You are on page 1of 4

PENYAKIT JANTUNG KORONER (PJK)

A. Definisi
Penyakit arteri koroner (coronary heart disease) ditandai dengana adanya endapan
lemak yang berkumpul di dalam sel yang melapisi dinding suatu arteri koroner dan
menymbat aliran darah.
Endapan lemak (ateroma atau plak) terbentuk secara bertahap dan tersebar di
percabangan besar dari kedua arteri koroner utama, yang mengelilingi jantung dan
menyediakan darah bagi jantung. Proses pembentukan ateroma disebut
ateroklerosis.
Ateroma bisa menonjol ke dalam arteri danmneyebabkan arteri menjadi sempit. Jika
ateroma terus membesar, bagian dari ateroma bisa pecah dan masuk ke dalam
aliran darah atau bisa terbentuk bekuan darah di dalam permukaan ateroma
tersebut.
Supaya bisa berkontraksi dan memompa secara normal, otot jantung (miokardium)
memerlukan pasokan darah yang kaya akan oksigen dari arteri koroner. Jika
penyumbatan arteri semakin memburuk, bisa terjadi iskemi (berkurangnya pasokan
darah) pada otot jantung, menyebabkan kerusakan jantung.
Penyebab utama dari iskemi miokardial ada;lah penyakit arteri koroner. Komplikasi
utama dari penyekit arteri koroner adalah angina dan serangan jantung (infark
miokardial).

B. Epidemiologi
Penyakit jantung koroner (PJK) telah menjadi penyebab utama kematian dewasa ini.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat lebih dari 11 7 juta orang meninggal
akibat PJK di seluruh dunia pada tahun 2002. angka ini diperkirakan meningkat 11
juta orang apda tahun 2020.
Di Indonesia, kasus PJK semakin sering ditemukan karena pesatnya perubahan gaya
hidup. Meski belum ada data epidemiologis pasti, angka kesakitan/kematiannya
terlihat cenderungmeningkat. Hasil survey kesehatan nasional tahun 2001
menunjukkan tiga dari 1.000 penduduk Indonesia menderita PJK.
Perbaikan kesehatan secara umum dan kemajuan teknologi kedokteran
menyebabkan umur harapan hidup meningkat, sehingga jumlah penduduk lansia
bertambah. Survey di tiga kecamatan di daerah Jakarta Selatan pada tahun 2000
menunjukkan prevalensi lansia melewati angka 15% yang sebelumnya diperkirakan
hanya 7,5% bagi Negara berkembang. Usia lansia yang didefinisikan sebagai umur
65 tahun ke atas (WHO) ditenggarai meningkatkan berbagai penyakit degeneratif
yang bersifat multiorgan. Prevalensi PJK (Penyakit Jantung Koroner) diperkirakan
mencapai 50% dan angka kematian mencapai lebih dari 80% yang berarti setiap 2
(dua) orang lansia satu mengidap PJK danjika terserang PJK maka kematian
demikian tinggi dan hanya 20% yang dapat diselamatkan.
C. Etiologi
Penyakit arteri koroner bisa menyerang semua ras, tetapi angka kejadian paling
tinggi ditemukan pada orang kulit putih. Tetapi ras sendiri tampaknya bukan
merupakan factor penting dalam gaya hidup seseorang. Secara spesifik, factor-
faktor yang meningkatkan resiko terjadinya arteri koroner adalah :
• Diet kaya lemak
• Merokok
• Malas berolah raga

Kolesterol dan penyakit arteri koroner


Resiko terjadinya penyakit arteri koroner meningkat padapeningkatan kadar
kolesterol total dan kolesterol LDL (kolesterol jahat) dalam darah. Jika terjadi
peningkatan kadar kolesterol HDL (kolesterol baik), maka resiko terjadinya penyakit
arteri koroner akan menurun.
Makanan mempengaruhi kadar kolesterol total dan karena itu makanan juga
mempengaruhi resiko terjadinya penyakit arteri koroner. Merubah pola makan (dan
bila perlu mengkonsumsi obat dari rokter) bisamenurunkan kadar kolesterol total
dankolesterol LDL bisa memperlambat atau mencegah berkembangnya arteri
koroner.
Menurunkan kadar LDL sangat besar keuntungannya bagi seseorang yang memiliki
factor resiko berikut :
• merokok sigaret
• tekanan darah tinggi
• kegemukan
• malas berolah raga
• kadar trigliserida tinggi
• keturunan
• steroid pria (androgen).

Factor resiko
Kajian epidemiologis menunjukkan bahwa ada berbagai kondisi yang mendahului
atau menyertai awitanpenyakit jantung koroner. Kondisi tersebut dinamakan factor
resiko karena satu atau beberapa diantaranya, dianggapmeningkatkan resiko
seseorang untuk mengalami penyakit jantung koroner.
Factor resiko ada yang dapat dimodifikasi (modifiable) dan ada yang tidak dapat
dimodifikasi (nonmodifiable). Factor resiko modifiable dapat dikontrol dengan
mengubah gaya hidup atau kebiasaan pribadi; factor resiko nonmodifiable
merupakan konsekuensi genetic yang tidak dapat dikontrol.
Factor resiko dapat bekerja sendiri atau bekerja sama dengan factor resiko yang
lain. Semakin banyak factor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar
kemungkinan terjadinya penyakit arteri koroner. Orang yang beresiko dianjurkan
untuk menjalani pemeriksaan medis berkala dan tidak mungkin dengan kemauan
sendiri berusaha mengurangi jumlah dan beratnya resiko tadi

D. Komplikasi
• Tromboemboli
• Angina pectoris
• Gagal jantung kongestif
• Infark miokardium

E. Patofisiologi
Aterosklerosis dimulai ketika kolesterol berlemak tertimbun di intima arteri besar.
Timbunan ini, dinamakan ateroma atau plak akan mengganggu absorbsi nutrient
oleh sel-sel endotel yang menyusun lapisan dinding dalam pembuluh darah dan
menyumbat aliran darah karena timbunan ini menonjol ke lumen pembuluh darah.
Endotel pembuluh darah yang terkena akan mengalami nekrotik dan menjadi
jaringan parut, selanjutnya lumen menjadi semakin sempit dan aliran darah
terhambat. Pada lumen yang menyempit dan berdinding kasar, akan cenderung
terjadi pembentukan bekuan darah. Halini menjelaskan bagaimana terjadinya
koagulasi intravaskuler, diikuti oleh penyakit tromboemboli, yang merupakan
komplikasi tersering aterosklerosis.
Berbagai teori mengenai bagaimana lesi aterosklerosis terjadi telah diajukan,tetapi
tidak satu pun yang terbukti secara meyakinkan. Mekanisme yang mungkin, adalah
pembentukan thrombus pada permukaan plak; danpenimbunan lipid terus menerus.
Bila fibrosa pembungkus plak pecah, maka febris lipid akan terhanyut dalam aliran
darah dan menyumbat arteri dan kapiler di sebelah distal plak yang pecah.
Struktur anatomi arteri koroner membuatnya rentan terhadap mekanisme
aterosklerosis. Arteri tersebut terpilin dan berkelok-kelok saat memasuki jantung,
menimbulkan kondisi yang rentan untuk terbentuknya ateroma.

F. Pemeriksaan Penunjang
Tergantung kebutuhannya beragam jenis pemeriksaan dapat dilakukan untuk
menegakkan diagnosis PJK dan menentukan derajatnya. Dari yang sederhana
sampai yang invasive sifatnya.
1. Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan aktifitas listrik jantung atau gambaran elektrokardiogram (EKG) adalah
pemeriksaan penunjang untuk memberi petunjuk adanya PJK. Dengan pemeriksaan
ini kita dapat mengetahui apakah sudah ada tanda-tandanya. Dapat berupa
serangan jantung terdahulu, penyempitan atau serangan jantung yang baru terjadi,
yang masing-masing memberikan gambaran yang berbeda.
2. foto rontgen dada
dari foto roentgen dada dokter dapat menilai ukuran jantung, ada-tidaknya
pembesaran. Di samping itu dapat juga dilihat gambaran paru. Kelainan pada
koroner tidak dapat dilihat dalam foto rontgen ini. Dari ukuran jantung dapat dinilai
apakah seorang penderita sudah berada pada PJK lanjut. Mungkin saja PJK lama
yang sudah berlanjut pada payah jantung. Gambarannya biasanya jantung terlihat
membesar.
3. pemeriksaan laboratorium
dilakukan untuk mengetahui kadar trigliserida sebagai factor resiko. Dari
pemeriksaan darah juga diketahui ada-tidaknya serangan jantung akut dengan
melihat kenaikan enzim jantung.
4. Bila dari semua pemeriksaan diatas diagnosa PJK belum berhasil ditegakkan,
biasanya dokter jantung/ kardiologis akan merekomendasikan untuk dilakukan
treadmill.
Dalam kamus kedokteran Indonesia disebut jentera, alat ini digunakan untuk
pemeriksaan diagnostic PJK. Berupa ban berjalan serupa dengan alat olah raga
umumnya, namun dihubungkan dengan monitor dan alat rekam EKG. Prinsipnya
adalah merekam aktifitas fisik jantung saat latihan. Dapat terjadi berupa gambaran
EKG saat aktifitas, yang memberi petunjuk adanya PJK. Hal ini disebabkan karena
jantung mempunyai tenaga serap, sehingga pada keadaan sehingga pada keadaan
tertentu dalam keadaan istirahat gambaran EKG tampak normal.
Dari hasil teradmil ini telah dapat diduga apakah seseorang menderita PJK. Memang
tidak 100% karena pemeriksaan dengan teradmil ini sensitifitasnya hanya sekitar
84% pada pria sedangka untuk wanita hanya 72%. Berarti masih mungkin ramalan
ini meleset sekitar 16%, artinya dari 100 orang pria penderita PJK yang terbukti
benar hanya 84 orang. Biasanya perlu pemeriksaan lanjut dengan melakukan
kateterisasi jantung.
Pemeriksaan ini sampai sekarang masih merupakan “Golden Standard” untuk PJK.
Karena dapat terlihat jelas tingkat penyempitan dari pembuluh arterikoroner,
apakah ringan,sedang atau berat bahkan total.
5. kateterisasi jantung
pemeriksaan ini dilakukan dengan memasukkan kateter semacam selang seukuran
ujung lidi. Selang ini dimasukkan langsung ke pembuluh nadi (arteri). Bisa melalui
pangkal paha, lipatanlengan atau melalui pembuluh darah di lengan bawah. Kateter
didorong dengan tuntunan alar rontgen langsung ke muara pembuluh koroner.
Setelah tepat di lubangnya, kemudian disuntikkan cairan kontras sehingga mengisi
pembuluh koroner yang dimaksud. Setelah itu dapat dilihat adanya penyempitan
atau malahan mungkin tidak ada penyumbatan. Penyempitan atau penyumbatan ini
dapat saja mengenai beberapa tempat pada satu pembuluh koroner. Bisa juga
sekaligus mengenai beberapa pembuluh koroner. Atas dasar hasil kateterisasi
jantung ini akan dapat ditentukan penanganan lebih lanjut. Apakah apsien cukup
hanya dengan obat saja, disamping mencegah atau mengendalikan factor resiko.
Atau mungkin memerlukan intervensi yang dikenal dengan balon. Banyak juga yang
menyebut dengan istilah ditiup atau balonisasi. Saat ini disamping dibalon dapat
pula dipasang stent, semacam penyangga seperti cincin atau gorng-gorong yang
berguna untuk mencegah kembalinya penyempitan. Bila tidak mungkin dengan
obat-obatan, dibalon dengan atau tanpa stent, upaya lain adalah dengan
melakukan bedah pintas koroner.

www.gizi.net

You might also like