You are on page 1of 30

Baik, mari kita lupakan permasalahan di atas.

Mari kita mencari tahu apa itu administrasi


pembangunan. Suminta mengatakan bahwa Administrasi pembangunan merupakan
gabungan dua pengertian, yaitu: Administrasi adalah segenap proses penyelenggaraan
dari setiap usaha kerja sama sekelompok manusia untuk mencapai tujuan tertentu.
Pembangunan adalah sebagai rangkaian usaha perubahan dan pertumbuhan yang
berencana yang dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintahan
menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa.

Apabila batasan pengertian tersebut dikaji, didalamnya terkandung beberapa pokok


pikiran yang sangat penting apabila seseorang berbicara mengenai pembangunan. Pokok
pikiran yang dimaksud adalah:

1. Pembangunan adalah merupakan suatu proses. Pembangunan itu harus


dilaksanakan terus menerus, berkesinambungan, pentahapan, jangka waktu, biaya
dan hasil tertentu yang diharapkan.
2. Pembangunan merupakan suatu usaha yang dilakukan secara sadar. Sudah
merupakan hasil pemikiran sampai pada tingkat rasionalitas tertentu.
3. Pembangunan dilaksanakan secara berencana.
4. Pembangunan mengarah pada medernitas. Untuk menemukan cara hidup yang
lebih baik dari sebelumnya, lebih maju dan dapat menguasai imtaq dan iptek.
5. Pembangunan mempunyai tujuan yang bersifat multidimensional. Meliputi
berbagai aspek kehidupan bangsa dan negara. Terutama aspek: politik, ekonomi,
sosbud, dan pertahanan dan keamanan.
6. Pembangunan ditujukan untuk membina bangsa.

Dengan kata lain beliau ingin mengungkapkan bahwa begitu banyak tujuan yang ingin
dicapai dari sebuah pembangunan dan administrasi adalah alat untuk mencapai tujuan-
tujuan tersebut.

Jadi Administrasi Pembangunan adalah suatu cara dan upaya untuk memperbaiki sistem
atau proses (baik masalah teknis maupun non teknis) yang digunakan oleh negara-negara
berkembang untuk memcapai tujuan-tujuan pembangunan yang meliputi aspek budaya,
sosial, dan politik secara terencana dan telah disesuaikan dengan keadaan di negara
tersebut.

www.ginandjar.com 1
Administrasi pembangunan berkembang karena adanya
kebutuhan di negara – negara yang sedang membangun
untuk mengembangkan lembaga –lembaga dan pranata –
pranata social, politik, dan ekonominya, agar
pembangunan dapat berhasil. Oleh karena itu, pada
dasarnya administrasi pembangunan adalah bidang studi
yang mempelajari system administrasi negara di negara
yang sedang membangun serta upaya untuk meningkatkan
kemampuannya. Dari sudut praktik, administrasi
pembangunan merangkum dua kegiatan besar dalam satu
pengertian, yakni administrasi dan pembangunan.
Oleh karena itu, untuk memahami administrasi
pembangunan perlu dipelajari hakikat administrasi, yaitu
administrasi negara atau administrasi publik, dan hakikat
pembangunan. Dengan demikian kajian mengenai konsep
administrasi pembangunan harus dimulai dengan teori –
teori dalam ilmu administrasi, yaitu mengenai administrasi
negara dan berbagai konsep pembangunan.
Untuk itu, yang pertama kaan dilakukan dalam
buku ini adalah mengupas berbagai konsep pembangunan,
yang mencerminkan pergeseran paradigma pembangunan
menuju ke arah makin terpusatnya pembangunan pada
aspek – aspek manusia dan nilai – nilai kemanusiaan.
Perkembangan paradigma dalam pemikiran – pemikiran
mengenai pembangunan itu, ternyata selain menunjukkan
konvergensi dengan pemikiran yang berkembang dalam
ilmu administrasi, juga makin mengarah pada manusia dan
nilai – nilai kemanusiaan serta konsep – konsep
pemerataan dan keadilan social.
Administrasi pembangunan dengan demikian
memiliki nilai – nilai yang dikandung dalam administrasi
dan pembangunan dengan paradigma yang sejalan, di
mana peranan etika menjadi makin tampil sebagai aspek
yang penting dalam kebijaksanaan – kebijaksanaan
pembangunan yang menjadi ruang lingkup tanggung jawab
administrasi pembangunan. Dalam telaah administrasi
pembangunan dibedakan adanya dua pengertian, yaitu
administrasi bagi pembangunan dan pembangunan
administrasi itu sendiri. Untuk membahas administrasi
bagi pembangunan, dalam konteks ini digunakan
pendekatan manajemen. Karena itu, pada dasarnya dapat
dikatakan bahwa masalah administrasi bagi pembangunan
adalah masalah manajemen pembangunan. Sedangkan
untuk menerangkan pembangunan administrasi akan
digunakan pendekatan organisasi.
Manajemen pembangunan adalah manajemen
publik dengan cirri – cirri yang khas, seperti juga
administrasi publik (negara) dengan kekhasan tertentu.
Studi mengenai manajemen telah banyak mengalami
perkembangan, namun teori pokoknya tidak berubah.
Sekurang – kurangnya ada tiga kegiatan besar yang
dilakukan oleh amanjemen, yakni perencanaan,
pelaksanaan dan pengawasan. Kendati demikian,
pengkajian mengenai fungsi – fungsi manajemen dapat
dikembangkan secara bervariasi sesuai kebutuhan.
Untuk analisis manajemen pembangunan dikenal
beberapa fungsi yang cukup nyata (distinct), yakni :
perencanaan, pengerahan (mobilisasi) sumber daya,
pengerahan pembangunan yang ditangani langsung oleh
pemerintah, koordinasi, pemantauan dan evaluasi dan
pengawasan. Pendekatan terhadap fungsi – fungsi tersebut
dilengkapi dengan peran informasi yang amat penting
sebagai instrumen atau perangkat bagi manajemen.
Pendekatan terhadap kajian pembangunan atau
pembaharuan administrasi dapat dilakukan dari sisi
administrasi sebagai organisasi pemerintahan. Fokus dari
system administrasi negara sebagai unit analisis cenderung
terkonsentrasi kepada birokrasi, baik sebagai institusi
nasional maupun dalam hubungan dengan lingkungannya.
Birokrasi yang dimaksud disini adalah tingkatan nasional
dari administrasi, yang memperlihatkan cirri – cirri umum
(overall) yang mempengaruhi pelayanan publik serta
pengelolaan pembangunan social ekonomi di negara
berkembang. Studi awal mengenai analisis administrasi
dalam perkembangannya, kira – kira counterpart teori
Rostow di bidang ekonomi, diberikan oleh Riggs (1964).
Ia menggambarkan taraf – taraf perkembangan
administrasi mulai dari tingkat terbelakang sampai yang
paling maju, dengan teori yang dikenal sebagai the theory
of prismatic society.
Bab 1
Pendahuluan
www.ginandjar.com 2
Heady (1995) menunjukkan ada lima cirri
administrasi yang indikasinya ditemukan secara umum di
banyak negara berkembang. Pertama, pola dasar (basic
pattern) administrasi publik bersifat jiplakan (imitative)
daripada asli (indigenous). Kedua, birokrasi di negara
berkembang kekurangan (deficient) sumber daya manusia
terampil yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan
pembangunan. Ketiga, birokrasi lebih berorientasi pada hal
– hal lain daripada mengarah pada yang benar – benar
menghasilkan (production directed). Keempat, ada
kesenjangan yang lebar antara apa yang dinyatakan atau
yang hendak ditampilkan dengan kenyataan (discrepancy
between form and realitiy). Kelima, birokrasi di negara
berkembang acap kali bersifat otonom, artinya lepas dari
proses politik dan pengawasan masyarakat. Terhadap
analisis Heady ini dapat ditambahkan dua karakteristik lagi
hasil dari pengamatan Wallis (1989). Pertama, di banyak
negara berkembang birokrasi sangat lamban dan makin
bertambah birokratik. Kedua, unsure – unsure non
birokratik sangat berpengaruh terhadap birokrasi. Misalnya
hubungan keluarga, hubungan – hubungan primordial lain
seperti suku dan agama, dan keterkaitan politik (political
connections) mempengaruhi birokrasi.
Keadaan yang demikian itulah yang ingin
diperbaiki melalui pembangunan administrasi. Banyak
konsep dikembangkan dalam pembangunan atau
pembaharuan administrasi. Untuk kasus negara
berkembang, kedua istilah tersebut sering kali dapat
digunakan untuk maksud yang sama.
Di antara pengkajian yang termasuk paling awal
dan banyak menjadi rujukan para pakar administrasi
pembangunan selanjutnya adalah konsep dari Riggs.
Menurut Riggs (1966), pembaharuan administrasi
merupakan suatu pola yang menunjukkan peningkatan
efektivitas pemanfaatan sumber daya yang tersedia untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Wallis (1989)
mengartikan pembaharuan administrasi sebagai induced,
permanent improvement in administration. Esman (1995)
dalam sebuah analisis yang lebih mutakhir mengenai
keadaan administrasi di negara berkembang menunjukkan,
bahwa upaya memperbaiki kinerja birokrasi negara
haruslah meliputi ketanggapan (responsiveness) terhadap
pengawasan politik, efisiensi dalam penggunaan sumber
daya, dan efektivitas dalam pemberian pelayanan. Dalam
hal ini Rodinelli (1993) mengusulkan suatu pendekatan
yang disebut adaptive administration. Ia menekankan
pentingnya fleksibilitas dan inovasi dalam administrasi
pembangunan, sebab kebijaksanaan – kebijaksanaan
pembangunan sangat kompleks dan penuh ketidakpastian.
Sementara itu, menjelang dasawarsa 90-an, system
komunisme yang menerapkan dominasi negara secara
sangat ekstrim, runtuh. Pengalaman empiris negara –
negara industri baru juga menunjukkan bahwa strategi
melepaskan dominasi negara atas ekonomi dan mengiktui
prinsip – prinsip apsar dengan ekspor sebagai pacuan telah
membuahkan hasil seperti tercermin dalam tingkat
pertumbuhan dan taraf kesejahteraan yang meningkat
dengan pesat. Oleh karena itu, berkembang arus deetatisme,
yang dikenal dengan sebutan – sebutan
deregulasi dan debirokratisasi.
Dalam kerangka pembaharuan administrasi
sebagai lanjutan dari pembangunan administrasi, yang
pertama perlu menjadi perhatian adalah perubahan sikap
birokrasi yang cukup mendasar sifatnya. Di dalamnya
terkandung berbagai unsure. Pertama, birokrasi harus
dapat membangun partisipasi rakyat. Kedua, birokrasi
hendaknya tidak cenderung berorientasi kepada yang kuat,
tetapi harus lebih kepada yang lemah dan yang kurang
berdaya. Ketiga, peran birokrasi harus bergeser dari
mengendalikan menjadi mengarahkan, dan dari memberi
menjadi memberdayakan. Keempat, mengembangkan
keterbukaan dan kebertanggungjawaban. Pembaharuan
memerlukan semangat yang tidak mudah patah. Semangat
dan tekad diperlukan untuk mengatasi inersia birokrasi dan
tantangan yang datang dari kalangan mereka yang akan
dirugikan karena perubahan. Oleh karena itu, pembaharuan
harus dilakukan secara sistematis dan terarah, didukung
oleh political will yang kuat, konsisten, dan konsekuen.
Tidak selalu harus segera menghasilkan perubahan besr,
tetapi dapat secara bertahap, namun konsisten.
Sistem pemerintahan atau administrasi negara di
Indonesia mengikuti aturan dasar negara, yaitu UUD 1945.
Dalam pembukaan UUD 1945 termaktub falsafah
kehidupan bangsa Indonesia, yakni Pancasila, serta pokok
– pokok pikiran mengenai negara kesatuan RI. Indonesia
adalah negara kesatun, tidak ada negara di dalam negara
Indonesia. Daerah Indonesia dibagi dalam daerah – daerah
otonom, yakni daerah propinsi, dan propinsi terdiri dari
kabupaten / kotamadya dan dibawahnya pemerintah desa.
Kesemua itu diatur dalam Undang – undang (UU).
Berdasarkan UU No. 5 tahun 1974 tentang Pokok – pokok
Pemerintahan di Daerah, pemerintahan daerah didasarkan
pada tiga asas yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan
tugas pembantuan atau medebewind.
Administrasi negara juga menjadi administrasi
pembangunan. Pembangunan dilaksanakan oleh
pemerintah berdasarkan amanat Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) yang dituangkan dalam Garis – garis Besar
Haluan Negara (GBHN) dan ketetapan – ketetapan
lainnya. Pelaksanaannya dirinci lebih lanjut oleh Presiden
dan dituangkan dalam Repelita. Pembiayaan pelaksanaan
rencana – rencana pembangunan itu setiap tahun
dituangkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) dalam bentu UU dan karenanya
memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR). Pada akhir masa jabatannya, Presiden
mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada
MPR, yang akan menilai isi pertanggungjawaban itu.
www.ginandjar.com 3
Selama PJP I, pembangunan administrasi negara
ditempatkan sebagai abgian integral dari keseluruhan
strategi pembangunan nasional dan telah banyak kemajuan
yang dicapai. Namun demikian, administrasi di Indonesia
seperti halnya di negara lain menghadapi banyak masalah.
Memasuki PJP II, masalah – masalah tersebut dikenali dan
ditampilkan dalam Repelita VI sebagai kendala – kendala
yang harus diatasi. Dengan berlandaskan hasil – hasil yang
telah dicapai dalam PJP I, pembangunan administrasi
negara dilanjutkan pada Repelita VI. Sasarannya sesuai
amanat GBHN 1993 yaitu tertatanya manajemen aparatur
negara untuk meningkatkan kualitas, kemampuan dan
kesejahteraan manusianya. Terwujudnya administrasi
negara yang handal. Professional, efisien dan efektif,s erta
tanggap terhadap aspirasi rakyat dan dinamika perubahan
adalah bagian dari sasaran pembangunan administrasi
negara.
Uraian lebih lanjut tentang berbagai konsep
pembangunan, pokok – pokok bahasan dan aspek – aspek
lain di bidang administrasi pembangunan tersebut diatas
berturut – turut disajikan dalam lima bab setelah Bab 1
Pendahuluan ini. Pada Bab 2 Perkembangan Pemikiran
Mengenai Administrasi Pembangunan sebagai suatu
bidang studi, diuraikan pengertian administrasi dan
pembangunan, konsep – konsep pembangunan khususnya
menurut literature – literature studi pembangunan,
perkembangan pemikiran dalam ilmu administrasi
pembangunan termasuk aspek ruang atau perwilayahan,
serta kebijaksanaan publik dalam administrasi
pembangunan.
Bab 3 Administrasi bagi Pembangunan membahas
pengertian, pendekatan dan ruang lingkup kegiatan
administrasi pembangunan dalam rangka manajemen atau
pengelolaan pembangunan. Selanjutnya, Bab 4
Pembangunan Administrasi menguraikan keadaan
administrasi di negara berkembang, berbagai aspek
pembangunan administrasi,s erta adnaya berbagai
hambatan terhadap pembaharuan administrasi.
Pembahasan mengenai pembangunan administrasi
ini dilanjutkan dengan uraian dalam Bab 5 mengenai
Administrasi Pembangunan di Indonesia. Isinya
mengemukakan system administrasi negara di Indonesia,
proses pengelolaan pembangunan melalui pelaksanaan
fungsi – fungsi administrasi pada tingkat pusat maupun
daerah seperti perencanaan, pembiayaan, pengeluaran,
pelaksanaan proyek pembangunan, system pemantauan
dan evaluasi kiberja pembangunan, pengawasan
pembangunan, serta masalah administrasi dan peran serta
masyarakat dalam pembangunan. Selanjutnya dalam Bab 6
diuraikan secara ringkas perkembangan selama PJP I dan
pembangunan administrasi yang diupayakan dalam
Repelita VI.
Buku ini diakhiri dengan Bab 7 Penutup yang
selain memberikan kata – kata akhir juga mengungkapkan
sejumlah pemikiran mengenai beberapa aspek yang
menjadi tantangan administrasi pembangunan di Indonesia
di tahun – tahun mendatang. Administrasi akan tetap
menjadi perhatian mereka yang bergerak di bidang
aakdemik maupun dalam dunia praktik, karena peranan
pemerintah akan tetap besar dalam kehidupan dan
pembangunan suatu bangsa meskipun sifat atau
orientasinya dapat bergeser atau berubah, sesuai dengan

perkembangan zaman.

Pada bab terdahulu telah diuraikan ciri – ciri


sistem pemerintahan di negara berkembang. Dapat
disimpulkan bahwa membangun sistem administrasi
tradisional menjadi sistem administrasi tradisional menjadi
sistem administrasi modern yang mampu
menyelenggarakan pembangunan merupakan salah satu
tujuan administrasi pembangunan.
Untuk mewujudkannya diselenggarakan
pembangunan adminstrasi (administrative development),
atau pembaharuan administrasi (administrative reform).
Keduanya sering kali tidak terlalu dibedakan dan
menyangkut perubahan ke arah perbaikan, namun dapat
dikatakan bahwa pembangunan administrasi (seperti juga
istilah administrasi pembangunan) pada umumnya
digunakan untuk negara berkembang, sedangkan
pembaharuan administrasi tidak dilakukan hanya di negara
berkembang, tetapi juga dapat diterapkan di negara yang
berarti dari keadaan tidak ada atau amat buruk, dengan
memperbaharui yang tidak perlu dari keadaan tidak ada
atau amat buruk.
Untuk mengetahui pembangunan administrasi
dibutuhkan perlu ditelusuri keadaan administrasi di negara
berkembang pada umumnya. Dengan sendirinya negara
berkembang tersebut luas kategorinya, dari yang sangat
terbelakang (least developed) seperti banyak negara di
Afrika, sampai yang sudah mendekati tahap maju seperti
beberapa negara yang sekarang sudah disebut negara
industri baru, misalnya Malaysia, Thailand, dan sebagian
negara di Amerika Selatan.
Tingkat perkembangan administrasi di negara –
negara berkembang dipengaruhi oleh berbagai faktof yang
dapat disebut sebagai lingkungan adminisrasi. Lingkungan
administrasi meliputi kondisi negara dan bangsa yang
bersangkutan di bidang politik, ekonomi dan sosial.
Di bidang politik, lingkungan administrasi
meliputi sistem politik yang dianut, keterkaitan antara www.ginandjar.com 30
Keadaan Administrasi di Negara Berkembang
Pada bab terdahulu telah diuraikan ciri – ciri
sistem pemerintahan di negara berkembang. Dapat
disimpulkan bahwa membangun sistem administrasi
tradisional menjadi sistem administrasi tradisional menjadi
sistem administrasi modern yang mampu
menyelenggarakan pembangunan merupakan salah satu
tujuan administrasi pembangunan.
Untuk mewujudkannya diselenggarakan
pembangunan adminstrasi (administrative development),
atau pembaharuan administrasi (administrative reform).
Keduanya sering kali tidak terlalu dibedakan dan
menyangkut perubahan ke arah perbaikan, namun dapat
dikatakan bahwa pembangunan administrasi (seperti juga
istilah administrasi pembangunan) pada umumnya
digunakan untuk negara berkembang, sedangkan
pembaharuan administrasi tidak dilakukan hanya di negara
berkembang, tetapi juga dapat diterapkan di negara yang
berarti dari keadaan tidak ada atau amat buruk, dengan
memperbaharui yang tidak perlu dari keadaan tidak ada
atau amat buruk.
Untuk mengetahui pembangunan administrasi
dibutuhkan perlu ditelusuri keadaan administrasi di negara
berkembang pada umumnya. Dengan sendirinya negara
berkembang tersebut luas kategorinya, dari yang sangat
terbelakang (least developed) seperti banyak negara di
Afrika, sampai yang sudah mendekati tahap maju seperti
beberapa negara yang sekarang sudah disebut negara
industri baru, misalnya Malaysia, Thailand, dan sebagian
negara di Amerika Selatan.
Tingkat perkembangan administrasi di negara –
negara berkembang dipengaruhi oleh berbagai faktof yang
dapat disebut sebagai lingkungan adminisrasi. Lingkungan
administrasi meliputi kondisi negara dan bangsa yang
bersangkutan di bidang politik, ekonomi dan sosial.
Di bidang politik, lingkungan administrasi
meliputi sistem politik yang dianut, keterkaitan antara
administrasi dengan pemegang kedaulatan dan kekuatan –
kekuatan politik, partisipasi masyarakat dalam proses
politik, derajat keterbukaan dan kebebasan mengeluarkan
pendapat dan berserikat, kedudukan dan kekuatan hukum,
serta perkembangan budaya dan kelembagaan politik pada
umumnya. Dengan berbagai indikasi tersebut dapat
digambarkan lingkungan administrasi dalam bidang
politik.
Di bidang ekonomi, tercermin dalam sistem
ekonomi yang dianut, apakah ekonomi terbuka dan
tertutup, ekonomi pasar atau ekonomi yang didominasi
oleh pemerintah, tingkat perkembangan ekonomi yang
diukur dari tingkat pendapatan atau perkembangan struktur
produksi dan ketenagakerjaan, tingkat pertumbuhan,
kemantapan atau stabilitas ekonomi; tingkat kesejahteraan
atau pemerataan pendapatan, perkembangan kelembagaan
ekonomi, serta penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Di bidang sosial, banyak indikator yang telah
dikembangkan di bidang pendidikan,s eperti tingkat melek
huruf dan partisipasi pendidikan di berbagai jenjang
pendidikan; di bidang kesehatan, speerti usai harapan
hidup, tingkat mortalitas ibu yang melahirkan atau bayi
yang dilahirkan, derajat gizi masyarakat, kehidupan
keagamaan, di bidang kependudukan seperti pertambahan
penduduk dan distribusi kependudukan menurut berbagai
ukuran antara lain gender, spasial, suia dan sebagainya;
perkembangan kelembagaan sosial budaya; serta aspek –
aspek sosial budaya lain yang luas seperti nilai – nilai
budaya tradisional dan modern, antara lain sikap terhadap
(etos) kerja, kedisiplinan, dan lain sebagainya.
Dengan mengenali berbagai indikator itu kita akan
memperoleh gambaran mengenai lingkungan administrasi
di suatu negara, baik negara maju maupun negara
berkembang. Lingkungan administrasi di negara
berkembang akan memberikan gambaran keadaan yang
tidak terlalu menguntungkan bagi bekerjanya administrasi.
Sebaliknya, administrasi yang terbelakang, artinya yang
Bab 4
Pembangunan Administrasi
www.ginandjar.com 31
tidak memenuhi persyaratan – persyaratan bagi
administrasi yang seharusnya, akan memperburuk keadaan
atau lingkungannya. Hubungan timbal balik antara
administrasi dan lingkungan ini amat besar intensitasnya
dalam administrasi negara dibanding jenis administrasi
lainnya.
Dengan sendirinya pengkajian yang mendalam
mengenai keadaan administrasi di negara berkembang
dalam berbagai kategori perlu dilakukan oleh pelajar ilmu
administrasi yang ingin mendalami administrasi
pembangunan. Namun, sebagai pengantar, mengenal
karakteristik umum yang menunjukkan pola administrasi
di negara berkembang telah cukup bermanfaat, sebagai
dasar pengetahuan untuk dikembangkan lebih lanjut.
Seperti telah dikemukakan pada bab sebelumnya,
pendekatan untuk telaah pembangunan atau pembaharuan
administrasi akan dilakukan dari sisi administrasi sebagai
organisasi pemerintahan. Pendekatan ini sama dengan apa
yang dikatakan oleh Jreisat (1991), bahwa fokus dari
sistem administrasi sebagai organisasi pemerintahan.
Pendekatan ini sama dengan apa yang dikatakan oleh
Jreisat (1991), bahwa fokus dari sistem administrasi negara
sebagai unit analisis cenderung terkonsentrasi pada
birokrasi, baik sebagai institusi nasional maupun dalam
hubungan dengan lingkungannya. Yang dimaksud dengan
birokrasi disini adalah tingkatan nasional dari administrasi,
yang memperlihatkan ciri – ciri yang bersifat umum
(overall) yang mempengaruhi pelayanan publik yang
bersifat tradisional serta pengelolaan pembangunan sosial
ekonomi di negara berkembang.
Studi awal mengenai analisis administrasi dalam
perkembangannya, kira – kira conunterpart teori Rostow di
bidang ekonomi, diberikan oleh Riggs (1964). Ia
menggambarkan taraf – taraf perkembangan administrasi
mulai dari tingkat terbelakang sampai yang paling maju.
Riggs mengemukakan suatu teori yang dikenal
sebagai the theory of prismatic society, di mana ia
menempatkan fase transisi dalam perkembangan suatu
masyarakat sebagai prismatic society, yang apabila ditarik
garis linear terletak antara apa yang dinamakan sebagai
fused society untuk masyarakat tradisional dan diffracted
society untuk masyarakat yang lebih maju. Istilah – istilah
tersebut dipinjamnya dari ilmu pengetahuan eksakta,
khususnya ilmu fisika dengan menggunakan sifat – sifat
yang dimiliki suatu prisma terhadap cahaya. Model
birokrasi pada masyarakat yang prismatis disebutnya
sebagai bureau atau sala model dan untuk masayrkaat
tradisional atau fused society model administrasinya
disebut chamber, sedangkan untuk masyarkaat yang telah
maju atau diffracted diberinya istilah office.
Riggs melandaskan teorinya itu atas dasar
tingkatan fungsionalisasi yang telah berkembang di dalam
suatu masyarakat. Di dalam fused society, fungsi – fungsi
tersebut masih terpusat dan sistem organisasinya belum
berkembang,s edangkan di dalam diffracted society fungsi
– fungsi tersebut telah terpencar dan organisasinya telah
berkembang. Model prisma menunjukkan masa transisi
dan berada di antaranya, dan merupakan model dari
birokrasi di banyak negara berkembang.
Menurut Heady (1995) untuk kepentingan kajian
mengenai pembangunan administrasi ada baiknya
dipelahjari gambaran wajah (features) administrasi yang
bersifat umum (common) di negara berkembang. Heady
menunjukkan ada lima ciri administrasi yang indikasinya
diketemukan secara umum di banyak negara berkembang.
Pertama, pola dasar (basic pattern) administrasi
publik atau administrasi negara bersifat jiplakan (imitative)
daripada asli (indigenous). Negara – negara berkembang,
baik negara yang pernah dijajah bangsa Barat maupun
tidak, cenderung meniru sistem administrasi Barat. Negara
yang pernah dijajah pada umumnya mengikuti pola negara
yang menjajahnya. Kingsley seperti dikutip oleh Heady
menyatakan bahwa di negara bekas jajahan,
pengorganisasian jawatan – jawatan, perilaku birokrat,
bahkan penampilannya mengikuti karakteristik
penjajahnya, dan merupakan kelanjutan dari administrasi
kolonial. Adminisrtasi kolonial itu sendiri diterapkan
hanya did aerah jajahan dan tidak di negara asalnya
sendiri. Sehingga, berbeda dengan administrasi di negara
penjajahnya, administrasi kolonial bersifat elitis, otoriter,
menjauh (aloof) atau jauh dari masyarakat dan
lingkungannya, serta paternalistik. Pola administrasi
kolonial ini diwarisi oleh administrasi di negara – negara
yang baru merdeka bahkan sampai sekarang masih
menjadi ciri birokrasi di banyak negara berkembang.
Kedua, birokrasi di negara berkembang
kekurangan (deficient) sumber daya manusia terampil
untuk menyelenggarakan pembangunan. Kekurangan ini
bukan dalam arti jumlah tetapi kualitas. Dalam jumlah
justru sebaliknya, birokrasi di negara berkembang
mengerjakan orang lebih dari yang diperlukan
(overstaffed). Yang justru kurang adalah administrator
yang terlatih, dengan kapasitas manajemen (management
capacity), keterampilan – keterampilan pembangunan
(development skills), dan penguasaan teknis (technical
competence) yang memadai. Pada umumnya keadaan ini
mencerminkan kondisi atau taraf pendidikan suatu negara.
Namun, tidak selalu berarti terkait dengan kurangnya
fasilitas pendidikan atau orang – orang yang berijasah.
Heady menunjukkan kasus India dan Mesir, yang memiliki
banyak tenaga berpendidikan tinggi, tetapi menganggur.
Dari data yang kita ketahui keadaan itu juga berlaku di
Indonesia dewasa ini (Kartasasmita, 1995f). Kondisi yang
demikian, yakni pengangguran orang berpendidikan cukup
tinggi, seringkali disebabkan oleh pendidikan yang tidak
www.ginandjar.com 32
sesuai dengan kebutuhan pembangunan atau dihasilkan
oleh lembaga pendidikan yang tidak berkualitas (marginal
institutions).
Ketiga, birokrasi lebih berorientasi kepada hal-hal
lain dari pada mengarah kepada yang benar-benar
menghasilkan (production directed). Dengan kata lain,
birokrat lebih berusaha mewujudkan tujuan pribadinya
dibanding pencapaian sasaran-sasaran program. Riggs
(1964) menyatakannya sebagai preferensi birokrat atas
kemanfaatan pribadi (personal expediency) ketimbang
kepentingan masyarakat (public-principled interest). Dari
sifat seperti ini lahir nepotisme, penyalahgunaan
kewenangan, korupsi, dan berbagai penyakit birokrasi,
yang menyebabkan aparat birokrasi dinegara berkembang
pada umumnya memiliki kredibilitas yang rendah, dan
dianggap tidak mengenal etika. Dibanyak negara
berkembang, korupsi telah merajalela sedemikian rupa
sehigga menjadi fenomena yang sangat prevalent dan
diterima sebagai sesuatu yang wajar, atau menurut istilah
Heady sanctioned by social mores dan semi
institutionalized.
Keempat, adanya kesenjangan yang lebar antara
apa yang dinyatakan atau yang hendak ditampilkan dengan
kenyataan (discrepency between form and reality). Riggs
(1964) menyebutkan fenomena umum ini sebagai
formalisme, yaitu gejala yang lebih berpegang kepada
wujud-wujud dan ekspresi-ekspresi formal dibanding yang
sesungguhnya terjadi. Hal ini tercermin dalam penetapan
perundang-perundangan yang tidak mungkin dilaksanakan,
peraturan-peraturan yang dilanggar sendiri oleh yang
menetapkan, memusatkan kekuasaan meskipun resminya
ada desentralisasi dan pendelegasian kewenangan,
melaporkan hal yang baik-baik dan tidak mengetengahkan
keadaan yang tidak baik atau masalah yang sesungguhnya
dihadapi. Bahkan tidak jarang memalsukan atau
memanipulasi data untuk memberi gambaran yang
menguntungkan.
Kelima, birokrasi dinegara berkembang acap kali
bersifat otonom, artinya lepas dari proses politik dan
pengawasan masyarakat. Ciri ini merupakan warisan
administrasi kolonial yang memerintah secara absolut, atau
sikap feodal dalam zaman kolonial yang terus hidup dan
berlanjut setelah merdeka. dibanyak negara berkembang,
pada awalnya orang yang paling terpelajar atau elite
bangsa yang bersangkutan memang berkumpul di
birokrasi, sehingga kelompok di luar itu sulit dapat
menandingi birokrasi dalam pengetahuan mengenai
pemerintahan dan akibatnya pengawasan menjasi tidak
efektif.
Terhadap analisis dari Heady ini dapat
ditambahkan dua karakteristik hasil pengamatan Wallis
(1989). Pertama , dibanyak negara berkembang birokrasi
sangat dan makin bertambah birokratik. Departemendepartemen,
badan-badan, dan lembaga-lembaga birokrasi
berkembang terus. Juga berkembang dan berperan besar
badan-badan para-statal yakni badan-badan usaha negara,
yang umumnya bekerja tidak efisien. Kedua, unsur – unsur
nonbirokratik sangat berpengaruh terhadap birokrasi.
Misalnya hubungan keluarga dan hubungan – hubungan
primordial lain, seperti suku dan agama, dan keterkaitan
politik (political connections) mempengaruhi birokrasi,
yang sangat bertentangan dengan asas birokrasi yang baik
(misalnya menurut kriteria Weber).
Pembaharuan Administrasi
Keadaan tersebut diatas ingin diperbaiki melalui
pembangunan administrasi. Banyak konsep dikembangkan
dalam pembangunan atau pembaharuan administrasi
(untuk negara berkembang kedua istilah tersebut seringkali
dapat digunakan untuk maksud yang sama). Di antaranya,
pengkajian paling awal dan banyak menjadi rujukan para
pakar administrasi pembangunan selanjutnya adalah
konsep dari Riggs juga. Menurut Riggs (1966),
pembaharuan administrasi merupakan suatu pola yang
menunjukkan peningkatan efektivitas pemanfaatan sumber
daya yang tersedia untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan.
Birokrasi itu sendiri, menurut penglihatan Riggs,
merupakan sebuah organisasi yang konkrit, terdirid ari
peran – peran yang bersifat hirarkis dan saling berkaitan,
yang bertindak secara formal sebagai alat (agent) untuk
suatu kesatuan (entity) atau sistem sosial yang lebih besar.
Dengan demikian, menurut pandangan ini, tujuan dari
birokrasi itu sendiri. Atas dasar itu, maka
kebertanggungjawaban (accountability) dari birokrasi
dalam menjalankan tugas mewujudkan tujuan sangat
esensial sifatnya. Oleh karena itu, pembaharuan
administrasi akan berkaitan erat dengan peningkatan
kebertanggungjawaban dalam proses pengambilan
keputusan, atau dalam hal bagaimana sumber daya
instrumental dimobilisasi untuk mencapai tujuan.
Riggs melihat pembaharuan administrasi dari dua
sisi, yaitu perubahan struktural dan kinerja (performance).
Secara struktural Riggs menggunakan diferensiasi
struktural sebagai salah satu ukuran. Pandangan ini
didasarkan atas kecenderungan peran – peran yang makin
terspesialisasikan (role specialization) dan pembagian
pekerjaan (division of labor) yang makin tajam dan intens
dalam masyarkaat modern. Secara khusus Riggs
menganalisis diferensiasi politik dan administrasi dalam
proses pengambilan keputusan yang dipandangnya sebagai
indikator perkembangan ke arah modernisasi. Dalam
konteks ini, ia melihat berkembangnya kelompok –
kelompok kepentingan, partai – partai politik dan
organisasi – organisasi masyarakat, lembaga – lembaga
www.ginandjar.com 33
perwakilan, lembaga – lembaga peradilan khusus, sebagai
ciri penting dalam proses pembaharuan administrasi.
Mengenai kinerja, Riggs menekankan sebagai
ukuran bukan hanya kinerja seseorang atau suatu unit,
tetapi bagaimana peran dan pengaruhnya kepada kinerja
yang lain atau organisasi secara keseluruhan. Ia
menekankan pentingnya kerjasama dan teamwork, dan
membedakan kinerja perorangan (personal performance)
dengan kinerja bersama (social performance).
Riggs juga membedakan antara hasil
(accomplishment) dengan upaya yang dilakukan
(endeavour). Dalam pembaharuan administrasi, perhatian
lebih dicurahkan pada upaya, bukan semata – mata hasil.
Contohnya petugas pajak yang menarik pajak dan
kelompok orang – orang kaya dengan mudah akan
memperoleh hasil lebih besar dibandingkan dengan
petugas yang bertanggungjawab menarik pajak dari lapisan
yang rendah pendapatannya.
Dua aspek kinerja yang menjadi ukuran adalah
efektivitas dan efisiensi. Efektifitas berkaitan dengan
seberapa jauh sasaran telah tercapai, dan efisiensi
menunjukkan bagaimana mencapainya, yakni dibanding
usaha, biaya, atau pengorganan yang harus dikeluarkan.
Riggs kemudian mempelajari lebih lanjut
hubungan antara tingkat diferensiasi dan tingkat kinerja
dalam konteks paradigma prismatic society-nya. Dengan
teori – teorinya itu, sistem yang maju atau diffracted
adalah yang skala diferensiasi dan kinerjanya tinggi,
sedangkan sistem yang agak terdiferensiasi dan kinerjanya
rendah adalah prismatic, yaitu birokrasi umumnya di
negara berkembang.
Wallis (1989) mengartikan pembaharuan
administrasi sebagai induced, permanent improvement in
administration. Dari batasan ini ada tiga aspek, yakni :
(1) Perubahan harus merupakan perbaikan dari keadaan
sebelumnya.
(2) Perbaikan diperoleh dengan upaya yang disengaja
(deliberate) dan bukan terjadi secara kebetulan atau
tanpa usaha.
(3) Perbaikan yang terjadi bersifat jangka panjang dan
tidak sementara, untuk kemudian kembali legi ke
keadaan semula.
Esman (1995) dalam sebuah analisis yang lebih
mutakhir mengenai keadaan administrasi di negara
berkembang menunjukan bahawa upaya memperbaiki
kinerja birokrasi negar harus meliputi ketanggapan
(responsivenes) terhadap pengawasan politik, efisiensi
dalam penggunaan sumberdaya, dan efektivitas dalam
pemberian pelayanan. Untuk itu parbaikan meliputi
peningkatan keterampilan atau penguasaan teknologi
informasi dan manajemen finansial, pengaturan atau
pengelompokan kembali (realigment) fungsi-fungsi ,
sistem insentif, memanusiakan manajemen (humanising
management), dan mendorong partisipasi yang seluasluasnya
dalam pengambilan keputusan, serta cara
rekrutmen yan harus lebih bersifat representatif.
Sementara itu, di dunia maju berkembang kritikkritik
terhadap peranan birokrasi yang makin besar sebagai
akibat dari apa yang disebut Esman sebagai activist state.
Persoalannya mengarah bukan semata-mata pada besar
kecilnya birokrasi, tetapi pada peningkatan kualitas
pelayanan serta kepekaan terhadap aspriasi masyarakat dan
partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan.
(Mengenai hal lihat kembali uraian mengenai
perkembangan pemikiran dalam ilmu administrasi negara
pada Bab 2).
Pembangunan administrasi di negara berkembang
pada umumnya dilkukan mengikuti pola yang
dikembangkan di negara maju, baik sistem yang
diterapkan di negara berkembang melalui berbagai bentuk
bantuan teknik yang biasanya berada di bawah judul
“pengemabangan kelembagaaan” (institution building).
Banyak program pembangunan kelembagaan birokrasi di
negara berkembang dibantu dengan para ahli, beasiswa,
dan pembiayaan oleh negara-negara maju, lembagalembaga
internasional seperti badan-badan Perserikatan
Bangsa-Bangsa dan Bank Dunia, serta organisasiorganisasi
swasta seperti Ford Foundation dan Rockefeller
Foundation.
Dengan berbagai program tersebut dan melalui
literatur dan studi-studi perbandingan, negara-negara
berkembang mengadopsi prinsip-prinsip administrasi
modern dan menerapkan ke dalam sistemnya.
Yang terjadi adalah suatu bybird dari sistem yang
diadopsi dan luar dan kebiasaan lama yang masih tidak
mudah dilepaskan.
Sejak awal telah dijelaskan oleh pakar, bahwa
tantangan utama pembangunan lebih bersifat administratif
daripada ekonomi, dan bukan pula kekurangan sumber
daya alam (Stone, 1996). Oleh karena itu, pembangunan
atau pembahruan administrasi menjadi bagian penting
dalam program pembangunan di hampir semua negara
berkembang.
Dengan asumsi bahwa birokrasi harus berperan
aktif mengisi ke vacum-an karena kekuatan-kekuatan
pembangunan lain dalam masyarakat tidak ada atau belum
berkembag, maka birokrasi di negara berkembang tumbuh
cepat. Pertumbuhan itu lebih dalam arti fisik dibanding
kualitas. Artinya, organisasi berperan besar dalam
penetapan tujuan (objectives setting), pengendalian,
pengaturan, pemeliharaan stabilitas, dan segala kegiatan
www.ginandjar.com 34
lain yang berkenaan dengan segenap aspek kehidupan
masyarakat.
Di bidang ekonomi, peranan pemerintah bukan
hanya dalam pengaturan atau penetapan kebijaksanaan,
namun juga langsung dalam pelaksanaan sebagai pelaku
aktif. Fungsi pelaku aktif ini dilaksanakan antara lain
melalui para statal atau Badan Usaha Milik Negara
(BUMN). Di Nigeria saja, sesudah kemerdekaan telah
dibentuk 800 BUMN (Baker, 1995). Di Indonesia pada
awal PJP I, terdapat 186 BUMN (Lampiran Pidato
Kenegaraan Presiden RI 16 Agustus 1994). Akibatnya,
birokrasi pemerintah tidal dapat lagi berfungsi sebagai
motor pembangunan, bahkan sering kali lebih menjadi
penghambat. Dibidang ekonomi, keadaan ini
mengakibatkan pertumbuhan ekonomi menjadi lambat,
atau jika pun ada pertumbuhan dapat menciptakan jurang
kesenjangan dan kepincangan, karena hanya yang dekat
dengan kekuasaan (privileged few) yang menikmati
kesempatan untuk memanfaatkan peluang. Dibanyak
negara bahkan pertumbuhan ekonomi berhenti sama
sekali. Negara-negara berkembang makin terlibat
lanjutannya, negara-negara berkembang makin tergantung
kepada negara maju.
Di bidang politik, dominasi negara cendrung
makin kuat sehingga mengekang pertumbuhan demokrasi
dan tidak mendorong paritsipasi masyarakat yang luas
dalam pembangunan. Keadaan politik yang demikian
memperburuk kondisi perekonomia karena pengambilan
keputusan tidak transparan, sumber daya yang langka
tersedot ke luar dari proses pembangunan, rente ekonomi
merajalela, dan tidak berkembangnya prakarsa individu
yang amat penting untuk menumbuhkan dinamikia
ekonomi.
Rondinelli (1993), mengkritik pendekatan yang
dilakukan oleh negara-negara maju dan lembaga-lembaga
internasional. ia melihat kedua pendekatan yang
digunakan, yaitu mengalihkan dan menerapkan teknik dan
prosedur administrasi dari negara maju ke negara
berkembang serta pendekatan modernisasi politik, terbukti
tidak mencapai hasil seperti yang dikehendaki. Ia
mengutip Siffin (1997) yang mengatakan bahwa sistem
yang berhasil di negara maju belum tentu berhasil di
negara-negara berkembang karena nilai-nilainnya
berbeda. Oleh karena itu, Rondinelli mengusulkan suatu
pendekatan yang disebutnya adptive administration. Ia
menekankan pentingnya flesibilitas dan inovasi dalam
administrasi pembangunan, sebab kebijaksanaankebijaksanaan
pembangunan sangat kompleks dan penuh
ketidakpastian.
Sementara itu, menjelang dasawarsa 90-an, sistem
komunisme yang menerapkan dominasi negara secara
sangat ekstrim, runtuh. Bersamaan dengan itu dunia
bergerak menuju zaman baru, yaitu era keterbukaan global
atau globalisasi yang dilandasi oleh arus liberalisasi
perdagangan. Dalam kondisi demikian, untuk dapat
selamat (surview), daya saing harus ditingkatkan. Untuk
itu, efisieni harus ditingkatkan dan proteksi ekonomi yang
menandai perekonomian dunia, khususnya ekonomi negara
berkembang pada dasawarsa-dasawarsa sebelumnya, harus
ditiadakan.
Pengalaman empiris negara-negara industri baru
juga menunjukan bahwa strategi melepaskan dominasi
negara atas ekonomi dan mengikuti prinsip-prinsip pasar
dengan ekspor sebagai pacuan telah membuahkan hasil
seperti tercermin dalam tingkat pertumbuhan dan taraf
kesejahteraan yang meningkat dengan pesat. Oleh karena
itu, berkembang arus de-eatisme, yang dikenal dengan
sebutan deregulasi dan debirokratisasi. Dalam hal ini
peranan pemerintah dalam pengaturan dan keterlibatan
langsung dipangkas menjadi seminimal mungkin atau
hanya sepanjang yang diperlukan. Upaya ini merupakan
bagian dari penyerasian struktural (structural adjusment),
yang meliputi pelepasan usaha-usaha negara kepada
masyarakat, pelapasan mekanisme pengendalian hargaharga,
peniadaan aturan-aturan yang menghambat kegiatan
dunia usaha, dan pengurangan peran pemerintah secara
langsung dalam ekonomi dan kehidupan masyarakat pada
umumnya.
Dalam alur pikir tersebut di atas, pembahruan
administrasi sebagai lanjutan dari pembangunan
administrasi, meliputi hal-hal sebagai berikut.
Privatisasi dan Ko-produksi
Privatisasi merupakan pergeseran dari usaha yang
dilakukan atau dimiliki oleh pemerintah ke swasta.
Sebagai hasilnya, akan berkurang kecendrungan
membesarnya peran pemerintah, pengendalian negara
(state control) dan anggaran pemerintah. Selain itu juga
akan mengurangi beban pemerintah terhadap aspek-aspke
manajemen yang terlalu rinci (mikro) dan mengurangi
keperluan subsidi. Pemilik baru akan dapat melanjutkan
usaha sesuai dengan kondisi pasar, mengadakan
perampingan, dan menghindari campur tangan yang tidak
ada hubungannya, seperti yang biasa ada pada birokrasi
pemerintah. Secara keseluruhan hal itu akan meningkatkan
efisiensi.
Namun, privatisasi tidak selalu merupakan jalan
yang mudah ditempuh, antara lain karena peraturan tidak
mudah diubah atau adanya kehendak bahwa pemerintah
harus bertanggung jawab atas pelayanan umum. Selain itu,
acap kali ada kebutuhan untuk melindungi atau memberi
subsidi kepada kalangan masyarakat berpenghasilan
rendah. Dengan demikian, ditempuh jalan tengah, antara
keterlibatan penuh pemrintah dengan privatisasi, yaitu
mengontrolkan beberapa kegiatan pemerintah kepada
www.ginandjar.com 35
pihak lain yang mampu, berpengalaman, dan
berspesialisasi dalam bidang yang bersangkutan. Atau
dapat dilakukan usaha bersama antara pemerintah dan
swasta. Seperti dalam bidang kelistrikan. Ini disebut koproduksi
atau co-production (Caiden, 1991.)
Debirokratisasi
Dalam rangka itu, debirokratisasi merupakan
usaha perampingan dan penyederhanaan birokrasi publik.
Privatisasi dan ko-produksi merupakan bagian dari usaha
besar untuk mengurangi intervensi pemerintah dan
pengaturan yang birokratis.
Debirokratisasi meliputi penyempurnaan dalam
pengambilan keputusan dan kebijaksanaan publik,
perampingan organisasi pemerintah, dekonsentrasi
kewenangan, peningkatan produktivitas sektor publik,
penyederhanaan dan rasionalisasi proses administrasi,
penyederhanaan pola perizinan (seperti one stop service),
diverifikasikan dan desentralisasi sistem pelayanan
publik, dan banyak hal lagi yang dilakukan untuk
membuat birokrasi menjadi makin efisien dan efektif
dengan kinerja yang tinggi.
Reorganisasi
Berbagai kebutuhan untuk memperbaiki efisiensi
dan efektivitas dalam kinerja birokrasi seperti di
kemukakan di atas, memerlukan pengorganisasian
birokrasi. Fungsi-fungsi harus di tata kembali sesuai
dengan peran baru pemerintah. Salah satu kunci dalam
reorganisasi adalah desentralisasi.
Pendelegasian wewenang dan tanggung jawab
sampai ke tingkat yang paling dekat dengan masyarakat
sangat penting alam kehidupan masyarakat modern yang
dinamis, kompleks dan penuh perubahan. Untuk itu, aparat
birokrasi di lapisan bawah harus diberdayakan.
Perubahan Sikap Birokrasi
Pembahruan administrasi memeerlukan sikap
mendasar dan birokrasi. Patologi birokrasi di berbagai
negara berkembang menunjukan adanya kecendrungan
mengutamakan kepentingan sendiri (self-serving),
mempertahankan status-quo resisten terhadap perubahan,
cendrung terpusat (centralised), dan dengan
kewenangannya yang besar sering kali memanfaatkan
kewenangannya itu untuk kepentingan sendiri.
Oleh karena itu, seperti dikemukakan di atas
penyempurnaan aparatur negara acap kali menjadi
program pembangunan di banyak negara yang sedang
membangun.
Dari berbagai penelitian diketahui betapa tidak
mudahnya melaksanakan pembahruan di bidang
administrasi negara. Sebabnya dalah pendekatan yang
sering kali bersifat formal struktural, yaitu kepada
penataan organisasi dan fungsi-fungsi. Yang
sesungguhnya amat penting, tatapi lebih sulit dilakukan,
adalah pembahruan pada sisi nilai-nilai yang membentuk
manusia-manusia birokrat. Internalisasi nilai-nilai ini yang
oleh Riggs (1996) disebut, introjection, merupakan kunci
terhadap peningkatan kinerja birokrasi. Terutama yang
perlu menjadi perhatian adalah memperbaiki sikap
birokrasi dalam hubungan dengan masyarakatnya. Di
dalamnya terkandung berbagai unsur, antara lain sebagai
berikut (Kartasasmita, 1995b).
Pertama, birokrasi harus membangun partisipasi
rakyat. Pengalaman banyak negara menunjukan bahwa
untuk berhasilnya pembangunan, partisipasi rakyat amat
diperlukan. Partisipasi rakyat pada lapisan bawah
(grassroots) yang efektif adalah apabila diselenggarakan
secara bersama dalam lingkup kelompok-kelompok
masyarakat (local comunities). Bentuk dan cara partisipasi
seperti itu akan menghasilkan sinergi dan manfaat
ekonomi yang dapat dinikmati oleh semua orang yang ikut
serta di dalamnya. Merupakan tugas birokrasi untuk
merangsang terjadinya partisipasi dan kegiatan kelompok
masyarakat serupa itu dalam rangka membangun
masyarakat yang maju dan mandiri.
Kedua, birokrasi hendaknya tidak berorientasi
kepada yang kuat, tetapi harus lebih kepada yang lemah
dan kurang berdaya (the under privileged). Sikap
pemilihakan ini hanya akan ada kalau ada pemahaman dan
kepedulian akan masalah yang dihadapi oleh rakyat di
lapisan bawah. Unutk itu, hambatan psikologis harus
diatasi karena birokrasi banyak negara berkembang
(terutama di lapisan atas yang justru menentukan)
umumnya merupakan kelompok elite suatu bangsa, yang
tidak selalu tanggap dan mudah menyesuaikan atau
mengasosiasikan diri dengan rakyat miskin dan
terbelakang.
Ketiga, peran birokrasi harus bergeser dari
mengendalikan menjadi mengarahkan dan dari memberi
menjadi memberdayakan (empowering). Ini merupakan
konsep yang amat mendasar, dan untuk negara di mana
hubungan birokrasi dengan rakyat bersifat paternal
(patronizing) memerlukan penyesuaian budaya birokrasi
yang cukup hakiki.
Keempat, mengembangkan keterbukaan
(transparancy) dan kebertanggunjawaban (accountability).
Yang acap kali membuat birokrasi jauh dari masyarakat
atau masyarakat yang harus dilayanainya jauh dari
birokrasi adalah ketertutupan. Sebgai akibat ketertutupan,
masalah masalah dan pikiran-pikiran pembahruan dan
tidak mudah diterima. Juga ada kecemburuan terhadap
www.ginandjar.com 36
jabatan yang dipegang dan rasa keengganan untuk berbagi
pengalaman dan kewenangan. Ketertutupan juga adalah
untuk menyembunyikan ketidakmampuan dan
menggambarkan keengganan menerima kritik.
Mengembangkan sikap keterbukaan denga demikian amat
penting dalam upaya menyempurnakan birokrasi.
Keterbukaan akan merangsang perbaikan melalu saling
silang gagasan (cross fertilization).
Berkatian dengan keterbukaan adalah
kebertanggungjawaban (accountability), yang oleh Riggs
(1996) ditekankan sebagai hakikat dari upaya pembahruan
administrasi. Ketertutupan menyebabkan birokrasi menjadi
sulit dimintai pertanggungjawaban. Padahal birokrasi
bukan kekuasaan yang berdiri sendiri, melainkan alat
untuk mencapai tujuan yang lebih besar sehingga tidaktanduknya
harus selalu dapat diawasi dan
dipertanggunjawabkan. Pertanggungjawaban itu dalam
konsep birokrasi yang lama bersifat hirakis dari bawah ke
atas di dalam struktur organisasi. Dalam kehidupan
masyarakat yang makin canggih dan terbuka, masyarkat
menuntut agar setiap pejabat siap menjelaskan dan dapat
mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada
publik. Kebijaksanaan-kebijaksanaan publik dituntut agar
transparan dan dapat dipertanggungjawabkan, serta
menguntungkan rakyat banyak. Kesemua itu
membutuhkan perubahan sikap dari birokrasi yang sifatnya
mendasar. Pembahruan administrasi yang demikian akan
menghasilkan birokrasi yang makin tanggap dalam
menghadapi tantangan dan lebih tangkas dalam
memanfaatkan peluang dan mengatasi masalah. Tetapi
juga makin peka terhadap kebutuhan, tuntuanan, dan
dinamika masyarakat. Oleh karena itu, pembahruan
administrasi harus juga meliputi etika birokrasi.
Etika Birokrasi
Uraian di atas menunjukan pentingnya perhatian
dan komitmen terhadap etika dalam administrasi
pembangunan. Sebagaimana diuraikan pada Bab 2,
masalah etika dalam administrasi adalah masalah yang
menjadi kepedulian dan keprihatinan para pakar di bidang
ini. Ia menjadi masalah di negara yang paling maju
sekalipun, yakni di negara seperti Amerika Serikat, yang
telah berdiri selama dua seperempat abad, konstitusi dan
gagasan-gagasan idealnya menjadi contoh bagi konstitusi
dan gagasan dasar banyak negara lain, serta
administrasinya juga menjadi rujukan administrasi di
banyak negara lain. Negara-negara lain yang telah maju,
seperti Inggris, Prancis, dan Jepang, juga mengalami
masalah yang sama , yaitu persoalan dalam etika
birokrasinya. Di negara-negara itu birokrasi diandalkan
menjadi pelindung dan pengayom masyarakat, bersifat
jujur dan adil, dan keseluruhan sistemnya diarahkan untuk
menjamin adanya hal itu. Namun, ternyata mereka tetap
saja menghadapi masalah yang dalam birokrasinya, yang
terlihat dari banyaknya masalah etika yang melibatkan
birokrasi mereka. Dengan latar belakang pandangan itu,
adalah wajar apabila di negara yang baru membangun
ditemukan pula masalah-masalah yang sama. Bahkan di
negara berkembang masalah etika ini prosporsinya jauh
lebih besar. Sebabnya antara lain adalah:
Pertama, belum tercipta tradisi administrasi yang
baik, yang menjaga timbulnya masalah etika seminimal
mungkin. Negara berkembang sedang mengembangkan
administrasi yang sesuai dengan kebudayaannya, tetapi
mengikuti kaidah-kaidah yang berlaku umum. Negaranegara
itu tidak mempunyai banyak rujukan, karena tidak
dapat Melanjutkan administrasi yang berasal dari masa
kolonial, yang tujuan keberadaannya berbeda dengan
administrasi dalam negara merdeka. Juga tidak bisa meniru
begitu saja administrasi yang sudah “matang” di negara
maju, karena adanya perbedaan pada tingkat kemajuan
ekonomi dan social, serta latar belakang budaya.
Kedua, adanya keterbatasan sumber daya, yang
menyebabkan pengembangan administrasi yang baik tidak
bisa cepat berjalan. Keterbatasan itu baik dalam hal
sumber dana maupun sumber daya manusia (SDM). SDM
administrasi sangat terbatas kualitas, kompetensi, dan
profesionalismenya. Keadaan itu diperberat oleh imbalan
yang rendah karena keterbatasan dana pemerintah.
Ketiga, administrasi hidup dalam suatu system
politik, dan di banyak negara berkembang system politik
sendiri masih berkembang. Baru belakangan ini saja
negara-negara berkembang berupaya menerapkan dengan
sungguh-sungguh prinsip-prinsip demokrasi kedalam
sistem politiknya. Itupun masih banyak ragam dan
masalahnya. Dalam keadaan demikian, administrasi secara
politis berperan lebih besar dibandingkan dengan dinegara
yang system demokrasinya lebih maju. Peran politk yang
besar itu, acap kali tidak diimbangi dengan
kebertanggungjawaban (accountability) kepada rakyat,
seperti layaknya dalam system demokrasi. Dalam suasana
demikian, alokasi kekuasaan berjalan secara tertutup, dan
tidak terkendali oleh system konstitusi, system demokrasi,
dan system hokum. Dengan sendirinya, system seperti itu
(atau ketiadaan sistem yang juga merupakan system
tersendiri) akan mengabaikan etika dan menjadi lahan
subur bagi berkembangnya penyalahgunaan kekuasaan,
kolusi, korupsi dan sebagainya.
Dengan demikian, masalah etika dalam
administrasi negara yang sedang membangun jauh lebih
rumit dibandingkan dengan masalah etika dinegara maju,
yang juiga sudah cukup rumit. Dengan kata lain,
variabelnya lebih luas dan ketidakpastiannya lebih besar.
Dalam rangka membangun etika birokrasi, harus
diupayakan untuk menerapkan kedua pendekatan baik
www.ginandjar.com 37
yang besifat teleologis maupun deontologis. Birokrasi
harus terdiri atas manusia-manusia yang berkarakter.
Karakter yang dilandasi sifat-sifat kebajikan akan
menghasilkan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang
menguntungkan masyarakat dan mencegah tujuan
menghalalkan segala cara. Karakter ini harus ditunjukan
dengan menghayati nilai-nilai kebenaran dan kebajikan
yang mendasar.
Seperti yang dicita-citakan oleh kaum administrasi
baru, birokrasi harus pula memiliki semangat keadilan
siosial, yang tercermin dalam keberpihakan kepada yang
lemah dalam kebijaksanaan-kebijaksanaan dan tindakantindakannya.
Selanjutnya seperti dianjurkan oleh
pandangan regime value, birokrasi harus berpegang teguh
kepada konstitusi dan segenap ketentuan pelaksanaannya.
Sebaliknya, birokrasi harus menentang habis-habisan
setiap upaya yang tidak konstitusional apalagi yang
bertentangan dengan konstitusi.
Selain itu, birokrasi juga harus berorientasi pada
hasil (result oriented). Kebijaksanaan dan tindakannya
harus menjamin hasil yang terbaik buat masyarakat. Ia
harus mendahulukan kepentingan umumdiatas kepentingan
pribadi. Seperti telah banyak diuraikan diatas, ini bukan
hanya karena idealisme saja, tetapi menjadi bahasan yang
luas dalam dunia akademik. Stahl (1994) misalnya
menyatakan The ideal public sservant,……, is one who
thinks in terms of the general welafare, the overall good,
the long-range effect an action might have. He resists the
temptation to respond just to the group or individual
pressing a case before him; he must first of all, be well
enough informed to be aware of other interest and to make
certain that all interests are taken into consideration in any
decision making.
Deregulasi dan Regulasi
Globalisasi atau hilangnya hambatan perdagangan
akan meningkatkan volume perdagangan dunia. Hal ini
berarti produksi dan lapangan kerja meningkat, sehingga
pendapatan akan meningkat pula.
Untuk dapat memanfaatkan kesempatan tersebut,
kuncinya bagi suatu negara adalah daya saing, baik dalam
memasarkan produk maupun dalam menarik modal. Dya
saing tergantung pada dua aspek, yaitu produktivitas dan
efisiensi dalam perekonomian. Produktivitas sangat
ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia. Untuk itu,
peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui
pendidikan, pelatihan, kesehatan, amat menentukan.
Sedangkan efisiensi diupayakan melalui deregulasi untuk
mengurangi kekangan karena keterlibatan birokrasi yang
terlalu kuat dibidang ekonomi, yang menghambat
kemampuan pelaku ekonomi untuk bersaing, karena biayabiaya
menjadi lebih tinggi, waktu menjadi terulur, dan
secara umum menyebabkan terjadinya pemborosan sumber
daya.
Namun, upaya deregulasi sebagai penyesuaian
terhadap globalisasi akan membuka perasingan lebih
leluasan. Yang kuat dan mampu bersaing akan lebih
mampu memanfaatkannya dibandingkan dengan yang
lebih lemah. Aset produktif mungkin terkonsentrasi pada
kelompok atau wilayah yang terbatas. Oleh karena itu,
untuk menegakan ekonomi pasar dan menggerakan
kegiatan ekonomi diperlukan deregulasi, sedangkan untuk
mengatasi kesenjangan diperlukan regulasi, yakni
melindungi dan memberi keesmpatan bagii yang lemah
dan tertinggal untuk tumbuh. Tema keberpihakan kepada
yang lemah ini didasari oleh konsep intervensi secara
selektif (selecitve intervention). Keseimbangan antara
berbagai kebijaksanaan deregulasi dan regulasi ini amat
menentukan keberhasilan negara berkembang untuk
membangun dan tumbuh secara berkesinambungan dan
dengan gejolak yang minimal (Kartasasmita, 1996d).
Hambatan Terhadap Pembahruan
Sebagai pentup bab ini, perlu dikemukakan
pengalaman empiris di banyak negara berkembang yang
menunjukan bahwa pembahruan administrasi bukan hal
yang mudah dan banyak masalahnya. Di banyak negara,
dengan program-program penyempurnaan administrasi
negara yang telah berjalan bertahun-tahun, tidak banyak
perubahan terjadi, dalam arti kinerja birokrasi tidak
bertambah baik secara signifikan.
Wallis (1998) menunjukan berbagai kesulitan
dalam upaya pembahruan administrasi, antara lain
disebabkan:
(1) kurangnya kesadaran atau pengetahuan mengenai
betapa buruknya kinerja administrasi atau
bagaimana perbaikan harus dilakukan,
(2) perubahan yang diperlukan untuk perbaikan
mendapat tantangan dari birokrat yang sudah
mampan dan ingin mempertahankan
kemampanannya.
(3) Sasaran, rencana atau program penyempurnaan
administrasi acap kali teralu umum, kabur dan tidak
jela, serta sulit diterapkan secara konkrit.
(4) Terkait dengan hal itu, mereka yang seharusnya
bertanggung jawab atas perubahan tidak terlalu
memahami apa yang sedang terjadi atau apa yang
harus dilakukan.
(5) Kegagalan sebelumnya menyebabkan keputusan
atau sikap acuh tak acuh, karena menganggap apa
pun yang diusahakan tidak juga akan berhasil.
www.ginandjar.com 38
Terhadap kondisi tersebut dapat pula di tambahkan
keadaan kesejahteraan aparat birokrasi yang pada
umumnya rendah dan acap kali di gunakan sebagai alasan
untuk tidak bekerja secara optimal atau melakukan
tindakan penyelewengan seperti korupsi. Oleh karena
perubahan administrasi bukan hal yang mudah maka
diperlukan keteguhan hati, kesabaran, dan komitmen yang
penuh, yang harus datang dari kalangan birokrasi sendiri.
Seperti dikatakan oleh Smith dan Weller (dikutip oleh
Cadien, 1991), perubahan birokrasi harus diprakarsai dan
dilaksanakan oleh dan dari birokrasi itu sendiri.
Pembahruan memerlukan semangat yang tidak
mudah patah. Semangat dan tekad diperlukan untuk
mengatasi inersia birokrasi dan tantangan yang datang dari
kalangan yang dirugikan karena perubahan. Oleh karena
itu, pembahruan harus dilakukan secara sistematis dan
terarah, di dukung oleh political will yang kuat, konsisten,
dan konsekuen. Ini berarti pula perlunya perhatian dan
komitmen terhadap etika, baik dalam penerapan konsepsi
maupun pengalamannya. Upaya pembahruan tersebut tidak
harus segera menghasilkan perubahan besar, tetapi dapat
secara bertahap (incremental), namun konsisten.
Meningkatnya produktivitas sektor publikasi akan
mendorong peningkatan produktivitas sektor swasta dan
masyarakat pada umumnya, yang akan membuat keadaan
ekonomi menjadi lebih baik. Dengan membaiknya
ekonomi, kemampuan keuangan negara yang diperoleh
terutama dari pajak akan meningkat. Sehingga taraf
kesejahteraan mereka yang berada dalam birokrasi dapat
pula ditingkatkan. Peningkatan kesejahteraan akan
meningkatkan produktivitas lebinggi lagi, dan seterusnya.
Dalam proses ini akan berjalan terus.
PERBEDAAN
Administrasi Negara &
Administrasi Pembangunan
� AN merupakan induk dari AP.
� Fokus AP:
analisis tentang penyelenggaraan seluruh
kegiatan pembangunan dalam rangka
pencapaian tujuan suatu negara bangsa.
� Lokus AP:
bagian dari Ilmu AN
Administrasi Negara &
Administrasi Pembangunan
� AP muncul karena ilmu induknya (AN) sudah tidak
“ampuh” lagi untuk dijadikan instrumen
penyelenggaraan pembangunan.
� Hal tsb terjadi karena AN berkembang di negara
maju (AS) sehingga tidak dapat diimplementasikan
langsung pada negara-negara berkembang
Administrasi Negara &
Administrasi Pembangunan
� Pada tahun 1961 muncul pandangan Ekologi
Administrasi Negara (Riggs)
� Pandangan tersebut menyatakan bahwa
adanya hubungan antara administrasi negara
dengan lingkungannya.
� Pandangan ini menjadi cikal bakal munculnya
comparative administrative group (CAG)
Perbedaan AP & AN
Administrasi Negara
� Lebih banyak terkait
dengan lingkungan masy
negara-negara maju.
� Ada pandangan bahwa AN
bersikap netral terhadap
tujuan2 pembangunan
Administrasi Pembangunan
� Lebih memberikan
perhatian pada lingkungan
masyarakat yg berbedabeda
terutama mas di
negara berkembang.
� AP berperan aktif dan
berkepentingan thd tujuan2
pembangunan.
Perbedaan AP & AN
Administrasi Negara
� Berorientasi pada masa
kini.
� Berorientasi pada tugastugas
umum pembangunan.
� Administrator sekedar
pelaksana
� Berpendekatan legalistik
Administrasi Pembangunan
� Berorientasi masa depan.
� Berorientasi kepada
pelaksanaan tugas-tugas
pembangunan.
� Administrator sebagai
penggerak perubahan
� Berpendekatan
Perbedaan AP & AN
Administrasi Negara
� Administrator sekedar
pelaksana
� Berpendekatan legalistik
Administrasi Pembangunan
� Administrator sebagai
penggerak perubahan
� Berpendekatan lingkungan,
berorientasi pada kegiatan,
dan bersifat pemecahan
masalah.
Definisi AP
Mencakup 2 pengertian:
� Administrasi:
keseluruhan proses pelaksanaan keputusan2 yg telah
diambil dan diselenggarakan oleh 2 orang/lebih untuk
mencapai tujuan yg ditentukan sebelumnya
� Pembangunan:
rangkaian usaha mewujudkan pertumbuhan dan
perubahan secara terencana dan sadar yg ditempuh
oleh suatu negara bangsa menuju modernitas dalam
rangka pembinaan bangsa (nation-building)
7 ide pokok AP
1. Pembangunan merupakan proses.
� Pembangunan dilakukan secara berkelanjutan.
� Terdiri dari tahap-tahap yg di satu pihak bersifat
independen akan tetapi di pihak lain bersifat tanpa akhir
(never-ending)
2. Pembangunan merupakan upaya yg secara
sadar ditetapkan sebagai sesuatu untuk
dilaksanakan.
3. Pembangunan dilakukan secara terencana
� Mengambil keputusan saat ini u/ waktu y.a.d.
7 ide pokok AP
4. Rencana pembangunan mengandung
makna perubahan dan pertumbuhan.
� Pertumbuhan: peningkatan kemampuan suatu negara
banga u/ berkembang dan tidak sekedar mampu
mempertahankan kemerdekaan, kedaulatan, dan
eksistensinya.
� Perubahan: suatu negara harus bersikap antisipatif dan
proaktif dalam menghadapi tuntutan situasi yg berbeda
dari waktu ke waktu.
Pembangunan mengarah kepada
modernitas.
� Modernitas: cara hidup yg baru dan lebih baik daripada
sebelumnya.
� Cara berpikir yg rasional dan sistem budaya yang kuat
tetapi fleksibel.
� Tidak identik dengan “westernisasi”
6. Modernitas tsb melalui berbagai kegiatan
pembangunan yg multidimensional
� Mencakup seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara
yg mengejawantah dalam bidang poleksosbudhankam
Semua hal di atas ditujukan kepada usaha
pembinaan bangsa sehingga negara
bangsa yg bersangkutan sejajar dengan
bangsa lain.
Beberapa definisi AP:
� Sondang Siagian:
“seluruh usaha yang dilakukan oleh suatu negara bangsa
u/ bertumbuh, berkembang dan berubah secara sadar dan
terencana dalam semua segi kehidupan dan penghidupan
negara yang bersangkutan dalam rangka pencapaian
tujuan negara akhirnya”
Edward Weiner:
� Development admnistration: public administration with
special purposes.
� Administration with the objective of political, economic,
and sosial development.
� Development adm is the process of guiding an
organization toward the achievement of development
objectives.
� Action oriented and places administration at the centre in
facilitating the attainment of development objectives.
Bintoro
AP adalah proses pengendalian usaha (administrasi)
oleh negara/pemerintah untuk merealisirkan
pertumbuhan yang direncanakan ke arah suatu
keadaan yang dianggap lebih baik dan kemajuan di
dalam berbagai aspek kehidupan bangsa.
Ruang Lingkup
Administrasi Pembangunan
1. “development of administration”
� Penyusunan kebijakan penyempurnaan Adm
Negara, meliputi:
� Kepemimpinan, koordinasi, pengawasan
� Administrasi fungsional: kepegawaian, keuangan,
sarana-sarana lain dan perlembagaan dalam arti
sempit.
2. “administration of development”
� Proses perumusan kebijakan pembangunan,
biasanya dalam bentuk rencana pembangunan
� Pelaksanaannya secara efektif
Kedua ruang lingkup tsb saling berkaitan satu sama lain
untuk menghasilkan kebijakan.
� Proses perumusan kebijakan masuk ke dalam ranah
administrasi negara sedangkan substansi nya bisa
berasal dari ilmu lain (politik, ekonomi, sosial, budaya,
hankam, dsb)
� Formulasi kebijakan bisa saja merupakan proses politik
maupun proses administrasi.
� Kebijakan yang sudah diambil, perlu ada partisipasi
masyarakat.
� Di akhir dari dua ruang lingkup tadi adalah tercapainya
perubahan suatu negara ke arah modernisasi,
pembangunan bangsa, pembangunan sosial ekonomi
Kesimpulannya:
Administrasi Pembangunan menggunakan dua
fungsi yaitu Pembangunan Administrasi dan
Administrasi Pembangunan. Kedua fungsi
tersebut saling melengkapi untuk menghasilkan
suatu kebijakan. Partisipasi masyarakat
diperlukan agar kebijakan tersebut bisa berhasil
dan tercapailah perubahan ke arah modernisasi,
pembangunan bangsa dan pembangunan sosial.

You might also like