You are on page 1of 8

Drs. H.

Simbolon, MS – Statistik
II
Bab VI
Teori Probabilita

6-1. Beberapa Catatan Tentang Sejarah Probabilita

Pengetahuan tentang probabilita (probability) sebenarnya telah dikenal sejak berabad-abad


lamanya. Meskipun demikian, penjelasan secara ilmiah baru dirintis pada abad ketujuhbelas.
Pada masa itu, Chevalier de Mere (seorang bangsawan Perancis) acapkali menulis surat pada
Blaise Pascal agar diberi penjelasan tentang perbedaan antara pemikiran-pemikiran
teoritisnya dengan hasil-hasil observasi yang diperolehnya dari gelanggang judi. Soal-soal
perjudian itulah yang menarik perhatian Pascal dan Fermat dan surat menyurat antara kedua
sarjana tersebut tentang persoalan diatas sebenarnya meletakkan dasar pemikiran bagi ilmu
probabilita modern. Huygens (1629-1695), seorang sarjana Belanda membaca isi surat
menyurat ini dan karena tertarik oleh buah fikiran baru tersebut, ia kemudian menulis buku
tentang probabilita yang berjudul De Ratio ciniis in ludo aleae (1654). Dalam buku tersebut,
Huygens memberi penjelasan tentang cara pemecahan soal-soal probabilita dalam permainan
judi. Pengertian tentang harapan matematis (mathematical expectation) yang demikian
pentingnya dalam probabilita modern dapat dikatakan bersandar pada tulisan-tulisannya
diatas.

6-2. Pengertian Tentang Probabilita

Teori probabilita merupakan cabang dari ilmu matematika terapan (applied mathematics) dan
yang menelaah perilaku faktor untung-untungan (chance factor).
Faktor untung-untungan umumnya dihubungkan dengan pengertian tentang peluang atau
kemungkinan (probability or likelihood). Sebab, jika hasilnya tidak pasti (certain) karena
hasil tersebut merupakan akibat faktor untung-untungan, maka kita hanya dapat menyatakan
peluang atau tingkat kepastian (degree of certainty) timbulnya suatu kejadian.

Pada hakekatnya, dasar perumusan tentang probabilita atau penentuan besaran yang dapat
mengukur tingkat kepastian timbulnya suatu peristiwa dapat dibedakan dalam 3 cara sebagai
berikut :

a. Perumusan Klasik
Dalam contoh tentang 10 bola merah dan 10 bola putih, jika kita secara random (acak-
acakan) memilih satu bola dari dalam peti, maka kemungkinan terpilihnya bola putih akan

1
sama besarnya dengan kemungkinan terpilihnya bola merah. Dalam hal tersebut, probabilita
diinterpretasikan atas dasar pengertian tentang rangkaian peristiwa yang bersifat saling lepas
dan yang memiliki kesempatan yang sama untuk terwujud (mutually exclusive and equally
likely sets of events).
Drs. H. Simbolon, MS – Statistik
II
b. Perumusan atas dasar konsep frekuensi relatif
Dalam kenyataan, banyak peristiwa atau kejadian sukar sekali ditentukan apakah rangkaian
peristiwa tersebut memiliki kesempatan yang sama untuk timbul. Dalam hal sedemikian,
perumusan probabilita atas dasar pengertian frekuensi relatif akan lebih bermanfaat.
Jika m merupakan jumlah perwujudan kejadian yang khusus, katakanlah peristiwa E dalam
serangkaian n percobaan dalam jumlah yang tidak terhingga, maka probabilita peristiwa E
merupakan frekuensi relatif m/n dan dinyatakan sebagai : p (E) = lim m/n.
n→∞

c. Perumusan atas dasar subyektivitas


Tidak semua kejadian dapat timbul secara berulang-ulang seperti hasil serangkaian percobaan
atau pemilihan sampel. Ada kalanya suatu kejadian atau peristiwa hanya timbul sekali saja.
Akhir-akhir ini, probabilita dirumuskan sebagai pengukuran keyakinan pribadi terhadap suatu
hipotesis yang tertentu atau terjadinya suatu peristiwa tertentu, katakanlah hipotesis tentang
kemungkinan manusia dapat hidup dibulan atau peristiwa pemimpin X akan diganti dengan
pemimpin Y. probabilita demikian dinamakan probabilita subyektif (subjectif probability).

6-3. Ruang Sampel

Persoalan probabilita timbul jika kita menganalisa serangkaian hasil percobaan aktual
maupun konseptual. Jika sekeping uang logam dilempar, 2 kemungkinan saja yang akan
timbul. Tiap hasil dari suatu percobaan sedemikian itu akan sesuai dengan salah satu dari
unsur himpunan S = { 0, 1}. Himpunan demikian dinamakan ruang sampel (sample space)
bagi percobaan yang bersangkutan. Pelemparan 2 keping uang logam akan menghasilkan 4
kemungkinan dan tiap hasil pelemparan diatas akan sesuai dengan satu saja dari unsur
himpunan. S = { (0, 0), (0, 1), (1, 0), (1, 1) }

6-3.1. Beberapa catatan tentang ruang sampel


Pada contoh tentang hasil pelemparan 2 butir dadu, seluruh kejadian (hasil) yang mungkin
timbul ialah sebesar 6n = 62 = 36. Dengan lain perkataan, ruang sampelnya terdiri dari 36 titik
sampel (sample points).
Dengan jalan pemikiran yang sama, probabilita untuk dapat memilih sebuah sampel yang
terdiri dari 3 orang dari sebuah populasi yang terdiri dari 30 orang ialah sebesar :

1
1
p (3 orang) = m/n = 30 =
( )
3
4060

dengan sendirinya, (303 ) merupakan jumlah titik sampel yang terdapat dalam ruang sampel.
2
Akhirnya, sebuah ruang sampel dapat dirumuskan sebagai himpunan yang tidak terhingga.
Karena kita selalu dapat menyatakan tiap titik dalam garis yang bersangkutan dengan suatu
Drs. H. Simbolon, MS – Statistik
II
bilangan rial (real number) yang unik, maka kita dapat menganggap sebagai ruang sampel
suatu himpunan yang tidak terhingga dan dinyatakan sebagai : S = { x ∈ R : 0 ≤ x ≤ 1 }.
dimana R = Himpunan yang terdiri dari semua bilangan rial.

3
Drs. H. Simbolon, MS – Statistik
II
6-4. Peristiwa (event)
6-4.1. Pengertian tentang peristiwa

Ruang sampel dapat dianggap sebagai suatu himpunan universal bagi semua hasil aktual atau
konseptual yang mungkin terjadi, karena pada tiap percobaan, kita selalu ingin mengetahui
terjadinya pelbagai macam peristiwa atau kejadian yang berkenaan dengan percobaan itu
sendiri.

Contoh 6-4.1 : Percobaan mengenai pelemparan sekeping uang logam sebanyak 3 kali akan
menghasilkan suatu himpunan seperti misalnya :
S = { (0,0,0), (0,0,1), (0,1,0), (1,0,0), (0,1,1), (1,0,1), (1,1,0), (1,1,1) }
Sebagai ruang sampelnya. Dari unsur himpunan S diatas, peristiwa timbulnya dua sisi 0 ialah
(0,0,1), (0,1,0) dan (1,0,0) atau dapat dinyatakan sebagai A = { (0,0,1), (0,1,0), (1,0,0) }.

A diatas merupakan sebuah sub-himpunan dari ruang sampel S dan dengan sendirinya ruang
sampel S merupakan himpunan universal bagi sub-himpunan A tersebut. Sub-himpunan A
dapat merupakan ekivalensi matematis dari peristiwa jumlah hasil 0 sebanyak dua.

DEFINISI 6.4.1.: Bila sebuah ruang sampel S telah ditentukan, suatu peristiwa atau kejadian
(event) ialah sebuah sub-himpunan dari S.

Per definisi 6.4.1. diatas, maka kita dapat mengatakan misalnya,


1. Peristiwa A = sub-himpunan A dari ruang sampel S.
2. Peristiwa B = sub-himpunan B dari ruang sampel S.
3. Peristiwa A atau B = A ∪ B.
4. Peristiwa A dan B = A ∩ B.
5. Peristiwa A mutlak terjadi = A = S.
6. Peristiwa A dan B merupakan peristiwa yang saling lepas = A ∩ B = ∅

6-4.2. Probabilita suatu peristiwa


DEFINISI 6.4.2.: Bila suatu percobaan dapat menimbulkan sejumlah n hasil yang berbeda
serta memiliki kesempatan untuk terwujud yang sama dan bila m dari hasil di atas merupakan
peristiwa A, probabilita peristiwa A dapat dirumuskan menjadi : p (A) = m/n.

Bila semua peristiwa yang bukan A dinyatakan dengan tanda Ā , maka


n−m
p (Ā) = = 1 – p (A)
n

Perumusan diatas harus memenuhi ketentuan,


1. Probabilita A harus merupakan bilangan yang non-negatif yaitu : p (A) ≥ 0
2. Jumlah probabilita A ditambah dengan Ā harus sama dengan 1 atau, p (A) + p (Ā) = 1 4
Drs. H. Simbolon, MS – Statistik
II
Perumusan diatas, membawa konsekuensi bahwa probabilita relatif (relative probability) bagi
A dan Ā ialah :

p(A ) m/n m
= =
p ( Ā ) ( n−m) /n n−m

6-5. Asas-asas Menghitung Probabilita Peristiwa

DEFINISI 6.5.1.: Peristiwa yang saling lepas (mutually exclusive).


Dua peristiwa merupakan peristiwa yang saling lepas bila kedua peristiwa tersebut tidak
dapat terjadi pada waktu yang bersamaan. Secara matematis, dua himpunan A dan B
dikatakan saling lepas atau terpisah (disjoint) bila dan hanya bila mereka tidak memiliki
unsur yang sama dan A ∩ B = ∅.

TEOREMA 6.5.1.: Bila A dan B saling lepas dan merupakan peristiwa dalam sebuah ruang
sampel yang terbatas, maka :
p (A ∪ B) = p (A) + p (B)
dimana
A∩B=∅
dan
p (A ∩ B) = p (∅) = 0

Contoh 6.5.1. : Bila sebutir dadu dilempar sekali, berapakah probabilita timbulnya mata dadu
1 atau mata dadu 5?
Pada pelemparan dadu, peristiwa timbulnya mata dadu 1 dan peristiwa timbulnya mata dadu
5 merupakan dua peristiwa yang saling lepas. Bila A = peristiwa timbulnya mata dadu 1, dan
B = peristiwa timbulnya mata dadu 5, maka per Definisi 6.5.1. probabilitanya dinyatakan
sebagai berikut :

p (A ∪ B) = p (A) + p (B)
= 1/6 + 1/6 = 2/6 = 1/3

TEOREMA 6.5.2. : Bila terdapat beberapa peristiwa yang saling lepas A 1, A2, A3,…,Am
dalam sebuah ruang sampel, maka :
p (A1 ∪ A2 ∪ A3 . . . ∪ Am)
= p (A1) + p (A2) + p (A3) + . . . + p (Am)

DEFINISI 6.5.2. : Dua peristiwa dikatakan tidak saling lepas bila kedua peristiwa tersebut
tidak usah terpisah (disjoint).
5
Drs. H. Simbolon, MS – Statistik
II
6-6. Beberapa Contoh Menghitung dengan Menggunakan Asas-asas Probabilita

Contoh 6.6.1. : Dalam contoh yang baru lalu, bila sebelum pemilihan bola yang kedua, kita
kembalikan bola pertama ke dalam peti, berapakah probabilita pemilihan pertama dan kedua
menghasilkan bola putih?

Bila sebelum pemilihan kedua, bola yang terpilih pada pemilihan pertama harus
dikembalikan, peristiwa A dan peristiwa B merupakan peristiwa yang independen sehingga :
p (A ∩ B) = p (A) . p (B)
=¾X¾
= 9/16

Contoh 6.6.2. : Sebutir dadu yang bersisi enam dilempar sebanyak dua kali. Berapakah
probabilita lemparan pertama menghasilkan mata dadu 3 atau mata dadu 4 dan lemparan
kedua menghasilkan sebarang mata dadu selain mata dadu 3?

Bila A merupakan lemparan pertama yang menghasilkan mata dadu 3 atau mata dadu 4 dan B
merupakan lemparan kedua yang menghasilkan sebarang mata dadu selain mata dadu 3,
maka pemecahan soal diatas dapat dilakukan secara berturut-turut sebagai berikut :

Peristiwa lemparan pertama yang menghasilkan mata dadu 3 atau mata dadu 4 merupakan
peristiwa yang saling lepas (mutually exclusive), dan
p (A) = 1/6 + 1/6 = 2/6 = 1/3

Peristiwa B merupakan peristiwa komplimenter, maka : p (B) = 1 – 1/6 = 5/6.

Karena peristiwa A dan peristiwa B merupakan peristiwa yang independen, maka :


p (A ∩ B) = p (A) . p (B)
= 1/3 X 5/6 = 5/18

6-7. Beberapa Catatan tentang Probabilita Berganda (compound probability)

Sesuai dengan definisi tentang hubungan simetris, maka : p (B ∩ A) = p (B) . p (A|B)

Dengan cara yang sama rumus diatas dapat juga ditulis menjadi : p (A ∩ B) = p (A) . p (B|A)

Konsekuensinya : p (A ∩ B) = p (A) . p (B|A) = p (B) . p (A|B)

Rumus diatas juga dinamakan rumus probabilita berganda (compound probability). Rumus

6
tersebut penting sekali artinya untuk menghitung probabilita peristiwa yang terdiri dari
serangkaian percobaan ganda (compound experiment).
Drs. H. Simbolon, MS – Statistik
II
Contoh 6.7.1. : Peti A terisi dengan 3 bola hijau dan 5 bola merah. Peti B terisi dengan 2 bola
hijau, 1 bola merah, dan 2 bola kuning. Bila kita memilih sebuah peti secara random dan
kemudian memilih satu bola dari dalamnya secara random pula, berapakah probabilita kita
akan memilih bola hijau ?

Guna memudahkan cara menghitung, masalah diatas dapat digambarkan secara sistematis
pada diagram 6.7.1.

Hijau 3/16

3/8
Peti A
3/8

Merah 5/16

1/2

1/2 Hijau 2/10

2/5
Peti B 1/5 Merah 1/10
2/5
Kuning 1/5

Bila hanya terdapat 2 peti, pemilihan secara random antara kedua peti akan menghasilkan
probabilita ½ bagi tiap peti untuk dipilih. Pemilihan satu bola secara random dari peti A akan
menghasilkan probabilita 3/8 bagi terpilihnya bola merah. Pemilihan satu bola secara random
dari peti B akan menghasilkan probabilita sebesar 2/5 bagi terpilihnya bola hijau, 1/5 bagi
bola merah dan 2/5 bagi bola kuning. Probabilita (hijau ∩ peti A) = 3/8 X ½ = 3/16
sedangkan probabilita (hijau ∩ peti B) = 2/5 X ½ = 2/10 = 1/5.

Peristiwa bola hijau terpilih dapat terjadi dalam 2 cara yang saling lepas yaitu, 1. Memilih
peti A dan mengambil bola hijau dan 2. Memilih peti B dan mengambil bola hijau. Peristiwa
bola hijau terpilih merupakan gabungan dari kedua peristiwa yang saling lepas di atas.
Alhasil,
p (hijau) = p (hijau ∩ peti A) + p (hijau ∩ peti B)
= 3/16 + 1/5
= 31/80

Hasil hitungan diatas lebih mudah diperoleh dengan menggunakan Rumus:

= (1/2) (3/8) + (1/2) (2/5)


= 31/80
7
p (memilih bola hijau) = p (peti A) . p (hijau peti A) + p (peti B) . p (hijau peti B)
Drs. H. Simbolon, MS – Statistik
II
6-8. Teorema Bayes dan Probabilita Hipotesis

Teorema Bayes yang lebih dikenal dengan nama kaedah Bayes (Bayes’ Rule) memainkan
peranan yang penting dalam penggunaan probabilita bersyarat dan menghitung probabilita
subyektif. Teorema Bayes ini dikemukakan dalam karya Thomas Bayes pada tahun 1763.

Definisi 6.8.1. : Suatu partisi dari suatu himpunan A ialah suatu himpunan {A 1, A2, . . . , An}
yang memiliki ciri-ciri seperti berikut :

a. Aj ⊆ A j = 1, 2, 3, . . . , n
b. Aj ∩ Ak = ∅ j = 1, 2, 3, . . . , n dan k = 1, 2, . . . , n; j ≠ k
c. A1 ∪ A2 ∪ . . . ∪ An = A

Setiap unsur dalam A merupakan unsur dari satu dan hanya satu dari sub-himpunan-sub-
himpunan yang terdapat dalam partisi. Bila As = 13 kartu sekopong, At = 13 kartu cengkeh,
Ad = 13 kartu jantung dan Ai = 13 kartu intan, maka { As, At, Ad, Ai } merupakan suatu partisi
dari ruang sampel S, karena 4 sub-himpunan tersebut saling lepas dan lengkap terbatas.
Sudah tentu partisi dari S dapat merupakan himpunan yang terdiri dari 52 peristiwa dasar
(unsur) dari suatu ruang sampel S.

Teorema 6.7.3. : Bila {A1, A2, A3, . . . , An} merupakan suatu partisi dari ruang sampel S dan
bila setiap peristiwa A1, A2, . . . , An memiliki probabilita ≠ 0, maka probabilita
p (A) = p (A1) p (A|A1) + p (A2) p (A|A2) + . . . + p (An) p (A|An)

Rumus diatas dapat disingkat menjadi,

n
p (A) = ∑ p(Aj) p (A|Aj)
j=1

Pembuktian: Dari hipotesis yang menyatakan bahwa { A1, A2, . . . , An } merupakan partisi
dari S dapat pula ditarik kesimpulan bahwa { A ∩ A1, A ∩ A2, . . . , A ∩ An } merupakan
suatu partisi dari peristiwa A sehingga,
A = (A ∩ A1) ∪ (A ∩ A2) ∪ . . . ∪ (A ∩ An)

A = (A ∩ B) ∪ (A ∩ B’) dimana B = A1 dan B’ = A2 . . . , Am. Seperti diketahui A ∩ (B ∪


B’) (sesuai dengan kaedah distributif) sehingga A ∩ (B ∪ B’) = A ∩ S (sesuai dengan kaedah
komplimenter) dan A ∩ S = A adalah benar.

Rumus diatas tersebut memberi interpretasi bahwa A merupakan gabungan dari sejumlah

8
peristiwa saling lepas. Per definisi tentang probabilita bersyarat umum, kita peroleh bagi
j=1,2,…,n.

p (A ∩ Aj) = p (Aj) p (A|Aj)

You might also like