Professional Documents
Culture Documents
PENELITIAN TINDAKAN
RANGKUMAN HAKIKAT PENELITIAN KUANTITATIF, KUALITATIF, DAN
PENELITIAN TINDAKAN
(ACTION RESEARCH)
A.PENELITIAN KUANTITATIF
Pada hakikatnya setiap penelitian kuantitatif dalam ilmu-ilmu sosial menerapkan filosofi yang
disebut deducto hipothetico verifikatif artinya, masalah penelitian dipecahkan dengan bantuan
cara berpikir deduktif melalui pengajuan hipotesis yang dideduksi dari teori-teori yang bersifat
universal dan umum, sehingga kesimpulan dalam bentuk hipotesis inilah yang akan diverifikasi
secara empiris melalui cara berpikir induktif dengan bantuan statistika inferensial.
Pengamatan kuantitatif melibatkan pengukuran tingkatan suatu ciri tertentu. Untuk menemukan
sesuatu dalam pengamatan, pengamat harus mengetahui apa yang menjadi ciri sesuatu itu. Untuk
itu pengamat pengamat mulai mencatat atau menghitung dari satu, dua, tiga dan seterusnya.
Berdasarkan pertimbangan dangkal demikian, kemudian peneliti menyatakan bahwa penelitian
kuantitatif mencakup setiap penelitian yang didasarkan atas perhitungan persentase, rata-rata dan
perhitungan statistik lainnya. Dengan kata lain, penelitian kuantitatif melibatkan diri pada
perhitungan atau angka atau kuantitas. hasil analisis kuantitatif cenderung membuktikan maupun
memperkuat teori-teori yang sudah ada.
1.Asumsi
Penelitian kuantitatif memiliki ciri khas berhubungan dengan data numerik dan bersifat obyektif.
Fakta atau fenomena yang diamati memiliki realitas obyektif yang bisa diukur. Variabel-variabel
penelitian dapat diidentifikasi dan interkorelasi variabel dapat diukur. Peneliti kuantitatif
menggunakan sisi pandangannya untuk mempelajari subyek yang ia teliti (etik). Keunggulan
penelitian kuantitatif terletak pada metodologi yang digunakan.
2.Tujuan penelitian
Penelitian kuantitatif memiliki tujuan menjeneralisasi temuan penelitian sehingga dapat
digunakan untuk memprediksi situasi yang sama pada populasi lain. Penelitian kuantitatif juga
digunakan untuk menjelaskan hubungan sebab-akibat antar variabel yang diteliti
3.Pendekatan
Penelitian kuantitatif dimulai dengan teori dan hipotesis. Peneliti menggunakan teknik
manipulasi dan mengkontrol variabel melalui instrumen formal untuk melihat interaksi
kausalitas. Peneliti mencoba mereduksi data menjadi susunan numerik selanjutnya ia melakukan
analisis terhadap komponen penelitian (variabel). Penarikan kesimpulan secara deduksi dan
menetapkan norma secara konsensus. Bahasa penelitian dikemas dalam bentuk laporan.
4.Peran peneliti
Dalam penelitian kuantitatif, peneliti secara ideal berlaku sebagai observer subyek penelitian
yang tidak terpengaruh dan memihak (obyektif).
6.Kebenaran dari hasil analisis penelitian kuantitatif bersifat nomothetik dan dapat
digenrealisasi.
8.Penelitian kuantitatif sering bertolak dari teori, sehingga bersifat reduksionis dan verifikatif,
yakni hanya membuktikan teori (menerima atau menolak teori).
10. Mengenai waktu pengumpulan dan analisis data sudah dapat dipastikan. Peneliti dapat
menentukan berbagai aturan yang terkait dengan pengumpulan data; jumlah tenaga yang
diperlukan; berapa lama pengumpulan data akan dilakukan; dan jenis data yang akan
dikumpulkan sesuai hipotesis yang dirumuskan. Hal ini sejalan dengan instrumen yang sudah
baku dan sudah dipersiapkan. Demikian halnya model analisis data, uji-uji statistik, dan
penyajian data -- termasuk tabel-tabel yang akan dipergunakan -- sudah dapat ditentukan.
B.PENELITIAN KUALITATIF
Penelitian kualitatif atau naturalistic inquiry adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati,
demikianlah pendapat Bogdan dan Guba, sementara itu Kirk dam Miller mendefinisikan
penelitian kualitatif sebagai tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara
fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan
berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya.
Fraenkel dan Wallen menyatakan bahwa penelitian yang mengkaji kualitas hubungan, kegiatan,
situasi, atau material disebut penelitian kualitatif, dengan penekanan kuat pada deskripsi
menyeluruh dalam menggambarkan rincian segala sesuatu yang terjadi pada suatu kegiatan atau
situasi tertentu.
Bila diperhatikan, definisi di atas nampaknya hanya menggambarkan sebagian kecil dari suatu
konsep penelitian kualitatif yang kompleks dan berdimensi banyak, oleh karena itu untuk
pemahaman yang lebih utuh mengenai penelitian kulitatif, maka pengetahuan tentang apa ciri-
ciri (karakteristik) penelitian kualitatif akan memberikan gambaran yang lebih jelas dan padu
tentang penelitian kualitatif. Untuk itu berikut ini akan dikemukakan berbagai ciri penelitian
kualitatif.
Guba (1985: 39 – 44) mengetengahkan empat belas karakteristik penelitian naturalistik, yaitu :
a.Konteks natural (alami), yaitu suatu konteks keutuhan (entity) yang tak akan dipahami dengan
membuat isolasi atau eliminasi sehingga terlepas dari konteksnya.
b.Manusia sebagai instrumen. Hal ini dilakukan karena hanya manusia yang mampu
menyesuaikan diri dengan berbagai ragam realitas dan menangkap makna, sedangkan instrumen
lain seperti tes dan angket tidak akan mampu melakukannya.
d. Metoda kualitatif. Sifat naturalistik lebih memilih metode kualitatif dari pada kuantitatif
karena lebih mampu mengungkap realistas ganda, lebih sensitif dan adaptif terhadap pola-pola
nilai yang dihadapi.
f.Analisis data secara induktif, karena dengan cara tersebut konteksnya akan lebih mudah
dideskripsikan. Yang dimaksud dengan analisis data induktif menurut paradigma kualitatif
adalah analisis data spesifik dari lapangan menjadi unit-unit dan dilanjutkan dengan kategorisasi.
g.Grounded theory. Sifat naturalistik lebih mengarahkan penyusunan teori diangkat dari empiri,
bukan dibangun secara apriori. Generalisasi apriorik nampak bagus sebagai ilmu nomothetik,
tetapi lemah untuk dapat sesuai dengan konteks idiographik.
h.Desain bersifat sementara. Penelitian kualitatif naturalistik menyusun desain secara terus
menerus disesuaikan dengan realita di lapangan tidak menggunakan desain yang telah disusun
secara ketat. Hal ini terjadi karena realita di lapangan tidak dapat diramalkan sepenuhnya.
i.Hasil dirundingkan dan disepakati bersama antara peneliti dengan responden. Hal ini dilakukan
untuk menghindari salah tafsir atas data yang diperoleh karena responden lebih memahami
konteksnya daripada peneliti.
j.Lebih menyukai modus laporan studi kasus, karena dengan demikian deskripsi realitas ganda
yang tampil dari interaksi peneliti dengan responden dapat terhindar dari bias. Laporan semacam
itu dapat menjadi landasan transferabilitas pada kasus lain.
k.Penafsiran bersifat idiographik (dalam arti keberlakuan khusus), bukan ke nomothetik (dalam
arti mencari hukum keberlakuan umum), karena penafsiran yang berbeda nampaknya lebih
memberi makna untuk realitas yang berbeda konteksnya.
m.Ikatan konteks terfokus. Dengan pengambilan fokus, ikatan keseluruhan tidak dihilangkan,
tetap terjaga keberadaannya dalam konteks, tidak dilepaskan dari nilai lokalnya.
1.Latar alamiah (penelitian dilakukan pada situasi alamiah dalam suatu keutuhan)
2.Manusia sebagai alat (Manusia/peneliti merupakan alat pengumpulan data yang utama)
3.Metode kualitatif (metode yang digunakan adalah metode kualitatif)
4.Anslisa data secara induktif (mengacu pada temuan lapangan)
5.Teori dari dasar/grounded theory (menuju pada arah penyusunan teori berdasarkan data)
6.Deskriptif (data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar dan bukan angka-angka)
7.Lebih mementingkan proses daripada hasil
8.Adanya batas yang ditentukan oleh fokus (perlunya batas penelitian atas dasar fokus yang
timbul sebagai masalajh dalam penelitian)
9.Adanya kriteria khusus untuk keabsahan data (punya versi lain tentang validitas, reliabilitas
dan obyektivitas)
10.Desain yang bersifat sementara (desain penelitian terus berkembang sesuai dengan kenyataan
lapangan)
11.Hasil penelitiaan dirundingkan dan disepakati bersama (hassil penelitian dirundingkan dan
disepakati bersama antar peneliti dengan sumber data)
a.Inkuiri naturalistik
Desain penelitian kualitatif bersifat alamiah dimana peneliti tidak berusaha memanipulasi setting
penelitian, kondisi/situasi obyek yang diteliti benar-benar merupakan kejadian, komunitas,
interaksi yang terjadi secara alamiah, hal ini dikarenakan metode kualitatif berusaha memahami
fenomena-fenomena dalam kejadian alami yang wajar. Menurut Guba inkuiri naturalistik
merupakan pendekatan yang berorientasi pada penemuan yang meminimalisir manipulasi
peneliti atas obyek penelitian/studi
b.Analisis induktif
Metode kualitatif terutama berorientasi pada upaya eksplorasi, penemuan dengan menggunakan
logika induktif . analisis induktif bermakna analisis yang dimulai dengan melakukan observasi
spesifik menuju terbentuknya pola umum. Peneliti kualitatif berusaha memahami berbagai
hubungan antar dimensi/variabel yang muncul dari data-data yang ditemukan tanpa terlebih
dahulu membuat hipotesis sebagaimana umum dilakukan dalam penelitian kuantitatif.
c.Perspektif menyeluruh
Metode kualitatif berusaha memahami fenomena sebagai suatu keseluruhan yang padu dan total.
Peneliti kualitatif memandang bahwa keseluruhan itu merupakan suatu sistem yang kompleks
tidak sekedar penjumlahan bagian-bagiannya. Pendeskripsian serta pemahaman atas lingkungan
sosial (atau lingkungan dalam konteks lainnya) seseorang (informan) merupakan hal yaang
sangat penting bagi pemahaman yang menyeluruh atas apa yang diteliti.
d.Data kualitatif
Dalam penelitian kualitatif, data yang dikumpulkan lebih bersifat kualitatif yang
mendeskripsikan setting penelitian baik situasi maupun informan/responden yang umumnya
berbentuk narasi baik melalui perantaran lisan seperti ucapan/penjelasan responden, dokumen
pribadi, catatan lapangan. Berbeda dengan penelitian kuantitatif dimana data yang dikumpulkan
merupakan hasil pengukuran atas variabel-variabel yang telah dioperasionalkan (umumnya
brbrntuk angka-angka)
e.Kontak personal
Metode kualitatif mensyaratkan perlunya kontak personal secara langsung antara peneliti dengan
orang-orang dan lingkungan yang sedang diteliti. Perlunya kontak langsung secara personal
adalah guna memahami secara personal realitas yang terjadi dalam kehidupan wajar sehari-hari,
sehingga peneliti dapat mengerti dan memahami bagaimana orang-orang mengalami, memahami
dan menghayati realitas yang terjadi.
Meminjam istilah Moleong (1989), penelitian kualitatif bertolak dari paradigma alamiah.
Artinya, penelitian ini mengasumsikan bahwa realitas empiris terjadi dalam suatu konteks sosio-
kultural, saling terkait satu sama lain. Karena itu, setiap fenomena sosial harus diungkap secara
holistik.
Penelitian kualitatif, karena menekankan pada keaslian, tidak bertolak dari teori secara deduktif
(a priori) melainkan berangkat dari fakta sebagaimana adanya. Rangkaian fakta yang
dikumpulkan, dikelompokkan, ditafsirkan, dan disajikan dapat menghasilkan teori. Karena itu,
penelitian kualitatif tidak bertolak dari teori, tetapi menghasilkan teori, yang disebut grounded
theory (teori dari dasar).
Penelitian kualitatif, menurut Moleong (1989), juga dapat dan seringkali tertarik untuk melihat
hubungan sebab akibat. Hanya saja, penelitian kuantitatif berusaha mengetahui sebab-akibat
dalam latar yang bersifat laboratorium-ilmiah, sehingga pengaruh X terhadap Y diusahakan
terjadi. Sebaliknya, penelitian kualitatif melihat hubungan sebab-akibat dalam suatu latar yang
bersifat alamiah. Peneliti mengamati keaslian suatu gejala sosial. Kemudian dengan cermat ia
menelusuri apakah fenomena tersebut mengakibatkan fenomena lain atau tidak; dan sejauh mana
suatu fenomena sosial mengakibatkan terjadinya fenomena yang lain. Misalnya: peneliti
mengamati keragaman perilaku yang menggambarkan ketaatan beragama. Ia mengamati dengan
cermat adanya perbedaan perilaku antara mereka yang taat dengan mereka yang kurang taat
beragama. Dalam pengamatan tersebut peneliti menemukan hubungan kausalitas ketaatan
beragama dengan produktivitas.
Ciri-ciri penelitian kualitatif yang lain:
1.asumsi
Penelitian kualitatif cenderung menggunakan data teks yang bersifat subyektif. Realitas yang
dipelajari dikonstruksikan sesuai dengan nilai sosial partisipan (subyek penelitian), oleh
karenanya pemaknaan realitas sesuai dengan pemahaman partisipan (emik). Penelitian kualitatif
memiliki jalinan variabel yang kompleks dan sulit untuk diukur.
2.tujuan
penelitian kualitatif bertujuan untuk menjelaskan realitas secara kontekstual, interpretasi
terhadap fenomena yang menjadi perhatian peneliti dan memahami perspektif partisipan
terhadap masalah kesehatan.
3.Penelitian kualitatif tidak memerlukan hipotesis, justru kadang-kadang diakhiri dengan
hipotesis. Perumusan teori berdasarkan data yang telah tersaturasi (grounded theory). Peneliti
menggunakan teknik penggambaran (portrayal) secara alamiah terhadap fenomena yang muncul
sekaligus dirinya merupakan instrumen penelitian itu sendiri. Penarikan kesimpulan secara
induksi dengan menemukan salah satu pola yang berlaku dari pluralitas dan kompleksitas norma.
Bahasa penelitian dikemas secara deskriptif.
4.penelitian kualitatif memerlukan keberpihakan dan keterlibatan peneliti agar ia dapat
memahami (empati) situasi partisipan penelitian secara holistik.
Noeng Muhadjir (1994 : 12) mengemukakan beberapa nama yang dipergunakan para ahli tentang
metodologi penelitian kualitatif yaitu: grounded research, ethnometodologi, paradigma
naturalistik, interaksi simbolik, semiotik, heuristik, hermeneutik, atau holistik . perbedaan
tersebut dimungkinkan karena perbedaan titik tekan dalam melihat permasalahan serta latar
brlakang disiplin ilmunya, istilah grounded research lebih berkembang dilingkungan sosiologi
dengan tokohnya Strauss dan Glaser (untuk di Indonesia istilah ini diperkenalkan/dipopulerkan
oleh Stuart A. Schleigel dari Universitas California yang pernah menjadi tenaga ahli pada Pusat
Latihan Penelitian Ilmu-ilmu soaial Banda Aceh pada tahun 1970-an), ethnometodologi lebih
berkembang di lingkungan antropologi dan ditunjang antara lain oleh Bogdan , interaksi
simbolik lebih berpengaruh di pantai barat Amerika Serikat dikembangkan oleh Blumer,
Paradigma naturalistik dikembangkan antara lain oleh Guba yang pada awalnya memperoleh
pendidikan dalam fisika, matematika dan penelitian kuantitatif.
Atas dasar pertimbangan itulah maka kemudian penelitian kualitatif tampaknya diartikan sebagai
penelitian yang tidak mengadakan perhitungan. Pemahaman yang demikian tidak selamanya
benar, karena dalam perkembangannya ada juga penelitian kualitatif yang memerlukan bantuan
angka-angka seperti untuk mendeskripsikan suatu fenomena maupun gejala yang diteliti.
Dalam perkembangan lebih lanjut ada sejumlah nama yang digunakan para ahli tentang
metodologi penelitian kualitatif (Noeng Muhadjir. 2000: 17) seperti : interpretif grounded
research, ethnometodologi, paradigma naturalistik, interaksi simbolik, semiotik, heuristik,
hermeneutik, atau holistik, yang kesemuanya itu tercakup dalam klasifikasi metodologi
penelitian postpositivisme phenomenologik interpretif.
C.PENELITIAN TINDAKAN
Pengertian:
1.Penelitian Tindakan Kelas (PTK) merupakan ragam penelitian pembelajaran yang berkonteks
kelas yang dilaksanakan oleh guru untuk memecahkan masalah-masalah pembelajaran yang
dihadapi oleh guru, memperbaiki mutu dan hasil pembelajaran dan mencobakan hal-hal baru
pembelajaran demi peningkatan mutu dan hasil pembelajaran.
2.Action research dipandang sebagai suatu cara untuk memberi ciri bagi seperangkat kegiatan
yang direncanakan untuk meningkatkan mutu pendidikan; pada pokoknya ia merupakan suatu
cara eklektik yang dituangkan ke dalam suatu program refleksi-diri (self-reflection) yang
ditujuan untuk peningkatan mutu pendidikan.
3.Action research adalah suatu bentuk penelitian refleleksi-diri yang dilakukan oleh para
partisipan (guru,siswa,atau kepala sekolah,) dalam situasi-situsi social (termasuk pendidikan)
untuk memperbaiki rasionalitas dan kebenaran (a) preaktek-praktek sosial atau pendidikan yang
dilakukan sendiri, (b) pengertian mengenai praktek-praktek ini, dan (c) situasi-situasi (dan
lembaga-lembaga) di mana praktek-praktek tersebut dilaksanakan. (Carr dan Kemmis, 1996).
4.action research adalah suatu pendekatan untuk memperbaiki pendidikan melalui perubahan,
dengan mendorong para guru untuk memikirkan praktek mengajarnya sendiri, agar kritis
terhadap praktek tersebut, dan agar mau untuk memperbaikinya.
5.Penelitian tindakan merupakan intervensi praktik dunia nyata yang ditujukan untuk
meningkatkan situasi praktis
Macam-macam PTK
Berdasarkan jumlah dan sifat perilaku para anggotanya, PTK dapat berbentuk individual dan
kaloboratif, yang dapat disebut PTK individual dan PTK kaloboratif. Dalam PTK individual
seorang guru melaksanakan PTK di kelasnya sendiri atau kelas orang lain, sedang dalam PTK
kaloboratif beberapa orang guru secara sinergis melaksanakan PTK di kelas masing-masing dan
diantara anggota melakukan kunjungan antar kelas.
Karakteristik PTK
PTK dapat berfungsi sebagai (Cohen & Manion, 1980: 211): (a) alat untuk mengatasi masalah-
masalah yang didiagnosis dalam situasi pembelajaran di kelas; (b) alat pelatihan dalam-jabatan,
membekali guru dengan keterampilan dan metode baru dan mendorong timbulnya kesadaran-
diri, khususnya melalui pengajaran sejawat; (c) alat untuk memasukkan ke dalam sistem yang
ada (secara alami) pendekatan tambahan atau inovatif; (d) alat untuk meningkatkan komunikasi
yang biasanya buruk antara guru dan peneliti; (e) alat untuk menyediakan alternatif bagi
pendekatan yang subjektif, impresionistik terhadap pemecahan masalah kelas.
Dilihat dari ruang lingkup, tujuan, metode, dan prakteknya, action research dapat dianggap
sebagai penelitian ilmiah micro. Action research adalah penelitian yang bersifat partisipatif dan
kolaboratif. Maksudya, penelitiannya dilakukan sendiri oleh peneliti, dan diamati bersama
dengan rekan-rekannya. Action research berbeda dengan studi kasus karena tujuan dan sifat
kasusnya yang tidak unik seperti pada studi kasus, action research tidak digunakan untuk
menguji teori. Namun kedua macam penelitian ini mempunyai kesamaan, yaitu bajwa peneliti
tidak berharap hasil penelitiannya akan dapat digeneralisasi atau berlaku secara umum.
Action research mendorong para guru agar memikirkan apa yang mereka lakukan sehari-hari
dalam menjalankan tugasnya, membuat para guru kritis terhadap apa yang mereka lakukan tanpa
tergantung pada teori-teori yang muluk-muluk yang bersifat universal yang ditemukan oleh para
pakar penelitian yang sering kali tidak cocok dengan situasi dan kondisi kelas. Keterlibatan
peneliti action research dalam penelitiannya sendiri itulah yang membuat dirinya menjadi pakar
peneliti untuk kelasnya dan keperluan sehari-harinya dan tidak membuat ia tergantung pada para
pakar peneliti yang tidak tahu mengenai masalah-masalah kelasnya sehari-hari.
Dalam bidang pendidikan, action research dianggap sebagai alternatif dari penelitian tradisional
(penelitian yang biasa dilakukan). Modal utama peneliti action research adalah pengalamannya
dalam bidang yang digeluti dan pengetahuan yang ia miliki. Sebenarnya action research dapat
juga dilakukan dalam skala besar karena seperti dikatakan di atas, action research dilakukan
bersama rekan-rekan seprofesi, sehingga mereka dapat berbagai pengalaman untuk kepentingan
mereka misng-masing. Action research merupakan metode yang handal untuk menjembatani
teori dan praktek (dalam pndidikan ), karena dengan action research para guru dianjurkan
menemukan dan mengembangkan teorinya sendiri dari perakteknya sendiri.
2. Design PTK Model Kemmis & McTaggart
Kemmis & McTaggart merupakan pengembangan dari konsep dasar yang diperkenalkan oleh
Kurt Lewin sebagaimana yang diutarakan di atas. Hanya saja, komponen acting (tindakan)
dengan observing (pengamatan) dijadikan sebagai satu kesatuan. Disatukannya kedua komponen
tersebut disebabkan oleh adanya kenyataan bahwa antara implementasi acting dan observing
merupakan dua kegiatan yang tidak terpisahkan. Maksudnya, kedua kegiatan haruslah dilakukan
dalam satu kesatuan waktu, begitu berlangsungnya suatu tindakan begitu pula observasi juga
harus dilaksanakan. Untuk lebih tepatnya, berikut ini dikemukakan bentuk designnya (Kemmis
& McTaggart, 1990:14).
Apabila dicermati, model yang dikemukakan oleh Kemmis & McTaggart pada hakekatnya
berupa perangkat-perangkat atau untaian-untaian dengan satu perangkat terdiri dari empat
komponen, yaitu ; perencanaan, tindakan, pengamatan dan refleksi. Keempat komponen yang
berupa untaian tersebut dipandang sebagai satu siklus. Oleh karena itu, pengertian siklus pada
kesempatan ini adalah suatu putaran kegiatan yang terdiri dari perencanaan, tindakan,
pengamatan dan refleksi.
Pada gambar diatas, tmapak bahwa didalamnya terdiri dari dua perangkat komponen yang dapat
dikatakan sebagai dua siklus. Untuk pelaksanaan sesungguhnya, jumlah siklus sangat bergantung
kepada permasalahan yang perlu diselesaikan. Apabila permasalahan
Menurut (Hodgkinson, 1988): (1) kesediaan untuk mengakui kekurangan diri; (2) kesempatan
yang memadai untuk menemukan sesuatu yang baru; (3) dorongan untuk mengemukakan
gagasan baru; (4) waktu yang tersedia untuk melakukan percobaan; (5) kepercayaan timbal balik
antar orang-orang yang terlibat; dan (6)pengetahuan tentang dasar-dasar proses kelompok oleh
peserta penelitian.
1. kelebihan:
PTK memiliki kelebihan berikut (Shumsky, 1982): (1) tumbuhnya rasa memiliki melalui kerja
sama dalam PTK; (2) tumbuhnya kreativitias dan pemikiran kritis lewat interaksi terbuka yang
bersifat reflektif/evaluatif dalam PTK; (3) dalam kerja sama ada saling merangsang untuk
berubah; dan (4) meningkatnya kesepakatan lewat kerja sama demokratis dan dialogis dalam
PTK (silakan lihat Passow, Miles, dan Draper, 1985).
2. kelemahan
PTK Anda juga memiliki kelemahan: (1) kurangnya pengetahuan dan keterampilan dalam teknik
dasar penelitian pada Anda sendiri karena terlalu banyak berurusan dengan hal-hal praktis, (2)
rendahnya efisiensi waktu karena Anda harus punya komitmen peneliti untuk terlibat dalam
prosesnya sementara Anda masih harus melakukan tugas rutin ; (3) konsepsi proses kelompok
yang menuntut pemimpin kelompok yang demokratis dengan kepekaan tinggi terhadap
kebutuhan dan keinginan anggota-anggota kelompoknya dalam situasi tertentu, padahal tidak
mudah untuk mendapatkan pemimimpin demikian.
1.Diskusikan validitas dan reliabilitas dalam riset kuantitatif dan kualitatif. Apa saja
persamaan dan perbedaan diantara keduanya?
Penelitian merupakan kegiatan yang bertujuan untuk mencari kebenaran. Untuk mendapatkan
kebenaran tersebut diperlukan serangkaian langkah yang dapat menuntun peneliti untuk
menghasilkan sesuatu yang tidak menyimpang dari keadaan yang sebenarnya dari sasaran
penelitian. Serangkaian langkah tersebut antara lain meliputi langkah-langkah untuk
mendapatkan validitas dan reliabilitas, baik untuk riset kualitatif maupun riset kuantitatif. Riset
kuantitatif merupakan riset yang bersifat formal, objektif, proses sistematik dengan
menggunakan data numerik untuk mendapatkan informasi. Pendekatan yang digunakan deduktif,
logic dan ciri pengalaman manusia yang dapat di ukur. Sedangkan riset kualitatif melibatkan
pengumpulan dan analisis data dalam bentuk naratif bersifat subjektif menggunakan prosedur
dengan pengendalian yang ketat. Pendekatan yang digunakan cenderung ke aspek pengalaman
manusia yang dinamik dengan pendekatan yang holistik.
Validitas adalah pengukuran dan pengamatan yang berarti prinsip keandalan instrumen didalam
mengumpulkan data. Instrumen harus dapat mengukur apa yang seharusnya diukur. Misalnya
kita akan mengukur berat badan, maka akan digunakan timbangan untuk berat badan, tidak
mungkin kita gunakan timbangan dacin. Validitas lebih menekan pada alat pengukur atau
pengamat baru setelah itu memikirkan valliditas cara pengukuran. Didalam menilai keakuratan
suatu instrument, ada lima tipe validitas yang digunakan : content validity, face validity,
predictive validity, concurrent validity, construct validity. Content validity adalah suatu
keputusan tentang bagaimana instrument dengan baik mewakili karakteristik yang dikaji, contoh,
untuk menyusun suatu kuisioner tentang sikap individu terhadap makan tetapi lupa menyanyakan
sesuatu tentang pentingnya makanan dalam kehidupan mereka, maka ini akan keliru. Face
validity merupakan validitas yang paling rendah signifikansinya karena hanya didasarkan pada
penilaian terhadap format penampilan tes, apabila tes telah meyakinkan dan memberikan kesan
mampu mengungkap apa yang hendak diukur maka dapat dikatakan bahwa validitas muka telah
terpenuhi. Predictive validity adalah seberapa besar derajat tes berhasil memprediksi kesuksesan
seseorang pada situasi yang akan datang. Validitas prediktif ditentukan dengan mengungkap
hubungan antara skor tes dengan hasil tes atau ukuran lain kesuksesan dalam satu situasi sasaran.
Concurrent validity menunjukkan seberapa besar derajat skor tes berkorelasi dengan skor yang
diperoleh dari tes lain yang sudah mantap, bila disajikan pada saat yang sama, atau dibandingkan
dengan kriteria lain yang valid yang diperoleh pada saat yang sama. Construct validity adalah
seberapa besar derajat tes mengukur konstruk hipotesis yang dikehendaki untuk diukur. Konstruk
adalah perangai yang tidak dapat diamati, yang menjelaskan perilaku. Menguji validitas konstruk
mencakup uji hipotesis yang dideduksi dari suatu teori yang mengajukan konstruk tersebut.
Reliabilitas adalah kesamaan hasil pengukuran atau pengamatan bila fakta atau kenyataan hidup
tadi diukur/ diamati berkali-kali dalam waktu yang berlainan. Reliabilitas dinyatakan dalam
bentuk angka, biasanya sebagai koefisien. Koefisien tinggi berarti reliabilitas tinggi. Reliabilitas
merupakan instrument untuk mengukur atribut penelitian, semakin tinggi tingkat reliabilitas
sebuah instrument maka semakin rendah kemungkinan terjadi penyimpangan. Setiap alat
pengukur seharusnya memiliki kemampuan untuk memberikan hasil pengukuran yang mantap
atau konsisten. Pada alat pengukur fenomena fisik seperti berat dan panjang suatu benda,
kemantapan atau konsistensi hasil pengukuran bukanlah sesuatu yang sulit diperoleh. Tetapi
untuk pengukuran fenomena sosial, seperti sikap, pendapat, persepsi, kesadaran beragama,
pengukuran yang mantap atau konsisten, agak sulit dicapai. Berhubung gejala sosial tidak
semantap fenomena fisik, maka dalam pengukuran fenomena sosial selalu diperhitungkan unsur
kesalahan pengukuran. Dalam penelitian sosial kesalahan pengukuran ini cukup besar. Karena
itu untuk mengetahui hasil pengukuran yang sebenarnya, kesalahan pengukuran ini perlu
diperhitungkan. Makin kecil kesalahan pengukuran, semakin reliabel alat pengukurnya. Semakin
besar kesalahan pengukuran, semakin tidak reliabel alat pengukur tersebut. Teknik-teknik untuk
menentukan reliabilitas ada tiga yaitu: teknik ulangan, teknik bentuk pararel dan teknik belah
dua. Dalam tulisan ini akan dijelaskan satu teknik saja yaitu teknik belah dua. Teknik belah dua
merupakan cara mengukur reliabilitas suatu alat ukur dengan membagi alat ukur menjadi dua
kelompok.
Kedua pendekatan didalam riset kuantitatif dan kualitatif masing-masing mempunyai
keunggulan dan kelemahan. Riset kuantitatif merupakan riset yang bersifat formal, objektif,
proses sistematik dengan menggunakan data numerik untuk mendapatkan informasi. Pendekatan
kuantitaif memunculkan kesulitan dalam mengontrol variable-variabel lain yang dapat
berpengaruh terhadap proses penelitian baik secara langsung ataupun tidak langsung. Untuk
menciptakan validitas yang tinggi juga diperlukan kecermatan dalam proses penentuan sample,
pengambilan data dan penentuan alat analisanya. Sedangkan riset kualitatif melibatkan
pengumpulan dan analisis data dalam bentuk naratif bersifat subjektif. Kelemahan validitas riset
kualitatif adalah tidak bisa mendapatkan validitas yang tinggi karena validitas tidak bisa di ukur
dengan angka, banyak memakan waktu, reliabilitasnya dipertanyakan, prosedurnya tidak baku,
desainnya tidak terstruktur dan tidak dapat dipakai untuk penelitian yang berskala besar dan pada
akhirnya hasil penelitian dapat terkontaminasi dengan subyektifitas peneliti. Demikian juga pada
pengukuran fenomena sosial selalu diperhitungkan unsur kesalahan pengukuran karena dalam
penelitian sosial kesalahan pengukuran ini cukup besar. Sekalipun demikian penelitian kualitatif
tetap saja dapat memperoleh validitas jika dilakukan dengan benar, hati-hati dan dengan
menggunakan prosedur yang sistematis.
2.Bandingkan dan bedakan fase analisis dalam riset kuantitatif dan riset kualitatif?
Salah satu tahap didalam proses penelitian adalah analisa data. Analisis dan interpretasi data
merupakan tahap yang harus dilewati oleh seorang penelitian. Adapun urutannya terletak pada
tahap setelah tahap pengumpulan data. Dalam arti sempit, analisis data di artikan sebagai
kegiatan pengolahan data, yang terdiri atas tabulasi dan rekapitulasi data.
Fase analisis dalam riset kuantitatif meliputi analisis deskriptif dan analisis inferensial (uji
signifikansi). Analisis deskriptif adalah suatu prosedur pengolahan data dengan menggambarkan
dan meringkas data secara ilmiah dalam bentuk table atau grafik. Data yang disajikan termasuk
distribusi frekuensi, pengukuran tendensi sentral, variability dan bivariate deckriptif statistic.
Distribusi frekuensi merupakan pengaturan yang sistematis dari data yang terkumpul mulai dari
nilai yang terrendah sampai dengan nilai yang tertinggi, semua di hitung dengan persentase.
Statistik ini juga bisa digunakan untuk mengecek kesalahan dalam program computer.
Pengukuran tensensi sentral dimulai dari pusat penyebaran variable dengan menggunakan skala
ratio atau interval yaitu mean, median, mode. Variability yaitu untuk mengetahui bagaimana
penyebaran data yang diperoleh yang terdiri dari range dan standart deviasi, range didapat
dengan cara mengurangi nilai tertinggi dikurangi nilai terendah dalam distribusi data. Standart
deviasi menggambarkan nilai rata-rata dari mean. Sedangkan bivariate deckriptif statistic untuk
menggambarkan hubungan antara dua variable. bivariate deckriptif statistic terdiri dari
contingency table dan korelasi. Contingency table merupakan distribusi frekuensi yang bersifat
dua dimensi dimana terdapat dua variable yang saling ditabulasi silang. Sedangkan korelasi
hubungan antara dua variable yang didskripsikan melalui prosedur korelasi. Korelasi dapat
bersipat positif dan negative. Cara yang umum digunakan dalam menghubungkan variable yaitu
pearson dan spearmen. Pearson yaitu untuk menhubungkan dan mengukur variable yang bersifat
interval atau ratio, sedangkan spearmen untuk menghubungkan dan mengukur variable ordinal.
Analisis inferensial (uji signifikansi), uji yang digunakan harus sesuai dengan rancangan
penelitian, pengujian statistic yang tidak sesuai akan menimbulkan penafsiran yang salah dan
hasil yang tidak dapat digeneralisasi. Uji signifikansi dapat diaplikasikan tergantung dari tujuan
analisis dan jenis data yang ada. Statistik inferensial dimaksudkan untuk membuat prediksi atau
keputusan mengenai sebuah populasi berdasarkan informasi yang terdapat dalam sebuah sampel.
Perhatian statistik inferensial adalah untuk mengetahui atau mengambil kesimpulan dari data
melalui analisis : hubungan antar dua variable, perbedaan dalam suatu variabel antar anggota
kelompok yang berbeda. Bagaimana beberapa variabel independen dapat menjelaskan terjadinya
perubahan dalam suatu variabel independen. Statistik inferensial digolongkan kedalam statistik
parametrik dan statistik nonparametrik. Statistik parametrik digunakan apabila memenuhi asumsi
bahwa populasi asal sampel didistribusikan secara normal dan data yang dikumpulkan memakai
skala interval atau ratio. Statistik parametrik terbagi lagi menjadi statistik univariat dan statistik
multivariate. Statistik non parametrik dipakai tanpa mensyaratkan asumsi normalitas distribusi
populasi dan bisa dipakai untuk data yang berskala nominal atau ordinal. Contoh statistik
inferensial – non parametrik antara lain sign test, Mann-Whitnney U test, korelasi Spearman dan
uji chi-square. Uji Chi-square adalah non para metric test yang digunakan untuk mengetahui
perbedaan secara significant frekuensi observasi dan frekuensi secara teori, biasanya untuk
menguji hipotesa. Contoh statistik inferensial univariat – parametrik antara lain adalah t-test, Z
test, korelasi pearson dan ANOVA. Anova digunakan untuk menguji perbedaan antara mean dan
dipergunakan sebagai suatu indikasi untuk menolak atau menerima Ho. Contoh statistik
inferensial multivariat adalah discriminat analysis, factor analysis, cluster analysis, dan
multidimensional scaling.
Fase analisis dalam riset Kualitatif , meliputi : comprehending , synthesizing, theorizing dan
recontextualizing. Comprehending, yaitu peneliti berusaha untuk memahami apa yang didapat
dari data yang terkumpul dan mempelajari apa yang sebenarnya sedang berjalan. Peneliti dapat
mempersiapkan atau memberikan penjelasan yang menyeluruh tentang fenomena yang ada
dalam penelitian. Synthesizing, yaitu peneliti menggabungkan dan menyaring data yang
terkumpul secara keseluruhan. Peneliti juga berusaha untuk menentukan bagaimana type dan
variasi tang ada. Theorizing, yaitu fase dimana peneliti mensortir data yang ada secara sistematis.
Peneliti berusaha membuat penjelasan alternative dari fenomena yang ada dalam penelitian dan
mempertahankan penjelasan yang ada mereka miliki dengan data yang ada. Recontextualizing
adalah peneliti berusaha mengembangkan teori yang sudah ada dan berusaha mencoba untuk
mengaplikasikannya ke setting atau keadaan yang lain. Riset kualitatif di analisa dengan cara
Analisa domain, taksonomi, komponensial, tema cultural, tema Kultural dan Komparasi Konstan
(Grounded Theory Research. Analisa domain, berguna untuk mencari dan memperoleh
gambaran umum atau pengertian yang bersifat secara mneyeluruh. Hasil yang diharapkan ialah
pengertian di tingkat permukaan mengenai domain tertentu atau kategori-kategori konseptual.
Analisa Taksonomi, didasarkan pada focus terhadap salah satu domain (struktur internal domain)
dan pengumpulan hal-hal / elemen yang sama. Analisa Komponensial: analisa komponensial
menekankan pada kontras antar elemen dalam suatu domain; hanya karakteristik-karaktersitik
yang berbeda saja yang dicari. Analisa Tema Kultural: cara melakukan analisa tema kultural
ialah dengan mencari benang merah yang ada yang dikaitkan dengan nilai-nilai, orientasi nilai,
nilai dasar / utama, premis, etos, pandangan dunia dan orientasi kognitif. Analisa berpangkal
pada pandangan bahwa segala sesuatu yang kita teliti pada dasarnya merupakan suatu yang utuh
(keseluruhan), tidak terpecah-pecah; oleh karena itu peneliti dalam menganalisa data sebaiknya
menggunakan pendekatan yang utuh (holistic approach). Analisa Komparasi Konstan (Grounded
Theory Research): cara melakukan analisa komparasi konstan adalah sebagai berikut:
mengumpulkan data untuk menyusun / menemukan suatu teori baru, berkonsentrasi pada
deskripsi yang rinci mengenai sifat atau cirri dari data yang dikumpulkan untuk menghasilkan
pernyataan teoritis secara umum, membuat hipotesa jalinan hubungan antara gejala yang ada,
kemudian mengujinya dengan bagian data yang lain dan didasarkan dari akumulasi data yang
telah dihipotesakan, peneliti mengembangkan suatu teori baru. Sedangkan cara menganalisa data
riset kualitatif yang lain : Analisa data etnografis, yaitu dimulai pada saat peneliti terjun
kelapangan secara terus nenerus peneliti mencari pola tingkah laku dan pemikiran dari para
responden, membandingkan satu pola dengan pola yang lain dan menganalisa pola secara
simultan. Analisa data phenomenology, yaitu analisa yng memberikan gambaran arti dari setiap
pengalaman melalui identifikasi tema-tema esensial dan mencari pola-pola yang umum terjadi.
Analisa data grounded teori, yaitu analisa ynag menggunakan metode perbandingan secara
konstan, membandingkan elemen yang ada dalam satu sumber data didalam wawancara, analisa
terus berjalan sampai semua konten dari setiap sumber sudah dibandingkan antara yang satu
dengan yang lainnya.
Perbedaan dalam fase analisis riset kuantitatif dan kualitatif adalah sifat data kuantitatif lebih
mengutamakan perhitungan statistic, mengenai rata-rata, kecendrungan, arah, kemungkinan,
ramalan, persentasi, indeks, perbandingan, jumlah dan lain-lain. Analisa dalam penelitian
kuantitatif bersifat deduktif, uji empiris teori yang dipakai dan dilakukan setelah selesai
pengumpulan data secara tuntas dengan menggunakan sarana statistik, seperti korelasi, uji t,
analisa varian dan covarian, analisa faktor, regresi linear dan lain-lain. Sedangkan data-data
kualitatif tidak bisa diukur dengan angka atau data yang tidak bisa diangkakan, hanya dinyatakan
dalam bentuk kata, kalimat atau gambar. Analisa data sudah dapat dilakukan semenjak data
diperoleh di lapangan. Data diusahakan jangan sampai terkena bermacam-macam pengaruh,
antara lain pikiran peneliti sehingga menjadi terpolusi. Apabila terlalu lama baru dianalisa maka
data menjadi kadaluwarsa. Analisa data dalam penelitian kualitatif bersifat induktif dan
berkelanjutan yang tujuan akhirnya menghasilkan pengertian-pengertian, konsep-konsep dan
pembangunan suatu teori baru.
DAFTAR PUSTAKA
Dempsey P. A., & Dempsey A. D. (2002). Riset keperawata: Buku ajar dan latihan (4th ed.) (P.
Wiyastuti, Trans.). Jakarta: EGC.
Nursalam, (2008). Konsep & penerapan metodologi penelitian ilmu keperawatan edisi 2.
Jakarta : Salemba Medika
Nursalam & Pariani, S. (2000). Pendekatan praktis metodologi riset keperawatan. Jakarta :
Sagung Seto
Polit, D. F.,& Beck, C.T.(2006). Essential of nursing research: Methods, Appraisal, and
Utilization (6th ed.).Philadelphia: Lippincott
Pada penelitian kuantitatif Populasi dan sampel merupakan sumber utama untuk
memperoleh data yang dibutuhkan dalam mengungkapkan fenomena atau realitas yang dijadikan fokus
penelitian kita. Oleh karena itu, sebelum pada bahasan teknik sampling pada data kuantitaf dan
bagaimana cara menentukan ukuran sampel, maka kita harus tahu terlebih dahulu mengenai:
Teknik ini digunakan apabila ukuran populasinya tidak diketahui dengan pasti,
sehingga tidak memungkinkan untuk dibuatkan kerangka samplingnya, dan
keberadaannya tersebar secara geografis atau terhimpun dalam klaster-klaster yang
berbeda-beda.
Apabila klaster itu bersifat wilayah geografis yang kecil, maka pengambilan
sampelnya dapat dilakukan satu tahap (simple cluster sampling).
Akan tetapi jika klasternya besar atau wilayah geografisnya besar, maka
pengambilan sampel tidak cukup hanya satu tahap, melainkan harus beberapa
tahap. Dalam keadaan yang demikian gunakanlah teknik sampling klaster
banyak tahap (multistage cluster sampling).
Keuntungan menggunakan teknik ini ialah jika kluster-kluster didasarkan pada perbedaan
geografis maka biaya penelitiannya menjadi lebih murah. Karakteristik kluster dan populasi
dapat diestimasi.
Teknik sampling ini digunakan apabila populasinya tidak homogen (heterogen). Makin
heterogen suatu populasi, makin besar pula perbedaan sifat-sifat antara lapisan tersebut. Untuk
dapat menggambarkan secara tepat tentang sifat-sifat populasi yang heterogen, maka populasi
yang bersangkutan harus dibagi-bagi kedalam lapisan-lapisan (strata) yang seragam atau
homogen, dan dari setiap strata dapat diambil sampel secara random (acak).
Untuk dapat menggunakan teknik sampling random strata, ada beberapa syarat yang
harus dipenuhi, antara lain (Singarimbun dan Effendi, 1989:162-163):
1. Harus ada kriteria yang jelas yang akan dipergunakan sebagai dasar untuk
menstratifikasi populasi ke dalam lapisan-lapisan.
2. Harus ada data pendahuluan dari populasi mengenai kriteria yang dipergunakan
untuk menstratifikasi. Jumlah satuan elementer dari setiap strata (ukuran
setiap subpopulasi) harus diketahui dengan pasti. Hal ini diperlukan agar
peneliti dapat membuat kerangka sampling untuk setiap subpopulasi atau
strata yang akan dijadikan sumber dalam menentukan sampel atau responden.
Sampel strata terdiri dari dua macam, yaitu
Sampel strata proporsional
Teknik sampling random strata proporsional digunakan apabila proporsi ukuran
subpopulasi atau jumlah satuan elementer dalam setiap strata relatif seimbang
atau relatif sama besar. Dalam sampel strata proporsional, dari setiap strata
diambil sampel yang sebanding dengan besar setiap strata dengan berpatokan
pada pecahan sampling (sampling fraction) yang sama yang digunakan.
Pecahan sampling adalah angka yang menunjukkan persentase ukuran sampel
yang akan diambil dari ukuran populasi tertentu.
Pada Sampel Strata Disproporsional, ukuran sampel yang diambil dari setiap
subpopulasi (strata) sama besarnya, yang berbeda adalah pecahan samplingnya.
Sampel acak sederhana adalah sebuah sampel yang diambil sedemikian rupa sehingga
setiap unit penelitian atau satuan elementer dari populasi mempunyai kesempatan yang sama
untuk dipilih sebagai sampel. Peluang yang dimiliki oleh setiap unit penelitian untuk dipilih
sebagai sampel sebesar n/N, yakni ukuran sampel yang dikehendaki dibagi dengan ukuran
populasi. Dalam menggunakan Teknik Sampling Random Sederhana ini ada beberapa syarat
yang harus dipenuhi, antara lain (Singarimbun dan Effendy, 1989):
2. Sifat populasinya harus homogen, jika tidak, kemungkinan akan terjadi bias.
3. Ukuran populasinya tidak tak terbatas, artinya harus pasti berapa ukuran populasinya.
Cara penggunaan teknik sampling random sistematik ini mirip dengan cara sampling
random sederhana. Bedanya, pada teknik sampling sistematik perandoman atau pengundian
hanya dilakukan satu kali, yakni ketika menentukan unsur pertama dari sampling yang akan
diambil. Penentuan unsur sampling selanjutnya ditempuh dengan cara memanfaatkan interval
sampel. Interval sampel adalah angka yang menunjukkan jarak antara nomor-nomor urut yang
terdapat dalam kerangka sampling yang akan dijadikan patokan dalam menentukan atau
memilih unsur-unsur sampling kedua dan seterusnya hingga unsur ke-n. Interval sampel
biasanya dilambangkan dengan huruf k.
Interval sampel atau juga disebut sampling rasio diperoleh dengan cara membagi ukuran
populasi dengan ukuran sampel yang dikehendaki (N/n). Misalnya, dari populasi (N) berukuran
500 kita akan mengambil sampel (n) berkuran 50, maka interval samplingnya adalah 500/50=10
atau k =10. Andaikan yang terpilih sebagai unsur sampling pertama adalah satuan elementer
yang bernomor s, maka penentuan unsur-unsur sampel berikutnya adalah:
Unsur pertama = s
Unsur kedua = s + k
Unsur ketiga = s + 2k
Ada beberapa jenis sampel nonrandom yang sering digunakan dalam penelitian
sosial/penelitian komunikasi, di antaranya adalah:
1. Sampel Aksidental (accidental sampling). Sampel ini sering disebut sebagai sampel
kebetulan yang pengambilannya didasarkan pada pertimbangan kemudahan bagi
peneliti (bukan penelitian), sehingga sampel ini sering kali disebut convenience
sampling atau sampel keenakan. Orang-orang ilmu statistika bahkan menyebutnya
sebagai sampel kecelakaan, karena saking tidak representatifnya sampel tersebut.
Sebisa mungkin, hindari untuk menggunakan sampel ini, jika kesimpulan penelitian
kita ingin memperoleh kemampuan generalisasi yang tepat.
2. Sampel Kuota (quota sampling). Teknik sampling kuota merupakan teknik
sampling yang sejenis dengan teknik sampling strata. Perbedaannya adalah ketika
mengambil sampel dari setiap strata tidak menggunakan cara-cara random, tetapi
menggunakan cara-cara kemudahan (convenience). Caranya, tentukan ukuran
sampel dari masing-masing strata lalu teliti siapa sejumlah orang yang sesuai
dengan ukuran sampel yang ditentukan tadi, siapa saja asal berasal dari strata
tersebut.
3. Sampel Purposif (purposeful sampling). Teknik ini disebut juga judgemental
sampling atau sampel pertimbangan bertujuan. Dasar penetuan sampelnya adalah
tujuan penelitian. Sampel ini digunakan jika dalam upaya memperoleh data tentang
fenomena atau masalah yang diteliti memerlukan sumber data yang memilki
kualifikasi spesifik atau kriteria khusus berdasarkan penilaian tertentu, tingkat
signifikansi tertentu.
Ukuran sampel atau besarnya sampel yang diambil dari populasi, merupakan salah satu
faktor penentu tingkat kerepresentatifan sampel yang digunakan. Pertanyaannya, berapa besar
sampel harus diambil dari populasi agar memenuhi syarat kerepresentatifan?
Menurut I Gusti Bagoes Mantra dan Kasto dalam buku yang ditulis oleh Masri Singarimbun
dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survai (1989), menyatakan bahwa sebelum kita menentukan
berapa besar ukuran sampel yang harus diambil dari populasi tertentu, ada beberapa aspek yang
harus dipertimbangkan yaitu:
1. Derajat Keseragaman Populasi (degree of homogenity). Jika tinggi tingkat homogenitas
populasinya tinggi atau bahkan sempurna, maka ukuran sampel yang diambil boleh
kecil, sebaliknya jika tingkat homogenitas populasinya rendah (tingkat
heterogenitasnya tinggi) maka ukuran sampel yang diambil harus besar. Untuk
menentukan tingkat homogenitas populasi sebaiknya dilakukan uji homogenitas
dengan menggunakan uji statistik tertentu.
2. Tingkat Presisi (level of precisions) yang digunakan. Tingkat presisi, terutama
digunakan dalam penelitian eksplanatif, misalnya penelitian korelasional, yakni suatu
pernyataan peneliti tentang tingkat keakuratan hasil penelitian yang diinginkannya.
Tingkat presisi biasanya dinyatakan dengan taraf signifikansi (α) yang dalam
penelitian sosial biasa berkisar 0,05 (5%) atau 0,01 (1%), sehingga keakuratan hasil
penelitiannya (selang kepercayaannya) 1–α yakni bisa 95% atau 99%. Jika kita
menggunakan taraf signifikansi 0,01 maka ukuran sampel yang diambil harus lebih
besar daripada ukuran sampel jika kita menggunakan taraf signifikansi 0,05.
3. Rancangan Analisis. Rancangan analisis yang dimaksud adalah sesuatu yang berkaitan
dengan pengolahan data, penyajian data, pengupasan data, dan penafsiran data yang
akan ditempuh dalam penelitian.
4. Alasan-alasan tertentu yang berkaitan dengan keterbatasan-keterbatasn yang ada pada
peneliti, misalnya keterbatasan waktu, tenaga, biaya, dan lain-lain.
Selain mempertimbangkan faktor-faktor di atas, beberapa buku metode penelitian
menyarankan digunakannya rumus tertentu untuk menentukan berapa besar sampel
yang harus diambil dari populasi. Jika ukuran populasinya diketahui dengan pasti,
Rumus Slovin di bawah ini dapat digunakan.
Rumus Slovin:
n = ———
1 + Ne²
Keterangan;
n = ukuran sampel
N = ukuran populasi
e =kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan sampel yang ditololerir,
misalnya 5%.
Batas kesalahan yang ditolelir ini untuk setiap populasi tidak sama, ada yang 1%, 2%,
3%, 4%,5%, atau 10%.
Jika ukuran populasinya besar yang didapat dari pendugaan proporsi populasi, maka
Rumus Yamane yang harus digunakan.
n = ———–
Nd² + 1
d = batas toleransi kesalahan pengambilan sampel yang digunakan.
Misalnya, kita ingin menduga proporsi pembaca koran dari populasi 4.000 orang.
Presisi ditetapkan di antara 5% dengan tingkat kepercayaan 95%, maka besarnya
sampel adalah:
4000
n = ————————- = 364
4000 x (0,05)² + 1
Sumber:
Sugiana, Dadang. (2008). Secuil Tentang Sampling dalam Penelitian Kuantitatif. Tersedia di http
://dankfsugiana.wordpress.com/2008/07/08/ populasi-dan-teknik-sampling /
Pada penelitian kuantitatif Populasi dan sampel merupakan sumber utama untuk memperoleh data
yang dibutuhkan dalam mengungkapkan fenomena atau realitas yang dijadikan fokus penelitian kita.
Oleh karena itu, sebelum pada bahasan teknik sampling pada data kuantitaf dan bagaimana cara
menentukan ukuran sampel, maka kita harus tahu terlebih dahulu mengenai:
Teknik ini digunakan apabila ukuran populasinya tidak diketahui dengan pasti,
sehingga tidak memungkinkan untuk dibuatkan kerangka samplingnya, dan
keberadaannya tersebar secara geografis atau terhimpun dalam klaster-klaster yang
berbeda-beda.
Apabila klaster itu bersifat wilayah geografis yang kecil, maka pengambilan
sampelnya dapat dilakukan satu tahap (simple cluster sampling).
Akan tetapi jika klasternya besar atau wilayah geografisnya besar, maka
pengambilan sampel tidak cukup hanya satu tahap, melainkan harus beberapa
tahap. Dalam keadaan yang demikian gunakanlah teknik sampling klaster
banyak tahap (multistage cluster sampling).
Keuntungan menggunakan teknik ini ialah jika kluster-kluster didasarkan pada perbedaan
geografis maka biaya penelitiannya menjadi lebih murah. Karakteristik kluster dan populasi
dapat diestimasi.
Teknik sampling ini digunakan apabila populasinya tidak homogen (heterogen). Makin
heterogen suatu populasi, makin besar pula perbedaan sifat-sifat antara lapisan tersebut. Untuk
dapat menggambarkan secara tepat tentang sifat-sifat populasi yang heterogen, maka populasi
yang bersangkutan harus dibagi-bagi kedalam lapisan-lapisan (strata) yang seragam atau
homogen, dan dari setiap strata dapat diambil sampel secara random (acak).
Untuk dapat menggunakan teknik sampling random strata, ada beberapa syarat yang
harus dipenuhi, antara lain (Singarimbun dan Effendi, 1989:162-163):
1. Harus ada kriteria yang jelas yang akan dipergunakan sebagai dasar untuk
menstratifikasi populasi ke dalam lapisan-lapisan.
2. Harus ada data pendahuluan dari populasi mengenai kriteria yang dipergunakan
untuk menstratifikasi. Jumlah satuan elementer dari setiap strata (ukuran
setiap subpopulasi) harus diketahui dengan pasti. Hal ini diperlukan agar
peneliti dapat membuat kerangka sampling untuk setiap subpopulasi atau
strata yang akan dijadikan sumber dalam menentukan sampel atau responden.
Sampel strata terdiri dari dua macam, yaitu
Sampel strata proporsional
Pada Sampel Strata Disproporsional, ukuran sampel yang diambil dari setiap
subpopulasi (strata) sama besarnya, yang berbeda adalah pecahan samplingnya.
Sampel acak sederhana adalah sebuah sampel yang diambil sedemikian rupa sehingga
setiap unit penelitian atau satuan elementer dari populasi mempunyai kesempatan yang sama
untuk dipilih sebagai sampel. Peluang yang dimiliki oleh setiap unit penelitian untuk dipilih
sebagai sampel sebesar n/N, yakni ukuran sampel yang dikehendaki dibagi dengan ukuran
populasi. Dalam menggunakan Teknik Sampling Random Sederhana ini ada beberapa syarat
yang harus dipenuhi, antara lain (Singarimbun dan Effendy, 1989):
2. Sifat populasinya harus homogen, jika tidak, kemungkinan akan terjadi bias.
3. Ukuran populasinya tidak tak terbatas, artinya harus pasti berapa ukuran populasinya.
Cara penggunaan teknik sampling random sistematik ini mirip dengan cara sampling
random sederhana. Bedanya, pada teknik sampling sistematik perandoman atau pengundian
hanya dilakukan satu kali, yakni ketika menentukan unsur pertama dari sampling yang akan
diambil. Penentuan unsur sampling selanjutnya ditempuh dengan cara memanfaatkan interval
sampel. Interval sampel adalah angka yang menunjukkan jarak antara nomor-nomor urut yang
terdapat dalam kerangka sampling yang akan dijadikan patokan dalam menentukan atau
memilih unsur-unsur sampling kedua dan seterusnya hingga unsur ke-n. Interval sampel
biasanya dilambangkan dengan huruf k.
Interval sampel atau juga disebut sampling rasio diperoleh dengan cara membagi ukuran
populasi dengan ukuran sampel yang dikehendaki (N/n). Misalnya, dari populasi (N) berukuran
500 kita akan mengambil sampel (n) berkuran 50, maka interval samplingnya adalah 500/50=10
atau k =10. Andaikan yang terpilih sebagai unsur sampling pertama adalah satuan elementer
yang bernomor s, maka penentuan unsur-unsur sampel berikutnya adalah:
Unsur pertama = s
Unsur kedua = s + k
Unsur ketiga = s + 2k
Ada beberapa jenis sampel nonrandom yang sering digunakan dalam penelitian
sosial/penelitian komunikasi, di antaranya adalah:
1. Sampel Aksidental (accidental sampling). Sampel ini sering disebut sebagai sampel
kebetulan yang pengambilannya didasarkan pada pertimbangan kemudahan bagi
peneliti (bukan penelitian), sehingga sampel ini sering kali disebut convenience
sampling atau sampel keenakan. Orang-orang ilmu statistika bahkan menyebutnya
sebagai sampel kecelakaan, karena saking tidak representatifnya sampel tersebut.
Sebisa mungkin, hindari untuk menggunakan sampel ini, jika kesimpulan penelitian
kita ingin memperoleh kemampuan generalisasi yang tepat.
2. Sampel Kuota (quota sampling). Teknik sampling kuota merupakan teknik
sampling yang sejenis dengan teknik sampling strata. Perbedaannya adalah ketika
mengambil sampel dari setiap strata tidak menggunakan cara-cara random, tetapi
menggunakan cara-cara kemudahan (convenience). Caranya, tentukan ukuran
sampel dari masing-masing strata lalu teliti siapa sejumlah orang yang sesuai
dengan ukuran sampel yang ditentukan tadi, siapa saja asal berasal dari strata
tersebut.
3. Sampel Purposif (purposeful sampling). Teknik ini disebut juga judgemental
sampling atau sampel pertimbangan bertujuan. Dasar penetuan sampelnya adalah
tujuan penelitian. Sampel ini digunakan jika dalam upaya memperoleh data tentang
fenomena atau masalah yang diteliti memerlukan sumber data yang memilki
kualifikasi spesifik atau kriteria khusus berdasarkan penilaian tertentu, tingkat
signifikansi tertentu.
Ukuran sampel atau besarnya sampel yang diambil dari populasi, merupakan salah satu
faktor penentu tingkat kerepresentatifan sampel yang digunakan. Pertanyaannya, berapa besar
sampel harus diambil dari populasi agar memenuhi syarat kerepresentatifan?
Menurut I Gusti Bagoes Mantra dan Kasto dalam buku yang ditulis oleh Masri Singarimbun
dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survai (1989), menyatakan bahwa sebelum kita menentukan
berapa besar ukuran sampel yang harus diambil dari populasi tertentu, ada beberapa aspek yang
harus dipertimbangkan yaitu:
Rumus Slovin:
n = ———
1 + Ne²
Keterangan;
n = ukuran sampel
N = ukuran populasi
e =kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan sampel yang ditololerir,
misalnya 5%.
Batas kesalahan yang ditolelir ini untuk setiap populasi tidak sama, ada yang 1%, 2%,
3%, 4%,5%, atau 10%.
Jika ukuran populasinya besar yang didapat dari pendugaan proporsi populasi, maka
Rumus Yamane yang harus digunakan.
n = ———–
Nd² + 1
d = batas toleransi kesalahan pengambilan sampel yang digunakan.
Misalnya, kita ingin menduga proporsi pembaca koran dari populasi 4.000 orang.
Presisi ditetapkan di antara 5% dengan tingkat kepercayaan 95%, maka besarnya
sampel adalah:
4000
n = ————————- = 364
4000 x (0,05)² + 1
Sumber:
Sugiana, Dadang. (2008). Secuil Tentang Sampling dalam Penelitian Kuantitatif. Tersedia di http
://dankfsugiana.wordpress.com/2008/07/08/ populasi-dan-teknik-sampling /
0 comments:
Post a Comment
Newer Post Older Post Home
A. Pengertian Paradigma
Istilah paradigma pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Kuhn (1962)[1], dan kemudian dipopulerkan oleh Robert
Friedrichs (1970). Menurut Kuhn, paradigma adalah cara mengetahui realitas sosial yang dikonstruksi oleh mode of thought atau
mode of inquiry tertentu, yang kemudian menghasilkan mode of knowing yang spesifik[2]. Definisi tersebut dipertegas oleh
Friedrichs, sebagai suatu pandangan yang mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang
semestinya dipelajari. Pengertian lain dikemukakan oleh George Ritzer (1980), dengan menyatakan paradigma sebagai
pandangan yang mendasar dari para ilmuan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh salah
satu cabang/disiplin ilmu pengetahuan.
Norman K. Denzin membagi paradigma kepada tiga elemen yang meliputi; epistemologi, ontologi, dan metodologi.
Epistemologi mempertanyakan tentang bagimana cara kita mengetahui sesuatu, dan apa hubungan antara peneliti dengan
pengetahuan. Ontologi berkaitan dengan pertanyaan dasar tentang hakikat realitas. Metodologi memfocuskan pada bagaimana
cara kita memperoleh pengetahuan[3]. Dari definisi dan muatan paradigma ini, Zamroni mengungkapkan tentang posisi
paradigma sebagai alat bantu bagi ilmuwan untuk merumuskan berbagai hal yang berkaitan dengan; (1) apa yang harus
dipelajari; (2) persoalan-persoalan apa yang harus dijawab; (3) bagaimana metode untuk menjawabnya; dan (4) aturan-aturan
apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan informasi yang diperoleh[4].
Penelitian kualitatif adalah satu model penelitian humanistik, yang menempatkan manusia sebagai
subyek utama dalam peristiwa sosial/budaya. Jenis penelitian ini berlandaskan pada filsafat
fenomenologis dari Edmund Husserl (1859-1928) dan kemudian dikembangkan oleh Max Weber
(1864-1920) ke dalam sosiologi. Sifat humanis dari aliran pemikiran ini terlihat dari pandangan
tentang posisi manusia sebagai penentu utama perilaku individu dan gejala sosial. Dalam pandangan
Weber, tingkah laku manusia yang tampak merupakan konsekwensi-konsekwensi dari sejumlah
pandangan atau doktrin yang hidup di kepala manusia pelakunya. Jadi, ada sejumlah pengertian,
batasan-batasan, atau kompleksitas makna yang hidup di kepala manusia pelaku, yang membentuk
tingkah laku yang terkspresi secara eksplisit[13].
Terdapat sejumlah aliran filsafat yang mendasari penelitian kualitatif, seperti Fenomenologi,
Interaksionisme simbolik, dan Etnometodologi. Harus diakui bahwa aliran-aliran tersebut memiliki
perbedaan-perbedaan, namun demikian ada satu benang merah yang mempertemuan mereka, yaitu
pandangan yang sama tentang hakikat manusia sebagai subyek yang mempunyai kebebasan
menentukan pilihan atas dasar sistem makna yang membudaya dalam diri masing-masing
pelaku[14].
Bertolak dari proposisi di atas, secara ontologis, paradigma kualitatif berpandangan bahwa
fenomena sosial, budaya dan tingkah laku manusia tidak cukup dengan merekam hal-hal yang
tampak secara nyata, melainkan juga harus mencermati secara keseluruhan dalam totalitas
konteksnya. Sebab tingkah laku (sebagai fakta) tidak dapat dilepaskan atau dipisahkan begitu saja
dari setiap konteks yang melatarbelakanginya, serta tidak dapat disederhanakan ke dalam hukum-
hukum tunggal yang deterministik dan bebas konteks.
Dalam Interaksionisme simbolis, sebagai salah satu rujukan penelitian kualitatif, lebih dipertegas
lagi tentang batasan tingkah laku manusia sebagai obyek studi. Di sini ditekankankan perspektif
pandangan sosio-psikologis, yang sasaran utamanya adalah pada individu ‘dengan kepribadian diri
pribadi’ dan pada interaksi antara pendapat intern dan emosi seseorang dengan tingkah laku
sosialnya[15].
Paradigma kualitatif meyakini bahwa di dalam masyarakat terdapat keteraturan. Keteraturan itu
terbentuk secara natural, karena itu tugas peneliti adalah menemukan keteraturan itu, bukan
menciptakan atau membuat sendiri batasan-batasannya berdasarkan teori yang ada. Atas dasar itu,
pada hakikatnya penelitian kualitatif adalah satu kegiatan sistematis untuk menemukan teori dari
kancah – bukan untuk menguji teori atau hipotesis. Karenanya, secara epistemologis, paradigma
kualitatif tetap mengakui fakta empiris sebagai sumber pengetahuan tetapi tidak menggunakan teori
yang ada sebagai bahan dasar untuk melakukan verifikasi.
Dalam penelitian kualitatif, ‘proses’ penelitian merupakan sesuatu yang lebih penting dibanding
dengan ‘hasil’ yang diperoleh. Karena itu peneliti sebagai instrumen pengumpul data merupakan satu
prinsip utama. Hanya dengan keterlibatan peneliti alam proses pengumpulan datalah hasil penelitian
dapat dipertanggungjawakan.
Khusus dalam proses analisis dan pengambilan kesimpulan, paradigma kualitatif menggunakan
induksi analitis (analytic induction) dan ekstrapolasi (extrpolation). Induksi analitis adalah satu
pendekatan pengolahan data ke dalam konsep-konsep dan kateori-kategori (bukan frekuensi). Jadi
simbol-simbol yang digunakan tidak dalam bentuk numerik, melainkan dalam bentuk deskripsi, yang
ditempuh dengan cara merubah data ke formulasi. Sedangkan ekstrapolasi adalah suatu cara
pengambilan kesimpulan yang dilakukan simultan pada saat proses induksi analitis dan dilakukan
secara bertahap dari satu kasus ke kasus lainnya, kemudian –dari proses analisis itu--dirumuskan
suatu pernyataan teoritis[16].
D. Perbedaan Paradigma Kuantitatif-Kualitatif
Bertolak dari perbedaan-perbedaan disebut di atas, dapat dicatat berbagai perbedaan paradigma
yang cukup signifikan antara penelitian kuantitatif dengan kualitatif. Seperti dikemukakan sebelumnya,
penelitian kuantitatif memiliki perbedaan paradigmatik dengan penelitian kualitatif. Secara garis besar,
perbedaan dimaksud mencakup beberapa hal:
KUANTITATIF KUALITATIF
1. Positivistik 1. Fenomenologik
6. Menggunakan pandangan ilmu pengetahuan 6. Menggunakan pandangan ilmu sosial/antropological
alam
Lebih lanjut perbedaan paradigma kedua jenis penelitian ini dapat dielaborasi sebagai berikut:
1. Cenderung menggunakan metode kuantitatif, 1. Cenderung menggunakan metode kualitatif, baik
dalam pengumpulan dan analisa data, termasuk dalam pengumpulan maupun dalam proses
dalam penarikan sampel. analisisnya.
2. Lebih menenkankan pada proses berpikir 2. Lebih mementingkan penghayat-an dan pengertian
positivisme-logis, yaitu suatu cara berpikir yang dalam menangkap gejala (fenomenologis).
ingin menemukan fakta atau sebab dari sesuatu
kejadian dengan mengesampingkan keadaan
subyektif dari individu di dalamnya.
3. Peneliti cenderung ingin menegakkan obyektifitas
yang tinggi, sehingga dalam pendekatannya
menggunakan pengaturan-pengaturan secara
ketat (obstrusive) dan berusaha mengendalikan
stuasi (controlled). 3. Pendekatannya wajar, dengan menggunakan
pengamatan yang bebas (tanpa pengaturan yang
4. Peneliti berusaha menjaga jarak dari situasi yang ketat).
diteliti, sehingga peneliti tetap berposisi sebagai
orang “luar” dari obyek penelitiannya.
DARI: PUSAT PENELITIAN IAIN SUMATRA UTARA MEDAN
Sedangkan peneliti pro kualitatif memiliki keyakinan “anti-positivisme”. Mereka mengkritisi budaya
ilmiah yang obyektif, mekanistis, linear dan universal serta pandangan ilmu pengetahuan yang
berkesatuan (unified science) dan bebas nilai. Menurut Thomas Samuel Kuhn (1922-1996), ilmu
pengetahuan selalu dimuati oleh asumsi-asumsi lain. Misalnya asumsi tentang realitas juga
bersinggungan dengan realitas sosiologis dan epistemologis (Lubis, 2004).
Beberapa peneliti mengatakan bahwa salah satu metode penelitian lebih baik atau lebih ilmiah
dibanding metode lainnya. Mereka menganggap mazhab penelitian yang ia anut adalah paling shahih
dan tidak dapat diganggu-gugat. Dalam buku Qualitative Data Analysis, Miles dan Huberman (1994),
mengutip pernyataan seorang peneliti kuantitatif, Fred Kerlinger, "There's no such thing as qualitative
data. Everything is either 1 or 0" (hal. 40). Pada halaman yang sama peneliti lain, D. T. Campbell,
memberikan penegasan yang berlawanan dengan Fred Kerlinger, "all research ultimately has a
qualitative grounding" (hal. 40). Kedua pernyataan konfrontatif tersebut dapat dikatakan sebagai
sebuah ketidakproduktifan yang mendasar (essentially unproductive), karena banyak peneliti lain telah
sepakat metode penelitian kuantitatif dan kualitatif dapat digunakan secara bersamaan. Keduanya dapat
saling mengisi keterbatasan masing-masing dan memperkaya perspektif peneliti dalam mengungkapkan
fenomena yang diteliti (Streubert, & Carpenter, 1999; Denzin & Lincoln, 1994; Doornbos, 2001).
Walaupun keberhasilan dalam mengkombinasikan dua metode penelitian tersebut tergantung pada
kemampuan dan pengalaman peneliti (Patton, 1990).
Misalnya, penelitian epidemiologi dan uji klinik bertujuan untuk menguji kemaknaan hipotesis. Peneliti
mencoba berpikir secara mekanis dan dalam menggambarkan fenomena penelitian ia menggunakan
pola pikir deduksi dan rasional patofisiologi. Implikasi pertanyaan dalam metode penelitian kuantitatif
tersebut adalah pertanyaan whether (misal: apakah sebuah intervensi memiliki efek penyembuhan yang
bermakna?) dan how much (misal: seberapa besar pengaruh faktor risiko tertentu terhadap kejadian
suatu penyakit?) (Battista, Hodge, & Vineis, 1995).
Namun kadangkala peneliti membutuhkan jawaban interpretatif guna menjelaskan fenomena sosial
yang abstrak dan tidak mudah diukur. Misal: makna dan pengalaman sakit bagi seseorang atau keluarga,
dalam hal ini penelitian kualitatif tidak bisa menggunakan pertanyaan whether atau how much, tetapi
akan lebih tepat menjelaskan fenomena dengan pertanyaan apa (what), bagaimana (how) dan mengapa
(why) (Sofaer, 1999). Oleh karena itu, penelitian kualitatif lebih sesuai untuk menggali fenomena sosial,
emosional, dan pengalaman seseorang dalam konteks pelayanan kesehatan (Giacomini & Cook, 2000)
Menurut Glesne & Peshkin (1992), perbedaan mendasar antara penelitian kuantitatif dan kualitatif
dapat dijelaskan melalui empat aspek, yaitu: asumsi, tujuan penelitian, pendekatan, dan peran peneliti.
Asumsi. Penelitian kuantitatif memiliki ciri khas berhubungan dengan data numerik dan bersifat
obyektif. Fakta atau fenomena yang diamati memiliki realitas obyektif yang bisa diukur. Variabel-
variabel penelitian dapat diidentifikasi dan interkorelasi variabel dapat diukur. Peneliti kuantitatif
menggunakan sisi pandangannya untuk mempelajari subyek yang ia teliti (etik). Keunggulan penelitian
kuantitatif terletak pada metodologi yang digunakan.
Penelitian kualitatif cenderung menggunakan data teks yang bersifat subyektif. Realitas yang dipelajari
dikonstruksikan sesuai dengan nilai sosial partisipan (subyek penelitian), oleh karenanya pemaknaan
realitas sesuai dengan pemahaman partisipan (emik). Penelitian kualitatif memiliki jalinan variabel yang
kompleks dan sulit untuk diukur.
Tujuan penelitian. Penelitian kuantitatif memiliki tujuan menjeneralisasi temuan penelitian sehingga
dapat digunakan untuk memprediksi situasi yang sama pada populasi lain. Penelitian kuantitatif juga
digunakan untuk menjelaskan hubungan sebab-akibat antar variabel yang diteliti.
Berbeda dengan penelitian kuantitatif, penelitian kualitatif bertujuan untuk menjelaskan realitas secara
kontekstual, interpretasi terhadap fenomena yang menjadi perhatian peneliti dan memahami perspektif
partisipan terhadap masalah kesehatan.
Pendekatan. Penelitian kuantitatif dimulai dengan teori dan hipotesis. Peneliti menggunakan teknik
manipulasi dan mengkontrol variabel melalui instrumen formal untuk melihat interaksi kausalitas.
Peneliti mencoba mereduksi data menjadi susunan numerik selanjutnya ia melakukan analisis terhadap
komponen penelitian (variabel). Penarikan kesimpulan secara deduksi dan menetapkan norma secara
konsensus. Bahasa penelitian dikemas dalam bentuk laporan.
Penelitian kualitatif tidak memerlukan hipotesis, justru kadang-kadang diakhiri dengan hipotesis.
Perumusan teori berdasarkan data yang telah tersaturasi (grounded theory). Peneliti menggunakan
teknik penggambaran (portrayal) secara alamiah terhadap fenomena yang muncul sekaligus dirinya
merupakan instrumen penelitian itu sendiri. Penarikan kesimpulan secara induksi dengan menemukan
salah satu pola yang berlaku dari pluralitas dan kompleksitas norma. Bahasa penelitian dikemas secara
deskriptif.
Peran peneliti. Dalam penelitian kuantitatif, peneliti secara ideal berlaku sebagai observer subyek
penelitian yang tidak terpengaruh dan memihak (obyektif). Sedangkan penelitian kualitatif justru
memerlukan keberpihakan dan keterlibatan peneliti agar ia dapat memahami (empati) situasi partisipan
penelitian secara holistik.
Akhirnya, pilihan metode yang digunakan sangatlah bergantung pada kepentingan peneliti. Kita tidak
bisa mengklaim bahwa paradigma penelitian yang kita anut lebih ilmiah dibanding pandangan orang
lain. Secara implisit Hukum Evaluasi Halcolm menekankan bahwa pilihan metode yang tepat harus
sesuai dengan tujuan yang peneliti inginkan. Selain itu, pilihan metode penelitian perlu
mempertimbangkan pengalaman, ketertarikan peneliti, populasi yang akan diteliti, waktu, biaya, tenaga
dan sumber daya peneliti lainnya. Agaknya kita perlu sepakat dengan ungkapan Glesne dan Peshkin
(1992): different approaches allow us to know and understand different things about the world.
http://bondanriset.blogspot.com
GENERALISASI VERSUS TRANSFERABILITY
In Qualitative, Quantitative, Validitas on Juni 16, 2008 at 1:40 am
Bahwa hasil penelitian kualitatif tidak dapat diterapkan atau diberlakukan secara umum dalam
cakupan yang lebih luas dianggap sebagai “titik lemah” penelitian kualitatif. “Titik lemah” ini
acap kali diserang oleh penganut fanatik aliran penelitian kuantitatif. Namun para peneliti
kualitatif tidak menganggap hal tersebut sebagai suatu kelemahan, karena mereka memahami
makna keberlakuan suatu hasil penelitian dari sudut pandang berbeda.
Sebaliknya, peneliti kualitatif tidak ambil pusing apakah hasil penelitiannya berlaku secara
umum atau tidak. Karena bukan generalisasi yang menjadi tujuan utama penelitian kualitatif.
Namun bukan berarti hasil penelitian kualitatif tidak dapat “digeneralisasi”. Hasil penelitian
kualitatif dapat “digeneralisasi”, hanya saja tidak “segampang” generalisasi dalam penelitian
kuantiatif. Peneliti kualitatif menggunakan istilah transferability yang merujuk pada konsep
keberlakukan suatu hasil penelitian dalam situasi atau konteks tertentu.
Generalisasi mensyaratkan kesempatan yang sama bagi setiap sumber informasi (sampel)
ketika dipilih dari kumpulan total sumber informasi (populasi), syarat ini dikenal dengan istilah
syarat keacakan atau random. Selanjutnya berdasarkan kaidah-kaidah statistika yang
sistematik, ketat, dan mapan dapat ditentukan derajat keberlakuan suatu kesimpulan yang
diperoleh semata dari sampel terhadap populasi yang lebih besar dan luas. Sedangkan
transferability mensyaratkan pendeskripsian yang detil, rinci dan holistik terhadap konteks,
situasi, ataupun latar belakang dari sekumpulan sumber informasi sehingga pihak lain dapat
memberlakukan kesimpulan yang dihasilkan dari sumber informasi tersebut jika menemui
konteks, situasi ataupun latarbelakang yang identik.
Jika generalisasi dengan penuh percaya diri dapat mengklaim suatu kesimpulan penelitian
berlaku kapanpun, dimanapun dan dalam situasi apapun maka transferability menyerahkan
sepenuhnya pada penilaian pihak lain, apakah kesimpulan suatu penelitian dapat diberlakukan
pada situasi atau kondisi tertentu. Si peneliti hanya perlu menyediakan penjelasan yang detil,
rinci dan holistik tentang situasi, kondisi, dan latar belakang sumber informasi (sampel)
selanjutnya terserah pada keyakinan si penilai…