You are on page 1of 36

http://apatra.blogspot.

com/2007/04/hak-asasi-dalam-
uud-1945-muhammad-yamin.html

Hak Asasi dalam UUD 1945


Muhammad Yamin Menjelaskan Jaminan Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi

A. Patra M. Zen dan Jaime Angelique

“bahwa manusia itu dilahirkan untuk kemerdekaan yang sebenar-benarnya dan


sepenuh-penuhnja.”

(Muhammad Yamin)[1]

Pengantar

Muhammad Yamin, dikenal dengan berderet sebutan dan jabatan, dari


pujian serta kritikan. Namun jarang yang menyebutnya, pendukung
ideal hak asasi manusia (HAM) atau promotor HAM (human rights
promoter) di Indonesia
Kalimat diatas, merupakan penafsiran Muhammad Yamin atas kalimat
pembukaan dalam buku “Contract Social” yang ditulis Rousseau pada
1762. Selanjutnya, dalam pidatonya pada 5 Januari 1960, Yamin,
menyatakan, “Itulah sebabnja maka diharuskan, supaya rantai jang
membelenggu manusia itu diputuskan, sehingga hilanglah perbedaan
dan lahirlah persamaan hak”.[2]

Yamin, pernah, selain merujuk ajaran Jean-Jacques Rousseau[3], dalam


“Empat Uraian tentang Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
1945”, ia memuat memuat sejumlah dokumen yang berkaitan dengan
jaminan HAM, yakni: Deklarasi Virginia tentang Hak-hak Asasi
Manusia (the Virginia Declaration of Rights), 12 Juni 1776 dan
Deklarasi Hak-hak Manusia dan Warga Negara (Declaration des droits
de l’home et du citoyen, 26 Agustus 1789).

Seorang Muhammad Yamin, sempat memberikan pandangan-


pandangannya tentang apa yang disebut sebagai HAM, termasuk
konsepsi dan ideal HAM yang dirumuskan dalam Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia 1945. Yamin, merupakan salah seorang
perumus UUD 1945, serta salah satu tokoh yang meyakini UUD 1945
merupakan konstitusi terbaik, termasuk mendukung Presiden Sukarno
mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959, yang isinya menyatakan Republik
kembali ke UUD 1945.

Artikel singkat ini, akan memberikan sebuah deskripsi mengenai


Muhammad Yamin, seorang sarjana dibidang hukum, lahir di
Sawahlunto pada 24 Agustus 1903, memandang prinsip-prinsip HAM.
Akan dieksplorasi dan dianalisis pandangan dan pernyataan Yamin,
berkaitan dengan jaminan dan perlindungan HAM dalam UUD 1945.

Eksplorasi gagasan HAM, yang dalam kesempatan ini diwakili oleh


Muhammad Yamin, merupakan upaya untuk memberikan inspirasi
sekaligus rambu-rambu bagi para pengambil kebijakan saat ini,
termasuk para hakim konstitusi – yang belakangan ini menunjukkan
indikasi dan trend, kerap menafsirkan konstitusi UUD 1945 dengan
mengabaikan tujuan dibentuknya negara Indonesia. Menurut Yamin,
secara singkat tujuan pembentukan Republik Indonesia, sebagai suatu
negara kebangsaan (national state; l’etat national) yakni mewujudkan
4 istilah konstitusi, yakni: kebahagiaan, kesejahteraan, perdamaian dan
kemerdekaan.[4]

A. Mengenal Muhammad Yamin

Muhammad Yamin, adalah sosok yang mengundang polemik.


Perdebatan yang menyangkut Yamin, hingga saat ini masih hidup.

Sejumlah analis, dalam menulis karyanya, merujuk tulisan Yamin, saat


membahas proses penyusunan UUD 1945.[5] Pun buku “Risalah
Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI). Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI). 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945”, yang diterbitkan Sekretariat
Negara Republik Indonesia.[6] Yamin menulis buku Naskah Persiapan
Undang-Undang Dasar 1945, yang menurutnya, apa yang dimuat dalam
bukunya ini, merupakan dokumen notulensi yang berbentuk stenografis
dari rapat-rapat Dokuritsu Junbi Cosakai (DJC) - Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPK) – pada 1945.
[7] Hingga pada awal 1990-an, diketahui, Algemen Rijksarchief di Den
Haag, Belanda telah menyerahkan dokumen yang diberi disimpan
dalam bundel “Algemeene Secretarie Nederlandsch Indie no. 5645 –
5647” atau dikenal dengan nama “Pringgodigdo archief” kepada Arsip
Nasional RI. Arsip ini memuat salinan-salinan catatan yang berkenaan
dengan risalah rapat-rapat BPUPK.[8]

Kontroversi tentang “kejujuran Yamin” dalam menyusun “Naskah


Persiapan”, sempat dikemukakan Mohammad Hatta. Wakil Presiden
RI ini sempat menyangsikan kejujuran Yamin,[9] bahwa apa yang
dimuat dalam bukunya, adalah benar dokumen stenografis yang apa
adanya, tidak ditambah, tidak dikurangi, tidak dibumbu-bumbui Abdul
Gafar Pringgodigo, yang pernah duduk sebagai wakil kepala kantor
administrasi BPUPK, menyatakan hanya ada sebuah transkripsi naskah
laporan stenografis, tanpa ada satupun salinannya (copy). Transkripsi
ini pernah dipinjamkan kepada Yamin, dan tidak pernah ia kembalikan.
[10] Sementara, Ananda B. Kusuma, salah seorang penyunting terbitan
Setneg, “Risalah Sidang BPUPKI”, kemudian sempat menyampaikan
pandangan-pandangannya tentang kelemahan “Naskah Persiapan”
yang disusun Yamin, disebuah harian surat khabar nasional.[11]

Hingga sekarang, pemerintah, paling tidak lewat Sekretariat Negara


mengakui kedua-duanya merupakan naskah otentik. Dalam penjelasan
tim penyunting untuk edisi ketiga buku terbitan Setneg, “Risalah
Sidang BPUPKI” dijelaskan ada 2 berkas naskah transkrip asli, yakni
Koleksi Pringgodigdo dan Koleksi Muhammad Yamin.[12] Kesimpulan
ini setelah tim penyunting, bersama penasihat ahli yang terlibat dalam
penyusunan buku melakukan penelaahan dengan teliti terhadap kedua
naskah. Penasehat ahli, yang terlibat diantaranya: Taufik Abdullah,
Anhar Gongong dan Saleh D. Djamhari – seorang Kolonel Infanteri
Angkatan Darat.

Soal perancang gambar lambang negara, merupakan kontroversi lain


yang melekat pada diri Yamin hingga sekarang. Dalam karyanya,
“Pembahasan Undang-Undang Republik Indonesia”, Yamin
menjelaskan “Burung-sakti Elang Radjawali” sebutan lain lambang
Garuda, sebagai lambang Negara. Secara puitis, Yamin menjelaskan 3
elemen utama yang menjadi komposisi burung Garuda: (1) lukisan
candera-sengkala yang merepresentasikan 17 sayap terbang, 8 helai
sayap-kemudi dan 45 helai bulu sayap sisik pada batang tubuh lukisan
burung Garuda; (2) makna dari gambar yang melekat pada perisai
Pancasila (bintang 5 segi; kepala banteng bertanduk menjulang; pohon
beringin yang rindang daunnya dengan urat gantung selengkapnya;
kapas dan padi, sebagai bahan pakaian dan bahan makanan; lukisan
kalung bermata rantai pasagi dan bundaran cincin, serta (3) arti tulisan
“bhinneka tunggal ika”.[13] Buku yang diterbitkan pemerintah, hingga
saat ini menyatakan Yamin, sebagai perancang lambang negara ini.

Gugatan atas versi pemerintah tersebut, sempat dikemukakan keluarga


besar serta kerabat Istana Keraton Kadariah Pontianak. Menurut
mereka, Sultan Hamid II adalah perancang lambang burung Garuda.
[14] Muhammad Hatta, sempat menyatakan bahwa perancang lambang
Negara adalah Sultan Hamid II, dalam bukunya “Bung Hatta
Menjawab”. Pernyataan Bung Hatta inilah, dijadikan salah satu bukti
untuk menguatkan argumen pihak kerabat Keraton Kadariah Pontianak.

Kontroversi lain, tentang pandangan Yamin pada saat sidang BPUPKI,


mengenai usulan wilayah Republik Indonesia. Yamin Sempat
mengusulkan, mencakup: Sumatera, Jawa-Madura, Sunda Kecil,
Borneo, Selebes, Maluku – Ambon, dan semenanjung Malaya, Timor
dan Papua.[15] Usulan ini, didasarkannya pada wilayah imperium
kerajaan Majapahit, dalam kitab sastra Negarakertagama, karangan
Mpu Prapantja. Konsep wilayah ini, oleh Yamin diistilahkan
“Indonesia Raya”. Gagasan, yang oleh komentator mempunyai
kemiripan dengan Ide Raden Mas Notonindito, yang mendirikan Partai
Fasis Indonesia pada 1933 di Bandung, dengan tujuan politik mencita-
citakan Indonesia Raya yang megah seperti saat kejayaan Majapahit.

Pandangan Yamin tentang lingkup wilayah Republik, sempat


mengundang kritik dari Muhammad Hatta dan Agus Salim, seperti
dalam Sidang BPUPKI, Sidang Kedua Rapat Besar 11 Juli 1945. Saat
itu, Hatta sempat menyindir usulan Yamin, menurutnya jika diterima,
wilayah Republik Indonesia akan terus bertambah termasuk
didalamnya kepulauan Solomon.[16] Sementara Agus Salim, sempat
memberikan responnya dengan menyatakan “Saya tidak membaca
Prapanca tetapi membaca riwayat yang lebih dekat”.[17] Kalimat ini
merupakan teguran halus dari Agus Salim terhadap proposal Yamin,
yang terlalu jauh menggali-gali ‘kitab’ dari masa lalu untuk solusi dari
masalah kontemporer. Sebagai catatan, kitab Negarakertagama, disusun
Mpu Prapantja pada abad ke-14, tepatnya sekitar tahun 1365 – yang
oleh Agus Salim, dinyatakan tidak relevan untuk dijadikan rujukan
dalam menentukan wilayah Republik Indonesia pada sidang BPUPK.

Peristiwa kontroversial, melibatkan nama Muhammad Yamin, juga


terjadi pada 30 Maret 1933. Saat itu, terbit karangan anonim berjudul
‘Massa Actie” di majalah Banteng, sebuah publikasi Partai Rakyat
Indonesia (Partindo) cabang Jakarta, dengan redaktur Amir Sjarifuddin.
Yamin, tidak pernah mengakui dirinya yang menulis artikel ini, pun
Amir Syarifuddin sebagai redaktur menolak menyebut nama pengarang
anonim artikel ini. Namun semua orang pada saat itu tahu, Yamin-lah
yang menulis “Massa Actie”.[18] Penolakan Amir menyebut nama
pengarang mengakibatkan Amir dilarang untuk menulis dan memimpin
sebuah penerbitan, selanjutnya pada 7 Desember 1933, Amir dipidana
18 bulan penjara karena penolakan ini dianggap sebagai kejahatan pers
– ditahan 6 bulan di penjara Stuiswijk, Salemba Jakarta dan 1 tahun di
penjara Sukamiskin, Bandung.

Kontroversi yang amat agaknya menjadi pengetahuan umum, adalah


peran Yamin dalam “kelahiran Pancasila”. Dalam Sidang Pertama
BPUPKI pada 29 Mei 1945, Yamin tampil sebagai pembicara.
Menurut, Nugroho Susanto, Yamin untuk pertama kali, dalam sidang
itu yang mengedepankan materi Pancasila sebagai dasar Negara
Indonesia yang akan dibentuk. Yamin, mengemukakan 5 asas Negara
Kebangsaan, yakni: (1) peri kebangsaan; (2) peri kemanusiaan; (3) peri
ketuhanan; (4) peri kerakyatan, dan (5) kesejahteraan rakyat.

Nugroho, menyimpulkan, penggali Pancasila bukan hanya Bung Karno,


tetapi juga Muhammad Yamin dan Soepomo.[19] Dari hasil penelitian
ini, terutama terbitan di era Orde Baru termasuk bahan penataran P4,
dimunculkan teori baru, bahwa 1 Juni bukanlah hari lahirnya Pancasila.

Pada 1 Juni 1945, yang juga sering disebut sebagai “hari lahirnya
Pancasila”, merujuk pada hari dimana Sukarno menyampaikan pidato
tentang usulan dasar falsafah negara, yang atas “petunjuk seorang
teman ahli bahasa” oleh Sukarno dinamakan Pancasila, yakni: (1)
kebangsaan Indonesia; (2) internasionalisme atau peri-kemanusiaan; (3)
mufakat atau demokrasi; (4) kesejahteraan sosial, dan (5) ketuhanan
Yang Maha Esa.

Yamin memang seorang tokoh kontroversial, termasuk kontroversi raut


wajah Patih Gajah Mada, yang digosipkan sejumlah komentator,
merupakan rekaan dan mirip dengan wajah Muhammad Yamin.

*****

Yamin dapat dikatakan sebagai “ahli bahasa”. Sebagai seorang


sastrawan angkatan Pujangga Baru yang banyak menulis puisi-puisi
modern, Yamin juga dikenal sangat mendukung bahasa Melayu
dijadikan bahasa persatuan.[20] Dalam Lustrum I Jong Sumateranen
Bond yang diadakan di Jakarta pada 1923, ia menyampaikan pidato,
dengan judul De Maleiche Taal in het verleden, heden en in de
toekomst, yang artinya Bahasa Melayu, masa lalu, masa sekarang, dan
masa depan.[21]

Selanjutnya, dalam Kongres Pemuda II, Yamin mengemukakan


kembali idenya tentang perlunya sebuah bahasa persatuan. Menurutnya,
bahasa Indonesia memberi pengaruh pada persatuan bangsa Indonesia
yang terdiri dari begitu banyak suku yang mempergunakan beberapa
ratus bahasa daerah. Karenanya, diperlukan bahasa persatuan, yang
menurutnya, bahasa yang telah berurat akar dalam pergaulan dan
peradaban Indonesia. Atas gagasan ini, Yamin kemudian, diberi tugas
oleh Kongres Pemuda II untuk membuat konsep yang akan dimajukan
dalam Sidang Umum Kongres.
Rumusan yang disusun Yamin, awalnya berbunyi, kami putra dan putri
Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan bahasa Melayu. Namun
sejumlah anggota panitia perumusan tidak setuju dan meminta ‘bahasa
persatuan’ diberi nama. Akhirnya, rumusan menjadi, “Kami Poetra
dan Poetri Indonesia Mendjoendjoeng Bahasa Persatoean, Bahasa
Indonesia.”[22] Kongres Pemuda inilah yang pertama kali
menggunakan frase ‘Bahasa Indonesia’. Yamin, merupakan salah
seorang tokoh perumus Sumpah Pemuda 1928 – yang merupakan titik
tolak sebuah bentuk perjuangan baru bagi bangsa Indonesia, yaitu
adanya kesatuan yang menyeluruh dan meninggalkan sifat dan corak
perlawanan Indonesia menentang imperialisme dan kolonialisme
Belanda yang sebelumnya berlangsung tanpa organisasi politik, tanpa
koordinasi di seluruh Indonesia serta tidak mengenal massa aksi yang
teratur dan tersusun.[23]

Di masa perlawanan terhadap kolonialisme Belanda, Yamin sempat


menjadi pimpinan umum harian Kebangoenan, sebuah harian yang
dikelolanya dengan Sanusi Pane, Liem Koen Hian dan Amir
Sjarifuddin. Selain statusnya sebagai sastrawan dan tokoh pers, Yamin
juga dikenal sebagai politisi dan aktivis partai. Ia tokoh Partai Gerakan
Rakyat Indonesia (Gerindo). Saat yang aktif di Partai Indonesia
(Partindo), Yamin pernah menjadi calon terpilih dari Sumatera Barat
untuk duduk di Volksraad, yaitu Dewan Rakyat. Volksraad merupakan
sistem parlementer buatan Belanda yang bertujuan mencapai
pemerintahan sendiri bagi Indonesia.[24] Yamin juga tercatat sebagai
pendiri Partai Persatuan Indonesia (Parpindo).

*****
Yamin adalah seorang pendukung Demokrasi Terpimpin-nya Sukarno.
Dengan Sukarno, hubungannya boleh dikatakan sangat baik, walaupun
sempat diwarnai kerenggangan, terutama akibat kebijakan pemenjaraan
tokoh-tokoh Persatuan Perjuangan – semula dinamakan volksfront –
menyusul peristiwa 3 Juli 1946. Peristiwa 3 Juli, merupakan sebuah
peristiwa dimana pengikut Tan Malaka, menculik atau mencoba
melakukan penculikan atas menteri dan pejabat tinggi, sebagai upaya
memaksa Sukarno menyusun pemerintahan, dengan Persatuan
Perjuangan sebagai unsur pokok. Usaha ini akhirnya mengalami
kegagalan, yang berbuntut penangkapan dan pemenjaraan tokoh-tokoh
Republik yang bergabung dalam Persatuan Perjuangan, termasuk Tan
Malaka, Sukarni, Iwa Sumanteri dan Muhammad Yamin.
Di awal terbentuknya Republik, Sukarno pernah menyampaikan
protesnya Radjiman Wedyodiningrat, selaku Ketua BPUPK, - karena
sempat tidak memasukkan nama Muhammad Yamin dalam tim
pembuat UUD, yang diketuai Sukarno. Pada Sidang BPUPK 11 Juli
1945, berkatalah Sukarno:

“Kalau Paduka Tuan yang termulia mengijinkan, maka saya


sebagai Syusa dari-pada Panitia Perancangan Undang-
Undang Dasar, mohon dengan hormat supaya anggota tuan
Yamin ditambahkan kepada kami, sebab kami anggap beliau
salah satu ahli Undang-Undang Dasar yang pikiran-pikirannya
perlu kami pakai.”[25]

Keinginan Sukarno tersebut, sempat diulanginya pada pembukaan


Rapat Panitia Hukum Dasar 11 Juli 1945. Sukarno meminta dukungan
kepada 18 anggota Panitia agar Yamin dapat menjadi anggota dalam
Panitia ini.[26] Selanjutnya Sukarno meminta J. Latuharhary untuk
membuat surat pada Radjiman, yang disampaikan duta Panitia Hukum
Dasar, Nakamura, setelah R. Singgih, anggota Panitia bersedia masuk
ke panitia yang membahas keuangan dan ekonomi, dimana Yamin
menolak untuk ditempatkan dalam panitia tersebut, sehingga ia satu-
satunya anggota BPUPK, yang menurut istilah Sukarno, sebagai “tidak
ada pekerjaan, artinya vrij, terlepas dari suatu Panitia”.[27]

Dalam peta tempat duduk persidangan DJC, Yamin duduk


berdampingan dengan Sukarno dibarisan pertama sayap kanan didepan
pimpinan sidang, Ketua dan Wakil Ketua BPUPK.[28] Yamin selalu
dilibatkan, terutama oleh dan atas permintaan Sukarno dalam
penyusunan UUD, baik dalam panitia kecil maupun Panitia Sembilan,
yang kemudian menghasilkan Piagam Jakarta – penamaan yang muncul
dari Yamin.[29]

Yamin pernah diangkat Presiden Sukarno menjadi Ketua Dewan


Perancang Nasional yang dibentuk menggantikan Dewan Nasional
yang diketuai Ruslan Abdulgani. Yamin juga ditunjuk sebagai salah
seorang menteri dalam Kabinet Karya III, Menteri Pendidikan dan
Urusan Kebudayaan. Yamin juga pernah menjadi anggota Panitia
Retooling Aparatur Negara (Paran), yang diketuai A.H. Nasution, yang
salah satu tugasnya meminta para pejabat untuk mengisi formulir
tentang kekayaan yang dimiliki – semacam daftar kekayaan pejabat
negara.

Tercatat, di Era Sukarno, Yamin dipercaya sebagai salah seorang


delegasi, sekaligus sebagai Ketua Panitia Kebudayaan Konferensi
Tingkat Tinggi Asia Afrika di Bandung, yang berlangsung selama 18 –
24 April 1955.
Tabel 1
Riwayat Muhammad Yamin dan Karirnya Sampai 1945

Tempat/tanggal lahir Sawah Lunto, Sumatera Barat, 23 Agustus 1903

Pendidikan Volk School (SD 4 tahun)

Hollandsch Inlandsche School (SD 7 tahun)

Diploma guru normal

Pernah belajar di Lanbouw (Pertanian) dan Veeartsenschool (Sekolah


Kedokteran Hewan) Bogor

Alegemene Middelbare School diploma (1927)

Rechtogeschool diploma Meester in de Rechten (Sarjana Hukum), d


Jakarta (1932)

Aktivitas, profesi dan karir Ketua Pengurus Besar Jong Soematranen Bond (1926 – 1928)

Ketua Pengurus Besar Indonesia Moeda (1928)

advokat dan procureur di Jakarta (hingga 1942)

Penasihat Sendenbu-sendenka (Sanyoo-Sendenbu) di Jakarta

Ketua Pengurus Besar Partai Indonesia (Partindo) (1932 – 1938)

Ketua Pengurus Besar Partai Persatuan Indonesia (Parpindo) (hingg


1942)
Anggota Majelis Pertimbangan POETERA

Anggota BPUPK (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan


Kemerdekaan) atau Dokuritsu Junbi Cosakai (DJC)

Sumber: Diolah dari Saafroedin Bahar, A.B. Kusuma dan Nannie Hudawati
(Penyunting), 1995: Lampiran.

A. Hak Asasi Manusia dalam UUD 1945

Pemilihan judul “Muhammad Yamin Menjelaskan Jaminan Hak Asasi


Manusia dalam Konstitusi”, sengaja dipilih untuk menghindari
kontroversi autentisitas naskah yang ditulis Yamin. Paling tidak, ini
ditujukan untuk menunjukkan pandangannya dan diskursus yang
pernah ada selama rapat Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan (BPUPK) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan (PPK).

Pemilihan tokoh Yamin, juga bukan tanpa alasan, sebagai anggota


penyusun UUD 1945, Yamin seringkali mengemukakan pemikiran-
pemikirannya tentang perlindungan kemerdekaan manusia.
Menurutnya, aturan kemerdekaan warga negara, seharusnya
dimasukkan ke dalam UUD seluas-luasnya.[30]
Jika membaca Risalah Rapat Panitia Hukum Dasar BPUPK 11 Juli
1945, terasa panitia ini seperti lesu darah ketika membicarakan dan
membahas Rancangan declaration of rights.[31] Saat Sukarno meminta
anggota panitia untuk pendapat tentang deklarasi HAM dalam UUD,
Soepomo yang merespon, dan Soepomo menyatakan dirinya tidak
sepakat hak-hak memasukkan declaration of rights dalam konstitusi
1945.[32] Begitu juga Sukiman, menyatakan tidak sepakat
memasukkan declaration of rights. Pandangan kedua anggota panitia
ini membuat perdebatan tentang deklarasi HAM dalam rapat panitia ini
tidak berkembang,[33] padahal dalam sidang panitia ini, berapa kali
Sukarno sempat merujuk perkataan Yamin perihal declaration of
rights[34], juga Agus Salim[35]

Awalnya, konstitusi UUD 1945 dirancang para anggota BPUPK pada


periode pendudukan tentara Jepang, yang kemudian disahkan Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia Indonesia (PPKI), yang diketuai
Sukarno, sehari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus
1945.

Menurut Yamin, UUD 1945, dapat disebut juga dengan Konstitusi atau
Undang-Undang Dasar Proklamasi, karena dilahirkan oleh dan
langsung berdasarkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.[36] Dalam
UUD ini, digunakan bahasa Indonesia yang untuk pertama kalinya
disebarluaskan secara resmi melalui surat kabar harian Berita Republik
Indonesia – penerbitan resmi pemerintah RI – pada 15 Februari 1946,
dengan nama Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.[37]

UUD 1945 sempat direncanakan untuk disahkan oleh Majelis


Permusyawaratan Rakyat (MPR), namun lembaga ini tidak terbentuk
sampai 1950. Sejak 17 Agustus 1945 hingga 5 Juli 1959, Indonesia
sempat memiliki Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) 1949 dan
UUD Sementara 1950 – yang secara substantif memuat rumusan UUD
1945, ditambah sejumlah bagian Konstitusi RIS 1949.[38]

Pada 5 Juli 1959, Republik kembali ke UUD 1949 hingga pada kurun
1999 – 2002, naskah konstitusi diamandemen 4 kali: amandemen ke-1
(1999), ke-2 (2000), ke-3 (2001) dan ke-4 (2002). Klausul-klausul
pokok yang diamandemen, mencakup antara lain: sistem pemilihan
kepala negara; pembentukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan
Mahkamah Konsitusi (MK), serta pasal-pasal tentang HAM.[39]
Amandemen yang dilakukan, merupakan pelaksanaan dari MRP
berdasarkan Pasal 37 UUD 1945.

UUD 1945 sebelum di amandemen, yang memuat 37 pasal, secara


terbatas telah memuat jaminan HAM, sebagai berikut:

jaminan dan pengakuan setiap orang dalam hukum dan hak atas
persamaan didepan hukum[40];
hak semua orang untuk berperan serta dalam pemerintahan[41];
hak atas pekerjaan[42];
hak atas standar hidup yang layak[43];
hak untuk bebas berserikat dan berorganisasi[44];
hak untuk bebas berpendapat dan berekspresi[45];
hak untuk bebas berkeyakinan dan beragama[46];
hak atas pendidikan[47];
hak anak-anak untuk mendapatkan perawatan dan pemeliharaan[48].

*****
Setelah dipersilahkan Ketua BPUPK, Radjiman Wedyodiningrat,
Yamin menyampaikan pandangannya pada Sidang Kedua Rapat Besar
11 Juli 1945, sebagai berikut:

“…negara dibentuk atas kemauan bangsa kita sendiri dan


untuk kepentingan rakyat, yang mengingini satu declaration of
rights, satu declaration of independence, dan satu constitution
republic. Dibagian bawah akan kita susun konstitusi negara
kita, tetapi di atas declaration of the independence nanti panitia
akan menyusun declaration of rights dan didalamnya itu akan
kita curahkan perasaan kita tertuju kepada pengorbanan
pergerakan kita”.[49]

Dapat dikatakan, Yamin memiliki pengetahuan dasar tentang HAM.


Walaupun tentu, saja terdapat kekeliruan pandangannya tentang hak
asasi ini, seperti memadankan hak asasi dengan ‘kewajiban’ warga
negara.[50] Yamin sedikit banyak terinspirasi ajaran filsuf Perancis –
kelahiran Jenewa – Roosseau dan ia juga terinspirasi Deklarasi Virginia
tentang Hak-hak Asasi Manusia (the Virginia Declaration of Rights),
12 Juni 1776. Dalam deklarasi ini, paragraf pertama, menyatakan soal
persamaan hak semua orang.[51] Semangat yang ada dalam deklarasi
ini, diikuti Yamin saat memprotes praktik penjajahan kolonial Belanda.

Dalam tulisannya, Yamin juga pernah memuat pasal-pasal dalam


Declaration des droits de l’homme et du citoyen, 1789. Pasal 1
Deklarasi, yang memuat kalimat, “les homes naissent et demerurent
libres et égaux en droits”, diterjemahkan oleh Yamin, menjadi
“manusia lahir dan tetap bebas, serta mempunyai hak jang sama”.[52]
Pasal 1 deklarasi ini, secara substantif, sama dengan pasal 27 UUD
1945, yang menjadi pasal pertama dalam konstitusi yang memuat
tentang jaminan HAM.

Dalam Sidang BPUPK 11 Juli 1945, Yamin menyampaikan:

“Didepan saya adalah terletak suatu susunan konstitusi


daripada Republik Amerika Serikat, yang acapkali dijadikan
contoh buat beberapa konstitusi di atas dunia; juga di
dalamnya ada 3 bagiannya:

1. Declaration of Rights di kota Philadelphia dalam tahun


1774.
2. Declaration of Independence 4 Juli tahun 1776
3. Sudah itu baru konstitusi (1787)”[53]

Yaminlah yang mengingatkan dalam Sidang BPUPK untuk menyusun


rumusan susunan negara yang sifatnya mengatur didalam Republik
Indonesia sendiri. Andai saja pernyataan Yamin ini dibaca oleh 7
anggota Mahkamah Konstitusi (MK) RI, termasuk Ketuanya pada saat
menetapkan Putusan MK terhadap pengujian UU No. 7/2004 tentang
Sumber Daya Air. Beruntung bangsa ini, masih memiliki Abdul
Mukhtie Fajar dan Maruar Siahaan, dua Hakim Konstitusi, yang
berpendirian bahwa UU No. 7/2004 yang memuat klausula privatisasi
air, merupakan peraturan perundang-undangan yang melanggar
konstitusi.[54] Berpidatolah, Muhammad Yamin:

“Kemudian Tuan, Ketua, ada lagi yang perlu dibicarakan, yang


mungkin juga akan melahirkan tanya jawab dalam panitia
penyusunan konstitusi ini; sampai sekarang kita baru
membicarakan penyusunan negara terhadap sifatnya keluar,
dan belumlah membicarakan susunan negara terhadap sifatnya
kedalam. Buat kita sendiri, yang akan menyusun konstitusi itu
hendaklah jelas apa yang akan disusun…Oleh sebab itu
konstitusi ini hendaklah berisi bahan-bahan yang jelas, tidak
saja tentang penyusunan negara, tetapi juga berisi syarat-
syarat tentang kesejahteraan dan hak-hak rakyat tentang
perlindungan kemerdekaan ini, berbicara, berkumpul dan lain-
lainnya dan ringkasnya menjamin keadaan yang lebih selamat
dan lebih sentausa daripada keadaan dulu, kehidupan yang
lebih senang dan makmur dalam negara yang dicita-citakan
itu.”[55]

Selanjutnya, Yamin juga berorasi:

“Oleh sebab itu, pasal kesejahteraan hendaklah masuk dalam


konstitusi…Kita tidak saja menjamin kesejahteraan, tetapi juga
seperti segala konstitusi dari abad ke-18 sampai sekarang,
haruslah kita menjamin hak rakyat sebagai manusia yang
merdeka….Kita telah lepas daripada sifat penjajahan, yang
tidak mengenal hak rakyat dan hak kemerdekaan diri.
Selekasnya rakyat mendengarkan isi atau membaca konstitusi
itu hendaklah merasa masuk ke dalam negara baru dan negara
merdeka.”[56]

Pada Sidang BPUPK 15 Juli 1945, kembali Yamin menegaskan


pandangannya untuk mengkritisi draf pasal-pasal UUD. Yamin
menyampaikan pandangannya, agar pasal-pasal tentang kesejahteraan,
seperti yang dijanjikan dalam pembuka UUD, diberi jaminan yang
lebih luas dan jelas. [57] Ia dengan tegas menyampaikan hak-hak dasar
wajib dimasukan dalam UUD, yang ia sebut sebagai pasal dan perkara
yang “principieel”[58] Penolakannya ini, merupakan respon dari
pandangan Supomo yang berpendapat hak-hak dasar tidak perlu
dimasukkan dalam konstitusi.
Dalam sidang tersebut, Yamin juga sempat angkat bicara:
“Saya minta perhatian betul-betul, karena yang kita bicarakan
ini hak rakyat. Kalau hal ini tidak terang dalam hukum dasar,
maka ada kekhilafan daripada grondwet; grondwettelijke fout,
kesalahan Undang-undang Hukum dasar, besar sekali dosanya
buat rakyat yang menanti-nantikan hak daripada republik;
misalnya mengenai yang tertuju kepada warga negara, jangan
pikirkan bahwa hanya warga-negara yang akan mendapat hak,
juga penduduk akan diperlindungi oleh republik ini.”[59]

Muhammad Yamin, menyatakan Bagian V UUD 1945 memuat hak


asasi kemanusiaan, yakni perlindungan bagi setiap orang, seperti pasal
20, memuat ‘hak penduduk’ untuk bebas ‘berkumpul dan berapat’[60]
Menurut Yamin, pasal 27 memuat jaminan hak warga negara
mencakup persamaan hak didalam hukum dan persamaan hak didalam
pemerintahan.[61] Yamin menyatakan:
“Jang berhubungan dengan hak dikatakan dalam pasal 27 ajat
(2) bahwa: Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerdjaan dan
penghidupan yang lajak bagi kemanusiaan. Dalam pasal 28
ditetapkan pula:
1. Kemerdekaan berserikat dan berkumpul.
2. Mengeluarkan pikiran lisan dan tulisan.
3. dan sebagainya.”

Menurut Yamin, UUD 1945, merupakan hasil karya dibidang hukum


konstitusi, yang disusun, dalam aliran suasana nasional, dalam rangka
suasana internasional dan suasana perang dunia II, yang meliputi
Indonesia sebagai sebagian dari dunia semesta. Konstitusi yang hanya
memuat 37 pasal, menurut Yamin, merupakan salah satu manifesto
ringkas yang berisi petunjuk bagaimana revolusi kemerdekaan
Indonesia membentuk susunan ketatanegaraan Republik Indonesia dan
bagaimana tujuan akhir harus dicapai yaitu masyarakat adil dan
makmur berdasarkan ajaran Pancasila – yang ia persamakan dengan
masyarakat sosialis a la Indonesia.[62] Masyarakat adil dan makmur
ini, akan tercapai, menurutnya dengan melaksanakan pembangunan
semesta berencana. [63]

Keyakinan Yamin tentang jalan pembangunan semesta berencana,


dalam konteks pemenuhan hak asasi manusia, khususnya hak-hak
ekosob, dapat dipersamakan dengan konsep yang saat ini dikenal
dengan obligation of conduct dan obligation of result yang menjadi
obligasi pokok pemerintah.

Kewajiban Pemerintah adalah melaksanakan segala upaya – termasuk


melalui penetapan peraturan perundang-undangan bersama-sama
parlemen, maupun mengeluarkan kebijakan – untuk menghormati,
melindungi, dan memenuhi (to respect, protect and fulfil) hak asasi dan
kebebasan-kebebasan dasar. Disiplin HAM, membagi obligasi
pemerintah kedalam 2 besar pokok yakni: melakukan sesuatu dan
wewujudkan hasil (obligations of conduct and of result).[64] Sebagai
contoh, untuk memfasilitasi hak rakyat atas air, pemerintah diwajibkan
untuk membuat sebuah rencana aksi dan selanjutnya mewujudkan hak
rakyat atas air berdasarkan rencana aksi yang sudah disusun – bukan
malah memprivatisasi sumber-sumber dan mata air dan menjualnya
kepada badan-badan korporasi, privat dan orang perseorangan. Dengan
melaksanakan obligation of conduct dan obligation of result, maka apa
yang ada dibenak para pendiri negara (founding leaders) membentuk
republik untuk tujuan “masyarakat adil dan makmur” dapat dicapai.
*****

Gagasan hak asasi dan kebebasan fundamental, dalam skala tertentu


masih ia pertahankan, pun dalam periode Demokrasi Terpimpin.

Menurutnya, dalam Demokrasi Terpimpin, juga mengenal mengenal


kebebasan berpikir dan berbicara. Namun kebebasan ini dapat dijamin
dalam batas-batas kepentingan rakyat banyak dalam rangka
mewujudkan sosialisme Indonesia, yaitu tata masyarakat adil dan
makmur berdasarkan Pancasila, dimana rakyat dapat bekerja dengan
aman, atas dasar kekeluargaan, gotong-royong, dan terjamin segala
kebutuhan rakyat, dan masyarakat serta mendapat jaminan untuk
menikmati dan mengembangkan kebudayaannya serta
menyempurnakan hidup kerohaniannya, sehingga sungguh-sungguh
terlaksananya kesejahteraan lahir batin.[65]

Dukungan Yamin terhadap sistem demokrasi terpimpin, dapat


dipahami karena keyakinannya bahwa konsep demokrasi terpimpin di
Indonesia berbeda dengan konsep di negara lain. Menurutnya, konsep
yang dijalankan di Indonesia merupakan guided democracy/organized
democracy. Konsep ini, menurutnya tidak dipimpin oleh seseorang –
dalam hal ini hanya dipimpin oleh Sukarno – serta tidak juga berbentuk
gecentraliseerde democratie (demokrasi menurut paham historisch
materialisme). Demokrasi Terpimpin di Indonesia, menurut Yamin,
merupakan konsep demokrasi yang dipimpin oleh organisasi nasional
sendiri.[66] Bagi Yamin, Demokrasi Terpimpin dan kembalinya
Indonesia ke UUD 1945 merupakan jalan untuk menyusun sosial-
ekonomi Indonesia: kontra-revolusi ditekan; sisa-sisa ekonomi
imperialis dihabiskan dan ekonomi nasional dibentuk.[67]
Walaupun Yamin, dalam perkembangannya, populer sebagai
pendukung Dekrit 1959, pada saat proses persidangan Badan
Konstituate – hasil Pemilihan Umum 1955 – ia pernah menyampaikan
gagasan yang sebaiknya diadopsi Badan Konstituante. Dalam bukunya
“Rakyat Memilih: Parlemen dan Konstituante” [68], Yamin
menyebutkan bahwa ada 10 syarat minimum yang harus dipenuhi oleh
Konstitusi yang dibuat para konstituante tersebut agar sesuai dengan
keinginan dan kepentingan rakyat yang berjuang, serta sesuai dengan
UUD 1945, yaitu:
1. Bentukan Republik Indonesia;
2. Negara Kesatuan berotonomi berat;
3. Mewujudkan ajaran Pancasila;
4. Menjamin kemakmuran dan kesejahteraan rakyat;
5. Hak kebebasan manusia merdeka;
6. Demokrasi Politik, hak Beragama, pengajaran, kebudayaan dan
ekonomi;
7. Otonomi dan desentralisasi bagi rakyat di daerah;
8. Membentuk tentara rakyat dengan milisi nasional;
9. Tetap memasukkan rakyat dan daerah Irian Barat menjadi bangsa dan
wilayah Negara Republik Indonesia;
10. Rumusan kalimat jelas, tegas dan ringkas;

Yamin juga menegaskan bahwa untuk menjadi konstituante pada saat


itu, harus mempunyai syarat kegunaan, yakni antara lain: (1) para
wakil-pilihan menjamin: hak keramat kemerdekaan manusia, hak
rakyat memikul senjata, hak berotonomi penuh dan hak menjalankan
ibadat menurut agamanya; (2) para wakil-pilihan menjamin: hak
berharta benda, hak tanah, hak barang tambang, hak belajar dan hak
buruh, serta: (3) para wakil-pilihan: menjamin adanya garis-garis besar
kesenangan berotonomi daerah serta keamanan dan kemakmuran rakyat
mencari nafkah.
A. Pelajaran Penutup dari Seorang Yamin

Banyak profesi dan jabatan yang dikecap dan disandang oleh seorang
Muhammad Yamin, pejuang kemerdekaan nasional, sastrawan, tokoh
pers, politisi, menteri. Ia adalah langka, pada saat sidang BPUPK atau
DJC, dari 68 anggota, hanya ada 4 orang yang mendapat kesempatan
berpidato selama sekitar 1 jam: Sukano, Mohammad Hatta, Supomo,
dan seorang Muhammad Yamin.

Ia penerima tanda penghargaan Republik: diberi Bintang Mahaputera


Adipradana dan Satayalancana Peringatan Perjuangan Kemerdekaan
(1961), kemudian diberi gelar Pahlawan Nasional (1973).

Ia pantas disebut promotor hak asasi manusia di Indonesia. Yamin


adalah salah seorang pendiri Republik yang mendukung gagasan
perwujudan HAM. Pandangannya soal hak HAM, diharapkan dapat
memberikan kerangka perwujudan HAM saat ini – sebagaimana
dituangkan dalam UUD 1945 – yang disusun dalam konteks persamaan
hak asasi bukan saja sesama orang Indonesia, tetapi persamaan hak
dengan setiap orang didunia. Tentu saja mencanangkan Yamin sebagai
human rights promoter, akan mengundang resiko: dimana disisi lain,
terdapat gagasan Yamin dan sejumlah kontroversi yang meliputi sepak
terjangnya.
Sebagai penutup, pelajaran berharga yang, dapat diambil dari Yamin,
yang agaknya lumayan langka diperbuat saat ini: menolak posisi dalam
panitia keuangan. Saat ini, sudah tidak mengherankan, banyak tokoh,
intelektual, ‘orang pintar’ sangat gemar membahas anggaran dan duduk
dalam posisi panitia keuangan. Alkisah, pada 11 Juli 1945, dalam
penutupan sidang BPUPK yang dipimpin Radjiman Wedyodiningrat,
Muhammad Yamin diusulkan untuk menjadi anggota panitia keuangan.
Jika ditawarkan pada banyak orang saat ini, tentu akan diterima dengan
suka cita. Sebaliknya, Yamin dengan tegas menolak tawaran itu, “Tuan
Ketua, saya menyesal sekali tidak dapat menerima keanggotaan dalam
panitia keuangan, karena kurang pengetahuan...”[69] Bandingkan saat
ini, sedikit pengalaman maupun tak ada sama sekali pengalaman, bisa-
bisanya malah melamar di lembaga atau komisi-komisi Negara!

Tentang Penulis

A. Patra M. Zen

Saat ini Wakil Ketua Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia pada Yayasan
Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Penulis, editor dan co-editor buku,
antara lain: Inkonsistensi dan Separatisme Jakarta: Mengapa Tanah Papua Terus
Bergolak? (2005); Tak Ada Hak Asasi yang Diberi (2005); Sengketa
Konstitusional Lembaga-lembaga Negara (2005); Membangun Koalisi yang
Otoritatif Dalam Menilai Proses Pembentukkan Perundang-undangan yang
Partisipatif (2005); Refleksi dan Penyusunan Strategi Mewujudkan Partisipasi
Masyarakat dalam Penyusunan Peraturan Perundang-undangan (2005); Buku
Pintar. 60 Menit Memahami (Mengawasi) Penyusunan Peraturan Perundang-
undangan (2005); Naskah Akademik Rancangan Undang-undang tentang
Pengadaan Barang dan Jasa Publik (2004); Considering General Election in
Aceh under the Martial Law (2004); Koalisi Partisipasi (2003), dan Hukum
Perdata di Indonesia (2001). Kritik dan saran dapat melalui
patra.m.zen@gmail.com

Jaime Angelique

Saat ini Pekerja Bantuan Hukum pada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta.
Peneliti pada Sekretariat Nasional Koalisi Kebijakan Partisipatif (KKP) dan
peneliti pada program penelitian “Pengadaan Pegawai Negeri Sipil”, Lembaga
Konsumen Jakarta (LKJ). Kritik dan saran dapat melalui
angelique_jaime@yahoo.com

Referensi

Bahar, Saafroedin, A.B. Kusuma dan Nannie Hudawati (Penyunting). 1995.


Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI). 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945.
Cetakan Ke-1, Edisi ke-3. Jakarta: Sekretariat Negara RI.

Gunawan, Restu. 2005. Muhammad Yamin dan Cita-Cita Persatuan


Indonesia, Jogjakarta: Penerbit Ombak.

Leclerc, Jacques. (Hersri S, penerjemah). 1996. Amir Sjarifuddin. Antara


Negara dan Revolusi. Cetakan Ke-1. Jakarta: Jaringan Kerja Budaya.

Logemann, J.H.A. 1985. Keterangan-keterangan Baru tentang Terjadinya


UUD 1945. Jakarta: Aries Lima.

Notosusanto, Nugroho. 1981. Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara.


Jakarta: Balai Pustaka.

Redaksi Sinar Grafika. 2002. UUD 1945 Hasil Amandemen dan Proses UUD
1945 Secara Lengkap. Cetakan ke-1. Jakarta Sinar Grafika.

Toer, Pramoedya Ananta, Koesalah Soebagyo Toer dan Ediati Kamil. 1999.
Kronik Revolusi Indonesia Jilid I (1945). Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia.

Yamin, Muhammad. 19??. Rakyat Memilih: Parlemen dan Konstituante.


Bukittinggi: s.n.
-----------. 1959. Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945. Jilid ke-1.
Jakarta: Yayasan Prapantja.

-----------. 1959. Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia,


Djakarta:???,

-----------. 1960. Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945. Jilid ke-2.


Jakarta: Yayasan Prapantja.

-----------. 1960. Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945. Jilid ke-3.


Jakarta: Yayasan Prapantja.

Yayasan Gedung-gedung Bersejarah. 1974. Empat Puluh Lima Tahun Sumpah


Pemuda, Jakarta: YGBJ.

Peraturan perundang-undangan

Undang-undang Dasar 1945.

Yurisprudensi

Mahkamah Konstitusi. Putusan Perkara No. 058-059-060-063/PUU-II/2004


-----------. Putusan Perkaran No. 008/PUU-III/2005.

Pidato dan paper

Yamin, Muhammad. “Empat Uraian tentang Undang-Undang Dasar Republik


Indonesia”. Pidato 5 Djanuari 1960.

Zen, A. Patra M. “Hak atas Air Pasca Ratifikasi Kovenan Hak Ekosob”, paper
pada Rapat Kerja Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KruhA),
Yogyakarta 1 – 3 Februari 2006.

-----------, “Penegakan Demokrasi dan Pemenuhan Hak-hak Ekosob”, paper pada


Pendidikan kritis untuk aktivis Partai Politik, Bandar Lampung 23 – 25
Februari, LBH Bandar Lampung bekerjasama dengan FES Jakarta.

Artikel dimedia cetak

Kusuma, A.B. “Autentisitas Buku Prof. Mr. Yamin” dalam Suara Pembaruan. 19
Juni 1993.

Herfanda, Ahmadun Yosi. “Sastra dan Spirit Kebangkitan Bangsa”. Republika,


8 Juni 2003.
Lainnya

Kompas. 29 Maret 2000. “Daerah Sekilas. Pontianak”.

“Jean-Jacques Rousseau”. Teks di http://en.wikipedia.org/wiki/Jean-


Jacques_Rousseau

[1] Muhammad Yamin. “Empat Uraian tentang Undang-Undang Dasar Republik


Indonesia”. Pidato 5 Djanuari 1960., h. 37.

[2] Ibid.
[3] Jean-Jacques Rousseau (28 Juni 1712 – 2 Juli 1778) merupakan filsuf yang
ide-idenya kemudian memberikan pengaruh dalam proses Revolusi Perancis.
Gagasan-gagasannya juga mempengaruhi pemikiran dan teori sosialis serta
pertumbuhan nasionalisme baru menentang penjajahan kolonial diwilayah-wilayah
jajahan. Karya-karya utamanya, antara lain: Discours sur l’origine et les
fondements de l'inégalité parmi les homes (1754) – Dirkursus tentang Asal Muasal
dan Latar Belakang Kesenjangan (inequality) Antara Manusia; Discourse on
Political Economy (1755) dan Du contract social (1762) – Kontrak Sosial.
Tentang Rousseau, antara lain lihat “Jean-Jacques Rousseau”. Teks di
http://en.wikipedia.org/wiki/Jean-Jacques_Rousseau

[4] Muhammad Yamin. 1959. Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik


Indonesia, Djakarta:???, h. 275.

[5] Antara lain Nugroho Notosusanto. 1981. Proses Perumusan Pancasila Dasar
Negara. Jakarta: Balai Pustaka; J.H.A. Logemann. 1985. Keterangan-
keterangan Baru tentang Terjadinya UUD 1945. Jakarta: Aries Lima.

[6] Lihat terbitan Sekretariat Negara (Setneg) Republik Indonesia sampai dengan
cetakan kelima, edisi ke-2. Setneg mempublikasikan buku ini dimulai pada 1980
(cetakan pertama, edisi ke-1).

[7] Lihat Muhammad Yamin. Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945.


Jakarta: Yayasan Prapantja. Jilid ke-1 diterbitkan pada 1959, Jilid ke-2 dan ke-3
diterbitkan pada 1960. DJC merupakan bentukan Jenderal Hagachi Seisiroo,
jenderal Angkatan Darat Jepang

[8] BPUPK atau DJC keseluruhan beranggotakan 69 orang, diketuai Radjiman


Wedyaningrat dengan 2 orang wakil yakni R.P. Soeroso dan seorang Jepang,
Itibangase Yosio. Anggotanya berjumlah 60 orang yang merupakan tokoh dan
pimpinan utama Republik pada saat itu, serta beranggotakan juga 6 orang anggota
tambahan, yang diperkenalkan Radjiman Wedyodiningrat dalam Sidang BPUPK
Ke-2, Rapat Besar 10 Juli 1945. BPUK sempat 2 kali bersidang secara resmi.
Sidang ke-1 merupakan sidang resmi dipimpin langsung oleh Radjiman antara 28
Mei – 1 Juni 1945, membahas dasar negara. Sidang ke-2, berlangsung 10 – 17 Juli
1945, membahas bentuk negara, wilayah negara, kewarganegaraan, Rancangan
Undang-undang Dasar, ekonomi dan keuangan, pembelaan, pendidikan dan
pengajaran. Sidang BPUPK berlangsung dalam masa reses antara Sidang ke-1 dan
ke-2, membahas Rancangan Pembukaan UUD 1945, yang dipimpin Sukarno.
Sementara PPK, yang dibentuk 7 Agustus 1945, baru bersidang pada 18 Agustus
hingga 22 Agustus 1945.

[9] Lihat Nugroho Notosusanto. Op.cit., h. 19, 25.

[10] Ibid., h. 18.

[11] Lihat A.B. Kusuma, “Autentisitas Buku Prof. Mr. Yamin” dalam Suara
Pembaruan. 19 Juni 1993.

[12] Saafroedin Bahar, A.B. Kusuma dan Nannie Hudawati (Penyunting). 1995.
Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI). Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). 28
Mei 1945 – 22 Agustus 1945. Cetakan Ke-1, Edisi ke-3. Jakarta: Sekretariat
Negara RI, h. xv.

[13] Muhammad Yamin. 1959. Op.cit., h. 444-445.

[14] Lihat antara lain Kompas. 29 Maret 2000. “Daerah Sekilas. Pontianak”.

[15] Saafroedin Bahar, A.B. Kusuma dan Nannie Hudawati (Penyunting). Op.cit.,
h. 55.

[16] Ibid., h. 147.

[17] Ibid., h. 154.

[18] Lihat Jacques Leclerc. (Hersri S, penerjemah). 1996. Amir Sjarifuddin.


Antara Negara dan Revolusi. Cetakan Ke-1. Jakarta: Jaringan Kerja Budaya, h.
31, 32, 37 dan 38. Walau sempat dibela Amir Syarifuddin kalam kasus “Massa
Actie” Yamin, sebagai calon terpilih dari Sumatera Barat untuk duduk di
Volksraad, pernah menentang pencalonan Amir, yang diusulkan Partindo untuk
pemilihan dewan kotapraja Jakarta pada 26 April 1939. Sebagai informasi,
hubungan Yamin dan Amir sangat dekat pada 1920-an, ketika itu, Amir pernah
ditampung Mohammad Yamin, saat Amir belajar di Sekolah Hukum di Batavia
(sekarang Jakarta). Lihat, h. 36 dan 40.

[19] Lihat Nugroho Notosusanto. Op.cit.

[20] Puisi atau sajak Yamin tentang kecintaannya terhadap tanah air, memupuk
rasa kebangsaan anak-anak muda era 1920-an. Diera Yamin, muncul sajak-sajak
cinta tanah air yang romantik, dimana tanah air yang merdeka, adalah sebuah
‘impian’, Sajak-sajak romantik ini, telah menjadi media untuk mewujudkan tanah
air yang merdeka. Tentang sajak-saja Yamin, lihat antara lain Ahmadun Yosi
Herfanda. “Sastra dan Spirit Kebangkitan Bangsa”. Republika, 8 Juni 2003.
Kegemarannya pada syair dan sajak pun terbawa dalam pidato, pernyataan dan
dokumen-dokumen yang ia usulkan dalam Sidang BPUPK. Ia pernah
menyampaikan syair berjudul “Republik Indonesia” pada Sidang BPUPK 29 Mei
1945 dan memuat syair “Daerah Tumpah Darah Nusantara (Indonesia)”, yang
diambilnya dari karangan Prapanca dalam kitab Negarakertagama diera Gajah
mada (1364). Syair ini ia lampirkan sebagai bagian dari pidatonya pada Sidang
BPUPK 31 Mei 1945. Lihat Saafroedin Bahar, A.B. Kusuma dan Nannie
Hudawati (Penyunting). Op.cit., h. 29, 57 dan 58.

[21] Lihat Muhammad Yamin. 1959. Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar


1945. Jilid Ke-1. Jakarta: Yayasan Prapantja, h. 239.

[22] Yayasan Gedung-gedung Bersejarah. 1974. Empat Puluh Lima Tahun


Sumpah Pemuda, Jakarta: YGBJ, h. 65.

[23] Lihat Muhammad Yamin. “Empat Uraian …” Op.cit.

[24] Lihat Restu Gunawan. 2005. Muhammad Yamin dan Cita-Cita Persatuan
Indonesia, Jogjakarta: Penerbit Ombak, h. 35.

[25] Saafroedin Bahar, A.B. Kusuma dan Nannie Hudawati (Penyunting). Op.cit.,
h. 204 - 205.

[26] Ibid., h. 207 – 208.


[27] Lihat Ibid., h. 207.

[28] Lihat Ibid., h. xxviii.

[29] Panitia Sembilan, terdiri dari Sukarno, Muhammad Hatta, A.A. Maramis,
Abikusno Cokrosuyoso, Abdulkahar Muzakir, Agus Salim, Achmad Subarjo,
Wahid Hasyim dan Muhammad Yamin. mengistilahkannya sebagai Djakarta-
charter. Lihat Ibid., h. 385.

[30] Lihat Muhammad Yamin, “Keboelatan Fikiran Pada Hari Djandji Indonesia
Merdeka”, dalam Harian Asia Raya, 9 Djoeni, tahun ke IV, No.139, dikutip
dari Restu Gunawan. Op.cit., h. 35 dan 114.

[31] Lihat Saafroedin Bahar, A.B. Kusuma dan Nannie Hudawati (Penyunting).
Op,cit., mulai h. 213 sampai dengan 222.

[32] Lihat Ibid., h. 213.

[33] Lihat Ibid., h. 212 – 213.

[34] Lihat Ibid., h. 213.

[35] Lihat Ibid., h. 221.

[36] Muhammad Yamin. 1959. Op.cit., h.. 242.

[37] Ibid., h. 242. Harian tersebut dapat ditemukan dalam lampiran Saafroedin
Bahar, A.B. Kusuma dan Nannie Hudawati (Penyunting).

[38] Lihat Muhammad Yamin. “Empat Uraian …” Op.cit, h. 30.

[39] Untuk mengetahui hasil dan proses amandemen UUD 1945, lihat antara lain
Redaksi Sinar Grafika. 2002. UUD 1945 Hasil Amandemen dan Proses UUD
1945 Secara Lengkap. Cetakan ke-1. Jakarta Sinar Grafika.

[40] UUD 1945, Pasal 27(1).

[41] UUD 1945, Pasal 27(1).

[42] UUD 1945, Pasal 27(2).


[43] UUD 1945, Pasal 27(2).

[44] UUD 1945, Pasal 28.

[45] UUD 1945, Pasal 28.

[46] UUD 1945, Pasal 29(2).

[47] UUD 1945, Pasal 31(1).

[48] UUD 1945, Pasal 34.

[49] Saafroedin Bahar, A.B. Kusuma dan Nannie Hudawati (Penyunting). Op.cit.,
h. 177.

[50] Lihat Muhammad Yamin. “Empat Uraian …” Op.cit, h. 46.

[51] Rumusan Deklarasi Virginia tentang Hak Asasi Manusia (the Virginia
Declaration of Rights), dirumuskan George Mason – sempat di diperbaraui oleh
Thomas Ludwell Lee, diadopsi saat Konvensi Konstitusi Virginia pada 12 Juni
1776. Saat itu Virginia merupakan salah satu wilayah koloni dari Inggris.
Deklarasi ini kemudian banyak diadopsi wilayah-wilayah koloni lainnya. Thomas
Jefferson, menggunakan dokumen ini dalam paragraf pembukaan Deklarasi
Kemerdekaan Amerika Serikat (the Declaration of Independence). Selain itu,
dokumen ini juga menginspirasi James Madison dalam perumusan the Bill of
Rights (1789) dan juga Marquis de Lafayette saat merumuskan Deklarasi Perancis
tentang Hak-hak Asasi Manusia (1789).

[52] Muhammad Yamin. “Empat Uraian …” Op.cit., h. 39.

[53] Saafroedin Bahar, A.B. Kusuma dan Nannie Hudawati (Penyunting). Op.cit.,
h. 179. Sebagai informasi, terdapat sejumlah kesalahan penamaan dan tahun yang
disampaikan Yamin. Declaration yang dimaksudnya yakni Deklarasi Virginia
(Philadelphia) diadopsi pada 1776, bukan pada 1774.

[54] Mengenai putusan MK tersebut, antara lain dapat dilihat A. Patra M. Zen.
“Hak atas Air Pasca Ratifikasi Kovenan Hak Ekosob”, paper pada Rapat Kerja
Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KruhA), Yogyakarta 1 – 3 Februari 2006.
Putusan MK ini disampaikan pada Rapat Permusyawaratan Hakim Konstitusi 13
Juli 2005, dan disampaikan dalam Sidang Pleno MK pada 19 Juli 2005,
merupakan putusan perkara No. 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan perkara No.
008/PUU-III/2005.

[55] Saafroedin Bahar, A.B. Kusuma dan Nannie Hudawati (Penyunting). 1995.
Op.cit., h. 179.

[56] Ibid., h. 189.

[57] Ibid., h. 297.

[58] Ibid., h. 307.

[59] Ibid., h. 323.

[60] Muhammad Yamin. “Empat Uraian …” Op.cit., h. 45.

[61] Ibid., h. 45.

[62] Muhammad Yamin. 1959. Op.cit., h. 252

[63] Ibid.

[64] Mengenai obligation of conduct dan obligation of result, lihat antara lain A.
Patra M. Zen, “Penegakan Demokrasi dan Pemenuhan Hak-hak Ekosob”, paper
pada Pendidikan kritis untuk aktivis Partai Politik, Bandar Lampung 23 – 25
Februari, LBH Bandar Lampung bekerjasama dengan FES Jakarta.

[65] Muhammad Yamin. Tanpa Tahun. Pembangunan Semesta. Djakarta: NV.


Nusantara, h. 9.

[66] Muhammad Yamin. 1959. Op.cit., h. 292.

[67] Ibid., h. 131

[68] Muhammad Yamin. 19??. Rakyat Memilih: Parlemen dan Konstituante.


Bukittinggi: s.n., h. 11-13.

[69] Saafroedin Bahar, A.B. Kusuma dan Nannie Hudawati (Penyunting). Op.cit.,
h. 205. Lihat juga Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer dan Ediati
Kamil. 1999. Kronik Revolusi Indonesia Jilid I (1945). Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia, h. 15.

POST ED BY APAT RA AT 8 :03 AM

0 COMMENTS:

Post a Comment

Newer Post
Older Post
Home

Subscribe to: Post Comments (Atom)


BLOG ARCHIVE
Blog Archive
04/29 - 05/06 (45)
11/21 - 11/28 (2)

ABOUT ME

A PA TR A
Patra M Zen
V IEW MY COM P LET E PROFILE

You might also like