You are on page 1of 17

Pemberian Pendapat dan Pertimbangan

Badan Pemeriksa Keuangan kepada Pemerintah


pada Kasus Bail-Out Bank Century

Ellen Maharani
IX C – 09
09460004964
Tugas
TugasIndividu
Individu
- Tengah
- Akhir Semester

Seminar Pemeriksaan Keuangan Negara


ABSTRAKSI

Setiap pihak memiliki persepsi masing-masing atas kasus Bail-Out Bank Century.
Fakta yang pasti adalah Komite Stabilitas Sistem Keuangan telah mengeluarkan sekitar
enam trilun rupiah untuk mencegah agar bank yang mengalami masalah tersebut tidak
ditutup dengan alasan akan memberikan dampak sistemik bagi perbankan nasional secara
keseluruhan. Kebijakan Bail-Out didasarkan pada data dan informasi yang diberikan oleh
Bank Indonesia. Beberapa pihak yang berada di sisi kontra percaya bahwa Bank Century
hanyalah pasir dalam luasnya pantai perbankan nasional. Namun di sisi pihak yang
mendukung, kondisi makroekonomi dan perbankan nasional yang sangat rentan dan tertekan
saat itu justru yang memaksa kebijakan Bail-Out dilaksanakan. Adanya potensi kerugian
negara dalam jumlah yang tidak sedikit, mau tidak mau menyeret Badan Pemeriksa
Keuangan untuk turun tangan dalam bentuk pemeriksaan investigatif atas hipotesis publik
yang mengemuka bahwa kebijakan Bail-Out bukanlah keputusan yang tepat.
Temuan hasil pemeriksaan investigatif mendukung hipotesis publik yang telah mengemuka.
Pendapat dan pertimbangan yang diberikan Badan Pemeriksa Keuangan pun mengarah ke
pernyataan tersebut.

Keywords : Bail-Out, Badan Pemeriksa Keuangan, Pendapat, Pertimbangan, Temuan.

i
DAFTAR ISI

Cover
Abstraksi ............................................................................................................................... i
Daftar Isi ............................................................................................................................... ii
Latar Belakang ...................................................................................................................... 1
Metode Penulisan dan Pembatasan Masalah ........................................................................ 2
Landasan Teori...................................................................................................................... 2
Pengertian Pendapat ......................................................................................................... 2
Pengertian Pertimbangan ................................................................................................. 2
Ketentuan atas Pendapat dan Pertimbangan .................................................................... 3
Data dan Fakta ...................................................................................................................... 4
Perekonomian Global ....................................................................................................... 4
Perekonomian Nasional ................................................................................................... 4
Kondisi Perbankan ........................................................................................................... 5
Kondisi Bank Century dan Kebijakan Bail-Out ............................................................... 6
Pembahasan........................................................................................................................... 7
Pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) kepada Bank Century................ 7
Analisis Dampak Sistemik ............................................................................................... 10
Penghitungan Biaya Bail-Out Bank Century ................................................................... 11
Politisasi Pendapat dan Pertimbangan BPK ..................................................................... 11
Kesimpulan ........................................................................................................................... 12
Daftar Pustaka

ii
A. Pendahuluan
Sebelum membahas perihal Pemberian Pendapat dan Pertimbangan Badan Pemeriksa
Keuangan kepada Pemerintah pada Kasus Bail-Out Bank Century, terlebih dahulu akan
dipaparkan latar belakang pemberian pendapat dan pertimbangan oleh lembaga pemeriksa
pemerintah dan pembatasan pembahasan masalah dalam jurnal ini.
1. Latar Belakang
Leo Herbert memperkenalkan teori keseimbangan antara auditor, auditee dan pihak
yang meminta pertanggungjawaban. Pemerintah sebagai pihak yang diberikan amanat
untuk mengelola keuangan negara harus melaporkan akuntabilitas pengelolaan keuangan
negara kepada publik yang diwakili oleh DPR. Informasi yang dimuat dalam laporan
akuntabilitas tersebut harus dapat diyakini keandalannya. Oleh karena itu, dibutuhkan
pihak yang independen untuk memberikan atestasi atas informasi tersebut, dengan cara
melakukan pemeriksaan terhadap pihak yang mempertanggungjawabkan pengelolannya.
Pemeriksaan atas pengelolaan dan akuntabilitas keuangan negara dilaksanakan oleh
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), sebagai auditor eksternal yang independen dari
pemerintah. Hasil pemeriksaan BPK kemudian disampaikan kepada DPR. Di samping
itu, apabila dalam pelaksanaan pemeriksaan ditemukan adanya indikasi tindak pidana
atau kerugian negara, maka BPK wajib melaporkan hal tersebeut kepada aparat penegak
hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan/atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Teori keseimbangan ini, tidak berjalan sebagaimana mestinya sejak bertahun-tahun
yang lalu di Indonesia. Kedudukan dan wewenang BPK kemudian diperjelas melalui
paket undang-undang keuangan negara sebagai badan pemeriksa eksternal pemerintah.

“BPK has also played an active role in supporting the government by being the
subject expert in publishing a package of three regulations, namely Law No. 17
2003 on State Finance, Law No. 1 2004 on the State Treasury and Law No. 15 2004
on State Finance Management and Accountability Audit, enabling BPK to play a
larger role in supporting the government’s effort to improve the management of
state finances and make them more efficient, economic, effective, transparent and
accountable by In light of the state objectives of national justice and prosperity, as
mandated in the Preamble of the 194 5 Constitution of the Republic of Indonesia,
BPK did not think Law No. 5 1973 on the Audit Board of the Republic of Indonesia
contributed to the development of government at either central or local level. The
House of Representatives and government therefore enacted Law No. 15 2006 on
the Audit Board of the Republic of Indonesia“ ( peer review of the audit board of
the republic of indonesia, 55).

Perubahan ini semakin meningkatkan urgensi atas pentingnya pemberian pendapat dan
pertimbangan BPK kepada pemerintah. Dimana masa lalu, pemberian pendapat dan

1
pertimbangan ini tidak dapat dilakukan, mengingat tidak adanya objek pemeriksaan
(laporan keuangan pemerintah tidak tersedia), pembatasan ruang lingkup pemeriksaan
sampai pengebirian dari fungsi yang semestinya. Sejak hadirnya paket undang-undang
keuangan negara, pelaksanaan, pertanggungjawaban dan pemeriksaan keuangan negara
telah menjadi amanat undang-undang yang harus dipatuhi demi terwujudnya
akuntabilitas dan transparasi yang menjadi tuntutan publik, terutama bagi kasus-kasus
yang mengindikasikan adanya kerugian negara di dalamnya.
2. Metode Penulisan dan Pembatasan Masalah
Jurnal ini disusun dengan metode analisis teoritis dengan didukung data sekunder
yang diperoleh dari jurnal, peraturan perundang-undangan dan observasi informasi
melalui situs online yang sekiranya mendukung pembahasan dan analisis. Jurnal ini akan
dibatasi hanya mengenai Pemberian Pendapat dan Pertimbangan Badan Pemeriksa
Keuangan kepada Pemerintah pada Kasus Bail-Out Bank Century.
B. Landasan Teori
Teori keseimbangan yang menjelaskan hubungan auditor, auditee dan pihak yang
meminta pertanggungjawaban telah mengawali urgensi pentingnya Pendapat dan
Pertimbangan BPK kepada Pemerintah. Berikut akan dipaparkan mengenai definisi-definisi
atas kata kunci yang kerapkali digunakan yaitu pendapat dan pertimbangan serta ketentuan
yang melimitasinya.
1. Pengertian Pendapat
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pendapat berarti “Anggapan, buah pemikiran
atau perkiraan tentang sesuatu, kesimpulan setelah menyelidiki dan
mempertimbangkan”. Menurut Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15
Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, BPK dapat memberikan pendapat
kepada DPR, Pemerintah Pusat, Lembaga Negara Lain, Bank Indonesia, Badan Usaha
Milik Negara, Badan Layanan Umum di lingkup pemerintah pusat, Yayasan, dan
lembaga atau badan lain, yang diperlukan karena sifat pekerjaannya. Pendapat yang
dimaksud lebih luas lagi dari sekadar opini. Pendapat dapat diberikan BPK kepada objek
dengan tujuan perbaikan di bidang pendapatan, pengeluaran, pinjaman, privatisasi,
likuidasi, merger, akuisisi, penyertaan modal pemerintah, penjaminan pemerintah, dan
bidang lain yang berkaitan dengan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
2. Pengertian Pertimbangan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pertimbangan berarti “pendapat tentang baik-
buruk”. Masih di bagian yang sama Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia

2
Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, BPK dapat memberikan
pertimbangan atas penyelesaian kerugian negara/daerah yang ditetapkan oleh Pemerintah
Pusat/Pemerintah Daerah; dan/atau keterangan ahli dalam proses peradilan mengenai
kerugian negara/daerah.
3. Ketentuan atas Pendapat dan Pertimbangan
Pendapat dan Pertimbangan dalam jurnal ini diartikan secara sempit khusus bagi
pemeriksaan investigatif yang dilakukan on-call jika dibutuhkan oleh pihak yang
meminta pertanggungjawaban dalam hal ini DPR terkait dengan adanya potensi kerugian
negara. Untuk dapat memberikan pendapat dan pertimbangannya kepada pemerintah
dalam jurnal ini khususnya DPR, BPK harus memenuhi ketentuan-ketentuan yang
ditetapkan dalam Standar Pemeriksaan Keuangan Negara, yaitu :
a. Bebas dalam sikap mental dan penampilan dari gangguan pribadi, ekstern, dan
organisasi sehingga hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tidak memihak dan
dipandang tidak memihak oleh pihak manapun serta bebas dari tekanan politik
(Independensi dalam Pernyataan Standar Pemeriksaan 01 Standar Umum; Halaman
24).
b. Dilaporkan dalam laporan hasil pemeriksaan untuk mengkomunikasikan setiap hasil
pemeriksaan guna menghindari kesalahpahaman, bahan untuk melakukan tindakan
perbaikan oleh instansi terkait, serta memudahkan pemantauan tindak lanjut untuk
menentukan pengaruh (Bentuk Pelaporan dalam Pernyataan Standar Pemeriksaan 05
Standar Pelaporan Pemeriksaan Kinerja; Halaman 82). Pelaporan ini harus bebas
dari communication gap. Sebagaimana dinyatakan bahwa :

The utility of BPK’s reports to its stakeholders would be improved if the causes
and effects of findings and opinions were clarified. Parliament (DPR)
generally has only a limited interest in BPK’s reports because they are too
technical and there are no sanctions. To enhance the impact of its reports,
BPK recently organised a two-month tv series to provide an explanation of
several of its audit reports. (Communication on Peer Review of the Audit
Board of the Republic of Indonesia, page 12)

c. Bukti harus cukup, kompeten, dan relevan (Pengujian Bukti dalam Pernyataan
Standar Pemeriksaan 04 Standar Pelaksanaan Pemeriksaan Kinerja; Halaman 75)
yang disertai dengan dokumentasi pemeriksaan dalam bentuk kertas kerja
pemeriksaan terkait perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan pemeriksaan dengan
tujuan mendukung opini, temuan, simpulan dan rekomendasi pemeriksaan

3
(Dokumentasi Pemeriksaan dalam Pernyataan Standar Pemeriksaan 02 Standar
Pelaksanaan Pemeriksaan Keuangan; Halaman 42).
d. Faktor kuantitatif dan kualitatif mengenai signifikan atau tidaknya ketidakpatutan
yang mungkin terjadi dan apakah pemeriksa perlu untuk memperluas langkah dan
prosedur pemeriksaan mengenai indikasi adanya kecurangan, penyimpangan dari
ketentuan peraturan perundang-undangan atau ketidakpatutan, tanpa mencampuri
proses investigasi atau proses hukum selanjutnya, atau kedua-duanya
(Ketidakpatutan dalam Pernyataan Standar Pemeriksaan 06 Standar Pelaksanaan
Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu; Halaman 103).
e. Dalam memberikan pertimbangannya, perlu dipertimbangkan informasi yang
seharusnya atau tidak seharusnya diketahui publik (Pelaporan Informasi Rahasia
dalam Pernyataan Standar Pemeriksaan 03 Standar Pelaporan Pemeriksaan
Keuangan; Halaman 53) dengan mempertimbangkan hasil pekerjaan pihak lain
maupun sebelumnya (Pertimbangan atas Hasil Pekerjaan Pihak Lain dalam
Pernyataan Standar Pemeriksaan 04 Standar Pelaksanaan Pemeriksaan Kinerja;
Halaman 69).
Pendapat dan pertimbangan yang diberikan BPK seharusnya memenuhi ketentuan-
keteuan di atas untuk dapat dipertanggungjawabkan di mata publik serta mendukung data
dan fakta dalam persidangan kasus terkait.
D. Data dan Fakta
Berikut akan dijabarkan data dan fakta yang melatarbelakangi penetapan kebijakan Bail-
Out Bank Century oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KKSK). Keputusan Bail-Out ini
didasarkan atas informasi yang diberikan oleh Bank Indonesia (BI).
1. Perekonomian Global
Hingga menjelang kuartal IV/2008, perkembangan perekonomian global menunjukkan
keadaan yang sangat mengkhawatirkan. Hal ini diawali dengan adanya “gagal bayar”
dari home buyers di Amerika Serikat sejak paruh III tahun 2007 yang memicu terjadinya
krisis kepercayaan investor dan keketatan likuiditas di pasar keuangan global. Crash
pasar keuangan yang terjadi di Amerika Serikat tersebut terjadi setelah Lehman Brothers
ditutup. Krisis keuangan dunia menjadi semakin memburuk sejak Oktober 2008 yang
tercermin dari kerugian kredit yang melonjak sebagai akibat insolvabilitas dan penutupan
operasi beberapa perusahaan keuangan raksasa, pengalihan risiko dan ketatnya likuiditas
global. Menyikapi kondisi keuangan global yang memburuk tersebut, semua negara
melakukan konsolidasi kebijakan untuk meminimalkan dampak ketidakstabilan di pasar

4
keuangan dan menjaga stabilitas makro dengan cara menjaga kecukupan likuiditas di
pasar keuangan, mengurangi risiko dan menjaga kepercayaan deposan dengan
menurunkan suku bunga kebijakan, menambah Commercial Paper Funding,
menurunkan Giro Wajib Minimum, melakukan penjaminan deposito dan antar bank,
menerapkan blanket guarantee, intervensi valuta asing, bantuan IMF hingga bail out
terhadap sistem perbankan.
2. Perekonomian Nasional
Dampak krisis keuangan global juga menimpa perekonomian Indonesia. Terlebih lagi
disaat negara sekitar kawasan telah memberlakukan full blanket guarantee sedangkan
Indonesia hanya meningkatkan batas penjaminan dana pihak ketiga. Pemburukan kondisi
makro–ekonomi Indonesia ditandai dengan adanya tekanan terhadap pasar valas dan
stabilitas nilai tukar, pasar modal, kondisi global bond, memburuknya likuiditas dan
ketatnya pasar uang, melemahnya kinerja neraca pembayaran, dan pada akhirnya
menyebabkan resiko-resiko perbankan cenderung meningkat secara drastis. Tekanan
terhadap pasar valuta asing Indonesia pada kurun waktu tersebut diawali dengan adanya
penarikan modal oleh investor asing (capital outflow) karena menganggap adanya
peningkatan risiko pada negara-negara berkembang. Dengan kondisi ekonomi dan
keuangan global yang terus memburuk, kondisi sistem keuangan domestik terus tertekan.
Kondisi neraca pembayaran terus tertekan, cadangan devisa menurun. Peningkatan
pembayaran utang luar negeri dalam Q-IV/2008 diwaspadai, khususnya pengaruhnya
terhadap ketersediaan USD dan kestabilan nilai tukar. Selain itu pelemahan kegiatan
ekonomi berpotensi meningkatkan kredit bermasalah. Belum lagi, memburuknya kondisi
sektor swasta memburuk dengan berbagai penyesuaian dalam bentuk kenaikan upah
buruh, peningkatan biaya produksi dan pemutusan hubungan kerja. Respons dari
Pemerintah dan Bank Indonesia untuk menenangkan pasar telah dilakukan antara lain
dengan pelonggaran likuiditas, kenaikan batas atas penjaminan simpanan menjadi Rp.2
miliar, pemberian jaminan ketersediaan valas bagi perusahaanperusahaan domestik, dll.
Namun langkah-langkah ini masih membutuhkan waktu sebelum diketahui
efektivitasnya.
3. Kondisi Perbankan
Sejak pertengahan tahun 2008, liquidity gap di industri perbankan mulai meningkat.
Perbankan berupaya memenuhi kebutuhan likuiditasnya melalui Pasar Uang Antar Bank
(PUAB). Namun demikian situasi krisis mengakibatkan seluruh bank di dunia termasuk
bank-bank di Indonesia mempertahankan likuiditas yang ada guna memenuhi

5
kewajibannya kepada nasabah penyimpan dana. Penurunan rata-rata transaksi PUAB dari
periode Januari-September 2008 dan Oktober-Desember 2008, baik pada PUAB Rupiah
maupun PUAB valuta asing sangat dikhawatirkan akan menimbulkan flight to quality
dari bank-bank kecil dan menengah ke bank-bank besar. Ditengah risiko yang meningkat
tersebut, kinerja industri perbankan secara umum sampai Tw III-2008 baik. Modal
sebagian besar bank masih mencukupi, kredit macet masih rendah (NPL Gross = 3.5 –
4%) dan fungsi intermediasi berjalan baik. Namun pada saat itu ditengarai berbagai
risiko (risiko pasar, risiko kredit) yang sudah mulai meningkat, khususnya menurunnya
rasio alat likuid dibandingkan dengan non core deposits yang mencapai titik terendah
yaitu 84,9% pada November 2008 (rasio alat likuid pada masa-masa normal adalah di
atas 200%).
4. Kondisi Bank Century dan Kebijakan Bail-Out
Jika hanya dilihat dari perspektif fungsinya dalam intermediasi/pemberian kredit, ukuran
bank, substitutability, dan keterkaitan dengan bank/lembaga keuangan lainnya, Bank
Century memang tidak dapat dinyatakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
perbankan nasional. Namun, jika dilihat dari perspektif jumlah nasabah dan jaringan
kantor cabang, bank ini termasuk memiliki jumlah nasabah yang cukup besar (65.000
nasabah) dengan jaringan yang cukup luas di seluruh Indonesia (30 KC). Kondisi Bank
Century pada kenyataannya telah memicu rumor yang menurunkan kepercayaan
masyarakat serta mengganggu kinerja bank-bank lainnya. Walaupun gangguan/shock di
sektor keuangan/perbankan masih bersifat sporadis, pada saat yang bersamaan terdapat
23 bank dan beberapa BPR yang kondisi likuiditasnya sangat rentan terhadap adanya isu-
isu tersebut. Dikhawatirkan eskalasi permasalahan menjadi lebih cepat dan berpotensi
menjalar ke bank-bank lainnya. Situasi seperti ini membuat bank-bank cenderung
menahan likuiditas baik Rupiah atau valas untuk keperluan likuiditasnya masing-masing.
Kondisi seperti ini akan membahayakan bank-bank yang tidak memiliki kekuatan
likuiditas yang cukup. Jika kemudian muncul rumor atau berita negatif mengenai
kegagalan 23 bank di atas dalam settlement kliring, hal ini akan dengan cepat memicu
terjadinya kepanikan di kalangan masyarakat dan berpotensi untuk menimbulkan bank
run. Dalam kondisi pasar yang normal, penutupan Bank Century diperkirakan relatif
tidak akan menimbulkan dampak sistemik bagi bank lain. Namun dalam kondisi pasar
seperti yang disebutkan di atas, yang saat itu cenderung rentan terhadap berita-berita
negatif maka penutupan bank, berpotensi menimbulkan contagion effect berupa upaya
rush terhadap bank-bank lainnya, terutama peer banks atau bank yang lebih kecil.

6
Dengan demikian, penutupan bank ini dikhawatirkan dapat mengganggu kelancaran
sistem pembayaran, serta menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem
perbankan dan sistem keuangan secara keseluruhan. Belum lagi, kondisi makroekonomi
yang sedang mengalami tekanan, serta adanya gangguan pada sistem
perbankan/keuangan dapat memperburuk situasi sehingga dapat menimbulkan
instabilitas yang signifikan. Dengan pertimbangan banyaknya nasabah dan keluasan
jaringan, kondisi perbankan yang sangat rentan dengan isu serta kondisi makroekonomi
yang berada dalam keadaan tertekan, penjaminan melalui kebijakan Bail-Out secara
penuh menjadi sangat penting untuk diterapkan. Walaupun banyak pihak masih yakin
bahwa kebijakan penutupan Bank Century tidak berdampak signifikan terhadap sektor
perbankan secara keseluruhan, namun dari serangkaian langkah kebijakan dan tindakan
yang ditempuh selama ini menghasilkan hal positif bagi stabilitas sistem keuangan dan
perekonomian nasional. Hal ini tercermin dari indikator dan opini-opini yang muncul
dari para pelaku pasar.
Dengan pertimbangan data-data di atas, KKSK percaya bahwa tindakan keputusan Bail-Out
Bank Century telah tepat adanya.
E. Pembahasan
Untuk memperoleh fakta baru dari perspektif yang berbeda, KPK dalam suratnya No. R-
2285/01-43/06/2009 tanggal 5 Juni 2009 dan permintaan DPR dalam suratnya No.
PW/5487/DPRRI/IX/2009 tanggal 1 September 2009, meminta BPK untuk melakukan
pemeriksaan investigasi. Seperti yang dinyatakan sebelumnya, keputusan Bail-Out dilakukan
atas pertimbangan data dan informasi yang diperoleh dari BI. Pembahasan akan dilakukan
dengan pendekatan komparabilitas temuan hasil pemeriksaan investigasi BPK yang
dijadikan dasar pemberian pendapat dan pertimbangan dengan perspektif yang dimunculkan
oleh BI. Temuan-temuan yang diperoleh, mencakup :
1. Pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) kepada Bank Century
Pemberian FPJP adalah salah satu cara penyelamatan sistem perbankan, keuangan, dan
perekonomian nasional secara keseluruhan. Dalam Laporan Temuan Audit Investigasi
BPK terkait FPJP, secara garis besar terdapat 3 hal yang menjadi pendapat dan
pertimbangan atas kesimpulan, yaitu yang terkait dengan:
a. Pemberian FPJP dilakukan dengan cara merubah ketentuan.
BPK yakin bahwa pemberian FPJP dimungkinkan dengan merubah peraturan
sepihak oleh BI dimana wewenang ini kemudian merupakan pelaksanaan dari
amanat PERPU No.2 Tahun 2008 tentang Amandemen UU BI yang pada dasarnya

7
mempermudah akses perbankan dalam mendapatkan likuiditas dalam periode krisis.
Oleh karena itu, persyaratan yang diberlakukan di dalam aturan FPJP periode krisis
diperlonggar agar maksud dan tujuan PERPU dalam mencegah dan mengatasi
ketidakstabilan sistem keuangan dapat tercapai. FPJP merupakan bagian dari
kebijakan yang diambil oleh BI dan Pemerintah sebagai respon kondisi makro yang
sudah mengkhawatirkan, sehingga kebijakan tersebut ditujukan untuk melakukan
penyelamatan sistem keuangan tidak untuk kepentingan individual lembaga
keuangan baik bank maupun non-bank. Perubahan dasar pelaksanaan kebijakan ini
yangh disinyalir tidak sesuai prosedur oleh BPK. Jika dasar pelaksanaannya tidak
sesuai prosedur, jelas kebijakan yang diambil berdasar peraturan tersebut pun
masoih dipertanyakan keabsahannya.
Menurut Bank Indonesia, beberapa hal yang tidak digali dan dimuat secara lengkap
oleh BPK terhadap dasar peraturan FPJP ini menyangkut:
i. Latar Belakang PERPU No.2 Tahun 2008 tentang Amandemen UU Bank
Indonesia yang erat kaitannya dengan FPJP
ii. Pertimbangan perkembangan kondisi makro-ekonomi dan perbankan yang
terjadi sebagai dasar pengambilan keputusan
iii. Tidak mengungkapkan proses penyusunan sistem Laporan Bulanan Bank
Umum yang memiliki time-lag 25 hari sebagai dasar formal penetapan neraca
Bank Umum yang kemudian digunakan sebagai dasar pembuatan rasio
keuangan pokok untuk keperluan pengawasan.
iv. Kutipan transkrip hanya sepotong-potong, sehingga membuat kesimpulan
yang tidak sesuai
v. Pemahaman hukum yang lemah terhadap karena BPK hanya mendasarkan
kepada memorandum internal BI
b. Persetujuan pemberian FPJP Tidak Memenuhi Persyaratan CAR
Salah satu persyaratan pemberian FPJP oleh KKSK adalah nilai CAR. Nilai CAR
Bank Century diketahui bernominasi negatif pada saat pengambilan keputusan Bail-
Out. Hal ini diakibatkan karena informasi yang diberikan BI pada saat rapat
pengambilan keputusan Bank Century kepada KKSK terkait CAR tidak update
karena sistem informasi pengawasan perbankan yang terkendala. Permintaan data
CAR kepada Bank Century juga tidak dapat dipenuhi hingga saat pengambilan
keputusan. Sistem informasi pengawasan bank yang tidak real time membuat
indikator pertimbangan persetujuan FPJP didasarkan pada posisi September 2008

8
yaitu positif 2,35%. Sedangkan data hasil penghitungan posisi 31 Oktober 2008 oleh
BPK dalam pemeriksaan investigatifnya menunjukkan angka CAR sebesar negatif
3,53%. BPK berpendapat bahwa informasi yang diberikan BI kepada KKSK tidak
valid untuk dijadikan pengambilan keputusan Bail-Out. Di lain pihak, BI mengklaim
bahwa perhitungan CAR dan pemberian informasi telah sesuai dengan prosedur.
c. Nilai Agunan FPJP berada dibawah 150% dari Plafon Kredit
Sesuai dengan Peraturan BI, ketentuan bahwa nilai agunan FPJP paling kurang
sebesar 150% dari plafon, berupa surat berharga (SBI, SUN), surat berharga yang
diterbitkan oleh badan hukum lainnya (obligasi korporasi) dan piutang/hak tagih
yang dimiliki oleh bank kepada debitur (aset kredit) dengan persyaratan aset kredit
sebagai agunan berupa Kolektibilitas Lancar selama minimal 3 (tiga) bulan terakhir
dan sebagainya terkait dengan ketentuan kredit. Jika kemudian bank gagal bayar, BI
dapat melakukan eksekusi atas aset kredit yang menjadi agunan sesuai dengan UU
Jaminan Fidusia yakni pelaksanaan titel eksekutorial, penjualan melalui secara
langsung atau lelang, dan/atau penjualan di bawah tangan. Dalam hal hasil eksekusi
agunan FPJP nilainya tidak mencukupi untuk melunasi FPJP, BI selaku kreditur
tetap mempunyai hak untuk menagih kepada Bank atas FPJP yang belum dilunasi.
BI menilai bahwa BPK RI tidak konsisten dalam menilai jaminan asset kredit. BPK
lebih mendasarkan kepada nilai agunan dari hak tagih kepada debitur yang
diagunkan kepada BI. Cara penilaian jaminan FPJP oleh BPK RI tersebut tidak
sesuai dengan PBI No.10/26/PBI/2008 tanggal 30 Oktober 2008 sebagaimana telah
diubah dengan PBI No.10/30/PBI/2008 tanggal 14 November 2008 tentang FPJP
bagi Bank Umum yang mengatur bahwa “aset kredit yang dapat dijadikan jaminan
FPJP wajib memiliki agunan dan nilai jaminan FPJP berupa aset kredit dihitung
berdasarkan baki debet aset kredit”. Dengan demikian sesuai PBI tersebut aset kredit
yang memiliki agunan berapapun nilainya dan apapun jenisnya (baik deposito atau
selain deposito) semuanya dapat digunakan sebagai jaminan FPJP dan dinilai
berdasarkan baki debet aset kredit. Berdasarkan ketentuan tersebut maka nilai
jaminan FPJP berupa aset kredit dengan agunan deposito dari beberapa debitur yang
disebutkan dalam laporan BPK seharusnya dihitung berdasarkan baki debet debitur-
debitur tersebut. Berdasarkan perhitungan tersebut maka agunan (yang berupa hak
tagih kepada debitur) adalah 150% dari nilai FPJP.
Perihal FPJP, BPK dan BI memiliki perspektif yang sama sekali berbeda. Seharusnya hal
tersebut tidak terjadi, karena dalam pemeriksaan pada umumnya, kriteria yang dipakai

9
sudah seharusnya telah disepakati oleh auditor dan auditee bahkan jika memungkinkan
dengan pihak yang meminta pertanggungjawaban.
2. Analisis Dampak Sistemik
BPK mengklaim bahwa analisis dampak sistemik dibuat terlalu terburu-buru oleh Dewan
Gubernur Bank Indonesia maupun KSSK. Analisis dampak sistemik tidak didasarkan
pada indikator yang ditetapkan oleh peraturan, karena memang belum ada peraturan yang
mengatur. Hal ini menurut BPK dinyatakan sebagai celah peraturan yang dimanfaatkan
KKSK dan BI dalam kasus Bail-Out Bank Century. Pada realitasnya analisis didukung
data dan informasi yang lengkap dan mutakhir baik kuantitas maupun kualitas dari
berbagai sumber (Bank Indonesia, BPS, Bapepam-LK, publikasi luar negeri) guna
mengambil keputusan yang bertujuan untuk mencegah krisis dan memelihara stabilitas
sistem keuangan. Berdasarkan Surat Gubernur Bank Indonesia BI
No.10/232/GBI/Rahasia tanggal 20 November 2008, analisis dampak sistemik terhadap
kegagalan Bank Century dilakukan dengan mempertimbangkan aspek mikro kondisi
bank dan aspek kondisi ekonomi makro yang meliputi lima aspek yaitu institusi
keuangan, pasar keuangan, sistem pembayaran, sektor riil, dan psikologi pasar yang telah
dapat diterima oleh Panitia Kerja RUU - JPSK Komisi XIDPR RI periode 2004 – 2009
seperti tercantum dalam Pasal 7 dan Penjelasan Pasal 7 Draft RUU Jaring Pengaman
Sistem Keuangan (JPSK). Hal tersebut bersumber dari MoU yang dimiliki Uni Eropa
dimana,

“.... Prioritisation in the assessment. In the case of a rapidly unfolding crisis, one
may need to focus the assessment on the most critical parts of the financial system.
These are likely to be the (major) banks, the markets they use for their daily funding
and active balance sheet management, and the related infrastructure (e.g. large
value payment systems). In such a situation, one may also need to place more
reliance on qualitative judgements rather than on up-to-date quantitative
information....(Page 34 MoU on Cooperation Between the Financial Supervisory
Authorities, Central Banks and Finance Ministries of The European Union – 1 Juni
2008).....”

Data kuantitatif yang menjadi dasar analisis adalah :


a. kondisi makro ekonomi
meliputi indikator seperti pertumbuhan ekonomi, kondisi neraca pembayaran, nilai
tukar rupiah, kondisi pasar modal, dan kondisi pasar keuangan internasional
b. penurunan DPK
sebagai indikator penurunan kepercayaan yang bersumber dari Laporan Bulanan
Bank Umum maupun hasil pengamatan langsung oleh pengawas BI

10
c. interbank stress-testing
dampak contagion yang bersumber dari hasil kajian Bank Indonesia dengan
menggunakan data-data dari Laporan Bulanan Bank Umum
d. simulasi ketahanan likuiditas perbankan
dilakukan terhadap delapan belas bank peer dan lima bank dengan total aset yang
hampir sama dengan Bank Century
e. dampak terhadap sistem pembayaran
bersumber dari data Real Time Gross-Settlement dan Kliring yang diselenggarakan
oleh Bank Indonesia.
Lagi-lagi perbedaan persepsilah yang menjadi sumber perbedaan pendapat.
3. Penghitungan Biaya Bail-Out Bank Century
Menurut hasil pemeriksaan investigasi BPK, keputusan untuk menyelamatkan Bank
Century tidak didasarkan oleh besarnya biaya penyelamatan tetapi atas dasar penetapan
Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik sebagaimana diatur dalam pasal
22 ayat (1) b Undang-Undang RI No.24 tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin
Simpanan. Sementara itu menurut Bank Indonesia, tidak tepat jika disimpulkan bahwa
penghitungan biaya penyelamatan Bank Century tidak didasarkan pada data yang
sesungguhnya karena perhitungan tersebut sebenarnya telah didasarkan pada
data/informasi yang ada pada saat itu, sebagai berikut:
a. SSB valas jatuh tempo pada bulan November 2008 (USD45 juta) dan Desember
2008 (USD40,36 juta) yang diperkirakan tidak akan terbayar dan apabila tidak
terbayar, maka SSB tersebut dikategorikan Macet. Atas dasar pengetahuan tersebut,
dengan mengikuti prinsip konservatif, BI memperkirakan kebutuhan modal adalah
sebesar Rp 1,77 Trilyun (Rp.632 miliar + Rp.1,138 triliun).
b. Bank memerlukan tambahan likuiditas sebesar Rp.4,79 Trilyun, sehingga secara
total kebutuhan dana untuk penyelamatan bank diperkirakan sebesar
Rp.6,56.Trilyun. Disepakati juga bahwa jumlah tersebut akan terus bertambah
seiring dengan pemburukan kondisi bank selama bulan November 2008.
Selain mempertanyakan keabsahan perhitungan di atas, BPK juga mempermasalahkan
alasan peningkatan kebutuhan dana penyelamatan Bank Century dari tadinya sebesar
Rp632milyar menjadi Rp6,7triliun, yang meningkat lebih dari 10 kali lipat.
4. Politisasi Pendapat dan Pertimbangan BPK
Juri pada persidangan kasus pidana di Amerika diasingkan selama beberapa saat dari
media untuk menjaga objektivitasnya pada fakta persidangan. Semua fakta bias

11
walaupun material yang diperolehnya di luar persidangan atau asumsi-asumsi dari
perspektif yang dibangunnya sendiri dikhawatirkan lebih akan memunculkan
subjektivitas dan keputusan dengan dasar perasaan bukannya runtutan logika yang
didukung dengan fakta dan bukti yang ada. Sedang hukum adalah ranah pembuktian atas
runtutan logika. Kasus Bail-Out Bank Century telah mengemuka sejak tahun 2008
sedangkan BPK baru turun tangan sejak dimintanya pemeriksaan investigatif sejak
pertengahan 2008. Kasus yang merebak di masyarakat ini otomatis telah menimbulkan
kesempatan berpersepsi bagi pemeriksa, belum lagi nominal potensi kerugian yang
diblow-up media mencapai triliunan rupiah. Pihak-pihak yang terkait di dalamnya jelas
mengikutsertakan subjektivitas atas apa-apa dan siapa-siapa yang patut dipersalahkan
dan wajib bertanggungjawab. Dugaan awal dalam pelaksanaan pemeriksaan investigatif
memang menjadi hal yang sah-sah saja namun haris diikuti dengan profesional judgment
yang baik. Pemeriksa sudah seharusnya mempertahankan independensi dan objektivitas
dengan menekankan pada bukti-bukti dan dokumentasi pemeriksaan untuk menyusun
temuan bukan berdasar berita atau informasi yang diperolehnya diluar ranah pemeriksaan
misalnya melalui pemberitaan baik secara cetak maupun elektronik. Pemeriksa wajib
memperoleh data primer yang valid dan dapat dipercaya bukannya data sekunder yang
telah dibumbui banyak pihak mengkhawatirkan bahwa hasil pemeriksaan serta pendapat
dan pertimbangan yang diberikan BPK kepada DPR cenderung dipolitisasi. Padahal
“pemeriksa harus bebas dari tekanan politik agar dapat melaksanakan pemeriksaan dan
melaporkan temuan pemeriksaan, pendapat dan simpulan secara obyektif, tanpa rasa
takut akibat tekanan politik tersebut dalam hal ini bebas dari gangguan pribadi karena
keyakinan politik atau sosial yang dimilikinya” (Independensi dalam Pernyataan Standar
Pemeriksaan 01 Standar Umum; Halaman 26, 29). BPK mengklaim bahwa institusinya
tidak akan terpengaruh oleh kepentingan politik dan tetap bekerja secara independen,
berintegritas, profesional serta menjunjung tinggi rahasia pemeriksaan sesuai dengan
Kode Etik BPK, Standar Pemeriksaan Keuangan Negara dan peraturan perundangan-
undangan yang berlaku.
C. Kesimpulan
Politisasi terkadang menjadi hal yang lumrah dalam pemerintahan negara berkembang.
Kebijakan-kebijakan yang digelontorkan pemerintah lebih pada suasana politis populish
tanpa mempertimbangkan manfaat jangka panjangnya. Hal tersebut tidak hanya menjadi
masalah eksekutif dan legislatif namun telah menjadi permasalahan bersama lembaga
pemeriksa eksternal pemerintah. Bias politisasi akan sangat berbahaya jika benar-benar

12
mampu menodai lembaga yang diharapkan independensi dan objektivitasnya dalam
pengawalan penyidikan kasus dengan potensi kerugian negara dengan pemberian pendapat
dan pertimbangannya. Temuan yang dijadikan dasar untuk memberikan pendapat dan
pertimbangan ini harsu diperoleh dengan cara-cara dan teknik yang sesuai dengan Standar
Pemeriksaan Keuangan Negara untuk dapat dinyatakan sebagai bukti yang valid.
BPK yang merupakan lembaga pemeriksa eksternal pemerintah, menurut Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, memiliki
kewenangan melakukan pemeriksaan atas pertanggungjawaban keuangan negara. Kasus
Bail-Out Bank Century termasuk ranah keuangan negara karena berada dibawah wewenang
KKSK dan BI atas penggunaan dana yang berasal dari APBN. Kasus ini memang sudah
bernuansa politis sejak awal sehingga seharusnya dapat menjadi early-warning bagi BPK
sebelum melakukan pemeriksaan. Pemeriksaan investigatif yang dilakukannya kemudian
akan sangat mempengaruhi keputusan pihak yang meminta pertanggungjawaban yaitu DPR
dan jelas akan mempengaruhi opini publik secara keseluruhan. Pentingnya posisi BPK ini
semakin menjelaskan urgensi pemisahan politisasi tindakannya untuk memberikan temuan
yang fair, valid dan eligible dengan menjunjung tinggi kepentingan publik yang berhak atas
akuntabilitas dan transparansi.

13
DAFTAR PUSTAKA

Rai, I Gusti Agung. Peran Badan Pemeriksa Keuangan Dalam Perbaikan Pengelolaan
Keuangan Negara. Badan Pemeriksa Keuangan. 2009. Jakarta. Diakses dari
www.bpk.go.id/web/files/2009/02/paper-mesir.pdf.

BPK telah menyampaikan Laporan Sementara atas Bank Century kepada DPR. Siaran Pers
Badan Pemeriksa Keuangan. September 2009. Biro Humas Dan Luar Negeri BPK RI.

BPK Serahkan Hasil Audit Bank Century. Warta BPK Edisi XI Tahun 2009. November 2009.

BPK: Diduga Ketidakpatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan Mengakibatkan


Potensi Kerugian Negara dan Kekurangan Penerimaan Negara. Siaran Pers Badan
Pemeriksa Keuangan. April 2010. Biro Humas Dan Luar Negeri BPK RI.

Peer Review of the Audit Board of the Republic of Indonesia. July 2009. Hague. the
Netherlands Court of Audit.

Penjelasan Pjs.Gubernur Bank Indonesia Dalam Press Conference bersama Departemen


Keuangan, BI, & LPS Mengenai Hasil Audit Investigasi BPK di Departemen Keuangan.
November 2009. Bank Indonesia.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.


April 2003. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5. Republik
Indonesia.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan


Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Juli 2004. Republik Indonesia.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa


Keuangan. Oktober 2006. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 85.
Republik Indonesia.

Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia No. 01 Tahun 2007 Tentang
Standar Pemeriksaan Keuangan Negara. Maret 2007. Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 42. Republik Indonesia.

©copyright ellen_maharani stan2010

You might also like