You are on page 1of 31

MAKALAH

ETIKA AGAMA SECARA UMUM DI INDONESIA

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Agama

TUTIK ASTUTI

JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI
BANDUNG
2009

1
ABSTRAK

Pluralisme merupakan kenyataan sejarah yang tidak bisa diingkari


keberadaannya, dan merupakan tantangan yang dihadapi oleh agama-agama
dunia dewasa ini. Untuk menghadapi tantangan pluralisme, diperlukan
pemahaman yang plural terhadap agama. Setiap agama hendaknya dinilai
sebagai tradisi-tradisi yang utuh, bukan sebagai fenomena keagamaan yang
partikular. Tradisi perbedaan keagamaan hendaknya dianggap sebagai sama-
sama produktif (equally-productive) dalam mengubah manusia dari perhatian
pada diri sendiri (Self-Centredness) menuju perhatian pada Tuhan (Reality-
Centredness).
Semua agama cenderung memiliki klaim absolutisme, baik Islam,
Kristen Hindu maupun Yahudi. Klaim pemeluk agama monoteisme yang
partikularistk-subjektif akan berdampak pada konflik antarumat beragama,
dan konflik tersebut akan menjadi memuncak jika beberapa organisasi
keagamaan yang kuat dan partikularistik hidup berdampingan.
Dalam memahami persoalan agama-agama perlu pendekatan
multikultural, dimana pendekatan ini berusaha menjauhkan sikap absolut,
subjektif dan ekslusif. Pemahaman ini juga setara dengan pendekatan yang
digunakan oleh Schuon dengan istilah esoterisme, atau yang digunakan Hick
dengan pendekatan cross-cultural-nya dan Nasr dengan philosophia-perennia-
nya. Mengedepankan aspek moral dan sosial dalam agama juga diperlukan
agar agama tampil sebagai pembawa rahmat bagi semesta alam.

1
A. Pendahuluan
Secara historis, pada masa kolonial, masyarakat Muslim di
kepulauan Nusantara merasa terancam dengan kebijakan politik
kolonial yang memberi perlindungan terhadap kegiatan
penyebaran agama Kristen. Akibatnya, hingga masa awal pasca
kemerdekaan, kecurigaan Muslim terhadap Kristen dan Katolik
dengan mudah terbentuk Namun demikian, keputusan para
pendiri Republik Indonesia, yang sebagian besar juga terdiri dari
para pemuka agama Islam, untuk menetapkan Pancasila sebagai
dasar negara dapat ditunjuk sebagai upaya sungguh-sungguh
dalam mencari sistem kenegaraan yang menjamin kerukunan
dan pluralisme keagamaan.1
Menurut Abu Rabi’,2 meski Islam telah menjadi kekuatan
nilai dalam menumbuhkan etos pluralisme keagamaan sejak
Indonesia merdeka, potensi untuk menjadi gerakan sosial yang
mundur ke belakang dengan sentimen anti-Kristennya tetap
terbuka lebar. Berbagai kecenderungan dan pola pemikiran
keislaman yang muncul akhir-akhir ini menggambarkan posisi
Islam yang berbeda-beda dalam berhadapan dengan komunitas
agama lain. Oleh sebab itu menurut Rabi’, aspirasi politik-
keagamaan yang berkembang akan tetap membuka peluang
bagi tumbuhnya gerakan sosial Islam yang sulit menjunjung
tinggi nilai-nilai toleransi, keterbukaan dan moderasi. Dan ini
merupakan tantangan yang semakin nyata seiring dengan
perkembangan wacana keagamaan pasca-modern.
Menurut Sudarto,3 pada masa kolonial, ketegangan dalam
hubungan umat Islam dan umat Kristen lebih dipicu oleh
kegiatan penginjilan (misionaris) yang mendapat bantuan besar
dari pemerintahan penjajah Belanda, baik bantuan politik
maupun finansial. Sementara pada masa Orde lama ketegangan
antar dua komunitas umat beragama itu mencuat saat
pembahasan UUD 1945 dan pada sidang Konstituante hasil
Pemilu 1955. Dalam pembukaan UUD 1945 telah ditetapkan
tujuh kata yang bernuansa islami, yang oleh kaum Kristen

11
Abu Rabi’, “Christian-Muslim Relations in Indonesia: The Challenges
of The Twenty-First Century” Jurnal Studia Islamika (Jakarta: IAIN Syarif
Hidayatullah, 1998).
2
Ibid.
3
Sudarta, Konflik Islam-Kristen, Menguak Akar Masalah Hubungan Antar umat
Beragama di Indonesia, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999), 79-80.

1
dianggap sebagai upaya pembentukan negara Islam, yang pada
akhirnya dihapuskan.
Berangkat dari perkembangan situasi umat beragama yang
tidak menguntungkan, maka pada 30 November 1967 diadakan
“dialog dari atas” yang dipelopori oleh Pemerintah melalui
Menteri Agama, KH. Muhammad Dahlan. Tetapi dialog yang
melahirkan wadah “Musyawarah Antar Agama” itu belum
dianggap berhasil menyelesaikan konflik antar agama. Sampai
pada periode berikutnya dialog itu menemukan kembali
momentum barunya pada masa Mukti Ali menjadi Menteri Agama
yang mencoba merumuskan dialog dengan berpijak pada iktikad
baik dan sikap saling percaya dari masing-masing komunitas
agama. Dan karena itu, Mukti Ali menghidupkan kembali wadah
Musyawarah Antar agama dengan melibatkan lebih banyak tokoh
dan pemimpin agama.
Sebenarnya sejak awal Orde Baru hingga sekarang --baik
atas prakarsa pemerintah maupun masyarakat beragama itu
sendiri-- dialog antar umat beragama telah dibangun, bahkan
menjadi agenda nasional demi terciptanya stabilitas keamanan
serta lancarnya pembangunan --meskipun kemudian ada pihak
yang menilai tidak berhasil, karena tidak adanya kesepakatan
bersama berkenaan dengan prinsip-prinsip penyebaran agama.4
Bahkan masa antara tahun 1972-1977 tercatat pemerintah telah
menyelenggarakan dialog yang berlangsung di 21 kota.5
Pada dekade tahun 1980-an hingga saat ini prakarsa dialog
dalam mewujudkan kerukunan antarumat beragama dan
sosialisasi pemahaman pluralisme ini pun terus dilakukan, baik
oleh para tokoh agama, intelektual muda maupun pemerintah
sendiri, misalnya dialog yang diselenggarakan oleh International
Conference on Religion and Peace (ICRP) yang diprakarsai oleh
Johan Efendi dan kawan-kawan, dialog kelembagaan
(Institutional Dialogue), yakni dialog antar delegasi berbagai
organisasi agama yang melibatkan majelis-majelis agama yang
diakui pemerintah, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI),

4
Sumarthana, “Menuju Dialog Antar Iman”, Pengantar dalam Dialog : Kritik dan
Identitas Agama, (Yogyakarta: Dian/ Interfedei, Seri Dian I/Tahun I, 1993), x-xi.

5 5
Jurnal Ulumul Qur’an, IV (1993), 4.

1
Persatuan Gereja Indonesia (PGI), Konferensi Waligereja
Indonesia (KWI), Parisada Hindu Darma dan Perwalian Umat
Budha Indonesia (WALUBI) dan seterusnya; dialog berwacana
transformatif yang sering dilakukan oleh kalangan intelektual
atau LSM seperti interfidei, paramadina, LKiS, LP3M, MADIA dan
lain-lain.
Tapi kenyataannya sampai sekarang, ketegangan dan
kerusuhan yang disebabkan oleh sentimen keagamaan (Islam-
Kristen) di beberapa daerah, seperti di Situbondo, Tasikmalaya,
Ketapang, Kupang, Ambon, Poso, Maluku dan seterusnya yang
mengakibatkan hancurnya tempat-tempat ibadah seperti masjid,
mushalla, dan gereja semakin bertambah parah kondisinya.
Padahal upaya Pemerintah RI. dalam menyelesaikan masalah
konflik di Poso, yang melahirkan wadah yang bernama
Perundingan Malino I dan ditindaklanjuti dengan Perundingan
Malino II untuk penyelesaikan konflik Maluku terus digalang.
Dengan perundingan Malino II ini diharapkan menghasilkan
kemanfaatan yang berarti bagi terciptanya perdamaian dan
kerukunan hidup antar umat beragama di Indonesia. Tetapi
upaya inipun, sebagaimana yang kita saksikan bersama, belum
juga mampu mengatasi dan mencegah timbulnya kembali konflik
antar umat beragama. Fenomena di atas menunjukkan
kesenjangan (gap) antara idealitas agama (das sollen) sebagai
ajaran dan pesan-pesan suci Tuhan dengan realitas empirik yang
terjadi dalam masyarakat (das sein).
Seperti telah diketahui, bahwa dalam rangka membina dan
memelihara kerukunan antar umat beragama di Indonesia,
pemerintah telah mencarikan jalan keluar melalui pelbagai cara
dan upaya, antara lain dengan menyelenggarakan dialog
antartokoh agama; memfungsikan pranata-pranata agama
sebagai media penyalur gagasan dan ide. Salah satu pranata
agama yang selama ini diandalkan dalam menyalurkan program
pemerintah tersebut adalah tokoh-tokoh agama. Tokoh-tokoh
agama ini mempunyai kedudukan dan pengaruh besar di tengah-
tengah masyarakatnya, karena mereka mempunyai beberapa
kelebihan yang dimiliki, baik dalam ilmu pengetahuan, jabatan,
keturunan dan lain sebagainya. Tokoh agama juga merupakan
pemimpin informal dalam masyarakatnya, dan secara umum
mereka tidak diangkat oleh pemerintah tetapi ditunjuk atas
kehendak dan persetujuan dari masyarakat setempat.

1
Penelitian tentang “hubungan antarumat beragama” di
Indonesia telah banyak dilakukan, misalnya yang dilakukan oleh
Qowa’id66 di Kalimantan Selatan. Penelitian ini bersifat deskriptif-
evaluatif, yang berusaha menggambarkan pelaksanaan program
dialog antar umat beragama. Tujuan akhir dari pendekatan
penelitian ini adalah, mengetahui keberhasilan dan
ketidakberhasilan dari pelaksanaan kegiatan program dialog
dimaksud. Data yang dihimpun meliputi: kelemahan dan
kelebihan kegiatan serta faktor penyebabnya. Sumber datanya
mencakup tokoh agama dan tokoh masyarakat baik yang pernah
terlibat dialog maupun yang belum, pelaksana dialog dan
pejabat pemerintah setempat.
Secara umum kegiatan dialog berjalan dengan baik,
walaupun dijumpai beberapa kelemahan atau kekurangan di
pelbagai tahapan dan aspek. Diantara kelemahannya adalah,
masalah persiapan pelaksanaan dialog oleh panitia yang masih
kurang, kurangnya wawasan nara sumber mengenai agama lain,
minimnya waktu penyelenggaraan, kurangnya fasilitas, kegiatan
dan metode yang kurang variatif (menjenuhkan), termasuk
kurangnya materi buku/ referensi yang aktual. Secara umum
kekurangan atau kelemahan tersebut dilatarbelakangi oleh
beberapa sebab, antara lain: problem SDM yang masih relatif
rendah, biaya dan fasilitas yang masih minim. Keberhasilan
dialog ini antara lain: mereka bisa saling mengenal, lebih
mengetahui berbagai problem yang dihadapi, bersedia saling
mendengarkan dan saling introspeksi, tenggang rasa (toleran)
dan seterusnya.

B. Pluralisme Agama

6
Qowa’id, “Dialog Antarumat Beragama di Kalimantan Selatan”,
Penamas, 39, XIV, (2000).

67
Siti Zulaikha. “Toleransi Awu-awu: Potret Dialog Antar Agama di
Jawa Timur”, Gerbang (2002-2003).

1
Salah satu hal yang mewarnai dunia dewasa ini adalah
pluralisme keagamaan, demikian ungkap Coward11 Pluralisme
merupakan sebuah fenomena yang tidak mungkin dihindari.
Manusia hidup dalam pluralisme dan merupakan bagian dari
pluralisme itu sendiri, baik secara pasif maupun aktif, tak
terkecuali dalam hal keagamaan.
Pluralisme keagamaan merupakan tantangan khusus yang
dihadapi agama-agama dunia dewasa ini. Dan seperti
pengamatan Coward12, setiap agama muncul dalam lingkungan
yang plural ditinjau dari sudut agama dan membentuk dirinya
sebagai tanggapan terhadap pluralisme tersebut. Jika tidak
dipahami secara benar dan arif oleh pemeluk agama, pluralisme
agama akan menimbulkan dampak, tidak hanya berupa konflik
antar umat beragama, tetapi juga konflik sosial dan disintegrasi
bangsa.
Menurut Hick14, bahwa pluralisme agama
mengimplikasikan pengakuan terhadap fondasi bersama bagi
seluruh varitas pencarian agama dan konvergensi agama-agama
dunia. Bagi sebagian lainnya, pluralsime agama
mengimplikasikan saling menghargai di antara berbagai
pandangan dunia (wold-view) dan mengakui sepenuhnya
perbedaan tersebut. Jika yang pertama menekankan kebebasan
beragama individu, maka yang kedua menekankan pengakuan
atas denominasi sebagai pemberi jawaban khas. Hick memang,
sebagaimana kata Soroush15, adalah seorang teolog yang
membela pluralisme dan inklusivisme sejajar dengan Kung,
Smart dan Toynbee.
Menurut Stark, pluralisme agama memang merupakan
keniscayaan dan pluralisme dalam orde sosial dapat menjadi
stabil selama dalam organisasi-organisasi keagamaan tidak
terdapat satu pun dari padanya yang terlalu kuat. Namun jika
11
Coward, Pluralisme dan Tantangan Agama-agama (Yogyakarta: Kanisius: 1989), 5.
12
Ibid, 167.
13
David Tracy, Plurality and Ambiguity, Hermeneutic, Religion, Hope (University of
Chicago Press, 1987), 89-90.
1
14
Zakiyuddin, Ambivelensi Agama, Konflik dan Nirkekerasan (Yogyakarta: Lesfi, 2002),
20.
15
Soroush, Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama, terj. Abdullah Ali (Bandung: Mizan.
2003),

1
sebaliknya yang terjadi, maka sudah dapat dipastikan akan
terjadi konflik yang intens.19 Stark sampai pada kesimpulan,
bahwa konflik agama akan menjadi memuncak jika beberapa
organisasi keagamaan yang kuat dan partikularistik hidup
berdampingan.20
Huston Smith, dalam memberikan komentar karya Schuon
mengenai hubungan antar agama-agama, mengatakan bahwa
segala sesuatu memiliki persamaan dan sekaligus perbedaan,
demikian juga dengan agama. Agama-agama yang hidup di
dunia ini disebut “agama” karena masing-masing memiliki
persamaan. Persamaan atau titik temu antara agama-agama
tersebut berada pada level esoterisme, sedangkan pada level
eksoterieme, agama-agama tampak berbeda.21
Menurut Raimundo Panikkar, untuk memahami agama-
agama orang lain secara komprehensif, kita harus memahami
agamanya melalui bahasa aslinya. Kita tidak bisa mengabaikan
perbedaan-perbedaan yang ada dalam masing-masing agama
untuk menarik kesimpulan bahwa “semua harus menjadi satu”.
Menurutnya, ada tiga macam sikap keagamaan manusia:
eksklusif, inklusif dan paralel/ plural. Sikap ekslusif artinya,
seseorang menganggap bahwa hanya agamanya saja yang
benar, sementara yang lain salah; sikap inklusif artinya
seseorang beranggapan, bahwa agamanya yang paling benar,
tetapi agama lain juga mengandung kebenaran; sikap plural
artinya, seseorang menganggap bahwa semua agama sama dan
mengandung kebenaran masing-masing.22

C. Dialog Antarumat Beragama


Guna mengakomodasi hubungan antara agama-agama
pada level internasional, maka pada tahun 1958, di Tokyo,
diadakan kongres internasional oleh The International
Association for The History of Religion, dalam Konggres itu

19
Ibid., 76.
20
Ibid., 181.
21
Schuon, The transcendent Unity of Religions. Wheston (Illinois: The Theosophical
Publishing House, 1984), xii.
22
Pannikar, Dialog Intra Religius (Yogyakarta: Kanisius, 1994), 18.

1
Friedrich Heiler dari Marburg menerangkan bahwa memberi
penerangan tentang kesatuan semua agama merupakan salah
satu dari tugas-tugas yang amat penting dari ilmu agama. Orang
yang mengakui kesatuan agama, menurutnya, harus
memegangnya dengan serius dengan toleransi dalam kata-kata
dan perbuatan. Di sini Heiler melihat betapa dekatnya agama-
agama itu satu sama lainnya; dengan membandingkan
strukturnya, keyakinan dan amalan-amalannya, ia dibawa
kepada suatu yang transenden yang melampaui semua namun
tetap imanen dalam hati manusia. Oleh karena itu, studi ilmu
perbandingan agama merupakan pencegah paling baik untuk
melawan eksklusivisme, karena ia mengajarkan cinta; di mana
ada cinta tentu di situ ada kesatuan dalam jiwa.
Di akhir pidatonya, Heiler menganalogikan pentingnya ilmu
perbandingan agama dengan apa yang dilakukan oleh
Helmholtz, penemu kaca mata, yang telah membantu jutaan
orang yang sakit mata. Hal demikian juga berlaku bagi studi
ilmiah tentang agama, usahanya untuk mencari kebenaran
membawa akibat-akibat yang penting bagi hubungan yang
praktis antara agama satu dengan lainnya.23
Dan tidak menutup kemungkinan, bahwa belum
tampaknya hasil yang signifikan dari pendekatan dialog dalam
menyelesaikan konflik antarumat beragama selama ini karena
pendekatan yang dilakukan masih bersifat top down, belum
menggunakan model dialog yang bersifat buttom up sehingga
bisa dijadikan sebagai bahan perbandingan dan evaluasi
penyelenggaraan dialog kerukunan di masa mendatang.
Dalam melakukan dialog dengan agama lain, apapun
bentuknya, diperlukan adanya sikap saling terbuka, saling
menghormati dan kesediaan untuk mendengarkan yang lain.
Sikap-sikap ini diperlukan untuk mencari titik temu (kalimatun
sawa’) antara berbagai agama, karena masing-masing agama
mempunyai karakteristik yang unik dan kompleks.
Dalam kasus dialog antara Islam dan Kristen, menurut
Hassan Hanafi24 keduanya mempunyai dua “karakteristik ideal”
23
Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia (Bandung: Mizan, 1998), 84-86.
24
Hassan Hanafi, Religious Dialogue & Revolution, Essay on Judaism, Christianity &
Islam (Cairo: The Anglo Egyptian Bookshop, 1977).

1
(ideal types) yang kaya untuk dikomparasikan dan selanjutnya
bisa mengantarakan kepada suatu common platform. Dialog
perlu dilakukan dengan mengedepankan prinsip humanisme,
karena antara Islam dan Kristen mempunyai pandangan yang
kosmopolit mengenai manusia yang lebih memudahkan untuk
melakukan komparasi antara dua dimensi: antropologis dan
teologis. Tuhan dan manusia, menurut Hanafi, merupakan kata
kunci bagi timbulnya persatuan dan perpecahan antara kultur
modernitas dan kultur tradisional atau antara Kristen dan Muslim
di Timur.
Ada beberapa alasan keraguan sementara orang-orang
muslim menanggapi dialog agama ini. Gerakan dialog ini adalah
murni inisiatif Kristen Barat dan orang-orang Islam merasa diri
mereka sebagai tamu yang diundang, tidak memiliki agenda dan
merasa hasil yang bisa dicapai dari dialog ini sedikit. Keyakinan
mereka bahwa misi Kristen merupakan agenda tambahan atas
kolonialisme yang sering dilakukan orang-orang Kristen
menambah ketidakpercayaan terhadap agenda Kristen dan
dialog tersebut ditakutkan oleh orang-orang muslim sebagai
agenda tersembunyi dari agenda evangelism. Ketidakpercayaan
ini ditambah dengan ketidakadilan global Barat, khususnya
dalam konflik Israel-Palestina.
Seyyed Hossein Nasr26 menawarkan kajian agama dengan
philosohia perennis, karena dia melihat bahwa banyaknya kajian
keagamaan di Barat kurang memahami bahwa realitas agama
sebagai agama dan bentuk-bentuk yang sakral sebagai realitas
ilahi. Sesuatu yang hilang di Barat dalam kajian agama adalah
suatu pengetahuan yang bisa memandang agama secara adil,
yaitu dengan menggunakan perennial wisdom yang berada
dalam “hati” semua tradisi-tradisi keagamaan. Philosophia
perennis merupakan pengetahuan yang berada pada dalam
“hati” agama yang bisa menerangkan makna ritus-ritus
keagamaan, doktrin-doktrin dan simbol-simbol. Philosophia
perennis juga menyediakan kunci untuk memahami pentingnya
pluralitas agama dan metode untuk masuk kepada dunia agama
lain tanpa mereduksi signifikansi atau menghilangkan komitmen
kita kepada dunia agama yang menjadi kajian kita. philosophia
perennis akan mengkaji agama dari segala aspeknya; Tuhan dan
26
Hossein Nasr, The Need of Sacred Science (United Kingdom: Curzon Press, 1993).

1
manusia, wahyu dan seni yang sakral, simbol-simbol dan images,
ritus-ritus dan hukum-hukum agama, mistisisme dan etika sosial,
metafisika, kosmologi dan teologi.
Ilmu perbandingan agama dan pemahaman terhadap
agama orang lain merupakan prasyarat untuk melakukan dialog
antaragama, karena tanpa ini dialog mustahil dilaksanakan dan
memang ilmu perbandingan agama dipergunakan untuk
memperlancar dialog ini dan dialog antar agama sendiri
merupakan media untuk memahami agama lain secara benar
dan komprehensif.
Dialog antarumat beragama yang benar dapat
menimbulkan pemahaman dan pencerahan kepada umat dalam
wadah kerukunan hidup antarumat beragama27. Dalam dialog ini
diperlukan sikap saling terbuka antarpemeluk agama yang
berdialog. Sebenarnya menganggap bahwa agama yang dipeluk
itu adalah agama yang paling benar bukanlah anggapan yang
salah, bahkan yakin bahwa agama yang ia peluk adalah agama
yang paling benar, dan orang lainpun dipersilahkan untuk
meyakini bahwa agama yang ia peluk adalah agama yang paling
benar. Malapetaka akan timbul apabila orang yang yakin bahwa
agama yang ia peluk adalah agama yang paling benar, lalu
beranggapan bahwa karena itu orang lain harus ikut ia untuk
memeluk agama yang ia peluk.28
Menurut Azyumardi Azra,29ada beberapa model dialog
antarumat beragama (tripologi), yaitu: Pertama, dialog
parlementer (parliamentary dialogue), yakni dialog yang
melibatkan ratusan peserta, seperti dialog World’s Parliament of
Religions pada tahun 1873 di Chicago, dan dialog-dialog yang
pernah diselenggarakan oleh World Conference on Religion and
Peace (WCRP) pada dekade 1980-an dan 1990-an. Kedua, dialog
kelembagaan (Institutional Dialogue), yakni dialog diantara
wakil–wakil institusional berbagai organisasi agama. Dialog

27
Mathews, World Religion (Canada: International Thompson Publishing, 1999), 432-
433.
28
Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama (Bandung: Mizan, 1998), 67-68.
29
Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam (Jakarta:
Paramadina, 1999), 63-64.

1
kelembagaan ini sering dilakukan untuk membicarakan masalah-
masalah mendesak yang dihadapi umat beragama yang
berbeda. Dialog seperti ini biasanya melibatkan majelis-majelis
agama yang diakui pemerintah seperti Majelis Ulama Indonesia
(MUI), Persatuan Gereja Indonesia (PGI), Konferensi Waligereja
Indonesia (KWI), Parisada Hindu Darmadan Perwalian Umat
Budha Indonesia(WALUBI). Ketiga, dialog teologi (theological
dialogue). Dialog ini mencakup pertemuan-pertemuan reguler
maupun tidak, untuk membahas persoalan-persoalan teologis
dan filosofis. Dialog teologi pada umumnya diselenggarakan
kalangan intelektual atau organisasi-organisasi yang dibentuk
untuk mengembangkan dialog antaragama, seperti interfidei,
paramadina, LKiS, LP3M, MADIA, dan lain-lain. Keempat, dialog
dalam masyarakat (dialogue in community), dialog kehidupan
(dialogue of live), dialog seperti ini pada umumnya
berkonsentrasi pada penyelesaian “hal-hal praktis dan aktual”
dalam kehidupan yang menjadi perhatian bersama dan
berbangsa dan bernegara. Dialog dalam kategori ini biasanya
diselenggarakan kelompok-kelompok kajian dan LSM atau NGO.
Kelima, dialog kerohanian (spritual dialogue), yaitu dialog yang
bertujuan untuk menyuburkan dan memperdalam kehidupan
spritual di antara berbagai agama.
Pada pihak Kristen, menurut Kate Zebiri30 sikap
keterbukaan terhadap agama lain telah melahirkan gerakan
antar iman yang pada dekade terakhir terekspresikan dalam
dialog yang terorganisir. Vatican telah mendirikan sekretariat
bagi agama non-Kristen (Pasific Council for Interreligious
Dialogue-PCID) pada tahun 1964 yang mempunyai misi
mempromosikan kajian tradisi-tradisi agama lain dan
mensponsori dialog antar iman (interfaith dialogue). Vatican II
(1962-5) juga telah mengeluarkan dokumen yang berisi tentang
penghormatannya terhadap orang-orang muslim, karena mereka
menyembah Satu Tuhan Yang Maha Hidup, Abadi, Pengasih dan
Perkasa. Mereka juga tunduk sepenuh hatinya kepada takdir
Tuhan, sebagaimana yang dilakukan Ibrahim yang merupakan
sandaran keimanan Islam. Walaupun mereka tidak mengakui
bahwa Yesus sebagai Tuhan tetapi mereka mengakuinya sebagai

3 0
Kate Zebiri, Muslims and Christians, Face to Face (Oxford: Oneworld, 1997), 34-36.

1
Nabi. Mereka juga menghormati Maryam, Ibu Yesus yang suci.
Mereka juga menantikan Hari Perhitungan.
Praksis dialog agama yang sebenarnya seperti diungkap
oleh Ahmad Gaus31 adalah, dialog yang meleburkan diri pada
realitas dan tatanan sosial yang tidak adil dengan sikap kritis.
Karena setiap agama memiliki nilai-nilai kebaikan dan misi
penegakan moralitas.
Dengan tegas dikatakan oleh Mudji Sutrisno32 , bahwa tidak
cukup membangun dialog antaragama hanya dengan dialog-
dialog logika rasional, namun perlu pula logika psikis. Maka
ikhtiar dialog teologi kerukunan juga harus dibarengi dengan
pencairan-pencairan psikologis, seperti rasa saling curiga yang
selama ini selalu muncul. Memang, seperti juga yang diungkap
oleh Kautsar Azhari33, bahwa kendala dialog antar umat
beragama adalah persoalan eksklusivisme. Seorang eksklusivis
akan terus berusaha agar orang lain mengikuti agamanya
dengan menganggap agama orang lain keliru dan tidak selamat
(truth claim).
Dengan demikian, sepanjang sikap di atas belum
tercairkan, maka dialog menuju cita-cita agama yang luhur sulit
dicapai. Maka jangan khawatir dengan dialog, karena yang ingin
dicapai dalam dialog, kata Victor I. Tanja34 bukan soal kompromi
akidah, melainkan bagaimana akhlak keagamaan kita dapat
disumbangkan kepada orang lain. Dan seperti tegas Shihab35,
bahwa kita tidak ingin mengatasnamakan ajaran agama, dan
kemudian mengorbankan kerukunan beragama. Dan pada saat
yang sama, kita tidak ingin menegakkan kerukunan agama
dengan mengorbankan agama. Islam mendambakan kerukunan,
tetapi jangan lantas demi kerukunan, agama kita terlecehkan.
Persamaan atau titik temu antara agama-agama tersebut
berada pada level esoterisme, sedangkan pada level
eksoterieme, agama-agama tampak berbeda39. Oleh karena itu,
31
Andito (ed.), Atas Nama Agama: Wacana Agama dalam Dialog “Bebas” Konflik,
(Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), 161-162.
32
Ibid., 335
33
Ibid.
34
Ibid
35
Ibid
39
Schuon, The transcendent Unity of Religions. Wheston (Illinois: The Theosophical
Publishing, 1984).

1
untuk mencari titik temu antar agama, perlu adanya kajian
esoteris terhadap agama. Menurut Raimundo Panikkar, untuk
memahami agama-agama orang lain secara komprehensif, kita
harus memahami agamanya (kitab agama) melalui bahasa
aslinya. Kita tidak bisa mengabaikan perbedaan-perbedaan yang
ada dalam masing-masing agama untuk menarik kesimpulan
bahwa “semua harus menjadi satu”. Menurutnya, setiap agama
merefleksikan, membenarkan, menambahi dan melawan yang
lain40.

D. Tantangan Umat Beragama


Harus diakui, bahwa agama-agama, disamping memiliki
klaim absolutisme, juga memiliki klaim inklusivisme. Dalam
konteks ini ada kasus menarik yang pernah dialami oleh Nabi
Muhammad, yaitu ketika kaum musyrik bersikeras menolak
ajaran Islam, maka demi kemaslahatan bersama Tuhan
memerintahkan kepada Nabi untuk berkata kepada mereka:
“….Tuhan kelak akan menghimpun kita semua, kemudian Dia
memberi keputusan diantara kita dengan benar. Sesungguhnya
Dia Maha Pemberi Keputusan lagi Maha Mengetahui”.41
Menurut penafsiran Quraish Shihab42 ketika absolutisitas
diantar ke luar (ke dunia nyata), Nabi tidak diperintahkan untuk
menyatakan apa yang ada di dalam (keyakinan tentang
absolutisitas agama tersebut), tetapi justru sebaliknya. Itulah
sebabnya menurut Quraish Shihab, bahwa salah satu kelemahan
manusia adalah semangatnya yang menggebu-gebu, sehingga
ada di antara mereka yang bersikap melebihi Tuhan, misalnya
menginginkan agar seluruh manusia satu pendapat, menjadi
satu aliran dan satu agama. Semangat yang menggebu-gebu ini
pulalah yang mengantarkan mereka memaksakan pandangan
absolutnya untuk dianut orang lain.
Pada umumnya kebanyakan filosuf berpendapat bahwa
hakikat realitas tertinggi adalah satu, maka secara otomatis
prinsip-prinsip filosofis yang digunakan semua agama juga satu.
Ketika ‘allamah Thabathaba’i berbicara tentang agama pada
40
Pannikar, Dialog Intra Religius (Yogyakarta: Kanisius, 1994),
41
Perhatikan QS. 34:24-26.
42
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1992), 222.
4

1
level filosofis ia tidak pernah bersikap permissif, tetapi ketika
kajiannya mulai menyentuh dataran sosiologis ia sangat toleran,
begitu pula muridnya, Muthahhari. Itulah sebabnya menurut
Shahab, dalam masalah perbandingan agama hendaknya
digunakan perspektif filosufis, bukan sosiologis, untuk
menghindari pada jebakan simbol-simbol agama.
Hick menganalisis tiga kriteria ketika orang menyambut
dan menerima perantara Tuhan dalam membangun sebuah
tradisi keagamaan. Pertama, adalah kriteria moral yang
didasarkan pada sebuah tatanan moral universal, yang
mempertanyakan: Apakah perantara (mediator) itu lebih baik
dari kejahatan, dan apakah ajarannya menawarkan sebuah visi
moral lebih baik dari pada moralitas umum yang ada? Kedua,
kriteria yang menfokuskan pada kemampuan mediator untuk
mengungkapkan visi baru tentang realitas yang mendorong
manusia untuk mengikutinya: Apakah visi baru itu lebih baik,
dan apakah kehidupan baru dan lebih baik itu bisa melalui
mediator tersebut? Ketiga, kriteria yang memusatkan pada
respon manusia: Apakah manusia bisa berubah dan dijamin
bahwa Tuhan kenyataannya mengantarkan mereka?
Hick mengajukan evaluasi rasional mengenai kognisi,
elemen-elemen teori mengenai tradisi keagamaan dan evaluasi
moral tentang aktualisasi kultur-sejarah kepercayaan
keagamaan. Namun menurut penilaian Stenger keduanya (baik
44

evaluasi rasional maupun moral) mengarah pada kesimpulan


positif dan negatif, lebih kuat dan lebih lemah yang memberi
contoh setiap tradisi. Orang boleh juga mempertanyakan,
apakah visi dasar keagamaan berlanjut menjadi efektif secara
“soteriologic” (soteriologically effective) atau hidup yang
transformatif, tetapi akhir pembuktian tentang itu menurut
Stenger bersifat eskatologis.
Memang, sebagaimana penilaian Stenger, Hick tidak
menemukan kriteria yang cukup untuk perbandingan yang
memadai dan penilaian yang baik terhadap tradisi keagamaan
secara utuh. Meski begitu menurut Stenger, kriteria-kriteria yang
dibuat Hick itu bisa dipakai pada fenomena keagamaan khusus

44
Lihat Tracy, Plurality and Ambiguity, Hermeneutic, Religion, Hope (University of
Chicago Press), 1987), 90.
45
Ibid., 93.

1
dan oleh karena itu patut dipertimbangkan dalam persolan yang
terkait dengan isu penilaian kebenaran keagamaan tersebut.
Hick mengatakan bahwa semua cara yang ditempuh
agama-agama menuntut transformasi tunggal mengenai diri:
dari pemusatan diri (Self-Centredness) menuju pemusatan Tuhan
(Reality-Centredness). Dalam beberapa cara keagamaan, orang
harus merubah perhatian ego dengan menggunakan hubungan
baru dengan Tuhan. Hanya kemudian, dapatkah diri (self)
berhenti menjadi ego dan menemukan kebebasan otentik yang
dihubungkan dengan alam, sejarah, dan yang lain? Adalah tidak
mungkin bahwa semua pencerahan keagamaan berbeda
ekspresi dari posisi keagamaan yang sama. Pluralitas diantara
agama-agama tidaklah mereduksi terhadap klaim bahwa mereka
semua memperlihatkan pencerahan yang sama atau praktik
yang sama tentang kebebasan45.
Brian Fay46 dalam mengkaji fenomena sosial menggunakan
pendekatan yang disebut dengan pendekatan multikultural.
Ada dua belas pendekatan multikultural dalam filsafat ilmu sosial
yang dibangun oleh Fay. Pendekatan ini mencoba mendamaikan
berbagai perbedaan pandangan dalam ilmu sosial dengan cara
yang lebih mendalam, plural, inklusif, tanpa sekat dan
subjektivisme.
Dalam filsafat ilmu sosial terdapat pola yang bersifat
dualistis yang mendominasi. Pola itu terkait dengan pertanyaan:
“Apakah satu pilihan atau pilihan lainnya —dan kemudian salah
satu diantaranya dianggap pilihan yang benar?” Fay berusaha
menghindari dualisme yang merusak, misalnya: diri vs. orang
lain; subjetivisme vs. objektivisme; atomisme vs. holisme;
kebudayaan kita vs. kebudayaan mereka; orang dalam vs. orang
luar; kesamaan vs. perbedaan dst.
Fay menjelaskan tentang “memahami orang lain” dan
“mengkritik orang lain”. Antara memahami dan mengkritik
adalah dua hal yang berbeda. Ilmu sosial terkait dengan usaha
memahami orang lain bukannya menilai orang lain.
Dari dua belas tesis filsafat multikultural yang dibangun
Fay ini, ada empat poin yang penulis anggap tepat untuk
4
46
Brian Fay, Contemporary Philosophy of Social Science (Oxford: Blackwell Publisher,
1996).

1
memahami pluralisme agama, yaitu: pertama, mewaspadai
adanya dikotomi, menghindari dualisme buruk dan berpikir
secara dialektis. Sebagaimana yang disarankan oleh Fay, kita
tidak boleh terjebak pada kategori-kategori yang saling bertolak
belakang. Kategori-kategori atau dikotomi-dikotomi itu harus
disikapi secara terbuka dan dipikirkan secara dialektis; kedua,
tidak menganggap orang lain sebagai “yang lain”. Sebenaranya
semua identitas pribadi pada hakikatnya menurut Fay bersifat
dialogis. Tidak ada pemahaman diri tanpa pemahaman orang
lain, dan jangkauan kesadaran diri kita dibatasi oleh
pengetahuan orang lain; ketiga, mentransendensikan kesalahan
memilih antara universalisme dan partikularisme, asimilasi dan
pemisahan. Hendaknya kita memanfaatkan perbedaan, dengan
mengambil hikmah, pembelajaran dan saling menguntungkan;
keempat, berpikir secara proses, dengan pengertian kata kerja
bukan kata benda (produk). Jika umat beragama mampu
menggunakan pendekatan multikultural dalam berinteraksi,
maka keberadaan agama dan perbedaan yang ada diantara
agama-agama tidak akan menimbulkan pertentangan dan konflik
yang membahayakan.
Menyangkut masalah pemahaman dan peran agama,
secara umum, dapat dilihat dari dua aspek. Pertama adalah
aspek konatif (conative aspects). Aspek ini berkaitan dengan
kemampuan agama dalam menyediakan sarana kepada
masyarakat dan anggota-anggotanya untuk membantu mereka
menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan. Kedua, aspeknya
yang bersifat kognitif (cognitive aspects). Aspek ini terkait
dengan peranan agama dalam menetapkan kerangka makna
yang dipakai oleh manusia dalam menafsirkan secara moral
berbagai kesukaran dan keberhasilan pribadi mereka; juga
sejarah masyarakat mereka di masa yang silam dan keadaannya
di masa kini,47
Pemahaman terhadap peranan agama semacam itu dapat
ditemukan batu pijakannya dalam berbagai sumber suci agama-
agama semit. Dalam Islam misalnya, al-Quran tidak hanya
mewajibkan kepada umatnya untuk melakukan ibadah-ibadah
ritual-seremonial yang bisa memberikan kelegaan emosional dan
47
Elizabeth K.Notingham, Agama dan Masyarakat. Terjemahan A. Muis Naharong
(Jakarta: Rajawali Press, 1985), 107-109.

1
spiritual, tetapi juga membuka ruang penafsiran intelektual guna
membantu manusia dalam mendapatkan makna dari seluruh
pengalaman hidupnya. Peranan Islam seperti ini tampak dengan
jelas dalam hampir setiap ibadah ritualnya selalu terkandung apa
yang biasa disebut dengan pesan moral. Bahkan begitu
pentingnya pesan moral ini, “harga” suatu ibadah dalam Islam
dinilai dari sejauh mana pesan moralnya bisa dijalankan oleh
manusianya. Apabila suatu ibadah tidak bisa meningkatkan
moral seseorang, maka ibadahnya dianggap tidak ada
maknanya. Oleh karena itu, ketika seseorang melakukan hal-hal
yang terlarang secara fiqh dalam suatu ibadah, maka
tebusannya adalah menjalankan pesan moral itu sendiri.
Misalnya, pada bulan puasa, sepasang suami istri berhubungan
intim pada siang hari, maka kifarat (dendanya) ialah memberi
makan enam puluh orang miskin, karena salah satu pesan moral
puasa ialah memperhatikan orang-orang yang lapar di
sekitarnya.
Aspek kognitif peranan agama semacam ini juga bisa
dijumpai dalam agama Kristen. Narasi tentang Ayub dalam Bibel
misalnya—atau Nabi Ayyub dalam al-Quran—merupakan simbol
persoalan kemanusiaan yang mengandung ajaran moral sangat
dalam. Kesungguhan Ayub dalam menjalankan kewajiban sosial
dan keagamaan memang tidak serta merta menjadikannya
bahagia, sebaliknya menyebabkan dia memperoleh cobaan
penderitaan. Tetapi kesungguhan Ayub dalam menghayati niali-
nilai sakral yang terdapat dalam perintah-perintah Tuhan bukan
hanya menyebabkan dia bertahan atas penderitaan tersebut,
namun juga membantu dia menemukan makna dari seluruh
pengalaman hidupnya. Sehingga, ketika Ayub minta keterangan
kepada Tuhan tentang apa yang terjadi, bukan keadaan dirinya
yang diutamakan tetapi justru nasib buruk yang menimpa
seluruh umatnya yang dikedepankan.48
Pesan agama yang terpantul dari kisah tentang Ayub itu
adalah, bahwa ketidaksamaan nasib untung dan malang manusia
tidak dapat dijelaskan begitu saja menurut ukuran baik buruk
manusiawi, tetapi harus dilihat pula dari segi adanya penilaian-
penilaian Tuhan di dalamnya. Di situlah terletak (salah satu)
48
Ibid.

1
fungsi agama yang penting, yaitu “memberikan makna moral
dalam pengalaman-pengalaman kemanusiaan”. Makna moral di
sini paralel dengan apa yang dikatakan oleh Paul B. Horton dan
Chester L. Hunt49 , bahwa semua agama besar menekankan
kebajikan seperti kejujuran dan cinta sesama. Kebajikan seperti
ini sangat penting bagi keteraturan perilaku masyarakat
manusia, dan agama membantu manusia untuk memandang
serius kebajikan seperti itu.
Persoalan makna agama sebagaimana tergambar pada
ajaran Islam dan Kristen di atas merupakan persoalan makna
agama dalam pengalaman individual. Secara esensial, persoalan
yang sama bisa juga ditemukan pada level masyarakat secara
keseluruhannya. Persoalan-persoalan seperti ketidakadilan
sosial, kesenjangan ekonomi, serta persoalan kekuasaan
merupakan rahasia umum dalam kehidupan masyarakat
manusia. Fenomena semacam ini secara sosiologis sangat bisa
mendorong timbulnya penafsiran-penafsiran moral terhadap
tertib sosial yang ada. Pada situasi dan kondisi tertentu tidak
jarang dapat menimbulkan konflik-konflik sosial, apabila
interpretasi yang dilakukan oleh masing-masing anggota
masyarakat tidak mencapai titik temunya.
Atas dasar pemahaman seperti itu, persoalan makna
agama dalam pengalaman masyarakat menjadi lebih unik dan
rumit dibanding pada pengalaman individu. Apabila suatu
masyarakat mampu memahami peranan agama dalam
membantu menafsirkan secara moral pengalaman hidupnya
secara tepat, maka agama akan hadir sebagaimana fungsinya.
Sebaliknya, jika mereka salah dalam melakukan interpretasi-
interpretasi tersebut maka agama bisa menjadi lahan subur bagi
perkembangan konflik di tengah-tengah masyarakat.
Sekurang-kurangnya menurut Bambang Sugiharto51,
tantangan yang dihadapi setiap agama saat ini ada tiga:
pertama, soal disintegrasi dan degradasi moral; kedua, soal
pluralisme dan eksklusivisme; ketiga, soal ketidakadilan. Ketiga
persoalan tersebut sulit diatasi karena beberapa faktor, di

49
Chester L. Hunt, 1993, 304.
51
Ibid., 29-32.

1
antaranya adalah: karena adanya sikap agresif yang berlebihan
terhadap pemeluk agama lain; adanya konsep kemutlakan Tuhan
yang disalahmengertikan; dan adanya kepentingan luar agama
(politik, ekonomi) yang turut mengintervensi agama. Tetapi jika
faktor di atas dapat diselesaikan, maka tantangan-tantangan
tersebut juga dapat dijawab.
Menurut Armahedi Azhar, terdapat lima penyakit yang
menghinggapi para aktivis gerakan keagamaan, yaitu:
absolutisme, ekslusivisme, fanatisme, ekstremisme dan
agresivisme. Absolutisme adalah kesombongan intelektual,
ekslusivisme adalah kesombongan sosial, fanatisme adalah
kesombongan emosional, ekstremisme adalah sikap yang
berlebihan dan agresivisme adalah tindakan fisik yang
berlebihan.52
Dalam kaitannya dengan pluralisme agama di Indonesia,
Victor I. Tanja53 menganjurkan adanya reorientasi misi dan
dakwah. Menurut Tanja, tujuan misi dan dakwah bukan untuk
menambah jumlah kuantitas, melainkan harus dilandaskan pada
menciptakan umat yang tinggi ilmu, tinggi iman dan tinggi
pengabdian (kualitas umat). Sejalan dengan Tanja, Shahab
menegaskan bahwa ketegangan agama yang terjadi selama ini
adalah karena pelaku dakwah (da’i, muballigh, missionaris)
adalah orang-orang yang cinta pada agamanya, tetapi tidak
memiliki pengetahuan agama secara mendalam. Akibatnya
dakwahnya lebih cenderung propagandis dan provokatif.
Tentu saja dengan masih adanya konflik antar umat pada
beberapa tahun terakhir ini tidak bisa dikembalikan begitu saja
kesalahannya pada pendekatan dialog secara an sich sebab
disamping ada faktor-faktor lain yang ikut ambil bagian di
dalamnya seperti ekonomi, hukum, politik dan seterusnya. Sudah
saatnya kini para pemuka agama mulai mengedepankan misi
agama yang terkait dengan masalah spiritualitas dan persoalan
kemanusiaan (keadilan, kejujuran, dan keramahan). Oleh sebab
itu, salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam rangka
menciptakan kerukunan umat beragama di tengah pluralitas ini
adalah dengan memahami ajaran agama masing-masing secara
utuh.
52
Ibid. 15.
53
Ibid., 79.

1
Standar universal ini memang bukan persoalan mudah,
karena ia adalah gagasan teoritis yang mungkin berbeda dengan
kenyataan-kenyataan di lapangan. Namun, sebagai nilai-nilai
universal yang bisa melindungi hak-hak semua masyarakat dunia
tampaknya nilai-nilai itu bisa mewakili kebutuhan bersama
manusia, paling tidak dari stadar kemanusiaan (manusiawi).
Di sinilah kemudian diperlukan suatu pendekatan dan
metodologi yang proporsional baik secara intra-agama maupun
antar agama untuk menghindari lahirnya truth claim yang
mungkin justru akan memperuncing benturan. Tawaran-tawaran
yang telah dikemukakan oleh para cendekiawan muslim
Indonesia merupakan sumbangan pemikiran yang dapat menjadi
moralitas yang bersifat universal atau menjadi global etik yang
dapat dipakai oleh semua orang. Apa yang dikemukakan oleh
Rasjidi dengan pluralisme agama secara sosiologis, toleransi
agama dan hak asasi manusia, Natsir dengan konsep modus
vivendi dan persaudaraan universal yang penuh dengan nuansa
hak-hak asasi manusia dan kebebasan beragama, Mukti Ali
dengan agree in disagreement, Djohan Effendi dengan dimensi
moral dan etisnya, Abdurrahman Wahid dengan self-kritiknya
dan pluralisme dalam bertindak dan berpikir, Nurcholish Madjid
dengan samhah al-hanîfiyyah-nya, dan Alwi Shihab dengan sikap
toleransi dan sikap pluralisme serta perlunya memahami pesan
Tuhan, merupakan upaya untuk mencari solusi bagaimana umat
beragama bisa hidup damai dan harmonis.
Selanjutnya, suatu dialog akan dapat mencapai hasil yang
diharapkan apabila, paling tidak, memenuhi hal-hal berikut ini.
Pertama, adanya keterbukaan atau transparansi. Terbuka berarti
mau mendengarkan semua pihak secara proporsional, adil dan
setara. Dialog bukanlah tempat untuk memenangkan suatu
urusan atau perkara, juga bukan tempat untuk menyelundupkan
berbagai “agenda yang tersembunyi” yang tidak diketahui
dengan partner dialog.1
Kedua adalah menyadari adanya perbedaan. Perbedaan
adalah sesuatu yang wajar dan memang merupakan suatu
realitas yang tidak dapat dihindari. Artinya, tidak ada yang
berhak menghakimi atas suatu kebenaran atau tidak ada “truth
claim” dari salah satu pihak. Masing-masing pihak diperlakukan
1
Ibid.

1
secara sama dan setara dalam memperbincangkan tentang
kebenaran agamanya.2
Ketiga adalah sikap kritis, yakni kritis terhadap sikap
eksklusif dan segala kecenderungan untuk meremehkan dan
mendiskreditkan orang lain. Dengan kata lain, dialog ibarat
pedang bermata dua; sisi pertama mengarah pada diri sendiri
atau otokritik, dan sisi kedua mengarah pada suatu percakapan
kritis yang sifatnya eksternal, yaitu untuk saling memberikan
pertimbangan serta memberikan pendapat kepada orang lain
berdasarkan keyakinannya sendiri. Agama bisa berfungsi sebagai
kritik, artinya kritik pada pemahaman dan perilaku umat
beragama sendiri.3
Keempat adalah adanya persamaan. Suatu dialog tidak
dapat berlangsung dengan sukses apabila satu pihak menjadi
“tuan rumah” sedangkan lainnya menjadi “tamu yang
diundang”. Tiap-tiap pihak hendaknya merasa menjadi tuan
rumah. Tiap-tiap pihak hendaknya bebas berbicara dari hatinya.,
sekaligus membebaskan dari beban: misalnya kewajiban
terhadap pihak lainnya, maupun kesediaannya pada
organisasinya dan pemerintahannya. Suatu dialog hendaknya
tidak ada “tangan di atas’ dan “tangan di bawah”, semuanya
harus sama.4
Kelima, adalah ada kemauan untuk memahami
kepercayaan, ritus, dan simbol agama dalam rangka untuk
memahami orang lain secara benar. Masing-masing pihak harus
mau berusaha melakukan itu agar pemahaman terhadap orang
lain tidak hanya di permukaan saja tetapi bisa sampai pada
bagiannya yang paling dalam (batin). Dari situlah bisa
ditemukan dasar yang sama sehingga dapat menjadi landasan
untuk hidup bersama di dunia ini secara damai, meskipun

2
Lihat Tarmizi Thaher, “Kerukunan Hidup Umat Beragama dan Studi
Agama-Agama di Indonesia” dalam Mursyid Ali (ed.), Studi Agama-Agama
di Perguruan Tinggi, Bingkai Sosio-Kultural Kerukunan Hidup Antar
Umat Beragama di Indonesia, (Jakarta : Balitbang Depag RI, 1998/1999),
hlm. 2-3. Lihat juga Komaruddin Hidayat, “Lingkup dan Metodologi Studi
Agama-Agama” dalam Mursyid Ali (ed.), Studi Agama-Agama, hlm. 35-36.
3
Lihat Komaruddin Hidayat, “Lingkup dan Metodologi Studi Agama-
Agama”, hlm. 42.
4
Ismail Raji al-Faruqi (ed.), Trialog Tiga Agama Besar: Yahudi,
Kristen, Islam, alih bahasa Joko Susilo Kahhar dan Supriyanto Abdullah, Cet.
I (Surabaya : Pustaka Progressif, 1994), hlm. 12.

1
adanya perbedaan juga menjadi kenyataan yang tidak dapat
dipungkiri.5
Namun demikian, penulis melihat adanya berbagai
permasalahan yang dapat menjadi penghambat dialog antar
umat beragama. Di antara sesuatu yang dapat menjadi
penghambat itu adalah sebagai berikut: (1) kurang memiliki
pengetahuan dan pemahaman tentang agama-agama lain secara
benar dan seimbang, akibatnya kurang penghargaan dan muncul
sikap saling curiga yang berlainan. Hal ini akibat adanya truth
claim, atau sesuatu yang akan mengakibatkan adanya truth
claim.6 (2) Faktor-faktor sosial politik dan trauma akan konflik-
konflik dalam sejarah, misalnya Perang Salib atau konflik antar
agama yang pernah terjadi di suatu daerah tertentu. (3)
Munculnya sekte-sekte keagamaan yang tidak ada sikap
kompromistik dengan memakai ukuran kebenaran hitam-putih.
(4) Kesenjangan sosial ekonomi, terkurung dalam ras, etnis dan
golongan tertentu.7 (5) Masih adanya kecurigaan dan
ketidakpercayaan kepada orang lain. Atau dengan kata lain,
kerukunan yang ada hanyalah kerukunan semu. (8) Penafsiran
tentang misi atau dakwah yang konfrontatif. (9) Ketegangan
politik yang melibatkan kelompok agama.8
E. Urgensi Studi Agama
Mencermati perjalanan umat beragama di Indonesia 30
tahun terakhir, sebagaimana tercermin dalam tawaran
pemikiran-pemikiran yang dikemukakan oleh para intelektual
Muslim Indonesia, tampak bahwa di kalangan umat beragama
ada segudang persoalan. Persoalan-persoalan itu ada yang
sudah terlesesaikan, ada yang masih dalam proses penyelesaian,
dan ada juga yang belum terselesaikan. Beberapa persoalan
dalam hubungan antar umat beragama terasa masih berlanjut
sampai masa sekarang dan mungkin sampai masa yang akan

5
Lihat St. Sunardi, “Dialog:Cara Baru Beragama”, hlm. 76.
6
Hal ini adalah antitesis dari prasyarat dialog yang mengharuskan adanya
saling pemahaman terhadap berbagai macam agama. Jika masing-masing
tidak memahami secara benar terhadap agama orang lain maka ini akan
menjadi penghambat dialog, karena akan muncul kecurigaan-kecurigaan.
7
Poin 3 dan 4 lihat A. Ligoy, CP, “Gereja Indonesia”, hlm. 131.
8
Umar Hasyim, Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam
sebagai Dasar Menuju Dialog dan Kerukunan Antar Agama (Surabaya :
PT. Bina Ilmu, t.t.), hlm. 350-351.

1
datang. Beberapa kasus yang menimpa umat beragama, seperti
di Poso, adalah satu contoh yang masih hangat di telinga.
Di tengah umat beragama yang terbiasa melihat dunia
hanya dari perspektif agama mereka secara spesifik sehingga
memunculkan Kristen-sentris dan Islam-sentris, maka kebutuhan
untuk belajar lebih banyak tentang agama orang lain adalah
sangat penting. Kita perlu mengembangkan kesadaran
konstruktif mengenai “agama-agama lain”. Selain itu, diskusi
dan sikap menerima terhadap masyarakat yang pluralistik
menjadi sesuatu yang sangat menentukan pada masa-masa
mendatang.
Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian agama (studi agama)
terhadap persoalan-persoalan yang selama ini terabaikan dalam
konteks relasi antar umat beragama. Kajian-kajian itu adalah
usaha untuk melakukan kritisisme situasi sejarah yang seringkali
menunjukkan kesalahpahaman antar umat beragama. Melalui
kajian-kajian itu dimungkinkan tidak hanya dapat menemukan
fakta-fakta tetapi juga meneliti fakta-fakta yang berarti pada
masa lalu atau berarti pada masa sekarang. Hendaknya studi
agama-agama tidak hanya berkonsentrasi pada fakta-fakta
agama tetapi juga pada hal-hal yang telah diinterpretasikan oleh
pemeluk agama dalam semua varietasnya. Di Indonesia,
perkembangan studi agama di beberapa pendidikan tinggi dan
lembaga-lembaga lain menunjukkan perkembangan yang cukup
menggembirakan, sehingga pencarian titik temu agama-agama
bisa lebih banyak alternatif. Seperti yang dikemukakan oleh M.
Amin Abdullah, seorang guru besar UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, bahwa pintu masuk titik temu agama-agama bisa
melalui etika dan spiritualitas. Ia mengemukakan:
“Al-Qur’an hanya mengajak kepada seluruh penganut
agama-agama lain dan penganut agama Islam sendiri untuk
mencari “titik temu” (kalimatun sawa’) di luar aspek teologis
yang memang sudah berbeda sejak semula. Pencarian titik
temu lewat perjumpaan dan dialog yang konstruktif
berkesinambungan merupakan tugas kemanusiaan yang
perenial, abadi, tanpa henti-hentinya. Pencarian titik temu
antar umat beragama dapat dimungkinkan lewat berbagai
cara, salah satunya lewat pintu masuk etika, karena lewat
pintu masuk etika manusia beragama secara universal

1
menemui tantangan-tantangan kemanusiaan yang sama.
Lewat pintu masuk etika ini – untuk tidak mengatakan lewat
pintu teologis—manusia beragama merasa mempunyai
puncak-puncak keprihatinan yang sama. Untuk era
sekarang, tantangan scientisme dengan berbagai
implikasinya, tantangan lingkungan hidup, menjunjung
tinggi harkat kemanusiaan (human dignity), menghormati
hak asasi manusia adalah merupakan agenda bersama
umat manusia tanpa pandangan “bulu” keagamaannya.
Lewat pintu etika ini, seluruh penganut agama-agama dapat
tersentuh “relijiusitas”nya, untuk tidak hanya menonjolkan
“having a religion”nya. Lewat pintu etika, dimensi
spiritualitas keberagamaan lebih terasa promising and
challenging dan bukannya hanya terfokus pada dimensi
formalitas lahiriyah kelembagaan agama.”9

Keperluan yang urgen untuk melakukan studi agama adalah


pada tiga aspek. Pertama, mengkaji sejarah relasi-relasi antar
umat beragama. Dialog antar umat beragama, sebagaimana
yang pernah terjadi dalam rentang sejarah, harus dilihat sebagai
momen yang istimewa dalam sejarah relasi umat beragama dan
interaksi pada umumnya. Kedua, mengkaji relasi-relasi yang
sedang terjadi pada masa sekarang; misalnya tentang
perkembangan-perkembangan pada hari-hari ini dan implikasi-
implikasinya bagi relasi mereka. Ketiga, mengkaji akar-akar
konflik antara komunitas-komunitas beragama dan mencari
solusi yang tepat untuk memecahkan konflik semacam itu.
Dalam studi semacam itu tentu saja diperlukan kontribusi ilmu-
ilmu sosial dan ilmu-ilmu humaniora untuk menghindari konflik-
konflik di masa depan.
Adanya perbedaan agama-agama itu bukan berarti tidak
ada “titik temu” yang dapat melahirkan mutual understanding di
antara mereka. Titik temu itu bisa berupa kesatuan yang bersifat
social, teologis dan etis (moral). Selain itu, titik temu bukan
hanya berarti dimensi eksoteris (lahiriyah) agama-agama, tetapi
juga dimensi esoterisnya (batinnya). Dialog antar agama
bukanlah sesuatu yang diharamkan. Al-Qur’an sebagai kitab suci

9
M. Amin Abdullah, “Etika dan Dialog Antar Agama: Perspektif Islam”,
dalam Jurnal Ulumul Qur’an. No. 4 Vol. IV. Th. 1993, hlm. 21.

1
kaum muslimin telah berdialog dengan agama-agama lain yang
hadir sebelum datangnya. Pengakuan dan ajakan dialog itu bisa
dilihat dalam surat Ali Imron ayat 64. Dalam masalah dialog dan
hubungan antar agama, tawaran Al-Qur’an adalah teologi inklusif
yang ramah, dan menolak eksklusivisme. Al-Qur’an bersikap
positif terhadap agama-agama lain.
Selain itu, penulis menekankan pentingnya moralitas dan
etika dalam mencari jalan keluar untuk mengembangkan dialog
di masa depan. Dalam hal ini umat beragama, khususnya umat
Islam, dapat belajar dari pengalaman Nabi Muhammad ketika
mengimplementasikan pengalaman toleransi, kerukunan antar
umat beragama dan pengakuan akan pluralisme agama yang
pernah dialami oleh umat beragama pada masa Nabi.
Pengalaman Nabi yang paling awal adalah pengalaman
hidup bersama dengan pemeluk agama lain. Sebagaimana
dikatakan Michael H. Hart bahwa di kota Mekkah sebelum
datangnya Islam ada sejumlah kecil pemeluk-pemeluk Yahudi
dan Nasrani, serta sejumlah besar penyembah berhala.10 Di
antara mereka adalah Waraqah bin Naufal, Usman ibnu Huairis,
Abdullah ibnu Djahsy dan Zaid ibnu Umar.11 Kontak telah terjadi
di antara mereka. Di antara pemeluk agama saat itu melihat ada
kesamaan antara agama yang dibawa Musa. Tokoh yang sempat
terekam mengakui kesamaan apa (wahyu) yang diterima oleh
Nabi dan Musa adalah Waraqa bin Naufal.
Ketika itu, Muhammad menceritakan kepada istrinya
Khadijah tentang apa yang telah dialaminya di Gua Hira ketika
didatangi Malaikat Jibril dan disampaikan wahyu dari Allah.
Setelah Khadijah mendengar cerita dari Muhammad dan ketika
Muhammad sedang tidur, Khadijah berkonsultasi dengan saudara
sepupunya (anak pamannya) Waraqa bin Naufal12 perihal apa
yang telah dialami Muhammad. Waraqa kemudian mengakui
bahwa Muhammad adalah Nabi umat ini, meski ia belum
bertemu dengan Muhammad.13 Kemudian ketika Nabi
Muhammad bertemua dengan Waraqa bin Naufal pada saat akan
10
Michael H. Hart, Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh dalam
Sejarah, terj. Mahbub Djunaedi (Jakarta : Pustaka Jaya, 1990), cet. XII, hlm.
28.
11
A. Sjalabi, Sedjarah dan Kebudajaan Islam (Djakarta : Djajamurni,
1970), hlm. 45.
12
Waraqa adalah seorang penganut agama Nasrani yang sudah mengenal
Bibel dan sudah pula menerjemahkannya sebagian ke dalam bahasa Arab.

1
mengelilingi Ka’bah, Waraqa mengingatkan kepada Muhammad
bahwa beliau adalah Nabi atas umat ini. Dikatakannya bahwa
Muhammad telah menerima Namus besar seperti yang pernah
disampaikan kepada Musa. Ia juga mengingatkan bahwa
tantangan Muhammad sangat berat.14
Pengalaman yang sangat berkesan dan memiliki bekas yang
sangat berharga adalah ketika Muhammad menyarankan kaum
Muslimin untuk pergi ke Abisinia (Habsyi atau Ethiopia) yang
penguasa dan rakyatnya memeluk agama Kristen.15 Pengalaman
itu menunjukkan betapa antar pemeluk agama bisa hidup rukun
dan saling menerima antara satu dengan lainnya. Mereka tinggal
di Abisinia sampai sesudah hijrah Nabi ke Yatsrib.16
Orang-orang Islam mendapat perlindungan keamanan Raja
Najasy dari ancaman kaum kafir Quraisy yang mengejar sampai
ke negeri Abisinia. Raja Najasy sempat berdialog dengan umat
Islam berkenaan dengan keberadaan agama Islam yang
menganjurkan untuk berlaku jujur, dapat dipercaya, bersih, tidak
berdusta, menyambung silaturrahmi, menyudahi pertumpahan
darah dan sebagainya. Dialog tersebut membahas juga tentang
posisi Islam dan Nasrani. Mengenai hal ini, Raja Najasy
mengibaratkan dengan menggoreskan tongkat di tanah dan dia
berkata, “Antara agama tuan-tuan dan agama kami sebenarnya
tidak lebih dari garis ini.”17 Selama di Abisinia kaum muslimin
merasa aman dan tenteram.
Pengalaman ini menunjukkan bahwa antara agama-agama,
terutama agama Ibrahimi (abrahamic religions), memiliki titik-
titik persamaan. Titik-titik persamaan ini bahkan sampai pada
hal-hal yang bersifat teologis, misalnya tentang keesaan Tuhan
(tauhid). Begitu juga hal-hal yang berkaitan dengan moralitas

13
Lihat A. Guillaume, The Life of Muhammad: A Translation of Ibn
Ishaq’s Sirat Rasul Allah, (Karachi : Oxford University Press, 1970), hlm.
111-116. Lihat juga Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad,
terj. Ali Audah (Jakarta : Tintamas, 1984), hlm. 93-94. Lihat juga Hasan
Ibrahim Hassan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, terj. Djah dan Humam
(Yogyakarta : Kota Kembang, 1989), hlm. 21.
14
Ibid. Lihat juga Chadijah Nasution, Sejarah dan Perkembangan
Dakwah Islam (Yogyakarta : Ideal Offset, 1978), hlm. 1.
15
Lihat A. Guillaume, The Life of Muhammad., hlm. 146-148. A.Sjalabi,
Sedjarah dan Kebudajaan Islam., hlm. 65. Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 1993), hlm. 22.
16
Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad., hlm. 118.
17
Ibid., hlm. 122.

1
dan etika dalam kehidupan sesama manusia, seperti sopan
santun, kejujuran, keadilan, kesejahteraan, saling menghormati,
saling menghargai dan lain-lain.
Pengalaman berikutnya adalah pengalaman ketika umat
beragama (umat Islam, Nasrani dan Yahudi) menjalin hubungan
kehidupan bernegara. Ketika pada periode Madinah, hubungan
umat Islam, umat Nasrani dan Yahudi ditandai terbentuknya
negara kota Madinah yang menjunjung tinggi pluralitas, baik
agama, suku dan golongan. Bahkan sebelumnya, ketika umat
Islam baru saja melalukan hijrah ke Madinah, kesadaran
pluralitas ini terlihat sangat menonjol. Hubungan umat beragama
waktu itu diawali dengan kontak damai antara umat Islam
dengan penduduk Madinah, baik yang sudah menjadi muslim
maupun yang masih memegang agama dan keyakinan
sebelumnya. Semua penduduk menyambut kedatangan umat
Islam dengan damai. Bahkan, orang-orang musyrik dan Yahudi
menyambut kedatangan Muhammad dengan baik.18
Kemudian, dalam bidang politik kenegaraan, Nabi
Muhammad memantapkan suatu tatanan kenegaraan yang luar
biasa dengan mencoba melihat berbagai pihak dan berbagai
kepentingan yang berkembang pada saat itu. Nabi lalu
mewujudkan persatuan Madinah dan meletakkan dasar
organisasi politik kenegaraan dengan mengadakan persekutuan
yang kuat. Lalu disepakatilah Piagam Madinah. Dalam Piagam
Madinah itu kaum muslimin –Anshar dan Muhajirin—dengan
orang-orang Yahudi dan penduduk Madinah lainnya membuat
perjanjian tertulis yang berisi beberapa hal yang prinsip, seperti
pengakuan atas agama mereka masing-masing dan harta benda
mereka. Dalam perjanjian itu disinggung juga tentang kebebasan
beragama, kebebasan menyatakan pendapat, tentang
keselamatan harta benda dan larangan orang melakukan
kejahatan. Itu merupakan sejarah baru dalam kehidupan politik
dunia waktu itu.
Secara lengkap isi perjanjian Madinah itu dimuat dalam
buku Sirah Muhammad karya Ibnu Ishak, yang banyak dinukil
oleh tokoh-tokoh sejarah.19 Di antara isi Piagam Madinah adalah
18
Lihat W. Montgomery Watt, Muhammad at Medina (London : Oxford
University Press, 1956), hlm. 195-204.
19
A. Guillaume, The Muhammad Life, hlm. 231-233. Lihat juga
Nourouzzaman Shiddiqi, Jeram-jeram Peradaban Muslim (Yogyakarta :

1
bahwa negara mengakui dan melindungi kebebasan
menjalankan ibadah agama masing-masing, semua orang
memiliki kedudukan yang sama sebagai anggota masyarakat.20
Dari situlah penduduk Madinah memiliki rasa nasionalisme yang
tinggi, lintas agama dan lintas suku.
Pengalaman-pengalaman di atas memberi gambaran bahwa
kemajemukan agama tidak menghalangi untuk hidup bersama,
berdampingan secara damai dan aman. Bahkan, kemajemukan
agama tidak menghalangi umat beragama untuk membangun
suatu negara yang bisa mengayomi dan menghargai
keberadaan agama-agama tersebut. Adanya saling pengertian
dan pemahaman yang dalam akan keberadaan masing-masing
menjadi modal dasar yang sangat menentukan. Pengalaman-
pengalaman Nabi di atas mengandung dimensi moral dan etis. Di
antara dimensi moral dan etis agama-agama adalah saling
menghormati dan menghargai agama/pemeluk agama lain. Jika
masing-masing pemeluk agama memegang moralitas dan
etikanya masing-masing, maka kerukunan, perdamaian dan
persaudaran bisa terwujud.

F. Kesimpulan
Pluralisme merupakan kenyataan sejarah yang tidak bisa
diingkari keberadaannya, dan merupakan tantangan yang
dihadapi oleh agama-agama dunia dewasa ini. Untuk
menghadapi tantangan pluralisme, diperlukan pemahaman yang
plural terhadap agama. Setiap agama hendaknya dinilai sebagai
tradisi-tradisi yang utuh, bukan sebagai fenomena keagamaan
yang partikular. Tradisi perbedaan keagamaan hendaknya
dianggap sebagai sama-sama produktif (equally-productive)
dalam mengubah manusia dari perhatian pada diri sendiri (Self-
Centredness) menuju perhatian pada Tuhan (Reality-
Centredness).
Semua agama cenderung memiliki klaim absolutisme, baik
Islam, Kristen Hindu maupun Yahudi. Klaim pemeluk agama
monoteisme yang partikularistk-subjektif akan berdampak pada
konflik antarumat beragama, dan konflik tersebut akan menjadi

Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 84.


20
Lihat Nourouzzaman Shiddiqi, Jeram-jeram, hlm. 93-94.

1
memuncak jika beberapa organisasi keagamaan yang kuat dan
partikularistik hidup berdampingan.
Dalam memahami persoalan agama-agama perlu
pendekatan multikultural, dimana pendekatan ini berusaha
menjauhkan sikap absolut, subjektif dan ekslusif. Pemahaman ini
juga setara dengan pendekatan yang digunakan oleh Schuon
dengan istilah esoterisme, atau yang digunakan Hick dengan
pendekatan cross-cultural-nya dan Nasr dengan philosophia-
perennia-nya. Mengedepankan aspek moral dan sosial dalam
agama juga diperlukan agar agama tampil sebagai pembawa
rahmat bagi semesta alam. Wallahu A’lam bi-‘l-Shawab.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman Wahid, Muslim di Tengah Pergumulan,


(Jakarta : Lappenas, 1981).

Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam


Beragama (Bandung : Mizan, 1999), cet. VII.

Amin Abdullah, M. , “Etika dan Dialog Antar Agama: Perspektif


Islam”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an. No. 4 Vol. IV. Th.
1993.

Andito (ed.), Atas Nama Agama: Wacana Agama dalam


Dialog “Bebas” Konflik, (Bandung : Pustaka Hidayah,
1998), hlm. 259.

1
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta : RajaGrafindo
Persada, 1993).

Burhanuddin Daja dan Herman Leonard Beck (red.), Ilmu


Perbandingan agama di Indonesia dan Belanda,
(Jakarta : INIS, 1992).

Chadijah Nasution, Sejarah dan Perkembangan Dakwah


Islam (Yogyakarta : Ideal Offset, 1978).

Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran


Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effeni,
Ahmad Wahib dan Abdurrahman Wahid, pent. Nanang
Tahqiq (Jakarta : Paramadina, 1999), cet. I.

Guillaume, A., The Life of Muhammad: A Translation of Ibn


Ishaq’s Sirat Rasul Allah, (Karachi : Oxford University
Press, 1970).

Hasan Ibrahim Hassan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, terj.


Djah dan Humam (Yogyakarta : Kota Kembang, 1989).

Huntington, Samuel P., “Benturan Antar Peradaban, Masa Depan


Politik Dunia?” dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No. 5, Vol.IV
Tahun 1993.

Ismail Raji al-Faruqi (ed.), Trialog Tiga Agama Besar: Yahudi,


Kristen, Islam, alih bahasa Joko Susilo Kahhar dan
Supriyanto Abdullah, Cet. I (Surabaya : Pustaka Progressif,
1994).

You might also like