You are on page 1of 11

TUGAS KLIPING PKN

Tentang HAM

Kelas X 4
Disusun Oleh :
Dede Mawan S.

SMA NEGERI 1 MANGUNJAYA


Benang Kusut
Kasus Trisakti dan Semanggi
Pengungkapan kasus Trisakti dan Semanggi jalan di tempat.

PENYIDIK Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam kasus pelanggaran berat HAM Trisakti,
Semanggi I dan II, mengembalikan berkas penyelidikannya ke Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia (Komnas HAM). Mereka menganggap berkas perkara hasil penyelidikan
yang diserahkan Komnas HAM bukan merupakan berita acara seperti yang termaktub
dalam pasal 102 dan pasal 75 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),
melainkan hanya merupakan hasil transkrip wawancara dari beberapa saksi.
YONIF LINUD 30/KUJANG I MENGHAJAR MAHASISWA.
Tidak terjangkau oleh hukum.

Pasal 75 KUHAP mensyaratkan berita acara tersebut haruslah dibuat untuk setiap
tindakan, baik pemeriksaan saksi, penangkapan, penggeledahan dan lain-lain yang
dikuatkan adanya keterangan atau identitas dari orang yang melakukan tindakan
penyelidikan tersebut dan adanya sumpah jabatan dari anggota penyelidik.

Kejagung juga minta agar ketiga kasus dipisahkan pemberkasannya. Ini menunjukkan
Penyidik Kejaksaan Agung masih berpikir dalam kerangka penyidikan perkara pidana
biasa. Kalau peristiwa itu dipisah menjadi kasus per kasus, maka esensi pelanggaran berat
HAM, yakni sistematik atau meluas menjadi hilang. Padahal, Komisi Penyelidik
Pelanggaran (KPP) HAM Trisakti dan Semanggi I dan II, dibentuk karena ingin
menunjukkan bahwa ketiga kasus itu merupakan satu konstruksi kebijakan yang harus
dipertanggungjawabkan.

Pemisahan kasus Trisakti, Semanggi I dan II seperti yang diusulkan Kejaksaan Agung
akan menghilangkan esensi pelanggaran berat hak asasi manusia. Implikasi dari
pemisahan rangkaian peristiwa itu akhirnya akan sekadar menghukum para pelaku di
lapangan, tetapi membebaskan orang-orang yang menjadi penanggung jawab kebijakan.

Berkas penyelidikan dari Komnas HAM dilimpahkan ke Kejagung pada 30 April 2002.
Berkas yang ditandatangani Ketua Komnas HAM Djoko Soegianto, diterima langsung
oleh Jaksa Agung MA Rachman dan diteruskan kepada tim penyidik HAM Kejagung
pada tanggal 3 Mei 2002.

Tragedi di kampus Universitas Trisakti, 12 Mei 1998 yang menewaskan empat mahasiswa
Trisakti, Tragedi Semanggi I, 13 November yang menewaskan lima mahasiswa dan
Tragedi Semanggi II 24 September 1999 yang menewaskan seorang mahasiswa.

DEMONSTRASI MAHASISWA MEI 1998.


Reformasi tidak berjalan.

Mahkamah Militer Jakarta Timur telah mengadili sebelas anggota Polri dalam kasus
Trisakti. Sebelas terdakwa berpangkat perwira muda, bintara, dan tamtama tersebut telah
divonis delapan tahun hingga sembilan tahun oleh majelis hakim Mahmil 11-08, 30
Januari 2002. Dalam sidangnya Oditur menuntut para terdakwa melakukan tindak pidana
kumulatif pembunuhan yang dilakukan bersama-sama sebagaimana diatur Pasal 338
KUHP jo Pasal 55 Ayat 1 ke 1 KUHP serta penganiayaan bersama-sama sebagaimana
diatur Pasal 351 KUHP Ayat 1 ke 1 jo Pasal 55 Ayat 1 ke 1 KUHP.

Menurut oditur, para terdakwa saat berada di fly over Grogol melakukan tiga kali
tembakan salvo ke atas. Selanjutnya mereka menembakkan peluru tajam secara terbidik
ke arah mahasiswa yang sedang berlarian dari pagar kampus Trisakti.

Terdapat sepuluh titik yang menjadi arah tembakan antara lain halaman parkir Gedung L
dan M, arah depan teras gedung M, sekitar tiang bendera dekat Kampus M yang
semuanya menyebabkan empat mahasiswa yaitu Elang Mulya Lesmana, Hafidin Royan,
Herdiawan Sie, Heri Hertanto tewas dan enam lainnya luka.

Oditur juga menyebutkan hasil uji balistik di Montreal, Kanada, dan di Belfast, Irlandia
Utara, terhadap anak peluru dari tubuh korban yang hasilnya adalah peluru ditembakkan
dari senapan jenis Styer cal 5.56, yaitu jenis senapan yang digunakan para terdakwa.

Namun peradilan terhadap polisi ini ternyata menjadi alat resistensi dari tingkatan militer
untuk mencegah proses ini diselesaikan melalui Peradilan HAM ad hoc. Dan tampaknya
sedang ada proses pemotongan mekanisme yang sedang berjalan di tingkatan prosedural
HAM dengan berbagai dalih menolak pemanggilan KPP HAM.

Dalam rekomendasi KPP HAM Trisakti dan Semanggi I-II yang dibentuk Komnas HAM
ditunjuk 50 nama prajurit dan perwira TNI dan Polri yang bertanggung jawab dalam
peristiwa Trisakti dan Semangi I-II yang menewaskan sejumlah mahasiswa. Sebanyak 36
dari 50 orang itu diduga sebagai pelaku pada level lapangan, 11 orang pada level
komando sementara tiga orang bertanggung jawab pada level kebijakan strategis.

Namun siapa saja para prajurit dan perwira yang direkomendasikan bertanggung jawab
terhadap tiga peristiwa itu tidak diumumkan karena terbentur penjelasan pasal 20 ayat 2
UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, di mana nama-nama yang diduga
melakukan pelanggaran HAM berat tidak bisa disebarluaskan kepada publik.

Sumber-sumber di KPP HAM menyebutkan, sejumlah perwira TNI/Polri yang dipanggil


KPP HAM, kecuali mantan Wakapolres Jakarta Selatan AKBP Zulkarnaen, masuk dalam
daftar rekomendasi itu. Zulkarnaen adalah satu-satunya personel TNI/Polri yang datang
memberi keterangan kepada KPP HAM.
KORBAN SEMANGGI I.
Aparat keamanan cuci tangan.

Hasil penyelidikan yang dilakukan KPP HAM dalam masa kerjanya sejak 27 Agustus
2001 menyimpulkan, dalam tiga kasus tersebut telah terjadi kejahatan terhadap
kemanusiaan, yakni pembunuhan dan perbuatan-perbuatan tidak berperikemanusiaan
yang berlangsung secara sistematis, meluas, dan ditujukan kepada warga sipil. Perbuatan-
perbuatan kejahatan itu dilakukan dengan inisiatif dan peranan penuh aparat-aparat TNI
dan Polri yang menggunakan kekuatan dan alat-alat kekerasan secara eksesif untuk
mencapai tujuan-tujuan politik mempertahankan kekuasaan.

Ada dua kekuasaan yang terlibat, kekuasaan Soeharto (dalam kasus Trisakti) dan
kekuasaan Habibie melalui Sidang Istimewa MPR (dalam kasus Semanggi I), serta
pengesahan undang-undang yang memberikan kepada negara kontrol eksesif terhadap
masyarakat sipil (dalam kasus Semanggi II).

KPP HAM juga merekomendasikan kepada Komnas HAM untuk mendesak pemerintah
melalui Kejaksaan Agung untuk segera melakukan proses penyidikan atas peristiwa
kerusuhan Mei 1998 sesuai dengan rekomendasi Tim Gabungan Pencari Fakta. Ada pola
yang kuat.

PERDEBATAN BERITA ACARA


PEMERIKSAAN
Kejaksaan Laporan KPP HAM TSS yang
Agung berbentuk transkrip wawancara
(Kejagung) belum memenuhi syarat untuk
dikatakan sebagai Berita Acara
Pemeriksaan (BAP) dan meminta
laporan peristiwa TSS tidak
dijadikan satu atau dipisah.
KPP HAM Penyidik Kejaksaan Agung masih
berpikir dalam kerangka
penyidikan perkara pidana biasa.
Pemisahan akan menghilangkan
esensi pelanggaran berat hak asasi
manusia (HAM). Karena hanya
akan menghukum para pelaku di
lapangan, tetapi membebaskan
orang-orang yang menjadi
penanggung jawab kebijakan.

Format laporan KPP TSS


sebenarnya bentuk laporan
internasional untuk peristiwa
pelanggaran HAM yang disebut
Huridocs (Human Rights
Document System). Huridocs
memang bukan BAP, namun
merupakan dokumen yang dibuat
untuk mempermudah proses
penyidikan.

Sumber: Riset Asasi, 2002.

Kasus Trisakti dan Semanggi I-II ini sampai sekarang masih menjadi tarik menarik
kepentingan politik. Bahkan menyeret kepentingan anggota DPR. Sebelumnya rapat
paripurna 9 Juli 2001 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Gedung Nusantara V yang
tidak memenuhi kuorum itu, Ketua Pansus DPR untuk kasus Trisakti dan Semanggi,
Panda Nababan (F-PDI Perjuangan) membacakan laporan yang intinya Tragedi Trisakti,
Semanggi I, dan Semanggi II merupakan pelanggaran biasa dan bukan pelanggaran berat
Hak Asasi Manusia (HAM). Pansus merekomendasikan agar kasus tersebut dituntaskan
melalui pengadilan militer atau pengadilan umum yang telah berjalan. Keputusan itu
membuat jengkel keluarga korban. Keluarga korban melempari ruang rapat anggota
Dewan terhormat dengan tujuh butir telur busuk sebagai imbalan atas kerja anggota DPR
yang tidak seserius ketika mengungkapkan dugaan keterlibatan Presiden Abdurrahman
Wahid pada kasus penyalahgunaan dana Yayasan Yanatera Bulog senilai Rp 35 milyar
lewat Pansus Buloggate. Hal ini diperkuat fakta bahwa dalam rapat-rapat Pansus, dari 50
jumlah total anggota jarang mencapai kuorum. Paling sekitar 20 orang saja yang
mengikuti rapat.

Benarkah rekomendasi DPR sudah sesuai prosedur penyelidikan pelanggaran HAM?


Ataukah rekomendasi itu hanya berdasar kepentingan politik? Kalau melihat hasil rapat
pleno Pansus 27 Juni 2001, rekomendasi dibuat berdasarkan voting. Dari 26 orang
anggota yang menandatangani daftar hadir, 19 mengikuti voting, 14 memilih pelanggaran
biasa dan lima suara memilih pelanggaran berat HAM.

Rekomendasi ini pula kemudian dijadikan dasar bagi anggota TNI/Polri, yang dianggap
bertanggung jawab dalam ketiga tragedi itu, menolak pemanggilan pemeriksaan Komisi
Penyelidik Pelanggaran (KPP) HAM Trisakti/Semanggi bentukan Komnas HAM. Mereka
juga berkelit memainkan makna pasal 18 Ayat (1) dan (2) UU Nomor 26 tahun 2000
menyebutkan, (1) Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum
diundangkannya Undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM Ad
Hoc. Ayat (2) Pengadilan HAM Ad Hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk
atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu
dengan Keputusan Presiden. Ayat (3) Pengadilan HAM Ad Hoc sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) berada di lingkungan Peradilan Umum. Dan pengadilan militer terhadap
sejumlah polisi menjadi alasan kuat, bahwa kasus tersebut sudah dianggap selesai.

KONTROVERSI PEMANGGILAN KPP HAM

TNI/Polri 1. Surat pemanggilan KPP


belum pernah diterima
TNI/Polri.

2. KPP HAM tidak dikenal


dalam ketentuan UU Nomor
26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM, maupun
dalam ketentuan UU Nomor
39 Tahun 1999 tentang
HAM. Mengacu Undang-
Undang Nomor 26 Tahun
2000 bahwa institusi KPP
HAM tidak ada disebut dan
tidak berwenang melakukan
penyelidikan secara pro-
yustisia atas peristiwa
Trisakti dan Semanggi I-II
yang terjadi pada saat
sebelum undang-undang
tersebut diundangkan. Hal
tersebut diuraikan lagi dalam
Pasal 43 UU Nomor 26
Tahun 2000 bahwa
pelanggaran HAM berat yang
terjadi sebelum diundangkan
undang-undang ini harus
diperiksa dan diputus oleh
pengadilan HAM ad hoc.
KPP 1. Surat panggilan telah dikirim.
HAM
2. Tindakan TNI/Polri tersebut
telah bertentangan dengan
UU Nomor 39 Tahun 1999
dan UU Nomor 26 Tahun
2000 yang menyebutkan
bahwa Komnas HAM bersifat
independen. Dalam Pasal 18
Ayat (1) dan (2), yang
menyebutkan bahwa
penyelidikan terhadap
pelanggaran HAM yang berat
dilakukan oleh Komnas
HAM. Karena itu, dalam
melakukan penyelidikan,
Komnas HAM dapat
membentuk tim ad hoc yang
terdiri atas Komnas HAM
dan masyarakat.

Sumber: Riset Asasi, 2002.

Namun yang mengherankan, mengapa hanya KPP HAM tragedi Trisakti dan Semanggi I-
II yang dipersoalkan. Sementara, penyelidikan KPP HAM atas kasus Timtim dan Abepura
bisa berjalan mulus dengan memberikan hasil KPP Ham tersebut kepada Komnas HAM,
kemudian diserahkan kepada Kejaksaan Agung untuk disidangkan. Bahkan, DPR
merekomendasikan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc dan Mahkamah Agung telah
meresmikan gedung pengadilan HAM dan melantik hakim ad hoc dan jaksa ad hoc, pada
Januari 2002.

Dalam peristiwa dugaan pelanggaran HAM Timor Timur (Timtim) dengan terdakwa
mantan Kepala Kepolisian Daerah Timtim Timbul Silaen dan mantan Gubernur Timtim
Abilio Jose Osorio Soares juga tidak dipisah-pisah. Silaen dan Abilio dituduh tidak
melakukan tindakan layak atau mencegah penyerangan di Kediaman Pastor Rafael dos
Santos, Liquisa, 5 April 1999, di kediaman Manuel Carascalao, 17 April 1999, di Diosis
Dili, kediaman Uskup Belo dan Gereja Ave Maria Suai, 6 September 1999.
ABILIO DI PENGADILAN HAM AD HOC.
Harus dihukum berat.

Bentuk transkrip yang menjadi keberatan Kejaksaan Agung, adalah bentuk laporan
internasional untuk peristiwa pelanggaran HAM yang disebut Huridocs (Human Rights
Documentation System). Huridocs memang bukan BAP, namun merupakan dokumen
yang dibuat untuk mempermudah proses penyidikan.

Huridocs dapat dikatakan sebagai bangunan peristiwa secara detail yang berisi rangkaian
peristiwa, nama orang yang terlibat, sumber informasi sampai derajat keterlibatan
seseorang. KPP beranggapan laporan tidak perlu dibuat seperti BAP karena nantinya jaksa
akan melakukan penyidikan dan memberkasnya dalam BAP.

Sengketa TNI/Polri dan KPP HAM hanya bisa diselesaikan melalui mahkamah konstitusi.
Namun, karena mahkamah konstitusi belum terbentuk, harus diambil alih oleh Mahkamah
Agung. Karena, kedua pihak masing-masing memiliki dasar hukum tentang pemanggilan
dan penolakannya. Caranya, yakni dengan menggelar sidang semi-pengadilan untuk
membahas soal prosedur pemanggilan bukan membahas ke persoalan materi. Setelah itu,
MA harus mengeluarkan fatwa. Ini salah satu pekerjaan rumah yang belum terselesaikan
oleh pemerintah Megawati.

You might also like