You are on page 1of 3

UU Minerba diskriminatif

December 18, 2008

Bisnis Indonesia,  Kamis 18 Desember 2008

 Pengusahaan dan pengelolaan pertambangan, khususnya mineral dan batu bara, memasuki era
baru dengan disetujuinya Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba)
oleh DPR pada Selasa. Era baru itu ditandai dengan pemberian izin oleh pemerintah bagi
pengusahaan dan pengelolaan pertambangan minerba.
Sebelumnya, berdasarkan UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pertambangan, pengusahaan dan pengelolaan pertambangan di negeri ini menggunakan pola
kontrak karya. Dengan pola ini, manfaat yang diperoleh bangsa Indonesia dari pengusahaan dan
pengelolaan pertambangan minerba dinilai tidak maksimal, karena posisi negara yang sejajar
dengan perusahaan pertambangan.

Padahal, negara merupakan pemilik seluruh deposit minerba yang ada di perut bumi Indonesia.
Seluruh kekayaan tambang itu harus dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
Indonesia.

Oleh karena itu, kehadiran UU Minerba merupakan angin segar bagi upaya memanfaatkan
seluruh kekayaan tambang semaksimal mungkin. Apalagi UU ini memiliki sedikitnya empat
kelebihan dibandingkan dengan UU No. 11 Tahun 1967.

Pertama, pengusahaan dan pengelolaan pertambangan dilakukan melalui pemberian izin oleh
pemerintah. Dengan pola ini, posisi negara berada di atas perusahaan pertambangan, sehingga
negara memiliki kewenangan untuk mendorong perubahan kesepakatan bila ternyata merugikan
bangsa Indonesia.

Kewenangan ini tidak ditemukan dalam pola perjanjian kontrak karya. Pada pola ini, perusahaan
pertambangan berada dalam posisi sejajar dengan negara. Perubahan atas kontrak hanya dapat
dilakukan dengan kesepakatan kedua pihak.

Kedua, memperjelas desentralisasi kewenangan pengelolaan pertambangan. Artinya, pemerintah


provinsi dan kabupaten/kota juga diberi kewenangan untuk mengeluarkan izin pertambangan di
wilayahnya.

Kewenangan tersebut memungkinkan daerah memiliki kesempatan untuk memperoleh


penghasilan dari pengusahaan terhadap pertambangan minerba tersebut. Hal ini pada gilirannya
akan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerah.
Ketiga, mengakui kegiatan pertambangan rakyat dalam suatu wilayah pertambangan. Pengakuan
ini penting mengingat selama ini kegiatan pertambangan rakyat dikategorikan liar dan ilegal,
sehingga dilarang dengan ancaman hukuman yang cukup berat.

Padahal, kegiatan ini sudah berlangsung lama dan dilakukan secara turun-temurun di sekitar
lokasi pertambangan yang diusahakan, baik oleh BUMN maupun swasta. Kalau demikian
faktanya, mengapa pertambangan rakyat mesti dilarang dan dikategorikan sebagai kegiatan
ilegal? Bukankah rakyat juga memiliki hak untuk memanfaatkan kekayaan minerba untuk
kemakmurannya?

Keempat, UU Minerba mewajibkan perusahaan pertambangan yang sudah berproduksi untuk


membangun pabrik pengolahan di dalam negeri. Kehadiran pabrik itu penting dalam upaya
meningkatkan nilai tambah dari bahan tambang minerba, selain membuka lapangan kerja baru
bagi rakyat Indonesia.

Pembangunan pabrik pengolahan itu juga akan menimbulkan trickle down effect bagi
masyarakat di sekitar lokasi pabrik. Kondisi ini pada akhirnya dapat meningkatkan aktivitas
ekonomi dan kesejahteraan rakyat di sekitar lokasi pabrik.

Namun, UU Minerba dinilai diskriminatif, sehingga tiga fraksi di DPR-PAN, PKB, dan PKS-
memilih walk out ketika sidang paripurna pengesahan UU itu. Diskriminatif karena UU itu jelas-
jelas melindungi kepentingan perusahaan tambang, pemegang kontrak karya, dan perjanjian
karya pengusahaan pertambangan batu bara. Kebanyakan kontrak perusahaan pertambangan
yang ada baru berakhir pada 2021-2041.

Oleh karena itu, UU Minerba rawan digugat ke Mahkamah Konstitusi. Kalau demikian
keadaannya, dapatkah UU itu mengatur pengusahaan dan pengelolaan sumber daya mineral dan
batu bara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia?

Undang-Undang Minerba Belum Teruji

21 Januari 2009 | 19:39 WIB

Hikmahanto Juwana

Egenius Soda
egen@majalahtambang.com

Jakarta –TAMBANG. Prof. Hikmahanto Juwana, SH., LL.M, Ph.D, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas (UI)
Indonesia mengatakan, kelemahan utama dari Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara
(UU Minerba) adalah belum teruji (tested) dalam praktek.

Oleh karena itu yang penting saat ini adalah pembuktian bahwa rumusan peraturan dalam UU tersebut
harus dapat tercermin dalam pelaksanaannya. Kecemasan muncul karena berbagai ketentuan yang
dibuat tanpa memperhatikan secara akurat kondisi yang ada.

"Para pembentuk UU diduga lebih banyak menggunakan perasaan (feeling) dan keputusan politik
daripada fakta yang ada di lapangan,” tandas Dekan Fakultas Hukum UI ini dalam Seminar UU Minerba
di Jakarta, Rabu, 21 Januari 2009.

Menurutnya, harus diakui bahwa mengubah secara total UU tentu sangat sulit. Ini sama seperti
membuka "Pandora Box”. Berbagai hal akan bermunculan, kadang liar dan tidak terukur. Ini yang dapat
memunculkan ketidakpastian dari suatu UU.

Jadi saat ini yang penting adalah bagaimana UU Minerba dapat dengan baik diimplementasikan sesuai
dengan pasal-pasal yang ada.

Harus diakui bahwa telah banyak peraturan perundang-undangan yang diatas kertas baik namun dalam
kenyataan tidak terefleksi. Dari sisi ini pasti akan terjadi jurang ketidakpastian, yang akan membuat iklim
investasi dibidang pertambangan tidak kondusif bagi pelaku usaha.

Sedangkan kelebihan dari UU Minerba terletak pada diaturnya secara komprehensif berbagai hal meski
masih dibutuhkan banyak Peraturan Pemerintah (PP). Selain itu UU juga telah mencoba untuk merespon
perubahan fundamental yang terjadi di Indonesia sejak tahun 1998.

UU Minerba juga sangat berbeda dengan UU No. 11 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Pertambangan.
"Ini harus dipahami mengingat konteks Indonesia yang berbeda ketika UU Minerba dan UU 11/1967
dibuat," jelasnya.

Ketika UU 11/1967 dibuat, pemerintah sedang giat mengundang para investor asing. Investor asing
dibutuhkan karena ketiadaan dana, ahli, dan teknologi dalam mengeksplorasi dan mengeksploitasi
sumber daya mineral dan batubara. Saat ini rezim kontrak karya berakhir dan diganti dengan rezim
perizinan.

"Kalau rezim kontrak karya kedudukan pemerintah dan investor boleh dikatakan sejajar. Tetapi untuk
saat ini kedudukan pemerintah sedikit lebih kuat,” jelas Hikmahanto yang juga menjadi Anggota Komite
Hukum Kementerian Negara BUMN.

http://www.majalahtambang.com/detail_berita.php?lang=in&category=18&newsnr=1025

You might also like