You are on page 1of 6

Pengertian ushul fiqih

1. Ushul; bentuk jamak dari kata ashl yang bermakna sesuatu yang dibangun di atasnya
sesuatu yang lain. Contoh Ashlul Bait artinya adalah pondasi rumah dan ashlusy Syajarah
artinya adalah akar pohon. Allah berfirman: “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana
Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya
teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit” (QS. Ibrahim : 24)

2. Fiqih; yang dalam bahasa berarti faham, sebagaimana firman Allah:


“dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku” (QS.
Toha : 27-28)
Fiqih dalam pengertian syar’iy bermakna:
Pengetahuan mengenai hukum syar’i yang bersifat amaliyah dengan dalilnya yang
terperinci

Makna Ushul Fiqih

Ushul fiqih jika lafazh ini disatukan, maka dia adalah nama dari suatu disiplin ilmu
agama yang berarti:

Ilmu yang membahas dalil-dalil syar’i (kaidah) yang global dan cara mengambil hukum
dari dalil-dalil (kaidah) tersebut serta keadaan orang yang mengambil hukum itu (para
ulama).

Manfaat Ushul Fiqih

Ushul fiqih merupakan ilmu yang sangat bermanfaat yang memungkinkan bagi para
ulama mujtahid untuk mengambil kesimpulan hukum langsung dari dalil-dalil syar’i
dengan metode yang tepat.

Sejarah ushul fiqih


Di masa Rasulullah saw, umat Islam tidak memerlukan kaidah-kaidah tertentu dalam
memahami hukum-hukum syar’i, semua permasalahan dapat langsung merujuk kepada
Rasulullah saw lewat penjelasan beliau mengenai Al-Qur’an, atau melalui sunnah beliau
saw.

Para sahabat ra menyaksikan dan berinteraksi langsung dengan turunnya Al-Qur’an dan
mengetahui dengan baik sunnah Rasulullah saw, di samping itu mereka adalah para ahli
bahasa dan pemilik kecerdasan berpikir serta kebersihan fitrah yang luar biasa, sehingga
sepeninggal Rasulullah saw mereka pun tidak memerlukan perangkat teori (kaidah) untuk
dapat berijtihad, meskipun kaidah-kaidah secara tidak tertulis telah ada dalam dada-dada
mereka yang dapat mereka gunakan di saat memerlukannya.

Setelah meluasnya futuhat islamiyah, umat Islam Arab banyak berinteraksi dengan
bangsa-bangsa lain yang berbeda bahasa dan latar belakang peradabannya, hal ini
menyebabkan melemahnya kemampuan berbahasa Arab di kalangan sebagian umat,
terutama di Irak . Di sisi lain kebutuhan akan ijtihad begitu mendesak, karena banyaknya
masalah-masalah baru yang belum pernah terjadi dan memerlukan kejelasan hukum
fiqhnya.

Dalam situasi ini, muncullah dua madrasah besar yang mencerminkan metode mereka
dalam berijtihad:

• Madrasah ahlir-ra’yi di Irak dengan pusatnya di Bashrah dan Kufah.


• Madarasah ahlil-hadits di Hijaz dan berpusat di Mekkah dan Madinah.

Perbedaan dua madrasah ini terletak pada banyaknya penggunaan hadits atau qiyas dalam
berijtihad. Madrasah ahlir-ra’yi lebih banyak menggunakan qiyas (analogi) dalam
berijtihad, hal ini disebabkan oleh:

• Sedikitnya jumlah hadits yang sampai ke ulama Irak dan ketatnya seleksi hadits
yang mereka lakukan, hal ini karena banyaknya hadits-hadits palsu yang beredar
di kalangan mereka sehingga mereka tidak mudah menerima riwayat seseorang
kecuali melalui proses seleksi yang ketat. Di sisi lain masalah baru yang mereka
hadapi dan memerlukan ijtihad begitu banyak, maka mau tidak mau mereka
mengandalkan qiyas (analogi) dalam menetapkan hukum. Masalah-masalah baru
ini muncul akibat peradaban dan kehidupan masyarakat Irak yang sangat
kompleks.

• Mereka mencontoh guru mereka Abdullah bin Mas’ud ra yang banyak


menggunakan qiyas dalam berijtihad menghadapi berbagai masalah.

Sedangkan madrasah ahli hadits lebih berhati-hati dalam berfatwa dengan qiyas, karena
situasi yang mereka hadapi berbeda, situasi itu adalah:

• Banyaknya hadits yang berada di tangan mereka dan sedikitnya kasus-kasus baru
yang memerlukan ijtihad.

• Contoh yang mereka dapati dari guru mereka, seperti Abdullah bin Umar ra, dan
Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, yang sangat berhati-hati menggunakan logika dalam
berfatwa.

Perbedaan kedua madrasah ini melahirkan perdebatan sengit, sehingga membuat para
ulama merasa perlu untuk membuat kaidah-kaidah tertulis yang dibukukan sebagai
undang-undang bersama dalam menyatukan dua madrasah ini. Di antara ulama yang
mempunyai perhatian terhadap hal ini adalah Al-Imam Abdur Rahman bin Mahdi
rahimahullah (135-198 H). Beliau meminta kepada Al Imam Asy-Syafi’i rahimahullah
(150-204 H) untuk menulis sebuah buku tentang prinsip-prinsip ijtihad yang dapat
digunakan sebagai pedoman. Maka lahirlah kitab Ar-Risalah karya Imam Syafi’i sebagai
kitab pertama dalam ushul fiqh.

Hal ini tidak berarti bahwa sebelum lahirnya kitab Ar-Risalah prinsip prinsip ushul fiqh
tidak ada sama sekali, tetapi ia sudah ada sejak masa sahabat ra dan ulama-ulama
sebelum Syafi’i, akan tetapi kaidah-kaidah itu belum disusun dalam sebuah buku atau
disiplin ilmu tersendiri dan masih berserakan pada kitab-kitab fiqh para ‘ulama. Imam
Syafi’i lah orang pertama yang menulis buku ushul fiqh, sehingga Ar Risalah menjadi
rujukan bagi para ulama sesudahnya untuk mengembangkan dan menyempurnakan ilmu
ini.

Abu Abdillah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i ra memang pantas untuk memperoleh
kemuliaan ini, karena beliau memiliki pengetahuan tentang madrasah ahlil-hadits dan
madrasah ahlir-ra’yi. Beliau lahir di Ghaza, pada usia 2 tahun bersama ibunya pergi ke
Mekkah untuk belajar dan menghafal Al-Qur’an serta ilmu fiqh dari ulama Mekkah.
Sejak kecil beliau sudah mendapat pendidikan bahasa dari perkampungan Huzail, salah
satu kabilah yang terkenal dengan kefasihan berbahasa. Pada usia 15 tahun beliau sudah
diizinkan oleh Muslim bin Khalid Az-Zanjiy - salah seorang ulama Mekkah - untuk
memberi fatwa.

Kemudian beliau pergi ke Madinah dan berguru kepada Imam penduduk Madinah, Imam
Malik bin Anas ra (95-179 H) dalam selang waktu 9 tahun - meskipun tidak berturut-turut
- beserta ulama-ulama lainnya, sehingga beliau memiliki pengetahuan yang cukup dalam
ilmu hadits dan fiqh Madinah. Lalu beliau pergi ke Irak dan belajar metode fiqh Irak
kepada Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani ra (wafat th 187 H), murid Imam Abu
Hanifah An-Nu’man bin Tsabit ra (80-150 H).

Dari latar belakangnya, kita melihat bahwa Imam Syafi’i memiliki pengetahuan tentang
kedua madrasah yang berbeda pendapat, maka beliau memang orang yang tepat untuk
menjadi orang pertama yang menulis buku dalam ilmu ushul. Selain Ar-Risalah, Imam
Syafi’i juga memiliki karya lain dalam ilmu ushul, seperti: kitab Jima’ul-ilmi, Ibthalul-
istihsan, dan Ikhtilaful-hadits.

Dapat kita simpulkan bahwa ada tiga faktor yang menyebabkan munculnya penulisan
ilmu ushul fiqh:

• Adanya perdebatan sengit antara madrasah Irak dan madrasah Hijaz.

• Mulai melemahnya kemampuan bahasa Arab di sebagian umat Islam akibat


interaksi dengan bangsa lain terutama Persia.

• Munculnya banyak persoalan yang belum pernah terjadi sebelumnya dan


memerlukan kejelasan hukum, sehingga kebutuhan akan ijtihad kian mendesak.

Setelah Ar-Risalah, muncullah berbagai karya para ulama dalam ilmu ushul fiqh, di
antaranya:

1. Khabar Al-Wahid, Itsbat Al-Qiyas, dan Ijtihad Ar-Ra’y, ketiganya karya Isa bin
Aban bin Shadaqah Al-Hanafi (wafat th 221 H).

2. An-Nasikh Wal-Mansukh karya Imam Ahmad bin Hambal (164-241 H).


3. Al-Ijma’, Ibthal At-Taqlid, Ibthal Al-Qiyas, dan buku lain karya Dawud bin Ali
Az-Zhahiri (200-270 H).

4. Al-Mu’tamad karya Abul-Husain Muhammad bin Ali Al-Bashri Al-mu’taziliy


Asy-Syafi’i (wafat th 436H).

5. Al-Burhan karya Abul Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah Al-Juwaini/Imamul-


haramain (410-478 H).

6. Al-Mustashfa karya Imam Al-Ghazali Muhammad bin Muhammad (wafat 505


H).

7. Al-Mahshul karya Fakhruddin Muhammad bin Umar Ar-Razy (wafat 606 H).

8. Al-Ihkam fi Ushulil-Ahkam karya Saifuddin Ali bin Abi Ali Al-Amidi (wafat 631
H).

9. Ushul Al-Karkhi karya Ubaidullah bin Al-Husain Al-Karkhi (wafat 340 H).

10. Ushul Al-jashash karya Abu Bakar Al-Jashash (wafat 370 H).

11. Ushul as-Sarakhsi karya Muhammad bin Ahmad As-Sarakhsi (wafat 490 H).

12. Kanz Al-Wushul Ila ma’rifat Al-Ushul karya Ali bin Muhammad Al-Bazdawi
(wafat 482 H).

13. Badi’un-Nizham karya Muzhaffaruddin Ahmad bin Ali As-Sa’ati Al-hanafi


(wafat 694 H).

14. At-Tahrir karya Kamaluddin Muhammad bin Abdul Wahid yang dikenal dengan
Ibnul Hammam (wafat 861 H).

15. Jam’ul-jawami’ karya Abdul Wahab bin Ali As Subki (wafat 771 H).

16. Al-Muwafaqat karya Abu Ishaq Ibrahim bin Musa Al-gharnathi yang dikenal
dengan nama Asy-Syathibi (wafat 790 H).

17. Irsyadul-fuhul Ila Tahqiq ‘Ilm Al-Ushul karya Muhammad bin Ali bin
Muhammad Asy-Syaukani (wafat 1255 H).

Masalah yang di bahas dalam ushul fiqih

Islam, dengan tauhid sebagai elemen dasar, adalah inti ajaran yang diwahyukan Allah
kepada seluruh nabi-Nya. Untuk menjelaskannya, diturunkanlah pedoman
pelaksanaannya, buat Nabi Muhammad SAW dan umatnya diturunkanlah al-Qur’an.

Sebagai sebuah kitab suci yang jadi pedoman dalam segala hal dan untuk segala zaman,
al-Qur’an tidak mengajari dan menjelaskan segala persoalan secara rinci dan mendetail.
Ia hanya memberikan pedoman atau petunjuk umum. Selanjutnya tugas manusialah untuk
memahaminya agar bisa dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari dan mengatasi segala
persoalan yang mereka hadapi.

Selama Nabi Muhammad SAW masih hidup, semua persoalan yang berkaitan dengan
kehidupan yang secara rinci tidak diatur dalam al-Qur’an, dapat langsung ditanyakan
kepada beliau. Dengan kata lain, beliaulah yang memegang wewenang utama dalam
memahami dan menjabarkan al-Qur’an. Selama ada penjelasan (sunnah) beliau, umat
Islam tidak bisa membantahnya dan tidak dibenarkan berbuat lain. Dalam beberapa
masalah, terkadang beliau menyelesaikannya dengan cara (yang disebut sekarang) qiyas.

Setelah beliau meninggal dunia, umat Islam masih memiliki para sahabat beliau yang
sangat paham dengan al-Qur’an dan banyak mengetahui dan menyertai kehidupan beliau.
Sehingga dalam banyak hal, persoalan yang dihadapi umat Islam bisa diatasi, tanpa
menimbulkan masalah yang terlalu mendasar.

Namun bukan berarti seluruh hal yang muncul setelah meninggalnya beliau itu bisa
terselesaikan dengan hanya melaksanakan tanpa penyesuaian dan penjabaran pedoman
yang ada. Untuk itu, para sahabat harus menggunakan pemahamannya terhadap
perbendaharaan utama Islam itu untuk menyelesaikan persoalan tersebut, dengan tetap
memelihara tujuan utama risalah Islam. Hal itu terkadang, sepintas lalu, seperti
bertentangan dengan petunjuk zahir nash (al-Qur’an dan Sunnah). Tapi sesungguhnya
tidak ada pertentangan yang fundamental di dalamnya. Hampir semua sahabat mampu
melakukan ijtihad, tapi yang paling menonjo di antara mereka adalah Umar bin
Khaththab, Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Mas’ud (Ibn Mas’ud).

Ketika periode sahabat telah habis, para tabi’in dan umat Islam sudah mulai menghadapi
berbagai persoalan. Seiring dengan semakin jauhnya jarak mereka dengan masa Rasul
dan sahabat, maka pemahaman terhadap kedua sumber ajaran Islam itu juga semakin
tidak setara dengan para pendahulunya. Ketika itu mereka harus mengumpulkan berbagai
riwayat dan pemahaman terhadap kedua sumber itu dari para pendahulu (guru) mereka
yang masih tersisa. Kemudian terhadap berbagai riwayat itu, yang terkadang saling
bertentangan, mereka harus memaksimalkan daya pikir mereka agar tetap bisa
memelihara tujuan diturunkannya Islam dan agar Islam itu sendiri tetap bisa
diaplikasikan dalam kehidupan. Ketika itulah mereka harus menyusun sebuah kerangka
acuan dalam melakukan pemahaman dan penarikan hukum dari sumber yang ada.
Mujtahid di masa tabi’in yang menonjol adalah Sa’id bin Musayyab (15-94 H) di
Madinah, Alqamah bin Waqqas al-Lais dan Ibrahim an-Nakha`i di Irak, dan al-Hasan al-
Basri (624-728 M) di Basrah.

Kerangka acuan tersebut, yang hakikatnya telah ada semenjak masa Rasul, di setiap
generasinya disempurnakan dan terus dikembangkan. Hasil berbagai penyempur-naan
dan pengembangan itulah sekarang yang disebut dengan ilmu Ushul Fiqh, yang
dengannya dapat dilakukan penggalian (istinbath) hukum dengan semaksimal mungkin
mendekati kebenaran yang dikehendaki oleh Syari’ (pembuat hukum).

You might also like