You are on page 1of 19

PENDAHULUAN

Sejak dulu di Negara Indonesia, hukum islam memegang peranan yang sangat penting
dalam pembentukan hokum di Indonesia selain hokum belanda yang berlaku saat ini. Setelah
Indonesia berusia 60 tahun dan telah mengalami 6 kali pergantian presiden, hokum islam
tetap di pakai dibeberapa bidang hukumdisamping hokum belanda tentunya. Seperti yang
kita ketahui tentunya, gelombang reformasi yang menyapu seluruh kawasan Indonesia sejak
kejatuhan suharto banyak memunculkan kembali lembaran sejarah masa lalu Indonesia.
Salah satunya yang hingga hari ini menjadi sorotan adalah tuntutan untuk kembali kepada
syari’at islam, atau hokum islam yang kemudian mrngundang beragam kontroversi di
Indonesia. Kalau kita lihat lembarab sejarah Indonesia, salah satu factor pemicunya adalah
tuntutan untuk mengembalikan tujuh kata bersejarah yang tadinya terdapat dalam pembukaan
atau mukadimmah konstitusi Indonesia yang dirumuskan oleh para pendiri Indonesia.

Nilai moral agama bagi bangsa Indonesia adalah segala sesuatu atau ketentuan yang
mengandung petunjuk dan pedoman bagi manusia dalam hidupnya menurut moral agama.
Contohnya petunjuk dan pedoman bagi manusia dalam hidup bermasyarakat dan bernegara.
Sebagai bangsa yang mempunyai multi agama, keaneragaman perilaku dan adapt istiadat
membuat masyarakat Indonesia mempunyai watak yang dipengaruhi oleh agama yang
mereka anut. Sikap toleransi terus tumbuh dan berkembang dalam jiwa dan perilaku sehari-
hari. Adanya kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan ajaran masing-masing, adalah
bukti dan kenyataan yang ada dalam masyarakat.

Mempelajari dan mendalami nilai moral agama dan kerukunan antar umat beragama
merupakan kewajiban setiap pemeluk agama baik laki-laki maupun perempuan, agar dalam
kehidupan dapat melaksanakan perannya sebagai manusia. Oleh karena itu, manusia manusia
dalam hidupnya harus selalu berusaha untuk menjadikan seluruh hidupnya sebagai wujud
ibadah kepada Tuhan YME. Ibadah dalam arti pengabdian yang bertujuan mencari ridho
Allah SWT akan dapat dilaksanakan secara baik dan benar apabila didasari dengan
pengetahuan agama, agar tercipta juga kerukunan antar umat beragama di Negara Indonesia.
KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA

Kerukunan dalam kehidupan akan dapat melahirkan karya – karya besar yang
bermanfaat dalam memenuhi kebutuhan hidup. Sebaliknya konflik pertikaian dapat
menimbulkan kerusakan di bumi. Manusia sebagai mahkluk social membutuhkan keberadaan
orang lain dan hal ini akan dapat terpenuhi jika nilai-nilai kerukunan tumbuh dan
berkembang ditengah-tengah masyarakat. Kerukunan dapat diklasifikan menjadi dua yaitu
kerukunan antar umat islam dan kerukunan antar umat baragama atau antar umat manusia
pada umumnya.

Kerukunan antar umat islam didasarkan pada akidah islamnya dan pemenuhan
kebutuhan social yang digambar kan bagaikan satu bangunan, dimana umat islam satu sama
lain saling menguatkan dan juga digambarkan seperti satu tubuh;jika ada bagian tubuh yang
sakit maka seluruh anggota tuybuh merasakan sakit. Hal ini berbeda dengan kerukunan antar
umat beragama atau umat manusia pada umumnya. Kerukunan antar umat beragama
didasarkan pada kebutuhan social dimana satu sama lain saling membutuhkan agar
kebutuhan-kebutuhan hidup dapat ter penuhi. Kerukunan antar umat manusia pada umumnya
baik seagama maupun luar agama dapat diwujudkan apabila satu sama lain dapat saling
menghormati dan menghargai.

Dalam ajaran islam seorang muslim tidak dibolehkan mencacimaki orang tuanya
sendiri. Artinya jika seseorang mencacimaki orang tua saudaranya, maka orang tuanya pun
akan dibalas oleh saudaranya untuk dicaci maki. Demikian pula mencaci maki tuhan atau
peribadatan agama lain, maka akibatnya pemeluk agama lain pun akan mecaci maki tuhan
kita. Sejalan dengan agama ini agar pemeluk agama lain pun menghargai dan menghormati
agama islam.
PENGERTIAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA

Kerukunan umat bragama yaitu hubungan sesame umat beragama yang dilandasi
dengan toleransi, saling pengertian, saling menghormati, saling menghargai dalam kesetaraan
pengamalan ajaran agamanya dan kerja sama dalam kehidupan masyarakat dan bernegara.
Umat beragama dan pemerintah harus melakukan upaya bersama dalam memelihara
kerukunan umat beragama, di bidang pelayanan, pengaturan dan pemberdayaan. Sebagai
contoh yaitu dalam mendirikan rumah ibadah harus memperhatikan pertimbangan Ormas
keagamaan yang berbadan hokum dan telah terdaftar di pemerintah daerah.

Pemeliharaan kerukunan umat beragama baik di tingkat Daerah, Provinsi, maupun


Negara pusat merupakan kewajiban seluruh warga Negara beserta instansi pemerinth lainnya.
Lingkup ketentraman dan ketertiban termasuk memfalisitasi terwujudnya kerukunan umat
beragama, mengkoordinasi kegiatan instnsi vertical, menumbuh kembangkan keharmonisan
saling pengertian, saling menghormati, saling percaya diantara umat beragama, bahkan
menerbitkan rumah ibadah.

Sesuai dengan tingkatannya Forum Krukunan Umat Beragama dibentuk di Provinsi


dan Kabupaten. Dengan hubungan yang bersifat konsultatif gengan tugas melakukan dialog
dengan pemuka agama dan tokoh-tokoh masyarakat, menampung aspirasi Ormas keagamaan
dan aspirasi masyarakat, menyalurkan aspirasi dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan
kebijakan.

Kerukunan antar umat beragama dapat diwujdkan dengan;


1. Saling tenggang rasa, saling menghargai, toleransi antar umat beragama
2. Tidak memaksakan seseorang untuk memeluk agama tertentu
3. Melaksanakan ibadah sesuai agamanya, dan

4. Mematuhi peraturan keagamaan baik dalam Agamanya maupun peraturan


Negara atau Pemerintah.

Dengan demikian akan dapat tercipta keamanan dan ketertiban antar umat beragama,
ketentraman dan kenyamanan di lingkungan masyarakat berbangsa dan bernegara.
PENGERTIAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA MENURUT
ISLAM

Kerukunan umat beragama dalam islam yakni Ukhuwah Islamiah. Ukhuah islamiah
berasl dari kata dasar “Akhu” yang berarti saudara, teman, sahabat, Kata “Ukhuwah” sebagai
kata jadian dan mempunyai pengertian atau menjadi kata benda abstrak persaudaraan,
persahabatan, dan dapat pula berarti pergaulan. Sedangkan Islaiyah berasal dari kata Islam
yang dalam hal ini menjadi atau memberi sifat Ukhuwah, sehingga jika dipadukan antara
kata Ukhuwah dan Islamiyah akan berarti persaudaraan islam atau pergaulan menurut islam.

Dapat dikatakan bahwa pengertian Ukhuah Islamiyah adalah gambaran tentang


hubungan antara orang-orang islam sebagai satu persaudaraan, dimana antara yang satu
dengan yang lain seakan akan berada dalam satu ikatan. Ada hadits yang mengatakan bahwa
hubungan persahabatan antara sesame islam dalam menjamin Ukhuwah Islamuah yang
berarti bahwa antara umat islam itu laksana satu tubuh, apabila sakit salah satu anggota
badan itu, maka seluruh badan akan merasakan sakitnya. Dikatakan juga bahwa umat muslim
itu bagaikan sutu bangunan yang saling menunjang satu sama lain.

Pelaksanaan Ukhuwah Islamiyah menjadi actual, bila dihubungkan dengan masalah


solidaritas social. Bagi umat Islam, Ukhuwah Islamiyah adalah suatu yang masyru’ artinya
diperintahkan oleh agama. Kata persatuan, kesatuan, dan solidaritas akan terasa lebih tinggi
bobotnya bila disebut dengan Ukhuwah. Apabila bila kata Ukhuwah dirangkaikan dengan
kata Islamiyah, maka ia akan menggambarkan satu bentuk dasar yakni Persaudaraan Islam
merupakan potensi yang obyektif.

Ibadah seperti zakat, sedekah, dan lain-lain mempunyai hubungan konseptual dengan
cita ukhuwah islamiyah. Ukhuwah islamiyah itu sendiri bukanlah tujuan, Ukhuwah
Islamiyah adalah kesatuan yang menjelmakan kerukunan hidup umat dan bangs, juga untuk
kemajuan agama, Negara, dan kemanusiaan. “Janganlah bermusuh- musuhan, maka Allah
menjinakan antara hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang
bersaudara” (QS. Ali Imran: 103) Artinya: “Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang
yang bercerai dan berselisih sesudah dating keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka
itulah orang0orang yang mendapat siksa yang berat. (QS. Ali Imran 105).
MANFAAT KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA

Umat Beragama Diharapkan Perkuat Kerukunan Jika agama dapat dikembangkan


sebagai faktor pemersatu maka ia akan memberikan stabilitas dan kemajuan negara

Menteri Agama Muhammad Maftuh Basyuni berharap dialog antar-umat beragama


dapat memperkuat kerukunan beragama dan menjadikan agama sebagai faktor pemersatu
dalam kehidupan berbangsa.

"Sebab jika agama dapat dikembangkan sebagai faktor pemersatu maka ia akan
memberikan sumbangan bagi stabilitas dan kemajuan suatu negara," katanya dalam
Pertemuan Besar Umat Beragama Indonesia untuk Mengantar NKRI di Jakarta, Rabu.

Pada pertemuan yang dihadiri tokoh-tokoh agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha,
dan Konghucu itu Maftuh menjelaskan, kerukunan umat beragama di Indonesia pada
dasarnya telah mengalami banyak kemajuan dalam beberapa dekade terakhir namun
beberapa persoalan, baik yang bersifat internal maupun antar-umat beragama, hingga kini
masih sering muncul.

Menurut dia, kondisi yang demikian menunjukkan bahwa kerukunan umat beragama
tidak bersifat imun melainkan terkait dan terpengaruh dinamika sosial yang terus
berkembang. "Karena itu upaya memelihara kerukunan harus dilakukan secara komprehensif,
terus-menerus, tidak boleh berhenti," katanya.

Dalam hal ini, Maftuh menjelaskan, tokoh dan umat beragama dapat memberikan
kontribusi dengan berdialog secara jujur, berkolaborasi dan bersinergi untuk menggalang
kekuatan bersama guna mengatasi berbagai masalah sosial termasuk kemiskinan dan
kebodohan.

Ia juga mengutip perspektif pemikiran Pendeta Viktor Tanja yang menyatakan


bahwa misi agama atau dakwah yang kini harus digalakkan adalah misi dengan tujuan
meningkatkan sumber daya insani bangsa, baik secara ilmu maupun karakter. "Hal itu
kemudian perlu dijadikan sebagai titik temu agenda bersama lintas agama," katanya.

Mengelola kemajemukan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma'ruf


Amin mengatakan masyarakat Indonesia memang majemuk dan kemajemukan itu bisa
menjadi ancaman serius bagi integrasi bangsa jika tidak dikelola secara baik dan benar.
"Kemajemukan adalah realita yang tak dapat dihindari namun itu bukan untuk dihapuskan.
Supaya bisa menjadi pemersatu, kemajemukan harus dikelola dengan baik dan benar,"
katanya. Ia menambahkan, untuk mengelola kemajemukan secara baik dan benar diperlukan
dialog berkejujuran guna mengurai permasalahan yang selama ini mengganjal di masing-
masing kelompok masyarakat.

"Karena mungkin masalah yang selama ini terjadi di antara pemeluk agama terjadi
karena tidak sampainya informasi yang benar dari satu pihak ke pihak lain. Terputusnya
jalinan informasi antar pemeluk agama dapat menimbulkan prasangka- prasangka yang
mengarah pada terbentuknya penilaian negatif," katanya.

Senada dengan Ma'ruf, Ketua Konferensi Waligereja Indonesia Mgr.M.D Situmorang, OFM.
Cap mengatakan dialog berkejujuran antar umat beragama merupakan salah satu cara untuk
membangun persaudaraan antar- umat beragama.

Menurut dia, tema dialog antar-umat beragama sebaiknya bukan mengarah pada
masalah theologis, ritus dan cara peribadatan setiap agama melainkan lebih ke masalah-
masalah kemanusiaan. "Dalam hal kebangsaan, sebaiknya dialog difokuskan ke moralitas,
etika dan nilai spiritual," katanya.

Ia juga menambahkan, supaya efektif dialog antar-umat beragama mesti "sepi" dari
latar belakang agama yang eksklusif dan kehendak untuk mendominasi pihak lain. "Sebab
untuk itu butuh relasi harmonis tanpa apriori, ketakutan dan penilaian yang dimutlakkan.
Yang harus dibangun adalah persaudaraan yang saling menghargai tanpa kehendak untuk
mendominasi dan eksklusif," katanya.

Menurut Ketua Umum Majelis Tinggi Agama Khonghucu Budi S Tanuwibowo,


agenda agama-agama ke depan sebaiknya difokuskan untuk menjawab tiga persoalan besar
yang selama ini menjadi pangkal masalah internal dan eksternal umat beragama yakni rasa
saling percaya, kesejahteraan bersama dan penciptaan rasa aman bagi masyarakat. "Energi
dan militansi agama seyogyanya diarahkan untuk mewujudkan tiga hal mulia itu," demikian
Budi S Tanuwibowo.
KESIMPULAN

Kerukunan antar umat beragama dibedakan menjadi dua yaitu:


1. Kerukunan umat beragama antar sesama manusia.
2. Kerukunan umat agama menurut islam.

Kerukunan umat beragama antar sesame manusia yaitu Hubungan sesame umat
beragama dilandasi dengan toleransi, saling pengertian, saling menghormati, saling
menghargai dan kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerja sama dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sedangkan, Kerukunan antar umat
beragama menurut islam yaitu Ukhuwah Islamiyah yang berarti gambaran tentang hubungan
antara orang-orang islam sebagai salah satu ikatan persaudaraan, dimana antara yang satu
dengan yang lainnya seakan akan berada dalam satu ikatan.
KKN menurut hukum islam

Pada saat sekarang ini, bangsa Indonesia tengah mengalami krisis moneter dan krisis
ekonomi berkepanjangan yang salah satunya disebabkan oleh praktek Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme (KKN) yang dilakukan oleh para pejabat pemerintah sejak dari tingkat desa
hingga tingkat nasional. Di antara faktor-faktor yang menyebabkan maraknya praktek
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) adalah karena lemahnya iman dan penghayatan para
pejabat negara terhadap ajaran-ajaran agama, serta ketidak-mengertian mereka tentang
hukum Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).

Untuk menghentikan praktek KKN di kalangan pejabat pemerintah dan masyarakat luas,
MUI Propinsi DKI Jakarta memfatwakan tentang hukum korupsi, kolusi dan nepotisme
(KKN) serta cara memberantasnya, sebagai berikut:

1. Ditinjau dari segi etimologi, korupsi berasal dari bahasa Inggris corruption yang berasal
dari akar kata corrupt yang berarti jahat, buruk, dan rusak. Sedangkan menurut istilah,
korupsi didefinisikan sebagai berikut: -

a. Menurut Robert Klitgaard dalam bukunya Controlling Corruption, korupsi adalah,


"Tingkah laku menyimpang dari tugas resmi sebuah jabatan demi keuntungan status atau
uang yang menyangkut pribadi, kerabat atau kroni".

b. Korupsi adalah perbuatan buruk atau tindakan menyelewengkan dana, wewenang, waktu,
dan sebagainya dengan tujuan untuk kepentingan pribadi sehingga menyebabkan kerugian
bagi pihak lain. Karena akibatnya yang merugikan itu, maka korupsi digolongkan sebagai
tindak pidana.

c. Korupsi adalah suatu perbuatan tidak jujur atau penyelewengan yang dilakukan karena
adanya suatu pemberian. Dalam prakteknya, korupsi lebih dikenal sebagai menerima uang
yang ada hubungannya dengan jabatan tanpa ada catatan atau administrasinya. Sebagai balas
jasa yang diberikan oleh pejabat, disadari atau tidak, adalah berupa kelonggaran aturan yang
semestinya diterapkan secara ketat.

Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan, bahwa korupsi dalam perspektif
ajaran Islam adalah identik dengan risywah, ghulul, dan at-tajawuz fi isti'mal al-haqq, serta
termasuk salah satu bentuk dari sikap khianat yang diharamkan oleh Allah SWT karena
korupsi berdampak negatif dan sangat merugikan masyarakat luas. Di antaranya adalah: -

a. Merusak akhlak dan moral bangsa


b. Mengacaukan sistem perekonomian dan hukum
c. Menggerogoti kesejahteraan rakyat dan menghambat pelaksanaan pembangunan.
d. Merugikan dan bahkan menimbulkan dlarar (bahaya) bagi orang lain
e. Menyebabkan hilangnya berkah dari Allah SWT
f. Menyebabkan siksa neraka.

Sebagaimana telah disabdakan Rasulullah SAW :

‫ت َفالّناُر َأْوَلى ِبِه )رواه البيهقي‬


ٍ ‫ح‬
ْ‫س‬
ُ ‫ن‬
ْ ‫ت ِم‬
َ ‫سدٍ َنَب‬
َ‫ج‬َ ‫ل‬
ّ ‫ُك‬

Artinya:
Setiap daging yang tumbuh dari sesuatu (makanan & minuman) yang haram, maka lebih
berhak masuk ke dalam neraka.

g. Anak-anak yang diberi makan dan minum dari hasil korupsi, susah dididik menjadi anak
yang shaleh, yang mau beribadah kepada Allah SWT serta berbakti kepada kedua orang tua.
Anak-anak seperti itu, cenderung mengabaikan ajaran agama, menentang orang tua,
mengkonsumsi obat-obatan terlarang, mempraktekkan kehidupan free sex, suka tawuran, dan
melakukan berbagai kejahatan yang lain. Hal ini tidak lain karena mereka dibesarkan dari
makanan dan minuman yang dibeli dengan uang hasil korupsi yang secara tegas dilarang
oleh Allah. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat an-Nisa' ayat 29:

‫(النساء‬29)‫ض‬
ٍ ‫عن َتَرا‬
َ ‫جاَرًة‬
َ ‫ن ِت‬
َ ‫ل َأن َتُكو‬
ّ ‫ل ِإ‬
ِ‫ط‬
ِ ‫ل َتْأُكُلوْا َأْمَواَلُكْم َبْيَنُكْم ِبالَبا‬
َ ‫ن آَمُنوْا‬
َ ‫َيا َأّيَها اّلِذي‬

Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di
antara kamu. An-Nisa', 4: 29.

2. Jenis dan kategori korupsi adalah sebagai berikut:


a. Penyalah-gunaan wewenang
b. Penyelewengan dana, seperti dalam bentuk-bentuk sebagai berikut:
1). Pengeluaran fiktif
2). Manipulasi harga pembelian atau kontrak
3). Penggelapan dana atau pencurian langsung darikas.
Ada lima bidang kegiatan yang dianggap sebagai sumber praktek korupsi, yaitu: -

1). Proyek pembangunan fisik dan pengadaan barang.Hal ini menyangkut harga, kualitas, dan
komisi.

2). Bea dan cukai yang menyangkut manipulasi bea masuk barang dan penyelundupan
administratif.

3). Perpajakan, yang menyangkut proses penentuan besarnya pajak dan pemeriksaan pajak.

4). Pemberian izin usaha, dalam bentuk penyelewengan komisi dan jasa serta pungutan liar.

5). Pemberian fasilitas kredit perbankan dalam bentuk penyelewengan komisi dan jasa serta
pungutan liar.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka pemberian imbalan di luar kontrak yang telah
disepakati karena kita menyetujui pembelian atau pengadaan barang (kantor) dengan harga di
atas harga yang wajar adalah termasuk korupsi yang diharamkan oleh Allah SWT. Karena
hal itu termasuk manipulasi harga pembelian atau kontrak.

Sedangkan karyawan yang datang terlambat atau pulang lebih cepat dari waktu yang telah
ditentukan, dalam istilah yang populer tidak termasuk dalam kategori korupsi karena tidak
berupa penyalah-gunaan wewenang atau penyelewengan dana. Sungguh pun demikian, hal
itu termasuk perbuatan yang tidak baik karena melanggar disiplin dan mengurangi
produktivitas kerja sehingga merugikan pihak lain.

3. Kolusi, ditinjau dari segi etimologi berasal dari bahasa Inggris collusion yang berarti
persekongkolan atau kongkalikong.Sedangkan menurut pasal 1 ayat 4 Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 1999, Kolusi adalah permufakatan atau kerjasama secara melawan hukum
antar penyelenggara negara atau antara penyelenggara negara dengan pihak lain yang
merugikan orang lain, masyarakat, bangsa atau negara.

4.Nepotisme berasal dari bahasa Perancis nepote yang berarti keponakan. Istilah ini pada
mulanya digunakan untuk menjelaskan praktek favoritisme yang dilakukan oleh pimpinan
Gereja Katolik Romawi (Paus dan para Kardinal) pada abad pertengahan, yang memberikan
jabatan-jabatan kepada sanak, famili, keponakan atau orang-orang yang mereka sukai.

Berdasarkan pengertian bahasa di atas, maka Nepotisme dapat didefinisikan sebagai berikut:
“Nepotisme adalah suatu sikap atau tindakan seorang pemimpin yang lebih mendahulukan
keluarga dan sanak famili dalam mem-berikan jabatan dan yang lain, baik dalam birokrasi
pemerintahan maupun dalam manajemen perusahaan swasta.

5. Pada umumnya, manusia mempunyai ikatan jiwa yang lebih kuat dengan keluarga dan
sanak famili dibanding dengan orang lain. Hal ini sesuai dengan teori 'ashobiyah yang
dikembangkan oleh Ibnu Khaldun. Oleh karena itu, sangat wajar jika seorang pemimpin
pemerintahan atau perusahaan swasta atau yang lain, lebih senang memberikan jabatan-
jabatan strategis kepada keluarga atau orang yang disenanginya serta lebih mementingkan
dan mengutamakan mereka dalam segala hal dibanding dengan orang lain yang tidak
mempunyai ikatan apa-apa. Hal ini disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut: -

a. Pada umumnya, kerabat memiliki rasa tanggungjawab yang lebih besar terhadap
pekerjaannya dibandingkan dengan orang lain.

b. Pada umumnya, keluarga lebih mudah fit in dibanding non keluarga.

c. Pada umumnya keluarga menaruh perhatian dan minat yang lebih besar dibandingkan
dengan orang lain.

d. Pada umumnya keluarga memiliki loyalitas dan kehandalan (dependability) yang lebih
tinggi dibandingkan dengan orang lain.

e. Pada umumnya keluarga lebih mampu melaksanakan kebijakan-kebijakan secara efektif


dibandingkan dengan orang lain.

f. Jika keluarga yang diberi jabatan tertentu mampu melaksanakan tugas dan tanggungjawab
dengan baik, maka akan mendorong semangat kerja orang lain.

Sepanjang keluarga atau orang yang disenanginya mempunyai kemampuan dan


profesionalisme serta bersifat amanah dalam memegang jabatan yang diberikan kepadanya,
maka tidak ada sesuatu yang perlu dipermasalahkan. Permasalahannya adalah, bagaimana
jika keluarga atau famili atau orang lain yang disenanginya itu tidak mempunyai kemampuan
dan profesionalisme, atau tidak bersifat amanah dalam memegang jabatan yang diberikan
kepadanya?

Menurut ajaran Islam, seorang pemimpin tidak boleh memberikan jabatan -apalagi jabatan
yang sangat strategis-kepada seseorang semata-mata atas dasar pertimbangan hubungan
kekerabatan atau kekeluargaan, padahal yang bersangkutan tidak mempunyai kemampuan
dan profesionalisme, atau tidak bersifat amanah dalam memegang jabatan yang diberikan
kepadanya, atau ada orang lain yang lebih berhak dari padanya. Sebagaimana telah
disabdakan oleh Rasulullah dalam hadits shahih riwayat Imam al-Hakim dalam al-Mustadrak
dari sahabat Abdullah ibn Abbas, sebagai berikut:

‫صاَبِة‬
َ ‫ك ْالِع‬
َ ‫ي ِتْل‬
ْ ‫صاَبٍة َوِف‬َ ‫ع‬ ِ ‫ن‬ْ ‫ل ِم‬ً‫ج‬ ُ ‫ل َر‬َ ‫سَتْعَم‬
ْ ‫سّلَم َمنِ ا‬
َ ‫عَلْيِه َو‬
َ ‫ل‬ُ ‫صّلى ا‬
َ ‫ل‬ِ ‫لا‬ ُ ‫سْو‬
ُ ‫ل َر‬
َ ‫ل َقا‬
َ ‫عْنُهَما َقا‬
َ ‫ل‬
ُ ‫يا‬
َ‫ض‬ِ ‫س َر‬
ٍ ‫عّبا‬
َ ‫ن‬
ِ ‫ن اْب‬
ِ‫ع‬َ
‫ن )رواه الحاكم‬ َ ‫ن ْالُمْؤِمِنْي‬
َ ‫خا‬
َ ‫سْوَلُه َو‬ُ ‫ن َر‬َ ‫خا‬َ ‫ل َو‬
َ ‫نا‬ َ ‫خا‬
َ ‫ل ِمْنُه َفَقْد‬
ِ ‫ضى‬ َ ‫ن ُهَو َأْر‬ْ ‫َم‬

"Barangsiapa memberikan jabatan kepada seseorang semata-mata karena didasarkan atas


pertimbangan keluarga, padahal di antara mereka ada orang yang lebih berhak daripada
orang tersebut, maka ia telah berkhianat kepadaAllah, Rasulullah dan orang-orang yang
beriman".

6. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa nepotisme yang dilarang oleh ajaran
Islam adalah nepotisme yang semata-mata didasarkan pada pertimbangan keluarga atau
sanak famili dengan tanpa memperhatikan kemampuan dan profesionalisme serta sifat
amanah seseorang yang akan diberi jabatan. Adapun nepotisme yang disertai dengan
pertimbangan kemampuan dan profesionalisme serta sifat amanah seseorang yang akan
diberi jabatan, maka hal itu tidak dilarang.
KKN MENURUT HADIS
Penelitian Metodologis Hadis Masalah Korupsi, Kolusi, Nepotisme dan Individualistis

Studi Kasus Atas Hadis Abu Humaidy Tentang Larangan Menerima Hadiah Bagi Pejabat
Dalam Melaksanakan Tugas

Oleh : Sholeh Ahmad

PENDAHULUAN

Mayoritas umat Islam sepakat bahwa hadis adalah merupakan sumber hukum yang sangat
penting sebagai pedoman utama ajaran Islam setelah al-Qur’an. Dengan kata lain bahwa, al-
qur’an merupakan sumber ajaran Islam yang pertama, sedangkan hadis Nabi saw. adalah
merupakan sumber ajaran Islam yang kedua.[1] Hal ini sebagaimana di jelaskan dalam al-
Qur’an surat al-Hasyr : 7 ; ‫ا‬

‫وماا تا كم ا لر سـو ل فخـد و ه و ما نها كم عـنه فا نتهـو ا و ا تقـو ا ل ا ن ا ل شـد يد ا لعقا ب‬

“ Apa yang di berikan rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang di larangnya
bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat
keras hukuman-Nya”.[2] [3]

Berdasarkan petunjuk ayat tersebut di atas, jelaslah bahwa untuk mengetahui petunjuk
hukum yang benar dalam ajaran Islam, di samping harus berpegang teguh pada al-Qur’an
juga harus berpegang teguh pada hadis Nabi Saw. Dalam hal ini Nabi saw. sendiri telah
menginformasikan kepada umatnya bahwa, di samping al-Qur’an masih terdapat satu
pedoman yang sejenis dengan al-Qur’an, yakni al-hadis. Sebagaimana sabdanya mengatakan:
‫) ا ل و ا نى اء تيت ا لقـر اء ن و مـثـلـه ) رواه ا بو دا ود واحمد والتر مدى‬

“ Wahai Umatku, sungguh aku telah di beri al-Qur’an dan yang menyamainya”. (HR. Abu
Dawud, Ahmad, dan Turmuziy ).[4]

Jadi tidak di ragukan lagi bahwa yang di maksud dengan “menyamai” atau semisal al-Qur’an
dalam matan hadis di atas adalah hadis Nabi saw. Mengingat peran hadis yang begitu penting
sebagai sumber hukum Islam setelah al-Qur’an, mengharuskan adanya penelitian yang
mendalam sebagai upaya menjaga kualitas kemurnian, keotentikan, dan kesahihannya.
Sehingga secara legal hadis-hadis yang telah terseleksi keotentikannya dapat di pertanggung
jawabkan sebagai hujjah dalam menetapkan suatu hukum. Langkah penelitian terhadap
kualitas hadis menjadi sangat penting, mengingat bahwa latar belakang sejarah
penghimpunan hadis baru terjadi pada akhir tahun 100 H. (awal akhir abad ke II H.), atas
perintah Khalifah Umar Ibn ‘Abd al-Azis yang memerintah sekitar tahun 717-720 M.[5]

Dengan melihat jauhnya jarak antara masa kehidupan Nabi saw. dengan masa perhimpunan
hadis-hadis tersebut, tidak menutup kemungkinan terjadinya berbagai manipulasi,
pemalsuan, dan penyimpangan terhadap matan hadis dan lain sebagainya. Sehingga
menyebabkan kualitas hadis menjadi berbagai macam bentuknya, ada yang di anggap sahih,
hasan maupun da’if. Perlu di jelaskan di sini bahwa terjadinya kualitas hadis hasan adalah
merupakan pecahan dari kualitas hadis da’if yang di pergunakan sebelum masanya al-
Turmuziy.[6]

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka adanya usaha penelitian penelusuran
terhadap hadis-hadis yang di pergunakan untuk menetapkan hukum, terutama yang
berhubungan dengan masalah : Larangan menerima hadiah bagi para pejabat dalam
melaksanakan tugasnya, tidak menutup kemungkinan akan menghasilkan pernyataan kualitas
hadis yang berbagai macam. Apakah hadis –hadis yang di jadikan sebagai landasan hukum
tersebut berkualitas sahih, hasan ataupun da’if. Oleh karena itu untuk menggunakan
kapasitas sebuah hadis dalam kualifikasi sahih, hasan atau da’if, tidak bisa tidak kecuali
harus melakukan verifikasi melalui penelitian baik terhadap sanad maupun terhadap matan
hadis. Dimana proses ini merupakan upaya untuk memastikan paling tidak menduga secara
kuat bahwa, hadis-hadis di maksud benar-benar berasal dari Nabi saw. sehingga secara
otentik bisa menjadi hujjah bagi penetapan hukum dalam Islam sekaligus dapat di
pertanggung jawabkan kevaliditasannya.

PEMBAHASAN SANAD DAN MATAN HADIS TENTANG LARANGAN


MENERIMA HADIAH BAGI PARA PEJABAT

Klasifikasi Hadis Tentang Larangan Menerima Hadiah Bagi Para Pejabat

Takhrij al- Hadis

Kata takhrij yang sering di artikan sebagai : al-Istimbat ( mengeluarkan dari sumbernya), al-
Tadrib ( latihan ), dan al-Tawjih (pengarahan),[7] ialah penelusuran atau pencarian hadis
pada berbagai kitab hadis sebagai sumber asli dari hadis, yang di dalamnya di kemukakan
secara lengkap matan dan sanad hadis yang bersangkutan. Kemudian guna kepentingan
penelitian, maka akan di jelaskan hingga kualitas hadis yang di jadikan obyek penelitian.

Adapun metode takhrij al-Hadis yang akan di pergunakan dalam menelusuri hadis-hadis
tentang : Larangan menerima hadiah bagi para pejabat, adalah terdapat dua macam metode,
yakni : (1) Metode takhrij melalui lafal-lafal yang terdapat dalam hadis (takhrij al- hadis bi
alfaz), yaitu adanya upaya pencarian hadis pada kitab-kitab hadis dengan cara menulusuri
matan hadis yang bersangkutan.[8] (2) Dengan metode takhrij melalui tema hadis (tematik)
(takhrij al-hadis bi al-mawdu’), yakni upaya pencarian hadis pada kitab-kitab hadis
berdasarkan topik masalah yang di bahas dalam sejumlah matan hadis.[9]

Untuk penggunaan metode yang pertama, penulis merujuk pada kamus hadis al-Mu’jam al-
Mufahras li Alfaz al-Hadis al-Nabawiy, dan untuk metode yang ke dua penulis merujuk
kepada kitab : Miftah Kunuz al-Sunnah, yang keduanya di susun oleh Arnold John Wensinck
(w.1939 M.) dan J.P. Mensing.

Jika di tempuh melalui metode lafal dari berbagai riwayat yang terkait dengan matan hadis
tentang larangan menerima hadiah bagi pejabat, di temukan di dalamnya beberapa kata
kunci, seperti : ‫ غـــــــل‬- ‫ ا ستعمل عا مل – ا هدي‬, sedangkan jika di tempuh dengan metode
tematik , maka berbagai riwayat hadis yang di cari di temukan pada topik : ‫استعمل عا مل ) على‬
10] ‫ ]الصدقة ( – با ب فى العامل اذا اصا ب فى عمله شيــــــــــا – با ب يهدى لعما ل الصد قة لمن هو‬, dan setelah
di telusuri ternyata data yang di peroleh menunjukkan bahwa hadis –hadis tentang larangan
menerima hadiah bagi para pejabat di muat dalam beberapa kitab hadis. Adapun kitab hadis
di maksud berikut jumlah periwayatnya , masing-masing terdapat pada :

• Sahih al-Bukhariy, yakni memuat satu riwayat yang terdapat dalam “kitab al-aiman”,
bab III.
• Sunan al-Darimiy, memuat dua riwayat, yaitu terdapat dalam kitab “al-Zakat” bab 30,
dan dalam kitab “al-Sair” bab 52.

Dengan demikian hadis-hadis tentang larangan menerima hadiah bagi para pejabat yang
berhasil di kumpulkan sesuai petunjuk kedua kamus hadis (al-Mu’jam dan Miftah) tersebut di
atas hanya di temukan sekitar 3 riwayat dalam 2 kitab hadis.

Susunan Sanad dan Matan Hadis Tentang Larangan Menerima Hadiah Bagi Pejabat

Hadis Riwayat al-Bukhariy Pada Kitab al-Aiman :

‫حد ثنا ابو اليما ن اخبرنا شعيب عن الزهرى قـال اخـبر نـى عـروة عـن ابـى حميـد السـا عـدى انـه اخـبره ا ن رسـول الـ‬
‫صلىال عليه وسلم استعمل عامل فجاءه العامل حين فرغ من عمله فقال يا رسول ال هذا لكم وهذا اهدى لى فقـال لـه افل‬
‫قعد ت فى بيت ا بيك وا مك فنظرت ا يهدى لك ام ل ثم قام رسول ال صلى ال عليه وسلم عشية بعد الصلة فتشهد واثنــى‬
‫على ال بماهو اهله ثم قال اما بعد‪ -‬فما بال العا مل نستعمله فياء تينا فيقول هذا من عملكم وهذا اهدى لى افل قعد فــى بيــت‬
‫ابيه وا مه فنظر هل يهدى له ام ل فوالذى نفسى محمد بيده ل يغل احد كم منها شياء ال جاء به يوم القيمــا مــة يحملــه علــى‬
‫عنقه ان كا ن بعيرا جاء به له رغاء وان كانت بقرة جاء بها لها خوار وان كا نت شا ة جــاء بهــا تيعــر فقــد بلغــت فقــال ابــو‬
‫حميد ثم رفع رسول ال صلى ال عليه وسلم يده حتى ا نا لننظر الى عفرة ابطيه قال ابو حميد وقد سمع ذلك معى زيــد بــن‬
‫]ثا بت من النبى صلى ال عليه وسلم فسلوه‪11] -‬‬

‫‪Terjemahnya:‬‬

‫‪Abu al-Yaman menceritakan kepada kami, Syu’aib memberitakan kepada kami, dari al-‬‬
‫‪Zuhriy dia berkata : ‘Urwah memberitakan kepadaku, dari Abi Humaid al-Saidiy, dia telah‬‬
‫‪memberitakannya, sesungguhnya Rasulullah Saw. mengangkat seorang amil (pegawai) untuk‬‬
‫‪menertima sedekah/zakat. Kemudian setelah selesai dari pekerjaannya dia datang kepada‬‬
‫‪Rasulullah Saw. dan berkata: Ini untukmu dan yang ini hadiah yang di berikan orang‬‬
‫‪kepadaku. Maka Rasulullah Saw. bersabda kepadanya: Mengapakah anda tidak duduk saja di‬‬
‫‪rumah bapak atau ibumu untuk melihat apakah di beri hadiah atau tidak. Kemudian sesudah‬‬
‫‪shalat Rasulullah Saw. berdiri setelah tasyahud dan memuji Allah selayaknya lalu bersabda:‬‬
‫‪Amma ba’du, mengapakah seorang ‘amil yang di serahi mengurus pekerjaannya, kemudian‬‬
‫‪ia datang lalu berkata, ini hasil untuk kamu dan ini aku di beri hadiyah, mengapa ia tidak‬‬
‫‪duduk-duduk saja di rumah bapak atau ibunya untuk mengetahui apakah di beri hadiah atau‬‬
‫‪tidak. Demi Allah yang jiwa Muhammad di tangan-Nya. Tiada seorang yang‬‬
‫‪menyembunyikan sesuatu untuk di ambil hasilnya (korupsi), melainkan ia akan menghadap‬‬
‫‪di hari kiamat nanti memikul di atas lehernya, jika berupa onta akan bersuara, jika berupa‬‬
‫‪lembu akan menguak, dan jika berupa kambing akan mengembik. Maka sungguh aku telah‬‬
‫‪menyampaikan ; Abu Humaid berkata: Kemudian Rasulullah Saw. mengangkat kedua‬‬
‫‪tangannya, hingga aku dapat melihat putih kedua ketiaknya. Berkata pula Abu Humaid,‬‬
‫‪sungguh hal itu telah mendengar bersamaku Zaid ibn Sabit dari Nabi Saw.‬‬

‫‪Hadis Riwayat Imam al-Darimiy Dalam Kitab al-Zakat :‬‬

‫اخبرنا االحكم بن نافع ا ناا شعيب عن الزهرى اخبرنى عروة ابن الز بير عن ا بى حميد ا لســا عــدى انــه اخــبره ان النــبى‬
‫صلى ال عليه وسلم استعمل عا مل على الصد قة فجاء ه العا مل حين فرغ‬

‫من عمله فقا ل يارسول ال هذ ا ا لذى لكم وهذا اهدي لى فقال ا لنبى صلىا ل عليه وسلم فهل قعـدت فى بيت ابيك وا مــك‬
‫فنظرت ا يهد ى لك ا م ل ثم قال ا لنبى صلىا ل عليه وسلم عشية بعد ا لصلة علىا لمنبر فتشــهد فحمــدا لـ وا ثنــى عليــه‬
‫بما هو اهله ثم قال ا ما بعد‪ -‬فما با ل ا لعا مل نستعمله فياء تينا فيقول هذا من عملكم وهذا اهدي لى فهل قعد فى بيــت ا بيــه‬
‫وا مه فينظر ا يهدى له ام ل والذى نفس محمد بيده ل يغل ا حد كم منها شياء ال جاء به يوم ا لقيا مة يحمله على عنقــه ا‬
‫ن كان بعيرا جاء به له رغاء وا ن كانت بقرة جاء بها لها خوا ر وا ن كا نت شا ة جاء بها تيعر فقد بلغت قا ل ا بو حميد‬
‫ثم رفع ا لنبى صلىا ل عليه وسلم يد يه حتى ا نا لننظر ا لى عفرة ابطيه قا ل ا بو حميد وقد سمع ذا لك معى مــن رســول ا‬
‫]ل صلىا ل عليه وسلم ز يد بن ثا بت فسلوه‪12]-‬‬

‫‪Hadis Riwayat Imam al-Darimiy Pada Kitab al-Sair :‬‬

‫اخبرنا ا بوا ليما ن ا لحكم بن نا فع ثنا شعيب عن ا لزهري حد ثنى عروة ا بن ا لزبير عن ا بى حميد ا ل نصا رى ثم ا لسا‬
‫عدى ا نه اخبره ا ن ا لنبى صلىا ل عليه وسلم ا ستعمل عا مل على ا لصد قة فجاء ه ا لعا مل حين فرغ مــن عملــه فقــا ل‬
‫يا رسول ا ل هذ ا ا لذى لكم و اهدي لى فقا ل ا لنبى صلى ا ل عليه وسلم فهل قعد ت فى بيت ا بيك وا مك فنظرت ا يهــد‬
‫ى لك ا م ل ثم قا م ا لنبى صلىا ل عليه وسلم عشية بعد ا لصل ة عل ا لمنبر فتشهد و ا ثنى علىا ل بما هو اهله ثم قا ل ا‬
‫ما بعد ما با ل ا لعا مل نستعمله فياء تينا فيقول هذ ا من عملكم وهذ ا اهد ي لى فهل قعد فى بيت ا بيــه وا مــه فينظــر هــل‬
‫يهد ى له ام ل – وا لذ ى نفسى بيده ل يغل ا حد كم منها شياء ا ل جاء به يوم ا لقيا مــة يحملــه علــى عنقــه ا ن كــا ن بعيــرا‬
‫جاء به له رغاء وا ن كا نت بقرة جاء بها لها خوا ر وا ن كا نت شا ة جاء بها تيعر فقد بلغت قا ل ا بو حميد ثم رفع رسول‬
‫ا ل صلىا ل عليه و سلم يد يه حتى ا نا لننظر ا لى عفرة ا بطيه قا ل ا بو حميد وقد سمع ذ ك معى من ا لنــبى صــلى ا ل ـ‬
‫]عليه وسلم زيد بن ثا بت فسلو ه – ]‪13‬‬

‫‪Kualitas Hadis – Hadis Tentang Larangan Menerima Hadiah Bagi Para Pejabat‬‬

‫‪Berdasarkan Penelitian Sanad‬‬

‫‪Dalam bab ini, penelitian sanad di lakukan terhadap hadis yang berasal dari periwayat‬‬
‫‪terakhir (Mukharrij al-Hadis) dari jalur Imam al-Darimiy bersama periwayat-periwayat di‬‬
‫‪atasnya seperti : Abu al-Yaman, Syu’aib, al-Zuhriy, ‘Urwah dan Abu Humaid al-Saidiy.‬‬
Untuk mempermudah proses kegiatan peninjauan terhadap sanad-sanad hadis tentang
larangan menerima hadiah bagi para pejabat, berikut ini akan di buatkan skema untuk
keseluruhan sanad yang terkait baik dari jalur periwayat al-Bukhariy maupun sanad hadis
yang berasal dari jalur al-Darimiy :

Pada skema gambar di atas tercantum seluruh sanad (nama periwayat) dan lafal-lafal
penerima riwayat ( sigat al-Tahammul) , seperti lafal: Haddasaniy, haddasana (sana),
akhbaraniy, akhbarana (ana), ‘an, dan anna, adalah merupakan tanda penghubung antara
periwayat yang satu dengan periwayat yang lain . Dalam skema juga kelihatan adanya
seorang sahabat yang berfungsi sebagai periwayat tingkat pertama, yakni Abu Humaid al-
Saidiy. Pada tingkat kedua, ketiga, keempat dan pada tingkat ke lima masing-masing terdapat
satu orang periwayat. Itu berarti apabila di lihat dari segi banyak dan sedikitnya sanad atau
rawiy, hadis tentang larangan menerima hadiah bagi para pejabat adalah termasuk klasifikasi
hadis ahad.

Yang di maksud hadis ahad menurut istilah adalah, hadis yang diriwayatkan oleh orang
seorang atau dua orang atau lebih , akan tetapi belum cukup syarat padanya untuk di
masukkan sebagai yang mutawwatir.[14] Adapun sanad hadis yang sedang di jadikan obyek
penelitian ini adalah termasuk dalam katagori hadis ahad yang garib. Menurut istilah Fatchur
Rahman yang di maksud dengan hadis garib ialah :

15] ‫]ما ا نفرد بروا يته شخص فى ا ي موضع و قع تـــفرد به من ا لسند‬

“Hadis yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkan,
dimana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi”.

Jadi kegariban tersebut sesungguhnya hanya terletak pada sanad (rawiy) saja, bukan terletak
pada matan hadis, sebab tidak di temukan adanya lafal yang sulit atau tidak populer atau
tidak di muat dalam sanad-sanad yang lain. Dan yang di maksudkan dengan penyendirian
(ifrad) rawiy disini ialah karena tidak adanya orang lain yang meriwayatkan selain rawiy itu
sendiri, dimana penyendirian itu dapat terjadi pada tingkat tabi’iy, tabi’it tabi’iy atau dapat
juga terjadi pada seluruh rawiy rawiy pada tiap-tiap tabaqat, kecuali pada tingkat sahabat.

Berdasarkan Kritik Sanad

Sanad yang di pilih untuk di teliti langsung sebagaimana yang tertera pada skema sanad di
atas adalah dari jalur periwayatan Imam al-Darimiy, kemuan keatas hingga tabaqat pertama
pada seorang sahabat Nabi Saw. yakni Abu Humaid al Saidiy.

al – Darimiy.[16]

Nama lengkapnya adalah ‘Abd Allah bin ‘Abd al-Rahman bin al-Fadl bin Bahram bin ‘Abd
al-Samad al-Darimiy al-Tamimiy Abu Muhammad al-Samarkandiy (181-255 H.). Dalam
riwayat hidupnya, dia pernah berguru kepada ‘Abd al-Yaman , dan salah seorang muridnya
yang terkenal adalah al-Bukhariy. Al-Darimiy adalah termasuk periwayat hadis yang
berkualitas siqat. Hal ini dapat di pahami dari beberapa pernyataan ahli kritik hadis tentang
dirinya, seperti : (1) Ahmad bin Hambal, bahwa al-Darimiy ialah seorang Imam. (2) Ahmad
bin Sayyar (w. 268 H.), bahwa al-Darimiy adalah orang yang berpengetahuan luas, dengan
karya besarnya telah menyusun kitab al-Musnad dan al-Tafsir. (3) al-Khatib al-Bagdadiy
(w.463 H.), bahwa al-Darimiy adalah orang yang senang mengembara mencari hadis Nabi,
mengumpulkan dan menghafalkannya. Dan dia itu termasuk orang yang siqat, sidq, wara’
dan zuhud.[17] Tidak ada seorangpun yang mencela pribadi al-Darimiy, sebaliknya pujian
yang di berikan kepadanya adalah pujian yang berperingkat tinggi dan tertinggi. Oleh karena
itu, di yakini bahwa al-Darimiy adalah benar-benar menerima hadis dari abu al-Yaman. Hal
ini di dukung oleh lambang periwayatan yang digunakan adalah dengan lafal “akhbarana”,
yang dimungkinkan dengan metode al-Sama’, al-Qira’ah atau dengan al-Ijazah. Yang berarti
pula bahwa antara al-Darimiy dengan abu al-Yaman terjadi persambungan sanad.

Abu al-Yaman.[18]
Nama lengkapnya adalah al-Hakam bin Nafi’ al-Bahraniy abu al-yaman al-Himsiy
(w.221/222 H.). Dia menerima hadis dari Syu’aib bin Abi Hamzah, dan murid yang
meriwayatkan hadisnya adalah al-Bukhariy dan al-Darimiy.

Para kritikus hadis memberi penilaian terhadap diri Abu al-Yaman dengan pernyataan
sebagai berikut : (1) Ahmad ibn Hambal bertanya : Bagaimana caranya kamu mendengar
( menerima) hadis dari Syu’aib ? Abu al-Yaman menjawab : Sebagian dengan cara al-
Qira’ah.[19] Yang dimaksud dengan al-qira’ah ialah periwayat menghadapkan riwayat hadis
kepada guru hadis dengan cara periwayat itu sendiri yang membacanya atau orang lain yang
membacakannya,dan ia mendengarkan. Cara ini biasa di sebut “al-‘ard” (penyodoran). (2)
Abu Hatim dan Muhammad bin ‘Abd Allah bin ‘Ammar al-Musiliy mengatakan bahwa, Abu
al-Yaman adalah orang yang siqat.[20]

Berdasarkan pernyataan para ahli kritikus hadis tersebut, maka dapat di simpulkan bahwa,
Abu al-Yaman adalah periwayat hadis yang memiliki kualitas pribadi yang baik, lebih-lebih
lambang periwayatan yang di gunakan adalah lafal “akhbarana”, yang di mungkinkan ia
menerima hadis tersebut dengan al-sama’, al-qira’ah atau dengan cara al-ijazah.[21] Maksud
dari pada al-ijazah ialah, seorang guru hadis memberikan izin kepada seseorang untuk
meriwayatkan hadis yang ada padanya, baik melalui lesan maupun tulisan. Dan mayoritas
‘Ulama membolehkan cara al-ijazah ini bahkan menilainya cukup terpercaya untuk
periwayatan hadis.

Dengan demikian bahwa, Abu al-Yaman adalah seorang yang benar-benar telah menerima
hadis dari gurunya, yang berarti pula bahwa, sanad hadis yang ada di antara keduanya adalah
bersambung dan dapat di percaya.

Syu’ayb.[22]

Nama lengkapnya adalah Syu’ayb bin Abi Hamzah Dinar al-Amawiy Mawlahum Abu Bisyr
al-Himsiy (w.162 H.). Dia menerima hadis dari al-Zuhriy, dan muridnya yang meriwayatkan
hadisnya adalah Abu al-Yaman.

Ibn Ma’in, al-‘Ijliy, Ya’qub bin Syaybah, Abu Hatim dan al-Nasa’iy, menilai Syu’ayb
bersifat siqat. Lebih lanjut Ibn Ma’in menjelaskan bahwa dia termasuk orang yang asbat
pada al-Zuhriy dan menjadi sekretarisnya. Ahmad menilai bahwa, Syu’ayb itu sabt, salih al-
hadis, dia penulis dengan penuh kecermatan (dabit). Abu al-Yaman menilai, Syu’ayb itu
sangat ketat dalam hadis. Dan Abu Dawud juga menjelaskan bahwa, Syu’ayb adalah asakh
hadisan min al-Zuhriy.[23] Kecuali itu tak seorangpun dari ahli kritik hadis yang mencela
pribadi Syu’ayb. Dan pujian yang di berikan kepadanya adalah berperingkat tinggi. Dengan
melihat hubungan pribadinya dengan al-Zuhriy yang begitu akrab dengan menggunakan
lambang periwayatan “akhbarana”, maka diyakini bahwa Syu’ayb benar-benar telah
menerima hadis dari gurunya, yakni al-Zuhriy. Yang berarti pula bahwa sanad diantara
keduanya adalah bersambung.

Al-Zuhriy.[24]

Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muslim bin ‘Ubayd Allah bin ‘Abd Allah bin
Syihab bin ‘Abd Allah bin al-Haris bin Zuhrah bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Galib al-
Quraisiy al-Zuhriy Abu Bakr al-Madaniy (50-124 H.). Ia lebih populer dengan nama Ibn
Syihab atau al-Zuhriy. Ia menerima hadis dari ‘Urwah, sedangkan muridnya yang
meriwayatkan hadisnya adalah Syu’ayb.

Al-Zuhriy adalah periwayat hadis yang di andalkan kejujuran dan kedabitannya. Hal itu
diakui para ahli kritikus hadis seperti : (1) Ibn Sa’ad, bahwa al-Zuhriy adalah orang yang
siqat, ilmuwan, periwayat yang faqih dan jami’. (2) Abu al-Zinad, bahwa al-Zuhriy adalah
orang yang paling berilmu di masanya, ia dapat menulis apa yang pernah di dengarnya dan
menjadi hujjah. (3) Al-Lays menyatakan bahwa, saya tidak pernah melihat orang yang pintar
melebihi al-Syihab.[25] (4) Ibn Manjuwiyah juga menyatakan bahwa, al-Zuhriy adalah orang
yang pernah bertemu dengan sepuluh sahabat Nabi, dan dia adalah yang paling hafiz pada
masanya.[26]

Berdasarkan penilaian para kritikus hadis tersebut, menunjukkan bahwa al-Zuhriy adalah
seorang tabi’in kecil yang berkualitas siqat. Dia menerima hadis dari ‘Urwah (seorang tabi’in
besar) dengan lambang periwayatan “’an” yang dipercaya dan di yakini bahwa antara
keduanya terjadi persambungan sanad.

‘Urwah.[27]

Dia adalah ‘Urwah bin al-Zubayr bin al- ‘Awwam bin Khuwaylid bin Asad bin ‘Abd
al-‘Uzza al-Qurasyiy al-Asadiy, Abu ‘Abd Allah al-Madaniy (22-92 H.). Sebagai seorang
tabi’in besar yang teruji kualitasnya, ‘Urwah termasuk periwayat hadis yang banyak
menerima hadis dari ‘Aisyah (bibinya), di samping berguru kepada Asma bint Abi Bakr
(ibunya) sendiri, juga kepada Abu Humaid al-Saidiy. Sedang murid-muridnya adalah al-
Zuhriy, Hisyam (putranya) dan lain-lain.

Menurut penilaian ahli kritik hadis, ‘Urwah termasuk periwayat hadis yang terpuji. Hal itu
sebagaimana di kemukakan oleh : (1) Ibn Sa’ad, menempatkannya sebagai al-tabaqat al-
saniyah (tingkat kedua) dari penduduk Madinah. ‘Urwah adalah seorang yang siqat,
faqih,ma’mun, ‘alim dan sabt. (2) al-Ijliy mengatakan bahwa, ‘Urwah adalah tabi’in yang
siqat, saleh dan tidak pernah terkena fitnah. (3) Sufyan bin Uyaynah (w.198 H.),
mengatakan: hanya ada tiga orang yang paling mengetahui hadis ‘Aisyah, yaitu : al-Qasim
bin Muhammad, ‘Urwah bin al-Zubayr, dan ‘Amrah bint ‘Abd al-Rahman. (4) Sedang ibn
Hibban memasukkan ‘Urwah kedalam orang yang siqat. Dia adalah penduduk Madinah yang
sangat utama dan cendekiawan.[28]

Sebagai seorang tabi’in besar yang pada umumnya langsung menerima hadis dari para
sahabat Nabi, adalah tidak di ragukan lagi kebenarannya bahwa, sanad antara ‘Urwah dengan
sahabat Abu Humaid al-Saidiy adalah benar-benar bersambung.

Abu Humaid.[29]

Dia adalah Humaid bin Nafi’ al-Ansariy Abu Aflah al-Madaniy Maula Safwan bin Aus. Abu
Humaid adalah seorang sahabat Nabi yang sering bersama-sama sahabat Zaid ibn Sabit,
salah seorang yang di percaya Nabi Saw. sebagai sekretarisnya sejak berumur 11 tahun.
[30] Salah satu murid Abu Humaid yang sangat siqat, faqih, ma’mun dan ‘alim yang
menerima riwayatnya adalah ‘Urwah bin al-Zubayr.

Abu Humaid di samping sebagai sahabat nabi Saw. juga sebagai periwayat hadis yang
memiliki keadilan dan kekuatan hafalan yang dapat di andalkan. Hal ini dapat di fahami dari
beberapa pernyataan dari ‘ulama rijal al-hadis, seperti :Zainab bint Umm Salamah, Imam al-
Nasa’iy, al-Bukhariy, Muslim, dan ibn Hibban, bahwa Abu Humaid adalah seorang sahabat
yang siqat.[31] Tidak ada seorang ahli rijal al-hadis yang mencela pribadinya. Dan dengan
melihat hubungannya yang sering bersama-sama Nabi dan para sahabat Nabi lainnya,
dapatlah di nyatakan bahwa hadis yang sanadnya di teliti saat ini adalah terjadi
persambungan antara periwayat (Abu Humaid) dengan Nabi Saw.

Apabila di cermati secara seksama keseluruhan sanad sebagaimana yang tertera pada gambar
skema sanad tersebut di atas , adalah memiliki integritas pribadi yang terpuji, tidak
mengandung syaz dan ‘illat ( mengandung kejanggalan dan kecacatan ), karena seluruh
periwayatnya dapat di andalkan kejujuran dan kekuatan hafalannya ( siqat ) kemudian sanad
satu dengan yang lain pun bersambungan (muttasil). Dengan demikian dapat di simpulkan
bahwa hadis riwayat al-Darimiy yang tengah di teliti saat iniadalah telah memenuhi syarat-
syarat sebagai sanad hadis yang memiliki kualitas ”Sahih”.

Berdasarkan Penelitian Matan


Penelitian terhadap matan di pandang sangat penting , mengingat kedudukan matan hadis
bisa mempengaruhi kualitas kesahihan hadis. Dimana suatu hadis barulah dapat dinyatakan
berkualitas sahih, apabila sanad dan matan hadis tersebut sama-sama berkualitas sahih.[32]
Jadi hadis yang sanadnya sahih tetapi matannya tidak sahih (da’if) atau sebaliknya, yakni
sanadnya da’if, tetapi matannya sahih, maka hadis yang demikian tidak dapat di nyatakan
sebagai hadis sahih.

Untuk mengetahui bahwa, suatu matan hadis itu berkualitas sahih, minimal matan tersebut
harus memenuhi empat macam tolok ukur, di antaranya: (1) Tidak bertentangan dengan al-
Qur’an. (2) Tidak bertentangan dengan hadis mutawwatir. (3) Tidak bertentangan dengan
ijma’ ‘Ulama, dan (4) Tidak bertentangan dengan logika yang sejahtera.[33] Musthafa al-
Siba’iy menambahkan bahwa, suatu matan hadis dapat dinilai berkualitas palsu (tidak berasal
dari rasul), apabila matan hadis tersebut : (1) Memiliki susunan gramatika sangat jelek. (2)
Maknanya sangat bertentangan dengan pendapat akal. (3) Menyalahi al-Qur’an yang tegas
maksudnya. (4) Menyalahi kebenaran sejarah yang telah terkenal di zaman Nabi. (5)
Bersesuaian dengan pendapat orang yang meriwayatkannya, sedang orang tersebut terkenal
sangat fanatik terhadap mazhabnya. (6) Mengandung suatu perkara yang seharusnya di
beritakan oleh orang banyak, tetapi ternyata hanya di riwayatkan oleh seorang saja. (7)
Mengandung berita tentang pemberian pahala yang besar untuk perbuatan yang kecil, atau
ancaman siksa yang berat terhadap suatu perbuatan yang tidak berarti.[34]

Berdasarkan kriteria kesahihan matan yang di jadikan tolok ukur sebagaimana kriteria-
kriteria tersebut di atas, maka dapat di simpulkan bahwa, matan hadis tentang larangan
menerima hadiah bagi para pejabat yang di riwayatkan oleh imam al-Darimiy adalah matan
hadis yang tidak bertentangan sama sekali dengan tolok ukur kesahihan matan hadis. Dan
dapat di nyatakan sebagai matan hadis yang berkualitas sahih (benar-benar berasal dari Nabi
Saw.).

Berdasarkan Pemahaman Secara Tekstual dan Secara Kontekstual

Pemahaman Secara Tekstual

Secara tekstual terdapat beberapa kata kunci dalam matan hadis yang dijadikan obyek
penelitian, di antaranya : ‫ غــــــل‬- ‫ اهــــدي‬- ‫ ( اســــتعمل عــــا مل‬terangkatnya seorang
pegawai,pejabat, pekerja atau orang yang di serahi tanggung jawab untuk melaksanakan
tugas, kemudian menmerima hadiah, tetapi berkesan menyembunyikan sesuatu untuk di
ambil hasilnya atau berkhianat dalam arti populer terindikasi melakukan korupsi), maka Nabi
Saw. dengan tegas hingga di nyatakan dua kali dengan menggunakan kata “isim istifham”
(kata untuk bertanya) seperti kata-kata : ‫ فهل‬- ‫ ا فل‬, yang menurut ahli Ushul mempunyai
arti “ al-Nahyi” atau larangan yang bersifat “taubikh” (menegur).[35] Larangan tersebut
terlihat pada sikap ketidak relaan Nabi ketika menerima laporan dari seorang pegawai yang
menerima hadiah ketika ia sedang menjalankan tugasnya.

Dengan demikian secara tekstual hukum bagi seorang pegawai atau pejabat yang menerima
hadiah menurut hadis al-Darimiy adalah tidak boleh atau “haram hukumnya”.

b. Pemahaman Secara Kontekstual

Secara kontekstual, sesungguhnya makna hadis dari al-Darimiy adalah di tunjukkan kepada
orang banyak, tidak mengkhusus kepada hukum seorang pegawai atau pejabat yang
menerima hadiah, tetapi lebih bersifat umum. Hal itu terbukti dari asbab al-nuzul hadis
tersebut pernah di sampaikan Nabi Saw. ketika selesai turun dari mimbar shalat, dengan nada
ketidak puasan nabi kepada seorang pegawai yang telah melapor kepada-nya di hadapan
orang banyak. Sesungguhnya dasar hukum yang melarang seorang menerima hadiah, adalah
lebih di sandarkan atau di qiyaskan kepada kasus seorang pegawai yang karena jabatan atau
pekerjaannya, sehingga seorang datang memberikan hadiah kepadanya bukan karena dasar
sukarela, tetapi di curigai oleh Nabi Saw. mempunyai maksud-maksud tertentu, hubungan
tertentu atau latar belakang tertentu, dengan istilah populer hadiah yang di terimanya itu
terindikasi berbau kolusi, nepotisme dan individualistis. Jadi apabila seseorang menerima
hadiah dari orang yang memberi hadiah kepadanya bukan karena niat atau maksud-maksud
tertentu , tetapi atas dasar sukarela dan bertujuan untuk memuliakan serta hanya mengharap
rida Allah Swt. Maka pemberian hadiah atau penerimaan hadiah seperti ini adalah tidak
termasuk katagori yang di larang sebagaimana hukum yang terkandung dalam hadis riwayat
Imam al-Darimiy.

KESIMPULAN

Dengan selesainya pembahasan tentang penelitian metodologis hadis masalah korupsi,


kolusi, nepotisme dan individualistis, yakni studi kasus atas hadis Abu al-Humaidiy tentang
larangan menerima hadiah bagi pejabat dalam melaksanakan tugasnya, dapat di simpulkan
beberapa hal penting sebagai berikut :

• Mengingat peran al-Hadis yang begitu penting sebagai sumber hukum Islam setelah
al-Qur’an, mengharuskan adanya langkah penelitian yang mendalam sebagai upaya
untuk menjaga kualitas kemurnian, keotentikan dan kesahihannya. Sehingga dapat di
pertanggung jawabkan sebagai dasar penetapan hukum dalam Islam.
• Sesungguhnya hadis riwayat al-Darimiy yang di jadikan sebagai landasan hukum
tentang larangan menerima hadiah bagi para pejabat, apabila di lihat dari kualitas
sanad, maupun matannya adalah berkualitas sahih, walaupun masuk dalam katagori
hadis ahad. Sehingga dengan demikian keabsahannya sebagai landasan hukum Islam
dapat di terima .
• Secara tekstual maupun secara kontekstual, isi kandungan hadis yang di riwayatkan
oleh Imam al-Darimiy , berintikan adanya larangan memberi atau menerima suatu
hadiah yang di latar belakangi oleh adanya maksud atau niat tertentu, hubungan
tertentu yang dalam istilah populer sekarang terkenal dengan adanya indikasi suap,
kolusi, nepotisme dan individualistis di dalamnya. Sedang pemberian atau
penerimaan hadiah yang di sebabkan oleh adanya latar belakang dasar suka rela,
untuk memuliakan satu dengan yang lainnya, dan untuk menjalin perdamaian diantara
sesama yang di lakukan semata-mata mengharap rida Allah Swt. Maka pemberian
atau penerimaan hadiah semacam ini tidak termasuk dalam larangan, bahkan sangat
di anjurkan oleh Nabi Saw.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Al-Adlabiy, Salah al-Din bin Ahmad. Manhaj Nadq al-Matn. Beirut:Dar al-Afaq al-Jadidah,
1403 H./1983 M.

Al-‘Asqalaniy, Syihab al-Din Ahmad bin ‘Ali bin Hajar. Tahzib al-Tahzib. Jilid III, IV, V,
VI, dan VII. Beirut: Dar al-Fikr, 1404 H./1984 M.

Al-Baghdadiy, Abu Bakar Ahmad bin ‘Ali al-Khatib. Tarikh Bagdad aw Madinah al-Salam,
Juz X. al-Madinah al-Munawwarah: al-Maktabah al-salafiyyah,t.th.

‘Abd al-Hadi, Abu Muhammad ‘Abd al-Muhdi bin ‘Abd al-Qadir. Turuq Takhrij Hadis
Rasulullah Saw. di terjemahkan oleh H.S. Agil Husain Munawwar dan H.Ahmad Rifqi
Muchtar. Metode Takhrij Hadis. Semarang: Dina Utama, 1994.

Al-Darimiy, al-Imam al-Kabir ‘Abd Allah bin ‘Abd al-Rahman bin al-Fadil bin Bahram ibn
‘Abd al-Samad al-Tamimiy al-Samarqandiy. Sunan al-Darimiy. Dar al-Fikr: al-Tab’ah wa al-
Nasyr wa al-Tawziy, t.th.

Al-Bukhariy, Abi ‘Abd Allah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim ibn al-Mughirah. Sahih al-
Bukhariy, al-Juz VII. Beirut: Dar al-Fikr, 1401 H./1981 M.

Al-Sijistaniy, Abu Dawud Sulayman ibn al-Asy’as. Sunan Abu Dawud, Juz IV. Beirut: Dar
al-Fikr, t.th.
Al-Suyutiy, Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman bin Abi Bakr. Tabaqat al-Huffaz. Beirut: Dar al-
Kutb al-‘Ilmiyah, 1403 H./1983 M.

Al-Tahhan. Usul al-Takhrij wa Dirasat al-Asanid. Halb : Matba’at al-Arabiyyah, 1398


H./1979.

Al-Zahabiy, Abu ‘Abd Allah Muhammad bin Ahmad bin ‘Usman.Siyar A’lam al-Nubala’.
Cet.ke-VII; Beirut: Mu’assasat al-Risalah, 1410 H./1990 M.

As-Siba’iy, Musthafa. As-Sunnah wa Makanatuha Fit-Tasyri’il Islamiy. Al-Darul


Qaumiyyah, t.th.

Amin,Ahmad. Islam Dari Masa Ke Masa. Cet.ke-1 ; Bandung: CV Rasyda, 1987.

Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya, Edisi Refisi. Surabaya: Pen. Mahkota,
1989.

Hanafi, A. Ushul Fiqh. Cet. Ke-7; Jakarta: Widjaya, 1980.

Ibn Taymiyah,Taqiy al-Din Ahmad ibn ‘Abd al-Halim. Majmu’ Fatawa li Ibn Taymiyah, Juz
I. T.t.: Matabi’ Dar al-Arabiyyah, 1398 H.

Ibn Al-Salah. ‘Ulum al-Hadis. Al-Madinat al-Munawwarah: al-Maktabah al-Ilmiyyah, 1972.

Ismail, M.Syuhudi. Kaidah Kesahihan Sanad Hadis (Telaah Kritis dan Tinjauan Dengan
Pendekatan Ilmu Sejarah). Jakarta: Bulan Bintang, 1988.

You might also like