You are on page 1of 42

Tasawuf falsafi di Nusantara Abad ke XVII M

OPINI
Efrizal Nurbai
| 19 Januari 2010 | 08:29

722

0
Belum ada chart.
Belum ada chart.

Nihil.
Pendahuluan
Islam sufistik dalam sejarah pertumbuhan dan perkembangan Islam serta khazanah intelektual Islam di
Nusantara merupakan salah satu wacana yang masih menarik untuk dibincangkan. Hal ini tidak hanya
disebabkan awal masuknya Islam ke Indonesia -sebagaimana ‘disepakati’ para ahli sejarah- bernuansa
tasawuf. Namun juga dikarenakan adanya luka-luka sejarah dalam perkembangan Islam di negeri
gemah ripah loh jinawi ini yang terkait langsung dengan issu Islam esoteris.
Eksekusi mati terhadap Syekh Siti Jenar pada abad ke 15 M di Jawa oleh Wali Songo, pembunuhan
terhadap para penganut paham wahdah al-wujud di Serambi Mekah -Aceh- atas fatwa qadhi kesultanan
yang waktu itu dijabat Al-Raniri, adalah luka yang akan tetap meninggalkan codet dalam lembaran
sejarah Islam di Indonesia. Selanjutnya, budaya masyarakat Nusantara yang amat kental dengan dunia
mistik -terutama sejak masuknya Hindu dan Budha dari India- merupakan faktor yang tidak bisa
dikesampingkan yang membuat semakin menariknya wacana ini.
1. Tasawuf Falsafi di Dunia Islam
Tasawuf falasafi secara sederhana dapat didefenisikan sebagai kajian dan jalan esoteris dalam Islam
untuk mengembangkan kesucian bathin yang kaya dengan pandangan-pandangan filosofis. Keberadaan
tasawuf bercorak falsafi ini pada satu sisi telah menarik perhatian para ulama yang pada awalnya
kurang senang dengan kehadiran filsafat dalam khazanah Islam. Sementara bagi para ulama yang
menyenangi kajian-kajian filsafat dan sekaligus menguasainya, tasawuf falsafi bagaikan sungai yang
airnya demikian bening dan begitu menggoda untuk direnangi.
Ulama pertama yang dapat dianggap sebagai tokoh tasawuf falsafi adalah Ibn Masarrah (w. 319/931)
yang muncul dari Andalusia. Sekaligus dia dapat dianggap sebagai filosof sufi pertama dalam dunia
Islam. Pandangan filsafatnya adalah emanasi yang mirip dengan emanasi Plotinus.
Menurutnya, melalui jalan tasawuf manusia dapat melepaskan jiwanya dari belenggu/penjara badan
dan memperoleh karunia Tuhan berupa penyinaran hati dengan nur Tuhan. Suatu ma’rifah yang
memberikan kebahagiaan sejati. Ia juga menganut pandangan bahwa kehidupan di akhirat bersifat
ruhani, sehingga di akhirat kelak manusia dibangkitkan ruhnya saja, tidak dengan badan. Pandangan
yang amat mirip dengan penyataan Ibnu Sina tentang kebangkitan manusia kelak di akhirat.
Tokoh kedua yang berpengaruh besar dalam dunia tasawuf falsasi adalah Suhrawardi al-Maqtul, sufi
yang dibunuh di Aleppo pada tahun 587/1191, -karena pandangannya yang telah keluar dari Islam
menurut ulama fuqaha. Suhrawardi juga seorang penganut paham emanasinya Ibnu Sina.
Bila tasawuf sunni (akhlaki) memperoleh bentuk yang final di tangan Imam Al-Gazali, maka tasawuf
falsafi mencapai ‘puncak’ kesempurnaan dalam pengajaran Ibn Arabi, seorang sufi yang juga datang
dari Andalusia. Pengetahuan Ibnu Arabi yang amat kaya dalam bidang keislaman dan lapangan filsafat,
membuatnya mampu menghasilkan karya yang demikian banyak, di antaranya al-Futuhad al-Makkiyah
dan Fushush al-Hikam. Boleh dikatakan hampir semua pengajaran, praktek dan ide-ide yang
berkembang di kalangan sufi pada masa itu mampu diliput dan kemudian diberinya penjelasan yang
amat memadai.
Ajaran sentral Ibn Arabi adalah kesatuan wujud (wahdah al-wujud). Menurutnya wujud itu hanyalah
satu ; yaitu wujud yang berdiri dengan dirinya sendiri, itulah Tuhan, Zat Yang Maha Benar. Alam yang
banyak sekalipun mempunyai wujud, namun dia tidak berwujud dengan wujud sendiri, melainkan
berwujud dengan wujud Allah. Wujud alam adalah khayal, maksudnya bila ia kelihatan sebagai wujud
yang berdiri sendiri, maka sesungguhnya ia berwujud dengan wujud Tuhan. Oleh sebab itu kemudian
dikatakan bahwa wujud Tuhan dengan wujud alam adalah satu, bukan dua atau banyak. Alam yang
banyak dan beraneka ragam adalah manifestasi atau penampakan dari wujud Tuhan yang satu. Dari
segi hakekat, alam tidak lain dari Tuhan. Sedangkan dari sudut manifestasi, alam benar-benar berbeda
dengan Tuhan. Alam bukanlah Tuhan dan tidak sama dengan Tuhan.
Ada banyak tokoh sufi filosof yang muncul setelah meninggalnya Ibnu Arabi di Damaskus. Di antara
yang terkenal adalah ; al-Qunawi, al-Farqani, al-Qaishari, Jalaluddin Rumi dan al-Jili dan lain-lain.
Tasawuf bercorak falsafi ini kemudian memperoleh tanah yang subur, terutama di Persia. Umumnya
kalangan Syi’ah Isma’iliyah dan Syi’ah Dua Belas dapat menerima dan membenarkan paham ini.
Tasawuf falsafi yang telah mencapai puncak di tangan Ibnu Arabi, yang kemudian berkembang di
tangan para sufi filosof sesudanya, menyebar hampir ke seluruh dunia Islam dengan jaringan
sebagaimana yang diungkapkan Azyumardi Azra dalam “Jaringan Ulama”nya. Lewat jaringan itu pula
tasawuf falsafi masuk ke Indonesia yang kemudian memunculkan tokoh-tokoh sufi filosof yang juga
tidak sepi dari ungkapan syhathahad-¬nya. Seperti Hamzah al-Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani,
yang kiprah keduanya akan dibicarakan pada pembahasan berikut.
Dibanding dengan tasawuf sunni, tasawuf falsafi lebih kaya dengan ide-ide dan pikiran-pikiran tentang
Tuhan dan alam metafisik. Ide-ide yang oleh para sufinya dipandang tidak bertentangan dengan ajaran
al-Qur’an dan Sunnah, termasuk dalam hal ini ungkapan syathahad-nya. Sementara tasawuf sunni tidak
mementingkan ide-ide dan pikiran spekulatif dalam tataran falsafah. Para sufi sunni sudah merasa
cukup dengan pemahaman akidah pokok yang diajarkan dalam ilmu tauhid. Persoalan qadim-nya alam,
kehidupan akhirat yang bersifat ruhani tidak terdapat dalam kajian tasawuf sunni, karena dipandang
tidak benar, menyalahi apa yang diajarkan para mutakallimin.
2. Tasawuf Falsafi di Nusantara
Wacana tasawuf falsafi di Nusantara agaknya dimotori oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin
Sumatrani, dua tokoh sufi yang datang dari pulau Andalas (Sumatera) pada abad ke 17 M. Sekalipun
pada abad ke 15 sebelumnya telah terjadi peristiwa tragis berupa eksekusi mati terhadap Syekh Siti
Jenar atas fatwa dari Wali Songo, karena ajarannya dipandang menganut doktrin sufistik yang bersifat
bid’ah berupa pengakuan akan kesatuan wujud manusia dengan wujud Tuhan, Zat Yang Maha Mutlak.
Namun sejauh ini penulis belum menemukan literatur yang menjelaskan apakah paham yang dianut
Syekh Siti Jenar adalah wahdatulwujud yang berasal dari Ibnu Arabi lewat ‘jaringan ulama’
sebagaimana dimaksud Azra dalam bukunya tersebut. Terlebih lagi terlalu sedikit literatur yang
menjelaskan keberadaan sosok Syekh Siti Jenar dalam khazanah keislaman di Nusantara. Paling tidak
menurut Alwi Shihab, kehadiran Syekh Siti Jenar dengan ajaran dan syathahad-nya yang dipandang
sesat, dapat dijadikan sebagai tahap pertama perkembangan tasawuf falsafi di Indonesia. Alwi
menamakannya sebagai tahap perkenalan. Pembunuhan terhadap Syekh Siti Jenar agaknya telah
meredupkan cahaya perkembangan tasawuf falsafi di Indonesia dalam waktu yang lama, sampai
kemudian munculnya Hamzah dan Syamsuddin di Sumatera.
Hamzah Fansuri adalah keturunan Melayu yang dilahirkan di Fansur -nama lain dari Barus-. Para
peneliti tidak menemukan bukti yang valid kapan sebenarnya Hamzah lahir. Dia diperkirakan hidup
pada akhir abad ke 16 dan awal abad ke 17, yakni pada masa sebelum dan selama pemerintahan Sultan
‘Ala al-Din Ri’yat Syah (berkuasa 977-1011H/1589-1602M). Hamzah diperkirakan meninggal sebelum
tahun 1016H/1607M.
Hamzah memulai pendidikannya di Barus, kota kelahirannya yang pada waktu itu menjadi pusat
perdagangan, karena saat itu Aceh berada dalam kemajuan di bawah pemerintahan Sultan Iskandar
Muda dan Iskandar Tsani. Kwalitas pendidikan yang cukup baik di Aceh menjadikan Hamzah dapat
mempelajari ilmu-ilmu agama seperti ; fiqh, tauhid, akahlak, tasawuf, dan juga ilmu umum seperti ;
kesustraan, sejarah dan logika. Selesai mengikuti pendidikan di tanah kelahirannya, Hamzah kemudian
melanjutkan pendidikan ke Timur Tengah, khususnya Persia dan Arab. Sehingga dia dapat menguasai
bahasa Arab dan Persia, mungkin juga bahasa Urdu. Dalam hal tasawuf falsafi diperkirakan Hamzah
mempelajari dari Iraqi, murid Sadr al-Din al-Qunawi, murid kesayangan Ibnu Arabi.
Sekembalinya dari perantauan menuntut ilmu, Hamzah mengajarkan agama di Aceh melalui lembaga
pendidikan “Dayah” (pesantren) di Oboh Simpang-Kanan, yang merupakan cabang dari Dayah
Simpang-Kiri yang diasuh oleh kakaknya Syekj Ali Fansuri, ayah dari Abdr Rauf al-Sinkli. Hamzah
ternyata tidak hanya berakfitas sebagai guru, namun juga rajin menulis. Tetapi sangat disayangkan
karya-karya Hamzah tersebut tidak lagi ditemukan karena telah dimusnahkan oleh ‘lawan-lawannya’
yang menentang paham wujudiyah yang dikembangkan oleh Hamzah.
Pemikiran Hamzah tentang ajaran wujudiyah terdapat dalam karyanya Zinat al-Wahidin, yang terdiri
dari tujuh bab. Menurut Hamzah hakekat dari Zat Yang Maha Mutlak, Kadim dan pencipta alam
semesta tidak dapat ditentukan atau dilukiskan. Dalam kaitan ini bagi Hamzah alam yang pada
mulanya bersifat ruhani kemudian berubah berisifat jasmani adalah manifestasi dari zat Ilahi. Zat Ilahi
menampung seluruh wujud, sehingga dalam aspek transenden zat Tuhan tidak bertepi. Pada aspek
immanen zat Tuhan juga tidak terpisah dari alam. Lebih jauh Hamzah menjelaskan tahap-tahap
hubungan Tuhan dengan manifestasi-Nya, alam.
Tahap pertama disebut la ta’ayyun, pada tahap ini Tuhan yang Esa belum berhubungan dengan alam.
Lalu bagaimana Tuhan menciptakan alam, padahal suatu hal yang mustahil Tuhan sebagai Zat Yang
Mutlak dari-Nya langsung muncul nakhluk-makhluk yang sifatnya relatif. Menurut Hamzah Penciptaan
dari Zat Mutlak ke alam yang relatif membutuhkan tahapan-tahapan. Ia membagi tahapan-tahapan ini
kepada lima tahapan yang disebut dengan ta’ayyun atau penampakan.
Pertama, ta’ayyun awwal yaitu Tuhan menampakkan diri-Nya melalui ilmu-Nya, sifat-Nya dan Nur-
Nya, ide-ide ketuhanan pada tahap ini dalam pengajaran Syamsuddin Samatrani masih bersifat ijmali
atau global. Kedua ta’ayyun tsani merupakan penampakan dalam diri Tuhan yang menghasilkan
munnculnya pengetahuan terperinci tentang hakikat-hakikat alam (a’yyan tsabitah). Dalam pengajaran
Hamzahditegaskan bahwa a’yan tsabitah tidaklah memiliki wujud aktual. Unsur ini merupakan pola-
pola rancangan tetap dan lengkap tentang alam. Alam diwujudkan Tuhan secara aktual menurut pola-
pola rancangan tersebut. Ketiga ta’ayyun tsalist, yaitu penampakan Tuhan dalam alam arwah, tahap ini
terjadi di luar zat yang Mutlak sehingga dinamakan a’yan kharijah. Keempat, ta’ayyun rabi’ merupakan
penampakan kepada seluruh makhluk, tapi masih dalam alam misal dan kelima, ta’ayyun khamis,
penampakan Tuhan terakhir pada alam insan dan alam dunia.
Tahapan-tahapan dalam penciptaan ini hanyalah hirarki yang disusun untuk lebih mudah memahami,
yang sebenarnya terjadi secara gradual dan seketika. Dengan pemikiran ini Hamzah menjelaskan
bahwa penampakan Tuhan tidak terjadi begitu saja atau secara langsung, tapi melalui tahap tertentu,
sehingga keesaan dan kemurnian Tuhan tidak tercampuri dengan makhluk.
Ajaran wujudiyah Hamzah ini kemudian dikembangkan oleh muridnya Syamsuddin Sumatrani.
Kebanyakan peneliti berpendapat, hubungan mereka adalah guru-murid. Abdul Azis juga
membenarkan pendapat A. Hasymy bahwa hubungan Hamzah dengan Syamsuddin sebagai murid dan
khalifah, karena menurutnya telah dijumpai dua karya Syamsuddin yang merupakan ulasan atau syarah
terhadap pengajaran Hamzah yaitu : Syarah Ruba’i Hamzah Fansuri dan Syarah Syair Ikan Tongkol.
Terdapat banyak informasi tentang potret pribadi syeikh di antaranya : Hikayat Aceh, Adat Aceh,
Bustan al-Salathin dan informasi dari pengembara dan peneliti asing. Dari informasi tersebut dijelaskan
bahwa Syamsuddin lahir kira-kira 1589 dan wafat 24 Februari 1630 berdasarkan informasi Deny
Lombard. Syaikh banyak melahirkan karya bermutu seperti : Jawhar al-Haqaiq, Risalah Tubayyin
Mulahazah, Nur al-Daqaiq, Thariq al-Sahlikin, I’raj al-Iman dan karya lainnya. Syamsuddin menguasai
beberapa bahasa, tapi karya-karyanya kebanyakan ditulis dalam bahasa Melayu dan Arab.
Pemberian makna “Tiada wujud selain Allah” bagi kalimat tauhid la ilaha illa Allah hanya dilakukan
oleh kalangan sufi penganut paham wujudiyyah saja, dan itu menjadi ciri khas yang membedakan
kalangan penganut paham wujudiyyah dengan kalangan sufi lainnya. Pengakuan bahwa tidak ada
wujud selain Allah disebut dalam pengajaran Syamsuddin sebagai tauhid hakiki (al-tawhid al-haqiqi)
atau tauhid yang murni (al-tawhid al-khalish). Menurutnya, tauhid hakiki atau tauhid murni itu baru ada
pada seseorang jika ia mengakui bahwa tidak ada pelaku atau pembuat selain Allah, tidak ada yang
ditaati atau disembah selain Allah dan tidak ada wujud selain Allah.
Syamsuddin, dalam pengajarannya tentang maksud kalimat-kalimat tauhid itu, juga mengingatkan
pengikutnya tentang perbedaan pendirian mereka sebagai penganut tauhid yang benar (al-muwahhidin
al-shiddiqin) dengan kaum yang ia sebut sebagai orang-orang zindiq. Menurutnya kedua pihak itu
sepakat dalam hal menetapkan maksud kalimat tauhid la ilaha illa Allah, yakni tiada wujud selain
Allah, sedangkan wujud sekalian alam adalah bersifat bayang-bayang, majazi atau fatamorgana,
dibandingkan dengan wujud Allah.
Sedangkan paham kaum zindiq, wujud Tuhan tidak ada kecuali dengan kandungan wujud alam
seluruhnya; semua wujud alam adalah wujud Tuhan dan wujud Tuhan adalah wujud alam, baik dari
segi wujud maupun dari segi ta’ayyun-ta’ayyun (penampakan-penampakan). Mereka menetapkan
kesatuan hakiki dalam kejamakan alam tanpa membedakan martabat Tuhan dengan alam.
Paham demikian, menurut Syamsuddin adalah paham batil, tidak benar dan ditolak oleh penganut
tauhid yang benar. Berdasarkan pendapat ini terkesan jauh-jauh hari sebelum Nuruddin al-Raniry
mengkritik paham Syamsuddin sebagai mulhid, ia sendiri telah menjelaskan bahwa mana wujudiyyah
mulhid dan mana yang muwahhid berdasarkan keterangan di atas.
Pengajaran Syamsuddin tentang Tuhan dengan corak paham wujudiyyah dikenal juga dengan
pengajaran tentang “martabat tujuh”, yaitu tentang satu wujud dengan tujuh martabatnya.
Pengajarannya tentang ini agaknya samam dengan yang diajarkan al-Buhanpuri, yang diduga kuat
sebagai orang pertama yang membagi martabat wujud itu kepada tujuh kategori. Ketujuh martabat
tersebut adalah : martabat ahadiyyah, martabat wahdah, martabat wahidiyyah, martabat alam arwah,
martabat alam mitsal, martabat alam ajsam dan martabat alam insan.
Al-Buhanpuri pernah mengingatkan bahwa sebutan martabat ketuhanan tidak boleh dipakaikan untuk
martabat alam dan begitu pula sebaliknya. Akan tetapi dalam karya al-Burhanpuri tidak dijelaskan
secara implisit tentang itu. Syamsuddin sebagai penganut paham martabat tujuh ini di Nusantara telah
mengkategorikan martabat ketuhanan dan martabat kemakhlukan seperti yang disimpulkan Abdul Aziz
Dahlan. Menurutnya, secara eksplisit dalam karya Syamsuddin terlihat tiga martabat, pertama disebut
anniyat Allah, yaitu martabat wujud aktual Allah, sedangkan empat martabat berikutnya disebut
anniyah al-Makhluq, yaitu martabat wujud aktual makhluk.
Paham martabat tujuh inilah yang membedakan antara Syamsuddin Sumatrani dengan gurunya
Hamzah Fansuri, yang mana dalam ajaran Hamzah tidak ditemukan pengajaran ini. Tetapi keduanya
sangat menekankan pemahaman tauhid yang murni, bahwa Tuhan tidak boleh disamakan atau
dicampurkan dengan unsur alam, dikenal dalam pengajaran Hamzah Fansuri la ta’ayyun. Sedangkan
dalam pengajaran Syamsuddin dikenal dengan aniyat Alllah, yang merupakan kejelasan dari ajaran al-
Burhanpuri untuk tidak mencampur-adukkan martabat ketuhanan dengan martabat kemakhlukan.
3. Respon dan Pengaruh Paham Tasawuf Falsafi di Nusantara Pasca Hamzah dan Syamsuddin.
Ternyata Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani pada prinsipnya dikategorikan termasuk dalam
aliran pemikiran yang sama, keduanya merupakan pendukung terkenal penafsiran mistikofilosofis
wahdat al-Wuju. Walaupun sedikit ada perbedaan penekanan, keduanya sangat dipengaruhi terutama
oleh Ibn ‘Arabi. Konsep inti ajaran mereka adalah kehadiran alam ini disebabkan serangkaian proses
penampakan diri Tuhan. Ide ini pada perkembangan selanjutnya mendorong para penentang seperti al-
Raniri untuk menuduh mereka sebagai panteis.
Dalam apandangan Nuruddin al-Raniri, pembahasan tentang wujud Allah dapat dibagi dua: wujudiyyah
muwahhid dan wujuddiyah mulhid. Hamzah digolongkan pada wujudiyyah mulhid dan disebut zindiq.
Menurut Aziz, Syamsuddin bersama pengikutnya tidak menyebut diri sebagai penganut paham
wujudiyah, apalagi mulhid. Seperti telah dijelaskan pada sub-bab sebelum mereke yakin berada dalam
tauhid yang benar dan memandang diri sebagai golongan al-muwahhidin al-shiddiqin.
Sepanjang menyangkut tuduhan itu, menurut Azra para peneliti terbagi dua pula. Pertama, peneliti
Barat seperti Winstedt, Johns dan Bariend, berpendapat bahwa ajaran dan doktrin Hamzah dan
Syamsuddin sesat. Kleim ini mendorong Abdul Aziz Dahlan untuk membuktikan bahwa ajaran
Syamsuddin dan gurunya Hamzah, bisa dipertanggungjawabkan secara teologis. Kedua, al-Attas,
menyatakan bahwa sebenarnya ketiga pemikiran Hamzah, Syamsuddin dan Al-Raniri adalah sama, ia
tidak menyebut ajaran Hamzah dan Syamsuddin sesat. Pada gilirannya al-Attas malah menuduh al-
Raniri melakukan distorsi dan menyebarkan fitnah dan tidak memahami wujudiyyah. Asumsi al-Attas
ini mengobsesi Ahmad Daudi untuk menjelaskan pada dunia bahwa al-Raniri punya logika pembenaran
sendiri yang menurutnya wajar kalau ia menuduh Hamzah dan Syamsuddin sesat. Tapi menurut Azra
al-Attas buru-buru mengklarifikasi pendapatnya dalam buku yang berjudul “A Comentary on the
Siddiq al-Nur al-Din al-Raniri” terbit tahun 1986, berarti sesudah tesis Daudi terbit. Dalam karya
tersebut al-Attas memuji al-Raniri sebagai orang yang dikaruniai kebijakan dan diberkati dengan
pengetahuan yang orisinil yang berhasil menjelaskan doktrin yang keliru.
Tidak juga bisa dikatakan dengan munculnya al-Raniri yang mengkritik dan “membumi hanguskan”
paham tasawuf falsafi, lantas paham ini lenyap dan punah. Berdasarkan penelitian Taufik Abdullah
menjelaskan bahwa setelah Sultan Iskandar Tsani wafat tahun 1642, tampil Syafiyatuddin Syah (1942-
1975) permaisuri Iskandar Tsani yang menggantikannya. Diberitakan pada waktu itu Nuruddin al-
Raniri meninggalkan Aceh sambil tergesa-gesa, menurut Bustan al-Salathin, rupanya seperti tercatat
dalam diary opper-koopman Belanda, mangkatnya Iskandar Tsani memberikan kesempatan pada
golongan moderat (Syamsuddin) untuk bangkit melawan arus intoleransi dan anti intelektual yang
dilancarkan al-Raniri. Tampil pada waktu itu Syeikh Saifulrijal, ulama Minang, sebagai penasehat
Sultanah atau ratu di Aceh dan menyebarkan pahamnya.
Jadi pada abad ke 16-17 M di Nusantara berkembang paham tasawuf falsafi yang bukan hanya di Aceh
tapi di bagian wilayah lainnya di Nusantara. Meskipun ada usaha-usaha untuk menerapkan syari’ah –
suatu yang tidak bisa dipisahkan dari lingkup Islam pada abad itu. Tulisan Hamzah Fansuri dan
Syamsuddin memberi dorongan pada kecenderungan ini, tidak bisa disimpulkan secara blak-blakan
bahwa mereka mengindahkan syari’ah. Mereka telah membeirkan sumbangan pada kehidupan religio-
intelektual kaum Muslimin abad ke-16 dan 17 M. (Penulis : Tenaga Pengajar Fakultas Dakwah IAIN
Imam Bonjol Padang).
http://filsafat.kompasiana.com/2010/01/19/tasawuf-falsafi-di-nusantara-abad-ke-xvii-m/
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah

Zaman sekarang disebut zaman modern, ditandai dengan kemakmuran material, kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi modern, serba mekanik dan otomatis. Materi telah mampu memberikan
kesenangan dan kenyamanan lahiriyah.. Namun, semua itu, pada taraf tertentu, telah menimbulkan
kebosanan. Bahkan banyak membawa bencana. Salah satunya adalah manusia modern telah dilanda
kehampaan spiritual.
Di tengah suasana seperti itu, manusia merasakan kerinduan akan nilai-nilai ketuhanan, nilai-nilai
ilahiyah, nilai-nilai yang dapat menuntun manusia kembali kepada fitrahnya. Karena itu manusia mulai
tertarik untuk mempelajari tasawwuf dan berusaha untuk mengamalkannya. Hal ini terlihat dengan
tumbuhnya majlis-majlis pengajian tasawwuf dengan segala amalan- amalan dan dzikir-dzikirnya.1
Majlis- majlis tasawwuf inilah yang kemudian populer dengan istilah tarekat.
Rumusan Masalah
1. Apa pengertian tarekat?
2. Apa pengertian tasawwuf?
3. Apa hubungan tarekat dan tasawuf?
4. Bagaimanakah perkembangan tarekat dan tasawuf di Indonesia?
5. Apa pengaruh tarekat dan tasawuf terhadap pemikiran islam di Indonesia?
Tujuan
1 Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2006) h
Mengetahui definisi tarekat.
2. Mengetahui definisi tasawuf.
3. Mengetahui hubungan antara keduanya.
4. Mengetahui sejarah perkembangan tarekat dan tasawuf di Indonesia.
5.Mengetahui pengaruh tarekat dan tasawuf terhadap pemikiran islam di Indonesia

PEMBAHASAN
A. Pengertian Taswwuf dan Tarekat, serta Hubungan Antara Keduanya

Secara ethimologi, tasawwuf berasal dari bahasa Arab yaitu katashuuf yang berarti bulu. Pada waktu
itu para ahli tasawwuf memakai pakaian dari bulu domba sebagai lambang merendahkan diri.2
Sedangkan secara terminology, para sufi dalam mendefinisikan tasawwuf itu sendiri sesuai dengan
pengalaman batin yang telah mereka rasakan masing-masing. Dan karena dominannya ungkapan batin
ini, maka menjadi beragamnya definisi yang ada. Sehingga sulit mengemukakan definisi yang
menyeluruh. Dari beberapa definisi para sufi, Noer Iskandar mendefinisikan bahwa tasawwuf adalah
kesadaran murni (fitrah) yang mengarahkan jiwa yang benar kepada amal dalam rangka mendekatkan
diri kepada Allah sedekat mungkin.3
Sedangkan tarekat sendiri, secara ethimologi berasal dari kata “Thoriqoh” yang berarti jalan. Dalam
artian jalan yang mengacu kepada suatu system latihan meditasi maupun amalan- amalan yang
dihubungkan dengan guru sufi. Istilah ini kemudian berkembang menjadi organisasi yang tumbuh
seputar metode sufi yang khas,4 atau institusi yang menaungi paham tasawwuf.5
Dari pengertian diatas, tampaklah pertalian yang sedemikian erat antara tasawwuf dan tarekat, bahwa
antara keduanya tampak sulit dibedakan dan tak bisa dipisahkan antara yang satu dengan yang lain.6
Tasawwuf adalah sebuah ideology dari institusi yang menaunginya, yaitu tarekat. Atau dengan kata
lain, tarekat merupakan madzhab-madzhab dalam tasawwuf. Dan tarekat merupakan implementasi dari
suatu ajaran tasawwuf yang kemudian berkembang menjadi sebuah organisasi sufi dalam rangka
mengimplementasikan suatu ajaran tasawwuf secara bersama-sama.
2 Ibid hal. 8. Dalam hal ini, ada berbagai macam versi. Ada yang mengatakan bahwa tasawwuf berasal
dari kataahl
al shuffah, Shuufi,sophos, dan lain-lan. Noer Iskandar Al Barsyany, Tasawwuf, Tarekat dan Para Sufi,
(Jakarta:
Grafindo, 2001) hal. 2-3
3 Noer Iskandar Al Barsyany, Tasawwuf, Tarekat dan Para Sufi,(Jakarta: Grafindo, 2001) hal. 2-8
4 Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2006) hal. 8
5 Noer Iskandar Al Barsyany, Tasawwuf, Tarekat dan Para Sufi, (Jakarta: Grafindo, 2001) hal. 73
6 Ibid. hal. 70
B. Sejarah Perkembangan Tasawwuf dan Tarekat di Indonesia

Dalam hal kelahiran tasawwuf dalam islam, ada beberapa pendapat yang berbeda. Menurut kayakinan
sebagian besar orang Islam, lahirnya tasawwuf bersamaan dengan lahirnya islam itu sendiri.Artinya,
tasawwuf murni bersumber dari sumber pokok ajaran islam itu sendiri, yaitu al Qur’an dan al Hadits.
Hal ini mengingat banyaknya isyarat yang tersirat bahkan tersurat dalam al Qur’an dan al Hadits. Salah
satunya adalah:
.

      
    
                             
     





“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang aku, Maka (jawablah), bahwasanya Aku
adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku,
Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka
beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” ( QS. Al Baqarah: 186)7
Ayat diatas menunjukkan bahwa sejak awal Islam telah menyinggung masalah umatnya dengan
Tuhannya, yang merupakan spesialisasi ajaran tasawwuf.
Setelah tasawwuf itu lahir, ajaran ini terus mengalami perkembangan. Namun para ulama berpendapat
bahwa pada abad ke-5 Hijriyyah atau 13 Masehi, baru muncul tarekat sebagai kelanjutan kegiatan sufi
sebelumnya. Hal ini ditandai dengan adanya silsilah tarekat yang selalu dihubungkan nama pendiri atau
tokoh sufi yang yang lahir pada abad itu.8
Di Indonesia sendiri, kelahiran ajaran tasawwuf serta lembaga-lembaga tarekatnya bersamaan dengan
kehadiran Islam di kawasan ini. Sebagian muballigh, yang menyebarkan Islam di Nusantara, telah
mengenalkan ajaran Islam dalam kapasitas mereka sebagai guru sufi.
7 Ibid hal. 11
8 Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2006) hal. 6.
Pendapat lain mengatakan bahwa, tasawwuf merupakan akulturasi ajaran Islam dengan ajaran Kristen
atau Hindu
dan Budha. Noer Iskandar Al Barsyany, Tasawwuf, Tarekat dan Para Sufi,(Jakarta: Grafindo, 2001)
hal. 8
9Tentang kapan pribum nusantara memeluk Islam, para ahli berbeda pendapat. Hal ini terjadi karena

Islamisasi di Indonesiatidak terdokumentasi dengan baik sehingga banyak spekulasi dikalangan


ilmuwan yang menimbulkan polemic yang hingga saat ini belum selesai. Mungkin orang muslim asing
memang sudah ada yang menetap di pelabuhan dagang di Sumatra dan Jawa beberapa abad sebelum
abad ke-16, namun baru menjelang abad ke-10 ada bukti-bukti orang-orang pribumi memeluk Islam di
suatu kerajaan kecil Perlak, dilanjutkan pada abad ke-13 oleh kerajaan smudera Pasai. Selama abad ke
14 dan 15 Islam secara berangsur-angsur menyebar ke pantai utara Jawa dan Maluku. Terlepas dari
semua itu,
Sejarawan mencatat bahwa karena factor tasawwuf dan tarekatlah Islamisasi Asia Tenggara, termasuk
Indonesia, berlangsung damai. Ajaran tasawwuf dapat dengan mudah dipadukan dengan ide-ide
sufistik India dan pribumi yang dianut masyarakat setempat.10
Dari perpaduan itulah, menyebabkan banyaknya tarekat dan organisasi mirip tarekat yang
berkembang di Indonesia. Beberapa di antaranya hanya merupakan tarekat local, misalnya
Wahidiyahdan Shiddiqiyah di Jawa Timur dan Syahadatain di Jawa Tengah. Bahkan ada yang
merupakan cabangdari gerakan sufi Internasional, misalnya tarekat Syattariyah, Khalwatiyah,
Naqsabandiyah, Syadziliyah dan lain sebagainya.11 Namun tampaknya, dari sekian banyak
tarekat yang ada di seluruh dunia, hanya ada beberapa tarekat yang bisa masuk dan berkembang di
Indonesia. Faktor kemudahan system komunikasi dalam kegiatan transmisinya serta tarekat – tarekat
itu dibawa langsung oleh tokoh-tokoh pengembangnya, yang kebanyakan berasal dari Persia dan India,
sangat mempengaruhi.12 Bahkan saat ini Indonesia telah mampu memilah dan memilih antara tarekat
yang mu’tabarah dan ghoiru mu’tabarah. KH. Dzikron Abdullah memberi batasan-batasan suatu tarekat
bisa dikategorikan sebagai tarekat mu’tabarah apabila memenuhi kriteria dibawah ini:
a. sanad(silsilah)-nya muttashil (bersambung) sampai kepada Nabi.
b.Pelaksanaan syari’at dalam suatu tarekat harus benar dan ketat.13
9 Ajid thohir, Gerakan Politik Kaum Tarekat, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002) Hal 27.
10 Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2006 hal.7-
12
11 Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia,(Bandung: Mizan, 1996), hal. 16
12 Ajid thohir, Gerakan Politik Kaum Tarekat, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002)Hal 27-28
13ht t p:/ / orgawam .wordp ress.com / 2008/ 05/ 01/ t areqah - m ut abarah- di - indonesi a/
Bahkan lebih dari itu, ada beberapa tarekat yang lahir dan berkembang di Indonesia. Ada yang
merupakan hasil ulama’ lokal yang mengkolaborasikan beberapa tarekat, dan ada juga yang memang
hasil ijtihadnya. Diantaranya adalah tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah didirikan oleh Syaikh
Ahmad Katib Sambas,14
tarekat Shiddiqiyah yang didirikan oleh Kyai Muchtar
Mukti.15
C. Pengaruh Tasawwuf dan Tarekat Terhadap Pemikiran Islam di Indonesia
Seperti telah di sebutkan di atas, bahwa ajaran tasawwuf berkembang pesat karena orang- orang
pribumi sangat antusias terhadap ajaran ini. Hal ini dipengaruhi oleh kekentalan kehidupan pribumi
terhadap mistik sebelum Islam datang. Sehingga tidak lama setelah Islam bersama ajaran Tasawwufnya
masuk ke Nusantara, banyak ulama’ nusantara yang menggeluti ajaran ini, diantaranya adalah Syaikh
Yusuf Makassar, Hamzah Fansuri, Syamsuddin Al Sumatrani, Nuruddin Al Raniri, Abdul Ra’uf
Singkel dan lain-lain.16 Ketika itu, corak pemikiran Islam diwarnai oleh tasawwuf. Pemikiran para sufi
besar Ibn Al ‘Araby dan Abu Hamid Al Ghazali sangat berpengaruh terhadap pengamalan-pengamalan
muslimin generasi pertama.17
Bahkan, kehadiran tarekat di tengah-tengah masyarakat Indonesia pada masa penjajahan itu telah
memberikan angin segar bagi rakyat jajahan yang ingin melepaskan diri dari penjajahan. Timbulnya
beberapa pemberontakan di Banten pada tahun 1888, Kediri pada tahun 1888, dan Sidoarjo pada tahun
1904. Dengan hal ini, terlihat bahwa pada waktu itu tarekat berfungsi tidak hanya sebagai gerakan
keagamaan, tetapi juga gerakan politik dalam menghadapi penjajahan.18
Saat ini, tarekat masih mendapat tempat tempat d hati kaum muslimin Indonesia. Bahkan
terus berkembang di kota-kota besar di Indonesia. Juga tidak hanya terbatas kalangan ekonomi
14 Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2006) hal.
253
15ht t p:/ / www.republ i ka.co.i d/ be ri t a/ 61218/ P erkem bangan_T ar ekat _di _Duni a_Isl am
16ht t p:/ / bai t ul am i n.org/ ri sal ah/ perkem bangan - t arekat - nusant ara.ht m l
17 Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2006) hal.
818 Ajid Thohir, Gerakan Politik Kaum Tarekat, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002)hal 32-34

menengah ke bawah, tetapi telah merambah pada kalangan ekonomi ke atas, bahkan para bangsawan.
Hal ini dapat dilihat dari antusiasme warga setiap acara rutinan jam’iyyah tarekat tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
Iskandar, Noer.
Tasawwuf, Tarekat dan Para Sufi. Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2001.
Mulyati, Sri. Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia. Jakarta:

Kencana, 2006.
van Bruinessen, Martin. Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia. Bandung: Mizan, 1996.
http://orgawam.wordpress.com/2008/05/01/tareqah-mutabarah-di-indonesia/
Thohir, Ajid. Gerakan Politik Kaum Tarekat. Bandung: Pustaka Hidayah, 2002
http://www.republika.co.id/berita/61218/Perkembangan_Tarekat_di_Dunia_Islam
http://baitulamin.org/risalah/perkembangan-tarekat-nusantara.html
Segala puji Allah Tuhan sekalian alam. Dia tidak menyerupai apapun dari makhluk-Nya. Dia tidak
membutuhkan apapun dari makhluk-Nya. Dan siapapun dari makhluk-Nya selalu membutuhkan
kepada-Nya. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad, Nabi pembawa
wahyu dan kebenaran.
Dalam peta Indonesia, paling tidak ada tiga hal yang membuat penyebaran agama Islam cukup unik
untuk dikaji.
Pertama; Secara geografis wilayah nusantara sangat jauh dari negara-negara Arab sebagai pusat
munculnya dakwah Islam. Jaringan informasi dari satu wilayah ke wilayah lain saat itu sangat
membutuhkan waktu dan tenaga. Namun demikian perkembangan Islam di Nusantara pada awal
kedatangannya sangat pesat, mungkin melebihi penyebaran ke wilayah barat dari bumi ini. Metodologi
dakwah, kondisi wilayah dan masyarakat Indonesia, materi-materi dakwah dan berbagai aspek lainnya
dalam dakwah itu sendiri adalah di antara hal yang perlu kita pelajari.
Kedua; “Tangan-tangan ahli” dalam membawa misi dakwah Islam saat itu sangat terampil dan
pleksibel. Padahal sejarah mencatat bahwa wilayah Nusantara ketika itu diduduki berbagai kerajaan
yang dianggap cukup kuat memegang ortodoksi ajaran leluhur mereka. Dominasi ajaran Hindu dan
Budha saat itu, hingga keyakinan-keyakinan animisme cukup mengakar di berbagai tingkatan
masyarakat. Bagaimanakah olahan tangan-tangan terampil tersebut hingga membuahkan hasil yang
sangat menakjubkan?!
Ketiga; Persentuhan budaya yang sama sekali berbeda antara budaya orang-orang wilayah Nusantara
(Melayu) dengan umunya orang-orang timur tengah menghasilkan semacam budaya baru. Budaya baru
ini tidak sangat cenderung ke timur tengah juga tidak sangat cenderung kepada ortodoksi wilayah
setempat. Namun kelebihan yang ada pada budaya baru ini ialah bahwa nilai-nilai –terutama akidah–
ajaran Islam telah benar-benar berhasil ditanamkan oleh para pendakwahnya.
•••
Di wilayah Aceh, pada sekitar permulaan abad sebelas hijriah datang salah seorang keturunan
Rasulullah, yang sekarang nama beliau diabadikan dengan sebuah Institut Agam Islam Negeri (IAIN),
Syaikh Nuruddin ar-Raniri. Beliau bernama Muhammad ibn ‘Ali ibn Hasan ibn Muhammad al-Raniri
al-Qurasyi al-Syafi’i. Sebelum ke nusantara beliau pernah belajar di Tarim Hadramaut Yaman kepada
para ulama terkemuka di sana. Salah satunya kepada al-Imam Abu Hafsh ‘Umar ibn ‘Abdullah Ba
Syaiban al-Hadlrami. Ditangan ulama besar ini, al-Raniri masuk ke wilayah tasawuf melalui tarekat al-
Rifa’iyyah, hingga menjadi khalifah dalam tarekat ini.
Tarekat al-Rifa’iyyah dikenal sebagai tarekat yang kuat memegang teguh akidah Ahlussunnah. Para
pemeluknya di dalam fikih dikenal sebagai orang-orang yang konsisten memegang teguh madzhab asy-
Syafi’i. Sementara dalam akidah sangat kuat memegang teguh akidah Asy’ariyyah. Terhadap akidah
hulûl dan wahdah al-wujûd tarekat ini sama sekali tidak memberi ruang sedikitpun. Hampir seluruh
orang yang berada dalam tarekat al-Rifa’iyyah memerangi dua akidah ini. Konsistensi ini mereka
warisi dari perintis tarekat al-Rifa’iyyah sendiri; yaitu al-Hasîb al-Nasîb as-Sayyid al-Imam Ahmad al-
Rifa’i.
Ketika kesultanan Aceh dipegang oleh Iskandar Tsani, al-Raniri diangkat menjadi “Syaikh al-Islâm”
bagi kesultanan tersebut. Ajaran Ahlussunnah yang sebelumnya sudah memiliki tempat di hati orang-
orang Aceh menjadi bertambah kuat dan sangat dominan dalam perkembangan Islam di wilayah
tersebut, juga wilayah Sumatera pada umumnya. Faham-faham akidah Syi’ah, terutama akidah hulûl
dan ittihâd, yang sebelumnya sempat menyebar di wilayah tersebut menjadi semakin diasingkan.
Beberapa karya yang mengandung faham dua akidah tersebut, juga para pemeluknya saat itu sudah
tidak memiliki tempat. Bahkan beberapa kitab aliran hulûl dan ittihâd sempat dibakar di depan Majid
Baiturrahman.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa di bagian ujung sebelah barat Indonesia faham akidah
Ahlussunnah dengan salah satu tarekat mu’tabarah sudah memiliki dominasi yang cukup besar dalam
kaitannya dengan penyebaran Islam di wilayah Nusantara.
•••
Di Palembang Sumatera juga pernah muncul seorang tokoh besar. Tokoh ini cukup melegenda dan
cukup dikenal di hampir seluruh daratan Melayu. Dari tangannya lahir sebuah karya besar dalam
bidang tasawuf berjudul Siyar al-Sâlikîn Ilâ ‘Ibâdah Rabb al-‘Âlamîn. Kitab dalam bahasa Melayu ini
memberikan kontribusi yang cukup besar dalam perkembangan tasawuf di wilayah Nusantara. Dalam
pembukaan kitab yang tersusun dari empat jilid tersebut penulisnya mengatakan bahwa tujuan
ditulisnya kitab dengan bahasa Melayu ini agar orang-orang yang tidak dapat memahami bahasa Arab
di wilayah Nusantara dan sekitarnya dapat mengerti tasawuf, serta dapat mempraktekan ajaran-
ajarannya secara keseluruhan. Tokoh kita ini adalah Syaikh ‘Abd ash-Shamad al-Jawi al-Palimbani
yang hidup di sekitar akhir abad dua belas hijriah. Beliau adalah murid dari Syaikh Muhammad
Samman al-Madani; yang dikenal sebagai penjaga pintu makam Rasulullah.
Kitab Siyar al-Sâlikin sebenarnya merupakan “terjemahan” dari kitab Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, dengan
beberapa penyesuaian penjelasan. Hal ini menunjukan bahwa tasawuf yang diemban oleh Syaikh ‘Abd
ash-Shamad adalah tasawuf yang telah dirumuskan oleh Imam al-Ghazali. Dan ini berarti bahwa
orientasi tasawuf Syaikh ‘Abd al-Shamad yang diajarkannya tersebut benar-benar berlandaskan akidah
Ahlussunnah. Karena, seperti yang sudah kita kenal, Imam al-Ghazali adalah sosok yang sangat erat
memegang teguh ajaran Asy’ariyyah Syafi’iyyah.
Tentang sosok al-Ghazali, sudah lebih dari cukup untuk mengenal kapasitasnya dengan hanya melihat
karya-karya agungnya yang tersebar di hampir seluruh lembaga pendidikan Islam, baik formal maupun
non formal di berbagai pelosok Indonesia. Terutama bagi kalangan Nahdliyyin, al-Ghazali dengan
karyanya Ihyâ’ Ulûm al-Dîn adalah rujukan standar dalam menyelami tasawuf dan tarekat. Secara
“yuridis” hampir seluruh ajaran tasawuf terepresentasikan dalam karya al-Ghazali ini. Bagi kalangan
pondok pesantren, terutama pondok-pondok yang mengajarkan kitab-kitab klasik (Salafiyyah), bila
seorang santri sudah masuk dalam mengkaji Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn berarti ia sudah berada di “kelas
tinggi”. Karena sebenarnya di lingkungan pesantren kitab-kitab yang dikaji memiliki hirarki tersendiri.
Dan untuk menaiki hirarki-hirarki tersebut membutuhkan proses waktu yang cukup panjang, terlebih
bila ditambah dengan usaha mengaplikasikannya dalam tindakan-tindakan. Materi kitab yang dikaji
dan sejauh mana aplikasi hasil kajian tersebut dalam prilaku keseharian biasanya menjadi tolak ukur
untuk melihat “kelas-kelas” para santri tersebut.
•••
Wali songo yang tidak pernah kita lupakan; Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Giri,
Sunan Gresik, Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, dan Sunan Gunung Jati adalah sebagai
tokoh-tokoh terkemuka dalam sejarah penyebaran Islam di wilayah Nusantara. Tokoh-tokoh melegenda
ini hidup di sekitar pertengahan abad sembilan hijriah. Artinya Islam sudah bercokol di wilyah
Nusantara ini sejak sekitar 600 tahun lalu, bahkan mungkin sebelum itu. Sejarah mencatat bahwa para
pendakwah yang datang ke Indonesia berasal dari Gujarat India yang kebanyakan nenek moyang
mereka adalah berasal dari Hadlramaut Yaman. Negara Yaman saat itu, bahkan hingga sekarang,
adalah “gudang” al-Asyrâf atau al-Habâ’ib; ialah orang-orang yang memiliki garis keturunan dari
Rasulullah. Karena itu pula para wali songo yang tersebar di wilayah Nusantara memiliki garis
keturunan yang bersambung hingga Rasulullah.
Yaman adalah pusat kegiatan ilmiah yang telah melahirkan ratusan bahkan ribuan ulama sebagai
pewaris peninggalan Rasulullah. Kegiatan ilmiah di Yaman memusat di Hadlramaut. Berbeda dengan
Iran, Libanon, Siria, Yordania, dan beberapa wilayah di daratan Syam, negara Yaman dianggap
memiliki tradisi kuat dalam memegang teguh ajaran Ahlussunnah. Mayoritas orang-orang Islam di
negara ini dalam fikih bermadzhab Syafi’i dan dalam akidah bermadzhab Asy’ari. Bahkan hal ini
diungkapkan dengan jelas oleh para para tokoh terkemuka Hadlramaut sendiri dalam karya-karya
mereka. Salah satunya as-Sayyid al-Imam ‘Abdullah ibn ‘Alawi al-Haddad, penulis ratib al-Haddad,
dalam Risâlah al-Mu’âwanah mengatakan bahwa seluruh keturunan as-Sâdah al-Husainiyyîn atau yang
dikenal dengan Al Abi ‘Alawi adalah orang-orang Asy’ariyyah dalam akidah dan Syafi’iyyah dalam
fikih. Dan ajaran Asy’ariyyah Syafi’iyyah inilah yang disebarluaskan oleh moyang keturunan Al Abi
‘Alawi tersebut, yaitu al-Imâm al-Muhâjir as-Sayyid Ahmad ibn ‘Isa ibn Muhammad ibn ‘Ali ibn al-
Imâm Ja’far ash-Shadiq. Dan ajaran Asy’ariyyah Syafi’iyyah ini pula yang di kemudian hari di warisi
dan ditanamkan oleh wali songo di tanah Nusantara.
•••
Suatu hari wali songo berkumpul membahas hukuman yang pantas untuk dijatuhkan kepada Syaikh Siti
Jenar. Orang terakhir disebut ini adalah orang yang dianggap merusak tatanan akidah dan syari’ah. Ia
membawa dan menyebarkan akidah hulûl dan ittihâd dengan konsepnya yang dikenal dengan
“Manunggaling kawula gusti”. Konsep ajaran al-Hallaj tentang ittihâd dan hulûl hendak dihidupkan
oleh Syaikh Siti Jenar di kepulauan Jawa. Al-Hallaj dahulu di Baghdad dihukum pancung dengan
kesepakatan dan persetujuan para ulama, termasuk dengan rekomendasi al-Muqtadir Billah; sebagai
khalifah ketika itu. Kita tidak perlu mendiskusikan adakah unsur politis yang melatarbelakangi
hukuman pancung terhadap al-Hallaj ini atau tidak?! Secara sederhana saja, sejarah telah mencatatkan
bahwa yang membawa al-Hallaj ke hadapan pedang kematian adalah karena akidah hulûl dan ittihâd
yang dituduhkan kepadanya.
Setelah perundingan yang cukup panjang, wali songo memutuskan bahwa tidak ada hukuman yang
setimpal bagi kesesatan Syaikh Siti Jenar kecuali hukum bunuh, persis seperti yang telah dilakukan
oleh para ulama di Baghdad terhadap al-Hallaj. Di sini kita juga tidak perlu repot memperdebatkan
apakah latar belakang politis yang membawa Syaikh Siti Jenar kepada kematian?! Terlebih dengan
mencari kambing hitam dari para penguasa saat itu atau dari para wali songo sendiri yang “katanya”
merasa dikalahkan pengaruhnya oleh Syaikh Siti Jenar. Pernyataan semacam ini jelas terlalu dibuat-
buat, karena sama dengan berarti menyampingkan nilai-nilai yang telah diajarkan dan diperjuangkan
wali songo itu sendiri. Juga dapat pula berarti menilai bahwa keikhlasan-keikhlasan para wali songo
tersebut sebagai sesuatu yang tidak memiliki arti, atau istilah lain melihat mereka dengan pandangan
su’uzhan (berburuk sangka). Tentunya, jangan sampai kita terjebak di sini.
•••
Pasca wali songo, pada permulaan abad ke tiga belas hijriah, di salah satu kepulauan di wilayah
Nusantara lahir sosok ulama besar. Di kemudian hari tokoh kita ini sangat dihormati tidak hanya oleh
orang-orang Indonesia dan sekitarnya, tapi juga oleh orang-orang timur tengah, bahkan oleh dunia
Islam secara keseluruhan. Beliau menjadi guru besar di Masjid al-Haram dengan gelar “Sayyid
‘Ulamâ’ al-Hijâz”, juga dengan gelar “Imâm ‘Ulamâ’ al-Haramain”. Berbagai hasil karya yang lahir
dari tangannya sangat populer, terutama di kalangan pondok pesantren di Indonesia. Beberapa judul
kitab, seperti Kâsyifah al-Sajâ, Qâmi’ al-Thughyân, Nûr al-Zhalâm, Bahjah al-Wasâ’il, Mirqât Shu’ûd
al-Tashdîq, Nashâ’ih al-‘Ibâd, dan Kitab Tafsir al-Qur’an Marâh Labîd adalah sebagian kecil dari hasil
karyanya. Kitab-kitab ini dapat kita pastikan sangat akrab di lingkungan pondok pesantren. Santri yang
tidak mengenal kitab-kitab tersebut patut dipertanyakan “kesantriannya”.
Tokoh kita ini tidak lain adalah Syaikh Nawawi al-Bantani. Kampung Tanara, daerah pesisir pantai
yang cukup gersang di sebelah barat pulau Jawa adalah tanah kelahirannya. Beliau adalah keturunan
ke-12 dari garis keturunan yang bersambung kepada Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah) Cirebon.
Dengan demikian dari silsilah ayahnya, garis keturunan Syaikh Nawawi bersambung hingga
Rasulullah.
Perjalanan ilmiah yang beliau lakukan telah menempanya menjadi seorang ulama besar. Di Mekah
beliau berkumpul di “kampung Jawa” bersama para ulama besar yang juga berasal dari Nusantara, dan
belajar kepada yang lebih senior di antara mereka. Di antaranya kepada Syaikh Khathib Sambas (dari
Kalimantan) dan Syaikh ‘Abd al-Ghani (dari Bima NTB). Kepada para ulama Mekah terkemuka saat
itu, Syaikh Nawawi belajar di antaranya kepada as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan (mufti madzhab
Syafi’i), as-Sayyid Muhammad Syatha ad-Dimyathi, Syaikh ‘Abd al-Hamid ad-Dagestani, dan lainnya.
Dari didikan tangan Syaikh Nawawi di kemudian hari bermunculan syaikh-syaikh lain yang sangat
populer di Indonesia. Mereka tidak hanya sebagai tokoh ulama yang “pekerjaannya” bergelut dengan
pengajian saja, tapi juga merupakan tokoh-tokoh terdepan bagi perjuangan kemerdekaan RI. Di antara
mereka adalah; KH. Kholil Bangkalan (Madura), KH. Hasyim Asy’ari (pencetus gerakan sosial NU),
KH. Asnawi (Caringin Banten), KH. Tubagus Ahmad Bakri (Purwakarta Jawa Barat), KH. Najihun
(Tangerang), KH. Asnawi (Kudus) dan tokoh-tokoh lainnya.
Pada periode ini, ajaran Ahlussunnah; Asy’ariyyah Syafi’iyyah di Indonesia menjadi sangat kuat.
Demikian pula dengan penyebaran tasawuf yang secara praktis berafiliasi kepada Imam al-Ghazali dan
Imam al-Junaid al-Baghdadi, saat itu sangat populer dan mengakar di masyarakat Indonesia.
Penyebaran tasawuf pada periode ini diwarnai dengan banyaknya tarekat-tarekat yang “diburu” oleh
berbagai lapisan masyarakat. Dominasi murid-murid Syaikh Nawawi yang tersebar dari sebelah barat
hingga sebelah timur pulau Jawa memberikan pengaruh besar dalam penyebaran ajaran Ahlussunnah
Wal Jama’ah. Ajaran-ajaran di luar Ahlussunnah, seperti faham “non madzhab” (al-Lâ Madzhabiyyah)
dan akidah hulûl atau ittihâd serta keyakinan sekte-sekte sempalan Islam lainnya, memiliki ruang gerak
yang sangat sempit sekali.
•••
Di wilayah timur Nusantara ada kisah melegenda tentang seorang ulama besar, tepatnya dari wilayah
Makasar Sulawesi. Sosok ulama besar tersebut tidak lain adalah Syaikh Yusuf al-Makasari. Agama
Islam masuk ke wilayah ini pada sekitar permulaan abad sebelas hijriah. Dua kerajaan kembar;
kerajaan Goa dan kerajaan Talo yang dipimpin oleh dua orang kakak adik memiliki andil besar dalam
penyebaran dakwah Islam di wilayah tersebut. Saat itu banyak kerajaan-kerajaan kecil yang menerima
dengan lapang dada akan kebenaran ajaran-ajaran Islam. Tentu perkembangan dakwah ini juga
didukung oleh kondisi geografis wilayah Sulawesi yang sangat strategis. Di samping sebagai tempat
persinggahan para pedagang yang mengarungi lautan, daerah Sulawesi sendiri saat itu sebagai
penghasil berbagai komuditas, terutama rempah-rempah dan hasil bumi lainnya.

Di kemudian hari kelahiran Syaikh Yusuf menambah semarak keilmuan, terutama ajaran tasawuf
praktis yang cukup menjadi primadona masyarakat Sulawesi saat itu. Syaikh Yusuf sendiri di samping
seorang sufi terkemuka, juga seorang alim besar multi disipliner yang menguasai berbagai macam
disiplin ilmu agama. Latar belakang pendidikan Syaikh Yusuf menjadikannya sebagai sosok yang
sangat kompeten dalam berbagai bidang. Tercatat bahwa beliau tidak hanya belajar di daerahnya
sendiri, tapi juga banyak melakukan perjalanan (rihlah ‘ilmiyyah) ke berbagai kepulauan Nusantara,
dan bahkan sempat beberapa tahun tinggal di negara timur tengah hanya untuk memperdalam ilmu
agama.
Perjalanan ilmiah Syaikh Yusuf di kepulauan Nusantara di antaranya ke Banten dan bertemu dengan
Sultan ‘Abd al-Fattah (Sultan Ageng Tirtayasa), yang merupakan putra mahkota kerajaan Banten saat
itu. Dengan orang terakhir ini Syaikh Yusuf cukup akrab, bahkan dengannya bersama-sama
memperdalam ilmu agama. Selain ke Banten, Syaikh Yusuf juga berkunjung ke Aceh dan bertemu
dengan Syaikh Nuruddin ar-Raniri. Darinya, Syaikh Yusuf mendapatkan ijazah beberapa tarekat, di
antaranya tarekat al-Qadiriyyah. Walaupun sebagian ahli sejarah mempertanyakan kebenaran adanya
pertemuan antara Syaikh Yusuf dengan Syaikh Nuruddin ar-Raniri, namun hal penting yang dapat kita
tarik sebagai benang merah ialah bahwa jaringan tarekat saat itu sudah benar-benar merambah ke
berbagai kepulauan Nusantara. Dan bila benar bahwa Syaikh Yusuf pernah bertemu dengan Syaikh
Nuruddin al-Raniri serta mengambil tarekat darinya, maka dapat dipastikan bahwa ajaran-ajaran yang
disebarkan Syaikh Yusuf di bagian timur Nusantara adalah ajaran Ahlussunnah; dalam akidah madzhab
Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dan dalam fikih madzhab Imam Muhammad ibn Idris as-Syafi’i.
Kepastian bahwa Syaikh Yusuf seorang Sunni tulen juga dapat dilihat dari perjalanan ilmiah beliau
yang dilakukan ke Negara Yaman. Di negara ini Syaikh Yusuf belajar kepada tokoh-tokoh terkemuka
saat itu. Di negara ini pula Syaikh Yusuf mendapatkan berbagai ijazah tarekat mu’tabarah. Di
antaranya tarekat al-Naqsyabandiyyah, tarekat al-Syatariyyah, tarekat al-Sadah al-Ba’alawiyyah,
tarekat al-Khalwatiyyah dan lainnya.

Latar belakang keilmuan Syaikh Yusuf ini menjadikan penyebaran tasawuf di di wilayah Sulawesi
benar-benar dilandaskan kepada akidah Ahlussunnah. Ini dikuatkan pula dengan karya-karya yang
ditulis Syaikh Yusuf sendiri, bahwa orientasi karya-karya tersebut tidak lain adalah Syafi’iyyah
Asy’ariyyah. Kondisi ini sama sekali tidak memberikan ruang kepada akidah hulûl atau ittihâd untuk
masuk ke wilayah “kekuasaan” Syaikh Yusuf al-Makasari.
Source : ALLAHadaTANPAtempat
http://www.smadarulmuhajirin.com/readnews-29-sejarah-perkembangan-tasawuf-di-indonesia.html

data 2

Perkembangan Tarekat
30 11 2009
Perkembangan Tarekat di Indonesia
Pada awalnya, negara yang mempengaruhi berkembangnya tarekat di Indonesia adalah India (Gujarat),
dari sanalah Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani (w. 1630) dan Nuruddin ar-Raniri belajar
menimba ilmu dan mendapatkan ijazah serta menjadi khalifah. Namun pada abad-abad berikutnya,
beberapa tarekat besar masuk ke Indonesia melalui Makkah dan Madinah. Dengan cara ini pula Tarekat
Syattariyah yang berasal dari India berkembang di Makkah dan Madinah dan kemudian berpengaruh
luas di Indonesia.
Shufi Indonesia yang pertama kali menulis karangan tentang tarekat adalah Hamzah Fansuri. Dari
namanya saja kita tahu bahwa beliau berasal dari kota Fansur (sebutan orang Arab untuk kota Barus,
kota kecil di pantai barat Sumatra yang terletak antara Sibolga dan Singkel). Dalam tulisannya, ia
mengungkapkan gagasan nya melalui syair bercorak wihdatul-wujud yang cendrung kepada penafsiran
panteistik.
Dalam syairnya Hamzah juga bercerita tentang kunjungannya ke Makkah, al-Quds, Baghdad (disana ia
mengunjungi makam syekh ‘Abdul-Qadir al-Jilani) dan ke Ayuthia. Dalam syairnya juga ia mengaku
menerima ijazah Tarekat Qadiriyah di Baghdad bahkan diangkat menjadi khalifah dalam tarekat ini.
Dengan demikian jelaslah, bahwa Hamzah Fansuri (w 1590) adalah shufi pertama di Indonesia yang
diketahui secara pasti menganut Tarekat Qadiriyah.
Tarekat Qadiriyah adalah tarekat pertama yang masuk ke Indonesia. Di Jawa, pengaruh tarekat ini
banyak ditemui di daerah Cirebon dan Banten. Dan menurut cerita rakyat setempat, Syaikh ‘Abdul-
Qadir al-Jilani pernah datang ke Jawa, bahkan mereka dapat menunjukkan letak kuburannya. Indikasi
lain tentang pengaruh Tarekat Qadiriyah di Banten adalah, adanya pembacaan kitab manaqib syekh
‘Abdul-Qadir al-Jilani pada acara-acara tertentu di kehidupan beragama masyarakat disana.
Pendiri Tarekat Syadziliyyah adalah syekh Ali bin Abdullah bin Abdul-Jabbar Abul Hasan as-Syadzili
(w. 1258). Silsilah keturunannya bergaris sampai kepada saidina Hasan bin Ali bin Abi Thalib ra.
Beliau
sendiri pernah menulis silsilah keturunannya sebagai berikut : Syekh Ali bin Abdullah bin Abdul
Jabbar bin Yusuf bin Ward bin Batthol bin Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Hasan bin Ali bin Abi
Thalib ra. Amalan utama dari tarekat ini pun masih dapat dirasakan hingga saat ini yaitu hizbul-bahr
yang diyakini sangat memberi pengaruh yang kuat bagi pengamalnya. Tokoh tarekat Syadziliyah yang
terkenal antara lain Ibnu ‘Athoillah as-Sakandari, dan ‘Abdul-Wahhab as-Sya’rani.
Shufi lain yang juga terkenal di Indonesia adalah Syamsuddin (w.1630), murid Hamzah Fansuri yang
banyak menulis kitab dalam bahasa Arab dan Melayu. Dia perumus pertama ajaran martabat tujuh di
nusantara serta metode pengaturan nafas pada saat ber-dzikir ( yang dianggap sebagai pengaruh yoga
pranayama dari India ). Ajaran martabat tujuh merupakan adaptasi dari teori emanasi Ibnul-‘Arabi
yang sangat populer di Indonesia. Ajaran ini berasal dari seorang ulama besar asal Gujarat bernama
Muhammad bin Fadhlullah Burhanpuri pengarang kitab at-Tuhfatul-Mursalah ilaa Ruuhin-Nabi. Tapi
Nuruddin ar-Raniri dalam kitabnya Hujjatus-Shiddiq li daf’iz-Zindiq menganggap, bahwa ajaran
martabat tujuh Syamsuddin termasuk ajaran wihdatul wujud yang dianggap menyimpang.
Syamsudin sendiri berafiliasi dengan Tarekat Syattariyah seperti halnya Burhanpuri, bahkan Tarekat
Syattariyah menjadi sangat populer di Indonesia sesudah wafatnya. Tidak diketahui secara jelas kapan
tahun kelahirannya, tetapi dalam kitab Bustanus-Salatin karya Nuruddin, Syamsuddin wafat tahun
1039 H (1630 M).
Shufi selanjutnya adalah Nuruddin ar-Raniri. Nama lengkapnya adalah Nuruddin bin Ali bin Hasanji
bin Muhammad Hamid ar-Raniry, berasal dari keluarga Arab Ranir Gujarat. wafat tahun 1068/1658.
Ibunya orang Melayu, ayahnya imigran dari Hadromaut. Ar-Raniry pernah menjabat Syaikhul-Islam
atau mufri di kerajaan Aceh pada pemerintahan Sultan Iskandar Tsani dan Sultanah Shofiatud-Din.
Ar-Raniri menetap di Aceh selama tujuh tahun (1637 – 1644) sebagai mufti dan penulis produktif yang
menentang doktrin wihdatul wujud. Ia mengeluarkan fatwa untuk memburu orang yang dianggap sesat,
membunuh orang yang menolak bertobat dari kesesatan, serta membakar buku-buku yang berisi ajaran
sesat. Pada tahun 1054/1644 ar-Raniry meninggalkan Aceh kembali ke Ranir karena mendapatkan
serangan balik dari lawan-lawan polemiknya, yaitu murid-murid Syamsuddin yang dituduh menganut
paham Panteisme. Sebagai seorang shufi, ar-Raniry juga memiliki banyak keahlian, ia menguasai ilmu
teologi, fiqh, hadits, sejarah, perbandingan agama, dan politik. Dalam ber-tarekat, ia mengamalkan
Tarekat Rifa’iyah dan menyebarkan ajaran tarekat ini ke wilayah Melayu, selain itu ia juga menganut
tarekat Aydrusiyah dan Qadiriyah. Ia banyak menulis kitab tentang ilmu kalam dan tasawuf, menganut
aliran tauhid Asy’ariyah, dan paham wihdatul-wujud yang lebih sedikit moderat.
Ar-Raniry tercatat sebagai tokoh shufi terakhir yang membawa pengaruh bagi semua tarekat yang
berkembang di Indonesia dan berasal langsung dari India. Sepeninggalnya, cabang-cabang tarekat dari
India berkembang dulu di Makkah-Madinah, kemudian di bawa ke Indonesia, diantaranya adalah
Tarekat Syattariyah yang dibawa oleh murid utamanya, syekh Abdul Rauf Singkel.
Syekh Abdul Rauf belajar di Makkah selama 19 tahun dengan guru-guru tarekat, diantaranya adalah
syekh al-Qusyasyi, Ibrahim al-Kurani, serta puteranya syekh Muhammad Thahir di Madinah.
Sekembalinya dari Makkah tahun 1661, ia menjadi ahli fiqh terkenal di Aceh dan seorang shufi yang
menyeimbangkan pandangan para pendahulunya dalam mengajarkan zikir dan wirid tarekat
Syattariyah. Muridnya menyebarkan tarekat ini ke Sumatera Barat melalui syekh Burhanuddin Ulakan,
serta ke Jawa melalui syekh Muhyidin dari Pemijahan yang sampai sekarang ajarannya masih
diamalkan di sana.
Al-Qusyasyi (w. 1660) dan al-Kurani (w. 1691) mewakili perpaduan antara tradisi intelektual shufi
India dengan Mesir. Keduanya adalah pewaris syekh Zakariya al-Anshori dan ‘Abdul-Wahab as-
Sya’rani dalam bidang fiqh dan tasawuf, sekaligus menjadi pengikut sejumlah tarekat di India, yang
paling berpengaruh adalah Tarekat Syattariyah dan Naqsyabandiyah. Kedua tarekat ini pada mulanya
diperkenalkan di Madinah oleh seorang Syaikh India bernama Sibghatullah pada tahun 1605.
Di antara kedua tarekat yang diajarkan, ternyata Tarekat Syattariyah banyak diminati oleh murid-murid
dari Indonesia, padahal di Timur Tengah sendiri, kedua syaikh ini lebih dikenal orang sebagai penganut
Tarekat Naqsyabandiyah. Keduanya merupakan ulama paling terkenal di kalangan murid yang berasal
dari Indonesia. Dan selama beberapa generasi, murid-murid dari Indonesia belajar kepada pengganti al-
Kurani dan berbaiat menjadi pengikut Tarekat Syattariyah, karena tarekat ini relatif lebih mudah jika
dipadu dengan berbagai tradisi nusantara, sehingga menjadi tarekat yang paling “mem-bumi”, terlebih
lagi ajaran martabat tujuh yang menjadi bagian dari kepercayaan populer orang Jawa.
Ulama lain yang sezaman dengan syekh Abdul Rauf adalah syekh Yusuf al-Makasari (1626 – 1699)
penulis kitab ar-Risalah an-Naqsyabandiyah. Kitab ini memberi kesan bahwa syekh Yusuf benar-benar
mengajarkan tarekat ini di Makasar. Kitab ini berisi antara lain tentang tekhnik meditasi dalam
berdzikir. Syekh Yusuf mempelajari Tarekat Naqsyabandiyah di Yaman melalui Syaikh Muhammad
Abdul Baqi, kemudian berguru lagi kepada syekh Ibrahim al-Kurani tokoh Naqsyabandi di Madinah.
( walaupun al-Kurani di Indonesia lebih dikenal sebagai syaikh Tarekat Syattariyah yang mengirim
Abdul Rauf Singkel sebagai khalifah untuk menyebarkan Tarekat Syattariyah di Indonesia ).
Selanjutnya di Damaskus, ia berguru lagi dan berbaiat menjadi khalifah Tarekat Khalwatiyah dan
mendapat izin ijazah untuk mengajarkan tarekat ini. Barangkali beliau-lah orang pertama yang
memperkenalkan Tarekat Khalwatiyah di Indonesia. Di Sulawesi tarekat ini disebarkan oleh salah
seorang muridnya yang bernama Abdul Basir ad-Dharir al-Khalwati yang lebih terkenal dengan nama
Tuang Rappang I Wodi.
Dalam pengembaraan ilmiahnya, syaikh Yusuf al-Makassari banyak memperoleh ijazah dari sejumlah
tarekat, di antaranya adalah Tarekat Naqsyabandiyah, Qadiriyah, Syattariyah, Ba’alawiyah,
Khalwatiyah, juga pernah menjadi pengikut Tarekat Dasuqiyah, Syadziliyah, Chistiyah, ‘Aydrusiyah,
Ahmadiyah, Kubrawiyah dan beberapa tarekat lainnya. Ketika pulang ke Indonesia tahun 1670 dia
mengajarkan ajaran spiritual, yang ternyata merupakan gabungan antara teknik spiritual Khalwatiyah
dengan berbagai tekhnik dari tarekat-tarekat lainnya. Dan tarekat ini sekarang mengakar dan banyak
diamalkan orang di Sulawesi Selatan, terutama di kalangan para bangsawan Makasar.
Abad berikutnya, orang orang Indonesia yang bermukim di Arab tertarik dengan ajaran syekh
Muhammad bin Abdul Karim as-Samman (w. 1775) ulama Madinah, Tarekat Sammaniyah merupakan
gabungan dari tarekat Khalwatiyah, Qadiriyah, Naqsyabandiyah dan Syadziliyah. Syekh Muhammad
Samman mengembangkan cara berzikir baru yang ekstatik dan menyusun sebuah ratib (doa-doa)
sendiri. Secara formal tarekat ini merupakan salah satu cabang dari Tarekat Khalwatiyah, karena
silsilah syekh Samman hanya melalui gurunya yaitu syekh Musthafa al-Bakri, pengamal tarekat
Kholwatiyah, Walaupun demikian ia telah menjadi sebuah tarekat tersendiri dengan zawiyah sendiri
dan dengan pengikut lokal ketika syaikh-nya masih hidup. Murid syekh Samman yang paling terkenal
adalah syekh Abdus Shomad al-Palimbani, pengarang sejumlah kitab-kitab penting berbahasa Melayu.
Beberapa ulama di Palembang berafiliasi dengan tarekat ini, sehingga tarekat ini mendapat kedudukan
yang kokoh di kesultanan Palembang, bahkan Sultan Palembang telah menyediakan sejumlah dana
yang cukup besar untuk membangun zawiyah syekh Samman di Jeddah. Sesudah syaikh Samman
wafat, orang-orang Indonesia yang bermukim di Arab, belajar tarekat ini dari khalifahnya yang
bernama Shiddiq bin Umar Khan. Ulama Indonesia yang menyebarkan tarekat ini adalah syekh Nafis
al-Banjari dengan karyanya ad-Durrun-Nafis dalam bahasa Melayu, ia menyebarluaskan tarekat ini di
Kalimantan. Syekh Nafis al-Banjari juga mengamalkan berbagai tarekat, seperti Tarekat Qadiriyah,
Syattariyah, Naqsyabandiyah, Khalwatiyah dan Sammaniyah.
Tarekat Tijaniyyah didirikan oleh Syaikh Ahmad bin Muhammad at-Tijani (1150 – 1230 H/ 1737 –
1815 M) yang lahir di ‘Ainu Madi, Aljazair Selatan, dan meninggal di Fez, Maroko, dalam usia 80
tahun. Perkembangan yang cukup pesat dari tarekat ini ternyata mampu menyaingi otoritas
Utsmaniyyah, sehingga syekh Ahmad dan para pengikutnya dipaksa meninggalkan Aljazair. Syekh
Ahmad at-Tijani pindah ke Fez pada tahun 1798, dan hidup disana hingga beliau wafat. Ketika bangkit
gerakan Wahhabiyah yang memusuhi kaum shufi dan membenci pengamal tarekat yang cendrung
menjauhi dunia dan suka melestarikan tradisi penghormatan terhadap makam syaik-syaikh mereka,
tarekat Tijaniyyah justru berkembang pesat. Bahkan perkembangan tarekat ini semakin pesat terutama
setelah mendapat dukungan dari raja Maroko, Maula Sulaiman yang berkepentingan mendekati syekh
Ahmad untuk menghadapi pesaingnya dari zawiyah para syarif yang dinilai dapat merongrong
kekuasaannya.
Tarekat Tijaniyyah masuk ke Indonesia pada tahun 20-an, dan banyak mendapatkan pengikut terutama
di pulau Jawa dan Madura. Pengikut tarekat Tijaniyah berkeyakinan, bahwa tarekat Tijaniyah adalah
tarekat yang terbaik, karena memiliki keunggulan dan keutamaan yang tidak dimiliki oleh tarekat-
tarekat lainnya. Tentang keistimewaan dan keunggulan tarekat ini, nanti akan kami jelaskan secara
terperinci di dalam buku ini.
Di Sulawesi Selatan, tarekat Sammaniyah bertemu dengan Tarekat Khalwatiyah. Keduanya bersaing
dan saling mempengaruhi sehingga pada akhirnya bergabung menjadi tarekat Khalwatiyah
Sammaniyah. Tarekat ini berkembang sedikit berbeda dengan ritual tarekat Sammaniyah lainnya di
nusantara, dan keanggotaannya terbatas pada kelompok etnis Bugis saja.
Qadiriyah wa Naqsyabandiyah merupakan tarekat gabungan serupa dengan Sammaniyah, yakni teknik
spiritual Tarekat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah menjadi unsur utama yang ditambah dengan unsur-
unsur tarekat lain. Tarekat ini merupakan satu-satunya tarekat yang didirikan oleh ulama asli Indonesia
syekh Ahmad Khatib Sambas (Kalimantan Barat) yang lama belajar di Makkah dan sangat dihormati.
Ia ahli dalam bidang fiqh, konsep ketuhanan dan amalan-amalan shufi. Ia mempunyai banyak pengikut
dan menjadi guru Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah sebagai tarekat paling populer di Indonesia.
Ketika ia wafat tahun 1873, khalifahnya syekh Abdul Karim dari Banten menggantikannya sebagai
syaikh tarekat ini. Dua orang khalifah utama lainnya adalah Kiyai Tolhah dari Cirebon dan Kiyai
Ahmad Hasbullah dari Madura.
Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah merupakan salah satu dari dua tarekat yang memiliki jumlah
pengikut terbesar di seluruh Indonesia. Tarekat lainnya adalah Naqsyabandiyah Kholidiyah yang
tersebar berkat zawiyah yang didirikan oleh syekh Abdullah al-Arzinjani di Jabal Abu Qubais Makkah.
Para penggantinya, yaitu Sulaiman al-Qarimi, Sulaiman al-Zuhdi dan Ali Ridho menyebarkan
tarekatnya kepada orang-orang Indonesia yang mengunjungi Makkah dan Madinah dalam jumlah yang
lebih besar lagi selama abad ke-19. Ribuan orang dibaiat menjadi pengikut tarekat ini dan menjalani
latihan berkhalwat di zawiyah tersebut. Di tempat ini pula puluhan orang Indonesia menerima ijazah
untuk mengajarkan tarekat ini di kampung halamannya masing-masing.
Tarekat Chisytiyah, sebuah tarekat kelahiran India, yang didirikan oleh syaikh Mu’inad-Din Chisyti (w.
1236). Awalnya, tarekat ini berideologi Sunni, (walaupun akhir-akhir ini banyak diamalkan oleh kaum
Syiah). Hal ini terbukti bahwa para pengikut tarekat Chisyti di India menjadikan kitab ‘Awariful-
Ma’arif karya syaikh Syihabuddin Abu Hafs Umar Suhrawardi sebagai kitab pegangan mereka. Kitab
itu menjadi dasar bagi para guru tarekat Chisytiyah dalam mengajar murid-muridnya. Selain itu, kitab
Khasyful-Mahjub karya al-Hujwiri juga sangat populer digunakan oleh kaum Chisti. Bahkan Syaikh
Nizomuddin Auliya pernah berkata : “Seorang salik yang tidak memiliki referensi spiritual, maka kitab
Kasyful-Mahjub sudah cukup baginya untuk dijadikan pegangan”.
Tarekat Mawlawiyah kelahiran Turki ini dikenal luas, baik di negeri Muslim maupun di Barat,
terutama melalui ‘whirling darvish’ nya. Dengan ‘matsnawi’-nya, Maulana Jalaluddin Rumi (w.
1273) menjadikan puisi-puisi karangannya sebagai salah satu pusat inspirasi spiritual. Orientalis yang
sangat berjasa dalam memperkenalkan tarekat Rumi ke dunia Barat adalah Reynold A. Nicholson yang
bukan hanya meng-edit secara kritis semua naskah matsnawi, tetapi juga menerjemahkan seluruh
naskah tersebut (sebanyak 6 jilid) ke dalam bahasa Inggris. Dia juga telah menerjemahkan kitab Divani
Syam-i Tabriz. Sedangkan karya Rumi yang lain Fihi Ma Fihi telah diterjemahkan oleh Arberry dengan
judul Discourse of Rumi. Tokoh lain yang sangat berjasa dalam memperkenalkan Rumi ke dunia Barat
adalah Prof. Annemarie Schimmel (w. 2003), yang telah menulis dengan penuh penghargaan dan
kebanggaan tentang karya-karya Rumi, seperti I am Wind You Are Fire, The Life and Work of Rumi,
dan The Triumphal Sun, A Study of The Works of Jalaludin Rumi.
Tarekat Ni’matullohi, tarekat kelahiran Iran yang telah populer, baik di tanah kelahirannya maupun di
dunia Barat. Tokoh tarekat ini adalah Javad Nurbakhsy yang cukup produktif menulis karya-karyanya.
Saat ini, tarekat Ni’matullah mempunyai banyak pengikut di Amerika Serikat, Eropa, dan khususnya di
Persia (Iran). Dalam ajarannya, tarekat ini lebih menekankan persaudaraan dan kesetaraan seluruh umat
manusia, penghormatan tanpa prasangka buruk, juga pengabdian dan cinta kasih kepada sesama
manusia tanpa mempedulikan perbedaan keyakinan, budaya, dan kebangsaan. Dalam tarekat ini,
praktik tasawuf bertujuan menciptakan kepribadian lahiriah yang sangat etis, dan membimbing hati
untuk menghimpun berbagai kwalitas dan keutamaan. Ajaran tasawuf harus bertujuan membidik
realitas muslim agar dapat dibangkitkan perasaan cinta kasihnya, sehingga mampu menyatukan para
pemeluk dari pelbagai agama dan keyakinan. Dengan energi tasawuf inilah, segala perbedaan dan
perselisihan sektarian harus dihilangkan, karena seorang shufi harus mengarahkan perhatiannya hanya
kepada wilayah keesaan Ilahi (tauhid), sehingga setiap orang merasa sama dalam persaudaraan
kemanusiaan.
Terakhir, tarekat Sanusiyah didirikan oleh Muhammad bin ‘Ali as-Sanusi (1787 – 1859), pengarang
kitab as-Salsabil ul-Ma’in fit-Tharo’iqil-Arba’in dan al-Masa’ilul-‘Anshar. Melalui kitab ini sejumlah
tarekat mu’tabaroh disebut dan dijelaskan. Kedua kitab ini termasuk bahan rujukan yang digunakan
oleh Jam’iyah Ahlith-Thoriqoh Mu’tabaroh An-Nahdliyyah. Syekh as-Sanusi telah mendirikan sebuah
zawiyah di Abu Qubais Makkah, tapi beliau terpaksa meninggalkan Makkah pada tahun 1840 dan
kemudian tinggal di sebuah bukit yang bernama Jabal Akhdar di daerah Curenaica.
Demikianlah sekilas tentang perkembangan sebagian ajaran tarekat yang masuk ke Indonesia, di
samping tarekat-tarekat lain yang tidak kami sebutkan, disebabkan kurang berkembang dan tentunya
kurang banyak diminati oleh orang.
Wallohu a’lam bis showaab.
http://4binajwa.wordpress.com/category/1/

A. DEFINISI TASAWUF
22 04 2009
Tasawuf secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha untuk menyucikan hati sesuci mungkin
dengan usaha mendekatkan diri kepada Allah, sehingga kehadiran-Nya senantiasa dirasakan
secara sadar dalam kehidupan. Ibnu Khaldun pernah menyatakan bahwa tasawuf para sahabat
bukanlah pola ketasawufan yang menghendaki kasyful-hijab (tersingkapnya tabir antara Tuhan
dengan makhluk) atau hal-hal sejenisnya yang diburu oleh para sufi di masa sesudahnya. Corak
sufisme yang mereka tunjukkan adalah ittiba’ dan iqtida’ (kesetiaan meneladani) perilaku hidup
Nabi. Beliau mengajarkan tentang ketakwaan, qana’ah, keutamaan akhlak dan juga keadilan, dan
tidak pernah mengajarkan hidup kerahiban, pertapaan atau uzlah sebagai mana dilakukan oleh
agama sebelumnya.
a. Secara Etimologi (Bahasa)
1. Tasawuf berasal dari kata Shuffah, yaitu sebutan bagi orang – orang yang hidup di sebuah
gubuk yang dibangun oleh Rasulullah SAW. di sekitar Masjid Madinah, mereka ikut nabi saat
hijrah dari Mekah ke Madinah. Mereka hijrah dengan meninggalkan harta benda, mereka hidup
miskin, mereka bertawakal (berserah diri) dan mengabdikan hidupnya untuk beribadah kepada
Allah SWT. Mereka tinggal di sekitar masjid nabi dan tidur diatas bangku yang terbuat dari batu
dan berbantalkan pelana kuda yang disebut suffah. Mereka Ahlus-Suffah walaupun miskin, tapi
berhati dan berakhlak mulia, ini merupakan sebagian dari sifat-sifat kaum sufi.
2. Tasawuf juga berasal dari kata Shafa’ (suci bersih), yaitu sekelompok orang yang berusaha
menyucikan hati dan jiwanya karena Allah. Sufi berarti orang – orang yang hati dan jiwanya suci
bersih dan disinari cahaya hikmah, tauhid, dan hatinya terus bersatu dengan Allah SWT.
3. Tasawuf juga berasal dari kata shuf (pakaian dari bulu domba atau wol). Mereka di sebut sufi
karena memakai kain yang terbuat dari bulu domba. Pakaian yang menjadi ciri khas kaum sufi,
bulu domba atau wol saat itu bukanlah wol lembut seperti sekarang melainkan wol yang sangat
kasar, itulah lambang dari kesederhanaan. Berbeda dengan orang-orang kaya saat itu yang
kebanyakan memakai kain sutra.
b. Secara Teminologi (isthilah)
Imam Junaidi al-Baghdadi berpendapat : “Tasawuf adalah membersihkan hati dari yang
selain Allah, berjuang memadamkan semua ajakan yang berasal dari hawa nafsu, mementingkan
kehidupan yang lebih kekal, menyebarkan nasihat kepada umat manusia, dan mengikuti contoh
Rasulullah SAW dalam segala hal.
Dari segi bahasa dan istilah, kita dapat memahami bahwa tasawuf adalah sikap mental yang
selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan umat
manusia dan selalu bersikap bijak sana. Dengan cara ini akan mudah bagi manusia menghiasi
jiwanya dengan sifat-sifat yang mulia, ber-taqarrub dan ber-musyahadah dengan Allah SWT.
Hukum mempelajari ilmu tasawuf adalah fardhu ‘ain bagi setiap mukallaf. Sebab apabila
mempelajari semua ilmu yang dapat memperbaiki dan memperbagus lahiriyah menjadi wajib,
maka demikian juga halnya mempelajari semua ilmu yang akan memperbaiki dan memperbagus
batiniyah manusia.
Karena fungsi ilmu tasawuf adalah untuk mensucikan batin agar dalam ber-musyahadah dengan
Allah semakin kuat, maka kedudukan ilmu tasawuf diantara ajaran Islam merupakan induk dari
semua ilmu. Hubungan tasawuf dengan aspek batin manusia, adalah seperti hubungan Fiqh
dengan aspek lahiriyah manusia. Para ulama penegak pilar-pilar ilmu tasawuf telah menciptakan
istilah-istilah untuk memudahkan jalan bagi mereka yang ingin menapaki ilmu tasawuf yang
sesuai dengan kedudukannya sebagai pem bersih dan pensuci hati dan jiwa.
Adapun tasawuf yang berkembang pada masa berikutnya sebagai suatu aliran (mazhab), maka
sejauh hal itu tidak bertentangan dengan Islam dapat dikatakan positif (ijabi). Tetapi apabila telah
keluar dari prinsip-prinsip keislaman maka tasawuf tersebut menjadi mazhab yang negatif (salbi).
Tasawuf ijabi mempunyai dua corak : (1) tasawuf salafi, yakni membatasi diri pada dalil-dalil naqli
atau atsar al-Qur’an dan Hadits. (2) tasawuf sunni, yakni memasukkan penalaran-penalaran yang
rasional ke dalam pemahaman dan pengamalannya. Adapun perbedaan yang mendasar antara
tasawuf salafi dengan tasawuf sunni terletak pada takwil. Salafi menolak adanya takwil,
sementara sunni menerima takwil rasional sejauh masih berada dalam kerangka syari’ah.
Sedangkan tasawuf salbi atau disebut juga tasawuf falsafi adalah tasawuf yang telah terpengaruh
oleh faham-faham spiritual dari bangsa Timur maupun Barat.
Adapun lahirnya ilmu tasawuf didorong dan disebabkan oleh beberapa factor:
1. Reaksi atas kecenderungan hidup hedonis yang mengumbar syahwat, serta cendrung
mementingkan nilai-nilai kebendaan,
2. Perkembangan teologi yang cenderung mengedepankan rasio yang kering dari aspek moral-
spiritual,
3. Katalisator yang sejuk dari realitas umat yang secara politis maupun teologis didominasi oleh
nalar kekerasan, penipuan dan memperturutkan hawa nafsu.
Oleh sebab itu, sebagian besar ulama sufi memilih menarik diri dari pergulatan
kepentingan politik yang mengatasnamakan agama dengan praktek-praktek yang penuh dengan
tipu daya bahkan banyak menimbulkan pertumpahan darah. ( Bersambung )

A. DEFINISI TASAWUF
22 04 2009
Tasawuf secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha untuk menyucikan hati sesuci mungkin
dengan usaha mendekatkan diri kepada Allah, sehingga kehadiran-Nya senantiasa dirasakan
secara sadar dalam kehidupan. Ibnu Khaldun pernah menyatakan bahwa tasawuf para sahabat
bukanlah pola ketasawufan yang menghendaki kasyful-hijab (tersingkapnya tabir antara Tuhan
dengan makhluk) atau hal-hal sejenisnya yang diburu oleh para sufi di masa sesudahnya. Corak
sufisme yang mereka tunjukkan adalah ittiba’ dan iqtida’ (kesetiaan meneladani) perilaku hidup
Nabi. Beliau mengajarkan tentang ketakwaan, qana’ah, keutamaan akhlak dan juga keadilan, dan
tidak pernah mengajarkan hidup kerahiban, pertapaan atau uzlah sebagai mana dilakukan oleh
agama sebelumnya.
a. Secara Etimologi (Bahasa)
1. Tasawuf berasal dari kata Shuffah, yaitu sebutan bagi orang – orang yang hidup di sebuah
gubuk yang dibangun oleh Rasulullah SAW. di sekitar Masjid Madinah, mereka ikut nabi saat
hijrah dari Mekah ke Madinah. Mereka hijrah dengan meninggalkan harta benda, mereka hidup
miskin, mereka bertawakal (berserah diri) dan mengabdikan hidupnya untuk beribadah kepada
Allah SWT. Mereka tinggal di sekitar masjid nabi dan tidur diatas bangku yang terbuat dari batu
dan berbantalkan pelana kuda yang disebut suffah. Mereka Ahlus-Suffah walaupun miskin, tapi
berhati dan berakhlak mulia, ini merupakan sebagian dari sifat-sifat kaum sufi.
2. Tasawuf juga berasal dari kata Shafa’ (suci bersih), yaitu sekelompok orang yang berusaha
menyucikan hati dan jiwanya karena Allah. Sufi berarti orang – orang yang hati dan jiwanya suci
bersih dan disinari cahaya hikmah, tauhid, dan hatinya terus bersatu dengan Allah SWT.
3. Tasawuf juga berasal dari kata shuf (pakaian dari bulu domba atau wol). Mereka di sebut sufi
karena memakai kain yang terbuat dari bulu domba. Pakaian yang menjadi ciri khas kaum sufi,
bulu domba atau wol saat itu bukanlah wol lembut seperti sekarang melainkan wol yang sangat
kasar, itulah lambang dari kesederhanaan. Berbeda dengan orang-orang kaya saat itu yang
kebanyakan memakai kain sutra.
b. Secara Teminologi (isthilah)
Imam Junaidi al-Baghdadi berpendapat : “Tasawuf adalah membersihkan hati dari yang
selain Allah, berjuang memadamkan semua ajakan yang berasal dari hawa nafsu, mementingkan
kehidupan yang lebih kekal, menyebarkan nasihat kepada umat manusia, dan mengikuti contoh
Rasulullah SAW dalam segala hal.
Dari segi bahasa dan istilah, kita dapat memahami bahwa tasawuf adalah sikap mental yang
selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan umat
manusia dan selalu bersikap bijak sana. Dengan cara ini akan mudah bagi manusia menghiasi
jiwanya dengan sifat-sifat yang mulia, ber-taqarrub dan ber-musyahadah dengan Allah SWT.
Hukum mempelajari ilmu tasawuf adalah fardhu ‘ain bagi setiap mukallaf. Sebab apabila
mempelajari semua ilmu yang dapat memperbaiki dan memperbagus lahiriyah menjadi wajib,
maka demikian juga halnya mempelajari semua ilmu yang akan memperbaiki dan memperbagus
batiniyah manusia.
Karena fungsi ilmu tasawuf adalah untuk mensucikan batin agar dalam ber-musyahadah dengan
Allah semakin kuat, maka kedudukan ilmu tasawuf diantara ajaran Islam merupakan induk dari
semua ilmu. Hubungan tasawuf dengan aspek batin manusia, adalah seperti hubungan Fiqh
dengan aspek lahiriyah manusia. Para ulama penegak pilar-pilar ilmu tasawuf telah menciptakan
istilah-istilah untuk memudahkan jalan bagi mereka yang ingin menapaki ilmu tasawuf yang
sesuai dengan kedudukannya sebagai pem bersih dan pensuci hati dan jiwa.
Adapun tasawuf yang berkembang pada masa berikutnya sebagai suatu aliran (mazhab), maka
sejauh hal itu tidak bertentangan dengan Islam dapat dikatakan positif (ijabi). Tetapi apabila telah
keluar dari prinsip-prinsip keislaman maka tasawuf tersebut menjadi mazhab yang negatif (salbi).
Tasawuf ijabi mempunyai dua corak : (1) tasawuf salafi, yakni membatasi diri pada dalil-dalil naqli
atau atsar al-Qur’an dan Hadits. (2) tasawuf sunni, yakni memasukkan penalaran-penalaran yang
rasional ke dalam pemahaman dan pengamalannya. Adapun perbedaan yang mendasar antara
tasawuf salafi dengan tasawuf sunni terletak pada takwil. Salafi menolak adanya takwil,
sementara sunni menerima takwil rasional sejauh masih berada dalam kerangka syari’ah.
Sedangkan tasawuf salbi atau disebut juga tasawuf falsafi adalah tasawuf yang telah terpengaruh
oleh faham-faham spiritual dari bangsa Timur maupun Barat.
Adapun lahirnya ilmu tasawuf didorong dan disebabkan oleh beberapa factor:
1. Reaksi atas kecenderungan hidup hedonis yang mengumbar syahwat, serta cendrung
mementingkan nilai-nilai kebendaan,
2. Perkembangan teologi yang cenderung mengedepankan rasio yang kering dari aspek moral-
spiritual,
3. Katalisator yang sejuk dari realitas umat yang secara politis maupun teologis didominasi oleh
nalar kekerasan, penipuan dan memperturutkan hawa nafsu.
Oleh sebab itu, sebagian besar ulama sufi memilih menarik diri dari pergulatan
kepentingan politik yang mengatasnamakan agama dengan praktek-praktek yang penuh dengan
tipu daya bahkan banyak menimbulkan pertumpahan darah. ( Bersambung )

A. DEFINISI TASAWUF
22 04 2009
Tasawuf secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha untuk menyucikan hati sesuci mungkin
dengan usaha mendekatkan diri kepada Allah, sehingga kehadiran-Nya senantiasa dirasakan
secara sadar dalam kehidupan. Ibnu Khaldun pernah menyatakan bahwa tasawuf para sahabat
bukanlah pola ketasawufan yang menghendaki kasyful-hijab (tersingkapnya tabir antara Tuhan
dengan makhluk) atau hal-hal sejenisnya yang diburu oleh para sufi di masa sesudahnya. Corak
sufisme yang mereka tunjukkan adalah ittiba’ dan iqtida’ (kesetiaan meneladani) perilaku hidup
Nabi. Beliau mengajarkan tentang ketakwaan, qana’ah, keutamaan akhlak dan juga keadilan, dan
tidak pernah mengajarkan hidup kerahiban, pertapaan atau uzlah sebagai mana dilakukan oleh
agama sebelumnya.
a. Secara Etimologi (Bahasa)
1. Tasawuf berasal dari kata Shuffah, yaitu sebutan bagi orang – orang yang hidup di sebuah
gubuk yang dibangun oleh Rasulullah SAW. di sekitar Masjid Madinah, mereka ikut nabi saat
hijrah dari Mekah ke Madinah. Mereka hijrah dengan meninggalkan harta benda, mereka hidup
miskin, mereka bertawakal (berserah diri) dan mengabdikan hidupnya untuk beribadah kepada
Allah SWT. Mereka tinggal di sekitar masjid nabi dan tidur diatas bangku yang terbuat dari batu
dan berbantalkan pelana kuda yang disebut suffah. Mereka Ahlus-Suffah walaupun miskin, tapi
berhati dan berakhlak mulia, ini merupakan sebagian dari sifat-sifat kaum sufi.
2. Tasawuf juga berasal dari kata Shafa’ (suci bersih), yaitu sekelompok orang yang berusaha
menyucikan hati dan jiwanya karena Allah. Sufi berarti orang – orang yang hati dan jiwanya suci
bersih dan disinari cahaya hikmah, tauhid, dan hatinya terus bersatu dengan Allah SWT.
3. Tasawuf juga berasal dari kata shuf (pakaian dari bulu domba atau wol). Mereka di sebut sufi
karena memakai kain yang terbuat dari bulu domba. Pakaian yang menjadi ciri khas kaum sufi,
bulu domba atau wol saat itu bukanlah wol lembut seperti sekarang melainkan wol yang sangat
kasar, itulah lambang dari kesederhanaan. Berbeda dengan orang-orang kaya saat itu yang
kebanyakan memakai kain sutra.
b. Secara Teminologi (isthilah)
Imam Junaidi al-Baghdadi berpendapat : “Tasawuf adalah membersihkan hati dari yang
selain Allah, berjuang memadamkan semua ajakan yang berasal dari hawa nafsu, mementingkan
kehidupan yang lebih kekal, menyebarkan nasihat kepada umat manusia, dan mengikuti contoh
Rasulullah SAW dalam segala hal.
Dari segi bahasa dan istilah, kita dapat memahami bahwa tasawuf adalah sikap mental yang
selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan umat
manusia dan selalu bersikap bijak sana. Dengan cara ini akan mudah bagi manusia menghiasi
jiwanya dengan sifat-sifat yang mulia, ber-taqarrub dan ber-musyahadah dengan Allah SWT.
Hukum mempelajari ilmu tasawuf adalah fardhu ‘ain bagi setiap mukallaf. Sebab apabila
mempelajari semua ilmu yang dapat memperbaiki dan memperbagus lahiriyah menjadi wajib,
maka demikian juga halnya mempelajari semua ilmu yang akan memperbaiki dan memperbagus
batiniyah manusia.
Karena fungsi ilmu tasawuf adalah untuk mensucikan batin agar dalam ber-musyahadah dengan
Allah semakin kuat, maka kedudukan ilmu tasawuf diantara ajaran Islam merupakan induk dari
semua ilmu. Hubungan tasawuf dengan aspek batin manusia, adalah seperti hubungan Fiqh
dengan aspek lahiriyah manusia. Para ulama penegak pilar-pilar ilmu tasawuf telah menciptakan
istilah-istilah untuk memudahkan jalan bagi mereka yang ingin menapaki ilmu tasawuf yang
sesuai dengan kedudukannya sebagai pem bersih dan pensuci hati dan jiwa.
Adapun tasawuf yang berkembang pada masa berikutnya sebagai suatu aliran (mazhab), maka
sejauh hal itu tidak bertentangan dengan Islam dapat dikatakan positif (ijabi). Tetapi apabila telah
keluar dari prinsip-prinsip keislaman maka tasawuf tersebut menjadi mazhab yang negatif (salbi).
Tasawuf ijabi mempunyai dua corak : (1) tasawuf salafi, yakni membatasi diri pada dalil-dalil naqli
atau atsar al-Qur’an dan Hadits. (2) tasawuf sunni, yakni memasukkan penalaran-penalaran yang
rasional ke dalam pemahaman dan pengamalannya. Adapun perbedaan yang mendasar antara
tasawuf salafi dengan tasawuf sunni terletak pada takwil. Salafi menolak adanya takwil,
sementara sunni menerima takwil rasional sejauh masih berada dalam kerangka syari’ah.
Sedangkan tasawuf salbi atau disebut juga tasawuf falsafi adalah tasawuf yang telah terpengaruh
oleh faham-faham spiritual dari bangsa Timur maupun Barat.
Adapun lahirnya ilmu tasawuf didorong dan disebabkan oleh beberapa factor:
1. Reaksi atas kecenderungan hidup hedonis yang mengumbar syahwat, serta cendrung
mementingkan nilai-nilai kebendaan,
2. Perkembangan teologi yang cenderung mengedepankan rasio yang kering dari aspek moral-
spiritual,
3. Katalisator yang sejuk dari realitas umat yang secara politis maupun teologis didominasi oleh
nalar kekerasan, penipuan dan memperturutkan hawa nafsu.
Oleh sebab itu, sebagian besar ulama sufi memilih menarik diri dari pergulatan
kepentingan politik yang mengatasnamakan agama dengan praktek-praktek yang penuh dengan
tipu daya bahkan banyak menimbulkan pertumpahan darah. ( Bersambung )
Perkembangan Tarekat di Indonesia
Pada awalnya, negara yang mempengaruhi berkembangnya tarekat di Indonesia adalah India (Gujarat),
dari sanalah Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani (w. 1630) dan Nuruddin ar-Raniri belajar
menimba ilmu dan mendapatkan ijazah serta menjadi khalifah. Namun pada abad-abad berikutnya,
beberapa tarekat besar masuk ke Indonesia melalui Makkah dan Madinah. Dengan cara ini pula Tarekat
Syattariyah yang berasal dari India berkembang di Makkah dan Madinah dan kemudian berpengaruh
luas di Indonesia.
Shufi Indonesia yang pertama kali menulis karangan tentang tarekat adalah Hamzah Fansuri. Dari
namanya saja kita tahu bahwa beliau berasal dari kota Fansur (sebutan orang Arab untuk kota Barus,
kota kecil di pantai barat Sumatra yang terletak antara Sibolga dan Singkel). Dalam tulisannya, ia
mengungkapkan gagasan nya melalui syair bercorak wihdatul-wujud yang cendrung kepada penafsiran
panteistik.
Dalam syairnya Hamzah juga bercerita tentang kunjungannya ke Makkah, al-Quds, Baghdad (disana ia
mengunjungi makam syekh ‘Abdul-Qadir al-Jilani) dan ke Ayuthia. Dalam syairnya juga ia mengaku
menerima ijazah Tarekat Qadiriyah di Baghdad bahkan diangkat menjadi khalifah dalam tarekat ini.
Dengan demikian jelaslah, bahwa Hamzah Fansuri (w 1590) adalah shufi pertama di Indonesia yang
diketahui secara pasti menganut Tarekat Qadiriyah.
Tarekat Qadiriyah adalah tarekat pertama yang masuk ke Indonesia. Di Jawa, pengaruh tarekat ini
banyak ditemui di daerah Cirebon dan Banten. Dan menurut cerita rakyat setempat, Syaikh ‘Abdul-
Qadir al-Jilani pernah datang ke Jawa, bahkan mereka dapat menunjukkan letak kuburannya. Indikasi
lain tentang pengaruh Tarekat Qadiriyah di Banten adalah, adanya pembacaan kitab manaqib syekh
‘Abdul-Qadir al-Jilani pada acara-acara tertentu di kehidupan beragama masyarakat disana.
Pendiri Tarekat Syadziliyyah adalah syekh Ali bin Abdullah bin Abdul-Jabbar Abul Hasan as-Syadzili
(w. 1258). Silsilah keturunannya bergaris sampai kepada saidina Hasan bin Ali bin Abi Thalib ra.
Beliau
sendiri pernah menulis silsilah keturunannya sebagai berikut : Syekh Ali bin Abdullah bin Abdul
Jabbar bin Yusuf bin Ward bin Batthol bin Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Hasan bin Ali bin Abi
Thalib ra. Amalan utama dari tarekat ini pun masih dapat dirasakan hingga saat ini yaitu hizbul-bahr
yang diyakini sangat memberi pengaruh yang kuat bagi pengamalnya. Tokoh tarekat Syadziliyah yang
terkenal antara lain Ibnu ‘Athoillah as-Sakandari, dan ‘Abdul-Wahhab as-Sya’rani.
Shufi lain yang juga terkenal di Indonesia adalah Syamsuddin (w.1630), murid Hamzah Fansuri yang
banyak menulis kitab dalam bahasa Arab dan Melayu. Dia perumus pertama ajaran martabat tujuh di
nusantara serta metode pengaturan nafas pada saat ber-dzikir ( yang dianggap sebagai pengaruh yoga
pranayama dari India ). Ajaran martabat tujuh merupakan adaptasi dari teori emanasi Ibnul-‘Arabi
yang sangat populer di Indonesia. Ajaran ini berasal dari seorang ulama besar asal Gujarat bernama
Muhammad bin Fadhlullah Burhanpuri pengarang kitab at-Tuhfatul-Mursalah ilaa Ruuhin-Nabi. Tapi
Nuruddin ar-Raniri dalam kitabnya Hujjatus-Shiddiq li daf’iz-Zindiq menganggap, bahwa ajaran
martabat tujuh Syamsuddin termasuk ajaran wihdatul wujud yang dianggap menyimpang.
Syamsudin sendiri berafiliasi dengan Tarekat Syattariyah seperti halnya Burhanpuri, bahkan Tarekat
Syattariyah menjadi sangat populer di Indonesia sesudah wafatnya. Tidak diketahui secara jelas kapan
tahun kelahirannya, tetapi dalam kitab Bustanus-Salatin karya Nuruddin, Syamsuddin wafat tahun
1039 H (1630 M).
Shufi selanjutnya adalah Nuruddin ar-Raniri. Nama lengkapnya adalah Nuruddin bin Ali bin Hasanji
bin Muhammad Hamid ar-Raniry, berasal dari keluarga Arab Ranir Gujarat. wafat tahun 1068/1658.
Ibunya orang Melayu, ayahnya imigran dari Hadromaut. Ar-Raniry pernah menjabat Syaikhul-Islam
atau mufri di kerajaan Aceh pada pemerintahan Sultan Iskandar Tsani dan Sultanah Shofiatud-Din.
Ar-Raniri menetap di Aceh selama tujuh tahun (1637 – 1644) sebagai mufti dan penulis produktif yang
menentang doktrin wihdatul wujud. Ia mengeluarkan fatwa untuk memburu orang yang dianggap sesat,
membunuh orang yang menolak bertobat dari kesesatan, serta membakar buku-buku yang berisi ajaran
sesat. Pada tahun 1054/1644 ar-Raniry meninggalkan Aceh kembali ke Ranir karena mendapatkan
serangan balik dari lawan-lawan polemiknya, yaitu murid-murid Syamsuddin yang dituduh menganut
paham Panteisme. Sebagai seorang shufi, ar-Raniry juga memiliki banyak keahlian, ia menguasai ilmu
teologi, fiqh, hadits, sejarah, perbandingan agama, dan politik. Dalam ber-tarekat, ia mengamalkan
Tarekat Rifa’iyah dan menyebarkan ajaran tarekat ini ke wilayah Melayu, selain itu ia juga menganut
tarekat Aydrusiyah dan Qadiriyah. Ia banyak menulis kitab tentang ilmu kalam dan tasawuf, menganut
aliran tauhid Asy’ariyah, dan paham wihdatul-wujud yang lebih sedikit moderat.
Ar-Raniry tercatat sebagai tokoh shufi terakhir yang membawa pengaruh bagi semua tarekat yang
berkembang di Indonesia dan berasal langsung dari India. Sepeninggalnya, cabang-cabang tarekat dari
India berkembang dulu di Makkah-Madinah, kemudian di bawa ke Indonesia, diantaranya adalah
Tarekat Syattariyah yang dibawa oleh murid utamanya, syekh Abdul Rauf Singkel.
Syekh Abdul Rauf belajar di Makkah selama 19 tahun dengan guru-guru tarekat, diantaranya adalah
syekh al-Qusyasyi, Ibrahim al-Kurani, serta puteranya syekh Muhammad Thahir di Madinah.
Sekembalinya dari Makkah tahun 1661, ia menjadi ahli fiqh terkenal di Aceh dan seorang shufi yang
menyeimbangkan pandangan para pendahulunya dalam mengajarkan zikir dan wirid tarekat
Syattariyah. Muridnya menyebarkan tarekat ini ke Sumatera Barat melalui syekh Burhanuddin Ulakan,
serta ke Jawa melalui syekh Muhyidin dari Pemijahan yang sampai sekarang ajarannya masih
diamalkan di sana.
Al-Qusyasyi (w. 1660) dan al-Kurani (w. 1691) mewakili perpaduan antara tradisi intelektual shufi
India dengan Mesir. Keduanya adalah pewaris syekh Zakariya al-Anshori dan ‘Abdul-Wahab as-
Sya’rani dalam bidang fiqh dan tasawuf, sekaligus menjadi pengikut sejumlah tarekat di India, yang
paling berpengaruh adalah Tarekat Syattariyah dan Naqsyabandiyah. Kedua tarekat ini pada mulanya
diperkenalkan di Madinah oleh seorang Syaikh India bernama Sibghatullah pada tahun 1605.
Di antara kedua tarekat yang diajarkan, ternyata Tarekat Syattariyah banyak diminati oleh murid-murid
dari Indonesia, padahal di Timur Tengah sendiri, kedua syaikh ini lebih dikenal orang sebagai penganut
Tarekat Naqsyabandiyah. Keduanya merupakan ulama paling terkenal di kalangan murid yang berasal
dari Indonesia. Dan selama beberapa generasi, murid-murid dari Indonesia belajar kepada pengganti al-
Kurani dan berbaiat menjadi pengikut Tarekat Syattariyah, karena tarekat ini relatif lebih mudah jika
dipadu dengan berbagai tradisi nusantara, sehingga menjadi tarekat yang paling “mem-bumi”, terlebih
lagi ajaran martabat tujuh yang menjadi bagian dari kepercayaan populer orang Jawa.
Ulama lain yang sezaman dengan syekh Abdul Rauf adalah syekh Yusuf al-Makasari (1626 – 1699)
penulis kitab ar-Risalah an-Naqsyabandiyah. Kitab ini memberi kesan bahwa syekh Yusuf benar-benar
mengajarkan tarekat ini di Makasar. Kitab ini berisi antara lain tentang tekhnik meditasi dalam
berdzikir. Syekh Yusuf mempelajari Tarekat Naqsyabandiyah di Yaman melalui Syaikh Muhammad
Abdul Baqi, kemudian berguru lagi kepada syekh Ibrahim al-Kurani tokoh Naqsyabandi di Madinah.
( walaupun al-Kurani di Indonesia lebih dikenal sebagai syaikh Tarekat Syattariyah yang mengirim
Abdul Rauf Singkel sebagai khalifah untuk menyebarkan Tarekat Syattariyah di Indonesia ).
Selanjutnya di Damaskus, ia berguru lagi dan berbaiat menjadi khalifah Tarekat Khalwatiyah dan
mendapat izin ijazah untuk mengajarkan tarekat ini. Barangkali beliau-lah orang pertama yang
memperkenalkan Tarekat Khalwatiyah di Indonesia. Di Sulawesi tarekat ini disebarkan oleh salah
seorang muridnya yang bernama Abdul Basir ad-Dharir al-Khalwati yang lebih terkenal dengan nama
Tuang Rappang I Wodi.
Dalam pengembaraan ilmiahnya, syaikh Yusuf al-Makassari banyak memperoleh ijazah dari sejumlah
tarekat, di antaranya adalah Tarekat Naqsyabandiyah, Qadiriyah, Syattariyah, Ba’alawiyah,
Khalwatiyah, juga pernah menjadi pengikut Tarekat Dasuqiyah, Syadziliyah, Chistiyah, ‘Aydrusiyah,
Ahmadiyah, Kubrawiyah dan beberapa tarekat lainnya. Ketika pulang ke Indonesia tahun 1670 dia
mengajarkan ajaran spiritual, yang ternyata merupakan gabungan antara teknik spiritual Khalwatiyah
dengan berbagai tekhnik dari tarekat-tarekat lainnya. Dan tarekat ini sekarang mengakar dan banyak
diamalkan orang di Sulawesi Selatan, terutama di kalangan para bangsawan Makasar.
Abad berikutnya, orang orang Indonesia yang bermukim di Arab tertarik dengan ajaran syekh
Muhammad bin Abdul Karim as-Samman (w. 1775) ulama Madinah, Tarekat Sammaniyah merupakan
gabungan dari tarekat Khalwatiyah, Qadiriyah, Naqsyabandiyah dan Syadziliyah. Syekh Muhammad
Samman mengembangkan cara berzikir baru yang ekstatik dan menyusun sebuah ratib (doa-doa)
sendiri. Secara formal tarekat ini merupakan salah satu cabang dari Tarekat Khalwatiyah, karena
silsilah syekh Samman hanya melalui gurunya yaitu syekh Musthafa al-Bakri, pengamal tarekat
Kholwatiyah, Walaupun demikian ia telah menjadi sebuah tarekat tersendiri dengan zawiyah sendiri
dan dengan pengikut lokal ketika syaikh-nya masih hidup. Murid syekh Samman yang paling terkenal
adalah syekh Abdus Shomad al-Palimbani, pengarang sejumlah kitab-kitab penting berbahasa Melayu.
Beberapa ulama di Palembang berafiliasi dengan tarekat ini, sehingga tarekat ini mendapat kedudukan
yang kokoh di kesultanan Palembang, bahkan Sultan Palembang telah menyediakan sejumlah dana
yang cukup besar untuk membangun zawiyah syekh Samman di Jeddah. Sesudah syaikh Samman
wafat, orang-orang Indonesia yang bermukim di Arab, belajar tarekat ini dari khalifahnya yang
bernama Shiddiq bin Umar Khan. Ulama Indonesia yang menyebarkan tarekat ini adalah syekh Nafis
al-Banjari dengan karyanya ad-Durrun-Nafis dalam bahasa Melayu, ia menyebarluaskan tarekat ini di
Kalimantan. Syekh Nafis al-Banjari juga mengamalkan berbagai tarekat, seperti Tarekat Qadiriyah,
Syattariyah, Naqsyabandiyah, Khalwatiyah dan Sammaniyah.
Tarekat Tijaniyyah didirikan oleh Syaikh Ahmad bin Muhammad at-Tijani (1150 – 1230 H/ 1737 –
1815 M) yang lahir di ‘Ainu Madi, Aljazair Selatan, dan meninggal di Fez, Maroko, dalam usia 80
tahun. Perkembangan yang cukup pesat dari tarekat ini ternyata mampu menyaingi otoritas
Utsmaniyyah, sehingga syekh Ahmad dan para pengikutnya dipaksa meninggalkan Aljazair. Syekh
Ahmad at-Tijani pindah ke Fez pada tahun 1798, dan hidup disana hingga beliau wafat. Ketika bangkit
gerakan Wahhabiyah yang memusuhi kaum shufi dan membenci pengamal tarekat yang cendrung
menjauhi dunia dan suka melestarikan tradisi penghormatan terhadap makam syaik-syaikh mereka,
tarekat Tijaniyyah justru berkembang pesat. Bahkan perkembangan tarekat ini semakin pesat terutama
setelah mendapat dukungan dari raja Maroko, Maula Sulaiman yang berkepentingan mendekati syekh
Ahmad untuk menghadapi pesaingnya dari zawiyah para syarif yang dinilai dapat merongrong
kekuasaannya.
Tarekat Tijaniyyah masuk ke Indonesia pada tahun 20-an, dan banyak mendapatkan pengikut terutama
di pulau Jawa dan Madura. Pengikut tarekat Tijaniyah berkeyakinan, bahwa tarekat Tijaniyah adalah
tarekat yang terbaik, karena memiliki keunggulan dan keutamaan yang tidak dimiliki oleh tarekat-
tarekat lainnya. Tentang keistimewaan dan keunggulan tarekat ini, nanti akan kami jelaskan secara
terperinci di dalam buku ini.
Di Sulawesi Selatan, tarekat Sammaniyah bertemu dengan Tarekat Khalwatiyah. Keduanya bersaing
dan saling mempengaruhi sehingga pada akhirnya bergabung menjadi tarekat Khalwatiyah
Sammaniyah. Tarekat ini berkembang sedikit berbeda dengan ritual tarekat Sammaniyah lainnya di
nusantara, dan keanggotaannya terbatas pada kelompok etnis Bugis saja.
Qadiriyah wa Naqsyabandiyah merupakan tarekat gabungan serupa dengan Sammaniyah, yakni teknik
spiritual Tarekat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah menjadi unsur utama yang ditambah dengan unsur-
unsur tarekat lain. Tarekat ini merupakan satu-satunya tarekat yang didirikan oleh ulama asli Indonesia
syekh Ahmad Khatib Sambas (Kalimantan Barat) yang lama belajar di Makkah dan sangat dihormati.
Ia ahli dalam bidang fiqh, konsep ketuhanan dan amalan-amalan shufi. Ia mempunyai banyak pengikut
dan menjadi guru Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah sebagai tarekat paling populer di Indonesia.
Ketika ia wafat tahun 1873, khalifahnya syekh Abdul Karim dari Banten menggantikannya sebagai
syaikh tarekat ini. Dua orang khalifah utama lainnya adalah Kiyai Tolhah dari Cirebon dan Kiyai
Ahmad Hasbullah dari Madura.
Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah merupakan salah satu dari dua tarekat yang memiliki jumlah
pengikut terbesar di seluruh Indonesia. Tarekat lainnya adalah Naqsyabandiyah Kholidiyah yang
tersebar berkat zawiyah yang didirikan oleh syekh Abdullah al-Arzinjani di Jabal Abu Qubais Makkah.
Para penggantinya, yaitu Sulaiman al-Qarimi, Sulaiman al-Zuhdi dan Ali Ridho menyebarkan
tarekatnya kepada orang-orang Indonesia yang mengunjungi Makkah dan Madinah dalam jumlah yang
lebih besar lagi selama abad ke-19. Ribuan orang dibaiat menjadi pengikut tarekat ini dan menjalani
latihan berkhalwat di zawiyah tersebut. Di tempat ini pula puluhan orang Indonesia menerima ijazah
untuk mengajarkan tarekat ini di kampung halamannya masing-masing.
Tarekat Chisytiyah, sebuah tarekat kelahiran India, yang didirikan oleh syaikh Mu’inad-Din Chisyti (w.
1236). Awalnya, tarekat ini berideologi Sunni, (walaupun akhir-akhir ini banyak diamalkan oleh kaum
Syiah). Hal ini terbukti bahwa para pengikut tarekat Chisyti di India menjadikan kitab ‘Awariful-
Ma’arif karya syaikh Syihabuddin Abu Hafs Umar Suhrawardi sebagai kitab pegangan mereka. Kitab
itu menjadi dasar bagi para guru tarekat Chisytiyah dalam mengajar murid-muridnya. Selain itu, kitab
Khasyful-Mahjub karya al-Hujwiri juga sangat populer digunakan oleh kaum Chisti. Bahkan Syaikh
Nizomuddin Auliya pernah berkata : “Seorang salik yang tidak memiliki referensi spiritual, maka kitab
Kasyful-Mahjub sudah cukup baginya untuk dijadikan pegangan”.
Tarekat Mawlawiyah kelahiran Turki ini dikenal luas, baik di negeri Muslim maupun di Barat,
terutama melalui ‘whirling darvish’ nya. Dengan ‘matsnawi’-nya, Maulana Jalaluddin Rumi (w.
1273) menjadikan puisi-puisi karangannya sebagai salah satu pusat inspirasi spiritual. Orientalis yang
sangat berjasa dalam memperkenalkan tarekat Rumi ke dunia Barat adalah Reynold A. Nicholson yang
bukan hanya meng-edit secara kritis semua naskah matsnawi, tetapi juga menerjemahkan seluruh
naskah tersebut (sebanyak 6 jilid) ke dalam bahasa Inggris. Dia juga telah menerjemahkan kitab Divani
Syam-i Tabriz. Sedangkan karya Rumi yang lain Fihi Ma Fihi telah diterjemahkan oleh Arberry dengan
judul Discourse of Rumi. Tokoh lain yang sangat berjasa dalam memperkenalkan Rumi ke dunia Barat
adalah Prof. Annemarie Schimmel (w. 2003), yang telah menulis dengan penuh penghargaan dan
kebanggaan tentang karya-karya Rumi, seperti I am Wind You Are Fire, The Life and Work of Rumi,
dan The Triumphal Sun, A Study of The Works of Jalaludin Rumi.
Tarekat Ni’matullohi, tarekat kelahiran Iran yang telah populer, baik di tanah kelahirannya maupun di
dunia Barat. Tokoh tarekat ini adalah Javad Nurbakhsy yang cukup produktif menulis karya-karyanya.
Saat ini, tarekat Ni’matullah mempunyai banyak pengikut di Amerika Serikat, Eropa, dan khususnya di
Persia (Iran). Dalam ajarannya, tarekat ini lebih menekankan persaudaraan dan kesetaraan seluruh umat
manusia, penghormatan tanpa prasangka buruk, juga pengabdian dan cinta kasih kepada sesama
manusia tanpa mempedulikan perbedaan keyakinan, budaya, dan kebangsaan. Dalam tarekat ini,
praktik tasawuf bertujuan menciptakan kepribadian lahiriah yang sangat etis, dan membimbing hati
untuk menghimpun berbagai kwalitas dan keutamaan. Ajaran tasawuf harus bertujuan membidik
realitas muslim agar dapat dibangkitkan perasaan cinta kasihnya, sehingga mampu menyatukan para
pemeluk dari pelbagai agama dan keyakinan. Dengan energi tasawuf inilah, segala perbedaan dan
perselisihan sektarian harus dihilangkan, karena seorang shufi harus mengarahkan perhatiannya hanya
kepada wilayah keesaan Ilahi (tauhid), sehingga setiap orang merasa sama dalam persaudaraan
kemanusiaan.
Terakhir, tarekat Sanusiyah didirikan oleh Muhammad bin ‘Ali as-Sanusi (1787 – 1859), pengarang
kitab as-Salsabil ul-Ma’in fit-Tharo’iqil-Arba’in dan al-Masa’ilul-‘Anshar. Melalui kitab ini sejumlah
tarekat mu’tabaroh disebut dan dijelaskan. Kedua kitab ini termasuk bahan rujukan yang digunakan
oleh Jam’iyah Ahlith-Thoriqoh Mu’tabaroh An-Nahdliyyah. Syekh as-Sanusi telah mendirikan sebuah
zawiyah di Abu Qubais Makkah, tapi beliau terpaksa meninggalkan Makkah pada tahun 1840 dan
kemudian tinggal di sebuah bukit yang bernama Jabal Akhdar di daerah Curenaica.
Demikianlah sekilas tentang perkembangan sebagian ajaran tarekat yang masuk ke Indonesia, di
samping tarekat-tarekat lain yang tidak kami sebutkan, disebabkan kurang berkembang dan tentunya
kurang banyak diminati oleh orang.
Pemikiran Sufistik (Nur Muhammad) Hamzah Fansuri
Tulisan ini merupakan kajian tehadap naskah Hikayat Nur Muhammad yang penulis dapatkan dari
Koleksi Naskah Musium Pusat Jakarta dengan kode Ml.378C. Hikayat Nur Muhammad adalah sebuah
hikayat yang menceritakan tentang Nur Muhammad sebagai awal penciptaan semesta. Ide ini didasari
oleh ajaran yang dilontarkan oleh Ibnu Araby, seorang ahli sufi falsafi wachdatul wujud. Ide Araby itu
dituangkan di dalam buku karyanya Fushushul-Hikam. Namun sebelum karya besarnya itu lahir,
gagasan adanya Nur Muhammad itu dituangkan di dalam risalah kecilnya yang berjudul Syajarat al-
Kaun. Ide awal paham Nur Muhammad ini adalah dari seorang tokoh sufi kontroversial Al Challaj. Ide
Nur Muhammad ini merupakan untaian dari tiga ajaran utamanya yaitu chulul dan wachdatl adyan.
Menurutnya Nur Muhammad merupakan jalan hidayah (petunjuk) dari semua Nabi. Karena itu agama
yang dibawa oleh para Nabi pada prinsipnya sama apalagi dalam keyakinan al-Challaj, semua Nabi
merupakan emanasi wujud sebagaimana terumus dalam teori chulul-nya.
Teori Nur Muhammad ini kemudian diteruskan oleh Ibnu Araby (638H/240M)
dalam karyanya al-Futuhat al-Makiyyah, dan Fusush al-Hikam. Bagi Ibnu Arabi, Nur Muhamad
merupakan asal-usul kejadian semua makhluk yang hidup dan sumber yang terpancar daripada ilmu
para Nabi dan wali. Dengan kata lain Nur Muhamad ialah roh yang nyata dengan rupa para Nabi dan
wali sejak Nabi Adam a.s. diutus hingga Nabi Muhamad s.a.w. dan sejak wujud Martabat al-Wilayah
atau kenabian dalam pemikiran Sufi. Ilmu para nabi dan wali adalah suatu pancaran dari Nur Muhamad
yang merupakan induk kepada segala yang wujud ini.

Ide ini akhirnya disistemasikan dan ditegaskan oleh Abdul Karim al-Jili (832H)
dalam kitabnya al-Insan al-Kamil fi Ma'arifah al-awa'il wa al-Awakhir. Dia menghubungkan dengan
konsep manusia sempurna (insan kamil). Ide ini akhirnya masuk dan meluas di kalangan sufi Melayu
sejalan dengan masuknya agama Islam ke nusantara.
1. Peranan Ahli Tasawuf dalam Masuk dan Berkembangnya Agama Islam ke Nusantara
Timbulnya gagasan Nur Muhammad di dalam kesusastraan Melayu ini tak bisa dilepaskan dengan
masuknya Agama Islam ke Nusantara (Melayu ). Seminar Masuk dan berkembangnya Islam di
Indonesia di Aceh pada tanggal 10-16 Juli 1978 menegaskan hasil Seminar Sejarah Islam di Medan
tahun 1963 bahwa Agama Islam masuk ke Indonesia pada abad I Hijriah yang langsung dibawa dari
tanah Arab, dan daerah yang pertama kali menerima adalah Aceh (Hasymy: 1989:band . Daudy,1983:
24; bandingkan juga mis. Arnold,1985:317).
Kerajaan Islam yang pertama kali berdiri adalah Perlak pada tahun 225 H (abad ke-9 M). Agama Islam
yang masuk ke Indonesia pada awal-awal itu masih asli, karena langsung dari Arab.Snouck Horgronje
mengatakan bahwa watak Islam pada zaman Nabi adalah seperti anak muda yang penuh dengan
vitalitas dan kemauan dan hanya dibekali oleh Al-Qur’an dan Sunnah Nabi dalam suatu lingkungan
yang terbatas. Pada zaman Khalifah, watak Islam ibarat orang dewasa malahan sudah orang tua (Abdul
Gani dalam Hasymy ed. , 1989:112). Maka boleh jadi yang masuk adalah pengaruh yang aneh maka
biasanya akan menjadi tonggak yang akan dikenang orang.
Akibat perkenalannya dengan pemikiran-pemikiran Yunani, sehubungan dengan semakin besar dan
jayanya Islam pada abad ketiga Hijriyah dan kemudian diadakan penerjemah besar-besaran terhadap
buku-buku hasil pemikiran dan pengetahuan Yunani yang dikenal sudah tinggi khususnya pemikiran
filsafat, maka mulailah ajaran Islam kemasukan faham filsafat. Di samping itu semakin meluasnya
Islam ke beberapa kerajaan yang besar dan sudah maju ilmu pengetahuan serta kebudayaanya semacam
Persia, maka Islam sudah berakulturasi dengan budaya setempat sehingga lahir pemikiran tempatan
yang ‘disesuaikan’ dengan Islam.
Sebagaimana yang dikatakan di atas bahwa Acehlah yang pertama mula menerima Islam karena
memang sejak abad ke 1-6 M Aceh telah memainkan peranan penting dalam perdagangan maritim
internasional (Daudy ,1983:90). Setelah agama Islam masuk di pulau Sumatra, peranan Aceh dalam
perdagangan semakin menonjol , terutama setelah lahirnya kerajaan Pasai pada abad ke-13 M (ibid :
10-11). Pada abad ke-16 M, kerajaan Aceh Darussalam muncul sebagai suatu negara yang kuat dan
berkedaulatan di bawah kekuasaan Sultan Ali Mughayat Syah (Daudy, 1983:16). Kerajaan Aceh
mencapai puncak keemasan pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (wafat 1636 M). Peranan
ahli sufi semakin menonjol dalam penyebaran agama Islam di kawasan Asia Tenggara setelah Baghdad
jatuh ke tangan orang Mongol pada tahun 1258 M. Mereka bukan saja terdiri dari orang-orang Arab
tetapi juga orang-orang Persi dan India (Daudy, 1983 :26) yang kedatangan mereka itu disambut
dengan sangat baik oleh berbagai kerajaan.
Sejak jaman Sultan Malik al-Zahir (wafat 1326 M) Pasai telah menjadi pusat studi dan dakwah Islam.
Di istana sering berkumpul para ulama besar Persia, India, Arab, dll. untuk berdikusi masalah-masalah
agama antara lain masalah esoterik, pemikiran-pemikiran filsafat juga mistik. Selain itu juga menjadi
pusat pengiriman mubalig ke berbagai tempat seperti di Jawa, Malaka, Patani, dll.( Daudy, 1983:27-
29). Hubungan dengan India sangat erat sehingga istilah agama seperti gelar Makhdum yang
dipergunakan di India untuk guru-guru dan ulama juga digunakan di Pasai.
Sifat kehidupan agama dalam kerajaan Pasai pada abad ke-14 -15 sangat didominir oleh ajaran mistik.
Diduga ajaran tarikat sufi juga telah berkembang dalam jaman itu. Itulah yang merupakan faktor yang
sangat menentukan jalannya kehidupan dan pemikiran keagamaan dalam kerajaan Aceh Darussalam
yang lahir kemudian sekitar abad ke-16 (Daudy, 1983: 30). Aceh kedatangan sufi-sufi dari berbagai
negara yang secara langsung menciptakan iklim kehidupan mistik dan melahirkan pemikiran terhadap
masalah-masalah keagamaan,juga buku-buku tasawuf yang penting karya Abdul Karim al-Jilli
(Insanul-Kalim fil-Ma’rifatil-awakhir wal-awa’il), Ibnu Arabi (Fusushul-Hikam, Futuhatul-Makiyyah),
Muhammad bin Fadhlullah al-Burhanpuri (at-Tuhfatul-Mursalah ila Ruhin- Nabi). Keempat kitab itu
sangat memainkan peranan pentingnya dalam perkembangan pemikiran agama terutama tentang filsafat
mistik wachdatul wujud / pantheisme yang diajarkan oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-
Sumatrani yang dikenal dengan ajaran wujudiyyah dan teori martabat tujuh. Akhirnya ajaran mistik
Islam ini sangat mendominansi Aceh.
Orientasi kehidupan keagamaan yang lebih berciri kepada ajaran mistik telah memberikan peluang luas
bagi ahli-ahli sufi. Mereka dijadikan menjadi penasehat dan mufti (Daudy, 1983:22-23), walaupun ia
sangat menyimpang dari ajaran resmi yang diakui dan dihayati kalangan istana dan umum. Contohnya
adalah Syamsuddin as-‘Sumatrani. Dia adalah seorang tokoh yang tasawuf wujudiyyah yang telah
memperoleh kedudukan tinggi sebagai orang kedua dalam kerajaan Aceh pada masa Sultan Iskandar
Muda. Selain berkedudukan sebagai mufti dengan gelar Syeikhul-Islam, dia juga sering dipercaya
Sultan dalam urusan-urusan kenegaraan. Dengan kedudukannya, menjadikan nya sebagai tokoh mistik
yang dihormati dan disegani (Daudy,1984:33-34). Contoh lain misalnya Syeikh Nuruddin Arraniry
yang datang ke Aceh sebelum 1637 M dan yang untuk kedua kalinya (1637 M) diberi kesempatan oleh
Sultan Iskandar Tsani sebagai mufti. Dialah yang menyanggah ajaran wujudiyyah-nya Hamzah Fansuri
dan Syamsuddin.
Kalau kita mau meneliti secara jujur, maka kita akan berkesimpulan bahwa di tahun-tahun pertama
masuknya Islam ke Nusantara jasa terbesar adalah dari golongan sufi. Hampir semua daerah yang
pertama kali memeluk Islam bersedia menukar kepercayaan asalnya dari dinamisme, animisme,
maupun Budhisme dan Hinduisme yang saat itu sudah menyebar, ini menunjukan keahlian tokoh-tokoh
sufi dalam menyusun sistem dan metode penyebaran yang dengan cara-cara khas mereka
(Abdullah,1980:15). Penyebaran islam ke Kelatan dan Kedah misalnya, dilakukan oleh ulama sufi yang
bernama Syeikh Abdullah. Di Patani, penyebaran Islam dilakukan oleh tiga ulama Sufi yaitu Syeikh
Shafiyuddin, Syeikh Said Barsisa dan Syeikh Gombak Abdul Mubin (Abdulah,1980: 15-20).
Penyebaran Islam di Jawa dilakukan oleh para wali yang selanjutnya dikenal dengan sebutan Wali
Sanga. Para wali tersebut termasuk juga para ahli tasawuf (sufi).
Pengaruh tasawuf di dalam kehidupan kerajaan Aceh semakin jaya terutama semasa berkuasanya
Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam Syah (1606/1607-1636). Pada masa itu banyak ulama-ulama
intelek yang berdomosili di Aceh. Pertama, secara geografis, kerajaan Aceh sangat strategis dalam lalu
lintas perdagangan di Asia Tenggara. Kedua, sultan Aceh yang bernama Iskandar Muda Mahkota Alam
Syah sangat mencintai Islam, alim ulama,dan ilmu pengetahuan, yang semua itu didukung oleh
rakyatnya. Sementara itu pada masa dahulu orang Islam memang termasuk orang yang ahli dalam
berdagang. Namun, bagi mereka, berdagang bukanlah menjadi tujuan pokok, tetapi hanya sebagai alat
untuk menyebarkan agama Islam (Abddulah,1990:30).
Pada saat itu sebagaimana dikatakan di depan, ulama-ulama yang menganut faham mistik sangat
mendapat tempat yang paling utama. Dari Makkah telah datang Al Alim Allamah Syeikh Abdul Khair
dan Al-Alim Allamah Syeikh Muhammad Al-Yamin pada sekitar tahun 990H/1582 M
(Zainuddin,tt:252). Keduanya adalah tokoh sufi yang sealiran dengan ulama Hidustan seperti Syeikh
Syaifur-Rijal. Faham kedua tokoh dari Mekkah tadi disokong olah Syeikh Hamzah Fansuri dan
muridnya Syeikh Syamsuddin As-Sumatrani. Selain itu Syeikh Fadhlullah al-Burhanpuri yang menulis
kitab memperkuat sokongannya terhadap dua Syeikh dari Arab tadi. Kitab Tuhfatul-Mursala tersebut
menjadi pegangan kuat kaum sufi yang menganut ajaran martabat tujuh yang kemudian disimpulkan di
dalam ajaran wachdatul wujud (Abddulah, 1980: 32).
Alam fikiran sufi yang mempunyai pengaruh luas dan bercorak pantheistik terutama jelas sekali di
kalangan ahli-ahli fikir Sumatra Utara semenjak abad ke-16 dan permulaan abad ke-17 Masehi. Ada
dua orang di antara tokoh-tokoh sufi itu yang sangat menarik untuk dibicarakan sehubungan dengan
aliran pantheistik ini yaitu Syech Hamzah Fanshuri dan Syech Syamsuddin Sumatrani. Beliau berdua
sangat terpengaruh oleh alam fikiran Ibnu Araby yang terkenal dengan ajaran wachdatul-wujudnya
yang oleh penentangnya (misalnya Syeikh Nuruddin ar-Raniry) disebut wujudiyah. Ajaran lain yang
terkenal dari beliau yang juga mempengaruhi pemikiran tasawuf di Sumatera ini adalah ajaran tentang
al-chaqiqatul muchammadiyah/ nur muhammad.
Di sini akan penulis paparkan bagaimana pandangan Syeikh Hamzah Fansuri dalam proses terciptanya
alam semesta yang ada kaitannya dengan faham Nur Muhammad.
2. Gagasan Nur Muhammad di dalam Karya Hamzah Fansuri
Nama Hamzah Fansuri di lapangan penyelidikan sastra Indonesia dan para ulama sangat terkenal. Para
ahli hampir semuanya mencatat bahwa dia bersama muridnya Syamsuddin, adalah tokoh yang sefaham
dengan sufi ekstrem Al-Challaj dengan faham hulul, al-chaqiqatul-muhammadiyah dan wahdatul
adyan. Hal yang selalu disanggah oleh orang atas diri Hamzah adalah karena faham wachdatul-wujud,
hulul, dan ittihad. Orang sering menuduhnya sebagai orang yang zindik, syirik, kafir, sesat dan
sebagainya. Ada orang yang menuduh beliau adalah pengikut faham Syi’ah. Ada pula orang yang
mempercayai bahwa dia itu bermazhab Syafi’i di dalam fiqih, sedang dalam tasawuf Hamzah mengikut
tarikat Qadiriyah (Abdullah,1980 :36-37).
Beberapa kitab karyanya antara lain: Asrar al-Arifin fi Bayanil-Ilmis-‘Suluki wat-‘Tawhid, Syarbul
Asyiqin, Zinatul-Muwahiddin, dan Ruba’i Hamzah Fansuri. Karya prosanya ini banyak mengingatkan
kepada karya Ibnu Araby (Hadiwijono,tt:14-15). Di lapangan sastra, khususnya syair, Hamzah telah
menulis antara lain :
1. Syair Burung Pingai,
2. Syair Dagang,
3. Syair Pungguk,
4. Syair Sidang Faqir,
5. Syair Ikan Tongkol, dan
6. Syair Perahu (Abdullah,1980:37)
Karya-karya syairnya menunjukan bahwa dia sangat mengenal tasawuf Persia yang bersifat erotis
(Hadiwijono,tt:15).
Menurut Hamzah, Allah adalah suatu zat yang Mutlak yang mendahului segala sesuatu sebagaimana
dikemukakannya di dalam Asrar Arifin.
“ketika bumi dan langit belum ada, arasy dan kursyi belum ada, surga dan neraka belum ada,
alam sekalian belum ada, apa yang pertama? Yang pertama ialah Zat, yang ada pada dirinya,
tiada sifat dan tiada nama. Itulah yang pertama. (hal.5)
Selanjutnya dikatakan bahwa Zat Allah itu tak bisa diibaratkan, tak bisa diuraikan dengan ibarat, sebab
tak ada ibarat yang bisa dipakai untuk mengurai keadaan Allah. Pada-Nya tiada atas atau bawah, tak
ada dahulu atau kemudian, tak ada kanan atau kiri dan seterusnya (Asrar hal 8). Allah adalah Zat yang
Mutlak yang diibaratkan sebagai laut yang tiada berkesudahan (Asrar hal. 30). Di dalam beberapa
syairnya, laut itu disebutnya sebagai Laut Batiniyyah (Bahrul-Butun), laut yang dalam (Bahrul-amiq)
dan laut yang mulia (Bahrul-‘ulyan) (Hadiwijono,tt:26).
Hakekat sebenarnya dari Zat Allah itu tanpa pembeda-bedaan (la ta’ayyun).Hamzah mengambarkan
cara Zat Mutlak itu menjelma (tanazzul) seperti laut (Zinatul-Muwahiddin hal 15) Penjelmaan atau
pengaliran ke luar itu terjadi dalam beberapa pangkat atau mertabat yaitu : (1) pangkat laut yang
bergerak di dalamnya segala sesuatu tersimpan, (2) pangkat ombak,di dalamnya terjadi peninjauan Zat
atas diri-Nya sendiri (3) pangkat asap dan awan, di dalamnya realitas yang terpendam berada sebagai
satu kesatuan yang kemudian membagi-bagi diri untuk kemudian mengalir ke luar ke dalam dunia
gejala /fenomena ini, (4) pangkat hujan, di dalamnya realitas yang terpendam itu keluar atas perintah
ilahi “ fa yakun”, serta (5) pangkat sungai,yaitu gambaran dunia yang kongkrit ini. Lebih jauh Hamzah
mengatakan dalam Zinatul –Muwahidin :
“Adapun ta’ayyun awwal itu ditamsilkan oleh ahli suluk seperti laut. Apabila laut timbul maka
ombak namanya, yakni apabila alim memandang dirinya, maklum jadi pada dirinya; Apabila laut
itu melepas jadi nyawa, asap namanya, yakni nyawa ruh idlafi kepada namanya, yakni ruh idhafi
dengan a’yan tsabitah keluar dengan qaul (kun fa yakun) berbagai-bagai. Apabila hujan itu jatuh
ke bumi, sungai namanya, yakni setelah ruh idhafi dengan isti’dad asli dengan a’yan tsabitah
hilir di bawah kun fa yakun sungai namanya. Apabila sungai itu pulang ke laut,laut hukumnya.
Tetapi laut itu maha suci tiada berlebih dan tiada berkurang . Jika keluar sekalian itu tiada ia
kurang, jika masuk pun sekalian itu tiada ia kurang lebih, karena ia suci dari pada segala suci
(hal.15)
Tahap-tahap pengaliran/ martabat itu diistilahkan dengan achadiyah, wachdah, wachidiyyah. Pangkat
achadyiah disebut juga pangkat la-ta’ayyun (tanpa pembeda-beda). Wachda digambarkan sebagai
gerak ombak. Pangkat ini disebutnya sebagai ta’ayyun awwal (pembedaan pertama). Pada pangkat ini
terjadi empat pembedaan yaitu :pengetahuan (ilm), eksistensi (wujud), pengamatan (syuhud), dan
cahaya (nur). Pada pembedaan pertama ini Zat Allah menjadi sadar akan diri-Nya sendiri serta
memiliki pengetahuan tentang segala daya yang terpendam pada diri-Nya sebagai kesatuan. Di sini
berarti bahwa Zat Allah tahu bahwa diri-Nya sendiri yang ada, tiada yang lain kecuali Dia. Ia tahu
bahwa Ia memiliki daya untuk menjelmakan Diri-Nya (Hadwijono,tt:30-32).
Tingkatan wachda ini disebut juga ”cahaya Muhammad” (Nur Muhammad) atau “realitas Muhammad”
(Chaqiqatul-Muhammadiyah). Dikatakannya di dalam Syarabul-Asyikin :
“Taayyun awaal wujud yang jama’i, pertama di sana nyata. Ruh idlafi, semesta alam sana lagi
ijmali, itulah bernama chaqiqat Muchammad nabi (hal.14).
Di tempat lain dikatakan :
“Wachdat itulah yang bernama “kamal zati”. Menyatakan sana ruh Muhammad an- nabi, tatkala
itu bernama “ruh idlafi”(hal.52)
Di dalam Asrar Arifin dia mengatakan :
“. . .’ilm yang melihat maklumat itu, chaqiqat Muchammad saw. Antara ‘alim dan ma’lum itulah asal
cahaya Muhammad pertama-tama bercerai dari pada Zat.
Adapun pada suatu ibarat,itulah bernama “ruh idhafi”, yakni nyawa bercampur ;dan pada saat ibarat :
“aqlul-kulli” namanya[yakni] perhimpunan segala budi. Dan pada suatu ibarat “nur” namanya, yakni
cahaya; pada suatu ibarat ”kalamul-a’la” namanya, yakni kalam yang maha tinggi; dan pada suatu
ibarat “lauch” namanya, yakni papan tempat menyurat; karena itulah maka sabda Rasullulah: ”awwalu
maa khalaqa- Allaahu ta’aala ar-‘Ruah, awwalu maa khalaqa- Allaahu ta’aala an-Nuur, awwalu maa
khalaqa Allaahu ta’aala al-‘aql; awwalu maa khalaqa Allaahu ta’aala al-qalam”(hal.19)
Di sini dijelaskan bagaimana kedudukan Nur Muhammad. Nur Muhammad adalah pengetahuan(‘ilm)
yang melihat kepada ma’lum atau ide. Tempatnya berasal di antara yang mengenal dan yang dikenal
(antara Zat yang Mutlak dan dunia). Oleh karena itu pada bagian lain disebutkan bahwa Nur
Muhammad bersinar dari Zat Allah (Syarabul Asyikin hal. 97) dan bahwa seluruh alam semesta
dijadikan dari pada cahaya Muhammad. Sebaliknya Nur Muhammad dijadikan dari pada Zat Allah dan
bahwa seandainya tiada cahaya Muhammad, maka alam semesta ini tidak akan ada (Asrarul-Arifin
hal.20)
Pada pangkat wachda ini peranannya dalam penjelmaan akali sangat penting. Sebagaimana diketahui
bahwa penjelmaan ada dua yaitu penjelmaan yang terjadi dalam diri Zat yang Mutlak yang sifatnya
akali dan penjelmaan yang terjadi di luar Zat yang Mutlak, sifatnya bisa dilihat. Hubungan keduanya
itu sama dengan hubungan antara perwujudan dan gambar yang dipantulkan, atau sebagai lahir dan
batin, sedemikian rupa sehingga Zat yang Mutlak itu tampak di dalam dunia gejala. Wachda adalah
cermin yang memantulkan gambar dari yang Mutlak atau bayang Yang Mutlak. Wachda adalah
pangkat penilikan diri dari Zat yang Mutlak, yang dengannya Yang Mutlak mengenal diri-Nya dan
kemudian seolah-olah Yang Mutlak bangkit dari lamunan-Nya. Wachda adalah logos. Ia disebut juga
“nur Muhammad” (Hadiwijono,tt:47).
Pangkat selanjutnya adalah wachidiyya yang disebut juga pembeda-bedaan kedua (ta’ayyun tsani).
Pada pangkat ini realitas Muhammad pada ta’ayyun awwal menimbulkan manusia atau chaqiqat insan.
Ketiga pangkat penjelmaan, achadiyah, wachda, wachidiyya, semuanya terjadi dalam satu eksistensi
Ilahi. Maka ketiganya disebut sebagai “Maratib-ilahi” (Hadiwijono,tt:42)
Penjelmaan selanjutnya dikatakan Hamzah:
“Apabila awan itu titik udara,hujan namanya; yakni ruh idhafi dengan a’yan tsabitah keluar
dari qaul kun fa yakun, berbagai-bagai (Zinatul-Muwahidin hal.15).
Di bagian lain (Syarabul-Asyikin hal 52-53) Hamzah menyebutkan adanya pembeda-bedaan ketiga
(ta’ayyun tsalis) yang dinamai pula a’yan kharija (realitas yang keluar). Pengertian a’yan kharija
menunjukkan bahwa penjelmaan ini dan penjelmaan berikutnya terjadi di luar Zat yang Mutlak, yaitu
di dalam dunia gejala ini (Hadiwijono, tt:42).
Pada pangkat ini realitas yang terpendam yang di dalam pangkat wahidiyya berkumpul sebagai awan,
sekarang mengalir ke luar sebagai roh. Oleh karena itu pangkat ini disebut juga alam arwah.
Selanjutnya dari pangkat alam arwah ini menjelma keluar menjadi hujan, air dan sungai yang terkenal
dengan pangkat-pangkat alam mitsal, alam ajsam, alam insan.
Pangkat alam mitsal, adalah pangkat penjelmaan di mana pembagian rohaniah adalah suatu kenyataan.
Alam ini adalah alam cita/ ide. Alam ini merupakan perbatasan antara alam arwah dan alam segala
tubuh. Alam ini bercirikan warna seperti alam impian (Hadiwijono:45). Alam Ajsam atau alam segala
tubuh adalah dunia yang terdiri dari anasir yang halus yang tak bisa diamati oleh indera, serta tak
binasa. Pangkat penjelmaan terakhir adalah alam insan, yaitu dunia yang nampak ini. Alam ini disebut
juga alam manusia sempurna (alam insan al-kamil).
Ketujuh pangkat penjelmaan yang selanjutnya sering disebut teori martabat tujuh itu sebenarnya bisa
dirangkumkan menjadi tiga pangkat, yaitu dari Zat yang Mutlak (Achadiya), pangkat penengah di mana
realitas yang terpendam (a’yan tsabita) timbul, baik sebagai kesatuan maupun sudah terinci (wahda
dan wahidiyya), dan pangkat dunia gejala, yaitu realitas keluar (a’yan kharija). Demikianlah penjelasan
Hamzah Fasuri tentang tanazzul (mengalir ke luar)-nya Zat yang Mutlak. Dia menempatkan Nur
Muhammad sebagai penghubung/ perantara antara Zat yang Mutlak (Tuhan) dengan dunia. Dari Nur
Muhammadlah Zat yang Mutlak bersinar. Dari Nur Muhammad pula asal segala kejadian alam ini.
Pangkat penjelmaan terakhir adalah alam insan, yaitu dunia yang nampak ini. Alam ini disebut juga
alam manusia sempurna (alam insan al-kamil). Pernyataan-pernyataan Hamzah ini mengingatkan kita
kepada pemikiran Ibnu Araby dan filsafat emanasi dalam Neo-Platonisme.
4.4.3 Nur Muhammad dalam Pandangan Syeikh Nuruddin Ar- Raniry
Nama lengkapnya adalah Nuruddin Muhammad bin Ali bin Hasanji bin Muhammad ar-Raniry al-
Quraisy al-Syafi’i. Dia adalah seorang sarjana India keturunan Arab yang dilahirkan di Ranir (Rander)
di daerah Gujarat. Nuruddin adalah seorang Syeikh dalam tarikat Rifa’iyyah. Sebelum tahun 1637 M, ia
pernah datang ke Aceh. Namun, kedatangannya yang pertama kali itu tidak mendapat sambutan dari
Sultan Iskandar Muda. Ketika itu yang bertindak sebagai mufti Aceh adalah Syeikhul-Islam
Syamsuddin as-Sumatrani yang menganut paham “wujudiyyah”.
Nuruddin datang ke Aceh untuk kedua kalinya pada tahun 1047 H (1637 M), pada zaman Sultan
Iskandar Tsani. Sultan ini memberi kedudukan yang sangat baik kepadanya. Dia diberi kesempatan
untuk menyanggah faham “wujudiyyah” dari Hamzah Fansuri dan Syamsuddin (Daudy, 1984 : 35-39).
Selain sebagai ulama dan mufti di istana, Nuruddin juga seorang penulis yang sangat produktif. Dia
menulis kitab dari berbagai cabang ilmu pengetahuan seperti fikih, hadits, sejarah, mistik, filsafat,
perbandingan agama, dll. Dalam disertasinya tentang Asrar al Insan fil-Ma’rifatir-‘Ruh war-‘Rahman
(1961), Tudjimah telah mencatat paling tidak terdapat 29 hasil karya Syaikh Nurrudin, antara lain
Shiratal-Mustaqim, Bustanus-‘Salatin fi Dzikril-Awwalin wal-Akhirin Lathaiful-Asrar, Asrar al-Insan
fi Ma’rifatir-‘Ruh war-‘Rahman, Tibyan fi Ma’rifatil-Adyan, Akhbarul-Akhirat fi Ahwalil-Qiyamah,
Hilludz’Dzill, dll (Daudy, 1984 47-98)
Menurut Syeikh Nuruddin, hakikat alam ini dijadikan Allah melalui tajalli. Segala fenomena dan
peristiwa yang terjadi di ala mini disebabkan oleh tajalli Allah yang senantiasa terjadi pada setiap saat
dan waktu. Dia menolak teori emanasi atau faidh-nya Al-Farabi, karena akan membawa kepada
pengakuan bahwa alam ini qadim sehingga jatuh kepada syirik. Teori tersebut juga menafikan
kekuasaan Allah karena alam ini, menurut teori tersebut, melimpah dengan sendirinya tanpa iradah-
Nya, seperti cahaya yang melimpah dari matahari. Namun demikaian, beliau yang juga penganut teori
tajalli telah mengatakan adanya a’yan tsabitah sebagai sesuatu yang qadim, yang pada hakikatnya
sama dengan teori emanasi dari al-Farabi. Rupanya hal ini kurang disadari olehnya (Daudy, 1984: 124-
126).
Syeikh Nuruddin dalam Asrar al-Insan halaman 34-35 mengatakan bahwa yang mula-mula dijadikan
Allah adalah “aAkal pertama” yang disebut juga hakikat Muhammad atau Ruh A’dzam. Ia adalah esa
pada dzat (hakikat), tetapi banyak dari segi pengertian akal. Oleh karena itu, ia berfungsi sebagai sebab
dan relasi. Selanjutnya dari kejamakan akali dalam dzatnya, melimpahlah “akal kedua” dan falak
(bandingkan dengan konsep Al-Farabi). Jumlah semua akal ada sepuluh dan jumlah falak ada sembilan.
Urut-urutan falak itu adalah Arasy, Kursyi, bintang Zuhal (Saturnus), Mustari (Yupiter), Mirrih
(Mars), Syam (Matahari), Zuhara (Venus), Utharid (Mercurius), dan Qamar (bulan). Kesembilan falak
tersebut disebut Aba’ (bapak). Di bawahnya ada Ummahat (ibu) yang terdiri dari empat unsur yaitu
udara, air, api, dan tanah. Dari sebab pengaruh falak Aba’ kepada empat unsur (Ummahat) itu lahirlah
berturut-turut imadat, nabatat, dan hayawanat. Yang terakhir ini adalah manusia, dengan lahirnya
manusia maka sempurnalah penciptaan alam seluruhnya (Daudy, 1984: 126-127).
Dalam Asrar al-Insan halaman 40, Nuruddin mengatakan bahwa sebagai hakikat Muhammad, “akal
pertama” menduduki tempat yang sentral dalam alam ini. Ia yang mula-mula melimpah (tajalli) dari
Allah dan meneruskan limpahan itu kepada akal-akal di bawahnya. Di halaman 39, Nur Muhammad
sebagai Qalam Allah yang sama sifatnya dengan sifat Allah. Oleh karena itu ia adalah sebab bagi
segala yang ada dan yang tidak ada. Ia adalah juga permulaan dan kesudahan segala makhluk (Daudy,
1984: 127-128).
Pendirian Nuruddin tentang asal-usul jiwa manusia ini sangat erat kaitannya dengan teorinya tentang
nur atau ruh Muhammad. Dia mendasarkan pendapatnya dari sebuah hadis Nabi yang artinya : “Yang
mula-mula dijadikan Allah adalah nurku “ (dalam riwayat lain ruhy)”.
Dan satu hadis lain : “Jika bukan karenamu (Muhammad), tidaklah aku jadikan alam ini”.
Jadi, Nuruddin berpendapat bahwa alam beserta isinya, termasuk segala ruh makhluk ini dijadikan dari
Nur Muhammad. Dia melukiskan dalam Jawahirul-Ulum fi Kasyfil-Ma’lum halaman 125, dan di dalam
Asrarul-Insan halaman 29, 37-38 sebagai berikut:
“ Tatkala jadilah Nur Muhammad Saw dari pada Adam kepada wujud maka dijadikan Haqq
ta’ala dari pada nur itu arwah segala ‘ulul-azmi itu segala mursal. Dan dari pada segala arwah
segala mursal itu arwah-arwah segala anbiya’. Dan dari segala arwah anbiya’ itu arwah segala
awliya’. Dan dari arwah segala awliya’ itu itu arwah arwah segala mukmin. Dan dari segala
arwah segala mukmin itu arwah segala munafik. Dan dari arwah segala munafik itu arwah
segala kafir. Dan syaitan, dan dari arwah segala jin dan syaitan itu arwah segala hayawanat.
Dan dari segala arwah segala hayawanat itu arwah segala nabatat. Dan dari arwah segala
nabatat itu arwah segala jamadat (Daudy, 1984: 156-157).
Di dalam Jawahir halaman 124, beliau menjelaskan proses terjadinya Nur Muhammad. Dikatakan
bahwa Nur Muhammad itu tercipta sebagai hasil kerinduan Allah terhadap Dzat-Nya. Oleh karena
kerinduan itu timbullah citra rinduan (shuratul-ma’syuq) pada ilmu-Nya, lalu Allah berfirman
kepadanya dengan firman ciptaan “Kun”, maka lahirlah Nur Muhammad (Daudy, 1984: 157).
Munculnya segala arwah dari nur Muhammad bukan berarti bahwa Nur Muhammad terdiri dari bagian-
bagian yang dapat berpindah kepada makhluk lain. Menurut Nuruddin, terjadinya arwah dari ruh Nur
Muhammad adalah seperti pelita (dian) yang darinya dapat dinyalakan beribu-ribu pelita lain. Jadi yang
berpindah bukanlah cahayanya tetapi bekasnya (atsar) yang dapat menyalakan banyak pelita.
Dia juga mengatakan dalam Asrar-al-Insan halaman 147 bahwa yang dimaksud dengan Insan Kamil
adalah manusia yang dalam dirinya telah memiliki hakikat Muhammad atau Nur Muhammad atau ruh
Muhammad sebagai makhluk awal mula dan sebab bagi terciptanya segala mahluk. Untuk memperkuat
pendapat-pendapatnya, Nuruddin juga mengutip beberapa hadis (yang menurut para ulama ahli hadis,
dianggap sebagai hadis palsu) antara lain :
“ Pertama-tama dijadikan Allah Ta’ala itu cahayaku, dan pada riwayat lain rukhy (Asrarul-
Insan hal. 47)
“Adalah aku Nabi, dan Adam antara air dan tanah (Jawahir hal. 159)
“ Jikalau tiada karena engkau, ya Muhammad, niscaya tiada kujadikan segala alam ini (Jawahir
hal. 125-126)
Hadis-hadis di atas menyatakan bahwa Nabi Muhammad atau Nur Muhammad telah dijadikan
sebelum alam ini. Dia tercipta sebelum adanya dalam bentuk sebagai seorang Nabi Insani (fisik). Nur
itu kadim lagi azali. Nur Muhammad selalu berpindah-pindah dari generasi ke generasi berikutnya
dalam berbagai bentuk para nabi seperti Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, dll. yang berakhir kepada bentuk
Nabi penutup, Muhammad saw. Seterusnya Nur itu berpindah kepada para Imam di kalangan Syi’ah
Imamiyah dan berakhir pada Imam Mahdi Al-Muntazar. Di kalangan kaum tasawuf, Nur itu berpindah
kepada para wali (awliya’) dan berakhir kepada wali penutup (khatamul-awliya’), yakni Nabi Isa yang
akan turun pada akhir zaman (Daudy, 1984: 185-186). Bandingkan dengan konsep Insan al-Kamil dari
Abdul Karim al-Jilli. Di sini tampak sekali pengaruh Al-Jilli pada Nuruddin.
Menurut Nuruddin (dalam Daudy, 1984: 187-188), Nur Muhammad/ ruh Muhammad adalah hakikat
pertama yang mula-mula lahir dalam ilmu Allah (ta’ayyun awwal) yang lahir dari tajalli dzat atas dzat.
Oleh karena itu hakikat atau nur Muhammad merupakan “ hakikat jami ” yang menghimpun segala
yang haq. Hal ini dikarenakan alam syahadah adalah semata-mata merupakan wadah kenyataan bagi
nama allah Al-Achir, Adz-‘Dzahir, sedangkan a’yan tsabitah adalah wadah kenyataan dari Allah: Al-
awwal, Al-Bathin. Jadi jika sebagian-sebagian alam ini hanya merupakan wadah tajalli bagi sebagian
asma Allah dan sifatnya, maka wadah kenyataan bagi tajalli nama Allah yang menghimpun segala
nama dan sifat hanyalah pada “Insan Kamil”. “Insan Kamil” merupakan cermin bagi Allah untuk
melihat kesempurnaan diri-Nya. Selanjutnya “Insan Kamil” juga sebagai pengikat semesta alam. Jadi
pada “Insan Kamil” terhimpun segala yang Ilahi (Asrar hal 59-61). Dari itu “Insan Kamil” merupakan
mikrokosmos (alam saghir) sedangkan alam semesta ini adalah makrokosmos (alam kabir).
Dalam kitabnya Akhbarul-Akhirat fil-Ahwalil-Qiyamah, yang telah ditransliterasikan oleh Djamaris
(1983), pada bab I halaman 2-10, beliau menceritakan tentang kejadian Nur Muhammad. Diceritakan
bahwa Nur Muhammad adalah makhluk pertama yang diciptakan Allah ta’ala.
Alam ini diciptakan karena Nur Muhammad. Nur Muhammad dilukiskan sebagai burung merak. Ia
ditempatkan oleh Allah di pohon syajaratul-yaqin. Nur Muhammad sujud kepada Allah selam 70.000
tahun serta mengucap tasbih. Nur Muhammad dilihat oleh Allah yang membuat ia malu dan sujud lima
kali. Itulah sebabnya ia diwajibkan untuk sembahyang lima kali sehari semalam. Karena malunya
dilihat Allah, Nur Muhammad berpeluh. Peluh itu ada yang menjadi malaikat, arsyi, kursyi, lauh,
matahari, bulan, dll. Akhirnya semua arwah diperintahkan Allah untuk melihat Nur Muhammad. Bial
Arwah melihat kepala Nur Muhammad, ia akan menjadi khalifah atau raja; bila yang terlihat adalah
keningnya, ia akan menjadi penulis’ dan seterusnya, bermacam-macam derajat orang tergantung dari
apa yang dilihatnya dari Muhammad (Djamaris, 1982: 36-40).
4.5 Paham Nur Muhammad terjalin dalam Kesusastraan Melayu
Setelah penulis membicarakan pengaruh faham Nur Muhammad di dalam sastra kitab /mistik, di sini
akan penulis kemukakan pengaruh faham Nur Muhammad di dalam sastra Melayu dalam arti belles
letters. Ada dua teks yang yang akan penulis ambil sebagai contoh, yaitu Hikayat Nur Muhammad.
Selain itu riwayat kejadian Nur Muhammad ini terdapat pula di dalam Hikayat Muhammad Ali
Hanafiyah dan Hikayat Syah I Merdan Juynboll (1899 : 202),.
4.5.1 Nur Muhammad di dalam Hikayat Muhammad Ali Hanafiyah
Di dalam katalogus Ph. S. van Ronkel (1909: 250-254) naskah Hikayat Muhammad Ali Hanafiyah
(selanjunya disebut HMAH) tercatat delapan naskah. Selain yang masih berupa naskah yang jumlahnya
tidak sedikit, HMAH juga telah ada yang dikerjakan oleh Ali Bahai dicetak di Singapura (Dipodjo,
1986: 171). L. F. Brakel telah membicarakan HMAH ini dalam The Hikayat Muhammad Hanfiyah
(1975).
Menurut Brakel, yang sependapat pula dengan Dr. Ph.S.van Ronkel, behwa HMAH dalam sastra
Melayu itu merupakan terjemahan langsung dari Parsi. Kesejajaran antara keduanya itu terlihat pada :
1. Pembagian atas bab antara keduanya sama.
2. Nama judul dalam bahasa Melayu adalah Hikayat Muhammad Hanafiyah, sama betul dengan Qissa-
i-Muhammad Hanif dalam bahasa Parsi.
3. Banyaknya persamaaan dalam teks bahasa Melayu itu dengan mudah dapat dikembalikan ke dalam
bahas Parsi (Dipodjojo, 1986:1982).
Hikayat ini mula-mula diminta oleh orang-orang Malaka ketika menantikan serangan orang
Paringgi untuk dibacanya agar mendapatkan semangat bertempur pada pagi harinya. Pada
mulanya permintaan itu ditolak oleh sultan Ahmad dan Sultan hanya berkenan meminjamkan
Hikayat Amir Hamzah, tetapi karena permohonan itu dengan sangat, maka akhirnya Sultan pun
berkenan meminjamkan. Hal itu dapat ditemukan pada Sejarah Melayu cerita yang ketiga puluh
empat (Dipodjojo, 1986:160).
Inti ceritanya berpusat pada tokoh Muhammad Ali Hanafiyah, saudara Hasan dan Husein putra
Ali bin Abi Thalib lain Ibu. Muhammad ali Hanafiyah adalah pahlawan kebanggaan kaum
Syi’ah, yang menuntut balas akan kematian saudara-saudaranya yang terjebak tentara musuh di
Karbela.
Isi HMAH secara garis besar isinya adalah :
1. Cerita Nur Muhammad, suatu cahaya kenabian yang ada pada setiap Nabi, cerita
penciptaan Nabi Adam sampai menjelang kelahiran nabi Muhammad saw.
2. Cerita tentang Nabi Muhammad dan kejadian-kejadian yang dialaminya.
3. Cerita tentang Ali sejak memegang pemerintahan dan keturunan Ali sampai meninggalnya
Muhammad Ali Hanafiyah.
Dalam hikayat tersebut cerita dimulai dengan uraian bahwa Tuhan menciptakan Nur
Muhammad. Selanjutnya oleh Tuhan diciptalah ruh para Nabi, para wali dan para Arifin (orang
yang bijaksana). Disuruh-Nya malaikat Jibril mengambil inti bumi. Inti bumi itu dijadikannya
sebagai “lembaga nabi”. Lembaga Nabi itu turun terus menerus sejak Nabi Adam a.s. melalui
para Nabi yang lain sampai kepada Abdullah bin Abdul Muttalib (ayah Nabi Muhammad saw).
Diceritakan bahwa ada seorang wanita kaya dari Syiria bernama Fatimah ingin bersuamikan
Abdullah. Tetapi maksud itu kandas setelah mengetahui lembaga nabi itu telah berpindah ke
rahim siti Aminah yang telah lebih dahulu diperistri Abdullah.
Menjelang kelahiran Nabi Muhammad, dahi Abdullah seakan-akan bercahaya bagai bintang Yahro.
Cahaya itu padam setelah Abdullah beserta Siti Aminah, istrinya menyendiri dan mengingat Allah.
Ketika Muhammad akan lahir, rumah Siti Aminah ada cahaya yang memancar sampai ke langit. Ketika
Muhammad lahir, rumah Siti Aminah tertutup rapat sehingga orang lain tidak dapat masuk ke rumah
tersebut (Dipodjojo, 1986: 170).
4.5.2. Nur Muhammad di Dalam Hikayat Syah I Merdan
Hikayat Syah I Merdan (HSM) oleh C. Hooykaas (1947:125) dimasukkan ke dalam “Het Boek
mit Indische Fantazie”. Jalan ceritanya pada garis besarnya mirip dengan cerita Jawa yaitu
Angling Darma (Atja, 1966:31-32). Hikayat ini berisi pula ajaran soal-soal keislaman yang
dikemukakan dengan tanya jawab antara Syeikh Lukmanul-Hakim dan Syah Merdan.
Dalam perbincangan kedua orang itu mengenai sembahyang dikatakan bahwa sembahyang itu sifat
Nabi, yakni Nabi Muhammad, berkat wali Allah. Sembahyang itu lahir dari pada Allah Ta’ala. Sholat
subuh dilaksanakan dua rekaat karena asal-usul sifat Muhammad . sembahyang Lohor itu empat rekaat
karena kenyatan Allah Ta’ala tu empat perkara, yaitu wujud, ilm, syuhud dan nur (bandingkandengan
konsep Nuruddin di atas). Yang ada itu Allah Ta’ala dan yang nyata itu Muhammad, karena sudah
tersimpan pada haq Allah Ta’ala, yakni Allah yang ada. Adapun ilmu itu mengetahui, dan yang
mengetahui itu Muhammad, sedang yang diketahui adalah Allah Ta’ala. Nur adalah cahaya
Muhammad /Nur Muhammad yang cahayanya itu terangnya Muhammad. Terang itu adalah ilmu
Muhammad, sementara yang terang itu adalah Muhammad karena diterangi oleh Allah Ta’ala. Adapun
syuhud itu adalah himpunan ilmu dan sifat pada hati kita, yaitu pengetahuan akan Allah Ta’ala.
Sembahyang Asar itu empat rekaat karena asal manusia itu dari empat perkara yaitu api, angin, air, dan
tanah. Sembahyang Maghrib itu tiga rekaat karena tiga peringkat / martabat penjelmaan Tuhan yaitu
Achadiya, Wachda, Wachidiyya. Ketiga martabat itu juga adalah Allah, Muhammad, dan Adam.
Sembahyang Isya’ itu empat rekaat karena empat perkara yaitu wadi, madi, mani, manikam.
HSM juga menceritakan terjadinya bermacam-macam mahluk yang berasal dari karena Allah menilik
pada Nur Muhammad dengan tilik kodrat-Nya. Karena sangat malunya keluarlah peluh dari dari Nur
Muhammad. Dari peluh itulah terjadi berbagai kejadian yang berwujud segala makhluk.
4.5.3. Nur Muhammad di dalam Sejarah Melayu edisi Shellabear, W.G. 1979 Kuala Lumpur:
Fajar Bakti Sdn. Bhd
Di dalam Sejarah Melayu dibicarakan juga Nur Muhammad ini sebagai pembuka cerita. Pada
Pasal pertama dikisahkan sebagai berikut.
Dan Ialah tuhan yang abadi, lagi senantiasa adanya, dan tiada sesuatu juapun kemudian-Nya.
Maka dijadikannya segala makhluk, dan tiada hajat bagi-Nya. Walamma arada azhara
rubbuiyatihi fakhalaqa nura habihi, wamn dzalika’l-nuri khalal’l anbiya’a wa fara’a rutbatuhu.
Maka tatkala Ia hendak menyatakanketahuannya , maka dijadikannya Nur kekasih-Nya dan
daripada nur itulah dijadikan segala anbiyak, dan dipaerangkatnya martabatnya. Wastafa minhum
Adama liyuzhira nurahu, falidzalika sajada ‘l malakitau kulluhum lahu. Daripada anbiya’ itu Nabi
Allah Adam supaya menyatakan nur kekasihnya, maka dari kerana itulah sujud sekalian malaikat
akan dia. Wa akhrajahu minal jannati kaana fiihi chikmatahu, watafadhdhala alayhi bi’l rutbati l-
ulya fasara fil ardhi khalifatuhu. Dan dikeluarkannya ia dari dalam surge, adalah dalamnya
hikmatnya, dan dianugerahinya akan dia maratabt yang tinggi, maka jadilah ia akan khalfahnya di
bumi. Subhanalladzi tafarradha bil-uluhiyati, wala syarika lahu, wayufni’l khala’iqa ba’da
khalqihi, tsumma yu’iduhu. Maha suci bagi Allah yang tinggi ketuhanannya dan tiada sekutu
baginya, dan lagi akan difanakannya segala makhluk, kemudian dijadikannya, maka
dikembalikannya pula. (halaman 2)
http://staff.undip.ac.id/sastra/fauzan/2009/07/22/pemikiran-sufistif-nur-muhammad-hamzah-fansuri/

SYEKH YUSUF AL MAKASARI

Syekh Yusuf berasal dari keluarga bangsawan tinggi di kalangan suku bangsa Makassar dan
mempunyai pertalian kerabat dengan raja-raja Banten, Gowa, dan Bone. Syekh Yusuf sendiri dapat
mengajarkan beberapa tarekat sesuai dengan ijazahnya. Seperti tarekat Naqsyabandiyah, Syattariyah,
Ba'alawiyah, dan Qadiriyah. Namun dalam pengajarannya, Syekh Yusuf tidak pernah menyinggung
pertentangan antara Hamzah Fansuri yang mengembangkan ajaran wujudiyah dengan Syekh Nuruddin
Ar-Raniri dalam abad ke-17 itu.

Syekh Yusuf sejak kecil diajar serta dididik secara Islam. Ia diajar mengaji Alquran oleh guru bernama
Daeng ri Tasammang sampai tamat. Di usianya ke-15, Syekh Yusuf mencari ilmu di tempat lain,
mengunjungi ulama terkenal di Cikoang yang bernama Syekh Jalaluddin al-Aidit, yang mendirikan
pengajian pada tahun 1640.

Syekh Yusuf meninggalkan negerinya, Gowa, menuju pusat Islam di Mekah pada tanggal 22
September 1644 dalam usia 18 tahun. Ia sempat singgah di Banten dan sempat belajar pada seorang
guru di Banten. Saat ia mengenal ulama masyhur di Aceh, Syekh Nuruddin ar Raniri, melalui
karangan-karangannya, pergilah ia ke Aceh dan menemuinya.

Setelah menerima ijazah tarekat Qadiriyah dari Syekh Nuruddin, Syekh Yusuf berusaha ke Timur
Tengah. Beliau ke Arab Saudi melalui Srilanka.

Di Arab Saudi, mula-mula Syekh Yusuf mengunjungi negeri Yaman, berguru pada Sayed Syekh Abi
Abdullah Muhammad Abdul Baqi bin Syekh al-Kabir Mazjaji al-Yamani Zaidi al-Naqsyabandi. Ia
dianugerahi ijazah tarekat Naqsyabandi dari gurunya ini.

Perjalanan Syekh Yusuf dilanjutkan ke Zubaid, masih di negeri Yaman, menemui Syekh Maulana
Sayed Ali. Dari gurunya ini Syekh Yusuf mendapatkan ijazah tarekat Al-Baalawiyah. Setelah tiba
musim haji, beliau ke Mekah menunaikan ibadah haji.

Dilanjutkan ke Madinah, berguru pada syekh terkenal masa itu yaitu Syekh Ibrahim Hasan bin
Syihabuddin Al-Kurdi Al-Kaurani. Dari Syekh ini diterimanya ijazah tarekat Syattariyah. Belum juga
puas dengan ilmu yang didapat, Syekh Yusuf pergi ke negeri Syam (Damaskus) menemui Syekh Abu
Al Barakat Ayyub Al-Khalwati Al-Qurasyi. Gurunya ini memberikan ijazah tarekat Khalwatiyah
setelah dilihat kemajuan amal syariat dan amal Hakikat yang dialami oleh Syekh Yusuf.

Melihat jenis-jenis alirannya, diperoleh kesan bahwa Syekh Yusuf memiliki pengetahuan yang tinggi,
meluas, dan mendalam. Mungkin bobot ilmu seperti itu, disebut dalam lontara versi Gowa berupa
ungkapan (dalam bahasa Makassar): tamparang tenaya sandakanna (langit yang tak dapat diduga),
langik tenaya birinna (langit yang tak berpinggir), dan kappalak tenaya gulinna (kapal yang tak
berkemudi).

Cara-cara hidup utama yang ditekankan oleh Syekh Yusuf dalam pengajarannya kepada murid-
muridnya ialah kesucian batin dari segala perbuatan maksiat dengan segala bentuknya. Dorongan
berbuat maksiat dipengaruhi oleh kecenderungan mengikuti keinginan hawa nafsu semata-mata, yaitu
keinginan memperoleh kemewahan dan kenikmatan dunia. Hawa nafsu itulah yang menjadi sebab
utama dari segala perilaku yang buruk. Tahap pertama yang harus ditempuh oleh seorang murid (salik)
adalah mengosongkan diri dari sikap dan perilaku yang menunjukkan kemewahan duniawi.

Ajaran Syekh Yusuf mengenai proses awal penyucian batin menempuh cara-cara moderat. Kehidupan
dunia ini bukanlah harus ditinggalkan dan hawa nafsu harus dimatikan sama sekali. Melainkan hidup
ini harus dimanfaatkan guna menuju Tuhan. Gejolak hawa nafsu harus dikuasai melalui tata tertib
hidup, disiplin diri dan penguasaan diri atas dasar orientasi ketuhanan yang senantiasa melingkupi
kehidupan manusia.

Hidup, dalam pandangan Syekh Yusuf, bukan hanya untuk menciptakan keseimbangan antara duniawi
dan ukhrawi. Namun, kehidupan ini harus dikandungi cita-cita dan tujuan hidup menuju pencapaian
anugerah Tuhan.

Dengan demikian Syekh Yusuf mengajarkan kepada muridnya untuk menemukan kebebasan dalam
menempatkan Allah Yang Mahaesa sebagai pusat orientasi dan inti dari cita, karena hal ini akan
memberi tujuan hidup itu sendiri.

http://sufiroad.blogspot.com/2008/11/syekh-yusuf-al-makasari.html
“Dan beliau juga ditanya tentang seorang laki-laki dan Sunan Muria (kaum abangan) berbeda
pandangan al-Bantani, Syekh Arsyad al-Banjary dan Syekh Nuruddin ar- Raniry yang Dimana Sunan
Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Kudus, Sunan Gunungjati dan Sunan Muria (kaum abangan) berbeda
pandangan mengenai adat istiadat dengan Sunan Ampel, Sunan Giri dan Sunan Drajat (kaum putihan).
Sunan Kalijaga mengusulkan agar adat istiadat lama Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Arsyad al-
Banjary dan Syekh Nuruddin ar- Raniry yang merupakan peletak dasar-dasar pesantren di Indonesia
pun masih berpegang kuat dalam menganggap buruknya selamatan kematian itu. Beliau dituduh
melanggar hak azasi manusia (HAM) karena melalui satu sumber pribumi, yaitu Surat Keterangan
Syekh know by name, Hamzah Fansuri, Syamsuddin of Pasai, Nuruddin
Taqdir manusia dalam pandangan Hamka : kajian pemikiran kajian terhadap pemikiran Abu Hanifah
tentang iman dan perbuatan manusia / Muhammad Thaib. Banda Aceh : Ar-Raniry Amin AR., M. 1983
'Studi tentang sistim da'wah tarekat 1983 Allah dan manusia dalam konsepsi Syeikh Nuruddin ar-
Raniry.There are some information about Syekh’s argument it seemed that far before Nuruddin Ar-
Raniry see: Ahmad Duli, Allah dan Manusia Dalam Konsepsi Nuruddin al-Raniry, (Jakarta Diskusi
Tentang NII Dgn Agung Y From: alchaidar. Reads: 482Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Arsyad al-
Banjary dan Syekh Nuruddin ar- Raniry yang merupakan peletak dasar-dasar pesantren di Indonesia
pun masih berpegang kuat dalam menganggap buruknya selamatan kematian itu. . Adapun
penghidangan makanan yang dilakukan keluarga mayit (dengan tujuan) mengundang manusia ke acara
tersebut, maka sesungguhnya perbuatan tersebut bid'ah, berdasarkan perkataan Jarir bin Abdillah:
“Kami (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah AR JUNAEDI ; aris heru utomo's
blog ; aristianto ; AR SAHABAT ALAM DAN MANUSIA .. Salam Indonesia ; Sanggar Altar Semua
Cerita tentang Senandung Oom Koko ; Senzei Blogsebagaimana kita ketahui bukti - yang berbentuk
tugu yang ada di aceh sebelum nya telah pun di roboh kan oleh indonesia semasa pemerintahan Suharto
atas sebab-sebab itu lah sejarah aceh mula pudar dari pandangan umum . dan juga buku sejarah 1961);
Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh Nuruddin ar-Raniry, (Jakarta: Rajawali
Pres, 1983); idem, Syeikh Nuruddin Ar-Raniry (Sejarah, Karya dan Sanggahan Terhadap Wujudiyyah
di Aceh), (Jakarta: Bulan Bintang, Hanya di fikiran manusia karya ulama terkenal Syekh Nuruddin Ar
cukup menghormati pandangan-pandangan Ibnu Arabi. Justeru itu aku agak tertanya. Jika benarlah
Syekh Nuruddin Syekh Ahmad Zarrouq 4433 reads
A. Apa yang Mempengaruhi Pemikiran Manusia ?. Pemikiran di Indonesia saat ini. C. Pemikiran
Nurdin Ar Raniry perjalanan tentang. sejarah. yang ar. telah. dijelaskan dalamKitabul Martabah
(Filsafat dan Nilai-nilai Manusia),  Risalatul Wahhab (Ilmu Tauhid),  Mir'atul Muhaqiqin (Tarikat dan
Wihdatul Wujud),  Thanbihullah (Akhlak),  Syarah Ruba'i Hamzah Fansuri (Kitab Filsafat,
menguraikan karya sastra Ruba'i Hamzah Fansuri). 3. Syeikh Nuruddin Ar-Raniry Syeikh Nuruddin
Ar-Raniry, seorang ulama besar, politikus, negarawan, yang menjadi Qadhi Malikul Adil masa Sultan
Iskandar Tsani dan Ratu Safiatuddin, 1045-1086 H (1641-1675 M). Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh
Arsyad al-Banjary dan Syekh Nuruddin ar- Raniry yang merupakan peletak dasar-dasar pesantren di
Indonesia pun masih berpegang kuat dalam menganggap buruknya selamatan kematian itu. kecuali
orang tersebut diberi kemudahan oleh Allah di dalam menghadapi segala kecaman manusia yang
diakibatkan karena perbuatannya yang tidak sesuai dengan keinginan mereka serta karena ia berusaha
melarang mereka melakukan apa yang sudah dibiasakan oleh
Mengenai Muawiyah dan anaknya Yazid, Syeikh Nuruddin ar-Raniry yang menjadi mufti Kerajaan
Aceh Darussalam masa kekuasaan Iskandar Tsani (1045 -1050 M) mengeluarkan fatwa dalam bentuk
syair berikut. Allah dan Manusia dalam Konsepsi Nuruddin Ar-Raniry, CV. Rajawali Jakarta). Fatwa
itu menunjukkan bahwa telah terjadi perbedaan pemahaman dalam kontek peristiwa Perang Siffin
(tahun 37 H) dan Perang Karbala (tahun 60 H) dalam pandangan Sunni. Syeikh Nuruddin mencoba
Misalnya, Syair Perahu karangan Hamzah Fansuri yang berisi pandangan tasauf telah dikarang dalam
bahasa Melayu. Sandingannya, karya Nuruddin Ar-Raniry, Asar al Insan fi Ma`riah wa Rahman, juga
memakai bahasa Melayu. . Ketika itu, selain sempat diperintah beberapa Sultan terkemuka, Aceh juga
telah dibimbing beberapa ulama kaliber dunia, yaitu Hamzah Fansury, Syamsudin As-Sumatrani,
Syekh Nuruddin Ar-Raniry dan Syekh Abdurrauf As-Singkily atau Syiah Kuala. Dalam syairnya
Hamzah juga bercerita tentang kunjungannya ke Makkah, al-Quds, Baghdad (disana ia mengunjungi
makam syekh 'Abdul-Qadir al-Jilani) dan ke Ayuthia. Dalam syairnya juga ia mengaku menerima
ijazah Tarekat Qadiriyah di Baghdad Shufi selanjutnya adalah Nuruddin ar-Raniri. Nama lengkapnya
adalah Nuruddin bin Ali bin Hasanji bin Muhammad Hamid ar-Raniry, berasal dari keluarga Arab
Ranir Gujarat. wafat tahun 1068/1658. Ibunya orang Melayu, ayahnya imigran dari
SYEIKH Nuruddin Ar-Raniry, seorang ulama besar, politikus, negarawan, yang menjadi Qadhi
Malikul Adil masa Sultan Iskandar Muda dan Ratu Safiatuddin, 1045-1086 H (1641-1675 M).
Kitabnya berbahasa Melayu, antara lain: Ash Shiratul Tidak saja ulama pribumi ingin menanamkan
ajarannya, tetapi juga ulama-ulama yang berasal dari luar negeri, salah satu di antaranya adalah
Nuruddin Ar-Raniri. Mereka saling berebut mempengaruhi Sultan, dengan tujuan agar ajaran mereka
leluasa berkembang di pusat rantau . Agaknya Hamzah ketika menulis syair ini berpedoman pada
Qura'an dan hadist; yang intinya: sesungguhnya Allah menyuruh manusia untuk mencari kehidupan
dunia dengan tidak meninggalkan kehidupan akhirat.

Rauf Singkal, Nurudin Al-Raniri dan Samsudin Al-Sumatrani. Ada yang berpendapat sastera moden
bermula apabila muncul tokoh Beliau menelusuri silsilah keturunannya dan mendapatkan bahwa
Azamat khan adalah keturunan Ahmad Al-Muhajir – cucu imam Ja'far Al-Shadiq yang berhijrah ke
Hadramawt – tokoh sufi tarekat Alawiyah (Shihab, 2009: 28-42). Nuruddin Al-Raniri adalah salah satu
ulama di Aceh yang lahir di Ranir, nama lama sebuah kota pelabuhan di pantai Gujarat dan Saif Al-
Rijal adalah ulama dari India yang hidup semasa dengan Al-Raniri dan mereka sering berdebat
menyangkut Model paparan tasawuf inilah yang membuat Nawawi harus dibedakan dengan tokoh sufi
Indonesia lainnya. la dapat dimakzulkan (dibedakan) dari karakteristik tipologi tasawuf Indonesia,
seperti Hamzah Fansuri, Nuruddin al-Raniri, dalam bukunya Tabyan Fi Ma'rifati al-U Adyan,
Syamsuddin al-Sumatrani dalam bukunya Mi'raj al-Muhakikin al-Iman, Nuruddin Al-Raniri dalam
bukunya Sirat al-Mustaqim, dan Syekh Abdul Rauf Singkili dalam bukunya Mi'raj al-Tulabb Fi Fashil.
Pada tahun 1945, Jepang dikalahkan Sekutu, sehingga tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan di ibukota
Hindia Timur Belanda (Indonesia) segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tahun
1945, Aceh menyatakan bersedia bergabung ke Hamzah fansury adalah salah satu tokoh Aceh yang
sangat berjasa dalam mempopularkan Aceh dengan ilmunya. Hamzah al-Fansuri atau dikenal juga
sebagai Hamzah Fansuri adalah seorang ulama sufi dan sastrawan yang hidup di abad ke-16.
Sedangkan tulisan Nuruddin ar-Raniri hanya menyebut nama Hamzah Fansuri dalam kitabnya Tibyan
—dalam kitab ini Nuruddin menyerang serta menuduh Hamzah dan Syamsuddin berfaham sesat,
dengan menamakannya Wujudiyah dhalala.
Konsep nur dirujuk pada hadis qudsi dan surah al-Nur al-Qur'an. Dalam versi Melayu hikayat ini sering
dimasukkan sebagai pendahuluan karya bercorak sejarah seperti Bustan al-Salatin karangan Nuruddin
al-Raniri, Hikayat Anbiya' dan Tambo . Tokoh-tokoh dalam hikayat ini adalah pahlawan tempatan dan
lingkungan terjadinya cerita juga di bumi Melayu, kecuali Hikayat Gul Bakawali. Meskipun digubah
dari cerita yang sudah ada pada zaman Hindu, namun unsur Islam dari hikayat Perdebatan perkara
khilafiyah Islam di dunia Melayu telah berjalan sejak abad ke 16-17 M, iaitu bermula dari Syeikh
Nuruddin ar-Raniri mengkritik ajaran Syeikh Hamzah al-Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatra-i
dalam perkara Tasawuf.
syeikh nurudin al raniri yang berpegang kepada ahli sunnah wal jemaah yang akhirnya menyebabkan
semua karangan2 hamzah fansuri dibakar oleh sultan aceh atas nasihat nurudin raniri.Sebaliknya
Nurudin Al-Raniri dan Abdur Rauf Singkel adalah penantang Wahdatul Wujud. Danadarma yang
mengaku telah belajar 3 tahun kepada Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, tokoh Antara semua sarjana
tamadun Islam, al-Biruni merupakan tokoh yang Ketika dan ilmu Bintang Dua belas pula terdapat kitab
Bustan al-Salatin yang dikarang oleh Syeikh Nurudin al-Raniri Para da'i pertama di Nusantara;
Fathahillah (Fadhillah Khan Al-Pasai); Nuruddin Ar-Raniri; Syaikh Yusuf Makassar; Pangeran
Diponegoro; Tuanku Imam Bonjol; Teuku Umar; Syaikh Nawawi Al-Bantani; Syaikh Ahmad Khatib
Minangkabau sifatnya, tradisi yang dimulai oleh Hamzah Fansuri, Nurudin al- Raniri, Shamsudin
Sumatrani hinggalah kepada Nafis al Tetapi kemunculan kedua-dua tokoh politik tersebut juga Tokoh
seperti Syeikh Nurudin al-Raniri terkenal bukan hanya setakat seorang alim yang disegani sahaja
bahkan, beliau dikenali sebagai seorang ahli politik dan negarawan ternama Mereka dapat menerima
Ranggawarsito, Raja Ali Haji, Syeikh Ismail Pante Kulu, Nurudin al-Raniri teks kritikan dan kajian,
teks puisi dan novel Indonesia seperti Pokok dan Tokoh (A Kajian terhadap tokoh dibuat dengan
memberi penekanan kepada latar, sumbangan, dan kepentingan tokoh-tokoh sastera Melayu tradisional
seperti Tun Seri Lanang, Hamzah Fansuri, Bukhari al-Jauhari, Nuruddin al-Raniri. Sheikh Daud al-
Fatani Di abad 17 terjadi pertarungan antara Hamzah Fansuri (tasawuf) dan Nurudin Al Raniri (Islam
Pernyataan Pers; Gagasan; Buku; Tokoh; Kliping; Diskusi; Kolom; Wawancara; Editorial
guides.com > > > > > > > Apakah*persamaan*di*antara*tokoh-tokoh
itu*disokong*oleh*Profesor*Syed*Muhammad* Naquib*al Padi 1917 *Menaikkan premium tanah
ladang i) Syeikh Nurudin Al-Raniri ii i) Syeikh Nurudin Al-Raniri ii) Abdul Rauf Singkel. Apakah
sumbangan kedua-dua tokoh di atas dalam sejarah Islam di Asia al-Rasyid dan Khalifah al-Makmum di
anggap sebagai Fasal pertama antara lain menceritakan tokoh sufi yang masyhur, Sultan Ibrahim
Adham. Bab V menceritakan raja-raja yang zalim dan wazir-wazir yang keji. Bab VI menceritakan
orang-orang yang dermawan dan orang-orang besar pemberani Meskipun Nuruddin al-Raniri tidak
secara tersurat menyebutkan bahwa kitab Sa`di itu menjadi salah satu rujukannya, namun bagi mereka
yang membaca karya Sa'di setelah membaca Bustan al-Salatin akan dapat memahami kaitan kedua
buku tersebut.
Nama sebenarnya ialah Syeikh Nuruddin bin Ali al-Raniri. Beliau berasal daripada Render,
berhampiran bandar Sirat dalam daerah Gujerat, India. Beliau pernah mempelajari bahasa Melayu
daripada seorang Jawa ketika berada di Mekah dan

You might also like