You are on page 1of 10

ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN

(Islamization of Knowledge)

A. Prolog

Pandangan hidup atau worldview1, pendidikan dan ilmu pengetahuan adalah


tiga faktor penting dalam pembentukan sebuah peradaban. Kaitan antara ketiga faktor
tersebut merupakan vicious circle (lingkaran setan). Artinya pandangan hidup dapat
lahir dan berkembang dari akumulasi ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui
proses pendidikan. Sebaliknya bentuk pendidikan dan corak ilmu pengetahuan yang
diajarkan juga ditentukan oleh karakter pandangan hidup suatu bangsa atau
peradaban. Dalam hal ini E.G Guba dan Y.S. Lincoln menyatakan bahwa: “the basic
belief system or worldview guides not only in choices of method but in ontologically
and epistemologically fundamental ways.” Pernyataan ini sebenarnya mengungkap
rahasia mengapa ilmu itu value laden atau tidak bebas nilai.2

1
Secara awam worldview atau pandangan hidup sering diartikan filsafat hidup. Setiap
kepercayaan, bangsa, kebudayaan atau peradaban dan bahkan setiap orang memiliki worldview
masing-masing. Maka dari itu jika worldview diasosiasikan kepada suatu kebudayaan maka spektrum
maknanya dan juga termanya akan mengikuti kebudayaan tersebut. Lihat: Hamid Fahmy Zarkasyi,
“Worldview Sebagai Asas Epistemologi Islam”, ISLAMIA, Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam,
THN II No.5 April-Juni 2005, hal 10-20., Prof. Alparslan mengartikan worldview sebagai asas bagi
setiap perilaku manusia, termasuk aktifitas-aktifitas ilmiyah dan teknologi. Setiap aktifitas manusia
akhirnya dapat dilacak pada pandangan hidupnya, dan dalam pengertian itu maka aktifitas manusia
dapat direduksi menjadi pandangan hidup. (the foundation of all human conduct, including scientific
and technological activities. Every human activity is ultimately traceable to its worldview, and as such
it is reducible to that worldview. Alparslan Acikgence, "The Framework for A history of Islamic
Philosophy", Al-Shajarah, Journal of The International Institute of Islamic Thought and Civlization,
(ISTAC, 1996, vol.1. Nos. 1&2, 6). Dari definisi di atas setidaknya kita dapat memahami bahwa
worldview adalah identitas untuk membedakan antara suatu peradaban dengan yang lain. Dan dapat
kita mengerti bahwa worldview melibatkan aktifitas epistemologis manusia, sebab ia merupakan faktor
penting dalam aktifitas penalaran manusia.
2
Al-Attas, Risalah Kaum Muslimin, International Institute of Islamic Thought and
Civilization, 2000, hal. 49-50.

1
Pandangan hidup yang memiliki elemen kepercayaan terhadap Tuhan,
misalnya, sudah tentu akan menerima pengetahuan non-empiris. Sebaliknya
pandangan hidup yang mengingkari eksistensi Tuhan akan menafikan pengetahuan
non-empiris dan pengetahuan spiritual lainnya. Demikian pula pandangan hidup ateis
akan menganggap sumber pengetahuan moralitasnya hanyalah sebatas subyektifitas
manusia dan bukan dari Tuhan.3 Dalam Islam, ilmu pengetahuan terbentuk dan
bersumber dari pandangan hidup Islam, yang berkaitan erat dengan struktur
metafisika dasar Islam yang telah terformulasikan sejalan dengan wahyu, hadith, akal,
pengalaman dan intuisi.4 Pembentukan itu sudah tentu melalui proses pendidikan.
Namun, karena pengaruh pandangan hidup Barat melalui Westenisasi dan globalisasi
pendidikan Islam kehilangan perannya dalam mengaitkan ilmu pengetahuan dengan
pandangan hidup Islam.

Sehubungan dengan masalah ini, berikut akan dibahas islamisasi yang digagas
oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas, seorang cendikiawan Muslim asal Malaysia
yang kini banyak dirujuk oleh cendikiawan Muslim Indonesia. Ia dikenal karena
kritiknya atas bangunan epistemologi yang telah terbangun dalam tradisi intelektual
Islam maupun Barat. Al-Attas menyadari bahwa “virus” yang terkandung dalam Ilmu
Pengetahuan Barat modern-sekuler merupakan tantangan yang paling besar bagi
kaum Muslimin saat ini. Dalam pandangannya, peradaban Barat modern telah
membuat ilmu menjadi problematis.5

3
Lihat Thomas F Wall, Thinking About Philosophical Problem, Wadsworth, Thomson
Learning, United States, hal. 126-127
4
al-Attas, A Commentary on the Hujat al-siddiq of Nur al-Din al-Raniry: being an exposition
of the salient point of distinction between the position of the theologians, the philosophers, the Sufi
dan the pseudo-Sufi on the ontological relationship between God and the world and related questions,
Ministry of Education and Culture, Kuala Lumpur, 1986, 464-465.
5
Al-Attas juga menjelaskan bahwa; Westernisasi ilmu tidak dibangun di atas Wahyu dan
kepercayaan agama. Namun dibangun di atas tradisi budaya yang diperkuat dengan spekulasi filosofis
yang terkait dengan kehidupan sekular yang memusatkan manusia sebagai makhluk rasional.
Akibatnya, ilmu pengetahuan dan nilai-nilai etika dan moral, yang diatur oleh rasio manusia, terus
menerus berubah.Lihat definisi Syed Muhammad Naquib al-Attas mengenai ‘peradaban Barat’ dalam
karyanya Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, edisi kedua, 1993), 133-35, selanjutnya

2
B. Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Islamization of Knowledge)

“Sekularisasi ilmu pengetahuan” menjadi fondasi utama dalam sepanjang


sejarah peradaban Barat modern. Dengan adanya sekularisasi ilmu pengetahuan,
sedikit demi sedikit akan memisahkan jarak antara ilmu dengan agama, melenyapkan
wahyu sebagai sumber ilmu, dan juga memisahkan wujud dari yang sakral. Selain itu
sekularisasi ilmu juga telah menjadikan rasio sebagai basis keilmuan secara mutlak,
dan mengaburkan maksud serta tujuan ilmu yang sebenarnya, menjadikan keraguan
dan dugaan sebagai metodologi ilmiah. Sebagai solusi menghadapi krisis
epistemologi yang sedang melanda segala bentuk pemikiran dan juga sebagai
jawaban dari berbagai tantangan yang muncul dari hegemoni westernisasi ilmu, maka
lahirlah gagasan islamisasi ilmu pengetahuan.

Islamisasi ilmu pengetahuan adalah wacana yang cukup ramai diperdebatkan


oleh sebagian pemikir Islam. Dalam bahasa Arab Islamisasi ilmu disebut sebagai
“Islamiyyat al-Ma’rifat” dan dalam bahasa Inggris disebut sebagai “Islamization of
Knowledge”. Gagasan islamisasi ilmu pengetahuan ini, mulai ramai diperbincangkan
pada tahun 1970-an.  Pada tahap perkembangan mutakhirnya, model islamisasi ilmu
pengetahuan yang diajukan oleh berbagai sarjana Muslim dari berbagai disiplin ilmu,
bisa dibedakan baik dari sisi pendekatan dan konsepsi dasarnya.  Terlebih pula jika
melihat konstruk ilmu pengetahuan yang merupakan output dari pendekatan dan
konsepsi dasar tersebut.

Usaha islamisasi ilmu pada dasarnya telah terjadi sejak masa Rasulullah saw
dan para sahabatnya, yang waktu itu diturunkan Al-Quran dengan bahasa Arab,
sehingga dengannya mampu mengubah watak serta pandangan hidup (worldview) dan
tingkah laku bangsa Arab.6 Oleh karena itu, wacana islamisasi ilmu bukanlah suatu

diringkas Islam and Secularism.


6
Wan Mohd. Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktek Pendidikan Islam, 1998

3
yang baru, hanya saja dalam konteks operasionalnya pengislaman ilmu-ilmu masa
kini dicetuskan oleh tokoh-tokoh ilmuwan islam, seperti: Prof. Syed Muhammad
Naquib al-Attas, al-Faruqii, Syed Husein Nasr , dan lain-lain.

Islamisasi ilmu pengetahuan (islamization of knowledge) yang digagas oleh


Syed Muhammad Naquib al-Attas mengacu kepada upaya mengeliminir unsur-unsur
serta konsep-konsep pokok yang membentuk kebudayaan dan peradaban Barat7,
khususnya dalam ilmu-ilmu kemanusiaan.  Tercakup dalam unsur-unsur dan konsep
ini adalah cara pandang terhadap realitas yang dualistik, doktrin humanisme, serta
tekanan kepada drama dan tragedi dalam kehidupan rohani sekaligus penguasaan
terhadapnya.  Setelah proses ini dilampaui, langkah berikutnya adalah menanamkan
unsur-unsur dan konsep pokok keislaman.  Sehingga dengan demikian akan terbentuk
ilmu pengetahuan yang benar; ilmu pengetahuan yang selaras dengan fitrah.  Dalam
bahasa lain, islamisasi ilmu pengetahuan menurut al-Attas dapat ditangkap sebagai
upaya pembebasan ilmu pengetahuan dari pemahaman berasaskan ideologi, makna
serta ungkapan sekuler.

Al-Attas menyerukan bahwa peradaban Islam dibangun atas dasar ilmu


pengetahuan yang bersumber dari wahyu. Adapun, kemunduran ummat Islam yang
terjadi secara beruntun sejak beberapa abad belakangan ini, disebabkan oleh
7
Syed Muhammad Naquib al-Attas memandang ada 5 faktor yang menjiwai budaya dan
peradaban Barat: (1) akal diandalkan untuk membimbing kehidupan manusia; (2) bersikap dualistik
terhadap realitas dan kebenaran; (3) menegaskan aspek eksistensi yang memproyeksikan pandangan
hidup sekular; (4) membela doktrin humanisme; (5) menjadikan drama dan tragedi sebagai unsur-
unsur yang dominant dalam fitrah dan eksistensi kemanusiaan. Lihat: Syed Muhammad Naquib al-
Attas mengenai ‘peradaban Barat’ dalam karyanya Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC,
edisi kedua, 1993), 133-35, Prolegomena to the Metaphysics of Islam: An Exposition of the
Fundamental Elements of the Worldview of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 88; 99-108.,
pendapat ini didukung oleh Seyyed Hossein Nasr yang menyatakan bahwa problem Sains Modern
sekular: (1)Pandangan sekular tentang alam semesta telah menghilangan jejak Tuhan di dalam
keteraturan alam. Alam bukan lagi sebagai ayat-ayat Alah tetapi entitas yang berdiri sendiri. (2) Alam
digambarkan secara mekanistis sebagai mesin dan jam, sehingga bisa ditentukan dan diprediksikan
secara mutlak-yang menggiring kepada munculnya masyarakat industri modern dan kapitalisme. (3)
Rasionalisme dan empirisisme. (4) Warisan dualisme Descartes telah memisahkan subyek yang
mengetahui dan obyek yang diketahui (5) Alam di eksploitasi sebagai sumber kekuatan dan dominasi.
Lihat: Ibrahim Kalin, The philosophy of Seyyed Hossein Nasr, 453

4
kerancuan ilmu (corruption of knowledge) dan lemahnya penguasaan ummat terhadap
ilmu pengetahuan. Karena kerancuan 'ilmu dan penguasaan terhadap ilmu lah maka
ummat Islam menghadapi berbagai masalah dibidang politik, ekonomi, sosial dan
budaya. Pandangan ini berbeda secara mendasar dari pendapat-pendapat yang bersifat
umum yang mengatakan bahwa kemunduran ummat Islam disebabkan oleh kekalahan
politik, lemahnya ekonomi, rusaknya budaya atau rendahnya mutu pendidikan, yang
sebenarnya hanyalah merupakan bola salju dari problem ilmu pengetahuan.8
Sentralitas ilmu dalam peradaban Islam digambarkan oleh F.Rosenthal sbb:

..‘ilm is one of those concept that have dominated Islam and given Muslim
civilization its distinctive shape and complexion. In fact there is no other
concept that has been operative as determinant of Muslim civilization in all
its aspects to the same extent as ‘ilm.9

(Artinya ilmu adalah salah satu konsep yang mendominasi Islam dan yang
memberi bentuk dan karakter yang khas terhadap peradaban Muslim.
Sebenarnya tidak ada konsep lain yang setanding dengan konsep ilmu yang
secara efektif menjadi (faktor) penentu dalam peradaban Muslim dalam
berbagai aspek)

Al-Attas menekankan akan perlunya islamisasi ilmu Sebab, saat ini telah
terjadi westernisasi (pembaratan) ilmu pengetahuan oleh Barat. Sedang epistimologi
yang dibangun oleh konsep ilmu ini sangat merugikan Islam dan kaum muslimin.
Westernisasi ilmu itu telah melenyapkan wahyu sebagai sumber ilmu. Dampak ilmu
pengetahuan sekuler ini seperti; a) Hilangnya Adab (desacralization of knowledge)

8
Hamid Fahmy Zarkasyi, Pandangan Hidup, Ilmu Pengetahuan dan Pendidikan Islam, hal: 9.
Makalah disampaikan pada workshop Ilmu Pengetahuan dan Pendidikan di Sekolah Tinggi Lukman ul
Hakim, Hidayatullah Surabaya, 12-13 Agustus 2005
9
Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant, The Concept of Knowledge in Medieval Islam,
Leiden E.J.Brill, 1970, hal.2. dikutip dari Hamid Fahmy Zarkasyi, Pandangan Hidup, Ilmu
Pengetahuan dan Pendidikan Islam, Makalah disampaikan pada workshop Ilmu Pengetahuan dan
Pendidikan di Sekolah Tinggi Lukman ul Hakim, Hidayatullah Surabaya, 12-13 Agustus 2005

5
dalam masyarakat dg menyamaratakan setiap orang dengan dirinya dalam hal pikiran
dan perilaku, b) Penghilangan otoritas resmi dan hirarki sosial dan keilmuan.
Mengkritik ulama dimasa lalu yang banyak memberi kontribusi kepada ilmu
pengetahuan Islam, c) Hilangnya Adab berimplikasi pada hilangnya sikap adil dan
kebingunan intelektual (intellectual confusion) d) Tidak-mampu membedakan antara
ilmu yang benar dari ilmu yang dirasuki oleh pandangan hidup Barat.10

Al-attas menjelaskan makna hilangnya adab (loss of adab) dalam bukunya


yang berjudul `Aims and objectives of Islamic Education11 sebagai berikut:

“[Loss of `adab is] the loss of discipline of body, mind, and soul, the
discipline that assure the recognition and acknowledgement of one’s proper
place in relation to one’s selft, society and community; the recognition and
acknowledgement of one’s proper place in relation to one’s physical,
intellectual, and spiritual capacities and potentials; the recognition and
acknowledgment of the fact that knowledge and being are ordered
hierarchically”.12

C. Islamization of Knowledge Sebagai Refleksi Pandangan Hidup (worldview)

10
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam, Secularism and the Philosophy of the Future,
London, Mansell, 1985. hal. 104 - 105
11
Syed Muhammad Naquib al-Attas, ‘Aims and objectives of Islamic education, (London &
Jeddah: 1979)
12
Dikutip dari Syed Muhammad Dawilah al-Edrus, Islamic Epistemology and intrudiction to
the Theory of Knowledge in al-Qur`an, The Islamic Academy, Cambrige Universiti Sains Malaysia,
1992, p. 38, Al-Attas juga menjelaskan bahwa hilangnya adab berimplikasi pada hilangnya keadilan,
yang pada gilirannya menghianati kebingungan dalam ilmu pengetahuan.

6
Proses pembentukan pandangan hidup sejalan dengan proses pembentukan
elemen-elemen pokok yang merupakan bagian dari struktur pandangan hidup itu.13
Prof. Alparslan menjelaskan bahwa worldview Islam adalah “visi tentang realitas dan
kebenaran, berupa kesatuan pemikiran yang arsitektonik, yang berperan sebagai asas
yang tidak nampak (non-observable) bagi semua perilaku manusia, termasuk aktifitas
ilmiah dan teknologi”.14 Artinya standar suatu peradaban dalam menentukan apa
yang disebut riel dan apa yang disebut benar, akan mempengaruhi perilaku
manusianya, termasuk mempengaruhi kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.

Maka problem kerancuan ilmu pengetahuan sudah tentu hanya dapat


diselesaikan melalui pembenahan ilmu pengetahuan. Al-Attas menguraikan bahwa
jiwa utama kebudayaan dan peradaban islamisasi ilmu adalah menempatkan wahyu
sebagai sumber ilmu untuk alat ukur sebuah kebenaran akhir. Wahyu menjadi dasar
bagi kerangka metafisis untuk mengupas filsafat sains sebagai sebuah sistem yang
menggambarkan realitas dan kebenaran dari sudat pandang rasionalisme dan
empirisisme. Realitas dan kebenaran dalam Islam bukan semata-mata pikiran tentang
alam fisik dan keterlibatan manusia dalam sejarah, sosial, politik, dan budaya,
sebagaimana yang ada di dalam konsep Barat. Namun, ia dimaknai berdasarkan
kajian metafisika terhadap dunia yang tampak dan tidak tampak.

Langkah awal islamisasi ilmu adalah dengan mengisoliir unsur-unsur dan


konsep-konsep kunci yang terbentuk oleh budaya dan peradaban Barat, dari setiap

13
Thomas Wall dan Ninian Smart menjelaskan 5 elemen penting worldview adalah konsep
Tuhan, konsep realitas, konsep ilmu, konsep etika atau nilai dan kebajikan, dan konsep tentang diri
manusia. Sementara Naquib Al-Attas menetapkan bahwa elemen asas bagi worldview Islam adalah
konsep tentang hakekat Tuhan, tentang Wahyu (al-Qur’an), tentang penciptaan, tentang hakekat
kejiwaan manusia, tentang ilmu, tentang agama, tentang kebebasan, tentang nilai dan kebajikan,
tentang kebahagiaanLihat: Hamid Fahmy Zarkasyi, Pandangan Hidup, Ilmu Pengetahuan dan
Pendidikan Islam, Makalah disampaikan pada workshop Ilmu Pengetahuan dan Pendidikan di Sekolah
Tinggi Lukman ul Hakim, Hidayatullah Surabaya, 12-13 Agustus 2005
14
Alparslan Acikgence, Islamic Science, Towards Definition, Kuala Lumpur, ISTAC 1996,
29.

7
bidang ilmu pengetahuan modern saat ini, khususnya dalam ilmu pengetahuan
humaniora. Namun, ilmu-ilmu alam, fisika dan aplikasi harus diislamkan juga
khususnya dalam penafsiran-penafsiran akan fakta-fakta dan dalam formulasi teori-
teori. Prosesnya mengisolir metode-metode, konsep-konsep, teori-teorinya, dan
simbol-simbol ilmu modern; Aspek-aspek empiris dan rasional, dan aspek-aspek
yang bersinggungan dengan nilai dan etika; Teorinya tentang alam semesta;
Pemikirannya tentang eksistensi dunia nyata, Klasifikasinya tentang ilmu; batasan-
batasannya dan kaitannya antara satu ilmu dengan ilmu-ilmu lain, dan hubungan
sosialnya.15

Adapun langkah keduanya adalah memasukan elemen-elemen dan konsep-


konsep kunci Islam kedalam setiap cabang ilmu pengetahuan masa kini yang relevan.
Konsep-konsep dasar Islam itu diantaranya adalah konsep din, konsep manusia
(insan), konsep ilmu (ilm dan ma’rifah), konsep keadilan (‘adl), konsep amal yang
benar (amal sebagai adab) dan semua istilah dan konsep yang berhubungan dengan
itu semua. Serta konsep tentang universitas (kulliyah, jami’ah) yang berfungsi
sebagai bentuk implementasi semua konsep-konsep itu dan menjadi model sistim
pendidikan.16

Jika kedua proses tersebut selesai dilakukan, maka Islamisasi akan


membebaskan manusia dari magik, mitologi, animisme, tradisi budaya nasional yang
bertentangan dengan Islam, dan kemudian dari kontrol sekular kepada akal dan
bahasanya.17 Islamisasi akan membebaskan akal manusia dari keraguan (doubt),
dugaan (conjecture) dan argumentasi kosong (fantasy) menuju keyakinan akan

15
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam: An
Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), p.
114
16
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena…, p. 114 Menurut al-Attas, jika tidak
sesuai dengan pandangan-hidup Islam, maka fakta menjadi tidak benar.
17
Al-Attas menyatakan: “Islamization is the liberation of man first from magical,
mythological, animistic, national-cultural tradition opposed to Islam, and then from secular control
over his reason and his language.” Lihat Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism, 44.

8
kebenaran mengenai realitas spiritual, intelligible dan materi.18 Islamisasi akan
mengeluarkan penafsiran-penafsiran ilmu pengetahuan kontemporer dari ideologi,
makna dan ungkapan sekular.19

D. Epilog

Selain telah salah-memahami makna ilmu, peradaban Barat telah


menghilangkan maksud dan tujuan ilmu. Sekalipun, peradaban Barat modern
menghasilkan juga ilmu yang bermanfaat, namun peradaban tersebut telah
menyebabkan kerusakan dalam kehidupan manusia. Kerusakan ini seperti; rusaknya
akhlak manusia dan hilangnya adab dari kehidupan manusia yang pada akhirnya
meruntuhkan peradaban manusia itu sendiri. Diantara fenomena yang menunjukkan
hal ini adalah munculnya fenomena ”bangsa-bangsa yang gagal”. Sedangkan ummat
Islam terjebak dalam kerancuan ilmu (corruption of knowledge) dan melemahnya
penguasaan ilmu pengetahuan. Sebagai tanggapan atas problem ini maka sangat
diperlukan gerakan Islamisasi ilmu pengetahuan, yang diantara tujuannya adalah
bukan saja untuk memberikan solusi atas krisis peradaban manusia modern saat ini
tetapi sekaligus sebagai cara untuk menegaskan identitas bagi umat islam sebagai
umat yang memiliki cara pandang alam atau worldview tersendiri, yang islami dan
bersumber dari wahyu.

Daftar Pustaka

18
Wan Mohd Nor Wan Daud , The Educational Philosophy, 312.
19
Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam, 43.

9
Al-Attas, Risalah Kaum Muslimin, International Institute of Islamic Thought and
Civilization, 2000, hal. 49-50

Alparslan Acikgence, Islamic Science, Towards Definition, Kuala Lumpur, ISTAC


1996

Alparslan Acikgence, "The Framework for A history of Islamic Philosophy", Al-


Shajarah, Journal of The International Institute of Islamic Thought and
Civlization, (ISTAC, 1996, vol.1. Nos. 1&2, 6).

Hamid Fahmy Zarkasyi, “Worldview Sebagai Asas Epistemologi Islam”, ISLAMIA,


Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, THN II No.5 April-Juni 2005

Hamid Fahmy Zarkasyi, Pandangan Hidup, Ilmu Pengetahuan dan Pendidikan


Islam. Makalah disampaikan pada workshop Ilmu Pengetahuan dan
Pendidikan di Sekolah Tinggi Lukman ul Hakim, Hidayatullah Surabaya, 12-
13 Agustus 2005

Syed Muhammad Dawilah al-Edrus, Islamic Epistemology and intrudiction to the


Theory of Knowledge in al-Qur`an, The Islamic Academy, Cambrige
Universiti Sains Malaysia, 1992

Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam: An


Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam (Kuala
Lumpur: ISTAC, 1995)

Thomas F Wall, Thinking About Philosophical Problem, Wadsworth, Thomson


Learning, United States, hal. 126-127

Kartanegara, Mulyadhi, 2003, Pengantar Epistemologi Islam, Mizan Media Utama,


Bandung.

Bahtiar, Amsal, 2005, Filsafat Ilmu, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

10

You might also like