Professional Documents
Culture Documents
Saya termasuk yang berpendapat, bahkan yakin sangat tidak wajar. Alasan-
alasan saya sebegai berikut.
SMI sedang diperiksa oleh KPK sebagai tindak lanjut dari penyelidikan
tentang skandal Century. Dalam proses yang sedang berjalan, Bank Dunia
menawarkan jabatan dengan dimulainya efektif pada tanggal 1 Juni 2010.
Bank Dunia yang selalu mengajarkan good governance dan supremasi
hukum ternyata sama sekali tidak mempedulikan adanya proses hukum
yang sedang berlangsung terhadap diri SMI.
Juru bicara Presiden memberi pernyataan bahwa Presiden SBY akan memberi
konperensi pers setelah memperoleh ketegasan dari Presiden WB Robert
Zoelick. Namun sehari kemudian diberitakan bahwa SBY telah menerima
surat dari Presiden WB pada tanggal 25 April 2010. Mengapa SBY merasa
perlu berpura-pura seperti ini ?
Dalam konperensi persnya, SBY memuji SMI sebagai salah seorang menteri
terbaiknya yang disertai dengan rincian prestasi dan capaian-capaiannya.
Tetapi justru dengan bangga melepaskan SMI supaya tidak melanjutkan
baktinya kepada bangsa Indonesia.
Ketika berita itu meledak, banyak orang termasuk saya sendiri yang
bertanya-tanya, apakah pengangkatannya ini tidak akan menimbulkan
gejolak. Ternyata sama sekali tidak. Dalam waktu 10 hari sudah tidak ada
lagi yang berbicara dengan nada kritis. Sebaliknya, banyak sekali yang
berbicara dengan nada memuji.
Yang lebih mengejutkan lagi iyalah praktis tidak ada elit politik Indonesia
yang marah kepada WB. Sebaliknya, dalam konperensi persnya Presiden RI
SBY merasa berterima kasih kepada WB yang telah memberikan
penghargaan kepada Indonesia, karena telah sudi memungut SMI
menduduki jabatan yang terhormat di WB sebagai Managing Director.
Ada suara dari DPR, terutama dari Faisal Akbar (Hanura) yang menyerukan
agar SMI dicekal sebelum pemeriksaannya oleh KPK tuntas dengan
kesimpulan bahwa SMI memang bersih dalam kebijakannya bailout Century.
Namun pernyataan yang sangat logis ini tidak bergaung. Respons dari KPK
justru mengatakan bahwa pemeriksaan dapat dilanjutkan di Washington, DC.
Langsung saja muncul reaksi yang mengatakan bahwa pemeriksaan
semacam ini akan sangat mahal, karena jaraknya yang jauh, dan juga akan
terkendala oleh tersedianya dokumen-dokumen yang dibutuhkan. Saya
sendiri tidak dapat membayangkan bahwa WB akan mengizinkan adanya
seorang managing director–nya diperiksa oleh KPK di markas WB di
Washington, DC.
Episode paling akhir dari hijrahnya SMI ke WB adalah penampilan SMI dalam
pertemuan-pertemuan perpisahan. Pidatonya yang mendapat tepuk tangan
sambil berdiri (standing ovation) dari orang-orang seperti Gunawan
Mohammad, Marsilam Simanjuntak, Wimar Witoelar mengundang renungan
apa gerangan yang ada di belakang ucapannya yang hanya sepotong tanpa
penjelasan lanjutannya itu ? Yaitu : “Saya menang”, “Jangan lagi ada
pemimpin yang tidak melindungi atau mengorbankan anak buahnya.” “I will
come back” yang sangat mirip dengan ucapan Mac Arthur : “ I shall return”.
Akankah SMI membentuk semacam pemerintahan in exile yang akan
kembali menjadi Presiden RI ? Sudah ada yang menyuarakan bahwa SMI-lah
yang paling cocok untuk menjadi Presiden RI di tahun 2014.
Di satu pihak demikian gagah beraninya sikap yang ditunjukkan oleh SMI
dalam beberapa pidatonya, tetapi beliau menangis berkali-kali dengan wajah
yang sangat-sangat sedih ketika berpidato dalam acara serah terima jabatan
kepada Menteri Keuangan yang baru. Ada apa ? Sedihkah ? Menurut SMI
sendiri tidak, dia menangis karena merasa “plong”, merasa lega. Bukankah
orang menangis karena sedih atau karena terharu ? Kalau lega, apalagi
“plong” biasanya bersorak sorai.
Anggotanya ditambah dengan para sarjana ilmu politik dari Ohio State
University dengan Prof. Bill Liddle sebagai tokohnya, karena dia merasa
dirinya “Indonesianist” dan diterima oleh murid-muridnya sebagai akhli
tentang Indonesia. Paham dan ideologi yang dihayatinya sama.
Ilustratif tentang adanya OTB ini adalah pidato Dorodjatun Kuntjorojakti yang
pertama kali dalam forum CGI sebagai Menko Perekonomian dalam kabinet
Megawati. Kepada sidang CGI diberikan gambaran tentang perekonomian
Indonesia. Setelah itu dikatakan olehnya bahwa dia mengetahui kondisi
perekonomian Indonesia dengan cepat karena dia selalu asistennya Prof. Ali
Wardhana dan dekat dengan Prof. Widjojo Nitisastro. Selanjutnya dikatakan
bahwa “dirinya bukan anggota partai politik. Tetapi kalau toh harus
menyebut organisasinya, sebut saja Partai UI Depok”. Setengah bercanda,
setengah bangga, secara tersirat Dorodjatun mengakui bahwa OTB memang
ada, pandai, profesional dan berkuasa.
Jauh sebelum SMI menjadi “orang”, Berkeley Mafia sudah lahir dan sangat
instrumental buat kekuatan asing. SMI adalah salah satu kader yang
berkembang menjadi “Don”.
Marilah kita telusuri sejarahnya. Pencuatan Berkeley Mafia yang pertama kali
dan fenomenal terjadi di Jenewa di bulan November 1967, ketika mereka
mendukung atau lebih tepat “mengendalikan” pimpinan delegasi RI, yaitu Sri
Sultan Hamengkubuwono IX dan Adam Malik. Tentang hal ini akan saya
kemukakan pada bagian akhir tulisan ini dengan mengutip John Pilger,
Jeffrey Winters dan Bradley Simpson yang akan diuraikan pada bagian akhir
tulisan ini. Kita fokus terlebih dahulu pada jejak dan track record SMI.
Jejak SMI dan Track Recordnya sebagai Kader OTB yang sangat
Gigih dan Militan
SMI adalah orang yang sejak awal sudah disiapkan sebagai kader yang
militan dari OTB. Seperti yang lain-lainnya, karir dimulai dari FE-UI. Karirnya
yang menonjol tidak sebagai dosen, tetapi sebagai Direktur Lembaga
Penelitian Ekonomi dan Masyarakat UI (LPEM UI). Tidak berlebihan kalau
dikatakan bahwa FE UI dan Departemen Keuangan adalah pusat
pengkaderan OTB.
Ketika sudah terlihat jelas bahwa PDI-P akan menang dalam pemilu tahun
1999, dan Ketua Umumnya Megawati diperkirakan pasti akan menjadi
Presiden, Kongres-nya di Bali menarik perhatian dari seluruh dunia. Saya
terkejut melihat SMI, Dr. Sjahrir almarhum dan teknokrat Berkeley Mafia
lainnya hadir dalam Kongres tersebut yang mendapat tempat khusus di
stadion berlangsungnya pidato pembukaan oleh Megawati, yaitu duduk di
kursi di bawah panggung. Tidak berdiri di depan panggung bersama-sama
dengan massa yang mendengarkan pidato Ketua Umum PDI-P. Buat saya
sangat mengherankan karena Berkeley Mafia adalah arsitek pembangunan
ekonomi di era Soeharto yang dengan sendirinya bersikap berseberangan
dan sangat melecehkan serta memandang rendah PDI-P. Mengapa mereka
sekarang hadir dalam Kongres PDI-P ? Ternyata mereka dibawa oleh orang
yang ketika itu sangat dekat dengan Megawati. Mereka diperkenalkan
kepada Megawati sebagai calon-calon menteri dalam Kabinet Mega nantinya.
Dari sini sangatlah jelas bahwa buat OTB, yang penting memegang
kekuasaan ekonomi tanpa peduli siapa Presidennya dan tanpa peduli apa
ideologi Presidennya. Mereka mempunyai organisasi sendiri yang saya sebut
OTB tadi dengan kekuatan dan pengaruh yang sangat besar. Sepanjang 32
tahun rezim Soeharto, mereka selalu memegang tampuk kekuasaan
ekonomi.
Ketika pak Harto mengundurkan diri dan digantikan oleh Habibie, walaupun
sudah tidak 100% lagi, kekuasaan ekonomi ada di tangan para menteri OTB.
Sejak pak Harto berkuasa sampai dengan Megawati, dua Don dari OTB,
Widjojo Nitisastro dan Ali Wardhana selalu secara resmi penasihat Presiden
atas dasar Keputusan Presiden.
Habibie digantikan oleh Gus Dur sebagai Presiden. Dalam kabinet Gus Dur
tidak ada satupun menteri dari OTB. Menko EKUIN dipegang oleh Kwik Kian
Gie (KKG), Menteri Keuangannya Bambang Sudibyo, Menteri Perdagangan
dan Industri Jusuf Kalla. Tiga orang ini jelas tidak ada sangkut pautnya
dengan OTB dan sama sekali tidak dapat dipengaruhi oleh OTB.
Dalam waktu singkat Gus Dur ditekan oleh kekuatan internasional dan
kekuatan para pengusaha besar di dalam negeri untuk memecat KKG.
Karena sudah lama bersahabat, Gus Dur menceriterakannya terus terang
kepada KKG, sambil mengatakan bahwa beliau telah mencapai kompromi
dibentuk Dewan Ekonomi Nasional (DEN) dengan Emil Salim sebagai Ketua
dan SMI sebagai sekretarisnya. Di dalamnya ada beberapa anggota yang
hanya berfungsi sebagai embel-embel. Mereka tidak pernah aktif kecuali SMI
dan Emil Salim. DEN berhak menghadiri setiap rapat koordinasi oleh Menko
EKUIN. Sebelum dan setelah KKG menjabat Menko EKUIN DEN tidak pernah
ada. Jadi DEN memang khusus diciptakan untuk menjaga, mengawasi dan
memata-matai KKG supaya jangan neko-neko terhadap OTB dan
kepentingan World Bank, Bank Pembangunan Asia dan IMF.
Dalam rapat koordinasi yang pertama KKG mengatakan kepada para menteri
yang ada dalam koordinasinya bahwa kita sedang berhadapan dengan IMF
yang mengawasi dengan ketat pelaksanaan Letter of Intent (LoI). Banyak
dari butir-butir dalam LoI yang merugikan bangsa Indonesia, antara lain,
bea masuk untuk impor beras dan gula harus nol persen, sedangkan ketika
itu produksi dalam negeri melimpah. Maka KKG mengatakan supaya para
menteri bersikap membela kepentingan bangsa Indonesia, kalau perlu
menelikung, menghambat atau menyiasati LoI yang merugikan bangsa kita.
Kalau mereka menghadapi persoalan KKG sebagai Menko EKUIN akan
bertanggung jawab.
Beberapa hari kemudian Emil Salim mendatangi KKG menegur dengan keras
bahwa KKG tidak boleh bersikap seperti itu. KKG harus taat melaksanakan
semua butir yang ada di dalam LoI, karena KKG sendirilah sebagai Menko
EKUIN yang menandatangani LoI.
Beberapa hari lagi setelah itu, Bambang Sudibyo (Menkeu), KKG dan Emil
Salim dipanggil oleh Gus Dur. Gus Dur mempersilakan Emil Salim
mengkuliahi KKG dan Bambang Sudibyo yang isinya tiada lain adalah butir-
butir dari LoI.
Sebagai Menko EKUIN KKG ex officio menjabat Ketua KKSK yang memimpin
dan memutuskan tentang rekapitalisasi bank-bank seperti yang tercantum
dalam LoI. Dalam rapat tentang rekap BNI sebesar Rp. 60 trilyun, LoI
mengatakan bahwa rekap dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama
sebesar Rp. 30 trilyun, seluruh Direksi diganti dan dipantau apakah bekerja
dengan baik menurut ukuran IMF. Kalau ya, maka Rekap. kedua sebesar Rp.
30 trilyun dilakukan. Darmin Nasution yang ketika itu Direktur di
Kementerian Keuangan hadir mewakili Depkeu. Dia mengusulkan supaya
Rekap. dilakukan sekaligus saja sebesar Rp. 60 trilyun, agar pemerintah
tidak perlu dua kali minta izin/melaporkan kepada DPR. SMI yang hadir
protes, mengatakan bahwa dalam LoI tercantum Rekap. dalam dua tahap.
KKG merasa usulan Darmin Nasution masuk akal. Maka diputuskan olehnya
bahwa Rekap. dilakukan sekaligus. Terlihat SMI sibuk dengan HP-nya.
Seusai rapat, begitu KKG tiba di ruang kerjanya dari ruang rapat, telpon
berdering dari John Dordsworth, Kepala Perwakilan IMF di Jakarta yang
marah-marah karena KKG memutuskan tentang Rekap. BNI yang
bertentangan dengan ketentuan LoI. Begitu telpon diletakkan telpon
bordering lagi dari Bambang Sudibyo yang menceriterakan bahwa dirinya
baru dimarah-marahi oleh Mark Baird, Kepala Perwaklian Bank Dunia di
Jakarta tentang hal yang sama. Sangat jelas tugas SMI ternyata melaporkan
segala sesuatu yang dilakukan oleh Pemerintah dan dianggap menyimpang
dari yang dikehendaki oleh IMF, walaupun yang dikehendaki oleh IMF
merugikan bangsa Indonesia.
Kebijakan KKG yang menyimpang dari LoI, tetapi jelas-jelas lebih logis ini
ternyata dilaporkan kepada IMF oleh SMI. Saya mengetahui tentang hal ini,
karena ketika melakukan kunjungan kehormatan pada Menteri Keuangan
Larry Summers di kantornya di Washington, DC, saya diterima oleh Larry
Summers sendiri sebagai Menteri Keuangan, didampingi oleh Timothy
Geithner selalu Deputy-nya plus beberapa pejabat tinggi lainnya yang
memarahi KKG bahwa KKG selalu menelikung LoI-nya IMF. Ketika saya
tanyakan tentang apa konkretnya sebagai contoh, dia menceriterakan persis
seperti yang dikatakan oleh SMI dalam rapat KKSK.
Selaku Menko EKUIN KKG harus memimpin delegasi RI ke Paris Club untuk
berunding tentang penjadwalan kembali pembayaran hutang yang sudah
jatuh tempo, karena Pemerintah tidak mampu membayarnya. KKG diundang
ke Departemen Keuangan guna menerima penjelasan-penjelasan tentang
jalannya perundingan, dan juga diberikan arahan-arahan oleh 3 perusahaan
konsultan asing yang terkenal dengan nama “Troika”. Saya lupa nama dari
masing-masing perusahaan konsultan tersebut. Dikatakan juga bahwa KKG
beserta delegasinya (Dono Iskandar dari BI dan Jusuf Anwar dari Depkeu)
harus siap bahwa lamanya perundingan 24 jam non stop tanpa dapat tidur,
yaitu dari jam 10.00 pagi sampai jam 10.00 pagi keesokan harinya.
KKG mengatakan bahwa dia tidak mau mengikuti skenario yang seperti itu.
KKG minta kepada para petinggi Depkeu yang hadir agar mempersiapkan
gambaran menyeluruh tentang posisi hutang luar negeri RI. KKG akan
mengatakan bahwa jumlah hutang yang demikian besarnya adalah
kesalahan negara-negara pemberi hutang juga, yang sejak tahun 1967
menggerojok hutang kepada Indonesia melalui IGGI/CGI. Setelah
mengucapkan pidato singkat ini KKG akan tidur, dan mempersilakan mereka
berunding sesukanya. Apa yang merekaputuskan akan dipenuhi oleh KKG
kalau dianggap reasonable dan fair, tetapi kalau dianggap tidak fair akan
ditolak dan KKG akan segera terbang kembali ke Indonesia sambil
mengatakan akan berani menghadapi resiko apapun.
Maka saya tidak heran mendengar bahwa Boediono menolak tawaran SBY
untuk duduk dalam KIB-nya. Namun ketika SBY tidak tahan tekanan publik,
beliau mengumumkan akan melakukan reshuffle kabinet.
Ketika KKG sebagai Menko EKUIN pertama kali harus mengucapkan pidato di
depan CGI dalam pembukaan rapat tahunannya, kepada KKG disodorkan
naskah pidato oleh staf yang jelas anggota OTB. Isinya sama sekali tidak
disetujui oleh KKG, dan dia minta kepada staf yang bersangkutan supaya
diubah dengan arahan dari KKG. Dia menolak sambil mengatakan bahwa
sudah menjadi tradisi sejak dahulu kala bahwa pidato pembukaan IGGI/CGI
oleh Ketua Delegasi RI haruslah dibuat oleh WB melalui staf Menko EKUIN.
Akhirnya saya membuatnya sendiri yang isinya sesuai dengan hati nurani
dan keyakinan saya, yang ternyata isinya mengejutkan pimpinan sidang,
Wakil Presiden WB Dr. Kasum.
Pidato yang saya ucapkan mengandung tiga inti. Yang pertama, kalau
Indonesia tidak mampu membayar cicilan pokok utang beserta bunga yang
jatuh tempo, negara-negara IGGI/CGI ikut bersalah, karena barang siapa
memberi utang harus mengevaluasi apakah yang diberi utang akan mampu
membayar cicilan utang pokoknya beserta bunganya tepat waktu. Kalau
ternyata tidak bisa, negara-negara pemberi utang harus ikut bertanggung
jawab dalam bentuk hair cut. Bukan hanya penundaan pembayaran cicilan
utang pokoknya saja, yang sifatnya menggeser beban di kemudian hari,
sedangkan bunganya pembengkak. Kedua, KKG protes penggunaan istilah
“negara donor”, dan minta supaya istilah yang sudah dibakukan oleh WB
bersama-sama dengan para ekonom OTB itu diganti dengan istilah “negara
kreditur” atau “negara pemberi utang”. Ketiga, KKG juga protes
digunakannya istilah “aid” atau bantuan, dan minta diganti dengan “loan”
atau kredit. Kesemuanya tidak dihiraukan. Belakangan saya mendengar dari
Dr. Satish Mishra yang khusus diperbantukan pada Indonesia oleh PBB
selama krisis. Dia memberitahukan kepada saya bahwa walaupun segala
sesuatu yang saya katakan masuk akal, para ekonom OTB sendiri bersama-
sama dengan WB, Bank Pembangunan Asia dan IMF menyikapinya dengan
“let him talk”. Biarlah dia bicara, tidak akan ada dampaknya sama sekali.
Mari sekarang kita telaah bagaimana beberapa ahli dan pengamat asing
melihat peran kekuatan asing dan kelompok Berkeley Mafia dalam
perekonomian Indonesia sejak tahun 1967.
Saya kutip apa yang ditulis oleh John Pilger dalam bukunya yang berjudul
“The New Rulers of the World.” Saya terjemahkan seakurat mungkin ke
dalam bahasa Indonesia sebagai berikut :
“Di Jenewa, Tim Sultan terkenal dengan sebutan ‘the Berkeley Mafia’, karena
beberapa di antaranya pernah menikmati beasiswa dari pemerintah Amerika
Serikat untuk belajar di Universitas California di Berkeley. Mereka datang
sebagai peminta-minta yang menyuarakan hal-hal yang diinginkan oleh para
majikan yang hadir. Menyodorkan butir-butir yang dijual dari negara dan
bangsanya, Sultan menawarkan : …… buruh murah yang
melimpah….cadangan besar dari sumber daya alam ….. pasar yang besar.”
Demikian gambaran yang diberikan oleh Brad Simpson, Jeffrey Winters dan
John Pilger tentang suasana, kesepakatan-kesepakatan dan jalannya sebuah
konperensi yang merupakan titik awal sangat penting buat nasib ekonomi
bangsa Indonesia selanjutnya.
Benarkah sinyalemen John Pilger, Joseph Stiglitz dan masih banyak ekonom
AS kenamaan lainnya bahwa hutanglah yang dijadikan instrumen untuk
mencengkeram Indonesia ?
Dalam rangka ini, saya kutip buku yang menggemparkan. Buku ini ditulis
oleh John Perkins dengan judul : “The Confessions of an Economic Hit man”,
atau “Pengakuan oleh seorang Perusak Ekonomi”. Buku ini tercantum dalam
New York Times bestseller list selama 7 minggu.
Penutup
Fokus tulisan ini adalah peran SMI dalam perpspektif sejarah dan kaitannya
dengan hubungan yang sangat erat dan subordinatif pada kekuatan-
kekuatan asing, mungkin kekuatan corporatocracy yang diwakili oleh tiga
lembaga keuangan internasional, yaitu Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia
dan IMF.
Sejak Konperensi Jenewa bulan November 1967 yang digambarkan oleh John
Pilger, dalam tahun itu juga lahir UU no. 1 tahun 1967 tentang Penanaman
Modal Asing, yang disusul dengan UU No. 6 tahun 1968 tentang Penanaman
Modal Dalam Negeri, dan serangkaian perundang-undangan dan peraturan
beserta kebijakan-kebijakan yang sangat jelas menjurus pada liberalsasi.
Dalam berbagai perundang-undangan dan peraturan tersebut, kedudukan
asing semakin lama semakin bebas, sehingga akhirnya praktis sama dengan
kedudukan warga negara Indonesia. Kalau kita perhatikan bidang-bidang
yang diminati dalam melakukan investasi besar di Indonesia, perhatian
mereka tertuju pada pertumbuhan PDB Indonesia yang produknya untuk
mereka, sedangkan bangsa Indonesia hanya memperoleh pajak dan royalti
yang sangat minimal.
Bidang-bidang ini adalah pertambangan dan infra struktur seperti listrik dan
jalan tol yang dari tarif tinggi yang dikenakan pada rakyat Indonesia
mendatangkan laba baginya.