You are on page 1of 94

Hukum-Hukum Shalat (Bag.

1)
Berikut ini akan kami ketengahkan beberapa
hukum yang berkaitan dengan shalat, agar setiap
muslim mengetahuinya dan bisa mempraktekannya
dalam shalat mereka.
 
1. Hukum membaca surat Al-Fatihah dalam shalat
Setiap orang yang shalat wajib membaca surat Al-
Fatihah, baik imam ataupun makmum; baik shalat
sendirian, maupun shalat berjamah; baik shalat yang
bacaanya pelan (sirriyah) maupun yang bacaanya
keras (jahriyah); pada shalat wajib maupun shalat
sunnah. Surat Al-Fatihah wajib dibaca dalam setiap
rakaat, kecuali makmum yang terlambat (masbuq)
apabila mendapati imam dalam keadaan ruku' dan ia
tidak sempat membaca surat Al-Fatihah, maka ia tidak
wajib membacanya.
Bagi yang tidak bisa membaca surat Al-Fatihah, maka
hendaklah ia membaca ayat Al-Qur'an yang mana saja.
Apabila ia tidak bisa membaca Al-Qur'an sama sekali,
hendaklah ia membaca: Subhanallah, walhamdulillah,
wa laa ilaaha illallah, allahu akbar, wa laa hawla
walaa quwwata illa billah. "Maha suci Allah, segala
puji baginya, dan tidak ada illah (Tuhan) yang berhak
disembah dengan benar kecuali Allah, Allah Maha
Besar, dan tidak ada daya dan upaya kecuali dengan
pertolongan dari Allah" (HR. Abu Daud dan Nasa'i)
([1])
.
2. Apabila makmum ketinggalan awal shalat, maka
hendaklah ia segera mengikuti imam, dan setelah
imam salam ia menyempurnakan yang rakaat yang
tertinggal.
3. Apa yang dilakukan bagi yang berhadats dalam
shalat:
Apabila berhadats ketika sedang shalat, atau ingat
bahwa ia berhadats, maka ia harus pergi dan tidak
perlu salam ke kanan dan ke kiri.
Dari Aisyah ra dari Nabi SAW bersabda: "Apabila
salah seorang kalian shalat lalu berhadats, maka
hendaklah memegang hidungnya, kemudian pergi
(dari tempat shalatnya)." (HR. Abu Daud dan Ibnu
Majah)([2]).
4.Disunnahkan membaca satu surat penuh dalam
setiap rakaat, dan membaca surat sesuai dengan
urutan Al-Qur'an, akan tetapi boleh juga  membagi
satu surat untuk dua rakaat, atau membaca beberapa
surat dalam satu rakaat, mengulangi satu surat dalam
dua rakaat, dan mendahulukan satu surat atas surat
lain, akan tetapi tidak terlalu sering, namun
melakukannya sekali-sekali.
Orang yang shalat boleh membaca awal surat,
akhirnya, dan tengahnya dalam shalat fardhu dan
sunnah.
5. Ada dua tempat yang dianjurkan bagi orang
yang shalat untuk berhenti sejenak:
Pertama: setelah takbiratul ihram untuk membaca doa
istiftah
Kedua: setelah selesai membaca surat sebelum ruku',
untuk mengembalikan nafas.
6. Doa istiftah ada tiga macam: yang paling utama
adalah yang mengandung pujian kepada Allah SWT
seperti subhanakallahumma…, berikutnya yang
mengandung penyebutan tentang ibadah kepada Allah
SWT seperti wajjahtu wajhiya…, kemudian yang
mengandung doa seperti allahumma baa'id….
7. Haram mengakhirkan shalat hingga habis waktunya
kecuali bagi yang berniat menjama' shalat, atau dalam
kondisi sangat takut, atau karena sakit, dan orang yang
shalat haram melihat ke langit.
8. Yang dimakruhkan dalam shalat:
Makruh hukumnya menoleh pada waktu shalat
kecuali ada keperluan seperti takut dan semisalnya.
Makruh memejamkan mata, menutup muka, duduk
seperti duduknya anjing, meletakkan tangan di
pinggang, melihat hal-hal yang membuatnya lalai,
menghamparkan kedua lengannya ketika sujud.
Makruh menahan kecing atau buang air besar, atau
buang angin. Jangan shalat di depan makanan yang ia
inginkan dan ia bisa memakannya. Jangan
memanjangkan baju atau celana hingga dibawah
matakaki (isbal), menutup mulut dan hidung dengan
kain, menguap dalam shalat. Meludah di masjid adalah
suatu kesalahan, dan kaffarahnya adalah
membenamkannya, dan tidak boleh meludah ke arah
kiblat dalam shalat dan di luar shalat.
9. Lebih baik bagi orang yang merasa ingin buang
air besar atau kecil, atau berasa akan keluar angin,
berhadats terlebih dahulu  kemudian wudhu' dan
shalat. Jika tidak ada air maka bertayammumlah
kemudian mengerjakan shalat, yang demikian ini akan
lebih khusyu'.
10. Menoleh dalam shalat adalah curian yang
dicuri oleh setan dari shalat seseorang. Menoleh ada
dua macam: dengan badan, dan dengan hati, untuk
mengobati menoleh dengan hati yaitu dengan meludah
ke kiri tiga kali, dan mohon perlindungan kepada Allah
SWT dari setan yang terkutuk, sedangkan yang dengan
badan, maka dengan mengahadap langsung ke kiblat
dengan seluruh badannya.
11. Hukum meletakkan sutrah (pembatas)
dalam shalat:
Disunnahkan bagi imam dan yang shalat sendirian,
shalat dekat dengan sutrah, seperti tembok, atau tiang,
atau batu, atau tongkat, atau tombak dan sebagainya,
baik laki-laki maupun wanita, di kampung halaman
maupun dalam perjalanan, shalat wajib maupun
sunnah. Adapun makmum, maka sutrah imam sudah
termasuk sutrah bagi yang dibelakangnya, atau imam
menjadi sutrah bagi makmum.
12. Haram lewat di antara orang yang shalat
dengan sutrahnya, dan orang yang shalat harus
menolak orang yang lewat, baik di Makkah
maupun di tempat lain, kalau memaksa, maka
orang yang lewat berdosa, sedangkan pahala
orang yang shalat tidak berkurang insya Allah.
13. Imam dan orang yang shalat sendirian batal jika
ada wanita, keledai, atau anjing hitam  yang
lewat di depannya, jika tidak ada sutrah. Jika
salah satu dari yang disebutkan tadi lewat di
depan makmum, maka sahalat makmum
maupun imam tidak batal, dan barangsiapa
yang shalat menggunakan sutrah, hendaknya
mendekat padanya; agar setan tidak lewat
antara dia dengan sutrah.
14. Tempat-tempat mengangkat kedua tangan:
1-     Dari Abdullah bin Umar ra berkata: "Aku melihat
Nabi SAW memulai shalat dengan bertakbir, lalu
Beliau mengangkat kedua tangannya ketika bertakbir
sehingga meletakkannya sejajar dengan kedua
pundaknya, dan apabila takbir untuk ruku' melakukan
hal yang serupa, dan apabila mengucapkan sami'allahu
liman hamidah melakukan hal serupa, dan membaca
rabbana lakal hamdu." (HR. Bukhari Muslim).
2-     Dari Nafi' bahwasanya apabila Ibnu Umar shalat
beliau bertakbir, dan mengangkat tangannya, dan
apabila ruku' beliau mengangkat tangannya, dan
apabila mengatakan sami'allahu liman hamidah beliau
mengangkat tangannya, dan apabila bangun dari rakaat
kedua beliau mengangkat tangannya.
15. Yang boleh dilakukan pada waktu shalat:
Dibolehkan bagi orang yang sedang shalat
melingkarkan imamah, atau gutrah (penutup kepala
bagi laki-laki), membungkus diri dengan kain, maju,
mundur, dan naik ke mimbar dan turun, meludah ke
sebelah kiri bukan ke sebelah kanan atau kiri di luar
masjid. Apabila berada dalam masjid, maka meludah
ke pakaian, dan boleh membunuh ular, kalajengking
dan semisalnya, menggendong anak kecil.
15. Ketika shalat boleh sujud pada bajunya, atau
imamahnya, atau sorbannya kalau ada sebab
tertentu seperti panas dan semisalnya.
16. Apabila orang laki-laki dimintai izin ketika
shalat, maka ia bisa memberi izin dengan
bertasbih, sedangkan wanita, memberi izin
dengan menepukkan tangannya.
17. Apabila bersin ketika shalat disunnahkan
bertahmid, dan apabila mendapat nikmat ketika
sedang shalat, maka hendaklah mengangkat
tangan dan bertahmid.
18. Orang yang shalat sendirian apabila membaca
dengan keras maka mengucapkan 'Amin'
dengan keras, dan apabila membaca pelan,
maka mengucapkan  'Amin' dengan pelan pula.
19. Orang yang shalat sendirian baik laki-laki
maupun wanita boleh memilih antara
memelankan bacaan dalam shalat jahriyah atau
mengeraskan asalkan tidak mengganggu orang
yang sedang tidur, orang sakit dan semisalnya.
Wanita boleh mengeraskan suaranya jika tidak
ada laki-laki yang bukan mahram di sekitarnya.
 
 
Rukun-Rukun Shalat
20. Tidak sah shalat kecuali melaksanakan empat belas
rukun, yaitu:
1- Berdiri bagi yang mampu.
2- Takbiratul ihram.
3- Membaca surat Al-Fatihah dalam setiap rakaat
kecuali ketika imam
     mengeraskan bacaan.
4. Ruku'.
5. I'tidal.
6. Sujud atas tujuh anggota badan.
7. Duduk antara dua sujud.
8. Sujud kedua.
9. Duduk untuk tahiyat akhir.
10. Tahiyat akhir.
11. Bershalawat kepada Nabi.
12. Tumakninah (tenang dan diam sejenak).
13. Berurutan antara semua rukun.
14. Salam.
 
20. Apabila meninggalkan salah satu rukun di atas,
maka shalatnya batal, apabila meninggalkan
takbiratul ihram karena tidak tahu atau lupa,
maka shalatnya juga tidak sah.
21. Apabila meninggalkan salah satu rukun di atas
karena lupa atau tidak tahu, maka ia harus
mengulangnya selama belum sampai pada rukun yang
sama pada rakaat berikutnya, jika tidak mengulang dan
telah sampai pada rakaat berikutnya maka rakaat kedua
dianggap sebagai rakaat pertama, dan rakaat
sebelumnya batal, seperti orang yang lupa ruku' lalu
sujud, maka wajib baginya kembali ketika ia ingat
kecuali jika ia telah sampai pada ruku' dalam rakaat
kedua, maka rakaat kedua menggantikan rakaat yang ia
tinggalkan dan ia wajib sujud sahwi setelah salam.
22. Membaca surat Al-Fatihah adalah rukun dalam
setiap rakaat bagi imam maupun shalat sendirian. Jika
tidak membacanya maka rakaatnya batal, adapun
makmum, ia membacanya dengan pelan dalam setiap
rakaat. Ketika imam membacanya dengan keras, maka
makmum harus mendengarkan bacaan imam dan boleh
tidak membacanya.

Shalat Enam Waktu Menurut Al-Qur'an

OlehRizkiAkbar(graha_mobilindo@yahoo.com)
 
Shalat umat Islam dikatakan telah diajarkan oleh
Rasul. Maka ia adalah Sunnah Rasul. Para ulama tidak
pernah mengakui bahawa shalat adalah "Sunnah"
Allah, yaitu suatu amalan yang diajarkan Allah melalui
Kitab-Nya, Al-Qur'an. Sebaliknya mereka selalu
berkata "Adakah cara shalat di dalam Al-Qur'an!"

Penulisan ini menjawab soalan tersebut. Di dalam


jawaban ini, segala keterangan dirujuk kepada Al-
Qur'an saja, dan keterangan yang akan dikemukakan
akan menyinggung perasaan karena berbeda dengan
amalan shalat biasa umat Islam. Segala sesuatu yang
dikemukan bukanlah untuk membuktikan bahwa umat
Islam salah, tetapi sekadar untuk menyatakan apa yang
terkandung di dalam Al-Qur'an mengenai shalat, dalam
pengertian yang sebenarnya.

Nama dan Waktu

Perihal mengenai waktu pada umumnya kita mengenal


dengan istilah: fajar, pagi, siang, sore, senja, malam,
tengah malam(kedalaman malam). Sama dengan istilah
Subuh, pagi, zuhur, ashar, magrib, isya, Tahajjud.

Penjelasan dimulakan dengan memperihalkan nama


bagi tiap-tiap shalat. Terdapat nama shalat di dalam
Al-Qur'an, iaitu shalat Fajar (subuh, 24:58) dan (81:18,
ketika waktu langit terlihat terang tetapi matahari
belum mncul) , shalat wusthaa, atau shalat yang di
tengah (2:238). dan shalat Isya (24:58),  begitu juga
dengan shalat Jum'at (62:9) dan shalat Tahajjud
(17:79) nama shalat ini menunjukkan waktunya juga.
Waktu-waktunya dijelaskan lagi dengan sebuah ayat
lain berbunyi:

Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir


sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat)
Subuh. Sesungguhnya shalat Subuh itu disaksikan
(oleh malaikat).  (17:78)

Artinya ketika matahari tergelincir persis berada diatas


kepala kita, yaitu perintah untuk melaksanakan shalat
sampai kegelapan malam.
Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi
siang (pagi dan petang) dan pada bahagian
permulaan daripada malam. Sesungguhnya
perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan
(dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah
peringatan bagi orang-orang yang ingat. (11:114)

Perkenaan mengenai "wusta" ingin diperjelaskan lagi


di sini. Ia bermakna "di tengah",  maksudnya adalah
waktu pada kedua tepi siang,(diantara pagi dan petang)
yaitu biasa disebut (Zuhur dan Ashr). Dan pada
permulaan bagian malam dikenali umum sebagai
waktu maghrib.

Maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa).


Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang
ditentukan waktunya atas orang-orang yang
beriman. (4:103)

Oleh karena itu Al-Qur'an menjelaskan sendiri,


selanjutnya dijelaskan dengan sebuah ayat berbunyi:

Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang


tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan
bagimu; mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat
kamu ke tempat yang terpuji. (17:79)

Sedikit menjelaskan mengenai shalat Tahajjud atau


shalat yang ditambahkan:
Ayat diatas Tuhan mengatakan bersembahyang
tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan
jelaslah ayat diatas mengatakan "Perintah" ibadah
tambahan yang fardhu, kenapa dikatakan fardhu?
"Coba kita ambil sebuah perumpamaan seorang
majikan menyuruh kepada budaknya untuk melakukan
perintah kepadanya "tolong tambahkan air itu kedalam
bejana pada setiap malam hari" dan perintah itu
dijadikan suatu ketetapan yang syah." Jadi jelaslah apa
yang dikatakan Tuhan bahwa sekalipun itu adalah
tambahan tapi menjadikan suatu ketetapan maka itu
dikatakanwajibataufardhu.

Jadi Shalat menurut Al-Qur'an itu ada 6 waktu, yaitu


Fajar(subuh), Zuhur(siang), Ashr(sore), Magrib(senja),
Isya(gelap malam) dan Tahajjud(tengah malam). Dan
kesemuanyadikatakanWajib.

Jadi pernyataan diatas menjelaskan tidak ada nama-


nama shalat, hanya diwaktu-waktu tersebut ada
perintah untuk melaksanakan shalat, maka shalatlah
kamu seperti Allah telah mengajarkan orang-orang
terdahulushalat.

Artinya bahwa apa yang kita sudah kenal umumnya


bahwa Shalat itu 5 waktu dan hukumnya adalah wajib,
begitupun tambahan shalat yang diberikan Allah untuk
dikerjakan hukumnya pun wajib (fardhu), jadi
keseluruhan dari shalat kita menjadi 6 waktu, bukan
lagi 5 yang biasa umat Islam jalani.

Ketentuan dan Waktu Shalat

Shalat hendaklah dilakukan pada waktu-waktu yang


Allah tentukan, seperti arahan-Nya yang berbunyi:

Maka apabila kamu telah menyelesaikan


shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di
waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian
apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah
shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya
shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya
atas orang-orang yang beriman. (4:103)

Tiada terdapat pula satu ayat pun di dalam Al-Qur'an


yang memperbolehkan shalat itu dilakukan pada waktu
yang bukan waktunya, seperti menjamakkannya(yaitu
menggabungkan dua shalat Fardhu menjadi
Satu).Walau dalam keadaan apapun shalat hendaklah
dikerjakan pada waktu-waktunya.Ayat yang berikut
menjelaskannya:Jika kamu dalam keadaan takut
(bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau
berkendaraan. Kemudian apabila kamu telah
aman, maka sebutlah Allah (shalatlah),
sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada
kamu apa yang belum kamu ketahui. (2:239)

Tetapi Shalat itu bisa di qashar atau dikurangkan dari


raka'atnya. "Dan apabila kamu bepergian di muka
bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar
sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-
orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu
adalah musuh yang nyata bagimu." (4:101)

Perkenaan mengenai shalat Tahajud yaitu:Hai orang


yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk
sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit
(daripadanya), (yaitu) seperduanya atau
kurangilah dari seperdua itu sedikit. atau lebih dari
seperdua itu. Dan bacalah Al-Qur'an itu dengan
perlahan-lahan. Sesungguhnya Kami akan
menurunkan kapadamu perkataan yang berat.
Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah
lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu
itulebihberkesan.(73:1-6)

Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya


kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua
pertiga malam, atau seperdua malam atau
sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari
orang-orang yang bersama kamu... (73:20)

Jelas sekali dikatakan diatas bahwa shalat ini dikatakan


bagian dari shalat yang diwajibkan (fardhu), yaitu
pelaksanaan dua pertiga malam (sekitar jam 3 pagian),
seperdua malam (jam 12 malam) atau sepertiga malam
(yaitu sekitar jam 10 malam) .

...Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang.


Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak
dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu...
(73:20)

Begitupun, daripada ayat tersebut, umat diingatkan


supaya melakukan shalat seperti yang diajar oleh
Tuhan - segala ajaran Tuhan terkandung di dalam Al-
Qur'an.

Rakaat

"Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka


tidaklah mengapa kamu men-qashar
sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-
orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu
adalah musuh yang nyata bagimu." (4:101)

Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka


(sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat
bersama-sama mereka, maka hendaklah
segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu
dan menyandang senjata, kemudian apabila
mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah
menyempurnakan serakaat), maka hendaklah
mereka pindah dari belakangmu (untuk
menghadapi musuh) dan hendaklah datang
golongan yang kedua yang belum bersembahyang,
lalu bersembahyanglah mereka denganmu. (4:102)

 Dijelaskan bahwa mengenai raka'at tersebut diatas


yaitu sebanyak dua rakaat, Allah memberikan
perumpamaan bahwa dalam keadaan perangpun Allah
mewajibkan (shalat yang fardhu). Perumpamaan diatas
menjelaskan bagaimana bentuk shalat yang di-qashar.

Wudhu

Mengenai wudhu juga (perkataan "wudhu" tidak


disebut di dalam Al-Qur'an), hanya empat bahagian
anggota badan yang terlibat, yaitu muka, tangan,
kepala, dan kaki. Ini dijelaskan dengan ayat yang
berikut:Hai orang-orang yang beriman, apabila
kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan
sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai
dengan kedua mata kaki, Allah hendak
menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya
kamu bersyukur. (5:6)

Ayat ini telah juga disebut oleh Rasul, dan beliau tidak
mungkin menambah bahagian-bahagian anggota yang
lain dalam wudhu karena jika beliau berbuat demikian
maka Allah akan membunuhnya. Firman-Nya:Ia
adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan semesta
alam. Seandainya dia (Muhammad) mengadakan
sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya
benar-benar Kami pegang dia pada tangan
kanannya Kemudian benar-benar Kami potong
urat tali jantungnya. (69:43-46)

Kiblat

Kiblat menurut Al-Qur'an ialah Masjidil Haram, yang


di tengahnya terletak Ka'ba. Rasul sendiri telah
mencari-carinya dahulu lalu Allah menunjukkan
kepadanya melalui ayat yang berikut:Sungguh Kami
(sering) melihat mukamu menengadah ke langit,
maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke
kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke
arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu
berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan
sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani)
yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang
mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram
itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-
kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan
(2:144)

Dan dari mana saja kamu (keluar), maka


palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram.
Dan dimana saja kamu (sekalian) berada, maka
palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada
hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-
orang yang zalim diantara mereka. Maka
janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah
kepada-Ku (saja). Dan agar Ku-sempurnakan
nikmat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat
petunjuk. (2:150)

Pakaian

Pakaian untuk shalat adalah yang baik atau cantik


karena ketika itu umat berhadapan serta berkomunikasi
dengan Penciptanya. Malahan, Allah telah menyuruh
mengambil perhiasan di setiap masjid, yang bermaksud
tempat sujud. Dan sujud dilakukan juga dalam shalat.
Firman-Nya:Hai anak Adam, pakailah pakaianmu
yang indah di setiap (memasuki) mesjid. (7:31)

Berkomunikasi

shalat adalah suatu cara istimewa dalam berinteraksi


dengan Allah karena Ia dimulakan dengan
membersihkan bahagian-bahagian anggota badan 
tertentu. Satu daripada tujuan umat berkomunikasi
dengan-Nya adalah untuk memohon pertolongan.
Firman-Nya:

Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu.


Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh
berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu' (2:45)

Mohonlah kepada-Nya. Sebaik-baiknya permohonan


adalah menurut apa yang diajarkan di dalam Al-
Qur'an. Shalat bukan saja masa untuk memohon
pertolongan tetapi juga suatu masa untuk mengingati-
Nya. Ini dijelaskan dengan sebuah ayat lain
berbunyi:Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak
ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah
Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.
(20:14)

Bahasa

Dia melarang melakukan shalat jika apa yang


diucapkan di dalamnya tidak difahami. Firman-
Nya:Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk,
sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan
(4:43)

Artinya jika kita Shalat membacakan ayat-ayat Tuhan


di haruskan kita mengerti daripada artinya
(kandungannya). Misalkan apa yang kita baca Surat
Al-Ikhlas: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah
adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala
sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan
dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia."
Jangan sampai kita baca Ayatnya dalam bahasa Arab
kita tidak mengerti Ucapannya (isi atau artinya)
Begitupun dengan ayat-ayat yang lainnya yang
terdapatdiAl-Qur'an.

Setelah dilarang mengerjakan shalat apabila segala


yang diucapkan tidak difahami dan seseorang itu terus
melakukannya juga, maka apakah hukumnya? Ingin
diingatkan di sini bahawa Iblis telah menjadi kafir
setelah mengingkari hanya satu (saja) perintah Allah!
Maka ia dikatakan "Kafir."

Suara

Nada suara dalam shalat tidaklah terlalu tinggi dan


tidak pula terlalu rendah tetapi di pertengahan, dan ini
berlaku untuk semua shalat. Firman-Nya:...Dan
janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam
shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan
carilah jalan tengah di antara kedua itu." (17:110)

Seruannya

Shalat dimulai dengan menyeru Nama-Nya, seperti


Allah, atau Ar-Rahman (Yang Pemurah) atau mana-
mana nama-Nya yang indah yang diajar di dalam Al-
Qur'an. Firman-Nya:Katakanlah: "Serulah Allah
atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana
saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaul husna
(nama-nama yang terbaik)." (17:110)

Ayat yang berikutnya menetapkan apa yang harus


diucapkan selepas seruan itu, yaitu:Dan katakanlah:
"Segala puji bagi Allah Yang tidak mempunyai
anak dan tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-
Nya dan Dia bukan pula hina yang memerlukan
penolong dan agungkanlah Dia dengan
pengagungan yang sebesar-besarnya. (17:111)

Gerakan dan Bacaannya

Berdiri, rukuk (tunduk) dan sujud disebut berulang kali


di dalam Al-Qur'an.

Pertama

Diawali dengan berdiri.

Berdiri hadapkanlah wajahmu dengan lurus


kepada agama Allah... (30:30)

Menyeru dengan nama Allah (al asmaaul husna)


Allahu akbar atau Ar rahman atau lainnya (20:8). Lalu
mengucapkan:"Sesungguhnya sembahyangku,
ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk
Allah, Tuhan semesta alam." (6:162)
 
Dan Tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah
yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah
orang yang pertama-tama menyerahkan diri
(kepada Allah). (6:163)

Lalu membaca Al-Fatihah (15:87). Kemudian


diteruskan dengan membaca Ayat yang terdapat
didalam Al-Qur'an menurut keperluannya (suratnya
boleh pendek atau panjang). (73:20).

Kedua

Ru'ku dan membaca Subhana rabbial azim (maha suci


Allah). (69:52)

Ketiga

Sujud dan membaca Subhana rabbial a'la (maha suci


Allah). (87:1)

Kembali berdiri dan mengulangi seperti di atas.

Keempat

Duduk dan membaca "Subhanakallahumma" (10:10)


lalu:"Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka
ampunilah kami dan berilah kami rahmat dan
Engkau adalah Pemberi rahmat Yang Paling
Baik." (23:109)

Lalu:
"Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan
kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui". (2:127)

Kelima

Penutupnya mengucapkan "Salam, Alhamdulilaahi


Rabbil'aalamin." (10:10)    
 

Keenam

Bertasbih sebagaimana dalam:Dan bertasbihlah


kamu kepada-Nya di malam hari dan setiap selesai
sembahyang. (50:40)

Inilah shalat yang diajarkan menurut Al-Qur'an yang


juga dikerjakan oleh Nabi dan Rasul sebelum
Muhammad. Berkenaan tulisan yang digarisbawahi itu
merupakan inti dari rangkaian dan tuntunannya
sedangkan ayat-ayat doa yang ada didalam nya sesuai
dengan kehendak dan keiginan serta keperluannya.

Tambahan: Doa yang biasa dibaca ketika dalam bacaan


shalatTahajjudyaitu:"Ya Tuhan-ku, masukkanlah
aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah
(pula) aku secara keluar yang benar dan
berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan
yang menolong dan "Yang benar telah datang dan
yang batil telah lenyap." Sesungguhnya yang batil
itu adalah sesuatu yang pasti lenyap. (17:80-81)

 Shalatnya Orang Mukmin

Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang


beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam
sembahyangnya, dan orang-orang yang
menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan)
yang tiada berguna, dan orang-orang yang
menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga
kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka
atau budak yang mereka miliki,maka
sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa.
Barangsiapa mencari yang di balik itu maka
mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.
Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat
(yang dipikulnya) dan janjinya. dan orang-orang
yang memelihara sembahyangnya. Mereka itulah
orang-orang yang akan mewarisi, (yakni) yang
akan mewarisi syurga Firdaus. Mereka kekal di
dalamnya. (23:11)

 Larangan

Satu lagi larangan yang di dalam shalat (selain ucapan


yang tidak difahami) yang termaktub di dalam Al-
Qur'an ialah menyeru, atau menyebut, nama-nama
yang selain daripada Nama-Nya. Hanya Nama Allah
disebut di dalam shalat. Ini difahamkan daripada ayat
yang berikut berbunyi:
"Dan sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah
kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu
menyembah seseorangpun di dalamnya di samping
(menyembah) Allah." (72:18)

 Penutup

Banyak perkataan mengenai shalat menurut ajaran


Tuhan di dalam Al-Qur'an di sini. Tentulah ia dapati
bertentangan dengan ajaran para ulama yang
menyatakan shalat mereka datang dari Rasul atau
sunnahnya. Jadi alhasil buat apalagi kita harus
mempercayai kitab-kitab atau hadis-hadis yang tidak
pernah jelas keberadaanya yang katanya adalah di
dalam kelima-lima kitab hadis terbesar di dunia
mengikuti perintah Rasulnya.

Pertanyaannya

Dan siapakah yang lebih benar perkataannya dari pada


Allah? (4:122) atau rasul Muhammad (53:4)?  
Bacaan Do'a Setelah Shalat

Robbana la tu'akhizna innasina au akhta'na robbana


wala tahmil'alaina isran kama hamaltahu ‘alallazina
min qablina, rabbana wa la tuhammilna ma la taqata
lana bih wa'fu ‘anna wagfir lana warhamna anta
maulana fansurna ‘alal qaumil kafirin. (2:286)
"Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami
jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami,
janganlah Engkau bebankan kepada kami beban
yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada
orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami,
janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang
tak sanggup kami memikulnya. Beri ma'aflah
kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami.
Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami
terhadap kaum yang kafir." (2:286)

Robbanagfirlana zunubana wa israfana fi amrina wa


sabbit aqdamana wansurna ‘alal qaumil kafirin.
(3:147)
"Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan
tindakan-tindakan kami yang berlebih-lebihan
dalam urusan kami dan tetapkanlah pendirian
kami, dan tolonglah kami terhadap kaum yang
kafir."(3:147)

Robbana innana sami'na munadiyay yunadi lil imani


an aminu birobbikum fa amanna rabbana fagfir lana
zunubana wa kaffir ‘anna sayyi'atina watawaffana
ma'al abrar. (3:193)
Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar
(seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu):
"Berimanlah kamu kepada Tuhanmu", maka
kamipun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah bagi
kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami
kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami
beserta orang-orang yang banyak berbakti. (3:193)

Robbana la taj'alna fitnatan lili lazina kafaru wagfir


lana rabbana innaka antal ‘azizul hakim. (60:5)
"Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan kami
(sasaran) fitnah bagi orang-orang kafir. Dan
ampunilah kami ya Tuhan kami. Sesungguhnya
Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana." (60:5)

Rabbanagfir li wa liwalidayya walilimu'minina yauma


yaqumul hisab. (14:41)
Ya Tuhan kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu
bapaku dan sekalian orang-orang mukmin pada
hari terjadinya hisab (hari kiamat)." (14:41)

Wa qalu sami'na wa ata'na gufranaka rabbana wa


ilaikal masir. (2:285)
"Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada
Engkaulah tempat kembali." (2:285)

Robbana innana amanna fagfirlana zunubana waqina


azabanar. (3:16)
Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah beriman,
maka ampunilah segala dosa kami dan peliharalah
kami dari siksa neraka. (3:16)

Robbana anzil ‘alaina ma'idatam minas sama'i takunu


lana ‘idal li awwalina wa akhirina wa ayatam minka
warzuqna wa anta khairur raziqin. (5:114)
"Ya Tuhan kami turunkanlah kiranya kepada
kami suatu hidangan dari langit (yang hari
turunnya) akan menjadi hari raya bagi kami yaitu
orang-orang yang bersama kami dan yang datang
sesudah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan
Engkau; beri rzekilah kami, dan Engkaulah
pemberi rezki Yang Paling Utama." (5:114)

Rabbana taqabal minna innaka antas sami'ul ‘alim.


(2:127)
"Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan
kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui". (2:127)

Rabbana atina fiddunya hasanah wafil akhirati


hasanah waqina azabbannar. (2:201)
"Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia
dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari
siksa neraka." (2:201)

Memahami Makna Shalat

Oleh Adley (adley194@gmail.com)

Masalah Utama

Seringkali istilah "shalat" diartikan secara sederhana


sebagai "sembahyang" atau "ritual yang diawali dengan
takbir dan diakhiri dengan salam." Dan ada juga yang
mengatakan bahwa shalat itu sama dengan "do'a."
Meskipun definisi tersebut sangat populer, namun pada
kenyataannya ia tidaklah mempunyai nilai kebenaran
yang tinggi bila disaring oleh al-qur'an. Dalam artikel
ini, akan ditunjukkan bagaimana konsep "shalat"
digunakan di dalam al-qur'an; dan karena ini
terminologi qur'ani, maka untuk menentukan maknanya
pun harus sesuai dengan penggunaannya di dalam al-
qur'an.

Shalat Bukan Do'a

Konsep "shalat" sudah jelas tidak sama dengan konsep


"do'a." Ini bisa kita lihat dari ayat berikut.
Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku
orang-orang yang tetap mendirikan shalat, ya
Tuhan kami, perkenankanlah doaku (du'aa). (14:40)

Maka janganlah kamu menyeru (tad'u) tuhan yang


lain di samping Allah, yang menyebabkan kamu
termasuk orang-orang yang diazab. (26:213)

Mereka menjawab: "Mohonkanlah (ud'u) kepada


Tuhanmu untuk kami, agar Dia menerangkan
kepada kami, sapi betina apakah itu." Musa
menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa
sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan
tidak muda; pertengahan antara itu; maka
kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu".
(2:68)

Dalam bahasa al-qur'an, "do'a" itu memiliki bentuk


dasar "du'aa" yang memiliki akar kata Dal-'Ayn-Waw
menurut Lane's Lexicon. Beberapa makna yang bisa
ditemui untuk kata ini antara lain: call upon
(memanggil kepada yang lebih tinggi), cry out
(memanggil dengan suara keras atau lantang), call out
(memanggil sesuatu yang jauh), dan petition (petisi).

Sehingga dari sini bisa disimpulkan bahwa pada


intinya, konsep "do'a" adalah "memanggil, menyeru,
atau memohon" dan dalam konteks ayat-ayat di atas,
panggilan, seruan, atau permohonan tersebut ditujukan
kepada Allah. Selain itu, jelas sekali bahwa berdo'a itu
lain dari shalat dari ayat-ayat berikut.

Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke


mana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Menaungi lagi Maha
Mengetahui. (2:115)

Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan


manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh
hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada
urat lehernya. (50:16)

Perlukah kita melakukan ritual untuk berdo'a kepada


Yang Satu yang begitu dekat dengan keberadaan kita
sekaligus berada di segala penjuru? Oleh karena itu
logislah mengapa Allah menyatakan hal berikut:Dan
apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu
tentang Aku, maka bahwasanya Aku adalah dekat.
Aku mengabulkan permohonan orang yang
memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu
mendengarkan-Ku dan hendaklah mereka beriman
kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam
kebenaran. (2:186)

Apakah Shalat Sama Dengan Sembahyang?

Mari kita mulai dengan ayat yang sederhana.

Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu,


yaitu al-kitab dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya
shalat itu mencegah dari yang keji dan mungkar.
Dan sesungguhnya mengingat Allah adalah yang
terbesar. Dan Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan. (29:45)

Jika shalat adalah sembahyang, mengapa banyak orang


bersembahyang tetap saja melakukan perbuatan keji
dan mungkar? Biasanya dijawab dengan
sembahyangnya yang belum benar. Apa sih susahnya
melakukan ritual secara "benar"? Mungkin jawaban
yang paling sesuai adalah bahwa mereka yang
melakukan hal-hal yang keji dan mungkar tidak tahu
apa itu shalat, tapi hanya tahu apa itu sembahyang.

Mari kita tengok kisah Syu'aib untuk memahami shalat.

Mereka berkata: "Hai Syuaib, apakah shalatmu


(shalaatuka) yang menyuruh kamu agar kami
meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-
bapak kami atau melarang kami memperbuat apa
yang kami kehendaki tentang harta kami?
Sesungguhnya kamu adalah orang yang sangat
penyantun lagi berakal." (11:87)

Jika shalat adalah ritual bernama "sembahyang" lalu


bagaimana caranya rasulullah Syu'aib melaksanakan
hal di atas, yaitu menyuruh kaum beliau
membelanjakan harta secara benar? Bagaimana
mungkin sebuah ritual bisa mencapai hal demikian?
Terjemahan resmi dari Departmen Agama (DepAg)
dengan leluasa menerjemahkan "shalaatuka" sebagai
"agamamu" yang tentu saja selain memberikan arahan
yang keliru, juga melupakan bahwa dalam al-qur'an
masih terdapat konsep "diin" yang seringkali mereka
terjemahkan juga sebagai "agama." Allah tidak
sembarangan memilih kata; "shalat" bukanlah "diin"
sehingga sudah pasti berbeda maknanya, tidak bisa
dipaksakanuntuksama.
Sekarang mari kita tengok dari sudut pandang lain.

Tidakkah kamu tahu bahwasanya Allah; kepada-


Nya bertasbih apa yang di langit dan di bumi; dan
burung dengan mengembangkan sayapnya. Masing-
masing telah mengetahui shalatnya (shalaatahu) dan
tasbihnya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang
mereka kerjakan. (24:41)

Nah, bagaimana cara burung-burung bersembahyang?


Apakah mereka melakukan ritual? Bagaimana
matahari, bulan, bumi, pohon-pohon, lautan, dan
sebagainya melaksanakan ritual sembahyang? Bila
dijawab bahwa tiap-tiap dari mereka mempunyai ritual
khusus masing-masing, adakah buktinya dari al-qur'an?

Dari 11:87 dan 24:41 pun sudah jelas bahwa shalat


bukanlah sembahyang. Namun bagi yang masih belum
yakin, mari kita baca satu ayat lagi.

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan


zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan
mereka, dan shalatlah (shalli) untuk mereka.
Sesungguhnya shalat kamu (shalaataka) itu
merupakan ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
(9:103)

Seperti biasa, DepAg juga dengan santai


menerjemahkan kedua kemunculan "shalat" dalam ayat
di atas sebagai "do'a." Jelas memahami "shalat" sebagai
"sembahyang" menimbulkan situasi yang
mengherankan di sini. Apa maksudnya shalat seseorang
itu merupakan ketenteraman jiwa bagi orang lain?
Mungkin bisa ditambah dengan ayat berikut.

Mereka itulah yang mendapat shalawat


(shalawaatun) dan rahmat dari Tuhan mereka, dan
mereka itulah orang-orang yang mendapat
petunjuk. (2:157)

Kata "shalawat" adalah bentuk jamak dari "shalat." Jika


shalat adalah sembahyang, maka untuk apa Allah
bersembahyang kepada ciptaan-Nya? Anggaplah
"shalawat" itu semacam ritual seperti pemahaman
tradisional, maka apakah masuk akal Allah
melaksanakan suatu ritual yang dipesembahkan kepada
ciptaan-Nya? Jawaban "Ya" di sini merupakan jawaban
yang harus amat dipaksakan dan menentang segala
macam logika. Oh, sekaligus sebagai catatan, DepAg
menerjemahkan "shalawat" sebagai "keberkatan yang
sempurna." Meskipun cukup kreatif, tapi sayang sekali
itu hanya menjadikan terjemahan DepAg penuh dengan
kontradiksi.

Apakah anda masih yakin bahwa shalat adalah


sembahyang? Dengan sedikit membuka al-qur'an, kita
dapat dengan mudah menyatakan bahwa shalat tidak
sama dengan ritual yang dikenal dengan sebutan
"sembahyang."

Memahami Konsep Shalat

Dengan memperhatikan bagaimana kata "shalat"


digunakan di dalam al-qur'an, kita akan dapat lebih
memahami apa yang sebetulnya dimaksud dengan
shalat.
Tidak Berpaling

Mari kita mulai dengan 75:31-32.

Dan ia tidak mau membenarkan (shaddaqa) dan


tidak mau mengerjakan shalat (shallaa). (75:31)

Tetapi ia mendustakan (kadz-dzaba) dan berpaling


(tawallaa). (75:32)

Dari dua ayat pendek di atas kita sudah mulai bisa


memahami shalat secara jauh lebih baik ketimbang
pemahaman tradisional. Dua ayat di atas, seperti yang
sering dilakukan oleh al-qur'an, membuat kontras
antara yang positif dan negatif. Kita bisa mempelajari
bahwa membenarkan (shaddaqa) lawannya adalah
mendustakan (kadz-dzaba). Dan ternyata shalat
(shallaa) lawannya adalah berpaling (tawallaa).
Dengan kata lain, dua ayat di atas memberikan
pemahaman bahwa shalat adalah "tidak berpaling" atau
dengan kata lain "berpaling ke suatu arah tertentu."

Ikatan Perjanjian

Sekarang mari kita belajar dari kasus kaum musyrik di


dalam al-qur'an untuk lebih memahami konsep shalat.
Simaklah kedua ayat berikut.

Kecuali orang-orang musyrik yang kamu telah


mengadakan perjanjian dan mereka tidak
mengurangi sesuatu pun darinya dan tidak mereka
membantu seseorang yang memusuhi kamu, maka
terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai
batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertakwa. (9:4)

Apabila sudah habis bulan-bulan haram itu, maka


bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja
kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka.
Kepunglah mereka dan intailah di tempat
pengintaian. Jika mereka bertobat dan mendirikan
shalat (ash-shalaata) dan menunaikan zakat, maka
berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. (9:5)

Lalu diteruskan sampai dengan ayat berikut.

Mereka tidak menghargai orang-orang mukmin,


kekerabatan, maupun perjanjian. Dan mereka
itulah orang-orang yang melampaui batas. (9:10)

Jika mereka bertobat, mendirikan shalat (ash-


shalaata) dan menunaikan zakat, maka mereka
adalah saudara-saudaramu dalam diin. Dan Kami
menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang
mengetahui. (9:11)

Jika mereka merusak sumpahnya sesudah mereka


berjanji, dan mereka mencerca agamamu, maka
perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir
itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-
orang yang tidak dapat dipegang janjinya, agar
supaya mereka berhenti. (9:12)

Awal dari Surah 9 ini jelas tidak membicarakan suatu


ritual dalam bentuk apapun. Kondisi yang digambarkan
dalam awal Surah ini adalah kondisi saat terjadi konflik
atau peperangan. Dari 9:5 dan 9:11 kita mendapatkan
suatu hal yang menarik. Tidak ada gunanya ritual
sembahyang bagi mereka yang musyrik karena itu tidak
akan membuktikan apa-apa, terutama
saatkondisipenuhkonflik.

Makna shalat dari awal Surah 9 dapat dipahami sebagai


"menaati ikatan perjanjian." Konsepnya pun cukup
sederhana: kaum musyrik yang tetap berkomitmen
untuk menaati ikatan perjanjian yang telah disepakati,
tidak boleh diperangi. Makna serupa dapat juga dilihat
dalam ayat berikut.

Hai orang-orang yang beriman, apabila salah


seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia
akan berwasiat, maka hendaklah disaksikan oleh
dua orang yang adil di antara kamu; atau dua
orang yang lain jika kamu dalam perjalanan di
muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian.
Kamu tahan kedua saksi itu sesudah shalat (ash-
shalaati), lalu mereka keduanya bersumpah dengan
nama Allah jika kamu ragu-ragu: "Kami tidak
akan menukar sumpah ini dengan harga yang
sedikit, walaupun dia karib kerabat, dan tidak akan
kami menyembunyikan persaksian Allah;
sesungguhnya kami kalau demikian tentulah
termasuk orang-orang yang berdosa". (5:106)

Kedua saksi tersebut sudah sepatutnya menaati ikatan


perjanjian yang mereka buat. Dalam hal ini adalah
ikatan perjanjian yang didasari oleh sumpah yang
diucapkan agar proses penulisan wasiat tersebut bebas
dari kecurigaan.

Proses Pembelajaran

Mari kita ulangi pertanyaan di atas: Mengapa ada orang


yang mengaku sudah shalat namun masih berbuat keji
dan mungkar? Seharusnya shalat mencegah kedua hal
tersebut. Namun sudah jelas mustahil sebuah ritual
dapat menciptakan manusia yang lebih baik. Untuk
mencoba menjawab teka-teki 29:45 kita memerlukan
bantuan ayat-ayat lain.

Mereka berkata: "Hai Syu'aib, apakah shalatmu


(shalaatuka) yang menyuruh kamu agar kami
meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-
bapak kami atau melarang kami memperbuat apa
yang kami kehendaki tentang harta kami?
Sesungguhnya kamu adalah orang yang sangat
penyantun lagi berakal." (11:87)

Nampaknya, shalat yang dilakukan Syu'aib membuat


beliau mengerti mana yang keji dan mungkar, dan
mana yang bukan. Itulah mengapa beliau bisa
memberitahukan kepada kaumnya mengenai
kebenaran. Dari sini, nampaknya shalat adalah sesuatu
yang dapat menambah pengetahuan seseorang.

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu


shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk,
sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan...
(4:43)

Mengapa Allah nyatakan bahwa dalam melaksanakan


shalat kita harus mengerti apa kita ucapkan? Jujur saja,
memahami shalat sebagai ritual yang dilakukan dalam
bahasa asing yang banyak sekali tidak dipahami orang
bukanlah sesuatu yang sejalan dengan maksud ayat di
atas.

Syu'aib adalah orang yang beriman. Beliau mengerti


apa yang beliau ucapkan kepada kaumnya. Dan
pengertian itu datang akibat shalat yang beliau lakukan.
Sehingga sangat logis apa yang dikandung dalam 4:43,
bahwa apabila Syu'aib melaksanakan shalat dalam
keadaan mabuk atau tidak mengerti apa yang beliau
dapatkan dari kegiatan tersebut, maka mustahil 11:87
menjadi kenyataan.

Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu,


yaitu al-kitab dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya
shalat itu mencegah dari yang keji dan mungkar.
Dan sesungguhnya mengingat Allah adalah yang
terbesar. Dan Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan. (29:45)

Perhatikan awal dari ayat di atas, yaitu perintah untuk


membaca apa yang telah diwahyukan kepada kita.
Tampaknya kegiatan membaca ini erat hubungannya
dengan shalat. Ini juga bisa dilihat dari ayat berikut.

...dan susunlah (rattil) al-qur'an itu berdasarkan


keserupaan dan susunan yang benar (tartiilaa).
(73:4)

Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu


perkataan yang berat. (73:5)
Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih
efektif dan bacaan di waktu itu lebih berkesan.
(73:6)

Kata "ratil" memang biasanya diartikan "membaca


perlahan-lahan." Namun makna lain kata ini adalah
"menyusun hal-hal yang sama atau serupa." Sehingga
dalam konteks ayat-ayat di atas, berarti dalam
mempelajari al-qur'an, kita disuruh mengumpulkan
ayat-ayat yang membicarakan topik yang sama atau
serupa dan menyusunnya untuk dibaca dan dipelajari.

Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya


kamu berdiri kurang dari dua pertiga malam, atau
seperdua malam atau sepertiganya dan begitu pula
segolongan dari orang-orang yang bersama kamu.
Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang.
Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak
dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu,
maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena
itu bacalah apa yang mudah dari al-qur'an... (73:20)

Ternyata membaca al-qur'an itu memang penting


menurut Allah, meski bagian yang mudahnya saja. Bila
kita menghubungkan dengan 29:45 maka jelaslah
bacaan apa yang harus kita baca saat shalat, yaitu al-
qur'an. Dan jelas pulalah mengapa 4:43 berbicara
tentang ucapan yang harus bisa dimengerti.

Katakanlah: "Serulah Allah atau serulah Yang


Maha Perkasa. Dengan nama yang mana saja kamu
seru, Dia mempunyai nama-nama yang terbaik."
Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam
shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan
carilah jalan tengah di antara kedua itu. (17:110)

Singkat kata, dalam kegiatan shalat kita sebaiknya


mengucapkan apa yang kita baca. Namun tidak terlalu
tinggi maupun terlalu rendah volumenya. Dengan
menggabungkan semua ayat di atas, maka kita bisa
menyimpulkan bahwa shalat adalah "proses
pembelajaran" yang dalam melakukannya diperlukan
pengertian atas materi yang dipelajari agar dapat
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Ini sekaligus
sama dengan menyatakan bahwa membaca al-qur'an
hanya dengan bahasa Arabnya tanpa mengerti
maknanya, tidak memiliki kegunaan apapun dan jelas
menyalahi 4:43 di atas.

Bila sekarang kita ulangi dari awal, maka jelaslah


mengapa shalat yang dilakukan Syu'aib dapat
menyebabkan beliau bertindak seperti dalam 11:87.
Dan jelaslah mengapa 29:45 menyatakan shalat itu
mencegah dari yang keji dan mungkar. Karena setelah
membaca dan mempelajari al-qur'an, seseorang akan
memiliki pengetahuan atau pemahaman mana yang
benar dan mana yang salah.

Shalat = Komitmen Atas Amanat

Sekarang, setelah kita melihat bagaimana kata "shalat"


digunakan di dalam al-qur'an, kita dapat membuat suatu
kesimpulan sederhana mengenai apa shalat itu
sebenarnya. Berdasarkan pemaparan sejauh ini, maka
shalat mencakup semua makna berikut: tidak berpaling,
ikatan perjanjian, dan proses pembelajaran. Ketiga
aspek ini dapat kita leburkan menjadi satu. Sebelumnya
mari kita baca suatu ayat yang menarik.

Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat


kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka
semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan
mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan
dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya
manusia itu amat lalim dan amat bodoh. (33:72)

Lalu bandingkan dengan ayat berikut.

Tidakkah kamu tahu bahwasanya Allah; kepada-


Nya bertasbih apa yang di langit dan di bumi; dan
burung dengan mengembangkan sayapnya. Masing-
masing telah mengetahui shalatnya (shalaatahu)
dan tasbihnya, dan Allah Maha Mengetahui apa
yang mereka kerjakan. (24:41)

Semua makhluk yang tersebar antara langit dan bumi


mempunyai pemahaman bagaimana melaksanakan
shalat. Tampaknya hanya manusia yang kesulitan. Bila
dicermati dari 33:72, maka kita dapat mempelajari
bahwa hanya manusia yang mengemban amanat dari
Allah. Beberapa amanat tersebut adalah seperti yang
tertera di bawah ini.

Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang


diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu:
janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan
Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu
bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak
kamu karena takut kemiskinan. Kami akan
memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka; dan
janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan
yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun
yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh
jiwa yang diharamkan Allah melainkan dengan
sesuatu yang benar". Demikian itu yang
diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya
kamu memahami. (6:151)

"Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim,


kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga
sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran
dan timbangan dengan adil. Kami tidak
memikulkan beban kepada seseorang melainkan
sekedar kesanggupannya. Dan apabila kamu
berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil
kendati pun dia adalah kerabat, dan penuhilah janji
Allah." Yang demikian itu diperintahkan Allah
kepadamu agar kamu ingat. (6:152)

Dan bila dikatakan kepada mereka: "Janganlah


kamu membuat kerusakan di muka bumi," mereka
menjawab: "Sesungguhnya kami orang-orang yang
mengadakan perbaikan." (2:11)

Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang


yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak
sadar. (2:12)

Dengan kata lain, amanat yang disebutkan dalam 33:72


pada intinya mengharuskan kita untuk tidak
menyekutukan Allah dan tidak berbuat kerusakan di
dunia.

Berdasarkan pemahaman amanat ini, maka bisa


disimpulkan bahwa shalat adalah "komitmen atas
amanat" atau bisa dipersingkat sebagai "komitmen"
atau "ikatan." Definisi ini mencakup semua aspek
shalat yang telah dipaparkan di atas. Kita mengemban
amanat agar tidak menyekutukan Allah dan berbuat
kerusakan di dunia. Untuk dapat menghindari dari
perbuatan yang merusak, maka kita perlu mendapatkan
petunjuk.

Al-kitab itu tidak ada keraguan padanya; petunjuk


bagi mereka yang bertakwa. (2:2)

Dengan membaca dan mempelajari al-qur'an, kita akan


mempunyai pengetahuan dalam mengemban amanat
tersebut. Amanat yang kita emban sangat erat kaitannya
dengan diin Allah. Shalat adalah kegiatan atau proses
yang harus kita lakukan agar kita sukses mengemban
amanat tersebut. Sehingga saat kita diminta
pertanggungjawaban atas amanat tersebut, kita dapat
termasuk sebagai golongan kanan alias golongan yang
berhasil memegang amanat yang dibebankan.

Komitmen inilah yang mendasari tindakan kita untuk


tidak berpaling dari ajaran yang dikandung al-qur'an.
Komitmen inilah yang menjadi dasar agar kita
menghargai setiap ikatan perjanjian atau sumpah yang
pernah kita buat. Dan komitmen inilah yang menjadi
motivasi kita untuk terus tidak menyerah dalam
mempelajari al-qur'an demi mendapatkan petunjuk.

Yang Masih Menjadi Pertanyaan

Seperti biasa, setelah mencoba memahami al-qur'an


mengenai suatu topik tertentu, timbul banyak
pertanyaan. Artikel ini tidak membahas hal-hal yang
berbau teknis seperti tata cara shalat, kapan waktunya,
apa saja posisinya, dan sebagainya. Kecuali Allah
berkehendak lain, hal-hal tersebut akan dibahas dalam
artikel selanjutnya.

Artikel ini memang lebih menekankan kepada


pemahaman konsep shalat dan tujuan dari shalat itu
sendiri, ketimbang hal-hal lain yang sifatnya teknis.
Karena saya berpendapat bahwa jauh lebih utama
memahami tujuan suatu aktivitas ketimbang
melaksanakannya namun tidak memahami tujuannya
dan hanya seperti burung beo yang mengulang-ulang
apapun yang ia dengar, entah mengerti atau tidak.

Segala puji hanya bagi Allah, Tuhan, Pelindung,


Penjaga, Pemelihara semesta alam.

Catatan

Apa yang tertulis di artikel ini adalah pemahaman saya


pada tanggal 4 Juli 2006: Sangat mungkin bahwa apa
yang saya tulis dalam artikel ini bukan merupakan
pemahaman saya di masa mendatang. Pembaca
diharapkan memverifikasi ulang semua yang saya tulis
(17:36) dan ingat selalu bahwa al-qur'an merupakan
hadits terbaik yang tidak memerlukan kitab apapun
sebagai penjelas maupun pelengkap (39:23, 45:6).
Kecuali jika Allah berkehendak lain, semoga artikel ini
dapat memberikan manfaat walau hanya sedikit.

 Wudhu
Ditulis untuk Allah-Semata.Org

Wudhu Hanya 4-Langkah Sederhana Bukan 8


Atau 9

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu


hendak mengerjakan shalat, maka (1) basuhlah
mukamu dan (2) tanganmu sampai dengan siku,
dan (3) sapulah kepalamu dan (4) kakimu sampai
dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub
maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam
perjalanan atau kembali dari tempat buang air
atau menyentuh (berhubungan seks dengan)
perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka
bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih);
(1) sapulah mukamu dan (2) tanganmu dengan
tanah itu. Allah tidak ingin menyulitkan kamu,
tetapi Dia hendak membersihkan* kamu dan
menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya
kamu bersyukur. (5:6)

*Membersihkan = cleanse = thahhirakum > lebih


kepada spiritual bukan kepada fisik.
Ini adalah wudhu yang diperintahkan Allah di dalam
Al-Qur'an untuk setiap orang yang beriman sebelum
mengerjakan/mendirikan shalat. wudhu ini terdiri dari
4 langkah yang sangat sederhana:
1. Membasuh muka/wajah.
2. Membasuh kedua tangan sampai kepada siku.
3. Mengusap/Menyapukan (air) ke kepala.
4. Mengusap kaki sampai kepada mata kaki.
Tapi apakah wudhu dengan 4 langkah sederhana
seperti di ataskan yang dipraktekan 99% umat muslim
sekarang ini? Jawabnya TIDAK atau BUKAN seperti
4 hal di atas.

Walaupun perintah di dalam Al-Qur'an ini sangat jelas


dan mudah, mayoritas umat muslim sekarang ini
megerjakan wudhu dengan cara yang sangat berbeda
sekali. Semuanya menyatakan bahwa cara wudhu yang
mereka kerjakan (wudhu tradisi adalah 8 atau 9
langkah), berasal dari Sunah Nabi kita Muhammad,
semuanya percaya dan meng-imani bahwa wudhu ini
adalah wudhu yang dikerjakan Nabi. Pada 4 langkah
sederhana dari Surat Al-Maidah ayat 6 di atas
ditambahkan dengan: membasuh tangan sampai
pergelangan, berkumur, membersihkan hidung dan
telinga, bahkan ada yang ditambah dengan menggosok
gigi (siwak).

Apakah Nabi Muhammad Tidak Puas Dengan


Perintah Wudhu Dari Allah?

Mereka berpendapat karena 'Al-Nazafah min al-Imaan'


atau kebersihan adalah bagian daripada ke-imanan,
sebagaimana dinyatakan di dalam hadits, jadi semakin
bersih seseorang secara fisik sebelum shalat, semakin
baik. Penambahan langkah dalam ber-wudhu dari yang
telah ditentukan Allah di dalam Al-Qur'an
menimbulkan pertanyaan sebagai berikut:
1. Apakah masuk akal bahwa Nabi Muhammad
yang dinyatakan di dalam Al-Qur'an sebagai
'contoh yang baik atau panutan terbaik' untuk
semua orang-orang yang beriman dan
dikaruniai Allah sebagai penerima dan
penyampai ayat-ayat Al-Qur'an, mengabaikan
perintah Allah? Mengabaikan ketentuan wudhu
daripada ayat Al-Qur'an tersebut di atas dan
mengikuti ketentuan yang lain?
2. Apakah cara berwudhu yang dijelaskan Allah
kepada kita tidak cukup? Apakah kemudian
Nabi membuat metoda wudhu yang lebih
bersih dan lebih baik?
3. Pertanyaan berikut yang PENTING artinya
adalah: Apakah 'kebersihan fisik' merupakan
'maksud dan tujuan' daripada ber-wudhu?

Jawaban untuk pertanyaan ke-1 dan 2 sudah pasti


TIDAK, TIDAK MUNGKIN! Nabi adalah manusia
seperti kita, dia bukan manusia yang maha sempurna,
tentu juga pernah membuat kesalahan, tapi dalam hal
ini insya Allah Nabi tidak akan pernah melanggar atau
mengikuti cara selain yang telah ditentukan Allah di
dalam Al-Qur'an. Ingatlah, berulang-ulang di dalam
Al-Qur'an, Nabi diminta Allah untuk mengatakan:
"aku hanya mengikuti apa yang diwahyukan
kepadaku." (10:15)

Apa tidak cukup adil kalau pemahaman saya tentang


penggalan ayat 10:15 ini bahwa Nabi tidak mungkin
menyimpang perintah sederhana dari ayat 5:6, dengan
menambahkan langkah wudhu tambahan?

Wudhu Apakah Lebih Kepada Kebersihan Fisik


atau Ujian Kepatuhan?
Sedangkan untuk jawaban dari pertanyaan ketiga, kita
harus menyikapi dan merenungkan pemikiran berikut
ini:

 Jika maksud dan tujuan daripada wudhu adalah


semata kebersihan (fisik), mengapa Allah tidak
memerintahkan kita untuk membersihkan
ketiak kita, kemaluan ataupun, maaf, dubur
kita, dan bukan hanya sekedar berwudhu tapi
memerintahkan kita mandi? Tentu saja ketiak
kita (pada umumnya), kemaluan (genital) kita
lebih perlu untuk dibersihkan daripada
misalnya wajah kita. Kalau maksud dan tujuan
ber-wudhu adalah semata kebersihan fisik,
mengapa Allah hanya memerintahkan untuk
'mengusap atau menyapukan air' ke kepala?
Bukan nya 'membasuh' kepala? Tentu
menyapukan air kekepala tidaklah membuat
kepala menjadi benar-benar bersih!

 Pernah juga di dalam suatu forum tanya jawab


tentang Islam, seorang wanita mualaf Amerika,
mengajukan pertanyaan sebagai berikut:
"Mengapa kita harus ber-wudhu sebelum
shalat? Padahal dalam dunia modern ini, di
Amerika, di tempat dia bekerja, lingkungannya
sangat bersih, berpendingin dan hal lainnya
yang membuat seseorang secara fisik relatif
bersih sepanjang hari, sepanjang hari kerja!"

Hal yang jelas dan jawaban yang rasional dari


pemikiran dan pertanyaan di atas adalah bahwa
"maksud dan tujuan" daripada ber-wudhu sebelum
shalat pastilah terutama bukan ditujukan untuk sekedar
kebersihan fisik. wudhu tidak lain adalah "perintah
sederhana" dari Allah untuk "menguji kepatuhan kita
terhadap perintah-Nya."

Apakah kita akan mematuhi perintah Allah dengan


melaksanakan 4-langkah wudhu tersebut ataukah kita
akan menjadi korban penipuan daripada setan untuk
mengubah perintah Allah? Ujian kecil ini pada
kenyataanya sama dengan ujian yang diberikan Allah
kepada Nabi Adam dan isterinya tentang 'pohon
terlarang.' Mengapa Allah menempatkan 'pohon
terlarang' di antara hal-hal lainnya dan kemudian
memperingatkan Adam untuk tidak memakan buah
dari pohon terlarang tersebut? Jelas tidak ada yang
salah dengan buah dari pohon tersebut, karena ketika
Adam dan isterinya memakan buah dari pohon tersebut
tidak ada, atau tidak diceritakan, pengaruhnya terhadap
kesehatan fisik dari Adam dan isterinya, namun
bagaimanapun juga Adam dan isterinya telah gagal
dalam ujian yang sangat sederhana ini. setan telah
menipu mereka persis dengan cara yang sama mereka
(setan) menipu juta-an umat muslim sekarang ini untuk
"MEMATUHI" perintah wudhu dari Allah, yang
sangat sederhana.

Trik-trik dari setan selalu sama, Allah yang Maha


Kuasa telah memperingatkan kita bahwa setan akan
memikat kita dengan kebohongan-kebohongan dan
khayalan dan pengertian yang menyesatkan. Dalam hal
tipuan kepada Adam, setan menipunya untuk
mempercayai bahwa buah dari pohon terlarang
tersebut lebih baik dan (setan) mengatakan:
Fawaswasa ilayhi asy-syaithaanu qaala yaa aadamu
hal adulluka 'alaa syajarati alkhuldi wamulkin laa
yablaa. (20:120)
Kemudian setan membisikkan pikiran jahat
kepadanya dengan berkata: "Hai Adam, maukah
saya tunjukkan kepada kamu pohon keabadian dan
kerajaan yang tidak akan binasa?" (20:120)

Sama juga dalam hal ber-wudhu, setan telah memikat


jutaan manusia untuk mempercai, meng-imani bahwa
ada cara yang lebih baik, dimana Nabi mengerjakan
'wudhu yang lebih baik!' Kenyataannya, insya Allah,
Nabi Muhammad tidak bersalah dari kebohongan-
kebohongan yang di-atributkan, dibebankan
kepadanya. Tidak ada keraguan sedikitpun bahwa Nabi
Muhammad pasti mengikuti perintah-perintah Allah di
dalam Al-Qur'an dan bukan yang lain.

Jika kebersihan fisik adalah hal yang hanya dibesar-


besarkan setan untuk menanamkan racun-nya, kita juga
bisa menemukan di dalam Al-Qur'an bahwa Allah
telah meng-indikasikan bahwa wudhu adalah sekedar
ujian untuk kepatuhan kita, umatnya, dan bukan meng-
utamakan hal tentang kebersihan fisik, sebagai berikut:

Pertama

Bagian-bagian tubuh yang dinyatakan dalam ayat


tentang wudhu (5:6) bukanlah bagian-bagian tubuh
yang paling utama yang perlu untuk dibersihkan
(ketiak, dubur dan alat kelamin, lebih perlu untuk
dibersihkan).
Kedua

Mengapa Allah memerintahkan kita untuk membasuh


wajah, tangan, dan kaki tetapi hanya mengusap kepala?
sedangkan mengusap tidaklah betul-betul
membersihkan kepala dari kotoran. Hal ini harus kita
ambil sebagai salah satu indikasi, petunjuk dari Allah
untuk memastikan kepada kita bahwa 'kebersihan
secara fisik' bukanlah 'hal yang utama,' namun hal
yang utama adalah 'mematuhi perintah Allah.' Ujian-
Nya adalah mematuhi perintah-Nya.

Ketiga

Kepastian ketiga bisa ditemukan pada ayat berikut ini:

...Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir


(perjalanan) atau kembali dari tempat buang air
atau kamu baru berhubungan (seks) dengan
perempuan (isteri), kemudian kamu tidak
mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan
tanah yang baik (bersih); (1) sapulah mukamu dan
(2) tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf
lagi Maha Pengampun. (4:43)

Dalam ayat sebelumnya (5:6) setelah berhubungan


seks kita diperintahkan Allah untuk mandi; Mandi di
antaranya akan membersihkan alat kelamin kita suami
dan isteri. Sedangkan dalam keadaan bahwa kita tidak
bisa (sulit) mendapatkan air, perintah dari Allah adalah
melakukan wudhu kering (tayammum) dengan
menyapu wajah dan tangan dengan tanah yang bersih,
walaupun:
 Baru buang air besar atau kecil,
 Baru berhubungan seks dengan suami atau
isteri kita.

Di sini jelas bahwa: menyapu wajah dan tangan


dengan tanah yang bersih, tidak akan membersihkan
secara fisik alat kelamin ataupun dubur. Jadi sekali lagi
ayat ini memastikan bahwa hal utama daripada be-
wudhu bukanlah tentang kebersihan fisik, namun
tentang 'ujian' kepatuhan kepada perintah Allah.

Kejelasan dan kebenaran dari maksud dan tujuan


wudhu ini, insya Allah, anda semua bisa merenungkan
kembali, keluar dari kungkungan tradisi yang salah,
keluar dari jebakan setan, berani mengetahui dengan
bimbingan Al-Qur'an sebagai Al-Furqan (kriteria
utama), pembeda dari yang salah dan benar.

Maksud dan Tujuan wudhu sebelum shalat, utamanya


bukan tentang kebersihan fisik, insya Allah, akan
membuka kebenaran lain yang sangat berkaitan erat
tetapi juga akan anda pandang sebagai sesuatu hal
yang sangat ekstrim, anda katakan radikal, adalah
tentang larangan mengerjakan shalat (dan ibadah
lainnya) bagi kaum wanita yang sedang
menstruasi/haid (Al-Baqarah 2:222).

Tetapi sekarang ini kita teruskan tentang maksud dan


tujuan wudhu, di dalam Al-Qur'an, Allah menyatakan
kepada kita dua bagian dari pengetahuan yang
berhubungan dengan hal ber-wudhu dan penyangkalan
dari manusia:
Allah telah menciptakan kita semua, jadi Dia maha
mengetahui tentang manusia dengan sangat sempurna.
Allah mengetahui bahwa sesederhana dan semudah
apapun Perintah-Nya, tetap saja manusia selalu akan
menyangkalnya, dengan tidak perlu (A'udzubillah):

Walaqad sharrafnaa fii hadza alqur-'aani linnaasi min


kulli matsalin wakaana al-insaanu akthara syai-in
jadalaan. (18:54)
Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulangi
bagi manusia dalam Al-Qur'an ini bermacam-
macam perumpamaan (contoh). Tetapi manusia
adalah makhluk yang paling banyak membantah.
(18:54)

Patut dicatat juga kisah tentang bangsa Israel, ketika


mereka diperintahkan Allah untuk mengorbankan sapi
muda, tetapi mereka keukeuh, ngeyel, terus dan
berulang-ulang mempertanyakan untuk
mengklarifikasikan segala hal yang tidak perlu tentang
kejelasan dan kepastian dari perintah ini (melalui Nabi
Musa), padahal perintah Allah sangatlah mudah untuk
segera mereka laksanakan (lihat surat Al-Baqarah,
2:67-74 --- banyaknya ayat menerangkan juga betapa
ngeyelnya mereka itu).

Pakaian Wanita Dalam Islam (Bukan Kerudung) 

Oleh Debusemesta ( debusemesta@yahoo.com )

 
Secara umum, fungsi pakaian adalah untuk menutupi
bagian-bagian aib dari diri dan untuk keindahan
penampilan. Ketentuan ini berlaku bagi pria maupun
wanita.

"Wahai Bani Adam, sesungguhnya Kami telah


menurunkan pakaian kepadamu untuk menutupi
bagian-bagian aib kamu dan perhiasan..." (7:26)

Secara khusus Allah menetapkan aturan tertentu


tentang pakaian wanita di dalam Al-Qur'an. Ketetapan
Allah ini hendaknya menjadi perhatian wanita-wanita
beriman untuk dipatuhi.

"Dan katakanlah kepada wanita-wanita beriman


supaya menahan pandangan mereka, dan menjaga
kemaluan mereka, dan tidak menampakkan
perhiasan mereka kecuali apa yang nampak
darinya. Dan hendaklah mereka meletakkan
penutup (khumur) pada dadanya, dan tidak
menampakkan perhiasan mereka..." (24:31)

Khumur

Pada kutipan ayat di atas Allah menyuruh agar wanita


beriman menutupi bagian dada mereka (payudara).
Penyebutan bagian dada ini kemudian dihaluskan
Allah dengan istilah "perhiasan." Kata "khumur" pada
ayat di atas berarti "tutup/penutup" dalam bahasa
Indonesia. Taplak yang digunakan untuk menutupi
meja juga disebut "khumur." Kata "khumur" ini masih
serumpun dengan kata "khamar" (tuak) yang menutupi
akal pikiran.

Pakaian yang biasa dipakai sehari-hari oleh kaum


wanita sudah memadai sebagai penutup sepanjang bisa
menyembunyikan bagian dada. Apabila pakaian yang
dikenakan itu ketat maka diperlukan penutup tambahan
semacam jaket, cardigan, rompi, atau blazer.

Pengecualian

Kebolehan untuk berpakaian tidak sebagaimana yang


disyaratkan di atas adalah di hadapan:

"... kecuali kepada


- suami mereka, atau
- bapak mereka, atau
- bapak suami mereka, atau
- anak laki-laki mereka, atau
- anak laki-laki suami mereka, atau
- saudara laki-laki mereka, atau
- anak laki-laki saudara laki-laki mereka, atau
- anak laki-laki saudara perempuan mereka, atau
- wanita-wanita mereka, atau
- budak-budak yang mereka miliki, atau
- pelayan laki-laki yang tidak mempunyai
keinginan seks, atau
- anak-anak yang belum mengerti aurat wanita..."
(24:31)

Tidak saja memperlihatkan payudara yang dilarang


oleh Allah. Menghentakkan kaki supaya "perhiasan
tersembunyi" itu diketahui adalah juga termasuk aksi
yang terlarang.
"Dan janganlah mereka menghentakkan kakinya
supaya perhiasan mereka yang tersembunyi
diketahui..." (24:31)

Wanita-wanita yang sudah menginjak masa tua diberi


kelonggaran apakah akan memenuhi norma berpakaian
ini atau tidak. Bagaimanapun, apabila mereka tetap
memenuhinya tentulah itu yang lebih sopan dan lebih
baik.

"Bagi perempuan-perempuan tua yang tidak ada


keinginan kawin, tidak ada dosa atas mereka untuk
menanggalkan pakaian tanpa (maksud) menunjuk-
nunjukkan perhiasan, dan jika berlaku sopan
adalah lebih baik bagi mereka." (24:60)

Jalabi

Selain memerintahkan agar wanita beriman menutupi


bagian dada mereka, Allah memberi petunjuk agar istri
Nabi, anak wanita Nabi dan wanita-wanita beriman
mengulurkan pakaian luar ke tubuh mereka.

"Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu,


dan anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri
orang-orang beriman, supaya mereka mengulurkan
pakaian luar (jalabi) pada tubuh mereka. Demikian
itu lebih mudah dikenal, dan tidak diganggu.
Adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha
Pengasih Penyayang." (33:59)

Istilah "jalabi" yang di-Indonesiakan menjadi "jilbab"


ini adalah pakaian luar yang menutupi tubuh. Yusuf
Ali di dalam Holy Quran-nya menterjemahkan "jalabi"
sebagai "outer garments."

Perintah Allah adalah agar pakaian luar tersebut


dihulurkan/dipanjangkan. Dengan kata lain, pakailah
baju terusan, atau rok, atau celana yang cukup panjang.
Jangan mengenakan pakaian bawahan yang
pendek/mini.

Membaca ayat yang mengatakan bahwa tujuan


mengulurkan pakaian luar ini adalah agar para wanita
beriman lebih mudah dikenal dan tidak diganggu maka
dapat dimengerti bahwa mengulurkan pakaian luar ini
terutama diperlukan ketika seorang wanita sedang
keluar rumah.

Kerudung Kepala

Kerudung kepala wanita sebagaimana yang


disyariatkan oleh para pemuka agama disebut "hijab"
dalam bahasa Arab. Kata "hijab" muncul setidaknya 7
kali di dalam Al-Qur'an (7:46, 17:45, 19:17, 33:53,
38:32, 41:5, 42:51) dan tidak satupun diantaranya yang
berkaitan dengan tradisi pakaian muslimah.

Allah tidak pernah menyusahkan wanita dengan


kewajiban untuk menutupi bagian-bagian yang biasa
terlihat seperti lengan, rambut, pipi, dan leher
sebagaimana yang diajarkan oleh kitab-kitab selain Al-
Qur'an.

Kalaulah mau diada-adakan dalih bahwa kecantikan


yang terlihat pada diri wanita bisa membuat pria
tergoda, maka para pria pun harusnya mengenakan
penutup kepala dan pakaian serba tertutup karena telah
terbukti pada kisah Nabi Yusuf bahwa ketampanan
seorang pria pun bisa membuat wanita-wanita tergoda.

Ajaran Bible

Kerudung penutup kepala wanita sebagaimana yang


biasa dikenakan oleh wanita muslim sekarang ini tidak
dikenal di dalam syariat Islam, namun ia dikenal di
dalam ajaran Nasrani.

Tetapi tiap-tiap perempuan yang berdoa atau


bernubuat dengan kepala yang tidak bertudung,
menghina kepalanya, sebab ia sama dengan
perempuan yang dicukur rambutnya. (1 Korintus
11:5)

Sebab jika perempuan tidak mau menudungi


kepalanya, maka haruslah ia juga menggunting
rambutnya. Tetapi jika bagi perempuan adalah
penghinaan, bahwa rambutnya digunting atau
dicukur, maka haruslah ia menudungi kepalanya.
(1 Korintus 11:6)

Pertimbangkanlah sendiri: Patutkah perempuan


berdoa kepada Allah dengan kepala yang tidak
bertudung? (1 Korintus 11:13)

Karena apa yang diajarkan di dalam bible tentang


menutup kepala bagi kaum wanita tidak mendapat
"pengesahan" dari Kitab pamungkas yang diturunkan
Allah (Al-Qur'an), maka ajaran tersebut tidak boleh
diikuti.
Dan Kami telah menurunkan kepada kamu Kitab
dengan kebenaran, yang membenarkan Kitab
sebelumnya, dan menjaga (kebenaran)nya. Maka
putuskanlah antara mereka menurut apa yang
telah diturunkan Allah, dan janganlah mengikuti
keinginan mereka dengan mengabaikan kebenaran
yang telah datang kepadamu. (5:48)

Wig, Kutex, Parfum, Cat Rambut, dan Cukur Alis

Dalam kaitannya dengan topik pakaian wanita, sering


pula dipermasalahkan perihal hukum mengenakan wig,
memakai kutex, parfum, mengecat rambut, maupun
mencukur alis bagi wanita.

Hal-hal di atas sama sekali tidak pernah dilarang oleh


Allah. Al-Qur'an itu lengkap dan sempurna. Kalaulah
Allah memang ingin melarang hal-hal di atas, tentulah
larangan tersebut ada tercantum di dalam Al-Qur'an.

 Penyelenggaraan Jenazah dan Pembagian Harta


Warisan

Oleh Debusemesta ( debusemesta@yahoo.com ) 

Penyelenggaraan Jenazah

Demi kebersihan dan kepantasan maka umumnya


jenazah dimandikan dan diberi wewangian. Setelah itu
terhadapnya dikenakan pakaian yang baik sehingga
tidak menjatuhkan kehormatannya meskipun yang
bersangkutan telah wafat.

Sebagaimana petunjuk Allah, selain berfungsi sebagai


penutup aurat pakaian juga diturunkan-Nya kepada
manusia untuk membawa keindahan.

"Wahai Bani Adam, sesungguhnya Kami telah


menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi
bagian-bagian aib kamu, dan (pakaian indah
sebagai) perhiasan..." (7:26)

Bagaimana pakaian yang baik untuk jenazah tidak


berbeda dengan pakaian yang baik untuk orang hidup.
Mungkin ia berupa setelan kemeja, atau batik, atau jas,
atau baju kurung, dan sebagainya.

Penulis tidak berpikir bahwa pembungkusan jenazah


dengan kain kafan sebagaimana tradisi selama ini bisa
dikatakan sebagai "baik" apalagi "memuliakan" bagi si
wafat.

Setelah jenazah dipakaikan dengan pakaian yang baik,


selanjutnya dari ayat-ayat Allah kita mendapati
petunjuk bahwa jenazah dikuburkan, bukan
diperlakukan dengan cara lain seperti misalnya
dikremasi (dibakar).
 

"Kemudian Allah kirimkan seekor burung gagak


mencakar-cakar di atas bumi, untuk
memperlihatkan kepada dia bagaimana dia akan
menyembunyikan mayat saudaranya yang
menimbulkan aib. Dia berkata: 'Celakalah aku!
Tidakkah aku mampu untuk menjadi seperti
burung gagak ini, untuk menyembunyikan mayat
saudaraku yang menimbulkan aib?' Dan dia
menjadi diantara orang-orang yang menyesal."
(5:31)

"Kemudian mematikannya, dan


menguburkannya." (80:21)

Sesaat setelah jenazah dikuburkan, pada sebagian


masyarakat ada kebiasaan untuk melakukan "talqin,"
yaitu suatu pengajaran kepada jenazah tentang apa
yang harus dijawabnya atas pertanyaan malaikat di
alam kubur. Padahal ayat Allah dalam hal ini sangat
jelas:

"...kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang


di dalam kubur untuk mendengar." (35:22)

Karena talqin adalah pekerjaan yang sia-sia belaka,


maka tidak usah kita ikut melakukannya. Sebagai
gantinya, kita bisa mendoakan kebaikan untuk si wafat.
Ayat di bawah ini mengisyaratkan kepada kita bahwa
mendoakan maupun menziarahi jenazah (kubur) orang
beriman adalah perbuatan yang dibenarkan oleh Allah.

"Dan janganlah kamu mendoakan seorang yang


mati antara mereka, dan jangan juga berdiri di
kuburnya. Sesungguhnya mereka tidak beriman
kepada Allah dan rasul-Nya, dan mereka mati
dalam keadaan fasik." (9:84)
Satu pesan lagi dari ayat di atas adalah, sebagai bentuk
penghormatan atas si wafat maka ketika melakukan
ziarah kubur hendaknya kita berdiri, bukan duduk atau
jongkok.

Pembagian Harta Warisan

Wasiat

Allah memerintahkan kepada kita membuat wasiat


untuk ibu, bapak, dan sanak saudara. Saking
pentingnya membuat wasiat ini, Allah mengaitkannya
dengan ketakwaan.

"Dikitabkan bagi kamu, apabila seseorang antara


kamu didatangi kematian, dan dia meninggalkan
kebaikan (harta), supaya membuat wasiat untuk
ibu bapaknya, dan sanak saudara dengan baik –
sebagai suatu kewajiban atas orang-orang yang
bertakwa." (2:180)

Apabila ternyata isi wasiat dirasakan tidak adil atau


berdosa apabila dilaksanakan, maka para pihak yang
terlibat dapat memperbaikinya agar adil.

"Jika seseorang takut akan penyimpangan dari


jalan yang benar, atau dosa dari orang yang
berwasiat itu, lalu dia mengadakan perbaikan
antara mereka, maka tidaklah ada dosa baginya.
Sesungguhnya Allah Pengampun, Pengasih."
(2:182)
Allah tetapkan pula agar di dalam wasiat itu
dicantumkan pemberian uang belanja dan hak untuk
tetap mendiami rumah bagi istri selama satu tahun.
Apabila rumah yang dimaksud adalah rumah sewaan,
maka pembayaran sewa rumahnya selama satu tahun
harus diwasiatkan.

"Dan orang-orang antara kamu yang mati dan


meninggalkan isteri-isteri, hendaklah mereka
membuat wasiat untuk isteri-isteri mereka nafkah
untuk setahun tanpa mengeluarkannya (dari
rumah)..." (2:240)

Turut dimasukkan sebagai pewaris di dalam wasiat


adalah orang-orang yang terikat sumpah dengan si
wafat.

"Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang


ditinggalkan ibu, bapak dan sanak saudara Kami
jadikan pewaris-pewarisnya. Dan orang-orang
yang terikat sumpah dengan kamu, berilah mereka
bagiannya..." (4:33)

Hemat penulis, yang dimaksud dengan orang-orang


yang terikat sumpah ini adalah orang-orang kepada
siapa si wafat ketika hidupnya berkomitmen untuk
memberi nafkah. Masuk ke dalam kategori ini adalah:
anak asuh, anak tiri, pembantu, kerabat yang miskin,
anak yatim, dan lain-lain.

Wasiat hendaknya disaksikan oleh dua orang saksi


yang adil. Saksi dapat merupakan orang yang
dipercayai atau orang lain jika kebetulan maut
mendatangi sedang kita dalam perjalanan.

"Wahai orang-orang yang beriman, kesaksian


antara kamu apabila salah seorang daripada kamu
ditimpa maut, apabila dia berwasiat, ialah dua
orang yang adil antara kamu, atau dua orang selain
kamu jika kamu berpergian di bumi dan bencana
maut menimpa kamu..." (5:106)

Apabila ragu terhadap kejujuran saksi-saksi, kita minta


agar mereka melafazkan sumpah dengan menyebut
nama Allah setelah shalat dengan bunyi sebagaimana
disebutkan oleh ayat berikut.

"...Kemudian kamu tahan mereka sesudah shalat,


dan mereka akan bersumpah dengan nama Allah,
jika kamu ragu-ragu: 'Kami tidak akan
menjualnya untuk suatu harga, walaupun ia sanak
saudara yang dekat, dan kami tidak juga akan
menyembunyikan kesaksian Allah, karena jika
demikian, tentu kami termasuk orang-orang yang
berdosa'." (5:106)

Pada zaman sekarang kita dapat menggunakan jasa


notaris untuk penyaksian wasiat ini.

Wasiat Allah

Apabila si wafat tidak meninggalkan suatu wasiat,


maka pembagian harta warisan dilakukan menurut
wasiat Allah. Demikian pula apabila ada sisa harta
yang tidak diatur pembagiannya di dalam wasiat, maka
ia dibagi menurut ketentuan wasiat Allah.

Terdapat tiga ayat yang mengatur ketentuan tentang


wasiat Allah ini yaitu:

"Allah mewasiatkan kamu mengenai anak-anak


kamu; bagian anak laki-laki sama dengan bagian
dua perempuan, dan jika mereka semuanya
perempuan yang lebih dari dua, maka bagi mereka
dua per tiga dari harta yang ditinggalkan; tapi jika
anak perempuan itu seorang saja, maka baginya
separuh harta. Dan untuk ibu dan bapak, kepada
masing-masing satu per enam dari harta yang
ditinggalkan, jika dia ada anak; tetapi jika dia
tidak ada anak, dan waris-warisnya ialah ibu dan
bapaknya, maka satu per tiga bagi ibunya, atau
jika dia ada saudara-saudara laki-laki, maka bagi
ibunya satu per enam, sesudah dipenuhi wasiat
yang dia buat atau (dan) sesudah dibayar
hutangnya..." (4:11)

"Dan bagi kamu (suami), separuh dari apa yang


isteri-isteri kamu tinggalkan, jika mereka tidak
mempunyai anak. Tapi jika mereka mempunyai
anak, maka bagi kamu satu per empat dari yang
ditinggalkannya, sesudah dipenuhi wasiat mereka,
atau (dan) dibayar hutangnya. Dan bagi mereka
(istri-istri), satu per empat dari apa yang kamu
tinggalkan jika kamu mempunyai anak. Tapi jika
kamu mempunyai anak, maka bagi mereka satu
per delapan dari apa yang kamu tinggalkan,
sesudah dipenuhi wasiat atau (dan) dibayar
hutangnya. Jika seorang laki-laki atau seorang
perempuan tidak mempunyai pewaris langsung
(ibu bapak dan anak), tapi mempunyai saudara
laki-laki atau saudara perempuan, maka bagi
masing-masing dari keduanya, satu per enam
harta. Tapi jika mereka lebih banyak dari itu,
maka mereka bersekutu dalam satu per tiga,
sesudah dipenuhi wasiatnya, atau (dan) dibayar
hutang yang tidak memudaratkan. (Yang
demikian) wasiat dari Allah, dan Allah
Mengetahui, Penyantun." (4:12)

"Mereka meminta satu keputusan kepada kamu.


Katakanlah, "Allah memutuskan kepada kamu
mengenai waris yang tidak langsung (selain ibu
bapak dan anak). Jika seorang laki-laki mati tanpa
seorang anak, tetapi dia mempunyai saudara
perempuan, maka dia (saudara perempuan)
menerima separuh dari apa yang dia tinggalkan;
dan dia (saudara laki-laki) adalah pewaris harta
saudara perempuannya jika dia (perempuan) tidak
mempunyai anak. Jika ada dua saudara
perempuan, mereka menerima dua per tiga dari
harta yang dia (saudara laki-laki) tinggalkan. Dan
jika ada beberapa orang saudara, laki-laki dan
perempuan, yang laki-laki menerima sama dengan
dua bagian perempuan. Allah menjelaskan kepada
kamu supaya kamu tidak sesat; Allah mengetahui
segala sesuatu." (4:176)
Sebagai catatan, umumnya Al-Qur'an terjemahan
bahasa Indonesia menggunakan frasa "Allah
syariatkan..." pada awal ayat 4:11 yang dikutip di atas.
Namun apabila kita konsisten dengan kata dalam
bahasa aslinya (Arab), maka terjemahan yang lebih
tepat adalah "Allah wasiatkan..."

Ayat-ayat tentang wasiat Allah di atas dapat diuraikan


sebagai berikut:

Bagian anak-anak

 Pada dasarnya, bagian seorang anak laki-laki


sama dengan bagian dua anak perempuan.
 Jika anak perempuan berjumlah lebih dari dua,
maka mereka mendapatkan 2/3, dan berarti
anak laki-laki mendapat 1/3.
 Jika anak perempuan hanya satu orang, dan
anak laki-laki juga satu orang, maka masing-
masing mereka mendapatkan separuh (1/2).
 Jika anak laki-laki lebih dari 1 orang, dan anak
perempuan hanya 1 orang, maka
perhitungannya kembali ke prinsip awal bahwa
bagian satu orang anak laki-laki sama dengan
bagian dua orang anak perempuan.
 Pendapat kami, apabila orang yang wafat hanya
meninggalkan anak laki-laki saja (tidak ada
anak perempuan), maka warisan yang
diperuntukkan bagi anak diserahkan semuanya
kepada anak laki-laki tersebut, demikian pula
sebaliknya.
 

Bagian Istri/ Suami

 Jika tidak ada anak, istri mendapatkan 1/4


bagian.
 Jika ada anak, istri mendapatkan 1/8 bagian.
 Jika tidak ada anak, suami mendapatkan 1/2
bagian.
 Jika ada anak, suami mendapatkan 1/4 bagian.

Bagian Orang Tua

 Jika ada anak, ibu dan bapak masing-masing


mendapatkan 1/6 bagian.
 Jika tidak ada anak, ibu mendapatkan 1/3
bagian.
 Jika tidak anak tapi ada saudara-saudara laki-
laki, ibu kembali mendapatkan 1/6 bagian.

Bagian Saudara (pewaris tidak langsung)

 Jika tidak ada pewaris langsung (ibu, bapak,


anak), saudara-saudara laki-laki dan perempuan
mendapat masing-masing 1/6. Apabila jumlah
mereka lebih dari 6 orang, mereka semua
berbagi dalam 1/3 bagian. Bagian saudara laki-
laki sama dengan dua bagian saudara
perempuan.
 Jika orang yang meninggal adalah laki-laki
yang tidak mempunyai pewaris langsung (ibu,
bapak, anak), maka saudara perempuannya
mendapatkan 1/2 bagian.
 Jika orang yang meninggal adalah laki-laki
yang tidak mempunyai pewaris langsung (ibu,
bapak, anak), namun mempunyai dua orang
saudara perempuan, maka mereka mendapatkan
2/3 bagian.
 Jika orang yang meninggal adalah perempuan
yang tidak mempunyai pewaris langsung (ibu,
bapak, anak), maka saudara laki-laki mewarisi
seluruh harta.

Contoh ilustrasi, seorang laki-laki wafat dan


meninggalkan seorang istri, ibu, dan anak-anak.
Prosentase pembagiannya:

 Istri                =>    1/8 (3/24) = 12,50%


 Ibu                 =>    1/6 (4/24) = 16,66%
 Anak-anak    =>    Sisa (17/24) = 70,83%

Pada kasus tertentu, harta yang dibagi dengan rumus di


atas ternyata masih bersisa. Hemat kami, sisa harta
tersebut dibagikan kepada orang-orang yang terikat
sumpah dengan si meninggal sebagaimana telah
disinggung sebelumnya (anak asuh, anak tiri, kerabat
yang miskin, pembantu, anak yatim, dan lain-lain).

Wanita Yang Haid Diharamkan Puasa dan


Menyentuh Al-Qur'an?
Ditulis untuk Allah-Semata.Org

Dan janganlah kamu menerima apapun yang kamu


tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Aku
telah memberikan pendengaran, penglihatan dan
akal, dan kamu harus bertanggung jawab dalam
menggunakannya. (17:36)

Janganlah kita menerima, kemudian mengikuti begitu


saja! Kita harus selalu memeriksanya sendiri, pikirkan
dan renungkan. Termasuk semua isi tulisan dan semua
ayat-ayat Al-Qur'an yang dikutip di seluruh tulisan ini.

Sebelum membahas untuk menjawab pertanyaan topik


ini, mari kita coba renungkan sebentar jika memang
betul bahwa haid menghalangi wanita untuk beribadah,
mengerjakan puasa (yang diwajibkan-Nya),
mempelajari Al-Qur'an, dan kebaikan lainnya.

Mari kita berandai-andai, bahwa sebagai seorang


muslim shalat betul-betul sudah bukan hanya
merupakan kewajiban bagi anda, tapi saking cintanya
anda kepada Sang Pencipta, saking senangnya anda
berkomunikasi dengan Dia melalui shalat, shalat sudah
menjadi 'kebutuhan' anda setiap hari, namun karena
kebetulan anda seorang wanita, dan anda harus haid
maka anda harus kehilangan shalat sekitar kurang lebih
seminggu setiap bulannya! Padahal sekali lagi shalat
sudah menjadi kebutuhan ruh anda, bukan sekedar
kewajiban!

Demikian juga dengan puasa, hal yang sama harus juga


dialami oleh kaum wanita, ibu-ibu kita yang mulia,
mereka "tidak diperbolehkan berpuasa" selama kurang
lebih seminggu karena haid. Semuanya ini karena haid,
suatu keadaan yang memang sudah dirancang dan
ditentukan oleh Yang Maha Kuasa untuk kaum wanita,
kaum ibu yang mulia ini.

Bagaimana perasaan anda:

 masgul, merasa diperlakukan tidak adil dan


dibedakan dengan kaum pria karena ini?
 atau menerima dengan kerelaan hati karena ini
memang sudah menjadi hukum agama Allah,
sistem dari Allah?

Tapi apa memang betul tidak boleh shalat, puasa


bahkan tidak menyentuh Qur'an memang bagian dari
hukum Allah, Sistem Allah?

Menurut analisa saya, dilarangnya wanita yang sedang


haid untuk mengerjakan ibadah shalat dan puasa ini
erat kaitannya dengan kesalah-pahaman mengenai
kebersihan fisik, sebagai persyaratan untuk
menjalankan ibadah shalat terutama, kemudian puasa
dan akibat lanjutan dari kesalah-pahaman ini umum
kita ketahui bahwa bahkan menyentuh Al-Qur'an pun,
dengan maksud membacanya, terlarang bagi wanita
muslim.

Bahwa thaharah adalah kebersihan spiritual dan bukan


fisik, telah dibahas pada maksud dan tujuan wudhu ,
jadi insya Allah, ibadah kaum wanita karena 'kotornya'
fisik kaum wanita yang sedang mengalami haid
bukanlah hal yang menjadi penghalang shalat. Karena
untuk shalat syaratnya adalah wudhu, dan hal apa yang
mencegah kita untuk tidak mengerjakan shalat dan
yang membatalkan wudhu sudah dengan jelas di
nyatakan pada surat An-Nisa 4:43:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu


shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk,
sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan,
jangan pula dalam keadaan junub (kecuali kamu
dalam perjalanan) hingga kamu mandi. Dan jika
kamu sakit atau sedang dalam perjalanan atau
kembali dari tempat buang air atau kamu telah
menyentuh perempuan (berhubungan seks),
kemudian kamu tidak mendapat air, maka
bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik
(suci); sapulah mukamu dan tanganmu.
Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha
Pengampun. (4:43)

Jika kita sudah mengerti dan meng-imani perintah


wudhu sebelum melakukan shalat utamanya adalah
untuk menaati perintah Allah dan untuk menuju
kepada kebersihan spiritual sedangkan kebersihan
fisik/jasmani bukan sesuatu yang menghalangi sah-nya
shalat, kecuali hal-hal yang dijelaskan oleh ayat 4:43,
illa an yasha'a Allah, mudah-mudahan Allah
menunjukan kita kepada jalan yang lebih dekat lagi
kepada kebenaran bahwa tidak ada satu ayatpun, tidak
ada satu hukum-pun dari Al-Qur'an, dari Allah Yang
Maha Tahu, Maha Pemurah dan Maha Penyayang
yang melarang wanita yang sedang haid dari
melaksanakan ibadah shalat dan puasa, apalagi
menyentuh dan membaca Al-Qur'an.
Ayat-Ayat Tentang Wanita Haid

Surat Al-Baqarah (QS 2) ayat 222 adalah satu dari tiga


ayat dari keseluruhan Al-Qur'an yang menjelaskan atau
menyinggung tentang menstruasi atau haid-nya kaum
wanita, dua ayat lain berhubungan dengan subjek
perceraian (2:228 dan 2:231), yang tidak akan kita
bahas di sini.

Mereka bertanya kepadamu tentang haid.


Katakanlah: "Haid itu tidak menyenangkan dan
tidak bersih." Oleh sebab itu hendaklah kamu
menjauhkan diri dari wanita di waktu haid*; dan
janganlah kamu mendekati mereka, sebelum
mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka
campurilah mereka itu di tempat yang
diperintahkan Allah kepadamu**. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang tobat dan
menyukai orang-orang yang menyucikan diri.
(2:222)

Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu


bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat
bercocok-tanam kamu itu bagaimana saja kamu
kehendaki**. Dan kerjakanlah (amal yang baik)
untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan
ketahuilah bahwa kamukelak akan menemui-Nya.
Dan berilah kabar gembiraorang-orang yang
beriman. (2:223)

Bagian kalimat dari ayat 2:222 di atas yang berbunyi:


"Haid itu tidak menyenangkan1 dan tidak bersih." Oleh
sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita
di waktu haid2; dan janganlah kamu mendekati mereka,
sebelum mereka suci.

Terjemahan Indonesia umumnya untuk penggalan


kalimat "Tidak menyenangkan" diikuti dengan "tidak
bersih" atau "Haid itu adalah kotoran" telah membuka
jalan kepada kesalah-pahaman yang sudah berurat
berakar, yaitu, karena wanita yang sedang haid kotor
secara fisik, dan karena paham bahwa shalat HARUS
bersih secara fisik, maka wanita yang sedang haid
haram baginya shalat!

Padahal kalau kita telaah dengan hati-hati ayat 2:222


tersebut di atas, dan dua ayat lainnya yang
menyinggung haid pada 2:228 dan 2:231, tidak ada
satupun yang menyatakan bahwa haram bagi wanita
mengerjakan ibadah shalat, puasa apalagi menyentuh
Al-Qur'an.

Ayat 2:222, menjelaskan kepada kita:

1. Mengalamatkan perintah-Nya ini kepada kaum


laki-laki.
2. Mememerintahkan untuk tidak berhubungan
seks dengan isterinya di saat haid.
3. Mengijinkan berhubungan seks dengan
isterinya sesuai dengan ketentuan dari Allah.

Bahwa penjelasan ayat 2:222 adalah kepada kaum pria,


suami, dan tentang berhubungan seks (hendaklah kamu
menjauhkan diri dari wanita di waktu haid) dan bukan
hal lain akan menjadi jelas bila dikaitkan dengan ayat
223, dimana penggalan ayatnya sebagai berikut:
"Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu
bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat
bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu
kehendaki"

Kalimatnya adalah isteri-isterimu, jadi jelas 2:222


ditujukan kepada suami.

Isteri-isterimu adalah bagaikan tempat bercocok


tanam, tempat suami-suami menanam benih untuk
keturunan sebuah keluarga. Menamam benih umat
manusia tiada lain melalui hubungan seks.

...maka campurilah mereka itu di tempat yang


diperintahkan Allah kepadamu (2:222). ...maka
datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu
bagaimana saja kamu kehendaki (2:223) – di tempat
yang diperintahkan Allah bagaimana saja yang kamu
kehendaki:

 Menanam benih pasti harus melalui vagina.


 Harus sesuai perintah Allah, bukan cara lain
(bukan non-vaginal).
 Bagaimanapun kamu kehendaki, segala macam
cara dan gaya.

Jadi dari telaah ayat 2:222 (dan 2:223), tidak ada


sedikitpun kaitannya bahwa ayat tentang wanita yang
sedang haid dilarang, terlarang, atau diharamkan untuk
beribadah, apakah itu shalat, puasa apalagi menyentuh
Qur'an.
Katakanlah: "Bawalah ke mari saksi-saksi kamu
yang dapat memper-saksikan bahwasanya Allah
telah mengharamkan ini dan itu." Jika mereka
membuat kesaksian, maka janganlah kamu ikut
(pula) menjadi saksi bersama mereka; dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-
orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, dan
orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan
akhirat, sedang mereka mempersekutukan Tuhan
mereka. (6:150)

Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang


diharamkan bagimu oleh Tuhanmu, yaitu:
 kamu mempersekutukan sesuatu dengan
Dia,
 kamu berbuat tidak baik terhadap kedua
orang tuamu,
 kamu membunuh anak-anak kamu karena
takut akan kemiskinan. Kami akan memberi
rezeki kepadamu dan kepada mereka;
 Dan janganlah kamu mendekati perbuatan-
perbuatan yang keji, baik yang nampak
maupun yang tersembunyi,
 dan janganlah kamu membunuh jiwa
diciptakan Allah kecuali dengan alasan yang
benar."

Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu


kepadamu supaya kamu mengerti. (6:151)

Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada


Allah, padahal Dialah yang telah menurunkan
kitab (Al-Qur'an) kepadamu dengan
TERPERINCI? Orang-orang yang telah Kami
datangkan kitab kepada mereka, mereka
mengetahui bahwa Al-Qur'an itu diturunkan dari
Tuhanmu dengan sebenarnya. Maka janganlah
kamu sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu.
(6:114)

Kalimat Tuhanmu (Al-Qur'an) telah lengkap


(sempurna), sebagai kalimat yang benar dan adil.
Tidak ada yang dapat mengubah-rubah kalimat-
kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui. (6:115)

Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa


yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "Ini
halal dan ini haram," untuk mengada-adakan
kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-
orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap
Allah tiadalah beruntung. (16:116)

Orang-orang munafik laki-laki dan


perempuan,sebagian dengan sebagian yang lain
adalah sama, mereka menyuruh membuat yang
mungkar dan melarang berbuat yang makruf dan
mereka saling menggenggamkan tangannya.
Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah
melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang
munafik itulah orang-orang yang fasik. (9:67)

Poligami
Ditulis untuk Allah-Semata.Org

Di dunia secara umum, bila orang-orang teringat kata


Islam, tentang Muslim, ada beberapa istilah yang
umum masuk kepemikiran non-Muslim: Teroris,
Poligami, Jilbab atau Veil. Bisa ditebak bahwa ketiga
hal ini dipandang dengan sinis, bahkan dengan
kebencian, baik diperlihatkan atau tidak. Tentu karena
kita hidup di negara yang mayoritas penduduknya
adalah Muslim, pandangan negatif semacam ini hampir
tidak pernah muncul ke permukaan, resikonya terlalu
besar bagi non-Muslim untuk mengkritik atau
menjelekan isu-isu teroris, poligami dan jilbab dengan
terbuka.

Kita akan membahas khusus tentang poligami dalam


pengertian bahwa setiap kaum laki-laki Muslim di
dalam diin Allah, Islam, diizinkan untuk mempunyai
lebih dari satu isteri, yaitu sampai dengan empat isteri.

Poligami adalah istilah yang melekat dengan kuat,


kepada kaum non-Islam dalam artian yang negatif,
baik di sini maupun di dunia secara umumnya.
Dipandang dengan sangat sinis sebagai suatu yang
merendahkan derajat kaum wanita. Dijadikan olok-
olok! Atau menjadi fantasi bagi kaum lelaki non-
Muslim (masih dalam kerangka olok-olok),
membayangkan bahwa kalau dia pindah kepercayaan
dan menganut Islam, otomatis dia mempunyai lisensi
untuk beristeri lebih dari satu, sampai empat, dengan
didukung oleh hukum agama.
Laki-laki cenderung untuk berfantasi dan beralasan
bahwa ini karena tingginya libido seksual yang telah
diberikan Tuhan kepada mereka. Namun bahkan
wanita di dunia Muslim-pun banyak yang menerima
pendapat tentang poligami ini, sebagai sesuatu yang
memang telah diberikan aturannya, hukumnya, oleh
Tuhan, terlepas bahwa sangatlah besar
kemungkinannya bahwa mayoritas kaum wanita
Muslim di negara inipun tidak rela untuk berbagi
suaminya dengan yang lain. Wanita Muslim umumnya
tidak rela untuk berbagi suami, namun fakta agama
tentang poligami inilah yang diajarkan kepada mereka
untuk diterima dan dihormati.

Poligami dan Al-Qur'an Sebagai Al-Furqan

Jika Al-Qur'an selalu kita pegang sebagai kriteria


utama maka secara singkat yang bisa kita simpulkan
dari Al-Qur'an adalah: "Poligami (polygini)
DIIZINKAN NAMUN DENGAN SYARAT YANG
SANGAT KETAT untuk kebaikan secara sosial."

Al-Qur'an sangat keras melarang praktek poligami


secara terbuka. Ayat tentang poligami yang ada di
dalam Al-Qur'an, yang utamanya hanya satu ayat,
namun satu ayat inipun dimaknai dengan salah dan
disalahgunakan, baik oleh Muslim maupun non-
Muslim. Tapi yang utama dan sangat memprihatinkan
adalah kesalahan yang dilakukan oleh kaum Muslim.
Pernyataan tentang poligami ini ada dari Surat an-Nisa
(QS 4), ayat 3:

Wa-in khiftum allaa tuqsithuu fii alyataamaa fankiHuu


maa thaaba lakum mina annisaa-i matsnaa
watsulaatsa warubaa'a fa-in khiftum allaa ta'diluu
fawaaHidatan aw maa malakat aymaanukum dzaalika
adnaa allaa ta'uuluu. (4:3)
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil
terhadap (hak-hak) anak-anak yatim, maka
kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi (yang
kamu rasa cocok dari ibu-ibunya): dua, tiga atau
empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan
dapat berlaku adil, maka seorang saja, atau yang
tangan kanan kamu miliki. Yang demikian itu
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
(4:3)

And if you fear that you cannot be just to the


orphans, then marry those whom you see fit from
their mothers, two, and three, and four. But if you
fear you will not be fair, then only one, or whom
you are already betrothed to. This is best that you
do not face financial hardship. (4:3)

Anak-anak yatim, yatama dalam bahasa Arab,


digunakan untuk anak-anak yang telah kehilangan
ayahnya, ayahnya. Dalam istilah bahasa Arab, anak-
anak yang kehilangan ibunya tidak dianggap sebagai
anak-anak yatim.

Setiap orang yang membaca ayat 4:3 di atas, lebih lagi


kalau dikaitkan dengan ayat yang mendahuluinya
(4:2), tidak perlu seorang yang pintar ataupun jenius,
untuk memahami bahwa poligami adalah
BERSYARAT, mutlak mengandung syarat bahwa
seseorang ingin berlaku adil terhadap anak yatim, kuat
keinginannya untuk berbuat baik terhadap anak-anak
yatim dan tentu juga terhadap kaum wanita yang
ditinggalkan suaminya.

Untuk jelasnya kita gabungkan dua ayat, 4:2 dan 4:3:

Wa atuu alyatama amwalahum wala tatabaddaluu


alkhabiitsa bialttayyibi wala ta/kuluu amwalahum ila
amwalikum innahu kana huuban kabiiran. Wa-in
khiftum allaa tuqsithuu fii alyataamaa fankiHuu maa
thaaba lakum mina annisaa-i matsnaa watsulaatsa
warubaa'a fa-in khiftum allaa ta'diluu fawaaHidatan
aw maa malakat aymaanukum dzaalika adnaa allaa
ta'uuluu. (4:2-3)
Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang
sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar
yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu
makan harta mereka bersama hartamu.
Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan
memakan) itu, adalah dosa yang besar. Dan jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap
(hak-hak) anak-anak yatim, maka kawinilah
wanita-wanita yang kamu senangi (yang kamu rasa
cocok dari ibu-ibunya): dua, tiga atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, maka seorang saja, atau budak-budak
yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya. (4:2-3)

And give the orphans their money, and do not


replace the good with the bad, and do not consume
their money to your money; for truly it is a great
sin! And if you fear that you cannot be just to the
orphans, then marry those whom you see fit from
their mothers, two, and three, and four. But if you
fear you will not be fair, then only one, or whom
you are already betrothed to. This is best that you
do not face financial hardship. (4:2-3)

Dan mereka berkonsultasi denganmu tentang para


wanita. Katakanlah: "Allah memberi penerangan
kepadamu tentang mereka, sebagaimana apa yang
dibacakan kepadamu dalam Al-Kitab mengenai
para ibu anak yatim yang hendak kamu kawini
namun kamu belum memberikan kepada mereka
apa yang ditetapkan untuk mereka; begitupula
mengenai kelompok yang lemah dari anak-anak:
Bahwa hendaklah kamu berlaku adil untuk anak-
anak yatim. Dan kebajikan apa saja yang kamu
kerjakan, maka sesungguhnya Allah adalah Maha
Mengetahuinya."(4:127)

"They consult you concerning women: say, "GOD


enlightens you regarding them, as recited for you in
the scripture. The mothers of ORPHANS* that you
wish to marry but do not give them their due
dowries, you shall be just. The rights of young boys
must also be protected. You shall treat the orphans
equitably. Whatever good you do, GOD is fully
aware thereof." (4:127)

Namun siapakah sebetulnya anak-anak yatim dimana


kita mempunyai tanggung jawab namun kemungkinan
besar kita tidak akan bisa berlaku adil kepada mereka?
Kembali, tidak perlu terlalu jauh untuk mencari
jawaban-Nya:

Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang


yang belum sempurna akalnya (belum dewasa),
harta yang (dipercayakan kepadamu) dijadikan
Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka
belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan
ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.
Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup
umur untuk kawin. Kemudian jika menurut
pendapatmu mereka telah cerdas (telah dewasa),
maka serahkanlah kepada mereka harta mereka...
(4:5-6)

And do not give the immature ones their money


that God has entrusted to you, and spend on them
from it and clothe them, and speak to them in
goodness. And test the orphans until they reach the
age of marriage, then if you determine in them
sound judgment, then give them their wealth... (4:5-
6)

Dari ayat 5 dan 6 Surat an-Nisa (QS 4) di atas, jika kita


maknai secara harfiah, maka kualifikasi anda adalah
sebagai pelindung anak-anak yatim tersebut, dan
penanggung-jawab harta waris milik anak-anak yatim
tersebut. Ini yang harus kita ingat dan pahami sebelum
mempertimbangkan untuk melakukan poligami. Jadi
bukan sekedar kita, kaum laki-laki ambil anak-anak
yatim dari mana saja kemudian kita meng-klaim bahwa
kita akan menikahi ibu mereka! Logika yang masuk
bisa sebagai berikut: Laki-laki dengan kualifikasi
seperti ini bisa seorang yang diminta oleh ayah
kandung anak-anak yatim tersebut (sebelum dia
meninggal) sebagai pelindung anak-anaknya ATAU
bisa juga karena ada hubungan sedarah.

Masih belum yakin bahwa poligami itu persyaratannya


berkaitan erat dengan anak yatim dan ibunya? Coba
pelajari ayat berikut:

Wayastaftuunaka fii annisaa-i quli Allaahu yuftiikum


fiihinna wamaa yutlaa 'alaykum fii alkitaabi fii
yataamaa annisaa-i allaatii laa tu/tuunahunna maa
kutiba lahunna watarghabuuna an tankiHuuhunna
walmustadh'afiina mina alwildaani wa an taquumuu
lilyataamaa bilqisthi wamaa taf'aluu min khayrin fa-
inna Allaaha kaana bihi 'aliimaan. (4:127)
Dan mereka berkonsultasi denganmu tentang para
wanita. Katakanlah: "Allah memberi penerangan
kepadamu tentang mereka, sebagaimana apa yang
dibacakan kepadamu dalam Al-Kitab mengenai
para ibu anak yatim yang hendak kamu kawini
namun kamu belum memberikan kepada mereka
apa yang ditetapkan untuk mereka; begitupula
mengenai kelompok yang lemah dari anak-anak:
Bahwa hendaklah kamu berlaku adil untuk anak-
anak yatim. Dan kebajikan apa saja yang kamu
kerjakan, maka sesungguhnya Allah adalah Maha
Mengetahuinya."(4:127)

And they seek a ruling regarding the women, Say:


"God will give you a ruling regarding them and
what is being recited to you in the Scripture
regarding the orphan's mothers whom you wish to
marry, but have not given them what was decreed
for them; as well as the weak from the children:
That you stand for the orphans in equality."
Whatever good you do, then God is aware of it.
(4:127)

Setelah memberikan aturan-aturan tentang bagaimana


persyaratan perkawinan poligami diizinkan, Allah
menyatakan pembatasan yang lebih ketat lagi berkaitan
dengan subjek ini, pada Surat yang sama ayat 129:

Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil


di antara istri-istri (mu), walaupun kamu sangat
ingin berbuat demikian*) , karena itu janganlah
kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai),
sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-
katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan
memelihara diri, maka sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. (4:129)

*) Bagaimanapun kerasnya usaha kamu, mencoba


berlaku adil.

Intisari Tentang Poligami Berdasarkan Al-Qur'an

Jika kita ringkaskan apa yang telah DIPERINCI oleh


Allah dalam buku-Nya, intisari tentang poligami,
adalah sebagai berikut:

 Anak-anak yatim yang ada dalam perlindungan


(tanggung jawab) kita harus diperlakukan
dengan adil.
 Kalau kita takut bahwa kita akan berlaku bias,
tidak adil dalam perlakuan kita, kita BISA
menikahi ibu mereka, ibu anak yatim dalam
perlindungan kita.
 Kita HARUS membayarkan 'mahar' kepada ibu
anak yatim yang kita nikahi sebagaimana
perkawinan normal lainnya.
 Kita DIHARUSKAN UNTUK TIDAK bisa,
diharuskan untuk berlaku seadil-adilnya ke
isteri-isteri kita.

Dalam kondisi-kondisi yang telah diringkaskan


tersebut, semuanya menjadi jelas bahwa Sistem hidup
yang sempurna dari Allah, akan menjadi tameng
daripada anak-anak yatim yang telah kehilangan
ayahnya dan membutuhkan perlindungan di dalam
kehidupan di dunia ini secara sosial, bukan sekedar
sebuah lisensi, atau SIM-L (Surat Ijin Menikah-Lagiii),
sebagai memenuhi fantasi-fantasi seks kaum laki-laki.

Itulah yang ada di dalam Al-Qur'an, kalau anda


mencari pembenaran dari buku-buku di luar Al-Qur'an,
yang menambahkan ini dan itu, memelintir begini dan
begitu, silahkan saja, logikanya mudah kok!

 Al-Qur'an itu Kalimat Allah, Dari Bos Yang


Tertinggi dan Maha Tinggi, nah yang di luar
Al-Qur'an kan karangan manusia, seberapa
jenius pun, seberapa mulia pun (dalam
pandangan anda!), mereka manusia ciptaan
Allah. Jadi aneh bin ajaib kalau anda
tunduknya kepada hukum ciptaan manusia dan
bukannya kepada hukum dari yang
menciptakan manusia!
 Masih belum ngeh juga? Di kehidupan sehari-
hari, kita akan patuh kepada 'aturan' (hukum)
dari Bos kita bukan dari wakil-Bos atau
pesuruh Bos, walaupun wakil atau pesuruh Bos
tersebut kedudukannya lebih tinggi dari kita.
Artinya kalau aturan dari wakil atau pesuruh
Bos tersebut bertentangan, nambahin,
pokoknya beda... kita pada akhirnya akan
protes dan ikut aturan Bos kita yang
sebenarnya. Tentu saja, kecuali anda secara
sukarela menggantikan Bos anda dengan Bos
yang lain.

Semoga Allah memberikan kepada kasih sayang,


kemurahan dan memaafkan semua kesalahan yang
telah kita lakukan.

Apakah Poligami Ada Di Dalam Al-Qur'an?

Oleh Saudara Yaseen


Terjemahan Nalendra (
nalendra.wibowo@gmail.com )
Editor Adley ( adley194@gmail.com )
Judul asli: Is there "Polygamy" in the Quran?

And if (wa-in) you fear (khiftum) that not (allaa) you


will be just/equitable (tuqsituu) in (fii) the orphans
(alyatama) then marry*) (fa inkihuu) what (ma) seems
good (thaaba) to you (lakum) of (mina) the women
(annisaa-i) two (matsna) or thrii (watsulatsa) or four
(waruba'a) but if (fa-in) you fear (khiftum) that not
(allaa) you can do justice (ta'diluu) then one
(fawaahidatan) or (aw) what (ma) possess (malakat)
your right hands (aymanukum) that (dzalika) nearer
(adna) that not (alla) you will deviate/oppress
(ta'uuluu) – (4:3)
*) dikutip beserta tambahan rincian dari Saudara
Wakas di Scotlandia -- akan kita lihat di bawah inti
pemikiran Saudara Yaseen bahwa makna fainkihuu
menurutnya adalah marry off (nikahkan-lah, bukan
nikahi-lah)

Pengantar

Pada artikel ini, saya menganalisa beberapa ayat-ayat


Qur'ani yang berhubungan dengan perkawinan dan
poligami bebas dari kepercayaan tradisi dan konotasi
kaum pria yang sangat dominan yang telah meng-
infiltrasi dunia muslim selama berabad-abad.
Terjemahan-terjemahan Al-Qur'an dalam bahasa
Inggris pun telah begitu sangat mengecewakan
terhadap interpretasi ayat-ayat yang sangat penting,
terutama yang berhubungan dengan hak-hak kaum
wanita dan anak-anak yatim di dalam masyarakat.

Prinsip-prinsip saya dalam melakukan analisa terhadap


ayat-ayat tersebut adalah:
 Ilmu bahasa (linguistik), konsistensi di seluruh
Al-Qur'an yakni mengenai penggunaan kata-
kata dan pernyataan-pernyataan yang spesifik;
 Logika dan akal sehat, tentang topik yang
dicakup dan kepada siapa kalimat-kalimat
Allah tersebut ditujukan.
 Kita harus selalu mencari makna/pemahaman
yang terbaik dari kalimat Allah dan
menghindarkan semaksimal mungkin
"penambahan kata-kata" atau "penambahan
makna" daripada interpretasi kita terhadap
ayat-ayat, yang sebenarnya tidak ada pada kata
dan kalimat asli daripada ayat-ayat yang kita
analisa.
 Setiap dari kita harus mengakui bahwa setiap
"pembacaan" Al-Qur'an adalah unik dan sangat
tidak mungkin dan tidak mudah untuk
dipraktekkan bagi setiap pembaca Al-Qur'an
UNTUK menghilangkan sama sekali (100%)
pemahaman dan interpretasi pribadi.

Saya akan mengupas ayat 3 dan 4 dari Surat An-Nisa


(Wanita), Surat 4 dari Al-Qur'an dengan sangat
terperinci, karena ayat-ayat inilah yang sangat luas dan
umum digunakan sebagai dasar untuk membenarkan
praktek poligami.

Ketika saya melihat ayat 4:3 dengan cara yang berbeda


sama sekali, saya hanyalah sekedar menantang
kepercayaan saya sendiri. Saya sama sekali tidak tahu
bahwa kemudian makna yang baru, pemahaman yang
baru, yang saya temukan akan pas seperti halnya
sebuah sarung tangan. Saya mengundang semua
saudara-saudari saya melakukan hal yang sama.
Karena yakinilah bahwa Allah sendirilah yang
menjelaskan Buku-Nya.

Aturan-Aturan Pernikahan di Dalam Al-Qur'an

Semua hal di dalam Al-Qur'an adalah konsisten, logis


dan tidak ada pertentangan di dalamnya.

Apakah mereka tidak mempelajari Al-Qur'an


(dengan teliti)? Sekiranya Al-Qur'an itu bukan dari
Allah, tentulah mereka akan menemukan banyak
pertentangan*) di dalamnya. (4:82)
*)pertentangan makna dari satu perintah, topik, subjek,
ayat.

Dari Al-Qur'an kita bisa menyimpulkan bahwa hanya


ada dua peraturan yang sederhana di dalam pernikahan
yang membuat poligami sesuatu yang tidak mungkin,
kecuali kita menerima bahwa ada pertentangan di
dalam ayat-ayat Al-Qur'an.

Aturan #1 Ayat 24:32 (Surat An-Nuur):


Menikahkan Yang Belum Menikah

Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di


antara kamu, dan orang-orang yang layak
(berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang
lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang
perempuan. Jika mereka miskin Allah akan
memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan
Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha
Mengetahui. (24:32)
"Marry off those who are single among you and
those of your male and female servants who are
righteous. If they are poor, God will enrich them of
his grace, for God is bounteous and all-knowing."
(24:32)

Al-Qur'an adalah buku yang teks-teksnya konsisten


dan logis. Mari kita periksa ayat di atas dari sudut
pandang logika: "Nikahkanlah mereka yang sendiri di
antara kamu..." Pada ayat ini kita diperintahkan oleh
Allah untuk menikahkan orang-orang yang masih
sendirian di dalam masyarakat (wanita-wanita dan
pria-pria, janda-janda, duda, atau yang tidak
mempunyai pasangan, suami atau isteri).

Menikahkan yang belum menikah bermakna persis


dengan apa yang dikatakan ayat 24:32 tersebut.

Kepada siapa kita menikahkan orang yang belum


menikah?

Jika menikahkan mereka kepada orang yang "sudah


menikah," maka kita menikahkan juga "yang belum
menikah" dengan "yang sudah menikah," tentu hal ini
mengakibatkan makna yang bertentangan dari makna
ayat 24:32:

Karenanya, kita hanya bisa menikahkan "yang belum


menikah" kepada orang "yang belum menikah"
lainnya, laki-laki atau perempuan.

Setelah wanita atau pria menikah, mereka tidak bisa


dimasukan kepada pria atau wanita yang dimaksudkan
oleh ayat ini. Jadi secara logika untuk sampai kepada
situasi poligami, seorang pria harus menikahi wanita
dengan dua, dengan tiga dan dengan empat wanita
pada waktu yang sama. Hal ini sepertinya tidak
mungkin atau tidak bisa diterima.

Aturan #1: Di dalam sebuah masyarakat, Allah memerintahka


kepada kita untuk menikahkan hanya yang belum menikah.

Aturan #2 Ayat (4:20), Surat An-Nisa: Menikah


Dengan Isteri Baru Untuk Menggantikan Isteri
Yang Sekarang

Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri


yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada
seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka
janganlah kamu mengambil kembali dari padanya
barang sedikit pun. Apakah kamu akan mengambilnya
kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan
(menanggung) dosa yang nyata? (4:20)

Menikahi seorang isteri sebagai ganti dari yang lain


berarti ada persyaratan untuk bercerai sebelum
pernikahan baru bisa dilakukan. Ini menjadi dasar dari
aturan nomor 2:

Aturan #2: Sebuah perceraian harus dilakukan sebelu


seorang pria menikahi isteri yang lain.

Aturan ini membuat poligami jadi lebih sulit


berdasarkan Al-Qur'an.
Faktanya, ada dua klausul tentang kontrak pernikahan
yang mengikat, "mitsaaqan ghaliizhaan" yang
ditunjukan oleh ayat 4:21:

Wakayfa ta/khudzuunahu waqad afdhaa ba'dhukum


ilaa ba'dhin wa akhadzna minkum miitsaaqan
ghaliizhaan. (4:21)
Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali,
padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur)
dengan yang lain sebagai suami-istri. Dan mereka
telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.
(4:21)

Penting untuk dicatat bahwa pernyataan yang sama


"mitsaaqan ghaliizhaan" juga digunakan di dalam Al-
Qur'an untuk menjelaskan apa yang diminta Allah
kepada nabi-nabi Nya. Sebuah perjanjian yang teguh
"mitsaaqan ghaliizhaan."

Wa-idz akhatsnaa mina annabiyyiina meetsaaqahum


waminka wamin nuuHin wa-ibraahiima wamuusaa
wa'iisaa ibni maryama waakhadznaa minhum
miitsaaqan ghaliizhaan. (33:7)
Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian
dari nabi-nabi dan dari kamu (sendiri), dari Nuh,
Ibrahim, Musa dan Isa putera Maryam, Dan kami
telah mengambil dari mereka perjanjian yang
teguh. (33:7)

Ketika seorang muslim yang sudah menikah kemudian


dia menikahi isteri kedua, dia akan melanggar aturan
#1 dari Al-Qur'an, karena dia telah menikah dan dia
juga melanggar aturan #2 karena dia menikahi isteri
yang baru tanpa menceraikan terlebih dahulu isterinya
yang pertama (seharusnya cerai dulu baru menikah).

Surat 4, An-Nisa, dan "Ayat-Ayat Tentang


Poligami"

Sekarang mari kita lihat enam ayat pertama dari Surat


An-Nisa (Surat 4), terutama ayat 3 dan 4, secara lebih
terperinci dan memastikan:

 Siapa yang sebenarnya yang dimaksud dalam


pernikahan?
 Apa persyaratan-persyaratannya?
 Dan apakah ada aturan-aturan pernikahan yang
telah dibahas yang telah dilanggar?

Enam Ayat Pertama Surat 4: Wanita (An-Nisa')

Bismi Allahi arrahmaani arrahiimi

Ya ayyuha annasu ittaquu rabbakumu alladzii


khalaqakum min nafsin waaHidatin wakhalaqa
minhaa zawjahaa wabats-tsa minhumaa rijaalan
katsiiran wanisaa an wattaquu Allaaha alladzii tasaa-
aluuna bihi wal-arHaama inna Allaaha kaana
'alaykum raqiiban. (4:1)
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-
mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang
satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya;
dan daripada keduanya Allah memperkembang
biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.
Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-
Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya
Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (4:1)

Wa aatuu alyataamaa amwaalahum walaa


tatabaddaluu alkhabiitsa bith-thayyibi walaa ta/kuluu
amwaalahum ilaa amwaalikum innahu kaana Huuban
kabiiran. (4:2)
Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang
sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar
yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu
makan harta mereka bersama hartamu.
Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan
memakan) itu, adalah dosa yang besar. (4:2)

Wa-in khiftum allaa tuqsithuu fii alyataamaa fankiHuu


maa thaaba lakum mina annisaa-i matsnaa
watsulaatsa warubaa'a fa-in khiftum allaa ta'diluu
fawaaHidatan aw maa malakat aymaanukum dzaalika
adnaa allaa ta'uuluu. (4:3)
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil
terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana
kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-
wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau
empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan
dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja,
atau budak-budak yang kamu miliki. Yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya. (4:3)

Wa aatuu annisaa-a shaduqaatihinna niHlatan fa-in


thibna lakum 'an shay-in minhu nafsan fakuluuhu
hanii-an marii-aan. (4:4)
Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita
(yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan
penuh kerelaan. Kemudian jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagian dari
maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah
(ambillah) pemberian itu (sebagaimakanan) yang
sedap lagi baik akibatnya. (4:4)

Walaa tu/tuu assufahaa-a amwaalakumu allatii ja'ala


Allaahu lakum qiyaaman wa urzuquuhum fiiha wa
uksuuhum waquuluu lahum qawlan ma'ruufaan. (4:5)
Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang
yang belum sempurna akalnya (belum dewasa),
harta yang (dipercayakan kepadamu) dijadikan
Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka
belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan
ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.
(4:5)

 
Wabtaluu alyataamaa Hattaa idzaa balaghuu
annikaaHa fa-in aanastum minhum rusydan fadfa'uu
ilayhim amwaalahum walaa ta/kuluuhaa israafan
wabidaaran an yakbaruu waman kaana ghaniyyan
falyasta'fif waman kaana faqiiran falya/kul bilma'ruufi
fa-idzaa dafa'tum ilayhim amwaalahum fa asyhiduu
'alayhim wakafaa billaahi Hasiibaan. (4:6)
Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup
umur untuk kawin. Kemudian jika menurut
pendapatmu mereka telah cerdas (pandai
memelihara harta), maka serahkanlah kepada
mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu
makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan
dan (janganlah kamu) tergesa-gesa
(membelanjakannya) sebelum mereka dewasa.
Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu,
maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan
harta anak yatim itu) dan barang siapa miskin,
maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang
patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta
kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan
saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka.
Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas
persaksian itu). (4:6)

You might also like