You are on page 1of 7

TATARAN BAHASA (SEMANTIK)

Sematnik dengan objeknya yakni makna, berada di seluruh atau semua tataran yang
bangun membangun ini : makna berada di dalam tataran fonologi, morfologi dan
sintaksis. Oleh karena itu penamaan tataran untuk semantik agak kurang tapat, sebab
semantik bukan satu tataran dalam arti unsur pembangun satuan lain yang lebih besar
melainkan merupakan unsur yang berada semua tataran itu.

Semantik tidak lagi menjadi objek periferal, melainkan menjadi objek yang setaraf
dengan bidang-bidang studi linguistic lainnya.

6.1. Hakikat Makna

Menurut de Saussure setiap tanda linguistic atau tanda bahasa terdiri dari 2
komponen yaitu:

Komponen signifian (yang mengartikan)

Wujudnya berupa runtunan bunyi.

Komponen signifie (yang diartikan)

Wujudnya berupa pengertian atau konsep.

Ferdinand de Saussure mengembangkan bahwa makna adalah ‘pengertian’ atau


‘konsep’ yang dimiliki atau terdapat pada sebuah tanda linguistic. Hal ini berarti
bahwa makna kalimat baru dapat ditentukan apabila kalimat itu berada di dalam
konteks wacananya atau konteks situasinya.

Contoh:

Adik jatuh dari sepeda.

Dia jatuh dalam ujian yang lalu.

Kalau harganya jatuh lagi, kita akan bangkrut

Dia jatuh cinta pada adikku.

6.2. Jenis Makna

6.2.1. Makna Leksikal, Gramatikal, dan Kontekstual


Makna leksikal adalah makna yang dimiliki atau ada pada leksem meski
tanpa konteks apapun. Dengan kata lain, makna lesikal adalah makna ya
sebenarnya, makna yang sesuai dengan hasil observasi indra kita, atau
makna apa adanya.

Contoh:

kuda memiliki makna leksikal ‘sejenis binatang berkaki empat yang


bisa dikendarai’

pinsil bermakna leksikal ‘sejenis alat tulis yang terbuat dari kayu dan
arang’

Makna gramatikal baru ada kalau terjadi proses gramatikal, seperti afiksasi,
reduplikasi, komposisi, atau kalimatisasi. Misalnya, dalam proses afiksasi
prefk ber-

dengan dasar baju melahirkan makna gramatikal ‘mengenakan atau


memakai baju’

dengan dasar kuda melahirkan makna gramatikal ‘mengendarai kuda’

Makna kontekstual adalah makna sebuah leksem atau kata yang berada
didalam satu konteks. Makna konteks dapat juga berkenaan dengan
situasinya, yakni tempat, waktu dan lingkungan penggunaan bahasa itu.

Contoh:

Sebagai kepala sekolah dia harus menegur murid itu.

Rambut di kepala nenek belum ada yang putih.

tiga kali empat berapa?

Apabila dilontarkan pada anak SD,tentu dijawab “dua belas”. Kalau


dijawab lain, maka jawaban itu pasti salah.

Kalau dilontarkan pada tukang foto di tokonya,maka akan dijawab


“lima ratus”, mungkin juga “ tujuh ratus”. Mengapa bisa begitu, sebab
pertanyaan itu mengacu pada biaya pembuatan pasfoto yang berukuran
tiga kali empat centimeter.

6.2.2. Makna Refensial dan Non-refensial


Makna refensial adalah makna sebuah kata atau leksem kalau ada
refernsnya, atau acuannya. Sebaliknya kalau tidak ada refernsnya atau
acuannya, berarti Non-refensial.

Berkenaan dengan acuan ini ada sejumlah kata yang disebut kata-kata
diektik, yaitu kata yang acuannya tidak menetap pada satu maujud,
melainkan dapat berpindah dari maujud yang satu keada maujd yang lain.

Yang termasuk kata-kata deiktik yaitu: dia, saya, kamu, di sini, di sana, di
situ, sekarang, besok, nanti, ini, itu.

6.2.3. Makna Denotatif dan Makna Konotatif

Makna denotatif adalah makna asli, makna asal, atau makna sebenarnya
yang dimiliki oleh sebuah leksem. Jadi, makna denotatif ini sebenarnya
sama dengan makna leksikal.

Makna konotatif adalah makna lain yang “ditambahkan” pada makna


denotatif yang berhubungan dengan nilai rasa dari orang atau kelompok
orang yang menggunakan kata tersebut.

Contoh:

Kata kurus, ramping, dan kerempeng itu dapat disimpulkan, bahwa ketiga
kata itu secara denotatif mempunyai maknayang sama atau bersinonim,
tetapi ketiganya memiliki konotasi yang tidak sama; kurus berkonotasi
netral, ramping berkonotasi positif, dan kerempeng berkonotasi negatif.

6.2.4. Makna Konseptual dan Makna Asosiatif

Makna konseptual sama saja dengan makna leksikal, makna denotatif, dan
makna refensial, yaitu makna yang dimiliki oleh sebuah leksem terlepas dari
konteks atau asosiasi apa pun.

Misalnya, kata rumah memiliki makna konseptual ‘bangunan tempat tinggal


manusia.

Makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah leksem atau kata
berkenan dengan adanya hubungan kata itu dengan suatu yang berada diluar
bahasa.

Contoh:

Kata melati berasosiasi dengan sesuatu yang suci atau kesucian.

Kata merah berasosiasi dengan ‘berani’


Makna asosiatif ini sebenarnya sama dengan lambang atau perlambang yang
digunakanoleh suatu masyarakat bahasa untuk menyatakan konsep lain,
yang mempunyai kemiripan dengan sifat, keadaan, atau ciri yang ada pada
konsep asal kata atau laksem tersebut.

6.2.5. Makna Kata dan Makna Istilah

Dalam pengunaan makna kata itu baru menjadi jelas kalau kata itu sudah
berada di dalam konteks kalimatnya atau konteks situasinya. Oleh karana itu
dapat dikatakan bahwa makna kata masih bersifat umum, kasar, dan tidak
jelas.

Kata tangan dan lengan sebagai kata, maknanya lazimdianggap sama,


seperti pada contoh berikut:

Tangannya luka kena pecahan kaca.

Lengannya luka kena pecahan kaca.

Jadi, kata tangan dan lengan pada kedua kalimat diatas adalah bersinonim,
atau bermakna sama.

Berbeda dengan kata, Istilah mempunyai makna yang pasti, yang jelas, yang
tidak meragukan, meskipun tanpa konteks kalimat. Sering dikatakan bahwa
istilah itu bebas konteks, sedangkan kata tidak bebas konteks. Istilah hanya
digunakan pada bidang keilmuan atau kegiatan tertentu.

Misalnya, kata tangan dan lengan itu dalam bidang kedokteran mempunyai
makna yang berbeda.

Tangan bermakna bagian dari pergelangan sampai ke jari tangan.

Lengan bermakna bagian dari pergelangan sampai ke pangkal bahu.

Jadi, kata tangan dan lengan sebagai istilah dalam ilmu kedokteran tidak
bersinonim, karena maknanya berbeda.

6.2.6. Makna Idiom dan Peribahasa

Idiom adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat ‘diramalkan’ dari
makna unsur-unsurnya, baik secara leksikal maupun secara gramatikal.
Idiom dibedakan menjadi dua macam, yaitu idiom penuh dan idiom
sebagian. Yang dimaksud idiom penuh adalah idiom yang semua unsur-
unsurnya sudah melebur menjadi satu kesatuan, sehingga maknanya berasal
dari seluruh kesatuan itu. Contohnya, membanting tulang, menjual gigi, dan
meja hijau. Sedangkan idiom sebagian adalah idiom yang salah satu
unsurnya masih memiliki makna leksikalnya sendiri. Misalnya, daftar hitam
yang bermakna ‘daftar yang memuat nama-nama orang yang diduga atau
dicurigai berbuat kejahatan’.

Berbeda dengan idiom yang maknanya tidak dapat diramalkan, maka yang
disebut peribahasa memiliki makna yang masih dapat ditrlusuri atau dilacak
dari makna unsur-unsurnya karena adanya “asosiasi” antara makna asli
dengan maknanya sebagai peribahasa. Misalnya, peribahasa seperti anjing
dengan kucing yang bermakna ‘dikatakan ihwal dua orang yang tidak
pernah akur’. Makna ini berasosiasi, bahwa binatang yang namanya anjing
dan kucing jika bersua memang selalu berkelahi, tidak pernah damai.

6.3. Relasi Makna

Yang dimaksud dengan relasi makna adalah hubungan semantik yang terdapat
antara satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa yang lainnya. Relasi makna
ini biasanya membicarakan tentang sinonim, antonim, polisemi, homonimi,
hiponimi, ambiguiti, dan redundasi.

6.3.1. Sinonim

Sinonim atau sinonimi adalah hubungan semantic yang menyatakan adanya


kesamaan makna antara satu satuan ujaran dengan satuan ujaran lainnya.
Misalnya, antara kata betul dengan kata benar. Relasi sinonimi ini bersifat
dua arah. Maksudnya, kalau satu satuan ujaran A bersinonim dengan satuan
ujaran B, maka satuan ujaran B itu bersinonim dengan satuan ujaran A.

Dua buah ujaran yang bersinonim maknanya tidak akan persis


sama.ketidaksamaan itu terjadi karena berbagai faktor, antara lain: faktor
waktu, faktor tempat atau wilayah, faktor keformalan, faktor sosial, bidang
kegiatan, faktor nuansa makna.

6.3.2. Antonim

Antonim atau antinimi adalah hubungan semantik antara dua buah satuan
ujaran

yang maknanya menyatakan kebalikan, pertentangan, atau kontras antara


yang satu dengan yang lain. Dilihat dari sifat hubungannya, maka antonimi
itu dapat dibedakan atas beberapa jenis, antara lain:

-Antonimi yang bersifat mutlak, ~ kata hidup dan mati berantonimi


secara mutlak.

-Antonimi yang bersifat relatif atau bergradasi, ~ kata besar dan


kecil.
-Antonimi yang bersifat relasional, ~ kata suami dan istri.

-Antonimi yang bersifat hierarkial, ~ kata tamtama dan bintara.

Antonimi majemuk yaitu satuan ujaran yang memiliki pasangan antonim


lebih dari satu. Misalnya, kata berdiri dapat berantonim dengan kata duduk,
tidur, tiarap, jongko, dan bersila.

6.3.3. Polisemi

Sebuah kata disebut polisemi kalau kata itu mempunyai makna lebih dari
satu, biasanya makna pertama (yang didaftarkan di dalam kamus) adalah
makna sebenarnya,. Yang lain adalah makna-makna yang dikembangkan
berdasarkan salah satu komponen makna yang dimiliki kata satuan ujaran
itu.

Contoh:

Kepalanya luka kena pecahan kaca.

Kepala surat biasanya berisi nama dan alamat kantor.

Kepala kantor itu paman saya.

Kepala jarum itu terbuat dari plastic.

6.3.4. Homonimi

Homonimi adalah dua buah kata atau satuan ujaran yang bentuknya
kebetulan sama, maknanya berbeda karena masing-masing merupakan kata
atau bentuk ujaran yang berlainan, dan tidak berhubungan seperti polisemi.
Misalnya, antara kata bisa yang berarti ‘racun ular’ dan kata bisa yang
berarti ‘sanggup’.

Pada homonimi ini ada istilah homofoni dan homografi. Yang dimaksud
homofoni adalah adanya kesamaan bunyi (fon) antara dua satuan ujaran
tanpa memperhatikan ejaannya, apakah ejaannya sama ataukah berbeda.
Contoh, bisa berarti ‘racun’ dan bisa berarti ‘sanggup’. Bank ‘lembaga
keuangan’ dan bang ‘kakak laki-laki’.

Sedangkan istilah homografi mengacu pada bentuk ujaran yang sama


ortografinya atau ejaannya, tetapi ucapan dan maknanya tidak sama.
Misalnya, memerah yang berarti ‘melakukan perah’ dan memerah yang
artinya ‘menjadi merah’.

6.3.5. Hiponimi
Hiponimi adalah hubungan semantik antara sebuah bentuk ujaran yang
maknanya tercakup dalam makna bentuk ujaran yang lain. Misalnya, antara
kata merpati dan kata burung, makna kata merpati tercakup dalam makna
burung, dapat dikatakan merpati adalah burung, tetapi burung bukan hanya
merpati, bisa saja perkutut, beo, dan cendrawasih.

Relasi hiponimi bersifat searah, bukan dua arah, sebab kalau merpati
berhiponim dengan burung, maka burung bukan berhiponim dengan
merpati, melainkan berhipernim. Dengan kata lain, kalau merpati adalah
hiponim dari burung, maka burung adalah hipernim dari merpati.

6.3.6. Ambiguiti atau Ketaksaan

Ambiguiti atau ketaksaan adalah gejala dapat terjadinya kegandaan makna


akibat tafsiran gramatikal yang berbeda. Tafsiran gramatikal yang berbeda
ini umumnya terjadi pada bahasa tulis, karena dalam bahasa tulis unsur
suprasegmental tidak dapat digambarkan dengan akurat. Misalnya, buku
sejarah baru dapat ditafsirkan menjadi:

Buku sejarah itu baru terbit.

Buku itu memuat sejarah zaman baru.

Kemungkinan makna 1 dan 2 itu terjadi karena kata baru yang ada dalam
konstruksi itu, dapat dianggap menerangkan frase buku sejarah,dapat juga
dianggap hanya menerangkan kata sejarah.

6.3.7. Redundasi

Redundasi biasa diartikan sebagai berlebih-lebihannya penggunaan unsur


segmental dalam suatu bentuk ujaran. Umpamanya kalimat Bola itu
ditedang oleh Dika tidak akan berbeda maknanya bila Bola itu ditendang
Dika. Jadi, tanpa mengguanakan preposisi oleh, penggunaan kata oleh
inilah yang dianggap redundans.

You might also like