You are on page 1of 116

Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

ABSTRAK
PRESENTASI
ORAL
Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

FF 01

PERFORMA IKAN NILA BEST DALAM MEDIA SALINITAS

Muhammad Hunaina Fariduddin Ath-thar dan Rudhy Gustiano


Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar, Bogor

ABSTRAK

Target kenaikan produksi perikanan sampai dengan 353% dan ketersediaan perairan payau telah meningkatkan kesempatan
untuk mengembangkan strain baru yang cocok untuk dibudidayakan di perairan tersebut. Penelitian yang dilakukan
bertujuan untuk mengetahui performa benih ikan nila BEST (Best Enhanced Strain Tilapia) dalam media salinitas. Hasil
yang diperoleh memperlihatkan bahwa larva dapat hidup dengan sintasan di atas 80% pada salinitas 0 hingga 15 ppt.
Sedangkan rataan sintasan untuk ikan benih 3-5 cm pada berbagai salinitas menunjukkan bahwa LC 50 didapatkan setelah
3 jam ikan dipelihara dalam media bersalinitas 21,5 ppt. Pada benih 5-8 cm, sintasan dari berbagai salinitas menunjukkan
bahwa LC 50 didapatkan setelah 36 jam ikan dipelihara dalam media bersalinitas 15 ppt. Disimpulkan bahwa larva dan
benih ikan nila BEST dapat hidup dengan baik hingga salinitas 15 ppt. Pengamatan pertumbuhan panjang memperlihatkan
bahwa hanya salinitas 7,5 ppt yang memberikan perbedaan terhadap kontrol (0 ppt) pada tingkat P <0,05. Untuk pertambahan
bobot badan hasil terbaik diperoleh pada salinitas 2,5 ppt dengan perbedaan nyata terhadap 15 ppt (P<0,05) dan sangat
nyata terhadap kontrol (P<0,01). Sedangkan pada biomassa, perbedaan nyata hanya terdapat anatara salinitas 7,5 ppt
dengan kontrol (P<0,01). Secara berurutan mulai dari salinitas 0; 7,5; dan 15 ppt, pertumbuhan mutlak panjang, bobot
badan dan biomassa total adalah sebagai berikut: L0ppt =2,1±0,23; W0ppt = 7,0±0.29; B0ppt = 139,8±6.72; L7,5ppt = 2,3±0.06;
W7,5ppt = 8,2 ± 0,42; B7,5ppt = 164.3 ± 8,46; L15ppt = 2.3 ± 0,21; W15ppt 7.8 ± 0,45; B15ppt = 155,6 ± 8,95. Pengamatan setelah 50
hari, secara berurutan mulai dari ukuran 3-5 salinitas 0 dan 5 ppt serta ukuran 5-8 salinitas 0 dan 5 ppt untuk pertumbuhan
mutlak bobot adalah sebagai berikut: 3-50ppt: 4,0±0,34; 3-515ppt: 4,8±0,27; 5-80ppt: 7,4±0,35; 5-815ppt: 9,2±0,98. Pengamatan
pertumbuhan bobot badan memperlihatkan bahwa pada kedua ukuran ikan pertumbuhan mutlak menunjukkan hasil
terbaik pada salinitas 15 ppt.

KATA KUNCI: nila BEST, Oreochromis sp., salinitas, pertumbuhan

FF 02

PENGUJIAN LANGSUNG EMPAT STRAIN IKAN NILA (Oreochromis niloticus) PADA SALINITAS 40‰

Priadi Setyawan, Adam Robisalmi, dan Nunuk Listiyowati


Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar, Sukamandi

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan sebagai langkah awal untuk mendapatkan ikan nila toleran salinitas. Kandidat ikan nila tahan
salinitas dapat diperoleh dari hasil pemijahan induk nila dalam lingkungan bersalinitas. Penelitian ini dilakukan di Loka
Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar, Sukamandi pada bulan Desember 2009-Januari 2010. Ikan
yang digunakan adalah calon induk dari empat strain yaitu nila merah (Fed NIFI), Nila Biru (O. aureus), nila BEST (Bogor
Enhancement Strain of Tilapia) dan NIRWANA (nila ras wanayasa). Perlakuan yang digunakan berupa pengujian secara
langsung dalam media air bersalinitas 40‰ dalam bak fiber. Ikan nila yang digunakan berumur 5 bulan dengan bobot rata-
rata ikan nila jantan 257,9 g dan betina 187,43 g, sedangkan rata-rata panjang total ikan jantan 23,96 cm dan betina 21,6
cm. Metode yang digunakan adalah metode eksperimen (LT50) dengan 8 ulangan dari masing-masing strain. Analisa data
menggunakan analisa keragaman (one-way ANOVA) yang dilanjutkan dengan uji lanjut pembanding Tukey’s Pairwise
Comparisons. Hasil pengujian menunjukkan bahwa keempat strain nila jantan mempunyai nilai LT50 yang berbeda nyata
(P<0,05) Nilai rata-rata LT50 pada strain nila jantan tertinggi pada strain Red NIFI (116,33±7,77) diikuti Nila biru (103,00±0,00),
BEST (77,00±4,24) dan NIRWANA (60,50±2,59). Hasil pengujian pada strain nila betina menunjukkan tidak ada perbedaan
nyata dari strain NIRWANA, BEST dan nila biru. Nilai rata-rata LT50 tertinggi pada strain Red NIFI (91,60±22,60) diikuti Nila biru
(84,25±9,43), BEST (65,63±6,55) dan NIRWANA (65,50±5,01).

Kata kunci: ikan nila, uji langsung, salinitas, LT 50


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

FF 03
PENGGUNAAN Saccharomyces Cereviceae PADA FERMENTASI PAKAN BUATAN UNTUK
MENINGKATKAN PERTUMBUHAN NILA MERAH (Oreochromis Niloticus)

Eddy Afrianto
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Padjadjaran

ABSTRAK

Penelitian ditujukan untuk menentukan persentase terbaik dari S. cereviceae pada fermentasi pakan buatan untuk
meningkatkan pertumbuhan nila merah. Penelitian dilakukan menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan menggunakan
konsentrasi S. cereviceae sebagai perlakuan dan lima kali ulangan. Sebagai perlakuan adalah A0 (tanpa penambagan S.
cereviceae); A1 (penambahan S. cereviceae 1%), A2 (penambahan S. cereviceae 2%), dan A3 (penambahan S. cereviceae 3%).
Hasil penelitian menunjukkan penggunaan S. cereviceae pada fermentasi pakan buatan berpengaruh terhadap pertumbuhan
nila merah. Pertumbuhan terbaik diperoleh pada penambahan S. cereviceae sebesar 2%

KATA KUNCI: Saccaromyces cereviceae, fermentasi, pakan buatan, nila merah

FF 04

ANALISIS KERAGAMAN GENETIK LIMA POPULASI NILA HITAM (Oreochromis sp.) DENGAN
ANALISA SIDIK RAGAM RANDOM AMPLIFIED POLYMORPHISM DNA (RAPD)

Iskandariah, Otong Zenal Arifin, dan Rudhy Gustiano


Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar, Bogor

ABSTRAK

Penelitian mengenai variasi genetik lima populasi nila hitam telah dilakukan di Laboratorium Molekuler Biologi, Balai Riset
Perikanan Budidaya Air Tawar (BRPBAT) Bogor. Populasi yang diamati meliputi jenis nila BEST, Nirwana, Gesit, lokal Kuningan,
dan lokal Bogor. Penelitian menggunakan metode analisis Random Amplified Polymorphism DNA (RAPD), dengan
menggunakan primer OPA-03, OPA-04, OPC-14, dan OPC-15. Hasil pengamatan menunjukkan hanya OPA-03 yang dapat
menghasilkan amplifikasi dalam jumlah sampel yang memadai. Hasil analisis menunjukkan bahwa persentase polimorfik
berkisar antara 13.3333%–46.6667%, dengan nilai heterozigositas 0.0351–0.1952 dan jarak genetik antar populasi 0.1765–
0.5797.

KATA KUNCI: RAPD, genetik, populasi, ikan nila, Oreochromis


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

FF 05
DIFERENSIASI KELAMIN PADA IKAN NILA GENOTIPE XX, XY, DAN YY

Didik Ariyanto*), Komar Sumantadinata**), dan Agus Oman Sudrajat**)


*)
Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar, Sukamandi
**)
Dept. Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB

ABSTRAK

Determinasi kelamin ikan tilapia menggunakan sistem XX/XY. Genotipe XX mencirikan betina dan XY untuk jantan.
Pada perkembangannya, pada tilapia dikenal juga genotype YY yang direkayasa untuk tujuan produksi masal benih
berkelamin jantan. Penelitian ini bertujuan mengetahui diferensiasi kelamin pada tiga genotipe ikan nila, yaitu genotype
XX, XY, dan YY melalui evaluasi nisbah kelamin yang dihasilkan. Genotipe XX merupakan hasil persilangan antara induk
jantan XX dengan betina XX, genotipe XY merupakan hasil persilangan induk jantan YY dengan betina XX sedangkan
genotipe YY merupakan hasil persilangan induk jantan YY dengan betina YY. Larva ikan nila dipelihara selama 1 bulan di
dalam hatchery dan dilanjutkan pada tahap pendederan di kolam selama 2 bulan. Pada akhir pendederan dilakukan
identifikasi jenis kelamin, pengukuran bobot individu rata-rata dan penghitungan sintasan. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa ikan nila genotipe XX mempunyai persentase kelamin jantan sebesar 7,55% sedangkan genotipe XY dan YY
masing-masing sebesar 79,81% dan 83,01%. Selain ditentukan secara genotipe, pembentukan kelamin secara fenotipe
juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan.

Kata kunci : Ikan nila, genotipe, diferensiasi kelamin, seks rasio

FF 06

VAKSIN Streptococcus agalactiae: I. KAJIAN INAKTIVASI SEL UTUH (WHOLE CELL) MELALUI
FORMALIN (FORMALINKILLED) UNTUK PENCEGAHAN PENYAKIT STREPTOCOCCOSIS PADA IKAN
NILA, Oreochromis niloticus

Angela Mariana Lusiastuti*); Uni Purwaningsih*); Wartono Hadie**)


*) Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar, Bogor
**) Pusat Riset Perikanan Budidaya

ABSTRAK

Riset ini bertujuan untuk mengetahui potensi imunogenik sel utuh (whole cell) dari Streptococcus agalactiae yang diinaktivasi
dengan formalin untuk pencegahan penyakit Streptococcosis pada ikan nila (Oreochromis niloticus). Vaksin tersebut
disuntikkan secara intra peritoneal dengan 4 tingkat kepadatan yang berbeda yaitu 108, 106, 104 dan 102 cfu/mL pada ikan
nila sehat dengan bobot ± 50 g. Untuk kontrol, ikan uji disuntik dengan PBS. Setelah tiga minggu vaksinasi dilakukan uji
tantang dengan menginjeksi S. agalactiae secara intra peritoneal pada ikan uji sebanyak 0,1 mL/ekor. Data sintasan
(Survival Rate, SR), titer antibodi, dan differensial leukosit dilakukan analisa sidik ragam (Anova). Hasil yang diperoleh
bahwa sel utuh (whole cell) S. agalactiae sifat immunogenic properties-nya ternyata belum cukup untuk melindungi ikan
uji terhadap penyakit Streptococcosis. Pada uji tantang setelah minggu keenam, limfosit perlakuan tidak berbeda nyata
dengan kontrol, tetapi jika dibandingkan minggu-minggu sebelumnya limfosit mengalami peningkatan. Perlakuan dengan
injeksi sel utuh S. agalactiae pada tingkat kepadatan 108, 106, 104 menimbulkan antibodi tertinggi yaitu sampai pengenceran
1:128 pada minggu ketiga. Tetapi setelah uji tantang, titer antibodinya menurun, tidak cukup untuk memberikan protektif
terhadap S. agalactiae.

KATA KUNCI: vaksin sel utuh, S. agalactiae, ikan nila


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

FF 07
VAKSIN STREPTOCOCCUS AGALACTIAE: II. INAKTIVASI SEL UTUH (WHOLE CELL)
MELALUI PEMANASAN (HEATKILLED) UNTUK PENCEGAHAN PENYAKIT Streptococcosis
PADA IKAN NILA (Oreochromis niloticus)

Uni Purwaningsih, Angela Mariana Lusiastuti, dan Taukhid


Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar, Bogor

ABSTRAK

Streptococcosis adalah salah satu penyakit yang cukup serius menyerang usaha budidaya tilapia yang menyebabkan
kerugian yang cukup besar. Gejala klinis spesifik dari infeksi bakteri Streptococcus spp. adalah septikemia dan
meningoencephalitis. Pemberantasan penyakit streptococcosis dapat dilakukan dengan menggunakan antibiotik atau
zat kimia lainnya. Namun penggunaan bahan tersebut apabila diberikan dalam jangka waktu lama akan berdampak negatif.
Sebagai langkah antisipatif untuk menghindari hal tersebut adalah dengan peningkatan kekebalan spesifik melalui vaksinasi.
Dalam penelitian ini akan dikaji mengenai potensi immunologik vaksin Streptococcus spp. melalui aplikasi pemberian
vaksinasi pada ikan nila (Oreochromis niloticus). Isolat yang digunakan telah positif terkarakterisasi sebagai bakteri
Streptococcus spp. Vaksin dibuat dengan metode heatkill melalui pemanasan suhu 100°C. Penelitian ini menggunakan
rancangan acak lengkap dengan 5 perlakuan 3 ulangan, dengan variasi perbedaan kepadatan bakteri vaksin (A=108,
B=106, C=104, D=102 cfu/mL dan E=kontrol). Analisis sidik ragam terhadap tingkat sintasn ikan uji menunjukkan tidak
berbeda nyata (P>0,5) antara kelompok perlakuan dan kontrol sedangkan hasil pemeriksaan titer antibodi menunjukkan
kelompok perlakuan memiliki tingkat kekebalan tubuh lebih tinggi dibanding kelompok kontrol walaupun tidak signifikan.
Hasil pemeriksaan diferensial leukosit menunjukkan kelompok perlakuan memiliki tingkat kekebalan tubuh lebih tinggi
dibanding kelompok kontrol walaupun setelah diuji tantang tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,5).

KATA KUNCI: Streptococcus agalictiae, pemanasan, ikan nila

FF 08
KAJIAN MANAJEMEN PAKAN PADA BUDIDAYA IKAN NILA DI KERAMBA JARING APUNG DAN
DAMPAKNYA TERHADAP LINGKUNGAN PERAIRAN DANAU MANINJAU

Erlania, Anjang Bangun Prasetio, dan Joni Haryadi


Pusat Riset Perikanan Budidaya, Jakarta

ABSTRAK

Terjadinya kasus kematian ikan di Danau Maninjau pada Desember 2008 lalu menimbulkan berbagai pertanyaan dari
berbagai pihak tentang faktor yang menjadi penyebab terjadinya musibah tersebut. Dalam hal ini sektor perikanan
merupakan pihak yang dituding sebagai biang masalah yang menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan perairan
Danau Maninjau. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi manajemen budidaya KJA yang dilakukan masyarakat saat ini,
terutama dalam hal manajemen pemberian pakan. Koleksi data meliputi: data kualitas air yang terdiri dari suhu, pH, TDS,
kecerahan, turbiditas, DO, BOD, NH3, NO2, NO3, total nitrogen, ortofosfat dan total fosfat, serta data status kegiatan
budidaya melalui wawancara langsung dengan 6 kelompok pembudidaya yang mewakili 6 sentra budidaya di danau
maninjau. Analisa kualitas air dilakukan secara insitu dan eksitu (laboratorium). Selain itu, dilakukan juga analisa proksimat
terhadap beberapa jenis pakan komersil yang banyak digunakan oleh pembudidaya untuk mengetahui kandungan nutrisi
dari pakan yang digunakan. Dari hasil yang diperoleh menunjukan bahwa kondisi kualitas perairan Danau Maninjau secara
umum masih baik dan dapat dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya ikan. Untuk saat ini metode pemberian pakan yang
diterapkan oleh masyarakat masih belum mengikuti prosedur berdasarkan Best Management Practices (Hollingsworth,
2006) yaitu pemberian pakan berdasarkan persentase bobot badan ikan, di mana persentase kebutuhan pakan menurun
dengan semakin bertambahnya bobot ikan. Selain itu, juga dipengaruhi oleh jenis ikan serta faktor lingkungan terutama
suhu. Pemberian pakan tidak boleh berlebihan, karena pada kondisi perairan yang kurang baik akan menyebabkan stres
pada ikan.

KATA KUNCI: manajemen pakan, keramba jaring apung (KJA), Danau Maninjau, lingkungan
perairan
Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

FF 09

EVALUASI PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN ORGAN REPRODUKSI TIGA GENOTIPE IKAN NILA

Didik Ariyanto*), Komar Sumantadinata**), dan Agus Oman Sudrajat**)


*)
Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar, Sukamandi
**)
Dept. Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB

FF 10

EVALUASI KERAGAAN PERTUMBUHAN DAN NILAI HETEROSIS PADA PERSILANGAN DUA STRAIN
IKAN NILA (Oreochromis niloticus)

Adam Robisalmi, Nunuk Listiyowati, dan Didik Ariyanto


Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar, Sukamandi

ABSTRAK

Persilangan antar strtain merupakan salah satu cara untuk mendapatkan populasi dengan keragaan budidaya yang
meningkat. Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui keragaan dan mengestimasi nilai heterosis pertumbuhan pada
persilangan strain NIRWANA (Nila Ras Wanayasa) dan BEST (Bogor Enhanced Strain of Tilapia). Penelitian dilakukan di Loka
Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar, Sukamandi selama lima bulan. Parameter yang diamati
meliputi keragaan pertumbuhan (panjang, tebal, tinggi, bobot) dan sintasan. Hasil penelitian menunjukkan laju pertumbuhan
spesifik (SGR) tertinggi yaitu pada persilangan galur murni betina BEST x jantan BEST sebesar 2,64% bobot badan (bt)/hari,
sedangkan persilangan betina BEST x jantan NIRWANA memiliki nilai SGR terendah yaitu 2,35% bt/hari. SGR populasi
betina NIRWANA X jantan BEST dan betina NIRWANA x jantan NIRWANA mempunyai nilai SGR maing-masing sebesar 2,48%
bt/hari dan 2,53 % bt/hari, tidak berbeda nyata (P<0,05) bila dibandingkan dengan dua populasi lainya. Sintasan dari
betina NIRWANA x jantan NIRWANA memiliki nilai terendah yaitu sebesar 49,20%, sedangkan (betina BEST x jantan BEST)
memiliki sintasan tertingi yaitu 74,80%. Nilai heterosis pertumbuhan dan sintasan pada persilangan betina BEST x jantan
NIRWANA masing-masing yaitu panjang (4,82%), tebal (0,21%), tinggi (3,06%), bobot (-2,22%), dan sintasan(1,94%). Pada
persilangan betina NIRWANA X jantan BEST memiliki nilai hetrosis yaitu panjang (-2,48%), tebal (-1,74%), lebar (0,44%), bobot
( -2,87%) dan sintasan (0,65%).

KATA KUNCI: heterosis, persilangan, oreochromis niloticus


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

FF 11

TOKSISITAS AMMONIUM HYDROXIDATERHADAP BENIH IKAN MAS (Cyprinus carpio)


DAN BENIH IKAN NILA (Oreochromis niloticus)

Yosmaniar
Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar, Bogor

ABSTRAK

Ammonium hydroxida dapat dipergunakan sebagai sumber amoniak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi
toksisitas letal Ammonium Hydroxida terhadap benih ikan mas (Cyprinus carpio) dan benih ikan nila (Oreochromis niloticus)
yang ditunjukkan oleh nilai Median Lethal Concentration (LC50) 24; 48; dan 96 jam. Penelitian dilakukan di Instalasi Riset
Lingkungan Perikanan Budidaya dan Toksikologi Balai Riset Perikanan Budidaya air Tawar Cibalagung, Bogor. Menggunakan
benih ikan mas dan ikan nila dengan bobot rataan individu 1,55±0,13 dan 1,81±0,08 g. Wadah pengujian berupa 21 unit
akuarium kaca berukuran 40 cm x 20 cm x 20 cm yang dilengkapi aerasi serta saluran pemasukan dan pengeluaran. Jumlah
ikan uji setiap wadah 10 ekor dengan peubah yang diukur adalah mortalitas ikan. Tahapan penelitian terdiri atas penentuan
nilai ambang atas-bawah, uji stabilitas dan LC50–24; 48; 72; dan 96 jam. Data diolah dengan analisis probit program LC50.
Hasil penelitian menunjukan bahwa Nilai LC50 24; 48; 72; dan 96 jam terhadap benih ikan mas adalah 4,3354 (3,6904–
5,0930); 2,0678 (1,6578–2,5805); 0,9237(0,8101–1,8532); 0,7138 mg/L (0,6297–0,8090) dan benih ikan nila 5,0430 (4,4227–
4,7504); 3,5094 (2,9823–4,1295); 3,0839(2,6799–13,5480); 1,9421 mg/L (1,7877–2,1100).

KATA KUNCI: toksisitas, benih ikan, Median Lethal Concentration

FF 12

PENAPISAN ISOLAT BAKTERI Streptococcus spp. SEBAGAI KANDIDAT ANTIGEN DALAM


PEMBUATAN VAKSIN, SERTA EFIKASINYA UNTUK PENCEGAHAN PENYAKIT STREPTOCOCCIASIS
PADA IKAN NILA, Oreochromis niloticus

Taukhid dan Uni Purwaningsih


Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar, Bogor

ABSTRAK

Riset dengan tujuan untuk memperoleh isolat kandidat yang imunogenik bagi pembuatan vaksin untuk pengendalian
penyakit streptococciosis pada ikan nila telah dilakukan. Karakterisasi dilakukan secara biokimia dan API 20 STREP
terhadap 15 isolat bakteri Streptococcus spp. Dilanjutkan dengan Koch’s Postulate untuk mengetahui peran bakteri pada
kasus streptococciasis pada ikan nila. Konfirmasi taksonomis hingga level spesies isolat bakteri S. agalactiae dilakukan
dengan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) dengan menggunakan primer spesifik. Uji patogenisitas dilakukan terhadap
6 isolat yang terdiri atas 5 isolat S. agalactiae (N3M, N4M, N14G, N17O, NK1) dan 1 isolat S. iniae (N2O). Hasil penapisan
menunjukkan bahwa bakteri S. agalactiae (N4M) memiliki nilai LD50 terkecil, dan nilai terbesar dimiliki oleh bakteri S. iniae
(N2O). Isolat bakteri N4M digunakan sebagai sumber antigen dalam pembuatan vaksin anti streptococciasis. Vaksin
disiapkan dalam bentuk sel utuh dan diinaktivasi dengan formalin, pemanasan, dan sonikasi. Nilai titer antibodi dan
sintasan tertinggi diperoleh pada kelompok ikan yang divaksin dengan formalin killed vaccine dibandingkan dengan
teknik inaktivasi lainnya (heat killed vaccine dan sonicated vaccine).

KATA KUNCI: penapisan, streptococciasis, vaksin, ikan nila


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

FF 13

PENGARUH VARIASI BAHAN PENYAMAK KROM TERHADAP MUTU KULIT TERSAMAK


IKAN KAKAP PUTIH (BARRAMUNDI)

Nurul Hak
Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, Jakarta

ABSTRAK

Telah dicoba memanfaatkan kulit ikan kakap putih (Barramundi), yang merupakan limbah perikanan dari perusahaan filet
ikan, untuk dijadikan kulit tersamak. Proses penyamakan kulit kakap putih ini menggunakan bahan penyamak krom yang
divariasi 5%, 10%, dan 15% .Hasil kulit tersamaknya diuji mutunya berdasarkan Standar Nasional Indonesia dan dibandingkan
dengan mutu kulit sapi, kambing, dan ikan pari yang terdaftar dalam Standar Nasional Indonesia. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk meningkatkan nilai tambah dari kulit ikan kakap putih yang awalnya merupakan limbah perikanan menjadi
kulit tersamak, sehingga dapat dimanfaatkan menjadi barang-barang kerajinan kulit seperti sepatu, tas, dompet, sarung
tangan, garmen, dan sebagainya. Selain itu, juga untuk mengetahui penggunaan bahan penyamak krom yang optimal
pada penyamakan kulit ikan kakap putih. Menggunakan bahan penyamak krom 5% merupakan penggunaan yang optimal
dalam menyamak kulit ikan kakap putih. Hasil kulit tersamaknya dapat memenuhi Standar Nasional Indonesia untuk kulit
sapi, kambing dan ikan pari yaitu berisi, liat, lemas, simetris, dan corak permukaannya spesifik, kekuatan tarik 2.184,46 N/
cm2 atau 222,76 kg/cm2, kekuatan regang (kemuluran) 66,66%, kekuatan jahit 1.354,53 N/cm atau 138,12 kg/cm, suhu
kerut 88°C, kadar air 13,62%, kadar abu 2,94%, kadar lemak 6,93% dan kadar Cr2O3 1,97% sehingga sangat prospektif untuk
dijadikan barang-barang kerajinan kulit.

KATA KUNCI: bahan penyamak kron, kakap putih, kulit

FF 14

USAHA PENGEMBANGAN BUDIDAYA IKAN KERAPU SUNU, Plectropomus leopardus DI INDONESIA

Ketut Suwirya dan I Nyoman Adiasmara Giri


Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol

ABSTRAK

Usaha pengembengan budidaya ikan kerapu sunu (Plectropomus leopardus) perlu dilakukan, karena ikan ini mempunyai
pasar luas dan harga yang relatif tinggi. Sampai saat ini pengembangan pembenihannya menggunakan sumber ikan induk
alam dengan ukuran 1,0–3,5 kg. Ikan ini banyak ditangkap antara lain di perairan Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara
Timur, Sulawesi, dan Sumatera. Namun jenis ikan ini relatif lebih sensitif dibandingkan dengan jenis kerapu macan
maupun bebek. Ikan ini mudah terserang parasit seperti cryptocarion, benedinia, dan cacing. Penanganan induk yang
terserang parasit dan mengalami luka pada tubuh dapat dilakukan dengan menggunakan formalin dan albazu. Induk yang
ada cacing dan mengalami luka pada tubuh direndam pada air laut dengan formalin 100–150 mg/L selama 1 jam. Induk ikan
yang dipelihara dalam bak terkontrol telah berhasil memijah setiap bulan. Waktu pemijahannya sekitar jam 24.00 sampai
jam 03.00. Telur yang ada dalam kolektor dapat diambil jam 07.00–08.00 pagi hari. Pembenihan ikan ini mulai berkembang
di sekitar Gondol, namun sintasannya masih rendah yaitu sekitar 1%–3%. Kendala yang dihadapi dalam pembenihan adalah
pada pemberian pakan pertama karena bukaan mulutnya relatif kecil dibandingkan dengan kerapu yang lainnya. Dalam
pembesaran, ikan ini mempunyai pertumbuhan yang relatif lebih cepat dibandingkan dengan kerapu bebek. Ikan ukuran
15 g dalam bak beton dapat tumbuh sampai ukuran 500 g dalam jangka waktu 9–10 bulan. Percobaan di KJA dengan ukuran
benih 7–10 g yang dipelihara pada KJA (2 m x 2 m x 2 m) pada kepadatan 20, 40, dan 80 ekor/m3 selama 5 bulan masing-
masing mencapai ukuran 127,5 g, 103,2 g, dan 102,0 g, sedangkan benih ikan ukuran 200 g yang dipelihara selama 6
bulan dengan kepadatan 10–40 ekor/m3 dapat mencapai ukuran rata-rata 500 g. Ikan ini relatif sensitif dengan perubahan
lingkungan. Hal ini dapat dilihat dari sering timbul luka pada tubuhnya dan nafsu makan menurun. Usaha pengembangan
budidaya mulai menunjukkan hasil dengan berkembangnya unit pembenihan di Bali, dan pembesaran kerapu sunu dengan
menggunakan benih dari pembenihan di Nusa Tenggara Barat.

KATA KUNCI: pembenihan, pembesaran, kerapu sunu


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

FF 15

REKAYASA APLIKASI METODE TRANFER GEN HORMON PERTUMBUHAN PADA


IKAN KERAPU TIKUS, Cromileptes altivelis

Slamet Subyakto*), Rustidja**), Komar Sumantadinata***), M. Sasmito Jati****), Alimuddin***),


Irvan Faizal*****), Ratu Siti Aliah*****), dan Gemi Triastutik*)
*)
Balai Budidaya Air Payau, Situbondo
**)
Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas Brawijaya Malang
***)
Departemen Budidaya Perikanan Fakultas Perikanan dan Kelautan, Institut Pertanian Bogor
****)
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Brawijaya Malang
*****)
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Kementrian Negara Riset dan Teknologi

ABSTRAK

Ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis) merupakan jenis ikan budidaya laut yang memiliki nilai ekonomi tinggi di Asia, di
antaranya Indonesia. Namun demikian, salah satu permasalahan yang dihadapi dalam budidaya ikan kerapu tikus adalah
pertumbuhannya yang lambat. Aplikasi transgenesis diduga dapat menjadi salah satu metode penyelesaian masalah
pertumbuhan yang relatif lambat tersebut. Tujuan perekasayaan ini adalah untuk mengetahui efektivitas metode transfeksi,
mikroinjeksi, dan elektroporasi pada transfer gen hormon pertumbuhan ikan kerapu tikus. Secara in vitro metode transfeksi
dilakukan dengan menginkubasi sperma dengan larutan kompleks transfektan dan DNA (pktBP-ktGH), sementara secara in
vivo adalah dengan cara menginjeksi larutan kompleks dan DNA tersebut ke dalam testis ikan kerapu tikus jantan yang
telah matang. Metode mikroinjeksi dilakukan terhadap embrio fase 1-4 sel menggunakan konsentrasi DNA 25 µg/mL pada
lama waktu injeksi 1, 2, dan 3 detik. Metode elektroporasi dilakukan dengan voltase 50 V, lama kejut 30 ms, jumlah kejutan
5, jarak waktu antar kejutan 0,1 µs untuk mengujicobakan berbagai konsentrasi DNA yaitu 5 µg/mL, 10 µg/mL, dan 20 µg/
mL. Analisis DNA menggunakan metode PCR dilakukan untuk menentukan tingkat keberhasilan gen yang ditransfer pada
embrio dan sperma ikan kerapu tikus tersebut. Dari hasil uji coba ini didapatkan konsentrasi DNA optimum untuk metode
elektroporasi adalah 10 µg/mL. Jumlah embrio hingga fase 4 sel yang berhasil dimikroinjeksi selama 20-30 menit relatif
sedikit. Metode mikroinjeksi dengan lama waktu injeksi per embrio 1 detik menghasilkan sintasan embrio paling tinggi
walaupun tingkat penetasannya masih rendah. Transfast merupakan reagent penghantar DNA yang efektif bagi sperma
ikan kerapu tikus. DNA dapat dideteksi pada sperma secara in vivo pada jam ke-36 setelah proses transfeksi (hpt),
sedangkan secara in vitro DNA terdeteksi setelah jam ke-48 pada suhu inkubasi 25°C. Dari hasil uji coba ini dapat
dikemukan bahwa metode transfeksi, mikroinjeksi, dan elektroporasi dapat digunakan dalam transfer gen ikan kerapu
tikus, namun metode elektroporasi dinilai sebagai metode transfer gen yang paling efektif dan mudah dilakukan untuk
ikan kerapu tikus.

KATA KUNCI: transfeksi, mikroinjeksi, elektroporasi, transfer gen, hormon pertumbuhan, ikan
kerapu tikus
Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

FF 16

OPTIMASI TINGKAT PEMBERIAN PAKAN TERHADAP BENIH


KERAPU SUNU (Plectropomus leopardus)

Regina Melianawati dan Ketut Suwirya


Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol

ABSTRAK

Tingkat pemberian pakan yang optimum memiliki peranan penting dalam budidaya karena berkaitan erat dengan efektivitas
dan efisiensi pemanfaatan pakan serta pertumbuhan ikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbedaan
tingkat pemberian pakan dan tingkat pemberian pakan yang optimum terhadap benih kerapu sunu dengan bobot awal
0,50-0,69 g dan panjang total awal 3,20-4,20 cm. Penelitian dilakukan pada 9 bak fiberglass volume ± 30 L selama 4
minggu. Pakan yang digunakan adalah pakan pelet komersial. Pemberian pakan dilakukan tiga kali sehari. Penelitian
menggunakan rancangan acak lengkap dengan tiga perlakuan dan tiga ulangan. Perlakuan yang diujikan adalah perbedaan
tingkat pemberian pakan, yaitu 5%, 10%, dan 15% dari total biomassa benih. Sampling dilakukan setiap minggu. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa perbedaan tingkat pemberian pakan berpengaruh terhadap ukuran bobot badan dan
panjang total, laju pertumbuhan harian, laju pertumbuhan spesifik, nisbah konversi pakan, dan efisiensi pakan pada benih
kerapu sunu. Tingkat pemberian pakan 10% menghasilkan pertumbuhan benih yang optimal dengan bobot badan (3,52±0,68
g) dan panjang total (6,42±0,35 cm), laju pertumbuhan bobot badan harian (10,19±0,73%) dan panjang total (9,39±0,19%)
harian serta laju pertumbuhan bobot badan spesifik (6,31±0,19%) dan panjang total spesifik (1,90±0,02%) serta nisbah
konversi pakan (1,25) dan efisiensi pakan (80,00%) yang baik bagi benih kerapu sunu.

KATA KUNCI: benih kerapu sunu, efisiensi pakan, optimasi pakan, pertumbuhan, rasio konversi
pakan

FF 17

PENGARUH PENAMBAHAN PROBIOTIK DAN OKSIGEN TERHADAP PERKEMBANGAN LARVA


KERAPU SUNU, Plectopormus leopardus PADA STADIA AWAL

Retno Andamari
Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol

ABSTRAK

Budidaya kerapu sunu (Plectropomus leopardus) hingga saat ini belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Kendala
yang dihadapi terutama terjadi pada stadia awal. Salah satu faktor yang berperan adalah lingkungan pemeliharaan. Oksigen
terlarut dan probiotik diduga mempunyai peranan penting dalam pertumbuhan dan sintasan larva. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui pengaruh penambahan oksigen dan probiotik terhadap sintasan dan pertumbuhan larva kerapu sunu
(Plectropomus leopardus) pada stadia awal. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan
dan 3 ulangan yaitu perlakuan A (probiotik dan oksigen), B (oksigen), C (probiotik), D (kontrol). Materi yang digunakan
adalah larva kerapu sunu sebanyak 4.000 ekor/bak. Peubah yang diamati adalah sintasan, pertumbuhan panjang larva,
dan kualitas air. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan oksigen dan probiotik berpengaruh nyata terhadap
pertumbuhan dan sintasan. Namun. Nilai pertambahan panjang tertinggi A (72,95 mm), selanjutnya perlakuan C (64,86
mm), dan perlakuan B (63,35 mm), serta terakhir perlakuan D (47,69 mm). Kualitas air selama penelitian layak untuk
pemeliharaan larva kerapu sunu (Plectropomus leopardus).

KATA KUNCI: larva kerapu sunu, probiotik, oksigen


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

FF 18
APLIKASI PAKAN BUATAN PADA PEMELIHARAAN LARVA
IKAN KERAPU MACAN, Epinephelus fuscoguttatus

Irwan Setyadi, Bejo Slamet, Anak Agung Ketut Alit, dan Achmad Zailani
Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol

ABSTRAK

Ikan kerapu macan, Epinephelus fuscoguttatus merupakan komoditas perikanan yang bernilai ekonomis penting. Penelitian
dilakukan di hatcheri skala rumah tangga (HSRT) di area Kecamatan Gerokgak Kabupaten Buleleng. Penelitian bertujuan
untuk mendapatkan data sintasan dan pertumbuhan larva kerapu macan yang diberikan pakan buatan. Wadah penelitian
menggunakan 6 buah bak beton volume 6 m3 yang ditebar larva kerapu macan yang baru menetas dengan kepadatan 10
ekor/L. Mulai larva umur 2 hari diberikan Nannochloropsis sp. dengan kepadatan 1.0x105 sell/mL; mulai umur 2 hari
diberikan rotifer dengan kepadatan 10-20 ind./mL dan mulai umur 17 hari diberikan nauplii Artemia. Perlakuan aplikasi
pakan buatan diberikan pada larva mulai umur 7 hari dengan perbedaan frekuensi yaitu: Perlakuan A: 3 kali/hari pada umur
7-20 hari, 2 kali pada umur 21-29 hari dan 1 kali pada umur 30-40 hari; Perlakuan B: 4 kali/hari pada umur 7-20 hari, 3 kali
pada umur 21-29 hari dan 2 kali pada umur 30-40 hari; Perlakuan C: 5 kali/hari pada umur 7-20 hari, 4 kali pada umur 21-29
hari dan 3 kali pada umur 30-40 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sintasan larva sampai umur 41 hari pada
perlakuan A adalah 6,08 ± 2,62%, perlakuan B adalah 6,62 ± 2,03% dan perlakuan C adalah 8,08 ± 1,65%; mencapai ukuran
panjang total pada perlakuan A: 24,04 ± 0,68 mm, B: 24,81 ± 0,55 mm dan C: 26,20 ± 0,57 mm; serta bobot badan pada
perlakuan A: 192,1 ± 2,96 mg, B: 196,5 ± 2,12 mg dan C: 211,5 ± 4,95 mg. Perlakuan A dan B tidak berbeda nyata,
sedangkan perlakuan C berbeda nyata dengan perlakuan A dan C.

KATA KUNCI: pakan buatan, larva kerapu macan, Epinephelus fuscoguttatus

FF 19

APLIKASI IMUNOSTIMULAN UNTUK MENINGKATKAN IMUNITAS NON-SPESIFIK IKAN KERAPU


MACAN, Epinephelus fuscoguttatus TERHADAP PENYAKIT INFEKSI DI HATCHERI

Fris Johnny, Des Roza, dan Indah Mastuti


Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol

ABSTRAK

Upaya produksi benih ikan kerapu macan, Epinephelus fuscoguttatus secara intensif dan terkontrol di hatcheri semakin
berkembang, namun perlu diantisipasi terjadinya infeksi penyakit yang dapat menimbulkan kematian, terutama infeksi
virus. Suatu percobaan untuk meningkatkan sistem kebal benih ikan kerapu macan terhadap infeksi virus dengan
penggunaan imunostimulan peptidoglikan diharapkan mampu untuk meningkatkan imunitas atau respons imun non-
spesifik ikan kerapu macan. Masing-masing sebanyak 100 ekor ikan kerapu ukuran antara 8-10 cm disuntik 0,1 mL/ekor
ikan dengan imunostimulan peptidoglikan sebanyak 200 mg/kg BB secara intra muskular, sedangkan kontrol hanya
disuntik dengan PBS. Masing-masing perlakuan diulang 3 kali. Selanjutnya ikan dipelihara dalam bak beton volume 2 m3
berisikan air sebanyak 1,5 m3 masing-masing sebanyak 3 bak untuk perlakuan imunostimulan dan 3 bak untuk kontrol.
Pada hari ke-30 dilakukan penyuntikan ulang sebagai booster. Pada hari ke-60 dilakukan sampling darah untuk dilakukan
uji aktivitas fagositik dan lisosim. Ikan dipelihara selama 60 hari dan pada akhir percobaan dilakukan uji tantang dengan
virus irido. Pengamatan dilakukan terhadap tingkat imunitas dan sintasan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian
imunostimulan peptidoglikan dapat meningkatkan imun respons non-spesifik ikan kerapu macan berupa peningkatan
aktivitas fagositik sebesar 19,50%, indeks fagositik sebesar 1,87, aktivitas lisosim sebesar 1,87 cm dan sintasan setelah
diuji tantang sebesar 72,00%.

KATA KUNCI: Epinephelus fuscoguttatus, imunstimulan, infeksi, kerapu macan


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

FF 20

EFISIENSI PENGGUNAAN PLANKTON UNTUK PEMBENIHAN KERAPU BEBEK (Cromileptes altivelis)


PADA HATCHERI SKALA RUMAH TANGGA

Suko Ismi dan Yasmina Nirmala Asih


Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol

ABSTRAK

Kerapu bebek (Cromileptes altivelis) merupakan jenis kerapu yang bernilai ekonomis tinggi. Saat ini pembenihannya
sudah berhasil dikembangkan di tingkat petani secara massal. Salah satu kendala pada saat pemeliharaan larva adalah
kultur fitoplankton (Nannochloropsis sp.) yang tidak stabil yang disebabkan antara lain cuaca yang tidak mendukung dan
kualitas bibit Nannochloropsis sp. yang kurang baik. Pada penelitian ini dicoba untuk efisiensi dengan cara pemeliharaan
larva hanya menggunakan rotifer dengan jumlah yang cukup tanpa menggunakan “green water” Nannochloropsis sp. dan
untuk pembanding pada pemeliharaan larva dengan “green water” Nannochloropsis sp. konsentrat yang bisa dibeli di
pasaran, pemeliharaan larva dilakukan secara massal hingga yuwana umur 45 hari. Hasil yang diperoleh menunjukkan
bahwa: larva kerapu bebek dapat dipelihara tanpa menggunakan Nannochloropsis sp. dengan sintasan 6,72% dan panjang
total 18,71 mm sedangkan pada pemeliharaan larva dengan Nannochloropsis sp. konsentrat mempunyai sintasan 19,10%
dan panjang total 21,86 mm.

KATA KUNCI: efisiensi, kerapu bebek (Cromileptes altivelis), pembenihan, plankton

FF 21

PENGAMATAN DIAMETER OOSIT CALON INDUK IKAN KERAPU BEBEK (CROMILEPTES ALTIVELIS)
TURUNAN KEDUA (F-2) DALAM MENUNJANG TEKNOLOGI PEMBENIHAN IKAN KERAPU

Tridjoko dan Gunawan


Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol

ABSTRAK

Sampai saat ini pembenihan ikan kerapu bebek masih mengandalkan induk dari laut. Padahal induk dari laut sudah sulit
didapatkan dan hanya ada di daerah-daerah tertentu saja. Untuk mengantisipasi kelangkaan induk ikan kerapu bebek hasil
tangkapan dari laut perlu diupayakan produksi calon induk ikan kerapu yang berasal dari budidaya. Induk ikan kerapu
bebek dari hasil budidaya (F-1) sudah berhasil dipijahkan dan telah menghasilkan benih turunan kedua (F-2) yang dijadikan
calon induk. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan calon induk ikan kerapu bebek turunan kedua (F-2) matang
gonad dengan diameter oosit lebih dari 400 mm. Pemeliharaan calon induk kerapu bebek F-2 dilakukan dalam bak volume
75 m3, masing-masing diisi 75 ekor dengan kisaran bobot antara 400-550 g/ekor. Pergantian air pada media pemeliharaan
antara 300%-500%/hari dengan cara air mengalir. Pada bak pemeliharaan dilengkapi dengan aerasi sebagai sumber oksigen.
Perlakuan pada penelitian ini berupa pemberian pakan yang berbeda yaitu, pada bak A : ikan rucah + cumi-cumi + vitamin,
sedangkan pada bak B : pakan pelet kering. Setiap bulan dilakukan pengamatan pertumbuhan bobot, panjang, dan dilihat
perkembangan oositnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ukuran diameter oosit ikan kerapu bebek F-2 yang dipelihara
pada bak A dan bak B masing-masing telah mencapai lebih dari 450 mm. Sampai dengan bulan Oktober telah berhasil
memijah, namun kualitas dan kuantitas telur yang dihasilkan masih relatif rendah.

KATA KUNCI: kerapu bebek (Humpback grouper), generasi kedua (F-2), perkembangan oosit
Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

FF 22
PERKEMBANGAN ORGAN DALAM LARVA KERAPU BEBEK, Cromileptes altivelis

Yasmina Nirmala Asih, Ketut Mahardika, Indah Mastuti, dan Suko Ismi
Balai Besar Riset Perikanan Budaidaya Laut, Gondol

ABSTRAK

Pembenihan kerapu bebek Cromileptes altivelis telah berkembang di kalangan masyarakat. Tetapi tingkat sintasan yang
didapatkan masih rendah. Salah satu penyebabnya adalah masa kritis yang terjadi selama proses metamorfosa larva.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan organ dalam larva kerapu bebek melalui pengamatan mikroskopis
(Histologi). Sampel larva diambil pada umur 1, 2, 3, 4, 5, 7, 10, 13, 15, 17, 20, 25, dan 32 hari setelah menetas masing-
masing sebanyak 10-20 ekor. Sampel larva difiksasi dalam larutan bouin’s selama 4-6 jam dan selanjutnya dipindahkan
dalam alkohol 70%. Semua sampel kemudian diproses secara histologi dan diwarnai dengan haematoxylin dan eosin.
Pengamatan mikroskopis menunjukkan bahwa kuning telur telah terserap semua dan larva mulai mengambil makanan dari
luar tubuh pada umur 3 hari (D-3). Selain itu, lapisan penyusun retina mata pada larva D-3 telah terlihat jelas. Sedangkan
saluran pencernaan dan organ dalam lainnya telah berkembang seperti organ dalam ikan dewasa pada larva diatas umur
15 hari (D-15).

KATA KUNCI: kerapu bebek, histologi, organ dalam

FF 23

TEKNIK PEMELIHARAAN LARVA UNTUK PENINGKATAN MUTU BENIH KERAPU PADA PRODUKSI
MASSAL SECARA TERKONTROL

Suko Ismi dan Yasmina Nirmala Asih


Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol

ABSTRAK

Teknologi pembenihan dan pembesaran ikan kerapu telah dapat dikembangkan. Kendala utamanya adalah produksi benih
yang tidak stabil dan masih sering mengalami kegagalan yang disebabkan oleh berbagai faktor. Tujuan dari penelitian ini
adalah mendapatkan teknologi pemeliharaan larva yang dapat memproduksi benih kerapu secara stabil sehingga dapat
mendukung kebutuhan benih untuk budidaya tepat jumlah dan waktu sehingga dapat menjadi usaha yang menguntungkan.
Pada penelitian ini larva kerapu bebek (Cromileptes altivelis) dipelihara secara terkontrol melalui penjagaan/sterilisasi
lingkungan hatcheri, manajemen air media pemeliharaan dan manajemen pakan. Tangki pemeliharaan yang digunakan
ukuran 8-10 m3, pemeliharaan dilakukan hingga yuwana (2 bulan). Hasil yang diperoleh adalah larva yang dipelihara
secara terkontrol dengan atau tanpa penambahan klorin dapat menghasilkan produksi yuwana tiga kali ulangan dengan
kisaran sintasan 29,8%-41,2% sedangkan pada pemeliharaan tanpa terkontrol larva mengalami kematian.

KATA KUNCI: pemeliharaan larva, mutu benih kerapu, produksi massal


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

FF 24
PEMANFAATAN PROTEIN SEL TUNGGAL SEBAGAI BAHAN PAKAN UNTUK IKAN KERAPU PASIR
(Epinephelus corallicola)

Muhammad Marzuqi, I Nyoman Adiasmara Giri, Ketut Suwirya, dan Ni Wayan Astuti
Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol

ABSTRAK

Ikan kerapu merupakan komoditas penting dalam pengembangan budidaya laut di Indonesia. Keberhasilan usaha budidaya
ikan kerapu sangat tergantung dari pakan. Sumber protein utama pada pakan adalah tepung ikan. Perkembangan budidaya
yang pesat menyebabkan permintaan tepung ikan meningkat, di lain pihak hasil tangkapan cenderung menurun. Oleh
karena itu, perlu alternatif lain sebagai substitusi tepung ikan. Salah satu sumber protein alternatif adalah protein sel
tunggal (PST). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemanfaatan protein sel tunggal sebagai pengganti
tepung ikan dalam pakan buatan terhadap pertumbuhan yuwana ikan kerapu pasir. Hewan uji ikan diperoleh pada ukuran
± 3 g dan diadaptasikan sampai ikan secara keseluruhan menerima pakan buatan yaitu dengan bobot rata-rata 17,4 g
dipelihara dalam 15 bak fiber dengan volume 200 liter dan kepadatan 15 ekor/bak. Masing-masing bak dilengkapi sistem
aerasi dan sistem air mengalir. Pakan penelitian berupa pelet kering dengan kandungan PST 0%, 5%, 10%, 15%, dan 20%
dalam pakan. Pakan diberikan 2 kali secara “adlibitum”. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 5
perlakuan dan 3 ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai bobot akhir, pertambahan bobot, laju pertumbuhan
spesifik, laju konsumsi pakan tertinggi dicapai pada kandungan protein sel tunggal 0%, (pakan kontrol), tetapi tidak
berbeda nyata dengan kandungan protein sel tunggal 5%, 10%, 15% (P>0,05). Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan
bahwa protein sel tunggal dapat dimanfaatkan sampai 15% dalam formulasi pakan untuk pertumbuhan ikan kerapu pasir
(Epinephelus corallicola).

KATA KUNCI: protein sel tunggal, kerapu pasir

FF 25

PENINGKATAN PRODUKSI BENIH IKAN PATIN DI UNIT PEMBENIHAN RAKYAT (UPR) MELALUI
PENERAPAN KEKEBALAN BAWAAN (MATERNAL IMMUNITY)

Wartono Hadie*), Lies Emmawati*), dan Angela Mariana Lusiastuti**)


*)
Pusat Riset Perikanan Budidaya, Jakarta
**)
Balai Riset Prikanan Budidaya Air Tawar, Bogor

ABSTRAK

Tingkat keberhasilan pembenihan ikan patin di Indonesia masih berada dalam level yang rendah pada unit pembenihan
rakyat (UPR). Tingkat kematian larva dapat mencapai 40%–80%, akibat serangan penyakit dan kondisi media. Kematian larva
umumnya terjadi pada hari keempat. Oleh karena itu, dibutuhkan cara penanggulangan yang baik pada tingkat larva
hingga benih, dengan cara membuat kekebalan bawaan dari induknya (maternal immunity). Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui efek dari kekebalan bawaan terhadap Aeromonas hydrophila terhadap peningkatan produksi benih
ikan patin. Injeksi dilakukan secara intraperitoneal pada tingkat kematangan gonad kedua TKG II. Pada larva juga terdeteksi
adanya antibodi hingga umur larva 4 minggu. Penelitian untuk pemeliharaan larva dilakukan di UPR selama tiga siklus,
siklus pertama, dan ketiga menggunakan larva tanpa kekebalan bawaan, dan siklus kedua menggunakan larva dengan
kekebalan bawaan. Sintasan benih dari larva yang mendapat kekebalan bawaan mencapai 93% yang berarti 33%–75% lebih
baik dibanding penggunaan induk tanpa kekebalan bawaan. Penggunaan kekebalan bawaan juga memberikan tambahan
produksi sebesar 155.797–457.651 ekor benih untuk setiap induknya.

KATA KUNCI: innate immunity, survival rate, catfish seed, Pangasius hypophthalmus
Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

FF 26

PENGGUNAAN ENZIM FITASE DALAM PEMBUATAN PAKAN RAMAH LINGKUNGAN UNTUK PAKAN
IKAN PATIN, Pangasius hypopthalmus

Mohamad Amin, Dade Jubaedah, Ade Dwi Sasanti, dan Amrul Nurman
PS Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya

ABSTRAK

Semakin banyak bahan nabati yang digunakan dalam pakan ternyata akan berpotensi menimbulkan masalah baru yaitu
polusi fosfor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian enzim fitase terhadap ketersediaan fosfor
(P) dari sumber bahan nabati pakan ikan patin, dan pengaruhnya terhadap kinerja pertumbuhan serta limbah fosfor dan
Nitrogen yang dihasilkan. Penelitian ini mengunakan Rancangan Acak Lengkap yang terdiri atas 5 perlakuan dan 3
Ulangan. Ikan uji yang digunakan berukuran 2 ± 0,5 g/ekor. Perlakuan yaitu A (pakan kontrol dengan penambahan P
anorganik), B (pakan tanpa P anorganik dengan penambahan enzim fitase sebanyak 40 mg/100 g bahan nabati (tepung
bungkil kedelai dan dedak), C (pakan tanpa P anorganik dengan penambahan enzim fitase sebanyak 50 mg/100 g bahan
nabati, D (pakan tanpa P anorganik dengan penambahan enzim fitase sebanyak 60 mg/100 g bahan nabati) dan E (pakan
tanpa penambahan P anorganik dan enzim fitase). Data diperoleh dianalisis sidik ragam, yang dilanjutkan dengan uji
Tukey. Ikan patin sebayak 15 ekor, dimasukkan ke dalam akuarium berukuran 50 cm x 40 cm x 35 cm. Pakan diberikan 3
kali sehari secara at satiation, selama 30 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan enzim fitase mampu
meningkatkan kecernaan P pakan. Kecernaan P pakan B (98,114±0,0%), pakan C (98,140±0,2%), dan A (98,204±0,1%)
berbeda nyata lebih tinggi dibanding pakan D (97,223±0,1%) dan pakan E (95,763±0,3%). Kecernaan protein juga meningkat
akibat penambahan enzim fitase. Kecernaan protein tertinggi berturut-turut pakan C (82,910±0,8%), pakan B (82,884±2,1%),
pakan A (82,674±2,3%) dan pakan D (80,010±0,4%) berbeda nyata lebih tinggi dibanding pakan E (68,764±3,4%). Penambahan
enzim fitase mampu meningkatakan laju pertumbuhan bobot harian 3,32% per hari menjadi 4,13% per hari, sedangkan laju
pertumbuhan panjang harian meningkat dari 1,17% per hari menjadi 1,46% per hari.

KATA KUNCI: fitase , ikan patin, kecernaan fosfor

FF 27

PENGARUH PERBEDAAN SALINITAS PADA PEMELIHARAAN BENIH


PATIN JAMBAL (Pangasius djambal) DALAM AKUARIUM

Nurbakti Listyanto dan Septyan Andriyanto


Pusat Riset Perikanan Budidaya, Jakarta

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh salinitas terhadap pertumbuhan dan tingkat sintasan benih patin
jambal. Kadar garam yang diamati sebagai perlakuan yaitu: (A) 1‰; (B) 2‰; dan (C) 3‰ dengan tiga kali ulangan. Benih
dipelihara dalam 9 buah akuarium berukuran 95 m x 45 m x 45 m dengan volume air 100 liter. Pengamatan benih dilakukan
tiap 7 hari sekali dengan cara sampling selama 40 hari pemeliharaan. Selama pemeliharaan diberikan pakan pelet komersial
dengan dosis 3% dari total biomassa per hari. Parameter yang diamati adalah laju pertumbuhan panjang badan, sintasan
serta beberapa parameter kualitas air. Analisis data dilakukan secara deskriptif. Hasil percobaan menunjukkan rata-rata
pertumbuhan panjang tubuh tertinggi diperoleh pada salinitas 2‰ (4,35±0,07 cm), kemudian salinitas 3‰ (4,25±0,49 cm),
dan salinitas 1‰ (3,75±0,92 cm). Nilai derajat sintasan benih tertinggi ditunjukkan pada perlakuan salinitas 1 ‰ (32,14%),
diikuti salinitas 2‰ (28,93%) dan terendah salinitas 3‰ (25,00%).

KATA KUNCI: salinitas, Pangasius djambal, benih, dan sintasan


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

FF 28

INTENSIFIKASI PEMUPUKAN PADA PEMELIHARAAN LARVA/BENIH IKAN PATIN SIAM


(Pangasianodon hypophthalmus) YANG DILAKUKAN SECARA OUTDOOR DI KOLAM TANAH

Evi Tahapari, Sularto, dan Ika Nurlaela


Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar, Sukamandi

ABSTRAK

Teknologi pembenihan khususnya pemeliharaan larva ikan patin siam di Indonesia masih dilakukan secara indoor hatchery.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan teknologi pemeliharaan larva/benih ikan patin siam secara outdoor di kolam
tanah yang dipupuk. Ruang lingkup kegiatan meliputi beberapa tahapan pelaksanaan yaitu persiapan kolam, pengecekan
induk, pemijahan, penetasan telur dan pemeliharaan larva di kolam. Sebagai perlakuan adalah 3 jenis pemupukan kolam
yang berbeda: A. Pupuk anorganik + organik, B. Pupuk anorganik + organik + probiotik dan C. Pupuk anorganik + organik
yang difermentasi + Probiotik. Kolam yang digunakan untuk pemeliharaan larva berukuran masing-masing 400 m2/kolam.
Padat tebar larva yang digunakan adalah 100 ekor/m2. Larva yang ditebar berumur 20 jam setelah menetas. Pakan buatan
dalam bentuk serbuk dengan kadar protein pakan 40% diberikan mulai hari ke-11. Parameter yang diamati meliputi
pertumbuhan (bobot dan panjang) ikan, sintasan ikan, komposisi pakan alami kolam, komposisi isi saluran pencernaan ikan
dan analisa kualitas air kolam. Hasil penelitian selama 40 hari pemeliharaan menunjukkan bahwa pemupukan kolam
dengan bahan organik (kotoran ayam) yang difermentasi (perlakuan C) memberikan pengaruh yang nyata terhadap keragaan
benih ikan. Secara berturut turut didapatkan hasil pertambahan bobot dan panjang untuk masing-masing perlakuan: A.
0,27±0,08 g dan 3,19±0,31 cm B. 0,42±0,12 g dan 3,74±0,37 cm C 16,60±10,51 g dan 11,49±1,26 cm. Sifat fisika dan
kimia air masih dalam kisaran layak untuk pemeliharaan ikan. Sintasan pada penelitian ini untuk ketiga perlakuan sangat
rendah yaitu 4,5%-9,7% rendahnya sintasan ini diduga karena adanya faktor hama, predator yaitu antara lain: Ikan liar
(gabus, belut, betok, nila, sepat, udang liar) serta jenis serangga air, Noktoneta (bebeasan) yang dapat menurunkan
pertumbuhan dan sintasan ikan.

Kata kunci: Intensifikasi, Pemupukan, Patin Siam, Outdoor

FF 29

BUDIDAYA IKAN PATIN (Pangasius hypophthalmus) DI LAHAN MARJINAL DI


KABUPATEN PULANG PISAU PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

Puji Widodo, Akmal, dan Syafrudin


Balai Budidaya Air Tawar, Mandiangin

ABSTRAK

Indonesia sesungguhnya merupakan negara dengan kawasan gambut tropika terluas di dunia, yaitu antara 13,5-26,5 juta
ha (rata-rata 20 juta ha). Jika luas gambut Indonesia adalah 20 juta ha, maka sekitar 50% gambut tropika dunia yang luasnya
sekitar 40 juta ha berada di Indonesia. Lahan gambut merupakan lahan marjinal yang perlu dikelola dan dimanfaatkan
untuk mengembangan dan memanfaatkan potensi lahan gambut dalam bidang budidaya perikanan serta untuk menarik
minat masyarakat dalam mengembangkan budidaya ikan patin khususnya di Provinsi Kalimantan Tengah, maka dilakukan
suatu percontohan budidaya ikan patin di lahan gambut. Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan dan
sintasan ikan patin yang dipelihara dalam kolam di lahan gambut. Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan
dan sintasan ikan patin yang dipelihara dalam kolam di lahan gambut. Sedangkan sasaran yang ingin dicapai adalah
diperoleh sintasan ikan mencapai 60% dengan bobot rerata 600–700 g/ekor serta diperoleh informasi teknologi pembesaran
ikan patin di kolam pada lahan gambut. Pemeliharaan benih dilakukan dalam kolam selama 9 bulan dengan padat penebaran
A (4 ekor/m2), B (7 ekor/m2), dan C (10 ekor/m2) dengan 3 kali ulangan. Pemberian pakan dengan pelet apung sebanyak 5%
per hari. Hasil dari pengamatan menunjukkan bahwa perlakuan padat tebar 4,7, dan 10 ekor/m2 menghasilkan pertumbuhan
bobot ikan patin yang tidak jauh berbeda dengan bobot akhir rerata A (605 g), B (660 g), dan C (613,3 g) dan SR perlakuan
A (91,9%), B (95,2%), dan C (95,5), namun perlakuan B (7 ekor/m2) memberikan hasil pertumbuhan bobot akhir rerata yang
lebih baik sebesar 660 g dan SR 95,2%.

KATA KUNCI: budidaya, ikan patin, lahan marjinal


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

FF 30
PEMBESARAN IKAN PATIN PASUPATI PADA LAHAN TAMBAK BERSALINITAS RENDAH
DI KABUPATEN BREBES, JAWA TENGAH

Ongko Praseno*), Zafril Imran Azwar**), Evi Tahapari***), dan Sularto***)


*)
Pusat Riset Perikanan Budidaya, Jakarta
**)
Balai Riset Perikanan Bididaya Air Tawar, Bogor
***)
Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar, Sukamandi

ABSTRAK

Budidaya pembesaran patin pasupati di lahan tambak dimaksudkan untuk mendapatkan informasi mengenai keragaan
pertumbuhan ikan patin pasupati yang dibudidayakan di lahan tambak atau air yang bersalinitas tidak lebih tinggi dari 10
ppt. Lokasi tambak dipilih daerah yang dekat dengan sumber air tawar. Luas tambak 600 m2 atau ukuran 40 m x15 m yang
disekat dengan kerai bambu agar di peroleh 2 unit petakan percobaan. Petak pertama ditebar benih ukuran rata-rata 30 g/
ekor sebanyak 3.000 ekor atau kepadatan 10 ekor/m2, sedangkan petakan kedua ditebar sebanyak 2.000 ekor atau
kepadatan 5 ekor/m2. Selama percobaan ikan diberi pakan komersial dengan kandungan protein 32% dan lemak 5%,
dengan dosis dinaikkan secara bertahap yaitu sebanyak 5% hingga usia 1 bulan pertama kemudian sebanyak 3% bulan
berikutnya. Percobaan dilakukan selama 100 hari pemeliharaan, dan hasil pengamatan terhadap laju pertumbuhan spesifik
ikan dengan kepadatan 10 ekor/m2 mencapai 3,17%/hari sedangkan kepadatan 5 ekor/m2 mencapai 3,10%/hari. Tingkat
sintasan untuk kepadatan 10 ekor/m2 mencapai 99,60% sedangkan untuk kepadatan 5 ekor/m2 mencapai 97,80%.
Pertumbuhan ikan patin yang baik ini karena di tambak banyak ditemukan pakan alami yang berlimpah, di samping itu,
salinitas air tambak yang berfluktuasi 1–6 ppt dapat mencegah timbulnya penyakit yang menyerang ikan patin.

KATA KUNCI: patin pasupati, salinitas, pertumbuhan, pakan alami

FF 31

PERTUMBUHAN IKAN PATIN NASUTUS (Pangasius nasutus) MELALUI PADAT TEBAR BERBEDA

Ika Nurlaela, Evi Tahapari, dan Sularto


Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar, Sukamandi

ABSTRAK

Ikan patin nasutus merupakan patin asli Indonesia yang berdaging putih. Sifat biologi pertumbuhannya belum banyak
diketahui. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan ikan patin nasutus yang dipelihara dengan padat tebar
berbeda. Kegiatan ini dilakukan di kolam 6000 m2 dengan menggunakan jaring ukuran 3 m x 2 m x 1,5 m. Padat tebar yang
digunakan adalah 5, 10, 15 dan 20 ekor/m2 dengan bobot awal antara 15,70–20,54 g dan panjang awal antara 10,43–11,36
cm. Pakan yang digunakan adalah pakan buatan dengan kandungan protein kasar 30%–32% dan feeding rate 3% per bobot
ikan per hari. Dari pemeliharaan selama 90 hari diperoleh hasil bahwa kepadatan 5 ekor/m2 mempunyai pertambahan
bobot terbesar (95,46 g), diikuti dengan kepadatan 10 ekor/m2 (92,45 g), 15 ekor/m2 (70,74 g) dan 20 ekor/m2 (61,47 g).
Sedangkan untuk pertambahan panjang dan laju pertumbuhan harian tertinggi pada kepadatan 10 ekor/m2 (8,76 cm dan
2,06%) dan terendah pada kepadatan 20 ekor/m2 (7,09 cm dan 1,76%). Nilai sintasan tertinggi pada kepadatan 5 ekor/m2
(98,52%) dan terendah pada 20 ekor/m2 (91,30%). FCR tertinggi diperoleh pada kepadatan 15 ekor/m2 (2,18) dan terendah
pada 10 ekor/m2 (1,71).

Kata kunci: padat tebar, pertumbuhan, nasutus


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

FF 32
KETAHANAN PENYAKIT BAKTERIAL PADA IKAN PATIN NASUTUS (Pangasius nasutus)

Sularto*), Angela Mariana Lusiana**), Evi Tahapari*), dan Wartono Hadie***)


*)
Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar, Sukamandi
**)
Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar, Bogor
***)
Pusat Riset Perikanan Budidaya, Jakarta

ABSTRAK

Penelitian insidensi dan ketahan penyakit bacterial pada ikan patin nasutus untuk mengetahui sejauh mana tingkat
insidensi penyakit bakterial yang menyerang ikan patin nasutus terutama pada ukuran benih serta ketahanannya terhadap
penyakit tersebut. Penelitian ini dilakukan dalam skala laboratorium di Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya
Perikanan Air Tawar, Sukamandi. Rancangan percobaan menggunaan acak lengkap 5 perlakuan dan 3 ulangan. Uji tantang
dilakukan dengan dua cara, yaitu: cara perendaman dan cara penyuntikan intraperitonial. Pada cara perendaman dosis
bakteri Aeromonas hydrophila yang digunakan adalah: plasebo, 107, 108, 109, dan kontrol. Perlakuan kedua adalah padat
tebar: 5 ekor/L, 10 ekor/L, dan 15 ekor/L. Ikan uji yang digunakan berukuran 1–2 inci. Sedangkan untuk cara penyuntikan
Perlakuan yang dicobakan adalah biakan bakteri Aeromonas hydrophila dengan kepadatan : 104, 106, 108, dan kontrol
(placebo). Ikan uji yang digunakan berukuran 3–4 inci. Pengamatan dilakukan selama 15 hari setelah perlakuan. Parameter
yang diamati adalah insidensi dan sintasannya. Data dianalisis dengan menggunakan Anova dan titer antibodi dianalisis
menggunakan metode Anderson dan dijelaskan secara deskriptif. Hasil penelitian uji tantang pada ikan ukuran 1 inci
dengan perendaman menunjukkan tingkat kematian benih mencapai 75% pada dosis 109. Titer antibodi pada perlakuan ini
menunjukkan respons positif namun relatif rendah. Pada uji tantang dengan cara injeksi terhadap benih ikan berukuran 3–
4 inci memberikan respons antibodi yang tinggi dengan sintasan benih >90%.

Kata kunci: uji tantang Aeromonas hydrophila, perendaman, intraperitonial, Pangasius nasutus

FF 33

PENGARUH PEMBERIAN PROBIOTIK DENGAN DOSIS YANG BERBEDA TERHADAP SINTASAN DAN
PERTUMBUHAN BENIH PATIN JAMBAL (Pangasius djambal)

Septyan Andriyanto*), Nurbakti Listyanto*), dan Riani Rahmawati**)


*)
Pusat Riset Perikanan Budidaya, Jakarta
**)
Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol

ABSTRAK

Percobaan ini dilakukan guna mengetahui pengaruh pemberian probiotik dengan dosis yang berbeda terhadap sintasan
dan pertumbuhan benih patin jambal. Pemeliharaan dilakukan dalam 9 buah akuarium berukuran 95 m x 45 m x 45 m dan
diisi 100 liter air. Probiotik diberikan dengan dosis yang berbeda, sebagai perlakuan yaitu: (A) 0,001 mg/L; (B) 0,002 mg/
L; dan (C) 0,003 mg/L dengan tiga kali ulangan. Pengamatan benih dilakukan setiap 7 hari sekali dengan cara sampling
selama 40 hari pemeliharaan. Selama pemeliharaan diberikan pakan pelet komersial dengan dosis 3% dari total biomassa
per hari. Parameter yang diamati adalah sintasan dan laju pertumbuhan panjang tubuh serta beberapa parameter kualitas
air. Analisis data dilakukan secara deskriptif. Hasil percobaan menunjukkan sintasan benih tertinggi ditunjukkan pada
perlakuan dosis 0,001 mg/L (86,67%), kemudian perlakuan dosis 0,002 mg/L (83,33%) dan terendah perlakuan dosis 0,003
mg/L (81,67%). Rata–rata pertumbuhan panjang tubuh tertinggi diperoleh pada pemberian dosis probiotik 0,002 mg/L
(4,60 ± 0,14 cm), diikuti dosis 0,001 mg/L (4,55 ± 0,49 cm), kemudian dosis 0,003 mg/L (4,35 ± 0,35 cm).

KATA KUNCI: probiotik, dosis, benih, sintasan, dan pertumbuhan


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

FF 34

PEMANFAATAN AMPAS TAHU TERFERMENTASI SEBAGAI SUBTITUSI TEPUNG KEDELAI


DALAM FORMULASI PAKAN IKAN PATIN

Irma Melati, Zafril Imran Azwar, dan Titin Kurniasih


Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar, Bogor

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk memperbaiki kualitas ampas tahu dengan memanfaatkan mikroba Aspergillus niger, dan
digunakan sebagai substitusi terhadap tepung bungkil kedelai dalam formulasi pakan ikan patin. Percobaan dilakukan di
Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar. Digunakan 12 unit akuarium ukuran 100 cm x 60 cm x 60 cm dengan sistem air
mengalir dan pengatur suhu. Ke dalam wadah ditebar ikan patin ukuran 11,41±0,03 g/ekor dengan kepadatan ikan 20
ekor/akuarium. Sebagai perlakuan adalah persentase substitusi protein tepung ampas tahu terfermentasi (gizi terbaik
dari percobaan pertama) terhadap protein tepung kedelai dengan perincian sebagai berikut; substitusi protein 0%
(kontrol) (pakan A); substitusi protein 2,52% (pakan B); substitusi protein 4,03% (pakan C); dan substitusi protein 6,04%
(pakan D). Sebelum dilakukan uji formulasi dilakukan percobaan upaya perbaikan kualitas ampas tahu dengan cara
mencampurkan dengan tapioka dengan berbagai perbandingan yaitu 100% ampas tahu, 75% ampas tahu:25% tapioka, 50%
ampas tahu:50% tapioka, dan 25% ampas tahu:75% tapioka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbandingan 75% ampas
tahu dan 25% tapioka memberikan hasil kenaikan protein yang lebih baik (129,58%) dibandingkan perlakuan yang lain dan
substitusi protein ampas tahu terfermentasi terhadap protein tepung kedelai sebesar 4,03% (pakan C) memberikan hasil
yang tidak berbeda nyata dengan tepung bungkil kedelai, artinya ampas tahu terfermentasi berpeluang untuk menggantikan
tepung bungkil kedelai.

KATA KUNCI: fermentasi, Aspergillus niger, ampas tahu, substitusi

FF 35

KERAGAAN REPRODUKSI PATIN NASUTUS (Pangasius nasutus)


SEBAGAI KANDIDAT IKAN PATIN BUDIDAYA

Evi Tahapari, Bambang Iswanto, dan Sularto


Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar, Sukamandi

ABSTRAK

Patin nasutus merupakan salah satu spesies ikan patin Indonesia yang potensial untuk dikembangkan sebagai komoditas
baru perikanan budidaya. Upaya pengembangan patin nasutus memerlukan informasi-informasi biologi-reproduksi berkaitan
dengan kapasitas produksinya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik perkembangan organ
reproduksi dan larva patin nasutus. Penelitin ini terdiri atas dua tahap, yakni pengamatan perkembangan gonad dan
fertilisasi. Hasil pengamatan perkembangan gonad menunjukkan bahwa oosit intraovarian patin nasutus dapat dibagi
dalam lima tahap, yakni tahap 1 (kromatin nukleolar dan perinukleolar) dengan diameter oosit kurang dari 125 µm, tahap 2
(vesikula kuning telur dan alveoli korteks) dengan diameter oosit 125-500 µm, tahap 3 (granula kuning telur) dengan
diameter oosit 700–1.850 µm, tahap 4 (migrasi nukleus dan hidrasi) dengan diameter oosit 1.250–1.900 µm, dan tahap 5
(atresis) dengan diameter oosit 300–1.700 µm. Perkembangan oosit patin nasutus bersifat sinkronis grup, ditandai dengan
adanya dua kelompok oosit intraovarian pada ikan yang matang gonad, yakni kelompok oosit matang yang segera
dikeluarkan pada saat pemijahan dan kelompok oosit stok yang belum berkuning telur, berukuran kecil yang merupakan
telur cadangan untuk proses pemijahan berikutnya. Derajat penetasan patin nasutus berkisar 44,16%–79,05% dengan
lama inkubasi 22–25 jam. Ukuran panjang total larva yang baru menetas berkisar 3.700–4.200 µm dan pada saat berumur
10 hari panjang larva mencapai 11.130–22.000 µm.

KATA KUNCI oosit, hatching, rearing, larva, Pangasius nasutus


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

FF 36

FUNGSI BIOFILTER DALAM SISTEM RESIRKULASI UNTUK PENDEDERAN BENIH PATIN ALBINO
(Pangasius hypophthalmus VAR.)

Nurhidayat dan Rendy Ginanjar


Balai Riset Budidaya Ikan Hias, Depok

ABSTRAK

Biofilter berpern untuk meningkatkan kualitas air dalam sistem resirkulasi dan berdampak pada peningkatan pertumbuhan
dan sintasan benih patin albino (Pangasius hipopthalmus var.) Pembesaran benih Patin di dalam sistem biofilter mempunyai
tujuan untuk mengetahui peran biofilter terhadap pertumbuhan dan sintasan benih Patin. Penelitian ini menggunakan
benih umur 28 hari dengan bobot rata-rata (0,62 g) dan panjang (2,54 cm). Sistem resirkulasi yang digunakan adalah
kombinasi filter yang berbeda yaitu : A. 100% zeolit B. 75% zeolit + 25% bioball, C. 50% zeolit + 50% bioball dan D. 25% zeolit
+ 75% bioball. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan tiga perlakuan, masing-masing
perlakuan diulang sebanyak empat kali. Hasil penelitian memberikan nilai penyisihan amonia yang diperoleh tiap filter
sebesar A. 75,01±0,30a; B. 92,03±0,30ab; C. 95,89±0,31ab; dan D. 79,98±0,27a. Nilai tersebut didukung dengan jumlah
populasi biomassa bakteri non patogen (nitrifikasi) dengan jumlah koloni (A. 2,64±0,20; B. 4,1±0,42; C. 4,6±0,43b; dan D.
2,01±0,24) x 103. Kualitas air yang dihasilkan memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan panjang dan bobot benih
selama penelitian. Hasil pengukuran menunjukan pertambahan panjang tertinggi diperoleh perlakuan perlakuan D. 1,69
cm/ekor diikuti B.1,56 cm/ekor, C. 1,35 cm/ekor dan A. 0,60 cm/ekor. Hasil pertumbuhan bobot tertinggi diperoleh
perlakuan D. 1,25 g/ekor, diikuti perlakuan B. 1,02 g/ekor, C. 0,84 g/ekor dan terendah A. 0,45 g/ekor. Hasil akhir
percobaan diperoleh sintasan terbesar di perlakuan D. 91,67%, diikuti perlakuan C. 89,58%, B. 88,75% dan terendah
perlakuan A. 88,33%.

KATA KUNCI: patin albino, biofilter, pertumbuhan, sintasan

FF 37
EMBRIOGENESIS DAN PERKEMBANGAN AWAL LARVA PATIN HASIL HIBRIDISASI ANTARA
BETINA PATIN SIAM (Pangasianodon hypophthalmus SAUVAGE, 1878) DENGAN JANTAN
PATIN JAMBAL (Pangasius djambal BLEEKER, 1846) DAN JANTAN PATIN
NASUTUS (Pangasius nasutus BLEEKER, 1863)

Bambang Iswanto dan Evi Tahapari


Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar, Sukamandi

ABSTRAK

Pengembangan budidaya patin jambal maupun patin nasutus untuk memenuhi permintaan pasar ekspor patin daging
putih sulit direalisasikan karena keterbatasan fekunditasnya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan
produktivitas patin daging putih adalah melalui hibridisasi, yakni hibridisasi antara betina patin siam dengan jantan patin
jambal maupun jantan patin nasutus. Hal ini dikarenakan patin siam memiliki keunggulan fekunditas yang tinggi, sedangkan
patin jambal maupun patin nasutus memiliki keunggulan daging yang putih. Penelitian ini bertujuan untuk mengatahui
karakteristik embriogenesis dan perkembangan awal larva patin-patin hibrida tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa diameter telur patin siam yang difertilisasi dengan sperma patin nasutus dan patin jambal berukuran 1,10–1,20 mm.
Embriogenesis patin hibrida siam-jambal dan siam-nasutus serupa, tetapi perkembangan patin hibrida siam-nasutus sedikit
lebih cepat. Larva patin hibrida siam-nasutus mulai menetas 20 jam setelah fertilisasi, berukuran panjang total 3,34±0,14
mm, dengan kantung kuning telur berukuran 0,71±0,28 mm3 yang terserap 50% pada umur 24 jam dan relatif habis
terserap pada umur 54 jam. Larva patin hibrida siam-jambal mulai menetas 21 jam setelah fertilisasi, berukuran panjang
total 3,47±0,13 mm, dengan kantung kuning telur berukuran 0,42±0,08 mm3 yang terserap 50% pada umur 30 jam dan
habis terserap pada umur 60 jam. Perkembangan awal larva kedua patin hibrida tersebut hingga menyerupai morfologi
ikan dewasa juga relatif serupa, tetapi patin hibrida siam-nasutus menunjukkan keragaan pertumbuhan yang lebih bagus,
menghasilkan heterosis berdasarkan pertambahan panjang total selama 10 hari pemeliharaan sebesar 20,23%, sedangkan
patin hibrida siam-jambal sebesar -4,28%.

Kata kunci: embriogenesis, larva, hibrida, siam, jambal, nasutus


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

FF 38

PENENTUAN FAKTOR PENGELOLAAN YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI IKAN BANDENG


(Chanos chanos) DI TAMBAK KABUPATEN BONE PROVINSI SULAWESI SELATAN

Erna Ratnawati, Akhmad Mustafa, dan Anugriati


Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros

ABSTRAK

Produktivitas tambak di Kabupaten Bone Provinsi Sulawesi Selatan sangat bervariasi yang dapat disebabkan oleh
bervariasinya pengelolaan yang dilakukan oleh pembudidaya tambak. Oleh karena itu, dilakukan penelitian yang bertujuan
untuk mengetahui faktor pengelolaan tambak yang mempengaruhi produksi ikan bandeng (Chanos chanos) di tambak
Kabupaten Bone. Metode penelitian yang diaplikasikan adalah metode survai untuk mendapatkan data primer dari produksi
dan pengelolaan tambak yang dilakukan melalui pengajuan kuisioner kepada responden secara terstruktur. Sebagai
peubah tidak bebas adalah produksi ikan bandeng dan peubah bebas adalah faktor pengelolaan tambak yang terdiri atas
21 peubah. Analisis regresi berganda dengan peubah boneka tertentu digunakan untuk memprediksi produksi ikan
bandeng. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, umumnya pembudidaya tambak di Kabupaten Bone melakukan polikultur
ikan bandeng dan udang windu (Penaeus monodon) di tambak, tetapi akibat serangan penyakit berdampak pada kegagalan
atau produksi udang windu yang sangat rendah. Produksi ikan bandeng di Kabupaten Bone berkisar antara 10 sampai
2.990 kg/ha/musim dengan rata-rata 292,2 kg/ha/musim. Faktor pengelolaan yang mempengaruhi produksi ikan bandeng
adalah: padat penebaran ikan bandeng, lama ikan bandeng digelondongkan, padat penebaran udang windu, lama
pemeliharaan ikan bandeng, dosis pupuk TSP/SP-36 susulan dan lama pengangkutan gelondongan ikan bandeng. Produksi
ikan bandeng ini masih dapat ditingkatkan melalui peningkatan ukuran gelondongan ikan bandeng yang ditebar,
penambahan dosis pupuk TSP/SP-36 sebagai pupuk susulan serta menambah lama pemeliharaan ikan bandeng dan
sebaiknya menurunkan padat penebaran udang windu yang dipolikultur dengan ikan bandeng.

KATA KUNCI: pengelolaan, tambak, produksi, ikan bandeng, Kabupaten Bone

FF 39

ANALISIS TINGKAT KECERNAAN PAKAN DAN LIMBAH NITROGEN (N) BUDIDAYA IKAN BANDENG
SERTA KEBUTUHAN PENAMBAHAN C-ORGANIK UNTUK PENUMBUHAN BAKTERI HETEROTROF
(BIOFLOK)

Usman*), Neltje Nobertine Palinggi*), Enang Harris**), Dedi Jusadi**), Eddy Supriyono**), dan Munti Yuhana**)
*) Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros
**) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor

ABSTRAK

Limbah N dan C-organik ikan budidaya dapat dikonversi menjadi bioflok. Jika bioflok terbentuk, dapat memperbaiki kualitas
air dan sekaligus bioflok tersebut dapat menjadi makanan bagi ikan budidaya. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan
untuk mendapatkan informasi tentang kecernaan pakan pada pembesaran ikan bandeng dan untuk menduga beban
limbah nitrogen (N) dan karbon organik (C) ke lingkungan yang akan dijadikan acuan untuk penumbuhan bakteri heterotrof
(bioflok). Pakan uji yang digunakan adalah pakan komersial yang memiliki kadar protein berbeda yaitu 17%, 21% dan 26%.
Pakan tersebut digiling ulang, lalu ditambahkan kromium oksida (Cr2O3) sebagai indikator kecernaan. Untuk menentukan
total limbah N termasuk eksresi amonia, dilakukan juga pemeliharaan ikan bandeng selama 45 hari dan menghitung retensi
N. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecernaan ketiga pakan tersebut berbeda tidak nyata yaitu antara 77,2%–78,2%
untuk bahan kering, 88,6%–90,0% untuk protein dan 81,6%–83,1% untuk C-organik. Total limbah N per 100 g pakan yang
masuk ke perairan meningkat dengan meningkatnya kadar protein pakan yaitu 2,27 g N untuk pakan berprotein 17%, 2,76
g N untuk pakan berprotein 21%, dan 3,28% untuk pakan berprotein 26%. Untuk mengkonversi limbah N dari budidaya
bandeng ini menjadi bakteri heterotrof (bioflok), diperlukan aplikasi C-organik sebanyak 33 g/100 g pakan yang mengandung
protein 26%.

KATA KUNCI: feed digestibility, N waste, milk fish, heterotrof bakteria


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

FF 40

PENUMBUHAN BAKTERI HETEROTROF (BIOFLOK) DALAM MEDIA BUDIDAYA IKAN BANDENG

Usman*), Enang Harris**), Dedi Jusadi**), Eddy Supriyono**), dan Munti Yuhana**)
*)
Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros
**)
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian

ABSTRAK

Bioflok merupakan agregasi dari berbagai jenis mikroorganisme termasuk polimer organik yang dapat berperan
dalam memperbaiki kualitas air dan sekaligus dapat menjadi makanan ikan budidaya. Penyusun utama bioflok ini adalah
bakteri heterotrof. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan informasi metode menumbuhkan bakteri
heterotrof (bioflok) dalam media budidaya ikan bandeng intensif. Penumbuhan bakteri heterotrof dilakukan dengan
mempertahankan keseimbangan rasio C/N sekitar 10 dalam media budidaya selama 30 hari. Sumber nitrogen berasal dari
limbah 40 ekor ikan bandeng (bobot rata-rata 75g/ekor) yang dipelihara dalam bak fibre glass berisi air bersalinitas 25 ppt
sebanyak 625 L. Ikan uji diberi pakan komersial dengan kadar protein sekitar 26%. Molase digunakan sebagai sumber C-
organik. Perlakuan yang dicobakan adalah: (A) tanpa inokulasi mikroba (kontrol), (B) inokulasi bakteri heterotrof (komersial)
sebanyak 102 cfu/mL, (C) inokulasi bakteri heterotrof sebanyak 104 cfu/mL, dan (D) inokulasi bakteri heterotrof sebanyak
106 cfu/mL. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan inokulasi bakteri heterotrof sebanyak 106 cfu/mL cenderung
lebih meningkatkan laju konversi limbah N menjadi bioflok dibandingkan jumlah inokulasi bakteri yang lebih rendah dan
kontrol. Indikator utamanya dapat dilihat dari pola penurunan konsentrasi TAN dan peningkatan VSS. Penambahan inokulasi
bakteri komersial (Bacillus sp.) cenderung meningkatkan kandungan asam amino bioflok.

KATA KUNCI: Heterotrofic bakteria, growing, milkfish grow-out

FF 41

PERKEMBANGAN BUDIDAYA BANDENG DI PANTAI UTARA JAWA TENGAH


(STUDI KASUS: KENDAL, PATI, DAN PEKALONGAN )

Anjang Bangun Prasetio, Hatim Albasri, dan Rasidi


Pusat Riset Perikanan Budidaya, Jakarta

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan di Jawa Tengah yang merupakan salah satu sentra budidaya bandeng di Indonesia. Khususnya
di wilayah Pantai Utara yaitu Kendal, Pati, dan Pekalongan. Pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan melakukan
desk study dan survai lapangan. Desk study dilakukan dengan mengkompilasi dan mensintesa data-data sekunder yang
terkait untuk menjawab tujuan studi. Survai lapangan meliputi wawancara mendalam dengan responden kunci dan
observasi kondisi tambak bandeng. Semua data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif untuk menentukan alternatif
kebijakan dalam pengembangan budidaya bandeng ke depan. Lahan yang berpotensi untuk budidaya laut di wilayah ini
mencapai 12.726 ha dan yang layak untuk budidaya sekitar 6.975 ha. Data Ditjen Perikanan Budidaya menunjukkan
bahwa produksi bandeng tahun 2009 untuk Jawa Tengah sekitar 86.000 ton dan mengalami kenaikan sebesar 14,54% per
tahun kurun waktu tahun 2005–2009. Demikian juga produksi nasional untuk komoditas bandeng tahun 2009 mencapai
475.000 ton dan mengalami kenaikan rata-rata 13,66% dari tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun yang sama, kebutuhan
bandeng untuk konsumsi dalam negeri sekitar 470.250 ton. Dengan demikian produksi bandeng saat ini masih terbatas
untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Pada tulisan ini memberikan informasi tentang permasalahan yang berkaitan
dengan budidaya bandeng di Pantai Utara Jawa Tengah serta opsi kebijakan pengembangan budidayanya.

KATA KUNCI: budidaya, bandeng, kendala, opsi kebijakan


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

FF 41

AKTIVITAS PROMOTER ß-AKTIN, HEAT SHOCK DAN KERATIN PADA IKAN LELE, Clarias sp.

Gusrina*), Alimuddin**), Komar Sumantadinata**), dan Utut Widyastuti***),****)


*)
Mahasiswa Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor
**)
Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB
***)
Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi IPB
****)
Departemen Biologi, FMIPA, Institut Pertanian Bogor

ABSTRAK

Promoter berperan penting dalam transgenesis sebagai pengatur ekspresi gen yang diintroduksi. Penelitian ini
dilakukan untuk mengetahui aktivitas promoter â-aktin dari ikan medaka (mBA), heat shock dari ikan rainbow trout (rtHSC)
dan keratin dari ikan flounder Jepang (fKer) pada ikan lele (Clarias sp.) sebagai langkah awal dalam rangka produksi ikan lele
transgenik dengak karakter yang berguna bagi akuakultur. Aktivitas promoter diketahui dengan cara mengamati ekspresi
gen penyandi protein berpendar hijau (green fluorescent protein, gfp) yang dikontrol oleh setiap promoter tersebut pada
embrio hasil mikroinjeksi. Konstruksi gen dalam bentuk plasmid mBA-gfp, rtHSC-gfp dan fKer-gfp dengan konsentrasi 50
ng/µL KCl 0,1 M masing-masing diinjeksikan secara terpisah ke dalam blastodisk embrio ikan lele fase 1 sel. Jumlah telur
yang diinjeksi untuk setiap konstruksi gen adalah sebanyak 30 embrio dan dilakukan 2 pengulangan. Telur diinkubasi
pada akuarium dengan suhu air sekitar 28oC. Ekspresi gen gfp diamati menggunakan mikroskop fluoresen (Olympus SZX
16) di mulai pada jam ke-4 setelah fertilisasi dan dilanjutkan setiap 2 jam sekali hingga ekspresi gfp tidak terdeteksi.
Derajat sintasan embrio (DKH-e) dan derajat penetasan (DP) dianalisis sebagai data pendukung. DKH-e dihitung sebelum
telur menetas, sedangkan DP dihitung ketika semua telur telah menetas. Data dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa DKH-e (63,33±3,34%) dan DP (63,63±10,03%) kontrol tidak diinjeksi lebih tinggi dibandingkan dengan
perlakuan injeksi. DKH-e yang diinjeksi dengan â-aktin-GFP (25,00±1,67%), keratin-GFP (21,66±1,65%) dan heat shock-GFP
(18,33±1,66%) relatif sama. Nilai DP juga relatif sama untuk ketiga konstruksi gen yang diuji. DP untuk â-aktin-GFP, keratin-
GFP, dan heat shock-GFP berturut-turut adalah 20,00±3,33%; 18,34±1,65%; dan 15,00±1,67%. Persentase embrio yang
mengekspresikan gen gfp tertinggi diperoleh pada keratin-GFP (20,0±10,0%), menyusul heat shock-GFP (10,0±0,0%) dan
yang terendah â-aktin-GFP (3,3±0,0%). Puncak ekspresi gen gfp yang dikendalikan oleh promoter keratin dan â-aktin
adalah sama yaitu pada jam ke-10, sedangkan oleh promoter heat shock pada jam ke-12 setelah fertilisasi. Ekspresi gen
gfp tidak tampak lagi pada saat telur menetas. Kesimpulannya adalah bahwa promoter heat shock dari ikan rainbow trout,
keratin dari ikan flounder Jepang dan â-aktin dari ikan medaka dapat aktif mengendalikan ekspresi gen asing pada ikan lele,
sehingga ketiga promoter tersebut dapat digunakan dalam pembuatan ikan lele transgenik.

KATA KUNCI: promoter, GFP, mikroinjeksi, ikan lele


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

FF 43
POTENSI ANTI BAKTERI PEGAGAN Centella asiatical [L] URB. UNTUK PENYAKIT BERCAK
MERAH (Haemorragic septicaemia) AKIBAT INFEKSI Aeromonas hydrophila PADA IKAN LELE
(Clarias gariepinus)

Desy Sugiani, Taukhid, Angela Mariana Lusiastuti, dan Uni Purwaningsih


Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar

ABSTRAK

Semenjak tahun 1980 penyakit bercak merah (haemorragic septicaemia) atau MAS (Motile Aeromonas Septicaemia)
akibat infeksi bakteri bakteri A. hydrophila menjadi penyakit endemis di Indonesia. Usaha pengendalian penyakit bakterial
dapat dilakukan dengan cara pencegahan (preventif) dan pengobatan (kuratif). Alternatif yang menjanjikan untuk masa
depan adalah tumbuhan berguna. Hal ini disebabkan karena obat kemoterapi serta obat kimia lainnya mempunyai efek
samping yang mengganggu keseimbangan kesehatan dan alam. Herbal therapy harus menjadi kecenderungan bagi
upaya pengendalian penyakit ikan di masa mendatang. Kandungan bahan aktif hasil pengekstrasian pegagan segar;
6,34% kadar air; 5,37% kadar abu; 0,23% kadar abu tak larut asam; 39,33% kadar sari dalam air; 24,83% kadar sari dalam
alkohol; 1,39% kadar asiaticosid. Antibakteri pegagan (asiaticosid) Centella asiatical [L] Urb. dapat digunakan untuk
menanggulangi penyakit bercak merah (haemorragic septicaemia) akibat infeksi Aeromonas hydrophila pada ikan lele
(Clarias gariepinus). Konsentrasi yang efektif menghambat pertumbuhan bakteri untuk kedua bahan herbal sehingga
dapat meningkatkan respons immun dan sintasan berada di bawah nilai LC50-24 (5.623,41 mg/L) dengan dosis efektif 250
mg/L.

KATA KUNCi: A. hydrophila, pegagan Centella asiatical [L] Urb., bahan aktif, dosis

FF 44
KERAGAAN KECERNAAN PAKAN TENGGELAM DAN TERAPUNG UNTUK IKAN
LELE DUMBO (Clarias gariepinus) DENGAN DAN TANPA AERASI

Bambang Gunadi, Rita Febrianti, dan Lamanto


Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar

ABSTRAK

Nilai kecernaan pakan dapat digunakan sebagai petunjuk tingkat efisiensi pemanfaatan pakan oleh ikan yang
dipelihara. Penelitian ini dilaksanakan untuk menganalisis pengaruh jenis pakan (tenggelam dan terapung) dan penambahan
aerasi terhadap nilai koefisien kecernaan pakan (KKP) terhadap ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). Wadah penelitian
yang digunakan berupa bak fiberglas dengan dasar berbentuk corong yang dilengkapi pipa pengumpul feses ikan. Bak
diisi air sebanyak 100 liter. Ikan lele dumbo berukuran 41,30±2,39 g/ekor dipelihara di dalam wadah penelitian dengan
kepadatan 20 ekor/bak. Pakan yang diberikan berupa pakan apung dan pakan tenggelam dengan kadar protein 31%–33%.
Pemberian pakan sebesar 5% dari biomassa per harinya. Feces yang dihasilkan diambil setiap hari, pagi dan sore. Hasil
pengamatan selama 5 hari menunjukkan bahwa jenis pakan tenggelam dan terapung dan penambahan aerasi mempengaruhi
kecernaan pakan ikan lele dumbo. Pada perlakuan tanpa aerasi, pakan terapung mempunyai nilai kecernaan lebih tinggi
(yakni 92,74±1,15%) dibandingkan dengan pakan tenggelam (yakni 79,47±4,53%) (P<0,05). Melalui penambahan aerasi,
nilai kecernaan pakan tenggelam meningkat secara nyata (P<0,05) dari 79,47±4,53% menjadi 92,71±2,25% sehingga tidak
berbeda nyata dengan pakan terapung.

KATA KUNCI: kecernaan pakan, ikan lele dumbo (Clarias gariepinus), aerasi, pakan tenggelam,
pakan terapung
Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

FF 45
PENINGKATAN KUALITAS TEPUNG MAGGOT MELALUI PENGGUNAAN MIKROBA (Aspergillus niger)
DAN PEMANFAATANNYA DALAM PAKAN IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus)

Zafril Imran Azwar dan Irma Melati


Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar

ABSTRAK

Percobaan perbaikan kualitas tepung maggot dan penggunaannya dalam formulasi pakan ikan lele telah dilakukan sebagai
upaya mengurangi pemakaian tepung ikan atau sumber protein impor. Percobaan dilakukan di Laboratorium Balai Riset
Perikanan Budidaya Air Tawar Bogor. Wadah percobaan yang digunakan adalah bak beton ukuran 1,0 m x 1,0 m x 0,8 m,
dan dirancang sistem resirkulasi. Ke dalam bak ditebar ikan lele ukuran jari dengan kisaran bobot 9,33±0,10 g sebanyak
40 ekor. Sebagai perlakuan adalah substitusi tepung maggot hasil fermentasi sebagai pengganti tepung ikan yaitu 0%
(kontrol); 7,92%; 13,28%; 19,56%; dan 25,81% dalam formulasi pakan. Setiap perlakuan dengan 3 ulangan. Sebelum dilakukan
uji formulasi dilakukan percobaan upaya perbaikan kualitas tepung maggot dengan penambahan berbagai substrat sebagai
sumber karbohidrat yaitu dedak polar sebagai pencampur utama dan sumber karbohidrat gula lontar, tapioka, dan molase.
Hasil percobaan memperlihatkan bahwa maggot dicampur dengan dedak polar dan molase sebanyak 10% memberikan
perbaikan kualitas lebih baik dengan meningkatnya protein sebesar 11,96%, dan penurunan lemak 61,85%, dari perlakuan
kontrol. Laju pertumbuhan spesifik, penambahan bobot ikan lele terbaik pada perlakuan penggunaan tepung maggot
sebanyak 7,90%, namun perlakuan lainnya yaitu penggunaan maggot hingga sebanyak 25,83% tidak memperlihat perbedaan
dengan perlakuan kontrol.

KATA KUNCI: maggot, fermentasi, formulasi, lele dumbo

FF 46
ADAPTASI IKAN GURAME COKLAT (Sphaerychthys ophronomides) PADA MEDIA YANG DIBERI
DAUN KETAPANG BERBEDA

Tutik Kadarini, Siti Subandiyah, Sulasy Rohmi, dan Darti Satyani


Balai Riset Budidaya Ikan Hias

ABSTRAK

Sintasan dan pertumbuhan ikan gurame coklat masih rendah untuk meningkatkan dengan media pemeliharaan
yang diberi daun ketapang. Tujuan penelitian untuk mengetahui sintasan dan pertumbuhan. Ikan berasal dari Kalimantan
dan diadaptasikan di laboratorium. Wadah yang digunakan akuarium ukuran 50 cm x 40 cm x 40 cm dengan volume air 40
liter. Ikan ditebar padat penebaran 15 ekor/wadah dengan ukuran ikan 2,3–3,1 cm. Media pemeliharaan yang diberi daun
ketapang kering dengan jumlah yang berbeda sekaligus sebagai perlakuan yaitu 0, 10, 20, dan 30 g/40 liter masing-
masing diulang 3 kali. Jenis pakan berupa cacing tubifex, bloodworm, dan cuk yang diberikan diselang-seling secara
adlibitum. Parameter yang diamati sintasan dan pertumbuhan (bobot, panjang, dan perkembangan gonad), kualitas air
(suhu, pH, amonia, alkalinitas, oksigen, dan karbondioksida). Hasil penelitian menunjukkan media yang terbaik untuk
pemeliharaan gurame coklat adalah daun ketapang kering 10 gr/40 liter yaitu sintasan 55% dan pertumbuhan panjang
total berkisar 3,8–4,7 cm mencapai TKG III.

KATA KUNCI: gurame coklat, reproduksi, ikan, dan gonad


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

FF 47
APLIKASI DIAGNOSTIK DALAM MONITORING MYCOBACTERIUM PADA IKAN GURAME
(Osphrenemus gouramy LAC.) DI JAWA

Hessy Novita dan Hambali Supriyadi


Pusat Riset Perikanan Budidaya, Jakarta

ABSTRAK

Ikan gurame atau yang lebih dikenal dengan Opsrenemus gouramy Lac. adalah ikan kosumsi yang mempunyai
nilai ekonomis tinggi, Ikan ini kebanyakan dibudidayakan dalam kolam tanah yang membutuhkan waktu cukup lama karena
makanannya masih alami dari tanaman, yaitu seperti daun talas. Penyakit yang sering menyerang ikan gurame ini adalah
penyakit bakterial yang dikenal juga dengan Fish TB yang disebabkan oleh Mycobacterium fortuitum. Untuk mendiagnosa
penyakit fish TB masih dilakukan secara biokimia dan membutuhkan waktu lama. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengaplikasikan metode diagnosa untuk mendeteksi Mycobacterium fortuitum pada ikan gurame yang ada disentra
budidaya ikan gurame di Jawa, yaitu di Jawa timur (Blitar dan Tukung Agung), Jawa barat (Tasikmalaya) dan di Jawa Tengah
(Purwokerto) dengan menggunakan teknik PCR (Polymerase Chain Reaction). Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa di
daerah Blitar, Tasikmalaya dan Purwokerto positif terserang penyakit Mycobacteriosis berdasarkan diagnosa dengan PCR
pada target band 210 Bp. Dengan adanya aplikasi diagnosa dengan PCR ini diharapkan, penyakit pada bakterial pada ikan
gurame dapat diketahui dengan cepat dan dapat dilakukan tindakan pencegahan dengan cepat, sehingga petani tidak
mengalami banyak kerugian.

KATA KUNCI: fish TB, Mycobacteriosis, Mycobacterium fortuitum, biokimia, PCR


FF 48
PENGARUH PEMBERIAN PAKAN TAMBAHAN DENGAN KADAR PROTEIN YANG BERBEDA TERHADAP
KERAGAAN REPRODUKSI INDUK GURAMI

Bambang Gunadi, Lamanto, dan Rita Febrianti


Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar, Sukamandi

ABSTRAK

Ikan gurame termasuk ikan dengan fekunditas rendah. Banyak pembenih gurame merasa cukup memberi pakan induk
gurame hanya dengan daun sente. Pemberian pakan buatan diduga mampu meningkatkan produktivitas induk gurame.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian pakan buatan dengan kadar protein yang berbeda
terhadap keragaan reproduksi induk gurame yang meliputi produksi sarang, produksi telur per sarang, dan tingkat fertilitas
telur yang dihasilkan. Kolam pemijahan berupa kolam tanah berukuran 400 m2 yang disekat menjadi 8 bagian sehingga
masing-masing bagian mempunyai luasan 50 m2. Setiap petak pemijahan yang dilengkapi songgo (tempat sarang), dan
injuk sebagai bahan pembuat sarang. Induk gurami yang digunakan berbobot 2-3 kg/ekor, dengan rasio kelamin pada
setiap petak terdiri dari 2 induk jantan dan 2 induk betina. Pakan yang diberikan berupa daun sente sebanyak 3,5% dari
bobot biomas induk per hari (diberikan tiap pagi hari) ditambah pakan buatan sebanyak 1% dari bobot biomassa induk per
hari (diberikan pagi dan sore hari) dengan kadar protein berbeda sebagai perlakuan. Perlakuan yang diterapkan adalah
kadar protein 38%, 33%, dan 14% sesuai dengan label pada kemasan masing-masing. Pemberian pakan hanya daun sente
diterapkan sebagai kontrol. Masing-masing perlakuan mempunyai 2 ulangan. Pengecekan sarang dilakukan dua kali per
minggu selama 5 bulan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pemberian tambahan berupa pakan buatan mampu
meningkatkan keragaan produksi induk gurame. Pemberian pakan tambahan dengan kadar protein semakin tinggi
menghasilkan produksi telur per sarang yang semakin tinggi (P=0,09). Pemberian pakan tambahan dengan kadar protein
38%, 33%, dan 14% masing-masing menghasilkan produksi telur per sarang sebanyak 10.351 butir, 4.546 butir dan 2.730
butir. Sedangkan yang hanya diberikan pakan daun sente menghasil telur sebesar 2.774 butir per sarang. Pemberian
pakan dengan kadar protein 38% juga meningkatkan derajat fertilitas (jumlah telur yang hidup) yakni 92,23% dibandingkan
dengan pemberian pakan dengan kadar protein 33%, 14% dan kontrol yakni masing-masing 79,05%, 28,86%, dan 71,94%
(P=0,26). Produksi sarang per bulan dari 2 ekor induk ikan gurame yang diberi pakan tambahan berkadar protein 38%
adalah 0,75 buah, lebih rendah dibandingkan dengan yang diberikan pakan tambahan berkadar protein 33%, yakni 0,88
buah, namun lebih tinggi dibandingkan dengan yang diberikan pakan berkadar protein 14% (0,13 buah) dan hanya daun
sente (0,5 buah).

KATA KUNCI: ikan gurame, pakan buatan, daun sente, keragaan reproduksi
Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

FF 49

KLONING PROMOTER Â-ACTIN IKAN MAS MAJALAYA DALAM Escherichia coli

Ibnu Dwi Buwono dan Yuniar Mulyani


Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Padjadjaran

ABSTRAK

Peranan promoter sangat penting dalam upaya pengembangan teknologi transgenik pada ikan mas Majalaya karena
merupakan elemen pengatur aktivitas transkripsi untuk ekspresi transgen. Promoter â-actin memiliki aktivitas ekspresi
tinggi pada hampir semua sel ikan. Amplifikasi sekuen promoter â-actin mas Majalaya dengan PCR menghasilkan ukuran
fragmen DNA sebesar 1126 bp menggunakan primer primer F (5’ –GATGAAACTCGAGTAGCCCTTGCTCTTC- 3’) dan primer
R (5’ –CGTTCGAATTGATATATGCGAGCTG- 3’). Purifikasi produk PCR tersebut juga menghasilkan ukuran fragmen DNA yang
sama. Hasil insersi fragmen promoter â-actin mas Majalaya dapat berintegrasi dengan plasmid pGEM-T, yang menunjukkan
terbentuknya plasmid rekombinan, dengan ditandai tumbuhnya koloni transforman berwarna putih, dan koloni berwarna
biru tidak mengandung DNA sisipan. Elektroforegram hasil isolasi plasmid rekombinan untuk transforman koloni putih
menunjukkan adanya DNA sisipan (fragmen promoter â-actin mas Majalaya) dan koloni biru tidak mengandung DNA sisipan
(tidak ada fragmen DNA â-actin mas Majalaya). Ukuran fragmen DNA insert dari hasil isolasi plasmid pada sel transforman
koloni putih sebesar 1126 bp dan tidak jauh berbeda dengan ukuran fragmen promoter â-actin Cyprinus carpio sebesar
1123 bp, mud carp sebesar 1127 bp, dan pada Silver carp sebesar 1123 bp.

KATA KUNCI: kloning – promoter â-actin mas Majalaya – Escherichia coli

FF 50
PENINGKATAN KUALITAS BAHAN NABATI (DEDAK PADI DAN DEDAK POLAR) MELALUI
PROSES FERMENTASI (Rhyzopus oligosporus) DAN PENGGUNAANNYA DALAM PAKAN
IKAN MAS (Cyprinus carpio)

Ningrum Suhenda, Reza Samsudin, dan Irma Melati


Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar, Bogor

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan di Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar, Bogor dan terdiri atas dua tahap. Tahap pertama
tujuannya adalah untuk menentukan lama inkubasi kapang R. oligosporus yang tepat dalam proses fermentasi dedak padi
dan dedak polar. Parameter yang diukur yaitu kadar nutriea dedak dan polar dengan uji proksimat. Pada tahap kedua
dilakukan pengujian bahan hasil fermentasi tersebut yang digunakan sebagai penyusun ransum pakan untuk melihat
pengaruhnya terhadap pertumbuhan ikan mas. Pada kegiatan tahap satu dilakukan penentuan lama inkubasi R. oligosporus
yaitu 2, 4, dan 6 hari. Untuk kegiatan tahap 2 digunakan benih ikan mas dengan bobot rata-rata 5,47 g/ekor. Wadah
percobaan yang digunakan yaitu akuarium volume 100 L, dengan padat penebaran ikan uji 30 ekor per akuarium. Sebagai
perlakuan yaitu pakan uji berupa pakan buatan yang mengandung dedak padi, dedak padi fermentasi, polar, dan polar
fermentasi. Kadar protein semua pakan uji sama yaitu 26% dan kadar lemak 7%. Parameter yang diuji meliputi bobot akhir
rata-rata, pertambahan bobot relatif, retensi protein, retensi lemak, protein efisiensi rasio, dan sintasan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa berdasarkan hasil analisis proksimat ternyata kandungan nutriea tertinggi baik untuk dedak padi
maupun polar diperoleh setelah difermentasi dengan lama inkubasi 4 hari. Kandungan protein dedak padi naik 19,02%
sedangkan kandungan lemaknya turun 13,33%. Kadar protein polar naik 38,14% dan kadar lemaknya turun sebesar 19,28%.
Hasil pengujian tahap 2 mengenai pakan yang mengandung bahan yang difermentasi ternyata dedak polar memberikan
hasil lebih baik daripada dedak padi. Pertambahan bobot akhir rata-rata tertinggi diperoleh pada ikan yang diberi polar
fermentasi, dan selanjutnya polar dan dedak padi. Retensi protein dedak padi fermentasi, polar, dan polar fermentasi
berbeda nyata (P<0,05) dengan dedak padi tanpa fermentasi. Retensi lemak tertinggi (35,25%) diperoleh pada ikan mas
yang diberi pakan mengandung polar fermentasi dan berbeda nyata (P<0,05) dengan perlakuan lainnya. Sintasan ikan uji
berkisar antara 96,67%–100%.

KATA KUNCI: R. oligosphorus, fermentasi, dedak padi, dedak polar, ikan mas
Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

FF 51

EFEKTIVITAS TEKNOLOGI AKUAPONIK TERHADAP PENURUNAN AMONIA PADA


PEMBESARAN IKAN MAS (Cyprinus carpio)

Nuryadi*), Sutrisno*), Lilis Sofiarsih*), dan Peni Saptarini**)


Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar, Bogor

ABSTRAK

Pencemaran perairan terutama oleh limbah organik yang ditandai dengan kandungan amonia yang tinggi dapat
mempengaruhi sintasan dan pertumbuhan ikan. Tujuan untuk mengkaji efektivitas teknologi akuaponik dalam
mempertahankan kualitas air yaitu kemampuan dalam menurunkan kadar amonia di air kolam serta pengaruhnya terhadap
sintasan dan ukuran panen ikan mas. Menggunakan dua kolam ukuran 10 m x 25 m x 1 m. Di mana satu di antaranya di
desain sebagai kolam akuaponik, sedangkan yang lainnya sebagai kolam konvensional. Benih ikan mas ukuran 18,28 g/
ekor yang digunakan sebagai hewan uji, dengan padat tebar 20 ekor/m3. Pelet diberikan sekenyangnya dengan frekuensi
pemberian 3 kali/hari selama 2 bulan pemeliharaan. Data setiap sampling dijadikan ulangan. Parameter yang diuji adalah
kualitas air terutama kandungan ammonia. Analisis data menggunakan uji beda nilai tengah dengan selang kepercayaan
95%. Sedangkan sintasan, ukuran panen, dan parameter kualitas air yang lain dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian
menunjukkan sistem akuaponik mampu menurunkan kadar ammonia 91% lebih rendah dengan nilai sintasan ikan mas 1,64
kali lebih banyak dengan ukuran panen 1,25 kali lebih besar dibanding pada kolam konvensional.

KATA KUNCI: ammonia, akuaponik, sintasan, ukuran panen, ikan mas

FF 52

PERTUMBUHAN BEBERAPA STRAIN IKAN MASYANG DIPELIHARA PADA TAMBAK


BERSALINITAS RENDAH

Adang Saputra, Ongko Praseno, Achmad Sudradjat, dan Anjang Bangun Prasetio
Pusat Riset Perikanan Budidaya, Jakarta

ABSTRAK

Ikan mas (Ciprinus carpio Linn) merupakan salah satu dari 10 jenis ikan budidaya air tawar penting yang bisa dibudidayakan
di Indonesia. Sampai saat ini produksi ikan mas dihasilkan dari kegiatan budidaya yang dilakukan di lahan perkolaman,
sawah, serta keramba jaring apung di danau maupun waduk, apabila kondisi ini diteruskan akan mempengaruhi kepada
produktivitas hasil budidaya. Sehingga perlu alternatif lain untuk budidaya ikan mas yaitu di lahan tambak, karena akhir-
akhir ini banyak lahan yang tidak digunakan (marginal). Tujuan pelelitian ini adalah mengetahui perkembangan budidaya
ikan mas galur kuningan, wildan, dan majalaya di tambak bersalinitas rendah serta mengetahui galur ikan mas yang dapat
tumbuh lebih baik sehingga dapat meningkatkan target produksi dari budidaya ikan mas. Penelitian telah dilaksanakan
dari bulan Nopember 2009—Pebruari 2010, dengan lokasi penelitian di Desa Kronjo, Kabupaten Tangerang, Provinsi
Banten. Salinitas air pada saat pemeliharaan berkisar antara 1—5 mg/L. Kepadatan ikan yang di pelihara di kolam penelitian
sebanyak 3 ekor per m2. Hasil dari pengamatan terhadap pertambahan berat dan panjang ada korelasi positif untuk semua
galur ikan mas yang diamati. Pertambahan berat rata-rata ikan mas strain wildan mencapai 1,41 g/hari, kemudian ikan mas
galur kuningan sebesar 1,15 g/hari, dan ikan mas galur majalaya sebesar 0,86 g/hari.

KATA KUNCI: ikan mas, pertumbuhan, salinitas rendah, tambak


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

FF 53

PENGGUNAAN PROBIOTIK KOMERSIAL PADA PEMELIHARAAN LARVA


COBIA (Rachycentron canadum) SKALA HATCHERI

Agus Priyono, Siti Zuhriyyah, dan Afifah


Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol

ABSTRAK

Ikan cobia (Rachycentron canadum) layak menjadi kandidat budidaya karena sifatnya yang tumbuh cepat, dapat
dikembangkan di bak terkontrol maupun di KJA, serta mempunyai respons yang baik terhadap pakan buatan. Kendala yang
masih ditemui dalam budidaya ikan cobia antara lain ketersediaan benih yang tidak kontinu serta jumlahnya yang tidak
memadai untuk usaha budidaya. Salah satu alternatif yang dapat dicoba untuk mengatasi kendala di atas yaitu penggunaan
probiotik. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian probiotik untuk mempercepat pertumbuhan
larva, memperbaiki kualitas media pemeliharaan larva sehingga sintasan yang diperoleh lebih tinggi. Perlakuan meliputi
(A) tanpa penambahan probiotik (B) penambahan probiotik langsung dalam bak pemeliharaan larva dan (C) rotifer+artemia
diperkaya dengan probiotik selama 1-2 jam, kemudian diberikan sebagai pakan larva. Hasil pengamatan menunjukkan
bahwa pemeliharaan larva cobia dengan penambahan probiotik yang dicampurkan dalam media pemeliharaan memberikan
efek tumbuh dan kelangsungan hidup yang lebih baik dibandingkan tanpa pemberian probiotik yaitu diperoleh panjang
total dan sintasan rata-rata 2,58 cm dan 17,42%.

KATA KUNCI: survival rate, cobia larvae, growth and pro-biotic

FF 54

PENUNDAAN PEMBERIAN PAKAN ARTEMIA TERHADAP PERFORMANSI BENIH IKAN COBIA


(Rachycentron canadum) YANG DIPELIHARA SECARA TERKONTROL

Titiek Aslianti, Afifah, Siti Zuhriyyah Musthofa, dan Agus Priyono


Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol

ABSTRAK

Upaya kontinuitas produksi benih ikan cobia, Rachycentron canadum telah dilakukan namun besarnya biaya operasional
dalam penggunaan artemia sebagai pakan masih menjadi faktor pembatas. Oleh karenanya perlu dilakukan penelitian
penundaan pemberian artemia dengan tujuan untuk mengetahui waktu yang tepat saat awal diberikan artemia sehingga
penggunaannya efektif dan efisien. Penelitian dilakukan dengan menggunakan wadah berupa bak fiber (1m3) berjumlah
9 unit yang diisi telur cobia sebanyak 3.000 butir/bak dan larva dipelihara hingga mencapai ukuran benih (± umur 20 hari).
Rancangan penelitian adalah acak lengkap yang terdiri dari 3 perlakuan yaitu perbedaan waktu awal pemberian artemia
yakni pada larva (A) umur 5 hari, (B) umur 10 hari dan (C) umur 15 hari. Masing-masing perlakuan diulang 3 kali. Data
pertumbuhan dan kelangsungan hidup dianalisis menggunakan sidik ragam. Performansi fisik dan perkembangan tulang
belakang diamati sebagai data pendukung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan panjang, berat ataupun
kelangsungan hidup diantara perlakuan secara statistik tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Namun pemberian
artemia pada larva umur 5 hari (perlakuan A) menghasilkan pertumbuhan panjang (28 mm) dan bobot badan (74,067mg)
serta kelangsungan hidup (12,07%) relatif lebih tinggi dari pada perlakuan B dan C. Penundaan pemberian artemia lebih
dari 5 hari justru menghasilkan benih yang bertumbuh lebih lambat dan banyak mengalami kematian. Hasil pengamatan
terhadap perkembangan tulang belakang pada semua perlakuan tidak menunjukkan performansi tulang belakang yang
abnormal.

KATA KUNCI: artemia nauplii, fry performance, lasted time feeding


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

FF 55
BUDIDAYA COBIA (Rachycentron canadum) KOMODITAS UNGGULAN YANG
BELUM BANYAK DIKENAL

Suryadi Saputra*), Lucky Marzuki Nasution*), Herno Minjoyo*), dan Badrudin**)


Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut, Lampung

ABSTRAK

Cobia (Rachycentron canadum) merupakan salah satu jenis yang menarik untuk dibudidayakan. Keberhasilan Balai Besar
Pengembangan Budidaya Laut Lampung (BBPBL Lampung – Kementerian Kelautan dan Perikanan) yang meliputi
pemeliharaan larva dan produksi yuwana baru dalam bak terkendali dengan pembesarannya pada keramba jaring apung.
Laju Pertumbuhan Cobia yang sangat cepat pada masa yuwana berkisar 50–175 g per bulan, sehingga untuk mencapai
bobot 500 g hanya dibutuhkan waktu 5–6 bulan setelah telur menetas dan untuk mencapai ukuran konsumsi 4–6 kg
didapatkan dalam 12 bulan dengan efisiensi pakan yang tinggi. Tekstur daging yang putih dan liat dengan kandungan
DHA dan asam lemak omega 3 serta sedikit duri merupakan keunggulan lainnya dari ikan tersebut. Pembudidayaan cobia
yang tidak serumit budidaya kerapu dan sangat tahan terhadap penyakit menjadikan budidaya cobia komoditas yang
diunggulkan dalam pembudidayaan.

KATA KUNCI: cobia, budidaya, komoditas unggul

FF 56

PLASMA NUTFAH IKAN HIAS AIR TAWAR SUMATERA

Sudarto
Balai Riset Budidaya Ikan Hias, Depok

ABSTRAK

Data yang dikemukakan atau disampaikan oleh para ekportir ikan hias mempunyai kecenderungan adanya eksploitasi ikan
hias air tawar dari alam. Banyak jenis yang dieksport yang umumnya berasal dari Indonesia bagian barat khususnya dari
Kalimantan dan Sumatera. Data ini dapat dikumpulkan melalui kompilasi dari para stakeholder ikan hias dan penelusuran ke
sentra penangkapan ikan hias melalui survei lokasi khususnya ikan hias air tawar Sumatera. Lebih dari 100 spesies,
termasuk ke dalam 31 famili telah dikompilasi dari lokasi-lokasi sentra ikan hias. Data ini khususnya merupakan gambaran
jenis dan potensi ikan hias asal Sumatera yang dapat dipakai untuk pengembangan di masa mendatang.

KATA KUNCI: ikan hias, Stakeholder, plasma nutfah


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

FF 57
PERLAKUAN BERBAGAI JENIS PAKAN ALAMI UNTUK MENINGKATKAN PERTUMBUHAN DAN
SINTASAN LARVA IKAN UPSIDE DOWN CATFISH (Synodontis nigriventris)

Agus Priyadi*), Eni Kusrini*), dan Toma Megawati**)


*)
Balai Riset Budidaya Ikan Hias, Depok
**)
FMIPAUniversitas Negeri Jakarta

ABSTRAK

Ikan upside-down catfish merupakan ikan domestikasi yang berasal dari Congo, Afrika. Kebutuhan pasar untuk ikan
upside-down catfish semakin banyak dan sampai saat ini ikan ini belum dapat terpenuhi dari hasil budidaya, karena belum
banyak yang membudidayakannya. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan budidaya ikan hias, salah satunya
adalah pemberian pakan yang sesuai dengan bukaan mulut terutama larva dan kandungan gizinya. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui jenis pakan alami yang dapat meningkatkan pertumbuhan dan sintasan ikan upside down catfish.
Penelitian dilakukan di hatcheri Balai Riset Budidaya Ikan Hias selama 3 bulan, dengan menggunakan wadah berupa
akuarium berukuran 40 cm x 26 cm x 30 cm. Perlakuan berupa 3 jenis pakan alami yaitu Moina sp., Artemia sp., dan Tubifex
sp. dengan 6 kali ulangan. Tubifex sp. memberikan hasil yang tertinggi terhadap pertumbuhan larva upside-down catfish
(Synodontis nigriventris) baik pertambahan bobot sebesar 0,226 g, laju pertumbuhan harian sebesar 32,586%, dan
pertambahan panjang total sebesar 1,778 cm, diikuti Artemia, dan yang terendah Moina. Berdasarkan uji ANOVA pemberian
pakan alami menunjukkan perbedaan yang sangat nyata, sedangkan ketiga jenis pakan alami tidak berpengaruh terhadap
sintasan larva.

KATA KUNCI: Synodontis nigriventris, pakan alami, pertumbuhan, sintasan

FF 58

DEFORMITY PADA IKAN PEACOCK BASS (Cichla ocellaris) DI


BALAI RISET BUDIDAYA IKAN HIAS, DEPOK

Lili Sholichah dan I Wayan Subamia


Balai Riset Budidaya Ikan Hias, Depok

ABSTRAK

Deformity (dysmorphism, dysmorphic) adalah cacat atau kelainan atau perbedaan bentuk bagian atau organ tubuh pada
hewan atau manusia. Deformity dapat disebabkan oleh : mutasi genetic, infeksi penyakit (cacing, bakteri, virus), kondisi
daya dukung lingkungan yang terus menurun, atau disebabkan defisiensi mineral atau vitamin tertentu yang dibutuhkan
tubuh. Pada kondisi tertentu cacat atau kelainan bentuk tubuh ini dapat menyebabkan kematian. Tujuan dari penelitian
ini adalah untuk mengetahui penyebab deformity yang terjadi pada ikan Peacock bass yang dipelihara dalam akuarium
berukuran 70 cm x 60 cm x 42 cm di ruang showroom. Peacock bass ini akhirnya berenangnya jadi terbalik, diam dan
kepalanya menyembul tepat di bawah permukaan badan air, dan selalu berusaha mendekati sumber oksigen (aerator).
Setelah dilakukan isolasi ternyata dari hasil uji histologi ditemukan adanya granuloma (multifocal) pada hati dan limpa
Peacock bass. Deformity yang ditemui di Balai Riset Budidaya Ikan Hias, Depok yaitu badan/punggung bagian belakang
Peacock bass menjadi bengkok sehingga menyebabkan ikan ini tidak mau makan dan akhirnya mati. Kejadian ini berlangsung
selama bulan Desember 2009 dan empat dari enam ekor Peacock bass mati karena kasus yang sama.

KATA KUNCI: deformity, peacock bass, granuloma, multifocal granuloma


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

FF 59

PEMELIHARAAN INDUK IKAN CAPUNGAN BANGGAI (Pterapogon kauderni)


DENGAN KEPADATAN YANG BERBEDA

Gunawan, Jhon Harianto Hutapea, dan Ketut Maha Setiawati


Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol

ABSTRAK

Ikan capungan banggai merupakan ikan endemik yang secara alami banyak ditemukan di perairan Kepulauan Banggai -
Sulawesi Tengah. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh kepadatan induk terhadap keberhasilan pemijahan
(produksi benih) pada ikan capungan banggai. Hewan uji yang digunakan berukuran panjang total 5,9 ± 0,3 cm dan bobot
2,87 ± 0,50 g. Perlakuan yang diuji adalah kepadatan induk yang berbeda dengan rasio jenis kelamin 1:1 sebagai berikut:
T1. 20 ekor/bak, T2. 40 ekor/bak. T3. 60 ekor/bak. Wadah yang digunakan berupa tiga bak Fiberglass Reinforce Plastic
(FRP) berbentuk bulat berdiameter 250 cm dengan tinggi 100 cm dan diisi air hingga ketinggian 60 cm. Selama penelitian,
induk diberi pakan berupa naupli artemia/artemia pra dewasa, udang jembret (mysids) dan larva nyamuk. Variabel yang
diamati meliputi, frekuensi pemijahan atau frekuensi produksi juvenile dan total produksi yuwana. Hasil penelitian
menunjukkan, rata-rata yuwana yang dihasilkan dan frekuensi produksi yuwana pada perlakuan T1 lebih tinggi
dibandingkan perlakuan T2 dan T3. Produksi yuwana cenderung menurun seiring dengan peningkatan jumlah induk
dalam satu bak.

KATA KUNCI: banggai cardinal fish, density, juvenile production

FF 60

PEMANFATAN MAGGOT YANG DIPERKAYA DENGAN ZAT PEMICU WARNA SEBAGAI PAKAN UNTUK
PENINGKATAN KUALITAS WARNA IKAN HIAS RAINBOW (Melanotaenia boesemani) ASLI PAPUA

I Wayan Subamia, Bastiar Nur, dan Ahmad Musa


Balai Riset Budidaya Ikan Hias, Depok

ABSTRAK

Sebagai pakan alami maggot dari serangga bunga dapat memakai berbagai sumber karotenoid untuk peningkatan kualitas
warna ikan hias. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas warna ikan rainbow (Melanotaenia boesemani) yang
diberi pakan berupa maggot segar yang telah diperkaya dengan zat pemicu warna (karotenoid) melalui media
pengkulturannya, yaitu : astaxanthin, wortel dan tepung kepala udang. Pengamatan warna ikan dilakukan dengan
menggunakan Toka Colour Finder (TCF). Standard penilaian kualitas warna ikan uji dengan mengamati warna yang dominand/
sering muncul pada semua perlakuan baik warna pada tubuh ikan bagian depan (biru-ungu) maupun pada bagian belakang
(kuning-orange) dan ditetapkan sebagai warna standard TCF. Kemudian menghitung jumlah ikan (prosentase) dengan
warna yang sama/setara dengan warna standard TCF yang selanjutnya ditetapkan sebagai nilai teramati. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa penggunaan wortel dan tepung kepala udang dalam pengkayaan maggot sebagai sumber zat pemicu
warna (karotenoid) dapat meningkatkan kualitas warna pada ikan rainbow khususnya warna kuning-orange.

KATA KUNCI: maggot, zat pemicu warna, Rainbow Papua


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

FF 61

GAMBARAN PERTUMBUHAN PANJANG BENIH IKAN BOTIA (Chromobotia macracanthus)


HASIL BUDIDAYA PADA PEMELIHARAAN DALAM SISTEM HAPA DENGAN PADAT PENEBARAN
5 EKOR PER LITER

Darti Satyani, Nina Meilisza, dan Lili Sholichah


Balai Riset Budidaya Ikan Hias, Depok

ABSTRAK

Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui gambaran pertumbuhan panjang pada benih ikan botia hasil budidaya
hingga ukuran ekspor 1 inchi (2,5 cm) telah dilakukan di Balai Riset Budidaya Ikan Hias Depok. Panjang rata-rata benih ikan
botia di awal penelitian berukuran 1,0 cm dan bobot rata-rata 0,009 gram. Ikan ditempatkan dalam bak fiber berkapasitas
200 liter diisi dengan hapa berupa etabol berwarna coklat yang berukuran 0,5 x 0,5 x 0,5 m dan tinggi air 40 cm. Hapa diisi
ikan dengan padat tebar 5 ekor per liter (500 ekor per hapa). Selama pemeliharaan, ikan diberi pakan berupa cacing darah
dan ditambahkan pelet sesudah ikan berukuran panjang rata-rata 2,0 cm. Penelitian menggunakan 4 (empat) kali ulangan
dengan melakukan pengamatan pada hari ke 0, 20, 35, 55, 70, dan 105 dan dianalisis secara deskriptif. Lama pemeliharaan
mengikuti target pasar untuk ukuran panjang ikan yaitu 2,5 cm (ukuran ekspor). Pengamatan dilakukan terhadap panjang
total rata-rata benih ikan botia dan digunakan untuk menghitung laju pertumbuhan panjang harian benih ikan botia.
Berdasarkan grafik hasil penelitian diketahui bahwa target panjang rata-rata ukuran ekspor 1 inchi (2,5 cm) dari seluruh
total populasi pada setiap ulangan tercapai pada lama pemeliharaan sekitar 80 hari. Pada akhir penelitian (hari ke 105),
lebih dari 90% total populasi ikan botia yang dipelihara telah mencapai ukuran > 2,5 cm dan panjang tertinggi sebesar 3,6
cm dengan laju pertumbuhan panjang harian benih ikan botia adalah 1% per hari.

KATA KUNCI: benih botia, pertumbuhan panjang, ukuran ekspor 1 inci (2,5 cm)

FF 62
SINTASAN LARVA IKAN BUNTAL AIR TAWAR (Tetraodon palembangensis) PADA MEDIA AIR DAN
JENIS PROPHYLAKSIS YANG BERBEDA

Nina Meilisza, I Wayan Subamia, dan Bastiar Nur


Loka Riset Budidaya Ikan Hias Air Tawar, Depok

ABSTRAK

Larva ikan buntal air tawar sering mengalami kematian, hal ini diduga terjadi karena adanya tekanan lingkungan baik dari
media air maupun infeksi penyakit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui media air dan jenis prophylaksis terbaik
untuk menghasilkan sintasan tertinggi pada larva ikan buntal air tawar (Tetraodon palembangensis). Penelitian di lakukan
di Balai Riset Budidaya Ikan Hias Air Depok selama 16 hari. Ikan yang digunakan adalah buntal air tawar dalam stadia larva
usia 5 hari pasca menetas. Percobaan menggunakan akuarium kecil ukuran 3 liter dengan padat tebar 20 larva per
akuarium. Masing-masing perlakuan dilakukan dengan 3 ulangan. Dua faktor perlakuan berupa 2 macam media air (aqua
dan kontrol berupa air sumur) dan 3 jenis prophylaksis (formalin, oksitetrasiklin, dan blitz ich) akan dilakukan melalui
rancangan faktorial. Dari dua faktor tersebut dihasilkan enam perlakuan prophylaksis yang terdiri atas: KB (air kontrol+blitz
ich), KF (air kontrol+formalin), KO (air kontrol+oksitetrasiklin), AB (aqua+blitz ich), AF (aqua+formalin), AO (aqua+oksitetrasiklin).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sintasan larva buntal air tawar tidak dipengaruhi oleh faktor media air, namun
dipengaruhi oleh faktor jenis prophylaksis serta interaksi antara media air dan jenis prophylaksis. Sintasan pada faktor
media air (aqua dan kontrol) tidak berbeda nyata satu sama lain (P>0,05), sedangkan sintasan yang dihasilkan oleh jenis
prophylaksis oksitetrasiklin dan formalin lebih baik dibandingkan jenis prophylakisis blitz ich (P<0,05). Interaksi antara
faktor media air dan jenis prophylaksis ditunjukkan dengan sintasan tertinggi pada larva buntal air tawar pada perlakuan
AF sebesar 83,33%, namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan AO (81,67%), KO (76,67%), KF (71,67%). Sintasan terendah
dihasilkan oleh perlakuan KB sebesar 51,67% namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan AB (55%).

KATA KUNCI: prophylaksis, media air, sintasan, larva Tetraodon palembangensis


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

FF 63

PEMIJAHAN IKAN PALMAS ALBINO (Polypterus senegalus VAR. ALBINO) DENGAN STIMULASI
HORMON GONADOTROPIN

Sulasy Rohmy, Asep Permana, dan Bastiar Nur


Balai Riset Budidaya Ikan Hias, Depok

ABSTRAK

Ikan palmas (Polypterus sp.) adalah ikan introduksi dari Afrika yang mulai banyak dibudidayakan di Indonesia karena
adanya permintaan pasar. Ikan palmas jenis albino (Polypterus senegalus var. albino) masih sulit untuk memijah dalam
wadah terkontrol, sehingga produksinya masih mengandalkan impor dari luar negeri. Metode penyuntikan hormon sudah
mulai diterapkan pada beberapa jenis ikan hias introduksi, antara lain sinodontis (Synodontys sp.), tiger catfish (Platysoma
sp.), aligator (Lepisosteus oculatus), platidoras (Platydoras sp). dan red-fin shark (Ephalzeorhynchos sp.). Tujuan percobaan
ini adalah memijahkan palmas albino dalam wadah terkontrol menggunakan stimulasi hormon gonadotropin. Pemijahan
tersebut terdiri atas seleksi induk, penyuntikan hormon, pembuahan, inkubasi telur dan perawatan larva. Penyuntikan
dilakukan menggunakan hormon gonadotropin F-1 (merk dagang Ovaprim®) masing-masing dengan dosis 0.5 ml/kg untuk
induk jantan dan 0,75 mL/kg untuk induk betina di bagian intraperitoneal. Sebanyak 9 ekor induk kemudian dimasukkan
ke dalam 3 buah akuarium pemijahan berukuran 70 cm x 60 cm x 50 cm yang dilengkapi substrat serabut tali plastik
dengan perbandingan 2 ekor jantan dan 1 ekor betina. Ikan palmas albino memijah pertama kali 12 jam setelah penyuntikan
dan memijah sebanyak 3 kali dengan derajat fertilisasi 73,91%, daya tetas telur 80,15%, SR (0-10 hari) 83,31% dan
menghasilkan larva normal sebanyak 218 ekor.

KATA KUNCI: palmas albino, polypterus senegalus albino, hormon

FF 64

PERKEMBANGAN EMBRIO DAN LAMA INKUBASI TELUR UDANG HIAS (Neocaridina heteropoda)

Bastiar Nur, Asep Permana, dan I Wayan Subamia


Balai Riset Budidaya Ikan Hias, Depok

ABSTRAK

Udang Neocaridina heteropoda merupakan salah satu spesies udang hias berukuran kecil, memiliki warna yang menarik
dan banyak diminati oleh para hobiis sehingga sangat potensial untuk dikembangkan, namun belum banyak diketahui
data embriologinya. Penelitian ini merupakan penelitian dasar yang bertujuan untuk mengetahui tahapan perkembangan
embrio serta masa pengeraman (inkubasi) telur udang hias dalam lingkungan terkontrol. Penelitian ini menggunakan
metode deskriptif dengan mengamati tahapan perkembangan embrio serta masa inkubasi telur udang hias. Pengamatan
perkembangan embrio menggunakan mikroskop Olympus dengan perbesaran 40 kali yang dilakukan setiap dua hari. Hasil
pengamatan menunjukkan bahwa selama masa pengeraman (inkubasi) telur pada kaki renang (pleopoda) induk betina,
telur mengalami perubahan warna berturut-turut : warna hijau – hijau kekuningan – kuning kecoklatan – putih kecoklatan.
Perkembangan embrio telur udang hias hingga menetas menjadi larva membutuhkan waktu 13 hari (± 288 jam) pada suhu
air inkubasi 27,6°C–29,4°C.

KATA KUNCI: Neocaridina heteropoda, perkembangan embrio, masa inkubasi


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

FF 65

PEMIJAHAN UDANG HIAS (Neocaridina heteropoda)

Asep Permana, Rendy Ginanjar, dan Sawung Cindelaras


Balai Riset Budidaya Ikan Hias, Depok

ABSTRAK

Neocaridina heteropoda adalah udang hias kecil dengan warna menarik yang biasa dipakai para hobiis untuk mempercantik
akuarium aquascape mereka. Pemijahan udang hias ini telah banyak dilakukan di kalangan petani. Inovasi tekhnik budidaya
harus terus dilakukan untuk mendapatkan tekhnik yang sederhana, murah dan aplikatif. Tujuan penelitian ini untuk
melihat tingkat keberhasilan pemijahan udang hias Neocaridina heteropoda menggunakan wadah sterofoam boks. Udang
uji yang digunakan sebanyak enam ekor induk terdiri dari empat induk betina yang berukuran panjang 2,3–2,5 cm dengan
bobot 0,1272–0,1630 g dan dua ekor induk jantan yang berukuran panjang 1,7–1,9 cm dengan bobot 0,0488–0,0518 g.
Styrofoam yang digunakan berukuran 50 cm x 35 cm x 30 cm disi air setinggi 20 cm, dilengkapi dengan aerasi dan
ditempatkan di luar ruangan yang terkena sinar matahari serta diberi substrat berupa akar pakis dan tanaman air jenis
Hydrilla verticillata. Udang diberi pakan berupa moina beku sekali dalam setiap hari. Parameter yang diamati berupa ada
tidaknya induk yang menggendong telur dan parameter kualitas air. Hasil penelitian berupa keberhasilan semua induk
betina memijah dan bertelur selama satu periode pemijahan dengan menghasilkan larva sebanyak 293 ekor.

KATA KUNCI: Neocaridina heteropoda, budidaya

FF 66

PENELITIAN IMPLANTASI HORMON TERHADAP KEMATANGAN GONAD IKAN TILAN MERAH


(Mastacembelus erythrotaenia)

Siti Subandiyah, Rina Hirnawati, Tutik Kadarini, Asep Permana, dan Darti Satyani
Balai Riset Budidaya Ikan Hias, Depok

ABSTRAK

Ikan Tilan Merah (Mastacembelus erythrotaenia) merupakan ikan hias yang diperoleh dari hasil tangkapan di sungai-
sungai Sumatra dan Kalimantan yang belum berhasil dipijahkan di lingkungan budidaya. Pada ikan yang baru di domestikasi,
sinyal lingkungan tidak mampu memicu kelenjar hipofisa mensekresikan hormon gonadotropin yang memadai. Penelitian
pematangan gonad dengan cara perlakuan implantasi hormon yaitu LHRH 100 mg dan testosteron 100 mg (A); LHRH 100
mg dan testosteron 50 mg (B); LHRH 50 mg dan testosteron 50 mg (C), bertujuan mendapatkan dosis hormon yang tepat
untuk kematangan gonad induk tilan merah. Wadah pemeliharaan adalah kontainer ukuran 1000 liter sebanyak 9 buah
yang diisi air ± 600 liter dilengkapi dengan filter dan aerasi. Kepadatan 10 ekor induk dengan bobot 65–600 g, panjang 40–
60 cm. Pakan yang diberikan adalah cacing tanah secara satiasi (sekenyangnya), dipelihara selama 6 bulan. Hasil penelitian
adalah perlakuan A (LHRH 100 mg dan testosteron 100 mg) gonad ikan mencapai stadium oocyt IV dan kadar estradiol ±
96,042 pg/mL, pada perlakuan B (LHRH 100 mg dan testosteron 50 mg) mencapai stadium oocyt III kadar estradiol ± 32,27
pg/mL dan pada perlakuan C (LHRH 50 mg dan testosteron 50 mg) mencapai stadium oocyt II dan kadar estradiol ± 20,725
pg/mL, sedang induk jantan belum ada yang mengandung sperma.

KATA KUNCI: induk, hormon, implantasi, matang gonad, oocyt


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

FF 67
BUNGA TAI KOTOK SEBAGAI SUMBER CAROTENOID PADA IKAN HIAS

Sukarman dan Chumaidi


Balai Riset Budidaya Ikan Hias, Depok

ABSTRAK

Bunga Tai Kotok (Tagetes sp.) yang tumbuh liar di Indonesia memiliki kandungan carotenoid sebesar 8000 mg/kg pada
kelopak bunganya. Nilai tersebut lebih tinggi dibandingkan tanaman lainnya yang biasa dipakai sebagai sumber carotenoid
untuk ikan seperti alga (2.000-4.000 mg/kg), yeast (30–800 mg/kg) dan sumber lainnya. Tujuan penelitian ini adalah
memperoleh tepung Bunga Tai kotok sebagai sumber carotenoid untuk peningkatan warna ikan hias. Proses pembuatan
tepung Bunga Tai Kotok dilakukan dengan memetik bunga dari alam, kemudian dipisahkan antara tangkai dan kelopaknya.
Kelopak bunga di oven pada suhu 70°C–80°C selama 10–15 menit, kemudian dihaluskan menggunakan blender serta
ditambahkan antioksidan. Hasil penelitian pembuatan tepung Bunga Tai kotok dari 120 g kelopak bunga basah setelah
dioven didapatkan tepung sebesar 20 g (16,6%).

KATA KUNCI: bunga tai kotok, carotenoid, suhu, tepung

FF 68

THE APPLICATION OF HONEY TO PRODUCE MALE GUPPY (Poecillia reticulata)

Munti Sarida
PS Budidaya Perairan Fakultas Pertanian, Universitas Lampung

ABSTRACT

Generally application of 17á-metiltestosteron to masculinization, as the curative effort is not applicable, because of
residual effects to human caused cancer. Therefore, the alternative masculinization application of natural substance
like honey. Honey is a natural substance which have crysin. The crysin suspected to inhibited enzyme aromatase to
produce estradiol from testosteron. The purpose of this study was to determine the optimum dose from honey to
produce male guppy by dipping method. The research was conducted experimental with completely randomized
design. The treatments dipping pregnant female guppy in honey for 15 hours in each treatments were 0 mL/L (control),
25 mL/L, 50 mL/L, and 75 mL/L. The observation to sexual secondary characteristic guppy can be observed at least two
months old. The measured was tested with analysis of variance than the post hoc test used least significant difference
(LSD) and two proportions test at 0,05 significant level. The result showed that the percentage of male guppy at 50 mL/
L is 64,07 ± 9,71%. Based on LSD test, the treatments gave significant different with control, but between treatments not
significant different. The proportions test showed dose 50 mL/L have significant different to control. The concluded
that the optimum dose to produce male guppy is 50 mL/L.

KEYWORDS: honey, chrysin, male, guppy fish


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

FF 69

PEMATANGAN GONAD DAN PEMIJAHAN INDUK BERONANG (Siganus guttatus) DENGAN RASIO
JANTAN DAN BETINA YANG BERBEDA

Samuel Lante dan Neltje Nobertine Palinggi


Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros

ABSTRAK

Salah satu faktor yang menyebabkan daya tetas telur ikan rendah adalah tingkat pembuahan sperma terhadap telur yang
tidak optimal sebagai akibat dari rasio jantan dan betina yang tidak seimbang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
rasio jantan dan betina yang optimum pada pematangan dan pemijahan induk beronang (Siganus guttatus). Hewan uji
yang digunakan adalah induk dengan berat berkisar 311 ± 71 g/ekor. Induk dipelihara dalam 8 buah bak berukuran 1,5 m
x 1,5 m x 1,0 m dengan kepadatan 24 ekor/bak. Lama penelitian berlangsung selama 6 bulan. Hewan uji diberi pakan
pellet dengan frekuensi pemberian 3 kali/hari secara satiasi. Sebagai perlakuan adalah rasio jantan dan betina yaitu : 1:1
(B&:@&), 1:2 (B&:@&), 1:3 (B&:@&), dan 2:1(B&:@&). Pada awal percobaan, semua induk secara individu dalam keadaan
TKG=O. Peubah biologis yang diamati meliputi: jumlah induk memijah, jumlah telur, diameter telur, dan daya tetas telur.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan aplikasi rasio jantan dan betina (1:1) diperoleh jumlah induk memijah 28 ekor,
jumlah telur 237.865–335.837 butir/ekor, diameter telur 315-560 ìm dan daya tetas telur rata-rata 55%, rasio (1:2) jumlah
induk memijah 30 ekor, jumlah telur 129.534–393.333 butir/ekor, diameter telur 312–560 ìm dan daya tetas telur rata-rata
58%, rasio (1:3) jumlah induk memijah 35 ekor, jumlah telur 272.837–344.975 butir/ekor, diameter telur 344–560 ìm dan
daya tetas telur rata-rata 55% serta rasio (2:1) jumlah induk memijah 19 ekor, jumlah telur 227.945–350.140 butir/ekor.
diameter telur 312–560 ìm dan daya tetas telur rata-rata 61%. Hasil penelitian mengindikasikan bahwa rasio jantan dan
betina yang diterapkan memberikan diameter telur dan daya tetas telur yang relatif sama.pada induk beronang.

KATA KUNCI: Siganus guttatus, pemijahan, jumlah telur, diameter telur, daya tetas telur

FF 70

SUBSTITUSI TEPUNG IKAN DENGAN TEPUNG RUMPUT LAUT (Gracilaria) DALAM PAKAN IKAN
BERONANG, Siganus guttatus

Neltje Nobertine Palinggi dan Rachmansyah


Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros

ABSTRAK

Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh substitusi tepung ikan dengan tepung rumput laut dalam pakan terhadap
pertumbuhan ikan beronang. Penelitian dilakukan dalam keramba jaring apung dengan menggunakan jaring ukuran 1 m x
1 m x 2 m sebanyak 15 buah. Ikan uji yang digunakan adalah yuwana ikan beronang ukuran 22,05±6,4 g dengan padat
tebar 15 ekor/keramba. Ikan uji diberi pakan uji berupa pelet kering dengan perlakuan A) 20% tepung ikan tanpa tepung
rumput laut, B) 10% tepung ikan dan 20% tepung rumput laut dan C) 40% tepung rumput laut dan tanpa tepung ikan, masing-
masing diulang tiga kali dan di desain dengan rancangan acak lengkap. Selama 20 minggu pemeliharaan diperoleh
substitusi 10% tepung ikan dengan 20% tepung rumput laut (perlakuan B) memberikan nilai pertumbuhan yang tidak
berbeda nyata (P>0,05) dengan perlakuan tanpa tepung rumput laut (perlakuan A) demikian pula terhadap nilai efisiensi
pakan dan sintasan ikan tetapi berbeda nyata (P<0,05) dengan rasio efisiensi proteinnya.

KATA KUNCI: tepung ikan, tepung rumput laut, substitusi, pakan ikan beronang, S. guttatus
Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

FF 71

PENGEMBANGAN BUDIDAYA UDANG WINDU (Penaeus Monodon) DENGAN TEKNOLOGI


PENTOKOLAN BENUR DAN TAMBAK BERSALINITAS RENDAH

Rusmaedi, Idil Ardi, dan Wartono Hadie


Pusat Riset Perikanan Budidaya, Jakarta

ABSTRAK

Budidaya Udang windu di sawah tambak maupun tambak dengan air bersalinitas rendah mempunyai peluang yang cukup
baik untuk dikembangkan, yaitu menggunakan tingkat teknologi tradisional plus, memanfaatkan pentokolan benur dan
dilakukan pada tambak bersalinitas rendah. Dengan teknologi yang diterapkan, diharapkan dapat menghindari terjadinya
resiko gagal panen akibat serangan penyakit pada udang dan dapat mempersingkat masa pemeliharaan. Penelitian ini
dilakukan pada tambak di daerah Betok Mati, Kecamatan Cilebar, Karawang, Empat petak tambak masing-masing berukuran
3.500 m2 digunakan untuk percobaan. Sebelum penebaran, dilakukan pengolahan tanah tambak,n pengapuran sebanyak
175 kg/petak, kemudian dikeringkan sekitar satu minggu. Selanjutnya tambak dipupuk dengan urea 150 kg dan TSP 75 kg
dan pupuk kandang sebanyak 400 kg perpetak. Tambak kemudian diisi air setinggi sekitar 20 cm dan pemberantasan
hama dilakukan menggunakan saponin dengan dosis 20 mg/L. Setelah dua hari, pengisian air dilanjutkan sampai ketinggian
40 cm dan dibiarkan sekitar satu minggu untuk siap tebar tokolan dengan kepadatan 6 ekor/m2. Pemeliharaan dilakukan
selama tiga bulan, pada bulan pertama udang tidak diberi pakan, sedangkan pada dua bulan berikutnya diberi pakan pelet
udang. Ikan banding dengan bobot rata-rata 30 kg ditebar sebanyak 300 ekor setiap petak, penebaran dilakukan setelah
satu bulan dari penebaran tokolan. Dari pemeliharaan udang selama tiga bulan, diperoleh hasil pertumbuhan tertinggi
pada petak C2 yaitu rata-rata 34,5 g, produksi 81,1 kg dan sintasan 11,2%. Pemeliharaan ikan banding selama dua bulan
diperoleh hasil tertinggi pada petak C3, yaitu pertambahan berat rata-rata 230 g, produksi 78,8 kg dan kelangsungan
hidup 100%.

KATA KUNCI: udang windu, salinitas rendah, tokolan, Karawang

FF 72

PERBAIKAN TEKNIK PRODUKSI MASSAL PAKAN ALAMI UNTUK MENDUKUNG


PERBENIHAN IKAN LAUT

Gede Suwarthama Sumiarsa dan Irwan Setiadi


Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol

ABSTRAK

Marine chlorella Nannochloropsis oculata dan rotifer Brachionus rotundiformis merupakan pakan alami utama yang
dipergunakan dalam perbenihan ikan-ikan laut di Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut (BBRPBL) Gondol Bali. Produksi
kedua jenis pakan alami tersebut dilakukan secara semi-continuous system dalam bak-bak outdoor berukuran 1,5–50 m3
dengan rata-rata kepadatan akhir N. oculata 13,1±0,04 juta sel/mL dan rotifer 186±5.3 ekor/mL masing-masing meningkat
7% dan 16% dari rata-rata kepadatan pada tahun sebelumnya. Pemadatan (flokulasi) N. oculata dengan NaOH dosis 75, 100,
dan 125 mg/L selama 22–24 jam menghasilkan kepadatan masing-masing 368, 427, dan 519 juta sel/mL untuk inokulan
dan pakan rotifer namun hanya berlaku pada dosis NaOH terendah dan dosis yang kedua. Tingkat total ammonium terlarut
dalam air laut produksi masal N. oculata relatif tinggi (4,3–8,2 mg/L) sedangkan kandungan lemak rotifer produksi masal
dengan pakan N. oculata relatif rendah (3,6%) dengan rasio DHA/EPA hanya 0,2.

KATA KUNCI: pakan alami, marine chlorella, Nannochloropsis oculata, rotifer Brachionus
rotundiformis, semi-continuous system
Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

FF 73
PENGARUH PEMBERIAN PAKAN BUATAN DENGAN KADAR LEMAK BERBEDA TERHADAP
PERTUMBUHAN DAN SINTASAN IKAN BERONANG (Siganus guttatus)

Samuel Lante dan Usman


Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros

ABSTRAK

Informasi mengenai kebutuhan kadar lemak pakan untuk ikan beronang sangat diperlukan karena selain berfungsi sebagai
salah satu sumber energi, juga merupakan sumber asam lemak esensial dan pelarut beberapa vitamin. Penelitian ini
bertujuan untuk mendapatkan kadar lemak dalam pakan buatan untuk mendukung pertumbuhan dan sintasan ikan beronang
(Siganus guttatus). Wadah penelitian yang digunakan adalah jaring berukuran 1,0 m x 1,0 m x 2,0 m, yang ditempatkan
pada keramba jaring apung di laut. Ikan uji yang digunakan adalah yuwana ikan beronang dengan panjang 19,2 ± 0,67 cm/
ekor dan bobot 155,3 ± 10,79 g/ekor, ditebar dengan kepadatan awal 10 ekor/jaring dan dipelihara selama 120 hari.
Perlakuan yang dicobakan adalah pemberian kadar lemak pakan yang berbeda yaitu (A) 5%, (B) 9%, dan (C) 13%, masing-
masing terdiri atas 3 ulangan. Pemberian pakan dilakukan 3 kali/hari (pukul 08.00, 11.00, dan 17.00). Pengamatan
pertumbuhan ikan dilakukan setiap 30 hari sekali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar lemak 5%, 9%, dan 13% dalam
pakan berpengaruh tidak nyata (P<0,05) terhadap pertumbuhan dan sintasan ikan beronang.

KATA KUNCI: kadar lemak, pertumbuhan, sintasan, Siganus guttatus

FF 74

ESENSI KONSERVASI DALAM PEMULIAAN DAN PENGEMBANGAN BUDIDAYA IKAN LANGKA

Lies Emmawati Hadie


Pusat Riset Perikanan Budidaya, Jakarta

ABSTRAK

Efek rumah kaca sebenarnya memegang peranan yang penting dalam memelihara kehidupan di bumi. Jika tidak ada efek
rumah kaca, suhu dipermukaan bumi akan turun secara drastis. Problem yang terjadi dewasa ini ialah tingginya gas-gas
rumah kaca karena kegiatan manusia yang mempengaruhi iklim di bumi dan menyebabkan pemanasan bumi secara global.
Pada umumnya banyak spesies tidak dapat menyesuaikan diri dengan cepat terhadap perubahan suhu bumi yang diakibatkan
oleh manusia. Faktor lingkungan seperti pemanasan global dan penangkapan ikan secara berlebihan menjadi salah satu
penyebab semakin langkanya spesies tertentu terutama yang mempunyai nilai ekonomi tinggi seperti Arwana dan Botia.
Permasalahan ini perlu dipikirkan solusinya, karena jika tidak ada kepedulian maka kekayaan plasma nutfah ikan potensial
akan bergerak menuju kepunahan. Padahal dalam upaya peningkatan produktivitas perikanan budidaya, plasma nutfah
ikan potensial merupakan asset dasar dalam program pemuliaan ikan. Sehingga dapat dihasilkan strain-strain ikan unggul
yang toleran terhadap perubahan iklim global.

KATA KUNCI: pemuliaan, ikan langka, budidaya, konservasi


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

FF 75

PENENTUAN KESESUAIAN LAHAN UNTUK BUDIDAYA IKAN DALAM KERAMBA JARING APUNG DI
PERAIRAN PESISIR KABUPATEN MAMUJU PROVINSI SULAWESI BARAT

Hasnawi, Akhmad Mustafa, dan Mudian Paena


Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros

ABSTRAK

Perairan pesisir Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat merupakan perairan yang potensial untuk budidaya laut.
Namun demikian belum ada data dan informasi kesesuaian lahan untuk budidaya laut termasuk budidaya ikan dalam
keramba jaring apung (KJA) di perairan tersebut. Oleh karena itu, dilakukan penelitian yang bertujuan untuk menentukan
kesesuaian lahan di perairan pesisir Kabupaten Mamuju untuk budidaya ikan dalam KJA yang diharapkan juga dapat
menjadi acuan dalam penentuan tata ruang wilayah pesisir. Metode survai diaplikasi pada wilayah pesisir Kabupaten
Mamuju, mulai dari perbatasan Kabupaten Majene di bagian selatan sampai perbatasan Kabupaten Mamuju Utara di Utara.
Kualitas air perairan yang diukur adalah: pH, salinitas, kecepatan arus, arah arus, kecerahan, kedalaman, nitrat, fosfat, dan
besi. Data lainnya diperoleh dari hasil ekstrak citra ALOS AVNIR-2 akuisisi 28 Juli 2009. Analisis spasial dalam Sistem
Informasi Geografis digunakan dalam penentuan kesesuaian lahan untuk budidaya ikan dalam KJA. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa lokasi yang sesuai untuk budidaya ikan dalam KJA di Kabupaten Mamuju tersebar di Pulau Karampuang,
perairan Kalukku, Pulau Bekengkeng, perairan Papalan, Pulau Kambunong, dan Tanjung Dapuran. Untuk pengembangan
kegiatan budidaya ikan dalam KJA yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, hanya sekitar 10% dari potensi perairan laut
yang secara efektif dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya ikan dalam KJA di perairan Kabupaten Mamuju yaitu 698,18 ha
yang terdiri dari sangat sesuai seluas 133,18 ha, cukup sesuai 512,41 ha dan kurang sesuai 52,59 ha.

KATA KUNCI: kesesuaian lahan, budidaya laut, keramba jaring apung, Kabupaten Mamuju

FF 76

PENYAKIT PARASITIK PADA BEBERAPA JENIS IKAN HIAS AIR TAWAR

Tuti Sumiati dan Yani Aryati


Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar, Bogor

ABSTRAK

Studi penyakit parasitik pada beberapa jenis ikan hias air tawar telah dilakukan dari bulan Oktober sampai bulan Desember,
2009. Sampel diambil dari beberapa lokasi budidaya ikan hias di sekitar Bogor dan Depok. Sampel ikan hias antara lain dari
golongan cyprinidae; mas koki, kapiat albino, Red Fin Albino, cat fish; Synodontis, dan platydoras, Chiclidae; sympilum
dan Characidae; neon tetra. Pengamatan dilakukan untuk mengetahui jenis patogen yang menginfeksi. Ektoparasit yang
menginfeksi ikan diamati dari organ kulit, sirip, dan insang. Dari Sampel yang diperiksa 33, 98% terinfeksi parasit. Ektoparasit
yang teridentifikasi antara lain: Oodinium spp. (Dinoflagelata), Trichodina sp. dan Ichthyophthirius multifiliis (Ciliata),
Gyrodatylus spp. dan Dactylogyrus spp. (Monogenea), Argulus sp. (Copepoda) dan Centrocestus sp. (metacercaria,
Trematoda).

KATA KUNCI: ikan hias air tawar; penyakit; parasit


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

FF 77
ANALISIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN PERAIRAN BUDIDAYA KERAMBA JARING APUNG
TERHADAP BEBAN PENCEMARAN LOGAM BERAT PB, CD, DAN ZN DI WADUK CIRATA

Ani Widiyati dan Estu Nugroho


Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar, Bogor

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menghitung daya dukung lingkungan perairan budidaya karamba jaring apung terhadap
beban pencemaran dan kapasitas asimilasi logam berat Pb, Cd, dan Zn di Waduk Cirata serta kandungan logam berat
tersebut di dalam ikan. Sampel air dan ikan diperoleh dari 8 stasiun yaitu outlet, inlet, batas daerah bahaya, zona 2
Purwakarta, muara Sungai Cisokan, muara Sungai Citarum, badan air Sungai Citarum dan Sungai Cimeta. Analisis kandungan
logam berat dalam air dan daging ikan menggunakan metode AAS. Variabel yang diamati adalah konsentrasi kandungan Pb,
Cd, dan Zn dalam air dan daging ikan, serta debit air dari muara sungai yang masuk ke perairan waduk. Nilai kapasitas
asimilasi digunakan untuk menghitung daya dukung lingkungan, diperoleh dengan cara membuat grafik hubungan antara
konsentrasi Pb, Cd, dan Zn di waduk dengan total beban pencemaran parameter tersebut di muara sungai. Titik perpotongan
dengan nilai baku mutu yang berlaku untuk setiap parameter disebut sebagai nilai kapasitas asimilasi. Hasil perhitungan
beban pencemaran memperlihatkan bahwa perairan Waduk Cirata belum tercemar oleh parameter Pb dan Cd dengan nilai
kapasitas asimilasi 5,8214 ton/bulan dan 1,98 ton/bulan. Perairan Waduk Cirata sudah tercemar oleh parameter Zn,
walaupun masih di bawah baku mutu dengan kapasitas asimilasi 42,86 ton/bulan. Kandungan logam berat Zn dalam
daging ikan mas sudah melampaui ambang batas minimum menurut Badan POM yaitu 3-46 mg/L/kg daging ikan. Sedangkan
logam berat Pb dan Cd masih di bawah ambang batas minimum yaitu tidak terdeteksi sampai 1,88 mg/L/kg daging ikan.

KATA KUNCI: logam berat, Waduk Cirata

FF 78

TINGKAT PENCEMARAN PESTISIDA PERTANIAN PADA LAHAN PERIKANAN


DI CIANJUR – JAWA BARAT

Imam Taufik
Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar, Bogor

ABSTRAK

Salah satu sumber pencemar yang potensial bagi sumberdaya dan lingkungan perairan adalah penggunaan pestisida
pertanian. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui tingkat pencemaran pestisida pertanian pada lahan perikanan
budidaya di wilayah Cianjur – Jawa Barat. Tahapan penelitian meliputi: penentuan lokasi, pengambilan contoh, preparasi,
identifikasi dan analisis data serta pelaporan. Contoh yang diambil berupa air, sedimen (lumpur/tanah), serta biota air
(ikan) yang berasal dari beberapa lokasi lahan perikanan di wilayah Cianjur. Analisis contoh menggunakan alat Gas
Chromatograph (GC) serta integrator yang dapat mendeteksi kandungan bahan aktif pestisida pada contoh dan digambarkan
dalam bentuk grafik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan pestisida pertanian telah berdampak pada lahan
perikanan. Residu pestisida yang terdapat dalam contoh terdiri atas golongan Organoklorin, Organofosfat, Piretroid, dan
Karbamat. Jenis dan konsentrasi pestisida tersebut yang terdapat dalam air < tanah < ikan.

KATA KUNCI: lahan perikanan budidaya, pencemaran, pestisida, residu


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

FF 79

KOMUNITAS PLANKTON DI LINGKUNGAN PERAIRAN BUDIDAYA IKAN KERAMBA JARING APUNG


WADUK CIRATA DI WILAYAH KABUPATEN CIANJUR

Ani Widiyati dan Leny Hotimah


Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar, Bogor

ABSTRAK

Limbah dari kegiatan budidaya ikan di Keramba Jaring Apung (KJA) diduga dapat meningkatkan unsur hara seperti fosfat
dan nitrogen yang jika berlebih akan mempercepat proses eutrofikasi. Proses eutrofikasi tersebut dapat menyebabkan
terjadinya ledakan fitoplankton. Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan data komunitas plankton di lingkungan
perairan KJA di Waduk Cirata di wilayah Kabupaten Cianjur. Metode penelitian yang dilakukan adalah survai yaitu dengan
pengambilan contoh plankton dan air berdasarkan stratifikasi kedalaman 0–2; 2–4; dan 4–6 m. Lokasi pengambilan contoh
plankton di perairan KJA Waduk Cirata di wilayah Kabupaten Cianjur yaitu di Jangari, Ciputri, Maleber, Patok Batas, Palumbon,
dan Cadas Bodas. Hasil penelitian memperlihatkan terdapat 5 kelas fitoplankton yaitu Chlorophyceae, Bacillariophyceae,
Cyanophyceae, Dinophyceae, dan Desmiceae dari zooplankton ditemukan jenis Rotifer, Copepoda, dan Protozoa. Nilai
kelimpahan fitoplankton yang diperoleh berkisar antara 393,75–4887,5 ind./L dan zooplankton berkisar antara 93,75–
993,75 ind./L. Kisaran nilai indeks biologi yang ditemukan adalah indeks keanekaragaman (H‘) = 2,12–3,33; indeks dominansi
(C) = 0,072–0,31; dan nilai kemerataan (E) = 0,65–0,83.

KATA KUNCI: komunitas, fitoplankton, zooplankton

FF 80

KERAGAMAN IKAN SIDAT TROPIS (Anguilla sp.) DI PERAIRAN SUNGAI CIMANDIRI,


PELABUHAN RATU, SUKABUMI

Melta Rini Fahmi dan Rina Hirnawati


Balai Riset Budidaya Ikan Hias, Depok

ABSTRAK

Ikan Sidat merupakan ikan konsumsi ekonomis penting terutama di Jepang dan Eropa. Salah satu daerah yang menjadi
tempat penangkapan sidat utama di Indonesia adalah Pelabuha Ratu. Penelitian dilakukan untuk mendapatkan keragaman
genetik ikan sidat yang masuk ke muara sungai Cimandiri, Pelabuhan Ratu, Sukabumi. Sampel glass eel ikan sidat dikoleksi
dari muara sungai Cimandiri sebanyak 600 ekor selama empat bulan (Agustus–Desember 2009). Sebanyak 430 ekor glass
eel di simpan dalam formalin untuk pengukuran morfometrik dan meristik, dan sebanyak 150 ekor disimpan dalam alkohol
absolut, selanjutnya digunakan untuk analisa genetik. Morfometrik dilakukan dengan penghitungan nilai AD (DA = 100 (LD
–LA)LT”1) dan struktur pigmentasi ekor. Meristik dilakukan dengan penghitungan ruas tulang belakang ikan sidat. Analisa
genetik dilakukan dengan mengunakan semi multiplek PCR, pada region mitokondria 16SRNA. Hasil yang didapatkan
menunjukan bahwa nilai AD yang didapat bekisar antara (0–3.7) dikelompokan jenis A. bicolor, (13,71–19,35), dikelompokan
pada jenis A.marmorata dan (4,17-9,52) dikelompokan pada jenis A. nebulosa. Namur hasil analisa PCA menunjukan bahwa
ikan sidat yang ditemukan terbagi menjadi empat spesies.

KATA KUNCI: Glass eel, Sungai Cimandiri, A. bicolor bicolor, A.marmorata, A.n.nebulosa
Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

FF 81

POLA PEMANGSAAN DAN PERTUMBUHAN LARVA IKAN KUWE (Gnathanodon speciosus)


BERDASARKAN JENIS PAKAN AWAL YANG DIBERIKAN

Afifah*), Titiek Aslianti*), dan Cindy Silvia Hadi**)


*) Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol
**) Mahasiswa Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta

ABSTRAK

Pemberian pakan awal yang tepat pada stadia awal pemeliharaan larva akan sangat berpengaruh terhadap sintasan dan
kesiapan larva dalam pertumbuhannya menuju stadia selanjutnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh
pemberian jenis pakan awal yang berbeda terhadap pola pemangsaan dan pertumbuhan larva ikan kuwe (Gnathanodon
speciosus). Penelitian dilakukan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL), terdiri atas 3 perlakuan pemberian pakan
awal berbeda (A. rotifer, B. gonad kerang, dan C. kuning telur) dan 3 ulangan. Pemberian pakan awal di mulai saat larva
berumur D-2—D-10, selanjutnya diberikan nauplii Artemia dan pakan buatan hingga mencapai fase yuwana (D-30).
Pengamatan dilakukan dari mulai D-1—D-10 setelah penetasan, selanjutnya secara periodik 5 hari sampai dengan D-30.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas pemangsaan larva terhadap pakan mulai terjadi pada larva D-2. Pola
pemangsaan larva dari ketiga perlakuan pemberian pakan menunjukkan hasil relatif sama. Pengamatan pada lambung
menunjukkan jumlah pakan yang berimbang sesuai jenis pakan yang diberikan pada larva hingga D-10 pemeliharaan,.
Pada akhir penelitian diketahui bahwa perlakuan B memberikan nilai pertumbuhan dan SR yang lebih tinggi (10,99 mm;
27,10 g; dan 21,97%) dibanding perlakuan A (10,27 mm; 21,94 g; dan 1790%) dan C (11,01 mm; 25,20 g; dan 17,17%).
Walaupun dari ketiga perlakuan yang diberikan tidak memberikan hasil yang signifikan, namun pemberian pakan gonad
kerang dan kuning telur ternyata mampu menjadi alternatif subtitusi rotifer sebagai pakan awal bagi larva kuwe.

KATA KUNCI: larva ikan kuwe, pakan awal, pola pemangsaan

FF 82

KARAKTERISTIK MERISTIK IKAN NILEM (Osteochilus hasselti) DI JAWA BARAT

Mulyasari*), Dinar Tri Soelistyowati**), Anang Hari Kristanto***) dan Irin Iriana Kusmini*)
*)
Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar
**)
Institut Pertanian Bogor
***)
Pusat Riset Perikanan Budidaya

ABSTRAK

Nilem (Osteochilus hasselti) merupakan ikan endemik Indonesia yang potensial untuk dikembangkan sebagai komoditas
perikanan. Namun produksinya masih relatif rendah sehingga salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan
produksi ikan nilem yang berkelanjutan, adalah dengan program pemuliaan. Dalam rangka penyediaan stok induk dan
penyusunan strategi pada program pemuliaan ikan nilem diperlukan data base mengenai status spesifik yang
menggambarkan keragaman intra- dan inter-populasi ikan nilem di Jawa Barat. Tujuan penelitian ini adalah melakukan
identifikasi meristik dan menelusuri keragaman inter populasi ikan nilem di Jawa Barat. Pengukuran meristrik dilakukan
dengan cara menghitung jumlah sirip punggung (dorsal fin), sirip dada (pectoral fin), sirip perut (ventral fin), dan sirip anal
(anal fin). Hasil penelitian menunjukkan bahwa keragaman meristik antara populasi cenderung rendah dan hubungan
inter-populasi ikan nilem hijau di Jawa Barat tidak berbeda secara nyata.

KATA KUNCI: ikan nilem, Osteochilus hasselti, meristik


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

FF 83
EVALUASI PENGGUNAAN PAKAN DENGAN KADAR PROTEIN BERBEDA TERHADAP PERTUMBUHAN
BENIH IKAN NILEM (Osteochillus hasselti)

Reza Samsudin dan Ningrum Suhenda


Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar, Bogor

ABSTRAK

Pakan memegang peranan penting dalam budidaya ikan nilem. Penentuan kadar protein yang tepat dan penggunaan
bahan baku lokal dapat menekan biaya pakan ikan nilem. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengevaluasi penggunaan
pakan dengan protein yang berbeda terhadap pertumbuhan ikan nilem. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Basah
Nutrisi Ikan, Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar, Bogor. Ikan uji yang digunakan adalah ikan nilem dengan bobot rata-
rata 5,0±0,3 g/ekor. Pakan yang digunakan adalah pakan tenggelam dengan kadar protein 18%, 19%, dan 20%. Pemberian
pakan diberikan sebanyak 6% dari bobot badan dengan frekuensi pemberian pakan sebanyak 3 kali sehari. Pemeliharaan
ikan dilaksanakan pada akuarium yang dilengkapi sistem resirkulasi. Ikan dipelihara selama 40 hari. Parameter yang diamati
yaitu pertumbuhan spesifik, konversi pakan, serta sintasan ikan. Rancangan percobaan yang digunakan yaitu Rancang
Acak Lengkap (RAL) dengan tiga perlakuan dan empat ulangan. Hasil menunjukkan bahwa pemberian pakan dengan kadar
protein pakan 20% memberikan pertumbuhan spesifik terbaik (P<0,05) yaitu sebesar 1,56%. Penggunaan pakan dengan
kadar protein yang tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap konversi pakan dan tingkat sintasan benih ikan nilem
(P>0,05).

KATA KUNCI: nilem, protein, pertumbuhan, pakan

FF 84

EFISIENSI USAHA BUDIDAYA IKAN DENGAN PENGGUNAAN PAKAN BUATAN BERBAHAN BAKU
LOKAL (STUDI KASUS DI DESA REJOSARI, KABUPATEN BATANG)

Yayan Hikmayani
Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, Jakarta

ABSTRAK

Penelitian terkait dengan ujicoba budidaya ikan patin dengan menggunakan pakan berbahan baku lokal telah dilakukan
pada tahun 2009. Penelitian dilakukan di Kabupaten Brebes dan Batang. Metode penelitian dilakukan secara studi kasus.
Penentuan responden dilakukan secara sensus terhadap pembudidaya yang melakukan uji terhadap penggunaan pakan
buatan untuk budidaya patin. Analisis data dilakukan secara deskriptif dan analisis usaha untuk melihat efisiensi biaya
usaha dengan penggunaan pakan buatan serta keuntungan yang diperolehnya. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa
penggunaan pakan buatan yang menggunakan bahan baku yang tersedia di lokasi budidaya dapat menghemat biaya
usaha khususnya dengan biaya pakan hingga 50%. Harga pakan hanya Rp 2.800,-–Rp 3.000,-/kg dibandingkan dengan
harga pakan yang dibeli sekitar Rp 6.500,-–Rp 7.000,-/kg. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan pakan
buatan dapat menghemat biaya produksi ikan patin selama pemeliharaan. Penelitian ini diharapkan dapat berguna kepada
pemerintah pusat dan daerah dalam mengambil kebijakan dalam pemanfaatan potensi lokal wilayahnya untuk meningkatkan
produksi ikan budidaya.

KATA KUNCI: efisiensi usaha, pakan buatan, bahan baku lokal, ikan patin
Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

FF 85

PERBAIKAN TEKNIK PENANGANAN CALON INDUK IKAN TUNA SIRIP KUNING


PASCA PENANGKAPAN DAN DALAM BAK PENGOBATAN

Jhon Harianto Hutapea, Irwan Setiadi, Gunawan, dan Gusti Ngurah Permana
Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol

ABSTRAK

Induk-induk ikan tuna sirip kuning hasil tangkapan dalam kurun waktu tahun 2003–2007 yang dipelihara dalam bak pada
umumnya sudah mengalami kematian akibat menabrak dinding atau berukuran besar (lebih dari 100 kg). Untuk melanjutkan
kegiatan ini perlu dilakukan koleksi calon induk dengan perbaikan teknik penanganan pasca penangkapan calon induk.
Perbaikan teknik penanganan di atas boat dilakukan dengan menggunakan bak kanvas bulat volume 2,5 m3 (diameter 2 m
dan tinggi 0,8 m) dan bak fiberglass berbentuk oval volume 2,1 m3 (lebar 1,4 m dengan panjang 2,1 m dan tinggi 0,7 m.
Kandungan oksigen dalam air di bak penampungan di atas 120 persen selama transportasi. Mengangkat ikan dari laut dan
kemudian melepas pancing dalam wadah kanvas atau bahan kulit sintetis. Dalam bak pengobatan kadar oksigen juga di
atur di atas 120 persen dan ikan direndam dengan larutan erubazu 100 mg/L selama 60 menit. Sintasan ikan dalam bak
pengobatan juga meningkat dari 80 menjadi 100 persen karena tidak ada ikan yang diafkir. Kemudian kesembuhan ikan
karena luka oleh pancing dan tali pancing hanya 2–3 hari dari yang sebelumnya dapat mencapai 7–9 hari.

KATA KUNCI: penanganan calon induk, ikan tuna sirip kuning, sintasan

FF 86

KERAGAAN PERTUMBUHAN IKAN TENGADAK ALAM (HITAM) DAN BUDIDAYA (MERAH)


(Barbonymus schwanenfeldii) DALAM PEMELIHARAAN BERSAMA PADA KOLAM BETON

Gleni Hasan Huwoyon, Irin Iriana Kusmini, dan Anang Hari Kristanto
Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar, Bogor

ABSTRAK

Ikan tengadak merupakan jenis ikan endemik yang berasal dari Kalimantan dan Sumatera. Pada beberapa jenis ikan, warna
memiliki peranan yang sangat penting terhadap pertumbuhan maupun nilai jual komoditas tersebut. Tujuan penelitian ini
adalah untuk menganalisis pertumbuhan ikan tengadak hitam dan merah yang dipelihara secara bersama-sama dalam
kolam yang dipisah jaring berukuran 1 m3. Ikan yang digunakan berkisar antara 5-6 cm (3-5 g). Padat tebar yang digunakan
sebanyak 20 ekor per wadah (10 ekor ikan tengadak hitam dan 10 ekor ikan tengadak merah) dengan ulangan sebanyak
4 kali. Selama pemeliharaan ikan diberi pakan komersial sebanyak 5% bobot badan per hari. Pengamatan pertumbuhan
dilakukan setiap 30 hari selama 150 hari. Pertumbuhan diamati dengan cara menimbang bobot 10 ekor ikan tengadak
untuk setiap warna yang berbeda. Hasil yang diperoleh memperlihatkan bahwa ikan tengadak merah lebih baik dibandingkan
dengan tengadak hitam untuk pertambahan panjang merah: 2,1±0,19; hitam: 1,7±0,20), pertumbuhan mutlak (merah:
6,8±1,02; hitam: 5,6±0,30) dan laju pertumbuhan spesifik (merah: 0,65±0,06; hitam: 0,57±0,02).

KATA KUNCI: warna, tengadak, Barbonymus schwanenfeldii, genetika


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

FF 87

PENGGUNAAN KHAMIR LAUT SEBAGAI BIOKATALISATOR DALAM PEMBUATAN SILASE DAUN


MENGKUDU (Morinda citrifolia) SEBAGAI SALAH SATU BAHAN PAKAN IKAN ALTERNATIF

Mivida Febriani
Jurusan Perikanan Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan, Universitas Hang Tuah Surabaya

ABSTRAK

Informasi mengenai kandungan nutrisi silase daun mengkudu (Morinda citrifolia) penting diketahui untuk dimanfaatkan
sebagai salah satu bahan pakan alternatif untuk pakan ikan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kandungan nutrisi
silase daun mengkudu dengan penggunaan khamir laut sebagai biokatalisator. Rancangan Penelitian yang digunakan
adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan 3 ulangan sebagai berikut: Perlakuan A = Daun mengkudu
+ 2,5% molasses + 0,00% khamir laut; B = Daun mengkudu + 2,5% molasses + 0,02% khamir laut, R3 = Daun mengkudu + 2,5%
molasses + 0,04% khamir laut; R4 = Daun mengkudu + 2,5% molasses + 0,06% khamir laut; E = Daun mengkudu + 2,5%
molasses + 0,08% khamir laut. Khamir laut didapatkan dari Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau, Jepara, kemudian
dikultur massal dengan media air laut yang telah dipupuk dengan KCl, urea, gula, dan TSP. Setelah 5 hari dipanen, khamir
laut disaring lalu dikeringkan di bawah sinar matahari selama ± 3 hari. Setelah kering, siap digunakan sebagai biokatalisator
dalam pembuatan silase daun mengkudu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: pH, lemak kasar, BETN, dan abu di antara
perlakuan tidak berbeda nyata (P>0,05); bahan kering, protein kasar, serat kasar, dan energi di antara perlakuan berbeda
nyata (P<0,05), Kecernaan protein dan Ca di antara perlakuan berbeda sangat nyata (P<0,01). Berdasarkan hasil penelitian,
dapat disimpulkan bahwa khamir laut dapat digunakan sebagai biokatalisator dalam pembuatan silase daun mengkudu
(Morinda citrifolia), sebagai salah satu alternatif bahan pakan untuk pakan ikan dan pembuatan silase pada daun mengkudu
dapat meningkatkan kualitas dari daun mengkudu.

KATA KUNCI: khamir laut, daun mengkudu, silase, pupuk


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

K 01

PENERAPAN CBIB PADA BUDIDAYA UDANG WINDU (Penaeus monodon) DI TAMBAK INTENSIF
DESA PUNAGA, KABUPATEN TAKALAR

Muharijadi Atmomarsono, Brata Pantjara, dan Rachmansyah


Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros

ABSTRAK

CBIB adalah cara budidaya ikan yang baik, di mana termasuk cara budidaya udang. Penerapan CBIB dalam budidaya udang
windu (Penaeus monodon) secara intensif meliputi persiapan tambak dan lingkungan yang baik, penggunaan sarana
produksi yang ramah lingkungan, serta manajemen pakan dan air secara benar. Dengan menggunakan benih udang windu
yang ditokolkan secara benar di hatcheri (padat penebaran 20 ekor/m2) dan aplikasi bakteri probiotik secara pergiliran
(BT951 bulan I, MY1112 bulan II, BL542 bulan III, dan BT951 bulan IV) terbukti mampu meningkatkan produktivitas tambak
dari 1,1 ton/ha/16 mg menjadi 1,5 ton/ha/16 mg di tambak udang windu intensif di Desa Punaga Kabupaten Takalar,
Sulawesi Selatan.

KATA KUNCI: udang windu, CBIB, probiotik

K 02

PEMANFAATAN BIOFILTER PADA BUDIDAYA UDANG WINDU DI TAMBAK MARJINAL

Brata Pantjara, Erfan Andi Hendradjat, dan Hidayat Suryanto Suwoyo


Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros

ABSTRAK

Produktivitas tambak yang rendah pada budidaya udang windu dapat ditingkatkan produksinya melalui budidaya sistem
biofilter dengan memanfaatkan komoditas yang toleran dengan kondisi air payau. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh biofilter tiram, rumput laut, dan bandeng terhadap produksi udang windu dan keuntungan secara ekonomis di
tambak marjinal. Perlakuan yang dicoba adalah A yang terdiri dari 2 petak biofilter yaitu petak biofilter I, ditebari bandeng
(10.000 ekor/ha), rumput laut (2 ton/ha) dan tiram (40.000 ind/ha) dan petak II, bandeng (3.000 ekor/ha) dan rumput laut
(1 ton/ha). Perlakuan B, petak I ditebari bandeng (10.000 ekor/ha), rumput laut (2 ton/ha) dan tiram (20.000 ind./ha) dan
petak II : bandeng (3.000 ekor/ha) dan rumput laut (1 ton/ha). Sedangkan petak III pada masing-masing perlakuan digunakan
untuk budidaya udang windu. Benih udang windu yang ditebar berupa tokolan (PL 34) dengan padat penebaran 40.000
ekor/ha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan biofilter tiram, rumput laut dan bandeng mampu mempertahankan
kondisi kualitas air tambak yang baik untuk pertumbuhan udang windu dan menghambat berkembangnya penyakit
pathogen. Pada akhir penelitian diperoleh sintasan 63,46% dengan produksi udang windu sebesar 249,28 kg/ha pada
perlakuan A dan dibandingkan perlakuan B yang mencapai sintasan 59,73% dengan produksi sebesar 217,48 kg/ha. Hasil
analisis ekonomi pada pada perlakuan A menghasilkan keuntungan Rp 10,977.000,-/musim tanam dengan B/C rasio 2,07.

KATA KUNCI: biofilter, udang windu, tambak marjinal


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

K 03
APLIKASI BAKTERI PROBIOTIK UNTUK PENINGKATAN SINTASAN DAN PRODUKSI UDANG WINDU
(Penaeus monodon) DI TAMBAK

Muharijadi Atmomarsono, Muliani, Nurbaya, dan Bunga Rante Tampangallo


Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh aplikasi bakteri probiotik terhadap peningkatan sintasan dan produksi
udang windu di tambak dengan padat penebaran tokolan 8 ekor/m2. Rancangan acak lengkap (RAL) dengan menggunakan
9 petak tambak berukuran 250 m2 di Instalasi Tambak Percobaan (ITP) Marana, Maros untuk tiga perlakuan dan tiga ulangan
diaplikasikan dalam penelitian ini. Tiga perlakuan yang dicobakan adalah A) Kombinasi probiotik
BL542+BR883+MY1112+MR55+BT950 selama penelitian; B) Pergiliran probiotik BT951 bulan I, MY1112 bulan II, BL542
bulan III; dan C) Kontrol (tanpa probiotik). Penelitian dilaksanakan selama 90 hari. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa
sintasan dan produksi udang windu tertinggi dicapai pada perlakuan pergiliran probiotik B (66,35% dan 448,7 kg/ha/90
hari), diikuti perlakuan kombinasi probiotik A (50,05% dan 298,7 kg/ha/90 hari). Sintasan dan produksi udang windu
terendah diperoleh pada perlakuan tanpa probiotik (39,8% dan 228,7 kg/ha/90 hari). Rendahnya sintasan dan produksi
udang windu pada penelitian ini disebabkan oleh menurunnya kualitas air tambak, terutama salinitas yang mencapai 56
ppt, kandungan BOT di atas 30 mg/L, dan kandungan oksigen terlarut yang seringkali di bawah 1 mg/L pada pagi hari.

KATA KUNCI: probiotic bacteria, survival rate, production, tiger shrimp

K 04

PENGGUNAAN PROBIOTIK PADA PEMELIHARAAN UDANG WINDU (Penaeus monodon)


DENGAN DOSIS PAKAN YANG BERBEDA

Muliani, Nurbaya, dan Muharijadi Atmomarsono


Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros

ABSTRAK

Probiotik telah lama diaplikasikan dalam budidaya tambak, namun masih diperlukan informasi mengenai efektivitas berbagai
jenis probiotik pada dosis pakan yang berbeda. Oleh karena itu, dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui
efektivitas probiotik untuk memperbaiki kualitas air dan sintasan udang windu dalam bak terkontrol. Penelitian dilakukan
di laboratorium basah, Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros, menggunakan 21 akuarium yang berukuran 40 cm
x 30 cm x 27 cm yang diisi tanah dasar tambak setebal 10 cm, air laut salinitas 28 ppt sebanyak 15 L, dan ditebari benur
windu PL-25 sebanyak 30 ekor/wadah. Penelitian diset dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan pola faktorial yang
terdiri atas dua faktor yaitu I) jenis probiotik dan II) dosis pakan. Kombinasi perlakuan yang dicobakan adalah (A1)
BL542+BT951+MY1112 dengan dosis pakan 100%; (A2) BL542+BT951+MY1112 dengan dosis pakan 50%; (B1)
BL542+BT951+ MR55 dengan dosis pakan 100%; (B2) BL542+BT951+ MR55 dengan dosis pakan 50%; (C1) probiotik
komersial dengan dosis pakan 100%; (C2) probiotik komersial dengan dosis pakan 50%; (D1) kontrol 1 (tanpa probiotik
dengan dosis pakan 100%); (D2) kontrol 2. (tanpa probiotik dengan dosis pakan 50%) dengan ulangan masing-masing 3 kali
dan lama pemeliharaan 10 minggu. Pengamatan parameter kualitas air dilakukan setaip 2 minggu yang meliputi: BOT, NH3,
NO2, NO3, PO4, total bakteri, dan total Vibrio. Pengamatan sintasan udang windu dilakukan pada akhir penelitian. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi BOT dan NH3 selama penelitian relatif lebih tinggi pada perlakuan yang tidak
menggunakan probiotik dengan dosis pakan 100%. Sintasan udang windu tertinggi didapatkan pada perlakuan B
(BL542+BT951+ MR55 dengan dosis pakan 50%) yaitu 60,33% dan terendah pada perlakuan yang menggunakan probiotik
komersil dengan dosis pakan 50% yaitu 11,11%. Penggunaan probiotik (BL542+BT951+MR55) dapat menurunkan konsentrasi
NH3 lebih nyata dibanding dengan (BL542+BT951+MY1112) dan probiotik komersial, sehingga berdampak kepada
peningkatan sintasan udang windu yang lebih tinggi (P<0,05) pada akhir penelitian.

KATA KUNCI: probiotik, dosis pakan, sintasan, udang windu


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

K 05

RISET APLIKASI BAKTERI PROBIOTIK PADA BUDIDAYA UDANG WINDU (Penaeus monodon)
DI TAMBAK

Nurbaya, Muliani dan Arifuddin Tompo


Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros

ABSTRAK

Salah satu alternatif dalam upaya penanggulangan penyakit pada budidaya udang adalah penggunaan probiotik yang
dapat memperbaiki kualitas lingkungan budidaya, kesehatan, dan pertumbuhan udang serta aman bagi konsumen. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas probiotik BRPBAP dalam penanggulangan penyakit dan peningkatan produksi
udang windu. Penelitian ini dilakukan di tambak rakyat di Kabupaten Barru Provinsi Sulawesi Selatan menggunakan 4
petak tambak, yang terdiri atas 2 petak berukuran 1 ha dan 2 petak berukuran 0,4 ha. Perlakuan yang dicobakan adalah
aplikasi probiotik BRPBAP, dan kontrol (tanpa aplikasi probiotik), masing-masing terdiri atas 2 ulangan. Persiapan tambak
dilakukan sesuai dengan prosedur standar operasional pertambakan. Hewan uji yang digunakan berupa tokolan udang
windu PL-30 dengan kepadatan 2 ekor/m2 yang dipelihara selama 79 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sintasan
udang windu 36% dengan produksi 81,4% pada tambak yang diaplikasikan probiotik BRPBAP sedangkan kontrol hanya
13,5% dengan produksi 19,0%. Aplikasi probiotik ini juga dapat menekan pertumbuhan populasi bakteri Vibrio spp. baik
pada air maupun pada dasar tanah tambak, namun belum mampu menurunkan kandungan amoniak dalam media budidaya.
Probiotik BRPBAP layak untuk dikembangkan dan diaplikasikan di tambak udang windu pola ekstensif (trdisional plus).

KATA KUNCI: probiotik, produksi, udang windu

K 06

BUDIDAYA MULTITROPIK MELALUI OPTIMASI UDANG WINDU (Penaeus monodon) DENGAN


KEPADATAN RUMPUT LAUT (Gracilaria sp.) DAN IKAN BANDENG (Chanos chanos) YANG BERBEDA
DI TAMBAK

Suharyanto, M. Tjaronge, dan Abdul Mansyur


Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros

ABSTRAK

Penelitian budidaya multitropik krustase dan ikan sudah berkembang sejak tahun 1980-an. Namun demikian masih diperlukan
informasi mengenai peningkatan produksi dan pemanfaatan relung ekologi melalui penebaran organisme budidaya yang
optimal yang berkaitan dengan fluktuasi oksigen terutama pada malam hari. Oleh karena itu, dilakukan penelitian yang
bertujuan untuk mendapatkan data dan informasi produksi dan keuntungan secara finansial budidaya multitropik di
tambak. Penelitian ini dilaksanakan di Instalasi tambak percobaan Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Marana, Maros
selama 90 Hari. Delapan tambak yang digunakan masing-masing berukuran 25 m x 100 m/2.500 m2 dengan kedalaman 80
cm. Sebagai perlakuan adalah A: Udang windu + rumput laut (1 ton/ha) + Bandeng (500 ekor/ha), B: Udang windu + rumput
laut (1 ton/ha) + Bandeng (1.000 ekor/ha), C: Udang windu + rumput laut (2 ton/ha) + Bandeng (500 ekor/ha), D: Udang
windu + rumput laut (2 ton/ha) + Bandeng (1000 ekor/ha),masing-masing dengan dua kali ulangan. Tokolan udang windu
(PL. 31) yang ditebar pada masing-masing tambak adalah 10.000 ekor/ha (1 ekor/m2). Selama pemeliharan tidak diberi
pakan. Sampling dilakukan 30 hari sekali selama 90 hari. Data yang diperoleh dihitung dan diuji menggunakan analisis
ragam dengan pola rancangan acak kelompok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa budidaya multitropik yang optimal
antara udang windu, rumput laut dan ikan bandeng adalah perlakuan B (10.000 ek/ha Udang windu + 1 ton/ha rumput laut
+ 1.000 ek/ha bandeng) menunjukkan hasil yang terbaik. Sintasan dan produksi udang windu dan ikan bandeng masing-
masing adalah 66,9% dan 33,7 kg, serta 99,8% dan 63,9 kg dan secara finansial memberikan keuntungan sebesar Rp
11.572.000,-/ha /90 hari.

KATA KUNCI: multitropik, udang windu, rumput laut, ikan bandeng, sintasan, produksi
Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

K 07
UJI AKTIVITAS PROMOTER ANTI VIRUS PADA UDANG WINDU, Penaeus monodon MENGGUNAKAN
GEN EGFP SEBAGAI PENANDA

Andi Parenrengi*), Alimuddin**), Sukenda**), Komar Sumantadinata**), danAndi Tenriulo*)


**)
Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros
**)
Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB, Bogor

ABSTRAK

Untuk melihat aktivitas suatu promoter, diperlukan adanya suatu gen penanda yang disambungkan dengan promoter
dalam konstruksi gen. Promoter dikatakan aktif apabila gen penanda dapat terekspresi. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui aktivitas promoter anti virus (ProAV) pada udang windu Penaeus monodon dengan menggunakan EGFP (enhanced
green fluorescent protein) sebagai penanda. ProAV digabungkan dengan EGFP dalam vektor pEGFP-N1 sehingga terbentuk
konstruksi gen ProAV-EGFP-PolyA. Transfer konstruksi gen dilakukan dengan menggunakan metode transfeksi kepada
telur udang yang telah terbuahi. Uji konfirmasi masuknya gen EGFP dan ekspresi sementarnya diamati pada embrio dan
larva. Hasil penelitian menunjukkan bahwa derajat penetasan telur udang windu hasil transfeksi adalah 39,3% dan tidak
berbeda nyata (P>0,05) dengan perlakuan transfeksi tanpa konstruksi gen (43,1%) serta tanpa transfeksi (49,0%). Hal ini
berindikasi bahwa larutan transfeksi jetPEI dan gen EGFP tidak memberikan efek yang membahayakan embrio udang.
Selain itu, promoter ProAV udang windu dapat aktif dan mampu mengendalikan ekspresi sementara gen EGFP pada embrio
dan larva. Pola ekspresi sementara gen EGFP mulai terlihat 12 jam setelah transfeksi, dan mencapai puncak ekspresi pada
24 jam setelah tranfeksi dan selanjutnya ekspresi menurun pada 30 jam setelah transfeksi. Hasil penelitian tersebut
berimplikasi bahwa promoter ProAV dapat digunakan dalam upaya pengembangan trangenik udang windu dengan
menggunakan gen target yang diinginkan.

KATA KUNCI: promoter, EGFP, transfeksi, ekspresi gen, udang windu

K 08

ANALISIS EKSPRESI GEN ANTI VIRUS PmAV PADA UDANG WINDU Penaeus monodon
YANG DITANTANG DENGAN WSSV

Andi Tenriulo, Syarifuddin Tonnek, Bunga Rante Tampangallo, Aan Fibro Widodo, dan Andi Parenrengi
Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros

ABSTRAK

Udang windu Penaeus monodon merupakan salah satu spesies lokal krustase yang telah dibudidayakan di Indonesia.
Kasus penyakit virus merupakan salah satu kendala utama yang dihadapi pembudidaya udang tersebut, yang sampai saat
ini belum bisa diatasi secara secara tuntas. Sebagai langkah awal dalam penanggulangan penyakit udang windu dilakukan
analisis ekspresi gen yang berperan dalam pertahanan tubuh udang windu, termasuk gen anti virus PmAV (Penaeus
monodon anti viral gene). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ekspresi gen PmAV khususnya pada udang windu
yang ditantang dengan virus WSSV. Larva udang windu ditantang dengan WSSV dengan konsentrasi 2 mL/L media
pemeliharaan. Pengamatan ekspresi gen PmAV pada hepatopankreas dilakukan pada 6 jam, 12 jam, 1 hari, 2 hari, 3 hari, 4
hari, dan 5 hari setelah uji tantang dengan menggunakan semi-kuantitatif PCR. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
introduksi WSSV dapat menyebabkan penurunan kelangsungan hidup larva yang nyata (P<0,05) dibandingkan dengan
kontrol. Ekspresi gen PmAV mulai terlihat peningkatannya sejak 6 jam dan sedikit menurun pada hari ke-2 serta kembali
meningkat sampai dengan akhir penelitian. Ketika ditantang dengan WSSV, gen PmAV menunjukkan respons meningkat
(up-regulation). Hasil penelitian ini berimplikasi bahwa gen PmAV berperan aktif dalam merespons infeksi virus WSSV yang
nantinya akan berguna dalam pengendalian penyakit virus pada udang.

KATA KUNCI: ekspresi, gen anti virus, uji tantang, udang windu
Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

K 09

MULTIINFEKSI ALAMI WHITE SPOT SYNDROM VIRUS DAN INVECTIOUS HYPODERMAL


HAEMATOPOETIC NECROSIS PADA Penaeus monodon : KAJIAN HISTOPATOLOGI

Tatik Mufidah dan Isti Koesharyani


Pusat Riset Perikanan Budidaya, Jakarta

ABSTRAK

White Spot Syndrom Virus (WSSV) dan Invectious Hypodermal Haematopoetic Necrosis (IHHNV) merupakan penyakit viral
yang banyak menyebabkan kerugian pada usaha budidaya udang. Pada infeksi WSSV gejala patognomonis yang timbul
adalah bintik putih pada karapas, sedangkan pada udang yang terserang IHHNV dapat dilihat pertumbuhan udang yang
terhambat serta deformitas pada tubuh udang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya serangan WSSV dan
IHHNV pada udang P. monodon dengan melihat gejala klinis dan studi histopatologi. Sejumlah sampel jaringan udang dari
kabupaten Sidoarjo yang menunjukkan abnormalitas dan gejala klinis WSSV dan IHHNV dikoleksi untuk diketahui agen
penyebab perubahan patologisnya kemudian disimpan dalam larutan Davidson. Pewarnaan jaringan menggunakan
Hematoxilin eosin, pengamatan mikroskopik dilakukan untuk melihat kelainan pada jaringan. Dari sampel jaringan udang
yang di warnai dapat dilihat bahwa pada epidermal tissue dari cephalothorax terdapat banyak badan inklusi yang bersifat
basofilik intra nuklear, dan disertai ulserasi lapisan mukosa epitel.

KATA KUNCI: White Spot Syndrom Virus (WSSV), Invectious Hypodermal Haematopoetic Necrosis
(IHHNV) dan histopatologi

K 10

TEKNIK PRODUKSI ANTIBODI MONOKLONAL WHITE SPOT SYNDROME VIRUS (WSSV)

Mun Imah Madeali, Nurhidayah, dan Nurbaya


Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros

ABSTRAK

Komponen dasar yang penting dan menentukan keberhasilan pengendalian suatu penyakit dalam bidang perikanan
adalah informasi tentang patogen secara dini, cepat dan akurat, serta epidemi penyakit di lapangan. Teknik serologi,
khususnya ELISA, merupakan salah satu teknik yang menjanjikan untuk keperluan tersebut, karena relatif mudah dan
murah, serta berpeluang untuk digunakan secara langsung di lapangan. Kepekaan teknik serologi sangat tergantung
pada kespesifikan reaksi antibodi yang digunakan. Antibodi monoklonal memiliki kespesifikan yang tinggi. Penelitian
dilakukan untuk membuat, menyeleksi, dan mengkarakterisasi sel hibridoma penghasil antibodi monoklonal White Spot
Syndrome Virus (AbMo WSSV). Produksi hibridoma dilakukan melalui fusi sel mieloma SP2 dengan limposit mencit hibrida
Balb/c yang telah diimunisasi dengan antigen WSSV. Delapan nomor hibridoma yang potensial menghasilkan AbMo WSSV
telah diperoleh melalui seleksi dengan teknik ELISA dan disimpan secara kriogenik. Uji kespesifikan reaksi telah dilakukan
pengujian lebih lanjut. Setelah pengujian, hibridoma penghasil AbMo spesifik WSSV dapat disimpan dalam waktu lama,
sebagai sumber untuk produksi AbMo WSSV secara massal dan berkesinambungan.

KATA KUNCI: ELISA, White Spot Syndrome Virus (WSSV), antibodi monoklonal
Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

K 11
BUDIDAYA UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) TEKNOLOGI INTENSIF MENGGUNAKAN
BENIH TOKOLAN

Markus Mangampa dan Hidayat Suryanto Suwoyo


Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros

ABSTRAK

Salah satu jenis udang yang cukup potensial untuk dikembangkan adalah udang vaname (Litopenaeus vannamei).
Budidaya ini berkembang dengan teknologi intensif, namun terbatas pada golongan masyarakat menengah keatas (padat
modal). Riset ini bertujuan untuk mendapatkan data dan informasi pengaruh pengunaan tokolan terhadap produksi, RKP
pada pembesaran udang vaname teknologi intensif. Riset ini dilaksanakan di tambak Punaga, Takalar, Instalasi BRPBAP,
menggunakan 4 petak masing masing berukuran 4.000 m2/petak. Hewan uji adalah udang vaname dengan perlakuan: (A)
pembesaran dgn tebar benur (PL 12), dan (B) pembesaran dengan tebar tokolan (PL 27).Setiap perlakuan dengan 2
ulangan, dan kepadatan benur dan tokolan adalah 50 ekor/m2, dan pemeliharaan berlangsung 80 hari di tambak. Hasil
yang diperoleh pada perlakuan B memperlihatkan pertumbuhan mutlak (11,114±0,258), sintasan ( 92,549±0,234), produksi
(2087,5±88,246) lebih tinggi dari pada perlakuan A yaitu : pertumbuhan mutlak (10,085±0,120), sintasan (90,83±8,51),
produksi (1831,0±149,9), namun ke-3 parameter ini tidak berbeda nyata antara ke-2 perlakuan. Rasio konversi pakan (RKP)
lebih rendah pada perlakuan B (1,096±0.034) berbeda nyata (P<0,05) dengan perlakuan A (1,257±0,048). Parameter
kualitas air memperlihatkan sebaran kisaran yang merata untuk ke-2 perlakuan, kecuali Nitrit (NO2-N) memperlihatkan
kisaran yang tinggi pada perlakuan B (0,18235 mg/L) dibandingkan dengan perlakuan A (0,0328 mg/L) pada akhir penelitian.
Hal ini disebabkan waktu panen yang berbeda sesuai dengan kondisi musim (air sumber) semakin menurun. Kondisi
musim air sumber yang menurun ini diikuti oleh meningkatnya total vibrio di air laut mencapai 433104 CFU/mL dibandingkan
dalam air tambak (B). 829,102 CFU/mL. Kesimpulan memperlihatkan bahwa (B) penggunaan tokolan (PL-27) menghasilkan
produksi yang tinggi dan RKP yang rendah.

KATA KUNCI: udang vaname, benur, tokolan, budidaya udang intensif, produksi

K12

PERTUMBUHAN DAN SINTASAN UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) DENGAN KOMBINASI


PAKAN BERBEDA DALAM WADAH TERKONTROL

Suwardi Tahe dan Hidayat Suryanto Suwoyo


Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros

ABSTRAK

Pakan merupakan satu di antara faktor yang perlu diperhatikan dalam sistem budidaya udang di tambak, karena berpengaruh
terhadap pertumbuhan, sintasan, dan efisiensi biaya produksi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kombinasi
pakan yang tepat terhadap pertumbuhan dan sintasan udang vaname (Litopenaeus vannamei). Penelitian ini dilaksanakan
di Instalasi Perbenihan Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau. Wadah yang digunakan adalah bak fiber glass ukuran 1
m x 1 m x 0,7 m sebanyak 9 buah. Setiap bak diisi air laut salinitas 32 ppt sebanyak 500 L dan dilengkapi 1 buah aerasi
Hewan uji yang digunakan adalah tokolan udang vaname dengan bobot rata-rata 0,45 g/ekor dan ditebar kepadatan 100
ekor/bak. Penelitian diset menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan 3 perlakuan yaitu: (A) Pakan PV100%, (B) Pakan
PV75% + pakan EB25% dan (C) Pakan PV50% + EB50%.,masing-masing perlakuan diulang tiga kali. Selama pemeliharan 85
hari, udang diberi pakan dosis 50%-5% dari total berat biomassa/hari. Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa
kombinasi pakan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap pertumbuhan, sintasan, rasio konversi pakan dan produksi udang
vaname. Pertumbuhan dan sintasan udang vaname terbaik yaitu masing-masing 6,31 g dan 86% diperoleh pada perlakuan
B bila dibanding perlakuan lainnya.

KATA KUNCI: growth, survival rate, feed, and L vannamei


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

K 13
PENGARUH PENGURANGAN RANSUM PAKAN SECARA PERIODIK TERHADAP PERTUMBUHAN,
SINTASAN DAN PRODUKSI UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) POLA SEMI - INTENSIF DI
TAMBAK

Abdul Mansyur, Hidayat Suryanto Suwoyo, dan Rachmansyah


Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros

ABSTRAK

Biaya pakan merupakan biaya produksi tertinggi dalam budidaya udang vaname, sehingga diperlukan informasi pengurangan
ransum pakan dalam budidaya. Tujuan penelitian adalah mengetahui pengaruh pengurangan ransum pakan secara periodik
terhadap pertumbuhan, sintasan, produksi, rasio konversi pakan dan efesiensi pakan pada budi daya udang vaname pola
semi - intensif. Penelitian dilakukan di tambak percobaan Punaga Takalar, menggunakan 6 petak pembesaran udang
vaname masing-masing berukuran 4.000 m2. Hewan uji adalah pasca larva udang vaname dengan bobot awal rata-rata
0,017 g yang ditebar pada tambak dengan kepadatan 20 ekor/m2. Rancangan penelitian adalah rancangan acak lengkap
dengan tiga perlakuan yang masing-masing perlakuan terdiri atas dua ulangan. Perlakuan yang diujicobakan adalah
pengurangan ransum pakan (pemuasaan) secara periodik yaitu: A) pengurangan ransum pakan 30%, B) pengurangan
ransum pakan 60% dan C) kontrol (tanpa pengurangan ransum pakan). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengurangan
ransum pakan secara periodik berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap pertambahan berat mutlak, laju pertumbuhan
harian, sintasan, produksi dan rasio konversi pakan bahkan mampu meningkatkan efisiensi pakan sekitar 7,71%–22,39%.
Penghematan penggunaan pakan untuk udang vaname dapat dilakukan dengan pengurangan ransum pakan hingga 60%
bobot badan/hari/minggu.

K 14
PENGARUH PEMBERIAN PAKAN DENGAN KADAR PROTEIN BERBEDA TERHADAP PERTUMBUHAN
YUWANA UDANG PUTIH, Litopenaeus vannamei

Deisi Heptarina*), M. Agus Suprayudi**), Ing Mokoginta**) dan Dedy Yaniharto***)


*)
Balai Riset Perikanan Tawar, Bogor
**)
Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor
***)
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi

ABSTRAK

Budidaya udang putih (Litopenaeus vannamei) intensif di Indonesia meningkat sejak diintroduksi tahun 2000-an, namun
kurang diimbangi dengan penyediaan pakan yang sesuai. Pakan buatan untuk udang putih umumnya menggunakan
pakan buatan berprotein tinggi untuk udang windu (Penaeus monodon). Pakan berprotein terlalu tinggi mengakibatkan
inefisiensi dan pencemaran media. Penelitian ini bertujuan menentukan kadar protein optimal bagi pertumbuhan yuwana
udang putih. Penelitian dilakukan di Pusat Studi Ilmu Kelautan IPB (PSIK–IPB), Jakarta Utara. Yuwana udang putih dipelihara
selama 70 hari dalam sistem resirkulasi dengan 15 akuarium berukuran 60 cm x 40 cm x 50 cm dan berisi air laut sebanyak
80% dari total volum. Bobot yuwana yang ditebar rata-rata 0,5 g/ekor dengan kepadatan 10 ekor per akuarium. Selama
pemeliharaan, fotoperiod dibuat 12 jam terang–gelap, salinitas 24–25 ppt, suhu 28°C–30°C, dan pH 8,0–8,5. Pakan diberikan
at satiation, 5 kali sehari pada pukul 07.00, 11.00, 15.00, 19.00, dan 23.00. Perlakuan terdiri atas pakan A (protein 29%; C/
P rasio 16,8 kkal GE/g), B (protein 31%; C/P rasio 15,5 kkal GE/g), C (protein 33%; C/P rasio 14,2 kkal GE/g), D (protein 35%;
C/P rasio 13,6 kkal GE/g), dan E atau komersial (protein 40,69%; C/P rasio 11,1 kkal GE/g). Kemudian dilanjutkan uji
kecernaan, ekskresi amonia dan stabilitas pakan. Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap dengan 3 ulangan.
Sintasan (SR) dan ekskresi amonia tidak berbeda nyata (P>0,05). Sintasan antara 73,3%–86,7%, sedangkan ekskresi amonia
antara 1,029–2,464 mg/kg tubuh/jam. Namun, jumlah konsumsi pakan (JKP), pertumbuhan relatif (PR), konversi pakan
(FCR), retensi lemak (RL), retensi protein (RP), kecernaan total, kecernaan protein, dan stabilitas pakan (WS) menunjukkan
respons berbeda (P<0,05). Kisaran nilai masing-masing parameter tersebut adalah; JKP 59,2–78,1 g, PR 532,7%–1130,5%,
FCR 1,4–2,4, RL dan RP masing-masing 26,4%–94,8% dan 11,5%–36,4%, kecernaan total dan kecernaan protein masing-
masing 26,5%–62,1% dan 65,9%–79,2% serta WS berkisar antara 49,9%–68,2%. Pemberian pakan berprotein 35% atau lebih
dengan C/P rasio 13,6 kkal GE/gr protein menghasilkan pertumbuhan yuwana udang putih dan konversi pakan terbaik.

K ATA KUNCI: protein optimal, pertumbuhan, yuwana, Litopenaeus vannamei


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

K 15

PERUBAHAN HISTOLOGI, PROTEIN HAEMOLIMP DAN EKSPRESI ALLOZYME (GPI, PGM, EST, SOD,
DAN SP) PADA UDANG Litopenaeus vannamei SELAMA INFEKSI TAURA SYNDROME VIRUS (TSV)

Gusti Ngurah Permana*), Haryanti*), dan Rustidja**)


*)
Balai Besar Riset Perikanan Budiaya Laut, Gondol
**)
Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya Malang

ABSTRAK

Kasus infeksi virus terutama TSV (Taura Syndrome Virus) pada pemeliharaan udang vaname masih merupakan kendala
utama dalam keberhasilan produksi udang. Kenyataan adanya sifat toleran terhadap respons infeksi TSV tersebut
mendorong untuk dilakukan penelitian tentang performansi histologi, protein haemolimph dan ekspresi enzim (GPI, PGM,
EST, SOD, and SP) pada udang yang sehat, toleran dan terinfeksi TSV. Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan
informasi secara seluler dan enzimatik dari perubahan performansi dari pada udang vaname yang sehat, toleran, dan
moribund. Hasil dari penelitian ini terlihat adanya perubahan keragaan histologi hepatopankreas dan protein haemolymp
menunjukkan perbedaan pada kelompok udang turunan pertama (F-1) yang toleran terhadap infeksi TSV dengan udang
SPF. Hal yang sama juga terlihat dari perbedaan pola ekspresi enzim EST, SOD, dan SP, hal ini kemungkinan akibat dari
mekanisme pertahanan dari udang dalam melawan infeksi TSV yang terekspresi sebagai interaksi kebal (imun). Namun
demikian, belum dapat diyakinkan secara pasti bahwa ekspresi EST, SOD, dan SP mampu berdiri sendiri, tetapi diduga oleh
adanya pengaruh interaksi dengan tekanan stres serta kondisi lingkungan.

KATA KUNCI: enzim, toleran, SPF, Taura Syndrome Virus, L. vannamei

K 16

MULTI INFEKSI PADA PADA UDANG Litopenaeus vannamei : DETEKSI DENGAN POLYMERASE
CHAIN REACTION (PCR) DAN REVERSE TRANSCRIPTASE-POLYMERASE CHAIN REACTION (RT-PCR)

Isti Koesharyani, Lila Gardenia, dan Hambali Supriyadi


Pusat Riset Perikanan Budidaya, Jakarta

ABSTRAK

Budidaya Udang Litopenaeus vannamei sudah berkembang di Indonesia sejak tahun 2002 setelah disetujuinya introduksi
dari USA. Introduksi udang ini dimaksudkan untuk mengganti udang monodon yang secara terus-menerus mengalami
kegagalan akibat serangan virus White Spot Syndrome Virus (WSSV). Dampak diijinkannya pemasukan induk vaname dan
kurangnya antisipasi pengembangan teknologi penangkal, maka beberapa jenis virus kemungkinan sudah masuk ke
indonesia. Penelitian ini dilakukan berawal dari masalah yang ditemukan di lapangan seperti pertumbuhan udang yang
tidak seragam (blantik), penampakan klinis yang abnormal dan organ yang yang tidak sempurna. Semua gejala tersebut
diduga akibat adanya serangan virus. Untuk mengetahui jenis virus yang menyerang udang tersebut maka, dilakukan
analisa Polymerase Chain Reactin (PCR) dan Reverse Transcriptase - Polymerase Chain Reactin RT-PCR menggunakan
berbagai jenis spesifik primer. Sampel udang yang sehat dan yang abnormal diambil dan disimpan dalam larutan pengawet
90% Ethanol dan RNAlater kemudian dianalisa di Laboratorium dengan metode yang sudah dikembangkan oleh Pusat Riset
Perikanan Budidaya. Hasilnya menunjukan bahwa udang yang tumbuh lambat dan mempunyai rostrum bengkok dan
warna otot daging memutih ternyata tidak hanya diserang oleh satu virus namun dua virus (IHHNV: Infectious hypodermal
and haematopoetic necrosi dan IMNV: infectious myonecrosis). Hasil penelitian ini juga mengindikasikan bahwa udang
terserang IHHNV akan tumbuh lambat walaupun tidak mematikan akibatnya FCR tinggi dan tidak efesien. Sedangkan
udang yang diserang IMNV urat daging ditubuh memutih dan dapat menimbulkan kematian.

KATA KUNCI: Litopenaeus vannamei, WSSV, IHHNV, MBV, TSV, IMNV dan PvNV
Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

K 17

KERAGAAN PERTUMBUHAN UDANG GALAH (Macrobrachium rosenbergii) DARI BEBERAPA


SUMBER POPULASI DAN PERSILANGANNYA

Ikhsan Khasani, Imron, Romy Suprapto, dan Yogi Himawan


Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar, Sukamandi

ABSTRAK

Keragaan pertumbuhan yang optimum akan muncul bila genotip (strain) yang dipelihara sesuai dengan lingkungannya.
Perbedaan asal induk udang galah diduga berpengaruh terhadap performa anakan yang dihasilkan. Dalam rangka
meningkatkan keragaman genetik dan peluang mendapatkan kandidat udang galah unggul dilakukan evaluasi performa
populasi udang galah yang telah didomestikasi yaitu GiMacro, Barito, Musi, Asahan, Ciasem, beserta persilangannya.
Penelitian meliputi pembenihan, pendederan I, pendederan II, dan pembesaran, yang dilakukan selama 5 bulan. Berdasarkan
keragaan pertumbuhan harian selama pembesaran uji, yang meliputi pertambahan panjang dan bobot, populasi udang
galah hasil persilangan betina Gimacro dengan jantan Musi (GM) tampak paling menonjol, dikuti populasi Barito-Musi (BM)
dan Gimacro Asahan (GA), berturut-turut 0,25 g, 0,31 mm; 0,21 g, 0,42 mm; dan 0,20 g, 0,27 mm. Namun demikian,
berdasarkan nilai heterosis yang didapat, persilangan yang telah dilakukan belum memperlihatkan perbaikan atas keragaan
pertumbuhan udang galah.

KATA KUNCI: genetik, persilangan, pertumbuhan, udang galah

K 18

PENGARUH POLA PEMIJAHAN TERHADAP KERAGAAN REPRODUKSI DAN MORTALITAS INDUK


UDANG GALAH

Ikhsan Khasani
Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar, Sukamandi

ABSTRAK

Pola pemijahan dengan variasi rasio kelamin dan jumlah pasangan disinyalir berpengaruh terhadap keragaan reproduksi
induk udang galah selama pemijahan. Studi pengaruh pola pemijahan induk udang galah dilakukan dengan tujuan untuk
mengetahui pola pemijahan induk yang optimal, khususnya rasio jantan-betina, terhadap keragaan reproduksi dan mortalitas
induk udang galah guna mendukung program pemuliaan. Penelitian dilakukan dengan rancangan acak lengkap, terdiri
atas 4 perlakuan dan 3 ulangan pada masing-masing perlakuan. Sebagai perlakuan adalah rasio jantan-betina, yang terdiri
atas A) 1 Jantan (J) : 1 betina (B); B) 1 J : 2 B; C) 2J : 2 B; dan D) 2 J : 4 B. Wadah pemijahan berupa bak tembok yang disekat
dengan luasan 0,25 m2/ekor induk, dengan sistem resirkulasi. Pada masing-masing sekat ditempatkan shelter plastik dan
eceng gondok sebagai sarana berlindung udang yang ganti kulit. Pakan yang diberikan berupa kombinasi pelet dengan
kandungan protein 30% sebanyak 3% bobot per hari dan udang rucah sebanyak 2% per hari, diberikan pada pagi dan sore.
Monitoring jumlah induk yang memijah dan kematian induk dilakukan setiap 2 minggu, dengan lama pengujian 8 minggu.
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa perlakuan C memberikan hasil terbaik dengan tingkat fertilitas mencapai 46%,
diikuti perlakuan D, A dan B, berturut-turut 27%, 25%, dan 13%. Pada sistem tersebut kematian induk relatif rendah, dan
tidak berbeda nyata antar perlakuan, yaitu 0%; 2%; 6,5%; dan 9,5% berturut-turut untuk perlakuan A, B, C, dan D. Parameter
kualitas air selama pengujian masih dalam kondisi optimal bagi kehidupan induk udang galah.

KATA KUNCI: mortalitas, pemijahan, rasio kelamin, reproduksi, udang galah


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

K 19
PENGARUH TIPE PERSILANGAN TERHADAP SINTASAN DAN PERTUMBUHAN POPULASI BENIH
UDANG GALAH (Macrobrachium rosenbergii) PADA FASE PENDEDERAN

Imron*), Harry Wuwungan**), Dinar Soelistyawati**), dan Komar Sumantadinata**)


*) Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar, Sukamandi,
**) Jurusan Budidaya, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor

ABSTRAK

Variasi tipe persilangan pada kegiatan breeding program dapat berimplikasi pada perbedaan tingkat inbreeding dari
populasi hasil persilangan. Tingkat inbreeding populasi dapat berdampak pada keragaan populasi tersebut dalam kegiatan
budidaya. Penelitian ini bertujuan untuk mengevalusi pengaruh perbedaan tipe persilangan pada populasi tetua terhadap
keragaan benih udang galah pada fase pendederan. Tiga tipe persilangan, yaitu inbreeding, outbreeding dan crossbreeding
dilakukan untuk menghasilkan tiga populasi uji berupa pascalarva (PL) umur 1 bulan. Keragaan pendederan dari ketiga
populasi diuji melalui pemeliharaan dalam hapa di kolam secara outdoor selama satu bulan. Parameter yang diamati adalah
kelangsungan hidup dan pertumbuhan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada karakter sintasan, keragaan terbaik
ditunjukkan oleh populasi hasil outbreeding (74,6±21,4%) diikuti oleh populasi hasil crossbreeding (57,5±28,0%) dan
populasi inbreeding (25,8±7,0%). Pada karakter pertumbuhan, keragaan terbaik ditunjukkan oleh populasi hasil crossbreeding
(24,0±1,7 mm) diikuti oleh populasi hasil outbreeding (21,8±1,4 mm) dan populasi inbreeding (21,8±1,4 mm). Hasil ini
menunjukkan bahwa tipe persilangan harus didesain dengan tepat sehingga tingkat inbreeding dapat dikendalikan dan
keragaan budidaya dapat dioptimalkan.

KATA KUNCI: inbreeding, outbreeding, crossbreeding, keragaan pendederan


K 20
UJI EFEKTIVITAS EKSTRAK DAUN SIRIH DAN EKSTRAK BAWANG PUTIH SEBAGAI BAHAN
DESINFEKTASI LARVA UDANG GALAH (Macrobrachium rosernbergii)

Ikhsan Khasani dan Asep Sopian


Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar, Sukamandi

ABSTRAK

Desinfektasi larva merupakan salah satu langkah bisecurity guna mencegah masuknya organisme pathogen dan parasit
melalui larva udang galah.Penelitian bertujuan untuk mengetahui efektivitas ekstrak daun sirih dan ekstrak bawang putih
sebagai bahan alternatif desinfektasi larva udang galah, merupakan langkah bio-security. Penelitian menggunakan
Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan yang diberikan yaitu A (kontrol, tanpa
penambahan desinfektan); B (perendaman dalam larutan formalin 250 mg/L); C (perendaman dalam larutan ekstrak daun
sirih); dan D (perendaman dalam larutan ekstrak bawang putih). Hewan uji yang digunakan adalah larva udang galah umur
dua hari. Larva dipelihara dengan kepadatan 50 ekor per stoples berisi 800 mL media 10‰, yang ditempatkan di dalam
akuarium dengan ketinggian air 40 cm dan dipasang pemanas dengan suhu 29°C. Parameter utama yang diamati adalah
kelimpahan bakteri pada larva yang telah didesinfektasi, sintasan (SR) dan perkembangan larva (LSI). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa perlakuan perendaman ekstrak daun sirih dan formalin berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap kelimpahan
bakteri, yaitu A. (4,4 x 103 cfu/mL) , B. (0 cfu/mL), C. (0 cfu/mL), dan D. (8,5 x 103), namun tidak berbeda nyata (P>0.05)
terhadap sintasan dan nilai LSI larva selama 3 hari pemeliharaan, dengan nilai sebagai berikut: A. 45,83% dan 3,93; B.
52,00% dan 3,93; C. 37,5% dan 3,92; dan D. 47,5%, 4,0. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa ekstrak daun sirih
prospektif sebagai bahan desinfektasi larva udang galah.

KATA KUNCI: bawang putih, desinfektan, formalin, larva udang galah, sirih.
Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

K 21

VARIASI FENOTIP UDANG GALAH (Macrobrachium rosenbergii) DARI POPULASI PERAIRAN


KARAWANG, PELABUHAN RATU, DAN BONE

Eni Kusrini*), Lies Emmawati**), dan Wartono Hadie**)


*)
Balai Riset Budidaya Perikanan Ikan Hias, Depok
*)
Pusat Riset Perikanan Budidaya, Jakarta

ABSTRAK

Udang galah (Macrobrachium rosenbergii) merupakan plasma nutfah yang tersebar di perairan Indonesia mulai dari
Sumatera sampai Papua. Pengaruh lingkungan yang kuat menyebabkan ekspresi gen yang dimilikinya berubah jumlah dan
jenisnya untuk bertahan hidup. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui variasi fenotip dari beberapa populasi sungai
yang dianggap berbeda kondisi lingkungan yaitu Tanjung Air (Karawang), Pelabuhan Ratu, dan Bone. Metode yang
digunakan adalah survai dengan analisis diskriminan untuk mengatahui hubungan kekerabatan di antara ketiga populasi
tersebut. Masing-masing populasi alam diambil contoh sebanyak 50 ekor dan diukur beberapa variable sebagai pembeda
untuk menentukan jarak genetic secara fenotip. Hasil analisis diskriminan didapatkan jarak kekerabatan antara populasi
udang galah dari Tanjung Air,Karawang dengan Pelabuhan Ratu lebih dekat. Hibridisasi antara Bone x Pelabuhan Ratu dan
Bone x Karawang akan lebih baik menghasilkan variasi genetik yang tinggi dibandingkan Karawang x Pelabuhan Ratu.

KATA KUNCI: udang galah, populasi, jarak genetik

K 22

PEMELIHARAAN LARVA UDANG PAMA (Penaeus semisulcatus) DENGAN KEPADATAN BERBEDA

Muslimin, Sulaeman, Andi Tenriulo, dan Suwardi Tahe


Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sintasan dan pertumbuhan udang pama (P. semisucatus) dengan kepadatan
berbeda. Hewan uji yang digunakan adalah larva udang pama (stadia mysis) yang berasal dari hasil perbenihan Balai Riset
Perikanan Budidaya Air Payau, Maros dengan panjang awal mysis adalah 100-190 milimikron. Wadah pemeliharaan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah toples berbahan kaca dengan ukuran tinggi 22 cm, diameter 15 cm dan Volume 3
L. Wadah ini diletakkan dalam sterofoam berukuran panjang 75 cm, lebar 40 cm, dan tinggi 30 cm Untuk mempertahankan
suhu dalam wadah tersebut, maka ditambahkan pemanas/heater suhu 30°C. Hewan uji ini ditebar dengan kepadatan
berbeda. Perlakuan yang diujicobakan adalah: A. Kepadatan larva 25 ekor/L; B. Kepadatan larva 50 ekor/L; C. Kepadatan
larva 75 ekor/L; D. Kepadatan larva 100 ekor/L; E. Kepadatan larva 125 ekor/L; dan F. Kepadatan larva 150 ekor/L.
Penelitian ini dirancang dengan menggunakan rancangan acak lengkap, di mana masing-masing perlakuan di ulang tiga
kali. Jenis pakan yang diberikan berupa pakan alami chetoceros, artemia, dan pakan buatan. Pemberian pakan dilakukan
setiap pagi dan sore (08.00 dan 16.00 wita). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepadatan larva yang berbeda berpengaruh
nyata (P<0,05) terhadap laju sintasan dan pertumbuhan larva udang pama. Sintasan larva tertinggi didapatkan pada padat
penebaran secara berurut: (A) 57%, (B) 32%, (C) 31%, (E) 24%, (D) 16%, dan (F) 10%.

KATA KUNCI: kepadatan, larva udang pama, sintasan dan pertumbuhan


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

K 23
ESTIMASI PADAT TEBAR UDANG PAMA Penaeus semisulcatus BERDASARKAN TINGKAT
KONSUMSI OKSIGEN

Herlinah dan Rachmansyah


Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros

ABSTRAK

Penelitian bertujuan untuk melakukan estimasi padat tebar optimum udang pama (Penaeus semisulcatus) berdasarkan
tingkat konsumsi oksigen. Hewan uji yang digunakan diperoleh dari tambak budidaya dengan kisaran rata-rata bobot
benih 1.446–6.601 g/ekor umur tokolan 2 bulan selama 4 minggu pemeliharaan. Wadah percobaan yang digunakan
adalah bentik jar (chamber), yakni alat yang terbuat dari kaca volume 1 L sebanyak 4 unit. Keseluruhan bentik jar
diinkubasikan selama 1 jam dalam wadah yang menggunakan air tambak bersalinitas 35 ppt sebagai media percobaan.
Oksigen terlarut diukur dengan alat pengukur O2 (TPSTM Model WP-82 DO meters). Data laju respirasi selama proses
inkubasi diperoleh dari data loger yang merekam dinamika kandungan oksigen terlarut diukur setiap lima menit. Data hasil
pengukuran konsumsi oksigen udang pama dianalisis regresi dan korelasi untuk menentukan pola hubungan antara
bobot udang pama dengan konsumsi oksigen menggunakan program Curve Expert. Ver.1.2. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa terdapat korelasi antara laju konsumsi oksigen dengan ukuran bobot tubuh udang pama. Laju konsumsi oksigen
udang pama semakin besar pada ukuran benih yang kecil dan berkurang sejalan dengan pertambahan bobot badan,
dengan kisaran tingkat konsumsi oksigen 0,26–7,27 mg/g/jam. Kisaran kelarutan oksigen pada awal penelitian adalah
3,14–7,9 mg/L dan setelah 1 jam pengukuran 0,03–0,48 mg/L dan kontrol tetap berkisar 4 mg/L. Estimasi padat tebar
udang pama dengan asumsi bobot rata-rata 4,0235 g adalah 15,65 g/m3.

KATA KUNCI: udang pama, padat tebar, estimasi

K 24

POLIKULTUR KEPITING BAKAU (Scylla serrata) DAN RUMPUT LAUT (Gracilaria verrucosa)
DENGAN METODE TEBAR YANG BERBEDA

Sulaeman, Aan Fibro Widodo, dan Herlina Jompa


Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros

ABSTRAK

Penelitian polikultur kepiting bakau (Scylla serrata) dan rumput laut (Gracilaria verrucosa) telah dilakukan, akan tetapi
masih diperlukan pengkajian tentang metode tebar yang tepat dalam polikultur tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk
mendapatkan informasi tentang metode tebar rumput laut yang tepat pada polikultur kepiting bakau dengan rumput laut
di tambak. Penelitian dilakukan selama 90 hari di Instalasi Tambak Percobaan (ITP), BRPBAP, Maros. Penelitian ini
menggunakan sembilan petak tambak berukuran 250 m2. Benih yang ditebar adalah krablet-30 dengan padat tebar 1 ekor/
m2 dengan bobot rata-rata 0,18±0,03 g, panjang karapas 4,6±0,1 mm dan lebar karapas 5,9±0,1 mm. Padat tebar rumput laut
yang diaplikasikan adalah 2 ton/ha. Perlakuan yang diujikan adalah metode tebar rumput laut yang berbeda yaitu: A
(metode lepas dasar); B (metode gantung); dan C (gabungan antara keduanya). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
perbedaan metode penebaran rumput laut menunjukkan pengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap pertumbuhan bobot
mutlak, bobot harian, pertumbuhan panjang dan lebar karapas mutlak dan harian, tetapi berpengaruh nyata (P<0,05)
terhadap sintasan dan produksi kepiting bakau dan rumput laut. Sintasan dan produksi tertinggi kepiting bakau didapatkan
pada perlakuan A: 66,96 %; 58,17 kg/250 m2, disusul perlakuan C: 64,06; 44,95 kg/250 m2 dan terendah pada perlakuan
B: 60,58%; 40,52 kg/250 m2.

KATA KUNCI: kepiting bakau, metode sebar, polikultur, rumput laut


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

K 25

LAJU PEMANGSAAN LARVA KEPITING BAKAU (Scylla serrata) TERHADAP PAKAN ALAMI ROTIFERA
(Brachionus SP.)

Aan Fibro Widodo, Sulaeman, dan Muslimin


Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros

ABSTRAK

Pemberian rotifera sebagai pakan alami dalam pembenihan kepiting bakau telah banyak dilakukan. Permasalahan penting
yang perlu diketahui dalam pemberian pakan rotifera adalah laju pemangsaan larva kepiting bakau terhadap pakan rotifera
yang diberikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui laju pemangsaan larva kepiting bakau (Scylla serrata) terhadap
pakan rotifera (Brachionus sp.). Penelitian dilaksanakan di Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau (BRPBAP) Maros,
Sulawesi Selatan. Hewan uji yang digunakan adalah kepiting bakau stadia zoea-1 yang berasal dari satu cohor hasil
pembenihan dari induk kepiting bakau yang dilakukan oleh Instalasi Perbenihan BRPBAP Maros. Penelitian menggunakan
rancangan acak lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan yang diujikan adalah kepadatan rotifera yang
diberikan sebagai pakan zoea-1 kepiting bakau, yaitu: A (625 ind./mL); B (500 ind./mL); C (375 ind./mL); D (250 ind./mL);
dan E (125 ind./mL). Peubah yang diamati adalah laju pemangsaan, sintasan, dan peubah kualitas air. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kepadatan rotifera yang diberikan sebagai pakan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap laju
pemangsaan dan sintasan larva kepiting bakau. Hasil terbaik diperoleh pada perlakuan A, yaitu kepadatan rotifera 625
ind./mL dengan laju pemangsaan sebesar 259,1667 ind./larva/jam dan sintasan 86,0%.

KATA KUNCI: kepadatan, kepiting bakau, laju pemangsaan, rotifera, zoea

K 26

ANALISIS DIATOM EPIPELIC SEBAGAI INDIKATOR KUALITAS AIR DAN TANAHUNTUK BUDIDAYA
UDANG

Supono
Budidaya Perairan Universitas Lampung

ABSTRAK

Manajemen kualitas air dan dasar tambak mempunyai peran yang sangat penting pada keberhasilan budidaya udang.
Diatom epipelic merupakan salah satu microalgae yang banyak ditemui di sedimen tambak dan keberadaannya dipengaruhi
oleh kualitas air maupun sedimen. Karena hidup di dasar tambak, jenis dan kelimpahannya sangat dipengaruhi kondisi
dasar perairan. Pengembangan studi tentang diatom epipelic sebagai indikator kualitas air dan kesuburan suatu ekosistem
budidaya masih terbatas jika dibandingkan dengan plankton. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kemungkinan
pemanfaatan diatom epipelic sebagai indikator kualitas lingkungan tambak untuk budidaya udang, yaitu dengan cara: (1)
menganalisis keberadaan diatom epipelic yang ada di tambak budidaya udang dan (2) menganalisis hubungan antara
berbagai parameter kualitas air dan kualitas sedimen dengan kelimpahan dan keragaman diatom epipelic pada tambak
udang. Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif untuk mempelajari struktur diatom epipelic yang ada di tambak
udang. Pengumpulan data dilakukan terhadap 12 unit tambak udang pada masa persiapan air (pratebar) dengan letak
tambak yang berbeda dari pintu masuk air. Pengumpulan data epipelic algae dilakukan dengan metode lens tissue trapping.
Selain diatom epipelic, data yang dikumpulkan antara lain kualitas air dan kualitas sedimen tambak. Dari hasil penelitian
menunjukkan bahwa diatom epipelic di lokasi tambak budidaya udang didominasi oleh Nitzschia dan Pleurosigma. Diatom
epipelic dapat dijadikan indikator kualitas lingkungan tambak untuk budidaya udang. Hal ini dapat dilihat dari hubungan
diatom epipelic dengan kualitas air dan sedimen. Keragaman diatom epipelic dipengaruhi oleh alkalinitas (rs = 0,75), TOM
(rs = 0,71), dan nitrat (rs = 0,66), sedangkan kualitas sedimen yang berpengaruh terhadap keragaman diatom epipelic
antara lain: KPK tanah (rs = 0,72), kandungan liat (rs = 0,65), dan kandungan bahan organik (rs = 0,62).

KATA KUNCI: diatom epipelic, tambak udang, kualitas air, kualitas sedimen
Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

K 27

KERAGAAN PERTUMBUHAN BENIH Cherax quadricarinatus DARI BERBAGAI LOKASI UNTUK


MENCAPAI UKURAN 5-6 INCI

Irin Iriana Kusmini, Gleni Hasan Huwoyon, dan Iskandariah


Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar, Bogor

ABSTRAK

Perkembangan pembenihan lobster air tawar tidak dibarengi dengan peningkatan teknologi budidaya yang menyebabkan
terhambatnya produksi lobster untuk kebutuhan konsumen. Ukuran lobster yang dikehendaki konsumen adalah ukuran
5-6 inci, namun kemampuan produksi para pembudidaya hanya sampai 4 inci. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
keragaan pertumbuhan lobster air tawar (Cherax quadricarinatus) hingga mencapai ukuran 5-6 inci. Benih-benih Cherax
quadricarinatus ukuran 3 inci dari 3 lokasi yang berbeda (dari Tangerang, Bogor, dan Tulung Agung), sebanyak 25 ekor
betina dan 25 ekor jantan dipelihara di kolam ukuran 5 m2, dipelihara dengan kepadatan sama dan dalam waktu yang sama
dengan menggunakan 3 ulangan. Diberi pakan pelet udang kandungan protein 40% sebanyak 3%-10% dari bobot biomassa/
hari dan diamati populasi mana yang paling cepat mencapai ukuran 5-6 inci. Sampling dilakukan dua minggu sekali untuk
mendapatkan data bobot badan, panjang standar, dan panjang total tiap individu. Adapun parameter yang diukur meliputi:
rata-rata pertumbuhan individu (bobot, panjang standar, dan panjang total), ragam, simpangan baku, serta sintasan lobster
air tawar dari masing-masing lokasi yang berbeda. Dianalisis dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Hasil pengamatan
selama 3 bulan dari ketiga lokasi menunjukkan adanya pertambahan panjang sebesar 6,6-7,0 cm dan adanya pertambahan
bobot sebesar 58,6-71,9 g. Pertambahan bobot (71,9±9,74) dan panjang (7,0±0,47) terbaik adalah benih lobster air tawar
asal Tangerang. Sintasan terbaik adalah benih lobster air tawar asal Bogor (55,6±10,72).

KATA KUNCI: Cherax quadricarinatus, benih, pertumbuhan, lokasi


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

M 01

PEMATANGAN GONAD INDUK ABALON, Haliotis squamata MELALUI PENGELOLAAN PAKAN

Ibnu Rusdi, Riani Rahmawati, Bambang Susanto, dan I Nyoman Adiasmara Giri
Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol

ABSTRAK

Abalon bersifat herbivora yang di alam memakan berbagai jenis makroalga. Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh
berbagai makroalga sebagai pakan terhadap perkembangan gonad abalon Haliotis squamata, dilakukan dengan menerapkan
4 perlakuan pemberian pakan, yaitu: (A) Gracilaria sp.; (B) Ulva sp.; (C) Sargassum sp.; (D) Kombinasi Gracilaria sp. + Ulva
sp. + Sargassum sp. (rasio 1:1:1). Penelitian dirancang menggunakan rancangan acak lengkap masing-masing dengan 3
ulangan. Induk abalon dipelihara dalam unit-unit percobaan menggunakan 12 buah kontainer plastik berlubang ukuran
0,58 m x 0,39 m x 0,31 m. Semua kontainer ditempatkan dalam sebuah bak semen ukuran 3 m x 2 m x 1 m. Setiap kontainer
berisi abalon sebanyak 10 ekor dengan ukuran rata-rata panjang, lebar dan bobot cangkang, masing-masing 58,9 ± 1,37
mm, 38,0 ± 0,99 mm dan 36,1 ± 4,06 g. Biota uji dari masing-masing perlakuan diberi pakan dengan dosis 15%–20% dari
bobot biomassa diberikan setiap 2 hari sekali. Pergantian air menggunakan sistem sirkulasi dengan debit 5-6 liter per
menit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata pertumbuhan bobot mutlak dan laju pertumbuhan bobot harian
berbeda nyata (P<0,05) antar perlakuan, yaitu pada perlakuan pemberian pakan Gracilaria sp. (13,17 ± 2,92 g dan 219,56
± 48,82 µg/hari), kombinasi Gracilaria sp. + Ulva sp. + Sargassum sp. (13,03 ± 1,50 g dan 217,17 ± 25,06 µg/hari), Ulva sp.
(7,26 ± 10,23 g dan 121,06 ± 170,52 µg/hari) dan terendah pemberian pakan Sargassum sp. (-5,19 ± 6.16 g dan -86,44 ±
102,68 µg/hari). Tingkat kematangan gonad (TKG) induk abalon pada hari ke-70 diperoleh TKG III tertinggi dihasilkan pada
perlakuan kombinasi Gracilaria + Ulva sp. + Sargassum sp. (P<0,05). Perpaduan kandungan asam lemak pakan kombinasi
antara Gracillaria sp. + Ulva sp. dan Sargassum sp. sangat sesuai dalam memacu pematangan gonad induk abalon H.
squamata.

KATA KUNCI: Haliotis squamata, Gracilaria, Ulva, Sargassum, perkembangan gonad

M 02

APLIKASI TEKNOLOGI PEMBESARAN ABALON (Haliotis squamata) DALAM MENUNJANG


PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PESISIR

Bambang Susanto, Ibnu Rusdi, Riani Rahmawati, I Nyoman Adiasmara Giri, dan Tatam Sutarmat
Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol

ABSTRAK

Teknologi pembesaran abalon telah dilakukan dengan memanfaatkan rumput laut hasil budidaya masyarakat pesisir.
Tujuan ujicoba ini adalah agar dapat memanfaatkan rumput laut yang telah dibudidaya masyarakat pesisir dalam pembesaran
yuwana abalon. Digunakan yuwana abalon dengan ukuran panjang cangkang awal 30,59±2,80 sampai 31,73±2,07 mm
dan Jenis rumput laut yang digunakan sebagai pakan abalon adalah Gracilaria, E. cottoni, dan kombinasi keduanya. Hasil
yang dicapai pada akhir ujicoba untuk pertumbuhan panjang dan bobot yuwana abalon adalah dengan pakan (A)= Gracilaria:
41,39 mm dan 10,73 g; pakan (B)= E. cottonii 37,18 mm dan 7,39 g, serta pakan (C)= kombinasi Gracilaria + E. cottonii :
40,05 mm dan 10,02 g. Hubungan panjang-bobot abalon dengan pemberian pakan (A) menghasilakan R² = 0.854; pakan (B)
dengan R² = 0.891; dan pakan (C) dengan R² = 0.613. Laju pertumbuhan panjang dan bobot harian untuk ujicoba A, B, dan
C berturut-turut adalah 120,00 µm dan 38,44 µg; 73,89 µm dan 38,44 µg serta 92,44 µm dan 65,44 µg. Pembesaran abalon
dapat memanfaatkan jenis rumput laut yang dibudidaya oleh masyarakat pesisir.

KATA KUNCI: abalon Haliotis squamata, aplikasi teknologi pembesaran


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

M 03

EVALUASI KERAGAMAN GENETIK ABALON (Haliotis squamata) INDUK ALAM DAN TURUNANNYA

Fahrudin, Gusti Ngurah Permana dan Haryanti


Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol

ABSTRAK

Abalon merupakan salah satu spesies laut yang memiliki prospek cukup baik untuk dikembangkan, mengingat
permintaannya yang cukup tinggi. Untuk mendukung kegiatan tersebut perlu pula diketahui tentang data variasi genetik
dalam budidaya abalon itu sendiri. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui keragaman genetik abalon induk alam dan
turunannya. Penelitian dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol. Sampel
yang digunakan berasal dari Bali dan Banten. Analisa sampel dilakukan dengan teknik allozyme elektroforesis dengan 8
enzim. Hasil penelitian menunjukan bahwa dari 8 enzim yang dianalisa terdeteksi 15 lokus dan 7 lokus diantaranya
bersifat polimorfik yaitu Pgm*, Gpi*, Est-1*, Est-2*, Est-3*, Est-4* dan Cah-3*. Nilai variasi genetik induk abalone asal Banten
(0,13) lebih tinggi dibandingkan dengan induk asal Bali (0,06). Tingkat reduksi hetrosigositas turunan dari kedua induk
alam tersebut berkisar antara 42 dan 53 %, hal ini disebabkan oleh adanya genetic drift (penghanyutan gen) yang terjadi
pada dalam proses pembenihan di hatchery.

KATA KUNCI: allozyme, genetic monitoring, wild, offsprings

M 04

PEMBESARAN ABALON Haliotis squamata DI KARAMBA JARING APUNG DENGAN PROPORSI


PAKAN RUMPUT LAUT YANG BERBEDA DAN SISTEM PENJARANGAN

I Nyoman Adiasmara Giri, Tatam Sutarmat, Hirmawan Tirta Yudha, Ibnu Rusdi, dan Bambang Susanto
Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol

ABSTRAK

Abalon merupakan hewan laut bersifat herbivora dan memanfaatkan rumput laut sebagai makanannya. Usaha budidaya
abalon mempunyai prospek yang baik terkait dengan harga, peluang pasar serta teknik budidayanya yang sederhana.
Untuk itu, dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui teknik budidaya abalon yang efektif dan efesien terkait
dengan pemanfaatan pakan dan kepadatan. Pada penelitian ini digunakan baskom plastik berdiameter 42 cm, tinggi 22
cm. Satu wadah percobaan terdiri atas 3 buah baskom yang disusun vertikal, dimasukkan dalam kantong jaring dan
digantung pada rakit sehingga wadah berada pada kedalaman 4 m di bawah permukaan air. Benih abalon yang digunakan
berasal dari pembenihan di hatcheri yang telah diadaptasikan pada lingkungan karamba dengan pakan Gracilaria sp. dan
Ulva sp. Kepadatan awal benih abalon adalah 450 ekor per wadah, dengan bobot awal 2,6-3,2 g dan panjang cangkang 2,5-
2,7 cm. Abalon diberi pakan rumput laut Gracilaria sp. dan Ulva sp. dengan proporsi yang berbeda Gracilaria sp./Ulva sp.
100/0% (A); 80/20% (B); dan 60/40% (C) sebagai perlakuan. Setiap perlakuan terdiri atas 2 ulangan. Setelah 3 bulan
pemeliharaan dilakukan penjarangan sehingga kepadatan abalon menjadi 190 ekor per unit percobaan. Setiap bulan
dilakukan pengukuran bobot dan panjang cangkang sebanyak 25 ekor contoh abalon dari setiap unit percobaan. Hasil
percobaan menunjukkan bahwa meningkatnya proporsi Ulva sp. dalam pakan meningkatkan pertumbuhan abalon dan
menurunkan konversi pakannya. Pakan dengan proporsi Gracilaria sp./Ulva sp. 60/40% memberikan pertumbuhan abalon
terbaik. Penurunan kepadatan abalon dalam wadah percobaan setelah 3 bulan pemeliharaan juga memberikan respons
meningkatnya laju pertumbuhan.

KATA KUNCI: abalon Haliotis squamata, pembesaran, proporsi pakan, penjarangan


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

M 05

ISOLASI, KARAKTERISASI, DAN UJI PATOGENISITAS BAKTERI VIBRIO YANG DIISOLASI DARI
LARVA ABALON SAKIT DI HATCHERI

Zafran, Indah Mastuti, dan Yasmina Nirmala Asih


Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol

ABSTRAK

Pembenihan abalon dari spesies Haliotis squamata baru di mulai beberapa tahun belakangan ini. Karena itu, tidak heran
masih sering terjadi kematian abalon secara massal tanpa diketahui penyebabnya. Suatu penelitian untuk mengetahui
tingkat patogenisitas bakteri Vibrio terhadap yuwana abalon (H. squamata) telah dilakukan di laboratorium patologi Balai
Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol, Bali. Tahap pertama dari peneltian ini adalah mengisolasi bakteri Vibrio dari
yuwana abalon sakit menggunakan media Thiosulfate Citrate Bile Salt Sucrose (TCBS) agar, yaitu media spesifik untuk
bakteri Vibrio. Bakteri yang tumbuh dominan selanjutnya dimurnikan dan diidentifikasi berdasarkan uji biologis dan
biokimia. Uji virulensi dilakukan dengan cara menginfeksikan isolat bakteri dengan berbagai kepadatan (konsentrasi akhir
103–106 CFU/mL) terhadap masing-masing 20 ekor yuwana abalon yang dipelihara dalam stoples kaca berisi 1 L air laut
yang sudah disaring dengan ultra-membran filter (0,05 µm). Setiap perlakuan diulang 3 kali. Pengamatan dilakukan terhadap
kematian larva selama 3 hari pemeliharaan. Dari penelitian diperoleh 3 isolat vibrio dan berdasarkan karakternya ketiga
isolat diidentifikasi sebagai Vibrio cincinnatiensis. Hasil uji virulensi menunjukkan bahwa ketiga isolat patogen pada
yuwana abalon. Rata-rata mortalitas setelah tiga hari pemeliharaan untuk isolat-1, isolat-2, dan isolat-3 pada perlakuan
kepadatan bakteri 106 CFU/mL adalah 13,33%; 18,33%; dan 21,67%; sedangkan mortalitas pada kelompok kontrol hanya
3,33%.

KATA KUNCI: abalon, Haliotis squamata, vibriosis, Vibrio cincinnatiensis, uji patogenisitas

M 06

PENDEDERAN TIRAM MUTIARA (Pinctada maxima) DENGAN PERBEDAAN UKURAN TEBAR AWAL

Sudewi, Apri I. Supii, dan Ibnu Rusdi


Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol

ABSTRAK

Kesuksesan budidaya tiram mutiara (Pinctada maxima) ditunjukkan dengan tingginya sintasan. Namun, masih terdapat
kendala yaitu sintasan benih yang lebih rendah daripada tiram mutiara dewasa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh ukuran tebar awal terhadap pertumbuhan dan sintasan tiram mutiara pada masa pendederan. Penelitian ini
menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan tiga perlakuan dan tiga ulangan. Perlakuan yang diberikan adalah
ukuran tebar 3,44±0,44 mm (perlakuan A); 10,85±0,1 mm (perlakuan B); dan 20,36±0,55 mm (perlakuan C). Parameter yang
diamati adalah laju pertumbuhan harian dan sintasan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju pertumbuhan panjang
cangkang 0,44±0,01 mm/hari (perlakuan A); 0,46±0,03 mm/hari (perlakuan B) dan 0,30±0,01 mm/hari (perlakuan C). Laju
pertumbuhan lebar cangkang 0,37±0,01 mm/hari (perlakuan A); 0,4±0,03 mm/hari (perlakuan B) dan 0,27±0,00 mm/hari
(perlakuan C). Perlakuan A dan B menghasilkan pertumbuhan yang lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan perlakuan
C. Sintasan yang diperoleh untuk perlakuan A, B, dan C berturut-turut 37,16%; 71,69%; dan 46,42%. Oleh karena itu, untuk
memperoleh pertumbuhan dan sintasan yang baik, penebaran spat ke laut sebaiknya pada ukuran panjang cangkang ±10
mm.

KATA KUNCI: Pinctada maxima, pertumbuhan, sintasan, ukuran awal spat


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

M 07

KAJIAN POTENSI KELAUTAN UNTUK BUDIDAYA TIRAM MUTIARA (Pinctada maxima)


DI WILAYAH PESISIR KABUPATEN JEMBRANA-BALI

Apri I. Supii*), Ida Ayu Astarini**), dan Sudewi*)


*)
Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol
**)
Fakultas MIPA Universitas Udayana

ABSTRAK

Ketersediaan data dan peta tentang potensi kelautan dan perikanan di wilayah pesisir Kabupaten Jembrana dapat digunakan
sebagai dasar dalam merumuskan strategi dan kebijaksanaan pembangunan, pada tingkat nasional, regional maupun
lokal. Tujuan umum dari kajian ini adalah mengidentifikasi wilayah pesisir Kabupaten Jembrana yang berpotensi untuk
pengembangan tiram mutiara. Pengkajian dilakukan dengan metode eksplorasi dan wawancara. Berdasarkan hasil
pengkajian, secara umum daerah pesisir Jembrana dari Teluk Rening ke arah barat hingga Teluk Rabu layak untuk usaha
budidaya tiram mutiara. Lokasi usaha budidaya yang sangat baik adalah Teluk Dedari, Sumber Sari, Teluk Awen, dan Teluk
Rabu. Lokasi Munduk Asem dan Tanjung Pasir kurang sesuai untuk lokasi budidaya tiram mutiara, akan tetapi jika diinginkan,
budidaya dapat dilakukan pada jarak minimal 1 km dari bibir pantai. Pantai Pengambengan khususnya, tidak disarankan
untuk pengembangan usaha tiram mutiara karena merupakan kawasan industri pengalengan ikan. Lokasi pesisir Jembrana
dari Perancak ke arah timur kurang baik untuk pembudidayaan tiram mutiara karena merupakan samudera lepas (ocean)
dengan arus dan ombak yang kuat. Pemilihan lokasi harus menghindari muara sungai untuk menghindari pencemaran
serta fluktuasi sifat–sifat fisika air laut yang ekstrim akibat pengaruh aliran sungai.

KATA KUNCI: potensi kelautan, tiram mutiara, Pinctada maxima, Jembrana


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

LL 1

PERFORMANSI PERTUMBUHAN DAN KANDUNGAN KERAGINAN RUMPUT LAUT (Kappaphycus


alvarezii) DENGAN APLIKASI METODE BUDIDAYA VERTIKULTUR

Petrus Rani Pong-Masak dan Muhammad Tjaronge


Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros

ABSTRAK

Produksi rumput laut ditargetkan meningkat dari 2,6 juta ton per tahun sekarang ini menjadi 7,6 juta ton per tahun pada
2014, sehingga sangat dibutuhkan dukungan paket teknologi budidaya yang dapat diadopsi dan secara signifikan dapat
meningkatkan produktivitas usaha masyarakat pembudidaya. Umumnya pembudidaya rumput laut, Kappaphycus sp.
mengaplikasikan metode long line, di mana hanya bagian permukaan perairan saja yang menjadi lahan budidaya. Tujuan
penelitian ini adalah mengetahui performansi pertumbuhan dan kandungan keraginan rumput laut, Kappaphycus alvarezii
dengan aplikasi metode budidaya vertical line (vertikultur). Perlakuan adalah kedalaman penanaman bibit secara vertikal
bertingkat dari permukaan perairan, yakni 0,3 m; 1 m; 2 m; 3 m; 4 m; dan 5 m, di mana setiap perlakuan dilakukan
pengulangan sebanyak 3 kali. Rumput laut pada setiap kedalaman perlakuan diukur pertumbuhannya pada awal dan
setiap interval waktu 15 hari selama 75 hari pemeliharaan. Rumput laut juga dianalisis kandungan keraginannya pada
setiap perlakuan masing-masing dengan 3 kali ulangan. Data yang diperoleh dianalisis ragam dengan bantuan perangkat
lunak statistik ver. 3,1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan dan kandungan keraginan rumput laut, K.
alvarezii yang dibudidayakan dengan metode vertikultur tidak berbeda antar perlakuan kedalaman 0,3 m; 1 m; 2 m; 3 m;
4 m; dan 5 m dari permukaan perairan. Oleh karena itu, metode vertikultur rumput prospektif diaplikasikan untuk
meningkatkan produktivitas lahan budidaya sampai dengan 468,75% dibandingkan dengan metode long line dengan
tidak mempengaruhi kandungan keraginan.

KATA KUNCI: Kappaphycus alvarezii, pertumbuhan, kandungan keraginan, vertikultur

LL 2

PERBANYAKAN RUMPUT LAUT (Gracilaria verrucosa) DENGAN KULTUR JARINGAN


MENGGUNAKAN WADAH YANG BERBEDA

Siti Fadilah, Rosmiati, dan Emma Suryati


Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros

ABSTRAK

Perbanyakan rumput laut (Gracilaria verrucosa) dengan kultur jaringan telah dilakukan. Tetapi belum ada informasi
mengenai penggunaan wadah yang berbeda dalam kultur jaringan rumput laut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh penggunaaan wadah yang berbeda dalam kultur jaringan rumput laut G. verrucosa. Rumput laut dikumpulkan
dari Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Talus rumput laut yang berukuran 1 cm disterilisasi dengan Betadine 1% dan
campuran antibiotik 0,1%. Eksplan diinokulasi ke dalam media cair yang diperkaya PES. Botol diisi eksplan dengan
kepadatan 100/200 mL dan diletakkan di atas shaker, sedangkan stoples diisi eksplan dengan kepadatan 500/1000 mL
dan diberi aerasi. Media diganti setiap minggu selama 8 minggu dan kelangsungan hidup diamati setiap minggu. Pengamatan
panjang tunas, jumlah tunas dan jumlah cabang dilakukan pada akhir penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
sintasan eksplan pada stoples lebih rendah (81,70%) daripada botol (90,75%). Panjang tunas pada kedua wadah tidak
berbeda jauh yaitu 2,40 mm pada stoples dan 2,42 mm pada botol. Sedangkan jumlah tunas dalam stoples (7,50) lebih
banyak dibandingkan dalam botol (7,03). Jumlah cabang lebih banyak dalam stoples yaitu mencapai 26,70 dibandingkan
dalam botol yang hanya 6,20.

KATA KUNCI: botol, kepadatan eksplan, stoples


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

LL 3

AKTIVITAS PROMOTER DAN KEBERHASILAN TRANSFER GEN PADA RUMPUT LAUT,


Kappaphycus alvarezii

Muh. Alias L. Rajamuddin*), Alimuddin**), Utut Widyastuti***),Irvan Faizal****), dan Komar Sumantadinata**)
*)
Jurusan Budidaya Perikanan Politeknik Pertanian Negeri Pangkep, Makassar
**)
Departemen Budidaya Perairan-FPIK, Institut Pertanian Bogor
***)
Departemen Biologi Tumbuhan-FMIPA, Institut Pertanian Bogor
****)
Laboratoria Pengembangan Teknologi Industri Agro dan Biomedika (LAPTIAB) - BPPT, Serpong

ABSTRAK

Transgenesis adalah rekayasa genetik melalui transfer gen yang bertujuan untuk mengintroduksikan gen penyandi
protein yang mengkodekan suatu karakter seperti perbaikan pertumbuhan, daya tahan penyakit, dan perbaikan kualitas
daging ikan/udang atau karagenan rumput laut. Sebagai tahap awal dalam rangka produksi rumput laut transgenik, penelitian
ini bertujuan menguji aktivitas dan keberhasilan transfer gen GFP (green fluorescent protein) sebagai penanda. Empat
jenis konstruksi gen yang dikendalikan oleh 4 jenis promoter berbeda (cauliflower mosaicvirus/CaMV, cytomegalovirus/
CMV, b-actin, dan keratin) ditransfer ke embriogenik somatik rumput laut dengan metoda elektroporasi menggunakan gen
pulsher (BIO RAD) dengan voltase: 300 V/cm, panjang kejutan: 0,5 mili/second, jumlah kejutan: 4 kali dan interval kejutan:
0,1 second. Aktivitas promoter ditentukan dengan menganalisis tingkat ekspresi gen GFP menggunakan mikroskop
fluoresen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa CaMV memperlihatkan intensitas pendaran kuat, persentase sel berpendar
rata-rata 10%, CMV jumlah sel berpendar rata-rata 40% dengan intensitas pendaran sedang dan lemah. Keratin dan b-actin,
intensitas pendaran sedang dengan jumlah sel berpendar rata-rata 5%–10%. Pola ekspresi keempat promoter relatif sama,
mulai berpendar jam pertama – kedua setelah elektroporasi (s.e), puncak jam ketiga – keenam s.e dan stabil setelah jam ke-
9 sampai ke-12 s.e. Promoter CMV dan metode elektroporasi dapat digunakan untuk produksi rumput laut transgenik.

KATA KUNCI: Kappaphycus alvarezii, transgenesis, promoter, ekspresi gen

LL 4

PERBAIKAN MUTU GENETIKA RUMPUT LAUT, Kappaphycus alvarezii (DOTY)


MELALUI HIBRIDISASI DAN FUSI PROTOPLAS SECARA IN VITRO

Emma Suryati, Rosmiati, dan St. Fadilah.


Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros

ABSTRAK

Upaya perbaikan mutu genetika rumput laut dilakukan dalam rangka menunjang program pemerintah untuk meningkatkan
kualitas dan produksi rumput laut pada umumnya. Hibridisasi merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk
menggabungkan dua varietas rumput laut yang berbeda dapat dilakukan melalui fusi protoplas. Isolasi protoplas dilakukan
dengan cara kimia yaitu dengan melisis jaringan rumput laut dengan campuran enzim selulase dan macerozim dengan
beberapa perbandingan. Larutan pencuci dan media kultur yang digunakan antara lain media conwy yang diperkaya
dengan senyawa kalsium, ZPT, dan sumber karbon yang berbeda. Fusi protoplas dilakukan dengan cara kimia yaitu
melalui mediasi dengan PEG 6000 dalton yang dipelihara pada media kultur cair dan semi solid. Fusan yang diperoleh
memperlihatkan pertumbuhan yang optimum pada media yang diperkaya dengan IAA dengan konsentrasi 0,4 mg/L
dengan perbandingan penetrasi cahaya L:D = 12:12.

KATA KUNCI: mutu genetik, kappaphycus alvarezii, hibridisasi, fusi protoplas


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

LL 5

STUDI KELAYAKAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT DAN HUBUNGANNYA DENGAN EXISTENSI


KAWASAN KONSERVASI DI KECAMATAN SUMUR, KAWASAN TAMAN NASIONAL UJUNG KULON
MENGGUNAKAN SISTIM INFORMASI GEOGRAFIS

Hatim Albasri, I Nyoman Radiarta, Erlania, dan Achmad Sudradjat


Pusat Riset Perikanan Budidaya, Jakarta

ABSTRAK

Sebagai salah satu produk unggulan di sektor perikanan budidaya, rumput laut telah dikembangkan secara skala besar
namun masih tradisional oleh masyarakat pesisir di Indonesia. Di kawasan peyangga (traditional use zone) Taman Nasisonal
Ujung Kulon (TNUK), khususnya di Kecamatan Sumur, usaha budidaya rumput laut menjadi salah satu andalan bagi
masyarakat lokal sebagai salah satu mata pencaharian tambahan. Permasalahan utama yang saat ini dialami di tingkat
pembudidaya rumput laut adalah serangan penyakit rumput laut dan konflik spasial yang berkaitan dengan kawasan
wisata dan kawasan konservasi TNUK. Untuk menjawab permasalahan budidaya dan konflik penggunaan ruang pesisir,
manajemen pengelolaan kawasan budidaya rumput laut menjadi hal yang penting dilakukan untuk menjamin
keberlangsungan aktifitas budidaya rumput laut di Kecamatan Sumur, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten dan juga
meminimalkan dampak negatif masing-masing aspek (budidaya rumput laut, konservasi dan wisata). Untuk itu, tujuan dari
penelitian ini adalah mengkaji tingkat kelayakan wilayah pesisir Kecamatan Sumut, Pandeglang untuk pengembangan
budidaya rumput laut dengan mengaitkan keberadaan kawasan konservasi dan kawasan wisata. Penelitian telah dilakukan
pada bulan Maret 2010 dimana pengumpulan data mencakup sampling kualitas air, kondisi sosek-ekonomi, dan status
wilayah kawasan. Data primer diperoleh dengan pengukuran in situ dimana sampling stasiun ditentukan dengan
menggunakan grid sampling sistem secara acak sehingga didapatkan 10 titik sampling. Data yang dikumpulkan kemudian
dianalisis secara spasial dengan Sistem Informasi Geografis (SIG). Buffering analisis dilakukan untuk membatasi areal
budidaya pada kedalaman tertentu dan jarak terhadap kawasan konservasi dan kawasan wisata dan feature-feature
pesisir unik lainnya. Pada umumnya, parameter-parameter yang diukur menunjukkan kondisi yang optimal untuk rumput
laut. Rekomendasi pencegahan penyakit, klasifikasi kesesuaian kawasan budidaya rumput laut dan manajemen ruang
budidaya, wisata dan konservasi menjadi keluaran dari penelitian ini sebagai rekomendasi kepada pemerintah daerah
Pandeglang, pembudidaya rumput laut, dan pihak terkait lainnya untuk pemanfaatan kawasan ini yang memenuhi asas
keberlanjutan dan ramah lingkungan.

KATA KUNCI: rumput laut, taman nasional ujung kulon, SIG, Pandeglang
Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

LL 6

KERAGAMAN MORFOLOGI EMBRIO SOMATIK PADA RUMPUT LAUT Kappaphycus lavarezii (DOTY)
SELAMA PEMELIHARAAN PADA MEDIA CAIR DAN SEMI SOLID YANG
DIPERKAYA DENGAN IAA

Emma Suryati, Rosmiati, dan Siti Fadilah


Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros

ABSTRAK

Pekembangan embrio somatik rumput laut Kappaphycus alvarezii (Doty) memperlihatkan keragaman morfologi yang
berbeda pada setiap fase pertumbuhan sejak induksi hingga menjadi globular embrio yang dipelihara pada media semi
solid. Medium kultur yang digunakan adalah media Conwy semi solid dengan kepadatan 0,8% agar yang diperkaya
dengan zat perangsang tumbuh Indol acetic acid (IAA) 0,4 mg/L. Pemeliharaan dilakukan selama 8 minggu, pengggantian
media dilakukan setiap minggu dengan komposisi media yang sama. Induksi kalus dan embrio terjadi pada eksplan
rumput laut pada minggu pertama yang ditandai dengan tumbuhnya filamen transparan, atau berwarna merah kecoklatan
yang timbul pada permukaan jaringan atau kadang-kadang membentuk organ yang belum sempurna pada bagian lainnya.
Embrio dan filamen dapat dipindahkan pada media kultur yang baru agar dapat berkembang dengan baik. Pembentukan
anakan diawali dari filamen yang menyatu membentuk globular kemudian memajang dan menyatu menjadi embrio.
Persentase sintasan eksplan pada induksi kalus masih rendah hanya sekitar 30%-40%, namun filamen dan embrio yang
terbentuk dapat diperbanyak hingga menghasilkan anakan yang seragam dalam waktu yan bersamaan.

KATA KUNCI: keragaman, morfologi, embrio somatik, Kappaphycus alvarezii

LL 7

KAJIAN INDUKSI KALUS RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii


UNTUK PRODUKSI EMBRIOGENESIS SOMATIK

Muh. Alias L. Rajamuddin*), Andi Asdar Jaya*), Ridwan*), dan Emma Suryati**)
*)
Jurusan Budidaya Perikanan Politeknik Pertanian Negeri Pangkep, Makassar
**)
Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros

ABSTRAK

Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan bibit yang tidak berkesinambungan pada
budidaya rumput laut Kappaphycus alvarezii, adalah penyediaan benih hasil kultur jaringan melalui produksi embriogenesis
somatik dari induksi kalus. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kemampuan jaringan rumput laut membentuk kalus dan
laju pertumbuhan kalus dengan beberapa konsentrasi agar media induksi dan rasio zat pengatur tumbuh (ZPT) serta
mengevaluasi perkembangan sel sampai menjadi filamen. Penelitian ini terdiri atas dua tahap yaitu: Tahap (1) adalah
induksi kalus dengan rasio ZPT asam indol asetat (IAA) : kinetin terdiri (0,5:0,0 mg/L; 1,0:1,0 mg/L; dan 2,0:0,2 mg/L)
dengan konsentrasi agar media induksi (0,6%; 0,8%; 1,0%; dan 1,5%). Tahap (2) adalah regenerasi massa sel embriogenik
somatik, pada rasio IAA: kinetin (0,1:1,0 mg/L; 0,0:0,1 mg/L) dengan konsentrasi agar (0,4%; 0,6%; dan 0,8%). Perkembangan
sel-sel embriogenik diamati pada kultur cair. Pada tahap induksi kalus, rasio IAA : kinetin = 1:1 mg/L dengan konsentrasi
agar media 0,8% dan 1,0% menghasilkan persentase induksi kalus tertinggi (90%). Pada tahap regenerasi massa sel
embriogenik, ZPT tidak berpengaruh signifikan terhadap perkembangan massa sel embriogenik tetapi pada konsentrasi
agar 0,6% dan 0,4% memperlihatkan perkembangan lebih tinggi (rata-rata diameter massa sel 4-5 mm). Pada media cair,
perkembangan sel-sel embriogenik somatik dari single cell ukuran 3-4 mm menjadi filamen-filamen ukuran rata-rata 0,5 mm
dapat dicapai dalam satu bulan kultur. Keberhasilan produksi sel embriogenik somatik rumput laut dapat dijadikan acuan
dalam menghasilkan rumput laut muda dan pada fase ini dapat dijadikan agen introduksi gen pada teknologi transgenesis.

KATA KUNCI : Kappaphycus alvarezii, kalus, embriogenesis somatik


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

LL 8

ANALISIS DATA DUKUNG STRATEGI PENGEMBANGAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT DI PERAIRAN


PESISIR KABUPATEN MAMUJU PROVINSI SULAWESI BARAT

Mudian Paena, Hasnawi, dan Akhmad Mustafa


Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros

ABSTRAK

Kabupaten Mamuju sebagai salah satu wilayah yang memiliki daerah pesisir pantai yang cukup luas, memiliki potensi yang
besar untuk dimanfaatkan sebagai wilayah pengembangan perikanan termasuk perikanan budidaya rumput laut
(Kappaphycus alvarezii) guna menunjang kehidupan ekonomi masyarakat setempat. Namun demikian pembangunan
perikanan budidaya rumput laut tersebut harus dilakukan dengan strategi yang tepat sebagai pedoman dalam upaya
pengembangan budidaya rumput laut di Kabupaten Mamuju. Sehubungan dengan hal tersebut maka dalam menyusun
strategi yang benar dan tepat dibutuhkan data dukung dan hasil analisisnya. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi
data dukung pengembangan rumput laut, menganalisisnya dan merekomendasikan suatu strategi pengembangan rumput
laut di Kabupaten Mamuju. Pemanfaatan sistem informasi geografis dan survai lapangan merupakan metode pada penelitian
ini. Bahan yang digunakan adalah peta digital Rupa bumi Indonesia wilayah Kabupaten Mamuju dan peralatan survai
lainnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa luas areal budidaya rumput laut eksisitng dan potensi pengembangan di
perairan Kabupaten Mamuju masing-masing 5,780.13 ha dan 3,143.24 ha, produksi pada tahun 2008 sebesar 750 ton,
denga metode budidaya tali panjang (long line). Namun demikain kelembagaan masyarakat dan keuangan serta sarana
prasarana masih perlu ditingkatkan, sedangkan strategi pengembangan budidaya rumput laut di Kabupaten Mamuju
dituangkan dalam program-program pokok pengembangan.

KATA KUNCI: strategi pengembangan, rumput laut, Kabupaten Mamuju

LL 9

PENGARUH PERBANDINGAN KOMBINASI TEPUNG RUMPUT LAUT (KARAGENAN) DAN TEPUNG


TERIGU DALAM PEMBUATAN PRODUK CRAKERS

Dewita, Mery Sukmiwati, dan Muamar Khadafi


Universitas Riau

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui cara pembuatan crakers dengan penambahan tepung rumput laut serta
pengaruhnya terhadap mutu crakers dan penerimaan konsumen terhadap crakers ini. Sedangkan manfaat penelitian ini
adalah diharapkan dapat meningkatkan penggunaan tepung rumput laut dalam keanekaragaman konsumsi pangan dan
meningkatkan kandungan gizi dari crakers. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen yaitu
melakukan serangkaian percobaan pembuatan crakers serta menyusun formula crakers dengan berbagai tingkat
penambahan tepung rumput laut. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial
dengan satu faktor dengan empat taraf, yaitu: perlakuannya A-0 (0% tepung rumput laut dan 100% tepung terigu), A-1 (15%
tepung rumput laut dan 85% tepung terigu), A-2 (30% tepung rumput laut dan 70% tepung terigu), A-3 (45% tepung rumput
laut dan 55% tepung terigu) dengan ulangan sebanyak tiga kali. Parameter mutunya adalah kandungan zat gizi (air, lemak,
protein, abu, dan karbohidrat) dan uji organoleptik. Berdasarkan hasil penelitian didapat bahwa penambahan tepung
rumput laut memberikan pengaruh yang sangat nyata pada kandungan gizi dari crakers (kadar air, kadar abu, dan kadar
karbohidrat) dan tidak berpengaruh nyata pada kadar protein. Dan berdasarkan uji organoleptik penambahan tepung
rumput laut berpengaruh sangat nyata pada warna, aroma, rasa, dan berpengaruh nyata terhadap rupa dan tekstur. Produk
crakers kesemua perlakuan pada umumnya memenuhi persyaratan SNI No, 01-2973–1992 dan SII 0177–1990. Produk
crakers yang paling disukai oleh konsumen adalah crakers dengan penambahan tepung rumput laut 15% (A-1)dengan
komposisi tepung rumput laut dan tepung terigu 15% dqn 85%.

KATA KUNCI: rumput laut, crakers, gizi, uji organoleptik


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

LL 10

DISTRIBUSI KEBUTUHAN KAPUR BERDASARKAN NILAI SPOS TANAH UNTUK TAMBAK TANAH SULFAT
MASAM DI KABUPATEN MAMUJU PROVINSI SULAWESI BARAT

Akhmad Mustafa, Rachmansyah, dan Anugriati


Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros

ABSTRAK

Kabupaten Mamuju, Provinsi Sulawesi Barat telah ditetapkan sebagai salah satu Wilayah Pengembangan Kawasan
Minapolitan di Indonesia, namun tanah tambaknya yang tergolong tanah sulfat masam yang dicirikan oleh pH tanah yang
rendah serta potensi kemasaman dan unsur toksik yang tinggi dapat menjadi faktor pembatas dalam peningkatan
produktivitas tambaknya. Oleh karena itu, dilakukan penelitian yang bertujuan untuk menentukan distribusi kebutuhan
kapur berdasarkan nilai SPOS tanah tambak agar produktivitas tambak di Kabupaten Mamuju dapat meningkat dan
berkelanjutan. Penelitian dilaksanakan di kawasan pertambakan Kabupaten Mamuju dengan metode survei. Peubah
kualitas tanah yang diukur adalah: pHF, pHFOX, SP, SKCl, SPOS, pirit, bahan organik dan berat volume tanah. Kapur pertanian
(kaptan) dan dolomit yang ada di pasaran diuji nilai netralisasi dan efisiensi netralisasinya untuk dipertimbangkan dalam
penentuan faktor konversi dan kebutuhan kapur. Kebutuhan kapur didasarkan pada nilai SPOS tanah dengan
mempertimbangkan berat volume tanah serta nilai netralisasi dan efisiensi netralisasi kapur. Program ArcView 3.2 digunakan
untuk pembuatan peta distribusi SPOS tanah, berat volume tanah dan kebutuhan kapur dengan memanfaatkan citra ALOS
AVNIR-2 akuisisi 28 Juli 2009. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanah tambak di Kabupaten Mamuju dicirikan oleh
berat volume tanah berkisar antara 0,30 dan 1,71 g/cm3 dengan rata-rata 0,884 g/cm3 dan SPOS tanah berkisar antara 0,15
dan 19,28% dengan rata-rata 7,614%. Nilai netralisasi dan efisiensi netralisasi dolomit dan kaptan yang beredar di pasaran
masing-masing 95,09 dan 90,02% serta 44,60 dan 36,78% sehingga memiliki faktor konversi berturut-turut sebesar 2,36
dan 3,02. Kebutuhan kapur CaCO3 untuk tambak di Kabupaten Mamuju berkisar antara 1,32 dan 113,29 ton/ha dimana
kebutuhan kapur yang tinggi dijumpai di bagian utara dan selatan Kabupaten Mamuju.

KATA KUNCI: kebutuhan kapur, S POS , tanah, tambak, Kabupaten Mamuju

LL 11

ANALISIS KELAYAKAN PERAIRAN UNTUK BUDIDAYA LAUT DI PROVINSI MALUKU: SUATU KAJIAN
GLOBAL DENGAN MEMANFAATKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DAN
SISTEM INFORMASI GEOGRAFI

I Nyoman Radiarta, Adang Saputra, dan Achmad Sudradjat


Pusat Riset Perikanan Budidaya, Jakarta

ABSTRAK

Untuk mendukung peningkatan produksi budidaya laut yang berkelanjutan, ketersediaan data dan informasi mengenai
tingkat kelayakan perairan merupakan data dasar yang sangat penting. Perkembangan terknologi penginderaan jauh
(inderaja) semakin memberikan peluang sekaligus tantangan untuk dimanfaatkan secara maksimal bagi pengelolaan
sumberdaya perikanan budidaya. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis spasial potensi kawasan budidaya
laut dengan menggunakan data penginderaan jauh (inderaja) dan sistem informasi geografis (SIG). Kajian global dalam
penelitian ini dilakukan dengan memanfaatkan ketersediaan data yang diperoleh secara gratis melalui internet. Data
utama yang digunakan meliputi: kondisi lingkungan perairan (kedalaman perairan, klorofil-a dan suhu permukaan laut),
infrastruktur (jalan) dan sebaran penduduk. Analisis spasial dengan menggunakan SIG dilakukan dengan menggabungkan
seluruh parameter penting yang mempengaruhi kegiatan budidaya laut. Hasil analisis menampilkan tingkat kelayakan
perairan untuk tiga kategori budidaya laut yaitu: budidaya rumput laut, budidaya ikan dalam keramba jaring apung (KJA)
dan budidaya kekerangan. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi data dasar perencanaan lebih lanjut untuk mendukung
pengembangan budidaya laut di Provinsi Maluku.

KATA KUNCI: budidaya laut, analisis spasial, inderaja, SIG, Maluku


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

LL 12

IDENTIFIKASI POTENSI WILAYAH DALAM RANGKA PENGEMBANGAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN


GORONTALO UTARA

Siti Hajar Suryawati*), Adang Saputra**), Hatim Albasri**), dan I Nyoman Radiarta**)
*)Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, Jakarta
**) Pusat Riset Perikanan Budidaya, Jakarta

ABSTRAK

Dalam rangka mencapai visi dan misi Kementerian Kelautan dan Perikanan yaitu menjadi negara produsen perikanan
terbesar di dunia pada tahun 2014 dan mensejahterakan masyarakat maka perlu dilakukan percepatan pembangunan
perikanan dan pedesaan. Dalam hal ini termasuk di wilayah Kabupaten Gorontalo Utara yang sebagian besar didominasi
oleh sektor perikanan dengan mengembangkan kawasan minapolitan. Untuk mengembangkan kawasan minapolitan perlu
mengidentifikasi potensi wilayah tersebut. Tulisan ini bertujuan untuk mengidentifikasi potensi wilayah Kabupaten
Gorontalo Utara dalam rangka pengembangan kawasan minapolitan. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini
analisis Location Quotient (LQ), analisis komoditas unggulan dan andalan, dan analisis usaha perikanan. Hasil kajian
menunjukkan bahwa wilayah Kabupaten Gorontalo Utara merupakan basis beberapa komoditas perikanan seperti: rumput
laut, udang dan bandeng. Namun demikian hasil dari beberapa identifikasi dengan menggunakan alat analisis, rumput laut
merupakan komoditas unggulan wilayah Kabupaten Gorontalo Utara.

KATA KUNCI: minapolitan, analisis location quotient, analisis komoditas, rumput laut, udang,
bandeng

LL 13

PELUANG PENINGKATAN PENDAPATAN DENGAN PENINGKATAN PRODUKTIVITAS TAMBAK


TERBENGKALAI (STUDI KASUS DI DESA BANGSRI KABUPATEN BREBES)

Yayan Hikmayani*), Wartono Hadie**), Evi Tahapari***), dan Sularto***)


*)
Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, Jakarta
**)
Pusat Riset Perikanan Budidaya, Jakarta
***)
Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar, Sukamandi

ABSTRAK

Kegiatan Iptekmas yang dilakukan pada tahun 2009 melalui kegiatan kaji terap yaitu Introduksi teknologi budidaya patin
di tambak bersalinitas rendah telah dilakukan di Kabupaten Brebes. Introduksi kaji terap dilakukan dilahan seluas 2.400 m2
selama 3 bulan pemeliharaan. Hasil dari kaji terap tersebut menunjukkan bahwa sintasan, konversi pakan serta pertumbuhan
yang cukup baik. Di samping itu, hasil perhitungan analisa usaha dari kajiterap lebih baik dibanding budidaya udang dan
bandeng yang saat ini diusahakan oleh pembudidaya. Diharapkan dari hasil kegiatan ini dapat ditindaklanjuti dengan
upaya pengembangan usaha budidaya minimal dalam satu siklus usaha dalam satu tahun dengan memilih ikan patin
sebagai salah satu alternatif komoditas budidaya di tambak.

KATA KUNCI: produktivitas tambak, peningkatan pendapatan, tambak terbengkalai, ikan


patin, Kabupaten Brebes
Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

LL 14

KERAGAMAN KUALITAS TANAH BERDASARKAN JENIS PENUTUP/PENGGUNAAN LAHAN DI


KAWASAN PESISIR KABUPATEN MAMUJU PROVINSI SULAWESI BARAT

Akhmad Mustafa, A. Marsambuana Pirzan, dan Kamariah


Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros

ABSTRAK

Lahan rawa di kawasan pesisir memiliki kondisi ekstrem sehingga jenis penutup/penggunaan lahan dapat bervariasi dan
memiliki keragaman kualitas tanah. Oleh karena itu, dilakukan penelitian yang bertujuan mengetahui keragaman kualitas
tanah pada jenis penutup/penggunaan lahan berbeda yang didasarkan pada sekumpulan peubah kualitas tanah yang
dianalisis statistik secara simultan. Pengukuran dan pengambilan contoh tanah di kawasan pesisir Kabupaten Mamuju,
Provinsi Sulawesi Barat dilakukan pada penutup/penggunaan lahan api-api (Avicennia alba), bakau (Rhizophora apiculata),
paku laut (Acrostichum aureum), nipah (Nypa fruticans), kelapa (Cocos nucifera), sagu (Metroxylon sagu), padi (Oryza
sativa), rumput, campuran vegetasi mangrove dan tanpa vegetasi (bekas vegetasi mangrove atau tambak), masing-
masing pada kedalaman tanah 0-0,25 m dan 0,50-0,75 m. Kualitas tanah yang diukur langsung di lapangan adalah pHF,
pHFOX dan potensial redoks, sedangkan yang dianalisis di laboratorium adalah pHKCl, pHOX, SP, SKCl, SPOS, TPA, TAA, TSA, pirit,
karbon organik, N-total, PO4, Fe, Al dan tekstur. Analisis Kluster dengan Metode Hirarki atau Berjenjang digunakan untuk
mengelompokkan jenis penutup/penggunaan lahan berdasarkan beberapa peubah kualitas tanah. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa, pada berbagai jenis penutup/penggunaan lahan di kawasan pesisir Kabupaten Mamuju dijumpai
tanah sulfat masam yang diklasifikasikan sebagai Sulfaquent, Hydraquent dan Sulfihemits untuk kategori Kelompok
Besar. Pada kedalaman 0-0,25 m tanah jenis penutup/penggunaan lahan api-api, bakau, nipah, rumput, kelapa dan tanpa
vegetasi (Kelompok I) memiliki kesamaan dan tanah jenis penutup/penggunaan lahan sagu, campuran dan padi (Kelompok
III) juga memiliki kesamaan akan tetapi kedua kelompok tersebut memiliki ketidaksamaan dan juga ketidaksamaan dengan
jenis penutup/penggunaan lahan paku laut. Pada kedalaman 0,50-0,75 m tanah vegetasi api-api, bakau, nipah, tanpa
vegetasi, sagu, rumput, kelapa dan campuran memiliki kesamaan tetapi jenis-jenis penutup/penggunaan lahan tersebut
memiliki ketidaksamaan dengan jenis penutup/penggunaan lahan paku laut dan padi, sedangkan tanah jenis penutup/
penggunaan lahan paku dan padi juga memiliki ketidaksamaan atau keragaman.

KATA KUNCI: keragaman, tanah, penutup/penggunaan lahan, pesisir, Kabupaten Mamuju


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

LL 15

KESESUAIAN LOKASI PENGEMBANGAN BUDIDAYA TAMBAK DI KAWASAN PESISIR KABUPATEN


PONTIANAK, KALIMANTAN BARAT

Utojo, Akhmad Mustafa, dan Hasnawi


Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros

ABSTRAK

Penelitian ini memanfaatkan teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk menentukan lokasi yang layak bagi
pengembangan budidaya tambak di Kabupaten Pontianak Kalimantan Barat. Data sekunder yang diperoleh berupa data
iklim, peta Rupabumi Indonesia kawasan Pontianak skala 1 : 50.000, citra digital ALOS AVNIR-2 dan peta batimetri skala 1
: 200.000. Data primer diperoleh dengan metode survei di lokasi penelitian yaitu kualitas air dan tanah serta pasang surut.
Penentuan stasiun pengamatan dilakukan secara acak dan sistematik. Setiap lokasi pengambilan contoh ditentukan
posisi koordinatnya dengan alat Global Positioning System (GPS). Data lapangan (fisiko-kimia air dan tanah), data sekunder,
dan data citra satelit digital, dianalisis secara spasial dengan metode PATTERN menggunakan SIG. Berdasarkan hasil
survei dan evaluasi kesesuaian budidaya tambak di wilayah pesisir Kabupaten Pontianak seluas 497,077 ha. Pada umumnya
yang tergolong sangat sesuai (114,986 ha), cukup sesuai (168,819 ha), tersebar di wilayah pesisir Kecamatan Sungai
Pinyuh, Sungai Kunyit, Mempawah Hilir dan Mempawah Timur, sedangkan yang kurang sesuai (213,272 ha), terdapat di
Kecamatan Segedong dan Siantan.

KATA KUNCI: kesesuaian lahan, tambak, Pontianak

LL 16

HUBUNGAN ANTARA KUALITAS AIR DAN KANDUNGAN KLOROFIL DI TAMBAK KABUPATEN


MAMUJU PROVINSI SULAWESI BARAT

Andi Marsambuana Pirzan dan Akhmad Mustafa


Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros

ABSTRAK

Klorofil memegang posisi kunci dalam reaksi fotosintesis yang menentukan produktivitas suatu perairan. Tingkat
produktivitas perairan dipengaruhi oleh bebagai faktor lingkungan baik yang bersifat fisik maupun yang bersifat kimia.
Oleh karena itu, dilakukan penelitian yang bertujuan untuk menelaah hubungan antara kualitas air dan klorofil-a. Penelitian
dilaksanakan di kawasan pertambakan Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat. Pelaksanaan penelitian dengan melakukan
pengukuran langsung di lapangan dan pengambilan contoh air untuk dianalisis di laboratorium. Sebagai peubah tidak
bebas dalam penelitian ini adalah kandungan klorofil, sedangkan peubah bebas adalah suhu, oksigen terlarut, salinitas,
pH, amonia, nitrit, nitrat, fosfat, dan bahan organik total. Pemilihan model regresi “terbaik” didasarkan pada metode kuadrat
terkecil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan klorofil-a di tambak Kabupaten Mamuju berkisar antara 0,046
dan 22,047 dengan rata-rata 6,398 µg/L. Terdapat hubungan yang nyata antara kandungan klorofil-a dan oksigen terlarut,
pH, amonia, nitrat, nitrit, dan fosfat, walaupun dengan model regresi yang berbeda.

KATA KUNCI: klorofil, kualitas air, tambak, Sulawesi Barat


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

LL 17

KOMPOSISI DAN KELIMPAHAN MAKROBENTOS DI KOLAM


YANG DIPUPUK DENGAN KOMPOSISI BERBEDA

Yohanna Retnaning Widyastuti dan Dewi Puspaningsih


Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar, Bogor

ABSTRAK

Penelitian menggunakan kolam berukuran 20 m2 dengan dasar berlumpur berjumlah 9, di Instalasi Riset Lingkungan
Perikanan Budidaya Air Tawar dan Toksikologi di Cibalagung, BRPBAT, Bogor. Percobaan dirancang secara acak lengkap
dengan 3 perlakuan dan 3x ulangan. Perlakuan adalah perbandingan komposisi pupuk N:P yang berbeda yaitu 4:5; 5:4;
dan 6:3. Sampel makrobentos diambil dari setiap kolam secara mingguan dari masa persiapan sampai dengan masa
pemeliharaan benih ikan Mas (Cyprinus carpio L.). Proses pengayakan termasuk penyeleksian, identifikasi, dan
penghitungan dilakukan di laboratorium. Parameter kualitas air yang diamati adalah suhu, pH, DO, kecerahan, total bahan
organik (TOM), dan BOD5. Analisis data dilakukan secara deskriptif untuk komposisi jenis, penghitungan kelimpahan,
indeks diversitas dan keseragaman spesies. Uji t digunakan untuk melihat perbedaan jenis dan jumlah spesies yang
ditemukan. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui komposisi dan kelimpahan jenis makrobentos dalam kolam ikan
dengan komposisi pupuk yang berbeda. Hasil identifikasi diperoleh 3 jenis makrobentos yaitu Limnaea sp., Chironomus
sp., dan Nematoda. Spesies dominan adalah Limnaea sp. Indeks diversitas rendah (H’<1) dan komunitas makrobentos
tidak beragam (E<0,75). Tidak terdapat perbedaan nyata (P>0,05) dari jenis dan jumlah makrobenthos dari kolam ikan
dengan komposisi pupuk berbeda. Aplikasi pupuk dengan komposisi 6N:3P perlu diwaspadai karena memiliki kadar BOD5
8,02–8,5 mg/L.

KATA KUNCI: makrobentos, kolam, pupuk, komposisi berbeda

LL 18

PENELITIAN KANDUNGAN MINYAK NABATI MIKROALGAE JENIS Dunaliella SP.


BERDASARKAN UMUR PERTUMBUHANNYA

Sri Amini
Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan Perikanan, Jakarta

ABSTRAK

Penelitian umur dan kandungan minyak nabati mikroalga jenis Dunaliella sp. telah dilakukan dilaboratorium Balai Besar
Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, Jakarta. Kultivasi Dunaliella sp. dilakukan di dalam bak-
bak ukuran 100 liter dengan 3 kali ulangan dengan menggunakan media air laut yang berkadar garam 25 ppt dan diberi
pupuk Conwy. Kultur ini ditempatkan diluar ruangan, diaerasi terus-menerus dan cahaya yang dibutuhkan digunakan
sinar matahari sebagai proses fotosintesis. Pengamatan pertumbuhan sel dihitung kepadatan selnya setiap 2 hari sekali
kemudian biomassa dipanen setiap 5 hari sekali untuk dianalisa kandungan minyaknya. Analisis kandungan minyak nabati
Dunaliella sp. dengan menggunakan cara modifikasi (Banerjee et al., 2002 dan Dayananda et al., 2006). Sebagai perlakuan
analisis kandungan minyak nabati digunakan cara ekstraksi minyak menggunakan pelarut hexana dan petroleumeter.
Hasil penelitian menununjukkan kandungan minyak tertinggi terdapat pada umur pertumbuhan 5 hari yaitu 4,60%
menggunakan perlakuan pelarut hexana, kemudian 6,00% dengan pelarut petroleumeter dengan pertumbuhan kepadatan
sel = log 6,0 sel/mL. Secara uji statistik ekstraksi minyak nabati menggunakan perlakuan pelarut hexana dan petroleum
menunjukkan hasil yang berbeda nyata.

KATA KUNCI: mikroalga, Dunaliella, ekstraksi, minyak nabati


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

LL 19

KETAHANAN PANGAN DI DESA RAWAN PANGAN DILIHAT DARI KONSUMSI IKAN


STUDI KASUS DESA MERAKAN

Rani Hafsaridewi dan Yayan Hikmayani


Balai Besar Riset Sosial Ekononomi Kelautan dan Perikanan, Jakarta

ABSTRAK

Beberapa daerah di Indonesia masih berstatus daerah rawan pangan, salah satunya adalah Desa Merakan di
daerah Jawa Timur. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ketahanan pangan di desa rawan pangan dilihat dari
konsumsi ikan. Penelitian dilakukan di lokasi yang dinyatakan rawan pangan oleh Badan Ketahanan Pangan, Departemen
Pertanian. Metode penelitian menggunakan metode survei. Pengambilan responden dilakukan secara purposive sampling
terhadap masyarakat. Pengolahan data dilakukan secara deskriptif. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa di Desa
Merakan ketahanan pangan ikani masih rentan, dengan skor 19,37. Upaya yang harus dilakukan agar Desa Merakan ini
menjadi tahan pangan adalah dengan menjaga ketersediaan pangan dan juga stbilitas pangan di daerah tersebut. Topografi
Desa Merakan yang berada di dataran tinggi menyebabkan desa tersebut mendapatkan kesulitan untuk memperoleh
sumber air, sehingga untuk menjaga ketersediaan pangan ikani bergantung pada dearah lain. Dari hasil penelitian ini
diharapkan dapat menjadi masukan terutama kepada pemerintah daerah di lokasi untuk melihat potensi pengembangan
usaha perikanan sebagai langkah keluar dari kondisi rawan pangan terutama dari sisi pemenuhan protein hewani dengan
pemenuhannnya dari ikan.

KATA KUNCI: ketahanan pangan, rawan pangan, konsumsi ikan

LL 20

MEDIA KULTIVASI Botryococcus braunii DENGAN SISTEM INDOOR DAN OUTDOOR

Rini Susilowati dan Sri Amini


Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan Perikanan, Jakarta

ABSTRAK

Kultur mikroalga spesies Botryococcus braunii telah dilakukan di dalam sistem indoor dan outdoor. Kultur pada sistem
indoor dilakukan pada media berukuran 40 L dan 80 L pada sistem outdoor. Kondisi lingkungan kultur diamati setiap hari
yang meliputi suhu, salinitas, dan pH. Selama pemeliharaan kelimpahan dan laju pertumbuhan dihitung setiap hari sampai
mencapai fase konstan yaitu pada hari ke-12. Kelimpahan biomassa tertinggi pada hari ke-11 berkisar 7,33 sel/mL pada
sistem indoor dan 7, 02 sel/mL pada sistem outdoor. Sedangkan laju pertumbuhan tertinggi pada hari kedua berkisar 3,25/
hari pada indoor dan 3,65/hari pada outdoor. Berdasarkan perhitungan statistik ANOVA, kedua faktor kelimpahan dan laju
pertumbuhan yang dikultur pada kedua sistem media yaitu indoor dan outdoor tidak menunjukkan perbedaan yang nyata,
artinya perlakukan perbedaan tersebut tidak memberikan pengaruh nyata pada faktor kelimpahan dan laju pertumbuhan
biomassa mikroalgae spesies B. braunii.

KATA KUNCI: kepadatan, laju pertumbuhan, Botryococcus braunii


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

LL 21

POTENSI EKONOMI SEGMEN-SEGMEN USAHA BUDIDAYA – PELAJARAN DARI KOMERSIALISASI


BERBAGAI UNIT USAHA UPT KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN

Siti Hajar Suryawati dan Agus Heri Purnomo


Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, Jakarta

ABSTRAK

Berbagai UPT budidaya KKP mengembangkan unit usaha dengan berbagai tujuan diantaranya adalah melaksanakan
pengembangan dan penerapan teknik perbenihan, pembudidayaan, pengelolaan kesehatan ikan dan pelestarian
perlindungan budidaya ikan. Termasuk pengembangan model-model usaha yang dapat dicontoh dan diterapkan oleh
masyarakat pada berbagai skala usaha. Dari pelaksanaan unit-unit usaha tersebut dapat dipetik berbagai pelajaran
penting, yang dapat digunakan sebagai acuan untuk strategi pengembangan usaha di kalangan masyarakat budidaya.
Penelitian dilakukan dengan pendekatan studi kasus pada tahun 2009 di beberapa lokasi UPT lingkup Direktorat Jenderal
Perikanan Budidaya, yaitu Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi, Balai Layanan Usaha
Produksi Perikanan Budidaya (BLUPPB) Karawang, dan Balai Budidaya Laut (BBL) Ambon. Hasil kajian menunjukkan bahwa
dengan mempertimbangkan berbagai aspek seperti profitabilitas, penanganan aspek teknis, pengelolaan bisnis dan
strategi pemasaran yang dilakukan ternyata pengembangan perikanan yang diarahkan pada kegiatan budidaya memiliki
potensi ekonomi berupa keunggulan komparatif dan kompetitif yang menjanjikan dan dapat memberikan kontribusi
besar dalam pelestarian lingkungan.

KATA KUNCI: unit usaha, profitabilitas, penanganan aspek teknis, pengelolaan bisnis, strategi
pemasaran

LL 22

APLIKASI DETEKSI Aeromonas hydrophila PENGHASIL AEROLYSIN DENGAN MENGGUNAKAN


POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR)

Lila Gardenia, Isti Koesharyani, Hambali Supriyadi dan Tatik Mufidah


Pusat Riset Perikanan Budidaya, Jakarta

ABSTRAK

Meningkatnya kegiatan intensifikasi budidaya telah menimbulkan dampak negatif antara lain munculnya berbagai kasus
infeksi penyakit. Bakteri merupakan salah satu penyebab penyakit pada ikan. Infeksi bakteri, selain dapat menyebabkan
kematian masal juga merusak mutu ikan yang terinfeksi dan sangat merugikan pembudidaya. Tujuan penelitian ini adalah
mengaplikasikan metode deteksi cepat dan tepat dengan teknik PCR untuk mendiagnosa penyakit yang disebabkan
oleh infeksi bakteri Aeromonas hydrophila penghasil aerolysin. Pada penelitian ini dilakukan uji PCR dengan primer
universal 16S rDNA Aero-1/Aero-2 dan primer spesifik untuk identifikasi gen aerolysin AeroFd/AeroRs. Sampel bakteri
diambil dari beberapa jenis ikan budidaya yang rentan terhadap infeksi Aeromonas hydrophila (lele, gurame dan patin)
yang menunjukkan gejala terinfeksi bakteri tersebut. Uji awal berupa pengecatan gram, tes katalase dan oksidase
dilakukan sebelum uji PCR. Hasil analisa PCR dengan menggunakan universal primer menunjukkan 3 isolat merupakan
bakteri Aeromonas hydrophila. Sedangkan dengan menggunakan spesifik primer, hanya isolate AH-26 yang mempunyai
gen aerolysin penghasil toksin, sehingga AH-26 merupakan isolat yang pathogen. Dua isolate Aeromonas hydrophila
lainnya tidak memiliki gen aerolysin, kemungkinan merupakan strain yang tidak pathogen.

KATA KUNCI: Aeromonas hydrophila, uji PCR, aerolysin dan primer spesifik
Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

LL 23

PENGARUH PERBEDAAN KEDALAMAN SUBSTRAT TERHADAP KELIMPAHAN DAN


KEANEKA RAGAMAN JENIS PERIPHYTON DI WADUK CIRATA JAWA BARAT

Kusdiarti, Ani Widiyati, Winarlin, dan Reza Samsudin


Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar, Bogor

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data kelimpahan dan keanekaragaman jenis periphyton pada kedalaman
optimal di waduk Cirata Jawa Barat.Penelitian di laksanakan selama 15 hari pada bulan agustus 2009 di waduk cirata jawa
barat. Perlakuan yang digunakan di dalam penelitian ini adalah kedalaman 1 meter(A); kedalaman 2 meter (B); kedalaman
3 meter(C) dan kedalaman 4 meter (D). Masing- masing perlakuan 5 kali ulangan. Hasil penelitian yang dilakukan pada
musim kemarau menunjukkan bahwa kelimpahan total perifiton tidak berbeda nyata pada setiap kedalaman, namun pada
kedalaman 3 m hingga 4 m menunjukkan adanya perbedaan yang nyata untuk kelas Chlorophyceae. Rata-rata total
kelimpahan komunitas perifiton dan indeks keragaman Simpson tertinggi diperoleh pada perlakuan C (Perendaman
substrat dengan kedalaman 3m), yaitu 4423,81 (ind/cm2) dan 0,86-0,91.

KATA KUNCI: kedalaman, periphyton, Waduk Cirata


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

ABSTRAK
PRESENTASI
POSTER
Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

pFF 01

STREPTOCOCCOSIS PADA IKAN NILA (Oreochromis niloticus) BUDIDAYA


DI DANAU MANINJAU

Hambali Supriyadi dan Lila Gardenia

Pusat Riset Perikanan Budidaya, Jakarta

ABSTRAK

Usaha budidaya ikan di danau Maninjau telah mencapai tahapan intensifikasi, teknik seperti ini akan menimbulkan resiko
cepatnya timbulnya wabah penyakit ikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaan penyakit streptococcosis
yang ada diareal budidaya di danau Maninjau. Survey telah dilakukan dengan mengambil baik data primer maupun data
dari hasil analisis sampel. Data primer diperoleh degan cara wawancara dengan menggunakan questioner yang tersetruktur,
responden yang diambil adalah para pembudidaya ikan yang merupakan anggota kelompok budidaya. Hasil penelitian
mengindikasikan bahwa penyakit Streptococcosis yang disebabkan oleh infeksi bakteri Streptococcus iniae, telah banyak
menginfeksi ikan nila.

KATA KUNCI: streptococcosis, ikan nila, Danau Maninjau

pFF 02

UJI KETAHANAN SALINITAS BEBERAPA STRAIN IKAN MAS YANG DIPELIHARA DI AKUARIUM

Ongko Praseno*), Hary Krettiawan*), Sidi Asih***), dan Achmad Sudradjat*)


*)
Pusat Riset Perikanan Budidaya, Jakarta
**)
Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Periakanan Air Tawar, Sukamandi
***)
Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar, Bogor

ABSTRAK

Uji ketahanan salinitas beberapa strain ikan mas di akuarium, dimaksudkan untuk mengetahui ketahanan ikan terhadap
beberapa tingkatan salinitas. Kegiatan dilaksanakan di laboratorium Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Air
Tawar Sukamandi pada bulan Juni–Juli 2009. Akuarium yang digunakan berukuran panjang 60 cm, lebar 40 cm, dan tinggi
40 cm dengan ketinggian air 15 cm. Ikan uji berupa 4 strain ikan mas yaitu Rajadanu, Majalaya, Cianjur Wildan, dan Sutisna
Kuningan. Salinitas yang digunakan adalah salinitas 4 ppt (0–5 ppt), 8 ppt (6–10 ppt), dan 12 ppt (11–15 ppt). Masing-
masing perlakuan menggunakan 2 ulangan. Selama percobaan ikan diberi pakan komersial dengan kandungan protein
minimal 28% sejumlah 5%–7% bobot badan per hari. Selama 34 hari pemeliharaan didapatkan hasil bahwa perlakuan
salinitas memberikan pengaruh yang nyata terhadap sintasan ikan mas, perbedaan strain tidak memberikan pengaruh
nyata pada sintasan ikan mas, perlakuan salinitas maupun strain tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap
pertumbuhan mutlak ikan mas, Strain Sutisna Kuningan secara umum memiliki sintasan yang baik, sintasan terendah
didapatkan pada salinitas 12 ppt.

KATA KUNCI: strain, ikan mas, salinitas, sintasan, pertumbuhan


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

pFF 03

KAJIAN ASPEK TEKNIS DAN EKONOMIS BUDIDAYA IKAN DALAM KERAMBA JARING APUNG GANDA
DI DANAU MANINJAU

Rasidi, Iwan Malhani Al’Wazan, dan Dede Kurniawan


Pusat Riset Perikanan Budidaya, Jakarta

ABSTRAK

Kajian aspek teknis dan eknomis budidaya ikan dalam KJA di danau Maninjau telah dilakukan pada bulan September-
November 2009. Kegiatan ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran teknis budidaya dan analisa usahanya sehingga
dapat dirumuskan opsi kebijakan yang diperlukan dalam rangka pengembangannya. Berdasarkan hasil analisis data hasil
dari wawancara dengan pembudidaya menunjukkan FCR ikan mas sebesar 1.64 sedangkan FCR total sebesar 1,53.
Budidaya dengan sistem KJA ganda ini terbukti mampu memberikan nilai tambahan produksi sebesar 4,27% yang berasal
dari ikan pada jaring bawah yang tidak diberi pakan selama pemeliharaan. Budidaya ikan di KJA ganda merupakan salah
satu alternatif budidaya yang dapat menekan biaya pakan. Dari analisis usaha diketahui budidaya ikan dalam KJA ganda
memerlukan investasi yang cukup tinggi, dengan jangka waktu pengembalian modal selama 3,20 siklus dan nilai RC ratio
sebesar 1,36, berdasarkan analisis usaha usaha budidaya ikan dalam KJA ganda cukup menguntungkan dan layak untuk
dikembangkan. Dalam hal dukungan dana permodalan, perlu peran serta lembaga keuangan yang menyediakan dana
untuk investasi awal. Budidaya ikan dalam KJA ganda perlu dikembangkan di Danau Maninjau untuk meningkatkan pendapatan
pembudidaya dan mendukung budidaya berkelanjutan.

KATA KUNCI: budidaya, ekonomi, dan KJA ganda

pFF 04

PEMELIHARAAN IKAN BELIDA BERBASIS PAKAN ANAKAN IKAN NILA

Anang Hari Kristanto


Pusat Riset Perikanan Budidaya, Jakarta

ABSTRAK

Ikan karnivor, adalah ikan yang mengkonsumsi ikan lain sebagai mangsanya, ikan belida yang banyak hidup di perairan
umum Sumatera, Jawa, dan kalimantan, termasuk jenis ikan karnivor. Upaya untuk memelihara ikan belida diluar habitat
aslinya terkendala oleh penyediaan pakannnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan anakan ikan
nila dalam mendukung perkembangan gonad ikan belida yang dipelihara dalam wadah budidaya. Pemeliharaan ikan belida
dilakukan di kolam, yang diberi sekat jaring nilon hita. Ikan nila dengan berat 40 kg (200 ekor) dengan rataan bobot 200 g
ditempatkan dalam kolam bagian tengah dan ikan belida jantan dan betina dipelihara di bagian yang lain. Penebaran ikan
nila dilakukan 3 bulan sebelum ikan belida ditempatkan. Selama pemeliharaan diamati perkembangan tingkat kematangan
gonadnya setiap bulan. Persetanse ikan belida yang matang gonad terbanyak dijumpai di bulan september .

KATA KUCI: ikan belida, pakan, anakan ikan nila


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

pFF 05

RESPONS INDUK IKAN BELIDA TERHADAP HORMON PEMIJAHAN

Anang Hari Kristanto*) dan Jojo Subagja**)


*)
Pusat Riset Perikanan Budidaya, Jakarta
**)
Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar, Bogor

ABSTRAK

Upaya untuk mendomestikasi ikan belida dimulai dari kegiatan pengumpulan calon induk yang berasal dari alam, adaptasi
induk pada lingkungan kolam dan pemberian pakannya untuk pematangan induk. Selama proses adaptasi pada kolam
pemeliharaan, pengecekan bulanan terhadap masing-masing induk diperoleh telur dan sperma. Induk yang matang dipilih
dan dilakukan pemijahan secara buatan. Untuk menguasai teknologi domestikasinya, pada penelitian ini dilakukan upaya
penyuntikan menggunakan hormon ovarim. Induk yang memijah berjumlah 4 ekor jumlah telur yang diovulasikan berjumlah
111 butir dan berhasil di fertilisasi akan tetapi belum menghasilkan larva.

KATA KUNCI: ikan belida, hormon pemijahan

pFF 06

PROSPEK BUDIDAYA IKAN NILA DENGAN PAKAN PELET MAGGOT

Irsyaphiani Insan dan Anang Hari Kristanto


Pusat Riset Perikanan Budidaya, Jakarta

ABSTRAK

Ikan nila merupakan komoditas air tawar yang mudah dibudidayakan dan juga mempunyai rasa yang cukup digemari oleh
masyarakat. Budidaya ikan nila dapat dilakukan di kolam, jaring tancap dan keramba jaring apung. Ikan nila termasuk ikan
yang bersifat omnifora yang dapat memakan ikan-ikan kecil lainnya dan tumbuhan. Budidaya maggot telah dikembangkan
di daerah Jambi dengan menggunakan bahan baku hasil pengolahan kelapa sawit, yang dikenal dengan nama PKM (palm
kernel meal). Maggot dapat digunakan dalam campuran pelet ikan dan diberikan baik dalam bentuk pelet kering atau
basah. Dalam kegiatan budidaya ikan, pakan ikan merupakan komponen yang mempunyai biaya terbesar dalam skala
usaha, kurang lebih 60% pengeluaran berasal dari pakan. Penggunaan pakan maggot dalam budidaya ikan nila akan dapat
menekan biaya produksi sehingga produksi perikanan air tawar dapat ditingkatkan.

KATA KUNCI: ikan nila, palm kernal meal, pelet maggot


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

pFF 07

PENDEDERAN KERAPU MACAN, Epinephelus fuscoguttatus


DENGAN PADAT PENEBARAN BERBEDA DI HATCHERI

Anak Agung Alit


Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol

ABSTRAK

Kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) merupakan salah satu ikan ekonomis penting yang sampai saat ini masih
banyak dibudidayakan oleh petani hatchery skala rumah tangga karena harga cukup tinggi. Pendederan ikan kerapu
macan, Epinephelus fuscoguttatus telah dilakukan penelitian di hatchery skala rumah tangga dengan menggunakan bak-
bak semen dengan ukuran 2 x 3 x 1 m³ selama 2 bulan. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh data dan informasi
padat penebaran yang terbaik pada pendederan di hatchery. Padat penebaran yang digunakan sebagai perlakuan adalah
100,150, dan 200 ekor/m³. Berat awal benih kerapu macan digunakan adalah pada tiap perlakuan sekitar 1, 25 – 1, 65 g/
ekor. Pemberian pakan berupa pakan komersial dan jembret diberikan sampai panjang total kerapu macan 4 cm. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pertambahan bobot tidak beda nyata (P>0, 05) tidak mempengaruhi sintasan. Rasio konversi
pakan 1, 95 – 2, 05. Padat penebaran yang terbaik adalah perlakuan B dengan padat penebaran 150 ekor/m³ dapat
digunakan sebagai rekomendasi untuk pendederan di hatchery skala rumah tangga.

KATA KUNCI: pertumbuhan, sintasan, dan yuwana kerapu macan Epinephelus fuscoguttatus

pFF 08

PENGEMBANGAN VAKSIN BAKTERI UNTUK MENINGKATKAN IMUNITAS IKAN KERAPU MACAN,


Epinephelus fuscoguttatus TERHADAP PENYAKIT INFEKSI

Des Roza, Fris Johnny, dan Zafran


Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol

ABSTRAK

Perkembangan pesat budidaya berbagai spesies ikan laut di Indonesia, baik di pembenihan maupun pembesaran di
keramba jaring apung (KJA), ternyata juga diikuti oleh berjangkitnya berbagai jenis penyakit, baik disebabkan oleh infeksi
virus, bakteri maupun berbagai jenis parasit. Suatu penelitian untuk mengetahui efektivitas vaksin bakteri untuk
meningkatkan kekebalan spesifik yuwana kerapu macan telah dilakukan. Masing-masing sebanyak 100 ekor ikan kerapu
ukuran antara 6-8 cm disuntik 0,1 mL/ekor ikan dengan vaksin anti bakteri secara intra muskular, sedangkan kontrol
hanya disuntik dengan PBS. Masing-masing perlakuan diulang 3 kali. Selanjutnya ikan dipelihara dalam bak beton volume
2 m3 berisikan air sebanyak 1,5 m3 masing-masing sebanyak 3 bak untuk perlakuan vaksinasi vaksin bakteri dan 3 bak
untuk kontrol. Pada hari ke-30 dilakukan penyuntikan ulang sebagai booster. Pada hari ke-60 dilakukan sampling darah
untuk dilakukan uji aktivitas titer antibodi. Ikan dipelihara selama 60 hari dan pada akhir percobaan dilakukan uji tantang.
Pengamatan dilakukan terhadap tingkat imunitas dan sintasan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa titer antibodi kelompok
ikan yang divaksin lebih tinggi (1/64) dibanding kontrol (1/4). Begitu juga dengan sintasan dimana sintasan rata-rata pada
kelompok yang divaksin lebih tinggi (80%) dibanding kontrol (56%). Sintasan ikan hasil uji tantang adalah 87% dan kontrol
66%. Hasil ini membuktikan bahwa vaksin yang diberikan efektif meningkatkan kekebalan spesifik yuwana kerapu macan.

KATA KUNCI: vaksin bakteri, Epinephelus fuscoguttatus, penyakit infeksi


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

pFF 09

EVALUASI PEMIJAHAN DAN KUALITAS TELUR INDUK IKAN GOLDEN TREVALLY Gnathanodon
speciosus (FORSSKALL) HASIL BUDIDAYA (F1) DAN ASAL ALAM (F0)

Tony Setiadharma, Agus Priyono, Tridjoko, dan Nyoman Adiasmara Giri


Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui performance pematangan gonad, pemijahan dan kualitas telur induk
ikan kuwe macan hasil budidaya dan asal alam dalam mendukung diversifikasi usaha budidaya. Pemijahan induk ikan
dirancang dengan menggunakan dua bak beton dengan volume sekitar 30 m³. Perlakuan dalam penelitian adalah (A) Induk
hasil budidaya, dan (B) Induk asal alam. Jenis pakan yang diberikan adalah ikan dan cumi ditambahkan vitamin mix, dengan
jumlah 8% biomass/hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemijahan dan kualitas telur induk ikan hasil budidaya lebih
baik dari induk asal alam. Pemijahan berpengaruh terhadap jumlah dan kualitas telur yang dihasilkan. Hasil pengamatan
perkembangan gonad induk ikan diameter oocyte mencapai 150 - 520 µm, sedang kondisi sperm untuk induk jantan pada
positif 1 dan 2. Pada induk hasil budidaya memijah sebanyak 128 kali dengan jumlah total telur 11.450.000 butir, sedang
induk asal alam memijah sebanyak 20 kali dengan jumlah total telur yang dibuahi 3.240.000 butir. Pemijahan terjadi
sepanjang tahun pada terang dan gelap bulan. Kualitas telur yang dihasilkan relatif masih fluktuatif, pada induk asal
budidaya mempunyai daya tetas sekitar 35-95 % dengan SAI 2.25-4.80, dan pada induk asal alam 20-92 % dengan SAI 2.00-
4.20.

KATA KUNCI:

pFF 10

BEBERAPA ASPEK BIOLOGI REPRODUKSI IKAN KERAPU RAJA SUNU (Plectropoma laevis)

Bejo Slamet, Ketut Suwirya, Apri I. Supii, dan Irwan Setyadi


Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol

ABSTRAK

Ikan kerapu raja sunu (Plectropoma laevis) merupakan salah satu jenis ikan kerapu yang bernilai ekonomis tinggi di pasar
Asia. Pengamatan ini bertujuan untuk mengetahui beberapa aspek biologi reproduksi yang terdiri dari hubungan panjang
berat tubuh, indeks somatik gonad dan diameter oocytnya. Sampel ikan kerapu raja sunu yang didapat diukur panjang
dan beratnya kemudian diambil gonadnya melalui pembedahan dan ditimbang untuk menghitung indeks somatik gonadnya.
Sampel oocyt diambil dan diperiksa di bawah mikroskop untuk mengetahui jenis kelamin serta diameter oocytnya untuk
mengetahui tingkat kematangan gonadnya. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa ukuran minimal kedewasaan ikan
kerapu raja sunu adalah ukuran panjang total 56,7 cm atau berat badan 2350 g untuk betina serta panjang total 76 cm atau
berat badan 6500 g untuk jantan.

KATA KUNCI: kerapu raja sunu, Plectropoma laevis, aspek biologi reproduksi
Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

pFF 11

PENGEMBANGAN DAN APLIKASI PAKAN BUATAN UNTUK BUDIDAYA IKAN KERAPU MACAN,
Epinephelus fuscoguttatus DI KERAMBA JARING APUNG

Tatam Sutarmat, Himawan Tirta Yudha, dan N.A. Giri


Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol

ABSTRAK

Penelitian managemen pakan pada ikan kerapu macan telah dilakukan dalam keramba jaring apung. Tujuan
penelitian untuk mendapatkan informasi manajemen pakan yang tepat pada budidaya ikan kerapu macan di KJA. Percobaan
dirancang dengan rancangan acak lengkap pola faktorial 2 jenis pelet (SB dan GR) serta 2 kelompok ukuran ikan (A dan B),
dengan periode pemeliharaan120 hari. Benih ikan ditebar dalam 12 buah jaring ukuran 2x2x2 m dengan kepadatan 60
ekor/m3, Peubah yang diamati adalah sintasan, konversi pakan, pertambahan berat, total biomass dan biaya pakan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa laju pertumbuhan, pertambahan berat, produksi dan sintasan dengan pemberian pakan
pelet GR dengan kelompok A lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Konversi pakan terendah pada pemberian
pellet GR pada kelompok A, dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Total biaya pakan dengan pemberian pakan pelet GR
dengan kelompok A lebih tinggi, sedangkan biaya pakan per kg ikan sama pada perlakuan pellet GR dan SB pada kelompok
A.

Kata kunci : Jaring apung, pertumbuhan, biaya pakan dan kerapu macan

pFF 12

KARAKTERISASI TRUSS MORFOMETRIK IKAN TENGADAK (Barbonymus schwanenfeldii) ASAL


KALIMANTAN BARAT DENGAN IKAN TENGADAK ALBINO DAN IKAN TAWES ASAL JAWA BARAT

Irin Iriana Kusmini, Rudy Gustiano, dan Mulyasari


Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar, Bogor

ABSTRAK

Ikan tengadak merupakan ikan perairan umum asli Kalimantan yang potensial untuk dikembangkan. Penelitian karakterisasi
ikan tengadak adalah untuk mengetahui data base (karakter morfometrik dan genetik) serta kekerabatannya dengan ikan
sejenis yang ada di Jawa Barat. Pengukuran morfometrik dilakukan menggunakan metode truss morfometrik, berdasarkan
metode Strauss & Bookstein (1982) yang dimodifikasi dalam Corti et al. (1988). Untuk melihat penyebaran karakter
morfologi ikan dilakukan dengan analisis kanonikal, analisis sharing component atau indeks kesamaan dilakukan dengan
analisis diskriminan. Hasil analisis menunjukkan adanya sedikit kesamaan morfologi antara tengadak asal Kalimantan
dengan tengadak albino asal Jawa Barat, sedangkan dengan tawes jauh berbeda di mana karakter morfometrik tidak saling
bersinggungan.

KATA KUNCI: truss morfometrik; ikan tengadak; tengadak albino; tawes


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

pFF 13

PEMANFAATAN SUBSTRAT DAN TUMBUHAN AIR TERHADAP HARA NITROGEN


UNTUK PENINGKATAN PRODUKTIVITAS KOLAM IKAN

Lies Setijaningsih dan Eri Setiadi


Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar, Bogor

ABSTRAK

Meningkatnya pencemaran perairan sungai sebagai sumber air untuk budidaya kolam ikan air tawar mengakibatkan
terjadinya penurunan produktivitas yang disebabkan oleh kualitas air yang tidak layak lagi bagi peruntukkannya. Substrat
dan tumbuhan air merupakan salah satu solusi yang efektif dan murah untuk memperbaiki kualitas air, meningkatkan
produktivitas kolam dan menjaga eksistensi kawasan budidaya tetap berkelanjutan. Tujuan penelitian adalah untuk
mengetahui efektivitas penyisihan kontaminan hara nitrogen dengan substrat dan tumbuhan air pada budidaya kolam
ikan air tawar. Perlakuan pada penelitian ini terdiri atas dua perlakuan, yaitu kolam ikan yang dilengkapi substrat dan
tumbuhan air sebagai biofilter dan kolam kontrol (kolam ikan tanpa dilengkapi substrat dan tumbuhan air). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kisaran kualitas air seperti konsentrasi TN (5–7,5 mg/L), amonia (0,081–0,681mg/L) dan nitrat (0,4–0,8
mg/L),lebih rendah pada kolam ikan yang dilengkapi substrat dan tumbuhan air dibandingkan dengan kolam kontrol TN
(8,5–14,3 mg/L), amonia (0,303–1,849 mg/L) dan nitrat (0,7–1,5 mg/L). Kisaran persentase efektivitas penyisihan TN (28%–
58,82%), amonia (20,5%–90,32 %), dan nitrat (11,11%–44,4%) pada kolam substrat 1 (pasir, kerikil dan eceng gondok) dan
pada kolam substrat 2 (lumpur, Typha sp. dan Scirpus sp.), yaitu TN (42,86%–85,33%), amonia (42,14%–92,58%), dan nitrat
(37,5%–66,67%). Sintasan (93,36%) pada kolam ikan yang dilengkapi substrat dan tumbuhan air lebih baik (P<0,05)
dibandingkan kolam ikan kontrol (82,82%). Pertumbuhan ikan pada kolam ikan dilengkapi substrat dan tumbuhan air lebih
tinggi dibandingkan dengan kolam ikan kontrol (P<0,05). Dengan demikian substrat dan tumbuhan air memiliki kemampuan
sebagai biofilter dalam mengurangi konsentrasi hara nitrogen, sehingga dapat digunakan dalam memperbaiki kualitas air
yang tidak layak menjadi menjadi layak untuk perikanan.

KATA KUNCI: substrat, tumbuhan air, nitrogen, produktivitas kolam

pFF 14

TOKSISITAS AKUT INSEKTISIDA KARBOFURAN TERHADAP IKAN MAS DAN IKAN NILA
SERTA PENGARUHNYA PADA BUDIDAYA MINA PADI

Sutrisno
Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar, Bogor

ABSTRAK

Pemakaian insektisida untuk penanggulangan hama tanaman padi telah terbukti mempunyai peranan penting dalam
peningkatan produksi. Namun demikian insektisida mempunyai pengaruh negatif terhadap kehidupan perairan, khususnya
ikan. Untuk itu, pemakaian insektisida perlu dilakukan secara selektif, karena di samping harus efektif terhadap hama
tanaman padi, juga harus aman dan tidak berdampak negatif bagi usaha perikanan di perairan tersebut. Karbofuran adalah
salah satu jenis bahan aktif insektisida dari golongan karbamat, yakni insektisida antikolinesterase yang mempunyai efek
sistem saraf (perifer dan pusat). Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui toksisitas akut insektisida ini di
laboratorium dan lapangan serta pengaruhnya terhadap sintasan dan produktivitas benih ikan mas dan ikan nila yang
dipelihara dengan sistem usaha tani mina padi.

KATA KUNCI: toksisitas, karbofuran, akut, kronis


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

pFF 15

EFEKTIVITAS SERBUK BIJI TEH DAN GARAM PADA Trichodina DAN Monogenea
TERHADAP IKAN LELE DUMBO Clarias gariepinus

Oman Komarudin dan Sutrisno


Balai Riset Penelitian Budidaya Air Tawar, Bogor

ABSTRAK

Ektoparasit terutama protozoa dan monogenea trematoda masih merupakan parasit yang sering menimbulkan kematian
yang relatif tinggi pada perbenihan ikan air tawar. Ada beberapa jenis ektoparasit yang sering menginfeksi benih ikan air
tawar seperti Ichthyophthirius multifiliis, Trichodina, Dactylogyrus, Gyrodactylus, dan Quadriacanthus kobiensis serta
menimbulkan kematian. Akhir-akhir ini ada beberapa bahan kimia yang sebelumnya dapat digunakan sebagai pembasmi
ektoparasit tersebut namun karena berbagai pertimbangan baik menyangkut keamanan konsumen dan pengaruh sampingan
terhadap lingkungan sehingga bahan-bahan kimia tersebut dilarang digunakan dalam proses budidaya ikan air tawar. Oleh
karena itu, dalam upaya peningkatan produksi benih perlu dilakukan upaya menurunkan tingkat kematian benih melalui
pemberantasan ektoparasit yang mungkin menginfeksinya. Ada beberapa bahan nabati dan alami yang dapat digunakan.
Penelitian ini menguji efektivitas serbuk biji teh dan garam terhadap ektoparasit, hasilnya diharapkan dapat dipakai untuk
memberantas ektoparasit tersebut. Tujuh perlakuan diuji di laboratorium patologi dengan menggunakan rancangan acak
lengkap dan tiga ulangan. Ketujuh perlakuan itu yaitu: (a) biji teh 10,00 mg/L; (b) biji teh 15,00 mg/L; (c) biji teh 20,00 mg/
L; (d) garam 4.000,00 mg/L; (e) garam 5.000,00 mg/L; (f) garam 6.000,00 mg/L (g) kontrol. Hasil penelitian menunjukan
bahwa biji teh konsentrasi 10,00–20,00 mg/L dan garam 4,00–6,00 mg/L efektif untuk memberantas Trichodina dan
monogenea, namun demikian kedua bahan pada konsentrasi tersebut tidak efektif untuk Ichthyophthirius multifiliis.

KATA KUNCI: ekstoparasit, serbuk biji teh dan garam, ikan lele dumbo

pFF 16

DIAGNOSA PENYAKIT MYCOBACTERIOSIS, Mycobacterium fortuitum PADA IKAN GURAME,


Osphronemus gouramy DENGAN TEKNIK POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR)

Uni Purwaningsih dan Taukhid


Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar, Bogor

ABSTRAK

Penyakit mycobacteriosis (terutama yang disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium fortuitum) merupakan salah
satu penyakit potensial pada budidaya ikan gurame (Osphronemus gouramy), mengakibatkan kematian secara persisten
hingga mencapai 40% dengan pola kronik. Kesulitan utama dalam upaya pengendalian penyakit tersebut antara lain
adalah teknik diagnosa yang memerlukan waktu selama 3–4 minggu untuk mengetahui patogen penyebab secara definitif,
sehingga upaya pengendaliannya sering terlambat. Pengembangan teknik diagnosa penyakit tersebut dengan teknik
polymerase chain reaction (PCR) diharapkan dapat digunakan sebagai perangkat diagnosa yang cepat dan tepat. Pada
riset ini, dilakukan modifikasi terhadap teknik deteksi DNA bakteri Mycobacterium spp. yang telah dikembangkan oleh
beberapa peneliti. Dua pasang primer, yaitu M1: T39 (GCGAACGGGTGAGTAACACG) dan T13 (TGCACACAGGCCACAAGGGA);
dan primer M2: PreT43 (AATGGGCGCAAGCCTGATG) dan T531 (ACCGCTACACCAGGAAT) digunakan pada penelitian ini.
Sensitivitas teknik diagnosa terhadap bakteri target, selanjutnya dibandingkan dengan teknik diagnosa melalui uji bio-
kimia dan histopatologis. Deteksi DNA bakteri target dilakukan terhadap sampel yang diambil dari organ hati, limpa, dan
darah. Isolasi dilakukan dengan menggunakan media selektif Shouten Agar dan Lowenstain–Jenssen, sedangkan preparat
histopatologi diambil dari organ hati, ginjal, dan limpa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode deteksi dengan PCR
memiliki tingkat sensitivitas lebih tinggi dari metode isolasi maupun histopatologi. Dengan metode PCR penyakit
mycobacteriosis dapat diketahui secara definitif dalam waktu 2–4 hari hingga level spesies. Hasil analisis sekuensing
dengan gen 16S rRNA menunjukkan similarity 99% dengan Mycobacterium fortuitum.

KATA KUNCI: mycobacteriosis, Mycobacterium fortuitum, gurame, dan Polymerase Chain


Reaction
Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

pFF 17

PENENTUAN KADAR ENZIM FITASE DALAM PAKAN UNTUK MENDUKUNG PERTUMBUHAN DAN
EFISIENSI PAKAN BENIH IKAN NILEM (Osteochillus hasselti, C.V.)

Reza Samsudin dan Ningrum Suhenda


Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar, Bogor

ABSTRAK

Ikan nilem merupakan ikan herbivora yang mampu memanfaatkan protein nabati sebagai sumber proteinnya. Penggunaan
fitase diharapkan mampu meningkatkan pemanfaatan protein untuk mendukung pertumbuhan dan efisien pakan. Tujuan
penelitian ini untuk mengetahui kadar fitase yang tepat untuk mendukung pertumbuhan dan efisiensi pakan benih ikan
nilem. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Basah Nutrisi Ikan, Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar, Bogor. Ikan
uji yang digunakan adalah ikan nilem yang diperoleh dari Instalasi Riset Plasma Nutfah Perikanan Budidaya, Cijeruk
dengan bobot rata-rata 8,60±0,45 g/ekor. Ikan uji dipelihara selama 40 hari dalam akuarium yang dilengkapi dengan
sistem resirkulasi. Pakan yang digunakan isoprotein dan isolipid dengan kadar fitase 0, 500, 1.000, 1.500, dan 2.000 unit
fitase/kg pakan. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan lima perlakuan dengan
masing-masing perlakuan terdiri atas tiga ulangan. Parameter yang diamati yaitu laju pertumbuhan spesifik, efisiensi
pakan, dan tingkat sintasan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan fitase 1.000 unit/kg pakan memberikan
laju pertumbuhan yang terbaik (P<0,05), namun nilai ini tidak berbeda nyata dengan 1.500 dan 2.000 unit/kg pakan.

KATA KUNCI: fitase, nilem, pertumbuhan, efisiensi pakan

pFF 18

SUBSTITUSI TEPUNG BUNGKIL KEDELAI DENGAN TEPUNG BUNGKIL KOPRA DALAM PAKAN IKAN
BERONANG, Siganus guttatus

Neltje Nobertine Palinggi dan Samuel Lante


Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh substitusi tepung bungkil kedelai dengan bungkil kopra dalam pakan
terhadap pertumbuhan ikan beronang. Penelitian dilakukan dalam keramba jaring apung dengan menggunakan jaring
ukuran 1 m x 1 m x 2 m sebanyak 15 buah. Ikan uji yang digunakan adalah yuwana ikan beronang ukuran 22,15±5,73 g
dengan padat tebar 15 ekor/keramba. Ikan uji diberi pakan uji berupa pelet kering dengan perlakuan Ikan uji diberi pakan
uji berupa pelet kering dengan perlakuan A) 17% tepung bungkil kedelai dan tanpa tepung bungkil kopra, B) 22 % tepung
bungkil kopra dan tanpa tepung bungkil kedelai, C) 27% tepung bungkil kopra dan tanpa tepung bungkil kedelai, masing-
masing diulang tiga kali dan di desain dengan rancangan acak lengkap, masing-masing diulang tiga kali dan di desain
dengan rancangan acak lengkap. Selama 20 minggu pemeliharaan diperoleh hasil substitusi tepung bungkil kedelai
dengan tepung bungkil kopra tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap pertumbuhan, efisiensi pakan,
rasio efisiensi protein, dan sintasan ikan beronang.

KATA KUNCI: tepung bungkil kedelai, tepung bungkil kopra, substitusi, pakan ikan beronang, S.
guttatus
Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

pFF 19

TEKNOLOGI BUDIDAYA IKAN BANDENG DI SULAWESI SELATAN

Nur Ansari Rangka dan Andi Indra Jaya Asaad


Balai Riset Perikanan dan Budidaya Air Payau, Maros

ABSTRAK

Budidaya ikan bandeng (Chanos chanos) di tambak telah berkembang secara pesat hampir di seluruh Indonesia dengan
memanfaatkan perairan payau atau surut. Aplikasi teknologi budidaya bandeng sudah meliputi teknologi budidaya secara
tradisional hingga intensif. Budidaya di tambak air payau yang dapat dikombinasikan dengan komoditas lainnya (polikultur).
Penentuan lokasi tambak perlu didukung dengan memperhatikan aspek teknis dan non teknis. Studi kasus pada beberapa
Kabupaten di Sulawesi Selatan menunjukkan prospek dan perkembangan budidaya bandeng yang meningkat dan menjadi
sumber ekonomi bagi masyarakat petambak. Berdasarkan perhitungan ekonomi usaha budidaya bandeng konsumsi di
tambak, maka estimasi laba bersih yang diperoleh adalah sekitar Rp 100.526.850,-/tahun/ha.

KATA KUNCI: budidaya bandeng, tambak, Sulawesi Selatan

pFF 20

PENGARUH PEMBERIAN KOMBINASI PAKAN IKAN RUCAH DAN PAKAN BUATAN (PELET) TERHADAP
PERTUMBUHAN DAN SINTASAN RAJUNGAN (Portunus pelagicus)

Suharyanto dan M. Tjaronge


Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros

ABSTRAK

Kendala penggunaan ikan rucah sebagai pakan antara lain kesegaran dan ketersediaan terbatas selama pemeliharaan.
Untuk mengatasi masalah ikan rucah diupayakan pakan buatan sebagai salah satu alternatif pengganti ikan rucah dalam
pemeliharaan rajungan di tambak. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan data dan informasi tentang pengaruh
pemberian pakan ikan rucah dan pellet terhadap pertumbuhan dan sintasan rajungan (Portunus pelagicus). Penelitian ini
dilaksanakan di Instalasi tambak percobaan Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Marana, Maros selama 40 Hari. Media
percobaan yang digunakan adalah akuarium berukuran 60 cm x 40 cm x 40 cm. Perlakuan yang diaplikasikan adalah jenis
pakan ikan rucah dan pelet yakni A; 100% ikan rucah jenis ikan tembang (Clupea sp.), B; 100% pakan buatan/pelet dan C;
50% ikan rucah + 50% pelet. Krablet yang digunakan dalam penelitian ini adalah krablet 9 berukuran lebar karapas rata-rata
5,2 ± 0,2 mm dan bobot 0,04 ± 0,02 g.Variabel yang diamati adalah pertumbuhan lebar karapas, bobot dan sintasan serta
kualitas air. Untuk menganalisis data pertumbuhan dan sintasan digunakan analisis ragam dengan pola rancangan acak
lengkap. Pemberian pakan dilakukan 3 kali sehari dengan dosis 15% dari total biomass. Hasil penelitian menunjukkan
pakan buatan (pelet) dengan kadar protein 42% dapat digunakan sebagai pakan dalam pemeliharaan rajungan dan hasilnya
tidak berbeda nyata terhadap pertumbuhan bobot, lebar karapas dan sintasan (P>0,05) dengan perlakuan yang lain.

KATA KUNCI: pakan rucah, pelet, rajungan, pertumbuhan, sintasan


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

pFF 21

APLIKASI PUPUK ORGANIK PADA BUDIDAYA BANDENG (Chanos chanos) SEMI-INTENSIF

Brata Pantjara, Erfan Andi Hendradjat, dan Rachmansyah


Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros

ABSTRAK

Bandeng (Chanos chanos) merupakan salah satu komoditas unggulan di sektor perikanan yang berkontribusi dalam
memenuhi produksi nasional. Ekspor bandeng ke beberapa negara seperti Uni Eropa dan Amerika Serikat sangat prospektif,
namun sering bandeng asal Indonesia kurang disukai karena ada indikasi mengandung zat kimia yang bisa mengganggu
kesehatan tubuh. Oleh karena itu, produk bandeng organik semakin meningkat karena banyaknya permintaan produk
makanan tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pupuk organik pada budidaya bandeng
semi intensif. Pupuk organik yang dicoba dalam penelitian ini adalah pupuk organik komersial (A) dan pupuk organik non
komersial (B), masing-masing dengan dosis 2,5 ton/ha. Pupuk organik non komersial dibuat dengan cara memfermentasi
dari bahan campuran limbah sayuran, ampas tahu, pupuk kandang dan dedak. Padat penebaran bandeng pada masing-
masing perlakuan adalah 15.000 ekor/ha Pemberian pakan dilakukan setelah bandeng berumur 2 bulan di tambak dengan
dosis pakan 2-4 % dari bobot ikan/hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan bandeng selama 7 bulan
mencapai berat dari 1,98 g/ekor menjadi 232,4 g/ekor pada aplikasi pupuk organik komersial (A) dan menjadi 253 g/ekor
pada aplikasi pupuk organik buatan (B). Sintasan bandeng pada perlakuan A dan B, masing-masing mencapai 56,625% dan
60,816%. Produksi bandeng pada perlakuan A dan B, masing-masing mencapai 986,9 dan 1154 kg/ha. Perlakuan B
memberikan keuntungan lebih tinggi per siklus yaitu sebesar Rp 10.467.100,-, B/C rasio 1,43.

KATA KUNCI: pupuk organik, bandeng, semi intensif

pFF 22

GAMBARAN PERTUMBUHAN PANJANG BENIH IKAN BOTIA (Chromobotia macracanthus)


HASIL BUDIDAYA PADA PEMELIHARAAN DALAM SISTEM HAPA
DENGAN PADAT PENEBARAN 5 EKOR PER LITER

Darti Satyani, Nina Meilisza, dan Lili Sholichah


Balai Riset Budidaya Ikan Hias, Depok

ABSTRAK

Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui gambaran pertumbuhan panjang pada benih ikan botia hasil budidaya
hingga ukuran ekspor 1 inchi (2,5 cm) telah dilakukan di Balai Riset Budidaya Ikan Hias Depok. Panjang rata-rata benih ikan
botia di awal penelitian berukuran 1,0 cm dan bobot rata-rata 0,009 gram. Ikan ditempatkan dalam bak fiber berkapasitas
200 liter diisi dengan hapa berupa etabol berwarna coklat yang berukuran 0,5 x 0,5 x 0,5 m dan tinggi air 40 cm. Hapa diisi
ikan dengan padat tebar 5 ekor per liter (500 ekor per hapa). Selama pemeliharaan, ikan diberi pakan berupa cacing darah
dan ditambahkan pelet sesudah ikan berukuran panjang rata-rata 2,0 cm. Penelitian menggunakan 4 (empat) kali ulangan
dengan melakukan pengamatan pada hari ke 0, 20, 35, 55, 70, dan 105 dan dianalisis secara deskriptif. Lama pemeliharaan
mengikuti target pasar untuk ukuran panjang ikan yaitu 2,5 cm (ukuran ekspor). Pengamatan dilakukan terhadap panjang
total rata-rata benih ikan botia dan digunakan untuk menghitung laju pertumbuhan panjang harian benih ikan botia.
Berdasarkan grafik hasil penelitian diketahui bahwa target panjang rata-rata ukuran ekspor 1 inchi (2,5 cm) dari seluruh
total populasi pada setiap ulangan tercapai pada lama pemeliharaan sekitar 80 hari. Pada akhir penelitian (hari ke 105),
lebih dari 90% total populasi ikan botia yang dipelihara telah mencapai ukuran > 2,5 cm dan panjang tertinggi sebesar 3,6
cm dengan laju pertumbuhan panjang harian benih ikan botia adalah 1% per hari.

KATA KUNCI: benih botia, pertumbuhan panjang, ukuran ekspor 1 inchi (2,5 cm)
Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

pFF 23

PENGARUH PH TERHADAP PERKEMBANGAN GONAD IKAN RAINBOW SAWIAT


(Melanotaenia SP.)

Eni Kusrini*), Agus Priyadi*), Gigih Setia Wibawa*), dan Irsyaphiani Insan**)
*)
Balai Riset Budidaya Ikan Hias, Depok
**)
Pusat Riset Perikanan Budidaya, Jakarta

ABSTRAK

Ikan rainbow (ikan pelangi) merupakan ikan yang cantik dan terkenal dari Indonesia bagian timur terutama Papua. Permintaan
yang tinggi terutama pasar ekspor dituntut untuk dapat memproduksi dalam jumlah yang besar pula. Produktivitas yang
optimal akan menuntut kondisi lingkungan yang optimal. Kondisi media pemeliharaan terutama pH yang amat berpengaruh
terhadap perkembangan gonad merupakan faktor yang amat penting untuk diketahui nilai optimalnya. Tujuan penelitian
mengenai pengaruh pH air media dalam perkembangan gonad rainbow untuk memperbaiki atau meningkatkan produksinya.
Sebanyak 378 ekor calon induk ikan rainbow Sawiat (Melanotaenia sp.) dipelihara dalam 18 akuarium berukuran 50 x 40
x 35 cm3 dengan kepadatan 21 ekor. Calon induk dipelihara dalam 3 perlakuan yaitu dalam air dengan pH 5,5 – 5,8
(sebagai kontrol); pH 6,0 – 6,9 dan pH 7,0 – 8,0. Pemeliharaan dilakukan selama 6 bulan dengan pemberian pakan berupa
blood worm secara ad libitum sehari 2 kali. Pengamatan pH dilakukan setiap hari dan histologi gonad dilakukan pada awal
dan akhir penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan pH 7,0-8,0 memberikan hasil yang terbaik terhadap
perkembangan gonad ikan rainbow Sawiat.

KATA KUNCI: Melanotaenia sp., gonad, pH air

pFF 24

PENDEDERAN BENIH IKAN PELANGI (Melanotaenia boesemani)


DENGAN PEMBERIAN PAKAN ALAMI YANG BERBEDA

Bastiar Nur, Rendy Ginanjar, dan I Wayan Subamia


Loka Riset Budidaya Ikan Hias Air Tawar, Depok

ABSTRAK

Ikan pelangi Melanotaenia boesemani merupakan ikan hias yang berasal dari Papua dan telah berhasil dibudidayakan di
Loka Riset Budidaya Ikan Hias Air Tawar Riset Budidaya Ikan Hias Air Tawar, Depok. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh pemberian pakan alami yang berbeda pada pendederan benih ikan pelangi. Benih ikan pelangi yang digunakan
berumur ± 1 bulan dengan bobot rata-rata 0,32 ± 0,01 g dan panjang total rata-rata 3,50 ± 0,5 cm dipelihara dalam 9 unit
akuarium dengan padat tebar 20 ekor/akuarium dan diaerasi. Selama 45 hari pemeliharaan, ikan diberi perlakuan pemberian
pakan alami yang berbeda; (A) Chironomus sp., (B) Culex sp., dan (C) Tubifex sp. Pakan diberikan tiga kali sehari yaitu pada
pukul 8.00, 12.00 dan 16.00 dengan metode pemberian sekenyangnya (adlibitum). Hasil penelitian diperoleh bahwa pemberian
pakan alami berupa Tubifex sp. memberikan pertumbuhan (bobot dan panjang) lebih baik dibandingkan Chironomus sp.
dan Culex sp. dengan pertambahan bobot rata-rata sebesar 0,98 ± 0,09 g dan pertambahan panjang total rata-rata sebesar
0,85 ± 0,24 cm. Hasil analisa statistik menunjukkan bahwa pemberian Tubifex sp. memberikan pengaruh yang berbeda
nyata (P<0,05) terhadap pertambahan bobot rata-rata ikan, namun tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap rata-rata
pertambahan panjang total dan sintasannya.

KATA KUNCI: Benih ikan pelangi, pendederan, pakan alami, pertumbuhan, sintasan
Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

pFF 25

PENGARUH PADAT PENEBARAN TERHADAP SINTASAN DAN PERTUMBUHAN BENIH IKAN HIAS
SILVER DOLLAR (Metynnis hypsauchen) DALAM SISTEM RESIRKULASI

Tutik Kadarini*), Lili Sholichah*), Marendra Gladiyakti**)


*)
Balai Riset Budidaya Ikan Hias, Depok
Universitas Diponegoro, Semarang
**)

ABSTRAK

Silver Dollar (Metynnis hypsauchen) merupakan salah satu ikan hias air tawar yang berasal dari perairan Amerika Selatan.
Sistem resirkulasi dalam pembenihan dapat meningkatkan padat tebar serta sintasan dan pertumbuhan benih ikan silver
dollar. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh padat penebaran terhadap sintasan dan pertumbuhan
ikan Silver Dollar (Metynnis hypsauchen) dalam sistem resirkulasi. Ikan uji yang digunakan adalah benih berukuran
panjang 2.13±0.02 cm dengan bobot 0.22±0.02 g. Design penelitian menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan
perlakuan A (1 ekor/L), B (2 ekor/L), C (3 ekor/L) dan D (4 ekor/L) dan masing-masing diulang sebanyak 3 kali. Ikan
dipelihara dalam akuarium resirkulasi berukuran 40 x 25 x 40 cm3 dan diberi pakan pellet sebanyak 5% biomass dengan
frekuensi pemberian pakan 3x/hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan perbedaan kepadatan tidak
memberikan pengaruh terhadap sintasan, tetapi berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap pertumbuhan. Pertumbuhan dan
sintasan terbaik adalah perlakuan A (kepadatan 1 ekor/L).

KATA KUNCI: Metynnis hypsauchen, resirkulasi, padat tebar, pertumbuhan, sintasan

pFF 26

OPTIMALISASI PADAT TEBAR BERBEDA TERHADAP SINTASAN LARVA BOTIA (Chromobotia


macracanthus) YANG DIPELIHARA DALAM SISTEM RESIRKULASI

Agus Priyadi*), Rendy Ginanjar*), Asep Permana*), dan Jacques Slembrouck**)


*)
Balai Riset Budidaya Ikan Hias Depok, Indonesia
**)
Institute Recherche Pour Le Developpement, Prancis

ABSTRAK

Rendahnya sintasan larva dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya kualitas air, ketersediaan pakan dan padat
penebaran. Padat tebar larva memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi dari ikan yang dipelihara. Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk mengetahui padat penebaran optimal pemeliharaan dalam sistem resirkulasi yang dapat
menghasilkan sintasan larva botia tertinggi. Larva botia dipelihara selama 31 hari dalam akuarium berukuran 30 x 20 x 20
cm3 yang dilengkapi dengan sistem resirkulasi yang diisi air sebanyak 5 liter. Perlakuan yang diberikan dalam penelitian
ini adalah padat penebaran yang berbeda yaitu : A. 15 ekor/liter, B. 20 ekor/liter, C. 25 ekor/liter, D. 30 ekor/liter dan E.
35 ekor/liter. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak tiga kali dan rancangan percobaan yang digunakan adalah
Rancangan Acak Lengkap. Pakan yang diberikan selama penelitian adalah nauplii artemia. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa padat penebaran tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap sintasan, namun memberikan pengaruh terhadap
pertumbuhan panjang larva botia. Sintasan dari masing-masing perlakuan adalah sebagai berikut: A. 96.45%, B. 96.67%, C.
97.07%, D. 96.22% dan E. 95.81%. Pertumbuhan panjang larva botia tertinggi dihasilkan pada padat penebaran 15 ekor/L
yaitu 9.67 mm.

KATA KUNCI: ikan botia, sintasan, padat tebar


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

pFF 27

MANAJEMEN PENGEMBANGAN MAGGOT MENUJU KAWASAN PAKAN MINA MANDIRI

Melta Rini Fahmi


Balai Riset Budidaya Ikan Hias, Depok

ABSTRAK

Sebagai sumber protein altenatif maggot telah mampu diproduksi secara masal pada tingkat petani. Kegiatan produksi
massal ini dilaksanakan di Kabupaten Sarolangun, propinsi Jambi. Pemilihan lokasi Sarolangun didasarkan pada lokasi
pabrik sawit yang terdapat didaerah tersebut. Perlu diperhatikan bahwa produksi massal maggot hanya dapat dilakukan
jika bahan baku berupa PKM tersedia dalam jumlah banyak atau produksi dilakukan disekitar perkebunan untuk
memperpendek jarak transportasi. Beberapa pertimbangan dalam membentuk suatu kawasan budidaya adalah suplai
benih, ketersediaan pakan dan pemasaran. Pengembangan maggot dalam satu kawasan budidaya memiliki nilai yang
sangat strategis selanjutnya dikenal istilah Kawasan Pakan Mina Mandiri. Beberapa unit kegiatan yang dilakukan untuk
mengembangkan maggot dalam kawasan Mina Pakan Mandiri adalah 1) adanya unit produksi maggot, 2) unit pengolahan
pakan dan 3) unit budidaya. Unit produksi maggot memiliki prasyaratan sebagai berikut; lokasi berada pada fegetasi hutan
atau perkebunan dan dekat dari pabrik Palm Kerenel Oil (PKO), memiliki bak kultur, memiliki bak untuk restokin, air tersedia
dalam jumah yang cukup. Unit pengolah pakan memiliki prasyarat sebagai berikut; memiliki mesin pelet, area penjemuran
atau alat pengeringan pakan (drying), bahan pakan seperti vitamin dan dedak. Unit budidaya ikan memiliki prasyarat
sebagai berikut; kolam budidaya dan manajement budidaya yang baik.

KATA KUNCI: maggot, biokonversi, Kawasan Mina Pakan Mandiri, Sarolangun

pFF 28

PHENOTYPIC PLATISITY KUNCI SUKSES ADAPTASI IKAN MIGRASI

Melta Rini Fahmi


Balai Riset Budidaya IkanHias, Depok

ABSTRAK

Migrasi atau dalam dunia perikanan lebih dikenal juga dengan istilah ruaya merupakan pergerakan suatu spesies pada
stadia tertentu dalam jumlah banyak ke suatu wilayah untuk bereproduksi, menemukan makanan serta tempat yang
memiliki iklim tepat untuk kelangsungan hidupnya. Proses fisiologi yang berperan penting dalam kesuksesan migrasi
adalah mekanisme osmoregulasi dan metabolisme. Proses migrasi pada ikan merupakan respon fisiologis terhadap input
internal maupun eksternal yang diterima. Input yang diterima oleh ikan akan menghasilkan tanggapan atau perubahan
pada perilaku dan morfologi. Perubahan lingkungan selama migrasi akan memberikan respon terhadap tingkah laku ikan
(karakter phenotipik). Perubahan selama proses migrasi meliputi perubahan perilaku dan morfologi. Phenotypic plasticity
adalah kemampuan suatu genotypic untuk menghasilkan lebih dari satu karakter morfology, fisiologi dan tingkah laku
dalam merespon perubahan lingkungan. Sehingga respon suatu gen terhadap perubahan lingkungan bisa menggambarkan
polymorphism gen tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi migrasi adalah faktor internal yang meliputi genetic atau
insting, makanan, dan homing atau reproduksi, sedangkan factor eksternal yaitu, lunar, temperature, salinitas dan arus.
Migrasi terbagi menjadi migrasi vertical dan horizontal. Migrasi horizontal lebih dikenal dengan diadromus yaitu pergerakan
ikan dari air tawar menuju air payau.

KATA KUNCI: Phenotipic plasticity, Ikan migrasi, Ikan Sidat (Anguilla sp.)
Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

pFF 29

VARIASI GENETIK PERSILANGAN 3 STRAIN IKAN NILA (Oreochromis niloticus)


DENGAN IKAN MUJAIR (O. mossambicus)

Nunuk Listiyowati, Didik Ariyanto, dan Erma Primanita Hayuningtyas

Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar, Sukamandi

ABSTRAK

Kegiatan hibridisasi (persilangan)antar strain dan species ikan tilapia diharapkan mampu meningkatkan variasi genetik
populasi. Selain itu, juga untuk mengetahuii efek domnansi tetua terhadap anakan hasil persilangan tersebut. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui variasi genetik serta hubungan kekerabatan antar benih persilangan 3 strain ikan nila
(Oreochromis niloticus) dengan mujair (O.mossambicus). Penelitian ini di ini dilakukan di Loka Riset Pemuliaan dan
Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar, Sukamandi. Ikan yang di gunakan adalah hasil persilangan 4 strain, nila BEST
(Bogor Enhancement Strain of Tilapia), nila merah (Red NIFI), NIRWANA (nila ras wanayasa), mujair (O.mossambicus).
Persilangan dilakukan secara dua arah penuh (full diallel crossing) sehingga dihasilkan 16 populasi, tetapi yang
menghasilkan benih hanya 15 populasi. Metode yang digunakan adalah Randomly Amplified Polimorphic DNA (RAPD),
untuk mengamati variasi genetik benih persilangan ikan nila. Parameter tersebut dianalisis menggunakan program TFPGA
(Tools for Population Genetic Analysis) untuk menghitung polimorfisme dan jarak genetik. Hasil dari persentase polimorfik
(berkisar 5,26% – 63,15%), terendah pada populasi 14 (Nirwana @& x Nirwana B&) dan tertinggi pada populasi 7 (Mujair @&
x Mujair B&). Jarak genetik 15 populasi persilangan berkisar (0,236 – 0,560), terdekat adalah antara populasi 3 (BEST x
Nirwana) dangan populasi 2 (BEST x Red NIFI) dan terjauh antara populasi 14 (Nirwana x Nirwana) dengan populasi 11 (Red
NIFI x Mujair). Hubungan kekerabatan 15 populasi persilangan cukup jauh dan membentuk beberapa cluster berdasarkan
induk betina sebagai penurun gen dominan. Kekerabatan terjauh adalah pada persilangan yang menggunakan induk
betina Ikan Mujair dan NIRWANA, sedangkan hubungan kekerabatan terdekat adalah pada persilangan nila BEST.

Kata kunci: Randomly Amplified Polymorphic DNA (RAPD), Persilangan, Oreochromis niloticus , jarak
genetik.

pFF 30

ISOLASI DAN KARAKTERISASI BAKTERI DENITRIFIKASI


SEBAGAI AGEN BIOREMEDIASI NITROGEN ANORGANIK

Khairul Syahputra*), Iman Rusmana**), dan Utut Widyastuti**)


*)
Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar, Sukamandi
**)
Institut Pertanian Bogor

ABSTRAK

Denitrifikasi merupakan salah satu proses utama yang mengurangi kandungan senyawa nitrogen anorganik di perairan.
Proses ini dapat digunakan untuk mengatasi kelebihan senyawa nitrogen anorganik yang tinggi di kolam budidaya
perikanan. Penelitian ini bertujuan untuk mengisolasi dan mengkarakterisasi isolat bakteri denitrifikasi sebagai agen
bioremediasi senyawa nitrogen anorganik. Sebanyak 21 isolat bakteri pereduksi nitrat berhasil diisolasi dari medium
pengkayaan dengan konsentrasi nitrat 100 µM dan 1500 µM. Sebanyak 6 isolat merupakan kelompok bakteri denitrifikasi
(fermentatif negatif) dan 15 isolat termasuk kelompok bakteri fermentatif. Berdasarkan hasil seleksi didapatkan isolat
HNF5 dan LNF mempunyai kemampuan reduksi nitrat yang tinggi. Aktivitas reduksi nitrat terjadi dari awal inkubasi, dimana
aktivitas paling cepat terjadi pada fase eksponensial pertumbuhan bakteri. Isolat HNF5 dan LNF memiliki kecepatan
maksimum reduksi nitrat (Vmaks) 0.17 mM.h-1 dan 0.16 mM.h-1 dengan nilai konstanta Michaelis-Menten (Km) 0.40 mM dan
0.28 mM. Identifikasi dengan sekuen 16S-rRNA memperlihatkan bahwa isolat HNF5 dan LNF mempunyai kemiripan dengan
Pseudomonas aeruginosa.

Kata kunci: denitrifikasi, nitrogen anorganik, reduksi nitrat


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

pFF 31

DISTRIBUSI DAN MIGRASI PRIMORDIAL GERM CELL PADA IKAN GURAMI


(Osphronemus goramy LAC.)

Priadi Setyawan1), Isdy Sulistyo2), dan Gratiana Eka Wijayanti3)


*)
Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar, Sukamandi
**)
Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto

ABSTRAK

Primordial germ cells (PGC) merupakan bentuk awal dari pekembangan sel germinal yang akan berdiferensiasi menjadi
oogonia dan spermatogonia. PGC dapat ditransfer ke dalam alogenik maupun xenogenik resipien dan dapat berkembang
menjadi gamet fungsional. Isolasi dan manipulasi dapat dilakukan apabila diketahui lokasi keberadaan PGC. Penelitian ini
bertujuan untuk menyediakan informasi dasar dalam pemanfaatan PGC khususnya mengenai lokasi keberadaannya.
Metode yang digunakan adalah observasi preparat histologis yang dilanjutkan dengan identifikasi secara morfologi
maupun histokimia. Identifikasi secara morfologi dilakukan dengan pewarnaan haematoxylin-eosin mengacu pada CSIRO
(1996) yang dimodifikasi. Sedangkan secara histokimia dilakukan dengan pewarnaan alkaline phosphatase yang mengacu
pada metode Gomori (1952). Hasil penelitian menunjukkan PGC gurami memiliki karakteristik ukuran sel lebih besar
dibandingkan sel somatis, rasio inti sel:sitoplasma yang besar, inti sel bersifat metakromatik serta diameter sel besar
antara 7-11 µm. Pada tahap pembentukan mata, PGC terdistribusi secara berkelompok di bagian ventral, ventro-lateral
serta bagian lateral embrio pada lapisan diantara saccus vitellinus dengan ektoderma. Migrasi PGC pada larva gurami
melalui lapisan di antara saccus vitellinus dengan lapisan ektoderma dari ventral menuju lateral, kemudian menuju dorsal
di sekitar tubulus renalis dan melewati mesenterium dorsal. Migrasi dilanjutkan menuju bagian lateral intestinum kemudian
menuju gonad primordia. PGC pada larva gurami umur 20 hari sudah berada pada gonad primordia.

KATA KUNCI: PGC, Osphronemus goramy, distibusi, migrasi (footnotes)

pFF 32

UJI PENDAHULUAN: EFEKTIVITAS Bacillus SP. UNTUK MENINGKATKAN NILAI NUTRISI


BUNGKIL KELAPA SAWIT MELALUI FERMENTASI

Wahyu Pamungkas dan Ikhsan Khasani


Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar, Sukamandi

ABSTRAK

Penelitian efektifitas Bacillus sp untuk meningkatkan nilai nutrisi bungkil kelapa sawit melalui fermentasi dilakukan di Loka
Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar. Tujuan dari penelitian adalah untuk mengevaluasi efektivitas
penggunaan Bacillus sp sebagai inokulan dalam fermentasi untuk meningkatkan nilai nutrisi bungkil kelapa sawit, sebagai
bahan baku pakan ikan patin. Bahan pakan yang digunakan adalah bungkil kelapa sawit dan inokulan yang digunakan
adalah jenis Bacillus sp. Perlakuan yang diberikan adalah lama waktu fermentasi bungkil sawit yaitu 2 hari (D1), 4 hari (D2),
6 hari (D3), 8 hari (D4) dan 10 hari (D5) dengan dosis inokulum 2%. Penelitian dirancang dengan menggunakan rancangan
acak lengkap 5 perlakuan dengan tiga ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lama waktu fermentasi selama 2 hari
dapat menurunkan kadar serat kasar dari 17,74% menjadi 5,8%, menurunkan lemak bungkil sawit dari 14,09% menjadi 4,37%
dan meningkatkan kadar protein dari 13,91% menjadi 15,37% setelah proses fermentasi.

KATA KUNCI: Bacillus sp., bungkil sawit, fermentasi, nutrisi dan serat kasar
Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

pFF 33

FITUR UNIT PEMBENIHAN RAKYAT (UPR) PATIN (Pangasius SP.) DI JAWA BARAT DALAM
MENDUKUNG PENGEMBANGANNYA

Rani Hafsaridewi*), Wartono Hadie**), Angela M. Lusiastuti***), Eni Kusrini****), dan Hertria Maharani*)
*)
Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, Jakarta
**)
Pusat Riset Perikanan Budidaya, Jakarta
***)
.Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar, Bogor
****)
Balai Riset Budidaya Ikan Hias, Depok

ABSTRAK

Ikan patin (Pangasius sp.) merupakan salah satu komoditas perikanan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi di Indonesia.
Budidaya ikan patin memiliki tahapan unit pembenihan dan pembesaran. Di Jawa Barat terdapat beberapa unit pembenihan
rakyat (UPR) Patin yang berkembang baik, di antaranya daerah Bogor dan Subang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
sistem budidaya di UPR di Jawa Barat. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli sampai dengan Desember 2009 meliputi
daerah Bogor, Subang, dan Labuan (Merak). Metode penelitian yang digunakan adalah metode survai dan analisis data
secara deskriptif. Pengambilan data melalui responden dilakukan dengan cara purposive sampling. Hasil penelitian yang
diperoleh menunjukkan bahwa sistem budidaya benih di UPR Jawa Barat dan Banten menggunakan dua sistem yang
berbeda yaitu sistem terintegrasi dan sistem kluster. Perbedaan dari kedua sistem ini adalah sifat produksinya. Tipe
integrasi bersifat soliter, dalam satu unit produksi terdapat keseluruhan sistem yang mencakup pemeliharaan induk,
pemijahan dan penetasan telur serta pemeliharaan larva dan benih sampai siap jual,. Sedangkan sistem produksi tipe
kluster bersifat kelompok yang terdiri atas tiga bagian yaitu kluster induk, kluster penetasan telur, dan kluster pemeliharaan
larva dan benih, dengan masing-masing hatchery terpisah lokasinya. Produksi benih pada sistem kluster lebih tinggi
daripada sistem terintegrasi, demikian juga ditinjau dari segi higienis dan kesehatan benih. Kedua sistem tersebut
memiliki kekhususan dalam pengembangan dan pembinaannya, salah satunya melalui Catfish Club Indonesia.

KATA KUNCI: UPR, patin, integrasi, kluster

pFF 34

PRODUKSI JANTAN FUNGSIONAL IKAN NILEM (Osteochilus hasselti): MELALUI PENGALIHAN


KELAMIN SECARA HORMONAL PADA IKAN HASIL PERSILANGAN JANTAN FUNGSIONAL

Jojo Subagja dan Rudhy Gustiano


Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar, Bogor

ABSTRAK

Penelitian perbanyakan pejantan fungsioanal ikan nilem (Osteochilus hasselti) telah dilakukan melalui persilangan
antara kelompok jantan fungsional hasil penelitian 2008 (8 ekor jantan fungsional) dengan betina normal, anakan yang di
peroleh adalah homogametik betina kemudian di lakukan sex reversal (jantanisasi) secara massal dengan metode
perendaman embrio dan melalui oral menggunakan metiltestosteron (MT), benih hasil perlakuan hormon tersebut dipelihara
dan di besarkan untuk dijadikan pejantan fungsional. Sebagian benih hasil perlakuan hormon sebanyak 30 ekor, setelah
mencapai ukuran 3-5 cm dilakukan pemeriksaan gonadnya (penentuan jenis kelamin) dengan metode preparat ulas
menggunakan aceto-charmin, Perlakuan hormon testosteron untuk pengalihan kelamin dibedakan atas dua metode yaitu
melalui perendaman saat embrio dengan dosis 500 ug/L (Subagja, dkk. 2007) serta melalui oral dengan dosis 60 mg/kg
pakan (Popma,1994). Ada perbedaan hasil kelangsungan hidup antara kelompok anakan hasil treatmen hormon yang di
berikan melalui perendaman dan metode oral via pakan, pemberian melalui oral menghasilkan kelangsungan hidup lebih
tinggi 20% dibanding dengan cara perendaman. Dilain pihak dilakukan pengamatan pertumbuhan dari anakan hasil
persilangan dengan jantan fungsional yang tidak dilakukan sex reversal, kelompok ini sebagai materi untuk melihat
ferforma perkembangan gonad hingga dewasa, sebagai materi kegiatan tahun mendatang.

KATA KUNCI: ikan nilem, jantan fungsional, sex reversal, betina homogamet
Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

pFF 35

PEMELIHARAAN LARVA IKAN COBIA (Rachycentron canadum)


DENGAN KEPADATAN YANG BERBEDA

Siti Zuhriyyah Musthofa, Agus Priyono, dan Afifah


Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol

ABSTRAK

Ikan cobia yang merupakan satu-satuya spesies dalam family Rachycentridae memiliki keunggulan tumbuh cepat, memiliki
rasio konversi pakan yang rendah dan dapat dibudidayakan di bak terkontrol dan keramba jaring apung (KJA) sehingga
potensial untuk kandidat budidaya laut. Informasi mengenai kepadatan larva yang optimum belum banyak diketahui,
terutama pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan sintasan larva. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh
kepadatan terhadap pertumbuhan dan sintasan larva cobia. Telur cobia yang berasal dari pemijahan secara alami di
pelihara dalam bak fiber ukuran 1 m3 dengan kepadatan 5 butir/liter (perlakuan G), 10 butir/liter (perlakuan H), 15 butir/
liter perlakuan (I). Rancangan percobaan menggunakan rancangan acak lengkap dengan 3 ulangan. Parameter yang
diamati meliputi pertumbuhan (panjang total tubuh dan bobot larva), sintasan dan kualitas air (meliputi suhu, salinitas,
intensitas cahaya, oksigen terlarut/DO, pH, amonia, dan nitrit). Kepadatan 5 butir/liter menghasilkan pertumbuhan dan
sintasan yang lebih tinggi dibandingkan kepdatan 10 butir/liter dan 15 butir/liter.

KATA KUNCI: sintasan, kepadatan, pertumbuhan, larva cobia Rachycentron canadum

pFF 36

SELEKSI GENERASI SATU TRAIT PERTUMBUHAN IKAN MAS STRAIN RAJADANU

Sidi Asih, Anang H K, M H Fariddudin A, dan Gleni H H


Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar, Bogor

ABSTRAK

Seleksi ikan mas rajadanu pada ukuran konsumsi telah dilakukan pada ukuran rata-rata populasi mencapai bobot individu
431,37 gram selama pemeliharaan 11 bulan dari usia menetas dengan pemberian pakan yang mengadung protein 27 %
dan ransum harian 3 % dari bobot biomas serta nilai FCR 2,1. Diperoleh ikan induk 34 ekor jantan dan 84 ekor betina yang
terseleksi dengan rataan 744,2 gram. Diketahui estimasi nilai heritabilitas rata-rata h²(S+D) = 0,27 pada ukuran konsumsi
dan prediksai terhadap kemajuan Respon seleksi (R) pertumbuhan sebesar 19,57 % dalam satu generasi.

KATA KUNCI: seleksi generasi, ikan mas strain rajadanu


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

pFF 37

EKSPLORASI BAKTERI PROBIOTIK SEBAGAI ANTIBAKTERI UNTUK PENANGGULANGAN PENYAKIT


STREPTOCOCCOSIS

Yani Aryati, Hambali Supriyadi, dan Lila Gardenia


Pusat Riset Perikanan Budidaya, Jakarta

ABSTRAK

Isolasi bakteri probiotik dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan kandidat bakteri probiotik yang akan digunakan
sebagai antibakteri untuk menanggulangi penyakit streptococcosis pada ikan nila (Osphronemus niloticus). Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei untuk mendapatkan berbagai jenis ikan nila untuk diisolasi diisolasi
pada organ pencernaan (usus). Survei dilakukan di beberapa daerah yaitu Cianjur, Klaten,dan Tasikmalaya. Isolasi bakteri
pada organ pencernaan (usus) mendapatkan 97 isolat bakteri. Dari uji daya hambat didapatkan bahwa 3 bakteri merupakan
bakteri yang bisa dijadikan kandidat bakteri probiotik, karena mampu menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus
iniae.

KATA KUNCI: antibakteri, bakteri probiotik, eksplorasi, penanggulangan, penyakit


streptococcosis
Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

pM 01

ANALISIS SPASIAL KELAYAKAN PERAIRAN UNTUK PENGEMBANGAN BUDIDAYA KERANG HIJAU


DI TELUK LADA KABUPATEN PANDEGLANG PROVINSI BANTEN

I Nyoman Radiarta*, Hatim Albasri, Erlania, dan Achmad Sudradjat


Pusat Riset Perikanan Budidaya, Jakarta

ABSTRAK

Budidaya kekerangan (kerang hijau) telah memberikan konstribusi yang cukup nyata bagi peningkatan pendapatan
nelayan sekitar perairan Pantai Panimbang, Kabupaten Pandeglang. Untuk menjamin keberlangsungan usaha budidaya
kerang hijau, pemilihan lokasi yang sesuai merupakan perencanaan awal yang sangat penting. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengkaji tingkat kelayakan perairan untuk pengembangan budidaya kerang hijau di Perairan Panimbang,
Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Parameter penting yang mempengaruhi budidaya kerang hijau telah dikumpulkan
selama penelitian lapangan pada bulan Maret 2010. Pengumpulan data lapangan dirancang secara acak dengan
menggunakan sistem informasi geografis (SIG), dan sebanyak 20 titik pengamatan telah berhasil dikumpulkan. Data yang
dikumpulkan kemudian dianalisis secara spasial dengan SIG. Secara umum, karakteristik perairan cukup mendukung bagi
pengembangan budidaya kerang hijau. Namun hambatan utama dalam keberlanjutan budidaya kerang hijau dilokasi ini
adalah kondisi gelombang dan angin pada musim barat (Desember-Maret) yang cukup besar sehingga menyebabkan
rusaknya media budidaya yang ada. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan berupa data tingkat
kelayakan perairan guna mendukung keberlanjutan usaha budidaya kerang hijau, di perairan Panimbang Kabupaten
Pandeglang.

KATA KUNCI: kerang hijau, budidaya laut, SIG, Teluk Lada, Pandeglang
Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

pK 01

1. STRATEGI PENGEMBANGAN BUDIDAYA UDANG GALAH GIMACRO

Lies Emmawati Hadie*),Wartono Hadie*), Imron**), Retna Utami**), Ikhsan Khasani**), dan Nurbakti Listyanto*)
*) Pusat Riset Perikanan Budidaya, Jakarta
*) Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar, Sukamandi

ABSTRAK

Berdasarkan kajian sosial dan ekonomi mengenai usaha budidaya udang galah pada sentra produksi udang di Yogya, Bali,
Jatim dan Ciamis Jabar memperlihatkan hasil bahwa peluang usaha masih terbuka luas. Namun kendala dalam usaha
tersebut adalah keterbatasan dalam supply udang konsumsi secara kontinyu, padahal permintaan cukup besar. Kendala
teknis pada tingkat pembudidaya adalah keterbatasan dalam penyediaan induk yang bermutu dan keterbatasan dalam
mengadopsi hasil-hasil riset. Berdasarkan survey pada tahun 2008 keterbatasan induk udang galah yang berkualitas baik
juga menjadi kendala bagi UPT seperti di BBAP Samas- Yogyakarta, BBUG Klungkung- Bali, serta UPR yang mengembangkan
usaha perbenihan udang galah. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk menanggulangi masalah tersebut dengan
membentuk net working dalam mengelola parents stock udang galah GIMacro. Pengelolaan induk yang dimaksud perlu
dirancang dan dibentuk dalam suatu sistem produksi yang dapat beroperasi secara berkelanjutan. Penelitian dilakukan
dengan sistem pengembangan udang galah GIMacro yang dirancang dengan sistim piramida yang terdiri dari kelompok
utama yaitu penghasil induk, kelompok kedua adalah penghasil benih, dan kelompok ketiga ialah pembudidaya.
Metoda Analisis data dengan Metode Perbandingan Eksponensial (MPE).Metode MPE merupakan suatu tipe analisis guna
menentukan urutan prioritas alternatif keputusan dengan kriteria jamak. Hasil riset memberikan rekomendasi bahwa
sistem pemuliaan berbasis pembudidaya ternyata efektif untuk pengembangan udang galah GIMacro. Sistem yang dapat
dikembangkan adalah dengan sistim piramida yang terdiri dari kelompok utama yaitu penghasil induk, kelompok
kedua adalah penghasil benih, dan kelompok ketiga ialah pembudidaya. Institusi yang berperan sebagai kelompok
utama adalah LRPTBPAT-Sukamandi, kelompok kedua adalah BBU Pamarican (Jabar), BBAP Samas-Yogya(Jateng),UPU
Probolinggo (Jatim), BBUG Klungkung (Bali) dan kelompok ketiga ialah pembudidaya di wilayah Jabar, Jateng, Bali, dan
Jatim. Sistem piramida ini akan memberikan dampak terhadap berkembangnya sistem budidaya udang galah GIMacro
secara berkelanjutan.

KATA KUNCI: udang, manajemen, induk, sistem piramida

pK 02

PENGGUNAAN EKSTRAK TEMBAKAU (Tobacum nicotiana) SEBAGAI BAHAN HERBAL ALTERNATIF


UNTUK MENANGGULANGI PENYAKIT PARASITIC PADA HUNA (Cherax SPP.)

Uni Purwaningsih dan Taukhid


Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar, Bogor

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas penggunaan ekstrak tembakau untuk menanggulangi penyakit
parasitik pada Huna (Cherax sp.). Masing-masing pengujian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5
perlakuan 3 ulangan. Parameter yang diamati meliputi pemeriksaan parasit, tingkat sintasan, tingkat kesembuhan, dan
diferensial hemosit. Tingkat prevalensi menunjukkan bahwa parasit yang dominan menginfeksi huna yaitu dari kelompok
monogenea trematode adalah Craspedella sp. dan Spiranura sp., sedangkan dari kelompok protozoa adalah Epistylis sp.,
Zoopthalmium sp., Vorticella sp., Carchecium sp., dan Opercularia plikatilis. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa
konsentrasi 200 mg/L adalah dosis terbaik di mana pada dosis ini mampu mengurangi jumlah parasit hingga 76,42%.
Berdasarkan hasil pemeriksaan darah menunjukkan bahwa tembakau tidak bersifat sebagai immunostimulan terhadap
peningkatan respons kekebalan non-spesifik pada huna hal ini ditunjukkan dengan tidak beda nyata antara kelompok
perlakuan dan kontrol.

KATA KUNCI: huna (Cherax sp.), tembakau (Tobacum nikotiana)


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

pK 03

PENGEMBANGAN BUDIDAYA UDANG WINDU (Penaeus monodon) DENGAN TEKNOLOGI


PENTOKOLAN BENUR DAN TAMBAK BERSALINITAS RENDAH

Rusmaedi, Idil Ardi, dan Wartono Hadie


Pusat Riset Perikanan Budidaya, Jakarta

ABSTRAK

Budidaya Udang windu di sawah tambak maupun tambak dengan air bersalinitas rendah mempunyai peluang yang cukup
baik untuk dikembangkan, yaitu menggunakan tingkat teknologi tradisional plus, memanfaatkan pentokolan benur dan
dilakukan pada tambak bersalinitas rendah. Dengan teknologi yang diterapkan, diharapkan dapat menghindari terjadinya
resiko gagal panen akibat serangan penyakit pada udang dan dapat mempersingkat masa pemeliharaan. Penelitian ini
dilakukan pada tambak di daerah Betok Mati, Kecamatan Cilebar, Karawang, Empat petak tambak masing-masing berukuran
3.500 m2 digunakan untuk percobaan. Sebelum penebaran, dilakukan pengolahan tanah tambak,n pengapuran sebanyak
175 kg/petak, kemudian dikeringkan sekitar satu minggu. Selanjutnya tambak dipupuk dengan urea 150 kg dan TSP 75
kg dan pupuk kandang sebanyak 400 kg perpetak. Tambak kemudian diisi air setinggi sekitar 20 cm dan pemberantasan
hama dilakukan menggunakan saponin dengan dosis 20 ppm. Setelah dua hari, pengisian air dilanjutkan sampai ketinggian
40 cm dan dibiarkan sekitar satu minggu untuk siap tebar tokolan dengan kepadatan 6 ekor/m2. Pemeliharaan dilakukan
selama tiga bulan, pada bulan pertama udang tidak diberi pakan, sedangkan pada dua bulan berikutnya diberi pakan pellet
udang. Ikan banding dengan berat rata-rata 30 kg ditebar sebanyak 300 ekor setiap petak, penebaran dilakukan setelah
satu bulan dari penebaran tokolan. Dari pemeliharaan udang selama tiga bulan, diperoleh hasil pertumbuhan tertinggi
pada petak C2 yaitu rata-rata 34,5 g, produksi 81,1 kg dan kelangsungan hidup 11,2 %. Pemeliharaan ikan banding selama
dua bulan diperoleh hasil tertinggi pada petak C3, yaitu pertambahan berat rata-rata 230 g, produksi 78,8 kg dan
kelangsungan hidup 100 %.

KATA KUNCI: udang windu, salinitas rendah, tokolan, Karawang

pK 04

POLIKULTUR UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) DAN


RUMPUT LAUT (Gracilaria verrucosa)

Erfan Andi Hendrajat dan Brata Pantjara


Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros

ABSTRAK

Polikultur di tambak telah banyak dilakukan, namun polikultur udang vaname dan rumput laut masih kurang informasinya.
Penelitian polikultur udang vaname (Litopenaeus vannamei) dan rumput laut Gracilaria verrucosa dilaksanakan di Instalasi
Tambak Percobaan Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau di Marana, Maros dengan menggunakan tambak ukuran 5000
m2/petak sebanyak 4 petak. Sebelum penebaran dilakukan persiapan tambak meliputi perbaikan pematang, pengeringan,
pemberantasan hama, pengapuran dan pemupukan. Hewan uji yang digunakan adalah udang vaname PL-48. Sebagai
perlakuan adalah: (A) monokultur 2 ekor/m2 udang vaname dan (B) polikultur 2 ekor/m2 udang vaname + 2.000 kg/ha
rumput laut, masing-masing dengan dua ulangan. Sintasan dan produksi udang vaname tertinggi diperoleh pada perlakuan
B yaitu masing-masing 54,66% dan 108,6 kg/ha, namun berbeda tidak nyata (P>0,05) dengan perlakuan A di mana sintasan
dan produksinya masing-masing 35,22% dan 72,84 kg/ha.

KATA KUNCI: vaname, Gracilaria verrucosa, polikultur, survival rate, produksi


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

pK 05

PENAMBAHAN TEPUNG TAPIOKA PADA BUDIDAYA UDANG PENAEID DI TAMBAK

Gunarto dan Abdul Mansyur


Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros

ABSTRAK

Program pemerintah hingga 2014 memproyeksikan produksi perikanan budidaya rata-rata sebesar 353% dan khusus dari
udang 201%. Hal tersebut perlu mendapat dukungan dari penelitian. Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan teknik
sederhana dalam upaya peningkatan produksi udang dari budidaya. Enam petak tambak masing-masing ukuran 500 m2
digunakan untuk penelitian penambahan sumber karbohidrat (tepung tapioka) pada budidaya udang vaname (Litopenaeus
vannamei) pola tradisional plus. Pada penelitian lainnya enam petak tambak masing-masing ukuran 4.000 m2 digunakan
untuk budidaya udang windu (Penaeus monodon) pola intensif. Pada budidaya udang vaname pola tradisional plus,
penambahan tepung tapioka dilakukan setiap selang waktu 3–5 hari sekali selama masa pemeliharaan dengan dosis
sebanyak 40% dari total pakan yang diberikan setiap hari. Pada budidaya udang windu intensif, penambahan tepung
tapioka dilakukan setiap selang waktu 3–5 hari sekali selama masa pemeliharaan dengan dosis sebanyak 62% dari total
pakan yang diberikan setiap hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada budidaya udang vaname pola tradisional plus
dengan penambahan tepung tapioka diperoleh produksi udang lebih tinggi yaitu sebanyak 58% dari produksi udang yang
diperoleh pada perlakuan tanpa penambahan tepung tapioka. Pada budidaya udang windu pola intensif penambahan
tepung tapioka belum memberikan peningkatan produksi udang windu secara nyata. Hal tersebut kemungkinan dipengaruhi
oleh sifat udang windu yang lebih karnivora sehingga kurang memanfaatkan bakteri heterotrof yang terbentuk,
kemungkinan lainnya yaitu apakah seharusnya perlu lebih sering lagi frekuensi pemberian tepung tapioka, sehingga
populasi bakteri heterotrof bisa dimanfaatkan secara efektif oleh udang windu.

KATA KUNCI: tepung tapioka, pola tradisional, pola intensif, udang penaeid

pK 06

PERTUMBUHAN PLANKTON PADA APLIKASI PROBIOTIK DALAM PEMELIHARAAN UDANG WINDU


(Penaeus monodon ) DI BAK TERKONTROL

Machluddin Amin dan Abdul Mansyur


Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros

ABSTRAK

Penggunaan probiotik sebagai upaya untuk memperbaiki lingkungan budidaya (tambak) seperti mengurangi limbah organik
pada tambak udang intensif yang berasal dari sisa pakan, kotoran, dan metabolit udang. Tujuan penelitian adalah
mendapatkan data informasi tentang pertumbuhan plankton pada aplikasi berbagai sumber karbohidrat untuk perbanyakan
bakteri probiotik dalam pemeliharaan udang windu (Penaeus monodon), menggunakan bak kayu ukuran 1 m x 1 m x 0,6 m
sebanyak 12 buah. Perlakuan yang diuji adalah sumber karbohidrat untuk perbanyakan probiotik yaitu perlakuan A =
dedak, pelakuan B = sagu, perlakuan C = tapioka, dan perlakuan D = tanpa sumber karbohidrat, masing-masing dengan 3
ulangan. Hewan uji yang digunakan adalah benur udang windu ukuran bobot 0,3 g dengan padat tebar 50 ekor/bak.
Probiotik yang telah diperbanyak dengan menggunakan komposisi perlakuan diberikan sebanyak 5 mg/L setiap 7 hari ke
wadah pemeliharaan udang windu. Pengamatan plankton dilakukan sebanyak 3 kali setiap 2 minggu dengan menyaring
dan memadatkan air contoh media sebanyak 50 L menjadi 100 mL dengan plankton net no. 25. Hasil penelitian menunjukkan
perlakuan aplikasi berbagai sumber karbohidrat untuk perbanyakan probiotik berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap
kelimpahan dan jumlah jenis plankton. Komposisi jenis plankton yang ditemukan terdiri atas fitoplankton diwakili oleh
Kelas Bacillariophyceae, Dinophyceae, dan Cyanophyceae, sedangkan jenis zooplankton diwakili oleh Kelas Crustacea,
Polychaeta, dan Rotatoria. Indeks keragaman menunjukkan komunitas plankton semua perlakuan tidak stabil, indeks
keseragaman menunjukkan komunitas plankton pada perlakuan D relatif lebih merata dibanding perlakuan lainnya, indeks
dominansi menunjukkan komunitas plankton semua perlakuan dalam keadaan labil.

KATA KUNCI: plankton, probiotik, udang windu


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

pK 07

APLIKASI PROBIOTIK DENGAN KONSENTRASI BERBEDA PADA PEMELIHARAAN


UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei)

Hidayat Suryanto Suwoyo dan Markus Mangampa


Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros

ABSTRAK

Penggunaan probiotik sebagai upaya untuk memperbaiki lingkungan budidaya dan menekan penyakit ternyata terbukti
dapat membantu mengatasi sebagian masalah dalam budidaya udang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi
probiotik yang tepat pada pemeliharaan udang vaname dan melihat efeknya terhadap kualitas air, pertumbuhan, sintasan,
dan produksi udang vaname. Penelitian dilakukan skala laboratorium dengan menggunakan 12 bak fiberglass yang
berukuran 1 m x 1 m x 0,5 m dengan volume air 400 L. Setiap bak ditebari pasca larva udang vaname (PL-12) dengan padat
tebar 150 ekor/m2. Probiotik hasil fermentasi diberikan sekali/minggu sekali ke wadah pemeliharaan udang vaname
dengan konsentrasi sesuai perlakuan yaitu A = 1 mg/L, B = 2 mg/L, C = 4 mg/L, dan D = kontrol (tanpa pemberian probiotik
hasil fermentasi) yang di set dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 3 ulangan. Selama pemeliharaan
benur diberi pakan komersial sebanyak 15%–3% dari total biomassa dengan frekuensi 2 kali/hari. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa penambahan probiotik hasil fermentasi pada media pemeliharaan berpengaruh nyata (P<0,05) pada
sintasan dan produksi udang vaname, namun berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap pertumbuhan udang vaname.
Kualitas air yang diperoleh masih dalam kisaran yang layak untuk kehidupan udang vaname. Terdapat kecenderungan
bahwa sintasan dan produksi udang vaname lebih tinggi pada perlakuan yang menggunakan probiotik hasil fermentasi
dibandingkan kontrol.

KATA KUNCI: probiotik, sintasan, Litopenaeus vannamei

pK 08

DINAMIKA PLANKTON PADA BUDIDAYA UDANG WINDU (Penaeus monodon ) YANG


MENGGUNAKAN JENIS PUPUK ORGANIK DI TAMBAK

Machluddin Amin, Abdul Malik Tangko, dan Erfan Andi Hendrajat


Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros

ABSTRAK

Pupuk organik merupakan salah satu jenis pupuk yang mengandung unsur hara makro dan mikro yang dapat dimanfaatkan
untuk pertumbuhan pakan alami di tambak seperti plankton. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dinamika plankton
pada budidaya udang windu (Penaeus monodon) yang menggunakan jenis pupuk organik. Wadah yang digunakan adalah
6 petak tambak masing-masing ukuran luas 500 m2/petak yang ditebari tokolan udang windu ukuran PL-30 dengan padat
tebar 2 ekor/m2 (1.000 ekor/petak). Perlakuan yang dicobakan adalah penggunan jenis pupuk organik yaitu perlakuan A
= kotoran ayam, perlakuan B = kotoran sapi, dan perlakuan C = dedak padi halus. Peubah yang diamati meliputi komposisi
jenis dan jumlah individu plankton, indeks keragaman, indeks keseragaman, dan indeks dominasi plankton selama
pemeliharaan udang windu. Peubah penunjang yang dilakukan adalah pengamatan kualitas air yang meliputi salinitas,
suhu, oksigen terlarut, pH, BOT, PO4, NO2, NO3, setiap 15 hari. Hasil penelitian menunjukkan perlakuan berpengaruh tidak
nyata (P>0,05) terhadap jmlah jenis dan kelimpahan plankton. Jenis fitoplankton didominasi oleh Kelas Bacillariophyceae
dan zooplankton didominasi oleh Kelas Crustacea. Genus fitoplankton yang memilki jumlah individu banyak antara lain
Navicula, Nitzschia, dan Pleurosigma dari Kelas Bacillariophyceae, serta Oscillatoria dari kelas Cyanophyceae. Sedangkan
genera dari zooplankton yang memiliki individu paling banyak adalah Kopepoda dari Kelas Crustascea. Kisaran Indeks
biologi plankton yang diperoleh selama penelitian masing-masing: indeks keragaman (1,199–1,362), indeks keseragaman
(0,689–0,780) dan indeks dominansi (0,324–0,427).

KATA KUNCI: dinamika plankton, udang windu, pupuk organik, tambak


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

pK 09

SINTASAN DAN PERTUMBUHAN BENIH UDANG PAMA (Penaeus semisulcatus)


DENGAN PERLAKUAN SUBSTRAK BERBEDA

Muslimin dan Sulaeman


Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang sintasan dan pertumbuhan benih udang pama dengan
perlakuan substrak yang berbeda. Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober-Desember 2009 di Instalasi Balai Riset
Perikanan Budidaya Air Payau, Dusun Lawallu Kecamatan Mangkoso Kabupaten Barru. Hewan uji yang digunakan dalam
penelitian adalah benih udang pama (Post Larva 25) dengan panjang 1,8±0,2 cm dan bobot awal 0,03±0,01 g. Wadah
yang digunakan dalam penelitian ini adalah bak fiberglass berukuran diameter dan tinggi serta volume 55 L. Penelitian ini
di desain dengan rancangan acak lengkap dengan tiga perlakuan, di mana masing-masing perlakuan diulang tiga kali.
Perlakuan yang diujicobakan dalam penelitian ini adalah A. Substrak tanah tambak, B. Substrak tanah sawah, dan C.
Substrak tanah lumpur. Hasil penelitian menujukkan bahwa sintasan dan pertumbuhan bobot benih udang pama berbeda
nyata (P<0,05) antara perlakuan substrak tanah tambak, substrak tanah sawah, dan substak tanah lumpur, di mana
sintasan dan pertubuhan bobot tertinggi diperoleh pada perlakuan substrak tanah lumpur sebesar 71,0±5,5 dan 21,3±1,6.
Pertumbuhan panjang benih udang pama tidak berpengaruh nyata terhadap perbedaan substrak.

KATA KUNCI: substrak, udang pama, sintasan dan pertumbuhan

pK 10

EFISIENSI BIAYA PRODUKSI DENGAN OPTIMASI UMUR PEMELIHARAAN


PADA BUDIDAYA UDANG WINDU (Penaeus monodon) DI TAMBAK

Nur Ansari Rangka, Machluddin Amin, dan Abdul Mansyur


Balai Riset Perikanan dan Budidaya Air Payau, Maros

ABSTRAK

Penggunaan pakan buatan merupakan komponen terbesar dari biaya produksi udang windu (Penaeus monodon) di tambak,
sehingga diperlukan upaya untuk mengefisienkan penggunaan pakan buatan dengan mengoptimalkan lama pemeliharaan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui optimasi umur pemeliharaan terhadp efisiensi biaya produksi udang windu di
tambak. Penelitian dilaksanakan pada tambak ukuran luas 4.000 m2 Hewan uji yang digunakan adalah udang windu ukuran
PL-10—PL-12 dengan padat tebar 20 ekor/m2. Perlakuan yang dicobakan adalah waktu pemeliharaan udang windu ditambak
yaitu perlakuan A = 90 hari dan perlakuan B = 120 hari, masing-masing dengan dua ulangan. Peubah yang diamati secara
teknis adalah pertumbuhan berat mutlak setiap 15 hari dan penghitungan rasio konversi pakan pada waktu pemeliharaan.
Hasil penelitian menunjukkan produksi udang windu pada perlakuan A dan B masing-masing 397 dan 623 kg/petak, biaya
pakan pada perlakuan A dan B masing-masing Rp 11.984.650,- dan Rp 19.634.875,- sedangkan pada perlakuan A dan B
masing-masing 2,14 dan 2,24. Analisis usaha budidaya udang menunjukkan B/C ratio 1d” 1 (tidak layak). Dengan nilai
efisiensi penggunaan pakan antara petak A dan B sebesar Rp 28.239,- artinya pemeliharaan udang windu dengan pemberian
pakan selama 120 hari (petak B) lebih efisien dibandingkan dengan pemeliharaan selama 90 hari (petak A).

KATA KUNCI: efisiensi, biaya produksi, umur pemeliharaan, budidaya, udang windu
Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

pK 11

UPAYA PENINGKATAN PRODUKSI PADA BUDIDAYA UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei)


POLA TRADISIONAL PLUS DENGAN PENAMBAHAN TEPUNG TAPIOKA

Gunarto dan Nurbaya


Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros

ABSTRAK

Penambahan tepung tapioka pada budidaya udang vaname pola tradisional plus di tambak bertujuan untuk menumbuhkan
bakteri heterotrof agar dapat dimanfaatkan sebagai subsitusi pakan bagi udang yang dibudidayakan. Tambak ukuran
500m2 sebanyak enam petak ditebari udang vaname PL-10 dengan padat penebaran 8 ekor/m2. Perlakuan yang diuji yaitu:
A) penambahan tepung tapioka ke air tambak dengan dosis sebanyak 40% dari total pakan yang diberikan/hari dilakukan
setiap 3–5 hari sekali, B). penambahan fermentasi probiotik ke air tambak sebanyak 5 mg/L/minggu selama masa
pemeliharaan dan C). tanpa penambahan tepung tapioka atau fermentasi probiotik selama masa pemeliharaan. Pakan
diberikan dengan dosis 100%–2% dari total biomassa udang, di mulai setelah satu minggu penebaran. Meskipun udang
terserang White Spot Syndrome Virus (WSSV) pada hari ke-55–60, namun tidak berakibat terjadi kematian massal. Pada hari
ke-84 udang telah sehat kembali dan dilakukan pemanenan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sintasan udang di
perlakuan A = 48,1 ± 13,7%, lebih tinggi daripada perlakuan B = 41,2 ± 13,7% dan perlakuan C = 36,4 ± 0,7%. Produksi udang
di perlakuan A lebih tinggi dengan ukuran udang yang lebih besar (25,3 ± 7,2 kg/500 m2 = 506 kg/ha, ukuran 75 sampai
dengan 78 ekor/kg) dibanding di perlakuan B (20,3 ± 5,6 kg/500 m2 = 406 kg/ha, ukuran 84 sampai dengan 89 ekor/kg)
dan C (16,0 ± 2,7 kg/500 m2 = 320 kg/ha, ukuran 80 sampai dengan 96 ekor/kg). Nilai konversi pakan yang paling efisien
diperoleh pada perlakuan A.

KATA KUNCI: tepung tapioka, fermentasi probiotik, pertumbuhan udang, produksi

pK 12

EFISIENSI PAKAN MELALUI PENAMBAHAN MOLASE PADA BUDIDAYA UDANG VANAME


SALINITAS RENDAH

Brata Pantjara dan Rachmansyah


Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros

ABSTRAK

Budidaya udang vaname pada salinitas rendah mempunyai prospek cukup baik dan berpeluang dikembangkan, karena
selain harga jual udang vaname cukup tinggi juga budidayanya dapat dilakukan pada kolam air tawar. Tujuan penelitian
ini adalah untuk mengetahui produksi udang vanamei yang dipelihara pada salinitas rendah. Penelitian dilakukan di Balai
Riset perikanan Budidaya Air payau, Maros. Kolam percobaan berupa bak beton dan digunakan sebanyak 4 buah, masing-
masing bak mempunyai ukuran panjang, lebar dan kedalaman secara berurutan adalah 10 m, 1,5 m dan 1 m. Kolam
tersebut juga dilengkapi dengan aerasi sebanyak 10 buah. Perlakuan yang dicoba adalah budidaya udang vaname pada
salinitas rendah dengan penambahan molase (A) dan tanpa penambahan molase (B). Ukuran tokolan udang vaname yang
dicoba adalah Post Larva (PL-34) dengan padat penebaran masing-masing perlakuan adalah 75 ekor/m2. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa perlakuan A memperoleh sintasan sebesar 91,15%, dengan rata-rata berat 11,66 g/ekor, kisaran
produksi 9,68-13,64 kg/bak atau rata-rata 11,66 kg/bak (7.998,92 kg/ha) dan tanpa molase memperoleh sintasan sebesar
90,61%, dengan rata-rata berat 12,86 g/ekor, kisaran produksi 12,28-13,45 kg/bak atau rata-rata 12,86 kg/bak (8.767,235
kg/ha). Namun demikian, rasio konfersi pakan (RKP) pada perlakuan A mencapai 0,975 dan lebih rendah dibandingkan
perlakuan B yang mencapai 1,325.

KATA KUNCI: molase, udang vaname, salinitas rendah


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

pK 13
PENGARUH SALINITAS MEDIA TERHADAP LAMA WAKTU INKUBASI DAN DAYA TETAS TELUR
UDANG GALAH (Macrobrachium rosenbergii)

Yogi Himawan dan Ikhsan Khasani


Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar, Sukamandi

ABSTRAK

Fase kehidupan udang galah sangat dipengaruhi salinitas lingkungan, karena secara alamiah larva hidup di periran
bersalinitas, sedangkan juvenil dan udang dewasa hidup diperairan tawar. Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh
salinitas terhadap lama waktu pengeraman dan daya tetas telur udang galah, sebagai dasar perbaikan sistem penyediaan
larva udang galah. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan salinitas media penetasan
terdiri atas 0 ‰ (kontrol), 5 ‰, 10 ‰., dan tiga ulangan. Induk udang galah dengan bobot rata-rata 20 g yang sedang
mengerami telur selama 5 hari pasca pembuahan ditampatkan dalam media uji. Wadah yang digunakan berupa corong
fiber volume 50 L yang dilengkapi aerasi dan eceng gondok sebagai pelindung (shelter). Hasil pengamatan menunjukkan
bahwa media bersalinitas 10‰ memberikan hasil terbaik dengan lama inkubasi dan daya tetas 6,6±0,57 hari ; 85%, diikuti
perlakuan 5‰ sebesar 10±0,0 hari; 85%, dan 0‰ sebesar 11,3±1,15; 88%. Keragaan larva yang diperoleh pada media
penetasan 0‰ dan 10‰ menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata.

KATA KUNCI: salinitas, udang galah, waktu inkubasi, daya tetas

pK 14

PEMANFATAAN PROBIOTIK UNTUK PERBAIKAN KUALITAS AIR MEDIA PEMELIHARAAN


DALAM RANGKA PENINGKATAN PRODUKSI UDANG WINDU

Iskandar
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Padjadjaran, Bandung

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan memahami penggunaan probiotik dalam memperbaiki kualitas
air pada budidaya udang, sehingga permasalahan limbah sisa pakan dan metabolit yang menjadi kendala dalam budidaya
udang bisa ditanggulangi. Metode yang dipergunakan pada penelitian ini adalah metode eksperimen dengan menggunakan
Rancangan Acak Lengkap (RAL). Dengan meneliti dua jenis probiotik, yaitu probiotik A (mengandung bakteri Bacillus sp.)
dan probiotik B (mengandung bakteri Bacillus polimyxa, B. laterosporus, Nitrosomonas sp., Nitrobacter sp., Rhodococcus
sp., dan Rhodobacter sp.). Masing-masing perlakuan diulang sebanyak empat kali. Penelitian ini merupakan penelitian
pendahuluan yang dilakukan di laboratorium selama satu bulan, sebelum diaplikasikan di tambak. Penelitian I adalah
pengujian probiotik A, terdiri atas: A. Kontrol (tanpa pemberian probiotik A); B. Pemberian probiotik A dengan konsentrasi
0,001 mL/L; C. Pemberian probiotik A dengan konsentrasi 0,002 mL/L; dan D. Pemberian probiotik A dengan konsentrasi
0,003 mL/L. Penelitian II pengujian probiotik B, terdiri atas: O. Kontrol (tanpa pemberian probiotik B); P. Pemberian probiotik
B dengan konsentrasi 2,5 mg/L; Q. Pemberian probiotik B dengan konsentrasi 5,0 mg/L; dan R. Pemberian probiotik B
dengan konsentrasi 7,5 mg/L. Aplikasi probiotik setiap tiga hari sekali. Ikan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah
benih udang windu (Penaeus monodon Fab.) yang berukuran PL-20. Parameter yang diukur adalah kualitas air, sintasan,
dan pertumbuhan udang. Pengaruh perlakuan terhadap sintasan, pertumbuhan udang dianalisis dengan menggunakan
analisis sidik ragam dengan uji F, apabila terdapat perbedaan antara perlakuan dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda
Duncan dengan taraf kepercayaan 5% (Gaspertz, 1995). Pemberian bakteri probiotik A (Bacillus sp.) berpengaruh nyata
terhadap sintasan benih udang windu. Pemberian bakteri dengan konsentrasi 0,001 mL/L menghasilkan sintasan sebesar
81,25%, dan tanpa pemberian probiotik menghasilkan sintasan sebesar 62,50%. Sedangkan pada pemberian probiotik B
menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Tingkat sintasan yang diberi probiotik B berkisar antara 63,75%–68,75%, dan
kontrol 66,25%. Pemberian probiotik A memberikan pengaruh terhadap rata-rata pertumbuhan mutlak benih udang windu,
pemberian dengan konsentrasi 0,001 mL/L menghasilkan pertumbuhan tertinggi (0,8935 g). Pemberian probiotik B
menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Rata-rata pertumbuhan mutlak individu yang diberi probiotik B berkisar
antara 0,4255–0,4440 g dan kontrol 0,3660 g.

KATA KUNCI: probiotik, udang windu, kualitas air, sintasan, pertumbuhan


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

pK 15

OPTIMASI TEMPLAT DNA GENOM UDANG GALAH, Macrobrachium rosenbergii


DALAM PROSES PCR – RAPD

Dadan Sunandar dan Imron


Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar, Sukamandi

ABSTRAK

Keberhasilan analisis RAPD-PCR sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya karakteristik templat DNA genom
yang meliputi kemurnian, konsentrasi, dan ukuran templat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi dan
ukuran templat DNA genom udang galah yang optimal untuk analisis RAPD. Optimasi konsentrasi dilakukan dengan
menguji sampel-sampel dengan konsentrasi templat yang berbeda mulai dari 5 ng – 2000 nano gram (ng) per rekasi PCR.
Optimasi ukuran templat dilakukan dengan menguji sampel-sampel DNA genom yang komposisi ukurannya bervariasi,
yaitu templat dengan berat molekul tinggi (1), template dengan berat molekul rendah (2) dan templat dengan berat
molekul kombinasi tinggi dan rendah (3). Hasil analisis menunjukkan adanya tingkat konsentrasi dan komposisi templat
DNA genom yang optimal untuk menghasilkan profil RPAD udang galah yang konsisten. Konsentrasi dna 500 ng/reaksi
mampu menghasilkan amplifikasi DNA yang optimal, sedangkan pada konsentrasi rendah (5 ng) dan tinggi (2000 ng) tidak
menghasilkan band dna. Selain itu, pita-pita RAPD yang konsisten juga diperoleh apabila template yang digunakan
merupakan templat yang memiliki berat molekul tinggi. Templat DNA dengan berat molekul rendah tidak dapat diamplifikasi
sedangkan tempat DNA dengan komposisi campuran dapat diamplifikasi tetapi tidak konsisten.

KATA KUNCI: Macrobrachium rosenbergii, PCR, RAPD

pK 16

PENGARUH PERUBAHAN SALINITAS TERHADAP SINTASAN DAN KERAGAAN PERTUMBUHAN POST


LARVA UDANG GALAH (Macrobrachium rosenbergii) POPULASI CIASEM PADA SKALA
LABORATORIUM

Rommy Suprapto dan Dadan Sunandar


Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar, Sukamandi

ABSTRAK

Ketersediaan tambak payau bersalinitas rendah merupakan potensi besar guna meningkatkan produksi udang galah
nasional. Guna mendukung prgoram revitalisasi tambak, dibutuhkan benih udang galah dengan daya toleransi tinggi
terhadap perubahan salinitas media. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perubahan salinitas terhadap
sintasan dan keragaan dari postlarva (PL) udang galah (Macrobrachium rosenbergii) sebagai salah satu upaya pembesaran
udang galah pada media air payau. Populasi yang digunakan pada penelitian ini adalah populasi Ciasem yang sebelumnya
dipelihara pada salinitas 10 ppt dari larva hingga PL 29. Penelitian ini dilakukan pada corong pemeliharaan volume 50 liter
selama 25 hari secara indoor dengan 6 perlakuan yaitu 5 ppt, 10 ppt (kontrol), 15 ppt, 20 ppt, 25 ppt, dan gradual dengan
masing-masing 3 ulangan di Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar, Sukamandi. Hasil yang
diperoleh adalah pada salinitas 5 ppt, 10 ppt, 15 ppt, dan 20 ppt sintasan dari post larva udang galah mencapai 100%,
sedangkan sintasan pada perlakuan 25 ppt mencapai 61,67%. Ditinjau dari keragaan pertumbuhan, populasi yang memiliki
rata-rata panjang total dan panjang standar tertinggi diperoleh pada perlakuan 5 ppt masing-masing sebesar 3,33±0,13 cm
dan 1,92±0,09 cm. Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa keragaan pertumbuhan dari post larva udang
galah tidak berbeda nyata pada setiap perlakuan (P < 0,05).

KATA KUNCI: pertumbuhan, salinitas, udang galah


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

pK 17

PEMBESARAN KEPITING BAKAU (Scylla serrata) DI TAMBAK


DENGAN PEMBERIAN PAKAN BERBEDA

Herlinah, Sulaeman, dan Andi Tenriulo


Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros

ABSTRAK

Penelitian dilakukan di tambak percobaan Marana dengan menggunakan enam petak tambak berukuran luas 250 m2.
Petakan tambak dilengkapi dengan pagar dari waring yang dipasang tertancap pada sekeliling bagian dalam pematang
tambak untuk mencegah kepiting keluar. Benih kepiting crablet-30 (C-30) dengan bobot rataan 0,66 g/ekor ditebar
dengan kepadatan 200 ekor/petak dan dipelihara selama 3 bulan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat kelayakan
pembesaran kepiting bakau di tambak dengan menggunakan 3 perlakuan pakan yakni berupa pelet udang (A), ikan rucah
(B), dan gabungan keduanya (C), masing-masing dua kali ulangan dan dirancang dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL).
Pakan diberikan dua kali sehari selama penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh yang
nyata antar perlakuan terhadap sintasan dan pertumbuhan, baik pertumbuhan bobot, panjang, maupun lebar karapas
(P>0,05). Sintasan yang diperoleh pada penelitian ini yakni 52%–54,5%. Berdasarkan persentase, kepiting yang mampu
mencapai bobot 80 g yakni 58%–90%. Dari pencapaian bobot ini, perlakuan pemberian pelet berbeda nyata dengan kedua
perlakuan lainnya dan perlakuan pemberian ikan rucah dan pemberian pakan gabungan pelet dan rucah tidak berbeda
nyata dan lebih tinggi dibanding pemberian pelet. Oleh karena itu, kesimpulan dari penelitian ini adalah pemberian pakan
berupa ikan rucah atau campuran antara ikan rucah dan pelet lebih baik dibandingkan dengan pelet saja.

KATA KUNCI: kepiting bakau, pemberian pakan, tambak

pK 18

PEMACUAN PERGANTIAN KULIT KEPITING BAKAU MELALUI MANIPULASI LINGKUNGAN UNTUK


MENGHASILKAN KEPITING LUNAK

Nur Ansari Rangka dan Sulaeman


Balai Riset Perikanan dan Budidaya Air Payau, Maros

ABSTRAK

Kepiting lunak merupakan produk dari budidaya kepiting bakau yang permintaan baik lokal maupun ekspornya belum
dapat dipenuhi. Kontroversi terhadap penolakan produk kepiting lunak akibat pemotongan kaki kepiting sebagai upaya
mempercepat pergantian kulit sudah merebak hingga ke manca negara sehingga perlu dicari jalan lain yang dapat
mempercepat pergantian kulit tanpa dilakukan pemotongan kaki. Penelitian akan dilakukan di laboratorium BRPBAP selama
tiga bulan untuk mendapatkan informasi tentang pemacuan molting kepiting bakau melalui manipulasi salinitas media
pemeliharaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa manipulasi salinitas dinilai lebih aman daripada rangsangan pergantian
kulit dengan manipulasi hormon yang akan mempengaruhi penerimaan konsumen.

KATA KUNCI: pergantian kulit, kepiting bakau, manipulasi lingkungan, kepiting lunak
Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

pK 19

KERAPATAN HUTAN MANGROVE SEBAGAI DASAR REHABILITASI DAN RESTOCKING KEPITING


BAKAU DI KABUPATEN MAMUJU PROVINSI SULAWESI BARAT

Mudian Paena, Hasnawi, dan Akhmad Mustafa


Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros

ABSTRAK

Hutan mangrove merupakan salah satu sumberdaya alam daerah pantai yang mempunyai arti penting berupa fungsi
produksi, perlindungan, dan pelestarian alam, merupakan suatu ekosistem yang sangat unik yaitu sebagai penyeimbang
antara ekosistem daratan dengan ekosistem lautan. Dibalik manfaat mangrove yang demikian banyaknya, pengrusakan
mangrove juga terus berlangsung oleh berbagai alasan, sehingga upaya rehabilitasi saat sekarang sangat penting untuk
dilakukan tentunya dengan dukungan informasi mengenai sebaran dan kerapatannya. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui kerapatan dan luas sebaran hutan mangrove di Kabupaten Mamuju serta kemungkinan restocking kepiting
bakau. Metode penelitian adalah pemanfaatan penginderaan jauh dan sistem informasi geografis serta survai lapangan.
Bahan yang digunakan adalah citra ALOS akuisisi tahun 2009, peta digital Rupa bumi Indonesia wilayah Kabupaten
Mamuju serta peralatan survai lainnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerapatan mangrove di wilayah pesisir
Kabupaten Mamuju berkisar 1.000–1.300 pohon/ha dengan rata-rata 1.100 pohon/ha, jumlah permudaan 450–500 pohon/
ha, serta luas hutan mangrove di Kabupaten Mamuju mencapai 1.573,04 ha. Dengan luasan tersebut dapat dilakukan
restocking sebanyak 1.000 ekor/ha ukuran crablet-30.

KATA KUNCI: kerapatan hutan mangrove, restoking kepiting bakau, Kabupaten Mamuju

pK 20

BUDIDAYA RAJUNGAN (Portunus pelagicus) PADA TAMBAK BERSALINITAS TINGGI

Suharyanto dan Abdul Mansyur


Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros

ABSTRAK

Pada musim kemarau banyak tambak tidak dimanfaatkan petambak karena salinitas cukup tinggi yakni di atas 40‰ sehingga
tambak tidak dapat berproduksi, sehingga perlu riset budidaya rajungan pada musim kemarau. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mendapatkan data dan informasi tentang laju pertumbuhan sintasan dan produksi rajungan yang dibudidayakan
pada tambak bersalinitas tinggi. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Taipa Kecamatan Mapakkasunggu Kabupaten Takalar
mulai Tanggal 26 September sampai dengan 24 Desember 2009 (90 Hari). Tambak yang digunakan berukuran 10.000 m2.
Tambak ditebari benih rajungan, rumput laut dengan kepadatan 1.000 kg sebagai selter dan 500 ekor ikan bandeng untuk
mengendalikan lumut yang tumbuh. Benih rajungan yang digunakan adalah krablet 10 dengan lebar karapas dan bobot
masing-masing adalah 4,1±0,2 mm dan 0,05±0,02 g dengan kepadatan 1 ind./m2. Ikan bandeng yang digunakan adalah
gelondongan umur 1,5 bulan dengan panjang dan bobot masing-masing adalah 8,0 ± 2,7 cm dan 4,2 ± 2,2 g. Peubah yang
diamati adalah pertumbuhan lebar karapas, bobot, sintasan, dan produksi serta parameter kualitas air, data yang diperoleh
dibahas secara deskriptif. Selama penelitian diberi makan ikan rucah 2 kali sehari dengan dosis 15%—5% dari total
biomasa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan rajungan lambat pada salinitas tinggi (41‰—4 9‰)
mengakibatkan sintasan dan produksi rendah. Budidaya rajungan tidak disarankan pada tambak bersalinitas tinggi.

KATA KUNCI: rajungan, tambak bersalinitas tinggi, pertumbuhan, sintasan, produksi


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

pLL 01

KAJIAN SPASIAL KELAYAKAN PERAIRAN UNTUK PENGEMBANGAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT,


Kappaphycus alvarezii, DI KABUPATEN GORONTALO UTARA PROVINSI GORONTALO

Hatim Albasri, I Nyoman Radiarta, Adang Saputra, dan Achmad Sudradjat


Pusat Riset Perikanan Budidaya, Jakarta

ABSTRAK

Kabupaten Gorontalo Utara telah ditetapkan sebagai salah satu kawasan pengembangan minapolitan. Budidaya rumput
laut (Kappaphycus alvarezii) merupakan satu komoditas unggulan untuk mendukung program nasional minapolitan
dikabupaten ini. Dukungan data dasar mengenai potensi wilayah (perairan) tentunya sangat diperlukan untuk mendukung
program nasional tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan kajian kelayakan perairan untuk pengembangan
budidaya rumput laut di Kabupaten Gorontalo Utara. Kajian dilakukan secara spasial dengan menggabungkan data lapangan
dan data penginderaan jauh (inderaja). Pengumpulan data lapangan telah dilakukan pada bulan Maret 2010. Sebanyak 28
titik pengamatan yang tersebar secara acak telah dikumpulkan selama survei lapangan. Seluruh data yang dikumpulkan
kemudian dianalisis secara spasial dengan sistem informasi geografis (SIG) yang digabunggan dengan multi-criteria
analysis (MCA). Untuk memfokuskan kegiatan budidaya rumput laut, analisis spasial hanya dibatasi pada kedalaman
kurang dari 50 m. Tingkat kelayakan perairan dikategorikan dalam empat kategori yaitu sangat layak, layak, cukup layak
dan tidak layak. Secara umum, kondisi perairan sangat mendukung pengembangan budidaya rumput laut. Hal ini terbukti
dengan telah banyaknya kegiatan budidaya rumput laut yang berkembang terutama di Kecamatan Angrek (kawasan inti
minapolitan). Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan berupa data dasar potensi wilayah guna
mendukung program nasional minapolitan di Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo.

KATA KUNCI: minapolitan, rumput laut, SIG, Gorontalo Utara

pLL 02

DISTRIBUSI LOGAM BERAT DALAM AIR DAN SEDIMEN DI PERAIRAN DANAU MANINJAU
PROVINSI SUMATERA BARAT

Adang Saputra, Anjang Bangun Prasetio, dan I Nyoman Radiarta


Pusat Riset Perikanan Budidaya, Jakarta

ABSTRAK

Pengamatan terhadap kandungan logam berat dalam air dan sedimen telah dilakukan di perairan Danau Maninjau pada
bulan September dan Oktober 2009. Akumulasi logam berat dalam air Danau Maninjau lebih rendah dibandingkan di dalam
sedimen. Hasil tersebut memperlihatkan bahwa kadar semua logam berat yang diamati masih sesuai dengan nilai ambang
batas baku mutu air tawar yang ditetapkan oleh pemerintah pada kelas III (untuk perikanan), selain itu ada indikasi bahwa
logam berat tersebut terakumulasi dalam sedimen. Distribusi logam Hg pada bulan September lebih tinggi dibandingkan
pada bulan Oktober 2009 dengan kadar tertinggi ditemukan di dekat lokasi pertanian dan saluran pengeluaran (outlet).
Kandungan Hg pada pengamatan bulan September rata-rata sebesar 0,136 mg/L dan pada pengamatan bulan Oktober
2009 tidak terdeteksi. Distribusi kandungan logam Cd dan Pb tidak terdeteksi baik pada pengamatan bulan September
dan Oktober 2009. Kandungan logam Cu pada pengamatan bulan September hasilnya tidak terdeteksi, tetapi pada
pengamatan bulan Oktober 2009 hasilnya masih di bawah 0,03 mg/L. Secara umum, kandungan logam berat di lokasi
penelitian masih dalam batas ambang yang ditoleransi untuk kegiatan budidaya ikan.

KATA KUNCI: Danau Maninjau, bioakumulasi, logam berat


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

pLL 03

KELIMPAHAN DAN STRUKTUR KOMUNITAS ALGA PERIFITON PADA KERAPATAN VEGETASI


MANGROVE YANG BERBEDA DI TAMBAK BLANAKAN, SUBANG

Joni Haryadi*), Dara Kasih**), dan Erlania*)


*) Pusat Riset Perikanan Budidaya, Jakarta
**) Universitas Islam Negeri-Syarif Hidayatullah, Jakarta

ABSTRAK

Luruhan daun mangrove yang jatuh diperairan menyediakan substrat untuk menempel bagi alga perifiton (diatom, alga
hijau biru dan alga hijau). Perifiton yang terdapat di Tambak Blanakan, Subang mempunyai peranan yang sangat penting
dalam jaring-jaring makanan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kelimpahan dan struktur komunitas alga
perifiton pada kerapatan vegetasi mangrove yang berbeda di tambak Blanakan, Subang. Penelitian ini dilakukan pada
bulan Februari – Maret 2009 dengan menggunakan metode survey dan random sampling. Daerah penelitian dibagi
menjadi 3 stasiun berdasarkan vegetasi mangrove yang berada pada Tambak Blanakan, Subang. Pengambilan sampel alga
perifiton dilakukan setelah perendaman kantung serasah daun pada hari ke-10, 20 dan 30. Berdasarkan hasil penelitian
ditemukan 38 spesies alga perifiton. Nitzschia sigma, N.vermicularis dan Pleurosigma angulatum merupakan spesies
yang melimpah. Kelimpahan alga perifiton berkisaran antara 172 individu/cm2-414 individu/cm2. Kelimpahan tertinggi
alga perifiton terdapat pada stasiun II adalah 414 individu/cm2. Indeks keanekaragaman berkisar antara H’=2,711-2,962,
indeks keseragaman berkisar antara E=0,814-0,853, sedangkan indeks dominansi berkisar antara D=0,076-0,085. Analisis
Variansi menunjukkan adanya perbedaan yang nyata di setiap stasiun.

KATA KUNCI: alga perifiton, tambak, mangrove

pLL 04

STUDI KUALITAS AIR PADA INLET DAN OUTLET


DI BALAI BESAR RISET PERIKANAN BUDIDAYA LAUT, GONDOL-BALI

Apri I. Supii, Adi Hanafi, dan Sudewi


Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol

ABSTRAK

Keberhasilan usaha budidaya laut baik perbenihan maupun pembesaran sangat ditentukan oleh pengaruh kualitas air.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mutu air laut sebagai sumber utama kegiatan budidaya di sekitar BBRPBL
Gondol-Bali. Sampling air secara regular untuk pengamatan fisika, kimia, dan plankton dilakukan seminggu sekali. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kualitas fisika air inlet yang meliputi suhu, TSS, dan salinitas masih berada dalam kisaran
yang normal untuk kehidupan biota laut. Kualitas kimia air untuk pH, DO, nitrit, dan amoniak masih pada kisaran yang
sesuai dengan baku mutu yang ditetapkan oleh pemerintah. Sementara untuk konsentrasi nitrat dan fosfat berada di atas
ambang baku mutu yang ditetapkan. Berdasarkan indeks keragaman plankton dapat dinyatakan kondisi air tidak tercemar
hingga tercemar sedang. Hasil penelitian selama Agustus hingga Oktober 2009 tidak menunjukkan adanya fluktuasi mutu
air inlet dan outlet.

KATA KUNCI: kualitas air, inlet, outlet, BBRPBL Gondol


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

pLL 05

P E M A N FA ATAN LIMBAH BUDIDAYA AKUAPONIK


UNTUK PERTUMBUHAN PAKAN ALAMI
Winarlin, Ani Widiyati, Kusdiarti, dan Nuryadi
Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar

ABSTRAK

Keberadaan kandungan N dan P dalam limbah budidaya ikan dengan sistem akuaponik diduga dapat dimanfaatkan sebagai
pupuk organik untuk menumbuhkan plankton sebagai pakan alami bagi ikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
dosis limbah (sedimen) hasil budidaya ikan dengan sistem akuaponik untuk produksi pakan alami Moina sp. Wadah
percobaan adalah fiber glass diameter 1 m dan tinggi 80 cm, volume air 500 L. Rancangan percobaan menggunakan
rancangan acak lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan adalah pemupukan dengan perbandingan N,
P, K = 16:20:0, setara dengan dosis pupuk sebagai berikut: 1) 500 g pupuk kandang/kotoran ayam + 40 g TSP , 2). 1.900
g sedimen + 20 g TSP, dan 3). 250 g pupuk kandang/kotoran ayam + 950 g sedimen + 30 g TSP. Panen Moina sp. dilakukan
pada hari ke-8 sejak dilakukannya penebaran. Parameter yang diamati adalah jenis, kelimpahan, indek dominasi, dan
keanekaragaman plankton, serta produksi Moina sp. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sedimen limbah budidaya ikan
sistem akuaponik dapat digunakan sebagai pupuk untuk produksi Moina sp., dengan mencampur 950 g sedimen + 250 g
pupuk kandang/kotoran ayam + 30 g TSP,dengan produksi Moina sp. 9,96 ±1,16 g.

KATA KUNCI: limbah, akuaponik, pakan alami

pLL 06

HUBUNGAN KONVERSI PAKAN DENGAN BEBAN LIMBAH HARA N DAN P


YANG DIBUANG KE AIR PEMELIHARAAN

Yosmaniar dan Fatuchri Sukadi


Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar

ABSTRAK

Pentingnya manajemen pakan dalam budidaya perikanan karena berkaitan dengan beban limbah N dan P yang dihasilkan
berupa sisa pakan yang tidak termakan dan sisa metabolit (feces) ikan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan
konversi pakan dan limbah hara N dan P yang dibuang ke air pemeliharaan dari pakan ikan mas (Cyprinus carpio), nila
(Oreochromis niloticus) dan bawal (Colossoma sp.) di laboratorium. Penelitian dilakukan di Instalasi Riset Lingkungan
Perikanan Budidaya dan Toksikologi Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar Cibalagung, Bogor. Wadah pengujian berupa
14 unit akuarium kaca berukuran 70 cm x 50 cm x 60 cm yang dilengkapi aerasi. Jumlah ikan uji setiap wadah 10 ekor
dengan bobot rataan 10 g. Menggunakan 14 jenis pakan ikan komersial yang beredar di pembudidaya ikan karamba jaring
apung (KJA) di Waduk Cirata dan Jatiluhur, yang terdiri atas: 9 jenis pakan untuk ikan mas; 2 jenis untuk ikan nila dan 3 jenis
pakan untuk ikan bawal. Pengukuran N dan P dilakukan pada ikan dan pakan. Data dianalisis secara deskriptif. Hasil
Penelitian menunjukkan bahwa nilai kisaran konversi pakan untuk ikan mas, ikan nila, dan bawal adalah 1,73–1,90; 1,83–
1,87; dan 1,88–1,89. Nilai kisaran limbah hara N dan P yang dibuang ke air pemeliharaan, yaitu: ikan mas (5,71%–10,63% dan
10,89%–17,21%); ikan nila (3,23%–6,17% dan 8,53%–15,53%) dan ikan bawal (8,48%–9,89% dan 11,58%–13,78%).

KATA KUNCI: konversi pakan, limbah hara N dan P


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

pLL 07

POTENSI UJI POSTULAT KOCH TERHADAP TINGKAT KEGANASAN Streptococcus agalactiae

Angela Mariana Lusiastuti*), Esti Handayani Hardi**), Sukenda***), Taukhid*)


*)
Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar, Bogor
**)
Mahasiswa S3 Program Studi Ilmu Akuakultur Institut Pertanian Bogor
***)
Dosen Budidaya Perairan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

ABSTRAK

Penyakit Streptococcosis yang disebabkan oleh Streptococcus agalactiae adalah penyakit yang menyerang ikan Nila,
Oreochromis niloticus. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui tingkat keganasan atau virulensi dari beberapa jenis isolat
S. agalactiae setelah dilakukan uji Postulat Koch. Isolat yang digunakan merupakan koleksi BRPBAT Bogor yaitu isolat
N3M (1), N4M (2), N14G (3), N17O (4), dan NK1 (5) yang berasal dari organ otak, mata, dan ginjal ikan Nila dari daerah Jawa
Barat dan Jawa Tengah. Kelima isolat bakteri tersebut masing-masing diinjeksikan 0,1 mL intra peritoneal pada 20 ekor ikan
dan diamati gejala klinis serta kematian yang muncul. Ikan yang menunjukkan gejala klinis diisolasi kembali untuk
memperoleh kepastian infeksi akibat S. agalactiae. Bakteri teridentifikasi digunakan kembali untuk pengujian Postulat
Koch sampai 3 kali pengujian. Hasil yang diperoleh, pada uji Postulat Koch I gejala klinis yang nampak warna tubuh ikan
Nila menghitam dan garis vertikal tubuh juga menghitam, sedangkan dari hasil uji Postulat Koch ke-2 mata mulai mengkerut
dan tampak adanya clear operculum. Pada Postulat Koch ke-3 terjadi exophthalmus dan abses pada kulit. Isolat 1, 4, dan
5 muncul gejala whirling setelah 5 hari pasca injeksi dan otak dalam keadaan hancur.

KATA KUNCI: Streptococcus agalactiae, Postulat Koch, tingkat keganasan

pLL 08

PENCEGAHAN HAMA DAN PENYAKIT RUMPUT LAUT

Petrus Rani Pong-Masak


Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros

ABSTRAK

Komoditas rumput laut menjadi salah satu pilihan utama dalam bidang perikanan budidaya pada berbagai program pemerintah
maupun LSM, khususnya dalam pencapaian visi Kementerian Kelautan dan Perikanan, yakni Indonesia penghasil produk
kelautan dan perikanan terbesar pada tahun 2015. Produksi rumput laut ditargetkan meningkat dari 2,6 juta ton per tahun
sekarang ini menjadi 7,6 juta ton per tahun pada 2014, sehingga sangat dibutuhkan manajemen budidaya yang dapat
meminimasi kegagalan produksi. Budidaya rumput laut khususnya Kappaphycus sp. di laut dan Gracillaria sp. di tambak
telah berkembang pesat di beberapa sentra pengembangan budidaya. Metode budidaya cukup sederhana dan secara
teknis dapat diadopsi serta dikembangkan oleh masyarakat pembudidaya, namun masih sering terjadi kegagalan panen
dan kerugian akibat beberapa kendala dan hambatan dalam operasional budidaya. Salah satu faktor yang paling merugikan
pembudidaya adalah terjadinya serangan hama dan penyakit. Oleh karena itu, diperlukan identifikasi masalah hama dan
penyakit pada rumput laut serta usaha pencegahannya, sehingga dapat meminimasi kegagalan panen. Makalah ini
merupakan tulisan review berdasarkan hasil penelitian dan pengalaman di lapangan selama beberapa tahun terakhir.
Tulisan isi bertujuan untuk mengidentifikasi hama dan penyakit yang sering menyebabkan kegagalan budidaya serta
uraian cara pencegahan dan penanganan hama dan penyakit rumput laut.

KATA KUNCI: rumput laut, hama, penyakit, pencegahan


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

pLL 09

POTENSI, KARAKTERISTIK, DAN KESESUAIAN LAHAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT


DI PERAIRAN PESISIR KABUPATEN KOLAKA SULAWESI TENGGARA

Mudian Paena dan Kamariah


Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros

ABSTRAK

Kabupaten Kolaka sejak tahun 2000 merupakan salah satu kabupaten sentra produksi rumput laut di Provinsi Sulawesi
Tenggara. Sampai saat ini belum ada informasi yang memadai tentang potensi dan tingkat kesesuaian lahan budidaya
rumput laut di perairan pesisir Kabupaten Kolaka, demikian pula dengan karakteristik físika dan kimia oseanografinya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi, karakteristik, dan kesesuaian lahan di perairan pesisir Kabupaten
Kolaka. Metode penelitian yang dilakukan adalah survai lapangan dan pemanfaatan sistem informasi geografis. Bahan
yang digunakan adalah peta digital Rupa bumi Indonesia wilayah Kabupaten Kolaka dan peralatan survai lainnya. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa potensi lahan budidaya rumput laut di Kabupaten Kolaka mencapai 27.610,95 ha, dengan
tingkat kesesuaian lahan sesuai 21.695,32 ha, kurang sesuai 2.820,30 ha dan tidak sesuai 3.095,33 ha. Karakter perairan
pesisir Kabupaten Kolaka dicirikan dengan kecerahan 1,1–8,3 meter; kedalaman 1–40 meter, suhu 29,57°C–30,66°C; pH
antara 6,02–9,37; salinitas 36,10–36,90 ppt; oksigen terlarut 5,81–6,85 mg/L; bahan organik total 37,38–44,09 mg/L; nitrit
<0,0008–0,0037 mg/L; nitrat 0,0267–0,01169 mg/L; fosfat 0,0032–0,1113 mg/L; besi 0,039–0,685 mg/L; dan total suspensi
<25–80 mg/L.

KATA KUNCI: potensi, kesesuaian rumput laut, Kabupaten Kolaka

pLL 10

OPSI PEMANFAATAN WILAYAH PESISIR DI KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR SULAWESI SELATAN

A.Indra Jaya Asaad, Rachman Syah, Syarifuddin Tonnek, Mudian Paena, Petrus Rani Pong-Masak, dan Makmur
Balai Riset Perikanan Buddidaya Air Payau, Maros

ABSTRAK

Penelitian untuk mengkaji opsi pemanfaatan wilayah pesisir dan pengelolaan terumbu karang di Kabupaten Kepulauan
Selayar telah dilakukan bulan Oktober – November 2009. Penelitian ini difokuskan pada Kecamatan Bontomatene Kabupaten
Kepulauan Selayar. Metode penelitian menggunakan metode survei yang meliputi pengumpulan data primer dan sekunder.
Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara wawancara mendalam, pengisian formulir penilaian (skoring) dan kuisioner
kepada masing-masing kelompok responden. Selain itu dilakukan observasi lapangan sebagai alat untuk triangulasi data
di lapangan. Pengumpulan data sekunder dilakukan dari laporan berbagai instansi yang disesuaikan dengan tujuan
penelitian. Analisa data menggunakan analisa hierarki proses dengan bantuan perangkat expert choice 11 untuk
menentukan opsi pemanfaatan wilayah pesisir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas akuabisnis berupa budidaya
rumput laut menjadi opsi utama pemanfaatan wilayah pesisir. Opsi selanjutnya berdasarkan nilai bobot gabungan tertinggi
yaitu transplantasi karang, aktivitas pengembangan ekowisata dan aktivitas budaya/pemuda bahari.

Kata kunci : Opsi pemanfaatan wilayah pesisir, analisis hierarki proses, Kabupaten Kepulauan
Selayar.
Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

pLL 11

ANALISIS FAKTOR KONDISI KONTINUITAS BUDIDAYA KERAMBA JARING APUNG


DI TELUK LAMPUNG

A.Indra Jaya Asaad, Makmur, Rachman Syah, Muhammad Chaidir Undu, dan Muawanah
Balai Riset Perikanan Buddidaya Air Payau, Maros

ABSTRAK

Penelitian mengenai faktor-faktor kondisi yang mendukung kontinuitas aktivitas budidaya Keramba Jaring Apung (KJA) di
Teluk Lampung telah dilakukan pada Bulan Agustus 2009. Cakupan wilayah penelitian meliputi Teluk Hurun, Teluk
Ringgung dan Pulau Puhawang di Kawasan Teluk Lampung. Sasaran penelitian adalah pengusaha KJA sebagai key
responden yang berada pada kawasan tersebut. Metode penelitian menggunakan metode wawancara mendalam dan
pengisian kuisioner oleh key responden. Sebanyak 10 key responden telah ditentukan secara purposif berdasarkan
kepemilikan KJA, lama berusaha dalam kurun waktu lebih dari 3 – 5 tahun dan masih aktif sebagai pengusaha KJA. Analisa
data dilakukan secara statistik analisis multivariat dengan pendekatan analisis faktor. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa terdapat 3 faktor utama yang menjadi alasan kontinuitas usaha budidaya KJA bagi para pengusaha. Ketiga faktor
tersebut merupakan hasil pengelompokkan faktor-faktor yang memiliki kedekatan dalam kuadran, yaitu : faktor infrastruktur
dan kondisi perairan, faktor teknologi budidaya, dan faktor pasar.

KATA KUNCI: keramba jaring apung, analisis faktor, Teluk Lampung

pLL 12

KARAKTERISTIK KUALITAS PERAIRAN TAMBAK DI KABUPATEN PONTIANAK

Makmur, Utoyo, A.Indra Jaya Asaad, dan Hasnawi


Balai Riset Perikanan Buddidaya Air Payau, Maros

ABSTRAK

Penelitian mengenai kualitas perairan tambak di Kabupaten Pontianak telah dilakukan pada Bulan Agustus 2009 di Kabupaten
Pontianak Provinsi Kalimantan Barat. Sebanyak 43 titik sampel telah ditentukan secara acak pada perairan tambak yang
meliputi tambak tradisional dan intensif serta pada perairan sungai dan pesisir. Parameter kualitas perairan yang diamati
adalah suhu, konduktivitas, salinitas, kandungan oksigen telarut, pH, NH3, NO2, NO3, PO4 dan Fe. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kualitas perairan pada tambak tradisional menunjukkan kondisi yang kurang sesuai untuk kegiatan
budidaya perikanan. Sedangkan untuk tambak intensif beberapa parameter kimia seperti kandungan N dan P menunjukkan
nilai yang melebihi kisaran optimal pada perairan tambak. Hal yang sama ditemukan pada perairan sungai dan pesisir
Kabupaten Pontianak.

Kata kunci : kualitas perairan, tambak, Kabupaten Pontianak


Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

pLL 13

PENINGKATAN NILAI TAMBAH MELALUI PENGOLAHAN DENDENG IKAN SIDAT


(Anguilla bicolor) HASIL BUDIDAYA

Murniyati*) dan Rusmaedi**)


*)
Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, Jakarta
**)
Pusat Riset Perikanan Budidaya, Jakarta

ABSTRAK

Dalam rangka meningkatkan daya terima masyarakat dan peningkatan nilai tambah ikan sidat telah dilakukan penelitian
pengolahan dendeng ikan sidat (Anguilla bocolor) hasil budidaya. Penelitian dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan
nilai tambah ikan sidat dan mendapatkan informasi mengenai kualitas dendeng ikan sidat. Perlakuan yang digunakan
adalah pengolahan dendeng dengan penambahan bumbu yang terdiri atas rempah-rempah kasar dan halus (ekstrak).
Pengamatan yang dilakukan meliputi organoleptik (rupa dan warna, bau, rasa, dan tekstur) menggunakan skala hedonik,
kimiawi (kadar air, abu, protein lemak, TVB, dan pH), mikrobiologi (Angka Lempeng Total/ALT, kapang) dan rendemen. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa dendeng sidat dengan bumbu kasar mempunyai nilai yang lebih tinggi dibandingkan
dengan bumbu halus terutama dari segi organoleptik. Kadar air, abu, lemak, dan protein masing-masing sebesar 14,46%;
7,44%; 28,97%; dan 28,32%. Sedangkan nilai TVB dan pH masing-masing sebesar 21,04 mgN% dan 6,26%. Rendemen
dendeng sidat dengan bumbu kasar sebesar 57,25% dan dendeng dengan bumbu ekstrak sebesar 59,41%.

KATA KUNCI: ikan sidat, dendeng, nilai tambah

pLL 14

PENGARUH TEKNIK PENGERINGAN DAN PENYIMPANAN RUMPUT LAUT COKLAT


(Sargassum filipendula) TERHADAP MUTU NATRIUM ALGINAT YANG DIHASILKAN

Nurul Hak
Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, Jakarta

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian pembuatan natrium alginat dari rumput laut coklat (Sargassum filipendulla). Rumput laut coklat
setelah dipanen, dicuci dengan air bersih, kemudian direndam dalam larutan KOH 0,1% selama 60 menit. Rumput laut
coklat dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama ditebar di atas para-para pada ketinggian 1 m dari lantai, dan
dijemur di bawah sinar matahari selama 18 jam. Kelompok kedua ditebar di atas lantai dengan beralaskan waring, dan
dijemur di bawah sinar matahari selama 18 jam. Selanjutnya, setiap kelompok dikumpulkan dan dibagi menjadi dua bagian.
Bagian pertama dikemas dalam karung plastik (polietilen) dan disimpan pada suhu ruang (sekitar 30°C) dan bagian kedua
dibiarkan menumpuk, terbuka di atas lantai pada suhu ruang (sekitar 30°C). Pada setiap bulan dilakukan pengambilan
contoh untuk dilakukan analisis fisiko-kimia (kadar air rumput laut kering dan juga kadar air, kadar abu, rendemen, dan
viskositas natrium alginat). Hasil penelitian menunjukkan bahwa teknik pengeringan rumput laut coklat menggunakan
para-para memberikan hasil yang lebih baik daripada dihampar di atas lantai, dan penyimpanan dengan ditumpuk terbuka
di atas lantai pada suhu ruang lebih baik daripada dikemas di dalam karung plastik (polietilen) dengan hasil analisis dari
kadar air rumput laut coklat kering sekitar 15,0%, dan mutu natrium alginatnya mempunyai kadar air 19,1%, kadar abu 19,0%,
viskositas 8.663 cps, dan rendemennya 37,4%.

KATA KUNCI: pengeringan, rumput laut coklat, natrium alginat, analisis fisika-kimia
Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

pLL 15

MENGOPTIMALKAN PENDAYAGUNAAN POTENSI DESA DALAM PENGEMBANGAN


AGRIBISNIS PERIKANAN
(STUDI KASUS SENTRA PERIKANAN BUDIDAYA KOLAM DI KABUPATEN TASIKMALAYA)

Maharani Yulisti dan Rani Hafsaridewi


Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, Jakarta

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi desa. Identifikasi faktor-faktor pendorong maupun faktor-faktor
penghambat dan upaya optimalisasi pengembangan agribisnis perikanan telah dilakukan di kabupaten Tasikmalaya.
Penelitian dilakukan pada bulan Nopember 2006 di Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku, Kecamatan Padakembang
Kabupaten Tasikmalaya yang merupakan sentra perikanan budidaya di Jawa Barat. Metode yang digunakan adalah studi
kasus. Analisis data dilakukan dengan deskriptif analisis menggunakan sumber data berupa data primer dan sekunder.
Data primer didapatkan dari wawancara mendalam dengan beberapa tokoh petani budidaya. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa kedua desa memiliki potensi perikanan budidaya yang perlu dikembangkan sebagai kawasan agribisnis perikanan
dalam rangka pemanfaatan potensi desa. Pola dan jenis komoditas yang lebih menguntungkan untuk dikembangkan di
Kabupaten Tasikmalaya yaitu: pertama sistem minapadi, kedua sistem kolam air deras dan ketiga sistem longyam (balong
ayam = integrasi antara kolam dan ayam). Faktor pendorong yaitu ketersediaan air yang melimpah, kelembagaan yang
menunjang, pengalaman petani ikan dan Kebijakan Pemerintah. Sedangkan faktor-faktor yang menghambat adalah teknologi
budidaya yang masih tradisional, prasarana fisik yang kurang mendukung, hubungan antar kelembagaan pada tingkat
desa masih sederhana dan belum efektif dengan baik, polusi air, kekurangan modal, harga ikan yang tergantung pembeli
dan cuaca, dan inkontinuitas produksi yang disebabkan daerah budidaya yang terpencar dan berjauhan, serta
ketersediannya dalam skala kecil.

KATA KUNCI: potensi desa, agribisnis perikanan

You might also like