasi pada KPP DKI Jakarta khususnya Jakarta Pusat periode 2003-
2007.
3. Metode Pengumpulan Data
Data yang saya ambil merupakan data sekunder berupa tabel SPT Badan Diterima, WP Badan
Terdaftar, WP Badan Efektif, dan Realisasi pada KPP DKI Jakarta khususnya Jakarta Pusat.
4. Alat Analisis yang digunakan
Analisis data yang digunakan berupa deskriptif kuantitatif, yaitu metode:
1) Analisis Regresi.
Y = b0 + b1 X1 + b2X2 + bз Xз
Keterangan :
Y = Realisasi
b0 = Konstanta / Intercept
b1 , b2 = Koefisien Regresi
LANDASAN TEORI
1. A. Kerangka Teori
1. Definisi Pajak
Sejak jaman dahulu sebelum perkembangan masyarakat seperti sekarang ini, telah dikenal adanya
pemungutan pajak. Dimana dalam masyarakat yang sangat sederhana tersebut, penyelenggaraan
kepentingan bersama diurus dan diatur oleh orang yang sangat dituakan dalam masyarakat disebut
kelompok memberikan sebagian waktu, tenaga, dan sebagian harta miliknyakepada ketua
kelompok. Pemberian dalam bentuk natura ini dapat dianggap sebagai pajak dalam bentuk yang
sangat sederhana. Kemudian kelompok masyarakat tersebut semakin berkembang semakin besar
yang diikuti pula dengan semakin berkembangnya kepentingan dari masyarakat. Sehingga peranan
kepentingan bersama semakin kompleks dan memerlukan suatu organisasi besar yang dikenal
dengan Negara pada saat ini. Pemberian dalam bentuk natura tersebut kemudian berubah menjadi
dalam bentuk uang karena dianggap lebih fleksibel dan berfungsi sebagai pembayaran pajak.
Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terutang kepada pengusaha (menurut
norma-norma yang ditetapkannya secara umum), tanpa adanya kontraprestasi, dan semata-mata
digunakan untuk menutupi pengeluaran-pengeluaran umum. Karena pajak merupakan prestasi
kepada pemerintah yang terutang melalui norma-norma umum yang dapat dipaksakannya, tanpa
adanya kontraprestasi yang dapat ditunjukan dalam hal individual, dimaksudkan untuk membiayai
pengeluaran pemerintah.
Pajak juga didefinisikan sebagai iuran masyarakat kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang
terutang oleh wajib pajak membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang)
dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah
untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan tugas negara untuk
menyelenggarakan pemerintahan.
Pajak juga dikatakan sebagai suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah,
bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang
ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proposional, agar pemerintah
dapat melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan.
Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH. Dalam bukunya Dasar-dasar Hukum Pajak dan pajak
Pendapatan (2007: 1) menyatakan: “Pajak adalah iuran kepada kas Negara berdasarkan undang-
undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi), yang
berlangsung dapat ditunjukan dan digunakan untuk membayar pengeluaran umum”.
Sedangkan menurut Santoso Brotodihardjo (1998: 2), pajak adalah iuran kepada Negara (yang
dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan,
dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk. Dan yang gunanya adalah
untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas Negara yang
menyelenggarakan pemerintahan.
Rachmat Soemitro (2003: mengemukakan tentang Pajak sebagai berikut : “Pajak adalah peralihan
kekayaan dari pihak rakyat kepada kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya
digunakan public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public invesment”.
Dari definisi di atas terlihat ada beberapa hal pokok yang bisa disimpulkan, yaitu :
1. Pajak dipungut dari rakyat untuk membiayai program pemerintah.
2. Tidak mendapatkan kontraprestasi, jadi rakyat yang membayar pajak tidak merasakan
manfaatnya secara langsung. Manfaat yang diterima masyarakat adalah berupa pelayanan
yang diberikan pemerintah secara umum ataupun menikmati hasil pembangunan yang
dilakukan Pemerintah.
1. Fungsi Pajak
Terdapat dua fungsi pajak, yaitu fungsi budgetair (sumber keuangan negara) dan fungsi regulerend
Pajak mempunyai fungi budgetair artinya pajak merupakan salah satu sumber penerimaan
Pajak mempunyai fungsi regulerend artinya pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan
kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi, dan mencapai tujuan-tujuan tertentu di luar
bidang keuangan.
1. Jenis Pajak
Dalam resmi (2007: 7), di Indonesia pajak dikelompokkan menurut beberapa kategori, yaitu
1. Menurut Golongannya
1) Pajak Langsung, adalah pajak yang harus dipikul atau ditanggung sendiri oleh Wjib Pajak dan
tidak dilimpahkan atau dibebankan kepada orang lain atau pihak lain.
2) Pajak Tidak Langsung, adalah pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan
kepada orang lain atau pihak ketiga.
1. Menurut Sifatnya
1) Pajak Subjektif, adalah pajak yang penggenaannya memperhatikan pada keadaan pribadi
2) Pajak Objektif, adalah pajak yang pengenaanya memperhatikan pada objeknya baik pada
berupa benda, keadaan, perbuatan, atau peristiwa yang mengakibatkan timbulnya kewajiban
membayar pajak, tanpa memperhatikan keadaan subjek pajak maupun tempat tinggal.
1. Menurut Lembaga Pemungutannya
1) Pajak Negara (Pajak Pusat), adalah pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat dan digunakan
Dalam Waluyo (2007: 13) terdapat empat asas-asas pemungutan pajak yang dikemukan oleh Adam
1) Equality
Pemungutan pajak harus bersifat adil dan merata, yaitu pajak dikenakan kepada orang pribadi yang
harus sebanding dengan kemampuan membayar pajak atau ability to pay dan sesuai dengan manfaat
yang diterima. Adil dimaksudkan bahwa setiap Wajib Pajak menyumbangkan uang untuk
pengeluaran pemerintah sebanding dengan kepentingannya dan manfaat yang diminta.
2) Certainty
Penetapan pajak itu tidak ditentukan sewenang-wenang. Oleh karena itu, Wajib Pajak harus
mengetahui secara jelas dan pasti besarnya pajak yang terutang, kapan harus bayar, serta batas
waktu pembayaran.
3) Convenience
Kapan Wajib Pajak itu harus membayar pajak sebaiknya sesuai dengan saat-saat yang tidak
menyulitkan Wajib Pajak. Sistem pemungutan ini disebut Pay as You Earn.
4) Economy
Secara ekonomi bahwa biaya pemungutan dan biaya pemenuhan kewajiban pajak bagi Wajib Pajak
diharapkan seminimum mungkin, demikian pula beban yang dipikul Wajib Pajak.
1. Sistem Pemungutan Pajak
Dalam Resmi (2007: 11) dikemukakan beberapa sistem pemungutan pajak, yaitu antara lain:
kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan dan membayar sendiri jumlah pajak yang
terutang sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku. Selain itu Wajib Pajak diwajibkan pula
melaporkan secara teratur jumlah pajak yang terutang dan telah dibayar sebagaimana ditentukan
dalam peraturan perpajakan. Pembayaran pajak selama tahun berjalan pada dasarnya merupakan
angsuran pajak untuk meringankan beban Wajib Pajak pada akhir tahun pajak. Hakikat Self
Assessment System adalah penetapan sendiri besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Pada
sistem ini, masyarakat Wajib Pajak diberikan kepercayaan dan tanggung jawab yang lebih besar
melaporkan.
1. Wajib Pajak
Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Perpajakan, Wajib Pajak adalah orang pribadi atau
badan, meliputi pembayar pajak, pemungut pajak dan pemungut pajak yang mempunyai hak dan
Sebagaimana telah diketahui banyak Wajib Pajak terdaftar yang tidak memenuhi kewajiban
perpajakannya. Oleh karena itu ada beberapa istilah seperti Wajib Pajak Efektif dan Wajib Pajak
Non Efektif. Adapun pengertian Wajib Pajak Efektif adalah Wajib Pajak yang memenuhi kewajiban
perpajakannya, berupa memenuhi kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa dan
atau Tahunan sebagaimana mestinya. Sedangkan Wajib Pajak Non Efektif adalah Wajib Pajak yang
tidak memenuhi kewajiban perpajakannya. Berdasarkan Surat Edaran SE-01/PJ.9/20 tentang
Pengawasan Penyampaian SPT Tahunan disebutkan bahwa Jumlah Wajib Pajak efektif
adalah selisih antara jumlah Wajib Pajak terdaftar dengan jumlah Wajib Pajak non efektif
Kewajiban Wajib Pajak:
1) Mendaftarkan diri dan meminta Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) apabila belum
mempunyai NPWP.
2) Mengambil sendiri blangko Surat Pemberitahuan (SPT) dan blangko perpajakan lainnya di
tempat-tempat yang ditentukan oleh DJP.
3) Mengisi dengan lengkap, jelas dan benar dan menandatangani sendiri SPT dan kemudian
mengembalikan SPT itu kepada kantor inspeksi pajak dilengkapi dengan lampiran-lampiran.
4) Melakukan pelunasan dan melakukan pembayaran pajak yang ditentukan oleh Undang-
Undang.
5) Menghitung sendiri, menetapkan besarnya jumlah dan membayar pajak dalam tahun yang
sedang berjalan, sesuai dengan pajak dari tahun terakhir atau sesuai dengan SKP yang dikeluarkan
oleh DJP.
6) Menghitung dan menetapkan sendiri pajak yang terutang menurut cara yang ditentukan.
7) Menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan-pencatatan.
8) Dalam hal terjadi pemeriksaan pajak, Wajib Pajak wajib:
2. Memperlihatkan dan atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya
dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha,
Memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan memberi
9) Apabila dalam mengungkapkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen serta keterangan yang
diminta, Wajib Pajak terikat oleh suatu kewajiban untuk merahasiakan, maka kewajiban untuk
Adanya sanksi administrasi maupun sanksi hukum pidana bagi Wajib Pajak yang tidak memenuhi
kewajiban perpajakannya dilakukan supaya masyarakat selaku Wajib Pajak mau memenuhi
kewajibannya. Hal ini terkait dengan ikhwal kepatuhan perpajakan atau tax compliance. Kepatuhan
adalah ketaatan atau berdisiplin, dalam hal ini kepatuhan pajak diartikan secara bebas adalah
ketaatan dalam menjalankan semua peraturan perpajakan. Menurut Nurmantu (2003:148) kepatuhan
pajak dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan Wajib Pajak memenuhi semua kewajiban
perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya. Kepatuhan jg perilaku yang taat hukum. Secara
konsep, kepatuhan diartikan dengan adanya usaha dalam mematuhi peraturan hukum oleh seseorang
atau organisasi.
Dalam sistem self assessment, administrasi perpajakan berperan aktif melaksanakan tugas-tugas
pembinaan, pengawasan dan penerapan sanksi terhadap penundaan pemenuhan kewajiban
perpajakan berdasarkan ketentuan yang digariskan dalam peraturan perpajakan. Fungsi pengawasan
memegang peranan sangat penting dalam sistem self assessment, karena tanpa pengawasan dalam
kondisi tingkat kepatuhan Wajib Pajak masih rendah, mengakibatkan sistem tersebut tidak akan
berjalan dengan baik, sehingga Wajib Pajak pun akan melaksanakan kewajiban pajaknya dengan
tidak benar dan pada akhirnya penerimaan dari sektor pajak tidak akan tercapai.
Dasar-dasar kepatuhan meliputi:
1) Indoctrination
Sebab pertama warga masyarakat mematuhi kaidah-kaidah adalah karena dia didoktrinir untuk
berbuat demikian. Sejak kecil manusia telah dididik agar mematuhi kaidah-kaidah yang berlaku
dalam masyarakat sebagaimana halnya dengan unsur-unsur kebudayaan lainnya.
2) Habituation
Oleh karena sejak kecil mengalami proses sosialisasi, maka lama kelamaan menjadi suatu kebiasaan
untuk mematuhi kaidah-kaidah yang berlaku.
3) Utility
Pada dasarnya manusia mempunyai kecenderungan untuk hidup pantas dan teratur, akan tetapi apa
yang pantas dan teratur untuk seseorang, belum tentu pantas dan teratur bagi orang lain. Karena itu
diperlukan patokan tentang kepantasan dan keteraturan tersebut, patokan tadi merupakan pedoman
atau takaran tentang tingkah laku dan dinamakan kaedah. Dengan demikian, maka salah satu faktor
yang menyebabkan orang taat pada kaidah adalah karena kegunaan dari pada kaidah tersebut.
4) Group Identification
Dari satu sebab mengapa seseorang patuh pada kaidah adalah karena kepatuhan tersebut merupakan
salah satu sarana untuk mengadakan identifikasi dengan kelompok. Seseorang mematuhi kaidah-
kaidah yang berlaku dalam kelompoknya bukan karena dia menganggap kelompoknya lebih
dominan dari kelompok-kelompok lainnya, akan tetapi justru karena ingin mengadakan identifikasi
dengan kelompoknya tadi. Bahkan kadang-kadang seseorang mematuhi kaidah kelompok lain,
karena ingin mengadakan identifikasi dengan kelompok lain tersebut.
Sebenarnya masalah kepatuhan yang merupakan suatu derajat secara kualitatif dapat dibedakan
dalam tiga proses, yaitu:
1) Compliance
Compliance diartikan sebagai suatu kepatuhan yang didasarkan pada harapan akan suatu imbalan
dan usaha untuk menghindarkan diri dari hukuman yang mungkin dijatuhkan. Kepatuhan ini sama
sekali tidak didasarkan pada suatu keyakinan pada tujuan kaidah hukum yang bersangkutan dan
lebih didasarkan pada pengendalian dari pemegang kekuasaan. Sebagai akibatnya maka kepatuhan
akan ada, apabila ada pengawasan yang ketat terhadap pelaksanaan kaidah-kaidah hukum tersebut.
2) Identification
Identification terjadi apabila kepatuhan terhadap kaidah hukum ada bukan karena nilai intrinsiknya,
akan tetapi agar keanggotaan kelompok tetap terjaga serta ada hubungan baik dengan mereka yang
diberi wewenang untuk menerapkan kaidah-kaidah hukum tersebut. Daya tarik untuk patuh adalah
keuntungan yang diperoleh dari hubungan-hubungan tersebut, sehingga kepatuhan pun tergantung
pada baik buruknya interaksi tadi.
3) Internalization
Pada Internalization seseorang mematuhi kaedah-kaedah hukum oleh karena secara intrinsik
kepatuhan tadi mempunyai imbalan. Isi kaidah-kaidah tersebut adalah sesuai dengan nilai-nilainya
sejak semula pengaruh terjadi, atau oleh karena dia merubah pola-pola yang semula dianutnya.
Hasil dari proses tersebut adalah suatu konformitas yang didasarkan pada motivasi secara intrinsik.
Pusat kekuatan proses ini adalah kepercayaan orang terhadap tujuan dari kaidah-kaidah
bersangkutan, terlepas dari perasaan atau nilai-nilainya terhadap kelompok atau pemegang
kekuasaan maupun pengawasannya.
Berlakunya sistem self assessment di Indonesia menunjang besarnya peranan Wajib Pajak dalam
menentukan besarnya penerimaan negara dari sektor pajak yang didukung oleh kepatuhan pajak
(tax compliance). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kepatuhan pajak merupakan
pelaksanaan atas kewajiban untuk menyetor dan melaporkan pajak yang terutang sesuai dengan
peraturan perpajakan. Kepatuhan yang diharapkan dengan sistem self assessment adalah kepatuhan
sukarela (valuntary compliance) bukan kepatuhan yang dipaksakan (compulsary compliance).
Untuk meningkatkan kepatuhan sukarela dari Wajib Pajak, diperlukan keadilan dan keterbukaan
dalam menerapkan perpaturan perpajakan, kesederhanaan peraturan dan prosedur perpajakan serta
pelayanan yang baik dan cepat dari Wajib Pajak.
Dalam pemenuhan kewajiban perpajakan, Wajib Pajak harus mematuhi kewajibannya dalam
melaksanakan kewajiban pajaknya. Kepatuhan pajak ada dua jenis yaitu:
1) Kepatuhan Formal yaitu suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi kewajiban
perpajakannya secara formal sesuai dengan Undang-Undang Perpajakan.
2) Kepatuhan Material yaitu suatu keadaan dimana Wajib Pajak secara substantif hakikat
memenuhi semua ketentuan material perpajakan yakni sesuai isi dan jiwa UU perpajakan.
Wajib Pajak Patuh adalah Wajib Pajak yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai Wajib
Pajak yang memenuhi kriteria tertentu yang dapat diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan
pembayaran pajak. Wajib Pajak patuh adalah mereka yang memenuhi empat kriteria dibawah ini,
yakni:
1) Wajib Pajak tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) untuk semua jenis
pajak dalam dua tahun terakhir.
2) Wajib Pajak tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali telah
memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajaknya.
3) Wajib Pajak tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana di bidang
perpajakan dalam waktu sepuluh tahun terakhir.
4) Laporan keuangan Wajib Pajak yang diaudit akuntan publik atau BPKP harus mendapatkan
status wajar tanpa pengecualian, atau dengan pendapat wajar dengan pengecualian, sepanjang
pengecualian tersebut tidak mempengaruhi laba rugi fiskal. Selanjutnya ditegaskan bahwa
seandainya laporan keuangan diaudit, laporan audit tersebut harus disusun dalam bentuk panjang
(long form report) dan menyajikan rekonsiliasi laba rugi komersial dan fiskal.
1. Surat Pemberitahuan (SPT)
Surat Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang digunakan oleh pemotong untuk melaporkan
pemotongan, perhitungan, dan Penyetoran Pajak atas penghasilan orang pribadi sehubungan dengan
Surat Pemberitahuan (SPT) diterima adalah SPT yang dilaporkan setiap tahunnya dan diterima oleh
KPP setempat.
BAB III
METODE PENELITIAN
SPT Badan diterima SPT Wajib Pajak SPT Badan Diterima Nominal
menyebabkan PPh
dalam rangka
menguji kepatuhan
untuk meningkatkan
Realisasi.
Variabel Wajib Pajak Badan Terdaftar dalam penelitian ini adalah orang pribadi atau badan,
meliputi pembayar pajak, pemungut pajak dan pemungut pajak yang mempunyai hak dan
kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Untuk lebih jelasnya, opersionalisasi variabel Wajib Pajak Badan Terdaftar dapat dilihat pada tabel
berikut ini :
Tabel 3.2
tahunannya
membayar pajak
dalam rangka
pencapaian Realisasi
yang tinggi
3. Definisi Operasional Wajib Pajak Badan Efektif
Wajib Pajak Badan Efektif adalah Wajib Pajak Efektif adalah Wajib Pajak yang memenuhi
kewajiban perpajakannya, berupa memenuhi kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT)
Masa dan atau Tahunan sebagaimana mestinya. Untuk lebih jelasnya, opersionalisasi variabel
Wajib Pajak Badan Efektif dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 3.3
Indikator
Wajib Pajak Badan Wajib Pajak Badan Wajib Pajak Badan Efektif Nominal
diawasi
(X3)
penyampaian SPT
setiap tahunnya
dalam rangka
pencapaian realisasi
yang tinggi
Variabel Realisasi dalam penelitian ini adalah pelaporan SPT dari Wajib Pajak Badan setiap
tahunnya. Untuk lebih jelasnya, variabel Realisasi dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 3.4
Indikator
yang berhasil
dihimpun oleh
KPP
C. Populasi
Populasi yang digunakan dalam penelitian adalah seluruh laporan perpajakan tahunan pada KPP
Pratama di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Pusat untuk tahun 2003 s/d 2007. sesuai dengan tujuan
penelitian, yaitu untuk menguji pengaruh, penarikan sampel menggunakan pendekatan non
probability random sampling dengan teknik purposive sampling yaitu teknik penentuan sample
dengan menggunakan kriteris (pertimbangan) tertentu (Sugiyono, 2005 : 62).
Sehingga sesuai dengan tujuan penelitian yaitu tentang penagihan pajak dan surat paksa pajak pada
KPP Pratama di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Pusat, maka sample yang dipilih adalah laporan –
laporan yang mendukung hal tersebut dengan ukuran sample sebanyak 15 KPP Pratama. Adapun
sample yang digunakan sebagai objek penelitian dalam penulisan ini adalah :
1. Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Kemayoran.
Data laporan SPT Badan Diterima per tahun mulai tahun 2003 sampai dengan 2007.
Data laporan Wajib Pajak Badan Terdaftar per tahun mulai tahun 2003 sampai dengan 2007.
2. Data laporan Wajib Pajak Efektif per tahun mulai tahun 2003 sampai dengan 2007.
Selain data tersebut di atas, juga dilakukan studi literature sebagai data pendukung penelitian ini
Cara penentuan data yang dilakukan sebagai bahan penelitian adalah dari populasi berupa laporan –
laporan administrasi perpajakan yang diterbitkan oleh KPP Pratama di lingkungan Kanwil DJP
Jakarta Pusat per tahun dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2007. dengan jumlah KPP Pratama
sebanyak 15 KPP Pratama sehingga jumlah data yang diteliti sebanyak 75 laporan.
E. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah pengumpulan data sekunder dan studi
kepustakaan.
1) Pengumpulan data sekunder diperoleh dari peraturan–peraturan perpajakan dan laporan-
laporan yang berkaitan dengan SPT Badan Diterima, Wajib Pajak Badan Terdaftar, Wajib Pajak
Badan Efektif dan Realisasi diperoleh dari KPP Pratama di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Pusat.
2) Studi kepustakaan dalam hal ini adalah dengan membaca dan mempelajari lebih mendalam
berbagai literatur yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Tujuan dari studi ini adalah dengan
membandingkan kenyataan di lapangan dengan teori yang ada.
F. Alat Analisis yang Digunakan
1. Rancangan Analisis
Data terkumpul dianalisis dengan menggunakan langkah-langkah berikut:
1) Melakukan persiapan dengan mengumpulkan dan memeriksa kelengkapan laporan resmi serta
memeriksa kebenaran datanya.
2) Hasil laporan resmi ditabulasi yang telah ditetapkan.
3) Data hasil tabulasi dianalisis sesuai dengan tujuan penelitian yang telah ditetapkan.
Secara terperinci metode analisis yang digunakan untuk menjawab permasalahan yang diajukan
dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Analisis Deskriptif , yaitu analisis yang digunakan untuk mendeskripsikan SPT Badan
Diterima, Wajib Pajak Badan Terdaftar, Wajib Pajak Badan Efektif dan Realisasi berupa
variabel independen (X) dengan variabel dependen (Y) (Priyatno, 2008:66). Analisis ini
untuk mengetahui arah hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen
apakah positif atau negatif dan untuk memprediksi nilai dari variabel dependen apabila nilai
digambarkan secara diagmatik yang menunjukkan pengaruh antar variable. Hipotesis akan
diuji dengan menggunakan analisis regresi berganda (multiple regression analysis) yang
Badan Diterima, Wajib Pajak Badan Terdaftar, Wajib Pajak Badan Efektif terhadap variabel
dependennya Realisasi. Adapun rumus regresi linear bergandanya adalah sebagai berikut :
Y = b0 + b1 X1 + b2X2 + bзXз
Keterangan :
Y = Realisasi
b0 = Konstanta / Intercept
b1 , b2 = Koefisien Regresi
H0 : b1 = b2 = 0 SPT Badan Diterima, Wajib Pajak Badan Terdaftar, Wajib Pajak Badan Efektif
secara simultan tidak berpengaruh terhadap Realisasi pada KPP Pratama di lingkungan Kanwil DJP
Jakarta Pusat.
H0 : b1 ≠ b2 ≠ 0 SPT Badan Diterima, Wajib Pajak Badan Terdaftar, Wajib Pajak Badan Efektif
secara simultan tidak berpengaruh terhadap Realisasi pada KPP Pratama di lingkungan Kanwil DJP
Jakarta Pusat.
Dimana :
kuadrat )
SSE = Sum of Square Error ( jumlah error kuadrat )
k = banyaknya variable bebas
n = ukuran sample
Hipotesis pertama ini akan diuji dengan menggunakan statistic uji F dengan rumus sebagai berikut :
SSR
F= SSE
n–(k+1)
Statistik uji di atas mengikuti sebaran F dengan df1 = k ; df2 = V1= k-1, V2 = k(n-1)
jumlah variable independen ; n: jumlah data ) dan tingkat signifikansi 5% untuk membandingkan
nilai F hitung dengan F tabel atau nilai probabilitas ( p ) dengan a = 0,05 pada taraf nyata 95%.
Untuk menentukan daerah penolakan atau penerimaan hipotesis :
- Jika F hitung > F tabel , atau p < a maka H0 ditolak dan H1 diterima.
- Jika F hitung < F tabel , atau p > a maka H0 diterima dan H1 ditolak.
1. Pengujian Parsial
Hipotesis statistik pada pengujian secara parsial terhadap variable X1 (SPT Badan Diterima)
adalah :
H0 : b1 = 0 Secara parsial SPT Badan Diterima tidak berpengaruh terhadap Realisasi pada KPP
Pratama di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Pusat.
H0 : b1 ≠ 0 Secara parsial SPT Badan Diterima berpengaruh terhadap Realisasi pada KPP
Pratama di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Pusat.
Hipotesis ini akan diuji dengan menggunakan statistic uji t dengan rumus sebagai berikut :
Dimana :
b = koefisien regresi
t= b
SE ( b )
Statistik uji di atsa mengikut sebaran t-student dengan df = n-2 dan taraf kesalahan dua sisi a = 0,05.
Penentuan signifikansinya dengan membandingkan nilai t hitung dengan t tabel atau nilai
probabilitas ( p ) pada taraf nyata 95%. Untuk menentukan daerah penolakan atau penerimaan
hipotesis :
- Jika t hitung > t tabel , atau p < a maka H0 ditolak dan H1 diterima.
- Jika t hitung < t tabel , atau p > a maka H0 diterima dan H1 ditolak.
Hipotesis statistik pada pengujian secara parsial terhadap variable X2 (Wajib Pajak Badan
Terdaftar) adalah :
H0 : b2 = 0 Secara parsial Wajib Pajak Badan Terdaftar tidak berpengaruh terhadap Realisasi pada
KPP Pratama di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Pusat.
H0 : b2 ≠ 0 Secara parsial Wajib Pajak Badan Terdaftar berpengaruh terhadap Realisasi pada KPP
Pratama di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Pusat.
Hipotesis ini akan diuji dengan menggunakan statistic uji t dengan rumus sebagai berikut :
Dimana :
b = koefisien regresi
t= b
SE ( b )
Statistik uji di atsa mengikut sebaran t-student dengan df = n-2 dan taraf kesalahan dua sisi a = 0,05.
Penentuan signifikansinya dengan membandingkan nilai t hitung dengan t tabel atau nilai
probabilitas ( p ) pada taraf nyata 95%. Untuk menentukan daerah penolakan atau penerimaan
hipotesis :
- Jika t hitung > t tabel , atau p < a maka H0 ditolak dan H1 diterima.
- Jika t hitung < t tabel , atau p > a maka H0 diterima dan H1 ditolak.
Hipotesis statistik pada pengujian secara parsial terhadap variable X2 (Wajib Pajak Badan
Terdaftar) adalah :
H0 : bз = 0 Secara parsial Wajib Pajak Badan Efektif tidak berpengaruh terhadap Realisasi pada
KPP Pratama di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Pusat.
H0 : bз ≠ 0 Secara parsial Wajib Pajak Badan Efektif berpengaruh terhadap Realisasi pada KPP
Pratama di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Pusat.
Hipotesis ini akan diuji dengan menggunakan statistic uji t dengan rumus sebagai berikut :
Dimana :
b = koefisien regresi
t= b
SE ( b )
Statistik uji di atsa mengikut sebaran t-student dengan df = n-2 dan taraf kesalahan dua sisi a = 0,05.
Penentuan signifikansinya dengan membandingkan nilai t hitung dengan t tabel atau nilai
probabilitas ( p ) pada taraf nyata 95%. Untuk menentukan daerah penolakan atau penerimaan
hipotesis :
- Jika t hitung > t tabel , atau p < a maka H0 ditolak dan H1 diterima.
- Jika t hitung < t tabel , atau p > a maka H0 diterima dan H1 ditolak.
Interprestasi terhadap koefisien regresi dan koefisien determinasi (R2) dari model regresi berganda
adalah perlu. Dalam uji statistik masih diperlukan untuk mengetahui besarnya koefisien determinasi
(R2) guna mengukur seberapa juauh kemampuan model dalam menerangkan variabel terikat. Harga
koefisien determinasi akan bernilai 1 jika seluruh observasi pada garis regresi dan akan bernilai 0
jika tidak ada pengaruh linier antara variabel dependen dan variabel independent. Nilai R2 akan
bernilai 0 bukan berarti tidak ada pengaruh antara hubungan linier.
Untuk mengukur besarnya kontribusi variabel bebas terhadap variabel terikat, maka digunakan
rumus :
SSR
SSR
SSR + SSE
SStotal
R2 = =
BAB IV
PEMBAHASAN
1. A. Objek Penelitian
Pembentukan KPP Pratama diawali dengan implementasi modernisasi perpajakan di KPP Wajib
Pajak Besar (Large Taxpayer Office, LTO) melalui Keputusan Menteri Keuangan
No.65/KMK.01/2002, bersamaan dengan Kantor Wilayah DJP Wajib Pajak Besar. Kemudian
sejalan dengan karakteristik Wajib Pajak yang dikelola, organisasinya diubah dengan Keputusan
KPP Pratama di Lingkungan Kanwil DJP Jakarta Pusat mengelola Wajib Pajak menengah ke bawah
yakni jenis badan di luar yang telah dikelola di KPP Wajib Pajak Besar dan KPP Madya serta orang
pribadi dan Wajib Pajak badan. Di KPP Pratama ada kegiatan ekstensifikasi Wajib Pajak, sehingga
jumlah Wajib Pajak-nya dapat selalu bertambah seirama dengan pertambahan orang pribadi yang
memperoleh penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) atau melakukan kegiatan
usaha di wilayah kerjanya. Dengan demikian, jenis Wajib Pajak yang dikelola terdiri dari orang
pribadi, badan, maupun sebagai pemotong atau pemungut pajak (seperti bendaharawan instansi
pemerintah). Jenis pajak yang dikelola semuanya, yakni PPh, PPN, PPnBM, bea meterai, PBB, dan
BPHTB. Kedudukannya berada di semua Kantor Wilayah di Indonesia, kecuali Kantor Wilayah
Wajib Pajak Besar dan Kantor Wilayah Jakarta Khusus.
Dalam perkembangannya dalam mengimplementasikan administrasi perpajakan modern, kegiatan
KPP Pratama memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Merupakan penggabungan dari tiga unit kantor pajak sebelumnya, yaitu KPP, KPPBB dan
Mengadministrasikan seluruh jenis pajak yang dikelola DJP (PPH, PPN, PPnBM, bea meterai,
PBB, BPHTB).
atau Wajib Pajak tertentu berada di wilayah kerja KPP yang bersangkutan.
1. Struktur Organisasi dan Tata Kerja KPP Pratama Kanwil DJP Jakarta Pusat
Sebagai instansi vertikal di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kanwil
Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Pusat, KPP Pratama yang dipimpin oleh seorang Kepala Kantor
memiliki tugas melaksanakan penyuluhan, pelayanan dan pengawasan Wajib Pajak di bidang Pajak
Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM),
dan Pajak Tidak Langsung Lainnya (PTLL). Selanjutnya susunan organisasi KPP dan fungsi tiap-
tiap bagian tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Subbagian Umum mempunyai tugas pengurusan kepegawaian, keuangan, dan tata usaha,
Seksi Pengolahan Data dan Informasi bertugas melakukan pengumpulan, pencarian dan pengolahan
perpajakan, pelayanan dukungan teknis komputer, pemantauan aplikasi e-SPT dan e-Filing, serta
Seksi Pelayanan bertugas melakukan penetapan dan penerbitan produk hukum perpajakan,
pengadministrasian dokumen dan berkas perpajakan, penerimaan dan pengolahan Surat
Pemberitahuan, serta penerimaan surat lainnya, penyuluhan perpajakan, pelaksanaan registrasi
Wajib Pajak, pelaksanaan ekstensifikasi serta melakukan kerjasama perpajakan;
Seksi Penagihan mempunyai tugas penatausahaan piutang pajak, penundaan dan angsuran
tunggakan pajak, penagihan aktif, usulan penghapusan piutang;
Seksi Pemeriksaan mempunyai tugas melakukan penyusunan rencana pemeriksaan, pengawasan
pelaksanaan; aturan pemeriksaan, penerbitan dan penyaluran Surat Perintah Pemeriksaan Pajak
serta administrasi pemeriksaan perpajakan lainnya;
Seksi Pengawasan dan Konsultasi I, Seksi Pengawasan dan Konsultasi II, Seksi Pengawasan dan
Konsultasi III, serta Seksi Pengawasan dan Konsultasi IV, masing-masing mempunyai tugas
melakukan pengawasan kepatuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak, bimbingan/himbauan kepada
Wajib Pajak dan konsultasi teknis perpajakan, penyusunan profil Wajib Pajak, analisis kinerja
Wajib Pajak, melakukan rekonsiliasi data Wajib Pajak dalam rangka melakukan intensifikasi, serta
melakukan evaluasi hasil banding.
2. Kelompok Jabatan Fungsional bertugas melakukan kegiatan sesuai dengan jabatan masing-
2. Tahapan – Tahapan Pelayanan Perpajakan KPP Pratama Kanwil DJP Jakarta Pusat.
Pada dasarnya, sarana dan prasarana, pola kerja dan pada pelayanannya, KPP Pratama sama dengan
KPP WP Besar dan KPP Madya. Adapun tahapan – tahapan pelayanan perpajakan di tiap KPP dan
siap dimanfaatkan oleh Wajib Pajak adalah sebagai berikut :
1. Tempat Pelayanan Terpadu (TPT)
TPT merupakan tempat untuk melayani Wajib Pajak dalam hal pengurusan kewajiban perpajakan
yang meliputi penerimaan Surat Pemberitahuan (SPT), surat permohonan dan surat lainnya.
Account Representative (AR) bertanggung jawab dalam pelaksanaan pelayanan dan pengawasan
secara langsung untuk beberapa Wajib Pajak tertentu yang telah ditugaskan kepadanya, yaitu
bertanggungjawab untuk menyampaikan informasi perpajakan secara efektif dan professional, serta
memberikan respon yang efektif atas pertanyaan dan permasalahan yang disampaikan, sekaligus
mengawasi kepatuhan wajib pajak yang menjadi tugasnya. Beberapa informasi yang diberikan oleh
Account Representative kepada Wajib Pajak adalah, (i) rekening Wajib Pajak (Taxpayers’ Account)
untuk semua jenis pajak, (ii) kemajuan proses pemeriksaan dan restitusi, (iii) interpretasi dan
penegasan atas suatu peraturan, (iv) perubahan data identitas Wajib Pajak, (v) tindakan pemeriksaan
dan penagihan pajak. (vi), kemajuan proses keberatan dan banding. Dan (vii), perubahan peraturan
Setiap Account Representative pada KPP di lingkungan Kanwil Direktorat Jenderal Pajak Wajib
Pajak Besar bertugas melayani dan mengawasi administrasi perpajakan 3 sampai dengan 8 Wajib
Pajak dengan pembagian penugasan ditetapkan menurut jenis usaha Wajib Pajak yang sejenis dan
yang mendekati sejenis tergantung jumlah Wajib Pajak.
1. Pembayaran pajak (e-Payment)
Wajib Pajak diwajibkan membayar pajak pada bank persepsi/bank devisa persepsi melalui sistem
pembayaran yang disebut Monitoring Pembayaran dan Pelaporan Pajak (MP3). Sistem ini
menghubungkan bank dengan Direktorat Jenderal Pajak secara online.
Setiap pembayaran direkam oleh bank dan Direktorat Jenderal Pajak pada saat yang bersamaan.
Sistem yang ada pada Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak secara otomatis menerbitkan satu
nomor unik terdiri dari 16 digit yang disebut Nomor Tanda Pembayaran Pajak (NTPP) sebagai
validasi Direktorat Jenderal Pajak terhadap setiap satu setoran pajak. Data pembayaran pajak dari
Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak ditransfer setiap hari ke sistem yang ada pada KPP dimana
Wajib Pajak terdaftar dan data pembayaran ini secara otomatis dibukukan pada rekening Wajib
Pajak (Taxpayers’ Account) dimana data pembayaran disandingkan dengan data kewajiban pajak
berdasarkan pelaporan Wajib Pajak atau adanya produk pajak berupa ketetapan mengenai
kewajiban pajak yang masih harus dibayar.
1. Pelaporan pajak (e-Reporting, e-SPT)
Elektronic SPT atau disebut e-SPT adalah aplikasi (software) yang dibuat oleh Direktorat Jenderal
Pajak untuk digunakan oleh Wajib Pajak sebagai alternatif dalam menyampaikan Surat
Pemberitahuan (SPT) dimana data-datanya telah direkam atau diolah sendiri oleh Wajib Pajak
dengan bantuan aplikasi e-SPT menjadi data elektronik yang dapat langsung dimuat (upload) sistem
dan database yang ada di KPP. Dasar pengoperasiannya, Wajib Pajak terlebih dahulu melakukan
instalasi aplikasi e-SPT pada komputer Wajib Pajak sendiri. Aplikasi e-SPT pada komputer Wajib
Pajak digunakan untuk merekam data-data Surat Pemberitahuan (SPT) secara manual atau
mengolahnya dari database Wajib Pajak. Setelah seluruh data terekam, melalui aplikasi e-SPT
dapat dicetak formulir induk Surat Pemberitahuan (SPT) yang terisi secara otomatis dari data-data
yang direkam dan data-data yang telah terekam tersebut juga dapat dipindahkan ke dalam media
penyimpaan seperti disket atau compact disc (CD) untuk selanjutnya diserahkan ke KPP sebagai
pelaporan dengan terlebih dahulu menandatangani formulir induk hasil cetakan aplikasi e-SPT. Di
TPT, formulir induk yang telah ditandatangani dan media penyimpanan datanya dapat diterima oleh
petugas dimana selanjutya rekaman data dalam media penyimpanan tersebut dimuat (upload) ke
database KPP. Setelah upload data berhasil maka pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Wajib
Pajak dianggap sah dan disini berarti data Surat Pemberitahuan (SPT) Wajib Pajak yang ada pada
E-Filing adalah layanan yang disediakan Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak agar Wajib Pajak
dapat menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) beserta lampirannya secara elektronik dan online
realtime melalui aplikasi penerimaan Surat Pemberitahuan (SPT) berbasis web. Karakteristik e-
Filing adalah proses yang cepat, karena pada prinsipnya Wajib Pajak dapat langsung melakukan
upload data Surat Pemberitahuan (SPT) ke database Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak tanpa
melalui KPP, proses ini ditindaklanjuti dengan proses download data Surat Pemberitahuan (SPT) ke
KPP dimana Wajib Pajak terdaftar. Wajib Pajak hanya menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT)
Induk dan Berita Acara yang telah ditandatangani. Pengiriman data Surat Pemberitahuan (SPT)
dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja dalam batasan waktu yang ditentukan.
1. Pemeriksaan
Pemeriksaan secara khusus hanya dilakukan oleh fungsional pemeriksa pajak di KPP. Manajemen
pemeriksaan lebih efisien dan efektif karena fungsi pemeriksaan dan fungsi lainnya berada dalam
satu unit maka koordinasi fungsi tersebut lebih baik. Penugasan pemeriksaan difokuskan kepada
sektor-sektor usaha tertentu sehingga hasil pemeriksaan lebih efektif dengan perlakuan perpajakan
yang seragam dan pemeriksa lebih terspesialisasi sehingga produktivitas serta kualitas hasil
pemeriksaan meningkat.
1. Penagihan pajak
Pada KPP Pratama penagihan pajak dibagi dalam dua tahap, yakni soft collection dan hard
collection. Soft collection selain dilaksanakan oleh Jurusita Pajak, juga dibantu oleh Account
Administrasi Perpajakan Terpadu (SAPT). Informasi yang terkait dengan tunggakan pajak serta
pembayarannya untuk masing-masing Wajib Pajak dapat diakses langsung oleh Jurusita Pajak,
Account Representative ataupun pihak-pihak yang berwenang, dan setiap tindakan penagihan dapat
Surat Paksa Pajak yang dilakukan merupakan rangkaian penagihan pajak, dimana jika pengihan
pajak melalui soft collection tidak tertagih, maka akan dilakukan penagihan dengan collection yang
lebih dikenal dengan Surat Paksa Pajak, yang dilakukan oleh Jurusita Pajak kepada Wajib Pajak
secara langsung, atas PPh yang semestinya terutang setelah adanya koreksi fiskal, dan telah
dilakukan penagihan dengan Soft Collection , namun tidak berhasil tertagih. Oleh karena itulah
1. Complain Center
KPP Pratama membangun Complaint Center untuk menangani keluhan-keluhan WP yang terdaftar.
Permasalahan yang disampaikan ke Complaint Center meliputi keluhan mengenai segala jenis
pelayanan, pemeriksaan, keberatan dan banding. Complaint Center tidak dimaksudkan untuk
1) Knowledge Base yang merupakan kumpulan standar pertanyaan dan jawaban mengenai
berbagai masalah perpajakan juga dikembangkan untuk mendukung tugas pemberian pelayanan dan
2) Sampai dengan tahun 2007 telah dilakukan penyuluhan kepada Wajib Pajak dengan topik
Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan (SPT PPh) Tahunan, Pasar Modal, Perbankan, Minyak
Bumi dan Gas, Obligasi, serta Pajak Penghasilan ditanggung pemerintah (PPh DTP).
Adapun Kantor Pelayanan Pajak Pratama (KPP) di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Pusat yang
menjadi Objek Penelitian adalah sebagai berikut :
Tabel 4.1
Badan Terdaftar, WP Badan Efektif, dan Realisasi KPP DKI Jakarta khususnya Jakarta Pusat pada
periode 2003-2007.
1. B. Pengujian Hipotesis
Berdasarkan data pengamatan selama tahun 2003 sampai dengan 2007 atau selama 5 tahun, dapat
dilakukan pengolahan data penelitian dan analisis antar variabel berdasarkan metode Path-Analysis
dengan melakukan pengujian hipotesis untuk mengetahui pengaruh SPT Badan Diterima, Wajib
Berdasarkan hasil pengolahan data, diperoleh hasil perhitungan untuk variabel dependen dan
variabel independen sebagai berikut :
Tabel 4.2
Wajib Pajak Badan Terdaftar (X2), dan Wajib Pajak Badan Efektif (Xз) mempunyai pengaruh
secara signifikan terhadap Realisasi ( Y ). Untuk itu diperlukan regresi linear berganda untuk
membuat model analisis. Adapun model yang direncanakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
Y = b0 + b1 X1 + b2X2 + bзXз
Keterangan :
Y = Realisasi
b0 = Konstanta / Intercept
b1 , b2 = Koefisien Regresi
Uji kenormalan bertujuan untuk menguji bahwa data sampel berasal dari populasi yang berdistribusi
secara normal. Distribusi normal merupakan model paling baik untuk mendekati frekuensi
Gambar 4.1
Dari gambar di atas, terlihat bahwa titik-titik menyebar di sekitar garis diagonal, serta
penyebarannya mengikuti arah garis diagonal. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa model
analisis jalur memiliki distribusi data yang normal.
Gambar 4.2
Dari gambar di atas, terlihat bahwa titik-titik menyebar di sekitar garis diagonal, serta
penyebarannya mengikuti arah garis diagonal. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa model
analisis jalur memiliki distribusi data yang normal.
Gambra 4.3
Dari gambar di atas, terlihat bahwa titik-titik menyebar di sekitar garis diagonal, serta
penyebarannya mengikuti arah garis diagonal. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa model
analisis jalur memiliki distribusi data yang normal.
Gambar 4.4
Dari gambar di atas, terlihat bahwa titik-titik menyebar di sekitar garis diagonal, serta
penyebarannya mengikuti arah garis diagonal. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa model
analisis jalur memiliki distribusi data yang normal.
1. C. Inter Koefisien Korelasi
Analisis korelasi merupakan bagian dari pengujian asosiatif yang dikarenakan analisis korelasi
bertujuan mencari kekuatan, signifikan dan arah hubungan antara dua variabel. Jika angka koefisien
korelasi yang dihasilkan positif, maka terdapat hubungan yang positif atau searah antara kedua
variabel tersebut dan sebaliknya, jika angka yang dihasilkan negatif maka hubungan antara kedua
variabel tersebut juga negatif atau berlawanan. Tinggi rendahnya hubungan dua variabel menurut
Tabel 4.3
Analisis korelasi dilakukan untuk mengetahui hubungan antara SPT Badan Diterima, WP Badan
Terdaftar dan WP Badan Efektif sebagai variabel (X) terhadap Realisasi sebagai variabel teriat (Y).
Tabel 4.4
Tabel Korelasi
Correlations
SPT_Badan_Te WP_Badan_Dit WP_Badan_Ef
Berdasarkan nilai r atau koefisien korelasi yang telah didapat antara SPT Badan Diterima dengan
Realisasi yang dihasilkan oleh KPP DKI Jakarta khususnya Jakarta Pusat untuk periode 2003-2007,
yaitu sebesar 0,486 maka dapat diketahui nilai Koefisien Penentu (KP) dari SPT Badan Diterima
r = 0,486
KP = r² . 100 %
= (0,486)² . 100 %
= 23,6196 %
Sisa = 100 % – 23,6196 %
= 76,3804 %
Nilai KP dari SPT Badan Diterima adalah 23,6196 % artinya kontribusi SPT Badan Diterima
terhadap Realisasi pada KPP DKI Jakarta khususnya Jakarta Pusat untuk periode 2003-2007 hanya
sebesar 23,6196 %, sedangkan sisanya sebesar 76,3804 % dipengaruhi oleh faktor-faktor lain.
1. 2. Analisis besarnya kontribusi WP Badan Terdaftar (X2) dengan Realisasi (Y)
Berdasarkan nilai r atau koefisien korelasi yang telah didapat antara WP Badan Terdaftar dengan
Realisasi yang dihasilkan oleh KPP DKI Jakarta khususnya Jakarta Pusat untuk periode 2003-2007,
yaitu sebesar 0,4 maka dapat diketahui nilai Koefisien Penentu (KP) dari WP Badan Terdaftar
r = 0,4
KP = (0,4)² . 100 %
= 16 %
Sisa = 100 % – 16 %
= 84 %
Nilai KP dari WP Badan Terdaftar adalah 16 % artinya kontribusi WP Badan Terdaftar terhadap
Realisasi pada KPP DKI Jakarta khususnya Jakarta Pusat untuk periode 2003-2007 hanya sebesar
16 %, sedangkan sisanya sebesar 84 % dipengaruhi oleh faktor-faktor lain.
1. 3. Analisis besarnya kontribusi WP Badan Efektif (X3) dengan Realisasi (Y)
Berdasarkan nilai r atau koefisien korelasi antara WP Badan Efektif dengan Realisasi yang
dihasilkan oleh KPP DKI Jakarta khususnya Jakarta Pusat untuk periode 2003-2007 yaitu sebesar
0,232 sehingga dapat diketahui Koefisien Penentu (KP) untuk WP Badan Efektif dengan Realisasi
sebagai berikut :
r = 0,232
KP = (0,232)² . 100 %
= 5,3824 %
Sisa = 100 % – 5,3824 %
= 94,6176 %
Nilai KP dari WP Badan Efektif adalah 5,3824 % artinya kontribusi WP Badan Efektif terhadap
Realisasi pada KPP DKI Jakarta khususnya Jakarta Pusat untuk periode 2003-2007 hanya sebesar
5,3824 %, sedangkan sisanya sebesar 94,6176 % dipengaruhi oleh faktor-faktor lain.
1. F. Analisis Pengujian Hipotesis pada KKP DKI Jakarta khususnya Jakarta Pusat
Berdasarkan nilai koefisien korelasi antara variabel bebas dengan variabel terikat, dapat diketahui
kuat lemahnya pengaruh suatu variabel terhadap variabel lainnya. Namun untuk dapat lebih
mengetahui signifikan atau tidaknya hasil analisis korelasi tersebut, maka dapat dilakukan
pengujian hipotesis untuk masing-masing variabel bebas dengan variabel terikat. Hasil pengujian
dengan Realisasi(Y)
Hipotesis yang ingin dibuktikan melalui penelitian ini diformulasikan dengan hipotesis nol (H0)
dan Hipotesis alternatif (Ha) sebagai hipotesis tandingannya yang bersifat berlawanan dengan
hipotesis nol. Apabila hipotesis nol diterima maka hipotesis alternatif ditolak, demikian pula
H0 : ρ = 0 : Tidak ada hubungan yang signifikan antara SPT Badan Diterima (X1) dengan
Realisasi (Y)
Ha : ρ ≠ 0 : Ada hubungan yang signifikan antara SPT Badan Diterima (X1) dengan Realisasi
(Y).
1. Tingkat kesalahan yang dapat ditolerir atau biasa disebut alpha (α) adalah
sebesar 5 % (α = 5 %). Setelah itu dengan melihat tabel maka dilakukan perhitungan sebagai
berikut :
α = 0,05
α / 2 = 0,025
n=5
Db (5-2) = 5 -2 = 3
wilayah kritis atau t tabel (α/2, Db) = t (0,025, 3 ) = 3,182
Dari hasil perhitungan di atas dapat dilihat bahwa H0 diterima jika = -t tabel (α/2, Db) < t hitung < t
tabel (α/2, Db) dan H0 ditolak jika = t hitung > t tabel (α/2, Db) atau t hitung < – t tabel (α/2, Db).
Untuk lebih jelas maka dilakukan pengujian :
H0 diterima jika –3,182 < t hitung < 3,182
H0 ditolak jika t hitung > 3,182 atau t hitung < -3,182
1. Melakukan uji statistik dengan perhitungan sebagai berikut :
r = 0,486
Hipotesis yang ingin dibuktikan melalui penelitian ini diformulasikan dengan hipotesis nol (H0)
dan hipotesis alternatif (Ha) sebagai hipotesis tandingannya yang bersifat berlawanan terhadap
hipotesis nol. Apabila hipotesis nol diterima maka hipotesis alternatif ditolak, demikian pula
H0 : ρ = 0 : Tidak ada hubungan yang signifikan antara WP Badan Terdaftar (X2) dengan
Realisasi (Y)
Hipotesis yang ingin dibuktikan melalui penelitian ini diformulasikan dengan hipotesis nol (H0)
dan hipotesis alternatif sebagai tandingannya yang bersifat berlawanan dengan hipotesis nol.
Apabila hipotesis nol diterima maka hipotesis alternatif ditolak, demikian pula sebaliknya bila
H0 : ρ = 0 : Tidak ada hubungan yang signifikan antara WP Badan Efektif (X3) dengan
realisasi (Y)
Ha : ρ ≠ 0 : Ada hubungan yang signifikan antara WP Badan Terdaftar (X3) dengan Realisasi
(Y)
b. Tingkat kesalahan yang dapat ditolerir atau yang biasa disebut alpha (α)
adalah sebesar 5 % (α = 5 %). Setelah itu dengan melihat tabel tα pada lampiran 3 maka dilakukan
perhitungan sebagai berikut :
α = 0,05
α/2 = 0,025
n =5
df (n-2) = (5 – 2) = 3
Wilayah kritis atau t tabel (α/2, Db) = t (0,025, 3) = 3,182
Dari hasil perhitungan di atas dapat dilihat bahwa H0 diterima jika = -t tabel (α/2, Db) < t hitung < t
tabel (α/2, Db) dan H0 ditolak jika = t hitung > t tabel (α/2, Db) atau t hitung < – t tabel (α/2, Db).
Untuk lebih jelas maka dilakukan pengujian :
H0 diterima jika –3,182 < t hitung < 3,182
H0 ditolak jika t hitung > 3,182 atau t hitung < -3,182
c. Melakukan uji statistik dengan perhitungan sebagai berikut :
r = 0,232
t hitung = r √(n-2) : √ (1- r²)
t hitung = (0,232 √ (5-2)) : √ (1 – 0,053824)
t hitung = 0,424
d. Berdasarkan perhitungan di atas maka dapat dilihat bahwa t hitung lebih
kecil daripada wilayah kritis atau dirumuskan sebagai berikut :
t hitung = 0,424 < wilayah kritis = 3,182
Gambar 4.7
Kurva Pengujian Hipotesis
WP Badan Efektif
H0
-3,182 0,424 3,182
( – t tabel ½α) ( +t tabel ½α)
Hal ini berarti t hitung berada di daerah penerimaan H0, sehingga H0 diterima dan Ha ditolak. H0
diterima berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara WP Badan Efektif dengan Realisasi pada
KPP DKI Jakarta khususnya Jakarta Pusat untuk periode 2003-2007.
G. Analisis Keseluruhan Perhitungan Koefisien Korelasi, Koefisien Determinan dan
Pengujian Hipotesis pada KPP DKI Jakarta khususnya Jakarta Pusat untuk periode 2003-
2007
Pada analisis berikut ini akan ditinjau hubungan masing-masing variabel bebas yaitu SPT Badan
Diterima (X1), WP Badan Terdaftar (X2), dan WP Badan Efektif (X3) dengan Realisasi (Y) pada
KPP DKI Jakarta khususnya Jakarta Pusat untuk periode 2003-2007 melalui perhitungan dan
analisis yang telah dilakukan secara keseluruhan.
1. 1. Analisis SPT Badan Diterima (X1) dengan Realisasi (Y)
Berdasarkan perhitungan dan analisis yang telah dilakukan, dapat diketahui nilai koefisien korelasi
atau r antara SPT Badan diterima (X1) dengan Realisasi (Y) sebesar 0,486 artinya hubungan antara
SPT Badan Diterima (X1) dengan Realisasi (Y) adalah positif namun cukup kuat. Hubungan yang
positif berarti perubahan SPT Badan Diterima (X1) mengakibatkan perubahan pada Realisasi (Y).
Namun karena hubungannya cukup kuat, maka perubahan terhadap Realisasi tersebut tidak sebesar
Untuk mengetahui kontribusi SPT Badan Diterima (X1) terhadap Realisasi (Y) dapat dilihat dari
nilai Koefisien Penentu (KP) yang dicari dengan mengkuadratkan nilai koefisien korelasi (r)
kemudian dikalikan dengan 100 %. Dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,486 maka besarnya
koefisien penentu adalah 23.6196 %. Hal ini berarti kontribusi SPT Badan Diterima terhadap
Realisasi hanya sebesar 23.6196 % sedangkan sisanya sebesar 76.3804 % dipengaruhi oleh faktor-
faktor lain.
Pada pengujian hipotesis didapat nilai t hitung sebesar 0.963 yang berada di dalam daerah
penerimaan H0, sehingga H0 diterima sedangkan Ha ditolak. H0 diterima berarti tidak ada
hubungan yang signifikan antara SPT Badan Diterima dengan Realisasi pada KPP DKI Jakarta
khususnya Jakarta Pusat untuk periode 2003-2007.
1. 2. Analisis WP Badan Terdaftar (X2) dengan Realisasi (Y)
Berdasarkan perhitungan dan analisis yang telah dilakukan, maka dapat diketahui nilai koefisien
korelasi atau r antara WP Badan Terdaftar (X2) dengan Realisasi (Y) sebesar 0,4. Dari hasil ini,
maka dapat disimpulkan bahwa antara variabel X2 (WP Badan Terdaftar) dengan variabel Y
(Realisasi) terdapat hubungan yang positif dan hubungannya cukup kuat. Hubungan positif dalam
hal ini berarti terjadi hubungan yang searah antara variabel X2 dengan variabel Y tersebut, apabila
variabel X2 (WP Badan Terdaftar) mengalami kenaikan maka kenaikan tersebut diikuti pula oleh
variabel Y (Realisasi) dan begitu pula sebaliknya, jika Variabel X2 (WP Badan Terdaftar)
Sedangkan nilai koefisien korelasi yang dihasilkan sebesar 0,4 menunjukan hubungan yang cukup
kuat dari WP Badan Terdaftar dengan Realisasi, hal ini berarti kenaikan WP Badan Tedaftar yang
cukup besar diikuti oleh kenaikan harga saham yang cukup besar juga. Dan begitu pula sebaliknya,
apabila WP Badan Terdaftar mengalami penurunan yang cukup besar, penurunan tersebut diikuti
pula oleh Realisasi.
Untuk mengetahui kontribusi WP Badan Terdaftar (X2) terhadap Realisasi (Y) dapat dilihat dari
Koefisien Penentu (KP) yang dicari dengan mengkuadratkan nilai r kemudian dikalikan dengan
100 %. Dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,4 maka besarnya koefisien penentu adalah 16 %.
Hal ini berarti kontribusi WP Badan Terdaftar terhadap Realisasi sebesar 16 % sedangkan sisanya
sebesar 84 %pengaruhi oleh faktor-faktor lain.
Pada pengujian hipotesis didapat nilai t hitung sebesar 0,756 yang berada di daerah penerimaan H0,
sehingga Ha ditolak. H0 diterima berarti tidak terdapat hubungan yang signifikan antara WP Badan
Terdaftar dengan Realisasi pada KPP DKI Jakarta khususnya Jakarta Pusat untuk periode 2003-
2007.
1. 3. Analisis WP Badan Efektif (X3) dengan Realisasi (Y)
Berdasarkan perhitungan dan analisis yang telah dilakukan, dapat diketahui nilai koefisien korelasi
atau r antara WP Badan Efektif (X3) dengan Realisasi (Y) sebesar 0,232. Hal ini artinya hubungan
antara WP Badan Efektif (X3) dengan Realisasi (Y) adalah positif dan hubungannya lemah.
Hubungan positif dalam hal ini berarti terjadi hubungan yang searah antara variabel X3 dengan
variabel Y tersebut, apabila variabel X3 (WP Badan Efektif) mengalami kenaikan maka kenaikan
tersebut diikuti oleh kenaikan variabel Y (Realisasi) tetapi tidak sebesar WP Badan Efektif dan
begitu pula sebaliknya, jika Variabel X3 (WP Badan Efektif) mengalami penurunan maka diikuti
pula dengan penurunan Variabel Y(Realisasi) tetapi tidak sebesar WP Badan Efektif.
Namun karena nilai koefisien korelasi yang dihasilkan sebesar 0,232 menunjukan hubungan yang
lemah, maka perubahan terhadap Realisasi tersebut tidak sebesar perubahan yang terjadi pada WP
Badan Efektif yang dihasilkan.
Untuk mengetahui kontribusi WP Badan Efektif (X3) terhadap Realisasi (Y) dapat dilihat dari nilai
Koefisien Penentu (KP) yang dicari dengan mengkuadratkan nilai koefisien korelasi (r) kemudian
dikalikan dengan 100 %. Dengan nilai r sebesar 0,232 maka besarnya koefisien penentu adalah
5,3824 %, yang berarti kontribusi WP Badan Efektif terhadap Realisasi sebesar 1,77 % sedangkan
sisanya sebesar 94,6176 % dipengaruhi oleh faktor-faktor lain.
Pada pengujian hipotesis didapat nilai t hitung sebesar 0,379 yang berada pada daerah penerimaan
H0, sehingga Ha ditolak. H0 diterima berarti tidak terdapat hubungan yang signifikan antara WP
Badan Efektif dengan Realisasi pada KPP DKI Jakarta khususnya Jakarta Pusat untuk periode
2003-2007.
1. H. Analisis Perhitungan Regresi Berganda pada KPP DKI Jakarta khususnya Jakarta
Pusat
Analisis regresi linier berganda adalah hubungan secara linier antara dua atau lebih variabel
independent (X1, X2 dan X3 ) dengan variabel dependent (Y). Analisis ini dilakukan untuk
mengetahui arah hubungan antara variabel independent dengan variabel dependent, apakah masing-
masing variabel independent berhubungan positif atau negatif dan untuk memprediksi nilai dari
variabel dependent apakah nilai variabel independent mengalami kenaikan atau penurunan. Data
yang digunakan biasanya berskala interval atau rasio. Seperti telah diuraikan diatas, jika pada kasus
regresi linier berganda terhadap satu variabel dependent (Y) dan lebih dari satu variabel
independent (X).
Berikut ini adalah hasil perhitungan regresi berganda yang didapat dengan menggunakan Statistical
Package Social Science atau PSS Versi 12.0 pada KPP DKI Jakarta khususnya Jakarta Pusat:
Tabel 4.5
Coefficients(a)
Unstandardized Standardized
1. 1. Persamaan Regresi
(X2) dan WP Badan Efektif (X3) nilainya adalah 0, maka Realisai (Y) nilainya adalah Rp
24522,895. Koefisien berikut bernilai negatif artinya terjadi hubungan yang tidak searah
Koefisien regresi variabel SPT Badan Diterima (X1) sebesar -8,128 artinya jika variabel
independen lainnya bernilai tetap dan SPT Badan Diterima mengalami kenaikan 1 % maka
Realisasi akan mengalami peningkatan sebesar Rp 8.128. Koefisien bernilai positif artinya terjadi
hubungan yang setara antara SPT Badan Diterima dengan Realisasi, semakin naik SPT Badan
Diterima (X1) maka semakin meningkat juga Realisasi (Y) dan begitu pula sebaliknya.
Koefisien regresi variabel WP Badan Terdaftar (X2) sebesar 119,647 artinya jika variabel
independen lainnya bernilai tetap dan WP Badan Terdaftar mengalami kenaikan 1 % maka
Realisasi akan mengalami peningkatan sebesar Rp 119,647. Koefisien bernilai positif artinya
terjadi hubungan yang setara antara WP Badan Terdaftar dengan Realisasi, semakin naik WP Badan
Terdaftar (X2) maka semakin meningkat juga Realisasi (Y) dan begitu pula sebaliknya.
2. Koefisien regresi variabel WP Badan Efektif (X3) sebesar -11,382 artinya jika variabel
independen lainnya bernilai tetap dan WP Badan Efektif mengalami kenaikan 1 % maka
Realisasi akan mengalami peningkatan sebesar Rp 11,382. Koefisien bernilai positif artinya
terjadi hubungan yang setara antara WP Badan Efektif dengan Realisasi, semakin naik WP
Badan Efektif (X3) maka semakin meningkat juga Realisasi (Y) dan begitu pula sebaliknya.
Analisis determinasi dalam regresi linier berganda digunakan untuk mengetahui persentase variasi
pengaruh variabel independent (X) secara serentak terhadap variabel dependen (Y). Koefisien ini
menunjukan seberapa besar persentase variasi variabel independen yang digunakan, dalam model
mampu menjelaskan variasi variabel dependen. R² sama dengan 0, maka tidak ada sedikitpun
persentase sumbangan pengaruh yang diberikan variabel independent terhadap variabel dependen
atau variasi variabel independen yang digunakan dalam model tidak menjelaskan sedikitpun variasi
variabel dependen. Sebaliknya jika R² sama dengan 1 maka persentase sumbangan pengaruh yang
diberikan variabel independen terhadap dependen adalah sempurna atau variasi variabel independen
Dari hasil analisis regresi dalam bentuk output model summary yang disajikan sebagai berikut:
Tabel 4.6
Model Summary
Std. Error of the
Uji ini digunakan untuk mengetahui apakah variabel independen (X1, X2, dan X3) secara bersama-
sama berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen (Y). Atau untuk mengetahui apakah
model regresi dapat digunakan untuk memprediksi variabel dependen atau tidak. Signifikan artinya
Tabel 4.7
ANOVA(b)
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression 576803423816.123 3 192267807938.708 7.964 .000(a)
Residual 1714072482780.146 71 24141865954.650
Total 2290875906596.269 74
a Predictors: (Constant), WP_Badan_Efektif, WP_Badan_Terdaftar, SPT_Badan_Diterima
H0 : b1 = b2 = 0 SPT Badan Diterima, Wajib Pajak Badan Terdaftar, Wajib Pajak Efektif secara
simultan tidak berpengaruh terhadap Realisasi pada KPP Pratama di lingkungan Kanwil DJP
Jakarta Pusat.
H0 : b1 ≠ b2 ≠ 0 SPT Badan Diterima, Wajib Pajak Badan Terdaftar, EWajib Pajak Badan
Efektif secara simultan berpengaruh terhadap Realisasi pada KPP Pratama di lingkungan Kanwil
DJP Jakarta Pusat.
Untuk menguji kebenaran hipotesis tersebut dilakukan uji F dengan tingkat signifikansi 0,05 ( 5% ).
Adapun rumus yang digunakan adalah :
SSR
F= SSE
n–(k+1)
Dimana :
SSR = Sum of Square Regression ( jumlah regresi
kuadrat )
SSE = Sum of Square Error ( jumlah error
kuadrat )
k = banyaknya variable bebas
n = ukuran sample
Penarikan kesimpulan yang digunakan adalah :
- Jika F hitung > F tabel , atau p < a maka H0 ditolak dan H1 diterima.
- Jika F hitung < F tabel , atau p > a maka H0 diterima dan H1 ditolak.
Tabel 4.8
ANOVA(b)
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression 576803423816.123 3 192267807938.708 7.964 .000(a)
Residual 1714072482780.146 71 24141865954.650
Total 2290875906596.269 74
a Predictors: (Constant), WP_Badan_Efektif, WP_Badan_Terdaftar, SPT_Badan_Diterima
Uji ini digunakan untuk mengetahui apakah model regresi variabel independen (X1, X2, dan X3)
Hipotesis selanjutnya dalam penelitian ini menduga bahwa terdapat pengaruh secara parsial antara
Penagihan Pajak di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Pusat terhadap penerimaan Pajak Penghasilan
Badan pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Pusat. Sedangkan
formulasi hipotesis H0 dan H1 adalah sebagai berikut :
H0 : b1 = 0 Secara parsial SPT Badan Diterima tidak berpengaruh terhadap Realisasi pada KPP
Pratama di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Pusat.
H0 : b1 ≠ 0 Secara parsial SPT Badan Diterima berpengaruh terhadap Realisasi pada KPP
Pratama di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Pusat.
H0 : b2 = 0 Secara parsial Wajib Pajak Badan Terdaftar tidak berpengaruh terhadap Realisasi
pada KPP Pratama di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Pusat.
H0 : b2 ≠ 0 Secara parsial Wajib Pajak Badan Terdaftar berpengaruh terhadap Realisasi pada
KPP Pratama di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Pusat.
H0 : bз = 0 Secara parsial Wajib Pajak Badan Efektif tidak berpengaruh terhadap Realisasi pada
KPP Pratama di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Pusat.
H0 : bз ≠ 0 Secara parsial Wajib Pajak Badan Efektif berpengaruh terhadap Realisasi pada KPP
Pratama di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Pusat.
Untuk menguji kebenaran hipotesis tersebut dilakukan uji t dengan tingkat signifikansi 0,05 ( 5% ).
Adapun rumus yang digunakan adalah :
Dimana :
b = koefisien regresi
t= b
SE ( b )
Penarikan kesimpulan yang digunakan adalah :
- Jika F hitung > F tabel maka H0 ditolak dan H1 diterima.
Tabel 4.9
Coefficients(a)
Unstandardized Standardized
Berdasarkan output yang dihasilkan dapat disimpulkan bahwa P = 0,289. Karena P > 0.05 maka H0
diterima berarti SPT Badan Diterima secara parsial tidak berpengaruh terhadap Realisasi.
1. WP Badan Terdaftar
Berdasarkan output yang dihasilkan dapat disimpulkan bahwa P = 0,005. Karena P < 0.05 maka H0
1. WP Badan Efektif
Berdasarkan output yang dihasilkan dapat disimpulkan bahwa P = 0,425. Karena P> 0.05 maka H0
diterima berarti WP Badan Efektif secara parsial tidak berpengaruh terhadap Realisasi.
I. Analisis Keseluruhan Perhitungan Regresi Linier Berganda untuk KPP DKI Jakarta
khususnya Jakarta Pusat
Dalam analisis berikut ini akan ditinjau hubungan masing-masing variabel bebas yaitu SPT Badan
Diterima, WP Badan Terdaftar dan WP Badan Efektif dengan Realisasi pada KPP DKI Jakarta
khususnya Jakarta Pusat untuk periode 2003-2007 melalui peritungan dan analisis yang telah
dilakukan secara keseluruhan.
1. 1. Analisis SPT Badan Diterima (X1) dengan Realisasi (Y)
Berdasarkan analisis perhitungan regresi linier berganda yang telah dilakukan pada KPP DKI
Jakarta khususnya Jakarta Pusat, dapat diketahui nilai koefisien regresi variabel SPT Badan
Diterima (X1) sebesar -8,128 artinya jika variabel independen lainnya bernilai tetap dan SPT Badan
Diterima mengalami kenaikan 1 % maka Realisasi akan mengalami peningkatan sebesar Rp 8.128
koefisien bernilai positif artinya terjadi hubungan yang setara antara SPT Badan Diterima dengan
Realisasi, semakin naik SPT Badan Diterima (X1) maka semakin meningkat juga Realisasi (Y) dan
Sedangkan berdasarkan output yang dihasilkan dapat disimpulkan bahwa P = 0,289. Karena P >
0.05 maka H0 diterima berarti SPT Badan Diterima secara parsial tidak berpengaruh terhadap
Realisasi.
1. 2. Analisis WP Badan Terdaftar (X2) dengan Realisasi (Y)
Berdasarkan analisis perhitungan regresi linier berganda yang telah dilakukan pada KPP DKI
Jakarta khususnya Jakarta Pusat, dapat diketahui nilai koefisien regresi variabel WP Badan
Terdaftar (X2) sebesar 119.647 artinya jika variabel independen lainnya bernilai tetap dan WP
Badan Terdaftar mengalami kenaikan 1 % maka Realisasi akan mengalami peningkatan sebesar Rp
119.647. Koefisien bernilai positif artinya terjadi hubungan yang setara antara WP Badan Terdaftar
dengan Realisasi, semakin naik WP Badan Terdaftar (X2) maka semakin meningkat juga Realisasi
Sedangkan berdasarkan output yang dihasilkan dapat disimpulkan bahwa P = 0,005. Karena P <
0.05 maka H0 diterima berarti WP Badan Terdaftar secara parsial berpengaruh terhadap Realisasi
1. 3. Analisis WP Badan Efektif (X3) dengan Realisasi (Y)
Berdasarkan analisis perhitungan regresi linier berganda yang telah dilakukan pada KPP DKI
Jakarta khususnya Jakarta Pusat, dapat diketahui nilai koefisien regresi variabel WP Badan Efektif
(X3) sebesar -11.382 artinya jika variabel independen lainnya bernilai tetap dan WP Badan Efektif
Realisasi, semakin naik WP Badan Efektif (X3) maka semakin meningkat juga Realisasi (Y) dan
Sedangkan berdasarkan output yang dihasilkan dapat disimpulkan bahwa P = 0,051. Karena P>
0.05 maka H0 diterima berarti WP Badan Efektif secara parsial tidak berpengaruh terhadap
Realisasi.
BAB V
PENUTUP
1. A. Kesimpulan
Berdasarkan data, perhitungan dan analisis yang telah dilakukan pada bab-bab sebelumnya, maka
1. Dalam penulisan ilmiah ini penulis menggunakan SPT Badan Diterima, WP Badan
Terdaftar dan WP Badan Efektif untuk mengetahui pengaruh tingkat kepatuhan terhadap
Realisasi. Berdasarkan perhitungan dan analisis mengenai korelasi yang telah dilakukan
pada KKP DKI Jakarta khususnya Jakarta Pusat untuk periode 2003-2007, dapat
disimpulkan bahwa kinerja keuangan yang terdiri dari SPT Badan Diterima, WP Badan
Terdaftar dan WP Badan Efektif memiliki hubungan dengan Realisasi. Tetapi pada SPT
Badan Diterima dan WP Badan Terdaftar hubungan yang terjadi cukup besar, karena
koefisien korelasi yang dihasilkan untuk SPT Badan Diterima sebesar 0,486 dan koefisien
korelasi yang dihasilkan pada WP Badan Terdaftar sebesar 0,4. Sedangkan untuk WP Badan
Efektif menghasilkan nilai korelasi sebesar 0,232 sehingga hubungan yang terjadi cukup
kuat berarti kenaikan SPT Badan Diterima yang cukup besar akan diikuti oleh kenaikan
Dan berdasarkan uji hipotesis mengenai korelasi yang telah dilakukan, diketahui bahwa untuk SPT
Badan Diterima, WP Badan Terdaftar dan WP badan Efektif berada pada daerah penerima H0.
Yang berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara SPT Badan Diterima (X1), WP Badan
Terdaftar (X2), dan WP Badan Efektif (X3) dengan Realisasi (Y) pada KKP DKI Jakarta khususnya
1. Dalam analisis perhitungan regresi berganda yang telah dilakukan pada KPP DKI Jakarta
khususnya Jakarta Pusat periode 2003-2007 pada pengujian koefisien regresi dapat
disimpulkan bahwa F hitung yang diperoleh sebesar 7,694 dengan P = 0,000. Oleh karena P
> 0,05 maka H0 diterima yang berarti ada pengaruh secara signifikan antara variabel bebas
yaitu SPT Badan Diterima (X1), WP Badan Terdaftar (X2), dan WP Badan Efektif (X3)
Untuk pengujian koefisien regresi secara parsial yang dihasilkan dapat disimpulkan bahwa pada
SPT Badan Diterima memiliki nilai probabilitas sebesar P = 0,289 > 0,05 dan WP Badan Efektif
memiliki nilai probabilitas sebesar 0,425 > 0,05 sehingga kedua variabel tersebut berada didaerah
penerimaan H0 yang berarti SPT Badan Diterima dan WP Badan Efektif tidak memiliki pengaruh
terhadap harga saham. Sedangkan pada WP Badan Terdaftar memiliki nilai probabilitas sebesar P =
0,005 < 0,05 sehingga berada di daerah penolakan H0 yang berarti bahwa WP Badan Terdaftar
1. B. Saran
Setelah melakukan penelitian dan menganalisis data penelitian serta menyimpulkan data-data yang
1. Saran Teoritis
Bagi para peneliti lain yang ingin melakukan penelitian sejenis, hendaknya melakukan tinjauan
penelitian terhadap faktor lain seperti, tingkat kepatuhan wajib pajak badan dalam ketetapan
menyampaikan SPT nya kepada KPP karena tingkat kepatuhan juga bisa diukur dari tepatnya Wajib
Pajak badan menyampaikan SPT sesuai dengan ketetapan yang berlaku. Sehingga dapat memberi
1. Saran Praktis
Tingkat kepatuhan dii dapat dari berbagai faktor hal tersebut perlu di perhatikan agar Wajib Pajak
badan dapat lebih patuh untuk membayaran tunggakan pajak yang dikenakan terhadap Wajib Pajak
tersebut sehingga apa yang sudah ada saat ini menjadi lebih baik lagi.
Disarankan bagi Direktorat Jendarl Pajak dan kantor Pelayanan Pajak hendaknya membantu dalam
menginformasi hal-hal yang berkaitan dengan pajak sehingga Wajib Pajak mengetahui informasi
tersebut secara cepat, tepat, dan efisien. Sehingga semua Wajib Pajak yang terdaftar bisa tepat
waktu menyampaikan SPTnya kepada kantor pelayanan pajak setempat dan yang belum terdaftar
sebagai Wajib Pajak bisa secepatnya untuk mendaftar.