You are on page 1of 46

PENGATURAN KEWAJIBAN DALAM

PERNYATAAN STANDAR AKUNTANSI PEMERINTAHAN


BERBASIS FULL ACCRUAL

HERU SETIAWAN
MOCH. SAPTO SETIAWAN
ELLEN MAHARANI
SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA
ABSTRAK

The quality of information provided in financial statements determines the usefulness


of the financial statements to users. The financial statements should provide
information that meets four principal qualitative characteristics such as
understandability, relevance, reliability and comparability. In Indonesia, cash
towards accrual accounting is no longer applicable, because of unsynchronized to
accounting equation, basic concept of accounting entity, basic assumption of going
concern and international reporting standard that demand the implementation of full
accrual accounting in public sector. The demand of implementation leads to the
needs of harmonization of regulation in order to produce the relevance and reliability
information. This financial information is mostly important used as consideration of
decision making process. For example, risk assessment of debt management demands
sufficient data in form of debt schedule, before deciding how to finance the budget
deficit. The Statement of Public Sector Standard in Indonesia, called as PSAP, yet
regulated liabilities comprehensively to support the sufficient needs of data. Whilst,
the implementation of comprehensive measurement and recognition in New Zealand
affect positively in the decreasing debt-to-equity ratio. The decreasing of debt-to-
equity ratio creates aggregate fiscal discipline and at the end achieves the
sustainability of good economic growth in long-run. First and foremost, this research
paper is aimed to have clear descriptions upon four classifications of liabilities,
predictly qualified, to be stated in The Full Accrual Accounting Statement of Public
Sector. The predictly qualified liabilities mention as financial liabilities; provisions
and contingent liabilities; leasing; and also liabilities from non-budgetary spending.
Secondly, this research is dedicated to give academic thought in implementation of
discussion and updating the The Full Accrual Accounting Statement of Public Sector
especially liabilities. Method used in this research is literature study of secondary
data related to international best practice in sector public accounting, real condition
in Indonesia dan probability of full accrual accounting implementation. The
conclusion that builded through metodologist academic steps of this research paper
state that “Classifications of Liabilities mention as financial liabilities; provisions
and contingent liabilities; leasing; and also liabilities from non-budgetary spending;
are needed to be regulated in The Full Accrual Accounting Statement of Public
Sector” is hypothetically proved.

Kata kunci : Contingent Liabilities, Financial Liabilities, Lease, Liabilities, Non-


budgetary Spending, Provisions
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penulisan

Berdasarkan Pasal 36 ayat 1 Undang-undang nomor 17 tahun 2003 tentang

Keuangan Negara dan Pasal 70 ayat 2 Undang-undang nomor 1 tahun 2004 tentang

Perbendaharaan Negara, Pemerintah diamanatkan untuk menyusun Laporan

Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) dan Laporan Keuangan Daerah (LKPD) sebagai

pertanggungjawaban atas pelaksanaan APBN/APBD, dimana basis akuntansi untuk

penyusunan dan pelaporannya diharuskan menggunakan basis akrual pada Tahun

Anggaran 2008, yang kemudian ditunda selambat-lambatnya hingga Tahun Anggaran

2014. Penundaan ini disebabkan oleh ketidaksiapan semua perangkat dan elemen

yang menyusun implementasi akuntansi berbasis full accrual (kita akan memakai

terminologi full accrual untuk membedakannya dengan cash toward accrual). Selama

ini basis akuntansi yang digunakan Pemerintah adalah basis cash toward accrual di

mana basis kas digunakan untuk pengakuan pendapatan, belanja, transfer, dan

pembiayaan sedangkan untuk pengakuan asset, kewajiban, dan ekuitas dana

menggunakan basis akrual (KSAP 2004).

1
2

Alasan perlunya penerapan akuntansi berbasis full accrual dapat

diargumentasikan menjadi empat hal yaitu perspektif persamaan akuntansi, konsep

dasar entitas akuntansi, asumsi dasar dan international reporting standard. Dari hal

yang paling sederhana mengenai persamaan akuntansi dimana : Assets = Liabilities +

Equity. Persamaan ini menginginkan semua informasi yang terkait yaitu unsur assets,

liabilities dan equity harus disajikan secara sebenar-benarnya dan seutuhnya.

Perspektif kedua mengenai konsep dasar entitas akuntansi tentang adanya pemisahan

antara owner dan business entity yang diwakili manajemen. Di ranah publik,

masyarakat sebagai pemilik resources sebagai owner dan Pemerintahan sebagai

management business entity. Sebagaimana entitas akuntansi lainnya, selalu ada area

management control dimana owner menuntut adanya akuntabilitas

(pertanggungjawaban pengelolaan sumber daya dan pelaksanaan kebijakan) dan

transparansi (pemenuhan hak masyarakat atas informasi keuangan yang terbuka dan

jujur) atas keuangan dan operasionalnya. Sebagai konsekuensi atas itu, setiap

peristiwa dan kejadian yang terjadi di ranah Pemerintahan, wajib dilakukan

pencatatan. Asumsi dasar Kesinambungan Entitas dalam Kerangka Konseptual

Akuntansi Pemerintahan (konsep yang mendasari penyusunan dan penyajian LKPP

dan LKPD) menyatakan bahwa Laporan keuangan disusun dengan asumsi bahwa

entitas pelaporan akan berlanjut keberadaannya (going concern). Asumsi dasar ini

menghendaki setiap dampak yang terjadi di masa lalu atau masa depan atas peristiwa

finansial harus dicatat. Perspektif terakhir, international reporting standard

mensyaratkan integrated financial and performance system dengan basis full accrual.

Ketika keempat perspektif urgensi akuntansi berbasis full accrual ini tidak
3

terimplementasi, karakteristik kualitatif laporan keuangan yang dikehendaki seperti

relevan (mempengaruhi keputusan pengguna dengan membantu mereka mengevaluasi

peristiwa masa lalu atau masa kini, dan memprediksi masa depan) dan andal (bebas

dari pengertian yang menyesatkan dan kesalahan material, menyajikan setiap fakta

secara jujur, serta dapat diverifikasi) tidak tercermin dalam lembar muka (on the face)

laporan keuangan (KSAP 2004).

Konsekuensi pergeseran basis akuntansi Pemerintahan dari cash toward

accrual menjadi full accrual adalah keharusan adanya harmonisasi regulasi.

Pemerintah Indonesia melakukan harmonisasi regulasi dengan mengacu pada IPSAS

(International Public Sector Accounting Standard), yang disusun oleh International

Public Sector Accounting Standards Board (IPSASB) di bawah International

Federation of Accountants (IFAC), sebagai international best practice. Empat

alternatif strategi dalam harmonisasi regulasi adalah adopsi, adaptasi, menciptakan

sendiri atau strategi campuran dari ketiga rancangan itu (Hoesada 2009). Proses

harmonisasi di Indonesia menjadi tanggungjawab Komite Standar Akuntansi

Pemerintahan (KSAP). KSAP menerapkan strategi campuran dengan cara

menyesuaikan Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan (PSAP) yang sebelumnya

berbasis cash toward accrual (sesuai PP No. 24 Tahun 2005) menjadi PSAP berbasis

full accrual dengan referensi IPSAS, dengan mempertimbangkan praktek-praktek

yang berlaku, administrasi Pemerintahan yang ada dan pertimbangan sumber daya

manusia. Harmonisasi regulasi ini ditujukan untuk memberikan informasi yang

relevan dan andal kepada masyarakat mengenai posisi keuangan Pemerintahan yang

tercermin dalam lembar muka (on the face) laporan keuangan.


4

Dalam karya ilmiah ini, penulis ingin melakukan analisis permasalahan pada

unsur liabilities atau kewajiban laporan keuangan atas beberapa alasan yang ter-

integrated seperti porsi kewajiban dalam LKPP, kesinambungan fiskal, serta

perubahan kondisi ekonomi dan lingkungan akuntansi yang perlu diantisipasi.

Peningkatan 18,36% porsi kewajiban dari tahun sebelumnya, peningkatan hampir dua

kali lipat debt to equity ratio Pemerintah Pusat, mengindikasikan perlunya pengaturan

kewajiban baik secara akuntansi maupun manajemen karena porsi ini akan

mengakibatkan pengorbanan sumber daya ekonomi di masa yang akan datang.

Menurut hasil audit LKPP Tahun Anggaran 2008 (BPK 2008), pengendalian rasio

utang yang tepat memberikan kontribusi bagi perbaikan kondisi perekonomian dalam

rangka mendukung kesinambungan fiskal (pemenuhan kewajiban pembayaran utang).

Perhitungan rasio utang atau kewajiban negara ini dapat dilihat melalui lembar muka

(on the face) laporan keuangan dan bukan Catatan Atas Laporan Keuangan (CALK).

Poin terakhir mengenai perubahan kondisi ekonomi dan lingkungan akuntansi

menjadi alasan pentingnya update regulasi dan kebijakan khususnya atas besarnya

porsi kewajiban sebagai unsur laporan keuangan seperti yang dijelaskan sebelumnya.

Atas ketiga alasan tersebut, dalam karya ilmiah ini, penulis tertarik untuk

melakukan analisis mengenai “Unsur-unsur kewajiban yang perlu diatur dalam PSAP

berbasis full accrual” untuk mempersiapkan regulasi bagi implementasi akuntansi

berbasis full accrual yang ditargetkan paling lambat Tahun Anggaran 2014.

B. Rumusan Masalah

Urgensi pengaturan unsur-unsur kewajiban dalam PSAP berbasis full accrual

semakin jelas, karena keterbatasan ruang lingkup yang dinyatakan oleh PSAP No. 9
5

tentang Kewajiban dan luputnya perhatian KSAP atas unsur-unsur kewajiban.

Keterbatasan ruang lingkup dalam PSAP No. 9 menyebabkannya belum mengatur

Akuntansi Kewajiban Diestimasi dan Kewajiban Kontinjensi; Akuntansi Instrumen

Derivatif dan Aktivitas Lindung Nilai; Transaksi dalam mata uang asing yang timbul

atas transaksi selain dari transaksi pinjaman yang didenominasi dalam suatu mata

uang asing. Jika kita bandingkan dengan IPSAS, hal-hal terkait dengan unsur

kewajiban diatur dalam beberapa pernyataan seperti IPSAS No. 5 tentang Borrowing

Cost, IPSAS No. 13 tentang Leases, IPSAS No. 19 tentang Provisions and

Contingent Liability, IPSAS No. 25 tentang Employee Benefit serta pernyataan lain

yang mengintegrasikan kewajiban sebagai bagian yang tidak terpisah seperti salah

satunya IPSAS No. 24 tentang Presentation of Budget Information in Financial

Statements. PSAP No. 9 tentang Kewajiban, menurut penulis, belum cukup

merangkum kebutuhan yang ada. Belum lagi, basis cash toward accrual di mana

kewajiban menggunakan basis akrual, menunjukkan seolah-olah pernyataan yang ada

dalam PSAP No. 9 tentang Kewajiban telah cukup informatif.

Atas dua argumentasi di atas, penulis yakin kewajiban sudah seharusnya diatur

secara jelas dalam PSAP berbasis full accrual. Karya ilmiah ini akan mem-

breakdown kewajiban menjadi empat unsur yang sebelumnya belum diatur dengan

mengambil beberapa sample permasalahan. Pertimbangan yang diambil oleh penulis

adalah probabilitas keterjadian dan besarnya pengorbanan sumber daya ekonomi di

masa yang akan datang, adanya international best practice dalam IPSAS, serta

adanya praktek umum yang mengemuka. Empat unsur yang dimaksud adalah :

1. Financial Liabilities;
6

2. Provisions and Contingent Liabilities;

3. Kewajiban Jangka Panjang yang terkait Sewa Guna Usaha – Leasing;

4. Kewajiban Jangka Pendek akibat Non-budgetary Spending tahun berjalan.

Oleh karena itu, research question yang harus dijawab karya ilmiah ini adalah

“Apakah unsur-unsur kewajiban seperti financial liabilities; provisions and

contingent liabilities; leasing; serta kewajiban yang berasal dari non-budgetary

spending; perlu diatur lebih lanjut dalam PSAP berbasis full accrual?”

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini ditujukan untuk memperoleh gambaran lebih jelas mengenai

empat unsur kewajiban yang diprediksi layak untuk diatur dalam PSAP berbasis full

accrual. Selain itu, penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan pemikiran

dalam rangka implementasi pembahasan dan pemutakhiran Akuntansi Pemerintahan

berbasis full accrual khususnya unsur kewajiban.


BAB II

KERANGKA TEORITIS DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

A. Kerangka Teoritis

1. Kewajiban

Definisi kewajiban menurut IPSAS adalah “Present obligations of the entity

arising from past events, the settlement of which is expected to result in an outflow

from the entity of resources embodying economic benefits or service potential”1.

Definisi kewajiban menurut PSAP adalah “Utang yang timbul dari peristiwa masa

lalu yang penyelesaiannya mengakibatkan aliran keluar sumber daya ekonomi

Pemerintah” 2. Atas dua definisi kewajiban tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa

PSAP mengadopsi IPSAS.

Mark Champoux menyatakan dalam Accrual Accounting in New Zealand and

Australia Issues and Solutions bahwa,

an accrual system is seen as a way of increasing budget transparency, especially


in terms of its ability to account for long-term assets and liabilities, as a tool for
increasing government efficiency through performance-based management. The
motives in turning to accrual accounting vary, but in general, have succeeded

1
International Public Sector Accounting Standards No. 1 - Presentation of Financial Statements;
Definition of Liabilities; page 29
2
Standar Akuntansi Pemerintahan Pernyataan Nomor 9 tentang Akuntansi Kewajiban; Definisi
Kewajiban halaman 2

7
8

in using accrual accounting for such future liabilities, which has made the overall
financial statements more accurate 3

Dengan penerapan akuntansi berbasis full accrual di Indonesia, diharapkan

pencatatan, pengukuran dan pengungkapan kewajiban dapat lebih akurat. Keakuratan

tersebut jelas akan berpengaruh dalam rangka mendukung kesinambungan fiskal dan

sustainability growth of economy yang ditargetkan pemerintah di atas 7%.

2. Financial Liabilities

Istilah financial liabilities tidak secara eksplisit dikenal di Indonesia.

International Public Sector Accounting Standards No. 1—Presentation of Financial

Statements tidak secara jelas menyatakan definisi financial liabilities hanya saja

disebutkan bahwa, “Guidance on the disclosure of ... financial liabilities can be found

in International Accounting Standard (IAS) No. 32 Financial Instruments: Disclosure

and Presentation”4. International Accounting Standard (IAS) No. 32 menyatakan,

A financial liability is any liability that is:


(a) a contractual obligation:
(i) to deliver cash or another financial asset to another entity; or
(ii) to exchange financial assets or financial liabilities with another entity under
conditions that are potentially unfavourable to the entity; or
(b) a contract that will or may be settled in the entity’s own equity instruments and
is:
(i) a non-derivative for which the entity is or may be obliged to deliver a variable
number of the entity’s own equity instruments; or
(ii) a derivative that will or may be settled other than by the exchange of a fixed
amount of cash or another financial asset for a fixed number of the entity’s own
equity instruments. For this purpose the entity’s own equity instruments do not
include instruments that are themselves contracts for the future receipt or delivery
of the entity’s own equity instruments. 5

3
Accrual Accounting in New Zealand and Australia : Issues and Solutions created by Mark
Champoux; Harvard Law School Federal Budget Policy for Briefing Paper No. 27; Page 14
4
International Public Sector Accounting Standards No. 1 - Presentation of Financial Statements;
Statement of Financial Position; The Current/Non-current Distinction; Paragraph 78, Page 14
9

Dari definisi tersebut dapat kita simpulkan bahwa financial liabilities merupakan

sejenis kontrak obligasi yang melibatkan kas atau nonkas, dengan atau tanpa equity

instruments, dengan atau tanpa derivative-nya. Indonesia mengenal financial

liabilities sebagai Surat Berharga Negara. Surat Berharga Negara terdiri dari Surat

Utang Negara (SUN) dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN).

Definisi SUN adalah “surat berharga yang berupa surat pengakuan utang

dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan

pokoknya oleh Negara Republik Indonesia, sesuai dengan masa berlakunya” 6. SUN

terdiri dari Surat Perbendaharaan Negara dan Obligasi Negara. Surat Perbendaharaan

Negara adalah SUN yang berjangka waktu sampai dengan 12 (dua belas) bulan

dengan pembayaran bunga secara diskonto sedangkan obligasi negara adalah SUN

yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan dengan kupon dan/atau dengan

pembayaran bunga secara diskonto.

Definisi SBSN “... atau dapat disebut Sukuk Negara, adalah surat berharga

negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian

penyertaan terhadap Aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing" 7.

Menurut UU Nomor 19 tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, SBSN

diterbitkan dalam bentuk warkat atau tanpa warkat, yang terdiri dari enam jenis akad

ijarah, mudarabah, musyarakah, istishna’, lainnya sepanjang tidak bertentangan

dengan prinsip syariah; dan kombinasi dari dua atau lebih.


5
International Accounting Standard (IAS) No. 32 Financial Instruments: Disclosure and Presentation;
Definitions; Paragraph 11, Page 45
6
UU Nomor 19 tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara; Bab I Ketentuan Umum;
halaman 4, nomor 19
7
UU Nomor 19 tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara; Bab I Ketentuan Umum;
halaman 2, nomor 1
10

Akad Ijarah merupakan akad yang satu pihak bertindak sendiri atau melalui

wakilnya menyewakan hak atas suatu aset kepada pihak lain berdasarkan harga sewa

dan periode sewa yang disepakati. Secara substansi dari sudut pandang Pemerintah,

transaksi ini dapat disamakan dengan transaksi sale and lease back (penjualan

manfaat) dimana underlying asset tetap berada dalam neraca Pemerintah dengan

reklasifikasi.

Akad mudarabah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih, yaitu

satu pihak sebagai penyedia modal dan pihak lain sebagai penyedia tenaga dan

keahlian, keuntungan dari kerjasama tersebut akan dibagi berdasarkan nisbah yang

telah disetujui sebelumnya, sedangkan kerugian yang terjadi akan ditanggung

sepenuhnya oleh pihak penyedia modal, kecuali kerugian disebabkan oleh kelalaian

penyedia tenaga dan keahlian. Secara substansi dari sudut pandang Pemerintah,

transaksi ini serupa dengan Bangun-Kelola-Serah dengan sumber pembiayaan SBSN.

Sampai masa jatuh tempo sukuk, bagi hasil Pemerintah yang dicatat sebagai

penerimaan kas dan pendapatan.

Akad istishna adalah akad jual beli aset berupa obyek pembiayaan antara para

pihak dimana spesifikasi, cara dan jangka waktu penyerahan, serta harga aset tersebut

ditentukan berdasarkan kesepakatan para pihak. Underlying asset tetap berada dalam

neraca Pemerintah.

Akad musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk

menggabungkan modal, baik dalam bentuk uang maupun bentuk lainnya, dengan

tujuan memperoleh keuntungan, yang akan dibagikan sesuai dengan nisbah yang telah

disepakati sebelumnya, sedangkan kerugian yang timbul akan ditanggung bersama


11

sesuai dengan jumlah partisipasi modal masing-masing pihak. Secara substansi dari

sudut pandang Pemerintah, transaksi ini serupa dengan partnership. Underlying asset

tetap berada dalam neraca Pemerintah. Sampai masa jatuh tempo sukuk, nisbah

Pemerintah yang dicatat sebagai penerimaan kas dan pendapatan.

3. Provisions and Contingent Liabilities

Dalam IPSAS dikenal istilah-istilah seperti Provisions dan Contingent

Liabilities. Pada dasarnya kedua hal tersebut serupa dan memiliki kemiripan satu

sama lain terutama pada karakteristik uncertain in timing. Jika dilihat dari definisinya,

“A provision is a liability of uncertain timing or amount” 8. Sedangkan,

A contingent liability is: (a) A possible obligation that arises from past events and
whose existence will be confirmed only by the occurrence or nonoccurrence of one
or more uncertain future events not wholly within the control of the entity; or (b) A
present obligation that arises from past events but is not recognized because: (i) It
is not probable that an outflow of resources embodying economic benefits or
service potential will be required to settle the obligation; or (ii) The amount of the
obligation cannot be measured with sufficient reliability. 9

Istilah contingent liabilities lebih dikhususkan bagi kewajiban yang tidak memenuhi

kriteria pengungkapan possible obligations dimana kewajiban yet to be confirmed

whether the entity has a present obligation that could lead to an outflow of resources

embodying economic benefits, or a sufficiently reliable estimate of the amount of the

obligation cannot be made (IASB 2002). Contingent liabilities adalah kewajiban yang

memiliki karakteristik uncertain existence sebagaimana dinyatakan bahwa “their

existence will be confirmed only by the occurrence or non-occurrence of one or more


8
International Public Sector Accounting Standards No. 19 - Provisions, Contingent Liabilities And
Contingent Assets; Definitions; Paragraph 18, Page 489
9
International Public Sector Accounting Standards No. 19 - Provisions, Contingent Liabilities And
Contingent Assets; Definitions; Paragraph 18, Page 488
12

uncertain future events”10. Di lain pihak, provisions dapat dikategorikan sebagai

kewajiban yang memiliki karakteristik certain existence karena tiga alasan yaitu nilai

kewajiban tersebut dapat diestimasi, kewajiban tersebur dikategorikan sebagai

present obligations dan probabilitas outflow of resources-nya.

Pengungkapan contingent liabilities yang mempunyai dampak penting,

menurut PSAP No.9 tentang Kewajiban, cukup dituangkan dalam CALK (KSAP

2004). Informasi mengenai provisions harus ditampilkan di lembar muka (on the face)

Laporan Keuangan, belum sama sekali disebutkan dalam pernyataan manapun.

4. Leasing (sewa guna usaha)

Definisi Leasing yang selanjutnya disebut dengan sewa guna usaha

sebagaimana diatur dalam IPSAS No. 13 adalah “an agreement whereby the lessor

conveys to the lessee in return for a payment or series of payments the right to use an

asset for an agreed period of time”11. Leasing diklasifikasi menjadi dua yaitu finance

dan operating lease. Sewa guna usaha dikategorikan sebagai finance lease apabila

memenuhi kriteria berikut :

a. Adanya transfer kepemilikan di akhir masa sewa guna usaha

b. Mengandung opsi pembelian murah

c. Masa sewa guna usaha mayoritas terhadap umur manfaat aktiva

d. Nilai sekarang dari jumlah pembayaran minimum secara substansi sama dengan

nilai wajar aktiva

10
International Public Sector Accounting Standards No. 19 - Provisions, Contingent Liabilities And
Contingent Assets; Relationship between Provisions and Contingent Liabilities; Par. 20, Page 490
11
International Public Sector Accounting Standards No. 13 – Leases; Definitions; Par. 7, Page 291,
13

e. Sifat barang spesifik sehingga hanya lessee yang dapat menggunakan tanpa harus

memodifikasi

f. Barang sulit untuk digantikan

g. Lessee menanggung resiko kerugian apabila terjadi pembatalan

h. Lessee menanggung resiko kerugian apabila penurunan nilai wajar

i. Lessee memiliki opsi untuk memperpanjang masa sewa guna usaha pada tingkat

harga lebih rendah dari harga pasar (IASB 2001)

Jika suatu transaksi sewa guna usaha tidak memenuhi klasifikasi di atas, maka

transaksi tersebut diklasifikasi sebagai operating lease.

5. Non-budgetary Spending

Unsur kewajiban terakhir adalah kewajiban yang muncul dari non-budgetary

spending. Pada dasarnya, berdasarkan UU Perbendaharaan Negara, “Setiap pejabat

dilarang melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran atas beban APBN/APBD

jika anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut tidak tersedia atau tidak cukup

tersedia”12. Sedangkan dalam International Public Sector Accounting Standard -

Presentation of Budget Information in Financial Statements menyebutkan the excess

of actual expenditure over the final budget has to be disclosured with an explanation

of material differences with the conjunction to related documents (IASB 2006).

Pengecualian atas perlakuan non-budgetary spending diatur dalam UU Keuangan

Negara yang menyatakan bahwa “Dalam keadaan darurat Pemerintah dapat

melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan

dalam rancangan perubahan APBN dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi


12
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendahaaraan Negara; Bab I
Ketentuan Umum; Bagian III Asas Umum; Pasal 3 ayat 3
14

Anggaran”13. Dengan demikian, pelaksanaan non-budgetary spending di Indonesia,

diperbolehkan dengan restriksi tertentu.

B. Pengembangan Hipotesis

Setelah melakukan literature survey atas data sekunder yang terkait, hipotesis

yang dikemukakan dalam karya ilmiah ini dirumuskan sebagai berikut “Unsur-unsur

kewajiban seperti financial liabilities; provisions and contingent liabilities; leasing;

serta kewajiban yang berasal dari non-budgetary spending; perlu diatur lebih lanjut

dalam PSAP berbasis full accrual.”

13
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; Bab VII
Pelaksanaan APBN dan APBD; Pasal 27 ayat 4. Pengaturan untuk melakukan pengeluaran yang
belum tersedia anggaran (non-budgetary spending) dalam keadaan darurat bagi Pemerintah Daerah
diatur dalam Pasal 28 ayat 4.
BAB III

METODE RISET

Metode dalam penulisan karya tulis ini adalah studi pustaka terkait bagaimana

penerapan international best practice akuntansi sektor publik, kondisi akuntansi

kewajiban di Indonesia dan kemungkinan implementasi dalam basis full accrual.

Secara umum penelitian ini melalui tahap-tahap sebagai berikut:

1. Mendefinisikan dan merumuskan masalah yang dihadapi

2. Studi pustaka untuk memperoleh teori yang relevan dengan permasalahan sebagai

acuan.

3. Merumuskan hipotesis yang akan diuji.

4. Mengumpulkan data sekunder yang diperlukan dalam pengujian

5. Menganalisis data sesuai dengan tujuan dan manfaat penelitian

6. Menginterprestasikan hasil analisis data dan mengambil kesimpulan

7. Membuat laporan akhir hasil penelitian

15
BAB IV

ANALISIS DATA

Harmonisasi regulasi sebagai konsekuensi pergeseran basis akuntansi

Pemerintahan dari cash toward accrual menjadi full accrual ditujukan untuk

memberikan informasi yang relevan dan andal kepada masyarakat mengenai posisi

keuangan Pemerintahan yang tercermin dalam lembar muka (on the face) laporan

keuangan. KSAP menerapkan strategi campuran dengan menjadikan IPSAS sebagai

referensi utama serta mengaitkan penerapan international best practice dengan

mempertimbangkan praktek-praktek yang berlaku, administrasi pemerintahan dan

sumber daya manusia Indonesia. Dalam rangka pembuktian hipotesis, karya ilmiah ini

akan melakukan analisis keempat unsur kewajiban yang dikemukakan sejak awal

yaitu financial liabilities; provisions and contingent liabilities; leasing; serta

kewajiban yang berasal dari non-budgetary spending; menggunakan pendekatan

campuran seperti praktek yang dilakukan KSAP. Pembahasan berurut dari segi

materialitas porsi kewajiban dalam Laporan Keuangan.

A. Financial liabilities

Dari definisi yang dijabarkan dalam International Accounting Standard (IAS)

No. 32, dapat disimpulkan bahwa financial liabilities merupakan sejenis kontrak

16
17

obligasi dimana “entity does not have an unconditional right to avoid delivering cash

or another financial asset”14. Sejenis kontrak obligasi yang dimaksud dalam

pengertian IAS No. 32 diatas, yang dimiliki pemerintah Indonesia menurut UU

Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, adalah Surat Berharga

Negara (SBN). Surat Berharga Negara secara garis besar terdiri dari Surat Utang

Negara (SUN) dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN).

Dasar hukum pelaporan keuangan menurut Kerangka Konseptual Akuntansi

Pemerintahan adalah peraturan perundang-undangan. Pelaporan instrumen keuangan

seperti SUN dan SBSN dalam laporan keuangan didasari oleh UU Nomor 19 Tahun

2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara. Tata cara pelaporan, baik pengukuran

dan pengungkapan, secara teknis akan diatur oleh KSAP dalam pernyataan yang

dikeluarkannya. Berdasarkan proyeksi dan berbagai langkah kebijakan, sebagian

besar defisit dalam APBN Tahun Anggaran 2010, akan dibiayai dari SBN sejumlah

104,4315 triliun rupiah. Jumlah tersebut merupakan 10% dari porsi APBN. Komposisi

jumlah dan jenis instrumen SBN yang akan diterbitkan, pembayaran pokok, dan

pembelian kembali SBN, akan diatur lebih lanjut oleh Pemerintah dengan

mempertimbangkan situasi yang berkembang di pasar, sampai dengan target neto

pembiayaan SBN tercapai. Besarnya jumlah SBN yang akan dikeluarkan pemerintah

untuk menutup defisit anggaran, meningkatkan kebutuhan akan adanya tata cara

pelaporan teknis Surat Berharga Negara sebagai bentuk financial liabilities. Atas dua

14
International Accounting Standard (IAS) No. 32 Financial Instruments: Disclosure and
Presentation; Definitions; Paragraph 19, Paragraph 19, page 17
15
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2009 tentang Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara Tahun Anggaran 2010; Penjelasan Pasal 22 ayat 3 nomor 1, halaman 22
18

alasan yaitu kebutuhan pengaturan teknis pelaporan dan besarnya rupiah yang terkait

dengan instrumen keuangan ini, KSAP sudah seharusnya mengatur lebih lanjut

financial liabilities dalam PSAP berbasis full accrual.

Secara umum, SUN telah diatur dalam PSAP No. 9 tentang Kewajiban. Dalam

pernyataan tersebut, SUN dapat diklasifikasikan menjadi kewajiban jangka pendek

(Surat Perbendaharaan Negara) atau kewajiban jangka panjang (Obligasi Negara).

Selain definisi dan klasifikasi, diatur pula masalah measurement dan recognition.

PSAP No.9 menyatakan bahwa pemerintah wajib mencatat nilai SUN sebesar nilai

pari (original face value) dengan memperhitungkan diskonto atau premium yang

belum diamortisasi; serta penyesuaian yang diperlukan setelah tanggal penerbitan

(perubahan selain perubahan nilai pasar, seperti perubahan kurs valuta asing).

Pencatatan kewajiban atas SUN dilakukan dan diakui saat penerbitan. Karena

kemungkinan SUN dapat terjual lebih tinggi atau lebih rendah dari nilai pari,

kelebihan atau kekurangan tersebut, menurut pernyataan ini, harus diamortisasi

sepanjang umur obligasi dengan menggunakan metode garis lurus (atau effective

interest method). Metode amortisasi ini berbeda dengan alternatif yang ditawarkan

dalam PSAK No. 50 maupun IAS No. 32 yang sama-sama mengatur masalah

instrumen keuangan, tentang pencatatan fair value dengan penyesuaian setiap tanggal

pelaporan selain amortized cost. Dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya PSAP No.

9 tentang Kewajiban telah cukup mengakomodir kebutuhan pencatatan SUN sebagai

financial liabilities.

Perbedaan yang mendasari SUN dan SBSN adalah prinsip. SUN adalah

obligasi konvensional dengan bunga. SBSN adalah obligasi syariah dengan bagi hasil
19

(nisbah). Perbedaan prinsip ini yang kemudian akan mempertajam perbedaan

karakteristik dan transaksi yang terkait. Salah satu perbedaannya : SUN terbagi

menjadi beberapa jenis berdasarkan rate dan denominasi; SBSN diklasifikasi

berdasarkan akad-akadnya. Ada empat akad SBSN yaitu ijarah, mudarabah, ishtisna’

dan musyarakah. Selanjutnya, karena belum ada peraturan khusus yang

comprehensive mengenai SBSN, pembahasannya akan dibagi berdasarkan akad-akad

yang membedakan perlakuan dan pencatatannya, tidak hanya yang terkait dengan

unsur kewajiban.

Terdapat dua seri SBSN senilai 4,7 triliun rupiah yang telah diterbitkan pada

akhir tahun 2008 yaitu “IFR0001 dan IFR0002 dengan masa jatuh tempo masing-

masing tahun 2015 dan 2018 dengan tingkat imbalan 11,8% dan 11,95%” (BPK

2009). Dua seri SBSN ini menggunakan akad ijarah sejenis sale and lease back.

Dimana pemerintah seolah-olah menjual underlying asset yang dimilikinya untuk

mendapatkan pembiayaan dalam rangka menutup defisit APBN; kemudian seolah-

olah menyewa kembali underlying asset tersebut dengan jumlah tertentu untuk

membayar “bunga” atau kupon bagi hasil berdasarkan kesepakatan. Transaksi sale

and lease back yang terjadi melibatkan Special Purpose Vehicle (SPV) atau Wali

Amanat. Dalam transaksi ini, “sifat pemindahtanganan dimaksud, antara lain: (i)

penjualan dan/atau penyewaan dilakukan hanya atas Hak Manfaat Barang Milik

Negara; (ii) tidak terjadi pemindahan hak kepemilikan (legal title) Barang Milik

Negara; dan (iii) tidak dilakukan pengalihan fisik Barang Milik Negara sehingga tidak
20

mengganggu penyelenggaraan tugas Pemerintahan”16. Sehingga underlying asset tetap

berada dalam neraca Pemerintah.

Sekiranya dapat dilakukan dalam hal pengukuran dan pengungkapan akad

SBSN ijarah, hanyalah mengidentifikasi transaksi sale and lease back sejenis. Hal-hal

yang perlu diatur adalah masalah pengungkapan barang milik negara di neraca,

kemungkinan adjustment nilai underlying assets, dan pencatatan kewajiban yang

terkait di setiap transaksi dalam akad ini. Pengungkapan barang milik negara di

neraca yang dijadikan underlying asset, apakah harus direklasifikasi ke aset lain-lain

ataukah di-offset ke SBSN dengan mempertimbangkan hubungan financial asset dan

financial liability, atau tidak berubah sama sekali namun memberikan tambahan

informasi di CALK sebagai aset yang dijaminkan. Basis akuntansi full accrual

menginginkan pencatatan suatu akun harus dapat menunjukkan nilai yang sebenarnya,

mungkinkah adjustment underlying asset dilakukan dengan depresiasi, atau karena

nilai barang milik negara berupa tanah atau bangunan yang dijaminkan tersebut

disebutkan dalam dokumen SBSN, sehingga tidak perlu dilakukan penyesuaian sama

sekali (karena penyesuaian hanya akan mengubah nilai). PSAP maupun Buletin

Teknis Penyusutan belum mengakomodir hal ini. Pencatatan kewajiban dalam tiap

tahap transaksi, seperti jual-beli, sewa, pembayaran kupon dan jatuh tempo, belum

diatur. Timing pencatatan kewajiban atas SBSN belum diatur dalam undang-undang,

secara teknis administrastif apakah dapat disamakan dengan SUN atau justru

dibedakan, mengingat adanya perbedaan prinsip. Pencatatan transaksi penjualan

barang milik negara berupa tanah atau bangunan dapatkah disamakan dengan
16
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2009 Tentang Surat Berharga Syariah
Negara; Penjelasan Pasal 11 ayat 1, halaman 8
21

transaksi jual-beli yang biasa dilakukan pemerintah atau adanya hal-hal lain yang

membedakan, mengingat jual-beli yang terjadi hanyalah atas hak manfaat bukan hak

kepemilikan, begitu pun halnya dengan transaksi sewa. Timing pencatatan kewajiban

atas pembayaran kupon SBSN dapat dilakukan oleh pemerintah, awal tahun anggaran

ataukah adanya penentuan saat-saat tertentu. Terakhir, transaksi jatuh tempo, apa

yang seharusnya dicatat atas transaksi seolah-olah menjual kembali barang milik

negara dari SPV ke pemerintah. Ketiga hal tersebut, jelas memerlukan pengaturan

lebih jelas dalam suatu PSAP berbasis accrual.

Secara substansi dari sudut pandang Pemerintah, akad mudarabah serupa

dengan Bangun-Kelola-Serah dengan sumber pembiayaan SBSN yang menghasilkan

keuntungan untuk dibagihasilkan atas porsi tertentu yang telah disepakati. Kerugian

yang diderita terjadi sepanjang masa akad akan ditanggung sepenuhnya oleh pihak

penyedia modal, kecuali kerugian disebabkan oleh kelalaian Pemerintah. Dalam akad

ini, SPV dan Pemerintah bersepakat membangun sebuah proyek yang kemudian

sekaligus dijadikan underlying asset. SPV menerbitkan SBSN untuk membiayai

proyek tersebut. Setelah selesainya proyek sampai masa jatuh tempo SBSN, SPV

melakukan pengelolaan dan hasilnya dibagi dengan pemegang SBSN dan pemerintah

sesuai akad yang telah disepakati. Setelah jangka waktu SBSN berakhir, maka hasil

proyek diserahkan kepada pemerintah untuk dilunasi sebesar pokok SBSN.

Hal-hal yang terkait pengukuran dan pengungkapan dalam akad ini meliputi

transaksi perjanjian kerjasama, bagi hasil pengelolaan dan jatuh tempo. Ketika

penandatanganan perjanjian kerjasama dilakukan antara Pemerintah dengan SPV

maka pemerintah dapat mengakuinya nilai pokok SBSN sebagai kewajiban dan aset
22

sekaligus. Sebagai kewajiban karena pemerintah memiliki kewajiban untuk membeli

aset tersebut dari SPV ketika waktu untuk penebusan SBSN tiba. Sebagai aset karena

kemungkinan besar sudah terdapat potensi manfaat ekonomi di masa datang sebagai

hasil dari perjanjian ini. Aset yang dicatatkan di awal ini, juga berfungsi sebagai

underlying asset yang terintegrasi secara langsung dalam proyek yang sedang

berjalan. Pengakuan aset ini dapat dicatat sebagai aset in nature, aset lain-lain ataukah

di-offset ke SBSN dengan mempertimbangkan hubungan financial asset dan financial

liability. Penilaian aset yang terintegrasi dalam proyek ini, dalam akuntansi berbasis

full accrual, perlu diakui depresiasi dalam neraca pemerintah, neraca SPV atau tidak

samasekali. Pengaturan masalah timing dan valuation pencatatan bagi hasil yang akan

diterima oleh pemerintah menjadi poin yang cukup crucial dalam akuntansi berbasis

full accrual. Penerimaan bagi hasil pengelolaan sudah semestinya dicatat sebagai

penerimaan kas dan pendapatan, sama seperti bagi hasil proyek lainnya yang

termasuk Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Alternatif pengungkapannya

dalam Laporan Realisasi Anggaran diklasifikasikan dalam PNBP Lainnya atau justru

ada pertimbangan lain. Pada saat jatuh tempo, Pemerintah akan mencatatkan

pengurangan kewajiban dan menyerahkan uang kepada SPV untuk kemudian

digunakan untuk menebus SBSN serta melakukan atau tidak melakukan reklasifikasi

aset yang sebelumnya dicatat menjadi proyek yang diserahkan.

Akad istishna’ serupa dengan jual beli aset. Pemerintah yang berada dalam

kondisi keterbatasan dana, ingin memiliki sejumlah aset dalam rangka melaksanakan

tupoksi pelayanan umum. Pemerintah melakukan perjanjian serupa jual beli dengan

SPV. SPV untuk pembelian sejumlah aset tersebut dengan menggunakan dana SBSN
23

yang diterbitkannya untuk dijual kembali ke Pemerintah dalam rangka melaksanakan

tupoksi pelayanan umum. Pembayaran atas penjualan aset tersebut akan dibayar

Pemerintah sampai jangka waktu yang ditentukan dalam masa akad SBSN ishtisna’.

Hal-hal yang terkait pengukuran dan pengungkapan dalam akad ini meliputi

transaksi perjanjian jual beli dan jatuh tempo. Ketika penandatanganan perjanjian jual

beli dilakukan antara Pemerintah dengan SPV maka pemerintah dapat mengakuinya

nilai pokok SBSN sebagai kewajiban dan aset sekaligus, sama seperti dalam akad

mudarabah. Sebagai kewajiban karena pemerintah memiliki kewajiban untuk

membayar utang penjualan aset oleh SPV ketika masa jatuh tempo SBSN ishtisna’.

Sebagai aset karena transaksi jual beli sejumlah aset untuk melaksanakan tupoksi

pemerintah. Aset yang dicatatkan di awal ini, juga berfungsi sebagai underlying asset.

Pengakuan aset ini dapat dicatat sebagai aset in nature, aset lain-lain ataukah di-offset

ke SBSN dengan mempertimbangkan hubungan financial asset dan financial liability.

Penilaian aset yang terintegrasi dalam proyek ini, dalam akuntansi berbasis full

accrual, perlu diakui depresiasi dalam neraca pemerintah atau tidak samasekali. Pada

saat jatuh tempo, Pemerintah akan mencatatkan pengurangan kewajiban dan

menyerahkan uang kepada SPV sebagai pembayaran atas pembelian di awal masa

perjanjian untuk menebus SBSN serta melakukan reklasifikasi jika dibutuhkan sesuai

dengan pencatatan terdahulu.

Kerjasama Public Private Partnership dalam istilah syariah dikenal dengan

akad musyarakah. Kerjasama ini bertujuan memperoleh keuntungan sesuai dengan

nisbah yang telah disepakati sebelumnya, sedangkan kerugian yang timbul akan

ditanggung bersama sesuai dengan jumlah partisipasi modal masing-masing pihak.


24

Pemerintah membentuk musyarakah dengan SPV dimana pemerintah menyerahkan

tanah atau aset lainnya sementara SPV menyerahkan uang yang didapat dari

penerbitan SBSN. Tanah atau aset lainnya yang diserahkan ini berfungsi juga sebagai

underlying asset bagi penerbitan SBSN. Kerjasama musyarakah menunjuk

pemerintah untuk melaksanakan pembangunan aset baru dengan dana yang didapat

dari SPV. Pengelolaan aset setelah selesai dibangun dilakukan oleh musyarakah untuk

mendapatkan keuntungan. Hasil keuntungan tadi kemudian dibagihasilkan dengan

porsi tertentu yang telah disepakati kepada SPV, pemegang SBSN dan pemerintah.

Pemerintah sesuai dengan akad akan membeli penyertaan modal SPV pada

Musyarakah sesuai dengan harga yang sudah disepakati pada awal akad, hasilnya

akan digunakan oleh SPV untuk menebus SBSN.

Hal-hal yang terkait pengukuran dan pengungkapan dalam akad ini meliputi

penyertaan modal musyarakah, bagi hasil pengelolaan dan pembelian penyertaan

modal SPV. Penyertaan modal pemerintah dalam musyarakah berupa barang milik

negara baik tanah dan/atau bangunan secara tidak langsung menjadi underlying asset

SBSN yang diterbitkan. Dalam penyerahan barang milik negara sebagai underlying

asset ini, pencatatan yang dilakukan pemerintah atas neracanya harus menunjukkan

adanya penghapusan sejumlah penyertaan modal, reklasifikasi menjadi aset lain-lain

atau cukup hanya memberikan informasi tambahan di dalam CALK atas aset yang

diikutkan dalam penyertaan modal. Pencatatan aset ini juga akan terkait dengan

kebijakan depresiasinya. Pengaturan masalah timing dan valuation pencatatan bagi

hasil yang akan diterima oleh pemerintah menjadi poin yang cukup crucial dalam

akuntansi berbasis full accrual. Penerimaan bagi hasil pengelolaan sudah semestinya
25

dicatat sebagai penerimaan kas dan pendapatan, sama seperti bagi hasil proyek

lainnya yang termasuk Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Alternatif

pengungkapannya dalam Laporan Realisasi Anggaran diklasifikasikan dalam PNBP

Lainnya atau justru ada pertimbangan lain. Pada saat jatuh tempo, Pemerintah akan

membeli penyertaan modal SPV sejumlah pokok pelunasan SBSN dengan tujuan

memiliki seluruh proyek hasil musyarakah. Pemerintah mencatatkan pertambahan

aset musyarakah dan pengurangan sejumlah kas sebesar pokok SBSN. Hal-hal ini

sama sekali belum diatur.

Penyajian utang pemerintah dalam instrumen keuangan Surat Berharga Negara

di neraca dapat diklasifikasikan menjadi kewajiban jangka pendek lainnya atau

kewajiban jangka panjang lainnya. Utang pemerintah tersebut pun harus diungkapkan

secara rinci dalam bentuk daftar skedul utang untuk memberikan informasi yang lebih

baik mengenai kewajiban pemerintah. Pengungkapan SUN dapat dilakukan dengan

baik karena telah adanya pernyataan yang cukup mengakomodir yaitu PSAP No. 9

tentang Kewajiban. Pengungkapan SBSN (atau Sukuk) dengan keempat akadnya,

sama sekali belum diatur baik dalam Sistem Akuntansi Pemerintahan (maupun Sistem

Akuntasi Keuangan). Setelah analisis di atas, penulis menyarankan untuk mengatur

SBSN (dengan atau tanpa disatukan dengan SUN) dalam sebuah pernyataan khusus

dalam Sistem Akuntansi Pemerintahan (SAP). Dengan adanya PSAP tersendiri untuk

instrumen keuangan financial liabilities ini, Standar Akuntansi Keuangan (SAK)

memiliki pedoman untuk mengadopsinya sebagai pernyataan.

B. Provisions and Contingent Liabilities


26

Provisions dan Contingent Liabilities dapat dikategorikan sebagai kejadian

uncertain in timing. Contingent Liabilities bukan hal baru di Indonesia, telah diatur

pengungkapannya dalam CALK akibat karakteristik yang melekat yaitu “tidak

terdapat kemungkinan besar (not probable) suatu entitas mengeluarkan sumber daya

yang mengandung manfaat ekonomis untuk menyelesaikan kewajibannya atau jumlah

kewajiban tersebut tidak dapat diukur secara andal”17. Sedangkan menurut IPSAS No.

19 pengungkapan provisions dalam lembar muka (on the face) Laporan Keuangan

sama sekali belum diatur di Indonesia (IASB 2002). Provisions dapat diklasifikasi

sebagai current atau non-current liabilities (IASB 2000). Kriteria provisions:

a. Adanya present obligation yang disebabkan oleh past obligating event baik

enforced by law, constructive obligation seperti unlawful environmental

damage imposed by legislation maupun onerous contract (kontrak dimana

unavoidable costs of meeting the obligations under the contract exceed the

economic benefits or service potential expected to be received).

b. Tingginya probabilitas keterjadian yang memungkinkan aliran keluar

resources.

c. Dapat diestimasinya nilainya kewajiban dengan mempertimbangkan a range

of possible outcomes. Nilai provisions dapat di-present value-kan dengan

mempertimbangkan time value of money, dapat disesuaikan setiap tanggal

pelaporan (kenaikan nilai diakui sebagai interest expense), atau bahkan

dihapuskan ketika hilangnya unsur kepastian probabilitas.

17
Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan No. 9 tentang Kewajiban; Definisi; Paragraf 5,
halaman 2
27

Jika ketiga kriteria ini tidak dipenuhi, maka suatu kejadian digolongkan sebagai

contingent liabilities (IASB 2002).

Ada beberapa kejadian di Indonesia yang diungkap dalam CALK sebagai

contingent liabilities yaitu jaminan Pemerintah terhadap pembayaran kewajiban PT

Perusahaan Listrik Negara (PLN) kepada kreditur yang menyediakan pendanaan

kredit untuk pembangunan tenaga listrik; jaminan pembangunan Proyek Monorail

Jakarta; jaminan resiko land capping atas Proyek Pembangunan Jalan Tol yang

mendapat dukungan Pemerintah; jaminan legalitas resiko tuntutan investor terkait

pembangunan infrastuktur pada BUMN yang didirikan Pemerintah (PT. Penjaminan

Infrastruktur Indonesia dan PT. Sarana Multi Infrastruktur) sebagai instrumen

keuangan pendukung program Kerjasama Pemerintah Swasta pada 30 Desember

2009; tuntutan hukum kepada Pemerintah dalam sengketa yang terkait dengan

kegiatan BPPN; serta intervensi Pemerintah apabila perbankan mengalami

kebangkrutan belum diungkapkan dalam LKPP. Selanjutnya akan kita analisis

probabilitas urgensi pengaturan akuntansi provisions dalam PSAP berbasis full

accrual.

Kita akan menganalisis kejadian yang paling material diantara keenam

kejadian yang diungkap sebagai kontijensi di CALK yaitu penjaminan Pemerintah

terhadap pembayaran kewajiban PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) kepada kreditur

yang menyediakan pendanaan kredit untuk pembangunan tenaga listrik. Analisis yang

dilakukan adalah menentukan apakah kejadian tersebut memenuhi kriteria sebagai

provisions untuk diungkap dalam lembar muka (on the face) Laporan Keuangan.

Analisis pendekatan kriteria, sebagai berikut :


28

a. Adanya present obligation yang disebabkan oleh past obligating event

Enforced by law dengan dikeluarkannya PP No. 86 Tahun 2006 tentang

Pemberian Jaminan Pemerintah untuk Percepatan Pembangunan Pembangkit

Tenaga Listrik yang Menggunakan Batubara; Peraturan Presiden Nomor 91

Tahun 2007; PMK No 44/PMK.01/2008 tentang Persyaratan dan Pelaksanaan

Pemberian Pinjaman Pemerintah untuk Percepatan Pembangunan Pembangkit

Tenaga Listrik yang Menggunakan Batubara, Pemerintah wajib memberikan

jaminan terhadap pembayaran kewajiban PT PLN kepada kreditur yang

menyediakan pendanaan kredit untuk pembangunan pembangkit listrik yang

menggunakan batubara. Onerous contract akibat kebijakan Pemerintah terkait

harga jual tenaga listrik; kebijakan subsidi listrik dalam rangka kompensasi

fungsi kemanfaatan umum; kebijakan yang mempengaruhi pasokan dan harga

batubara; dan kebijakan yang menghentikan atau menunda pelaksanaan

pembangunan proyek yang telah berjalan.

b. Tingginya probabilitas keterjadian yang memungkinkan aliran keluar

resources

Berdasarkan data laporan keuangan PT PLN 2004-2008 serta proyeksi laporan

keuangan 2009, hasil pengukuran probabilitas default18 PLN dengan

pendekatan Altman Model19 menghasilkan Z-Score Altman sebesar 127,36%

18
Kegagalan untuk memenuhi kewajiban berdasarkan perjanjian menurut Daftar Istilah
Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) / Sukuk Negara
19
Altman Model atau lebih dikenal dengan “Z-score formula for predicting bankruptcy” diperkenalkan
oleh Edward I. Altman pada tahun 1968. Formula ini digunakan dalam studi akademis untuk
memprediksi probabilitas bahwa sebuah perusahaan akan mengalami kebangkrutan dalam jangka
waktu 2 tahun.
29

dan pendekatan Springate Model20 menghasilkan Z-Score Springate sebesar

0,139 (dibawah ambang batas 0,862) dengan kata lain, berada dalam posisi

bangkrut (STAN 2009). Posisi kebangkrutan ini jelas mengindikasikan tidak

mampunya PLN membayar kewajiban yang menyebabkan tingginya

probabilitas keterjadian yang memungkinkan aliran keluar resources oleh

pemerintah sebagai penjamin.

c. Dapat diestimasinya nilainya kewajiban

Nilai kewajiban Pemerintah sejumlah total pendanaan proyek 10.000MW baik

bunga maupun pokok yang tidak mampu dibayar PLN. Jumlah pokok utang

yang sudah pasti dan yang masih dalam proses dapat direalisasikan pada tahun

2009 sekitar 84,5 trilyun rupiah21. Pembayaran bunga utang pada tahun 2009

diperkirakan sebesar Rp 3,39 trilyun.

Atas ketiga kriteria, kejadian ini dapat diklasifikasi sebagai provisions baik current

(bunga) maupun noncurrent liabilities (pokok). Selain pengaturan contingent

liabilities yang sudah disinggung dalam Standar Akuntansi Pemerintahan Pernyataan

No. 04 tentang Catatan Atas Laporan Keuangan dan Standar Akuntansi Pemerintahan

Pernyataan No. 09 tentang Akuntansi Kewajiban, pengaturan tentang provisions

sebaiknya segera diperjelas mengingat probabilitas keterjadian dan materialitas

jumlah kewajiban atas salah satu dari beberapa kejadian yang mungkin. Belum lagi,

PSAP No. 9 menyatakan bahwa Akuntansi Kewajiban Diestimasi (disinyalir sebagai


20
Model ini dikembangkan oleh Gordon L.V. Springate pada tahun 1978 dengan menggunakan basis
yang sama sebagaimana dikembangkan Altman sebelumnya yaitu memakai multiple discriminant
analysis (MDA)
21
Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (audited); Catatan Atas Laporan Keuangan; Catatan Penting
Lainnya. Poin 6 Kewajiban Kontijensi bagian Jaminan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik
yang Menggunanakan Batu Bara
30

provisions) dan Kewajiban Kontinjensi tidak diatur dalam pernyataan ini sehingga

dibutuhkan pernyataan lain yang mengaturnya. Pengaturan mengenai Provisions and

Contingent Liabilities dapat dibuatkan bagian khusus dalam PSAP berbasis full

accrual dengan mengadopsi IPSAS No. 19—Provisions, Contingent Liabilities and

Contingent Assets.

C. Leasing (sewa guna usaha)

Secara umum, leasing hampir serupa dengan sewa (khususnya operating

lease) dengan atau tanpa hak opsi (hak beli) di akhir masa perjanjian. Dalam

pembahasan ini, kita akan menganalisis masalah melalui perspektif Pemerintah

sebagai lessee. Dalam IPSAS No. 13 tentang Lease dinyatakan bahwa Pemerintah

dalam sebuah perjanjian finance lease, mencatat aset yang terlibat dalam finance

leases (beserta depresiasinya tiap tahun anggaran secara konsisten); associated lease

obligations (future lease payment) sebagai kewajiban (sebesar fair value atau sebesar

present value of the minimum lease payments). Dalam menghitung present value jika

memungkinkan dapat digunakan interest rate implicit in the lease atau cukup

menggunkan lessee’s incremental borrowing rate (IASB 2001). Dalam IPSAS No. 13

dinyatakan bahwa Pemerintah dalam sebuah perjanjian operating lease, Pemerintah

harus mengungkap total of future minimum lease payments tanpa mencatat aset yang

terlibat dalam perjanjian lease (IASB 2001).

Saat ini, leasing di Pemerintah Indonesia belum menjadi common policy.

Namun jika kita analisis lebih dalam dan mengaitkannya dengan asset strategy yang

sedang dirumuskan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN), probabilitas

penerapan leasing untuk beberapa tahun ke depan bisa jadi menjadi alternatif yang
31

menjanjikan. Dalam menyusun asset management policy-nya, DJKN menjadikan

Total Asset Management manual kepunyaan New South Wales dalam perumusannya.

Asset Strategy diarahkan menuju five fundamental service delivery characteristics22

yaitu :

a. Asset/Service Dependency, pelayanan umum diarahkan ke solusi non aset jika

perlu mengubah strategi pelayanan.

b. Asset Utilisation, memanfaatkan idle aset seoptimal mungkin dengan

memperhatikan surplus capacity dari pencatatan barang milik negara.

c. Asset Location, pemilihan lokasi dan relokasi yang tepat dengan prinsip cost

and benefit.

d. Asset Capacity, perencanaan aset yang cukup bagi pelayanan umum dengan

melakukan penambahan atau hanya repackaging.

e. Asset Functionality, retrofitting, refurbishing, upgrading aset yang sudah ada

untuk meningkatkan fungsinya.

Karakteristik pertama menghendaki diaturnya kebijakan service delivery dengan non-

asset or less asset-intensive solutions seperti cross-agency asset sharing, and/or

cross-agency service offsetting; dan non-build options. Kebijakan cross-agency asset

sharing, and/or cross-agency service offsetting dapat berbentuk joint use of IT

systems, administrative functions or accommodation spaces (conference). Kebijakan

non-build options dapat dilakukan melalui information management and technology

solutions, contracting out, leasing (GAMC 2003).

22
Total Asset Management Manual; Asset Strategy; Asset Strategy development; The Framework,
Page 4
32

Praktek non-build options yang ada di Indonesia selama ini terbatas pada sewa

gedung dan/atau bangunan. Berbeda dengan sewa biasa, operating lease dapat

diarahkan dengan mengalihkan sebagian resiko pada lessor. Pengalihan sebagian

resiko ini sejalan dengan manajemen resiko barang milik negara yang coba

diintegrasikan di setiap kebijakan asset strategy. Atas alasan tersebut, sepertinya

kebijakan non-build options selain sharing dan joint use akan mengarah ke leasing.

Probabilitas implementasi leasing di Pemerintah Indonesia yang menjadi semakin

nyata, mengingatkan setiap policy yang ditetapkan pemerintah saat ini memang

mewajibkan pengintegrasiannya dengan manajemen resiko. Kemungkinan ini

membutuhkan antisipasi pengaturan pencatatan akuntansi baik berbasis cash towards

accrual maupun full accrual. Penulis menganalisis, tidak seperti dua unsur

sebelumnya yaitu financial liabilities dan provision and contingent liabilities yang

perlu diatur karena bersifat material karena jumlah nominalnya, leasing ini disinyalir

bersifat material karena kemungkinan jumlah keterjadiannya. Atas pertimbangan

tersebut, agar unsur kewajiban ini tidak menjadi grey area di kemudian hari,

sebaiknya akuntansi leasing diatur dalam PSAP berbasis full accrual. Poin-poin yang

sebaiknya diatur dapat mengadopsi IPSAS No. 13 tentang Leases.

D. Non-budgetary Spending

Pada dasarnya setiap transaksi yang mengakibatkan aliran-keluar (outflow)

sumber daya di masa yang akan datang diklasifikasi sebagai kewajiban. Oleh karena

itu, seharusnya semua transaksi baik yang telah dianggarkan maupun tidak, jika di

kemudian hari menimbulkan outflow sumber daya, dicatat sebagai kewajiban.

International Public Sector Accounting Standard - Presentation of Budget


33

Information in Financial Statements hanya menyatakan non-budgetary spending yang

berasal dari excess of actual expenditure over the final budget. Kelebihan belanja

tersebut harus disertakan penjelasan yang masuk akal (IASB 2006).

Berdasarkan UU Perbendaharaan Negara, “Setiap pejabat dilarang melakukan

tindakan yang berakibat pengeluaran atas beban APBN/APBD jika anggaran untuk

membiayai pengeluaran tersebut tidak tersedia atau tidak cukup tersedia” 23. Namun

dalam keadaan darurat Pemerintah diperbolehkan melakukan non-budgetary

spending, dengan prosedur mengajukan usulan rancangan perubahan APBN dan/atau

disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran atas pengeluaran yang telah

dilakukan (DPR RI 2003). Pada dasarnya, non-budgetary spending diperbolehkan

dengan restriksi tertentu. Restriksi yang mungkin (akumulatif) yaitu:

a. Kriteria non-budgetary spending yang diperbolehkan menurut UU APBN(D)

UU APBN(D) setiap Tahun Anggaran merupakan “dasar bagi Pemerintah

Pusat untuk melakukan penerimaan dan pengeluaran negara” 24. UU APBN(D)

setiap Tahun Anggaran menetapkan akun-akun yang diperbolehkan untuk

non-budgetary spending.

b. Mendapat persetujuan DPR(D)

Jika keadaan tertentu yang menyebabkan terjadi transaksi non-budgetary

spending di semester pertama tahun anggaran, Pengguna Anggaran dapat

mengajukan rancangan perubahan anggaran yang menjadikannya on-budget.

Jika keadaan tertentu yang menyebabkan terjadi transaksi non-budgetary


23
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara; Bab I
Ketentuan Umum; Bagian III Asas Umum; Pasal 3 ayat 3
24
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara Bab I
Ketentuan Umum Bagian III Asas Umum Pasal 3 ayat 1 dan ayat 2
34

spending di semester kedua tahun anggaran, Pengguna Anggaran sudah

seharusnya mencatat belanja yang telah dilakukan sebagai kewajiban (jangka

pendek atau jangka panjang).

c. Transaksi non-budgetary spending tersebut tidak menimbulkan defisit

anggaran

Jumlah realisasi anggaran tahun berjalan ditambah transaksi non-budgetary

spending tidak akan melampaui jumlah total pagu belanja Pengguna

Anggaran.

d. Restriksi lain yang akan diatur kemudian dalam Peraturan Pemerintah

Non-budgetary spending yang pernah terjadi di Indonesia, salah satunya

tercermin dalam Laporan Hasil Pemeriksaan BPK terhadap Laporan Keuangan

Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Timur Tahun Anggaran 2007. Temuan yang

didapat mengenai belanja yang diakui di Laporan Realisasi Anggaran belum

menunjukkan nilai yang wajar dan belum mencerminkan seluruh belanja Provinsi

Kalimantan Timur. Jumlah belanja yang diakui dalam Laporan Realisasi Anggaran

berbeda dengan jumlah belanja aktual, salah satunya karena pengelolaan jasa

pelayanan kesehatan pada RSUD Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur. Belanja

yang terkait dengan jasa pelayanan kesehatan tidak dianggarkan pada RSUD

Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur, melainkan hanya belanja pegawai dan

belanja operasional umum. Belanja (dan pendapatan) yang terkait, tidak tercermin

dalam Laporan Keuangan Pemerintah Daerah, karena belum ada mekanisme

pengaturannya ini melibatkan dana sekitar seratus miliar. Temuan ini menjadi salah

satu alasan penetapan opini disclaimer pada Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
35

Propinsi Kalimantan Timur. Hal-hal semacam ini memperlihatkan adanya tarik

menarik kepentingan yang menyebabkan non-budgetary spending malahan sama

sekali tidak dibukukan. Pada kasus Rumah Sakit Daerah Kalimantan Timur, mereka

memilih tetap tidak membukukan belanja dan puas dengan opini disclaimer yang

diberikan BPK. Pada prakteknya, tidak dibukukannya non-budgetary spending dalam

mekanisme APBN(D) menjadi critical point yang dapat menyuburkan korupsi

keuangan negara (dan/atau daerah).

Pada dasarnya non-budgetary spending dapat dikategorikan sebagai kewajiban

yang timbul dari kejadian yang berkaitan dengan pemerintah (government related

events) atau kejadian yang diakui pemerintah (government-acknowledged events)25.

Dalam implementasinya, kewajiban yang timbul di akhir tahun anggaran akibat

belanja yang telah dilakukan Pemerintah, selain non-budgetary spending adalah

belanja yang belum dilakukan pembayaran karena melampaui batas pencairan dana.

Belum lagi, tingkat keterjadiannya yang kerapkali menjadi alasan opini disclaimer

yang diberikan BPK. Atas dasar tersebut, menurut penulis, seharusnya hal-hal yang

terkait transaksi non-budgetary spending diatur dengan pencatatan kewajibannya

dengan jelas dalam PSAP berbasis full accrual. Perlakuan akuntansi yang mungkin

adalah dengan menyeragamkan transaksi tersebut dengan transaksi yang

dikategorikan belum dilakukan pembayaran karena melampuai batas pencairan dana

di akhir tahun anggaran.

25
Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintah No. 9 tentang Kewajiban; Pengakuan Kewajiban;
Paragraf 22, halaman 6
BAB V

PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

A. Pembahasan Temuan

Informasi akuntansi, menurut Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintahan

harus memenuhi karakteristik kualitatif relevan26 dan andal27 untuk memenuhi tujuan

feedback dan predictive value. Untuk memenuhi hal tersebut dilakukan harmonisasi

regulasi sebagai konsekuensi pergeseran basis akuntansi full accrual yang paling

lambat akan diimplementasikan Tahun Anggara 2014. Analisis dalam karya ilmiah ini

dilakukan dengan menjadikan IPSAS sebagai referensi utama serta mengaitkan

penerapan international best practice dengan mempertimbangkan praktek-praktek

yang berlaku, administrasi pemerintahan dan sumber daya manusia Indonesia atas

empat unsur kewajiban yang menurut penulis material untuk diatur lebih lanjut dalam

PSAP berbasis full accrual yaitu financial liabilities; provisions and contingent

liabilities; leasing; serta kewajiban yang berasal dari non-budgetary spending.

26
informasi yang termuat di dalamnya dapat mempengaruhi keputusan pengguna
27
bebas dari pengertian yang menyesatkan dan kesalahan material, menyajikan setiap fakta secara
jujur, serta dapat diverifikasi.

36
37

Praktek SBN sebagai financial liabilities yang mengemuka di Indonesia

terkait dengan khususnya SBSN yang akan dijadikan alternatif utama pembiayaan.

Besarnya rupiah yang terkait dengan instrumen keuangan ini mendapat porsi 10% dari

APBN sekitar seratus triliun rupiah. Secara terpisah, sebenarnya SUN telah

diakomodir oleh PSAP No. 9 tentang Kewajiban, namun tidak dengan SBSN. SBSN

yang terdiri dari empat akad dengan keunikan masing-masing yaitu ijarah,

murabahah, ishtisna’ dan musyarakah, pada akhirnya tidak hanya melibatkan

pengaturan pencatatan atas kewajiban negara namun juga hal lain yang terkait seperti

transaksi akad dan pencatatan aset yang terlibat. Hal-hal yang perlu diatur dalam akad

ijarah (sale and lease back) adalah masalah pengungkapan barang milik negara di

neraca yang dijualsewakan; kemungkinan adjustment nilai underlying assets dengan

atau tanpa depresiasi; pencatatan kewajiban yang terkait di setiap transaksi transaksi,

seperti jual-beli, sewa, pembayaran kupon; dan jatuh tempo. Hal-hal yang perlu diatur

dalam akad mudarabah (Bangun-Kelola-Serah) terkait transaksi perjanjian kerjasama

mengakuinya nilai pokok SBSN sebagai kewajiban dan aset sekaligus (dengan atau

tanpa depresiasi); pengakuan timing dan valuation bagi hasil pengelolaan (sebelum

dan saat diterima); dan penyerahan proyek ketika SBSN jatuh tempo. Hal-hal yang

perlu diatur dalam akad istishna’ (jual beli) meliputi transaksi perjanjian jual beli dan

jatuh tempo. Hal-hal yang perlu diatur dalam akad musyarakah (Public Private

Partnership) adalah penyertaan modal; pencatatan timing dan valuation atas bagi hasil

yang probable dan earned atas pengelolaan; dan pembelian penyertaan modal SPV.

Sampai saat ini, untuk instrumen keuangan syariah seperti SBSN, belum terdapat

international best practice yang dapat dijadikan acuan pengaturan, bahkan SAK pun
38

belum mengatur pencatatan Sukuk dalam pernyataannya. Atas hasil analisis di atas,

penulis yakin bahwa financial liabilities khususnya SBSN (dengan atau tanpa SUN)

wajib diatur dalam PSAP berbasis full accrual.

Provisions dan Contingent Liabilities dipisahkan dengan tiga kriteria yaitu ada

kejadian tertentu yang memenuhi kriteria present obligation karena adanya peraturan

hukum yang mendasarinya, tingginya probabilitas keterjadian yang memungkinkan

aliran keluar resources, dan nilainya yang dapat diestimasi. Suatu kejadian yang tidak

memenuhi ketiga kriteria secara akumulatif digolongkan sebagai contingent liabilities

di CALK sampai probable untuk dilaporkan dalam lembar muka (on the face)

Laporan Keuangan. Pengaturan tentang provisions sebaiknya segera diperjelas

mengingat probabilitas keterjadian dan materialitas jumlah kewajiban yang terkait

contoh PLN saja telah melibatkan sekitar delapanpuluh triliun rupiah). Belum lagi,

PSAP No. 9 mengindikasikan akan adanya peraturan khusus mengenai Akuntansi

Kewajiban Diestimasi (disinyalir sebagai provisions) dan Kewajiban Kontinjensi.

Atas hasil analisis tersebut, penulis yakin bahwa provisions dan contingent liabilities

wajib diatur dalam PSAP berbasis full accrual dengan mengadopsi IPSAS No. 19—

Provisions, Contingent Liabilities and Contingent Assets.

Kebijakan Asset strategy yang sedang dirumuskan Direktorat Jenderal

Kekayaan Negara (DJKN) harus mengintegrasikan manajemen resiko atas barang

milik negara di dalamnya. Hal ini yang mendasari keyakinan penulis bahwa

probabilitas penerapan leasing untuk beberapa tahun ke depan bisa jadi menjadi

alternatif yang menjanjikan karena sifat pengalihan sebagian resiko merupakan salah

satu karakternya (operating lease). Tidak seperti dua unsur sebelumnya yang perlu
39

diatur karena sifat materialitas nominal rupiahnya, menurut penulis leasing disinyalir

bersifat material karena kemungkinan jumlah keterjadiannya. Atas hasil analisis

tersebut, penulis yakin bahwa untuk mengantisipasi kemungkinan masa depan atas

maraknya implementasi leasing di Indonesia, leasing wajib diatur dalam PSAP

berbasis full accrual dengan mengadopsi IPSAS No. 13 tentang Leases.

Tingkat keterjadiannya yang kerapkali menjadi alasan opini disclaimer yang

diberikan BPK salah satunya terkait dengan non-budgetary spending. Rekomendasi

BPK atas temuan yang tidak melibatkan mekanisme pelaksanaan APBN(D) itu, tidak

diikuti oleh pengguna anggaran karena adanya tarik menarik kepentingan. Pengguna

anggaran bahkan lebih memilih mendapatkan opini disclaimer dibanding

memperbaiki Laporan Keuangannya. Kejadian yang kerapkali mengemuka ini,

menurut penulis sebaiknya dilegalkan dengan restriksi dan prosedur tertentu untuk

meminimalisasi peluang grey area yang justru mungkin dapat menyuburkan tindak

pidana korupsi. Pengaturan legal keberadaan non-budgetary spending, harus segera

diikuti dengan tata cara pencatatan sesuai akuntansi yang berlaku. Atas hasil analisis

tersebut, penulis yakin bahwa untuk mengatasi keterbatasan peraturan dalam

akuntansi berbasis cash towards accrual dan minimalisasi tindak pidana korupsi,

non-budgetary spending wajib dalam PSAP berbasis full accrual dengan

penyeragaman perlakuan akuntansi atas transaksi yang dikategorikan belum dilakukan

pembayaran karena melampuai batas pencairan dana di akhir tahun anggaran.

B. Simpulan Penulisan

Setelah melewati tahap-tahap penelitian seperti mengumpulkan data sekunder

yang diperlukan dalam pengujian; menganalisis data sesuai dengan tujuan dan
40

manfaat penelitian; menginterprestasikan hasil analisis data; didapat kesimpulan

bahwa :

1. Instrumen keuangan syariah seperti SBSN belum memiliki best practice baik

internasional dalam IPSAS maupun Indonesia dalam SAK atas sukuk yang

diterbitkan korporasi. Terlepas dari semua itu, atas pertimbangan probabilitas

keterjadian dan besarnya pengorbanan sumber daya ekonomi di masa yang

akan datang Kewajiban Keuangan khususnya SBSN (dengan atau tanpa SUN)

wajib diatur dalam PSAP berbasis full accrual.

2. Atas pertimbangan probabilitas keterjadian, besarnya pengorbanan sumber

daya ekonomi di masa depan dan indikasi harus diaturnya masalah dalam

PSAP No. 9, Kewajiban Diestimasi dan Kewajiban Kontinjensi wajib diatur

dalam PSAP berbasis full accrual dengan mengadopsi IPSAS No. 19—

Provisions, Contingent Liabilities and Contingent Assets.

3. Atas pertimbangan probabilitas dan tingginya keterjadian sebagai dampak dari

kebijakan integrasi manajemen resiko pada asset strategy, Sewa Guna Usaha

wajib diatur dalam PSAP berbasis full accrual dengan mengadopsi IPSAS No.

13 tentang Leases.

4. Atas pertimbangan keterjadian yang mengemuka sebagai pemicu opini

disclaimer dan antisipasi pengaturan legal keberadaan non-budgetary

spending, Kewajiban yang Timbul dari Belanja Non-Anggaran wajib diatur

dalam PSAP berbasis full accrual dengan penyeragaman perlakuan akuntansi

atas transaksi yang dikategorikan belum dilakukan pembayaran karena

melampuai batas pencairan dana di akhir tahun anggaran.


41

Atas keempat kesimpulan yang diperoleh setelah melakukan langkah-langkah

metodologis dengan acuan data sekunder, hipotesis yang dikemukakan dalam karya

ilmiah yang dirumuskan sebagai “Unsur-unsur kewajiban seperti financial liabilities;

provisions and contingent liabilities; leasing; serta kewajiban yang berasal dari non-

budgetary spending; perlu diatur lebih lanjut dalam PSAP berbasis full accrual”

terbukti.
BAB V

IMPLIKASI DAN KETERBATASAN

A. Implikasi

Implikasi penerapan akuntansi berbasis full accrual di Indonesia khususnya

unsur kewajiban yaitu :

1. Perlu diaturnya Kewajiban Keuangan; Kewajiban Diestimasi dan

Kewajiban Kontijensi; Sewa Guna Usaha; dan Kewajiban yang Timbul

karena Belanja Non Anggaran dalam Pernyataan Standar Akuntansi

Pemerintahan berbasis full accrual.

2. Perlu diaturnya payung hukum atas legalisasi Belanja Non Anggaran

sebelum penerapan akuntansi berbasis full accrual.

3. Perlu adanya pertimbangan manajemen resiko atas setiap kebijakan yang

diambil khusus unsur kewajiban.

B. Keterbatasan

Keterbatasan dalam penelitian ini adalah analisis menggunakan metode studi

pustaka dengen data sekunder pengaturan dalam IPSAS atau IAS ditambah dengan

kasus yang mengemuka akhir-akhir ini tanpa kajian yang menyeluruh terhadap semua

unsur kewajiban yang patut diatur dalam PSAP berbasis full accrual.

42
Daftar Referensi

Undang-undang nomor 17 tahun 2003

Undang-undang nomor 1 tahun 2004

Kerangka konseptual akuntansi Pemerintahan Standar Akuntansi Pemerintahan


Komite Standar Akuntansi Pemerintahan 28 Oktober 2004

Laporan Keuangan Pemeriintah Pusat Tahun 2008 (Audited) 11 Juni 2009 Republik
Indonesia diakses dari http://www.perbendaharaan.go.id/pro/index.php?
pilih=umum&aksi=non&yid=477&yawal=10

International Public Sector Accounting Standards No. 1—Presentation Of Financial


Statements May 2000

Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan No. 9 Akuntansi Kewajiban Definitions


28 Oktober 2004

Accrual Accounting in New Zealand and Australia : Issues and Solutions Mark
Champoux Harvard Law School Federal Budget Policy Seminar 4-29-06 diakses dari
http://www.law.harvard.edu/faculty/hjackson/NewZealand_Australia_27.pdf

International Public Sector Accounting Standards No. 13—Leases

International Public Sector Accounting Standard No.24- Presentation of Budget


Information in Financial Statements

International Public Sector Accounting Standards No. 19— Provisions, Contingent


Liabilities And Contingent Assets

International Accounting Standard (IAS) No. 32 Financial Instruments: Disclosure


and Presentation

UU Nomor 19 tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara

Total Asset Management Manual NSW Government Asset Management Committee


2003 Diakses dari

PP No. 86 Tahun 2006 tentang Pemberian Jaminan Pemerintah untuk Percepatan


Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik yang Menggunakan Batubara

. (http://www.djkn.depkeu.go.id/?mod=berita&read=369)
Standar Akuntansi Pemerintahan Pernyataan No. 04 tentang Catatan Atas Laporan
Keuangan

Standar Akuntansi Pemerintahan Pernyataan No. 01 Penyajian Laporan Keuangan

You might also like