You are on page 1of 221

BAB 5

SASAKALA TEMPAT DI JAWA BARAT

Sasakala tempat di Jawa Barat dikelompokkan


ke dalam enam wilayah sebagai berikut.
1. Wilayah Bandung Raya mencakup Kabupaten
Bandung, Kota Bandung, Kota Cimahi,
Kabupaten Bandung Barat, dan Sumedang.
2. Wilayah Priangan Timur mencakup Kota Banjar,
Kabupaten Ciamis, Kabupaten Tasikmalaya,
Kota Tasikmalaya, dan Kabupaten Garut.
3. Wilayah Purwasuka mencakup Kabupaten
Purwakarta, Kabupaten Subang, dan Kabupaten
Karawang.
4. Wilayah Sukaci meliputi Kabupaten Sukabumi,
Kota Sukabumi, dan Cianjur.
5. Wilayah Bodebek meliputi Kabupaten Bogor,
Kota Bogor, Kota Depok, Kabupaten Bekasi, dan
Kota Bekasi.

101
6. Wilayah Pantura meliputi Kota Cirebon,
Kabupaten Cirebon, Indramayu, Kuningan, dan
Kabupaten Majalengka.

A. SASAKALA WILAYAH BANDUNG RAYA


1. SASAKALA GUNUNG TANGKUBAN PARAHU

Pada jaman dahulu, di tanah Priangan terdapat


sebuah kerajaan yang sangat subur dan makmur, yang
bernama Kerajaan Galuga. Kerajaan tersebut dipimpin
oleh seorang raja yang adil palamarta bernama Prabu
Sungging Perbangkara. Kesenangannya berburu ke
hutan mencari hewan-hewan yang dagingnya akan
dibagikan ke seluruh rakyat yang tertimpa kelaparan.
Pada suatu hari, maka berangkatlah rombongan
raja ke hutan untuk berburu. Tiba di hutan, Prabu
Sungging Perbangkara membuang air seni yang
tertampung dalam daun caring (keladi hutan). Setelah
raja pergi, kemudian ada seekor babi hutan betina
bernama Wayungyang yang tengah bertapa ingin

102
menjadi manusia. Babi hutan itupun kemudian
meminum air seni raja itu.
Beberapa bulan kemudian, Wayungyang pun
hamil dan melahirkan seorang bayi cantik. Bayi cantik
itu lalu diserahkan ke keraton, dan oleh Prabu
Sungging Perbangkara diberi nama Dayang Sumbi
Rarasati.
Banyak para raja yang meminangnya, tetapi
seorang pun tidak ada yang diterima. Akhirnya para
raja saling berperang di antara sesamanya. Dengan
gelagat itu, Dayang Sumbi pun atas permitaannya
sendiri mengasingkan diri di sebuah ranggon di hutan
belantara dengan ditemani seekor anjing jantan
bernama Si Tumang. Pekerjaanya di ranggon tersebut
ialah menenun membuat kain. Kain hasil tenunannya
kemudian diserahkan pada ayahnya di keraton.
Pada suatu hari, Dayang Sumbi sedang asyik
menenun. Namun totopong (torak) yang tengah
digunakannya untuk bertenun, terjatuh ke bawah
ranggon. Cukup tinggi ranggon yang ditempatinya

103
tersebut, sehingga Dayang Sumbi merasa malas untuk
mengambilnya. Ia pun bergumam lirih:
“Duh, malasnya hari ini. Bagi siapa saja yang
mengambilkan totopong itu, apabila ia perempuan,
akan kujadikan saudara. Apabila laki-laki, akan
kujadikan suami.”
Sesaat setelah bergumam, tiba-tiba Si Tumang
mengambilkan totopong tersebut, lalu diberikanlah
kepada Dayang Sumbi. Tentu saja Dayang Sumbi
kaget, apalagi ketika mengetahui bahwa Si Tumang
berkelamin jantan.
Dalam keadaan bingung itu, tiba-tiba terdengar
suara gaib:
“Jangan khawatir, Si Tumang adalah jelmaan
seorang Pangeran tampan yang sedang mencari ilmu
kesaktian. Menikahlah dengannya.”
Sembilan sejak mendengar suara gaib itu,
akhirnya Dayang Sumbi pun melahirkan bayi laki-laki
dan diberi nama Sangkuriang. Semakin hari,
Sangkuriang tumbuh menjadi anak yang cekatan dan

104
tangkas. Hobinya sama dengan kakeknya, yakni
berburu. Di usia yang masih kecil, Sangkuriang sudah
pandai menggunakan tombak dan panah untuk
memburu hewan buruannya.
Seperti hari itu. Sangkuriang disuruh oleh
Dayang Sumbi berburu hewan di hutan. Dayang Sumbi
berpesan agar dibawakan hati seekor mencek (kijang).
Hari sudah sore, namun Sangkuring belum juga
mendapatkan seekor mencek. Namun ketika akan
pulang, di perjalanan ia mendapati seekor babi hutan,
yang ternyata Wayungyang. Pikirnya, “Mungkin ibuku
akan suka meskipun hati seekor babi hutan.”
Sangkuriang pun menyuruh Si Tumang
mengejar babi hutan tersebut. Namun Si Tumang
malah diam, ia mengatahui bahwa babi hutan tersebut
hanyalah jelamaan seorang perempuan sakti bernama
Wayungyang yang telah melahirkan Dayang Sumbi,
istrinya sendiri dan ibunya Sangkuriang.
Karena si Tumang tidak menurut, sedangkan
hari sudah sore, akhirnya Sangkuriang pun kesal. Lalu

105
dibunuhnya Si Tumang oleh Sangkuring, yang
sebenanrnya jelmaan ayahnya sendiri. Hati Si Tumang
oleh Sangkuriang diberikan kepada Dayang Sumbi, lalu
dimasak dan dimakannya.
Keesokan harinya, Dayang Sumbi merasa heran
karena Si Tumang menghilang. Lalu ditanyakanlah
kepada Sangkuriang. Pada mulanya Sangkuriang tidak
mengaku telah membunuh Si Tumang, namun setelah
didesak oleh Dayang Sumbi, akhirnya ia pun mengaku.
Setelah Dayang Sumbi mengetahui bahwa yang
dimakannya adalah hati Si Tumang, suaminya
sekaligus ayahnya Sangkuriang, kemarahannya pun
memuncak. Serta merta kepala Sangkuriang dipukul
dengan sinuk (sinduk) yang terbuat dari tempurung
kelapa sehingga kepala Sangkuriang terluka.
“Pergi kau dari sini, dasar anak tidak tahu balas
budi...!” hardik Dayang Sumbi.
Sangkuriang pun pergi mengembara mengelilingi
tatar Parahyangan. Selama pengembaraannya,

106
Sangkuriang banyak berguru ilmu kesaktian. Bahkan
bangsa siluman dan jin pun takluk kepadanya.
Lama Sangkuriang mengembara, sebelum
akhirnya tiba kembali di ranggon Dayang Sumbi.
Karena Sangkuriang sudah lama tidak bertemu sejak
kecil, ia pun tidak mengenali bahwa putri cantik yang
ditemukannya adalah Dayang Sumbi, ibunya sendiri.
Begitupun Dayang Sumbi, tidak mengetahui bahwa
laki-laki tampan yang ditemuinya adalah Sangkuriang
anaknya sendiri. Yang ada hanyalah gejolak perasaan
bahwa laki-laki tersebut tampan dan bisa menjadi
pelindungnya. Maka terjalinlah kisah kasih di antara
kedua insan tersebut.
Pada suatu sore yang indah, seperti halnya
sepasang dua kekasih, Sangkuriang pun bermesraan
dengan Dayang Sumbi. Ketika itu, Sangkuriang tiduran
di atas lahunan (pangkuan) Dayang Sumbi. Lalu
Dayang Sumbi pun mengelus-elus kepala Sangkuriang.
Tanpa sengaja, Dayang Sumbi kaget ketika di kepala
Sangkuriang terdapat luka bekas pukulan sinduk.

107
Mengetahui hal itu, segera Dayang Sumbi
menyampaikannya pada Sangkuriang, bahwa ia adalah
putranya yang telah lama pergi. Namun Sangkuriang
tidak percaya, karena dihadapannya sosok perempuan
muda, bukan tua seperti bayangan terhadap ibunya
selama ini. Demikian karena Dayang Sumbi
mempunyai ilmu kajayaan (awet muda).
Karena tidak percaya, Sangkuriang tetap
memaksa Dayang Sumbi agar mau dinikahinya. Melihat
gelagat yang kurang baik tersebut, kemudian Dayang
Sumbi mencari akal agar maksud Sangkuriang tidak
kesampaian. Maka diajukanlah syarat kepada
Sangkuriang.
“Sangkuriang, apabila mau menikahiku, engkau
harus penuhi syaratnya,” pinta Dayang Sumbi.
“Apa syaratnya, Sumbi?”
“Buatkanlah aku sebuah danau dan perahu
untuk berlayar di atasnya.”
“Ha...ha...ha...gampang sekali syaratmu itu,
Sumbi.”

108
“Ingat Sangkuriang, danau dan perahu tersebut
harus selesai dalam waktu satu malam suntuk.”
“Tidak masalah, aku akan selesaikan
permintaanmu itu,” jawab Sangkuriang dengan
entengnya.
Maka segera saja Sangkuriang membuat danau
dengan cara membendung sebuah sungai besar yang
mengaliri hutan belantara di mana Dayang Sumbi
tinggal. Di tepi sungai tersebut banyak ditumbuhi pohon
tarum, sehingga kelak penduduk sekitar menyebut
sungai tersebut dengan nama Citarum.
Dalam pengerjaannya, Sangkuriang dibantu oleh
siluman dan jin taklukannya. Dibantu pula oleh gajah
dan harimau dalam memindahkan pohon yang akan
dipakai untuk membendung Citarum.
Menjelang tengah malam Citarum pun sudah
terbendung. Terbentuklah danau yang sangat luas.
Sekitar pukul 1 pagi, Sangkuriang segera menebang
pohon untuk membuat perahu. Maka mulailah
Sangkuriang membuat perahu.

109
Sementara di ranggonnya, Dayang Sumbi
segera khawatir melihat danau sudah terbentuk, dan
menurut perkiraannya, perahu pun akan segera selesai.
Artinya dalam semalam suntuk, Sangkuriang dapat
mengabulkan syarat yang diajukannya yakni membuat
danau dan perahu.
Dengan kenyataan itu, segera Dayang Sumbi
mencari akal agar rencana Sangkuriang dapat
digagalkan. Lalu ia pun mengeluarkan boeh rarang
(kain berwarna putih yang dapat mengeluarkan
cahaya). Setelah dikibaskan, maka dari kain tersebut
keluar cahaya seperti kilatan emas.
Kontan saja hewan-hewan yang berada di hutan
kaget dan menyangka waktu sudah pagi. Berkokoklah
ayam, melenguhlah banteng, dan berkicaulah burung-
burung. Disangkanya fajar mulai merekah di ufuk timur.
“Sangkuriang, lihatlah sekelilingmu. Nampaknya
waktu sudah pagi, artinya engkau gagal memenuhi
syaratku,” kata Dayang Sumbi.

110
Dilihatlah lingkungan sekitar oleh Sangkuriang.
Ia pun tersentak kaget. Segera ia sadar bahwa dirinya
telah gagal memenuhi syarat Dayang Sumbi. Mulailah
keluar rasa kesal dan marah. Ditendanglah parahu
„perahu‟ yang hampir selesai itu oleh Sangkuriang dan
nangkub „telungkup‟ di sebelah utara danau.
Berubahlan perahu tersebut menjadi sebuah gunung
yang kini disebut Gunung Tangkuban Parahu, yang
artinya parahu nangkub (perahu terbalik).
Adapun tunggul atau pangkal pohon yang
batangnya dibuat perahu, berubah menjadi Gunung
Bukit Tunggul, sedangkan rangrang (ranting) dari
pohon tersebut terkumpul di sebelah barat dan berubah
menjadi Gunung Burangrang.
Kemudian Sangkuriang pun mengejar Dayang
Sumbi yang melarikan diri. Namun, ketika sedang
dikejar, Dayang Sumbi sebagai seorang putri
mendadak menghilang di suatu tempat yang sekarang
dikenal dengan nama Gunung Putri.

111
Meskipun dibantu bangsa siluman dan jin, tetap
saja Sangkuriang tidak menemukan Dayang Sumbi.
Seolah Dayang Sumbi hilang ditelan bumi. Akhirnya
Sangkuriang putus asa. Kemudian ia pun melanjutkan
kembali pengembaraannya, hingga sampailah di suatu
tempat.
Di tempat itu, kemudian Sangkuriang ngahyang
(menghilang ke alam gaib). Tempat itu sekarang
disebut Ujungberung, yang berarti ujungna (tempat
berakhirnya) perasaan Sangkuriang yang ngaberung
(mengikuti) hawa nasfu untuk menikahi ibunya sendiri.
Sebelumnya, Sangkuriang pun menjebol sungai
Citarum dengan cara melemparkan sumbat bendungan
yang terbuat dari pepohonan dan batu-batu besar.
Sumbat bendungan itu melayang ke sebelah timur,
sampai akhirnya berubah menjadi Gunung
Manglayang. Bekas bendungan sungai Citarum itu kini
berada di Padalarang yang dikenal dengan nama
Sanghyang Tikoro.

112
Seiring waktu, air danau pun mulai surut
kembali, lalu banyak ditempati pendatang dari berbagai
daerah karena tanahnya subur. Daerah itu kemudian
disebut Bendung, yang berasal dari kata dibendung-nya
Citarum oleh Sangkuriang. Kemudian berubah menjadi
Bandeng, berasal dari kata ngabandeng yang berarti
genangan air danau yang luas. Ini untuk menyebut
danau yang dibuat Sangkuring pada waktu itu.
Seiring perkembangan waktu, kata Bandeng pun
berubah menjadi Bandung seperti dikenal hingga
sekarang. ***

*) Legenda ini terkadang diberi judul Sangkuriang


Kabeurangan (Kesiangan) atau Sasakala Bandung
Purba. Dalam hal penulisan nama Sangkuriang: ada
yang disatukan, ada pula yang dipisahkan (Sang
Kuriang).

113
2. SASAKALA CIGONDEWAH

Dahulu kala, terdapat sebuah kerajaan bernama


Sindangsari. Adapun rajanya bernama Baginda Raja
Singa Mandala. Ia terkenal sebagai raja yang adil dan
bijaksana. Ia pun memiliki seorang putri yang sangat
cantik jelita bernama Putri Mayang Sawitri.
Kecantikan Putri Mayang Sawitri pun tersiar ke
mana-mana. Banyak raja dan kstaria dari kerajaan lain
berniat melamarnya. Namun semuanya ditolak oleh
Putri Mayang Sawitri dengan bermacam-macam
alasan. Tentu saja Baginda Raja Singa Mandala
merasa bingung. Ia merasa khawatir para raja dan
ksatria yang ditolak lamarannya akan merasa sakit hati
dan kemudian akan mengerahkan pasukannya untuk
menyerang kerajaan Sindangsari.
Pada suatu hari, datanglah rombongan pelamar
dari kerajaan Margaasih. Rombongan tersebut dipimpin
langsung oleh Raja Jayadilaga.

114
“Ada apakah gerangan Raja Jayadilga
menemuiku?” kata Raja Singa Mandala di ruang
keraton.
“Maksud kami untuk melamar putrimu yang
cantik jelita itu. Sebagai tanda lamaran, kami membawa
berbagai perhiasan dan hasil bumi dari kerajaan
Margaasih,” jawab Raja Jayadilaga dengan tegas dan
penuh harap.
“Kalau begitu niat paduka, aku hanya bisa
menyerahkan keputusan lamaran ini pada putriku
langsung,” kata Raja Singa Mandala sambil melirik
pada putrinya, Putri Mayang Sawitri: “Bagaimana,
anakku?”
Putri Mayang Sawitri lama menundukkan kepala.
Karena kesal, akhirnya Raja Jayadilaga
mengulang pertanyaan Raja Singa Mandala.
“Bagaimana tuan putri, bersediakah dipersunting
hamba?”
“Euh, sebelumnya aku mohon maaf, paduka
raja.”

115
“Tidak usah minta maaf, karena tuan putri tidak
punya salah apa-apa padaku,” kata Raja Jayadilaga
dengan penuh kesabaran.
“Eum, untuk saat ini aku tidak bisa menerima
lamaran paduka raja.”
“Apa…?!!” Raja Jayadilaga tersentak kaget.
Seketika ia berdiri dan pergi tanpa permisi
keluar dari ruangan keraton diikuti oleh rombongan
lainnya. Kemudian Ia bertitah: “Tunggu kedatangan
pasukanku!”
Melihat kejadian tersebut, Raja Singa Mandala
hanya duduk terpaku kaku di singgasana. Ia tidak dapat
berkata apa-apa. Bahkan hatinya semakin diliputi rasa
cemas. Ketakutannya yang utama ialah kerajaan
Margaasih akan segera menyerang kerajaan
Sindangsari.
Sesuai dengan prediksi, keesokan harinya Raja
Jayadilaga mengerahkan seluruh pasukannya dari
kerajan Margaasih. Sebagai raja yang ingin
mempertahankan kedaulatan, tentu saja Raja Singa

116
Mandala pun menyiapkan pasukannya. Seluruh
pasukan Sindangsari segera ditempatkan di daerah
perbatasan.
Pagi itu cuaca sangat cerah. Pasukan Margaasih
semakin mendekati perbatasan. Seluruh pasukan
Sindangsari pun sudah siap menghalau. Sangkakala
perang sudah ditiup, tanda peperangan akan segera
dimulai. Peperangan pun terjadi. Namun nampaknya
pasukan kerajaan Margaasih lebih kuat ketimbang
kerajaan Sindangsari. Hal ini dikarenakan jumlah
pasukan dari kerajaan Margaasih lebih banyak
jumlahnya dan senjatanya pun lebih lengkap. Senjata
mereka terdiri dari bedog (golok), pedang, dan
gondewa atau jamparing (panah).
Pertempuan kedua kerajaan pun berlangsung
sengit. Namun setelah dua hari berperang, akhirnya
pasukan kerajaan Sindangsari terdesak. Banyak prajurit
yang gugur di medan perang. Darah berceceran di
mana-mana. Ksatria-ksatria pilih tanding kerajaan
Sindangsari tidak mampu menahan gempuran pasukan

117
Margaasih. Bahkan Raja Singa Mandala pun akhirnya
terbunuh dalam peperangan tersebut.
Melihat ayahnya telah tewas, Putri Mayang
Sawitri langsung mencabut keris dengan niat untuk
labuh geni (bunuh diri).
“Aku lebih baik mati ketimbang dipersunting oleh
raja yang telah membunuh ayahku,” gumamnya dengan
yakin.
Sesaat setelah berucap dan menancapkan keris
ke perutnya, Putri Mayang Sawitri pun meninggal oleh
kerisnya sendiri.
Berbeda dengan rakyat Sindangsari yang
berduka, sebaliknya Raja Jayadilaga merasa senang
atas kejadian tersebut. Ia merasa telah berhasil
membalas kepedihan hatinya yang ditolak oleh Putri
Mayang Sawitri. Selain itu, ia pun berhasil memperluas
kekuasannya dengan cara menyatukan wilayah
kerajaan Margaasih dengan Sindangsari.
Selanjutnya Raja Jayadilaga merubah nama
Sindangsari menjadi Cigondewa.

118
“Aku ubah nama Sindangsari menjadi
Cigondewa. Wilayah ini pun sekarang menjadi
taklukanku,” ujar Raja Jayadilaga di depan seluruh
penduduk Sindangsari.
Alasan diubahnya nama Sindangsari menjadi
Cigondewa, karena setelah peperangan terjadi, Raja
Jayadilaga melihat banyak darah berceceran bagaikan
cai (air). Darah tersebut berasal dari tubuh prajurit
Sindangsari yang terbunuh oleh panah dan gondewa
pasukan Margaasih.
Semakin lama, kerajaan Margaasih pun
semakin berkembang pesat. Setiap tahun mereka
menyerahkan upeti kepada Prabu Siliwangi karena
berada di wilayah kekuasaan kerajaan Pajajaran. Nama
Cigondewa pun kemudian berubah menjadi
Cigondewah, mengikuti pengucapan penduduk
setempat. ***

119
3. SASAKALA KAMPUNG MARONGGE

Hiduplah empat orang putri yang cantik jelita


serta memiliki kesaktian tinggi di sebuah kampung
bernama Babakan. Putri yang sulung bernama Embah
Gabug, yang kedua bernama Embah Setayu, yang
ketiga bernama Embah Naibah, dan yang bungsu
bernama Embah Naidah.
Berkat kecantikannya itulah, banyak raja dan
ksatria tertarik untuk melamar dan mempersuntingnya.
Salah satunya ialah Raja Subangkala dari kerajaan
Subang. Ia berniat melamar Embah Gabug. Maka
segera, Raja Subangkala memerintahkan patihnya
untuk melamar ke kampung Babakan.
“Apabila menolak, culik dengan cara paksa!”,
begitulah titahnya.
Keesokan harinya, berangkatlah rombongan dari
kerajaan Subang menuju ke kampung Babakan.
Rombongan tersebut dipimpin langsung oleh Ki Patih
kerajaan Subangkala. Sementara rombongan sedang di

120
perjalanan, di kampung Babakan Embah Gabug
sedang bersemedi. Di dalam semedinya, ia diberitahu
oleh Hyang Widi, bahwa akan ada rombongan yang
sedang berada dalam perjalanan dengan maksud dan
tujuan jahat.
Setelah mengetahui hal itu, Embah Gabug pun
segera memakai kesaktiannya untuk memperdaya
rombongan dari kerajaan Subang tersebut. Benar saja,
seluruh rombongan mendadak kelelahan dan tertidur
pulas di batas menuju Kampung Babakan.
Sesaat kemudian, setelah semua rombongan
tertidur, lalu dihampiri oleh Embah Gabug.
Dibangunkanlah seluruh rombongan tersebut.
“Bangunlah kalian semua! Dari mana dan apa
keperluan kalian datang ke Kampung Babakan?”
Ki Patih pun segera menjawab dengan nada
sinis.
“Aku Ki Patih dari Kerajaan Subang. Diutus oleh
Gusti Raja Subangkala untuk melamar seorang puteri
yang tinggal di Kampung Babakan. Ia adalah puteri

121
Embah Gabug. Menurut titahnya, apabila lamarannya
ditolak, putri tersebut harus dipaksa dan diculik ke
Subang.”
Mendengar jawaban dari Ki Patih, Embah Gabug
pun menjawab dengan tenang dan tegas.
“Akulah puteri Embah Gabug yang dimaksud itu.
Kalian tadi tertidur terkena ilmuku. Kalian semua telah
memiliki niat jahat. Sekarang pulanglah dan sampaikan
pada raja kalian, bahwa aku mau menerima
lamarannya dengan satu syarat.”
“Apa syaratnya, puteri. Apakah puteri
menginginkan banyak intan permata?”
“Aku tidak menginginkan haliyah dunya
(kekayaan). Aku hanya menginginkan raja kalian dapat
mengembalikan kukuk*) yang akan dilempar ke sungai
Cilutung. Apabila raja kalian dapat memenuhi syarat
tersebut, aku akan menerima lamarannya.”
Beberapa hari kemudian, datanglah Raja
Subangkala ke kampung Babakan. Ia pun langsung
diterima oleh putri Embah Gabug di muara sungai

122
Cilutung dan Cideres, yang kemudian tempat tersebut
dikenal dengan nama Panyaweuyan. Setelah
semuanya siap, maka dilemparkanlah sebuah kukuk
oleh Embah Gabug ke tengah-tengah derasnya air
sungai Cilutung.
“Kanjeng Raja, kukuk ini akan kulemparkan agar
terbawa arus ke hilir. Kembalikanlah kukuk tersebut ke
hadapanku,” kata Embah Gabug.
Segera saja Raja Subangkala mengeluarkan aji
kesaktiannya untuk mengembalikan kukuk yang telah
terbawa arus sungai. Namun air sungai semakin deras,
Raja Subangkala pun tidak sanggup menahan lajunya
kukuk, apalagi mengembalikan ke hadapan Embah
Gabug. Kukuk pun terbawa arus air menuju ke hilir
sungai.
Melihat kenyataan demikian, Raja Subangkala
pun merasa malu. Kesaktiannya telah berhasil
dikalahkan oleh seorang perempuan. Oleh karena itu,
lalu ia menantang Embah Gabug untuk mengembalikan

123
kukuk yang telah terbawa arus sungai tersebut ke
hadapannya.
“Hai putri, kalau engkau sakti, coba kembalikan
kukuk yang terbawa arus itu ke hadapanku!”
Embah Gabug pun menuruti perintah Raja
Subangkala. Dengan karembong sakti cinde wulung, ia
pun mengembalikan kukuk. Kukuk melesat dari hilir,
membelah arus sungai. Bahkan akhirnya terpental pada
sebongkah cadas (sejenis tanah liat) yang teksturnya
datar menyerupai mejatulis di sebelah Raja Subangkala
berdiri. Tempat inilah yang sekarang disebut Cadas
Meja, berada di kampung Prunggawul, Desa Bonang,
Kacamatan Kadipaten Majalengka. Semenjak itu pula,
mulai dikenal istilah pelet (ilmu asihan) si kukuk mudik
dari kampung Marongge. Malahan terkenal dengan
sebutan Pelet Marongge.
Beberapa hari setelah kejadian itu, mulailah
tersiar kabar ke mana-mana bahwa Raja Subangkala
dikalahkan oleh Embah Gabug. Adalah Raja Bugang
Geureung dari kerajaan Pasiripis yang penasaran atas

124
kabar tersebut dan berniat menjajal kesaktian Embah
Gabug. Raja Bugang Geureung pun kemudian
mengajukan tawaran pada Embah Gabug. Oleh Embah
Gabug, tawaran Raja Bugang Geureung tersebut
diterima dengan syarat akan diwakilkan pada adiknya
Embah Setayu.
Pelaksanaan melempar kukuk pun dimulai. Kini
kukuk dilempar oleh Embah Setayu. Namun seperti
halnya Raja Subangkala, Raja Bugang Geureung pun
tidak mampu mengembalikan kukuk ke hadapan
Embah Setayu.
Itulah syarat yang diajukan oleh Embah Gabug
untuk siapa saja yang ingin mempersuntingnya. Namun
pada akhirnya, tidak ada seorang pun yang sanggup
memenuhi persyaratan tersebut. Dengan kenyataan
demikian, akhirnya Embah Gabug memutuskan untuk
pergi dari kampung Babakan. Ia lalu mencari tempat
yang baik untuk bersemedi. Kepergiannya tersebut
tanpa sepengetahuan penduduk kampung Babakan.
Bahkan saudara-saudaranya pun tidak diberitahu.

125
Tentu saja membuat sedih Embah Setayu, Naibah, dan
Naidah. Hingga suatu ketika, mereka bertiga berniat
untuk mencari kakaknya yang pergi tanpa pamit.
Berangkatlah mereka bertiga berkelana. Hingga
pada suatu malam, mereka bertiga sampai ke sebuah
bukit yang bernama Gunung Hade. Di puncak bukit
itulah, mereka bertiga menemukan seorang perempuan
terkapar karena sakit. Perempuan tersebut ternyata
Embah Gabug, kakaknya sendiri. Maka dipeluklah
tubuh Embah Gabug oleh adik-adiknya.
Sesaat kemudian, terdengar suara gaib:
“Hai, Setayu, Naibah, dan Naidah! Kakakmu
akan sembuh apabila memakan buah laja yang tumbuh
di bukit ini!”
Maka dicarilah buah laja oleh Embah Setayu.
Setelah memakan buah laja, berkat kekuasaan Hyang
Widi, Embah Gabug pun sembuh kembali.
“Kenapa kita ada di sini? Siapa yang telah
berhasil menyembuhkanku?” kata Embah Gabug.

126
Diceritakanlah seluruh kejadian yang telah
menimpa oleh Embah Setayu. Setelah itu tiba-tiba
terdengar kembali suara gaib:
“Kalian jangan kaget, aku adalah Haji Putih
Jagariksa yang menguasai bukit ini. Suatu saat nanti,
kalian juga akan menetap di bukit ini. Sekarang,
pergilah!”
Setelah mendengar suara gaib, Embah Gabug
dan ketiga adiknya pun kembali ke kampung Babakan.
Sudah barang tentu seluruh penduduk menyambutnya
dengan suka cita.
Beberapa bulan kemudian, pada malam Jumat
Kliwon, keempat putri bersaudara itu pergi berjiarah ke
gunung Hade. Sesampainya di sana, mereka membuat
lubang tepat di atas tempat terkaparnya Embah Gabug
dulu. Kemudian Embah Gabug masuk ke lubang
tersebut. Oleh adik-adiknya lubang tersebut ditutupi
oleh rengge (sejenis ranting bambu haur) yang tumbuh
di sekitar bukit. Setelah itu, Embah Gabug pun ditinggal
pergi oleh adik-adiknya.

127
Sekian lama Embah Gabug terkubur dalam
lubang di puncak gunung Hade. Adik-adiknya pun
merasa sedih, karena terlalu lama ditinggal sang kakak.
Hingga pada suatu malam, berangkatlah mereka
bertiga ke gunung Hade dengan maksud untuk melihat
sang kakak. Sesampainya di puncak, mereka kaget
karena dari lubang yang ditutupi rengge waktu itu,
keluar cahaya yang merong (bersinar) kekuning-
kuningan seperti kilatan emas. Lalu diperiksalan lubang
yang mengeluarkan cahaya merong tersebut. Ternyata
lubang tersebut kosong. Embah Gabug yang pernah
masuk ke lubang itu pun didapati oleh ketiga adiknya
telah menghilang.
Semenjak itulah, tempat tersebut dikenal oleh
masyarakat setempat dengan nama Merongge. Seiring
perjalanan waktu, kemudian berubah menjadi
Marongge, yang berasal dari kata merong dan kata
rengge.
Kini kampung Marongge menjadi tempat jiarah.
Kebanyakan pengunjung berjiarah dengan maksud

128
agar cepat mendapat jodoh atau bertapa untuk memiliki
ilmu pelet si kukuk mudik. Menurut kepercayaan
masyarakat setempat, konon sampai akhir hayatnya
keempat gadis tersebut tidak pernah menikah. ***
(Sumedang)

*) kukuk, nama tumbuhan sejenis labu. Bunganya berwarna


putih dan buahnya berbentuk kendi. Buahnya yang sudah
tua, oleh orang tua biasa dipakai untuk wadah cai (tempat
mengambil air) dengan cara dilubangi dekat lehernya
(karena bentuknya yang berleher sepert kendi).

129
4. SASAKALA SUMEDANG

Dahulu kala, datanglah rombongan pengelana


dan paninggaran (pemburu) ke sebuah tempat di
tengah hutan belantara di tepi sungai Cimanuk.
Kemudian datang pula golongan resi yang
menyebarkan agama. Salah seorang yang ikut dalam
rombongan resi itu ada yang bernama Sanghiyang Resi
Agung dari kerajaan Galuh.
Resi Agung lalu membuat padepokan di tepi
sungai Cimanuk tersebut. Kemudian datanglah seorang
pengelana yang beragama Islam bernama Guru Aji
Putih, yang kini bernama Leuwihideung. Semua
penduduk yang ada di sana kemudian mengikuti ajaran
Guru Aji Putih tersebut. Termasuk resi yang awalnya
memeluk agama karuhun. Mereka semua masuk
agama Islam. Semenjak itulah kemudian Guru Aji Putih
diangkat menjadi raja di perkampungan tersebut dan
kerajaanya diberi nama Tembong Agung.

130
Guru Aji Putih disebut pula Guru Haji Putih.
Bergelar haji karena ia pernah berangkat ke Mekah. Ia
pun kelak akan disebut Haji Darmaraja. Guru Haji
memiliki seorang putra bernama Tajimalela. Putranya
inilah yang kemudian meneruskannya menjadi raja di
Tembong Agung.
Dalam menjalankan pemerintahan, Prabu
Tajimalela terkenal adil palamarta. Prabu Tajimalela
pun terkenal memiliki kesaktian yang tinggi, sehingga
musuh-musuhnya selalu kalah dalam berperang. Ia pun
kemudian diberi gelar Batara Tuntang Buana atau Resi
Cakrabuana.
Semakin lama, kerajaan Tembong Agung
semakin berkembang pesat. Seluruh rakyat hidup
damai dan sejahtera. Namun ada yang mengganjal
dalam hati Prabu Tajimalela, ia bingung harus membagi
tahta kerajaan. Ini karena Prabu Tajimalela memiliki
tiga orang putra, yakni Prabu Lembu Agung, Prabu
Gajah Agung, dan Sunan Geusan Ulun.

131
Pada mulanya Prabu Tajimalela berniat
menyerahkan tahta kepada anaknya yang tertua Lembu
Agung. Namun ia tidak mau menjadi raja dan malah
menyerahkan kepada adiknya Gajah Agung. Akan
tetapi Gajah Agung pun menolak karena tidak mau
menjadi raja. Adapun Sunan Geusan Ulun ketika itu
masih burey (kecil).
Dalam kebingungan itu, pada suatu malam,
Prabu Tajimalela mendapat wangsit. Dalam wangsitnya
Prabu Tajimalela harus menyerahkan tahta kerajaan
kepada salah satu putranya dengan terlebih dulu
mengadakan ujian atau pasanggiri (sayembara) di
puncak gunung Sangkan Jaya.
Dengan hati gundah, akhirnya Prabu Tajimalela
menyuruh kedua putranya itu menuju puncak Gunung
Sangkan Jaya. Sesampainya di sana, Prabu Tajimalela
menyuruh kedua anaknya untuk menunggui sebilah
bedog dan dawegan (kelapa muda).
“Jaga bedog dan dawegan ini. Nanti kita lihat
apa yang terjadi,” kata Prabu Tajimalela.

132
Dijagalah bedog dan dawegan itu oleh Lembu
Agung dan Gajag Agung. Karena cuaca sangat terik,
akhirnya Lembu Agung merasa gerah dan tidak kuat
oleh cahaya matahari. Ia pun berniat untuk mandi dulu
ke sungai yang berada di lembah gunung.
“Adikku, aku akan mandi dulu. Kamu tetap jaga
bedog dan dawegan ini,” kata Lembu Agung pada
adiknya, Gajah Agung.
“Ya, Kakang.”
Lembu Agung pun segera pergi meninggalkan
adiknya. Ia menuju sungai yang berada di lembah
gunung untuk mandi sekedar menghilangkan gerah.
Sementara Gajah Agung, lama kelamaan
merasakan pula kegerahan dan rasa dahaga. Hari itu,
memang sinar matahari sungguh terik menyengat
tubuhnya. Maka dengan yakin, Gajah Agung pun
kemudian membelah dawegan yang ada di
hadapannya dengan bedog yang ada di hadapannya
pula. Ditenggaklah air dawegan tersebut sampai habis.

133
Sesaat setelah menenggak air dawegan,
kemudian Lembu Agung datang. Lalu ia pun bertanya
pada adiknya.
“Bagaimana, adikku. Kenapa dawegan ini
terbelah? Ada kejadian apa?”
“Tidak ada kejadian apa-apa, Kakang. Aku
hanya tidak kuat saja menahan dahaga. Akhirnya
dawegan ini pun ku belah, dan airnya telah ku minum.”
“Ya, sudahlah. Nanti kita ceritakan kejadian ini
pada rama Prabu.”
Sesaat kemudian datanglah Prabu Tajimalela.
Lalu Lembu Agung dan Gajah Agung menceritakan
kejadian yang mereka alami masing-masing. Maka
dengan yakin, akhirnya Prabu Tajimalela menyerahkan
tahta kerajaan pada anaknya yang kedua, Gajah
Agung. Dengan syarat, Gajah Agung harus mencari
ibukota sendiri. Sedangkan kerajaan Tembong Agung
akan tetap diserahkan pada anaknya yang pertama,
Lembu Agung.

134
Atas keputusan ayahnya itu, akhirnya Prabu
Gajah Agung dinobatkan menjadi raja. Selanjutnya ia
membangun ibukota kerajaan di Leuwihideung,
Ciguling, Pasanggrahan, sekarang Sumedang selatan.
Karena itu, ia disebut juga Prabu Pagulingan. Ia pun
dikenal memiliki keris yang sangat ampuh dengan
nama Ki Dukun. Pusaka Keris ini, sampai sekarang
masih tersimpan di Museum Prabu Geusan Ulun.
Sementara itu, Prabu Lembu Agung meneruskan
menjadi raja di Tembong Agung. Adapun Sunan
Geusan Ulun, kelak ia pun akan menjadi raja dan resi.
Pada saat diserahi kekuasaan di Tembong
Agung itu, Lembu Agung pun berucap.
“Aku hanyalah darma ngarajaan saja.”
Kata darma ngarajaan adalah ungkapan bahasa
Sunda yang berarti siap bertugas menjadi raja.
Ungkapan inilah yang kelak menjadi salah satu nama
daerah yang disebut Darmaraja.
Setelah menyerahi tahta kerajaan pada anaknya,
kemudian Prabu Tajimalela pun melakukan semedi

135
sebagai tanda syukur kepada Sang Pencipta. Ia
bersemedi selama tiga hari tiga malam.
Pada malam ketiga, Prabu Tajimalela melihat
keajaiban alam di sekitar kerajaan Tembong Agung. Ia
melihat langit menjadi terang benderang oleh cahaya
yang melengkung menyerupai selendang (malela). Saat
itulah, Tajimalela bersabda kepada seluruh rakyatnya:
“Insun medal, insun madangan,” sabdanya.
Sabda Prabu Tajimalela tersebut artinya ialah
“aku lahir untuk memberi penerangan.” Semenjak itu
pula, kemudian Prabu Tajimalela mulai mengajarkan
kepada seluruh rakyatnya ilmu kasumedangan.
Nama kerajaan Tembong Agung pun berubah
namanya menjadi Sumedanglarang, yang artinya tanah
bagus, luas, dan tiada bandingannya. Ibukotanya pun
dipindahkan ke Kutamaya, sebelah selatan alun-alun
Sumedang sekarang. Nama Sumedanglarang pun oleh
penduduk setempat disebut awalnya saja, yakni
Sumedang. Nama inilah yang kemudian dikenal hingga
sekarang. ***

136
B. SASAKALA WILAYAH PRIANGAN TIMUR

1. SASAKALA BANJAR PATROMAN


Tersebutlah seorang pemuda pengelana yang
berasal dari Mataram bernama Adananya. Singkat
cerita, dalam perjalanan pengelanaannya, ia terpikat
oleh seorang gadis cantik di sebuah kampung bernama
Pataruman. Adananya pun melamar gadis tersebut
pada ibunya, namun ibunya tidak mengijinkan karena ia
mengetahui bahwa Adannya seorang Raja dari
Mataram. Ia merasa sungkan karena hanyalah rakyat
biasa. Gadis cantik tersebut pun akhirnya melarikan diri
dari rumah ibunya ke arah barat.
Dalam pelariannya, gadis tersebut terjerat areuy
di hutan belantara, sehingga kakinya berdarah.
Adananya pun terus mengejarnya, dengan mengikuti
jejak bercak darah gadis yang menempel pada areuy.
Pada saat itulah Adananya menamai daerah tersebut
dengan nama Cibeureum, karena melihat banyaknya

137
bercak darah pada areuy layaknya air yang berwarna
merah.
Pada saat Adananya mengejar sang gadis,
datanglah seorang pemuda tampan berniat menolong.
Pemuda tampan itu pun kemudian mencegat Adananya
di sebuah bukit, yang kini dinamakan Tepung Kanjut,
yang berarti tempat bertemunya dua orang lelaki.
Bertemu dalam bahasa Sunda disebut tepung dan
kelamin lelaki disebut kanjut. Di tempat itu, kemudian
Adannya dan pemuda penolong tersebut bertarung adu
kesaktian.
Dalam pertarungan itu, kemudian Adananya
mengetahui bahwa pemuda penolong tersebut
bernama Dalem Tambakbaya atau Raden
Singaperbangsa yang bergelar Adipati Kertabumi III. Ia
adalah Raja Galuh Kertabumi yang beribukota di Liung
Gunung, yang kini menjadi nama sebuah kampung di
kecamatan Manonjaya. Adapun Adananya adalah
seorang ulama penyebar agama Islam dari Mataram
yang sebenarnya bernama Kanduruan Pandusaka

138
Sarikusumah yang kelak dipusarakan di situs
Pandusaka Batulawang.
Kembali pada kisah pertarungan Adananya dan
Tambakbaya. Di dalam pertarungan itu, kesaktian
keduanya seimbang. Akhirnya, keduanya pun kembali
mengejar sang gadis. Sementara, gadis cantik tersebut
berlari secepat kilat ke arah tenggara. Kemudian dikejar
oleh Adannya dan Tambakbaya.
Selama pengejaran, Adananya dan Tambakbaya
adu kecepatan berlari dengan kesaktiannya masing-
masing. Hingga di suatu tempat. Ketika Adananya
sedang berdiri (bahasa Sunda: ngadeg), terkejar oleh
Tambakbaya. Sejak itulah tempat tersebut sampai
sekarang disebut Pangadegan. Mungkin juga berasal
dari kata pangudagan, yang berarti tempat untuk
mengejar.
Adapun gadis yang sedang dikejar mereka,
sedang beristirahat karena kelelahan. Namun, ketika
Adananya akan menangkapnya, Tambakbaya dengan
gerak cepat segera menghalaunya. Kedua pemuda

139
itupun kemudian bertarung kembali. Adannya
mengeluarkan ilmu pamungkasnya, yakni pukulan
saketi. Tapi, Tambakbaya dapat menghindar dengan
cara menghilang memakai ajian halimunan. Sehingga
kelihatannya ngan sajorélat atau hanya sekejap mata.
Tempat menghilangnya sosok Tambakbaya itulah, yang
sekarang dinamakan kampung Jélat. Berasal dari kata
sajorélat, yang artinya menghilang sekejap mata atau
secepat kilat.
Sementara itu, gadis yang dikejar oleh Adananya
dan Tambakbaya terus berlari. Kini perjalanannya
mengarah kembali ke rumah ibunya. Namun
sesampainya di sana, ibunya didapati sudah tidak ada.
Ternyata ibunya pun turut mengejar saat ia melarikan
diri pada saat itu. Dalam pengejarannya, ibunya sempat
bertemu dengan Adananya yang sedang kaget melihat
Tambakbaya menghilang di kampung Jelat. Langsung
saja ibu gadis tersebut bertanya dalam bahasa Jawa ke
Adananya.
“Mana laré?”, katanya kepada Adananya,

140
Maksudnya menanyakan ke mana arah larinya
anaknya.
“Ke sana, ke arah selatan,” timpal Adananya.
Tempat dialog antara Adananya dengan ibunya
sang gadis tersebut, sekarang dinamakan kampung
Mandalaré, berasal dari Mandala laré, juga dari ucapan
sang ibu: mana lare.
Kenapa sang gadis tidak terkejar oleh Adananya
dan Tambakbaya? Ternyata gadis tersebut memiliki
kesaktian yang lebih tinggi. Ia sebenarnya bukan anak
sang ibu, tapi putri dari kerajaan Galuh yang bernama
Ni Nursari.
“Gadis itu memang lebih sakti dariku,” gumam
Adananya.
Setelah itu, Adananya pun ngarandeg (berhenti)
untuk beristirahat. Tempat perhentian itu kemudian
dinamai kampung Randegan. Sesaat kemudian, tibalah
Tambakbaya yang juga kelelahan. Berbeda dengan
pertemuan sebelumnya, kini mereka tidak bertarung.

141
Karena tenaga keduanya sama-sama sudah terkuras
habis.
Cukup lama Adananya dan Tambakbaya
beristirahat di kampung Randegan. Setelah itu, mereka
pun kembali mengejar Ni Nursari. Sepanjang jalan
mereka terus beradu pendapat mengenai Ni Nursari
yang sedang dikejarnya. Adannya tetap berpendirian
ingin memperistrinya, sedangkan Tambakbaya tetap
ingin menolong Ni Nursari dari paksaan Adananya.
Jalan sepanjang Adananya dan Tambakbaya beradu
pendapat itulah yang sekarang dikenal dengan nama
kampung Cikadu. Berasal dari kata papaduan, yang
berarti berselisih pendapat.
Sementara itu, Ni Nursari lari ke arah utara. Lalu
menyeberangi sungai Citanduy. Adananya dan
Tambakbaya pun terus mengejarnya, namun Ni Nursari
larinya lebih cepat. Di sebrang sungai, ketiganya pun
ngaleungit (menghilang).
Semakin lama, sungai Citanduy pun semakin
ramai disinggahi para bandar (pedagang) dari kerajaan

142
Galuh dan Mataram. Daerah di tepi sungai Citanduy
pun kemudian dikenal dengan nama kampung Bandar
(pedagang atau pusat perniagaan). Semakin lama,
kampung Bandar pun semakin banyak disinggahi
bandar-bandar (para pedagang) dari Mataram. Bahasa
yang digunakan penduduk pun bercampur, antara
bahasa Sunda dengan bahasa Jawa, yang oleh
penduduk setempat disebutnya basa Jawa réang.
Adapun kampung tempat Ni Nursari dan ibu
angkatnya tinggal selanjutnya dinamakan kampung
Bandar Pataruman. Konon kata pataruman berasal dari
kata patarungan, sebagai pangeling-eling atas peristiwa
pertarungan antara Adananya dan Tambakbaya
memperebutkan Ni Nursari pada saat itu. Dalam
riwayat lain disebutkan bahwa di kampung itu banyak
ditanami pohon tarum, yakni sejenis tanaman nila yang
pada masa kolonial dijadikan tanaman paksa. Sehingga
daerah tersebut dikenal dengan nama pataruman atau
tempat tarum.

143
Semakin lama, kampung Bandar Pataruman pun
semakin ramai disinggahi para pedagang dari kerajaan
Galuh dan Mataram. Di antara para pedagang itu
banyak berjodoh dengan penduduk setempat dan
banyak pula yang bermukim. Nama Bandar Pataruman
pun berubah menjadi Banjar Patroman, karena pada
waktu itu banyak diucapkan salah oleh pendatang dari
Mataram. Namun, adakalanya kampung Banjar
Patroman pun disebut Banjar saja. Kini, kampung
Banjar yang letaknya di pinggir sungai Citanduy itu
telah berkembang menjadi sebuah kota yang
membatasi wilayah antara Provinsi Jawa Barat dan
Provinsi Jawa Tengah. ***

144
2. SASAKALA CIJULANG DAN PANTAI BATUHIU

Dahulu kala, di wilayah kekuasaan kerajaan


Banyumas hiduplah keluarga bahagia pasangan Aki
Gede dan Nini Gede. Pasangan keluarga tersebut
memiliki dua orang anak, yang sulung seorang laki-laki
bernama Sang Lawangjagang, sedangkan yang bungsu
seorang putri yang sangat cantik jelita. Banyak raja dan
ksatria yang melamarnya, namun selalu saja ditolak
oleh sang putri.
Kanjeng Sinuhun, raja kerajaan Banyumas,
termasuk salah seorang yang menyukai sang putri.
Maka Kanjeng Sinuhun pun segera mengajukan
lamaran pada Aki Gede dan Nini Gede. Tetapi seperti
sebelumnya, lamaran itu pun ditolak oleh Aki Gede,
karena merasa anaknya tidak pantas mendapatkan
seorang raja. Aki Gede merasa bahwa putrinya
hanyalah keturunan rakyat biasa dan tidak mungkin
menjadi permaisuri seorang raja.
Tentu saja penolakan dari Aki Gede tersebut
membuat sakit hati Kanjeng Sinuhun. Lalu ia pun
145
memerintahkan kepada patihnya untuk mengusir Aki
Gede beserta seluruh keluarganya dari wilayah
kerajaan Banyumas.
Berangkatlah Aki Gede, Nini Gede, putri, dan
seluruh kerabatnya meninggalkan wilayah kerajaan
Banyumas. Rombongan itu pergi ke arah Barat. Setelah
menempuh perjalanan sehari semalam, rombongan Aki
Gede pun sampailah ke tepi sungai di batas kerajaan.
Dari sana, rombongan hanjat (menyeberangi) sungai.
Tempat itulah yang kelak dikenal dengan nama
Hanjatan Cimanganti. Setelah itu, perjalanan pun
dilanjutkan menuju ke arah selatan.
Maka tibalah rombongan Aki Gede ke sebuah
tempat yang teduh dan terdapat mata air. Di sana,
mereka segera ngababakan (membuka lahan baru)
untuk membangun perkampungan. Mulanya hanya
dibangun satu rumah, terus bertambah menjadi lima
rumah, kemudian bertambah pula dengan dibangunnya
sebuah surau.

146
Lama kelamaan daerah itu pun semakin banyak
dikunjungi pendatang. Bahkan banyak orang yang
berguru ilmu kanuragan ke Aki Gede. Rumah Aki Gede
pun kemudian direnovasi dan dijadikan sebuah
padepokan yang diberi nama Padepokan Karasanbaya.
Dengan perkembangan padepokan yang sangat
pesat, Aki Gede pun mulai merasa gundah. Khawatir
perkampungan tersebut diketahui oleh Kanjeng Sunan.
Lalu ia berniat membangun padepokan di tempat lain.
Sebagai penggantinya, Aki Gede menyuruh anaknya
yang sulung untuk mengurus Padepokan Karasanbaya.
Oleh anaknya, Padepokan itu diganti namanya menjadi
Kawasan.
Sementara Aki Gede, Nini Gede, putrinya, dan
rombongan keluarga lainnya terus melanjutkan
pengembaraan ke arah barat. Lalu ke arah selatan dan
ngaso (beristirahat) di suatu tempat yang juga terdapat
mata air yang banyak pohon kasonya. Kelak tempat ini
dikenal dengan nama Cikaso, yang berarti tempat
beristirahat yang terdapat sumber air dekat pohon kaso.

147
Di tempat itu, Aki Gede pun segera membangun
sebuah padepokan. Lalu padepokan itu ia percayakan
kepada salah satu saudaranya yang bernama Mangun
Naha Mana Manggala. Setelah itu, Aki Gede dan Nini
Gede pun melanjutkan pengembaraannya kembali.
Beberapa hari kemudian, rombongan Aki Gede
pun sampailah pada sebuah daerah yang kelak
bernama Bojonglekor. Di sana Aki Gede membangun
kembali sebuah padepokan dan kepengurusannya
dipercayakan kepada salah seorang saudaranya yang
bernama Sang Prabu Mangun Ciker.
Kemudian, Aki Gede pun melanjutkan kembali
pengembaraannya. Kali ini Aki Gede semakin ke
selatan. Kemudian sampailah ke daerah Bubulak dan
Karangsimpang, di sana Aki Gede pun membangun
sebuah padepokan. Di karangsimpang ia percayakan
lagi kepengurusan padepokannya pada saudaranya
yang lain.
Kini Aki Gede pergi ke arah utara dan sampailah
di sebuah daerah. Di sana Aki Gede segera

148
membangun padepokan dilengkapi dengan sebuah
sunge (sumur buatan), karena di daerah tersebut tidak
terdapat mata air. Kelak tempat ini dikenal dengan
nama kampung Binangun.
Selama pengembaraannya, Aki Gede, Nini Gede,
dan rombongan selalu berhenti di sebuah daerah dan
dilanjutkan dengan ngababakan (membuka lahan baru).
Setelah membangun padepokan di Binangun, Aki Gede
pun kemudian mencari daerah baru sebagai tempat
bermukim.
Suatu ketika, sampailah Aki Gede ke daerah yang
bernama Nagarawati. Di sana ia tidak membangun
padepokan, karena sudah padat penduduknya. Aki
Gede pun akhirnya kembali lagi ke Binangun. Namun
tidak berhenti di situ, Aki Gede kemudian mengalihkan
perjalanannya ke sebelah Barat. Berturut-turut Aki
Gede membangun kampung yang sekarang dikenal
dengan nama Bojongmalang, Sarakan, Cikadu,
Cikawao, Cikagenah, Cipatahunan dan Gurago.

149
Di Gurago, Aki Gede tinggal cukup lama. Bahkan
Aki Gede sempat mengangkat seorang amil (penghulu)
dan kepala kampung. Setelah itu, Aki Gede pun
melanjutkan kembali perjalananya. Sekarang ia
mengarah kembali ke selatan. Tujuannya ialah ke
pesisir selatan pulau Jawa. Maka sampailah Aki Gede
ke daerah yang sekarang dikenal dengan nama
Cigugur. Lama ia tinggal di daerah tersebut.
Beberapa taun kemudian, Aki Gede dipanggil oleh
Dalem Tamela, Raja Sukapura yang kekuasaannya
meliputi daerah Cigugur. Aki Gede pun menemui Dalem
Tamela di keratonnya yang sekarang dikenal dengan
nama Sukaraja, di wilayah Tasikmalaya sebelah
selatan. Ternyata Dalem Tamela berniat untuk
mempersunting anaknya Aki Gede yang perempuan.
Lamaran tersebut sempat tujuh kali ditolak oleh
Aki Gede. Alasannya karena sang putri telah menikah
dengan seorang ksatria bernama Sembah Ragasang.
Namun karena memaksa, Aki Gede pun akhirnya
menyetujui permintaan Dalem Tamela dengan sebuah

150
syarat: Dalem Tamela harus memberi mantan
menantunya suatu wilayah kekuasaan berikut
penduduknya yang berjumlah sembilan kuren (kepala
keluarga). Dalam memberikan wilayah itu pun tidak
dipilih oleh Dalem Tamela, namun harus sekehendak
menantunya.
Setelah sepakat, pergilah mantan menantu Aki
Gede, Sembah Ragasang, beserta sembilan kuren
rombongannya ke arah barat mengikuti jejak air
mengalir. Kemudian tibalah Sembah Ragasang di
kerajaan Panjalu. Di sana ia sempat bermukim,
sebelum akhirnya melanjutkan perjalanannya ke
wilayah Imbanagara. Di sana Sembah Ragasang
menemui saudara ibunya yang bernama Jeng Pati.
Menurut petunjuk dari Jeng Pati, Sembah
Ragasang harus mencari wilayah yang baik untuk
pemukiman ke sebelah Barat. Berdasarkan petunjuk
itulah, kemudian Sembah Ragasang beserta
rombongan tiba di hutan belantara. Karena merasa

151
tidak cocok, dari sana Sembah Ragasang melanjutkan
lagi perjalanannya ke arah pesisir selatan.
Tibalah Sembah Ragasang ke daerah yang
sekarang bernama Mandala, Karangnini dan Jajawai.
Di sanalah Sembah Ragasang menetap sampai akhir
hayatnya. Adapun Aki Gede yang telah lama menetap
di Cigugur, kemudian kembali melanjutkan
pengembaraannya. Hingga pada suatu ketika, tibalah di
atas bukit masih di wilayah pesisir Selatan.
Bermalamlah Aki Gede beserta rombongan
pengikutnya di bukit tersebut. Keesokan harinya,
sebelum pergi melanjutkan perjalanan, Aki Gede
menyuruh salah seorang pengikutnya yang bernama Ki
Braja Lintang untuk menangkap ikan di laut untuk
sarapan. Dengan cekatan, segera Ki Braja pergi ke
pantai untuk menangkap ikan.
Setelah beberapa jam, kemudian Ki Barja
membawa seekor ikan yang besar ke hadapan Aki
Gede. Ternyata ikan tersebut seekor hiu. Maka oleh Aki
Gede, Ki Barja pun disuruh untuk melepaskan kembali

152
ikan hiu tersebut ke laut lepas. Namun anehnya, ketika
dilepaskan oleh Ki Barja, ikan hiu itu tiba-tiba berubah
menjadi sebongkah batu besar berwarna hitam.
Semenjak itulah, daerah pesisir itu oleh Aki
Gede diberi nama pantai Batu Hiu. Dari bukit tempat
peristirahatan Aki Gede beserta rombongannya itulah,
sekarang kita dapat melihat secara jelas bongkahan
batu yang berasal dari perwujudan ikan hiu tersebut.
Setelah kejadian itu, Aki Gede segera saja
meninggalkan daerah tersebut. Bersama dengan
rombongannya, ia kemudian melanjutkan perjalanan ke
arah Barat dengan tetap menyusuri pesisir Selatan.
Hingga sampailah Aki Gede ke sebuah muara yang
menyatukan antara sungai Haurseah dengan laut Jawa
Selatan.
Di muara tersebut air sungai Haurseah nampak
tidak menyatu dengan air laut karena terbendung oleh
air laut itu sendiri, bahkan nampak airnya kembali
mengalir berbalik ke arah aliran sungai. Oleh penduduk

153
setempat, keadaan air seperti itu disebut cai mulang
(air yang alirannya berbalik arah).
Di dekat muara itulah, kemudian Aki Gede
kembali ngababakan dan menetap untuk selamanya.
Daerah itu pun kemudian oleh penduduk setempat
dinamakan Cimulang. Konon selain perubahan lafal
dari kata cai mulang, juga didasarkan pada kebiasaan
Aki Gede yang bolak-balik seperti cai mulang mencari
tempat untuk ngababakan.
Di daerah Cimulang terdapat burung Julang.
Seiring dengan perkembangan waktu, maka Cimulang
pun kemudian berubah namanya menjadi Cijulang
seperti yang dikenal sekarang. *** (Ciamis)

154
3. SASAKALA KALAPAGENEP

Di tepi sungai Cimedang, sebelah selatan


kerajaan Sukapura, hiduplah seorang lelaki tua di
sebuah rumah yang atapnya terbuat dari rumbia. Lelaki
tua tersebut sehari-harinya tatanen (bertani) dengan
memanfaatkan tanah adat milik kerajaan Sukapura.
Selain itu, untuk menambah penghasilan, lelaki
tua itu pun sekali-kali menangkap ikan di sungai
Cimedang. Dalam menangkap ikan, ia hanya memakai
peralatan seadanya. Biasanya memakai bubu atau
badodon. Alat penangkap ikan tersebut terbuat dari
bambu.
Apabila mendapat ikan cukup banyak, sebagian
akan dikere (diselai) dan sebagian lain dijual kepada
tetangganya. Begitulah lelaki tua itu kesehariannya.
Meskipun hidup serba kekurangan, lelaki tua
tersebut tidak berputus asa. Ia sangat rajin sekali
beribadah. Seperti ketika itu, ia pernah ditimpa sakit
keras. Namun tetap saja melaksanakan solat lima

155
waktu. Sekalipun tidak kuat untuk mengambil air wudlu,
ia akan bertayamum.
Suatu hari di musim penghujan, tiba-tiba
kampung tersebut terkena caah (banjir). Mula-mula air
hujan hanya menggenangi halaman rumah penduduk.
Lama-kelamaan semakin membesar. Sungai Cimedang
pun akhirnya meluap. Lalu seluruh areal pesawahan
dan perkampungan pun tenggelam diterjang air bah.
Banyak rumah penduduk yang tenggelam.
Termasuk rumah lelaki tua itu, mulai digenangi air bah
dari sungai Cimedang. Namun meskipun demikian,
lelaki tua itu tidak segera pergi meninggalkan
rumahnya. Ia malah naik ke atas atap rumahnya sambil
membawa enam buah kelapa. Ia berpikir apabila air
bah sudah menenggelamkan seluruh rumahnya, ia
akan mengapung di atas buah kelapa yang dibawanya.
Sesuai dugaan, air bah pun segera
menenggelamkan seluruh rumah lelaki tua itu. Lelaki
tua itu pun kemudian terbawa air bah yang arusnya
sangat deras. Dengan tenang, lelaki tua itu pun

156
mengambang bersama enam buah kepala yang
dibawanya semula. Ia terbawa arus sampai ke muara
sungai Cimedang. Di sana airnya tidak terlalu deras,
sehingga lelaki tua itu segera berenang sampai ke tepi
muara.
Sesampainya di tepi muara, beberapa saat ia
tertegun. Lelaki tua itu pun tidak beranjak dari tepi
muara. Ia hanya melihat air bah yang mengalir deras
sampai surut.
“Alhamdulillah, Gusti masih menyelamatkanku,”
gumamnya lirih.
Adapun enam buah kelapa yang dibawanya,
dilemparkannyalah ke aliran sungai Cimedang. Buah
kelapa itu pun terbawa arus sungai, sampai akhirnya
tersangkut di sebuah nusa (pulau kecil) di tengah-
tengah muara.
Kemudian air bah pun surut. Penduduk kampung
mulai berdatangan menolong lelaki tua tersebut.
Keesokan harinya, mereka bergotong-royong

157
membantu memperbaiki rumah lelaki tua yang hancur
terkena banjir.
Beberapa bulan kemudian, di nusa tersebut
tumbuh enam buah pohon kelapa. Semakin hari
pohonnya semakin tinggi, sampai akhirnya berbuah.
Oleh Tua Kampung, nusa tersebut selanjutnya
diserahkan pada lelaki tua untuk diolah menjadi lahan
perkebunan. Adapun buah kelapa dari keenam pohon
kelapa itu, oleh lelaki tua selalu dijualnya untuk
menambah penghasilan sehari-hari.
Setelah lelaki tua itu meninggal, buah kelapa dari
keenam pohon kelapa yang tumbuh di tengah nusa itu
pun tidak ada yang berani mengambil apalagi
mencurinya. Nusa itupun kemudian dinamai
Kalapagenep, yang artinya enam buah pohon kelapa.
“Aku namakan nusa ini Kalapagenep,” ujar Tua
Kampung di depan seluruh penduduk.
“Kenapa, Aki?” timpal salah seorang penduduk.
“Untuk mengenang perjuangan Aki Sahuri yang
bersusah payah menyelamatkan diri dari terjangan

158
banjir dengan memakai enam buah kelapa ini,” jawab
Tua Kampung sambil menunjuk pada enam pohon
kelapa yang tumbuh subur di tengah-tengah nusa.
“Oh, kalau begitu aku setuju.”
“Setujuuuu...!” sahut para penduduk yang lain.
Selanjutnya, daerah di sekitar muara itu pun
kemudian dinamakan kampung Kalapagenep. Kini
kampung tersebut menjadi batas antara kabupaten
Ciamis dengan kabupaten Tasikmalaya. ***

159
4. SASAKALA KAMPUNG PANYALAHAN

Dahulu kala, di wilayah kerajaan Sukapura


sebelah selatan, terdapat sebuah kampung tak
bernama. Di kampung itu, hiduplah sepasang suami
istri.
Kehidupan keluarga mereka terasa tentram dan
romantis. Apalagi setelah mereka mempunyai binatang
peliharaan, yaitu seekor harimau jantan. Harimau
tersebut dipelihara sejak kecil, sehingga jinak layaknya
seekor kucing. Bahkan harimau tersebut sudah
dianggap sebagai bagian dari keluarganya sendiri.
Setiap hari harimau tersebut dilatih menjadi binatang
piaraan yang cerdas dan tangkas.
Kebahagiaan suami isteri itu terasa bertambah
besar setelah lahirnya anak mereka, seorang bayi yang
mungil dan sehat. Maka semakin giatlah suami istri
tersebut bekerja mencari nafkah.
Apabila mereka pergi ke ladang atau sawah,
bayinya selalu ditinggalkan di rumah. Sebagai

160
penjaganya, ditunjuklah harimau peliharaannya
tersebut.
Selang beberapa bulan, tiba-tiba terjadilah
peristiwa yang menyedihkan. Peristiwa itu dimulai
ketika suami isteri pulang berladang. Di halaman
rumah, mereka disambut oleh harimau kesayangannya.
Tidak seperti biasanya, harimau itu segera
menghampiri suami istri tersebut. Lalu mengibas-
ngibaskan ekornya sambil menggosok-gosokkan
badannya.
Pikir suami isteri, mengapa tingkah laku harimau
itu berbeda dari biasanya. Sedang berpikir demikian,
terlihatlah oleh mereka mulut sang harimau berlumuran
darah. Mereka pun terkejut melihat keadaan itu.
Spontan kedua suami isteri teringat akan anak bayinya
yang dipercayakan kepada sang harimau piaraannya.
“Pasti harimau itu telah menerkamnya,” gumam
sang suami.
Seketika itu memuncaklah kemarahan sang
suami.

161
“Hey, harimau keparat. Teganya engkau
menerkam anakku. Dasar tidak tahu balas budi!”
hardiknya.
Selesai menghardik, lalu sang suami itu pun
menghunus goloknya dan menebas leher harimau.
Matilah harimau itu ditangan orang yang
menyayanginya selama ini.
Sesaat setelah peristiwa itu terjadi, mereka
berdua hanya membisu. Setelah sadar kembali
ingatannya, maka larilah sang isteri memasuki kamar
tempat bayinya ditinggal. Lalu sang suami pun
mengikutinya masuk ke dalam kamar, setelah terlebih
dulu menendang bangkai harimau.
Sesampainya di dalam ruangan kamar, didapati
bayinya terbaring dengan tenang dalam ayunan.
Dirabanya tubuh bayi tersebut, lalu digoyang-
goyangkan badannya. Tak lama berselang, mata bayi
itu pun terbuka. Lalu tersenyum lucu dan
menggemaskan. Kedua suami isteri pun lalu mengusap

162
muka dan bersyukur karena bayinya selamat serta
masih hidup.
Setelah puas memandangi bayinya yang
selamat, suami isteri tersebut segera memeriksa
sekeliling ruangan kamar. Didapatinya bangkai seekor
ular sanca yang sangat besar tergeletak dekat ayunan.
Dari mulut dan sebagian tubuhnya berlumuran darah.
Saat itulah suami istri tersebut tersadar telah
melakukan kesalahan. Apalagi sang suami, ia langsung
duduk lunglay di ruangan kamar dekat ayunan bayi.
Ia sadar betul bahwa harimau yang telah
dibunuhunya tidak bersalah, hewan itulah yang justru
telah menyelamatkan bayinya dari santapan ular sanca.
Ia pun sadar bahwa harimau itu telah berjasa
menyelamatkan jiwa anaknya. Namun apa dikata,
harimau tersebut telah mati dibunuhnya karena salah
terka, yang dalam bahasa Sunda disebut nyalahan.
Semenjak itulah, kampung tempat suami istri
tersebut bermukim dikenal dengan nama kampung
Panyalahan, yang berarti tempat berbuat kesalahan.

163
Semakin lama, kampung Panyalahan semakin banyak
dikunjungi pendatang dan menjadi penduduk di sana.
Hingga kini, menurut kepercayaan masyarakat sekitar,
seluruh penduduk kampung Panyalahan disupata
(dikutuk) untuk tidak bisa membunuh harimau memakai
senjata apapun, termasuk memakai senjata api.
Bahkan sekarang berkembang kepercayaan, bahwa
penduduk kampung Panyalahan dilindungi oleh maung
kakajaden (harmau jadi-jadian) yang terbunuh oleh
sang suami pada waktu itu. ***

164
5. SASAKALA GUNUNG GUNTUR

Dahulu kala, di suku gunung Kutu (yang kelak


namanya berubah menjadi gunung Guntur) terdapat
sebuah kerajaan bernama Timbanganten. Ibukotanya
bernama Korobokan, tidak jauh dari suku gunung Kutu.
Seluruh penduduknya bekerja sebagai petani dan
peladang. Adapun rajanya bernama Sunan Rangga
Lawe. Ia seorang raja yang adil dan bijak, sehingga
sangat dicintai dan dihormati oleh seluruh rakyatnya.
Sunan Rangga Lawe mempunyai kakak seorang
perempuan bernama Maharaja Inten Dewata. Namun
berbeda dengan pribadi Sunan Rangga Lawe yang
sinatria, kakaknya lebih memilih menjadi pertapa dan
masyarakat biasa. Ia tidak mau tinggal di dalam istana.
Ia lebih senang berkelana ke tiap pelosok kerajaan,
ditemani oleh lelaki yang sudah berumur tua bernama
Batara Rambut Putih.
Suatu ketika, kerajaan Timbanganten mengalami
pailit akibat musim kemarau panjang. Penduduk

165
kekurangan air bersih dan makanan. Hasil pertanian
dan ladang tidak dapat dipanen, karena kekeringan.
Maka untuk menyelesaikan masalah tersebut, Sunan
Rangga Lawe pun berinisiatif untuk membuat situ
(danau). Dipanggillah seluruh patih dan mahamantri
kerajaan, lalu diperintah agar segera mencari tempat
yang cocok untuk membuat situ. Tempatnya harus
strategis, agar dapat mengairi seluruh wilayah kerajaan.
Setelah 40 hari 40 malam, akhirnya para patih
dan mahamantri yang ditugaskan mencari daerah untuk
membuat situ pun menghadap Sunan Rangga Lawe.
“Kanjeng Sunan, kami telah berhasil
menemukan tempat yang strategis untuk dibuat situ.”
“Di mana tempatna, Paman Patih?”
“Di lembah gunung Kutu, Kanjeng.”
“Siapa yang memiliki tempat tersebut, Paman?”
“Pemiliknya Maharaja Inten Dewata, saudara
Kanjeng sendiri.”

166
“Oh, gampang kalau pemiliknya beliau.
Sekarang, Paman segera menghadap pada kakakku,
ceritakan apa kehendakku.”
“Baik, Kanjeng, akan saya laksanakan.”
Keesokan harinya, Paman Patih pun segera
menemui Maharaja Inten Dewata di rumahnya, di
lembah gunung Kutu. Sesampainya di sana, ia
langsung menghadap Maharaja Inten Dewata.
“Ada apa kalian menemuiku?”
“Ampun Gusti, saya mendapat tugas dari
Kanjeng Sunan untuk menyampaikan permintaannya.”
“Memang apa permintaan adikku itu?”
“Ia bermaksud meminta daerah ini untuk dibuat
situ. Katanya akan bermanfaat bagi sistem pengairan di
kerajaan Timbanganten.”
Sesaat Maharaja Inten Déwata terdiam. Sesaat
kemudian, ia pun memberikan keputusan.
“Sampaikan pada Sunan, permintaannya tidak
akan aku kabulkan. Di daerah ini aku mulai bisa

167
menikmati hidup, jauh dari hiruk-pikuk kehidupan
istana.”
Setelah mendengar jawaban tersebut, Paman
Patih pun segera bergegas untuk menemui Sunan di
istana. Sesampainya di istana, ia pun langsung
menghadap ke Sunan Rangga Lawe.
“Bagaimana, Paman?”
“Ampun Kanjeng Sunan, beliau tidak bisa
memberikan daerahnya untuk dijadikan situ.”
“Oh, ya, sudahlah kalau memang begitu. Kita
cari saja tempat lain.”
Beberapa hari kemudian, seluruh rakyat ditugasi
untuk mencari tempat yang baik untuk dibuat situ.
Namun semua penduduk kerajaan mengatakan hal
yang sama bahwa tempat yang baik untuk situ ialah di
lembah gunung Kutu.
Akhirnya Sunan Rangga Lawe pun
memerintahkan kembali patihnya untuk membujuk
kakaknya agar memberikan daerahnya dijadikan situ.
Tetapi seperti sebelumnya, Maharaja Inten Dewata

168
tetap pada pendiriannya. Ia tidak mau menyerahkan
daerahnya untuk dijadikan situ. Sunan Rangga Lawe
pun tidak dapat memaksa karena ia merasa hormat
pada sang kakak. Akhirnya, untuk sementara
pembangunan situ pun ditunda.
Beberapa hari kemudian ada seorang
mahamantri yang menghadap pada Sunan Rangga
Lawe.
“Ada apa, Mantri?”
“Ampun Kanjeng, sebelumnya saya meminta
maaf, apabila perkataan saya terlalu lancang.”
“Ya, ada apa, katakan saja!”
“Begini Kanjeng, yang menjadi raja di
Timbanganten sekarang adalah paduka Kanjeng.”
“Memang kenapa?”
“Artinya bahwa seorang raja itu harus berwibawa
dan mempunyai kekuasaan penuh atas wilayah
Timbanganten.”
“Maksud, Mantri?”

169
“Ampun, Kanjeng. Menurut hemat saya, Kanjeng
sebenarnya bisa memaksa pada Maharaja Inten
Dewata untuk segera menyerahkan lahannya untuk
dijadikan situ. Kalau paduka Kanjeng tidak sanggup,
artinya di Timbanganten terdapat dua raja.”
Mendengar perkataan mahamantri tersebut,
Sunan Rangga Lawe pun terpengaruh. Ia pun langsung
memerintahkan seluruh rakyatnya agar membawa
peralatan untuk membuat situ di lembah gunung Kutu.
Kontan saja seluruh rakyat Timbanganten berbondong-
bondong membangun situ. Bahkan pengerjaannya,
dipimpin langsung oleh Sunan Rangga Lawe.
Setibanya di lembah gunung Kutu, Kanjeng
Sunan segera memerintahkan untuk membuat
pesanggrahan, karena membuat situ akan
menghabiskan waktu berminggu-minggu.
“Mulailah kalian sekarang bekerja membangun
situ!”
Mulai hari itu, seluruh rakyat pun segera bekerja
membuat situ. Semua bersemangat karena dilihat

170
langsung oleh raja. Setelah beberapa minggu, situ pun
berhasil dibuat. Airnya sangat jernih memenuhi
kubangan situ, sebagian lagi dialirkan ke seluruh
pesawahan dan perkebunan di wilayah kerajaan
Timbanganten. Seluruh penduduk pun bahagia, karena
dapat bertani dan berladang kembali.
Hanya saja Maharaja Inten Dewata sangat
marah. Ia merasa dihianati oleh adiknya sendiri. Dalam
kemarahannya itulah, Maharaja Inten Dewata mengajak
Batara Rambut Putih untuk pergi menuju gunung kecil
yang terletak bersebelahan dengan gunung Kutu. Kelak
gunung kecil ini bernama gunung Putri.
“Aki, ambilkan aku jolang dan bawakanlah
sekepal tanah. Aku akan pergi ke puncak gunung
Kutu.”
“Untuk apa Nyai?”
“Ah, hanya untuk melihat saja situ buatan adikku
itu.”
Tak lama kemudian, Batara Rambut Putih pun
membawa jolang diisi air dan sekepal tanah. Lalu

171
pergilah Maharaja Inten Dewata dan Batara Rambut
Putih ke puncak gunung Guntur. Sesampainya ke
puncak gunung, lalu Maharaja Inten Dewata
menaburkan tanah dan menumpahkan air dari jolang.
Setelah itu, ia pun turun kembali dari puncak gunung.
Sesaat setelah sampai ke rumahnya, tiba-tiba
ada kejadian aneh. Langit yang cerah tiba-tiba menjadi
mendung. Sesaat kemudian terdengar suara petir
menyambar beberapa kali. Dari puncak gunung tiba-
tiba kelihatan api menyala. Setelah itu, gunung Kutu
pun menumpahkan lahar, batu panas, dan hujan abu ke
seluruh pelosok kerajaan.
Rumah penduduk banyak yang hancur.
Penduduk banyak yang meninggal. Mayat
bergelimpangan di mana-mana. Kono kejadian tersebut
berlangsung selama 40 hari 40 malam tanpa henti.
Pada peristiwa itu, banyak penduduk
Timbanganten yang mengungsi ke kerajaan Sukapura,
Sumedanglarang, dan Banjar Patroman. Adapun Sunan
Rangga Lawe tetap berdiam diri di Timbanganten. Ia

172
tetap bersikap sebagai figur raja yang
bertanggungjawab. Namun hatinya mulai tersadar,
bahwa terjadinya bencana demikian, karena ulahnya
yang tidak menghormati lagi kakaknya, Maharaja Inten
Dewata.
Sesaat setelah berpikir demikian, maka segera
ia pergi untuk menemui kakaknya. Sesampainya di
sana, ia segera melihat kakaknya tengah berdiri di atas
batu di bukit sebelah gunung Kutu. Dengan sigapnya,
langsung saja Sunan Rangga Lawe sungkem
(bersujud) pada kakaknya untuk meminta maaf.
“Kakanda, aku minta maaf atas perbuatanku
selama ini.”
“Aku maafkan engkau adikku.”
Setelah keluar perkataan itu, maka berhentilah
hujan batu panas, lahar, dan hujan abu dari gunung
Kutu. Suara petir pun mendadak berhenti.
“Kakak, alangkah baiknya apabila kita bersama
mengolah kerajaan.”

173
“Adikku, aku tidak akan pulang ke istana. Aku
sudah betah di sini. Apabila suatu saat nanti, terjadi lagi
kejadian seperti ini, sambat (panggil) saja namaku dan
Aki Batara Rambut Putih.”
Sesaat setelah itu, Maharaja Inten Dewata dan
Aki Batara Rambut Putih pun menghilang dari hadapan
Sunan Rangga Lawe. Semenjak itulah, gunung Kutu
namanya diubah menjadi gunung Guntur, karena sering
terdengar suara guntur (petir). Adakalanya masarakat
Timbanganten menyebutnya gunung Agung, untuk
mengenang keagungan Maharaja Inten Dewata.
Adapun bukit kecil tempat Sunan Rangga Lawe
bersujud pada Maharaja Inten Dewata, selanjutnya
dinamakan gunung Putri. Kemudian situ yang dibuat
oleh rakyat Timbanganten disebut Situ Taman
Timbanganten, sedangkan ibukota Korobokan
sekarang dikenal dengan nama Tegalurug.
Kini, wilayah Timbanganten masuk ke wilayah
kecamatan Tarogong Kabupaten Garut. ***

174
6. SASAKALA SITU BAGENDIT

Di sebelah utara kabupaten Garut, terdapat


sebuah kampung yang penduduknya kebanyakan
tatanen (bertani). Tanah di kampung tersebut sangat
subur dan tidak pernah kekurangan air. Hasil sawah
dan ladang selalu berlimpah ruah setiap musim panen.
Namun sayangnya, para penduduk di kampung
tersebut hidupnya tetap miskin dan selalu tertimpa
musibah kelaparan. Hal itu dikarenakan seluruh hasil
panen dari sawah atau ladang mereka, semuanya
harus dijual dengan harga murah kepada seorang
tengkulak perempuan yang sangat pedit (pelit).
Penduduk kampung menyebutnya dengan nama Nyi
Endit.
Nyi Endit tentu saja menjadi orang kaya di
kampung itu. Rumahnya mewah. Lumbung padinya
berlimpah ruah. Setengah tanah kampung telah
menjadi miliknya. Ia hidup menjomblo, karena tidak ada
seorang pun lelaki yang jatuh hati padanya.

175
Kesehariannya hanya ditemani puluhan centengnya
yang bengis.
Mereka akan membunuh penduduk kampung
yang ketahuan tidak menjual hasil panennya kepada
Nyi Endit. Centeng-centeng Nyi Endit tersebut
didatangkan dari kampung lain. Maka jika musim
kemarau, penduduk harus membeli bahan pokok
sehari-hari dari Nyi Endit yang harganya lima kali lipat
lebih mahal dari harga sebelumnya.
Waktu pun berjalan mengikuti kehendak Sang
Pencipta. Maka tibalah pada hari yang ditunggu-tunggu.
Ya, hari itu seluruh penduduk kampung akan panen.
“Kapan kita akan untung dari hasil panen, ya?”
kata seorang petani.
“Wah, mungkin sampai kita meninggal tidak akan
pernah untung...”
“Selama si lintah darat itu masih hidup, ya
Kang?”
“Ya, benar...”

176
“Katanya di kampung sebelah harga padi lagi
naik, Kang?”
“Iya, tapi kita tetap saja harus menjualnya ke
nenek lintah darat itu.”
“Iya, ya. Kalau ketahuan menjual padi ke
kampung lain, pasti kita akan dibunuh centengnya.”
Itulah keluh-kesah pada hari panen. Setelah
panen pun penduduk akan terus mengeluh. Sementara
sesudah panen, Nyi Endit dengan ditemani beberapa
centengnya akan segera memeriksa leuit (lumbung
padi).
“Komar!” kata nyai Endit, “Apakah semua padi
sudah masuk?”
“Sudah atuh, Nyi!” jawab centeng bernama
Komar.
“Ha..ha...ha...! Kemarau akan tiba, mereka pun
pasti akan membeli padi padaku. Aku akan naikkan
harganya lima kali lipat. Aku akan semakin kaya!” kata
Nyi Endit sambil tertawa lepas.

177
Benar saja, beberapa bulan kemudian tibalah
musim kemarau. Penduduk kampung mulai kehabisan
bahan makanan dan mulai banyak yang kelaparan.
Sementara Nyi Endit menjual mahal barang
dagangannya, padahal tadinya ia beli murah dari hasil
panen penduduk kampung.
“Keparat nenek lintah darat itu, awal akhir pasti
Tuhan akan menghukumnya,” kata seorang penduduk.
“Semoga mendapat siksa dari Tuhan,” kata
seorang lagi.
Begitulah biasanya pembicaraan penduduk
kampung apabila bertemu di surau atau di warung kopi.
Kesewenangan dan kepelitan Nyi Endit memang sudah
sabiwir hiji (menjadi menu pembicaraan semua
penduduk).
Pada suatu hari, seluruh penduduk kampung
diundang untuk menghadiri sukuran Nyi Endit. Konon
menurut centengnya, Nyi Endit mengadakan sukuran
karena telah membeli sehektar tanah di kampung
sebelah.

178
Penduduk kampung sedikit bahagia diundang
sukuran oleh Nyi Endit tersebut. Mereka berpikir akan
makan lezat dan diberi uang oleh Nyi Endit. Namun
semua salah duga, ketika datang ke rumah Nyi Endit, ia
hanya menyediakan air putih dan hidangan
alakadarnya. Itupun banyak penduduk desa yang tidak
kebagian. Namun karena banyak penduduk yang
kelaparan, akhirnya acara sukuran pun ramai juga.
Banyak penduduk yang sengaja datang karena ingin
mendapat nasi.
Ketika sukuran sedang berlangsung, tiba-tiba
datang seorang kakek yang kelihatannya sedang
kelelahan dan kehausan. Dia berjalan mendekati pintu
rumah Nyi Endit. Setelah itu, ia pun bertanya pada
seorang penduduk.
“Mau numpang tanya, siapa yang menggelar
acara sukuran ini?”
“Nyi Endit, Kek. Memangnya kenapa?”
“Begini, apakah kakek boleh meminta segelas
air. Kakek haus sekali, sudah berjalan cukup jauh.”

179
“Apa...mau meminta air? Enak saja. Keluar kau
pengemis!” tiba-tiba Nyi Endit menghardik kakek
tersebut.
Mendengar hardikan Nyi Endit seperti itu,
penduduk kampung hanya diam mematung. Namun
anehnya si kakek itu hanya tersenyum simpul. Lalu ia
berkata pada semua yang hadir di rumah Nyi Endit.
“Kalian semua pulanglah. Jangan hadiri acara
sukuran orang seperti ini.”
Setelah itu, si kakek pun pergi meninggalkan
rumah Nyi Endit.
Tidak beberapa lama, kemudian datang Nyi
Karsih.
“Ibu, Bapa, semuanya, ayo kita pulang. Saya
dapat amanat dari seorang kakek, bahwa hari ini akan
terjadi banjir yang dapat menenggelamkan kampung
kita. Si Kakek menyuruh aku memberitahu kalian
semua. Ayo, kita mengungsi!”
“Wah, yang benar saja Karsih, siang cerah
begini ada banjir?” cetus seorang penduduk.

180
“Saya hanya diberi tahu oleh si kakek. Kalau
tidak percaya, ya sudah,” Nyi Karsih pun lalu pergi
cepat-cepat.
Nyi Endit dan centeng-centengnya hanya
tertawa mendengar kabar dari Nyi Karsih seperti itu.
Namun sebagian penduduk ada yang langsung
mengikuti Nyi Karsih. Bahkan pada akhirnya semua
penduduk pun meninggalkan rumah Nyi Endit. Mereka
ke rumahnya masing-masing untuk membawa barang
berharga, lalu pergi mengungsi.
Setelah semua penduduk keluar dari rumahnya,
Nyi Endit hanya tertawa terbahak-bahak bersama
centeng-centengnya. Namun tiba-tiba, datanglah si
kakek yang meminta air tadi. Lalu ia berbicara dengan
lantang.
“Hei, Endit, selama ini Tuhan memberimu
kekayaan yang berlimpah. Tapi kamu pelit, tidak
bersyukur, dan mencekik penduduk dengan harga
mahal. Kelakuanmu seperti lintah darat. Maka mulai

181
saat ini, aku akan menghukummu. Seluruh hartamu
akan tenggelam dan engkau aku kutuk menjadi lintah!”
“Ha..ha...ha…mau menghukumku?
Mau mengutukku jadi lintah? Emangnya engkau
ini Tuhan? Kamu tidak tahu aku bisa menghukummu
dengan centeng-centengku? Sekali tebas, kau akan
mati. Sekarang, pergi dari sini!” hardik Nyai Endit.
Lalu si kakek pun pergi dari hadapan Nyi Endit
dan centeng-centengnya. Sebelumnya si kakek pun
menancapkan tongkat kayunya di hadapan Nyi Endit.
“Dasar kakek gila, malah meninggalkan tongkat
di hadapanku,” gumam Nyi Endit sambil mencabut
tongkat yang ditancapkan si kakek tadi.
“Hey, kakek gila, ini tongkatmu,” kata Nyi Endit.
“Itu hukuman untukmu...!” jawab si kakek.
Belum juga Nyi Endit berucap, tiba-tiba si kakek
pun menghilang. Tentu saja Nyi Endit dan centeng-
centengnya merasa kaget. Apalagi dari bekas tancapan
tongkat tersebut menyembur air. Byuuur....!

182
Semakin lama, air pun semakin menyembur.
Segera centeng-centeng Nyi Endit menutupi lubang
tempat menyemburnya air tersebut. Namun aneh, air
yang menyembur semakin banyak. Bahkan
bermunculan semburan-semburan lain di dalam dan di
sekitar rumah Nyi Endit. Kemudian Nyi Endit pun mulai
panik. Semua centeng-centengnya kalang kabut.
Air semakin besar, meluap deras. Rumah Nyi
Endit mulai terkena banjir. Sawah-sawah penduduk
mulai tergenang. Melihat banjir yang tiba-tiba, centeng-
centengnya segera meninggalkan Nyi Endit. Adapun
penduduk kampung lebih dulu telah mengungsi.
Sekarang tinggal Nyi Endit berusaha berlari
menyelamatkan diri bersama hartanya, namun air bah
lebih cepat menenggelamkannya. Nyi Endit pun
meninggal ditelan air bah.
Melihat kejadian tersebut, semua penduduk
sadar bahwa Nyi Endit telah dihukum oleh Tuhan atas
kekikirannya selama ini. Bahkan setelah sekian lama,
air yang membanjiri perkampungan itu pun tidak

183
kunjung surut. Kemudian membentuk sebuah telaga
atau menurut bahasa penduduk setempat dinamakan
situ. Situ itu pun kemudian dinamakan Situ Bagendit,
merujuk pada nama Baginda Endit yang memiliki
karakter pedit (pelit).
Seiring waktu, tertanam kepercayaan pada
penduduk setempat bahwa kadang-kadang di telaga
tersebut muncul lintah sebesar kasur di dasar danau.
Konon lintah itu merupakan penjelmaan Nyi Endit yang
dikutuk karena kekikiran dan perilakunya pada waktu
air bah menenggelamkan dirinya.
Kini, Situ Bagendit menjadi salah satu objek
wisata andalan di Kabupaten Garut dan banyak
dikunjungi wisatawan. ***

184
7. SASAKALA GARUT

Pada masa kolonial, Limbangan termasuk salah


satu kabupaten di wilayah Priangan. Pada masa itu,
dipimpin oleh seorang bupati bernama Adipati
Adiwijaya.
Kabupaten Limbangan merupakan daerah yang
subur, makmur, dan ramai dikunjungi pedagang dari
Belanda. Terlebih Adipati Adiwijaya dikenal sebagai
bupati yang adil dan bijaksana dalam memimpin.
Seluruh rakyat pun menghormati dan mencintainya.
Suatu ketika, Adipati Adiwijaya kedatangan tiga
orang utusan Letnan Gubernur Raffles dari Batavia.
Tamu tersebut diterima di pendopo kabupaten. Setelah
dijamu seperti tamu-tamu lain yang datang ke
Limbangan, selanjutnya Adipati Adiwijaya pun
menanyakan maksud kedatangan tamu tersebut
dengan disaksikan oleh para pembesar Limbangan.
“Ada apa tuan-tuan datang ke Limbangan?”

185
“Kanjeng Adipati, kami disuruh oleh Lentan
Gubernur Raffles untuk menyampaikan surat,” kata
salah seorang tamu yang berperawakan tinggi besar.
“Oh, begitu. Mana suratnya, tuan?”
“Ini suratnya, Kanjeng!,” tamu Belanda itu
menyerahkan surat kepada Adipati Adiwijaya.
Surat pun diterima oleh Adipati Adiwijaya,
setelah itu lalu dibacanya. Cukup lama Adipati
Adiwijaya merenung setelah selesai membaca surat
dari Raffles tersebut.
Sejurus kemudian, lalu Adipati Adiwijaya berdiri
dari tempat duduknya.
“Perlu kalian ketahui bersama, bahwa Tuan
Raffles menyampaikan surat yang isinya agar
memindahkan kota kabupaten Limbangan ke daerah
lain. Dalam surat disebutkan alasannya agar daerah
Priangan segera berkembang. Begitulah intinya isi surat
ini,” kata Adipati Adiwijaya kepada para tamu dan
pembesar Limbangan di pendopo kabupaten.

186
Selanjutnya ia pun berkata, “Tuan dari Batavia,
perintah Tuan Raffles ini akan kupikirkan beberapa hari
ke depan. Setelah itu, aku baru akan menugaskan
beberapa prajurit Limbangan untuk mencari daerah
baru yang baik untuk ibukota. Nah, dalam surat
disebutkan bahwa tuan-tuan ini harus menemani kami
dalam mencari daerah baru tersebut, berarti akan
cukup lama tinggal di Limbangan?”
“Benar Kanjeng Adipati, kami akan tinggal cukup
lama di sini. Semoga Kanjeng Adipati dapat menerima
kami,” kata tamu Belanda tersebut.
Setelah itu, kemudian Adipati Adiwijaya pun
segera memerintahkan kepada patihnya untuk
mengurus akomodasi ketiga tamu tersebut.
Tujuh hari kemudian, kemudian Adipati Adiwijaya
menugaskan kepada patih dan beberapa pembesar
kabupaten Limbangan untuk segera mencari daerah
yang baik untuk dijadikan ibukota.
Maka rombongan dari Limbangan pun berangkat
ke arah selatan. Tidak ketinggalan tiga orang Belanda

187
dari Batavia diajak turut serta untuk mencari daerah
baru itu.
Setelah tiga hari perjalanan, akhirnya
rombongan dari Limbangan itu pun sampailah ke
sebuah daerah yang disebut kampung Cumuruh,
sebelah timur perkampungan Suci. Setelah satu malam
menginap, dan melihat keadaan geografis daerah
Cumuruh, kemudian rombongan yang dipimpin oleh
Patih Limbangan itu segera menyampaikan maksudnya
kepada ketua kampung dan seluruh penduduk Suci,
bahwa daerah di bawah kekuasaannya akan dijadikan
ibukota yang baru.
Mendengar bahwa kampungnya terpilih untuk
dijadikan ibukota kabupaten Limbangan, tentu saja
seluruh penduduk di kampung Suci sangat bergembira.
Mereka berharap kampungnya akan semakin ramai dan
berkembang.
Ngababakan (membuka lahan baru untuk
pemukiman) pun dimulai. Seluruh rombongan dan
penduduk Suci bergotong royong membangun semua

188
fasilitas yang dibutuhkan untuk sebuah ibukota
kabupaten. Mulai dari pendopo, rumah-rumah
pembesar kabupaten, alun-alun, dan beberapa rumah
untuk menerima tamu.
Tidak lama setelah itu, Adipati Adiwijaya pun
segera memindahkan ibukota Limbangan ke Suci. Ia
pun sangat setuju dengan tempat yang barunya
tersebut, karena kontur tanahnya sangat baik.
Namun sayangnya, setelah beberapa bulan
menetap, segera Adipati Adiwijaya mendapati
kekurangan di ibukota Limbangan yang baru tersebut.
Setelah banyak dikunjungi pendatang dan banyak pula
yang bermukim, daerah Suci sering kekurangan air.
Akhirnya Adipati Adiwijaya pun segera memerintahkan
kembali pada patihnya untuk mencari tempat lain untuk
dijadikan ibukota yang baru.
Rombongan pencari daerah baru pun segera
melaksanakan pekerjaannya. Tidak lupa tiga orang
Belanda yang bertindak sebagai pengawas dari Batavia
turut serta. Hingga setelah beberapa hari mencari,

189
rombongan pun akhirnya menemukan suatu tempat
yang cocok dijadikan ibukota. Selain kontur tanahnya
datar dan subur, juga terdapat mata air bersih yang
mengalir dari sungai Cimanuk. Daerah itu pun dikelilingi
oleh pemandangan yang indah karena berada di antara
lembah gunung Cikuray, Galunggung, Guntur,
Papandayan, dan Karacak.
Sebagai ketua rombongan, Patih Limbangan pun
segera melapor kepada Adipati Adiwijaya.
“Paman Patih, kalau memang tempat itu baik
untuk ibukota Limbangan yang baru, segera saja
perintahkan seluruh rakyat untuk bergotong royong
ngababakan di tempat itu!” ujar Adipati Adiwijaya.
Maka setelah mendapat restu, Paman Patih pun
segera mengerahkan seluruh warga Limbangan untuk
membuka lahan baru di daerah tersebut.
Berbondong-bondong penduduk Limbangan
ngababakan di daerah itu. Bahkan beberapa di
antaranya ada yang ditugaskan secara khusus mencari
kubangan tempat keluarnya mata air.

190
Di hari ketujuh ngababakan, seorang pekerja
melapor kepada Paman Patih bahwa ia menemukan
kubangan tempat keluarnya sumber mata air. Setelah
dicek, benar saja di tempat itu terdapat kubangan yang
airnya berasal dari sebuah mata air. Kubangan tersebut
tertutupi oleh jukut cucukan (tanaman berduri),
sehingga sulit untuk diperiksa. Oleh karena itu, maka
Paman Patih segera memerintahkan kepada beberapa
pekerja untuk ngababad (memangkas) tanaman berduri
tersebut.
Nah, pada saat ngababad, seorang pekerja
kakarut (tergores) tangannya oleh duri tanaman itu.
Hingga tangannya mengeluarkan darah. Pekerjaan
ngababad pun untuk sementara dihentikan. Lalu
Paman Patih segera memeriksa tangan pekerja yang
tergores, karena ia takut tanaman berduri tersebut
beracun. Namun setelah diperiksa, ternyata tanaman
berduri itu tidak beracun. Pekerjaan pun dilanjutkan
kembali.

191
Melihat tangan seorang pekerja berdarah, salah
seorang Belanda utusan dari Batavia segera bertanya:
“Kenapa kamu berdarah?”
Pekerja yang tergores pun segera menjawab
dalam logat bahasa Sunda, “Kakarut ku jukut, Tuan.”
“Apa? Gagarut ku jukut?,” kata orang Belanda itu
sambil mengernyitkan kening. Ia meniru kata kakarut
menjadi gagarut, karena lidahnya kurang fasih
berbahasa Sunda.
Mendengar ucapan Belanda seperti itu, semua
pekerja yang sedang ngababakan menertawakannya.
Semenjak itulah, tanaman berduri yang menggores
pekerja itu, oleh rombongan dinamakan Ki Garut.
Adapun kubangannya dinamakan Cigarut, meniru
ucapan Belanda yang kurang fasih berbahasa Sunda
itu.
Beberapa bulan kemudian, daerah di pinggir
sungai Cimanuk itu pun segera banyak dikunjungi
pengunjung dari daerah lain, baik dengan tujuan
berdagang maupun yang sengaja menjadi pemukim.

192
Apalagi setelah Adipati Adiwijaya secara resmi
memindahkan ibukota Limbangan dari Cumuruh,
daerah itu pun berkembang pesat. Kemudian penduduk
pun menamakan ibukota Limbangan yang baru itu
dengan nama Garut, diambil dari nama tanaman Ki
Garut dan mata air Cigarut pada waktu ngababakan
dulu.
Cetusan nama Garut itu pun disetujui pula oleh
Bupati Adipati Adiwijaya. Bahkan Letnan Gubernur
Raffles di Batavia pun konon merestui ibukota
Limbangan yang baru itu dengan nama Garut.
“Aku restui nama Garut ini untuk ibukota
kabupaten Limbangan yang baru. Semoga membawa
berkah dan kesejahteraan bagi rakyat,” ujar Adipati
Adiwijaya di depan seluruh rakyatnya.
Semenjak itu, kota Garut semakin berkembang
pesat sebagai pusat pemerintahan kabupaten
Limbangan. Pada masa itu, Garut banyak didatangi
oleh para pendatang baik dari wilayah Priangan,
maupun pendatang dari Belanda, Cina, dan Arab.

193
Hingga akhirnya pemerintah kolonial mengganti nama
kabupaten Limbangan menjadi kabupaten Garut hingga
kita kenal sekarang. ***

*) Limbangan kini hanya menjadi nama sebuah kecamatan


di Kabupaten Garut.

194
8. SASAKALA TASIKMALAYA (SUKAPURA)

Tersebutlah sebuah negara yang bernama


Surakerta. Ibukotanya bernama Dayeuh Tengah.
Tanahnya berbukit-bukit kecil, diselingi sawah-sawah,
diapit dua sungai kecil, yaitu Sungai Ciwulan dan
Sungai Cipinaha. Daerah ini sekarang menjadi nama
sebuah desa yang termasuk ke dalam Kecamatan
Salopa, kira-kira 5 km sebelah Timur Kecamatan
Sukaraja.
Pada waktu itu, penguasa Negara Surakerta itu
bernama Sareupeun Cibuniagung. Ia memiliki seorang
puteri tunggal yang bernama Nyai Punyai Agung
(Ageng). Sebagai puteri tunggal, Nyai Punyai Agung
menjadi pewaris tunggal Negara Sukakerta. Nyai
Punyai Agung menikah dengan Entol Wiraha yang
menggantikannya menjadi penguasa Surakerta. Dari
perkawinan tersebut lahirlah Wirawangsa. Wirawangsa

195
berkuasa di Surakerta menggantikan kedudukan
ayahnya sampai pecah pemberontakan Dipati Ukur.
Sewaktu Wirawangsa berkuasa, status negara
berubah menjadi umbul. Waktu itu, umbul Surakerta
berada di wilayah Priangan yang dipegang oleh Dipati
Ukur Wangsanata.
Ketika Dipati Ukur diperintah Sultan Agung untuk
menyerang Batavia bersama-sama tentara Mataram di
bawah pimpinan Tumenggung Bahurekso, Dipati Ukur
membawa sembilan umbul, di antaranya, Umbul
Surakerta, Wirawangsa. Tetapi Dipati Ukur gagal dalam
penyerangan itu karena Tumenggung bahurekso dan
tentaranya tidak datang waktu yang telah ditentukan. Ia
bersama sebagian tentaranya mengundurkan diri ke
Gunung Pongporang yang terletak di bandung Utara
dekat Gunung Bukitunggul. Tindakan ini oleh Mataram
dianggap sebagai pemberontakan karena Dipati Ukur
dikejar-kejar tentara Mataram. Dipati Ukur berpindah-
pindah tempat dari Gunung Pongporang ke Gunung

196
Lumbung di daerah Batulayang, kemudian pindah ke
Kampung Bungbang bawahan Banten.
Pemberontakan Dipati Ukur ini sangat
membahayakan kedudukan Sultan Agung di Mataram,
sebab daerah tempat berlindung Dipati Ukur terletak di
antara Banten dan Batavia yang menjadi musuh
Mataram. Pada waktu itu umbul yang mendukung
pemberontakan Dipati Ukur hanya umbul dari Priangan
Tengah, yaitu Umbul Batulayang, Umbul Saunggatang,
Umbul taraju, Umbul Kahuripan, Umbul Madang
Sasigar, Umbul Mananggel, dan Umbul Sagala Herang.
Sementara umbul dari Priangan Timur tidak setuju akan
pemberontakan tersebut seperti Umbul Sukakerta Ki
Wirawangsa, Umbul Cihaurbeuti Ki Astamanggala,
Umbul Sindangkasih Ki Somahita, dan Umbul Distrik
Indihiang di Galunggung Ki Wangsarana.
Karena tindakan Dipati Ukur itu dianggap
membahayakan, Sultan Agung memerintahkan untuk
menangkapnya hidup atau mati dengan suatu
perjanjian, bahwa barangsiapa yang berhasil

197
menangkap Dipati Ukur akan diberi anugerah. Pada
waktu itu yang menjadi bupati wedana di Priangan
sebagai pengganti Dipati Ukur adalah Pangeran
Rangga Gede, dan diminta untuk menangkap Dipati
Ukur, tetapi tidak berhasil karena dia meninggal pada
waktu menjalankan perintah itu.
Dipati Ukur tertangkap di daerah Cengkareng
sekarang oleh tiga umbul Priangan Timur, kemudian
dibawa ke Mataram, dan oleh Sultan Agung dijatuhi
hukuman mati. Ketiga umbul yang ikut menangkap
Dipati Ukur adalah Umbul Surakerta Ki Wirawangsa,
Umbul Cihaurbeuti Ki Astamanggala, dan Umbul
Sindangkasih Ki Somahita. Ketiga umbul tersebut juga
menangkap delapan umbul lainnya yang biluk (setia)
kepada Dipati Ukur. Atas jasanya, ketiga umbul
tersebut diangkat menjadi mantri agung di tempatnya
masing-masing. Ki Wirawangsa diangkat menjadi
mantri agung Sukapura dengan gelar Tumenggung
Wiradadaha, Ki Astamanggala diangkat menjadi mantri
agung Bandung dengan gelar Tumenggung Wiraangun-

198
angun, dan Ki Somahita menjadi mantri agung
Parakanmuncang dengan gelar Tumenggung
Tanubaya.
Setelah diangkat menjadi mantri agung
Sukapura, kota kabupaten pun dipindahkan dari
Dayeuh Tengah di Sukakerta ke Leuwi Loa (wilayah
desa Sukapura) daerah Sukaraja sekarang, terletak di
tepi sungai Ciwulan. Oleh karena perpindahan ibukota
pindah ke Sukapura, nama kabupaten pun disebut
Kabupaten Sukapura. Perubahan nama Leuwi Loa
menjadi Sukapura berdasarkan alasan karena di Leuwi
Loa didirikan pura yang bermakna „kraton‟ dan suka
bermakna „asal‟ atau „tiang‟. Jadi, sukapura bermakna
jejernya karaton karena di tempat inilah berdirinya
bupati Sukapura yang pertama.
Raden Tumenggung Wiradadaha (Wiradadaha I)
yangberjasa mendirikan Kabupaten Sukapura wafat,
dan dimakamkan di Pasir Baganjing. Oleh karena itu,
Wiradadaha I terkenal dengan sebutan Dalem
Baganjing.

199
Pengganti Wiradadaha I adalah putranya yang
ketiga yang bernama Raden Jayamanggala dengan
gelar raden Tumenggung Wiradadaha II. Namun,
Wiradadaha II tidak lama berkuasa karena pada tahun
pengangkatannya sebagai tumenggung meninggal
dunia karena dihukum mati. Keluarganya hanya
mendapatkan tambela yang berisi mayat Wiradadaha II.
Oleh karenaitu, Wiradadaha II terkenal dengan julukan
Dalem Tambela.
Setelah meninggal dunia, Raden Wiradadaha II
digantikan oleh adiknya yang bernama Raden
Anggadipa I, putra keempat Wiradadaha I. Setelah
menjadi bupati, Raden Anggadipa bergelar Raden
Tumenggung Wiradadaha III. Dia terkenal sebagai
bupati Sukapura terkaya dan memiliki anak sebanyak
62 orang, sehingga ia lebih dikenal dengan Dalem
Sawidak.
Setelah meninggal dunia, Wiradadaha III
digantikan oleh anaknya Raden Subangmanggala
dengan gelar Raden Tumenggung Wiradadaha IV.

200
Raden Wiradadaha IV meninggal dunia dan
dimakamkan di Pamijahan dekat gurunya Syeh Abdul
Muhyi dan dikenal dengan sebutan Dalem Pamijahan.
Raden Wiradadaha IV digantikan oleh anak
angkatnya yang bernama Raden Secapati. Raden
Secapati adalah cucu Dalem Tamela. Setelah diangkat
menjadi bupati, dia menggunakan nama Raden
Tumenggung Wiradadaha V, tetapi lebih dikenal
dengan sebutan Dalem Tumenggung Secapati.
Setelah wafat, Wiradadaha V digantikan oleh
putranya yang bernama raden Jayangadireja dengan
gelar Raden Tumenggung Wiradadaha VI. Ia menikahi
putri bupati Parakanmuncang. Karena sering bertolak
belakang dengan pemerintah Kolonial, Wiradadaha VI
mengundurkan diri, dan digantikan oleh anaknya Raden
Jayamanggala II dengan gelar Raden Tumenggung
Wiradadaha VII. Ia juga disebut Raden Adipati
Wiratanubaya. Setelah wafat, ia dimakamkan di
Pasirtando, sehingga terkenal dengans ebutan Dalem
Pasirtando.

201
Pengganti Wiradadaha VII adalah putranya yang
kelima Raden demang Anggadipa dengan gelar Raden
Tumenggung Wiradadaha VIII. Ia terkenal dengan
sebutanh Dalem Sepuh. Ketika ia menolak menanam
nila, Wiraradaha VIII dipecat, Sukapura dialihkan ke
Kabupaten Limbangan.
Kabupaten Sukapura didirikan kembaliu dengan
bupatinya turunan bupati Sumedang, yakni raden
Tumenggung Surialaga, yang lebih dikenal dengan
sebutan Dalem Talun. Dua tahun kemudian, Dalem
Talun mengundurkan diri, kabupaten Sukapura
diserahkan kembali ke bupati Limbangan. Namun,
selanjutkan dikembalikan lagi ke Wiradadaha VIII dari
bupati Limbangan, kecuali daerah Suci dan
Panembong.
Pada masa kekuasaan Widadaha VIII, Sukapura
memiliki wilayah yang sangat luas. Wilayahnya meliputi
sebagian dari Sumedang: Malangbong, Ciawi,
Indihiang, Singaparna, dan Tasikmalaya; sebagian dari
Galuh: Pasirpanjang, Banjar, Kawasen, Parigi, Cijulang,

202
Mandala, Cikembulan, dan Kalipucang. Wilayah
Sukapura asalnya hanya distrik Mangunreja,
Panyeredan, Taraju, Sukaraja, Parung, Karang,
Cikajang, batuwangi, Nagara (Pameungpeuk), tanah
yang luas ini disebut Tanah Galunggung.
Karena terlalu luas, Kabupaten Sukapura dibagi
lagi menjadi tiga bagian, yakni afdeeling Sukapura
Kolot, Sukapura, dan Tasikmalaya. Sukapura Kolot
dengan ibukota Mangunreja meliputi dua afdeling, yakni
afdeeling Mangunreja (Panyeredan, Karang, Sukaraja,
Taraju, Parung), dan afdeeling Cikajang (Batuwangi,
Kandangwesi, Nagara, dan Selacau). Sukapura
meliputi dua kontrol afdeeling, yakni afdeeling
Manonjaya (Pasirpanjang, banjar, Kawasen) dan
afdeeling Parigi (Parigi, Cijulang, Mandala, Cikembulan,
dan Kalipucang). Afdeeling Tasikmalaya dengan
ibukota Tasikmalaya mencakup Ciawi, Indihiang, dan
Malangbong.
Setelah memiliki wilayah yang luas, ibukota
Sukapura di Sukaraja dipindahkan ke Manonjaya. Pada

203
waktu itu, Wiradadaha VIII wafat dan dimakamkan di
Tanjung Malaya. Kemudian digantikan oleh adiknya
R.T. Danuningrat dengan gelar R.T. Wiradadaha IX,
yang membangun Kota Manonjaya. Setelah wafat,
Danuningrat digantikan oleh Raden Rangga
Wiradimanggala dengan gelar R.T. Wiratanubaya,
bupati Sukapura X.
Setelah wafat, R.T. Wiratanubaya lebih dikenal
dengan sebutan Dalem Sumeren. Karena tidak punya
anak, Wiratanubaya digantikan oleh Raden Rangga
Tanuwangsa dengan gelar raden Wiraadegdaha (bupati
Sukapura XI). Kemudian mendapat gelar adipati
sehingga namanya menjadi raden Adipati
Wiraadegdaha.
Setelah diturunkan dari jabatannya, R.A.
Wiraadegdaha pindahke Bogor dan terkenal dengan
sebutan Dalem Bogor. Jabatannya digantikan adiknya
Raden demang danukusumah, patih Manonjaya.
Setelah menjadi bupati, namanya menjadi R.T.
Wirahadiningrat, bupati Sukapura XII. Dia pernah diberi

204
gelar adipati, mendapat payung kuning, dan Bintang
Oranye Nassau, sehingga mendapat sebutan Dalem
Bintang.
Dalem Bintang wafat. Penggantinya adalah
Raden Rangga Wiratanuwangsa, putrana Dalem Bogor.
Setelah menjadi bupati, diganti namanya menjadi R.T.
Wiraadiningrat, bupatui Sukapura XIII. Pada masa ini,
ibukota Sukapura dipindahkan dari manonjaya ke
Tasikmalaya. Dia bupati pertama yang mendapat gelar
aria, sehingga terkenal dengan sebutan Dalem Aria.
Setelah wilayah afdeeling Mangunreja menjadi
bawahan Sukapura, dan afdeeling Cikajang menjadi
bawahan Kabupaten Limbangan, sedangkan Distrik
Malangbong dibagi dua, yakni sebagian menjadi
bawahan Limbangdan dan sebagian menjadi bawahan
Sumedang. Sejak itulah kabupaten Sukapura berubah
nama menjadi Tasikmalaya.
Pada awalnya daerah yang disebut Sukapura itu
bernama Tawang atau Galunggung. Sering juga
disebut Tawang-Galunggung. Tawang berarti „sawah‟

205
atau „tempat yang luas terbuka‟. Penyebutan
Tasikmalaya menuncul setelah Gunung Galunggung
meletus sehingga wilayah Sukapura berubah menjadi
Tasik „danau, laut‟ dan malaya dari (ma)layah
bermakna „ngalayah‟ atau „deretan pegunungan di
pantai Malabar (India)‟. Tasikmalaya mengandung arti
„keusik ngalayah‟, maksudnya banyak pasir di mana-
mana.

206
C. SASAKALA WILAYAH PURWASUKA

1. SASAKALA PURWAKARTA

Pada masa Dalem Santri menjadi bupati


Karawang, ia memindahkan ibukota kabupaten ke
daerah Wanayasa, karena pada masa itu sering dilanda
banjir. Ia menjadi bupati Karawang berkedudukan di
Wanayasa sampai akhirnya diganti oleh adiknya yang
bernama Raden Aria Suryawinata atau lebih dikenal
dengan nama Dalem Solawat.
Pada masa kepemimpinan Dalem Solawat,
ibukota kabupaten Karawang dipindahkeun lagi dari
Wanayasa ke daerah Lebak. Lebak berarti dataran
rendah, karena memang wilayah Wanayasa berada
lebih tinggi dari wilayah Lebak.
Pemindahan ibukota ini diawali dari tabir mimpi,
bahwa Dalem Solawat harus memindahkan ibukota ke
daerah Lebak dengan ciri-ciri di daerah tersebut harus

207
ada kubangan air tempat mandi badak putih yang di
tepiannya tumbuh 3 buah pohon tanjung.
Sebelumnya, dalam pencarian daerah Lebak,
Dalem Solawat memerintahkan pada salah seorang
cutak (wedana) bawahannya. Pencarian dimulai pada
hari Senin. Berhari-hari wedana tersebut mencari
kubangan tempat mandi badak putih yang di tepiannya
ditumbuhi pohon tanjung.
Setelah sekian lama mencari, akhirnya wedana
itu pun menemukan sebuah kubangan tempat mandi
badak putih. Segera saja ia pun menghadap Raden
Aria Suryawinata di Wanayasa.
“Ampun Kanjeng, hamba telah menemukan
daerah yang dimaksud dalam mimpi itu,” kata wedana
ketika menghadap Kanjeng Dalem di pendopo.
“Benarkah Paman Wedana tempat itu telah
engkau temukan?”
“Benar, Kanjeng. Alangkah baiknya apabila
Kanjeng sendiri melihatnya.”

208
Setelah mendapat laporan, lalu Kanjeng Dalem
pun menuju tempat yang diceritakan oleh wadana tadi.
Sampailah ke tempat kubangan, bahagia pula hati
Kanjeng Dalem. Setelah melihat daerah tersebut,
ternyata keadaannya sesuai dengan impian. Di daerah
tersebut terdapat sebuah kubangan yang biasa dipakai
mandi badak putih dan di tepiannya tumbuh 3 buah
pohon tanjung.
Beberapa hari kemudian, Kanjeng Dalem pun
segera memerintahkan seluruh rakyatnya untuk
bergotong royong ngababakan (membuka lahan baru)
di sekitar kubangan. Tidak memerlukan waktu lama,
tempat itu pun segera berubah menjadi lahan baru
yang nampaknya sangat baik untuk dijadikan
pemukiman.
Dengan disaksikan seluruh rakyatnya, Kanjeng
Dalem pun menamakan daerah itu Sindangkasih, yang
berarti berhenti di tempat yang sangat dicintai.
“Aku namakan kampung ini Sindangkasih!”
ujarnya dengan lantang.

209
Setelah di daerah Sindangkasih banyak
penduduk yang bermukim, akhirnya ibukota kabupaten
pun dipindahkan dari Wanayasa ke Sindangkasih.
Semenjak itulah, daerah Sindangkasih semakin ramai
dikunjungi orang. Ada yang hanya berdagang, adapula
yang memang berniat bermukim.
Demikian karena tanah di daerah Sindangkasih
sangatlah subur. Kubangan tempat mandi badak putih
itu pun ternyata hulu cai (sumber air), yang tidak pernah
kering. Seluruh areal pesawahan dan perkebunan
daerah Sindangkasih pun pengairannya berasal dari
kubangan tersebut.
Semakin hari, daerah Sindangkasih semakin
ramai dikunjungi pendatang. Masyarakat hidupnya tidak
kurang sandang pangan. Kanjeng Dalem pun
berbahagia melihat jerih payahnya selama ini
membangun kabupaten. Namun sayang sekali
kebahagian Kanjeng Dalem dan masyarakat
Sindangkasih tidak berlanjut, ketika tiba-tiba banyak

210
penduduk yang dirampok dan banyak pencurian di
mana-mana.
Masyarakat mulai goyah dan takut. Namun
karena kesigapan Kanjeng Dalem, banyaknya
perampokan dan pencurian itu dapat direda setelah
kelompok penjahatnya tertangkap.
Ternyata kelompok pencuri tersebut bukan
penduduk asli Sindangkasih. Mereka merupakan
penduduk pendatang dari daerah lain. Daerah
Sindangkasih pun kembali aman, tentram, dan
masyarakatnya sejahtera. Terlebih Kanjeng Dalem
memerintah dengan adil dan bijaksana. Bahkan
kehidupan seluruh penduduk semakin sejahtera dari
sebelumnya.
Daerah Sindangkasih semakin pesat
perkembangannya. Semenjak itu pula, daerah
Sindangkasih oleh Kanjeng dalem diganti namanya
menjadi Purwakarta.

211
“Semenjak hari ini, aku ganti nama kampung ini
menjadi Purwakarta,” ujar Kanjeng Dalem di hadapan
seluruh rakyatnya.
Dalam bahasa setempat, kata purwa artinya
awal atau asal mula, sedangkan karta berarti aman dan
sejahtera. Nama Purwakarta itulah yang dikenal hingga
sekarang. ***

212
2. SASAKALA PAMANUKAN

Pada masa kerajaan Sunda, di pesisir pantai


utara, terdapat sebuah kerajaan kecil yang subur dan
makmur. Seluruh rakyatnya cukup sandang pangan.
Kerajaan tersebut bernama Pilangsari. Hampir seluruh
penduduknya bekerja sebagai pamayang (nelayan),
namun ada juga yang tatanen (bertani).
Raja Pilangsari terkenal bijak, adil, dan
berwibawa. Seluruh penduduk sangat menghormatinya,
sehingga tidak pernah terjadi pemberontakan. Ia
memiliki seorang putri yang sangat cantik jelita.
Namanya Milangsari. Banyak raja dan kstaria dari
kerajaan lain yang melamarnya. Namun Milangsari
belum berniat menikah, sehingga semua lamaran
ditolaknya.
Semakin lama semakin banyak raja dan kstaria
yang melamar Milangsari. Mulai dari kerajaan Dompo,

213
Malayu, Cirebon, Sumedanglarang, sampai kerajaan-
kerajaan kecil dari Jawa.
Dengan keadaan itu, raja menjadi bingung. Di
satu sisi, ia sangat bangga akan kecantikan anaknya, di
sisi yang lain ia merasa khawatir kerajaannya akan
diperangi oleh raja atau ksatria yang lamarannya ditolak
oleh putrinya. Hingga akhirnya ia pun memanggil patih
dan anaknya Milangsari.
“Paman Patih, kenapa kejadiannya menjadi
seperti sekarang. Aku malu pada raja dan kstaria yang
ditolak lamarannya oleh putriku. Apa yang dapat aku
lakukan dengan keadaan ini?”
“Gusti Prabu, bagaimana kalau dalam
menentukan calon menantu diadakan pasanggiri
(sayembara) saja.”
“Maksud paman?”
“Kita adakan saja semacam pasanggiri adu
kicauan burung. Kalau di antara mereka ada yang
memiliki burung dengan kicauan bagus, maka berhak
menjadi pemenang dan mengawini putri Milangsari.”

214
“Kenapa tidak pasanggiri adu kesaktian,
Paman?”
“Menurut Paman, pasanggiri adu kicauan burung
akan lebih baik ketimbang adu kesaktian. Adu kicauan
burung tidak akan terjadi perkelahian yang dapat
merugikan secara fisik.
“Bagus ide tersebut, Paman. Nah, sekarang aku
bertanya padamu, Nyai. Bagaimana menurutmu?” kata
raja sambil melirik Milangsari yang sedang tertunduk.
“Ampun rama, saya akan mengikuti saja
pendapat Paman Patih. Bagaimana baiknya saja,”
jawab Milangsari.
“Kalau keputusannya seperti itu, sekarang aku
tugaskan kepada paman patih untuk segera membuat
pengumuman ke seluruh pelosok kerajaan, bahwa akan
diadakan pasanggiri adu kicauan burung. Bagi siapa
saja yang membawa burung dan kicauannya bagus,
akan menjadi suami Milangsari.”
Beberpa bulan setelah pengumuman diedarkan,
di alun-alun Pilangsari telah sesak dipenuhi peserta

215
pasanggiri adu kicauan burung. Penonton pun
berjejalan memenuhi alun-alun. Berbagai jenis burung
dibawa peserta untuk diadu dalam ajang pasanggiri.
Sebagaimana telah ditentukan sebelumnya, Raja dan
Milangsari akan memilih burung yang bersuara bagus.
Sesuai jadwal, akhirnya raja dan putri Milangsari
keluar dari keraton menuju alun-alun. Setelah itu
mereka langsung memilih burung yang bersuara bagus.
Agak lama raja dan putri memilih burung-burung
tersebut. Selain jumlahnya yang banyak, seluruh
peserta pun membawa burung yang bagus-bagus.
Milangsari dan ayahnya terus memilih burung-
burung yang akan dijadikan pemenang. Peserta banyak
yang gundah, bercampur antara rasa takut tidak terpilih
dengan perasaan bahagia apabila nanti burungnya
terpilih oleh putri.
Pemilihan burung pun telah selesai. Kemudian
putri Milangsari naik ke babancong (podium) yang
letaknya di sebelah selatan alun-alun. Semua peserta
harap-harap cemas. Penonton pun ikut larut dalam

216
kecemasan dan kebahagian karena akan segera
mendengar keputusan putri Milangsari.
Sungguh di luar dugaan, putri Milangsari
memutuskan bahwa dari sekian banyak burung yang
dipasanggirikan, tidak ada yang terpilih. Semuanya
dinyatakan jelek. Kontan saja peserta pasanggiri yang
kebanyakan raja dan kstaria pilih tanding merasa
dihina. Mereka akhirnya mengamuk di alun-alun.
Keraton Pilangsari dirobohkan, rajanya disandera. Patih
dan para prajuritnya dipenjarakan. Adapun putri
Milangsari segera dibawa oleh peserta, disedekeun ke
arah kaputren.
Bagaimana nasib putri Milangsari? Lalu menikah
dengan siapa dan kapan? Tidak ada yang
mengetahuinya. Semua hanyalah misteri.
Jelasnya, sejak diadakan pasanggiri burung itu,
alun-alun Pilangsari dan sekitarnya dinamakan
Pamanukan, yang artinya tempat yang banyak manuk
(burung). Adapun tempat nyedekkeun putri Milangsari
disebut Kampung Padek. Sedangkan istana dan

217
kaputren kerajaan Pilangsari yang hancur, sekarang
hanyalah menjadi sebuah kampung kecil bernama
Pilangsari di wilayah kabupaten Subang. ***

218
3. SASAKALA SAGALAHERANG

Jaman dahulu, seluruh tatar Sunda berada di


bawah kekuasaan kerajaan Pajajaran yang dipimpin
oleh seorang raja bergelar Prabu Siliwangi. Wilayah
kekuasaannya sangat luas, mencakup hampir seluruh
pulau Jawa. Setelah kerajaan Pajajaran runtuh,
keturunan Prabu Siliwangi pun menyebar ke seluruh
tatar Sunda.
Dalem Ciburang, Cianjur, adalah salah seorang
keturunan Prabu Siliwangi yang keenam. Namun berbeda
dengan Prabu Siliwangi yang adil dan bijak, ia terkenal galak
dan bengis. Terutama terhadap rakyat yang tidak memeluk
kepercayaan yang sama dengannya. Oleh rakyatnya, ia pun
dijuluki Dalem Pandita Bengis.
Pada suatu ketika, ke daerah Ciburang menyebar
kepercayaan baru, yakni agama Islam. Banyak
rakyatnya yang memeluk agama Islam. Ketika Dalem
mengetahuinya, ia sangat berang. Rakyat yang
memeluk Islam akan segera dibunuh oleh prajuritnya

219
yang kejam. Bahkan Raden Aria, putranya sendiri,
dilarang keluar dari kadaleman karena takut terpengaruh
oleh agama Islam.
Raden Aria sangat dimanja. Ia satu-satunya
penerus tahta Dalem Ciburang. Untuk mendidik
anaknya, Dalem Ciburang mendatangkan beberapa
orang guru dari berbagai disiplin ilmu. Mulai dari guru
seni, beladiri, sampai guru dalam ilmu politik.
Namun meski dimanja, Raden Aria tetap tidak
merasa betah dengan kemewahan kadaleman. Akhirnya
ia pun secara sembunyi-sembunyi keluar dari
kadaleman. Bahkan banyak teman-teman sebayanya
mengajaknya belajar ngaji dan ilmu keislaman. Hal itu
terus berlanjut, sampai akhirnya Raden Aria sangat
paham dan memeluk agama Islam.
Pada suatu hari, Dalem Ciburang memanggil
Raden Aria. Lalu diberi petunjuk tentang agama leluhur
yang dipeluknya. Namun Raden Aria selalu membantah
dan meluruskan petunjuk dari Dalem Ciburang, ayahnya
sendiri, dengan ajaran-ajaran keislaman. Tentu saja

220
Dalem sangat marah dan kaget mengetahui anaknya
telah masuk Islam. Sesaat Dalem hanya membisu,
matanya tak berkedip, melihat Raden Aria yang tenang
sambil tersenyum tipis duduk di hadapannya.
Melihat anaknya demikian, muncul sikap bengis
dalam diri Dalem Ciburang. Lalu ia segera menyabut
pedangnya. Namun ketika akan ditebaskan pada leher
Raden Aria, pedang tersebut mendadak terjatuh dan
patah.
“Lahaola wala kuwwata illa billah,” kata Raden
Aria lirih.
Beberapa saat keduanya terdiam. Lalu Dalem
Ciburang pun mengusir Raden Aria dari kadaleman.
“Aria, putraku, ternyata engkau telah berani
membantahku. Mulai saat ini, aku perintahkan engkau
untuk keluar dari kadaleman. Cadu aku akan
menyerahkan kadaleman ini padamu,” kata Dalem
Ciburang sambil menunjuk pada Raden Aria.
Sedikit pun Raden Aria tidak menyesali
perbuatannya tersebut. Lalu ia pun pergi dari

221
kadaleman. Raden Aria berjalan ke arah timur dengan
tujuan mencari guru untuk belajar lebih dalam tentang
agama Islam. Makin lama berjalannya semakin jauh dari
Ciburang. Selama itu ia hanya makan dedaunan dan
daging hewan buruan. Naik gunung, susur sungai, ia
lewati dengan sabar dan tawakal.
Setelah beberapa bulan, sampailah Raden Aria
ke sebuah telaga yang sangat besar. Telaga tersebut
airnya sangat jernih. Di tepinya tertanam pohon bambu
dan pohon tanjung. Kemudian Raden Aria beristirahat di
tepi telaga tersebut.
Sesaat ia terpaku melihat keindahan sekeliling
telaga. Kemudian ia pun melihat bahwa di tengah-
tengah telaga ada hamparan batu cadas membentuk
nusa (seperti pulau di tengah lautan). Lalu timbul dalam
hati Raden Aria untuk bersemedi di atas batu cadas
tersebut. Raden Aria pun kemudian menyeberangi
telaga.
Setibanya di atas batu cadas, lalu ia duduk
bersila. Dari sana menjuruskan pandangannya ke

222
sekeliling telaga. Pemandagangannya sangat indah.
Raden Aria pun bersemedi di atas hamparan cadas
tersebut.
Setelah genap 40 hari 40 malam bersemedi, lalu
Raden Aria membuka matanya. Ternyata di hadapannya
telah berdiri seorang putri yang sangat cantik jelita.
Raden Aria kaget dan tidak percaya, sebab telaga itu
berada di tengah hutan belantara.
"Mungkin aku hanya mimpi,” gumamnya.
Setelah itu Raden Aria berbicara dengan
tenang.
“Hai, putri! Engkau manusia atau mahluk jadi-
jadian?”
Putri itu pun menjawab sambil tersenyum
simpul.
"Semoga Raden tidak marah. Sebenarnya aku
tiap pagi selalu memeriksa telaga dan melihatmu
tenang bersemedi di sini. Kalau Raden ingin tahu, aku
ini penguasa telaga ini. Nama hamba Endang
Kusumah. Hamba adalah putri jin.”

223
Raden Aria mendengarkan jawaban putri
tersebut dengan seksama. Ia pun berpikir bahwa
selama hidupnya baru melihat putri secantik itu.
Kulitnya kuning langsat, rambutnya hitam panjang
laksana mayang terurai. Akhirnya Raden Aria pun
jatuh cinta pada putri jin tersebut.
Sesaat setelah berpikir jatuh cinta pada sang
putri, tiba-tiba alam menjadi gelap gulita. Ketika terang
kembali, kedaan sekitar telaga telah berubah. Telaga
yang luas berubah menjadi sebuah kadaleman yang
ramai. Banyak orang berlalu lalang. Lebih aneh, setiap
orang yang lewat ke hadapan Raden Aria selalu
menundukkan kepala tanda hormat.
Lalu Raden Aria melihat ke arah utara, ternyata
da sebuah istana. Pintu gerbangnya dijaga oleh dua
orang perajurit yang gagah, memegang tombak dan
panah. Namun aneh, ketika Raden Aria menatapnya,
kedua perajurit itu serempak menundukkan kepala
tanda hormat.

224
“Jangan kaget. Ini istanaku,” kata putri Endang
Kusumah sambil memegang tangan Raden Aria.
“Ayo masuk Kakang!”
Raden Aria masuk ke dalam keraton sambil
digandeng oleh Nyi Putri. Raden Aria berjalannya
sering berhenti-henti karena tercengang-cengang
melihat keindahan dalam keraton. Ruangan tempat
menerimatamu serba bersih dan mengkilat, tiap
kamar ditunggui oleh emban-emban yang cantik.
Kemudian Raden Aria dibawa oleh Nyi Putri ke
ruangan kaputren, di sebelahnya terdapat kolam yang
airnya sangat jernih. Tidak jauh dari sana ada
ruangan yang luas dihampari permadani berwarna
merah. Di sana pun tersedia makanan yang lezat.
Mulailah Raden Aria dan Nyi Putri bersantap.
Tidak lama datanglah Raja Jin, ayahanda Nyi Putri.
Kemudian berkata, "Syukurlah, kalian sudah ada di
sini. Aku sangat bergembira akan mempunyai
menantu yang berilmu tinngi dari golongan manusia.

225
Aku di sini perlu guru ngaji untuk mengajarkan santri-
santri dari bangsa Jin."
Tiga hari kemudian, pesta pernikahan antara
Raden Aria dengan Nyi Putri Endang Kusumah pun
dilangsungkan. Sangat meriah sekali. Seluruh bangsa
Jin menghadiri acara pernikahan tersebut.
Bertahun-tahun Raden Aria mengajar ngaji di
kerajaan Jin. Sudah banyak Jin yang masuk Islam dan
mengaku guru kepadanya. Hingga pada suatu sore,
Raden Aria berjalan-jalan di taman bersama dengan
istrinya Putri Endang Kusumah.
"Kakang, perasaanku berbeda. Terkadang tidak
ada nafsu makan, badan terasa lesu. Kalau siang hari,
ingin rasanya makan yang masam-masam.”
"Wah, itu bukan sakit Dinda. Itu tanda bahwa
Dinda sedang mengandung.”
Hari berganti hari, bulan pun berganti bulan.
Genap sembilan bulan, akhirnya Putri Endang Kusumah
pun melahirkan bayi kembar. Keduanya lucu dan mungil.
Yang sulung perempuan diberi nama Raden Ajeng

226
Endang Sukaesih atau disebut juga Endang Kencana,
sedangkan yang bungsu laki-laki diberi nama Raden Aria
Suryakancana.
Kedua anaknya sangat dimanja. Semakin hari
mereka tumbuh besar. Namun keduanya berbeda
dengan anak-anak jin yang lain. Mereka sangat liwar
(nakal), sehingga sering membuat Putri Endang
Kusumah kewalahan dalam mengasuhnya. Namun
keduanya sangat cerdas. Segala macam ilmu yang
diajarkan akan paham dalam waktu singkat.
Setelah kedua anak tersebut besar, lalu pada
suatu hari Putri Endang Kusumah berbicara pada Raden
Aria.
"Kakang, kedua anak kita sekarang sudah besar.
Saatnya mereka harus berkelana ke luar istana untuk
mencari ilmu kesaktian dan keagamaan."
"Ya, lebih baik begitu. Biar kedunya belajar hidup
merakyat,” jawab Raden Aria.
Beberapa hari kemudian, kedua anak Raden Aria
tersebut disuruh untuk berkelana. Mula-mula Raden

227
Endang Sukaesih menuju ke Gunung Ciremai,
sedangkan Raden Aria Suryakancana menuju ke
Gunung Gede.
Istana kerajaan jin pun terasa sepi semenjak
kepergian keduanya. Raden Aria setiap hari selalu
menyepi dan kadang tidak mau diajak makan. Melihat
keadaan tersebut, Putri Endang Kusumah mulai
mengerti kejiwaan yang sedang dihadapi suaminya.
“Kakang, nampaknya sudah saatnya Kakang
kembali ke alam manusia seperti semula,” kata Endang
Kusumah pada suatu hari.
“Lho, kenapa Dinda bicara seperti itu?”
“Kakang, aku mengerti akan perasaanmu. Selain
merindukan anak-anak, Kakang pun tentu sangat
merindukan kehidupan di alam manusia.”
“Syukurlah kalau mengerti keadaan Kakang, Nyai.
Kalau begitu, apa yang harus Kakang lakukan sekarang.”
“Kakang akan kukirim kembali ke alam manusia.
Nanti Kakang akan menemukan seorang putri yang
sangat cantik. Ia bangsa manusia. Nikahilah ia, kelak

228
Kakang akan mendapat keturunan pula dari putri
tersebut. Kakang, akan kubuatkan keraton pula untukmu
di alam manusia.”
Raden Aria hanya terdiam. Ia lalu memegang
tangan istrinya. Sejurus kemudian, Raden Aria
memejamkan mata sambil merangkul erat istrinya. Ketika
membuka mata, ternyata ia sedang menelungkup di atas
batu cadas. Lalu Raden Aria pun tersadar dan
mengucapkan istigfar beberapa kali sambil mengusap
muka. Kemudian Raden Aria membaca ayat kursi
sebanyak 7 kali.
Setelah itu, Raden Aria mengambil batu cadas
sebesar buah kelapa. Lalu dilemparkannyalah batu
cadas tersebut ke tengah telaga. Bersamaan dengan
jatuhnya batu cadas ke air telaga, tiba-tiba telaga
tersebut berubah menjadi sebuah perkampungan yang
ramai. Raden Aria segera menjuruskan pandangannya
ke sekeliling perkampungan tersebut.
Dari jauh kelihatan ada seorang putri cantik
berjalan menghampirinya. Setelah sampai ke hadapan

229
Raden Aria, lalu putri tersebut berbicara dengan
lembut.
"Mari Kakang, kita pulang ke Sagalaherang.
Rakyat sudah lama menunggu lama kedatanganmu."
Raden Aria pun segera mengikuti putri tersebut
ke sebuah kadaleman. Kadaleman itu ternyata bernama
Sagalaherang. Di dalam pendopo, ternyata sudah
banyak orang menunggunya. Segala alat musik ditabuh.
Makanan yang lezat pun tersaji.
Ternyata di pendopo sedang diadakan syukuran
menyambut kedatangan Raden Aria sebagai dalem
baru mereka di kadaleman Sagalaherang. Pada hari itu
pun dilangsungkan pula pernikahan antara Raden Aria
dengan putri yang telah menjemputnya tersebut.
Konon, nama kadaleman Sagalaherang
bermakna talaga nu caina herang (telaga yang airnya
jernih). Merujuk pada telaga yang dipakai bersemedi oleh
Raden Aria sebelum berubah menjadi kadaleman
Sagalaherang. *** (Subang)

230
D. SASAKALA WILAYAH SUKACI

1. SASAKALA SUKABUMI
Pada jaman dahulu, wilayah Priangan Barat
termasuk ke dalam wilayah Kadipatian Pamingkis.
Kadipatian tersebut dipimpin oleh seorang dipati
bernama Rangga Bitung dan istrinya bernama Nyai
Puntung Mayang.
Pada waktu Kerajaan Banten dan Kerajaan
Cirebon menyerbu Kerajaan Pajajaran, wilayah
Pamingkis terkena imbasnya. Pada saat penyerbuan
itu, Bupati Rangga Bitung terbunuh. Sedangkan
istrinya, Nyai Puntung Mayang, yang saat itu dalam
keadaan hamil, berhasil diselamatkan oleh seorang
Jaro (Lurah) yang bernama Loa. Oleh Jaro Loa, Nyai
Puntung Mayang dibawa ke perkampungan di kaki
gunung Sunda, yang letaknya tidak jauh dari Pelabuhan
Ratu.
Dalam perjalanan menuju Gunung Salak, di
daerah Cibadak, Jaro Loa dan Nyai Puntung Mayang

231
menemukan seorang bayi. Bayi tersebut kemudian
dibawa serta dan diberi nama Wangsa Suta.
Sesampainya di Gunung Salak, Nyai Puntung
Mayang melahirkan seorang bayi perempuan dan diberi
nama Pudak Arum, yang ketika beranjak remaja
disebut Nyai Tanduran atau lebih dikenal dengan
sebutan Nyai Pudak Arum Saloyang.
Seiring perjalanan waktu, maka tumbuhlah
Wangsa Suta menjadi seorang pemuda yang gagah
dan tampan. Tingkah lakunya bijak, berkharisma, dan
pembawannya kelihatan lain dibanding dengan pemuda
sebayanya. Ia mencerminkan seorang yang lahir dari
keturunan ménak. Begitu pula Nyai Pudak Arum,
tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik jelita.
Akibat kedunya dibesarkan di tempat yang
sama, maka sejak kecil sampai remaja hubungannya
sangat dekat. Bahkan hubungan kedua remaja tersebut
makin lama makin intim. Melihat gelagat demikian, Jaro
Loa dan Nyai Puntung Mayang berniat mengawinkan
keduanya. Bahkan sebenarnya, sejak kecil pun sudah

232
diniati untuk dijodohkan.
“Nyai, bagaimana kalau mereka kita jodohkan
saja?”
“Setuju, Ki, kelihatannya mereka saling
mencintai.”
Maka, suatu ketika, Jaro Loa pun menyampaikan
niatnya kepada Wangsa Suta tentang rencana
penikahan tersebut. Kontan saja Wangsa Suta sangat
girang mendengar rencana ayah angkatnya itu. Namun
karena Wangsa Suta memiliki jiwa kesatria, terlebih
dahulu ia mengajukan syarat bahwa sebelum resepsi
pernikahan dilangsungkan, ia terlebih dahulu akan
berkelana untuk menimba ilmu keagamaan dan
kesaktian sebagai bekal dalam hidup berumah-
tangganya kelak. Karena Jaro Loa mengetahui watak
anak angkatnya yang keras dan teguh pendirian,
akhirnya ia mengizinkan ajuan sarat dari Wangsa Suta
tersebut.
Setelah mendapat persetujuan dan doa restu
dari ayah angkatnya, maka berangkatlah Wangsa Suta

233
untuk berkelana mencari ilmu. Sesuai petunjuk dari
Jaro Loa, Wangsa Suta berangkat menuju padepokan
yang terletak di daerah bernama Kiara Gantung
Kararangge. Sesampainya di padepokan tersebut,
kelak Wangsa Suta berguru kepada seorang resi
berilmu tinggi bernama Saradea. Dari Resi saradea
inilah Wangsa Suta banyak menimba ilmu keagamaan
dan kesaktian yang kelak banyak dipakai untuk
menolong sesama.
Cukup lama Wangsa Suta berguru pada Resi
Suradea. Setelah semua ilmu Resi Suradea diturunkan,
Wangsa Suta pun diperintahkan untuk mencari pohon
pakujajar bercabang lima yang tumbuh di gunung
Parang. Letaknya sebelah barat Gunung Sanghyang
Purwa yang kontur tanahnya miring ke sebelah selatan.
Tanah lamping ini ditumbuhi pohon kole yang daunya
hijau dan bunganya berwarna ungu. Di tempat inilah,
Wangsa Suta diperintahkan oleh Resi Suradea untuk
membuat pedukuhan baru dan menyebarkan ilmunya.
Sementara Wangsa Suta membuat pedukuhan

234
baru di Gunung Parang, lain cerita dengan calon
istrinya Nyai Pudak Arum. Setiap hari wajahnya muram.
Ke mana-mana jalan sendiri, tanpa ditemani sang
kekasih Wangsa Suta. Namun meskipun sehari-hari
wajahnya dibalut duka, kecantikannya tetap terkenal ke
mana-mana. Bahkan banyak pemuda dan para
bangsawan dari daerah lain berniat untuk
mempersuntingnya.
Salaseorang demang kaya bernama Sukamukti
misalnya, segera memerintahkan anak buahnya yang
bernama Ki Jaya untuk melamar Nyai Pudak Arum.
Kontan saja lamaran tersebut ditolak, karena Nyai
Pudak Arum setia memilih Wangsa Suta. Mendapat
penolakan tersebut, maka Ki Jaya marah. Bahkan
untuk meloloskan niat tuannya tersebut, Ki Jaya berniat
menggunakan jalan kekerasan dengan cara menculik
Nyai Pudak Arum.
Rencana penculikan pun berjalan lancar. Nyai
Pudak Arum berhasil diculik dan dibawa oleh Ki Jaya ke
hadapan Demang Sukamukti. Namun keberuntungan

235
berpihak pada Nyai Pudak Arum. Sesampainya Nyai
Pudak Arum ke hadapan Demang Sukamukti, sang
Demang mendadak meninggal dunia. Akhirnya Ki Jaya
pun mengembalikan Nyai Pudak Arum ke tempat
tinggalnya semula di kaki Gunung Sunda, yang terletak
di Pelabuhan Ratu.
Cerita belum usai. Berita kecantikan Nyai Pudak
Arum sampai pula ke telinga para saudagar kaya.
Tersebutlah saudagar kaya raya bernama Ki Puru Satra
dari daerah Padabeunghar. Saudagar tersebut memilki
watak keras kepala, sombong, dan tidak sabaran. Ia
pun berniat ingin segera mempersunting Nyai Pudak
Arum dengan cara jalan pintas, yakni menculiknya. Ki
Puru Satra pun segera memerintahkan kepada anak
buahnya untuk menculik Nyai Pudak Arum.
“Barja, bawa semua anak buahmu. Culik Pudak
Arum, lalu bawa ke hadapanku. Kalau berhasil, aku
akan memberimu imbalan yang setimpal!” ujar Ki Puru
Satra pada centengnya yang bernama Barja.
Skenario penculikan pun berjalan lancar. Anak

236
buah Ki Puru satra berhadil menculik Nyai Pudak Arum
tanpa rintangan yang berarti.
Setelah sampai di tempat kediaman Ki Puru
Satra, Nyai Pudak Arum dipaksa untuk menikah.
Akhirnya pernikahan pun dilangsungkan. Namun
keberuntungan masih berpihak kepada Nyai Pudak
Arum. Pada saat malam pengantin, Ki Puru Satra
mendadak meninggal dunia. Kesempatan inilah yang
dimanfaatkan oleh Nyai Pudak Arum untuk meloloskan
diri dari kediaman saudagar kaya raya tersebut.
Akhirnya Nyai Pudak Arum pun dapat kembali
berkumpul dengan keluarganya.
Setelah dua kejadian penculikan menimpanya,
bukan berarti kehidupan Nyai Pudak Arum sudah
tenang. Kini berkembang isu di masyarakat bahwa
dirinya punya ilmu pelet dan kesaktian yang tinggi.
Semakin hari semakin banyak saja laki-laki baik
pemuda biasa maupun bangsawan yang ingin
mempersuntingnya. Namun karena kesetiaannya pada
Wangsa Suta, semua lamaran ditolaknya.

237
Penolakan bukan berarti masalah selesai. Di
antara pelamar itu, kemudian ada seorang demang
bernama Raden Kartala dari daerah Mangkalaya.
Namun penasehatnya melarang untuk mempersunting
Nyai Pudak Arum. Dalam pandangannya, Nyai Pudak
Arum adalah seorang putri yang memilki kesaktian
tinggi dan menyarankan untuk menangkap lalu
membunuhnya.
Raden Kartala pun menuruti nasehat tersebut.
Kemudian memerintahkan anak buahnya untuk
menangkap Nyai Pudak Arum. Skenario pun berjalan
mulus. Anak buah Raden Kartala dapat menangkap
Nyai Pudak Arum dengan mudahnya. Namun ketika
Nyai Pudak Arum akan dibunuh oleh algojo Raden
Kartala, tiba-tiba Wangsa Suta datang untuk
menolongnya. Perkelahian antara Wangsa Suta
dengan anak buah Raden Kartala pun tidak dapat
dielakkan. Sebelumnya, Wangsa Suta menyuruh Nyai
Pudak Arum untuk pergi terlebih dahulu menuju ke
Gunung Parang mencai pedukuhan yang terdapat

238
pakujajar berdahan lima. Namun sayang, rencana
tersebut ternedus oleh anak buah Raden Kartala yang
lainnya, sehingga Nyai Pudak Arum tertangkap di
perjalanan. Kemudian Nyai Pudak Arum dibawa ke
Pulau Putri di kawasan Pulau Seribu.
Sementara Wangsa Suta, setelah berhasil
mengalahkan semua anak buah Raden Kartala, ia
segera menyusul calon istrinya ke Gunung Parang.
Namun ia sangat kecewa dan sedih, karena Nyai
Pudak Arum tidak terdapat di tempat. Maka untuk
mengetahui keberadaan calon istrinya, ia segera
meminta bantuan gurunya Resi Saradea. Dengan ilmu
kebatinan yang dimiliki oleh gurunya, Wangsa Suta
diiberi petunjuk bahwa sampai kapan pun tidak akan
bertemu dengan Nyai Pudak Arum sebelum pedukuhan
di kaki Gunung Parang banyak penduduknya.
“Suta, cucuku, kalau engkau ingin bertemu
kembali dengan calon istrimu, ada syaratnya,” ujar Resi
Saradea.
“Apa syaratnya, guru?”

239
“Engkau harus membuat pedukuhan di kaki
gunung Parang. Nanti setelah pedukuhan tersebut
ramai dikunjungi pendatang, maka engkau pun pasti
akan bertemu dengan calon istrimu.”
Setelah mendapat petunjuk dari gurunya,
kemudian Wangsa Suta pun mulai ngababakan
(membuka lahan baru untuk perkampungan atau
pedukuhan). Kemudian pedukuhan di kaki Gunung
Parang itu pun, semakin hari semakin banyak
penduduknya. Banyak pendatang langsung menetap
dan membangun bumi (rumah) tinggal. Semakin lama
menetap, para penduduk pun semakin betah dan
menyukai pedukuhan yang subur dan banyak mata air
tersebut. Akhirnya daerah tersebut dinamai oleh
masyarakat setempat dengan sebutan suka di bumi,
yang berarti senang tinggal di rumah dan senang
menetap di tanah yang subur. Hal ini karena kata tanah
dalam bahasa Sunda disebut juga dengan istilah atau
kata bumi.
Tiga tahun kemudian, Wangsa Suta pun

240
bertemua kembali dengan Nyai Pudak Arum. Mereka
pun kemudian menikah, lalu hidup bahagia di sebuah
pedukuhan. Mereka sangat menyenangi lingkungan
dan tanah atau tempat tinggal yang didiaminya. Mereka
suka pada bumi. Pendudukan sekitarnya menyebutnya
sukabumi.
Atas penamaan daerah tersebut oleh penduduk,
Wangsa Suta pun merestuinya. Bahkan seiring
perkembangannya, daerah itupun kemudian berubah
namanya menjadi Sukabumi seperti yang kita kenal
hingga sekarang. ***

241
2. SASAKALA CIANJUR

Dahulu kala, di sebuah kampung yang subur


makmur, hiduplah seorang lelaki tua yang sangat kaya
raya. Kampung tersebut termasuk wilayah kekuasaan
kerajaan Pajajaran.
Lelaki tua tersebut memiliki ratusan hektar
sawah dan perkebunan. Semua penduduk kampung
dijadikannya pekerja baik untuk mengolah sawahnya
maupun untuk mengolah perkebunannya. Namun
meski demikian, penduduk kampung tetap saja miskin.
Hal itu dikarenakan lelaki tua tersebut sangat koret
(kikir), sehingga selalu membayar murah pada
pekerjaan yang dikerjakan oleh penduduk kampung.
Hingga oleh seluruh penduduk, lelaki tua itupun dijuluki
Ki Koret. Padahal nama yang sebenarnya ialah Aki
Suhita.
Anehnya, ia kikir bukan saja pada orang lain
tetapi pada keluarganya sendiri. Untunglah sifat kikirnya

242
tersebut tidak menular pada anak lelakinya yang
sulung. Berbeda dengan ayahnya yang kikir, anak
lelakinya sangat baik dan murah hati. Ia sering
membantu tetangga atau penduduk desa yang sedang
kesusahan.
Pada suatu hari, tersiar kabar akan terjadi
bencana dan musim pailit. Tentu saja seluruh penduduk
kampung, termasuk Ki Koret merasa ketakutan.
Menurut ramalan tersebut, bencana dan musim pailit
dapat dilewati dengan cara mengadakan ruwatan
kampung. Dengan syarat itu, penduduk kampung pun
kebingungan, karena untuk mengadakan acara ruwatan
memerlukan biaya tidak sedikit. Namun berkat
kecerdikan anaknya, akhirnya Ki Koret bersedia
memberi biaya untuk mengadakan acara ruwatan.
Itupun dengan terpaksa karena takut terkena bencana.
Semua penduduk kampung senang. Terlebih
mereka semua diundang oleh Ki Koret untuk mengikuti
acara ruwatan di rumahnya. Semula mengira dalam
acara ruwatan itu akan banyak makanan yang

243
disuguhkan. Namun kenyataannya meleset, Ki Koret
hanya menyediakan air putih dan hidangan
alakadarnya saja. Bahkan sebagian undangan banyak
yang tidak kebagian sama sekali. Air putih pun dijatah
satu gelas untuk satu orang. Dengan keadaan itu,
seluruh penduduk desa dan anaknya tidak dapat
berkata apa-apa, mereka semua hanya dapat
mengelus dada.
“Benar-benar rajanya orang kikir!” celoteh
seseorang.
“Pasti Tuhan tidak akan memberikan berkah
pada seluruh harta kekayaannya,” kata yang lain.
“Semoga Tuhan segera menyadarkannya,” kata
penduduk yang lain.
Ketika semua undangan ruwatan sedang
menyantap hidangan yang disuguhkan Ki Koret, tiba-
tiba datang seorang nenek tua meminta sedekah pada
Ki Koret.
“Juragan, pasihan..! Juragan, abdi pasihan…!
(Tuan, berilah…! Tuan, berilah saya…!)

244
“Pasihan naon? Uing mah teu boga nanaon!”
(Mau dikasih apa? Saya tidak punya apa-apa!”
“Saeutik we Juragan, abdi lapar pisan…!”
“Aeh, teu beunang dieuweuh-euweuh. Indit ka
ditu, teu nempo batur keur loba semah.”
Akhirnya nenek tua itupun pergi meninggalkan
rumah Ki Koret sambil mencucurkan air mata.
Melihat kejadian itu, anaknya turut merasa sedih.
Diam-diam dia pun mengambil sedikit hidangan
jatahnya. Lalu diberikan pada nenek tua tersebut. Tentu
saja nenek tua pun sangat berbahagia.
Setelah diberi sedikit hidangan, kemudian nenek
tua itupun pergi menyusuri jalan setapak yang menuju
ke sebuah bukit yang berada di batas kampung.
Sesampainya di puncak bukit, lalu nenek tua itu
berhenti dan menjuruskan pandangannya ke areal
perkampungan. Matanya tertuju tajam pada rumah ki
Koret.
Lalu nenek tua itu menancapkan tongkatnya,
sambil bergumam:

245
“Hey jalma koret, maneh bakal katibanan
hukuman ti Gusti!”
Setelah berkata demikian, lalu nenek tua itu
mencabut kembali tongkatnya. Dari lubang tancapan
itulah kemudian memancar air yang sangat deras.
Makin lama air itu makin membesar membanjiri areal
pesawahan dan ladang. Bahkan akhirnya masuk ke
wilayah perkampungan.
“Banjir…! Banjir….!!!” teriak penduduk kampung
yang panik melihat kedatangan air bah yang tiba-tiba.
Anak Ki Koret segera menganjurkan orang-orang
desa untuk segera meninggalkan perkampungan dan
lari ke atas bukit.
“Cepat tinggalkan kampung ini, cari tempat yang
tinggi!”
“Tapi sawah dan ternak kita bagaimana?”
“Kalian pilih harta atau nyawa?”
Anak Ki Koret yang bijak itu terus berteriak
mengingatkan penduduk. Ia pun tidak lupa membujuk
ayahnya agar segera keluar rumah.

246
”Ayah, cepat tinggalkan rumah ini, kita harus
segera menyelamatkan diri!”
”Apa? Meninggalkan rumah? Baiklah, aku akan
mengumpulkan hartaku terlebih dulu!”
Sementara Ki Koret terus mengumpulkan harta
bendanya, seluruh penduduk kampung telah pergi
menuju bukit tempat keluarnya air dari bekas lubang
tancapan tongkat si nenek tua tadi.
Air bah semakin besar. Akhirnya Ki Koret pun
tenggelam terseret arus air bah. Namun seluruh
penduduk kampung termasuk anaknya Ki Koret
berhasil menyelamatkan diri. Mereka pun sedih melihat
kampungnya tenggelam.
Setelah beberapa hari menunggu di bukit, air
bah pun tak kunjung surut. Perkampungan pun berubah
menjadi telaga yang besar. Kemudian anaknya Ki Koret
bersemedi untuk mendapatkan petunjuk. Dalam
semedinya itu, anaknya Ki Koret mendapatkan wangsit
bahwa harus segera membawa penduduk kampung
mencari areal baru untuk perkampungan.

247
Maka pergilah rombongan anaknya Ki Koret
mencari daerah baru. Setelah menemukan sebuah
daerah yang subur, anaknya Ki Koret pun
memerintahkan rombongannya untuk ngababakan
(membuka lahan baru untuk perkampungan). Di daerah
baru itulah kemudian anaknya Ki Koret diangkat
menjadi pemimpin kampung mereka yang baru.
Anaknya Ki Koret menganjurkan seluruh
penduduk untuk mengolah tanah yang telah dibagi rata.
Ia pun mengajari penduduk tatanen (cara menanam
padi) dan bagaimana mengairi sawah yang baik.
Mengajari pula cara berkebun yang telaten dan
bagaimana memilih bibit unggul. Kemudian ia pun
mengangkat ulu-ulu (petugas pengairan) yang
mengatur jalannya air yang mengairi sawah dan ladang
milik penduduk.
Semakin lama, perkampungan itupun semakin
berkembang. Kemudian oleh seluruh penduduk,
perkampungan itu disebut kampung Anjuran. Anaknya
Ki Koret pun merestui penamaan tersebut.

248
“Aku restui kampung ini dinamakan Anjuran.
Kelak kampung ini akan menjadi penghasil beras
terkenal di tanah Pajajaran,” ujar anaknya Ki Koret di
depan seluruh penduduk kampung.
Konon kata Anjuran berasal dari sikap para
penduduk yang selalu mematuhi anjuran atau perintah
pimpinannnya, yakni anaknya Ki Koret. Wilayah
perkampungan tersebut sangat subur. Penduduknya
sangat ramah dan pandai mengelola sawah.
Lama kelamaan nama Anjuran pun berubah
menjadi Cianjur. Kata Cianjur berasal dari kata c(a)i
yang berarti air, dan anjur yang berarti perintah,
pepatah, atau anjuran pemimpin kampung. Kata ci (air)
sendiri mengingatkan pada peristiwa banjir bandang
yang telah menenggelamkan Ki Koret. Adapun kata
anjur, mengenang anjuran anaknya Ki Koret agar
segera mengungsi dari terjangan banjir pada waktu itu.
Memang secara turun-temurun, apapun perintah,
pepatah, atau anjuran pemimpin kampung dalam hal
bertani selalu dilaksanakan oleh penduduk Cianjur.

249
Buktinya hingga sekarang, hasil bumi dari Cianjur,
terutama berasnya terkenal sangat enak, gurih, dan
wangi. Konon kuncinya mereka sangat teratur dalam
mengairi sawah, yang diatur oleh seorang ulu-ulu
(petugas pengairan). ***

250
E. SASAKALA WILAYAH BODEBEK

1. SASAKALA TALAGA WARNA

Di lembah gunung Megamendung, Bogor,


terdapat sebuah telaga yang terkenal dengan nama
Talaga Warna. Disebut demikian karena airnya selalu
berubah warna, terkadang berwarna jingga, hijau,
merah muda, adakalanya berwarna kekuning-kuningan.
Hal ini bermula dari sebuah kisah masa lalu.
Dahulu kala, di tengah-tengah Talaga Warna
berdiri sebuah istana kerajaan Kutatanggeuhan.
Kutatanggeuhan merupakan kerajaan yang makmur
dan damai. Rakyatnya hidup tenang dan sejahtera
karena dipimpin oleh seorang raja yang bijaksana
bernama Prabu Suwartalaya dan permaisurinya
bernama Ratu Purbamanah.
Namun sayangnya, Prabu dan Ratu belum
dikaruniai juga keturunan sehingga mereka selalu
cemas dan merasa kesepian. Rakyat pun turut bersedih
dan sangat mengkhawatirkan keadaan tersebut.
251
Mereka berpikir kalau Raja tidak juga mempunyai
keturunan, kelak kerajaan takut akan jatuh ke keluarga
raja yang tidak bijak.
Pada suatu ketika, raja pun memutuskan untuk
bersemedi ke gunung Megamendung. Di puncak
gunung itulah kemudian Raja berdoa dan meminta
pertolongan dari Sanghyang Widi. Setelah 7 hari 7
malam Prabu Suwartalaya berdoa, tiba-tiba terdengar
suara gaib.
“Aku tahu engkau ingin memiliki keturunan. Aku
kabulkan keinginanmu itu. Sekarang, kembalilah ke
istana. Rakyat menunggumu!” kata suara gaib tersebut.
Maka Prabu Suwartalaya pun pulang dengan
perasaan senang. Benar saja, beberapa bulan
kemudian, ratu pun mengandung. Semua bersuka cita.
Terlebih lagi ketika sembilan bulan kemudian Ratu
melahirkan seorang putri yang cantik. Putri tersebut
diberi nama Putri Gilang Rukmini. Hingga sang putri
pun tumbuh menjadi perempuan yang cantik jelita. Oleh

252
kedua orang tuanya, sang putri sangat dimanja. Mulai
dari makanan, pakaian, sampai perhiasan.
Akibat terlalu dimanja, lama-kelamaan sang putri
terbiasa memakai pakaian dan perhiasan mewah. Mulai
dari intan berlian sampai emas permata, terpasang
pada tubuh dan pakaiannya. Bahkan sampailah sang
putri tersebut merasa bosan atas model pakaian dan
perhiasan yang ia pakai.
Tiap hari pekerjaannya hanya merias dan
mempercantik pakaian. Ia pun selalu menangis kepada
ayah ibunya untuk sekedar minta disediakan berbagai
pakaian mewah dan perhiasan. Selama itu pula, segala
keinginannya selalu dikabulkan oleh kedua orang
tuanya. Maklumlah anak semata wayang. Apapun yang
diminta oleh putri pasti segera dituruti. Jika tidak, putri
akan marah dan bertindak kasar. Namun rakyat tetap
mencintainya. Mereka berharap suatu hari watak sang
putri akan berubah.
Pada suatu ketika, sang putri menghadap
kepada kedua orang tuanya. Sambil diiringi para

253
emban, ia seperti biasanya sambil membawa perhiasan
dalam bokor kencana.
“Ada apa anakku, engkau menemuiku,” kata
Sang Raja.
“Rama, aku ingin meminta perhiasan lagi.”
“Buat apa anakku, bukankah sudah banyak
perhiasan yang sudah aku berikan untukmu?”
“Rama, aku ingin memiliki banyak berlian.”
“Iya, untuk apa?”
“Untuk mempercantik diri, rama.”
“Ya, sabar. Nanti di hari ulang tahunmu yang ke
17 aku akan berikan hadiah kepadamu.”
Beberapa hari kemudian, putri akan berulang
tahun yang ke-17. Prabu Suwartalaya berniat akan
mengadakan pesta syukuran di istana. Semua rakyat
boleh datang untuk memberikan doa ataupun hadiah
untuk putri Gilang Rukmini.
Karena sangat mencintai raja dan putrinya,
sebelum hari ulang tahun putri tiba, seluruh rakyat
berkumpul dan merencanakan hadiah istimewa untuk

254
sang putri. Maka disepakatilah oleh mereka untuk
menghadiahkan sebuah kalung yang sangat indah.
Kalung itu terbuat dari emas berlian dengan ditaburi
batu-batu permata yang beraneka warna. Kalung
tersebut dibeli dengan cara patungan sukarela.
Hari yang ditunggu-tunggu pun datang juga.
Rakyat berduyun-duyun datang ke alun-alun kerajaan
tempat pesta ulang tahun putri Gilang Rukmini
diadakan. Di babancong (podium) telah dihiasi beragam
hiasan mewah.
Rakyat pun bersorak-sorai saat Prabu, Ratu, dan
Putri menaiki babancong. Rakyat sangat kagum melihat
kecantikan sang putri. Memang sebelumnya sudah
banyak pemuda dan ksatria yang kapengpeongan
(tergila-gila) akan kecantikan sang putri. Pada hari itu,
pesta pun berlangsung sangat meriah.
Sore hari pesta pun akan segera usai. Kini tiba
saatnya giliran rakyat mempersembahkan hadiah
istimewanya. Sesuai rencana, rakyat pun memberikan
kotak berisi kalung kepada putri Gilang Rukmini.

255
Namun Prabu Suwartalaya yang giliran membuka kotak
tersebut. Lalu dikeluarkanlah kalung beraneka warna
yang sangat indah pemberian dari rakyatnya itu kepada
putri Gilang Rukmini.
Lama Putri Gilang Rukmini memandang kalung
tersebut dengan kening berkerut.
“Ayo, kenakanlah kalung ini!” ujar Prabu
Suwartalaya.
“Ini tanda cinta rakyat kepadamu. Jangan
kecewakan mereka. Bukankah kalung ini sangat
indah?” kata Ratu Purbamanah.
“Indah apanya? Kalung jelek begini. Beraneka
warna, norak sekali. Aku tidak mau mengenakannya!”
teriak putri Gilang Rukmini.
Ia pun langsung membanting kalung itu ke lantai
hingga hancur. Permata yang beraneka warna itupun
berhamburan. Prabu Suwartalaya, Ratu Purbamanah,
dan seluruh rakyat hanya bisa terdiam lesu.
Sesaat kemudian, suara tangis pun pecah. Ratu
Purbamanah dan seluruh rakyat menangis. Sedih

256
melihat kelakuan putri kesayangannya. Namun sang
Putri seperti tidak merasa bersalah, ia langsung keluar
dari babancong sambil menginjak batu permata yang
terserak di lantai.
Sungguh ajaib. Setelah perbuatan sang putri itu,
di depan babancong keluar air. Semakin lama semakin
deras, sampai akhirnya menenggelamkan seluruh
bangunan istana. Maka berubahlan istana dan
lingkungan sekitarnya menjadi sebuah talaga (telaga;
danau). Prabu, Ratu, Putri, dan seluruh rakyat kerajaan
Kutatanggeuhan pun tenggelam diterjang air bah.
Hingga kini, telaga tersebut masih ada dan
dijadikan tempat wisata. Oleh masyarakat setempat,
telaga tersebut dinamakan talaga warna, karena jika
hari cerah airnya memantulkan cahaya matahari hingga
tampak berwarna-warni.
Konon menurut masyarakat setempat, air telaga
yang selalu beraneka warna itu berasal dari kalung
yang dihiasi batu permata beraneka warna pemberian
dari rakyat yang dilemparkan oleh sang putri. ***

257
2. SASAKALA KOTA BOGOR

Pada masa ibukota kerajaan Pajajaran


dibumihanguskan oleh pasukan Banten, tersebutlah
bahwa seluruh ibukota kerajaan hancur lebur dan
penduduknya terbunuh serta terusir.
Setelah satu abad hilang dari percaturan
sejarah, kota yang pernah berpenghuni 50.000 jiwa itu
menggeliat kembali menunjukkan ciri-ciri kehidupan.
Reruntuhan kehidupannya mulai tumbuh kembali berkat
ekspedisi yang berturut-turut dilakukan oleh Hindia
Belanda (VOC). Orang-orang Hindia Belanda yang
telah melakukan ekspedisi itu, antara lain, Scipio, Adolf
Winkler, dan Abraham van Riebeeck. Sersan Scipio
dibantu oleh Letnan Patinggi dan Letnan Tanujiwa,
seorang Sunda terah Sumedang.
Sejak Banten berada di bawah kontrol VOC, juga
kekuasaan Mataram atas Priangan lepas ke tangan
VOC, Wilayah bekas ibukota Pajajaran berada dalam
pengawasan VOC. Dalam memanfaatkan wilayah yang

258
dikuasainya, VOC perlu mengenal suatu wilayah
tersebut terlebih dahulu.
Dari ekspedisi tersebut tidak ditemukannya
pemukiman di bekas ibukota kerajaan, kecuali di
Cikeas, Citeureup, Kedung Halang dan Parung
Angsana. Malah orang Hindia Belanda menemukan
seekor harimau besar yang sedang tidur. Kemudian
diisukan bahwa orang-orang Pajajaran berubah
menjadi harimau.
Selanjutnya, Tanujiwa, seorang Letnan Terah
Sumedang, mendapat perintah dari Camphuijs untuk
membuka hutan Pajajaran. Akhirnya, dia bersama
anggota pasukannya berhasil mendirikan sebuah
perkampungan di Parung Angsana, yang diberi nama
Kampung Baru. Tempat inilah menjadi cikal bakal
tempat kelahiran Kota Bogor. Kampung-kampung lain
yang didirikan oleh Tanujiwa bersama anggota
pasukannya adalah: Parakan Panjang, Parung Kujang,
Panaragan, Bantar Jati, Sempur, Baranang Siang,
Parung Banteng, dan Cimahpar. Kampung Baru

259
menjadi semacam Pusat Pemerintahan bagi kampung-
kampung lainnya.
Tanujiwa menjadi Kepala Kampung Baru dan
kampung-kampung lain yang terletak di sebelah hulu
Ciliwung. Ia telah ditunjuk sebagai pemimpin kaum
koloni di daerah itu. Atas dasar itulah, De Haan
memulai mendaftarkan bupati Kampung Baru atau
Buitenzorg dari tokoh Tanujiwa.
Pada waktu itu, sembilan buah kampung
digabungkan menjadi satu pemerintahan di bawah
Kepala Kampung Baru yang diberi gelar Demang.
Gabungan kesembilan kampung inilah yang disebut
Regentschap Kampung Baru, yang kemudian menjadi
Regentschap Buitenzorg. Sewaktu masa pemerintahan
Gubernur Jenderal Baron van Imhoff, dibangunlah
tempat peristirahatan pada lokasi Istana Bogor
sekarang yang diberi nama Buitenzorg. Oleh karena itu,
Regentschap Kampung Baru disebut juga Regentschap
Buitenzorg.

260
Ketika Bupati Kampung Baru yang dipimpin oleh
Demang Wiranata, ia mengajukan permohonan kepada
Gubernur Jenderal Jacob Mossel agar diijinkan
mendirikan rumah tempat tinggal di Sukahati, yang
terletak di Timur Cisadane dekat Cipakancilan yang
lokasinya dekat empang besar. Nama Empang
selanjutnya berangsur-angsur mendesak nama
Sukahati, yang akhirnya nama daerah itu disebut
Empang. Daerah tersebut makin lama makin ramai
karena dibukanya jalur hubungan kereta api Batavia-
Buitenzorg. Pembukaan jalur kereta ini sangat
mempengaruhi mobilitas sosial dan perekonomian kota.
Pada waktu itu di sekitar wilayah Buitenzorg
terdapat banyak pohon enau atau kawung. Pohon-
pohon tersebut cukup mengganggu keindahan wilayah
sehingga banyak yang ditebang. Akibatnya, di wilayah
tersebut banyak tunggul kawung, yang disebut “bogor”
atau “pogor”. Sejak itulah, Buitenzorg berubah nama
menjadi Bogor.

261
Di dalam cerita pantun yang dikisahkan oleh Aki
Cilong disebutkan perihal penamaan Bogor sebagai
berikut.

NGADEGNA DAYEUH PAJAJARAN

Tah di dinya, ku andika adegkeun eta dayeuh


laju ngaranan Bogor
sabab bogor teh hartina tunggul kawung

(Di tempat itu, dirikanlah olehmu sebuah kota


lalu beri nama Bogor
sebab bogor itu artinya pokok enau)

Ari tunggul kawung


emang ge euweuh hartina
euweuh soteh ceuk nu teu ngarti

(Pokok enau itu


memang tak ada artinya
terutama,bagi mereka yang tidak paham)

Ari sababna, ngaran mudu Bogor


sabab bogor mah dijieun suluh teu daek hurung
teu melepes tapi ngelun
haseupna teu mahi dipake muput

262
(Sebabnya harus bernama Bogor?
sebab bogor itu dibuat kayu bakar tak mau menyala
tapitidak padam, terus membara
asapnya tak cukup untuk "muput")

Tapi amun dijieun tetengger


sanggup nungkulan windu
kuat milangan mangsa

(Tapi kalau dijadikan penyangga rumah


mampu melampaui waktu
sanggup melintasi zaman)

Amun kadupak
matak borok nu ngadupakna
moal geuwat cageur tah inyana

(Kalau tersenggol
bisa membuat koreng yang menyenggolnya
membuat koreng yang lama sembuhnya)

Amun katajong?
mantak bohak nu najongna
moal geuwat waras tah cokorna

(Kalau tertendang?
bisa melukai yang mendangnya
itu kaki akan lama sembuhnya)

263
Tapi, amun dijieun kekesed?
sing nyaraho
isukan jaga pageto
bakal harudang pating kodongkang
nu ngawarah si calutak

(Tapi, kalau dibuat keset?


Semuanya harus tahu
besok atau lusa
bakal bangkit berkeliaran
menasehati yang tidak sopan)

Tah kitu!
ngaranan ku andika eta dayeuh
Dayeuh Bogor!

(Nah, begitu!
Namai olehmu kota itu
Kota Bogor!)

264
3. SASAKALA DEPOK

Dulu, Sunda Kelapa merupakan pelabuhan


terbesar di wilayah kerajaan Banten. Setiap hari sangat
ramai disinggahi kapal-kapal dagang dari seluruh
kerajaan di penjuru Nusantara. Bahkan banyak pula
kapal-kapal dagang dari kerajaan Cina, Portugis, dan
Belanda.
Hingga suatu ketika, datanglah rombongan kapal
dagang Belanda yang tergabung dalam kongsi dagang
bernama VOC. Dalam rombongan tersebut, terdapat
seorang Belanda bernama Cornelis Chastelyn.
Dari pelabuhan Sunda Kelapa, kemudian
rombongan Cornelis Chastelyn itu mulai mencari
barang dagangan berupa rempah-rempah ke daerah
Jayakarta. Kelak nama Jayakarta berubah menjadi
Batavia dan berubah kembali menjadi Jakarta.
Cukup lama Chastelyn menetap di Jayakarta.
Bisnisnya pun semakin lama semakin maju. Chastelyn
selalu banyak mendapat rempah-rempah dari

265
penduduk pribumi, yang selanjutnya ia jual ke kerajaan
Belanda dengan harga lebih mahal.
Tidak sampai satu tahun, akhirnya Chastelyn
pun menjadi salah seorang pedagang Belanda yang
kaya di Jayakarta. Ia pun membeli tanah yang luasnya
terbentang mulai dari wilayah Weltevreden (Gambir),
Meester Cornelis (Jatinegara), hingga Buitenzorg
(Bogor).
Sunda Kelapa dan kampung Jayakarta pun
semakin lama berkembang pesat. Banyak pedagang
yang tadinya hanya sekedar transit, malah menetap
untuk waktu yang cukup lama. Banyak pula di antara
mereka yang menikahi perempuan pribumi. Tentu saja
barang dagangan pun semakin lama semakin
berkurang. Hal ini karena pasokan rempah-rempah dari
Banten dan Pakuan (sekarang Bogor) banyak
tersendat. Hingga Chastelyn pun merasakan usaha
dagangnya kian hari kian menurun. Oleh karena itu,
maka pada suatu hari Chastelyn memutuskan untuk

266
mencari lahan baru yang masih banyak menghasilkan
rempah-rempah dan hasil bumi lainnya.
Beberapa bulan kemudian, berangkatlah
Chastelyn bersama beberapa orang pegawainya ke
arah timur Jayakarta. Maksudnya untuk mencari lahan
baru untuk menjalankan usaha dagangnya di bidang
hasil bumi.
Setelah satu minggu perjalanan, tibalah
rombongan Chastelyn ke sebuah perkampungan yang
letaknya terpencil di tengah hutan belantara. Penduduk
kampung tersebut sehari-harinya berbahasa Sunda,
ramah, dan santun. Melihat sikap penduduk yang
demikian, akhirnya Chastelyn memutuskan untuk
menetap di perkampungan tersebut.
Lama kelamaan Chasteleyn pun merasa betah.
Apalagi penduduk di sana sangat menghormatinya.
Oleh karena itu, Chasteleyn memutuskan untuk
membeli tanah di kawasan tersebut. Tidak menunggu
lama, lalu Chasteleyn membeli tanah di kawasan
tersebut dari penduduk setempat dengan harga 700

267
ringgit. Status tanahnya adalah partikelir, yakni belum
dikuasai oleh VOC.
Tanah yang dibeli Chasteleyn pada waktu itu
sangatlah luas. Kalau hitungan sekarang, tanah yang
dibeli Chasteleyn itu batasnya meliputi Kampung Malela
di sebelah utara, Kampung Belimbing di sebelah
selatan, Sungai Ciliwung di sebelah timur, dan rel
kereta api Jakarta-Bogor.
Tanah yang telah dibelinya di perkampungan
tersebut, tentu saja harus segera diolah oleh Chastelyn.
Maka ia pun mendatangkan budak bayaran dari Bali,
Borneo (Kalimantan), Makassar, Maluku, Ternate,
Pulau Rote, Jayakarta, dan Filipina. Jumlahnya sekitar
150 orang. Selain mempekerjakan pula penduduk
setempat.
Berbeda dengan Belanda yang lain, Chastelyn
dikenal sangat ramah dan baik pada budak-budaknya.
Hingga penduduk di kampung itu pun sangat
menghormatinya.

268
Sebagai daerah baru, perkampungan yang
dibangun Chastelyn pun banyak menarik minat
pedagang-pedagang dari tempat lain. Banyak pula
orang Belanda dari Jayakarta mulai berdatangan
dengan maksud untuk berdagang dengan Chastelyn.
Selain itu, banyak pula pedagang-pedagang dari Cina
untuk berjualan di sana.
Perkampungan itupun semakin hari semakin
berkembang dan ramai dikunjungi pedagang. Sebagai
tuan tanah di sana, Chastelyn pun segera membuat
peraturan. Dalam peraturannya tersebut, ia melarang
pedagang-pedagang untuk menetap. Tentu saja
peraturan tersebut sangat menyulitkan pedagang-
pedagang dari Cina dan Belanda, termasuk pedagang
dari Jayakarta. Mengingat pada waktu itu, perjalanan
dari Jayakarta ke perkampungan Chastelyn dapat
memakan waktu tiga hari.
Dengan peraturan baru itu, pedagang Cina
memutuskan untuk membuat tempat transit di
Kampung Bojong. Kampung ini berada di luar wilayah

269
perkampungan Chastelyn. Para pedagang Cina
berkumpul dan mendirikan pondok-pondok sederhana
di perkampungan tersebut. Semenjak itulah, muncul
nama kampung Pondok Cina.
Sebagai seorang Belanda, Chastelyn adalah
pemeluk Kristen yang taat. Atas permintaan ayahnya,
Chasteleyn pun mulai mengajarkan agama Kristen
kepada penduduk pribumi dan terutama kepada para
pekerjanya. Bahkan akhirnya, banyak pula pendatang
dari Jayakarta yang sengaja hanya untuk berguru
agama Kristen kepada Chastelyn.
Semakin lama, murid Chastelyn pun semakin
banyak. Sampai-sampai tidak tertampung di rumahnya
yang besar menurut ukuran pada waktu itu. Kemudian,
Chastelyn pun mencari akal agar orang-orang yang
ingin menjadi muridnya dapat tinggal di perkampungan
itu. Akhirnya secara bertahap, Chastelyn membangun
rumah besar yang dijadikan perguruan. Penduduk
setempat menyebutnya dengan padepokan.

270
Oleh Chastelyn padepokan agama Kristen
tersebut diberi nama dalam bahasa Belanda De Eerste
Protestante Organisatie van Christenen, yang berarti
Organisasi Kristen Protestan Pertama. Namun murid-
muridnya sering menyebut padepokan tersebut dengan
nama Deze Eenheid Predikt Ons Christus, yang berarti
dengan persatuan telah membawa kami ke Kristus.
Kedua istilah perguruan tersebut selanjutnya oleh
Chastelyn disingkat menjadi DEPOC, yang oleh lidah
penduduk setempat diucapkan DEPO(K).
Istilah penduduk setempat inilah yang kemudian
menjadi nama perkampungan tersebut sampai
sekarang. Selain sejalan pula dengan istilah perguruan
yang dalam bahasa Sunda disebut padepokan. Kelak
sebutan padepokan pun oleh penduduk setempat
disingkat pengucapannya menjadi depok.
Padepokan agama Kristen yang dibangun
Chastelyn pun semakin lama semakin berkembang dan
terkenal sampai ke kerajaan Belanda. Kemudian
banyak pula dikunjungi pejabat-pejabat VOC yang

271
sengaja meminta pendapat dalam hal keagamaan,
sebelum akhirnya Chastelyn pun meninggal dunia di
kampung Depok.
Sebelum meninggal, Chastelyn sempat
mewariskan seluruh perkampungan tersebut pada
anaknya melalui sebuah surat wasiat memakai bahasa
Belanda kuno, yang sebagian isinya sebagai berikut:
“Anthony Chastelyn, hutan yang di sebelah timur sungai
Karukut jangan sampai diganggu. Hutan itu
kuperuntukkan untuk seluruh pekerjaku dan
keturunannya kelak.”
Sungai Krukut yang disebut-sebut dalam surat
wasiat Chastelyn itulah yang kemungkinan sekarang
berada di wilayah Kelurahan Krukut, Kecamatan Limo,
Kota Depok, tepatnya di selatan Cinere. ***

272
4. SASAKALA BEKASI

Tarumanagara adalah sebuah kerajaan yang


subur makmur. Dipimpin oleh seorang raja yang sangat
sakti bernama Prabu Purnawarman. Seluruh rakyat
menghormatinya karena Prabu Purnawarman sangat
adil dan bijak dalam memimpin.
Ketika ia dinobatkan menjadi raja Taruma-
nagara, ibukota kerajaan masih di daerah
Jayasingapura, yang didirikan oleh kakeknya yang
bernama Prabu Jayasingawarman.
Pada suatu malam, Prabu Purnawarman
mendapat wangsit dari Sanghyang Widi. Dalam wangsit
itu dikatakan bahwa kerajaan Tarumanagara akan
berkembang menjadi kerajaan besar apabila
ibukotanya dipindahkan ke sebelah utara.
Maka segera saja Prabu Purnawarman
memerintahkan kepada patih dan para menteri agar
mencari daerah baru untuk ibukota kerajaan.

273
“Paman Patih, buat panitia untuk mencari daerah
baru yang cocok dijadikan ibukota Tarumanagara!”
begitulah titah Prabu Purnawarman pada patihnya.
Paman Patih pun segera membentuk panitia
pencari daerah baru untuk ibukota Tarumanagara.
Hingga akhirnya, rombongan yang dipimpin patih
tersebut menemukan sebuah daerah di tepi sungai
Gomati. Kemudian Paman Patih menghadap kepada
Prabu Purnawarman.
“Paman Patih, apakah sudah kau temukan
daerah baru untuk ibukota itu?”
“Ampun Gusti Prabu, daerah itu telah
ditemukan.”
“Di mana letaknya, Paman Patih?”
“Letaknya di tepi kali Gomati. Tanahnya sangat
subur, karena di sana banyak terdapat sumber air.
Namun alangkah baiknya, Gusti Prabu pun
memeriksanya.”
“Baik, besok akan aku periksa daerah itu.”

274
Keesokan harinya, Prabu Purnawarman
memeriksa daerah hasil temuan patihnya itu. Setelah
diperiksa, ia pun menyukai daerah yang baru tersebut.
Akhirnya ibukota kerajaan Tarumanagara pun oleh
Prabu Purnawarman dipindahkan dari Jayasingapura
ke tepi sungai Gomati hasil temuan patihnya tersebut.
Daerah itu kemudian diberi nama Sundapura, yang
berarti kota Sunda. Kemungkinan nama Sunda untuk
menyebut tanah dan suku Sunda sekarang ini dimulai
pada masa itu.
“Perlu kalian ketahui, ibukota Tarumanaga aku
ganti namanya menjadi Sundapura!” begitulah ucapan
Prabu Purnawarman pada waktu peresmian ibukota
yang baru itu.
Benar saja apa yang dikatakan dalam wangsit
itu. Tidak lama setelah ibukota dipindahkan, kerajaan
Tarumanagara berkembang pesat. Sundapura banyak
didatangi oleh para pedagang dari mancanagara.
Banyak pula pendatang dari kerajaan-kerajaan lain
yang bermukim di Sundapura. Apalagi setelah tiga

275
tahun kemudian, Prabu Purnawarman memerintahkan
kepada seluruh rakyatnya untuk membangun
pelabuhan di pantai sebelah utara. Pelabuhan baru itu
pun segera saja dipenuhi oleh kapal-kapal pedagang
dan kapal-kapal perang kerajaan Tarumanagara.
Setelah pasukan perangnya kuat, kemudian
Purnawarman memperluas wilayah kekuasaannya
dengan cara menaklukan kerajan-kerajaan kecil. Dalam
berperang ia selalu menjadi panglima. Selama
berperang, Purnawarman tidak dapat dilukai senjata
apapun, karena ia selalu memakai baju besi. Selain itu,
ia pun terkenal memiliki ilmu kesaktian yang tidak ada
tandingnya. Di medan perang Purnawarman dikenal
oleh lawan-lawannya dengan nama Wyaghra ning
Tarumanagara (Harimau Tarumanagara).
Beberapa tahun kemudian, Purnawarman
berhasil menjadi raja terbesar di pulau Jawa. Raja-raja
kecil setiap tahun selalu mempersembahkan upeti
tanda takluk. Biasanya acara serah terima upeti
dilaksanakan tiap malam bulan purnama setiap

276
tahunnya. Mereka berkumpul di istana Tarumanagara,
sambil disuguhi makanan dan tarian wanita-wanita
cantik.
Hasil upeti tersebut, oleh Purnawarman
semuanya dipakai membangun kerajaan
Tarumanagara untuk mensejahterakan rakyatnya.
Terutama untuk membuat saluran irigasi dan
memperbaiki aliran sungai. Demikian karena mayoritas
penduduk Tarumanagara bekerja sebagai petani dan
peladang. Setiap rakyat yang ikut bergotong royong
memperbaiki sungai, maka akan diberinya seekor sapi,
beberapa stel pakaian, dan perhiasan.
Telah banyak sungai di wilayah kerajaan
Tarmanagara yang diperbaiki atas perintah
Purnawarman. Di antaranya ialah sungai Gangga di
wilayah Cirebon, sungai Cupu di wilayah Cupunagara-
Subang, dan beberapa sungai kecil lainnya yang
berada di wilayah kekuasaannya.
Tanah di kerajaan Tarumanagara pun menjadi
subur makmur. Sawah dan ladang rakyat terairi dengan

277
baik. Sungai-sungai airnya bersih, sehingga banyak
ikan yang dapat dimanfaatkan untuk makanan oleh
seluruh rakyat. Pada musim kemarau pun tidak pernah
kekeringan atau kelaparan. Intinya semua rakyat
Tarumanagara sejahtera hidupnya.
Pada suatu malam, Prabu Purnawarman
mendapatkan wangsit kembali. Dalam wangsit itu
disebutkan bahwa ia harus segera memperbaiki sungai
utama kerajaan Tarumanagara yaitu sungai Gomati dan
Candrabhaga.
Setelah mendapat wangsit itu, beberapa hari
kemudian Purnawarman segera mengumpulkan
seluruh rakyatnya di alun-alun Sundapura.
“Hai rakyatku semua, perlu kalian ketahui,
bahwa aku mendapat wangsit dari Sanghyang Widi.
Kalau kerajaan Tarumanagara ingin selamat dari
bencana dan menang dalam berperang, kita semua
harus memperbaiki sungai Gomati dan Candrabhaga.
Ingat memperbaikinya harus selesai dalam waktu 7 hari
7 malam.”

278
Seluruh rakyat tidak ada yang berani
membantah titah rajanya yang sakti tersebut. Keesokan
harinya ribuan rakyat baik perempuan maupun laki-laki
dengan membawa berbagai jenis perkakas, berjajar di
tepi sungai Gomati dan Candrabhaga. Sambung
menyambung tidak terputus membentuk pagar betis.
Siang malam mereka bekerja dengan sungguh-
sungguh. Bahkan para patih, menteri, dan pembesar
kerajaan pun turut serta bersama-sama dengan rakyat
memperbaiki aliran sungai.
Setelah 7 hari 7 malam, aliran sungai Gomati
dan Candrabhaga pun berhasil diperbaiki tepat waktu.
Prabu Purnawarman sangat bahagia. Hingga ia pun
mengadakan selamatan secara besar-besaran dan
memberikan hadiah kepada para brahmana. Dalam
acara sukuran tersebut, Prabu Purnawarman
menghadiahkan 1000 ekor sapi, ribuan pakaian, dan
berbagai masakan lezat. Bahkan raja-raja daerah pun
dihadiahi oleh Prabu Purnawarman berupa kerbau dan
berbagai emas permata untuk permaisurinya.

279
“Semoga Sanghyang Wasa selalu merestui
kerajaan Tarumanaga!” kata Prabu Purnawarman
kepada seluruh penduduk yang diucapkan pada acara
syukuran itu.
Pada masa dipimpin Prabu Purnawarman itulah
kerajaan Tarumanagara mencapai kejayaannya.
Angkatan lautnya sangat tangguh. Setiap kapal perang
diberi tanda memakai bendera bergambar naga.
Adapun materai raja terbuat dari lempengan emas
bergambar lebah dan kumbang, sedangkan bendera
kerajaan Tarumanagara bergambar bungai teratai dan
kepala gajah.
Begitulah kejayaan kerajaan Tarumanagara di
tangan Prabu Purnawarman, sampai akhirnya dibagi
dua oleh para penerusnya menjadi kerajaan Sunda dan
kerajaan Galuh.
Hingga kini, peninggalan kerajaan
Tarumanagara tersebut masih dapat kita saksikan,
yakni saluran irigasi Gomati dan Chandrabaga yang
membentang sejauh 11 km. Saluran irigasi tersebut

280
sekarang membelah kota Bekasi dan namanya berubah
menjadi Kali Bekasi.
Konon kata chandra dalam Chandrabaga, berarti
sasi atau bulan. Dengan demikian, Chandrabhaga
artinya sama dengan Kali Bagasasi. Seiring perjalanan
waktu, kemudian berubah namanya menyesuaikan
dengan lafal penduduk setempat menjadi Bhagasi dan
berubah menjadi Bekasi seperti yang kita kenal
sekarang. ***

281
F. SASAKALA WILAYAH PANTURA

1. SASAKALA MAJALENGKA
Dahulu kala, ada sebuah kerajaan yang gemah
ripah repeh rapih bernama Panyidagan atau
Sindangkasih. Kerajaan tersebut diperintah oleh
seorang ratu yang cantik jelita bernama Ratu Ayu
Panyidagan. Namun masarakat menyebutnya dengan
Ratu Ayu Rambut Kasih atau Nyi Rambut Kasih.
Dijuluki Rambut Kasih karena rakyat di kerajaan
Panyidagan tidak berani menatap wajahnya yang
sangat cantik dan berkharisma. Mereka hanya berani
menatap sang ratu dari bagian belakang, sehingga
yang terlihat hanya rambutnya saja yang panjang hitam
bergelombang terurai.
Rambut ratu yang indah itu konon sebagai
asihan. Bagi siapa saja yang melihatnya akan
menimbulkan rasa kasih pada sang ratu. Maka
dijulukilah Nyi Rambut Kasih. Bahkan selain rambutnya
yang indah, sang ratu pun memiliki ilmu kesaktian dan

282
kedigdayaan lahir batin yang tinggi. Ia pun dapat
menerawang kejadian yang akan datang.
Dalam menjalankan roda pemerintahan, Nyi
Rambut Kasih dikenal sangat adil dan bijaksana,
sehingga disukai dan dihormati seluruh rakyatnya. Ia
dibantu oleh tiga orang patih setianya, yakni: Ki Gedeng
Cigobang, Ki Gedeng Mardapa, dan Ki Gedeng Kulur.
Kehidupan rakyat pun terjamin. Petani dan pedagang
merasa tentram. Prajurit dan guru merasa dihargai. Tak
pernah ada pencuri atau perampok yang mengganggu
kekayaan rakyat, karena hukum kerajaan ditegakkan
tidak pandang bulu.
Pada suatu hari, Nyi Rambut Kasih mengadakan
pertemuan di pendopo yang dihadiri oleh paramenteri,
panglima perang, dan tentu saja ketiga orang patih
setianya. Setelah suasana tertib, maka bersabdalah Nyi
Rambut Kasih kepada seluruh yang hadir.
“Atas kehendak Sanghyang, negara kita akan
mendapat cobaan.”

283
Semua undangan yang hadir terdiam.
Selanjutnya Nyi Rambut Kasih bersabda lagi.
“Menurut wangsit yang aku terima, kelak negara
ini akan berubah. Maka semuanya harus waspada dan
siaga menghadapi semua malapetaka. Oleh karena itu,
aku perintahkan kepada paman patih, semua menteri,
dan seluruh prajurit, untuk melindungi segenap rakyat
di kerajaan ini. Tentramkan hati rakyat. Apabila
dikemudian hari ada utusan dari kerajaan lain yang
ingin bersahabat, terimalah dengan lapang dada. Lebih
baik banyak sahabat, ketimbang banyak musuh.
Paham…?”
“Nyakseni, Nyai Ratu....,” semua serempak
menjawab.
Setelah mendengar jawaban dari hadirin, Sang
Ratu kemudian bertitah lagi, "Sebentar lagi kita akan
menerima tamu. Menurut wangsit, tamu tersebut gagah
tur kasep. Namun orang tersebut akan menimbulkan
malapetaka bagi kita sekalian. Entahlah, malapetaka
seperti apa. Akan tetapi, semua rakyat Panyidagan

284
akan berubah keyakinan dan kepercayaan sesudah
kerajaan ini lepas dari kekuasaanku. Demikian
nasihatku, sekarang kalian boleh pergi meninggalkan
pertemuan ini dan silakan melanjutkan lagi pekerjaan
masing-masing dengan tenang."
Setelah pertemuan itu, ketiga patih bersama
panglima perang menyiapkan prajurit untuk menjaga
perbatasan kerajaan di sebelah utara. Di perbatasan,
lalu ketiga patih tersebut membuat posko penjagaan.
Dari posko itu mereka dapat melihat keseluruh penjuru
dengan jelas. Setiap orang yang akan masuk kerajaan
Panyidagan akan kelihatan dengan jelas. Apalagi orang
yang akan masuk ke negeri ini, harus menyeberangi
sungai dulu karena hanya tempat itulah satu-satunya
jalan masuk ke Negeri Panyidagan. Posko penjagaan
ketiga patih yang diketuai oleh Ki Gedeng Cigobang itu,
kini dikenal dengan nama Pajagan (berasal dari kata
Penjagaan).
Suatu hari yang cerah. Ki Gedeng Cigobang, Ki
Gedeng Mardapa, dan Ki Gedeng Kulur sedang santai

285
berkelakar. Tidak diketahui dari mana datangnya, tiba-
tiba terlihat seorang pemuda sedang menyeberangi
sungai menuju Negeri Panyidagan. Alangkah
terkejutnya ketiga patih melihat kejadian itu. Dengan
segera ketiga patih itu memanggil pemuda yang
sedang menyeberangi sungai.
"Hai, Ki Silah, kenapa kamu berani
menyeberang tanpa seijin kami?"
Pemuda yang sedang menyeberang tidak
menghiraukan teriakan ketiga patih itu. Ia terus saja
menyeberang sampai ke tepi sungai dan segera pergi
menjauhi ketiga patih itu.
Melihat tingkah pemuda tersebut, ketiga patih
sangat marah. Kemudian mereka mengejar pemuda itu
dengan maksud akan mengeroyok karena sudah berani
memasuki daerah penjagaan tanpa ijin mereka.
Ternyata pemuda yang telah menyeberangi
sungai itu ialah utusan dari negeri Sinuhun Jati Cirebon
yang bernama Pangeran Muhamad. Ia bermaksud
meminta pertolongan Ratu Ayu Panyidagan. la akan

286
meminta buah maja yang ditanam oleh Ratu Ayu
Panyidagan untuk mengobati rakyat Sinuhun Jati
Cirebon yang sedang terjangkit wabah penyakit.
Konon menurut wangsit Sunuhun Jati Cirebon,
wabah penyakit tersebut dapat diobati dengan godogan
buah maja yang banyak tumbuh di daerah Panyidagan.
Selain mendapat tugas untuk mencari buah maja,
pemuda itu pun mendapat tugas untuk menyebarkan
Islam ke beberapa tempat yang rakyatnya masih
menyembah berhala.
Kembali pada cerita pengejaran ketiga patih
terhadap pemuda yang berhasil menyebrangi sungai.
Pemuda itu ternyata bernama Pangeran Muhamad.
Ketika Patih Ki Gedeng Cigobang akan menangkapnya,
Pangeran Muhamad dapat menghalaunya. Akhirnya
ketiga patih itu menggunakan siasat dengan cara
mengepung Pangeran Muhamad dari segala penjuru.
Akhirnya, Pangeran Muhamad pun terkepung.
Melihat keadaan dirinya sudah terkepung, lalu
Pangeran Muhamad masuk dan bersembunyi ke dalam

287
rumpun yang tidak jauh dari tempat itu. Di sana ia
segera minta perlindungan kepada Tuhan Yang
Mahakuasa dengan mengucapkan syahadat dan
nenjrag bumi tiga kali. Tanah yang diinjak itu terbelah
dan membentuk suatu lubang, kemudian Pangeran
Muhamad pun masuk ke dalamnya.
Ketiga patih itu sudah sampai ke rumpun tempat
persembunyian Pangeran Muhamad, mereka bolak-
balik mencarinya. Setiap rumpun ditebas, setiap pohon
ditebang, namun Pangeran Muhamad menghilang
tanpa bekas. Ketiga patih itu pun merasa putus asa,
kemudian mereka duduk termenung memikirkan apa
yang harus dikerjakan dan bagaimana melaporkannya
kepada ratu. Setelah berunding dengan matang, segera
mereka pergi menuju ke istana Panyidagan.
Adapun Pangeran Muhamad yang bersembunyi
di dalam tanah, terus berdoa kepada Tuhan Yang
Mahakuasa, agar diberi kekuatan dapat keluar dari
lubang. Hingga akhirnya Pangeran Muhamad pun
dapat keluar dari lubang persembunyiannya. Ia muncul

288
di suatu tempat yang sekarang dikenal dengan nama
Kampung Munjul (rupanya nama tersebut didasarkan
atas kata punjul(keluar)-nya Pangeran Muhamad dari
dalam lubang tempat persembunyiannya).
Ketika keluar, penglihatan Pangeran Muhamad
mendadak gelap. Lalu ia pun berjalan menuju ke
tempat datangnya cahaya. Makin lama makin
mendekati cahaya yang menyinari jalan setapak yang
dilaluinya. Setelah dekat, cahaya itu pun menghilang.
Lalu diselidiki, ternyata cahaya tersebut memancar dari
supa lember yang tumbuh pada pohon-pohon jati yang
berjejer sepanjang jalan setapak. Pangeran Muhamad
pun kemudian memberi nama tempat tersebut dengan
Jatipamor, yang berarti kebun jati yang berpamor
(bercahaya).
Lain dengan ketiga patih yang sedang
menghadap ke Ratu Ayu Panyidagan. Mereka berniat
melaporkan buronan yang hilang, namun hanya bisa
tertunduk lesu ketika Sang Ratu datang menemuinya
dan langsung menegurnya.

289
“Hai paman patih! Mengapa kalian kembali ke
pendopo, bukankah sudah kutitahkan untuk menjaga
wilayah perbatasan. Bagaimana kalau ada orang asing
masuk ke negara tidak diketahui oleh kalian?”
"Ya Ratu, kami mengerti. Hamba datang untuk
melapor bahwa kemarin ketika sedang berjaga,
mendapati seorang pemuda menyeberangi sungai.
Hamba bertiga sempat menegurnya, tetapi orang itu
tidak mau menjawab, malah lari tunggang langgang.
Hamba pun mengejar dan mengepungnya, kemudian ia
lari ke balik rumpun dan menghilang tanpa bekas."
"Ah, aku tidak percaya berita semacam itu.
Sekarang kalian harus segera mencari kembali pemuda
tersebut dan hadapkan padaku. Ingat, sebelum
tertangkap, kalian tidak boleh kembali. Pergilah dan
tangkap hidup-hidup."
Ketiga patih itu pun kemudian pergi
meninggalkan pendopo dengan niat mencari buronan.
Mereka pergi lagi ke tempat Pangeran Muhamad
menghilang dan mengubrak-abrik tempat itu, tetapi

290
masih tetap belum dijumpainya. Namun setelah mereka
bersama segenap prajurit menjelajahi hutan, memasuki
gua-gua, dan bertanya pada setiap warga, akhirnya
sampailah ke tempat Pangeran Muhamad beristirahat,
yakni di Jatipamor.
Akhirnya Pangeran Muhamad pun tertangkap
hidup-hidup. Lalu, oleh ketiga patih diikat dan dibawa
menghadap ke pendopo. Selanjutnya Pangeran
Muhamad disuruh duduk di depan singgasana Ratu
Ayu Panyidagan, dijaga oleh Ki Gedeng Mardapa dan
Ki Gedeng Kulur, sedangkan Ki Gedong Cigobang
pergi menghadap Ratu Ayu Panyidagan dengan niat
melaporkan bahwa buronan itu sudah ditangkap.
Namun baru saja sampai di depan gapura kaputren, Nyi
Rambut Kasih keluar dan langsung bersabda:
“Lepaskan dan biarkan orang itu beristirahat dulu.
Perlakukan pemuda itu seperti tamu biasanya!"
Ki Gedeng Cigobang tidak berkata apa-apa, ia
kembali lagi ke pendopo akan melaksanakan perintah
ratu. Maka Pangeran Muhamad disuruh beristirahat dan

291
mandi dulu sebelum menghadap ratu. Ki Gedeng
Mardapa dan Ki Gedeng Kulur menyediakan makanan
dan minuman. Setelah itu, Pangeran Muhamad pun
disuruh menghadap kembali ke kaputren.
Waktu Pangeran Muhamad sedang berjalan
menuju keputren, Ratu Ayu Panyidagan melihatnya
sekilas. Beliau segera terpesona melihat pemuda yang
gagah tur kasep itu, sehingga muncul niat ingin
dipersunting oleh pemuda tersebut. Maka ketika
Pangeran Muhamad sudah berada di hadapannya,
Ratu Ayu Panyidagan pun bertanya:
"Hai Ki Silah, kamu siapa? Mengapa kamu
berani masuk ke negara ini? Apa maksud
kedatanganmu?"
"Hamba ini Pangeran Muhamad dari Cirebon.
Hamba datang ke sini diutus oleh Sunuhun Jati untuk
mencari buah maja yang banyak terdapat di kerajaan
Panyidagan. Buah itu akan dipakai untuk mengobati
rakyat kerajaan Cirebon yang terkena wabah penyakit.
Mudah-mudahan Nyi Ratu bersedia menolong dan

292
mengijinkan hamba membawa buah maja yang ada di
daerah kekuasaan Nyai."
"Hanya itu permintaanmu?"
"Ya, ratu, hanya itu permohonan hamba!"
"Baiklah akan aku penuhi permintaanmu itu,
bahkan semua kebun maja dan seluruh daerah
Panyidagan akan menjadi milikmu, asal kamu
memenuhi syarat ini."
"Terima kasih Ratu, apa gerangan syaratnya?"
"Syaratnya sangat mudah. Coba dengarkan!
Aku ini seorang ratu yang dihormati oleh semua rakyat
Panyidagan, para menteri, patih, serta para ponggawa
kami semuanya sangat setia. Hanya ada satu yang
belum terpenuhi oleh diriku, yakni belum memiliki
keturunan untuk melanjutkan tahta di kerajaan
Panyidagan ini. Nampaknya engkau akan pantas untuk
menjadi suamiku. Itulah syaratnya. Bagaimana, apakah
engkau bersedia?”
"Ampun ratu, syarat ini terlalu berat. Bukannya
hamba tidak mengagumi kecantikan ratu. Bukannya

293
hamba menolak anugerah besar ini. Hanya saja,
hamba ini sudah beristri. Hamba tidak mau
mengkhianati kesetiaannya."
Tentu saja, mendengar jawaban tersebut, Ratu
Ayu Panyidagan sangat murka.
"Patih, tangkap orang ini! Masukan ke dalam
penjara, jangan sampai kabur kembali ke Cirebon.
Bahkan akan ku hancurkan perkebunan buah maja di
seluruh pelosok kerajaannku, agar tidak bisa
menyembuhkan orang Cirebon."
Kemudian pergilah Ratu Panyidagan ke dalam
kaputren. Tidak berapa lama setelah itu, langit mulai
mendung, makin lama makin gelap, dan turunlah hujan
yang sangat lebat, sehingga seluruh penduduk
kerajaan pun merasa ketakutan.
Keesokan harinya, langit cerah dan matahari
bersinar menyinari alam semesta. Namun semua
penduduk terpaku melihat keadaan daerah Panyidagan
yang telah berubah. Kaputren dan Ratu Panyidagan

294
menghilang entah ke mana. Buah maja yang ditanam di
kebun kerajaan menghilang tanpa bekas.
Semua rakyat pun ribut sambil berteriak:
"Gusti ratu menghilang, maja….langka, maja…
langka, majalangka… !"
Sejak itu timbul sebutan Majalangka, yang
kemudian masarakat setempat menyebutnya
Majalengka. Kata langka dalam bahasa Sunda artinya
hilang atau musnah. Majalengka artinya hilangnya buah
maja.
Adapun Pangeran Muhamad yang diutus
Sinuhun Jati untuk mencari buah maja, tentu saja tidak
berhasil mendapatkannya. Di seluruh pelosok kerajaan,
buah maja telah musnah. Maka Pangeran Muhamad
pun memutuskan untuk tidak kembali ke Cirebon,
karena takut akan dihukum oleh Sinuhun Jati.
Selanjutnya Pangeran Muhamad memutuskan untuk
bertapa di gunung Haur, sampai meninggalnya di sana.
Sejak itulah wilayah Gunung Haur dikenal dengan
nama Margatapa, yang artinya tempat bertapa. ***

295
2. SASAKALA INDRAMAYU
Tersebutlah pemuda yang sangat tampan,
gagah, dan memiliki kesaktian tinggi. Ia bernama
Wiralodra, putra Tumenggung Gagak Singalodra, dari
Banyurip, Bagelen, Jawa Tengah. Karena ketampanan
dan kesaktiannya itulah, Wiralodra menjadi pujaan
banyak perempuan.
Sebagai kstaria pilih tanding, Wiralodra
mempunyai keinginan untuk mendirikan sebuah
kerajaan. Ia tidak ingin menjadi raja karena hasil
pemberian dari ayahnya atau orang lain. Maka sebagai
langkah awal, Wiralodra pun melaksanakan tapabrata
di suatu tempat yang bernama Malaya di kawasan
lembah Gunung Sumbing.
Wiralodara menghabiskan waktu 40 hari 40
malam, sebelum akhirnya mendapatkan wangsit dari
Sang Hyang Wasa. Dalam wangsitnya itu disebutkan
bahwa Wiralodra harus mencari sungai yang bernama
Cimanuk. Di lembah sungai itu, tanahnya subur dan
akan banyak dikunjungi orang. Tanah itulah yang

296
menurut wangsit sangat baik untuk dijadikan pusat
kerajaan.
Ketika itu hari masih pagi, ketika Wiralodra
menghadap ayahnya di pendopo.
“Ada apa anakku, engkau menghadapku di
waktu masih pagi seperti ini?”
Wiralodra menundukkan kepala, sebelum
akhirnya menjawab pertanyaan ayahnya.
“Maaf ayahanda, aku semalam mendapat
wangsit agar segera mencari sungai Cimanuk.”
“Untuk apa mencari sungai Cimanuk, bukankah
di daerah Bagelen juga terdapat banyak sungai,” kata
ayahnya terheran-heran.
“Di lembah sungai itulah, menurut wangsit,
sangat baik untuk dijadikan pusat kerajaan,” kata
Wiralodra tegas.
“Anakku, aku sudah tahu bagaimana
karaktermu. Kalau memang pendirian dan niatmu
begitu, aku akan mengijinkanmu. Hanya pintaku,
pandai-pandailah engkau menjaga diri. Sebagai teman

297
berbincang selama perjalanan, aku utus Ki Tinggil
untuk menemanimu”
Setelah mendapat ijin dari ayahnya, maka
pergilah Wiralodra dengan ditemani Ki Tinggil untuk
berkelana mencari sungai Cimanuk. Perjalanannya
menuju ke sebelah Barat. Dalam perjalanannya itulah
pada suatu hari di tengah hutan belantara, Wiralodra
bertemu dengan seorang lelaki tua renta. Lelaki tua
tersebut mengaku bernama Ki Sadum.
“Hey anak muda, ke mana tujuanmu?”
Maka berceritalah Wiralodra tentang maksud
dan tujuannya. Tidak lupa ia pun menceritakan isi
wangsit yang diterimanya di pertapaan.
Setelah mendengar cerita Wiralodra, tiba-tiba
lelaki tua tersebut berubah menjadi Kiai Malik Warna.
Mahaguru yang sudah koncara ke mana-mana memiliki
ilmu dan kesaktian yang tinggi. Tentu saja Wiralodra
dan Ki Tinggil kaget bercampur bahagia, karena dapat
bertemu dengan orang yang luar biasa.

298
Setelah sesaat ketiganya membisu, akhirnya Kiai
Malik bicara:
“Apabila engkau berdua sudah berada di wilayah
yang bernama Cupunagara, segera cari kijang bermata
berlian. Setelah ditemukan, ikutilah perjalanannya.
Apabila kijang itu berhenti dan menghilang di pinggir
sungai, maka sungai itulah yang dinamakan Cimanuk.
Mengerti engkau Wiralodra?”
“Paham, Kiai?”
Setelah meminta ijin, bergegaslah Wiralodra dan
Ki Tinggil menuju ke sebelah Barat untuk mencari
daerah yang bernama Cupunagara. Wiralodra kembali
menjelajah hutan belantara yang masih angker. Hingga
di sebuah hutan jati, ia mendapati ular sangat besar
menghalangi jalan setapak yang akan dilewatinya.
Ketika ular tersebut akan diangkat, tiba-tiba kepalanya
menyambar akan menerkam Wiralodra. Namun secara
gesit, Wiralodra memukulkan cakra senjata
andalannya. Kepala ular pun hancur terkena pukulan
cakra.

299
Baru saja Wiralodra menarik nafas, tiba-tiba ular
yang kepalanya sudah hancur tersebut berubah wujud
menjadi sungai yang airnya jernih. Wiralodra dan Ki
Tinggil merasa heran dan terpana. Untung saja
Wiralodra segera sadar, bahwa itu hanyalah sungai
jadi-jadian. Maka dengan segera, ia memukulkan
cakranya kembali pada air sungai yang jernih tersebut.
Setelah itu, hilanglah sungai, kini berubah menjadi
perempuan yang sangat cantik. Perempuan tersebut
menyebut dirinya dengan nama Dewi Larawana dan ia
pun mengaku penguasa hutan larangan tersebut.
Dalam pertemuannya itu, Dewi Larawana
mengaku telah jatuh cinta pada Wiralodra. Bahkan ia
menginginkan untuk dikawini oleh Wiralodra. Kontan
saja Wiralodra menolak, karena ia tidak berniat mencari
istri namun mencari daerah bernama Cupunagara.
Akibat ditolak Wiralodra, Dewi Larawana merasa
terhina. Ia pun langsung menantang Wiralodra untuk
berkelahi adu kesaktian sampai salah satunya ada
yang meninggal. Pada mulanya permintaan tersebut

300
ditolak oleh Wiralodra, namun karena Dewi Larawana
terlebih dulu menyerang, akhirnya Wiralodra pun
melayani tantangan tersebut.
Perkelahian pun terjadi. Baik Wiralodra maupun
Dewi Larawana sama-sama memiliki ilmu kesaktian
yang tinggi. Semakin lama perkelahian pun semakin
sengit. Keduanya sama-sama memakai ilmu yang
tinggi. Namun setelah Wiralodra mengeluarkan cakra
sebagai senjata andalannya, akhirnya Dewi Larawana
pun semakin terdesak. Ia pun akhirnya meninggal
terkena cakra Wiralodra.
Tidak berhenti di situ, kejadian aneh terjadi
kembali. Sesaat setelah Dewi Larawana meninggal,
tiba-tiba dari mayatnya keluar asap. Mula-mula berupa
asap tipis, kemudian berubah menjadi tebal sampai
menyelimuti hutan. Setelah itu, mayat Dewi Larawana
berubah wujud menjadi kijang bermata berlian. Adapun
ciri-ciri kijang tersebut sama dengan yang diceritakan
oleh Kiai Malik Warna.

301
Tentu saja Wiralodra tidak langsung percaya
begitu saja. Ia masih yakin bahwa kijang tersebut
hanyalah jadi-jadian. Namun ketika kijang bermata
berlian tersebut berlari dari hadapannya, Wiralodra
segera penasaran untuk mengejarnya. Maka dikejarlah
kijang bermata berlian itu oleh Wiralodra dan Ki Tinggil.
Wiralodra mengeluarkan aji kesaktiannya untuk
mengejar kijang tersebut. Namun kijang tersebut tetap
saja tidak terkejar. Sampai akhirnya kijang tersebut
menghilang di tepi sebuah sungai yang airnya jernih.
Wiralodra pun segera tersadar, bahwa kijang tersebut
telah menunjukkan letak sungai Cimanuk yang selama
ini ia cari.
Tidak menunggu lama, keesokan harinya
Wiralodra dan Ki Tinggil segera ngababakan (membuka
lahan baru untuk pedukuhan) di sekitar tepi sungai
Cimanuk. Sampai pada malam harinya, Wiralodra dan
Ki Tinggil didatangi dua mahluk aneh yang mengaku
Raja Budipaksa dan Patih Bujaris. Keduanya mengaku

302
sebagai penguasa hutan di sekitar tepi sungai Cimanuk
tersebut.
Dua siluman tersebut marah karena tidak terima
wilayah kekuasannya diganggu oleh Wiralodra. Mereka
berdua pun menyerang Wiralodra dan Ki Tinggil.
Keduanya saling berhadap-hadapan. Raja Budipaksa
menghadapi Wiralodra, sedangkan Patih Bujaris
menantang Ki Tinggil.
Perkelahian pun terjadi, sebelum akhirnya kedua
siluman tersebut dapat dikalahkan oleh Wiralodra dan
Ki Tinggil. Keduanya menerima takluk pada Wiralodra.
Bahkan seterusnya, seluruh siluman penghuni hutan di
tepi sungai Cimanuk turut serta membantu Wiralodra
membuka lahan baru untuk pemukiman.
Lama kelamaan lahan untuk pemukiman
semakin besar. Orang pun mulai berdatangan dan
betah menetap di sana. Wiralodra diangkat sebagai
pemimpinnya dan Ki Tinggil sebagai wakilnya.
Selanjutnya pemukiman itu pun berubah menjadi

303
kerajaan. Tentu saja Wiralodra diangkat menjadi raja
dan Ki Tinggil menjadi patihnya.
Wiralodra menugaskan Ki Tinggil untuk segera
memperluas wilayah kekuasaan. Dengan dibantu oleh
prajurit tangguh bernama Surantaka, Banyuntaka, dan
Puspahita, akhirnya Ki Tinggil pun berhasil memperluas
wilayah kekuasaan Wiralodra.
Perkampungan di lembah sungai Cimanuk
semakin ramai. Pembangunan dalam segala bidang
terus digalakan oleh Wiralodra, terutama pada bidang
pertanian dan perikanan. Apalagi setelah mendapat
bantuan dari seorang pemukim baru bernama Endang
Darma, perkampungan Cimanuk semakin pesat.
Endang Darma adalah seorang perempuan
cantik yang memiliki ilmu tinggi. Ia banyak membantu
Wiralodra dalam mengembangkan ilmu hidup kepada
penduduk Cimanuk, mulai dari teknik bertani,
berdagang, sampai teknik berperang melawan musuh.
Sehari-hari, Endang Darma hidup membaur dengan
penduduk Ciamanuk.

304
Pada suatu ketika, Wiralodra merasa tersanjung
atas bantuan Endang Darma tersebut. Ia pun berniat
ingin menguji kesaktian Endang Darma. Maka
ditantanglah Endang Darma oleh Wiralodra. Tetapi
karena Wiralodra memiliki kesaktian yang lebih tinggi,
akhirnya Endang Darma mengaku kalah. Sebagai
tandanya, ia akan terus membantu Wiralodra untuk
mengambangkan pemukiman Cimanuk menjadi sebuah
kerajaan yang disegani oleh kerajaan-kerajaan lain.
Kemudian Endang Darma mengajukan syarat
kepada Wiralodra agar mau menamai daerah tersebut
berdasarkan namanya. Wiralodra pun merestuinya,
asal Endang Darma dapat terus membantunya dalam
mengembangkan kerajaan.
Kabar telah berdiri kerajaan di lembah sungai
Cimanuk pun akhirnya sampai juga pada kerajaan
Cirebon. Sultan Cirebon merasa dihina, karena ada
sebagian wilayahnya yang dicaplok oleh Wiralodra.
Itulah sebabnya Cirebon segera mengirimkan pasukan

305
yang dipimpin oleh Aria Kemuning ke daerah Cimanuk.
Maksudnya untuk memberi pelajaran pada Wiralodra.
Tiba di Cimanuk, tentu saja WIralodra telah
menyiapkan penduduknya yang dipimpin oleh Endang
Darma untuk menghadapi pasukan Cirebon tersebut.
Pertempuran pun terjadi dan keunggulan berpihak pada
pasukan Endang Darma. Pasukan Cirebon kocar-kacir
kewalahan menghadapi amukan penduduk Cimanuk.
Setalah kejadian pertempuran itu, kemudian
Wiralodra memberi nama pada kerajaannya Darma
Ayu. Alasannya sebagai bentuk penghargaan pada
Endang Darma yang telah berhasil mengalahkan
pasukan Cirebon dan mempertahankan kekuasannya di
Cimanuk. Nama Darma Ayu diambil dari ungkapan
Endang Darma anu ayu, yang berarti Endang Darma
yang cantik (ayu). Tanda bahwa Wiralodra memuji
kecantikan, kesaktian, dan menepati janjinya pada
Endang Darma.
Semakin hari kampung Darma Ayu pun semakin
berkembang pesat. Banyak pendatang dari kerajaan

306
lain dan langsung menetap di perkampungan tersebut.
Bahkan banyak pula pendatang dari kerajaan Mataram.
Seiring waktu, nama kampung Darma Ayu pun berubah
menjadi Indramayu, mengikuti logat bahasa penduduk
setempat yang bercampur antara penduduk asli dengan
pendatang dari kerajaan Mataram, yang mereka sebut
sebagai bahasa dermayuan atau dermayon. ***

307
3. SASAKALA CIREBON
Di pesisir sebelah utara kerajaan Galuh, terdapat
sebuah kampung bernama Surantaka. Kampung
tersebut dipimpin oleh Ki Gedeng Sindangkasih,
adiknya raja Galuh yang bernama Prabu Anggalarang.
Ki Gedeng Sindangkasih memiliki seorang putri
yang cantik jelita bernama Nyai Ambet Kasih.
Penduduk di kampung tersebut kesehariannya
menangkap rebon, sejenis udang kecil bahan pokok
untuk membuat tarasi (terasi).
Suatu ketika, datanglah seorang pemuda
tampan ke kampung Surantaka. Ia mengaku berasal
dari Galuh dan bernama Pamanah Rasa. Oleh Ki
Gedeng Sindangkasih, diterimalah pemuda tersebut
sebagai tamu pribadinya. Lalu pemuda tersebut
diinapkan di rumah Ki Gedeng Sindangkasih.
Semakin hari, semakin kelihatan watak dan
ketangkasan Pamanah Rasa. Ki Gedeng Sindangkasih
dan semua penduduk kampung pun semakin takjub
dibuatnya. Termasuk Nyai Ambet Kasih, ia menaruh

308
perhatian khusus pada pemuda tersebut. Karena
penasaran, maka pada suatu hari yang cerah,
dipanggilah pemuda tersebut untuk menghadap Ki
Gedeng Sindangkasih.
“Ada apa Aki memanggil saya?”
“Begini anak muda, melihat kecerdasan dan
ketangkasanmu, aku sedikitnya menaruh curiga.”
“Maksud, Aki?”
“Aku heran, selama ini engkau mengaku sebagai
pengelana dan rakyat biasa. Namun dari tingkah
lakumu, nampaknya engkau hadir dari keluarga istana.
Tidak mungkin rakyat biasa memiliki pemikiran seperti
engkau. Jadi, siapa sebenarnya engkau ini anak
muda?”
“Euh, aku sebenarnya bukan Pamanah Rasa.
Namaku yang sebenarnya adalah Jayadewata. Aku
pangeran dari Galuh.”
“Kalau begitu berarti engkau keponakanku,
karena Prabu Anggalarang adalah kakakku.”

309
Sejak perbincangan hari itu, selanjutnya
Pamanah Rasa pun dinikahkan dengan Nyai Ambet
Kasih. Seluruh penduduk kampung pun ikut
berbahagia.
Setelah menetap cukup lama, kemudian
Pamanah Rasa melanjutkan perjalanannya. Nyai
Ambet Kasih pun tidak bisa mencegahnya, karena ia
tahu tugas suaminya sebagai putra mahkota kerajaan
Galuh amatlah berat.
Dalam perjalanannya kemudian, sampailah
Pamanah Rasa di sebuah kampung yang bernama
Singapura, letaknya bersebelahan dengan kampung
Surantaka. Kampung tersebut dipimpin oleh Ki Gedeng
Tapa. Di kampung tersebut tengah diadakan saembara
adu kesaktian.
Bagi yang memenangkan saembara, akan
dinikahkan dengan putri Ki Gedeng Tapa yang
bernama Nyai Subanglarang. Karena Pamanah Rasa
memenangkan sayembara, lalu ia pun dinikahkan
dengan Nyai Subanglarang. Dari perkawinan tersebut

310
lahirlah tiga orang anak, yaitu Raden Walangsungsang,
Nyai Lara Santang dan Raja Sangara.
Waktu pun berjalan cepat. Ketiga anak Pamanah
Rasa telah tumbuh besar. Ketiganya dibesarkan di
keraton Singapura. Namun setelah Nyai Subanglarang
meninggal, Raden Walangsungsang dan Nyai Lara
Santang meninggalkan istana, ia berkelana dan
berguru di padepokan seorang guru bernama Ki
Gedeng Danuwarsih.
Setelah berguru sekian lama, Raden
Walangsungsang oleh Ki Gedeng Danuwarsih
dinikahkan kepada putri tunggalnya yang bernama Nyai
Indang Geulis. Setelah menikah, Raden
Walangsungsang, Indang Geulis, berikut Nyai Lara
Santang, melanjutkan kembali pengembaraannya.
Sampailah kepada sebuah pesantren pimpinan
Syeh Datuk Kahfi. Ketiganya masuk Islam. Oleh Syeh
Datuk Kahfi, Raden Walangsungsang diberi nama Ki
Samadullah, dan kelak setelah pergi menjalankan

311
ibadah haji, ia berganti nama menjadi Haji Abdullah
Iman.
Atas anjuran guru sekaligus mertuanya, Raden
Walangsungsang ngababakan (membuka daerah baru)
yang diberi nama Tegal Alang-alang atau Kebon
Pesisir. Dinamakan Tegal Alang Alang karena daerah
tersebut sebelumnya banyak ditumbuhi pohon alang-
alang. Kampung inilah yang kemudian banyak didatangi
oleh pemukim dari daerah lain, mulai dari etnis Sunda,
Jawa, Arab, dan Cina. Kampung inipun kemudian
diubah namanya menjadi kampung Caruban, yang
artinya campuran dari berbagai etnis dan agama.
Setelah perkampungan Caruban berkembang
pesat, atas saran mertuanya Syeh Datuk Kahfi, Raden
Walangsungsang pergi berhaji ditemani oleh adiknya
Nyai Lara Santang. Di mekah inilah, kemudian adiknya
dinikahi oleh Maulana Sultan Muhammad bergelar
Syarif Abdullah keturunan Bani Hasyim putera Nurul
Alim. Nyai Lara Santang pun berganti nama menjadi
Syarifah Mudaim.

312
Dari perkawinannya dengan orang Arab,
Syarifah Mudaim mendapat putra bernama Syarif
Hidayatullah yang kelak didaulat menjadi Sunan
Gunung Jati, karena meninggal di gunung Jati.
Kembali ke kisah Raden Walangsungsang atau
Ki Samadullah atau Abdullah Iman. Sesudah
menikahkan adiknya, ia pun segera kembali ke
kampung Caruban. Setibanya di kampung halaman, ia
langsung mendirikan sebuah mesjid dan sebuah
rumah. Mesjid tersebut kelak diberi nama Jalagrahan
dan rumahnya kemudian dijadikan Keraton Pakungwati.
Ki Samadullah pun diangkat menjadi Kuwu Caruban
yang bergelar Pangeran Cakrabuana. Pakuwuan ini
kemudian diperluas dan ditingkatkan derajat
pemerintahannya menjadi kerajaan kecil bernama
Nagari Carubanlarang.
Kerajaan Carubanlarang pun semakin hari
semakin berkembang pesat. Letaknya di sisi pesisir
membuat kedatangan banyak pengunjung dari negara
lain, yang salah satunya ada seorang pendatang

313
bernama Syarif Hidayatullah. Pemuda ini masih
keponakan Ki Samadullah, karena ia anak Syarifah
Mudaim, adiknya sendiri.
Mula-mula Syarif Hidayatullah tiba di pelabuhan
Muara Jati, kemudian terus ke Desa Sembung-
Pasambangan, dekat Amparan Jati, dan di sana ia
mulai menyebarkan agama Islam, menggatikan Syekh
Datuk Kahfi. Selain itu, ia pun bolak-balik ke Nagri
Carubanlarang untuk menemui uwaknya, Ki Samdullah.
Setelah lama membantu Syeh Datuk Kahfi
mengajakan Islam di daerah pesisir utara, kemudian
Syarif Hidayatullah atau dikenal juga dengan nama
Syeh Jati, pergi berkelana ke kerajaan Banten. Di sana
ia bertemu dengan Bupati Kawunganten dari kerajaan
Pajajaran yang sangat tertarik terhadap ajaran Islam.
Bahkan sampai menikahkan adiknya yang bernama
Nyai Kawunganten dengan Syeh Jati. Dari
pernikahannya itulah, lahir Pangeran Saba Kingkin,
yang kelak dikenal sebagai Maulana Hasanuddin
pendiri Kerajaan Banten.

314
Setelah sekian lama mengembara di Banten,
kemudian Syeh Jati kembali ke pesisir utara.
Sekembalinya dari Banten itulah ia kemudian
dinobatkan sebagai kepala Nagari Carubanlarang dan
bergelar Sunan Jati atau Sunan Caruban. Sejak itulah
kemudian Nagari Caruban berkembang pesat dan
dikembangkan menjadi sebuah Kesultanan. Namanya
pun diganti, dari Caruban menjadi Cerbon, disesuaikan
dengan logat penduduk setempat. Mengambilan nama
ini pun mengingatkan cikal bakal kampung Surantaka,
yang mayoritas keseharian penduduknya menangkap
rebon. Nama Caruban atau Cerbon inilah yang kelak
akan berubah menjadi Cirebon hingga sekarang. ***

315
4. SASAKALA KUNINGAN

Ketika di wilayah Kesultanan Cirebon semua


penduduknya telah ngagem (masuk) agama Islam,
Sunan Gunung Jati pun kemudian menyebarkan agama
Islam ke sebuah perkampungan di sebelah selatan
Cirebon yang bernama Luragung.
Di kampung itu, konon penduduknya masih
menyembah berhala dan percaya pada pohon-pohon
yang sudah berumur ratusan tahun. Pada waktu itu,
kampung Luragung dipimpin oleh Ki Gedeng Luragung.
Sesampainya di kampung Luragung, Sunan
Gunung Jati pun kemudian mulai mengajak penduduk
di sana untuk masuk Islam. Orang yang pertama
berhasil diajak masuk, ialah Ki Gedeng Luragung.
Kemudian kerabatnya, hingga akhirnya semua
penduduk Luragung pun masuk Islam.
Penduduk Luragung terkenal sangat ramah,
apalagi setelah semua penduduknya masuk Islam.
Terlebih mereka tahu bahwa Sunan Gunung Jati adalah
Sultan Cirebon. Setelah sekian lama Sunan Gunung

316
Jati menetap di Luragung, kemudian istrinya yang
bernama Putri Ong Tien (asal Campa) atau Nyai Rara
Sumanding datang menyusulnya.
Ketika itu Nyai Rara Sumanding tengah hamil
tua. Hingga sesampainya di Luragung, Nyai Rara
Sumanding pun melahirkan seorang bayi laki-laki.
Namun sayang, putranya yang pertama itu meninggal
dunia. Untuk mengobati hati istrinya, kemudian Sunan
Gunung Jati meminta kepada Ki Gedeng Luragung
untuk bersedia putranya yang kebetulan masih bayi
diangkat menjadi anak kukut (pungut). Anak tersebut
bernama Suranggajaya.
Sebagai tanda balas budi kepada Ki Gedeng
Luragung, Sunan Gunung Jati nukeuran (menukar) bayi
yang bernama Suranggajaya itu dengan sebuah bokor
yang terbuat dari wesi kuning (logam kuningan). Bokor
kuningan inilah yang kelak dijadikan logo atau maskot
kabupaten Kuningan.
Setelah menyebarkan Islam di kampung
Luragung, kemudian Sunan Gunung Jati pergi ke

317
Winduherang untuk menemui saudaranya yang
bernama Bratawiyana atau Aria Kamuning.
Sesampainya di Winduherang, ternyata saudaranya
tersebut telah lebih dulu masuk Islam atas petunjuk
Syekh Maulana Akbar.
Syekh Maulana Akbar adalah pendatang dari
Persia yang menyebarkan Islam lebih awal di daerah
Winduherang. Sebelumnya ia menikahi Nyai Ratu
Selawati yang pada waktu itu menjadi ratu di daerah
Winduherang. Nyai Ratu Selawati adalah adiknya Ki
Gedeng Luragung. Ia penganut agama karuhun,
sebelum akhirnya masuk Islam setelah dinikahi oleh
Syekh Maulana Arifin.
Kedatangan Syekh Maulana Akbar dalam
menyebarkan Islam ke Winduherang, artinya lebih dulu
daripada Sunan Gunung Jati. Mungkin dapat dikatakan
Syekh Maulana Akbar sebagai perintis penyebaran
Islam pertama ke daerah itu. Sementara Sunan
Gunung Jati, dapat dikatakan sebagai penyempurna.
Namun tentu saja, masuknya Syekh Maulana Arifin ke

318
daerah Winduherang atas seijin Sunan Gunung Jati,
karena ketika itu Sunan Gunung Jati yang menjadi
Sultan Cirebon.
Kembali ke kisah perjalanan Sunan Gunung Jati.
Setelah sampai di Winduherang, ia kemudian
menitipkan anak angkatnya (Suranggajaya) untuk
diasuh oleh Bratawiyana (Aria Kamuning). Pada waktu
itu Sunan Gunung Jati berpesan bahwa setelah
dewasa, kelak anak angkatnya tersebut akan diangkat
menjadi penguasa di Winduherang menggantikan Nyai
Ratu Selawati.
“Aku titipkan anak angkatku. Asuhlah dia
menjadi pemuda yang taat terhadap ajaran Islam. Kelak
ia akan ku angkat menjadi penguasa di wilayah ini,”
titah Sunan Gunung Jati pada Aria Kamuning.
“Baiklah Kanjeng Sunan, akan kulaksanakan
titahmu,” jawab Aria Kemuning.
“Aku ganti nama anak ini menjadi Raden
Kamuning. Semoga dengan nama itu, ia akan merasa
lebih dekat denganmu,” ujar Sunan Gunung Jati.

319
Waktu pun berjalan begitu cepat. Raden
Kamuning kini sudah tumbuh menjadi pemuda tampan
dan cerdas. Bersamaan dengan itu, tumbuh pula anak
pituin (asli) Aria Kamuning yang bernama Dipati
Ewangga. Keduanya sangat rukun. Sering mengaji dan
latihan kanuragan (ilmu beladiri) bersama. Kelak Dipati
Ewangga akan membantu Kesultanan Cirebon dalam
menyerang Belanda di Batavia (sehingga sekarang kita
mendapati nama perkampungan Kuningan di Jakarta).
Sesuai dengan janjinya, setelah menginjak usia
17 tahun, kemudian Sunan Gunung Jati mengangkat
Raden Kamuning menjadi penguasa di Winduherang.
Semenjak itu, nama Winduherang pun diganti oleh
Sunan Gunung menjadi Kuningan. Nama tersebut
merujuk pada kisah hidup Raden Kamuning yang ketika
masa bayinya ditukar oleh Sunan Gunung Jati dengan
sebuah bokor kuningan dari Ki Gedeng Luragung.
Semakin lama kerajaan Kuningan banyak
didatangi oleh pendatang dari daerah lain. Mereka
kebanyakan berdagang, namun ada pula yang terus

320
bermukim. Sebagai raja yang dikukuhkan oleh Sunan
Gunung Jati, pada waktu itu kedudukannya di bawah
kekuasaan Kesultanan Cirebon yang dipimpin oleh
ayah angkatnya sendiri, Sunan Gunung Jati.
Dalam memimpin roda pemerintahan, Raden
Kamuning sangat adil dan bijak. Ia selalu membuat
perintah atas dasar ajaran agama Islam. Seluruh rakyat
Kuningan sangat menghormati dan mencintainya.
Kemudian Sunan Gunung Jati pun memberikan gelar
kepadanya Sang Adipati Kuningan. ***

321

You might also like