Professional Documents
Culture Documents
AT-TASYRI’
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
Vol. I, No. 2, Juni - September 2009
Konsep Perlindunga
Konsumen dalam
Memperoleh Makanan
Menurut Islam
Asmawati
Eksistensi dan
perkembangan Bank
Syari'ah
Deddy Nofendy
Asuransi dalam
Perspektif Islam
Amrizal hamsa
Diterbitkan oleh:
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
TEUNGKU DIRUNDENG, MEULABOH
ACEH BARAT
AT-TASYRI´
JURNAL ILMIAH PRODI MUAMALAH
ISSN: 2085-2541
Volume 1 Nomor 2
Juni - September 2009
Penanggung Jawab
Syamsuar Basyariah
Ketua Redaksi
Asmawati
Redaktur Pelaksana
Fauzi Saleh
Jamaluddin Thayyib
Muliadi Kurdi
Banta Ali Abdullah
Penyunting Ahli
Juhaya S. Praja
Nur Ahamad Fadhil Lubis
Nazaruddin AW
Usamah El-Madny
Muhammad Maulana
Zulkarnain Abdullah
Jamaluddin Thayyib
Setting/Layout
Khairul Umami
Sirkulasi
M. Yunus
Nurhayati
Maidijar
ALAMAT REDAKSI
Jalan Teuku Umar Komplek Masjid Nurul Huda,
Meulaboh-Aceh Barat
No. 100 Telp: 0655-7551591; Fax: 0655-7551591
E-mail: prodimu_stai@yahoo.co.id
Website: www.staidirundeng.ac.id
DAFTAR ISI
Segala puji ke hadirat Allah swt. yang telah menurunkan tuntunan dan
hukum sebagai guidance (bimbingan) kepada manusia agar dapat hidup
dengan aman dan tenteram baik secara individual maupun kolektif.
Selawat dan salam kepada junjungan alam Nabi Muhammad saw. yang
ucapan, perbuatan dan diamnya menjadi landasan yang patut dan pantas
diteladani dalam berbagai aspek dan sisi kehidupan manusia.
Jurnal Tasyri’ kali ini menghadirkan beberapa tulisan yang sangat urgen
dalam respon problematika sosial kemasyarakat khususnya dalam ranah
hukum Islam. Tulisan tersebut diharapkan akan menjadi wacana, bahan
diskusi, renungan dan bahkan acuan dalam menghadapi issu yang beredar
dalam masyarakat dewasa ini.
Dari sisi lain, isu hangat tentang asuransi, menjadi persoalan yang tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan masyarakat modern sekarang ini. Di dunia maju,
asuransi menjadi kebutuhan primer, yang tidak boleh tidak. Hal tersebut
akan terasa sangat aplikatif ketika Amrizal Hamsa, membicarakan tentang
asuransi dalam tulisannya: “Asuransi dalam Perspektif Islam”
dto
Syamsuar Basyariah
Deddy Nofendy
Dosen Prodi Mu’āmalah, Sekolah Tinggi Agama Islam Teungku Dirundeng Meulaboh,
dan Direktur BPD Aceh Syari‘ah, Cabang Meulaboh.
Abstract
A. Pendahuluan
Seiring dengan perkembangan waktu dan pendapatan masyarakat yang
semakin bertambah, maka kebutuhan akan transaksi perbankan semakin
hari semakin terasa. Masyarakat yang sebelumnya hanya menyimpan
uangnya di rumah-rumah, namun sekarang hampir semua masyarakat
dalam menyimpan uangnya menggunakan jasa perbankan, apalagi dengan
sejumlah tawaran bunga yang sekian persen, sehingga masyarakat berlomba-
lomba untuk menyimpan uangnya melalui jasa perbankan.
Oleh karena itu, maka dalam tulisan ini, penulis berusaha untuk
menggambarkan bagaimana eksistensi perbankan syari’ah, fungsinya,
tujuannya, prinsip-prinsipnya dan juga perkembangannya hingga saat ini,
baik di Indonesia maupun di berbagai dunia lainnya.
B. Pembahasan
1. Pengertian Bank dan Fungsinya
Kata bank berasal dari kata banque dalam bahasa Perancis dan kata banco
dalam bahasa Itali, yang berarti peti atau bangku. Konotasi kata ini
menunjukkan fungsi dasar bank secara komersial, yaitu menyiratkan fungsi
sebagai tempat menyimpan benda-benda berharga, seperti emas, berlian,
uang dan sebagainya.1
Pada abad kedua belas kata banco di Italia merujuk pada meja, counter atau
tempat usaha menukar uang (money changer) dan dalam arti transaksi bisnis
yang lebih luas yaitu membayar barang dan jasa. Jadi fungsi dasar bank
adalah menyediakan tempat untuk menitipkan uang dengan aman dan
menyediakan alat pembayaran untuk membeli barang dan jasa.
Sementara pada era modern ini, makna dan fungsi bank khususnya bank
konvensional tidak hanya sebagai tempat membayar barang dan jasa, namun
lebih luas lagi, yaitu sebagi lembaga intermediasi.2 Ia berfungsi sebagai
lembaga yang menerima simpanan dari nasabah dan meminjamkannya
kepada nasabah lain yang membutuhkan dana. Atas simpanan para nasabah
itu bank memberi imbalan berupa bunga, demikian juga untuk pemberian
pinjaman, bank juga mengenakan bunga.3
1 Iswardono Sp, Uang dan Bank, (Yogyakarta: BPFE, 1994), hal. 50. Lihat juga +Zainul Arifin,
Dasar-Dasar Manajemen Bank Syari'ah, (Jakarta: AlvaBet, 2003), hal. 1.
2 Dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor
7 Tahun 1992 tentang Perbankan disebutkan bahwa bank adalah Badan Usaha yang mernghimpun
dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam
bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat
banyak. Republik Indonesia, Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, Lembaran Negara Tahun 1998
No. 182
3 Iswardono Sp, Uang dan Bank…, hal. 1
Sebenarnya Pada tahun 1963 di Mesir telah beroperasi perbankan syari’ah, yang
4 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Wacana Ulama dan Cendikiawan, (Jakarta:
Kerjasama Tazkia Institut dan Bank Indonesia, 1999), hal. 271.
bernama; Mit Ghamr Local Saving Bank. Bank inilah yang menjadi tonggak
sejarah perkembangan sistem perbankan syari’ah,. Mit Ghamr yang dibina
oleh. Ahmad Najjar adalah lembaga keuangan yang beroperasi di pedesaan
(rural social bank) di sepanjang delta sungai Nil dan berskala kecil.5 Mit Ghamr
menyediakan pelayanan dasar perbankan seperti simpanan, pinjaman,
penyertaan modal, investasi langsung dan pelayanan sosial. Pengenalan
pelayanan sistem perbankan yang berdasarkan Islam yang dilakukan Mit
Ghamr mendapat sambutan yang hangat dari penduduk setempat.
Hal ini terbukti dari jumlah nasabah yang pada akhir tahun buku 1963/1964
tercatat sebanyak 17.560 menjadi sebanyak 251.152 pada akhir tahun buku
1966/1967. Jumlah deposito juga meningkat tajam dari LE 40.944 pada akhir
tahun buku 1963/1964 menjadi LE 1.828.375 pada akhir tahun buku 1966/1967.6
Salah satu faktor yang menyebabkan peningkatan ini adalah adanya rasa
saling memiliki di antara masyarakat terhadap sistem ini.
Namun kemudian terjadi kekacauan politik di Mesir pada masa rejim Gamal
Abdul Nasser hingga Mit Ghar mengalami kemunduran, operasionalnya
diambil alih oleh National bank of Egypt dan Bank Sentral Mesir pada akhir
1967. Dampaknya prinsip dasar peniadaan bunga dalam setiap dasar transaksi
bank mulai diabaikan dan selanjutnya beroperasi atas dasar riba. Pada
tahun 1971, di bawah pemerintahan Anwar Sadat, keinginan mewujudkan
sistem perbankan yang bebas bunga kembali bangkit, dan ditandai dengan
didirikannya Nasser Social Bank yang mengambil alih bisnis yang bebas
bunga yang dulu dilaksanakan Mit Ghamr. Namun berbeda dengan Mith
Ghamr yang diprakarsai dan dimodali oleh masyarakat, sementara modal
Nasser Social Bank berasal dari pemerintah, yang bersumber dari dana
wakaf yang dikumpulkan oleh negara. Basis operasinya juga tidak lagi di
pedesaaan tetapi di perkotaan.7 Namun karena manajemennya kurang baik,
akhirnya bank tersebut tidak bertahan lama dan kemudian pada tahun 1976
operasionalnya harus dihentikan dan ditutup.8
13 Ibid.
14 Muhammad Syafii Antonio, Bank Syari’ah Wacana..., hal. 273
di Uni Emirat Arab pada tahun 1973 dengan modal 14 juta dular AS. Bank
ini kemudian diikuti oleh bank Pembangunan Islam di Jeddah, Arab Saudi
tahun 197515. Berikut perkembangan bank syari’ah di beberapa negara:
a. Pakistan
Pakistan merupakan negara pelopor di bidang perbankan syariah pada
awal Juli 1979, sistem bunga dihapuskan dari operasional tiga institusi,
yaitu National Investment (Unit Trust), House Building Finance Corporation
(pembiayaan sektor perumahan), dan Mutual Funds of the Investment
Corporation of Pakistan (kerjasama investasi) pada 1979-1980, pemerintah
mensosialisasikan skema pinjaman tanpa bunga kepada petani dan
nelayan.
b. Mesir
Bank syari’ah pertama yang didirikan di Mesir adalah Faisal Islamic
bank. Bank ini mulai beroperasi pada bulan maret 1978, dan berhasil
membukukan hasil mengesankan dengan total aset sekitar 2 milyar dolar
AS pada 1986 dan tingkat keuntungan sekitar 106 juta dolar AS. Selain
Faisal Islamic Bank, terdapat bank lain, yaitu Islamic International Bank for
Investment and Development yang beroperasi menggunakan instrumen
keuangan Islam dan menyediakan jaringan yang luas. Bank ini beroperasi,
baik sebagai bank investasi (investment bank), bank perdagangan (merchant
bank), maupun bank komersial (commercial bank).
c. Kuwait
Kuwait Finance House didirikan pada tahun 1977 dan sejak awal beroperasi
dengan sistem tanpa bunga. Institusi ini memiliki 8 cabang di Kuwait dan
e. Malaysia
Bank Islam Malaysia Berhad (BIMB) merupakan bank syariah pertama di
Asia Tenggara. Bank ini didirikan pada tahun 1983, dengan 30 persen
modal merupakan milik pemerintah federal. Sekarang BIMB telah
memiliki lebih dari 70 cabang tersebar hampir di setiap negara bagian
dan kota-kota Malaysia.
f. Iran
Perkembangan bank syariah di Iran dimulai sejak Januari 1984
berdasarkan ketentuan/undang-undang yang disetujui Pemerintah pada
bulan Agustus 1983. Sebelum undang-undang tersebut dikeluarkan
sebenarnya telah terjadi transaksi sebesar lebih dari 100 milyar Rial yang
diadministrasikan sesuai dengan sistem syariah. Hingga bulan Oktober
1983, sebanyak 20.000 orang karyawan bank di Iran telah mengikuti
pelatihan sistem perbankan syariah.
g. Turki
Baru pada tahun 1984, pemerintah Turki memberikan izin kepada Dar
Al-Mal Al-Islami untuk mendirikan bank yang beroperasi berdasarkan
bagi hasil. Hal ini karena menurut ketentuan Bank Sentral Turki, bank
syariah diatur dalam satu yuridiksi khusus. Setelah DMI berdiri, pada
bulan Desember 1984 di didrikan pula Faisal Finance Institution dan mulai
Dari tabel di atas dapat terlihat bahwa bank-bank Islam tidak terbatas hanya
pada negara-negara Islam saja, negara-negara non muslim seperti Bahamas,
Swiss, Denmark dan Luxemburg juga mempunyai bank-bank Islam, dan
Islamic Bank International di Denmark sebagai bank Islam pertama yang
berdiri di Eropa. Pendirian bank Islam di negara non muslim mungkin tidak
mempunyai tujuan yang sama persis dengan di negara muslim, yaitu lebih
menekankan pada profit, namun selama tidak melanggar prinsip Islam
keberadaannya disambut dengan baik.
Saat ini, perbankan syari’ah telah mengalami perkembangan cukup pesat dan
menyebar ke banyak negara, juga negara-negara Barat. Bank-bank besar dari
negara barat seperti Citibank, ANZ Bank, Chase Manhattan Bank dan Jardine
Fleming telah pula membuka Islamic window19 agar dapat memberikan jasa-
jasa perbakan yang sesuai dengan syari’at Islam.20
Seiring perjalanan waktu, selama hampir tiga tahun ini bank-bank Islam
mulai bangkit kembali dengan pertumbuhan mencapai 15 % pertahun. Ketua
Dewan Bank Islam dan Lembaga Keuangan Kamel Saleh mengungkapkan,
jumlah Bank Islam dan investasi di Bank-bank Islam terus meningkat,
jumlahnya mencapai 270 bank dengan jumlah asset mencapai 260 Milyar
dollar dan jumlah simpanan nasabah lebih dari 200 milyar dollar. Konsep
bank Islam juga mampu menarik minat yang besar dari kalangan non
muslim. Konsep yang melarang adanya bunga, bisa diterima oleh mereka
yang bukan muslim, pakar keuangan Inggris Warren Sofies setuju kalau
prinsip bunga bisa menyebabkan menurunnya kesempatan kerja, krisis
keuangan dan berbagai persoalan dalam perdagangan. Dari perkembangan
bank Syariah beberapa tahun terakhir ini adalah konsekuensi dari kampanye
anti Islam yang dilancarkan pihak barat, dimana setelah maraknya kampanye
itu berdasarkan studi Institute for Islamic Banking and Insurance, 55 persen
komunitas muslim dunia lebih menyukai bank Islam. 22
C. Penutup
Daftar Pustaka
Karim, Adimarwan. Bank Islam Analisa Fiqh dan Keuangan. Jakarta: IIIT
Indonesia, 2003.
Metwally, M.M. Teori dan Model Ekonomi Islam. terj. M. Husein Sawit. Jakarta:
Bangkit Daya Insana, 1995.
Amrizal Hamsa
Penulis adalah Sekretaris Prodi Mu'amalah pada STAI Teungku Dirundeng,
Meulaboh, Aceh Barat.
Abstract
Insurance is a contract between two parties or more where who insure take
part to respond the problem of who is insured with receiving premium of
insurance, or giving the compensation to who is insured for failure, damage,
or lose of the profit or law responsible toward the third party that affected
the who is insured, appeared because of a case, or to pay (the debt) as whom
insured died or some insured live. There is a significant difference between
conventional insurance and syari’ah one. The conventional one present
the contract of trade, meanwhile the syari’ah one present the cooperation
system.
A. Pendahuluan
Seiring dengan pesatnya perkembangan ilmu dan teknologi, manusia harus
berhadapan dengan berbagai tantangan dan permasalahan dalam kehidupan
ini. Untuk mengatasi permasalahan hidup tersebut dengan sendirinya
manusia dituntut harus merekayasa masa depan dengan suatu rancangan
atau perencanaan (planning) secara komprehensif. Salah satu cara untuk
dapat menikmati masa depan yang lebih baik dan berkecukupan dari sisi
materi dapat dilakukan dengan cara menabung, khususnya tabungan dalam
bentuk asuransi.
Sebagai pedoman hidup yang komprehensif dan universal bagi setiap umat
manusia, khususnya umat Islam, Alquran tidak menyatakan secara langsung
tentang bentuk-bentuk asuransi, namun secara eksplisit banyak sekali ayat
Alquran yang menyatakan tentang pentingnya sebuah planning dalam suatu
pekerjaan, termasuk juga dalam perencanaan masa depan, di antara ayat-
ayat tersebut seperti yang termaktub dalam surah al-Hasyr, “Hai orang-
orang yang beriman bertaqwalah Kepada Allah dan hendaklah setiap diri
memperhatikan apa yang telah di perbuat untuk hari esok (masa depan) dan
bertaqwalah kamu kepada Allah , sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
apa yang engkau kerjakan“. (Qs. Al-Hasyr 59: 18)
Kaitan dengan asuransi, Islam tidak memberikan aturan yang jelas dan tegas
tentang boleh tidaknya praktek asuransi, karena itu diperlukanlah ijtihad
para ulama agar mekanisme per-asuransian yang digagas yang sedang
berkembang sekarang tidak keluar dari ruh dan semangat dasar ajaran
Islam. Dimana tujuan dari asuransi adalah untuk mewujudkan kemudahan-
kemudahan dan kemaslahatan bagi setiap umat manusia, khususnya bagi
umat Islam. Salah satu dari upaya tersebut adalah dengan mencetuskan
sebuah bentuk dan mekanisme asuransi yang berdasarkan syari’at Islam,
yang lebih dikenal dengan Asuransi takaful. Dalam pembahasan ini penulis
akan memaparkan beberapa hal yang berkaitan dengan asuransi syariah
serta pentingnya per-asuransi yang berorientasi syariah.
B. Pembahasan
1. Pengertian Asuransi
Kata asuransi berasal dari bahasa Belanda, assurantie. Dalam hukum Belanda
sering dipakai kata ini dengan kata verzekering yang diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia dengan kata “pertanggungan”. Dari kata assurantie
ini lalu muncul istilah assuradeur bagi penanggung, dan geassureerde bagi
tertanggung, atau dengan istilah lain disebut penjamin dan terjamin. Dari
istilah verzekering itu juga timbullah istilah verzekeraar bagi penanggung dan
verzekerde bagi tertanggung.1
Dalam bahasa Inggris asuransi berasal dari kata assurance yang berarti
jaminan,2dan dalam bahasa Arab asuransi diartikan dengan kata ta’min.
penanggung disebut dengan mu’ammin dan tertanggung disebut mu’ammanlah
atau musta’min3.
Dari pengertian asuransi di atas baik dari sisi etimologi maupun terminologi
dapat disimpulkan bahwa dalam suatu perjanjian asuransi minimal terdapat
tiga unsur. Pertama, pihak yang sanggup menanggung atau menjamin bahwa
pihak lain akan menadapat pergantian dari satu kerugian yang mungkin akan
diderita sebagai akibat dari suatu peristiwa yang semula belum tentu akan
terjadi. Sebagai imbalan dari pertangungan ini, Kedua, pihak yang ditanggung
diwajibkan membayar sejumlah uang kepada pihak yang ditanggung, dan
uang yang telah dibayarkan oleh pihak tertanggung ini akan menjadi milik
pihak yang menanggung, apabila ada unsur Ketiga, berupa suatu peristiwa
yang dimaksud itu terjadi.
5 Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait, BMUI dan
Takaful) di Indonesia, (Jakarta: Grafindo Persada, 1996), hal. 165.
6 Muhammad Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, (Yogyakarta: PT.Dana Bhakti
Wakaf, 1993), hal. 301.
yang dananya di ambil dari iuran premi seluruh peserta asuransi yang
digunakan.
2. Sejarah Asuransi
Konsep asuransi sebenarnya sudah dikenal sejak jaman sebelum masehi di
mana manusia pada masa itu telah menyelamatkan jiwanya dari berbagai
ancaman seperti mengatasi kekurangan bahan makanan pada zaman Mesir
kuno, dalam kisah Nabi Yusuf as., yang diminta untuk menerjemahkan mimpi
seorang raja. Inti dari mimpi tersebut, Nabi Yusuf as., menerjemahkan bahwa
selama tujuh tahun negeri Mesir akan mengalami panen yang melimpah dan
kemudian akan diikuti masa paceklik pada tujuh tahun berikutnya. Untuk
berjaga-jaga dari bencana kelaparan itu, Raja mengikuti saran Nabi Yusuf as.,
dengan menyisihkan sebagian harta dari hasil panen tujuh tahun pertama
sebagai cadangan bahan makanan pada masa paceklik. Sehingga pada masa
tujuh tahun paceklik, rakyat Mesir dapat terhindar dari resiko bencana
kelaparan hebat yang melanda seluruh negeri.
Dasar- dasar asuransi mutual adalah anggota baik secara individu maupun
secara bersama-sama sebagai penaggung sekaligus tertanggung. Ditinjau
dari sifat organisasinya, tidak ada maksud-maksud mencari keuntungan juga
tidak ada maksud eksploitasi memperkaya salah satu pihak dengan memeras
yang lain.
3. Tujuan Asuransi
Tujuan utama asuransi adalah mengalihkan resiko yang ditimbulkan oleh
peristiwa-peristiwa yang tidak diharapkan kepada orang lain dengan
mengganti kerugian. Pihak penerima resiko (penanggung) tidak semata-
mata melakukan demi perikemanusiaan atau mengorbankan kepentingan-
kepentingannya dengan membayar sejumlah uang untuk mengganti kerugian
yang ditimbulkan oleh peristiwa-peristiwa itu. Penanggung menilai resiko
yang ditanggung itu atas dasar-dasar kalkulasi untung ruginya.perhitungan
premi yang diminta penanggung atas tertanggung didasarkan atas besarnya
presentase yang akan diklaim tertanggung seandainya terjadi suatu peristiwa
tertentu.
4. Hukum Asuransi
Salah satu lembaga ekonomi yang ada dan berkembang saat ini adalah
perusahaan asuransi. Di dalam Alquran dan hadis tidak ditemukan
ketentuan secara khusus yang mengatur tentang hukum asuransi, namun
secara umum ada beberapa ayat yang menjelaskan pentingnya sebuah
persiapan atau planning agar memberikan kehidupan yang lebih baik di
masa yang akan datang. Di antaranya seperti firman Allah surat Yusuf
yang artinya, “Allah menggambarkan contoh usaha manusia membentuk
sistem proteksi menghadapi kemungkinan yang buruk di masa depan“. (Qs.
Yusuf (12): 41-49). Dan juga disebutkan dalam surah al-Hasyr, “Hai orang –
orang yang beriman bertakwalah Kepada Allah dan hendaklah setiap diri
memperhatikan apa yang telah di perbuat untuk hari esok ( masa depan ) dan
bertaqwalah kamu kepada Allah , sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
apa yang engkau kerjakan“. (Qs. al-Hasyr (53): 18)
8 Wirjono Projodikoro, Hukum Asuransi di Indonesia, (Jakarta: Intermasa, 1979), hal. 73.
Oleh karena itu persoalan asuransi dalam Islam termasuk dalam area hukum
ijtihadiyah, artinya dalam menentukan hukum halal atau haramnya persoalan
asuransi ini harus diputuskan melalui ijtihad para ulama dan cendikiawan
yang ahli dalam bidang ini.
Sementara bagi umat Islam sendiri secara umum masih terdapat keraguan
tentang kedudukan hukum asuransi, karena dikawatirkan mengandung
unsur-unsur ketidak pastian (gharar), gambling (maisir), riba dan komersial.
9 Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: Gunung Agung, 1996), hal. 134.
10 Abbas Salim, Dasar-dasar Asuransi; Principles of Insurance, (Jakarta: Rajawali Press.1989),
hal. 12-13.
Untuk maksud itu, pada 27 Juli 1993 ICMI melalui yayasan Abdi Bangsa
bersama Bank Muamalat Indonesia (BNI) dan perusahaan Asuransi Tugu
Mandiri, sepakat memprakarsai pendirian Asuransi Takaful, dengan
menyusun Tim Pembentuk Asuransi Takaful Indonesia (TEPATI). Pada
25 Agustus 1994 dibentuklah Asuransi Takaful Keluarga yang beroperasi
di bawah anak perusahaan PT. Syarikat Takaful Indonesia. Berdirinya PT.
Syarikat Takaful Indonesia sebagai Holding Company disusul dengan adanya
dua anak perusahaannya yaitu PT. Asuransi Takaful Keluarga (Asuransi Jiwa)
dan PT.. Asuransi Takaful Umum (Asuransi Kerugian).
11 Redaksi Ulumul Qur’an, “Syarikat Takaful sebagai suatu Alternatif”. Dalam Jurnal
Kebudayaandan Peradaban Ulumul Quran No. 2/VII/1996, hal. 36.
12 Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, juz. II, (t.t.: t.p. t.th.), hal.46.
13 Mahmud Syaltout, Islam Aqidah wa al-Syariah, (Mesir: Dar al-Qalam, 1966), hal. 422
Dari hadis di atas dapat dipahami bahwa orang yang mau meringankan
hidupsaudaranya, maka akan diringankan kebutuhannya oleh Allah.
Allah akan menolong hambanya selagi ia suka menolong saudaranya.
Demikian Islam mengajarkan kepada penganutnya agar senantiasa
bersikap positif dalam segala kebajikan guna tercapainya kekuatan dan
ketentraman hidup. Setiap individu muslim, khususnya yang merasa
mampu dan kaya dituntut untuk selalu memiliki rasa tanggung jawab
dan kepekaan sosial agar tidak mengabaikan permasalahan saudaranya
dimanapun.
Ketiga prinsip Asuransi Takaful atau asuransi yang berperinsip syari’ah tersebut
tidak mungkin dapat dijabarkan dalam kehidupan nyata jika tidak dilandasi
oleh iman dan takwa kepada Allah Swt., secara mantap. Niat yang ikhlas
untuk membantu sesama yang mengalami penderitaan karena musibah,
merupakan landasan awal dalam perusahaan Asuransi Takaful. Premi yang
dibayarkan kepada pihak perusahaan Asuransi Takaful harus didasarkan
kepada tabarru’ (sedekah guna mendapat ridha Allah). Dari sini kiranya dapat
diperoleh informasi filosofi Asuransi Takaful yaitu: “penghayatan semangat
saling bertanggung jawab, kerjasama dan perlindungan dalam kegiatan-
kegiatan sosial menuju tercapainya kesejahteraan umat dan persatuan
masyarakat.14
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa asas utama Asuransi Takaful
atau asuransi syari’ah adalah tolong menolong dalam kebaikan dan takwa
dan rasa aman (ta’min), yang menjadikan semua peserta asuransi sebagai
keluarga besar yang saling menjamin dan menanggung resiko satu sama
lainnya.
C. Penutup
Asuransi syariah adalah bersifat takafuli (tolong menolong), ia merupakan
sebuah asuransi yang berlandaskan pada aturan-aturan agama, dimana
dalam aplikasinya, semua nasabah atau anggota yang tergabung dalam
anggota asuransi mempunyai prinsip saling membantu tabarru’ kepada
anggota yang lain juka mengalami kesulitan-kesulitan.
DAFTAR PUSTAKA
Mas’ud, Juhran. TT., al-Raid Mu’jam Lughāwī ‘Asri. jilid.1. Beirut: Dār al-‘Ilm
li al-Malāyīn, t.th..
Asra Febriani
Dosen prodi Mu’amalah pada STAI Teungku Dirundeng, Meulaboh, Aceh Barat.
Abstract
‘Umar ibn Khattab was a figure that gave the inspiration to mujtahid either
salaf ulemas or khalaf ones to be brave for recht finding especially toward
the problem that not mentioned explicitly in the nass. ‘Umar understood
the dalil of Alquranand hadith comprehensively. He did understood the
characteristics, aims and goals of those nass. The Genius Umar could build
a synergy relationship between nass and its goal based on maslahat ‘ammah
(public interest) that appeared from the nass.. The method of ‘Umar in the way
of ijtihad could inspire to present ijtihad mustaqil especially for the current
ulemas in solving the varieties of contemporary fiqh problems.
A. Pendahuluan
Umar bin Khattab adalah seorang sahabat Rasulullah saw., khulafa al-rasyidin
kedua yang terkenal jenius, berani, zuhud dan cemerlang pemikirannya.
Perjalanan hidupnya senantiasa memiliki makna yang luar biasa; baik sebelum
maupun sesudah keislamannya. Karena itu, sebelum Islam mendapat tempat
yang kokoh di hati para pemeluknya dan umat Islam selalu dihantui ancaman
dari kaum kafir, Rasulullah pernah berdoa: “Ya Allah, perkuatlah Islam dengan
salah seorang dari dua ‘Amr yang paling Engkau cintai, ‘Amr ibn Hisyam (Abu
Jahal) atau Umar bin Khattab.” Dan ternyata yang paling dicintai Allah adalah
Umar bin Khattab. (HR. Ahmad)
B. Pembahasan
1. Pengertian Ijtihad dan Dasar Hukum Ijtihad Umar bin Khattab
Ijtihad ialah upaya mengerahkan kemampuan berpikir untuk mengeluarkan
hukum syar’ī dari dalil-dalil syara’ yakni Alquran dan sunnah. Sementara
yang menjadi dasar atau landasan Umar dalam melakukan ijtihad adalah
berdasarkan ladasan-landasan sebagai berikut:
a. Alquran
Alquran ialah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
saw dalam bahasa Arab dengan perantaraan malaikat Jibril sebagai hujjah
bagi-Nya dalam mendakwahkan kerasulan-Nya dan sebagai pedoman
hidup bagi manusia dalam mencari kebahagian di dunia dan akhirat
serta sebagai media untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan selalu
membacanya.
Dari segi dalālah, nash Alquran terbagi dua macam yaitu Qat’iyud dalālah
dan Dhann al-dalālah. Qat’i al-dalālah ialah nash yang menunjukkan arti
yang jelas dan mudah di pahami serta tidak bisa di takwilkan kepada
makna lain, seperti firman Allah.
Dhann dalālah ialah nash yang menunjukkan kepada arti yang masih bisa
ditakwilkan kepada makna yang lain. seperti firman Allah, ”Wanita-
wanita yang di talak hendaklah menahan dirinya tiga kali quru.” (Qs. Al-
Baqarah (2): 228)
Lafaz quru’ disebut dengan lafaz musytarak karena lafaz ini mempunyai
makna lebih dari satu. Quru’ dapat berarti suci dan bisa diartikan haid.
1 Mukhtar Yahya, Fathur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islam, (Bandung: Al-
Ma’arif, 1986), hal. 56.
b. Sunnah
Sunnah menurut istilah syara’ ialah segala sesuatu yang bersumber
dari Rasulullah saw., baik perkataan, perbuatan, ketetapan dan cita-
cita. Sunnah merupakan sumber hukum paling kuat setelah Alquran.
Terkadang sunnah menjelaskan makna ayat-ayat yang mujmal dalam
Alquran seperti perintah shalat. Dalam Alquran hanya disebutkan
perintahnya saja sedangkan cara-caranya tidak disebutkan. Sunnahlah
yang menerangkan hal-hal tersebut. Terkadang sunnah juga berfungsi
untuk mentakhsis hukum yang disebutkan dalam Alquran. Misalnya
hukuman rajam bagi pezina muhsan. Dalam Alquran hanya disebutkan
pezina perempuan dan laki-laki, tidak disebutkan muhsan (sudah pernah
menikah) atau bikr (belum pernah menikah).
c. Ijma’
Ijma’ menurut ahli ushul ialah kesepakatan para mujtahid dalam suatu
masa terhadap suatu hukum syar’i mengenai suatu peristiwa sepeninggal
Rasulullah saw. Kehujjahan ijma’ dapat dibuktikan dengan dalil-dalil dari
Alquran maupun hadis, antara lain sebagaimana terdapat dalam surat
Al-Nisa’, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul, dan orang-orang yang memegang kekuasaan diantara kamu.” (Qs.
An-Nisa (4): 59)
d. Qiyās
Qiyās menurut ahli ushul ialah menyamakan hukum suatu peristiwa yang
tidak ada nash dengan hukum suatu peristiwa yang sudah ada dalil nash
karena adanya persamaan ‘illat hukum dari kedua peristiwa tersebut.
2 Muhammad Baltaji, Metodologi Ijtihad Umar bin Khattab, (Kairo: Dar as-Salam, 2003), hal.
24.
Umar bin Khattab menentukan ukuran diyyat sebesar seribu dinar, atau
sepuluh ribu dirham, atau seratus ekor unta, atau dua ratus ekor sapi atau
dua ribu ekor kambing, atau dua ratus potong pakaian bagi yang memiliki
pakaian. Pembunuh bisa memilih membayar diyyat sesuai keinginannya
dengan harta yang dimiliki. Hal ini menunjukkan bahwa diyyat dapat
disesuaikan dengan kondisi orang yang membayarnya.
3 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtashid, Jilid II, (Mesir: Ahmad Kamil,
1333 H), hal. 344.
Oleh karena itu, setelah masa ‘Umar ibn Khattab para ulama tidak
mengharuskan membayar diyyat sesuai dengan ketetapan ‘Umar ibn
Khattab, karena kondisi perekonomian masa mereka berbeda dengan kondisi
perekonomian pada masa ‘Umar ibn Khattab. Sebab yang terpenting adalah
kesesuaian harga dengan seratus ekor unta dan dibayar dengan barang yang
mudah ditemukan untuk menghindari kesulitan.
Pemberian zakat pada masa Rasulullah saw., kepada muallaf bertujuan agar
orang-orang kafir tertarik memeluk agama Islam sehingga jumlah kaum
muslimin semakin banyak. Pemberian tersebut diberikan untuk melunakkan
hati mereka agar mereka tidak berpikir untuk memusuhi Islam dan untuk
menarik simpati agar mereka mau menerima dakwah Islam. Tidak bisa
dipungkiri bahwa harta adalah salah satu cara untuk menaklukkan hati
seseorang. Dan pemberian zakat ini menjadi salah satu cara agar Islam yang
kekuatannya belum besar ketika itu mampu ditingkatkan secara bertahap.
Ijtihad ‘Umar ibn Khattab tersebut sama sekali tidak bertentangan dengan
Alquran dan sunnah, karena pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar
tidak ditemui lagi orang-orang yang layak disebut al-muallafat qulubuhum
(orang-orang yang ditaklukkan hatinya). Pada saat itu Islam sudah menjadi
superpower, yang mampu mengalahkan imperium Roma dan Persi, sehingga
’Umar berpendapat tidak perlu menghambur-hamburkan harta untuk
menarik simpati orang-orang kafir agar memeluk Islam.
3. Al-Sawafi
Setiap menaklukkan suatu daerah tertentu, Khalifah ‘Umar ibn Khattab
menetapkan bahwa tanah-tanah yang ada di daerah tersebut diserahkan
kepada pengelola (yang akhirnya menjadi pemilik) dan hanya mewajibkan
kepada mereka untuk membayar pajaknya. Hal ini berlaku pada tanah yang
mempunyai pemilik yang ditemukan ditengah berkecamuknya peperangan
Namun ada juga tanah yang tidak bisa dimiliki oleh seorang pun dari
penduduk setempat. Tanah tersebut dinamakan Al-Sawafi yaitu tanah yang
pada awalnya milik Kaisar atau raja atau keluarganya, atau milik prajurit
negara atau milik sipil yang bergabung dengan pasukan perang atau orang
yang ikut membantu dalam distribusi logistik perang. Status tanah tersebut
diserahkan kepada penguasa atau imam.
4 Malik ibn Anas, Al-Muwatta’, Jilid II, (Kairo: Asy-Syarfiyyah, 132 H), hal. 188.
5 Al-Jashash, Ahkam Al-Qura=n, Jilid I, (Mesir: Al-Bahiyyah, 1347 H), hal. 162-163.
6 Ahmad ibn Hanbal, Al-Musnad, Jilid I, (Mesir: Dar Al-Ma’arif, 1954), hal. 282
Ketika anak sudah baligh, ia menambah menjadi lima ratus atau enam ratus
dirham, ia juga tidak membedakan antara setiap anak yang lahir tersebut.
Suatu ketika ia bertemu dengan seorang anak jalanan, ia memberi uang
kepada anak itu sebanyak seratus dirham dan memerintahkan wali anak
tersebut agar mengambil bagian makanan anak itu setiap bulan. Ia juga
berpesan kepada para wali dari anak-anak tersebut agar selalu berbuat baik
kepada mereka, sedangkan nafkah mereka ditanggung oleh Baytul Mal.
Perhatian Umar kepada anak jalanan melebihi perhatiannya kepada anak
yang berada dalam keluarga yang normal, Umar menetapkan bahwa anak
jalanan adalah bagian dari orang merdeka yang harus diperlakukan dengan
layak seperti orang merdeka lainnya. 8
Khalifah ‘Umar bin Khattab tidak hanya berpikir bahwa tanggung jawabnya
7 Muhammad bin Saad, Ath-Thabaqat Al-Kabīr, Jilid III, (Leiden Press, 1325 H), hal. 215.
8 Syams Al-Din Al-Sarakhasi, Al-Mabsut, Jilid X, (Mesir: Al-Sa’adah, 1324 H), hal. 210.
selesai setelah ia memberi uang itu kepada rakyatnya, tetapi ia juga memikirkan
pemanfaatan dari uang tersebut agar digunakan untuk kemaslahatan. Bahkan
ia juga berpikir untuk masa depan orang-orang sesudahnya.
Ibnu Sa’ad dan Al-Baladhri meriwayatkan bahwa Khalid bin Arfatah Al-
Udhri menemui ’Umar untuk menanyakan keadaan orang-orang setelah
mereka, ”Wahai Amirul Mukminin, engkau tinggalkan mereka sesudahku,
padahal mereka berdoa kepada Allah agar menambah umurmu dan agar
umurmu lebih panjang dari umur mereka. Orang-orang yang ikut perang
Qadisiyah mendapat dua ribu dirham atau seribu lima ratus dirham. Setiap
anak yang lahir baik laki-laki maupun perempuan diberikan seratus dirham
dan dua kantong makanansetiap bulannya. Dan jika mereka sudah baligh,
mereka mendapatkan lima ratus atau enam ratus dirham. Jika bagian-bagian
ini diberikan kepada keluarga mereka padahal anak-anak itu ada yang sudah
makan dan ada yang masih menyusui , apa pendapatmu?”
Maksud dari pertanyaan Khalid bin Arfathah Al-Udri adalah agar ’Umar
hanya member bagian kepada orang yang membutuhkan saja. Mendengar
ini Umar menjawab, ”Demi Allah, jika itu memang hak mereka, maka aku
akan memberikannya. Aku akan sangat bahagia jika memberikan sesuatu
kepada yang berhak menerimanya. Kalian jangan memujiku, karena jika
harta itu dari keluarga Al-Khattab, maka aku tidak akan memberikan bagian
kepada mereka dari harta itu. Akan tetapi aku tahu bahwa pemberian itu
adalah suatu anugerah sehingga aku tidak berhak untuk menahannya. Jika
salah satu diantara mereka ada yang bekerja sebagai penggembala kambing,
iapun akan diberi bagian. Wahai Khalid, aku khawatir jika para pemimpin
setelahku tidak memberi bagian kepada orang yang berhak menerima bagian
tersebut. Jika nanti diantara mereka ada yang menyimpan dan mengkorupsi
kekayaan negara, maka cari dan kejarlah mereka sampai apa yang diambilnya
itu dikembalikan. Nasehatku kepadamu ini seperti nasehat tokoh-tokoh
Islam sebelumku, Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa meninggal dalam
keadaan menipu rakyatnya, maka ia tidak akan dapat mencium bau surga.” 9
9 Ahmad bin Yahya Al-Biladzari, Futuh al-Buldan, (Beirut: Dar Al-Nasr, 1957), hal. 635
Sumber keuangan negara Islam pada masa ‘Umar bin Khattab berasal dari
zakat kaum muslimin, seperlima dari hasil rampasan perang, pajak dari
daerah-daerah ekspansi baru yang ditaklukkan Islam, pajak yang dibayar
oleh orang-orang kafir mu’ahidin yaitu orang-orang kafir yang telah mengikat
perjanjian dengan orang Islam dengan syarat mereka ikut berperang
bersama umat Islam untuk mempertahankan negara sebagai ganti dari
jaminan keamanan yang diberikan pasukan Islam kepada mereka dan dari
sepersepuluh jumlah barang dagangan kafir dhimmi dan Harbi sebagai biaya
cukai.
Jika sudah demikian adakah orang yang tidak mau tunduk kepada negara
Islam yang telah memberi subsidi tanpa pandang bulu pada masa ‘Umar?
Oleh sebab itu Umar bin Khattab berhasil membuat negara Islam mencapai
kegemilangannya dalam sejarah umat manusia.
Asbab wurūd hadis tersebut adalah ketika Zubayr bin ‘Awwam berkelahi
dengan seseorang dan ia berhasil membunuhnya lalu Rasulullah memberi
semua harta salab kepada Zubayr. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa al-
Barra’ bin Malik pernah berkelahi dengan Marhaban Al-Zarah dalam suatu
peperangan antara kaum muslimin dan bangsa Persi pada masa kekhlalifahan
Menurut Umar, Rasulullah memberi seluruh harta salab karena salab ketika
itu bernilai sedikit yang tidak mungkin dibagi lima. Oleh karena itu ia
menyamakan salab yang diperoleh Al-Barra’ dengan hukum ghanimah karena
nilainya yang besar. Salah satu penyebab Umar melakukan hal tersebut
adalah karena ia khawatir akan tersebarnya berita salab yang bernilai besar
itu dikalangan muslimin yang ikut berperang, sehingga dapat menyebabkan
mereka tidak mau berperang jika musuh mempunyai salab sedikit. Umar
sangat menekankan keikhlasan dalam berperang yaitu semata-mata
menegakkan agama Allah, bukan karena materi yang sudah menjadi tabiat
manusia.
C. Penutup
‘Umar ibn Khattab adalah salah seorang tokoh yang memberikan inspirasi
kepada mujtahid untuk berani memberi terobosan ijtihad terhadap masalah-
masalah yang tidak disinggung dalam nash-nash syar’i, bahkan mencoba
menginterpretasi kembali terhadap berbagai nash yang telah ada, untuk
disesuaikan dengan kontek kekinian, dengan tetap berpegang teguh pada
al-Quran dan Sunnah.
‘Umar ibn Khattab merupakan orang yang sangat jenius yang mampu
mensinergikan antara pemahaman yang benar terhadap nash dan tujuan
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa Umar bin Khattab dalam
menetapkan suatu hukum, tetap meruju’ kepada Alqurandan Hadis sebagai
dasar hukum dalam membuat suatu keputusan dan kesimpulan-kesimpulan
hukum, namun dalam menerjemahkan teks-teks tersebut, tentunya perlu
disesuaikan dengan kontek dan situasi tertentu, sehingga hukum Islam
benar-benar menjadi rahmatan lil ‘alamin di sepanjang masa.
DAFTAR PUSTAKA
Bin Yahya Al-Biladzari, Ahmad. Futuh Al-Buldan, Beirut: Dar Al-Nasr, 1957.
Baltaji, Muhammad. Metodologi Ijtihad ‘Umar bin Khattab, Kairo: Dar al-
Salam, 2003.
Bin Sa’ad, Muhammad. Al-Tabaqat Al-Kabīr, Jilid III, (Leiden Press, 1325 H).
Mahli Ismail
Fakultas Syari`ah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, Asrama Pascasarjana
Kota Banda Aceh NAD, 23111, Email: Mahli_Ismail@yahoo.Com
Abstract
Establishing the financial body based on the syariah law that influence to
apply the economic values in activity of society. The existence of Syari’ah
Bank is to develop the syariah principle especially to apply its model in the
bussiness, such if the debitor does not execute the obligation meanwhile he
has an ability for it, so he due to be punished.
A. Pendahuluan
Eksistensi perbankan sebenarnya untuk memudahkan kegiatan manusia
secara umum dengan prinsip mutualisme (saling menguntungkan). Untuk
mewujudkan prinsip tersebut, maka perbankan dan penggunanya (nasabah)
mesti mentaati aturan-aturan yang berlaku sehingga memberikan kenyamanan
dalam bertransaksi. Dalam konteks ini, penulis hanya menfokuskan uraian
tentang bagaimana prilaku mereka yang menundah pembayaran utang dan
solusi yang harus tempuh agar kegiatan perbankan tidak menjadi terkendala
karenanya.
Tulisan ini akan diuraikan secara sistematis dimulai dengan pengertian bank
hingga ke pokok permasalahan yang dimaksud.
1. Pengertian Bank
Bank berasal dari kata banque bahasa Perancis dan banco dalam bahasa Itali,
berarti peti atau bangku. Konotasi kata ini menunjukkan fungsi dasar bank
secara komersial, yaitu menyiratkan fungsi sebagai tempat penyimpan
benda-benda berharga seperti emas, berlian, uang dan sebagainya.1 Pada
abad 12 banco di Italia merujuk pada meja, tempat usaha menukar uang
(money changer) dalam transaksi bisnis yang luas yaitu membayar uang dan
jasa. Jadi fungsi dasar bank adalah menyediakan tempat untuk menitipkan
uang dengan aman dan menyediakan alat pembayaran untuk membeli
barang dan jasa.
1 Iswardono Sp, Uang dan Bank, ( Yogyakarta: BPFE, 1994), hal. 50. Lihat juga Zainul Arifin,
Dasar-Dasar Manajemen Bank Syari`ah, ( Jakarta: AlvaBet, 2003), hal. 1
2 Undang-Undang nomor 10 Tahun 1998. Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 182. tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992, tentang perbankan, disebutkan bahwa
bank adalah Badan Usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan
dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau dalam bentuk lainnya dalam
rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
pula Bank Umum atau BPR yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan
prinsip bagi hasil dilarang melakukan kegiatan usaha yang berdasarkan
prinsip bagi hasil. 2. Kewajiban memiliki Dewan Pengawas Syariah yang
bertugas melakukan pengawasan atas produk perbankan baik dana
maupun pembiayaan agar berjalan sesuai dengan prinsip Syari’at, dimana
pembentukannya dilakukan oleh Bank berdasarkan hasil konsultasi dengan
Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pada saat berlakunya UU No. 7 Tahun 1992,
selain ketiga PP tersebut di atas tidak ada lagi peraturan perundangan yang
berkenaan dengan Bank Islam. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa
eksistensi Bank Islam yang telah diakui secara hukum positif di Indonesia,
belum mendapatkan dukungan secara wajar berkenaan dengan praktek
traksaksionalnya.
Hal ini dapat dilihat misalnya dari tidak seimbangnya jumlah dana yang
mampu dikumpulkan dibandingkan dengan penyalurannya di masyarakat.
Bagi BMI tidak ada kesulitan untuk mengumpulkan dana berupa tabungan
dan investasi dari masyarakat, namun untuk penyalurannya masih sangat
terbatas, mengingat belum adanya instrumen investasi yang berdasarkan
prinsip Syariah yang diatur secara pasti, baik instrumen investasi di Bank
Indonesia, Pemerintah, atau antar-Bank. Tidak mengherankan bilamana
dalam Laporan Keuangan BMI pada masa tersebut dapat ditemukan satu pos
anggaran atau account yang diberi istilah sebagai “Pendapatan Non Halal”,
yakni pendapatan yang didapatkan dari transaksi yang bersifat perbankan
konvensional.
Faktor Sumber daya insani (SDI) dalam sistem perbankan Syariah tidak hanya
menentukan kinerja Bank Syariah, namun juga alat promosi dan edukasi bagi
masyarakat. Menciptakan masyarakat yang cenderung bertransaksi dengan
Bank Syariah mutlak ditentukan oleh sistem pendidikan yang akan mencetak
SDI yang beriman dan berilmu, ditambah peran serta para ulama.
3. Pengertian Murabahah
Murabahah merupakan jual beli barang pada harga asal dengan tambahan
4. Hukum Jaminan
Hukum jaminan diatur dalam buku ke II KUHPerdata yang berisi tentang
benda, hak kebendaan, warisan, tentang piutang yang diistimewakan, gadai
dan hipotik. Tentang benda dan hak kebendaan merupakan asas dari buku
ke II KUH Perdata. Waris dimasukkan ke dalam buku ke II KUHPerdata
karena pengaruh dari hukum Romawi. Sedangkan tentang piutang yang
diistimewakan mempunyai hubungan yang erat mengenai gadai dan
hipotik. Buku KUHPerdata memliki sistem tertutup. Artinya hak-hak
kebendaan di luar dari buku ke II tidak diperkenankan dan para pihak yang
membuat perjanjian tidak bebas dalam memperjanjikan hak kebendaan yang
baru. Namun pada kenyataannya pembuat undang-undang sendiri yang
menciptakan hak kebendaan yang baru dalam suatu perundang-udangan
di luar KUHPerdata, seperti: Creditverband dan Oogstverband. Selain itu
praktek dan yurisprudensi juga mengenal adanya lembaga hukum baru,
yang mempunyai ciri hak-hak kebendaan (fiducia). Hukum Jaminan adalah
peraturan hukum yang mengatur tentang jaminan-jaminan piutang seorang
kreditur terhadap seorang debitur.
Untuk pembiayaan berskala besar dengan risiko tinggi, hal ini memerlukan
keterlibatan pemerintah selain Bank Syari`ah sebagai intermediator, dengan
menerbitkan instrumen sukuk. Ketika landasan hukum sukuk diterbitkan di
Tanah Air, diharapkan high risk financing bukan lagi menjadi kendala berarti.
Bahkan potensi dana-dana simpanan Syariah yang ditanam dalam bentuk
sukuk dapat disalurkan untuk membiayai proyek-proyek pembangunan
pemerintah. Di samping memenuhi kebutuhan pembiayaan jangka panjang,
sukuk juga dikenal sebagai instrumen yang likuid sehingga keberadaanya
di pasar keuangan Syariah diharapkan dapat mengatasi kendala risiko
Hutang timbul apabila terjadi pinjaman uang atau transaksi yang tidak tunai.
Islam menganjurkan sedapat mungkin untuk tidak berutang, namun jika
terpaksa berhutang diwajibkan segera membayar atau menepati akad atau
janji yang telah disepakati.7
Pada zaman sekarang ini dalam perbankan syari`ah ada muncul sikap
menunda-nunda pembayaran yang dilakukan oleh debitur atau nasabah
Bank terhadap akad Murabahah. Akibatnya Bank mengalami kerugian
material (biaya penagihan dan penyewaan pengacara) dan non material
(waktu dan tenaga serta pikiran).
Kedua : Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika
terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya
dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah terjadi kesepakatan
melalui musyawarah.
11 Dewan Syari’ah Nasional dibentuk oleh MUI pada Tahun 1999. Lembaga ini saat ini
beranggotakan para ahli hukum islam, dan para ahli serta para praktisi ekonomi, terutama sektor
keuangan, baik bank maupun non-bank. Dimana fungsi utama lain dari lembaga ini adalah meneliti
dan memberi fatwa bagi produk-produk yang di kembangkan oleh Lembaga Keuangan Syari’ah
(LKS). Lebih lanjut lihat Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah : Dari teori ke Praktik,
(Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hal. 235. Lihat juga Arifin. Z, Memahami Bank Syari’ah :
Lingkup Peluang, Tantangan dan Prospek. (Jakarta : ALVABET, 1999).
12 Himpuna Fatwa Dewan Syari`at Nasional, Diterbitkan oleh DSN-MUI, Himpunan Fatwa
Dewan Syari`ah Nasional, (Jakarta: Intermasa, 2003).
14 Ta’zir menurut bahasa adalah amshdar (kata dasar) bagi ‘azzara yang berarti menolak dan
mencegah kejahatan, juga berarti menguatkan, memuliakan, membantu. Dalam al-Qur’an
disebutkan : Ta’zir juga berarti hukuman yang berupa memberi pelajaran. Disebut ta’zir karena
hukuman tersebut sebenarnya menghalangi si terhukum untuk tidak kembali kepada jarimah atau
dengan kata lain membuatnya jera. Para fuqaha mengartikan ta’zir dengan hukuman yang tidak
ditentukan oleh al-Qur’an dna hadis yang berkaitan dengan kejahatan yang melanggar hak Allah
dan hak hamba yang berfungsi untuk memberi pelajaran kepada si terhukum dna mencegahnya
untuk tidak mengulangi kejahatan serupa. Ta’zir sering juga disamakan oleh fuqaha dengan
hukuman terhadap setiap maksiat yang tidak dianzam dengan hukuman had atau kaffarah. (Lebih
lanjut lihat, Abu Ishaq al-Syirazi, AlMuhadzdzab, Mesir: Isa al-Babi al-Halabi,t.t, hal. 289).
15 Qard Hasan (Pinjaman Kebijakan). Ini adalah jenis pinjaman tanpa laba (zero-return)
di manaAlquran an mendorong kaum muslim agar mengadakannya untuk kalangan yang
membutuhkan. Peminjam berkewajiban mengembalikan hanya pokok pinjamannya saja, tetapi
boleh memberikan kelebihan (marjin) menurut kebijaksanannya. Peminjam qard hasan juga
mendapatkan manfaat dari berbagai macam layanan dan keuangan serta diberikan kepada
lembaga-lembaga amal untuk mendapat aktivitas-aktivitas mereka. Pembayaran kembali
dilakukan selama suatu periode yang disepakati oleh kedua pihak. Pungutan biaya layanan yang
tidak seberapa atas pinjaman ini dibolehkan asalkan berdasarkan atas biaya pengurusan pinjaman
yang sesungguhnya, dan tidak dikaitkan dengan jumlah atau batas waktu pinjaman. (lebih lanjut
lihat Latifa M. Alqaud dan Merryn K. Lewis, Perbankan Syariah : Prinsip, Praktek dan Prospek,
alih bahasa Burhan Wirasubrata, Jakarta : Serambi, 2003), hal. 90-91).
16 Aswath Damodaran, Corporate Finance : Theory and Practise (New York : John Wiley and
Sons, 2001), h. 34.
17 Muhammad, Manajmen Bank Syari’ah, (yogyakarta: LPP AMP YKPN, 2002), hal. 66.
18 Fatwa ini telah dikeluarkan oleh DSN pada hari Jum’at., 01 Oktober dan menjadi produk
fatwa ke-43 dari Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia.
karena force major.19 Jika kejadiannya adalah force majeour maka tidak
perlu ada ganti rugi.
e. Kategori:
- Menunda pembayaran, dapat merugikan orang lain dan
merupakan perbuatan melawan hukum,
- Sanksinya; wajib ganti rugi, yang besarnya merurut kesepakatan.
D. Penutup
Dari uraian dan telaah terhadap fatwa tersebut pada bagian B dapat diambil
kesimpulan:
1. Bahwa sanksi bagi nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran
tetap berlaku. Sanksi ini didasarkan pada prinsip ta’zir yaitu bertujuan
agar nasabah lebih disiplin dalam melaksanakan kewajibannya.
2. Sanksi dapat berupa denda sejumlah uang yang besarnya ditentukan
atas dasar kesepakatan dan dibuat saat akad ditandatangani. Dana yang
didapat dari denda itu tidak dapat diklaim sebagai pendapatan Bank
Syariah tetapi harus dimasukkan pada dana sosial yang selanjutnya akan
disalurkan pada pembiayaan dengan akad al-Qard al-Hasan.20
19 Suatu kesalahan. Akibat yang bukan karena suatu kesengajaan, atau akibat dari sesuatu yang
berada di luar kemampuan dan kontrol nasabah, misalnya adalah yang diakibatkan oleh bencana
alam.
20 Pembiayaan qard hasan bisa juga menjadi jalan untuk membererat dan memfasilitasi
3. Jika dalam proses penagihan Bank Syariah ternyata mengalami kerugian,
maka Bank Syariah dapat mengenakan biaya ganti rugi pada nasabah
dengan syarat perhitungannya bukan berdasar pesentase atau time value
of money melainkan biaya yang sebenarnya dikeluarkan oleh Bank akibat
kelalaian nasabah, dan hal ini telah diatur dalam fatwa DSN yang lain
yaitu fatwa tentang ta’widh atau ganti rugi.
hubungan bisnis yang ada. Al-Harran (1993, h.99) memberikan beberapa contoh keadaan di
mana sebaiknya institusi-institusi keuangan Islam menggunakan model pembiayaan qardh
hasan.(a) Dalam musyarakah antara institusi dan klien, sering kali tidak semua saham institusi
dalam proyek dapat diarahkan untuk mendapatkan hak partisipasi dalam keuntungan proyek.
Partisipasi institusi bisa terpecah ke dalam dua bagian: saham dalam modal kemitraan dan
saham dalam modal kerja yang disediakan melalui qard hasan. Namun, dalam hukum Islam
muncul tanda tanya tentang qardh ini karena keuntungan yang diambil darinya. (b) Qardh
hasan dapat juga diberikan kepada klaim.
DAFTAR PUSTAKA
Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syari’ah : Dari teori ke Praktik. Jakarta: Gema
Insani Press, 2001.
Damodaran, Aswath. Corporate Finance : Theory and Practise. (New York : John
Wiley and Sons, 2001.
Qardawi, Yusuf. Norma dan Etika Ekonomi Islam, Alih bahasa Zainal Arifin dan
Dahlia Husin. Jakarta: Gema Insani Press, 1997.
Irwansyah
Mahasiswa program Doktor, Jurusan Fiqh Modern, Pascasarjana IAIN Al-Raniry Banda Aceh.
Abstract
Everyone is to fulfill the need of the life. Each of the need generally can be
classified to be primary (darūriyyat) and secondary (hājiyāt). Dharūri is the
main need in human life, if it is not be fulfilled will effected the loss in the
world and be punished in hereafter. Meawhile hājī is everything that impact
the main elements, without that, it will be hard to get darūri. But it could not
be reached, the life will not loss. The end is tahsinī, it means that the things are
related to eligible and good, a costume put it in a good perspective and all of
that can be positioned in a part of akhlāk al-karīmah. In other word, the three
terms can be explained that dharūri is related to keep five principle of life;
religion, sense, soul, wealth and off-spring. Hājī is to avoid from the hardness
to get the five. Meanwhile tahsinī is an effort of human being to do something
better or in a way of a good manner.
A. Pendahuluan
Objek kajian hukum Islam mencakup berbagai aspek. Selain persoalan
antar manusia dengan sesama, manusia dengan pencipta (Allah), dan juga
persoalan manusia dengan lingkungan sekitarnya. Semua pengkajian dan
pengaturan tersebut yang tujuan inti adalah demi kemaslahatan manusia
itu, agar dapat memperoleh kehidupan yang yang terbaik, baik di dunia
maupun di akhirat.
Dua pembagian qabh dan husn tersebut dapat dikelompokkan kepada tiga
tingkatan; harus dilakukan, lebih baik dilakukan, dan alangkah baik untuk
dilakukan. Artinya, perbuatan yang baik tidak semuanya wajib dilakukan,
tetapi mungkin saja pembebanannya lebih baik atau baik dilakukannya. Tiga
tingkatan ini dalam kajian nilai hukum ekplisitnya diberi nilai hukum wajib,
haram, sunat, makruh dan mubah
1 Asaf A. A. Fyzee, Pokok-Pokok Hukum Islam, terj. Arifin Bey, (Jakarta: Tintamas,
1965), hal 21. lihat J.N.d Anderson, Hukum Islam di Dunia Modern, terj. Machnun Husein,
(Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1994), hal. 3.
Dalam metodologi hukum Islam, ketiga tingkatan itu diberi nama, tingkatan
wajib dilakukan disebut darūri, tidak wajib dilakukan namun dengan
melakukannya akan menyempurnakan yang wajib disebut hājī, dan baik
melakukannya atau pelengkap dua yang pertama disebut dengan tahsinī.
Ketiga tingkatan itu, sesuai dengan prinsip kemaslahatan dimaksudkan
untuk menjaga atau memelihara unsur yang lima; yaitu agama, jiwa, akal,
keturunan dan harta. Pemeliharaan masing-masing lima jenis ini, dilakukan
berbagai ketentuan perbuatan hukum. Dan pelaksanaan ketentuan dimaksud
berada pada tiga tingkatan darūri, hājī dan tahsinī.
Untuk tiga tingkatan dimaksud, syara’ tidak memberi suatu uraian secara
ekplisit. Pengelompokan itu merupakan ijtihad para ulama. Usaha fuqahā
dalam memformulasinya untuk sebuah tujuan, yaitu menjelaskan hukum-
hukum syara’ agar dapat diamalkan sesuai dengan tiga tingkatan itu. Oleh
karena, dalam kajiannya nanti selain ketiga istilah itu, perlu juga dijelaskan
landasan pengelompokkan dan perbuatan yang termasuk dalam masing-
masing kelompok. Untuk lebih jelasnya akan dijelaskan sebagai berikut.
B. Pembahasan
1. Pengertian Syara’dan Hukumnya
syari’ah, adalah ketetapan-ketetapan Allah dan Rasulnya, baik berupa
larangan maupun berupa suruhan, yang meliputi seluruh aspek hidup dan
kehidupan manusia.2 Dengan demikian dapat dipahami bahwa syari’ah,
adalah sebagai jalan yang ditetapkan Tuhan bagi manusia agar dapat
menjalankan kehidupannya sesuai aturan yang dibenarkannya. Aturan ini
secara umum dibentuk dalam suatu bagiannya yang dinamakan dengan
hukum syara’. Hukum tersebut mengatur tata kehidupan manusia, dalam
usahanya mencari kebutuhan hidup, baik yang bersifat batin maupun lahir.3
Aturan hukum syara’ mempunyai asas yang umum. Artinya tidak hanya
membicarakan masalah yang timbul ketika aturan itu disampaikan, tetapi
juga mepunyai celah yang besar untuk dimasukan persoalan baru yang
muncul kemudian.4 Karena itu, aturan ini disebutkan dengan teks yang
global, namun memiliki nuansa yang luas untuk dipahami. Bentuk aturan
tersebut dapat dipahami sebagai jalan untuk dapat diaplikasi dalam ruang
dan waktu yang tidak terbatas.5
Selain itu, aturan yang disebutkan dalam dua sumber dasar agama tersebut
tidak memberi nilai yang kongkret terhadap suatu masalah. Oleh karena
itu, ketika para ahli hukum menelaahnya, akan menemukan hukum yang
bervariasi antara satu peneliti dengan peneliti yang lain. Faktor yang
menyebabkannya adalah pengaruh redaksi yang tersedia berpeluang untuk
ditafsir dalam bentuk yang berbeda.
Berbagai bentuk aturan yang disampaikan itu dapat dilihat dari aspek yang
diatur dalam objek kajian hukum syara’, yakni meliputi hubungan manusia
dengan manusia lain, hubungan dengan Tuhan, hubungan dengan dirinya
sendiri, dan hubungan manusia dengan alam sekitarnya,6 dan berbagai
bidang lain yang dikehendaki syar’ī.7 Kesemuaannya disampaikan secara
global (absolut), dan dalam bentuk yang juz-iyyah. Dan telah diformulasi
dalam sebuah kaidah umum: .8
4 Said Ramadhan, Keunikan dan Keistimewaan Hukum Islam, terj. Badri Saleh, (Jakarta:
Firdaus, 1991), hal. 8.
5 Dalam penetapan hukum senantiasa didasarkan pada tiga sendi pokok:Hukum-hukum
ditetapkan sesudah masyarakat membutuhkan hukum-hukum itu; Hukum-hukum ditetapkan
oleh sesuatu kekuasaan yang berhak menetapkan hukum dan menundukkan masyarakat
ke bawah ketetapannya; Hukum-hukum ditetapkan menurut kadar kebutuhan masyarakat.
Kaidah ushul mengatakan: ada dan tidaknya hukum itu bergantung kepada sebab (‘illatnya).
Lihat Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos, 1997), hal. 72.
6 Daud Ali, Hukum …, hal. 38.
7 Yusuf Qaradhawi, Syariat Islam Ditentang Zaman, terj. Abdul Zaki, ( Surabaya: Pustka
Progresif, 1993), hal.17.
8 Muhammad Salim’Awa, Fi Ushul al-Nidham al-Jina’I al-Islami, (Qahirah: Dar al-
Ma’arif, 1983), hal 46.
H.A.R. Gibb menulis, Hukum Islam memiliki jangkauan paling jauh dan alat
efektif dalam membentuk tatanan sosial dan kehidupan masyarakat. Seperti
disebutkan di atas, bahwa hukum Islam diformulasikan atas dasar norma-
norma etika, yang masyarakat secara ideal harus menyesuaikan diri dengan
lingkungannya. Oleh karena itu, hukum Islam mempengaruhi semua aspek
kehidupan sosial, ekonomi, dan semua aspek lainnya.9
Kelima perkara itu merupakan hal yang pokok bagi manusia. Jadi, dengan
memperhatikan keutuhan lima bidang tersebut, kebaikan diduga akan
terwujud. Oleh karena itu, maslahah dijadikan sebagai unsur yang mendasar
dalam penerapan hukum Islam. Beberapa nash menunjukkan bahwa syari’at
tidaklah diturunkan kecuali untuk kemaslahatan umat manusia, sehingga
pemikiran demi kemaslahatan adalah sesuai dengan apa yang telah ditetapkan
oleh tasyrī’.
yang lebih baik dari apa yang terkandung dalam syari’at Islam. 15
Meskipun sebagian hukum Islam terkesan keras dan kasar yang terlihat
secara kasat mata, namun maksud asasi dari aturan itu bila dikaji secara
mendalam juga mengandung makna kemaslahatan. Sebagai contoh, Jihad yang
dilakukan beresiko besar merupakan suatu hukum yang disyari’atkan untuk
memelihara agama dan jiwa umat Islam. Seperti dimaksud dalam asas umum
yang digunakan dalam memahami masalah ini adalah tujuan peperangan
dalam Islam hanyalah ta’mīnul ‘aqīidah dan himmayat al- da’wah al-Islāmiyyah
15 Hasbi Ash-Shiddieqy, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993, hal. 124.
16 Ibnu Qayim mengatakan bahwa sesungguhnya syariat itu fondasi dan asasnya adalah
hikmah dan kemaslahatan hamba, baik dalam kehidupan dunia maupun dalam kehidupan
akhirat. Asy-Syathibi mengatakan dibuat hukum hanyalah untuk kemaslahatan hamba
di dunia dan di akhirat. Mu’tazilah sepakat bahwa hukum-hukum Allah diillatkan dengan
keharusan memelihara kemaslahatan hamba. Hasbi Ash-Shiddieqy, Filsafat Hukum… , hal.
80 .
17 Fathurrahman Djamil, Filsafat…,hal. 154.
dan daf’ul i’tidā-i ‘anil muslimin wa bilādihim.18Jadi, jihad yang terlihat berat
toh juga mempunyai makna yang tinggi bagi kehidupan manusia. Karena
dengannya agama dan jiwa akan terjamin dan terpelihara.
Izzuddin Ibn Abdi Salam membagi maslahat kepada tiga tingkatan; maslahat
yang utama, kurang utama, dan pertengahan. Yang utama adalah maslahat
yang menolak segala kerusakan yang paling buruk, dan mendatangkan
maslahatnya yang paling kuat. Bahagian ini wajib untuk dijalankan.19 Ada
pun yang kurang utama dan pertengahan ia menyebutnya dengan perbuatan
yang sunat dan mubah untuk dikerjakan.
Salam menambahkan bahwa dalam hal-hal yang dilarang, tujuan utama adalah
menolak kefasadan dan mencegah kemudharatan. Apabila kefasadatannya
besar maka wajib ditinggalkan. Kurang dari itu dapat dimasukkan dalam
makruh. Sebagi contoh, keharaman zina karena akan sangat membahayakan,
maka wajib ditinggalkan. Dan perbuatan ini tentulah lebih tinggi dari pada
keharaman memeluk dan mencium, mungkin perbuatan terakhir tidak
sebarat yang dipengaruhi oleh zina, walaupun kedua-duanya haram.20
Dharūrī adalah segala sesuatu yang harus ada untuk tegaknya kehidupan
manusia, baik diniyah maupun dunyawiyah, dalam arti apabila dharuri
itu tidak terwujud, maka cederalah kehidupan manusia di dunia ini dan
hilanglah kenikmatan serta wajiblah atasnya azab yang pedih di akhirat.
Jadi, unsur yang keberadaanya sebagai pokok bagi keberadaan agama
dan kehidupan manusia, menjadi bagian dari dharūri. Demikian juga,
persoalan yang memungkinkan hancurnya agama dan kehidupannya,
maka memelihara keduanya dari gangguan menjadi bagian darūri juga.21
30 Yusuf Hamid al-‘Alim, Al-Maqāsid al-‘Ãmmah li Syarī’ati Islam, (Riyadh, Al-Dar al-
‘Alamiyah, 1994), hal.248.
b. Memelihara jiwa31
1. Dharūri. Seperti memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan
untuk mempertahankan hidup. Kalau kebutuhan pokok ini
diabaikan, maka akan berakibat terancamnya eksistensi jiwa
manusia.
2. Hājī. Seperti diperbolehkan berburu binatang untuk
menikmati makanan yang lezat dan halal. Kalau kegiatan ini
diabaikan , maka tidak akan mengancam eksistensi manusia,
melaikan hanya mempersulit hidupnya.
3. Tahsinī. Seperti ditetapkannya tata cara makan dan minum.
Kegiatan ini hanya berhubungan dengan kesopanan dan etika,
sama sekali tidak akan mengancam eksistensi jiwa manusia,
ataupun mempersulit kehidupan seseorang.
c. Memelihara akal
1. Dharūri. Seperti diharamkannya minuman khamr. Bahwasanya
jenis minuman khamr berpeluang besar efeknya akal manusia
menjadi rusak.
2. Hājī. Seperti dianjurkannya menuntut ilmu pengetahuan,
karena ilmu pengetahuan yang dimiliki seseorang akan
mempermudah dirinya dalam pemeliharaan akal.
3. Tahsinī. Seperti menghindarkan diri dari menghayal atau
mendengarkan sesuatu yang tidak berfaedah
d. Memelihara Keturunan
1. Daruri. Seperti disyariatkannya nikah dan dilarang berzina.
Di mana perkawinan yang didasar lewat nikah akan
menunjukkan kejelasan keturunan seseorang.
2. Hājī. Seperti ditetapkannya ketentuan menyebutkan mahar
bagi suami pada waktu akad nikah dan diberikan hak talak
31 Makna ketiga tingkatan Darūrī, Hājī, dan Tahsinī pada jiwa, akal, keturunan, dan harta
tidak disebutkan lagi, karena makna keempat bagian itu dapat diikuti dari pengertian yang
diberikan dari penjelasan pemeliharaan agama. Makna yang diberikan dikaitkan sesuai
dengan bagian masing-masing. Selanjutnya, penjelasan empat bagian berikut ini diawali
dengan contohnya.
kepadanya.
3. Tahsinī. Contoh Tahsinī seperti disyariatkannya walimah dalam
perkawinan. Hal ini dilakukan dalam rangka melengkapi
kegiatan perkawinan.
e. Memelihara Harta
1. Dharūri. Ialah sebuah ketentuan tentang tata cara pemilikan
harta dan larangan mengambil harta orang lain dengan cara
yang tidak sah.
2. Hājī. Seperti syari’at jual beli dengan cara salam
3. Tahsinī. Seperti ketentuan tentang menghindarkan diri dari
pengecohan dan penipuan. Hal ini erat kaitannya dengan
etika bermuamalah atau etika bisnis.32
4. Pengutamaan dari Lima Aspek Ketika Kontradiksi
Mengetahui urutan peringkat maslahat di atas menjadi penting artinya,
apabila dihubungkan dengan skala prioritas penerapannya, ketika maslahat
yang satu berbenturan dengan kemaslahatan yang lain. Dalam hal ini tentu
peringkat dharuri harus didahulukan daripada peringkat haji dan tahsini.
Ketentuan ini menunjukkan bahwa dibenarkan mengabaikan hal-hal yang
termasuk dalam peringkat kedua dan ketiga, bila mana kemaslahatan yang
masuk peringkat pertama terancam eksistensinya.
Makan dalam hal ini termasuk dalam menjaga jiwa dalam peringkat darūri,
sedangkan makanan yang halal termasuk memelihara jiwa dalam peringkat
hājī. Jadi haruslah lebih didahulukan memelihara jiwa dalam peringkat
darūri daripada hājīi. Begitu juga halnya ketika peringkat tahsini berbenturan
dengan peringkat haji, maka peringkat haji harus didahulukan daripada
peringkat tahsinī.
Bila terjadi kesamaan pada tingkatan yang sama, seperti darūri misalnya,
maka skala prioritas didasarkan pada urutan yang sudah baku, yakni agama
harus didahulukan daripada jiwa, dan jiwa harus didahulukan daripada
akal, dan begitu seterusnya. Namun, di antara kelima unsur itu, melihara
jiwa merupakan unsur yang sentral dalam kaitannya dengan kemaslahatan
yang bersifat duniawi. Karena itu dalam kasus tertentu memelihara jiwa
dapat didahulukan daripada memelihara keyakinan. (QS. An-Nahl: 106).33
Dan demikianlah seterusnya dari urutan lima yang diperioritaskan.
C. Penutup
Hukum Islam dibebankan (khithab) kepada mukallaf dengan pertimbangan
yang logis dan terikat dengan nilai keistimewaan yang tinggi. Meskipun
hukum yang ditetapkan syara’ diperintahkan untuk melaksanakannya, tapi
ternyata mempunyai tingkatan-tingkatan yang berbeda. Para ahli hukum
Islam menyebutkan, paling tidak ada tiga tingkatan hukum itu dibebankan
kepada setiap umat Islam untuk diamalkan, yaitu; Darūrī, Hājī, dan Tahsinī.
Ketiga tingkatan ini erat kaitannya dengan lima aspek pokok yang oleh
agama diperintahkan untuk selalu dijaga dan dipelihara, yaitu; agama, jiwa,
akal, keturunan dan harta.
Yang dimaksud dengan daruri adalah segala perbuatan hukum yang sifatnya
primer (pokok) yang berhubungan dengan segala aspek yang lima. Artinya,
dengan mengerjakan kelima aspek tersebut maka seseorang akan menjadi
terpelihara, sebaliknya dengan meninggalkan lima aspek tersebut maka akan
menjadi binasa.
Sementara yang terakhir yaitu Tahsinī. Hukum yang masuk dalam kelompok
tahsinī merupakan hukum yang membuat lima aspek tadi akan lebih indah.
Di mana dengan perbuatan itu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta akan
lebih baik, dan terbentuk lebih ihsān (kelihatan indah diperhatikan.
DAFTAR PUSTAKA
A. Fyzee, Asaf A. Pokok-Pokok Hukum Islam. terj. Arifin Bey. Jakarta: Tintamas,
1965.
Baltaji, Muhammad. Metodologi Ijtihad ‘Umar bin Khattāb, terj. Masturi Irham.
Jakarta, Khalifah, 2005.
Ramadhan, Sayyid. Keunikan dan Keistimewaan Hukum Islam. Terj. Badri Saleh.
Jakarta: Firdaus, 1991.
Asmawati
Ketua II Sekolah Tinggi Agama Islam Teungku Dirundeng Meulaboh, Alumnus Universitas
Kebangsaan Malaysia (UKM), Tahun 2003.
Abstract
A. Pendahuluan
Salah satu ciri pembangunan sesuatu negara adalah kemajuan dalam bidang
ekonomi. Seiring dengan perkembangan dunia, bidang ini memainkan peranan
yang cukup strategis bagi terwujudnya kemakmuran dan kesejahteraan
masyarakat. Perbincangan mengenai ekonomi selalu dihadapkan dengan
berbagai persoalan pemenuhan kepentingan-kepentingan dan keinginan
masyarakat yang sifatnya tidak terbatas dan beraneka ragam. Dengan
meningkatnya kebutuhan masyarakat (yang berupa materi) sebagai ekses
dari perkembangan sistem ekonomi dunia, telah mendorong semua negara
untuk selalu mengawal setiap aktivitas negaranya agar dapat berjalan
dengan baik dan lancar.
Dalam ajaran Islam terdapat bagian khusus yang membahas tentang masalah
kebendaan dan harta kekayaan yang di dalamnya mengatur tentang hukum
jual beli dan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengannya. Dan hal yang
paling penting dalam transaksi perniagaan Islam adalah halal dan baik, serta
kejujuran.
B. Pembahasan
1. Definisi dan Perilaku Konsumen
Istilah konsumen dalam bahasa Arab disebut dengan mustahlak (
)1 ia berasal dari kata halaka ( ) yang bererti habis, binasa, atau mati.2
Kemudian kata ini dalam pembahasan ekonomi Islam dimaknai dengan
barang yang habis digunakan, seperti makanan, minuman dan sejenisnya
3
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa setiap orang yang
menggunakan barang dan perkhidmatan untuk keperluan sendiri baik secara
individu atau kolektif disebut sebagai konsumen. Penjual juga dikatakan
konsumen karena mereka juga menggunakan barang dan perkhidmatan
untuk memenuhi keperluan mereka. Oleh karena itu, konsumen secara
kualitas dan kuantitas merupakan bagian yang tak terpisahkan dan sangat
berpengaruh dalam kegiatan ekonomi dunia.
1 Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, edisi. III, (Beirut: Libraire du Liban,
1960), hal. 109
2 Rohi Baalbaki, al-Mawrid, (Beirut-Libnan: Dār al-‘Ilm lil-Malāyīn, 1997), hal. 1200.
3 Ibrahim Musthafa, Mu’jam Wasit, juz. I, (Istambul: Maktabah Islamiyah, 1999), hal. 991
4 Ramadhan Ali as-Syarbasi, Himāyah al-mustahlika…, hal. 25.
5 P.G Krishnan, Consumer Protection dalam Leelakrisnan P., Consumer Protection and
Legal Control, (Cochin: Eastern Book co. 1991), hal. 4
6 Mohammad Shariff Abu Samah, Undang-Undang dan Perlindungan Konsumen, (Kuala
Lumpur: Internasional La Book Service, 1999), hal. 7
Dari dua penjelasan di atas dapatlah kita pahami bahwa masalah penggunaan
berkaitan erat dengan sikap penjual dan pelaku ekonomi itu sendiri dalam
memenuhi kebutuhan-kebutuhan konsumen. Artinya bahwa penjual
haruslah memberikan pelayanan terbaik kepada konsumen-konsumennya,
dan juga produk yang dijual itu haruslah memberikan keselamatan dan
berdampak sehat baik secara fisik maupun mental, di samping juga tidak
merusak alam sekitarnya.
3. Hak-Hak Konsumen
Berbicar mengenai konsumen, tentu tidak terlepas juga dari penjual, kedua-
duanya memiliki kepentingan masing-masing dan memiliki hak-hak yang
sama. Hubungan antara penjual dan konsumen merupakan interaksi sosial
dalam batasan sebuah transaksi perniagaan yang di dalamnya terdapat hak
dan kewajiban antara satu dengan yang lainnya. Ini artinya dalam sebuah
transaksi ekonomi atau perniagaan, setiap konsumen mempunyai hak untuk
mendapatkan barang sesuai dengan apa yang diinginkan, sementara pihak
penjual berkewajiban dan bertanggungjawab untuk memenuhi hak dan
kepentingan konsumen yang dilayaninya.
Menurut M. Quraish Shihab kata “Di antara kamu” dalam ayat adalah harta
benda milik bersama dan Allah membaginya untuk semua manusia secara
adil dan bijaksana. Pembagian ini ditetapkan berdasarkan hukum dan etika
agar pencapaian dan pemanfaatannya tidak menimbulkan perselisihan dan
kerusakan. Ayat ini juga memberi hak dan kebebasan bagi semua pihak dalam
melakukan perniagaan, agar tetap memperhatikan hak-hak orang lain.12
12 Muhammad Quraish Shihab. Etika Bisnis Islam dalam Wawasan Alquran. Ulumul Quran,
jilid 3, 2007, hal. 4-9.
secara terperinci, akan tetapi hak-hak ini boleh kita pahami secara implisit
dalam hak memenuhi keperluan yang asasi. Dan pemenuhan keperluan
asasi bagi konsumen muslim mestilah sesuai dengan ajaran Islam, baik pada
makanan, pakaian, perumahan dan sebagainya.
4. Perlindungan Konsumen
Perlindungan konsumen atau merujuk pada usaha-usaha untuk
memberi perlindungan kepada konsumen berkaitan dengan hak-hak mereka
untuk mendapatkan barang di pasaran. Berkaitan dengan perlindungan
konsumen tentu juga tidak terlepas dari dunia perniagaan, termasuk etika
perniagaan yang melibatkan produsen, penjual dan konsumen.
Oleh karena itu, etika perniagaan yang menjadi panduan dalam perlindungan
konsumen dalam Islam dapat dijabarkan sebagai berikut:
a. Sebagai Produsen
Penjual mempunyai tanggungjawab terhadap kualitas barang dan akan
berdampak kepada konsumen dan masyarakat secara keseluruhan.
Berikut kode etik yang wajib diperhatikan oleh penjual dan produsen.
1. Menjalankan keadilan
Keadilan dapat dicapai melalui tindakan memproduksi suatu barang.
Barang yang diproduksi mestilah mengikut keperluan masyarakat.
Masyarakat diberi hak yang sama untuk menikmati barang yang
diproduksinya. Artinya produsen tidak boleh memperuntukkan suatu
barang hanya untuk kelompok tertentu saja, kerana sikap ini akan
membawa kepada perpecahan dan permusuhan dalam masyarakat.
14 M. Umer Chapra, Islam and The Economic Challenge, (USA: The Islamic Foundation and the
International Institute of Islamic, 1992), hal. 7
15 Mahmud Muhammad Babili, Ekonomi dari kacamata Islam, (Terengganu: Yayasan Islam
Trengganu, 1988), hal. 136.
1. Kejujuran
Perniagaan yang jujur ialah perniagaan yang selamat dari pada
tipu daya dan penyelewengan. Rasulullah saw., bersabda, “Seorang
muslim itu saudara muslim, tidak halal bagi seorang muslim menjual
kepada saudaranya satu jualan yang mempunyai aib kecuali dia
menjelaskannya kepadanya”.16
16 Al-Hafizh abi Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwani, Sunan Ibn Majah, Kitab al-Tijarah
Jilid 12, Bab. Man Bā’a ‘Aiban Fayubāyinihī , hal. 2246.
17 Norma etika adalah norma yang mengatur pola prilaku dan setiap lahiriyah manusia. Norma
ini berkaitan dengan tata cara dalam pergaulan sehari-hari. A. Sony Keraf, Etika Bisnia Tuntutan
dan Relevansinya, hlm.18.
18
18 Bukhari Muslim, Allu’luu wa al-Marjān, Kitab al-Buyu’ Jilid 21, Bab al-Tahrīm an-Najsy ,
Jilid 4, hal. 107.
19 Muslim Ibn al-Hajjaj, Shahih Muslim bi Syarhi al-Imam an-Nawawi, Kitab al-Buyuc (12), bab
al-Nahyi ’an al-Halaf fi al-Bayc (48), hal. 4102.
20 Afzalur Rahman, Economic Doctrines of Islam, Vol. II, Islamic Publication LTD, Lahore
(Pakistan), 1975, hal. 75-76
betapa jahat dan dhalimnya orang yang suka menipu dan menganiaya
hak orang lain. Dan Alquran menegaskan bahwa perbuatan yang
memperdaya orang lain sama dengan orang yang membuat kerusakan
di bumi.
Dengan demikian terbukti bahwa tidak tegas dan tidak adil dalam
timbangan dan sukatan akan menimbulkan keburukan dan
menghambat kemajuan ekonomi. Atas dasar ini pula, dapat kita
fahami bahwa korupsi, kesepakatan jahat (kolusi), dan nepotisme
dilarang dalam sesbuah negara, kerana akan ia menganiaya hak
orang lain, di samping juga akan menghambat kemajuan negara
dalam berbagai sektor.
21 Al-Hafiz ibn Abdullah Muhammad ibn al-Qazwani, Sunan Abu Daud, kitab at-Tijarah , Jilid
12, Bab al-Hukrah wa al-Jalb…, hal. 2154.
22 Sistem pasar dimana harga ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran di pasar
tanpa ada paksaan dari mana-mana pihak.
23 Yusuf al-Qardawi, al-Halal wa al-Haram fi al-Islam, (Kairo: Maktabah Wahbah, Kaherah,
1993), hal. 244-246.
c. Konsumen
Konsumen yang cakap dalam Islam adalah konsumen yang dapat
menyeimbangkan antara keperluan dunia dan akhirat. Keseimbangan
ini akan mengajarnya untuk membelanjakan harta secukupnya, tidak
berlebih-lebihan dan pandai bersyukur.
dalam Islam berdiri atas nilai-nilai etika perniagaan Islam yang diterapkan
oleh para peniaga. Ramadhan as-Syarnabasi mengatakan bahwa Islam
menuntut agar pelaku eknomi harus memahami etika perniagaan dalam
Islam, agar perniagaan dapat berjalan dengan dengan baik. Hal ini sejalan
dengan ungkapan Umar r.a: “ Tidak ada perniagaan di pasar kami kecuali
bagi orang yang memahami agamanya.”24Artinya bahwa produsen, penjual
dan pembeli wajib mengetahui dan menerapkan prinsip-prinsip perniagaan
yang telah digariskan dalam Alquran dan Sunnah agar masing-masing pihak
dapat mengetahui hak dan kewajiban masing-masing.
C. Penutup
Kebutuhan akan makanan merupakan kebutuhan yang paling asasi di antara
kebutuhan asai lainnya. Makanan merupakan kebutuhan pokok yang harus
dipenuhi setiap saat dan waktu, semua manusia berusaha dengan berbagai
cara untuk memnuhi kebutuhannya.
DAFTAR PUSTAKA
Bukhari Muslim, Allu’luu wa al-Marjān, Kitab al-Buyu’. Jilid 21. Bab al-
Tahrīm al-Najsi. Tt.: tp, t.th..
Chapra, M. Umer. Islam and The Economic Challenge, The Islamic Foundation
and The International Institute of Islamic. USA: Thought, 1992.
Ibn al-Qazwani, Al-Hafiz ibn Abdullah Muhammad. Sunan Abu Daud, Bab.
M.A. Mannan, Islamic Economics Theory and Practice. Delhi: Idarah-I Adabiyat-I
1970.
Rahman, Afzalur. Economic Doctrines of Islam. Vol. II. Lahore Pakistan: Islamic
Publication LTD, 1975.
Wehr, Hans, A Dictionary of Modern Written Arabic, edisi. III. Beirut: Libraire
du Liban, 1960.
Syahril
Dosen Universitas Teuku Umar Meulaboh, dan Dosen Prodi Mu’amalah Sekolah Tinggi
Agama Islam Teungku Dirundeng Meulaboh
Abstract
A. Pendahuluan
Perkembangan dunia dewasa ini yang sangat spektakuler, salah satu adalah
perkembangannya tehnologi informasi. Tehnologi informasi yang merupakan
sarana yang penting dalam pembangunan. Pembangunan suatu negara
atau daerah tidak dapat dilakukan dengan maksimal tanpa menggunakan
tehnologi.
gempa dan tsunami banyak NGO dan lembaga lain yang unit kerjanya di
Wilayah Kabupaten Aceh Barat dan Kabupaten sekitar.
Menurut Sastra Atmajaya2, perlu empat syarat pokok dalam suatu usaha
yaitu : Kaum buruh/tenaga kerja, Kapital atau modal, Tenaga organisasi atau
skill dan Bahan baku atau bahan mentah.
studi kelayakan.
Dilihat dari evaluasi proyek sebenarnya tidak jauh berbeda dengan studi
kelayakan bisnis, bila studi kelayakan bisnis menilai kegiatan usaha yang
akan dikerjakan, sedangkan evaluasi proyek adalah salah satu kegiatan yang
menilai dan memilih dari bermacam-macam investasi yang mungkin untuk
dikembangkan sesuai kemampuan dari investasi yang dimiliki. Penilaian
yang dilakukan dengan studi kelayakan bisnis, seperti yang telah diuraikan
di atas orientasi lebih bersifat mikro dan penilaian yang dilakukan melalui
evaluasi proyek lebih bersifat makro.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas maka dapat diambil suatu intisarinya
adalah studi kelayakan ini bukan dimanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan
raksasa saja tetapi usaha kecilpun perlu memakai/mengembangkan suatu
usaha tidak memperhitungkan studi kelayakan usahanya maka tidak
ada kepastian apakah usaha tersebut menghasilkan benefit atau tidak.
Maka dari itu di zaman sekarang ini sangat perlu studi kelayakan dalam
mengembangkan suatu usaha.
3. Pengertian Pemasaran
Setiap hubungan antara individu atau antar organisasi yang melibatkan
suatu tukar menukar (transaksi) adalah pemasaran. Jadi intisari pemasaran
adalah traksaksi tukar-menukar yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
dan keinginan manusia. Akibat pemasaran terjadi setiap kali suatu unit social
mengadakan transaksi dengan unit social yang lain atau sesuatu yang bernilai.
Pemasaran mencakup semua kegiatan yang dirancang untuk memberikan
kemudahan dalam transaksi tersebut.
Pendapat yang terkenal antara lain dikemukan oleh Stanton yang mengatakan
bahwa pemasaran adalah suatu system total dari kegiatan bisnis yang
dirancang untuk merencanakan, menentukan harga, mempromosikan dan
menditribusikan barang-barang yang dapat merumuskan keinginan dan jasa
baik kepada para konsumen saat ini maupun konsumen potensial.7
Menurut Glueck dan Jauch bahwa “Strategi adalah rencana yang disatukan,
menyeluruh dan terpadu yang mengaitkan keunggulan perusahaan dengan
tantangan lingkungan yang dirancang untuk memastikan bahwa tujuan
utama perusahaan dapat dicapai melalui pelaksanaan yang tepat oleh
perusahaan”.
2. Aspek Pemasaran
Toko Bumar Ponsel telah memiliki pelanggan tetap yang telah cukup lama
khususnya pelanggan pulsa isi ulang. Untuk perusahaan sejenis, perusahaan
Bumar Ponsel termasuk yang terbesar dan sudah cukup dikenal sebagai
penjual produk hand phone (termasuk sparepart/assesoris) yang cukup
lengkap di Meulaboh.
Toko Bumar Ponsel sudah memulai menjalankan usaha sejak Januari 2005
di lokasi baru Jl. Gajah Mada No.165, sebelum bencana tsunami Bumar
Ponsel sudah mulai usaha sejak tahun 2003 (sejak sinyal HP mulai ada di
Ukuran target pasar, tingkat konsumsi tinggi daya beli tinggi. Produk yang
diperdagangkan adalah hand phone dan pulsa berikut segala perangkatnya.
Tingkat permintaan semakin meningkat, hal ini disebabkan semakin
banyaknya masyarakat yang membutukan sarana komunikasi yang praktis,
di samping sarana telepon dari PT. Telkom sebagian besar hancur akibat
bencana dan belum sepenuhnya pulih. Di samping itu HP merupakan
produk yang menawarkan sisi hiburan yang menarik minat konsumen dan
ini masih ditambah dengan banyaknya pendatang di kota Meulaboh yang
membutuhkan komunikasi jenis HP.
Proporsi penjualan saat ini tunai dan kredit dengan jangka waktu 1 minggu
sampai dengan 1 bulan. Penjualan secara kredit diberikan secara selektif
kepada pelanggan yang telah dikenal. Sebagian besar penjualan secara
kredit diberikan kepada sesama pedagang untuk pembelian HP, aplikasi
dan assesoris yang dijual secara grosir dengan jangka waktu sampai dengan
minggu.
Tempat usaha di Jl. Gajah Mada No.165 B berada di atas bangunan toko
permanen 1 (satu) lantai (bangunan baru dibangun setelah bencana tsunami),
yang digunakan sebagai outlet sekaligus tempat melakukan pekerjaan service
HP, Tempat usaha ini dikuasai secara sewa dengan harga Rp. 15 juta per
tahun selama 5 tahun .
5. Aspek Finansial
Dimasa sekarang ini banyak usaha yang dapat dilakukan oleh seseorang
atau perusahaan untuk berusaha mendapat keuntungan, sehingga muncul
pikiran-pikiran atau gagasan untuk menentukan jenis usaha apa yang lebih
menguntungkan pada masa sekarang ini.
Maka dari itu studi kelayakan akan membantu para pengusaha dalam
menilai feasibel atau tidaknya suatu usaha dapat dikembangkan. Adapun alat
yang dapat digunakan dalam menilai kelayakan usaha adalah : Net Present
Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Profitability Ratio (PR), Net Benefit
Cost Ratio (Net B/C), Gross Benefit Cost Ratio dan Break Event Point (BEP).
Untuk mengetahui hasil perhitungan net present value dari usaha telepon
seluler di Kota Meulaboh akan diperlihatkan pada tabel dibawah ini :
Tabel. Persiapan Perhitungan Net Present Value pada Usaha Telepon Seluler
di Kota Meulaboh (Rp.000).
Tahun
Jenis Biaya
0 1 2 3 4 5
Pendapatan - 360,000 378,000 396,900 416,745 437,582
Jumlah Biaya :
Investasi
- 100,000
awal - - - - -
Biaya
- 108,000 108,375 108,769 109,182 109,616
operasi
Bunga
- 18,000 15,484 12,515 9,012 4,878
bank
Peng.
- 13,977 30,472 49,934 72,900 100,000
Pinjaman
Total 100,000 139,977 154,331 171,218 191,094 214,494
Berdasarkan tabel di atas diperoleh net present value sebesar Rp. 704,617
yaitu selisih antara net present value negatif dengan net present value positif.
Angkat net present value positif menunjukkan bahwa usaha telepon seluler
layak dikembangkan karena akan memberikan keuntungan bagi yang
mengusahakannya.
Net Present Value sebesar Rp. 704,617 merupakan net bersih yang telah
didiscounted dengan Social Oppurtunity Cost of Capital (SOCC) atau dengan
kata lain net benefit yang diperoleh merupakan keuntungan bersih yang telah
disesuaikan dengan tingkat bunga bank yang berlaku yaitu 18 %.
Angkat net present value yang jauh dari angka nol menunjukkan keuntungan
bersih yang diperoleh semakin besar, demikian juga sebaliknya bila net
present value yang diperoleh mendekati titik nol atau sama dengan nol. Ini
artinya perusahaan untuk bisa memperoleh keuntungan semakin tinggi.
Net prsent value yang sama dengan nol bukan berarti perusahaan tidak
memperoleh keuntungan atau dengan kata lain perusahaan bukan berada
pada titik impas (break event point), akan tetapi net present value sama dengan
nol menunjukkan bahwa perusahaan tetap mampu memperoleh keuntungan
secara normal yang disebut dengan profit.
yang menyamakan nilai net present value, tentunya Internal Rate of Return yang
lebih besar dari tingkat SOCC. Angka Internal Rate of Return yang lebih
besar dari SOCC atau tingkat suku bunga terus meningkat sampai mencapai
angka yang sama dengan Internal Rate of Return perusahaan masih manpu
memperoleh keuntungan (normal profit).
IRR = i1 + NPV 1
( NPV 1− NPV 2 ) (i 2 − i1)
704,617,571
IRR = 0,18 + ( 704,617,57 1 − 631,938,604 )
( 0,23 − 0,18 )
IRR = 6 ,4
7 persen
Nilai net benefit cost ratio yang lebih besar dari satu berarti bahwa perusahaan
tersebut memiliki net present value yang lebih besar dari nol, ini menunjukkan
bahwa perusahaan tersebut layak untuk dilaksanakan. Apabila hasil net
benefit cost ratio lebih kecil dari satu berarti bahwa usaha tersebut tidak layak
dilaksanakan. Usaha hasil perhitungan net benefit cost ratio lebih kecil dari
satu arus cash inflow (putaran kas masuk) sama dengan arus kas out flow
(arus kas masuk) dalam nilai present value, kondisi ini disebut juga dengan
Break Event Point (BEP).
Untuk mengetahui besarnya net benefit cost ratio dari usaha telepon seluler,
maka dapat dilakukan perhitungan di bawah ini berdasarkan lampiran 1.
n _
_
∑N B
i (+)
Net b
c = i =1
n _
∑N B
i
i =1
( −)
100.000.000
Net b c =
950.395.468
Net b c = 9,5
Berdasarkan pada hasil perhitungan di atas, bahwa net benefit cost ratio yang
dihitung lebih besar dari satu yaitu 9,5. Ini berarti usaha telepon seluler di
Kota Meulaboh layak di kembangkan.
Untuk mengetahui besarnya angka angka gross benefit cost ratio dari usaha
telepon seluler dapat dilihat pada perhitungan di bawah ini berdasarkan
lampiran 2.
n
∑N B
i
i =1
(1 + r ) − n
Gross b
c = n
∑ N ci
i =1
(1 + r ) − n
711.314.790
Gross b
c =
346.034.368
Gross b
c = 2,055
Nilai dari masing-masing variabel adalah nilai present value atau nilai yang
telah didiscounted dengan discount factor dari SOCC. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada perhitungan di bawah ini:
n n
∑B
i − ∑ OMi
P
R = i =1
n
i =1
∑ Ii
i =1
711,314,790 - 346,034,368
P
R =
100,000,000
P
R = 3,6
5
Sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan, maka hipotesis yang telah
dikemukakan sebelumnya diterima kebenarannya, hal ini didasari dengan
hasil yang diperoleh.
D. Penutup
Dari analisis data dan hasil pembahasan tentang kelayakan usaha telepon
seluler di Kota Meulaboh Kabupaten Aceh Barat, dapat diambil beberapa
kesimpulan di antaranya :
1. Hasil evaluasi yang didasarkan pada discounted kriteria investasi
menunjukkan hasil yang positif dimana NPV = Rp 704.617.000, IRR =
66,47 persen, Net B/C =9,5 persen, Gross B/C = 2,055 persen, dan PR = 3,65.
Dengan demikian usaha telepon seluler ini layak untuk dikembangkan di
Kota Meulaboh Aceh Barat.
2. Selain kelayakan secara financial usaha telepon seluler dilihat dari
pemasarannya, memang salah satu produk yang lagi ngetrain. Karena
produk ini merupakan sarana komunikasi yang sangat praktis dan
efisien serta memiliki fasilitas hiburan dengan menggunakan teknologi
yang semakin canggih dengan memunculkan produk-produk baru yang
semakin menarik perhatian masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Assauri Sofyan. Manajemen Produksi. Jakarta: FEUI, 1978.
Mahmud S.. Dasar Ilmu Ekonomi dan Gerakan Koperasi. Jakarta: Intermasa,1976.
Yakob Ibrahim, H.M.. Studi Kelayakan Proyek. Jakarta: Rineka Cipta, 1997.
Riswadi
Alumni Pascasarjana IAIN Ar-Raniry Banda Aceh.
Abstract
During this time, bughah is the issue that not be focused more by ‘ulemas. Infect,
the case has been considered kind of crime (jarimah) that transgress the law.
Meanwhile in Islamic Law, the the ulemas have various perspective toward
the case. Among them said that bughah kind of had, qisas, or only ta’zir. Such
the definition toward this crime sometimes is related to kind of deed, right
or other causes that considered as action fight toward the country. Therefore,
the possible varieties that contain the perception and different motivation
in order to explain the action of bughah. The factor of environment, sosio-
history, culture and political development as well takes part of difference of
kind substance of jarimah to categorized the action of bughah.
A. Pendahuluan
Dalam beberapa literatur fikih yang dirujuk, penulis tampaknya menemukan
beberapa hal sehubungan dengan pandangan ulama fikih tentang perbuatan
bughah beserta katagori jenis pidananya. Di kalangan Hanafiyah, bahwa yang
termasuk dengan perbuatan bughah meliputi beberapa syarat di antaranya
adalah : Yang pertama, adanya perbuatan melawan pemerintah. Yang kedua,
mempunyai alasan melawan pemerintah. Yang ketiga, memiliki kekuatan
senjata, dan yang keempat, perbuatan itu dilakukan dengan cara anarkis.1
Meski kemudian, tindak pidana bughah yang dimaksud belum mencapai titik
akhir; lantaran jenis pidana itu masih berada di antara had dan qishas.3 Untuk
mengurai hal ini, maka alasan yang dipakai oleh kalangan Hanafiyah karena
tindakan bughah digerak-kan oleh dua pihak. Pertama, pemerintah. Kedua,
kalangan bughah.4
1 Ibn ’Abid, Hasyiyah Rad al-Mukhtar, jilid 3 dan 4, (Beirut: Dar al-Fikr, 1966), hal. 262
2 Ibid, hal. 338. Lihat juga Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, jilid 7, (Damsyik:
Dar al-Fikr, 1422 H/2002 M), hal. 5478.
3 Syams al-Din Muhammad ibn Muhammad al-Khatibi al-Syarbayni, Mughni al-Muhtaj, jilid
5, (Beirut: Dar al-Kitab al-’Ilmiyah, 1994), hal. 401-405.
yang zalim juga sebuah perintah wajib. Dikarenakan ada dua perintah yang
saling berlawanan; di satu sisi mengutuk perbuatan bughah, tapi di sisi yang
lain, boleh melawan pemimpin yang zalim, maka tindakan memerangi
menurut pandangan ini merupakan jenis pidana yang dianggap paling
tinggi, sekaligus sebagai upaya pilihan; antara had atau qishas. 4
4 Lihat Abi ’Abdullah ibn Ahmad al-Ansari al-Qurtubi, al-Kafi fi Fiqh ahl al-Madinah al-
Maliki, (Beirut: Dar al-Kitab al-’Ilmiyah, 1992), hal. 222. Meski begitu, alasan pokok yang
harus dimiliki dan menjadi syarat perbuatan bughah, menurut kalangan Malikiyah, karena pelaku
bughah memiliki wilayah, senjata, komando, dan bertindak secara anarkis.
5 Ibn Qadamah al-Maqdisi, al-Mughni, jilid 8, ((Beirut: Dar al-Fikr, 1978), hal. 114. Dan
sebagai tambahan, menurut kalangan Hanafiyah, di saat perang itu berlangsung, tidak ada aturan
yang menyebabkan seseorang di antara kedua kelompok [pemerintah dan pelaku bughah] untuk
dapat menanggung jaminan atau ganti rugi apapun, baik dari segi jiwa maupun harta.
6 Ibid.
7 Yang dimaksud dengan dar ahl al-’adl, tempat di mana daerah atau kawasan itu menjadi
komunitas masyarakat tinggal, dan mereka tanpa melibat diri dengan kegiatan pelaku bughah.
8 Ibrahim al-Baijuri, Syarh al-’Alamah ibn al-Qasim al-Ghazya atas Matan Abi Sjuja’,
Hasyiyah, Jilid 2, (Beirut: Dar al-Kitab al-’Ilmiyah, 1420 H/1999 M), hal. 474 dst.
Definisi ini bisa diarahkan, bahwa faktor damai lebih penting daripada
membunuh. Sekiranya jenis pidana itu akan dikenakan, maka hukuman
yang berlaku sama seperti yang diperuntukkan di kalangan hirabah, yakni:
hukuman mati, salib, atau potong tangan dan kaki secara silang, atau dibuang
dari tempat asalnya, dengan berdasarkan ketentuan pemerintah yang sah.11
Namun jenis pidana perbuatan tersebut belum bisa ditetapkan, sekiranya
pemerintah/pemimpin belum melakukan diplomasi politik dengan pelaku
bughah. Bagaimana pun, diplomasi politik menjadi unsur penting dalam
urusan ini.
Definisi ini bisa diarahkan, bahwa jenis pidana bughah ditetapkan dengan
pidana had atau ta’zir. Dasar jenis ini disebabkan kepada prinsip umum
yang masih berlaku, di mana tujuan memerangi pelaku bughah hanya untuk
menghentikan dan bukan menghancurkan mereka. Bagaimana pun, prinsip
umum ini, seperti jiwa dan harta menjadi penting karena pelaku bughah juga
bagian dari kelompok umat Islam dan mereka adalah ber-saudara.
13 Ibid.
Namun secara lebih luas, pengertian ini tidak mendapat kejelasan dalam
literatur-literatur fikih, selain yang telah disebutkan dalam pembahasan
pandangan ulama fikih di atas. Meski begitu, untuk melihat maksud kata
selanjutnya, ulama fikih secara umum menyebutkan dengan; "Mencari
atau menuntut sesuatu yang tidak halal, baik karena dosa maupun ke-
zaliman". Atau bisa juga sebaliknya, bahwa maksud kata tidak selamanya
perbuatan itu bisa disalahkan. Atas dasar ini, maka definisi yang dipakai
17
secara khusus dan disepakati ulama fikih berkaitan dengan penyebutan kata
al-baghyu adalah, perbuatan melawan pemerintah atau pemimpin negara. 18
Adapun dalil hukum normatif yang ikut digunakan secara luas oleh ulama
fikih sehubungan dengan perbuatan pidana bughah sebagai berikut :
14 Muhammad ibn Isma’il al-Kahlani, Subul al-Salam, juz, 3, (Beirut: Masyuriyah Dar al-
Maktab al-Halabi, 1960), hal. 261.
15 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami…, hal. 5478.
16 Abi al-Fadl Jamal al-Din Muhammad ibn Mukram ibn Manzur al-Afriqi al-Misri, Lisan al-
’Arab, jilid 14, (Beirut: Dar al-Sadir, 1410 H/1990 M), hal. 78.
17 ’Abd al-Qadir ’Audah, al-Tasyri’ al-Janai…, jilid 2, hal. 673; Ahmad Fathi Bahnasi, al-
Masuliyyah…, hal. 83-84.
18 ’Abd al-Qadir ’Audah, al-Tasyri’ al-Janai…, jilid 2, hal. 673; Ahmad Fathi Bahnasi, al-
Masuliyyah…, hal. 83-84.
Maksud arti: "Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu
berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya, tapi kalau yang
satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar
perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah.
Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan,
dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-
orang yang berlaku adil".
Ayat ini turun di Madinah. Atau diperkirakan bertepatan dengan tahun ke-9
Hijrah (631M). 19Adapun tujuan utama ayat ini, berkaitan dengan perintah
perdamaian di antara kelompok-kelompok yang bertikai. Sementara
pertikaian yang dimaksud dalam ayat ini, lebih mengarah kepada fitnah.
Maksud fitnah di sini yaitu, suatu berita yang akan diterima dan diamalkan
perlu diteliti nilai kebenarannya. Sebab, jika tidak, berita tersebut bisa
memecah belah umat [Islam] dan menimbulkan pertikaian.
Namun ada beberapa peristiwa yang menyebabkan turunnya ayat ini, seperti
yang dikutip al-Tabari dari ibn Abbas menyatakan: "Allah memerintahkan
Nabi dan orang-orang mukmin ketika terlibat pertikaian agar kembali
kepada hukum Allah. Perintah ini supaya yang terzalimi bisa diselamatkan
dari yang men-zalimi. Siapa saja di antara kelompok tertentu merasa enggan,
maka kelompok tersebut termasuk golongan yang durhaka. Dan pemimpin
wajib memerangi mereka hingga mereka kembali kepada perintah Allah".20
al-Tabari juga mengutip riwayat ibn Zaid: "Karena perintah Allah kepada
19 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol. 13,
(Jakarta: Lentera Hati, 2003), hal. 225.
20 Lihat al-Tabari, al-Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, jilid 9, (Beirut: Dar al-Kitab al-’Ilmiyah,
1992), hal. 387. Sementara dalam tafsir al-Suyuti memiliki beberapa jalur riwayat, di antaranya
adalah: ibn Jarir, ibn al-Mundhir dan ibn Mardawaih. Lihat al-Suyuti, al-Dur al-Manthur fi Tafsir
al-Ma’thur, jilid 6, (Beirut: Dar al-Kitab al-’Ilmiyah, 1990), hal. 97.
Lebih lanjut, riwayat al-Tabari yang mengutip dari Anas ibn Malik
menyebutkan: "Sebuah peristiwa di mana Rasul sedang mengenderai keledai
dan melewati ’Abdullah ibn Ubay ibn Salul [yang dianggap tokoh munafik]
sedang duduk dan berkumpul sesama rekan-rekannya. Lalu kemudian,
keledai Rasul "buang air kecil", dan pada saat bersamaan ’Abdullah ibn Ubay
ibn Salul berkata; "Lepaskan keledaimu karena aroma air seni itu menggangu
kami".
Lalu shahabat Nabi saw., ’Abdullah ibn Rawahah menegur ’Abdullah ibn
Ubay; "Demi Allah, aroma air seni keledai Rasul lebih wangi dari minyak
wangimu". Karena itu, peristiwa demikian akhirnya menimbulkan pertikaian
yang mengundang kehadiran kelompok masing-masing [’Aus dan Khazraj].
Kemudian pertikaian tersebut hanya menggunakan pelepah kurma, tangan,
dan alas kaki. 22
21 Lihat al-Tabari, al-Jami’ al Bayan…, jilid 9, hal. 387. Bahkan dalam kondisi seperti yang
dikutip al-Tabari, pemimpin yang berhak menentukan atau mendefinisikan, apakah perbuatan
itu mengarah kepada bughah atau tidak. Sehingga nantinya kelompok tersebut bisa ditetapkan
dengan jenis pidana tertentu. Sementara dalam tafsiran al-Suyuti tidak terdapat redaksi riwayat
seperti ini.
22 Ibid, hal. 387-388, dst. Namun begitu, peristiwa di atas dinilai tidak kuat. Yang pertama,
karena kasus ’Abdullah ibn ubay terjadi pada awal masa kehadiran (hijrah) Rasul di Madinah (622
M), sementara ayat ini turun pada tahun ke-9 Hijriah (631 M) Nabi di Madinah. Kedua, kasus
di atas bukan penyebab utama turunnya ayat 9, selain dianggap sebagai sampel yang nilainya
sama dengan maksud ayat ini. Ketiga, ’Abdullah ibn Ubay dicap sebagai kelompok orang-orang
munafik—yang penilaiannya dinilai kafir berdasarkan firman Allah, surat al-Taubah ayat 84,
dan Nabi melarang menshalatkan-nya. Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…, hal. 246.
Sementara dalam tafsir al-Suyuti terdapat beberapa periwayatan yang dipakai dalam menafsirkan
ayat ini, di antaranya adalah: Ahmad ibn Hanbal, Bukhari, Muslim, ibn Jarir al-Tabari, ibn
Mardawaih, dan al Baihaqi. Lihat al-Suyuti, al-Dur al-Manthur…, jilid 6, hal. 94-96. Sedangkan
isi berita (matan) yang dipakai sama.
Ayat ini dipahami sama dengan ayat yang dipakai di atas. Bahkan ayat
ini merupakan jawaban atas ayat sebelumnya. Atau dengan kata lain,
ayat sebelumnya (al-Hujarat: 9) dipahami hanya sebatas "penjelas" ketika
menyelesaikan perkara pertikaian. Sebaliknya, ayat berikut ini [al-Hujarat:
10] menjadi "penguat" dalam merespon penyelesaian konflik internal
[sesama mukmin] dengan cara berdamai. Untuk itu, antara ayat 9 dan 10
memiliki hubungan sebab yang sama berkaitan dengan penyelesaian perkara
perbuatan pidana bughah.
Meski begitu, titik tekan ayat ini hendak membedakan persaudaraan yang
dimaksud. Dengan arti kata, bahwa persaudaraan karena nasab (se-kandung:
genetika biologis) menjadi terputus bila berbeda dalam soal akidah. Sementara
sesama mukmin lainnya [se-keturunan: genetika sosiologis-kultural] jauh
lebih afdhal nilai persaudaraan itu. Alasannya karena satu keimanan.
Jadi, siapa saja [sekiranya] di kalangan mukmin yang bersaudara terlibat
pertikaian, maka pertikaian tersebut berhak didamai-kan oleh kalangan
lainnya yang tidak terlibat pertikaian.
"Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya),
dan ulil ’amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan
Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
Hari Kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya" (Qs. al-Nisa’ ayat 59). .
Peristiwa di atas ternyata tidak disetujui Khalid ibn al-Walid. Bahkan Khalid
mempertanyakan esensi perlindungan yang diberikan Ammar, seperti dalam
pernyataan-nya: "Dalam hubungan apakah engkau (Ammar) berusaha
memberikan perlindungan kepadanya" ? Lalu Ammar tidak merespon
pertanyaan itu, sehingga terjadi perselisihan di antara kedua shahabat
tersebut. Yang pada akhirnya, mereka mengadu pada Rasul, dan Rasul
23 Secara umum, surat ini terdiri dari 176 ayat. Dan merupakan surat terpanjang sesudah al-
Baqarah. Sementara dari segi urutan turunnya, surat ini turun sesudah surat al-Mumtahanah—
pada saat terjadinya kasus Hudaibiyah, yakni tahun ke-6 H (628 M). Kemudian pendapat lain
menyebutkan, surat ini turun pada saat Fathu Mekkah, yakni tahun ke-8 H (630 M). Meski begitu,
ulama tafsir sepakat bahwa di antara ayat-ayat ini, ada yang sebagian turun pada tahun ke-6 H
dan ada juga pada tahun ke-8 H. Lebih dari itu, kebanyakan dari ayat-ayat ini, menurut ulama
tafsir turun pada awal permulaan Hijriah (622 M). Lihat Sayyid Qutub, [terj.,] Tafsir fi Zhilalil
al-Qur’an: di bawah Naungan al-Quran, jilid 4, (Jakarta: Gema Insani, 2001), hal. 83. Karenanya,
surat ini ada yang turun di Madinah dan ada juga yang turun di Mekkah. Kendati secara khusus,
substansi ayat ini berhubungan dengan perintah mengikuti putusan hukum dari siapa pun yang
berwenang menetapkan hukum. Dengan lain kata, ayat ini berhubungan dengan kekuasaan dan
pemerintahan.
24 Al-Suyuti, Tafsir al Dur al-Manthur…, jilid 2, hal. 314.
25 Ibid. Sementara dalam tafsir al-Tabari, riwayat di atas diambil melalui jalur al-Suddi, dari Abi
Salih dan bersumber dari ibn Abbas. Lihat al-Tabari, al-Jami’ al-Bayan…, jilid 2, hal. 225.
26 al-Mawardi, al-Ahkam al-Sultaniyyah wa al-Wilayat al-Diniyah, (Beirut: Dar al-Kitab al-
’Ilmiyah, 1416 H/1996 M), hal. 123-124.
27 Ibid, hal. 124-125. Maksud ini, sekiranya pelaku bughah membunuh dengan sengaja, maka
mereka dikenakan qishas. Tapi sekiranya mereka membunuh tanpa sengaja, maka jenis pidana
yang dikenakan adalah diyat. Dan begitu seterusnya.
Karena itu, tuntutan bagi pelaku bughah hanya sebatas pada perdata saja.
Barang yang diambil harus dikembalikan dan yang sudah dihancurkan
28 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam: Fikih Jinayah, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2004), hal. 116-117.
29 al-Mawardi, al-Ahkam al-Sultaniyyah…, hal. 123.
30 al-Mawardi, al-Ahkam al-Sultaniyyah…, hal. 123.
Namun sekiranya para pelaku bughah itu meminta bantuan kepada kafir
harbi, jika ia musta’man maka pemerintah berhak membatalkan perjanjian
keamanan-nya dan status hukumnya kembali seperti semula, yakni sebagai
kafir harbi kecuali keikutsertaannya itu dipaksa. Apabila kafir harbi tersebut
murni, bukan musta’man maka status hukumnya sesuai dengan status hukum
asalnya, yakni sebagai kafir harbi yang setiap saat boleh diperangi atau
hartanya dirampas. Karena bagaimana pun, status mereka tidak memiliki
perjanjian keamanan dengan pemerintah setempat.
Dengan demikian, sejauh apa yang sudah dijelaskan di atas, maka aturan
yang bisa dipakai sehubungan dengan pertanggung jawaban pidana bughah,
berdasarkan argumentasi al-Mawardi sebagai berikut: Pertama, adanya
larangan terhadap perbuatan tersebut. Kedua, perbuatan itu dilakukan secara
sengaja dan penuh kesadaran. Ketiga, adanya konsekuensi hukum atas
perbuatan tersebut.42
Lebih dari itu, menurut al-Mawardi, kendati ketiga faktor di atas bisa
menyebabkan adanya tanggung jawab pidana bughah, namun tanggung
jawab itu perlu dipertimbangkan secara politik. Pertimbangan ini lantaran
efek (sebab) perbuatan itu semata-mata mengarah kepada negara atau
pemerintah. Sehingga, negara atau pemerintah memiliki kekuasaan secara
mutlak ketika menetapkan tanggung jawab pidana bughah berdasarkan
kebijaksanaan politik.
seimbang dan tidak boleh mengikat apalagi sepihak. Karena itu, menurut
al-Mawardi, langkah ini ditempuh lantaran ada dua alasan; yang pertama,
syarat-syarat yang ada pada perbuatan bughah mustahil dipenuhi. Yang kedua,
adanya kekhawatiran bahwa perbuatan itu ikut melukai kepentingan publik,
sehingga syarat-syarat bughah perlu diperluas.32 Dengan demikian, perlu
pertimbangan secara politik ketika menetapkan jenis pidana untuk kategori
perbuatan bughah.
D. Penutup
Tampaknya belum ada kejelasan yang tepat mengenai jenis pidana yang pas
bagi pelaku bughah. Dan barangkali salah satu alasannya adalah, banyaknya
syarat yang perlu diidentifikasi secara akurat mengenai perbuatan bughah.
Sehingga hal ini mempengaruhi upaya untuk mencapai jenis pidana bughah.
Namun begitu, ada beberapa hal yang perlu digaris bawahi menyangkut
jenis pidana bughah, dan di antaranya adalah :
32 al-Mawardi, Adb al-Dunya wa al-Din, (Kairo: Maktabah al-Qahirah, 1950), hal. 113.
DAFTAR PUSTAKA
’Audah, ’Abd al-Qadir. al-Tasyri’ al-Jinai al-Islami: Muqaranah bi al-Qanun al-
Wadh’i, jilid 1 dan 2. Beirut: Muassasah al-Risalah, 1466 H/2001 M.
al-Nawawi. Sahih Muslim, dalam bab "hukm min Farq Amr al-Muslimin wa
huwa Mujtama’", jilid 11-12, Mesir: al-Matba’ah al-Misr wa Maktabah, t.th.
al-Qurtubi, Abi ’Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Ansari, al-Kafi fi Fiqh ahl
al-Madinah al-Maliki, Beirut: Dar al-Kitab al-’Ilmiyah, 1992
al-Tabari. al-Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an. Jilid 9. Beirut: Dar al-Kitab al-
’Ilmiyah, 1992.
Ibn ’Abid. Hasyiyah Rad al-Mukhtar. Jilid 3 dan 4, Beirut: Dar al-Fikr, 1966.
Ibn Manzur al-Afriqi al-Misri. Abi al-Fadl Jamal al-Din Muhammad ibn
Mukram. Lisan al- ’Arab, jilid 14. Beirut: Dar al-Sadir, 1410 H/1990 M
Ibn Taurah, Abi Isa Muhammad Isa. Sunan al-Turmuzi, dalam Kitab Diyat, bab
"Ma Ja la Yahillu Dam Amr Muslim illa bi ihda salasah", No. Hadith 1407, jilid
3, Beirut: Dar al-Fikr, 1414 H/1994 M
Muslich, Ahmad Wardi. Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam: Fikih Jinayah,
Jakarta: Sinar Grafika, 2004
Sabiq, Sayyid. [ter.,] Nor Hasanuddin, dkk.. Fiqh Sunnah. jilid 3. Jakarta: Pena
Pundi Aksara, 2007.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran, Vol.
13, Jakarta: Lentera Hati, 2003
Petunjuk Umum
1. Artikel harus merupakan produk ilmiah orisinil, belum pernah
dipublikasikan di media manapun.
2. Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia baku, bahasa Inggris dan bahasa
Arab.
3. Isi tulisan berkaitan dalam bentuk konseptual, hasil penelitian dan
terjemahan dari bahasa asing.
4. Panjang tulisan antara 15 sampai 20 halaman kwarto dengan spasi ganda.
5. Artikel diserahkan dalam bentuk print out dan soft copy
Petunjuk Teknis
1. Kerangka tulisan meliputi judul, nama penulis, abstrak, kata kunci,
pendahuluan, data, pembahasan serta kesimpulan.
2. Abstrak boleh dibuat dalam bahasa Inggris/Arab dengan memuat inti
permasalahan dan panjang tulisan antara 250-300 kata.
3. Kata kunci bisa berbentuk kata maupun frasa maksimum 3 kosa kata.
4. Pendahuluan mencakup permasalahan, tujuan dan metodologi yang
dipergunakan.
5. Data disesuaikan dengan bentuk tulisan (library research) atau (field
research).
6. Pembahasan harus dilakukan secara sistematis dengan merujuk pada
pendapat para ahli atau kajian yang pernah dilakukan mengenai topik
yang dibahas.
7. Kesimpulan dapat berisi ungkapan singkat yang telah dibahas atau dapat
berupa ungkapan implikatif yang tertarik dan topik yang diangkat untuk
diterapkan pada kondisi dan tempat tertentu.
8. Curriculum Vitae disebutkan alumni dan bidang keahlian.
9. Daftar Rujukan dalam bentuk FOOT NOTE dan hanya buku yang
karyanya dikaji saja yang dimasukkan dalam daftar isi.
10. Transliterasi Arab Latin dipergunakan transliterasi sebagaimana yang
terdapat dalam konkordasi Alquran yang disusun oleh Ali Audah.
Catatan
1. Dewan Redaksi dapat mengubah dan mengoreksi bahasa dan istilah
tanpa merubah isinya atau tanpa diberitahukan kepada penulis. Untuk
kondisi tertentu naskah yang masuk akan dikembalikan untuk diadakan
perbaikan seperlunya.
2. Jadwal Penerbitan "at-Tasyri’" empat kali dalam setahun.
AT-TASYRI’ adalah jurnal Prodi Mu’amalah memuat solusi problematika
ekonomi kontemporer dalam perspektif hukum Islam. Jurnal ini diterbitkan
oleh Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Teungku Dirundeng Meulaboh
bekerjasama dengan Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LKAS) Banda Aceh.