You are on page 1of 11

Tempat Kedudukan Pengadilan Pajak dan Berkaitan Dengan

Asas Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan

1. Latar belakang

Indonesia adalah Negara hukum yang berdasarkan Pancasila yang bertujuan

mencapai masyarakat yang adil dan makmur spiritual dan material yang merata tidak

hanya bertugas memelihara ketertiban masyarakat saja tetapi lebih luas dari itu, yaitu

tercapainya kesejahteraan disemua sektor kehidupan dan penghidupan. Pada prinsipnya,

Negara Indonesia hanya mengenal 4 lembaga peradilan, tapi bukan tidak mungkin

diadakannya suatu badan peradilan khusus dibidang pajak sebab peluang itu dijamin oleh

Pasal 13 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang pokok-pokok Kekuasaan

Kehakiman yang menegaskan bahwa peradilan khusus yang menangani sengketa pajak

seperti Pengadilan Pajak sekarang ini.

Pada mulanya, bila terjadi sengketa antara rakyat dengan alat-alat Negara, secara

umum diselesaikan oleh Pengadilan Negeri (Umum), yang hasilnya kurang memuaskan,

karena perselisihan itu terjadi di bidang tata usaha Negara. Tetapi setelah lahirnya

Undang-undang No.5 Tahun 1986, permasalahan tersebut menjadi kewenangan Peradilan

Administrasi Negara/Peradilan Tata Usaha Negara. Khusus mengenai sengketa pajak,

oleh Pemerintah Hindia Belanda dibentuk Majelis Pertimbangan Pajak berdasarkan

Stb.1927 No.29. Lembaga ini berstatus sebagai lembaga peradilan administrasi yang akan

memberikan perlindungan hukum kepada para wajib pajak. Sehingga segala sengketa

pajak setelah melalui prosedur tertentu pada akhirnya akan diselesaikan oleh Majelis
Pertimbangan Pajak (MPP) yang merupakan instansi peradilan administrasi sehingga

berada di luar peradilan sipil. Majelis Pertimbangan Pajak (MPP) yang bertempat tinggal

di Jakarta Pusat dimana keputusan Majelis ini bersifat final. Majelis Pertimbangan Pajak

(MPP) mempunyai tugas dalam Pasal 1 ayat (2) Peraturan Pertimbangan Pajak yaitu

memberi keputusan atas surat permohonan banding tentang :

1. Pajak-pajak Negara, sekadar dalam ordonansi atau undang-undang yang

bersangkutan diberikan kemungkinan naik banding;

2. Pajak-pajak daerah swatantra ( propinsi, kabupaten, kotapraja) sepanjang

berdasarkan Pasal 6 Peraturan tentang pemungutan dan Penagihan-penagihan

Pajak-pajak Propinsi, Kabupaten, Kotapraja dan persekutuan golongan

dimungkinkan permohonan banding (Stbl.1927 No.517);

3. Pajak yang dikenakan oleh swapraja sekadar permohonan untuk naik banding

diperkenankan menurut peraturan swapraja yang bersangkutan.

Susunan majelis ini terdiri atas ketua majelis yang diangkat oleh presiden yang

menunjuk pula seorang ketua diantara para anggota. Anggota-anggota ini diangkat

pula oleh presiden atas usul-usul yang diajukan : dua orang anggota atas usul

Mahkamah Agung dan dua orang lagi atas usul Kamar Dagang dan Industri. Wajib

pajak yang merasa belum mendapatkan perlakuan adil karena ditolak sebagian atau

seluruhnya oleh fiskus, maka dalam jangka waktu tiga bulan setelah diterimanya

keputusan penolakan, wajib pajak dapat mengajukan banding kepada Majelis

Pertimbangan Pajak, hak tersebut untuk pajak langsung.

Terhadap pajak-pajak yang tidak langsung,peradilan dilakukan di muka hakim


biasa. Untuk mempertalikan hakim biasa kepada peradilan pajak terdapat dua jalan,

yakni:

1. Dengan prosedur perlawanan (verset procedure) atas suatu surat paksa. Bila

seseorang mendapat sutar paksa atau utang pajaktidak langsung, sedangkan wajib

pajak tidak dapat menyetujui jumlah pajak yang ditagih itu, maka wajib pajak

dapat melakukan perlawanan.

2. Prosedur penuntutan kembali (terugvordering procedure) dari jumlah pajak yang

telah dibayar ttetapi sebenarnya tidak terutang.

Dalam perkembangan zaman terdapat pembaharuan-pembaharuan perpajakan

nasional. Pembaharuan perpajakan nasional tersebut disebabkan oleh bberapa faktor .

Dari Pembaharuan Perpajakan Nasional I disebabkan oleh harga minyak dan gas

bumi di pasaran dunia mengalami kemerosotan dan situasi tidak menentu, padahal

stuktur keuangan negara banyak mengandalkan pemasukan dari sektor ini yang

menyebabkan pemerintah mencari pengganti pemasukan negara, dan jatuh pilihan

pada pajak. Sehingga terjadi langkah-langkah penyederhanaan menyangkut jenis

pajak, cara pemenuhan kewajiban pajak dan pemberian kepercayaan kepada wajib

pajak, juga ada perubahan yang cukup mendasar mengenai sistem pengaturan hukum

pjak material dan hukum pajak formal.

Pada masa ini muncul Undang-undang No.5 Tahun 1986 yang dalam Pasal 48

menyebutkan ” Upaya administratif adalah suatu porosedur yang dapat ditempuh

oleh seseorang atau badan hukum perdata apabila ia tidak puas terhadap putusan

Tata Usaha Negara, dan seterusnya” Pasal tersebut tentu membawa konsekuensi
bahwa putusan Majelis Pertimbangan Pajak dapat di koreksi oleh pengadilan

termasuk Mahkamah Agung. Hal ini sangatlah berlainan dengan selma itu

berlangsung, di mana putusan Majelis Pertimbangan Pajak bersifat final. Hal yang

paling menonjol dalam Pembaharuan Perpajakan Nasional I ini adalah berkaitan

dengan penyelesaian sengketa pajak adalah tidak adanya pemisahan secara tegas

instrumen penyeleseaian sengketa pajak terhadap pajak langsung maupun pajak tidak

langsung.

Pembaharuan Perpajakn Nasional I dirasakan sangat bermanfaat besar dalam

peningkatan pemasukan keuangan negara dari luar sektor minyak dan gas bumi.

Tetapi di samping keberhasilan yang dirasakan itu, disadari pula adanya kele mahan

yang menyebabkan kurang berhasilnya Pembaharuan Perpajakan Nasional I.

Kekurangan itu antara lain meliputi self assessment system yang memberikan

kepercayaan besar kepada wajib pajak ternyata masih belum berhasil, dan law

enforcement perpajakan masih lemah.

Dalam Pembaharuan Perpajakan Nasional II berbeda dengan Pembaharuan

Perpajakn Nasional I yang merupakan perombakan pajak yang sangat mendalam

sampai ke akar-akarnya, mengenai prinsip, sistematika serta dasa falsafahnya,

sedangkan Pembaharuan Perpajakan Nasional II ini hanya memperbaharui sebagian

ketentuan hasil Pembaharuan Perpajakan Nasional I. Dalam kaitannya dengan

penyelesaian sengketa pajak, khususnya menyangkut Majelis Pertimbangan Pajak

terjadi perubahan yang cukup berarti. Hal tersebut diatur dalam Pasal 27 Undang-

undang No. 9 Tahun 1994, dalam pasal tersebut ditentukan bahwa upaya banding

terhadap sengketa pajak diajukan ke”Badan Peradilan Pajak”. Semeentara Badan


Peradilan Pajak belum dibentuk maka Majelis Pertimbangan Pajak untuk semntara

menjalankan fungsi Badan Peradilan Pajak tersebut. Di samping itu, dalam Undang-

undang yang sama menentukan bahwa putusan Majelis Pertimbangan Pajak bukan

merupakan Keputusan Tata Usaha Negara, dan bersifat Final sehingga membawa

konsekuensi bahwa upaya hukum yang diajukan wajib pajak ke Majelis Pertimbangan

Pajak, bila belum memuaskan sudah tidak dapat diajukan uupaya hukum lanjutan. Hal

tersebut berbeda dengan kondisi sebelumnya, di mana berdasarkan penjelasan pasal

48 Undang-undang No.5 Tahun 1986 masih terbuka upaya hukum melalui Peradilan

Tata Usaha Negara.

Pada Pembaharuan Perpajakn Nasional III pada tahun 1997 terjadi perombakan

dengan meeniptakan beberapa produk hukum yang dibutuhkan dalam bidang

perpajakan dan sekaligus mengadakn pembaharuan ketentuan yang dihasilkan dalam

kurun waktu sebelum Pembaharuan Perpajakan Nasional I. Pembaharuan Perpajakan

Nasional III melahirkan beberapa produk hukuk di bidang pajak,yaitu:

1. Undang-undang No.17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa

Pajak;

2. Undang-undang No.18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi

Daerah;

3. Undanga-undang No. 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan

Surat Paksa;

4. Undang-undang No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas

Tanah dan Bangunan (BPHTB)

Di samping itu, pada tahun ini juga dikeluarkan Undang-undang No. 20


Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak. Pembaharuan Perpajakan

Nasional II dalam UU No.9 Tahun 1994 tentang Perubahan atas UU No.6 Tahun

1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan mengisyaratkan akan

dibentuknya Badan Peradilan Pajak. Sehingga Majelis Pertimbangan Pajak (MPP)

yang selanjutnya diganti dengan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) pada

1997 melalui Undang-undang No 17 Tahun 1997 yang berkedudukan di Jakarta

tetapi apabila dipandang perlu, dimungkinkan untuk dibentuk di tempat lain yang

tingkatannya sama. Akan tetapi, lembaga-lembaga tersebut belum merupakan

badan peradilan yang berpuncak di Mahkamah Agung. Namun, dalam

pelaksanaan penyelesaian Sengketa Pajak melalui BPSP masih terdapat

ketidakpastian hukum yang dapat menimbulkan ketidakadilan. Penyelesaian

Sengketa Pajak harus dilakukan dengan adil melalui prosedur dan proses yang

cepat, murah, dan sederhana.

Dalam Undang-undang tentang Pengadilan Pajak ini ditentukan bahwa

putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir yang mempunyai kekuatan

hukum tetap serta putusan Badan Penyelesaian Sengkerta Pajak dapat

dilaksanakan langsung kecuali peraturan perundang-undang mengatur lain. Dalam

proses penyelesaian sengketa pajak dilakukan dalam sidang secara tertutup dan

dilakukan/dipimpin oleh hakim melainkan Pejabat Badan Penyelesaian Sengketa

Pajak. Hal ini sangat berbeda dengan peradilan lainnya karena peradilan lain

menganut asas Terbuka untuk Umum, seandainya sidang dilaksanakan tertutup

maka putusan dinyakan Batal Demi Hukum. Dalam proses persidangan tersebut

juga dipimpin oleh seorang Pejabat Badan Penyelesaian Sengkerta Pajak bukanlah
seorang Hakim. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu badan peradilan pajak yang

sesuai dengan sistem kekuasaan kehakiman yang berlaku di Indonesia sekaligus

mampu menciptakan keadilan dan kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa

pajak, maka dibentuklah Pengadilan Pajak pada 2002.

2. Pembahasan

Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan

kehakiman bagi wajib pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan

terhadap sengketa pajak ( Pasal 2 Undang-undang No.14 Tahun 2002). Rumusan

tersebut tampaknya dimaksudkan untuk memberikan penegasan bahwa

Pengadilan Pajak yang diatur dalam Undang-undang No.14 Tahun 2002 itu

memang merupakan lembaga peradilan yang dapat digunakan sebagai sarana

bagi rakyat selaku wajib pajak untuk mendapatkan keadilan di bidang perpajakan.

Di sisi lain, Pasal 2 tersebut juga mengandung arti bahwa Pengadilan Pajak

merupakan instrumen yang dapat digunakan sebagai sarana bagi pencari keadilan

untuk mendapatkan keadilan, yakni untuk melindungi kepentingan wajib pajak.

Dalam konteks dimensi relasi antara para pihak yang bersengketa di Pengadilan

Pajak, di mana di dalamnya melibatkan pemerintah selaku fiscus dan rakyat

selaku wajib pajak atau penaggung pajak, maka Pengadilan Pajak ini menjalankan

fungsi perlindugan hukum bagi rakyat di dibang hukum. Hal tersebut didasarkan

pada kenyataan bahwa dalam sengketa pajak yang dijadikan sengketa pajak

adalah keputusan atau tindakan pemerintah yang tercermin dari keputusan atau

tindakan dari Pejabat pada jajaran Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Bea dab
Cukai maupun pejabat yang berwenang lainnya yang dipermasalahkan oleh rakyat

selaku wajib pajak atau penaggung pajak.

Jadi fungsi yang dijalankan oleh Pengadilan Pajak yang utama adalah

untuk memberikan perlindungan bagi rakyat. Fungsi perlindungan bagi rakyat ini

sangatlah penting mengingat pemerintah selaku penguasa memliki kewenangan

atas hukum publik yang istimewa yang dengan itu dapat menentukan secara

sepihak. Di sisi lain, agar rakyat tidak diperlakukan semena-mena maka rakyat

harus mempunyai perlindungan hukum yang memadai. Salah satu sarana

khususnya adalah Peradilan Pajak ini. Hal ini kiranya memperkuat argumentasi

untuk kemudian menempatkan Pengadilan Pajak dalam lingkungan Peradilan Tata

Usaha Negara seperti yang diatur oleh Undang-undang No.4 Tahun 2004.

Kedudukan tersebut sekaligus membedakan antara kedudukan Pengadilan Pajak

dengan Pengadilan Umum, karena misi yang diemban oleh Pengadilan dalam

lingkungan Peradilan Umum terutama adalah penegakan hukum. Sementara

dalam bidang pajak, penegakan hukum dapat dilakukan secara langsung, atau

dengan kata lain tidak semuanya pengadilan , misalnya melalui penerapan snksi

administratif berupa denda, bunga, dan sebagainya yang dilakukan oleh aparatur

pemerintah. Penegakan hukum ketentuan perpajakan yang dijalani melalui proses

pengadilan dapat dilihat misalnya dalam hal tindak pidana di bidang pajak.

Adapun tujuan pembentukan Pengadilan Pajak adalah:


1. mewujudkan tata kehidupan Negara dan Bangsa yang adil dan sejahtera, aman,

tentram, dan tertib.

2. menjamin kedudukan hukum yang sama bagi warga masyarakat.

3. pemerintah menyadari bahwa ditengah-tengah meningkatnya jumlah pembayar

pajak dan permohonan akan hak dan kewajiban dalam melaksanakan peraturan

perundang-undangan perpajakan, tidak dapat dihindarkan timbulnya sengketa

pajak yang memerlukan penyelesaian secara hukum melalui Peradilan Pajak.

4. untuk mem-fasilitasi para pencari keadilan dalam menyelesaikan sengketa

perpajakannya secara adil, serta melalui prosedur yang cepat, sederhana dan biaya

murah.

Tempat Kedudukan Pengadilan Pajak hanya di ibukota Negara Jakarta (Pasal 3

Undang-undang No.14 Tahun 2002, sedangkan Pengadilan Pajak dimungkinkan dibentuk

di tempat lain yang mempunyai tingkat yang sama, sebagai upaya agar penyelesaian

banding tidak hanya di Jakarta. Pada saat itu Republik Indonesia mengesahkan Undang-

Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Dalam Undang-Undang

tersebut terdapat definisi pengadilan pajak dijelaskan dalam Pasal 2, yaitu “Pengadilan

Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak

atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak”. Sesuai dengan

ketentuan Pasal 3 UU Nomor 14 Tahun 2002 yang menyatakan bahwa, “Dengan Undang-

Undang ini dibentuk Pengadilan Pajak yang berkedudukan di ibukota Negara,” maka

Pengadilan Pajak hanya ada di ibukota Jakarta. Maka sifat Pengadilan Pajak adalah tidak

harus in persona (para pihak harus dihadirkan). Dalam Pengadilan Pajak yang diperiksa
hanyalah dokumen, yaitu berupa laporan keuangan, rekening bank, data transaksi,

mengenai omset, dan sebagainya. Kedudukan Pengadilan Pajak yang hanya bertempat di

Jakarta tidak menjadi penghalang bagi para wajib pajak dan fiskus yang berdomisili di

luar Jakarta dan luar Pulau Jawa untuk dapat menyelesaikan sengketa pajak masing-

masing. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 4 (1) UU Nomor 14 Tahun 2002 yang

berbunyi, “Sidang Pengadilan Pajak dilakukan di tempat kedudukannya dan apabila perlu

dapat dilakukan di tempat lain”. Sementara tempat sidang yang dimaksud dalam pasal

tersebut ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Pajak. Dengan demikian, sebagai contoh, bagi

wajib pajak dan fiskus yang bersengketa di Makassar, Majelis Sidang Pengadilan Pajak

dapat bersidang di kota tersebut. Dalam hal in maka asas cepat, sederhana dan biaya

ringan dapat dilaksanakan dalam peradilan dimana sesuai dengan daerah wajib pajak

tertempat tinggal tanpa harus menunggu lama dalam penyelesaian sengketa pajak dan

wajib pajak tidak harus mengeluarkan biaya yang mahal untuk menyelesaikan sengketa

pajak yang mengharuskan datang ke Jakarta untuk menyelesaikan sengketa pajak di

Peradilan Pajak.

3.KESIMPULAN
1. memasuki era globalisasi dan reformasi ekonomi dewasa ini, diharapkan

Pengadilan Pajak yang independent mampu menegakan prinsip-prinsip keadilan

dalam pemungutan pajak serta mampu ber-acara cepat yang dipimpin oleh Ketua

Pengadilan Pajak.

2. Pada Prinsipnya Pengadilan Pajak bukan atasan Direktur Jenderal Pajak maupun

bawahan Direktur Jenderal Pajak, melainkan Badan Peradilan yang melaksanakan

kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau Penanggung Pajak yang mencari

Keadilan terhadap sengketa pajak.

You might also like