Professional Documents
Culture Documents
A. Latar Belakang.
Kasus bunuh diri di negara kita makin mewabah. Berdasar data terakhir WHO terdapat 1
juta kasus dalam satu tahun didunia. Di Propinsi DKI Jakarta, kasus mencapai 5,8% dari jumlah
penduduk. Di Kabupaten Gunung Kidul Propinsi DIY,terdapat lebih dari 30 kasus setiap tahun.
Kasus bunuh diri sebagian besar menimpa golongan dewasa, dan sedikit yang menimpa remaja.
Hal ini sebenarnyabanyak berkaitan dengan status orang dewasa tersebut. Banyak penelitian
yang menemukan bahwa sebagian besardari orang-orang yang bunuh diri berlatarbelakang
keluarga broken home. Selain itu, tuntutan kebutuhan ekonomi seringmenjadi alasan bunuh diri
Penyakit yang tidak kunjung sembuh menjadi alasan berikutnya. Jangan remehkan suasana hati
kita, sebab kalau sedang dalam kondisi sangat buruk, seseorang bisa mengakhiri nyawanya
sendiri. Ilmuwan Amerika belum lama ini menemukan bahwa kasus bunuh diri di kalangan
remaja justru dipicu akibat suasana hati yang buruk.
Kasus bunuh diri di kalangan remaja belakangan mulai meningkat. Data resmi di Kepolisian
Daerah Metro Jaya menyatakan, selama 2003 tercatat 62 kasus bunuh diri. Jumlah ini merupakan
kelipatan tiga kali lebih banyak daripada angka tahun 2002. Usia pelaku bunuh diri, tidak main-
main, ada yang masih belasan tahun.
Apa sesungguhnya pemicu keinginan mengakhiri hidup sendiri itu? Ternyata semua kasus
”horor” tersebut dilandasi pada mood atau suasana hati seseorang. Dr. Ghanshyam Pandey
beserta timnya dari University of Illinois, Chicago, menemukan bahwa aktivitas enzim di dalam
pikiran manusia bisa mempengaruhi mood yang memicu keinginan mengakhiri nyawa sendiri.
Pandey mengetahui fakta tersebut setelah melakukan eksperimen terhadap otak 34 remaja yang
17 di antaranya meninggal akibat bunuh diri. Ditemukan bahwa tingkat aktivitas protein kinase C
(PKC) pada otak pelaku bunuh diri lebih rendah dibanding mereka yang meninggal bukan karena
bunuh diri
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana bunuh diri dilihat dari ukuran masalahnya?
2. Siapakah kelompok beresiko yang didiagnostik dalam usaha bunuh diri?
3. Bagaimana penjelasan tentang depresi , tingkatan depresi, gejala-gejala umum dari
depresi?
4. Apa saja kasus-kasus yang tejadi di dalam bunuh diri?
5. Apakah penyebab bunuh diri
6. Bagaimanakah karakteristik pemikiran dari orang yang ingin bunuh diri?
7. Bagaimanakah bunuh diri dipandang sociodemografik dan faktor-faktor lingkungan?
8. Bagaimana kita menjangkau orang-oarang yang bunuh diri?
9. Bagaimana terapi bagi yang mengalami gangguan perasaan dan bunuh diri?
10.
C. Tujuan
PEMBAHASAN
A. BUNUH DIRI
Bunuh diri ialah perbuatan untuk menamatkan hayat atau perbuatan memusnahkan diri
kerana enggan berhadapan dengan sesuatu perkara yang dianggap tidak dapat ditangani.
Kejadian membunuh diri ini lazimnya berlaku kepada mereka yang menghadapi tekanan
sama ada dari segi mental atau fizikal. Mereka ini akan bertindak di luar pemikiran akal yang
waras. Mereka ini juga selalunya daripada individu yang bermasalah seperti masalah dalam
keluarga, putus cinta, dan sebagainya.
Siapa yang nekat bunuh diri? Di Negara maju seperti Amerika Serikat, umur puncak rawan
bunuh diri adalah antara 24 dan 44 tahun. kasus ini lebih banyak sungguh-sungguh dilakukan
oleh kaum laki-laki ketimbang kaum perempuan, namun lebih banyak dicoba oleh kaum
perempuan ketimbang kaum laki-laki.
Cara yang populer untuk mencoba bunuh diri di kalangan kaum perempuan adalah menelan
pil, biasanya obat tidur; sedangkan kaum laki-laki lebih suka memilih cara yang lebih letal atau
mematikan, seperti menggantung diri.
Kebanyakan percobaan bunuh diri di kalangan kaum perempuan maupun laki-laki dilakukan
ditengah suasana percekcokan antar pribadi atau tekanan hidup berat lainnya. Kelompok yang
beresiko tinggi untuk melakukan percobaan bunuh diri adalah mahasiswa, penderita depresi, para
lansia, pecandu alcohol, orang-orang yang berpisah atau bercerai dengan pasangan hidupnya,
orang-orang yang hidup sebatang kara, kaum pendatang, para penghuni daerah kumuh dan
miskin, kelompok perofesional tertentu, seperti dokter, pengacara da psikolog.
Banyak kasus bunuh diri dilakukan karena stress yang ditimbulkan oleh berbagai sebab,
antara lain:
1. Depresi. Ada indikasi bahwa sebagian besar dari orang yang berhasil melakukan bunuh
diri tengah dilanda depresi pada saat tindakan tersebut dilakukan.
2. Krisis dalam hubungan interpersonal. Konflik-konflik dan pemutusan hubungan, seperti
konflik-konflik dalam perkawinan, perpisahan, perceraian, kehilangan orang-orang
terkasih akibat kematian, dapat menimbulkan stress berat yang mendorong dilakukannya
tindakan bunuh diri.
3. Kegagalan dan devaluasi diri. Perasaan bahwa dirinya telah gagal dalam suatu urusan
penting, biasanya menyangkut pekerjaan, dapat menimbulkan devaluasi diri atau rasa
kehilangan harga diri yang mendorong tindakan bunuh diri.
4. Konflik batin. Di sini stress itu bersumber dari konflik batin atau pertentangan di dalam
pikiran orang yang bersangkutan sendiri. Misalnya seorang pria lajang merasa cemas,
bingung, ragu-ragu antara memilih hidup atau mati, dan akhirnya memutuskan untuk
tidak lagi melanjutkan teka-teki itu dengan melakukan bunuh diri.
5. Kehilangan makna dan harapan hidup. Karena kehilangan makna dan harapan hidup,
oran merasa bahwa hidup ini sia-sia. Akibatnya orang memilih mengakhiri hidupnya
dengan bunuh diri. Perasaan semacam ini sering dialami oleh orang-orang yang
menderita penyakit kronik atau penyakit terminal.
Namun begitu mudahkah seseorang memutuskan niat bunuh diri? Jawabnya tidak,
sebagaimana terbukti dari adanya gejala yang disebut Ambivalensi dalam bunuh diri. Artinya,
senantiasa terjadi keraguan antaramelaksanakan dan mengurungkan niat pada orang-orang yang
berniat bunuh diri. Meminjam kata Hamlet “to be or not to be”, Farberow dan Litman (1970)
menggolongkan tiga jenis perilaku bunuh diri berdasarkan kencang atau kendornya niat
seseorang untuk menghilangkan nyawa sendiri.
Yang pertama adalah kelompok “To be”, yakni orang-orang yang tidak sunguh-sungguh
ingin mati, hanya ingin menyampaikan pesan kepada orang lain tentang kesedihan yang
dialaminya dan keinginannya untuk bunuh diri. Maka percobaan bunu dirinya pun tidak
sungguh-sungguh, misalnya menelan obat tidur dalam jumlah tidak terlampau banyak,
menggores urat nadinya tidak terlampau dalam, dan cara-cara lain yang tidak mematikan.
Mereka biasanya juga sudah menyiapkan agar orang lain memergoki mereka dan pasti
memberikan pertolongan.
Yang kedua adalah kelompok “Not to Be”, yakni orang-orang yang sungguh-sungguh berniat
menghilangkan nyawanya sendiri. Biasanya mereka tidak memberikan peringatan sebelumny
dan mengatur situasinya sedemikian rupa sehingga ornag lain tidak akan bisa menolong. Mereka
juga memilih cara-cara bunuh diri yang lebih mematikan, seperti menembak dirinya sendiri atau
melompat dari lantai teratas gedung bertingkat.
Yang ketiga adalah kelompok “To Be or Not To Be”, yakni orang-orang yang ragu-ragu,
apakah ingin terus hidup atau mati. Biasanya mereka lalu menyerahkan keputusan itu pada faktor
kebetulan atau nasib. Cara yang dipakai untuk mencoba bunuh diri biasanya berbahaya namun
efeknnya relative makan waktu lama, sehingga masih terbuka kesempatan untuk diselamatkan.
Misalnya melukai secara serius bagian tubuh yang tidak vital.
Pesan bunuh diri semacam itu biasanya ditunjukkan kepada keluarga atau kenalan, bisa
dikirim via pos atau ditinggalkan di suatu tempat tak jauh dari tempat bunuh diri. Pesan bunuh
diri dapat digolongkan menjadi tiga kategori:
1. Pesan yang mengandung emosi positif, yaitu berisi ungkapan kasih sayang, rasa terima
kasih, atau sikap peduli pada orang yang ditinggalkan. Kebanyakan pesan bunuh diri
masuk dalam kategori ini.
2. Pesan yang mengandung emosi negative, yaitu berisi permusuhan, kebencian, atau emosi
negative lain yang ditujukan pada orang-orang yang ditinggalkan. Jumlah pesan ini
biasanya sedikit.
3. Pesan yang mengandung emosi netral, biasanya dimulai dengan kata-kata
seperti:”ditujukan kepada siapa saja yang peduli…”
4. Pesan dengan isi emosi campuran, yaitu campuran emosi positif dan emosi negative.
Upaya mencegah bunuh diri sungguh sangat sulit. Salah satu penyebabnya, orang yang
mengalaminya biasanya terjerat oleh cara berpikir sempit dan irrasional, serta tidak menyadari
bahwa dirinya membutuhkan pertolongan. Salah satu bentuk upaya mencegah bunuh diri adalah
yang disebut crisis intervention. Tujuannya adalah menolong orang mengatasi krisis hidup yang
berat. Bentuknya bisa dengan menyediakan layanan :hot line” via telepon. Seseorang yang
mengalami ambivalensi untuk bunuh diri akibat menderita stress berat, misalnya, dapat
mengontrak jasa “hot line” ini sebelum melaksanakan niatnya, untuk mendapatkan peneguhan
kembali sehingga mau mengurungkan niatnya itu.
Umumnya kita memandang bunuh diri sebagai tindakan yang tidak hanya tragis tetapi
juga “keliru”. Namun usaha mencegah orang bunuh diri bukan tanpa pesoalan etis. Berhakkah
kita mencegah orang mencabut nyawanya sendiri? Bukankah itu hak pribadnya, untuk hidup
maupun untuk mati? Satu-satunya alasan yang mencoba bunuh diri sering tidak sungguh-
sungguh ingin, masih ragu-ragu, atau kalau pun bulat niat itu biasanya bersifat sesaat. Maka,
upaya pencegahan tersebut secara etis bisa dibenarkan.
1. Altruistic suicide, yaitu bila individu merasa terikat pada tuntutan tradisi khusus ataupun
ia cenderung untuk bunuh dirikarena identifikasi terlalu kuat dengan suatu kelompok,
sehingga ia merasa kelompok tersebut sangatmengharapkannya, misalnya harakiri di
Jepang.
2. Egoistic suicide, yaitu apabila individu tidak mampu berintegrasi dengan masyarakat
karena masyarakat menjadikanindividu itu seolah-olah tidak berkepribadian, misalnya
orang yang kesepian, tidak menikah dan pengangguran.
3. Anomic suicide, yaitu apabila terdapat gangguan keseimbangan integrasi antara individu
dengan masyarakat,sehingga individu mengalami krisis identitas, misalnya orang kaya
yang mengalami kebangkrutan dalam usahanya.
Saat ini, kita hidup dalam suatu masyarakat yang oleh Durkheim dinamakan “anomic”,
suatu masyarakatdimana perubahan terjadi secara cepat yang menyebabkan kegelisahan dari
anggota masyarakatnya. Perubahan inimemberikan pukulan yang hebat terhadap kaum muda
yang bisa dilihat pada kasus bunuh Diri yang terjadi di kalanganpemuda.
1. Keinginan untuk membunuh : Keinginan untuk membunuh dapat dilihat pada orang yang
mempunyai kecenderungan untuk menyakiti orang lain ataumerusak sesuatu
2. Keinginan untuk dibunuh : Keinginan untuk dibunuh pada orang-orang yang bunuh diri
berpangkal pada Perasaan marah dan benci terhadap diri sendiri dan ingin menghukum
diri sendiri untuk menhilangkan perasaan tersebut
3. Keinginan untuk mati :Keinginan untukmati berasal dari bekerjanya kekuatan instink
kematian pada orang yang bunuh diri
Bunuh diri adalah masalah yang kompleks dimana tidak ada satu sebab, satu alasan. Itu
dihasilkan dari interaksi yang kompleks secara biologi, genetik, psikologi, sosial, budaya dan
faktor lingkungan.Sangat sulit untuk menerangkan mengapa beberapa orang memutuskan untuk
bunuh diri padahal orang lain yang juga dalam situasi yang mirip atau mungkin lebih parah tidak
berusaha bunuh diri. Bagaimanapun juga, kebanyakan bunuh diri dapat dicegah.
Depresi
Depresi adalah diagnosa yang paling sering ada dalam kasus bunuh diri. Semua orang merasa
depresi, sedih, sendiri dan tidak stabil dari waktu ke waktu, dan perasaan-perasaan seperti itu
biasanya dapat dilewati. Tetapi, ketika perasaan-perasaan itu dengan gigih mengacaukan
kehidupan normal seseorang, perasaan-perasaan depresif itu berubah kondisi menjadi penyakit
depresif.
Tingkatan Depresi :
1. 1/3 kasus kasus bunuh diri yang ada adalah karena ketergantungan pada alkohol dan
obat-obatan.
2. 5-10 % pecandu melakukan bunuh diri.
3. Niat untuk melakukan bunuh diri yang lebih besar, disebabkan karena penyakit/virus
yang memtikan.
4. Yang memiliki niat untuk bunuh diri lebih banyak laki-laki, tetapi yang melakukannya
lebih banyak wanita.
5. Orang-orang usia 15-35 tahun lebih besar niatnya untuk bunuh diri.
6. Biasanya dilakukan oleh para dokter, ahli kimia, petani, dokter hewan. Biasanya
dilakukan oleh orang-orang yang di PHK
1. Ambivalensi : Kebanyakan orang yang ingin bunuh diri memiliki perasaan yang campur
aduk tentang bunuh diri itu sendiri. Keinginan untuk hidup dan mati beradu dalam orang
tersebut, ada keinginan untuk lari dari rasa sakit dan ada juga hasrat untuk hidup.
Kebanyakan dari mereka tidak ingin mati, mereka hanya tidak senang dengan hidup
mereka.
2. Impulsitas : Bunuh diri adalah merupakan tindakan impulsif, dan sama seperti tindakan
impulsif lainnya, dorongan ini bisa bertahan lama atau hanya beberapa menit atau
beberapa jam saja. Biasanya dipicu oleh kejadian-kejadian negatif. Menolak krisis-krisis
tersebut dengan lebih banyak bermain dengan waktu, keinginan untuk bunuh diri dapat di
kurangi atau dicegah. Rigiditas: Apabila orang ingin bunuh diri, pemikiran, perasaan dan
tindakan mereka terbatasi. Mereka berpikir untuk bunuh diri secara konstan dan tidak
mampu menerima jalan keluar dari masalah. cara berpikir mereka sangat ekstrim
Bunuh diri-sociodemografik dan faktor-faktor lingkungan:
Seringkali ketika orang berkata " Saya capek akan hidup " atau "tidak ada nilai untuk hidup",
mereka yang terhapuskan atau telah diberikan contoh dari orang-orang yang berada dalam
kesulitan yang lebih parah. Tidak ada dari respon-respon orang-orang yang ingin bunuh diri.
Kontak awal sangat penting. Seringkali kontak terjadi di klinik, rumah atau tempat-
tempat umum dimana biasanya sangat sulit untuk melakukan percakapan pribadi.
1. Langkah pertama adalah untuk mencari tempat-tempat yang cocok dimana orang dapat
bercakap-cakap secara tenang dan bisa mendapatkan keleluasaan.
2. Langkah berikutnya adalah untuk menentukan waktu seperlunya. Orang yang
berkeinginan bunuh diri biasanya membutuhkan waktu lebih untuk melepaskan beban
mereka sendiri dan seseorang harus siap secara mental untuk memberikan mereka waktu.
3. Yang terpenting adalah untuk mendengarkan mereka secara efektif. "Menjangkau dan
mendengar saja merupakan langkah yang besar dalam menurunkan tingkat keputusasaan
orang tersebut".
Tujuannya adalah untuk menjembatani celah yang terbentuk dari ketidak percayaan,
keputusasaan dan hilang harapan dan memberikan orang tersebut harapan bahwa segala sesuatu
bisa berubah menjadi lebih baik.
D. TERAPI
PENDEKATAN PSIKODINAMIKA
Psikoanalisa tradisional bertujuan membantu orang yang depresi untuk memahami perasaan
mereka yang ambivalen terhadap orang-orang (objek) penting dalam hidup mereka yang telah
atau terancam hilang. Dengan menggali perasaan-perasaan marah terhadap objek yang hilang,
mereka dapat mengarahkan rasa marah keluar—melalui ekspresi verbal dari perasaan
PENDEKATAN BEHAVIORAL
Salah satu program behavioral yang ilustratif telah dikembangkan oleh Lewinshon dan
koleganya. Program ini terdiri dari sebuah program terapi kelompok dengan 12 sesi selama 8
minggu yang diorganisasikan sebagai suatu kursus—coping with depression (CWD) course.
Kursus ini membantu klien memperoleh keterampilan relaksasi, meningkatkan aktivitas yang
menyenangkan, dan membangun keterampilan sosial yang memungkinkan mereka mendapatkan
reinforcement sosial.
PENDEKATAN KOGNITIF
Teoretikus kognitif percaya bahwa pikiran yang terdistorsi memainkan suatu peran kunci
dalam perkembangan depresi. Terapi kognitif yang dikembangkan Aaron Beck dan koleganya
telah mengembangkan suatu pendekatan penanganan yang multikomponen. Orang yang depresi
cenderung untuk berfokus pada bagaimana perasaan mereka dan bukan pada pikiran-pikiran
yang mungkin mendasari kondisi perasaan mereka. Artinya, mereka biasanya memberikan lebih
banyak perhatian pada bagaimana buruknya perasaan mereka dibanding pada pikiran-pikiran
yang kemungkinan memicu atau mempertahankan mood yang depresi.
1. Kemoterapi (Chemotherapy)
Chemotherapy atau Kemoterapi dalam kamus J.P. Chaplin diartikan sebagai penggunaan
obat bius dalam penyembuhan gangguan atau penyakit-penyakit mental. Adapun penemuan
obat-obat ini dimulai pada awal tahun 1950-an, yaitu ditemukannya obat yang menghilangkan
sebagian gejala Schizophrenia.
Beberapa tahun kemudian ditemukan obat yang dapat meredakan depresi dan sejumlah obat-
obatan dikembangkan untuk menyembuhkan kecemasan.
a. Antianxiety Drugs
Yaitu obat yang dapat menurunkan kecemasan dan termasuk pada golongan yang dinamakan
benzodiazepin. Obat-obatan ini sering dikenal dengan transkuiliser (penenang).
b. Anti Depressant
Obat anti depressant sering diberikan pada pasien yang mengalami depresi mayor. Selain itu
juga untuk membantu meningkatkan mood individu yang terdepresi. Obat ini lebih memberikan
efek pada membangkitkan energi. Obat anti depressant cenderung mengurangi depresi pada
aspek fisik. Contohnya, mereka cenderung untuk meningkatkan tingkat aktivitas pasien untuk
mengurangi gangguan makan dan tidur.
Orang yang mengalami depresi berat sering mengalami insomnia oleh karena itu pemberian
anti depressant harus mempertimbangkan waktu pemberian. Hal ini menjadi pertimbangan
manakala beberapa pasien yang berada di rumah sakit selama periode tertentu mempunyai
kecenderungan untuk melakukan bunuh diri.
Akan tetapi pemberian obat anti depressant yang berlebihan akan menyebabkan kematian.
c. Antipsychotic
Obat anti psikotik sangat efektif untuk menghilangkan halusinasi dan konfusi dari satu episode
schizophrenia ikut serta membantu pemulihan proses berpikir yang rasional.
Obat ini tidak menyembuhkan schizophrenia, akan tetapi membantu pasien agar dapat
berfungsi diluar rumah sakit. Anti psikotik dapat mempersingkat masa perawatan pasien dan
mencegah kekambuhan.
Walaupun demikian obat ini memiliki efek samping terhadap mulut menjadi kering, pandangan
kabur, konsentrasi berkurang hingga gejala neurologis.
d. Lithium
Bangsa Yunani pertama kali menggunakan metal lithium untuk obat-obatan psycho active.
Mereka menentukan kandungan air mineral untuk pasien dengan gangguan bipolar afektif,
walaupun demikian mereka belum memahami mengapa hal ini kadang-kadang bisa
menghasilkan kesembuhan. Akibat ini kemungkinan besar dikarenakan air mineral yang
mengandung lithium.
Metal lithium dalam bentuk tablet dapat meratakan hasil periode tingkah laku depresif pada
tingkat sedang dari persediaan norephinephrin.
Transkuiliser Minor
Obat-obat ini biasanya diberikan pada pasien yang mengeluh cemas atau tegang, walaupun
beberapa orang sering menggunakannya sebagai pil tidur. Yang termasuk golongan ini adalah
valium, librium, miltown, atarax, serax dan equamil.
Valium dan transkuiliser lainnya digunakan untuk menekan aktivitas sistem saraf pusat,
mengurangi aktivitas simpatis, mereduksi kecepatan jantung, kecepatan pernafasan dan perasaan
gelisah serta ketegangan.
Masalah yang diasosiasikan pada beberapa trankuiliser adalah kecemasan yang mengganjal.
Beberapa pasien yang telah menggunakan obat ini secara tidak teratur berakibat pada
kecemasannya muncul kembali dan rasa sakitnya bertambah.
Transkuiliser Mayor
Transkuiliser Mayor dianggap pada bagian yang luas untuk mengurangi bentuk-bentuk
kebutuhan yang bervariasi dari pengendalian dan pengawasan. Dalam beberapa kasus dapat
mengurangi agitasi, delusi dan halusinasi. Yang termasuk golongan ini thorazine, mellaril, dan
stelazine. Transkuiliser Mayor diberikan pada pasien schizophrenia untuk memimpin sebagian
besar kehidupannya secara normal dalam komunitas masyarakat, tempat kerjanya, dan
mempertahankan kehidupan keluarganya.
2. Electroconvulsive
Terapi elektrokonvulsif (electroconvulsive therapy) dijelaskan oleh psikiater asal Itali Ugo
Carletti pada tahun 1939. Pada terapi ini dikenal electroschot therapy, yaitu adanya penggunaan
arus listrik kecil yang dialirkan ke otak untuk menghasilkan kejang yang mirip dengan kejang
epileptik. Pada saat ini ECT diberikan pada pasien yang mengalami depresi yang parah dimana
pasien tidak merespon pada terapi otak.
Secara khusus, pasien dengan terapi ECT mendapatkan satu treatment dalam tiga atau
beberapa minggu. ECT dapat menyebabkan ketidaksadaran, walaupun demikian arus listrik yang
dialirkan sangatlah lemah. Arus listrik dialirkan melalui pelipis menuju ke sisi hemisfer serebral
non dominan. Individu akan terbangun dalam beberapa menit kemudian dan tidak ingat apapun
tentang terapi.
Efek samping dari terapi ECT ini adalah gangguan memori yang menimbulkan kekosongan
memori sehingga pasien mengalami gangguan kemampuan untuk menambah informasi baru
selama beberapa waktu.
3. Psychosurgery
Pada terapi ini, tindakan yang dilakukan adalah adanya pemotongan serabut saraf dengan
penyinaran ultrasonik. Psychosurgery merupakan metode yang digunakan untuk pasien yang
menunjukan tingkah laku abnormal, diantaranya pasien yang mengalamai gangguan emosi yang
berat dan kerusakan pada bagian otaknya.
Pada pasien yang mengalami gangguan berat, pembedahan dilakukan terhadap serabut yang
menghubungkan frontal lobe dengan sistim limbik atau dengan area hipotalamus tertentu.
Terapi ini digunakan untuk mengurangi simptom psikotis, seperti disorganisasi proses pikiran,
gangguan emosionalitas, disorientasi waktu ruang dan lingkungan, serta halusinasi dan delusi.
PENUTUP
1. Bunuh diri ialah perbuatan untuk menamatkan hayat atau perbuatan memusnahkan diri
kerana enggan berhadapan dengan sesuatu perkara yang dianggap tidak dapat ditangani.
Perilaku bunuh diri Emile Durkheim (seorang sosiolog Prancis), mengelompokkan
bunuh diri menjadi 3 jenis: Altruistic suicide, egoistic suicide, anomic suicide.
2. Beberapa kelompok beresiko yang didiagnostik dalam usaha bunuh diri: Depresi (dalam
bentuk apapun), Gangguan kepribadian (kepribadian anti sosial dan borderline dengan
sifat yang impulsif, agresif dan perubahan mood yang sering), Alkoholisme (dan/atau
penyalahgunaan zat lain dalam masa remaja);, Schizophrenia;, Gangguan mental organik,
Gangguan mental lainnya. Karakteristik pemikiran dari orang yang ingin bunuh diri
:ambivalensi dan impulsitas
3. Bunuh diri-sociodemografik dan faktor-faktor lingkungan: Jenis kelamin, umur, status
pernikahan, pekerjaan, pengangguran, kehilangan pekerjaan lebih beresiko daripada
status penganggguran
4. Terapi bagi yang mengalami gangguan perasaan dan bunuh diri adalah dengan
pendekatan psikodinamika, behavioral, kognitif dan biologi