You are on page 1of 9

BAB PERTAMA

TAHLILAN (MENGIRIM PAHALA BACAAN KEPADA MAYIT)

....Berikut ini penulis bawakan sejumlah pendapat Ulama-ulama Syafi'iyah tentang masalah
dimaksud, yang penulis kutip dari kitab-kitab Tafsir, Kitab-kitab Fiqih dan Kitab-kitab Syarah
hadits, yang penulis pandang mu'tabar (dijadikan pegangan) di kalangan pengikut-pengikut madzhab
Syafi'i.

1. Pendapat Imam As-Syafi'i rahimahullah.

Imam An-Nawawi menyebutkan di dalam Kitabnya, SYARAH MUSLIM, demikian. "Artinya :


Adapaun bacaan Qur'an (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit), maka yang masyhur dalam
madzhab Syafi'i, tidak dapat sampai kepada mayit yang dikirimi.... Sedang dalilnya Imam Syafi'i
dan pengikut-pengikutnya, yaitu firman Allah (yang artinya), 'Dan seseorang tidak akan
memperoleh, melainkan pahala usahanya sendiri', dan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam (yang
artinya), 'Apabila manusia telah meninggal dunia, maka terputuslah amal usahanya, kecuali tiga hal,
yaitu sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan dan anak yang shaleh (laki/perempuan) yang berdo'a
untuknya (mayit)". (An-Nawawi, SYARAH MUSLIM, juz 1 hal. 90).

Juga Imam Nawawi di dalam kitab Takmilatul Majmu', Syarah Madzhab mengatakan. "Artinya :
Adapun bacaan Qur'an dan mengirimkan pahalanya untuk mayit dan mengganti shalatnya mayit tsb,
menurut Imam Syafi'i dan Jumhurul Ulama adalah tidak dapat sampai kepada mayit yang dikirimi,
dan keterangan seperti ini telah diulang-ulang oleh Imam Nawawi di dalam kitabnya, Syarah
Muslim". (As-Subuki, TAKMILATUL MAJMU' Syarah MUHADZAB, juz X, hal. 426).

(menggantikan shalatnya mayit, maksudnya menggantikan shalat yang ditinggalkan almarhum


semasa hidupnya -pen).

2. Al-Haitami.

Al-Haitami di dalam Kitabnya, AL-FATAWA AL-KUBRA AL-FIGHIYAH, mengatakan demikian.


"Artinya : Mayit, tidak boleh dibacakan apa pun, berdasarkan keterangan yang mutlak dari Ulama'
Mutaqaddimin (terdahulu), bahwa bacaan (yang pahalanya dikirmkan kepada mayit) adalah tidak
dapat sampai kepadanya, sebab pahala bacaan itu adalah untuk pembacanya saja. Sedang pahala
hasil amalan tidak dapat dipindahkan dari amil (yang mengamalkan) perbuatan itu, berdasarkan
firman Allah (yang artinya), 'Dan manusia tidak memperoleh, kecuali pahala dari hasil usahanya
sendiri". (Al-Haitami, AL-FATAWA AL-KUBRA AL-FIGHIYAH, juz 2, hal. 9).

3. Imam Muzani

Imam Muzani, di dalam Hamisy AL-UM, mengatakan demikian. "Artinya : Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam memberitahukan sebagaimana yang diberitakan Allah, bahwa dosa seseorang akan
menimpa dirinya sendiri seperti halnya amalan adalah untuk dirinya sendiri bukan untuk orang lain".
(Tepi AL-UM, AS-SYAFI'I, juz 7, hal.262).

4. Imam Al-Khuzani

Imam Al-Khuzani di dalam Tafsirnya mengatakan sbb. "Artinya : Dan yang masyhur dalam
madzhab Syafi'i, bahwa bacaan Qur'an (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit) adalah tidak
dapat sampai kepada mayit yang dikirimi". (Al-Khazin, AL-JAMAL, juz 4, hal.236).

5. Tafsir Jalalaian

Di dalam Tafsir Jalalaian disebutkan demikian. "Artinya : Maka seseorang tidak memperoleh pahala
sedikitpun dari hasil usaha orang lain". (Tafsir JALALAIN, 2/197).

6. Ibnu Katsir

Ibnu Katsir dalam tafsirnya TAFSIRUL QUR'ANIL AZHIM mengatakan (dalam rangka
menafsirkan ayat 39 An-Najm). "Artinya : Yakni, sebagaimana dosa seseorang tida dapat menimpa
kepada orang lain, demikian juga menusia tidak dapat memperoleh pahala melainkan dari hasil
amalnya sendiri,dan dari ayat yang mulia ini (ayat 39 An-Najm), Imam As-Syafi'i dan Ulama-
ualama yang mengikutinya mengambil kesimpulan, bahwa bacaan yang pahalanya dikirimkan
kepada mayit adalah tidak sampai, karenabukan dari hasil usahanya sendiri. Oleh karena itu
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah menganjurkan umatnya untuk mengamalkan
(pengiriman pahala bacaan), dan tidak pernah memberikan bimbingan, baik
dengan nash maupun dengan isyarat, dan tidak ada seorang Sahabat pun yang pernah mengamalkan
perbuatan tersebut, kalau toh amalan semacam itu memang baik, tentu mereka lebih dahulu
mengerjakannya, padahal amalan qurban (mendekatkan diri kepada Allah) hanya terbatas yang ada
nash-nashnya (dalam Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam) dan tidak
boleh dipalingkan dengan qiyas-qiyas dan pendapat-pendapat".

Demikian diantaranya pelbagai pendapat Ulama Syafi'iyah tentang TAHLILAN atau acara
pengiriman pahala bacaan kepada mayit/roh, yang ternyata mereka mempunyai satupandangan,
yaitu bahwa mengirmkan pahala bacaan Qur'an kepada mayit/roh itu adalah tidak dapat sampai
kepada mayit atau roh yang dikirimi, lebih-lebih lagi kalau yang dibaca itu selain Al-Qur'an, tentu
saja akan lebih tidak dapat sampai kepada mayit yang dikirimi.

Ditulis kembali oleh Yayat Ruhyat.


[Disalin dari buku Tahlilan dan Selamatan menurut Madzhab Syafi'i, oleh Drs Ubaidillah, hal. 8-15
terbitan Pustaka Abdul Muis - Bangil, tanpa tahun]

PENDAPAT KE-EMPAT IMAM MADZHAB Tentang "BACAAN QUR'AN BUKAN


UNTUK ORANG MATI"

Madzhab Imam ABU HANIFAH

Di dalam kitab fiqih Madzhab Hanafy halaman 110 disebut : Bahwa membaca Qur'an dikuburan
orang mati itu hukumnya makruh, menurut pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam
Ahmad, karena perbuatan ini termasuk BID'AH, tidak terdapat dalam sunnah Rasul.

Madzhab Imam AS-SYAFI'I

Menurut pendapat Imam Syafi'I, bahwa ganjaran bacaan Qur'an itu tidak akan sampai kepada orang
mati. Alasan yang dipakai oleh beliau adalah firman Alloh Subhanahu wa ta'ala di surat An-Najam:
39, yang berbunyi : "Dan seseorang itu tidak akan mendapat melainkan hasil usahanya" (Q.S.An-
Najam: 39).

Seperti juga dalam sabda Rasululloh Shollallohu 'alaihi wasallam : "Apabila seseorang anak Adam
meninggal, putuslah amalnya melainkan tiga perkara, sedekah jariyah atau ilmunya yang
dimanfaatkan atau anak yang sholeh mendo'akannya" (HR. Muslim)

Imam Nawawi pensyarah hadist Muslim didalam penjelasannya mengenai hadist tersebut, beliau
berkata: "Adapun bacaan Qur'an kemudian ganjarannya dihadiahkan kepada orang mati, atau
menggantikan sholatnya dan lain-lain ibadat, kesemuanya itu tidak akan sampai kepada orang mati".

Pendapat ini yang termasyur menurut Imam Syafi'I dan jumhur ulama. Penjelasan ini banyak
terdapat dalam Syarah kitab Muslim oleh Imam Nawawi sendiri.

Di dalam Syarah kitab Manhaj, Imam Nawaei berkata : "Menurut pendapat yang masyhur di dalam
madzhab Imam Syafi'I, sesunggguhnya bacaan Qur'an itu ganjarannya tidak akan sampai kepada
orang mati."

Syekh Izzu bin Abdis Salaam pernah ditanya pendapatnya, "Bagaimana hukumnya menghadiahkan
ganjaran bacaan Qur'an kepada orang mati, apakah sampai atau tidak ??"

Beliau menjawab : "Ganjaran bacaan itu hanya untuk orang yang membaca, bukan untuk orang
lain". Kemudian beliau berkata : "Tetapi alangkah anehnya masih ada ulama yang
membolehkannya. Alasan mereka ialah sebagai satu kebijaksanaan dan juga supaya tidak tidur
(berjaga) di rumah orang mati. Alasan demikian itu bukan merupakan suatu alasan yang berdasar
kepada agama, tetapi merupakan alasan yang dibuat-buat. Hal yang demikian ini tidak boleh
dijadikan sebagai satu hujjah." [1]

Note[1] :
Ironisnya, ada sekelompok orang yg merasa sebagai bagian dari pengikut Madzhab Imam Syafi'I
yang fanatik sekali, tetapi tidak mau mengikuti pendapat Imam Sayfi'I, khusus yg satu ini, atau
dengan kata lain mereka tidak mau mengikuti pendapat Imam Syafi'I yang menganggap bacaan
Qur'an untuk orang mati adalah tidak sampai.

Madzhab Imam MALIK

Syekh Ibnu Abi Jumrah pernah berkata : "Sesungguhnya bacaan Qur'an dikuburan orang mati itu
termasuk perbuatan BID'AH, bukan sunnah Rasululloh Shollallohu 'alaihi wasallam". Ucapan
tersebut dalam kitab Al-Madkhal.

Syekh Ad-Dardiiry didalam kitab As-Syarhus Shagir Juz : I halaman 180 menerangkan bahwa
"Bacaan Qur'an disisi orang mati atau sesudahnya, diatas kuburannya termasuk perbuatan yang
dibenci oleh Islam karena bukan merupakan perintah Alloh Subhanahu wa ta'ala dan Rasul-Nya,
atau bukan pula menurut perjalanan para sahabatnya, dan juga bukan menurut perjalanan para ulama
salaf. Sesuatu yang wajar dikerjakan oleh orang yang masih hidup terhadap salah seorang Muslim
ialah mendo'akan dan memintakan maghfiroh untuknya."

Madzhab Imam AHMAD BIN HAMBAL

Imam Ahmad bin Hambal pernah melihat seorang yang sedang membacakan Al-Qur'an diatas
kuburan, maka beliau menghardiknya dengan ucapan : "Alangkah anehnya orang ini, ketahuilah
bahwa bacaan Qur'an di kuburan adalah termasuk perbuatan BID'AH".

Ibnu Taimiyah pernah berkata : "Ada beberapa orang yang meriwayatkan dari Imam Ahmad bin
Hambal : "Bahwa membaca Qur'an di kuburan itu termasuk perbuatan yang DIBENCI oleh agama.
Demikian pulan pendapat para ulama salaf dan para sahabat Imam Ahmad."
Ibnu Taimiyah : "Membaca Qur'an diatas orang mati itu termasuk perbuatan BID'AH. Berlainan
dengan membaca Surah Yaasin atas orang yang hampir mati (sedang Naza'I, ingat bukan yang sudah
mati, red), hal ini termasuk sunnah.

Imam Ahmad bin Hambal pernah berkata : "Bukan suatu kebiasaan (adat) bagi para ulama Salaf
menghadiahkan ganjaran puasa-puasa sunnah, sholat-sholat sunnah, haji ataupun bacaan Qur'an atas
orang mati. Justru karena itu tidak patut kita melakukan sesuatu amal yang tidak pernah mereka
kerjakan."

Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah di dalam kitab Zaadul Ma'aad Juz I halaman 146 menjelaskan
bahwa "Rasululloh Shollallohu 'alaihi wasallam tidak pernah beri contoh untuk BERKUMPUL-
KUMPUL dirumah orang yang kematian serta membacakan ayat-ayat Qur'an untuk mereka yang
telah meninggal. Amalah demikian ini bukanlah sunnah hukumnya, tetapi termasuk perbuatan
BID'AH yang dibenci oleh agama." [2]

Adapun riwayat yang berbunyi : "Bacalah Yaasin atas orang mati diantara kamu", riwayat ini tidak
boleh dijadikan hujjah untuk membolehkan bacaan Yaasin, karena derajatnya TIDAK SAH.
Riwayat ini dikatakan Ma'lul (berpenyakit), sedang sanadnyapun dikatakan Mudl-tharib dan ada
rawi yang Majhul. Dengan demikian menjadikan riwayat ini sebagai satu alasan boleh membaca
Yaasin atas orang mati TIDAK DAPAT DITERIMA.

Menurut Imam Al-Fairuz Baadiy : "Bacaan Qur'an untuk orang mati itu hukumnya BID'AH YANG
TERCELA dalam agama."

Note[2]:
Dalam masalah berkumpul-kumpul di rumah orang mati, marilah kita perhatikan pendapat dari para
ulama sebagai berikut :

1. Di dalam kitab Al-Majmu' Syarah kitab Muhadz-dzab Juz V : halaman 286 baris ke-12 dan
seterusnya : "Adapun berkumpul-kumpul di rumah orang kematian, kemudian mereka mengadakan
makanan dan minuman untuk orang yang berkumpul-kumpul itu, maka perbuatan itu tidak syak lagi
adalah termasuk BID'AH, karena tidak ada satupun riwayat yang menerangkan bahwa pada zaman
Rasululloh Shollallohu 'alaihi wasallam pernah terjadi hal-hal yang demikian itu.
Alasan yang kita dapati dalam larangan berkumpul-kumpul dan memakan makanan di rumah orang
keamtian ialah hadist Jabir bin Abdillah dimana beliau berkata: "Kami [para sahabat] menganggap
berkumpul-kumpul di rumah keluarga si mati, dan mereka mengadakan makanan sesudah
penguburan, adalah termasuk meratap [atas orang mati]." (HR Ahmad).

Di dalam kitab Majmu Juz V : halaman 287 baris ketiga dikatakan bahwa Ibnu Mundzir berkata :
"Kami telah meriwayatkan dari Qais bin Ubad : "Adalah para sahabat Rasululloh Shollallohu 'alaihi
wasallam tidak senang berteriak-teriak dalam tiga hal, pada waktu bertempur, pada waktu berada di
sisi jenazah, dan pada WAKTU BERDZIKIR."

Hasan Al-Bashri meriwayatkan suara mereka dari sahabat Rasululloh Shollallohu 'alaihi wasallam :
"Bahwa mereka lebih suka merendahkan suara mereka di waktu mengantar jenazah, di waktu
MEMBACA QUR'AN dan di waktu perang."

Di dalam kitab Al-Umm karangan Imam Syafi'I, Juz I : halaman 247 baris ke-9, beliau berkata :
"Aku lebih senang kalau para tetangga atau kerabat dari keluarga yang mati itu membuatkan
makanan untuk mereka (keluarga si mati) pada hari dan malam kematiannya, karena perbuatan itu
termasuk sunnah."

Pada halaman 248 baris ke-6 Imam Syafi'I berkata : "AKU SANGAT BENCI TERHADAP
ORANG-ORANG YANG SUKA BERKUMPUL-KUMPUL DI RUMAH ORANG MATI,
WALAUPUN MEREKA ITU TIDAK MENANGIS ATAU MERATAP, KARENA PERBUATAN
MEREKA ITU TERMASUK MEMPERBAHARUI MASA BERKABUNG"

Di dalam kitab Al-Madkhzl Juz III : halaman 228 baris ke-21 dikatakan bahwa Imam Syafi'I dan
kawan-kawannya berpendapat : "Adapun berkumpul-kumpul di rumah orang mati kemudian
keluarga si mati mengadakan makanan untuk mereka, hal ini tidak ada satupun riwayat yang
diriwayatkan dari Rasululloh Shollallohu 'alaihi wasallam yang membolehkannya. Perbuatan ini
TIDAK termasuk perbuatan yang terpuji, bukan pula Mustahab."

Di halaman 289 baris ke-16 dikatakan bahwa Azhar bin Abdillah pernah berkat: "Barang siapa yang
mengadakan makanan karena Ria atau untuk dipuji, maka perbuatan ini Alloh Subhanahu wa ta'ala
tidak mewajibkan kita untuk mengahdirinya, sedang makanan yang dikeluarkan itu tidak akan
dibalas oleh Alloh Subhanahu wa ta'ala dengan memberi tambahan rizki pada yang
mengeluarkannya. Apakah perbuatan ini termasuk walimah perkawinan atau khitan dan lain-lain.
Oleh sebab itu hendaklah lebih berhati-hati didalam beramal, dan jangan sekali-kali dicampur
dengan semua perbuatan yang sia-sia yang banyak berlaku di sekeliling kita."

Demikian pula amalan-amalan yang tidak ada contohnya dari Rasululloh Shollallohu 'alaihi
wasallam misalnya mengadakan makanan pada tiga hari dari kematian seseorang.
Kesimpulan: Ke-empat Imam Madzhab berpendapat sama bahwa BACA'AN QUR'AN ADALAH
BUKAN UNTUK ORANG MATI, DAN PERBUATAN TERSEBUT TERMASUK BID'AH DAN
TERCELA.
Do’a, Bacaan Al-Qur’an, Shadaqoh & Tahlil untuk Orang Mati
02/04/2007

Sumber: NU online

Apakah do’a, bacaan Al-Qur’an, tahlil dan shadaqoh itu pahalanya akan sampai
kepada orang mati? Dalam hal ini ada segolongan yang yang berkata bahwa
do’a, bacaan Al-Qur’an, tahlil dan shadaqoh tidak sampai pahalanya kepada
orang mati dengan alasan dalilnya, sebagai berikut:

َ ‫سن َلي‬
ْ‫ْس َواَن‬ ِ ‫اس َعى ِاالَّ ل ِْل‬
ِ ‫الء ْن‬ َ ‫َم‬

“Dan tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah dia kerjakan”. (QS An-
Najm 53: 39)

Juga hadits Nabi MUhammad SAW:

َ ‫ث مِنْ ِاالَّ َع َملُ ُه ِا ْن َق َط َع ادَ َم ابْنُ ا َِذا َم‬


‫ات‬ ٍ َ‫صدَ َق ٍة َثال‬ ِ ‫صال ٍِح اَ ْو َولَ ٍد ِب ِه ُي ْن َت َف ُع ْواَ عِ ْل ٍم َج‬
َ ‫ار َي ٍة‬ َ ‫َي ْدع ُْولَ ُه‬

“Apakah anak Adam mati, putuslah segala amal perbuatannya kecuali tiga
perkara; shadaqoh jariyah, ilmu yang dimanfa’atkan, dan anak yang sholeh
yang mendo’akan dia.”

Mereka sepertinya, hanya secara letterlezk (harfiyah) memahami kedua dalil di


atas, tanpa menghubungkan dengan dalil-dalil lain. Sehingga kesimpulan yang
mereka ambil, do’a, bacaan Al-Qur’an, shadaqoh dan tahlil tidak berguna bagi
orang mati. Pemahaman itu bertentangan dengan banyak ayat dan hadits
Rasulullah SAW beberapa di antaranya :

ِ ْ‫ءخ َو ِن َناالَّ ِذي َْن َس َبقُ ْو َنا ِبا‬


‫الءْ يمن‬ ْ ‫ال‬ ْ ‫َوالَّ ِذي َْن َجاء ُْوامِنْ َبعْ ِد ِه ْم َيقُ ْولُ ْو َن َر َّب َن‬
ِ ‫ااغفِرْ لَ َنا َو‬

“Dan orang-orang yang datang setelah mereka, berkata: Yaa Tuhan kami,
ampunilah kami dan ampunilah saudara-saudara kami yang telah mendahului
kami dengan beriman.” (QS Al-Hasyr 59: 10)

Dalam hal ini hubungan orang mu’min dengan orang mu’min tidak putus dari
Dunia sampai Akherat.

ِ ‫َواسْ َت ْغفِرْ ل َِذ ْن ِب َك َول ِْلم ُْؤ ِم ِني َْن َو ْالم ُْؤمِن‬
‫ت‬

“Dan mintalah engkau ampun (Muhammad) untuk dosamu dan dosa-dosa


mu’min laki dan perempuan.” (QS Muhammad 47: 19)

‫ت َع ْن َها ؟ َقا َل َن َع ْم‬


َ ‫ص َّد ْق‬
َ ‫ت ا َف َي ْن َف ُع َها اِنْ َت‬
ْ ‫هللا اِنَّ اُمِى َما َت‬
ِ ‫ارس ُْو َل‬ َ َّ‫َسأ َ َل َر ُج ٌل ال َّن ِبى‬
َ ‫ص َّل هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َف َقا َل َي‬

“Bertanya seorang laki-laki kepada Nabi SAW; Ya Rasulullah sesungguhnya ibu


saya telah mati, apakah berguna bagi saya, seandainya saya bersedekah
untuknya? Rasulullah menjawab; yaa berguna untuk ibumu.” (HR Abu Dawud).

Dan masih banyak pula dalil-dalil yang memperkuat bahwa orang mati masih
mendapat manfa’at do’a perbuatan orang lain. Ayat ke 39 Surat An-Najm di
atas juga dapat diambil maksud, bahwa secara umum yang menjadi hak
seseorang adalah apa yang ia kerjakan, sehingga seseorang tidak
menyandarkan kepada perbuatan orang, tetapi tidak berarti menghilangkan
perbuatan seseorang untuk orang lain.

Di dalam Tafsir ath-Thobari jilid 9 juz 27 dijelaskan bahwa ayat tersebut


diturunkan tatkala Walid ibnu Mughirah masuk Islam diejek oleh orang
musyrik, dan orang musyrik tadi berkata; “Kalau engkau kembali kepada
agama kami dan memberi uang kepada kami, kami yang menanggung
siksaanmu di akherat”.
Maka Allah SWT menurunkan ayat di atas yang menunjukan bahwa seseorang
tidak bisa menanggung dosa orang lain, bagi seseorang apa yang telah
dikerjakan, bukan berarti menghilangkan pekerjaan seseorang untuk orang
lain, seperti do’a kepada orang mati dan lain-lainnya.

Dalam Tafsir ath-Thobari juga dijelaskan, dari sahabat ibnu Abbas; bahwa ayat
tersebut telah di-mansukh atau digantikan hukumnya:

‫ َوالَّ ِذي َْن أَ َم ُن ْو َاوا َّت َب َع ْت ُه ْم ُذ ِر َي ُت ُه ْم‬:‫هذا‬


َ َ‫سن ِاالَّ َما َس َعى َفأ َ ْن َز َل هللاُ َبعْ د‬ ِ ‫الء ْن‬
ِ ِ‫ْس ل‬ َ ‫ َق ْولُ ُه َت َعالى َوأَنْ لَي‬:‫َّاس‬ ٍ ‫َع ِن ا ْبنِى َعب‬
َ‫لج َّنة‬ ْ ْ
َ ‫صالَ ِح اال َبا ِءا‬ َ
َ ‫يمن أَ ْل َح ْق َن ِاب ِه ْم ذ ِر َي َت ُه ْم َفأ ْد َخ َل هللاُ األ ْب َنا َء ِب‬
َ ُ ٍ ْ‫ِباِء‬
“Dari sahabat Ibnu Abbas dalam firman Allah SWT Tidaklah bagi seseorang
kecuali apa yang telah dikerjakan, kemudian Allah menurunkan ayat surat At-
Thuur; 21. “dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka
mengikuti mereka dalam keimanan, kami pertemukan anak cucu mereka
dengan mereka, maka Allah memasukkan anak kecil ke surga karena kebaikan
orang tua.”

Syaekhul Islam Al-Imam Ibnu Taimiyah dalam Kitab Majmu’ Fatawa jilid 24,
berkata: “Orang yang berkata bahwa do’a tidak sampai kepada orang mati dan
perbuatan baik, pahalanya tidak sampai kepada orang mati,” mereka itu ahli
bid’ah, sebab para ulama’ telah sepakat bahwa mayyit mendapat manfa’at dari
do’a dan amal shaleh orang yang hidup.

KH Nuril Huda
Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU)

TAHLIL
 
RITUAL TAHLIL
Tahlil telah menjadi perdebatan yang sampai sekarang belum belum menacpai kesepakatan. Tanpa ikut
berpolemik, sedikit kami urai permasalahan tahlil dan tawassul yang menurut sebagian orang dianggap
bid'ah dan syirik.
Arti tahlil secara lafdzi adalah bacaan kalimat Thayyibah (‫)الاله اال هللا‬. Namun kemudian kalimat tahlil menjadi
sebuah istilah dari rangkaian bacaan beberapa dzikir, alqur'an dan do'a tertentu yang dibaca untuk
mendo'akan orang yang sudah mati. Ketika diucapkan kata-kata tahlil pengertiannya berubah seperti itu.
Tahlil pada mulanya ditradisikan oleh Wali Sanga. Seperti yang telah kita ketahui, yang paling berjasa
menyebarkan ajaran Islam di indonesia adalah Wali Sanga. keberhasilan da'wah Wali Sanga ini tidak lepas
dari cara dakwahnya yang mengedepankan metode kultural atau budaya. Wali Sanga mengajarkan nilai-nilai
Islam secara luwes mereka tidak secara frontal menentang tradisi tradisi hindu yang telah mengakar kuat di
masyarakat, namun membiarkan tradisi itu berjalan hanya saja isinya diganti dengan nilai nilai islam, tradisi
dulu bila ada orang mati maka sanak famili dan tetangga berkumpul dirumah duka yang dilakukan bukannya
mendo'akan simati malah bergadang dengan bermain judi atau mabuk mabukan.
Wali Sanga tidak serta merta membubarkan tradisi tersebut, masyarakat dibiarkan tetap berkumpul namun
acaranya diganti dengan mendoakan pada mayit, jadi tahlil dengan pengertian diatas sebelum Wali Sanga
tidak dikenal.
Kalau begitu Tahlil itu bid'ah! Setiap perbuatan bid'ah sesat ! setiap sesat masuk neraka?
Tunggu dulu, anda berada didepan Komputer ini juga bid'ah sebab tidak pernah di kerjakan oleh nabi S A W
kalau begitu anda sesat dan masuk neraka? Akal sesat pasti menolak logika seperti ini.
Ulama membagi bid'ah menjadi dua ,bid'ah hasanah dan bid'ah sayyiah  , sedangkan bid'ah hasanah sama
sekali tidak sesat meskipun tidak pernah dikerjakan oleh nabi jadi ukurannya bukan pernah dikerjakan oleh
nabi atau tidak , namun lebih luas dari itu, apakah sesuai dengan syariat atau tidak ! yang dimaksudkan
syariat disini tentu saja dalil dalil alquran sunnah ,atsarus shahabah , Ijma' dan qiyas . jika melakukan
sesuatu yang bertentangan dengan dalail dalil tersebut maka sesat.
Sekarang kita lihat apakah dalam tahlil ada yang bertentangan dengan syari'at ? tidak ada, tahlil adalah
serangkaian kalimat yang berisi dzikir, bacaan alqur'an, yang disusun untuk sekedar mudah untuk di ingat,
biasanya dibaca secara berjemaah yang pahalanya dihadiahkan pada mayit , rangkaian bacaan yang ada
mempunyai keutamaan yang mempunyai dasar yang kuat, dari sisi ini jelas tahlil tidak ada yang
bertentangan dengan syariat.
Jika yang dipermasalahkan adalah sampai dan tidaknya pahala maka perdebatan tidak akan menemui ujng
usai, sebab itu masalah khilafiyah dengan argumen masing masing ada yang mengatakan pahalanya bisa
sampai ada yang mengatakan tidak, pendekanya ulama' sepakat untuk tidak sepakat , ya sudah jangan
dipermasalahkan lagi.
Hemat kita urusan pahala adalah hak prerogatif Allah yang tidak bisa di interfensi oleh siapapun. Kita yang
membaca tahlil esensinya kan berdo'a semoga pahala bacaan kita disampaikan kepada mayit.
Lepas dari Khilafiyah itu KH Sahal Mahfud, kajen berpendapat bahwa acara tahlilan yang sudah mentradisi
hendaknya terus dilestarikan sebagai salah satu budaya yang bernilai islami dalam rangka melaksanakan
ibadah sosial sekaligus meningkatkan dzikir kepada Allah.
 
Hukum memberi jamuan dalam tahlilan
Memberi jamuan yang biasa diadakan ketika ada orang mati, itu diperbolehkan. Banyak dari kalangan ulama 
yang mengatakan bahwa  semacam itu termasuk ibadah yang terpuji dan , memang, dianjurkan dengan
berbagai alasan. Karena hal itu, kalau ditilik dari segi jamuannya adalah termasuk sadaqah yang, memang,
dianjurkan oleh agama menurut kesepakatan ulama'. --  yang pahalanya dihadiyahkan pada orang telah mati.
Dan lebih dari itu, ada tujuan lain yang ada di balik jamuan tersebut, yaitu,(1) ikramud dlaif (memulyakan
tamu) (2) bersabar menghadapi musibah. (3) tidak menampakkan rasa susah dan gelisah kepada orang lain.
Ketiga masalah tersebut, semuanaya, termasuk ibadah dan perbuatan taat yang diridlai oleh Allah AWT serta
pelakunya akan mendapatkan pahala yang besar.
Dengan catatan biaya jamuan  tersebut tidak diambilkan dari harta ahli waris yang berstatus mahjuralaih.
Apabila biaya jamuan tersebut diambilakan harta ahli waris yang berstatus mahjuralaih.(seperti anak yatim),
maka hukumnya tidak bolehkan.
 Adapun menghususkan selamatan pada mayit pada hari-hari  tertentu adalah bidah yang tidak ada dasar
hukumnya, selamatan pada hari-hari itu juga tidak ada keutamaan atau manfaatnya keterangan dalam kitab
Matali ud daqo iq yang menyatakan bahwa selamatan pada hari  3, 7, 40, 100 dst itu mempunyai keutamaan
karena terkait dengan keberadaan atau proses yang dialami mayit dialam kubur adalah tidak benar.
Namun demikian shadakah itu sama sekali tidak mengurangi nilai pahala sedekah yang pahalanya
dihadiahkan pada mayit seperti penjelasan diatas. ada  beberapa ulama  seperti Syaikh nawawi syaikh isma
il dan lain lain menyatakan, bersedekah untuk orang yang telah meninggal dunia itu sunnah (matlub) Cuma
hal itu tidak boleh disengaja dikaitkan dengan hari hari yang telah mentradisi di suatu komunitas masyarakat.
Malah jika acara tersebut dimaksudkan untuk meratapi mayit, maka haram.
Ma khod : Nihayatuz zain(281) , I anatut talibin 11/166
 
‫ كما افتى بذلك السيد احمد دحالن‬ ‫ بعض االيام من العوائد فقط‬v‫والتصدق عن الميت بوجو شرعي مطلوب وال يتقيد بكونه فى سبعة ايام او اكثر او اقل وتقييد‬
‫ وفى تمام العشرين وفى االربعين وفى المائة وبعد ذلك يفعل كل سنة حوال فى يوم‬ ‫وقد جرت عادة الناس بالتصدق عن الميت فىثالث من موته وفىسابع‬
‫ مالم يكن من مال اليتام واال فيحرم‬v‫ عليه الناس ليلة دفن الميت المسمى بالوحشة فهو مكروه‬v‫الموت كما افاده شيخنا يوسف السنبالوى اما الطعام الذى يجتمع‬
‫كذافى كشف اللثام‬
281  ‫نهاية الزين‬

‫ فان ذلك جائز كما يدل عليه الحديث المذكور‬.‫ وهي ما يصنعه أهل الميت من الوليمة ودعاء الناس اليها لألكل‬.‫ومنها مسألة مهمة وألجلها كانت هذه الرسالة‬
‫ واما أن يكون بقصد اكرام‬.‫بل هو قربة من القرب ألنه اما أن يكون بقصد جصول األجر والثواب للميت وذلك من أفضل القربات التي تلجق الميت باتفاق‬
‫الصيف والتسلي عن المصاب وبعدا عن اطظهار الحزن وذلك أيصا من القربات والطعاب التي يرضاها رب العالمين وثيب فاعلها ثوابها عظيما وسواء كان‬
‫ الى قوله‬.‫ذلك يوم الوفات عقب الدفن كما فعلته زوجة الميت المذكورة فى الحديث أو بعد ذلك وفى الحديث نص صريح فى مشروعية ذلك‬
 
‫برة من الثلث‬vv‫ية معت‬vv‫وهذا كله كما هو ظاهر فيما اذا لم يوص الميت باتخاذ الطعام واطعامه للمعزين الحاضرين واال فيجب ذلك عمال بوصيته وتطون الوص‬
  .208 ‫ ص‬3 ‫ج‬-‫أي ثلث تركة الميت قال فى التحفة‬
181- 175    ‫قرة العين بفتاوى الشيخ اسماعيل الزين‬
 
Di copy paste dari Sidogiri.com
Sebelumnya: Jumlah Huruf dalam Al Qur'an
Selanjutnya : Bid'ah

Bid'ah Secara Etimologis dan Terminologis


Oleh: Muhammad Niam
Salah satu isu besar yang mengancam persatuan umat Islam adalah isu bid'ah. Akhir-akhir ini, kata itu makin
sering kita dengar, makin sering kita ucapkan dan makin sering pula kita gunakan untuk memberi label
kepada saudara-saudara kita seiman. Bukan labelnya yang dimasalahkan, tapi implikasi dari label tersebut
yang patut kita cermati, yaitu anggapan sebagian kita bahwa mereka yang melakukan bid'ah adalah aliran
sesat. Karena itu aliran sesat, maka harus dicari jalan untuk memberantasnya atau bahkan
menyingkirkannya. Kita merasa sedih sekarang ini, makin banyak umat Islam yang menganggap saudaranya
sesat karena isu bid'ah dan sebaliknya kita makin prihatin sering mendengar umat Islam yang mengeluh
atau menyatakan sakit hati dan bahkan marah-marah karena dirinya dianggap sesat oleh saudaranya
seiman. 
Yang paling mudah kita baca dari kasus tersebut adalah adanya trend makin maraknya umat Islam saling
bermusuhan dan saling mencurigai sesama mereka dengan menggunakan isu bid'ah. Mari kita renungkan,
apakah kondisi seperti itu harus terjadi terus menerus di kalangan umat Islam? Di beberapa negara Muslim,
seperti di Pakistan, isu itu telah menyulut perang saudara berdarah antar umat Islam hingga saat ini. Sudah
tak terhitung nyawa yang melayang karena pertikian seperti itu.
Mari kita simak sejenak fatwa Syeh Azhar Atiyah Muhammad Saqr yang dikeluarkan pada tahun 1997.
Bahwa  sebenarnya isu bid'ah yang berkembang di masyarakat Muslim saat ini disebabkan oleh perbedaan
memaknai bi'dah apakah secara etimologis (bahasa) atau terminologis (istilah). Syeh Atiyah menjelaskan
lebih jauh:
Dalam kitab "Al-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Athar" karangan Ibnu Atsir dalam pembahasan "ba da 'a" (asal
derivatif kata bid'ah) dan dalam pembahasan hadist Umar r.a. masalah menghidupkan malam Ramadhan  ":
‫ البدعة هذه‬v‫ "نعمت‬Inilah sebaik-baik bid'ah", dikatakan bahwa bid'ah terbagi menjadi dua, ada 1) bid'ah huda
(bid'ah benar sesuai petunjuk) dan ada 2) bid'ah sesat. Bid'ah yang betentangan dengan perintah Allah dan
Rasulnya s.a.w. maka itulah bid'ah yang dilarang dan sesat. Dan bid'ah yang masuk dalam generalitas
perintah Allah dan Rasulnya s.a.w. maka itu termasuk bid'ah yang terpuji dan sesuai petunjuk agama. Apa
yang tidak pernah dilakukan Rasulullah s.a.w. tapi sesuai dengan perintah agama, termasuk pekerjaan yang
terpuji secara agama seperti bentuk-bentuk santunan sosial yang baru. Ini juga bid'ah namun masuk dalam
ketentuan hadist Nabi s.a.w.  diriwayatkan dari Jarir bin Abdullah oleh Imam Muslim:
‫الم‬vv‫ن في اإلس‬vv‫يء ومن س‬vv‫ورهم ش‬vv‫ا وال ينقص من أج‬vv‫ل به‬vv‫من سن في اإلسالم سنة حسنة فعمل بها بعده كتب له مثل أجر من عم‬
‫سنة سيئة فعمل بها بعده كتب عليه مثل وزر من عمل بها وال ينقص من أوزارهم شيء‬
"Barang siapa merintis dalam Islam pekerjaaan yang baik kemudian dilakukan oleh generasi setelahnya,
maka ia mendapatkan sama dengan orang melakukannya tanpa dikurangi sedikitpun. Dan barangsiapa
merintis dalam Islam pekerjaan yang tercela, kemudian dilakukan oleh generasi setelahnya, maka ia
mendapatkan dosa orang yang melakukannya dengan tanpa dikurangi sedikitpun" (H.R. Muslim).
 
Stateman Umar bin Khattab r.a. "Inilah bid'ah terbaik" masuk kategori bid'ah yang terpuji. Umar melihat
bahwa sholat tarawih di masjid merupakan bid'ah yang baik, karena Rasulullah s.a.w. tidak pernah
melakukannya, tapi Rasulullah s.a.w. melakukan sholat berjamaah di malam hari Ramadhan beberapa hari
lalu meninggalkannya dan tidak melakukannya secara kontinyu, apalagi memerintahkan umat islam untuk
berjamaah di masjid seperti sekarang ini. Demikian juga pada zaman Abu Bakar r.a. sholat Tarawih belum
dilaksanakan secara berjamaah. Umar r.a. lah yang memulai menganjurkan umat Islam sholat tarawih
berjamaah di masjid.
Para ulama melihat bahwa melestarikan tindakan Umar tesebut, termasuk sunnah karena Rasulullah s.a.w.
pernah bersabda "Hendaknya kalian mengikuti sunnahku dan sunnah Khulafaurrashiidn setelahku" (H.R.
Ibnu Majah dll.) Rasulullah s.a.w. juga pernah bersabda: "Ikutilah dua orang setelahku, yaitu ABu Bakar dan
Umar". (H.R. Tirmidzi dll).
Dengan pengertian seperti itu, maka menafsirkan hadist Rasulullah s.a.w. "‫ "كل محدثة بدعة‬yang artinya "setiap
baru diciptakan dalam agama adalah bid'ah" harus dengan ketentuan bahwa hal baru tersebut memang
bertentangan dengan aturan dasar syariat dan tidak sesuai dengan ajaran hadist.
Mengkaji masalah bid'ah memerlukan pendefinisian yang berkembang dan muncul di seputar penggunaan
kata bid'ah tersebut. Perbedaan definisi bisa berpengaruh pada perbedaan hukum yang diterapkan. Tanpa
mendefinisikan bid'ah secara benar maka kita hanya akan terjerumus pada perbedaan hukum, perbedaan
pendapat dan bahkan pertikaian. Demikian juga mendefinisikan bid'ah yang sesat dan masuk neraka,
tidaklah mudah.
Dari beberapa literatur Islam yang ada, dapat disimpulkan sebagai berikut:
Para ulama dalam mendefinisikan bid'ah, terdapat dua pendekatan yaitu kelompok pertama menggunakan
pendekatan etimologis (bahasa) dan kelompok kedua menggunakan pendekatan terminologis (istilah).
Golongan pertama mencoba mendefinisikan bid'ah dengan mengambil akar derivatif kata bid'ah yang artinya
penciptaan atau inovasi yang sebelumnya belum pernah ada. Maka semua penciptaan dan inovasi dalam
agama yang tidak pernah ada pada zaman Rasulullah s.a.w. disebut bid'ah, tanpa membedakan antara yang
baik dan buruk dan tanpa membedakan antara ibadah dan lainnya. Argumentasi untuk mengatakan
demikian karena banyak sekali ditemukan penggunakan kata bid'ah untuk baik dan kadang kala juga
digunakan untuk hal tercela.
Imam Syafi'i r.a. berkata: "Inovasi dalam agama ada dua. Pertama yang bertentangan dengan kitab, hadist
dan ijma', inilah yang sesat. Kedua inovasi dalam agama yang baik, inilah yang tidak tercela."
Ulama yang menganut metode pendefinisan bid'ah dengan pendekatan etimologis antara lain Izzuddin bin
Abdussalam, beliau membuat kategori bid'ah ada yang wajib seperti melakukan inovasi pada ilmu-ilmu
bahasa Arab dan metode pengajarannya, kemudian ada yang sunnah seperti mendirikan madrasah-
madrasah Islam, ada yang diharamkan seperti merubah lafadz al-Quran sehingga keluar dari bahasa Arab,
ada yang makruh seperti mewarna-warni masjid dan ada yang halal seperti merekayasa makanan.
Golongan kedua mendefinisikan bid'ah adalah semua kegiatan baru di dalam agama, yang diyakini itu
bagian dari agama padahal sama sekali bukan dari agama. Atau semua kegiatan agama yang diciptakan
berdampingan dengan ajaran agama, dan disertai keyakinan bahwa melaksakan kegiatan tersebut
merupakan bagian dari agama. Kegiatan tersebut emncakup bidang agama dan lainnya. Sebagian ulama
dari golongan ini mengatakan bahwa bid'ah hanya berlaku di bidang ibadah. Dengan definisi seperti ini,
semua bid'ah dalam agama dianggap sesat dan tidak perlu lagi dikategorikan dengan wajib, sunnah, makruh
dan mubah. Golongan ini mengimplementasikan hadist "‫اللة‬v‫"كل بدعة ض‬  yang artinya "setiap bid'ah adalah
sesat", terhadap semua bid'ah yang ada sesuai defisi tersebut. Demikian juga statemen imam Malik: "Barang
siapa melakukan inovasi dalam agama Islam dengan sebuah amalan baru dan menganggapnya itu baik,
maka sesungguhnya ia telah menuduh Muhammad s.a.w. menyembunyikan risalah, karena Allah s.w.t. telah
menegaskan dalam surah al-Maidah:3 yang artinya " Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu
agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni'mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu",
adalah dalam konteks definisi bid'ah di atas. Adapun pernyataan Umar r.a. dalam masalah sholat Tarawih
bahwa "itu sebaik-baik bid'ah" adalah bid'ah dalam arti bahasa (etimologis).
Lepas dari kajian bid'ah di atas, sesungguhnya tema bid'ah merupakan tema yang cukup rumit dan panjang
dalam sejarah pemikiran Islam. Pelabelan ahli bid'ah terhadap kelompok Islam tertentu mulai marak dan
muncul, pada saat munculnya polemik dan konflik pemikiran dalam dunia Islam. Merespon polemik
pemikiran Islam tersebut, Abu Hasan Al-Asy'ari (meninggal tahun 304 H) menulis buku "Alluma' fi al-radd 'ala
Ahlil Zaighi wal Bida'" (Catatan Singkat untuk menentang para pengikut aliran sesat dan bid'ah). Setelah itu
muncullah kajian-kajian yang makin marak dan gencar dalam mengulas masalah bid'ah.
Imam Ghozali dalam Ihya' Ulumuddin (1/248) menegaskan:"Betapa banyak inovasi dalam agama yang baik,
sebagaimana dikatakan oleh banyak orang, seperti sholat Tarawih berjamaah, itu termasuk inovasi agama
yang dilakukan oleh Umar r.a.. Adapun bid'ah yang sesat adalah bid'ah yang bertentangan dengan sunnah
atau yang mengantarkan kepada merubah ajaran agama. Bid'ah yang tercela adalah yang terjadi pada
ajaran agama, adapun urusan dunia dan kehidupan maka manusia lebih tahu urusannya, meskipun diakui
betapa sulitnya membedakan antara urusan agama dan urusan dunia, karena Islam adalah sistem yang
komprehensif dan menyeluruh. Ini yang menyebabkan sebagian ulama mengatakan bahwa bid'ah itu hanya
terjadi dalam masalah ibadah, dan sebagian ulama yang lain mengatakan bid'ah terjadi di semua sendi
kehidupan.
Akhirnya juga bisa disimpulkan bahwa bid'ah terjad dalam masalah aqidah, ibadah, mu'amalah (perniagaan) dan bahkan
akhlaq. Yang perlu digaris bawahi adalah bahwa semua tingkah laku dan pekerjaan Rasulullah s.a.w. adalah suri
tauladan bagi umatnya. Apakah semua pekerjaan Rasulullah s.a.w. dan tingkah lakunya wajib diikuti 100 persen,
ataukah sebagian itu sunnah untuk diikuti dan sebagian bolah tidak diikuti? Apakah meninggalkan sebagian pekerjaan
yang pernah dilakukan Rasulullah s.a.w. (yang bukan termasuk ibadah) dosa atau tidak? Contohnya seperti adzan dua
kali waktu sholat Jum'at, menambah tangga mimbar sebanyak tiga tingkat, melakukan sholat dua rakaat sebelum Jum'at,
membaca al-Quran dengan suara keras atau memutas kaset Qur'an sebelum sholat Jum'at, muadzin membaca sholawat
dengan suara keras setelah adzan, bersalaman setelah sholat, membaca "sayyidina" pada saat tahiyat, mencukur jenggot.
Sebagian ulama menganggap itu semua bid'ah karena tidak pernah dilakukan pada zaman Rasulullah dan sebagian lain
menganggap itu merupakan inovasi beragama yang diperbolehkan dan baik, dan tidak betentangan dengan ketentuan
umum agama Islam. Demikian juga masalah peringatan maulid nabi dan peringatan Islam lainnya, seperti Nuzulul
Qur'an, Isra' Mi'raj, Tahun Baru Hijriyah, sebagian ulama melihat itu bid'ah dan sebagian lainnya menganggap itu bukan
bid'ah sejauh diisi dengan kegiatan-kegiatan agama yang baik.  Perbedaan para ulama di seputar masalah tersebut
terkembali pada perbedaan mereka dalam mengartikan bid'ah itu sendiri, seperti dijelaskan di atas.
Yang perlu kita garis bawahi lagi, bahwa ajaran agama kita dalam merubah kemungkaran yang disepakati
bahwa itu kemungkaran adalah dengan cara yang ramah dan nasehat yang baik. Tentu merubah
kemungkaran yang masih dipertentangkan kemungkarannya juga harus lebih hati-hati dan bijaksana.
Permasalahan yang masih menjadi khilafiyah (terjadi perbedaan pendapat) di antara para ulama, tidak
seharusnya disikapi dengan bermusuhan dan percekcokan, apalagi saling menyalahkan dan menganggap
sesat. Mereka yang menganggap dirinya paling benar dan menganggap akidahnya yang paling selamat, dan
lainnya adalah sesat dan rusak, hendaklah ia berhati-hati karena jangan-jangan dirinya telah terancam
kerusakan dan telah dihinggapi oleh teologi permusuhan.
Wallahu  a'lam bissowab
Bahan Bacaan:
Fatawa Azhariyah, Fatwa Syah Atiyah Muhammad Saqr, tahun 1997
Sebelumnya: Tahlil
Selanjutnya : Kuda Beranak Sapi

You might also like