Professional Documents
Culture Documents
Al Quran dan hadith adalah sumber asasi bagi ilmu fiqh Islam, yang mana
Selain al-Quran dan hadis ialah pendapat Rasulullah yang dinamakan ijma’.
Maksud dengan ijma’ ialah persetujuan atau permuafakatan ulama di atas satu
perkara atau hukum yang tidak ada nas dari al-Quran dan hadis pada satu-satu
masa.
Di sana ada juga al-Qiyas. Ini kerana hukum syarak pada gholibnya
mempunyai beberapa ‘ilah atau sebab-sebab yang boleh diketahui. Apabila ada
hukum yang dinaskan, maka bolehlah dipindahkan hukum itu kepada perkara
yang tidak ada nas jika ada ‘ilahnya. Ini seperti wajib zakat pada padi adalah
diqiyaskan daripada gandum. Ini kerana ada sama pada ‘ilatnya iaitu
Maka dapat dibuat kesimpulan, bahawa al-Quran, hadis, al-Ijma’ dan al-
Qiyas adalah sumber hukum yang terus hidup subur dan menjadi perbendaharaan
besar yang membuka luas pintu bidang ilmu fiqh Islam. Ia menambah
Pada tahun 100 Hijrah iaitu pada zaman pemerintahan Umar bin Abdul
pengetahuan.
Pada masa itu juga mula disusun sunnah nabi, fatwa dan pendapat ulama.
Ilmu fiqh pada waktu itu masyhur ke seluruh pelusuk negeri. Ramai orang yang
dalam nas dengan mempersamakan sesuatu yang telah ada status hukumnya
dalam nas.
Qiyas bisa dilakukan dengan oleh individu. Sedangkan ijma adalah para mujtahid.
Contoh Qiyas.
2. Harta anak wajib dikeluarkan zakat disamakan dengan harta dewasa. Menurut
fakir miskin.
3. Mengatakan telmi kepada ortu disamakan dengan membentak dan ah, karena
o Qiyas Aula.
o Qiyas Musawi.
o Qiyas Dilalah.
o Qiyas Syibhi.
Perbuatanm sama dengan perbuatan mereka. Dalam sebuah Riwayat: pernah ada
sahabt Nabi Yang Bernama Jariyah Khusyamiyah bertanya kepada Rasul “ Wahai
Rasulullah ayahku adalah seorang yang sangat tua. Dia sudah tidak sanggup
menunaikan haji, bila saya mengerjakan haji untuk dia, apakah ada manfaat bagi
hutang dan kamu yang memnbayar hutang itu. Apakah yang demikian itu
1. Kelompok jumhur, mereka menggunakan qiyas sebagai dasar hukum pada hal-
hal yang tidak jelas nashnya baik dalam Al Qur’an, hadits, pendapat shahabt
menggunakan qiyas. Mazhab Zhahiri tidak mengakui adalanya illat nash dan tidak
alasannya guna menetapkan suatu kepastian hukum yang sesuai dengan illat.
hal karena persamaan illat. Bahkan dalam kondisi dan masalah tertentu, kelompok
ini menerapkan qiyas sebagai pentakhsih dari keumuman dalil Al Qur’an dan
hadits.
Kehujjahan Qiyas
syar’i dan termasuk sumber hukum yang keempat dari sumber hukum yang lain.
Apabila tidak terdapat hukum dalam suatu masalah baik dengan nash ataupun
ijma’ dan yang kemudian ditetapkan hukumnya dengan cara analogi dengan
persamaan illat maka berlakulah hukum qiyas dan selanjutnya menjadi hukum
syar’i.
Diantara ayat Al Qur’an yang dijadikan dalil dasar hukum qiyas adalah
firman Allah: “Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli Kitab
dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. kamu tidak
menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-
benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah
mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-
orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai
lainnya. Demikian pula arti qiyas yaitu melampaui suatu hukum dari pokok
diperintahkan ini mesti diamalkan. Karena dua kata tadi ‘i’tibar dan qiyas’
taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian
Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya. (Qs.4:59) Ayat di atas menjadi dasar hukum qiyas, sebab maksud dari
ungkapan ‘kembali kepada Allah dan Rasul’ (dalam masalah khilafiyah), tiada lain
sesungguhnya yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Hal ini dapat diperoleh
dengan mencari illat hukum, yang dinamakan qiyas. Sementara diantara dalil
sunnah mengenai qiyas ini berdasar pada hadits Muadz ibn Jabal, yakni ketetapan
hukum yang dilakukan oleh Muadz ketika ditanya oleh Rasulullah Saw,
para shahabat Nabi Saw sering kali mengungkapkan kata ‘qiyas’. Qiyas ini
perbuatan mereka secara ijma’ menunjukkan bahwa qiyas merupakan hujjah dan
waji b diamalkan. Umpamanya, bahwa Abu Bakar ra suatu kali ditanya tentang
pendapat saya, jika (pendapat saya) benar maka dari Allah, jika salah maka dari
syetan. Yang dimaksud dengan ‘kalâlah’ adalah tidak memiliki seorang bapak
maupun anak”. Pendapat ini disebut dengan qiyas. Karena arti kalâlah sebenarnya
Dalil yang keempat adalah dalil rasional. Pertama, bahwasanya Allah Swt
merupakan tujuan yang dimaksud dalam menciptakan hukum. Kedua, bahwa nash
baik Al Qur’an maupun hadits jumlahnya terbatas dan final. Tetapi, permasalahan
manusia lainnya tidak terbatas dan tidak pernah selesai. Mustahil jika nash-nash
tadi saja yang menjadi sumber hukum syara’. Karenanya qiyas merupakan sumber
yang baru. Yang kemudian qiyas menyingkap hukum syara’ dengan apa yang
menentukan hukum sesuatu melainkan menggali hukum yang ada pada suatu
nya dalam al Qur’an dan hadist dapat menyebabkan adanya kesatuan hukum.
(dari orang yang dibunuhnya). Yang menjadi ilat nya adalah “upaya pembunuhan
yang dilakukan untuk mempercepat mendapatkan warisan”, ilat ini terdapat juga
dihukumkan sama dengan hukum orang yang membunuh ahli warisnya, yaitu
sama-sama tidak boleh memperoleh harta warisan dan harta wasiat. Adapun rukun
Rukun Qiyas:
Qur’an dan hadist. Hukum al asl berisi hukum yang telah tetap dan tidak
tersebut bukan merupakan al far’ dari al asl yang lainnya; dalil yang menetapkan
ilat pada al asl itu adalah dalil khusus, tidak bersifat umum; dan al asl tidak
Kasus yang akan ditentukan hukumnya ilatnya harus sama dengan ilat
yang ada pada al asl, baik pada zatnya maupun pada jenisnya; Setelah dilakukan
kias, hukum al asl tidak berubah; Al far’ tidak mengandung hukum yang tidak
mendahuluihukum al asl artinya hukum al far’ harus datang kemudian dari hukum
al asl; Tidak ada nas atau ijmak yang menjelaskan hukum al far’, artinya tidak ada
nas atau ijmak yang menjelaskan hukum al far’ dan hukum itu bertentangan
dengan kias, karena jika demikian maka status kias itu bisa bertentangan dengan
Syarat-syarat ilat antara lain Ilat atau motivasi hukum itu merupakan sifat
yang sesuai dengan hukum, artinya ilat yang ditentukan berdasarkan analisa
terhadap hukum sesuai dengan hukum itu sendiri; ilat itu nyata dan jelas (bisa
ditangkap indra manusia), karena ilat merupakan pertanda adanya hukum; ilat itu
merupakan sifat yang dapat diukur untuk setiap orang, yaitu memiliki hakekat
tertentu dan terbatas, tidak berbeda untuk setiap orang dan keadaan; ilat itu bisa
diterapkan pada kasus yang akan ditentukan hukumnya, bukan terbatas untuk
obyek hukum yang ada nasnya, karena jika demikian kias tidak bisa dilaksanakan.
Saw, seperti menikahi wanita lebih dari empat orang atau tanpa mahar, ilat hukum
ini tidak bisa diterapkan pada obyek lain, karena ilat itu terbatas pada Rasullah
Saw saja.
Hukum yang telah ditentukan nas tidak bersifat khusus, dalam arti tidak
bisa dikembangkan kepada kasus yang akan ditentukan hukumnya; Hukum al asl
itu tidak keluar dari ketentuan kias sebab jika suatu hukum ditetapkan berbeda
dari kaidah kias maka hukum lain tidak boleh dikiaskan kepada hukum itu karena
diantaranya tidak bisa di nalar (ghair ma’qul al ma’na), hukum itu merupakan
dan Al-Qiyas merupakan sumber-sumber hukum yang terus hidup subur dan
menjadi perbendaharaan yang besar yang membuka luas pintu-pintu bidang ilmu
http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/Falsafah%20At%20Tasyri
%27%20Sebagai%20Dasar%20Pembinaan%20Hukum-1.pdf
http://katabimacahya.blogspot.com/2009/06/sumber-hukum-islam.html
Abdul Azis dahlan (ed), : Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. Ke-5, (Jakarta : Ichtiar
Baru Van Hoevo dan Bintang warna Scan, 2001)
Musthafa Al Siba’i, Dr., Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam,
Penerjemah : Nurcholis Majid Cet. I (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1991)
Said Agil Husin Al Munawar, Prof. Dr. MA., Hukum Islam dan Pluralitas Sosial,
(Jakarta : Penamadani, 2004);