Professional Documents
Culture Documents
1.1 Pengantar
Hukum Internasional atau sering disebut sebagai “Internasional Law” dalam mata kuliah ini merupakan
lapangan hukum publik, di mana kualifikasi publik sering kali tidak disebutkan secara langsung, berbeda
dengan hukum Internasional dalam lapangan hukum privat yang sering disebut sebagai “Hukum Perdata
Internasional.
Perbedaan antara Hukum Internasional dalam pengertian publik dengan Hukum Perdata Internasional
bukanlah ditinjau dari unsur perbedaan subyeknya dengan menyatakan bahwa subyek hukum
Internasional Publik adalah negara sedangkan subyek hukum Internasional Perdata adalah individu.
Dalam perkembangannya perbedaan semacam ini tidak dapat dipertanggungjawabkan sebab antara
keduannya dapat memiliki subyek hukum negara ataupun individu. Oleh karena itu yang paling tepat
adalah dengan meninjau urusan yang diatur oleh keduanya, jika mengatur urusan yang bersifat publik
maka disebut sebagai Hukum Internasional Publik tetapi jika mengatur urusan yang bersifat perdata
disebut sebagai Hukum Internasional Perdata. Sedangkan Persamaan antara Hukum Internasional Publik
dengan Hukum Perdata Internasional adalah bahwa urusan yang diatur oleh kedua perangkat hukum ini
adalah sama – sama melewati batas wilayah suatu negara.
Pengertian secara umum dari hukum Internasional adalah, bahwa istilah “hukum” masih diterjemahkan
sebagai aturan, norma atau kaidah. Sedangkan istilah internasional menunjukankan bahwa hubungan
hukum yang diatur tersebut adalah subyek hukum yang melewati batas wilayah suatu negara, yaitu
hubungan antara negara dengan negara, negara dengan subyek hukum bukan negara satu dengan
lainnya, serta hubungan antara subyek hukum bukan negara satu dengan subyek hukum bukan negara
lainnya.
Menyikapi konfrotasi pendapat yang berbeda antara para pakar Hukum Internasional mengenai sifat
“hukum” dalam hukum Internasional : John Austin yang mengatakan bahwa hukum Internasional
adalah “bukan hukum”, hanya “properly so called”, “moral saja” dengan alasan yang mendasari bahwa
hukum Internasional tidak memiliki sifat “hukum”, yakni dalam hal:
1. Hukum Internasional tidak memiliki lembaga legeslatif sebagai lembaga yang bertuga membuat
hukum;
2. Hukum Internasional tidak memiliki lembaga eksekutif sebagai lembaga yang melaksanakan hukum,
3. Hukum Internasional juga tidak memilki lembaga yudikatif sebagai lembaga yang megakakan hukum,
4. Hukum Internasional juga tidak memiki polisional sebagai lembaga yang mengawasi jalanya atau
pelaksanaan hukum,
Dengan demikian menurut Kelsen, jika terdapat negara yang melanggar hukum internasional maka tidak
ada kekuasaan apapun yang dapat memberikan sanksi kepada negara tersebut. Negara mau mentaati
atau tidak terhadap ketentuan internasional itu adalah terserah dari negara yang bersangkutan. Jadi
hukum internasional tidak tepat dikatakan sebagai hukum melainkan hanya norma saja atau adat
istiadat saja.
Pendapat yang demikian kiranya perlu ditinjau ulang, sebab keraguan akan keberadaan lembaga
eksekutif, legeslatif , yudikatif serta polisional dalam hukum iNternasional telah digantikan oleh peranan
beberapa vbadang khusus sejak diber\ntuknya Organisasi Internasional PBB. Keberadaan lembaga
pembuat undang-undang atau legeslatif dapat digantikan oleh kesepakatan-kesepatan yang dibuat oleh
dan diantara subyek hukum Internasional baik yang bersifat bileteral, atau multilateral. Hal ini karena
kedudukan negara sebagai subyek hukum Internasional adalah koordinatif atau sejajar. Tidak ada negara
yang melebihi atau di atas negara yang lain. Lembaga penegak hukum atau yudikatif perannya dapat kita
lihat keberadaan Mahkamah Internasional maupun Arbitrase Internasional. Lembaga eksekutif tidak
lain adalah subyek hukum internasional itu sendiri. Meskipun hukum INternasional tidakm memiliki
sanksi yang tegas dan memaksa dalam pelaksanaannya, bukan berarti sifat aturan yang demikian tidak
dapat dikategorikan sebagai ‘hukum’. Kita dapat melihat “hukum adat’ yang berlaku di Indonesia.
Meskipun ‘hukum adat’ tersebut munculnya dari kebiasaan yang dilakukan oleh masyrakat, namun
kebiasaan tersebut ditaati dan dilaksanakan meskipun tidak ada sanksi yang tegas. Jadi menurut
pendapat penulis, Kelsen telah mencampur adukan antara pengertian efektifitas hukum dengan sifat
hukum itu sendiri. Jika dalam perkembangannya atau pelaksaannya ternyata hukum Internasional masih
banyak yang melanggar, maka hal yang demikian itu merupakan sisi belum efektifnya hukum
Internasional, tetapi bukan berarti “hukum internasional” menjadi bukan hukum. Sebab pada
kenyataanya masih banyak aturan-aturan yazng dibuat oleh dan antara subyek hukum Internasional
yang masih di taati oleh negara-negara dan dilaksanakan.
Munculnya subyek hukum bukan negara sebagai salah satu subyek hukum Internasional adalah tidak
terlepas dari perkembangan hukum Internasional itu sendiri. Semakin berkembangnya keberadaan
organisasi Internasional, serta adanya organisasi-organisasi lain yang bersifat khusus yang
keberadaannya secara fungsional kemudian diakui sebagai subyek hukum internasional yang bukan
negara. Diantaranya adalah vatikan atau tahta suci, Palang Merah Internasional, Pemberontak atau
Belligerent. Bahkan pada perkembangannya tindakan individu yang mewakili negara dan bertindak
dalam kapasitasnya sebagai wakil negara juga dianggap sebagai subyek hukum Internasional bukan
negara.
JOHN AUSTIN :
Sejarah telah membuktikan bahwa pendapat John Austin dkk, adalah tidak benar:
ALASAN :
1. Sifat Hukum tidak selamanya ditentukan oleh badan-badan tsb. Tidak berarti tidak ada badan maka
tidak ada hukum,
Contohnya : Hukum Adat Indonesia.
2. Pendapat mereka telah menyamarakatan pengertian antara dijalankannya hukum secara efektif
dengan sifat dari Hukum.
3. Lembaga legislative diisi : Perjanjian Internasional oleh MI
4. Kebiasaan Internasional diterima sebagai hokum karena keyakinan.
5. Badan Yudikatif : diisi oleh Mahkamah Internasional dan Mahkamah Arbritase Permanent.
Hakekat HI
Hukum Internasional benar-benar mempunyai sifat hokum. Hakekat HI sbg hokum koordinasi tidak perlu
diragukan lagi.
A. Dasar-dasar berlakunya HI
Teori Hukum Alam atau Kodrat (natural Law)
Hukum Ideal yang didasarkan atas hakekat manusia sebagai mahluk yang berakal, atau kesatuan kaidah-
kaidah yang diilhami alam pada akal manusia.
HI tidak lain merupakan Hukum Alam yang diterapkan pada kehidupan masyarakat bangsa-bangsa.
Kelemahan :
- konsep alam yang masih membutuhkan konsep rasio, keadilan, keagaman pada kenyataannya banyak
menimbulkan kegaduhan.
- Kurang jelas dan menjadi doktrin yang subyektif.
- Tidak ada perhatian dalam praktek actual antar negara.
- Bersifat sangat samar terutama berkaitan dengan keadilan dan kepentingan MI.
- Dsb.
Kelebihan :
- menjadi dasar moral dan dasar etis HI
- Tidak dapat menjelaskan jika ada negara yang tidak setuju apakah HI tidak lagi mengikat.
- Tidak dapat menjelaskan jika ada negara baru tetapi langsung terikat oleh HI
- Tidak dapat menjelaskan mengapa ada hokum kebiasaan.
- Kemauan negara hanya Facon De Parler (perumpaan).
- Berlakunya hI tergantung dari society of state.
Kelebihan :
- Praktek-praktek negara dan hanya perautran-peraturan yang benar-benar ditaati yang menjadi HI.
1.2.a. Istilah HI
- Indonesia : Hk. Bangsa-bangsa, Hk. Antar Bangsa, Hk. Antar
Negara.
- Inggris : International Law, common Law, Law of mankind, Law
of Nation, Transnational Law (Inggris).
- Perancis : Droit de gens
- Belanda : Voelkenrecht.
- Jerman : Woelkrrecht.
- Romawi : Ius Gentium, Ius Inter Gentes.
1.2.b. Persamaan dan perbedaan istilah HI dengan Hk. Bangsa-bangsa, Hk. Antar Bangsa, Hk. Antar
Negara.
Kenapa istilah Hukum Internasional yang kemudian di pakai termasuk dalam perkuliahan ini ?
Alasan :
a. Istilah HI paling mendekatai kenyataan dengan sifat-sifat hubungannya dan masalah-malash yang
menjadi obyek bidang hokum ini, yang dewasa ini tidak hanya terbatas pada hubungan antar bangsa
atau antar negara saja, seperti yang dilaksanakan oleh istilah Hk. Anatar bangsa dan hk. Anatar negara.
b. Istilah HI dalam penggunaannya tidak menimbulkan keberatan di kalanagan para sarjana, karena
telah lazim dipakai orang untuk segala peristiwa yang melintasi batas-batas negara.
c. Penggunaan istilah HI secara tidak langsung menunjukkan suatu taraf perkembangan tertentu dalam
bidang HI (sebagai perkembangan mutakhir).
HI Publik (HI) : “keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas yang mengatur hubungan atau persoalan
yang melintasi batas- batas negara yang bukan bersifat perdata”.
H Perdata Internasional : “keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas yang mengatur hubungan atau
persoalan yang melintasi batas- batas negara yang berfat perdata”
1.2.2.a. Persamaan
Keduanya mengatur hubungan-hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara.
1.2.2.b. Perbedaan
• Perbedaan keduanya terletak pada : sifat hubungna/ persoalan dan obyek yang diaturnya.
• Cara membedakan berdasarkan sifat dan obyeknya adalah tepat, dari pada membedakan
berdasarkan pelaku-pelaku (subyeknya), yaitu dengan mengatakan HI Publik mengatur hubungan atara
negara, sedangkan H Perdata Internasional mengatur hubungan orang-perorang.
WHY ?
Alasan :
a. Negara dapat saja menjadi sunyek Hperdata Internasional, dan perorangan dapat saja menjadi
subyek HI.
b. Batasan yang bersifat negatif lebih tepat karena ukuran publik memang sering kali sukar dicari bats-
batasnya.
c. Dewasa ini persoalan Internasional tidak semuannya merupakan persoalan antar negara; persoalan
perseoranga dapat dikatakan persoalan negara (pelanggaran pidana Konvensi Jenewa 1949).
d. Persoalan yang menyangkut “perseorangan” yang demikian tidak dapat dimasukkan dalam bidang
Tata Usaha Negara atau Pidana Internasional, dan bukan merupakan persoalan perdata Internasional.