You are on page 1of 154

ISSN 2085 - 2541

AT-TASYRI’
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
Vol. I, No. 2, Juni - September 2009

Konsep Perlindunga
Konsumen dalam
Memperoleh Makanan
Menurut Islam
Asmawati

Eksistensi dan
perkembangan Bank
Syari'ah
Deddy Nofendy

Asuransi dalam
Perspektif Islam
Amrizal hamsa

Diterbitkan oleh:
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
TEUNGKU DIRUNDENG, MEULABOH
ACEH BARAT
AT-TASYRI´
JURNAL ILMIAH PRODI MUAMALAH
ISSN: 2085-2541
Volume 1 Nomor 2
Juni - September 2009

SUSUNAN PENGURUS JURNAL AT-TASYRI'

Penanggung Jawab
Syamsuar Basyariah

Ketua Redaksi
Asmawati

Redaktur Pelaksana
Fauzi Saleh
Jamaluddin Thayyib
Muliadi Kurdi
Banta Ali Abdullah

Penyunting Ahli
Juhaya S. Praja
Nur Ahamad Fadhil Lubis
Nazaruddin AW
Usamah El-Madny
Muhammad Maulana
Zulkarnain Abdullah
Jamaluddin Thayyib

Administrasi dan Tata Usaha


Amrizal Hamsa
Hanifuddin Jamin

Setting/Layout
Khairul Umami

Sirkulasi
M. Yunus
Nurhayati
Maidijar

ALAMAT REDAKSI
Jalan Teuku Umar Komplek Masjid Nurul Huda,
Meulaboh-Aceh Barat
No. 100 Telp: 0655-7551591; Fax: 0655-7551591
E-mail: prodimu_stai@yahoo.co.id
Website: www.staidirundeng.ac.id
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ............................................................................................... vii

Eksistensi dan Perkembangan Bank Syari'ah


Deddy Nofendy ............................................................................................. 99

Asuransi dalam Perspektif Islam


Amrizal Hamsa .............................................................................................. 115

Ijtihad ’Umar Ibn Khattab dan Pembaharuan Hukum Islam


Asra Febriani .................................................................................................. 131

Sanksi Atas Nasabah Mampu yang Menunda-Nunda


Pembayaran Hutang; Studi Atas Fatwa DSN
Mahli Ismail ................................................................................................... 149

Hukum Dharūriyyat, Hãjiyãt Dan Tahsiniyãt Dalam


Pandangan Syari’ah
Irwansyah ........................................................................................................ 167

Konsep Perlindungan Konsumen dalam Memperoleh Makanan


Menurut Islam
Asmawati . ....................................................................................................... 185

Pengembangan Mu’amalah Iqtisadiyyah Modern:


Prospek Pengembangan Usaha Telepon Seluler di Kota Meulaboh
Syahril .............................................................................................................. 203

Perbuatan Pidana Bughah Dalam Hukum Islam Dan Dampaknya


terhadap Muamalah
Riswandi . ........................................................................................................ 221
KATA PENGANTAR

Segala puji ke hadirat Allah swt. yang telah menurunkan tuntunan dan
hukum sebagai guidance (bimbingan) kepada manusia agar dapat hidup
dengan aman dan tenteram baik secara individual maupun kolektif.

Selawat dan salam kepada junjungan alam Nabi Muhammad saw. yang
ucapan, perbuatan dan diamnya menjadi landasan yang patut dan pantas
diteladani dalam berbagai aspek dan sisi kehidupan manusia.

Jurnal Tasyri’ kali ini menghadirkan beberapa tulisan yang sangat urgen
dalam respon problematika sosial kemasyarakat khususnya dalam ranah
hukum Islam. Tulisan tersebut diharapkan akan menjadi wacana, bahan
diskusi, renungan dan bahkan acuan dalam menghadapi issu yang beredar
dalam masyarakat dewasa ini.

Pergumulan perbankan syari’ah dan perkembangannya dari aspek historis,


filosofis dan operasionalnya dibahas secara baik oleh Deddy Nofendy dalam
tulisannya yang berjudul: Eksistensi dan Perkembangan Bank Syari'ah.
Dalam tulisannya, penulis menerangkan bagaimana resistensi perbankan
syari’ah dalam merespon krisis ekonomi global yang melanda dunia hari
ini termasuk ‘trik’ yang dimainkannya dalam kancah ekonomi dunia yang
semakin bersanding dan bertanding.

Dari sisi lain, isu hangat tentang asuransi, menjadi persoalan yang tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan masyarakat modern sekarang ini. Di dunia maju,
asuransi menjadi kebutuhan primer, yang tidak boleh tidak. Hal tersebut
akan terasa sangat aplikatif ketika Amrizal Hamsa, membicarakan tentang
asuransi dalam tulisannya: “Asuransi dalam Perspektif Islam”

Hukum-hukum tersebut di atas tentu tidak dapat dipisahkan dari kemampuan


ijtihad dan istinbat ulama zaman dahulu. Bagaimana kompetensi mereka
dalam hal ini? Asra Febriani mengupas tuntas tentang kemampuan salah
seorang sahabat besar, seorang ulama dan umara, ’Umar ibn Khattab dalam
menginstibatkan dan berijtiihad sebuah produk hukum. Tulisan tersebut
dikupas dalam judul ”Ijtihad ’Umar Ibn Khattab dan Pembaharuan Hukum
Islam”.

Persoalan yang lain yang muncul dalam mu’amalah iqtisadiyyah adalah


kenakalan nasabah dalam menunaikan kewajibannya. Hal tersebut akan
mengganggu kenyamanan berbisnis. Karena itu, Islam memberikan arahan
normatif bahkan repressif dalam bentuk sanksi (’uqubah). Lebih lanjut dapat
ditelaah dalam tulisan Mahli Ismail dengan judul ”Sanksi atas Nasabah
Mampu Yang Menunda-Nunda Pembayaran Hutang; Studi Atas Fatwa
DSN”.

Pemetaan hukum Islam terutama dalam kaitan dengan konsep kemaslahatan


dibahas oleh Irwansyah. Dalam tulisannya yang berjudul ”Hukum Dharūriyyat,
Hãjiyãt Dan Tahsiniyãt Dalam Pandangan Syari’ah” akan menekankan skala
prioritas hukum Islam baik secara teoritis maupun praktis.

Aspek maslahat ini secara kasuistik umpamanya, bagaimana seseorang


mendapat perlindungan makanan yang baik, halalan tayyiban. Pentingnya
pengangkatan problematika ini apalagi di zaman yang mengglobal seperti
sekarang menjadi salah satu alasan bagi Asmawati untuk menulis sebagai
kajian tentang ”Konsep Perlindungan Konsumen Dalam Memperoleh

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


viii
Makanan Menurut Islam”.

Kemaslahatan lain yang perlu diberikan porsi perhatian yang memadai


adalah jaringan komunikasi. Jaringan komunikasi modern menjadikan dunia
semakin dekat. Syahril mencoba membahas dalam lingkup lokal sebagai kasus
penelitiannya. Hal tersebut secara detail dapat ditelaah dalam tulisannya
yang berjudul ”Pengembangan Mu’amalah Iqtisadiyyah Modern:Prospek
Pengembangan Usaha Telepon Seluler di Kota Meulaboh”.

Untuk menjadi kenyamanan mu’amalah, dibutuhkan suasana yang


harmoni dan bersahabat. Riswandi mengupas bagaimana Islam merespon
problematika yang mengganggu suasana kenyamanan dalam bughat dalam
judul ”Perbuatan Pidana Bughah Dalam Hukum Islam dan Dampaknya
Terhadap Mu’amalah”.

Akhirnya, Redaksi Jurnal at-Tasyri’ STAI Teungku Dirundeng Meulaboh


memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada para penulis atas
sumbangan pikirannya yang mencurahkan dalam edisi kali ini. Redaksi juga
berterima kasih atas kerja sama yang baik dengan Lembaga Kajian Agama
dan Sosial (LKAS) sehingga terbitnya edisi ini.

Meulaboh, April 2010


Ketua STAI Teungku Dirundeng,

dto

Syamsuar Basyariah

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


ix
EKSISTENSI DAN PERKEMBANGAN
BANK SYARI'AH

Deddy Nofendy
Dosen Prodi Mu’āmalah, Sekolah Tinggi Agama Islam Teungku Dirundeng Meulaboh,
dan Direktur BPD Aceh Syari‘ah, Cabang Meulaboh.

Abstract

The interest system that developed in conventional banks, as matter of fact,


is not relevant with the Islamic mission. According to Islam, the system
included the ribawi category that not recognize practically which is haram
and halal. The system has produced the uncomfortable condition among the
moslems. To solve the problem, the Moslem economists have found the new
system called it syari’ah bank. Practically, the bank pursues and emphasizes the
profit and loss sharing (PLS) through variety of transactions such musyarakah,
mudarabah and so on. With this system, the bank proved be able to face the
economic crisis and accelerate the economic growth. So that, the system is not
only applied in Moslem countries, but also in non-Moslem do the same thing
as well.

Key words: Eksistensi, Perkembangan dan Bank Syarī'ah


DEDDY NOFENDY

A. Pendahuluan
Seiring dengan perkembangan waktu dan pendapatan masyarakat yang
semakin bertambah, maka kebutuhan akan transaksi perbankan semakin
hari semakin terasa. Masyarakat yang sebelumnya hanya menyimpan
uangnya di rumah-rumah, namun sekarang hampir semua masyarakat
dalam menyimpan uangnya menggunakan jasa perbankan, apalagi dengan
sejumlah tawaran bunga yang sekian persen, sehingga masyarakat berlomba-
lomba untuk menyimpan uangnya melalui jasa perbankan.

Namun yang menjadi masalah kemudian adalah sejumlah persen bunga


yang ditawarkan oleh perbankan bagi setiap masyarakat yang menabung
dan mengambil uangnya di bank-bank tertentu, sehingga hal ini tentunya
menimbulkan masalah baru di kalangan umat Islam, karena sistem yang
ditawarkan ini tidaklah sejalan dengan sistem transaksi yang diatur dalam
syari’at Islam. Kebanyakan ulama menentang secara mutlak sistem bunga
ini, karena sistem ini dapat dikategorikan sebagai ribā al-nasīah, sehingga
keharamannya tidak dapat diragukan lagi, walaupun ada juga sebahagian
kecil ulama yang tidak mengharamkannya, namun memberikan beberapa
catatan.

Berangkat dari berbagai masalah tersebut, kemudian para pakar ekonomi


Islam berfikir bagaimana cara mengatasi sistem ribawi ini, sehingga muncullah
ide untuk membentuk sistem perbankan yang berlandaskan syari’ah, artinya
bahwa dalam setiap transaksi ekonomi perbankan harus menggunakan
sistem keuangan yang diatur sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah, supaya
masyarakat muslim dapat dengan tenang menggunakan sistem perbankan
yang sesuai dengan ajaran Islam.

Oleh karena itu, maka dalam tulisan ini, penulis berusaha untuk
menggambarkan bagaimana eksistensi perbankan syari’ah, fungsinya,
tujuannya, prinsip-prinsipnya dan juga perkembangannya hingga saat ini,
baik di Indonesia maupun di berbagai dunia lainnya.

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


100
EKSISTENSI DAN PERKEMBANGAN BANK SYARI'AH

B. Pembahasan
1. Pengertian Bank dan Fungsinya
Kata bank berasal dari kata banque dalam bahasa Perancis dan kata banco
dalam bahasa Itali, yang berarti peti atau bangku. Konotasi kata ini
menunjukkan fungsi dasar bank secara komersial, yaitu menyiratkan fungsi
sebagai tempat menyimpan benda-benda berharga, seperti emas, berlian,
uang dan sebagainya.1

Pada abad kedua belas kata banco di Italia merujuk pada meja, counter atau
tempat usaha menukar uang (money changer) dan dalam arti transaksi bisnis
yang lebih luas yaitu membayar barang dan jasa. Jadi fungsi dasar bank
adalah menyediakan tempat untuk menitipkan uang dengan aman dan
menyediakan alat pembayaran untuk membeli barang dan jasa.

Sementara pada era modern ini, makna dan fungsi bank khususnya bank
konvensional tidak hanya sebagai tempat membayar barang dan jasa, namun
lebih luas lagi, yaitu sebagi lembaga intermediasi.2 Ia berfungsi sebagai
lembaga yang menerima simpanan dari nasabah dan meminjamkannya
kepada nasabah lain yang membutuhkan dana. Atas simpanan para nasabah
itu bank memberi imbalan berupa bunga, demikian juga untuk pemberian
pinjaman, bank juga mengenakan bunga.3

Dengan demikian bahwa bank konvensional dalam melakukan transaksi


tidak mengenal prinsip-prinsip syari’ah, halal ataupun haram, baik ataupun
tidak, yang penting dalam prinsipnya adalah bagaimana harus memperoleh
keuntungan sebanyak-banyaknya, tidak masalah bagi bank, apakah uang
yang dipinjamkan itu, digunakan untuk memproduksi dan menjual barang-

1 Iswardono Sp, Uang dan Bank, (Yogyakarta: BPFE, 1994), hal. 50. Lihat juga +Zainul Arifin,
Dasar-Dasar Manajemen Bank Syari'ah, (Jakarta: AlvaBet, 2003), hal. 1.
2 Dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor
7 Tahun 1992 tentang Perbankan disebutkan bahwa bank adalah Badan Usaha yang mernghimpun
dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam
bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat
banyak. Republik Indonesia, Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, Lembaran Negara Tahun 1998
No. 182
3 Iswardono Sp, Uang dan Bank…, hal. 1

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


101
DEDDY NOFENDY

barang yang diharamkan ataupun tidak.

Berdasarkan makna dan fungsi bank-bank konvensional tersebut, maka dapat


terlihat bahwa bank-bank konvensional yang ada saat ini, pada hakikatnya
banyak sekali memberikan kemudahan-kemudahan dan membantu
masyarakat dalam mengembangkan usahanya, walaupun tidak sedikit juga
masyarakat yang sangat terbebani dengan sistem pembungaan (ribawī) yang
sangat mencekik. Namun terlepas manfaat dan mudharatnya bahwa bahwa
fungsi dan prinsip kerja bank konvensional yang lahir di benua Eropa ini,
telah diadopsi secara luas oleh seluruh negara di dunia, termasuk negara-
nagara yang berpenduduk muslim.

Sementara di sisi lain, telah ada upaya lembaga-lembaga keuangan yang


berlandaskan pada prinsip-prinsip syari’ah, seperti bank mu’amalat, mandiri
syari’ah, namun ternyata hasilnya, masih jauh dari yang diharapkan, bahkan
dalam lingkup Aceh yang sedang menjalankan syari’ah, Islam, pemerintah
Aceh sendiri pun, masih belum mwnjadikan bank-bank syari’ah, sebagai
landasan dan prinsip dalam melakukan transaksi perbankan.

2. Asal Usul Bank syari’ah,


Pada awal abad kedua puluh, perbankan syari’ah, masih merupakan bahan
diskusi para akademisi bidang ahli hukum dan ahli ekonomi Islam, belum
ada bank syari’ah yang berdiri secara nyata. Namun setelah krisis demi krisis
terjadi dan ternyata bank yang tidak mengalami pailit dan mampu bertahan
hanyalah perbankan syari’ah, sehingga semakin membuka mata para ekonom
bahwa perbankan yang mampu bertahan dan tidak berdampak sekalipun
sedang terjadi krisis ekonomi hanyalah perbankan syari’ah, sehingga
kemudian perbankan syari’ah, mulai diminati dan dikembangkan, bahkan
tidak hanya di negara muslim, di negara non muslim pun bank syari’ah, terus
mengalami kemajuan.4

Sebenarnya Pada tahun 1963 di Mesir telah beroperasi perbankan syari’ah, yang

4 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Wacana Ulama dan Cendikiawan, (Jakarta:
Kerjasama Tazkia Institut dan Bank Indonesia, 1999), hal. 271.

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


102
EKSISTENSI DAN PERKEMBANGAN BANK SYARI'AH

bernama; Mit Ghamr Local Saving Bank. Bank inilah yang menjadi tonggak
sejarah perkembangan sistem perbankan syari’ah,. Mit Ghamr yang dibina
oleh. Ahmad Najjar adalah lembaga keuangan yang beroperasi di pedesaan
(rural social bank) di sepanjang delta sungai Nil dan berskala kecil.5 Mit Ghamr
menyediakan pelayanan dasar perbankan seperti simpanan, pinjaman,
penyertaan modal, investasi langsung dan pelayanan sosial. Pengenalan
pelayanan sistem perbankan yang berdasarkan Islam yang dilakukan Mit
Ghamr mendapat sambutan yang hangat dari penduduk setempat.

Hal ini terbukti dari jumlah nasabah yang pada akhir tahun buku 1963/1964
tercatat sebanyak 17.560 menjadi sebanyak 251.152 pada akhir tahun buku
1966/1967. Jumlah deposito juga meningkat tajam dari LE 40.944 pada akhir
tahun buku 1963/1964 menjadi LE 1.828.375 pada akhir tahun buku 1966/1967.6
Salah satu faktor yang menyebabkan peningkatan ini adalah adanya rasa
saling memiliki di antara masyarakat terhadap sistem ini.

Namun kemudian terjadi kekacauan politik di Mesir pada masa rejim Gamal
Abdul Nasser hingga Mit Ghar mengalami kemunduran, operasionalnya
diambil alih oleh National bank of Egypt dan Bank Sentral Mesir pada akhir
1967. Dampaknya prinsip dasar peniadaan bunga dalam setiap dasar transaksi
bank mulai diabaikan dan selanjutnya beroperasi atas dasar riba. Pada
tahun 1971, di bawah pemerintahan Anwar Sadat, keinginan mewujudkan
sistem perbankan yang bebas bunga kembali bangkit, dan ditandai dengan
didirikannya Nasser Social Bank yang mengambil alih bisnis yang bebas
bunga yang dulu dilaksanakan Mit Ghamr. Namun berbeda dengan Mith
Ghamr yang diprakarsai dan dimodali oleh masyarakat, sementara modal
Nasser Social Bank berasal dari pemerintah, yang bersumber dari dana
wakaf yang dikumpulkan oleh negara. Basis operasinya juga tidak lagi di
pedesaaan tetapi di perkotaan.7 Namun karena manajemennya kurang baik,

5 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah..., hal. 271


6 Suharto, dkk, Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Konsep,
Produk dan Implementasi Operasional Bank Syariah, (Jakarta: Djambatan, 2003), hal. 21.
7 Adimarwan Karim, Bank Islam Analisa Fiqh dan Keuangan,(Jakarta: IIIT Indonesia, 2003),
hal. 27.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


103
DEDDY NOFENDY

akhirnya bank tersebut tidak bertahan lama dan kemudian pada tahun 1976
operasionalnya harus dihentikan dan ditutup.8

Kesuksesan Mit Ghamr, walaupun belum mencapai kematangan dan


menyentuh semua sektor bisnis ini memberi inspirasi bagi umat muslim di
seluruh dunia, sehingga timbullah kesadaran bahwa prinsip-prinsip Islam
sangat memungkinkan untuk diaplikasikan dalam dunia bisnis modern.
Fenomena ini telah membangun semangat para pemikir muslim di seluruh
dunia, mereka mulai mengkaji dan mempelajari sistem operasional yang
pernah dilaksanakan Mit Ghamr.

3. Tujuan Bank Syari’ah,


M.M. Metwally seorang profesor perbandingan sistem ekonomi di University
of Wollongong Australia menjelaskan dalam bukunya yang diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia Teori dan Model Ekonomi Islam, bahwa secara
umum tujuan utama bank Islam adalah untuk mendorong dan mempercepat
kemajuan ekonomi suatu masyarakat dengan melakukan semua kegiatan
perbankan, finansial, komersial dan investasi sesuai dengan prinsip-prinsip
Islam. Jadi kegiatan bank-bank Islam haruslah didasarkan atas:
a. Larangan bunga pada semua bentuk transaksi
b. Pelaksanaan aktivitas bisnis dan perdagangan atas dasar kejujuran
dan keuntungan yang sah.
c. Pemupukan dana serta menggunakannya di negara-negara Islam
d. Pembinaan kebiasaan menabung di kalangan umat Islam
e. Penataan aktivitas bisnis yang dapat diterima oleh, dan sesuai dengan
syari’ah.
f. Mengembangkan kompetisi/daya saing bank Islam.
g. Pembayaran zakat
h. Kerjasama dengan bak-bank Islam lain di luar negeri untuk
mendorong pembangunan ekonomi dan kemajuan sosial masyarakat
muslim.9

8 www.dilibrary.com, Bagaimana Prospek Bank Syari’ah di 2004 ?, M Dawam Raharjo,


jawaban atas pertanyan Sunaryo, 3 Januari 2004.
9 M.M. Metwally, Teori dan Model Ekonomi Islam, terj. M. Husein Sawit, (Jakarta: Bangkit
Daya Insana, 1995), hal. 141-142.

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


104
EKSISTENSI DAN PERKEMBANGAN BANK SYARI'AH

Menurut Suharto. dkk yang tergabung dalam tim Pengembangan Perbankan


Syari’ah Institut Bankir Indonesia, menekankan bahwa tujuan bank Syari’ah
adalah untuk mendorong dan mempercepat kemajuan ekonomi suatu
masyarakat dengan melakukan kegiatan perbankan, finansial, komersial dan
inestasi sesuai dengan prinsip Islam. Upaya ini tentu saja harus didasari oleh
larangan atas bunga pada setiap transaksi; prinsip kemitraan pada semua
aktifitas bisnis yang atas dasar kesetaraan, keadilan dan kejujuran; hanya
mencari keuntungan yang sah semata-mata; pembinaan manajemen keuangan
pada masyarakat; mengembangkan kompetisi yang sehat; menghidupkan
lembaga zakat; dan pembentukan ukhuwah (networking) dengan lembaga
keuangan Islam lainnya baik di dalam maupun di luar negeri.10

Jadi tujuan lahirnya perbankan yang berlandaskan syari’ah adalah untuk


mendorong dan mempercepat kemajuan ekonomi masyarakat dengan penuh
toleransi dan berkeadilan, tidak boleh saling mendhalimi dan didhalimi, serta
merugikan satu pihak dan menguntungkan pihak yang lain.

4. Prinsip-prinsip Keuangan Perbankan Syari’ah dan Perkembangannya


Dalam komfrensi negara-negara Islam sedunia di Kuala Lumpur Malaysia
pada tanggal 21 sampai dengan 27 April 1969 yang diikuti oleh 19 negara
peserta di antaranya memutuskan beberapa prinsip dalam setiap transaksi
keuangan, yaitu:
a. Tiap keuntungan, haruslah tunduk kepada untung dan rugi, jika
tidak ia termasuk riba dan riba sedikit atau banyak hukumnya haram
b. Diusulkan supaya dibentuk suatu bank Islam yang bersih dari sistem
riba dalam waktu secepat mungkin
c. Sementara menunggu berdirinya Bank Islam, bank yang menggunakan
bunga diperbolehkan beroperasi. Namun jika benar-benar dalam
keadaan darurat.11

Pembentukan bank Islam semula banyak diragukan, pertama banyak orang


yang beranggapan bahwa sistem perbankan bebas bunga (interest free) adalah

10 Suharto, dkk., Tim Pengembangan Perbankan Syariah..., hal. 20-21.


11 Muslim Ibrahim, Bank Syariah Prospek.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


105
DEDDY NOFENDY

sesuatu yang sulit.

Pada Sidang Menteri Luar-Negeri Negara-Negara Organisasi Konferensi


Islam di Karachi-Pakistan, Desember 1970, Mesir mengajukan sebuah proposal
untuk mendirikan bank syari’ah. Proposal tersebut menjelaskan tentang
pendirian Bank Islam Internasional untuk Perdagangan dan Pembangunan
(Internasional Islamic Bank for Trade and Development) dan proposal pendirian
Federasi bank Islam (Federation of Islamic Banks) yang dikaji oleh para ahli
dari 18 negara Islam.

Proposal tersebut pada intinya mengusulkan bahwa sistem keuangan


berdasarkan bunga harus digantikan dengan suatu sistem kerjasama dengan
skema bagi hasil keuntungan maupun kerugian proposal tersebut diterima.
Sidang menyetujui rencana mendirikan Bank Islam Internasional dan
Federasi Bank Islam.

Proposal tersebut antara lain diusulkan untuk:


a. Mengatur transaksi komersial antar negara Islam.
b. Mengatur institusi pembangunan dan investasi.
c. Merumuskan masalah transfer, kliring, serta settlement antar bank-
sentral di negara Islam sebagai langkah awal menuju terbentuknya
sistem ekonomi Islam yang terpadu.
d. Membantu mendirikan institusi sejenis bank sentral syari’ah di negara
Islam.
e. Mendukung upaya-upaya bank sentral di negara Islam dalam hal
pelaksanaan kebijakan-kebijakan yang sejalan dengan kerangka kerja
Islam.
f. Mengatur administrasi dan mendayagunakan dana zakat.
g. Mengatur kelebihan likuiditas bank-bank sentral negara Islam.12

Selain hal tersebut di atas, diusulkan pula pembentukan badan-badan


khusus yang disebut Badan Investasi dan Pembangunan Negara-negara
Islam (Investment and Development Body of Islamic Countries). Badan tersebut

12 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syaria..., hal. 19-20

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


106
EKSISTENSI DAN PERKEMBANGAN BANK SYARI'AH

akan berfungsi sebagai berikut


a. Mengatur investasi modal Islam.
b. Menyeimbangkan antara investasi dan pembangunan di negara
Islam.
c. Memilih lahan/sektor yang cocok untuk investasi dan mengatur
penelitiannya.
d. Memberi saran dan bantuan teknis bagi proyek-proyek yang
dirancang untuk investasi regional di negara-negara Islam.13

Pada Sidang Menteri Luar-Negeri OKI di Benghazi, Libya, Maret 1973,


usulan tersebut kembali diagendakan. Sidang kemudian juga memutuskan
agar OKI mempunyai bidang yang khusus menangani masalah ekonomi
dan keuangan. Bulan Juli 1973, komite ahli yang mewakili negara-negara
Islam penghasil minyak bertemu di Jeddah untuk membicarakan pendirian
bank Islam. Rancangan pendirian bank tersebut, berupa anggaran dasar dan
anggaran rumah tangga, dibahas pada pertemuan kedua, Mei 1974.

Sidang Menteri Keuangan OKI di Jeddah 1975, menyetujui rancangan


pendirian Bank Pembangunan Islam atau Islamic Development Bank (IDB)
dengan modal awal 2 Milyar Dinar atau ekuivalen 2 Milyar SDR (Special
Drawing Right), semua negara anggota OKI menjadi anggota IDB.14 Pada
tahun-tahun awal beroperasinya, IDB mengalami banyak hambatan karena
masalah politik. Meskipun demikian, jumlah anggotanya makin meningkat
dari 22 menjadi 43 negara.

Berdirinya IDB telah memotivasi banyak negara Islam untuk mendirikan


lembaga keuangan syari’ah. Untuk itu, komite ahli IDB pun bekerja keras
menyiapkan panduan tentang pendirian, peraturan dan pengawasan bank
syari’ah. Kerja keras mereka membuahkan hasil. Pada akhir periode 1970-an
dan awal dekade 1980-an, bank-bank syari’ah mulai bermunculan di Mesir,
Sudan, negara-negara Teluk, Pakistan, Iran, Malaysia, Bangladesh, serta
Turki. Bank Islam yang pertama adalah bank Islam Dubai yang didirikan

13 Ibid.
14 Muhammad Syafii Antonio, Bank Syari’ah Wacana..., hal. 273

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


107
DEDDY NOFENDY

di Uni Emirat Arab pada tahun 1973 dengan modal 14 juta dular AS. Bank
ini kemudian diikuti oleh bank Pembangunan Islam di Jeddah, Arab Saudi
tahun 197515. Berikut perkembangan bank syari’ah di beberapa negara:

a. Pakistan
Pakistan merupakan negara pelopor di bidang perbankan syariah pada
awal Juli 1979, sistem bunga dihapuskan dari operasional tiga institusi,
yaitu National Investment (Unit Trust), House Building Finance Corporation
(pembiayaan sektor perumahan), dan Mutual Funds of the Investment
Corporation of Pakistan (kerjasama investasi) pada 1979-1980, pemerintah
mensosialisasikan skema pinjaman tanpa bunga kepada petani dan
nelayan.

Pada tahun 1981, seiring dengan diberlakukannya Undang-Undang


perusahaan Mudārabah dan Murābahah, mulailah beroperasi 7.000 cabang
bank komersial nasional di seluruh Pakistan dengan menggunakan sistem
bagi hasil. Pada awal tahun 1985, seluruh sistem perbankan Pakistan
dikonversi dengan sistem yang baru, yaitu sistem syari’ah.

b. Mesir
Bank syari’ah pertama yang didirikan di Mesir adalah Faisal Islamic
bank. Bank ini mulai beroperasi pada bulan maret 1978, dan berhasil
membukukan hasil mengesankan dengan total aset sekitar 2 milyar dolar
AS pada 1986 dan tingkat keuntungan sekitar 106 juta dolar AS. Selain
Faisal Islamic Bank, terdapat bank lain, yaitu Islamic International Bank for
Investment and Development yang beroperasi menggunakan instrumen
keuangan Islam dan menyediakan jaringan yang luas. Bank ini beroperasi,
baik sebagai bank investasi (investment bank), bank perdagangan (merchant
bank), maupun bank komersial (commercial bank).

c. Kuwait
Kuwait Finance House didirikan pada tahun 1977 dan sejak awal beroperasi
dengan sistem tanpa bunga. Institusi ini memiliki 8 cabang di Kuwait dan

15 M.M . Metwally, Teori dan Model..., hal. 142

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


108
EKSISTENSI DAN PERKEMBANGAN BANK SYARI'AH

telah menunjukkan perkembangan yang cepat. Selama 2 tahun saja, yaitu


1980-1982, dana masyarakat yang terkumpul meningkat dari sekitar KD
149 juta menjadi KD 474 juta. Pada akhir tahun 1985, total aset mencapai
KD 803 dan tingkat keuntungan bersih mencapai KD 17 juta.

d. Uni Emirat Arab


Dubai Islamic Bank merupakan salah satu pelopor bank syariah. Didirikan
pada tahun 1975. Investasinya meliputi bidang perumahan, proyek-
proyek industri dan aktivitas komersial. Selama beberapa tahun, para
nasabahnya telah menerima keuntungan yang lebih besar dibandingkan
dengan bank konvensional.

e. Malaysia
Bank Islam Malaysia Berhad (BIMB) merupakan bank syariah pertama di
Asia Tenggara. Bank ini didirikan pada tahun 1983, dengan 30 persen
modal merupakan milik pemerintah federal. Sekarang BIMB telah
memiliki lebih dari 70 cabang tersebar hampir di setiap negara bagian
dan kota-kota Malaysia.

f. Iran
Perkembangan bank syariah di Iran dimulai sejak Januari 1984
berdasarkan ketentuan/undang-undang yang disetujui Pemerintah pada
bulan Agustus 1983. Sebelum undang-undang tersebut dikeluarkan
sebenarnya telah terjadi transaksi sebesar lebih dari 100 milyar Rial yang
diadministrasikan sesuai dengan sistem syariah. Hingga bulan Oktober
1983, sebanyak 20.000 orang karyawan bank di Iran telah mengikuti
pelatihan sistem perbankan syariah.

g. Turki
Baru pada tahun 1984, pemerintah Turki memberikan izin kepada Dar
Al-Mal Al-Islami untuk mendirikan bank yang beroperasi berdasarkan
bagi hasil. Hal ini karena menurut ketentuan Bank Sentral Turki, bank
syariah diatur dalam satu yuridiksi khusus. Setelah DMI berdiri, pada
bulan Desember 1984 di didrikan pula Faisal Finance Institution dan mulai

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


109
DEDDY NOFENDY

beroperasi pada bulan April 1985.16

Tabel 21 bank-bank Islam di berbagai negara17

Tahun Modal Setor


Nama Bank Negara
Berdiri (dalam juta US$)
Dubai Islamic Bank 1973 14 U.E.A
Islamic Development Bank 1975 --- Arab Saudi
Faisal Islamic Bank 1977 21 Mesir
Kuwait Finance House 1977 30 Kuwait
Jordan Islamic Bank 1978 9 Yordania
Faisal Islamic bank (Sudan) 1978 9 Sudan
Kuwait Finance House 1978 10 Turki
Bahrain Islamic Bank 1979 15 Bahrain
Masraf Faisal Al-Islami 1980 20 Bahrain
Banque Mier 1980 --- Mesir
Islamic International bank of Investment
1981 --- Mesir
and Development
Al-Raijhi Company for Islamic Investment 1981 --- Inggris
Iranian Banking System 1982 20 Iran
Masraf Faisal Islami 1982 20 Turki
Masraf Faisal Islami 1982 20 Guinea
Kibris Islamic Bank 1982 21 Cyprus
Islamic Bank International 1982 Kr25 m Denmark
Dar Al-mal Al-Islamia Trust 1982 16 Bahama
Islamic Banking System International
1982 20 Luxemburg
Holding S.A (27 negara)
Bank Islam Malaysia 1983 42 Malaysia
Masraf Faisal Islami 1983 20 Nigeria
Masraf faisal Islami 1983 20 Senegal
Pakistani Banking System 1983 20 Pakistan
Dar Al-Mal Subsidi --- Swiss
Tadamon Islamic Bank 1983 --- Sudan
Sudanse Islamic Bank 1983 --- Sudan
Qaton Islamic Bank 1984 --- Sudan

Dari tabel di atas dapat terlihat bahwa bank-bank Islam tidak terbatas hanya
pada negara-negara Islam saja, negara-negara non muslim seperti Bahamas,
Swiss, Denmark dan Luxemburg juga mempunyai bank-bank Islam, dan
Islamic Bank International di Denmark sebagai bank Islam pertama yang
berdiri di Eropa. Pendirian bank Islam di negara non muslim mungkin tidak

16 Muhammad Syafii Antonio, Bank Syaria..., hal. 22-25


17 M.M. Metwally, Teori dan Model..., hal. 143-145

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


110
EKSISTENSI DAN PERKEMBANGAN BANK SYARI'AH

mempunyai tujuan yang sama persis dengan di negara muslim, yaitu lebih
menekankan pada profit, namun selama tidak melanggar prinsip Islam
keberadaannya disambut dengan baik.

Analisa MM Metwally bahwa kebanyakan bank Islam didirikan antara tahun


1981-1983 dikarenakan pada periode tersebut merupakan periode likuiditas
tinggi (high liquidity) pada negara-negara penghail minyak dan belum semua
negara muslim mempunyai bank Islam.18

Saat ini, perbankan syari’ah telah mengalami perkembangan cukup pesat dan
menyebar ke banyak negara, juga negara-negara Barat. Bank-bank besar dari
negara barat seperti Citibank, ANZ Bank, Chase Manhattan Bank dan Jardine
Fleming telah pula membuka Islamic window19 agar dapat memberikan jasa-
jasa perbakan yang sesuai dengan syari’at Islam.20

HSBC (Hongkong and Shanghai banking Corporation Limited) adalah bank


yang beroperasi di 79 negara yang 19 di antaranya berpenduduk mayoritas
muslim. HSBC berpusat di London dan pertama sekali mendirikan Bank
Syari'ah di Malaysia pada tahun 1994, dewasa ini cabang-cabangnya meluas
ke Timur Tengah, Amerika Serikat maupun Inggris. HSBC Malaysia adalah
yang pertama meluncurkan produk “Kartu Kredit Islam” bekerjasama
dengan Master Card, yaitu Amanah Charge Card pada tahun 2000 dan jumlah
nasabahnya pun meningkat. Hal ini diikuti oleh Bank Islam Malaysia Berhad
yang juga meluncurkan Islamic Credit Card pada penghujung tahun 2001
dengan menggandeng Visa. Nasabah bank Islam inipun tidak terbatas kaum
muslim seperti dalam kasus OCBC (Oversea Chinese Banking Coorporation)
Malaysia sebagai bank yang membawa identitas kecinaan, sangat wajar

18 M.M. Metwally, Teori dan Model..., hal. 145.


19 Islamic Window, artinya adalah bank konvensional yang menerapkan 2 azas perbankan
sekaligus, yaitu ada Counter Syariah dan ada Counter Bunga/Konvensional. Di Indonesia, bank
umum konvensional dapat mendirikan suatu unit syariah atau cabang syriah yang dimungkinkan
dengan keluarnya Peraturan Bank Indonesia No.: 4/1/PBI/2002 tentang perubahan kegiatan usaha
bank umum konvensional menjadi bank umum berdasarkan prinsip syariah dan pembukaan kantor
bank berdasarkan prinsip syariah oleh Bank umum konvensional.
20 Adimarwan Karim, Bank Islam..., hal. 27

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


111
DEDDY NOFENDY

mayoritas nasabahnya adalah masyarakat cina termasuk nasabah Islamic


windownya.21

5. Hambatan Bank Syari’ah


Walaupun bank syari’ah terus mengalami peningkatan, namun tidak
sedikit juga terjadinya berbagai hambatan dan tantangan, terutama setelah
peristiwa 11 September 2001, yaitu paska penabrakan dan peledakan gedung
Worl Trade Center di Amerika yang menewaskan lebih dari 4000 orang dan
memunculkan isu terorisme dan sentimen terhadap Islam. Bank Islampun
tidak luput menjadi target penyelidikan tim penyidik asing. Dana jutaan
dolar dan sejumlah rekening dibekukan, bank Islam menderita kerugian
bukan hanya materi, namun juga nama baik karena dituduh melakukan
transaksi bagi kelompok Al-Qaeda dan jaringan teroris lainnya.

Seiring perjalanan waktu, selama hampir tiga tahun ini bank-bank Islam
mulai bangkit kembali dengan pertumbuhan mencapai 15 % pertahun. Ketua
Dewan Bank Islam dan Lembaga Keuangan Kamel Saleh mengungkapkan,
jumlah Bank Islam dan investasi di Bank-bank Islam terus meningkat,
jumlahnya mencapai 270 bank dengan jumlah asset mencapai 260 Milyar
dollar dan jumlah simpanan nasabah lebih dari 200 milyar dollar. Konsep
bank Islam juga mampu menarik minat yang besar dari kalangan non
muslim. Konsep yang melarang adanya bunga, bisa diterima oleh mereka
yang bukan muslim, pakar keuangan Inggris Warren Sofies setuju kalau
prinsip bunga bisa menyebabkan menurunnya kesempatan kerja, krisis
keuangan dan berbagai persoalan dalam perdagangan. Dari perkembangan
bank Syariah beberapa tahun terakhir ini adalah konsekuensi dari kampanye
anti Islam yang dilancarkan pihak barat, dimana setelah maraknya kampanye
itu berdasarkan studi Institute for Islamic Banking and Insurance, 55 persen
komunitas muslim dunia lebih menyukai bank Islam. 22

C. Penutup

21 www.tazkiaonline.com. Sekarang, atau Kehilangan Meomentum, (Luqyan Tamanni, Staf


pengajar STEI Tazkia), 20 Maret, 2003.
22 www.eramuslim.com. Bank Syriah Mulai Mendunia dan Diminati Non Muslim, tanggal 28
Mei 2004

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


112
EKSISTENSI DAN PERKEMBANGAN BANK SYARI'AH

Eksistensi perbankan syari’ah adalah bertujuan untuk mendorong dan


mempercepat kemajuan ekonomi suatu masyarakat dengan melakukan
kegiatan perbankan, finansial, komersial dan inestasi sesuai dengan prinsip
yang ada dalam ajaran Islam. Artinya bahwa semua transaksi yang dilakukan
menekankan pada prinsip kesetaraan, keadilan, kejujuran, tidak saling
mendhalimi dan didhalimi, serta adanya keseimbangan antara keuntungan
dunia dan akhirat.

Di samping juga berusaha untuk membangun sistem manajemen yang berbasis


pada masyarakat; mengembangkan kompetisi yang sehat; menghidupkan
lembaga zakat; dan pembentukan ukhuwwah (networking) dengan lembaga
keuangan Islam lainnya, baik secara mikro maupun makro.

Sementara perkembangan bank-bank syari’ah, walaupun banyak mendapat


tantangan, terutama pasca kejadian 11 September 2001, dengan penabrakan
dan peledakan gedung Worl Trade Center di Amerika yang menewaskan lebih
dari 4000 orang dan memunculkan isu terorisme dan sentimen terhadap
Islam, dan pembekuan sejumlah rekening bank dengan dana jutaan dolar,
karena dituduh melakukan transaksi bagi kelompok Al-Qaeda dan jaringan
teroris lainnya, ternyata bank-bank syari’ah mampu bertahan dan tetap eksis,
bahkan beberapa tahun kemudian bank-bank syari’ah terus mengalami
pertumbuhan hingga mencapai 15 % pertahun.

Dan yang lebih menggembirakan lagi bahwa ternyata bank-bank syari’ah


tidak hanya berkembang di negara-negara Islam saja, di negara-negara yang
non Islampun bank syari’ah telah tumbuh dan berkembang, apa lagi setelah
terbukti bahwa bank syari’ah mampu menahan badai krisis ekonomi global
yang melanda dunia beberapa waktu yang lalu.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


113
DEDDY NOFENDY

Daftar Pustaka
Karim, Adimarwan. Bank Islam Analisa Fiqh dan Keuangan. Jakarta: IIIT
Indonesia, 2003.

Iswardono Sp. Uang dan Bank. Yogyakarta: BPFE, 1994.

Metwally, M.M. Teori dan Model Ekonomi Islam. terj. M. Husein Sawit. Jakarta:
Bangkit Daya Insana, 1995.

Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syari’ah Wacana Ulama dan Cendikiawan.


Jakarta: Kerjasama Tazkia Institut dan Bank Indonesia, 1999.

Republik Indonesia, Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, Lembaran Negara


Tahun 1998 No. 182.

Suharto dkk.. Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia,


Konsep, Produk dan Implementasi Operasional Bank Syariah. Jakarta: Djambatan,
2003.

www.dilibrary.com. Bagaimana Prospek Bank Syari’ah di 2004?, M Dawam


Raharjo, jawaban atas pertanyan Sunaryo. 3 Januari 2004.

www.eramuslim.com. Bank Syriah Mulai Mendunia dan Diminati Non Muslim.


Tanggal 28 Mei 2004.

www.tazkiaonline.com. Sekarang atau Kehilangan Meomentum. Luqyan


Tamanni, Staf pengajar STEI Tazkia. 20 Maret, 2003.

Zainul Arifin. Dasar-Dasar Manajemen Bank Syari'ah. Jakarta: AlvaBet, 2003.

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


114
ASURANSI DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Amrizal Hamsa
Penulis adalah Sekretaris Prodi Mu'amalah pada STAI Teungku Dirundeng,
Meulaboh, Aceh Barat.

Abstract

Insurance is a contract between two parties or more where who insure take
part to respond the problem of who is insured with receiving premium of
insurance, or giving the compensation to who is insured for failure, damage,
or lose of the profit or law responsible toward the third party that affected
the who is insured, appeared because of a case, or to pay (the debt) as whom
insured died or some insured live. There is a significant difference between
conventional insurance and syari’ah one. The conventional one present
the contract of trade, meanwhile the syari’ah one present the cooperation
system.

Key words: Asuransi dan Perspektif Islam


Amrizal Hamsa

A. Pendahuluan
Seiring dengan pesatnya perkembangan ilmu dan teknologi, manusia harus
berhadapan dengan berbagai tantangan dan permasalahan dalam kehidupan
ini. Untuk mengatasi permasalahan hidup tersebut dengan sendirinya
manusia dituntut harus merekayasa masa depan dengan suatu rancangan
atau perencanaan (planning) secara komprehensif. Salah satu cara untuk
dapat menikmati masa depan yang lebih baik dan berkecukupan dari sisi
materi dapat dilakukan dengan cara menabung, khususnya tabungan dalam
bentuk asuransi.

Sebagai pedoman hidup yang komprehensif dan universal bagi setiap umat
manusia, khususnya umat Islam, Alquran tidak menyatakan secara langsung
tentang bentuk-bentuk asuransi, namun secara eksplisit banyak sekali ayat
Alquran yang menyatakan tentang pentingnya sebuah planning dalam suatu
pekerjaan, termasuk juga dalam perencanaan masa depan, di antara ayat-
ayat tersebut seperti yang termaktub dalam surah al-Hasyr, “Hai orang-
orang yang beriman bertaqwalah Kepada Allah dan hendaklah setiap diri
memperhatikan apa yang telah di perbuat untuk hari esok (masa depan) dan
bertaqwalah kamu kepada Allah , sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
apa yang engkau kerjakan“. (Qs. Al-Hasyr 59: 18)

Kaitan dengan asuransi, Islam tidak memberikan aturan yang jelas dan tegas
tentang boleh tidaknya praktek asuransi, karena itu diperlukanlah ijtihad
para ulama agar mekanisme per-asuransian yang digagas yang sedang
berkembang sekarang tidak keluar dari ruh dan semangat dasar ajaran
Islam. Dimana tujuan dari asuransi adalah untuk mewujudkan kemudahan-
kemudahan dan kemaslahatan bagi setiap umat manusia, khususnya bagi
umat Islam. Salah satu dari upaya tersebut adalah dengan mencetuskan
sebuah bentuk dan mekanisme asuransi yang berdasarkan syari’at Islam,
yang lebih dikenal dengan Asuransi takaful. Dalam pembahasan ini penulis
akan memaparkan beberapa hal yang berkaitan dengan asuransi syariah
serta pentingnya per-asuransi yang berorientasi syariah.

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


116
ASURANSI DALAM PERSPEKTIF ISLAM

B. Pembahasan
1. Pengertian Asuransi
Kata asuransi berasal dari bahasa Belanda, assurantie. Dalam hukum Belanda
sering dipakai kata ini dengan kata verzekering yang diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia dengan kata “pertanggungan”. Dari kata assurantie
ini lalu muncul istilah assuradeur bagi penanggung, dan geassureerde bagi
tertanggung, atau dengan istilah lain disebut penjamin dan terjamin. Dari
istilah verzekering itu juga timbullah istilah verzekeraar bagi penanggung dan
verzekerde bagi tertanggung.1

Dalam bahasa Inggris asuransi berasal dari kata assurance yang berarti
jaminan,2dan dalam bahasa Arab asuransi diartikan dengan kata ta’min.
penanggung disebut dengan mu’ammin dan tertanggung disebut mu’ammanlah
atau musta’min3.

Asuransi dari segi bahasa menurut Prodjodikoro, “Suatu persetujuan pihak


yang menjamin berjanji kepada pihak yang dijamin untuk menerima sejumlah
uang peremi sebagi ganti rugi, karena akibat dari suatu peristiwa yang belum
jelas akan terjadi.”4 Sedangkan asuransi menurut pengertian ekonomi adalah
suatu aransemen ekonomi, untuk menghilangkan atau mengurangi akibat
yang diperkirakan akan merugikan pada masa yang akan datang karena
berbagai sebab dan kemungkinan, baik menyangkut dengan kekayaan
(Varmoegen) jiwa maupun harta benda.

Dalam pasal 1 UU Nomor 2 Tahun 1992 tentang usaha perasuransian


dikatakan, asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua
pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung mengikat diri kepada
tertanggung, dengan menerima premi asuransi untuk tertanggung karena

1 Wirjono Projodikoro, Hukum Asuransi di Indonesia, (Jakarta: Intermasa, 1979), hal. 1.


2 Wojo Warsito dan WJS Peorwadarminta, Kamus Lengkap Inggris Indonesia, (Jakarta: Hasta,
1979), hal. 9
3 Uhran Mas’ud. TT., al-Raid Mu’jam Lughāwī ‘Asri, jilid.1, (Beirut: Dār al-‘Ilm li al-Malāyīn,
t.t.), hal. 352.
4 Wirjono Projodikoro, Hukum…,hal.1.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


117
Amrizal Hamsa

kerugian kerusakan atau kehilangan keuntungan, yang diharapkan, atau


tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin ada diantara
tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk
memberikan sesuatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau
hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.5

Pihak penanggung atau penjamin adalah perusahaan asuransi, sedangkan


tertanggung atau yang dijamin adalah peserta asuransi. Jadi dalam suatu
asuransi, terdapat perjanjian antara kedua belah pihak dimana pihak yang
dijamin diwajibkan membayar uang premi dalam jumlah tertentu dalam
suatu masa tertentu pula, kemudian pihak yang menjamin akan mengganti
kerugian jika terjadi sesuatu pada diri si penjamin. Sementara itu Abdul
Mannan seorang ahli ekonomi Islam mengatakan, hakikat asuransi terletak
pada dihilangkannya resiko kerugian yang tak tentu bagi gabungan sejumlah
orang yang menghadapi persoalan serupa dan membayar premi kepada
suatu perusahaan. Dana ini cukup untuk mengganti semua kerugian yang
disebabkan oleh semua anggota.6

Dari pengertian asuransi di atas baik dari sisi etimologi maupun terminologi
dapat disimpulkan bahwa dalam suatu perjanjian asuransi minimal terdapat
tiga unsur. Pertama, pihak yang sanggup menanggung atau menjamin bahwa
pihak lain akan menadapat pergantian dari satu kerugian yang mungkin akan
diderita sebagai akibat dari suatu peristiwa yang semula belum tentu akan
terjadi. Sebagai imbalan dari pertangungan ini, Kedua, pihak yang ditanggung
diwajibkan membayar sejumlah uang kepada pihak yang ditanggung, dan
uang yang telah dibayarkan oleh pihak tertanggung ini akan menjadi milik
pihak yang menanggung, apabila ada unsur Ketiga, berupa suatu peristiwa
yang dimaksud itu terjadi.

Berdasarkan definisi tesebut dapat disimpulkan, asuransi merupakan salah


satu cara pembayaran ganti rugi kepada pihak yang mengalami musibah,

5 Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait, BMUI dan
Takaful) di Indonesia, (Jakarta: Grafindo Persada, 1996), hal. 165.
6 Muhammad Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, (Yogyakarta: PT.Dana Bhakti
Wakaf, 1993), hal. 301.

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


118
ASURANSI DALAM PERSPEKTIF ISLAM

yang dananya di ambil dari iuran premi seluruh peserta asuransi yang
digunakan.

2. Sejarah Asuransi
Konsep asuransi sebenarnya sudah dikenal sejak jaman sebelum masehi di
mana manusia pada masa itu telah menyelamatkan jiwanya dari berbagai
ancaman seperti mengatasi kekurangan bahan makanan pada zaman Mesir
kuno, dalam kisah Nabi Yusuf as., yang diminta untuk menerjemahkan mimpi
seorang raja. Inti dari mimpi tersebut, Nabi Yusuf as., menerjemahkan bahwa
selama tujuh tahun negeri Mesir akan mengalami panen yang melimpah dan
kemudian akan diikuti masa paceklik pada tujuh tahun berikutnya. Untuk
berjaga-jaga dari bencana kelaparan itu, Raja mengikuti saran Nabi Yusuf as.,
dengan menyisihkan sebagian harta dari hasil panen tujuh tahun pertama
sebagai cadangan bahan makanan pada masa paceklik. Sehingga pada masa
tujuh tahun paceklik, rakyat Mesir dapat terhindar dari resiko bencana
kelaparan hebat yang melanda seluruh negeri.

Masyarakat Arab kuno juga telah mengenal tentang prinsip-prinsip asuransi


sejak dahulu kala. Ketika kehidupan masih di dominasi oleh berbagai suku-
suku, saling serang dan penculikan masih sering terjadi. Wanita dan anak-
anak merupakan sasaran penculikan yang paling sering terjadi. Dari hasil
penculikan anak-anak dan wanita tersebut, kemudian mereka meminta uang
tebusan kepada pihak yang kehilangan. Apabila ternyata di tengah jalan
tawanan tersebut terbunuh maka akan berlaku uang darah (uang ganti rugi)
yang akan di bayar kan oleh pihak yang membunuh kepada pihak yang
terbunuh. Dari sinilah asal muasal asuransi mutual mulai terbentuk. Meskipun
bentuk asuransi mutual ini merupakan bentuk asuransi yang paling primitiv,
dan terdapat banyak perbedaan dengan asuransi yang ada sekarang, namun
kalau diperhatikan, tentunya juga ada kesamaan-kesamaannya.

Dasar- dasar asuransi mutual adalah anggota baik secara individu maupun
secara bersama-sama sebagai penaggung sekaligus tertanggung. Ditinjau
dari sifat organisasinya, tidak ada maksud-maksud mencari keuntungan juga
tidak ada maksud eksploitasi memperkaya salah satu pihak dengan memeras
yang lain.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


119
Amrizal Hamsa

Adapun perbedaan yang sangat mendasar antara asuransi mutual dengan


asuransi modern adalah kalau asuransi modern mengandung unsur
kejahatan seperti eksploitasi yang beriorentasi pada keuntungan, berusaha
memperkaya diri dengan memeras orang lain dan sebagainya. Lebih dari
itu asuransi modern merubah resiko yang akan datang yang tidak dapat
diperhitungkan menjadi harga yang pasti dan kemudian mentransfernya,
serta mewajibkan antaranggota untuk membayar kerugian sehingga
membentuk perjudian dan taruhan. Di samping itu dalam asuransi modern,
perhitungan kemungkinan kerugian dilakukan di muka dan tidak dipikul
seluruh anggota tetapi persediaan dana dilakukan oleh suatu perusahaan
asuransi untuk membayar kerugian. Sementara itu asuransi mutual kerugian
di pikul bersama setelah peristiwa itu terjadi. Karena itu asuransi modern
justeru menghilangkan prinsip utama yang terkandung di dalam asuransi
mutual.7

3. Tujuan Asuransi
Tujuan utama asuransi adalah mengalihkan resiko yang ditimbulkan oleh
peristiwa-peristiwa yang tidak diharapkan kepada orang lain dengan
mengganti kerugian. Pihak penerima resiko (penanggung) tidak semata-
mata melakukan demi perikemanusiaan atau mengorbankan kepentingan-
kepentingannya dengan membayar sejumlah uang untuk mengganti kerugian
yang ditimbulkan oleh peristiwa-peristiwa itu. Penanggung menilai resiko
yang ditanggung itu atas dasar-dasar kalkulasi untung ruginya.perhitungan
premi yang diminta penanggung atas tertanggung didasarkan atas besarnya
presentase yang akan diklaim tertanggung seandainya terjadi suatu peristiwa
tertentu.

Walaupun perhitungan dilakukan secara teliti, dalam prakteknya mungkin


saja keliru, artinya masih ada bahaya besar bagi para penanggung, dan
penanggung sendiri berupaya agar resiko ini ditanggung pula oleh pihak
lain, dan hal ini disebut re-asurans.

7 Muslehuddin Muhammad, Menggugat Asuransi Modern, (Jakarta: Lentera, 1999), hal.


37.

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


120
ASURANSI DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Dalam kaitan ini Prodjodikoro mengatakan tujuan asuransi adalah bahwa


seseorang oleh asurador dijamin tidak akan dirugikan oleh suatu peristiwa
yang belum tentu terjadi. Di sini terlihat bahwa asuransi bertujuan untuk
menutupi kerugian seseorang yang tidak diketahui sebelumnya. Hal ini
sejalan dengan kondisi manusia yang senantiasa dihadapkan kepada berbagi
kemungkinan yang membuatnya akan mengalami kerugian akibat suatu
peristiwa.8

Berdasarkan pengertian, tujuan dan manfaat asuaransi bagi kehidupan


manusia maka para ulama berijtihad menggali nilai-nilai filosofi asuransi
agar dapat diaplikasikan dalam konteks Islam. Dalam perspektif Islam
tolong menolong adalah nilai dasar yang paling utama sebagai perekat
rasa persaudaraan yang diajarkan Alquran sebagaimana telah dicontohkan
oleh Rasulullah saw., dalam reslita kehidupan pembentukan komonitas
Muslim yang mandiri dan bermartabat serta jauh dari rasa was-was karena
kekawatiran terhadap permasalahan ekonomi umat yang tidak stabil karena
sesuatu yang tidak diharapkan. Atas dasar itulah maka dicetuskanlah satu
bentuk asuransi yang dianggap sesuai dengan nafas ajaran Islam.

4. Hukum Asuransi
Salah satu lembaga ekonomi yang ada dan berkembang saat ini adalah
perusahaan asuransi. Di dalam Alquran dan hadis tidak ditemukan
ketentuan secara khusus yang mengatur tentang hukum asuransi, namun
secara umum ada beberapa ayat yang menjelaskan pentingnya sebuah
persiapan atau planning agar memberikan kehidupan yang lebih baik di
masa yang akan datang. Di antaranya seperti firman Allah surat Yusuf
yang artinya, “Allah menggambarkan contoh usaha manusia membentuk
sistem proteksi menghadapi kemungkinan yang buruk di masa depan“. (Qs.
Yusuf (12): 41-49). Dan juga disebutkan dalam surah al-Hasyr, “Hai orang –
orang yang beriman bertakwalah Kepada Allah dan hendaklah setiap diri
memperhatikan apa yang telah di perbuat untuk hari esok ( masa depan ) dan
bertaqwalah kamu kepada Allah , sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
apa yang engkau kerjakan“. (Qs. al-Hasyr (53): 18)

8 Wirjono Projodikoro, Hukum Asuransi di Indonesia, (Jakarta: Intermasa, 1979), hal. 73.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


121
Amrizal Hamsa

Oleh karena itu persoalan asuransi dalam Islam termasuk dalam area hukum
ijtihadiyah, artinya dalam menentukan hukum halal atau haramnya persoalan
asuransi ini harus diputuskan melalui ijtihad para ulama dan cendikiawan
yang ahli dalam bidang ini.

Menurut Zuhdi9ditemukan empat pandangan ulama tentang hukum


asuransi. Pertama, kelompok ulama yang berpendapat bahwa asuransi
termasuk segala macam bentuk dan operasionalnya hukumnya haram.
Kedua, kelompok ulama yang berpendapat bahwa asuransi hukumnya halal
atau diperbolehkan dalam Islam. Ketiga, kelompok ulama yang berpendapat
diperbolehkan adalah asuransi yang bersifat sosial sedangkan asuransi yang
bersifat komersial dilarang dalam Islam dan keempat, kelompok ulama yang
berpendapat bahwa asuransi hukumnya termasuk syubhat, karena tidak ada
dalil syar’i yang secara jelas mengharamkan atau menghalalkan asuransi.

Terlepas dari berbagai pandangan ulama di atas tentang boleh tidaknya


praktek asuransi, namun dalam kehidupan yang semakin terencana dalam
menggunakan berbagai pedapatan untuk kehidupan masa depan, maka
asuransi di dalamnya ditemukan beberapa manfaat yang positif antara lain:
a. Membuat masyarakat atau perusahaan menjadi lebih aman dari
resiko kerugian yang mungkin terjadi;
b. Menciptakan efisiensi perusahaan (business eficiencie);
c. Sebagai alat menabung (saving) yang aman dari gejolah ekonomi;
d. Sebagai sumber pendapatan (earning power), yang didasarkan pada
financing business10

Sementara bagi umat Islam sendiri secara umum masih terdapat keraguan
tentang kedudukan hukum asuransi, karena dikawatirkan mengandung
unsur-unsur ketidak pastian (gharar), gambling (maisir), riba dan komersial.

Namun dengan beroperasinya bank-bank syari’ah sesuai UU No.7 Th

9 Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: Gunung Agung, 1996), hal. 134.
10 Abbas Salim, Dasar-dasar Asuransi; Principles of Insurance, (Jakarta: Rajawali Press.1989),
hal. 12-13.

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


122
ASURANSI DALAM PERSPEKTIF ISLAM

1992 dan UU No 10 Th 1998 tentang perubahn UU No 7 Th 1992 tentang


perbankan dan ketentuan pelaksanaannya,. dengan sendirinya umat Islam
menginginkan kehadiran jasa asuransi yang berdasarkan syari’ah.

Untuk maksud itu, pada 27 Juli 1993 ICMI melalui yayasan Abdi Bangsa
bersama Bank Muamalat Indonesia (BNI) dan perusahaan Asuransi Tugu
Mandiri, sepakat memprakarsai pendirian Asuransi Takaful, dengan
menyusun Tim Pembentuk Asuransi Takaful Indonesia (TEPATI). Pada
25 Agustus 1994 dibentuklah Asuransi Takaful Keluarga yang beroperasi
di bawah anak perusahaan PT. Syarikat Takaful Indonesia. Berdirinya PT.
Syarikat Takaful Indonesia sebagai Holding Company disusul dengan adanya
dua anak perusahaannya yaitu PT. Asuransi Takaful Keluarga (Asuransi Jiwa)
dan PT.. Asuransi Takaful Umum (Asuransi Kerugian).

Pembentukan kedua perusahaan asuransi tersebut untuk mengikuti


ketentuan UU No 2 Th 1992 tantang Usaha Perasuransian yang mengharuskan
perusahaan asuransi jiwa dan perusahaan asuransi kerugian didirikan secara
terpisah.

Tugas Holding Company ini selanjutnya adalah mengembangkan keuangan


syari’ah lainnya, seperti Leasing, Modal Ventura, Pegadaian dan sebagainya.
Dalam hal ini fungsi utama PT. Asuransi Takaful adalah sebagai Investment
Company11

5. Asas dan Prinsip-Prinsip Asuransi Syariah


Bila ditelusuri sejarah umat Islam dimasa pembentukannya perwujudan
persaudaraan Islam merupakan titik awal keberhasilan yang memicu
terjadinya transformasi sosial budaya dalam segala aspek kehidupan umat.
Landasan horizontalnya adalah menjadikan persaudaraan Islam sebagai
suatu kewajiban yang mendasar untuk ditegakkan.

Dalam konsepsi Islam umat manusia merupakan keluarga besar kemanusiaan.

11 Redaksi Ulumul Qur’an, “Syarikat Takaful sebagai suatu Alternatif”. Dalam Jurnal
Kebudayaandan Peradaban Ulumul Quran No. 2/VII/1996, hal. 36.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


123
Amrizal Hamsa

Unntuk dapat melaksanakan tugas kekhalifahan dengan baik dalam


kehidupan bersama manusia dituntut untuk saling bekerja sama dan tolong
menolong, saling bertanggung jawab dan membantu satu dengan lainnya.
Perintah tolong menolong dalam mengerjakan kebaikan dan taqwa termasuk
pokok-pokok petuntuk sosial dalam Alquran. Alquran mewajibkan pada
manusia agar saling memberi bantuan sesama saudaranya dalam mengerjakan
apa saja yang berguna bagi menusia, baik secara pribadi maupun kelompok,
khususnya dalam perkara dunia maupun urusan akhirat. Saling membantu
juga diwajibkan salam melakukan perbuatan taqwa sehingga terhindar dari
kerusakan yang mengancam keselamatan umat manusia.12

Persaudaraan Islam bertujuan untuk mengikat hati antara kaum muslimin,


sehingga mereka menjadi suatu keluarga besar. Seorang muslim akan
merasa gembira dengan kegembiraan saudaranya,dan turut bersedih dengan
kesedihan yang menimpa saudaranya, membantu apa yang dibutuhkannya,
meluruskan dan memberi petunjuk jika saudaranya tersesat, menyayangiyang
lemahserta memberi semangat apa yang ingin dikerjakan oleh saudaranya.13

Melalui persaudaraan Islam, akan timbul keutamaan dan keikhlasan tanpa


pamrih dalam berkasih sayang sehingga tercipta nilai-nilai positif dalam
kehidupan bermasyarakat. Mereka bersifat pemaaf dan senang membantu
orang lain dengan kemurahan dan keramahannya.

Takaful (saling menanggung) antar umat manusia merupakan dasar pijak


kegiatan manusia sebagai makhluk sosial. Dengan dasar pijakan takaful
dalam asuransi, para pesertanya diharapkan akan terwujud hubungan
manusia yang saling berkasih sayang antara para anggota dan bersepakat
untuk menanggungresiko antara mereka yang diakibatkan karena adanya
musibah, baik karena kebakaran atau karena sebab lainnya. Semangat
asuransi takaful adalah menekankan pada kepentingan bersama atas dasar
rasa persaudaraan diantara para peserta. Sifat egoistis yang mengutamakan
diri sendiri atau dorongan untuk mendapatkan keuntungan pribadi tidak

12 Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, juz. II, (t.t.: t.p. t.th.), hal.46.
13 Mahmud Syaltout, Islam Aqidah wa al-Syariah, (Mesir: Dar al-Qalam, 1966), hal. 422

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


124
ASURANSI DALAM PERSPEKTIF ISLAM

tercermin dalam asuransi takaful.


Menurut Basyir, Asuransi takaful atau asuransi yang berlandaskan syari’ah
dapat ditegakkan atas tiga prinsip:

a. Saling bertanggung jawab


Terdapat beberapa hadis Nabi yang mengajarkan kepada umat Islam
untuk saling peduli dan bertanggung jawab terhadap sesamanya, antara
lain hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Turmuzi, yang artinya,
“Hubungan umat beriman dalam rasa kasih sayang satu sama lainnya
ibarat satu tubuh, apabila salah satu anggota badanya terganggu atau
kesakitan, maka seluruh tubuh akan ikut merasakan,tidak dapat tidur
dan terasa panas” (HR. Bukhari).” Tidak beriman salah seorang di antara
kamu sehingga mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri”
(HR. Bukhari). “Orang yang tidak menaruh rasa kasihan kepada orang
lain tidak akan menerima belas kasihan dari Allah”. (HR. Turmuzi)

b. Saling bekerja sama atau saling bantu membantu


Allah Swt., memerintahkan agar dalam kehidupan bermasyarakat
ditegakkan nilai tolong menolong dalam kebajikan dan takwa. Anugerah
harta yang berasal dari Allah semestinya digunakan untuk meringankan
beban penderitaan atau untuk memenuhi kebutuhan keluarga, anak
yatim, fakir miskin, musafir yang memerlukan bantuan dan sebagainya.

Dari hadis di atas dapat dipahami bahwa orang yang mau meringankan
hidupsaudaranya, maka akan diringankan kebutuhannya oleh Allah.
Allah akan menolong hambanya selagi ia suka menolong saudaranya.
Demikian Islam mengajarkan kepada penganutnya agar senantiasa
bersikap positif dalam segala kebajikan guna tercapainya kekuatan dan
ketentraman hidup. Setiap individu muslim, khususnya yang merasa
mampu dan kaya dituntut untuk selalu memiliki rasa tanggung jawab
dan kepekaan sosial agar tidak mengabaikan permasalahan saudaranya
dimanapun.

c. Saling melindungi penderitaan satu sama lain


Islam mengajarkan bahwa keselamatan dan keamanan merupakan

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


125
Amrizal Hamsa

tuntutan alami dalam hidup manusia seperti halnya mencari rezeki


adalah merupakan tuntutan alami dalam hidup manusia. Orang muslim
adalah orang yang memberikan keselamatan kepada sesama muslim dari
gangguan perkataan dan perbuatannya.

Ketiga prinsip Asuransi Takaful atau asuransi yang berperinsip syari’ah tersebut
tidak mungkin dapat dijabarkan dalam kehidupan nyata jika tidak dilandasi
oleh iman dan takwa kepada Allah Swt., secara mantap. Niat yang ikhlas
untuk membantu sesama yang mengalami penderitaan karena musibah,
merupakan landasan awal dalam perusahaan Asuransi Takaful. Premi yang
dibayarkan kepada pihak perusahaan Asuransi Takaful harus didasarkan
kepada tabarru’ (sedekah guna mendapat ridha Allah). Dari sini kiranya dapat
diperoleh informasi filosofi Asuransi Takaful yaitu: “penghayatan semangat
saling bertanggung jawab, kerjasama dan perlindungan dalam kegiatan-
kegiatan sosial menuju tercapainya kesejahteraan umat dan persatuan
masyarakat.14

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa asas utama Asuransi Takaful
atau asuransi syari’ah adalah tolong menolong dalam kebaikan dan takwa
dan rasa aman (ta’min), yang menjadikan semua peserta asuransi sebagai
keluarga besar yang saling menjamin dan menanggung resiko satu sama
lainnya.

6. Perbedaan Asuransi Syariah dan Konvensional


Asuransi secara umum tidaklah berbeda antara syari’ah dan bukan, dimana
tujuannya adalah untuk memberikan jaminan kepada masyarakat agar dapat
memberikan jaminan dari berbagai kemungkinan yang akan ditimbulkan
oleh suatu akibat, baik untuk diri, keluarga maupun harta benda, namun
dalam prakteknya terjadi perbedaan yang mendasar antara asuransi syari’ah
dan noin syari’ah. Perbedaan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Prinsip asuransi syariah adalah takafuli (tolong menolong) dimana
nasabah yang satu menolong nasabah yang lain yang tengah
mengalami kesulitan. Sedangkan akad asuransi konvensional bersifat

14 Ahmad Azhar Basyir, “Asuransi Takaful…”

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


126
ASURANSI DALAM PERSPEKTIF ISLAM

tadabuli (jual beli antara nasabah dengan perusahaan);


b. Dana yang terkumpul dari nasabah perusahaan asuransi Syariah
(premi) di insvestasikan berdasarkan syariah dengan system bagi
hasil (mudharabah) sedangkan pada asuransi konvensional investasi
dana di lakukan pada sembarang sektor dengan system bunga;
c. Premi yang terkumpul diperlakukan tetap sebagai dana milik nasabah.
Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya.
Sedangkan pada asuransi konvensional, premi menjadi milik
perusahaan dan perusahaanlah yang memiliki otoritas penuh untuk
menetapkan kebijakan pengelolaan dana tersebut;
d. Bila ada peserta yang terkena musibah untuk pembayaran klaim
nasabah, dana di ambil dari rekening tabarru’ (dana social) seluruh
peserta yang sudah di ikhlaskan untuk keperluan tolong menolong.
Sedangkan dalam asuransi Konvensional dan pembayaran klaim
diambil dari rekening milik perusahaan;
e. Keuntungan investasi di bagi dua antara nasabah selaku pemilik
dana dengan perusahaan selaku pengelola dengan prinsip bagi hasil.
Sedangkan dalam asuransi konvensional keuntungan sepenuhnya
menjadi milik perusahaan, jika tidak ada klaim nasabah yang
memperoleh apa- apa;
f. Adanya Dewan Pengawas Syari’ah dalam perusahaan asuransi
syari’ah yang merupakan suatu keharusan. Dewan ini berperan dalam
mengawasi manajemen produk serta kebijakan investasi supaya
senantiasa sejalan sengan syariat Islam. Adapun dalam asuransi
Konvensional maka hal itu tidak mendapat perhatian.15

C. Penutup
Asuransi syariah adalah bersifat takafuli (tolong menolong), ia merupakan
sebuah asuransi yang berlandaskan pada aturan-aturan agama, dimana
dalam aplikasinya, semua nasabah atau anggota yang tergabung dalam
anggota asuransi mempunyai prinsip saling membantu tabarru’ kepada
anggota yang lain juka mengalami kesulitan-kesulitan.

15 Astiwara, Endy M, Pembedaan Secara Syariah Asuransi Takaful dengan Asuransi


Konvensional , Mu’amalatuna Vol.I/ Edisi I/ Th .1/25 Mei 2001.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


127
Amrizal Hamsa

Sedangkan akad asuransi konvensional adalah bersifat tabadduli (jual beli


antara nasabah dengan perusahaan), artinya bahwa semua nasabah telah
membuat perjanjian-perjanjian langsung dengan perusahaan asuransi,
sehingga banyak sekali dalam prakteknya sangat merugikan nasabah.
Namun sangat disayangkan, ternyata asuransi syari’ah dalam dunia asuransi
di Indonesia ternyata masih belum sebanding bila dibandingkan dengan
asuransi konvensional. Data departemen keuangan menunjukan market
share asuransi syariah pada tahun 2007 baru mencapai 1,7 % dari total premi
asuransi Nasional.

Walaupun demikian, peluang untuk pengembangan asuransi syari’ah sebagai


alternatif pilihan terbaik dalam rangka memproteksi pemeluk agama Islam
yang menginginkan setiap produk yang dihasilkan harus sesuai dengan
hukum Islam. Dan Perkembangan perbankan Islam menuntut peranan
asuransi syari’ah untuk pengamanan asset dan transaksi perbankan.

Demikianlah gambaran singkat tentag asuransi syari’ah, dasar hukum,


aplikasi dan juga sebagai perbandingan antara asuransi syari’ah dan
konvensional, sehingga dapat menambah pengetahuan baru tentang
perkembangan pengasuransian di Indonesia. Akhirnya hanya kepada Allah
jualah saya berserah diri, semoga tulisan ini akan memberi manfaat kepada
semua pembaca.

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


128
ASURANSI DALAM PERSPEKTIF ISLAM

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Mannan, Muhammad. Teori dan Praktek Ekonomi Islam. Yogyakarta:


Dana Bhakti Wakaf, 1993.

Abdul Mannan, Mustafa. Tafsir al-Maraghi, juz. II, t.t.: t.p.

Astiwara, Endy M. Pembedaan Secara Syariah Asuransi Takaful dengan Asuransi


Konvensional. Mu’amalatuna. Vol.I/ Edisi I/ Th .1/25 Mei 2001.

Mas’ud, Juhran. TT., al-Raid Mu’jam Lughāwī ‘Asri. jilid.1. Beirut: Dār al-‘Ilm
li al-Malāyīn, t.th..

Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah. Jakarta: Gunung Agung, 1996.

Muslehuddin, Muhammad. Menggugat Asuransi Modern. Jakarta: Lentera,


1999.

Projodikoro,Wirjono. Hukum Asuransi di Indonesia. Jakarta: Intermasa, 1979.

Redaksi Ulumul Quran. “Syarikat Takaful sebagai suatu Alternatif”: Dalam


Jurnal Kebudayaandan Peradaban Ulumul Quran No. 2/VII/1996.

Salim, Abbas. Dasar-dasar Asuransi; Principles of Insurance. Jakarta: Rajawali


Press.1989.

Sumitro, Warkum. Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait,


BMUI dan Takaful di Indonesia. Jakarta: Grafindo Persada, 1996.

Syaltut, Mahmud Islam Aqidah wa al-Syari’ah. Mesir: Dar al-Qalam, 1966

Warsito dan WJS Peorwadarminta. Kamus Lengkap Inggris Indonesia. Jakarta:


Hasta, 1979.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


129
At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009
130
IJTIHAD ’UMAR IBN KHATTĀB DAN
PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM

Asra Febriani
Dosen prodi Mu’amalah pada STAI Teungku Dirundeng, Meulaboh, Aceh Barat.

Abstract

‘Umar ibn Khattab was a figure that gave the inspiration to mujtahid either
salaf ulemas or khalaf ones to be brave for recht finding especially toward
the problem that not mentioned explicitly in the nass. ‘Umar understood
the dalil of Alquranand hadith comprehensively. He did understood the
characteristics, aims and goals of those nass. The Genius Umar could build
a synergy relationship between nass and its goal based on maslahat ‘ammah
(public interest) that appeared from the nass.. The method of ‘Umar in the way
of ijtihad could inspire to present ijtihad mustaqil especially for the current
ulemas in solving the varieties of contemporary fiqh problems.

Key words: 'Umar ibn Khattāb, Pembaharuan, Hukum Islam


Asra Febriani

A. Pendahuluan
Umar bin Khattab adalah seorang sahabat Rasulullah saw., khulafa al-rasyidin
kedua yang terkenal jenius, berani, zuhud dan cemerlang pemikirannya.
Perjalanan hidupnya senantiasa memiliki makna yang luar biasa; baik sebelum
maupun sesudah keislamannya. Karena itu, sebelum Islam mendapat tempat
yang kokoh di hati para pemeluknya dan umat Islam selalu dihantui ancaman
dari kaum kafir, Rasulullah pernah berdoa: “Ya Allah, perkuatlah Islam dengan
salah seorang dari dua ‘Amr yang paling Engkau cintai, ‘Amr ibn Hisyam (Abu
Jahal) atau Umar bin Khattab.” Dan ternyata yang paling dicintai Allah adalah
Umar bin Khattab. (HR. Ahmad)

Umar bin Khattab adalah seorang negarawan ulung, beliaulah yang


memprakarsai pembentukan diwān (catatan rekapitulasi) untuk negara
seperti daftar nama kabilah dan daftar bagian mereka dalam mendapatkan
harta fai’ (harta rampasan perang) yang belum pernah dilakukan oleh
pemerintahan sebelumnya. Umar bin Khattab tak hanya piawai dalam
mengurus kekhalifahan. Kontribusi Umar juga terlihat dalam pemikiran-
pemikiran fiqh. Amirul Mukminin dengan kecerdasan intelektual dan
kedalaman pemahamannya atas nash-nash Alquran dan sunnah Rasulullah,
telah menyumbangkan karya-karya ijtihad yang brilian.

Ijtihad ialah upaya mengerahkan kemampuan berpikir untuk mengeluarkan


hukum syar’ī dari dalil-dalil syara’ yakni Alquran dan sunnah. Apabila
peristiwa yang hendak ditetapkan hukumnya itu telah ditunjuk oleh dalil
sarīh yang qath’i al-wurūd (pasti kedatangannya dari syar’ī dan qat’i dalālah
(pasti penunjukannya kepada makna tertentu), maka tidak ada jalan untuk
diijtihadkan.

Ijtihad hanya berlaku dalam tiga keadaan, yaitu:


1. Peristiwa-peristiwa yang ditunjuk oleh nash yang dhanniyul wurud
(hadis-hadis ahad) dan dann dalālah (nash Alquran dan hadis yang
masih dapat ditafsirkan dan ditakwilkan).
2. Peristiwa yang tidak ada nash sama sekali, dalam hal ini mujtahid
dapat menetapkan hukum dengan perantaraan qiyās, istihsān, istishāb,
‘uruf dan maslahah mursalah.

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


132
IJTIHAD ’UMAR IBN KHATTĀB DAN PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM

3. Peristiwa-peristiwa yang sudah ada nash yang qath’iyut tsubut dan


qath’iyud dalālah. Yang terakhir ini khusus dijalankan oleh Umar
bin Khattab. Beliau meneliti nash-nash tersebut tentang tujuan
syar’ī dalam mensyariatkan hukum, kemudian beliau menerapkan
ijtihadnya pada suatu peristiwa meskipun sudah ada nash yang qath’i.

Metode Umar dalam berijtihad menjadi inspirasi hadirnya ijtihad mustaqil


(mandiri). Dengan demikian dalam menghadapi persoalan-persoalan fiqh
kontemporer, para ulama dapat mengedepankan ijtihad mustaqil dengan asas
maslahah ‘āmmah dalam memahami nash secara tekstual maupun konstektual
dengan tepat dan benar. Karena hanya muqallid yang bertaqlid butalah yang
mencukupkan dirinya dengan apa yang telah digali oleh ulama-ulama
terdahulu, dan tidak berani melakukan terobosan ijtihad seperti yang pernah
dilakukan Imam Syafii, Abu Hanifah dan para ulama lain yang bergelar
mujtahid mustaqil.

B. Pembahasan
1. Pengertian Ijtihad dan Dasar Hukum Ijtihad Umar bin Khattab
Ijtihad ialah upaya mengerahkan kemampuan berpikir untuk mengeluarkan
hukum syar’ī dari dalil-dalil syara’ yakni Alquran dan sunnah. Sementara
yang menjadi dasar atau landasan Umar dalam melakukan ijtihad adalah
berdasarkan ladasan-landasan sebagai berikut:

a. Alquran
Alquran ialah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
saw dalam bahasa Arab dengan perantaraan malaikat Jibril sebagai hujjah
bagi-Nya dalam mendakwahkan kerasulan-Nya dan sebagai pedoman
hidup bagi manusia dalam mencari kebahagian di dunia dan akhirat
serta sebagai media untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan selalu
membacanya.

Kehujjahan Alquran dapat terlihat pada isi kandungannya yang memuat


banyak hukum. Secara general, hukum-hukum dalam Alquran terbagi
tiga, yaitu:
1. Hukum-hukum i’tiqadiyah. Yaitu hukum-hukum yang berkaitan

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


133
Asra Febriani

dengan kewajiban para mukallaf untuk beriman kepada Allah, para


malaikat, kitab-kitab, para rasul, hari akhirat dan iman kepada qadha
dan qadar. Hukum-hukum i’tiqadiyah ini terangkum dalam rukun
iman.
2. Hukum-hukum akhlak yaitu tingkah laku yang berhubungan
dengan kewajiban mukallaf untuk menghiasi dirinya dengan sifat-
sifat terpuji dan menjauhkan diri dari sifat tercela. Hukum akhlaqiyah
ini melahirkan suatu cabang ilmu yang disebut ilmu tasawuf yang
mengajarkan cara mendekatkan diri kepada Allah.
3. Hukum-hukum ‘amaliyah yaitu hukum-hukum yang berhubungan
dengan perkataan, perbuatan, perjanjian dan hubungan sosial
kemasyarakatan antar sesama manusia.1

Dari segi dalālah, nash Alquran terbagi dua macam yaitu Qat’iyud dalālah
dan Dhann al-dalālah. Qat’i al-dalālah ialah nash yang menunjukkan arti
yang jelas dan mudah di pahami serta tidak bisa di takwilkan kepada
makna lain, seperti firman Allah.

“Dan bagimu (suami) sebagian dari harta yang ditinggalkan istri-istrimu,


jika mereka tidak mempunyai anak.” (Qs. An-Nisa’ (3): 12)

Ayat tersebut dengan tegas menyebutkan bagian suami yang ditinggal


mati istrinya ialah setengah jika tidak ada anak, tidak perlu ditakwilkan
lagi maknanya karena dalālahnya qath’ī.

Dhann dalālah ialah nash yang menunjukkan kepada arti yang masih bisa
ditakwilkan kepada makna yang lain. seperti firman Allah, ”Wanita-
wanita yang di talak hendaklah menahan dirinya tiga kali quru.” (Qs. Al-
Baqarah (2): 228)

Lafaz quru’ disebut dengan lafaz musytarak karena lafaz ini mempunyai
makna lebih dari satu. Quru’ dapat berarti suci dan bisa diartikan haid.

1 Mukhtar Yahya, Fathur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islam, (Bandung: Al-
Ma’arif, 1986), hal. 56.

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


134
IJTIHAD ’UMAR IBN KHATTĀB DAN PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM

Atas dasar tersebut para mujtahid berbeda pendapat dalam menentukan


lamanya ‘iddah perempuan yang ditalak dalam keadaan tidak hamil atau
bukan karena kematian suaminya. Karena sebagian ulama mengartikan
tiga kali quru’ dengan tiga kali haid dan sebagian ulama lain mengartikan
tiga quru’ dengan tiga kali suci. Perbedaan ketentuan masa iddah tersebut
menyebabkan perbedaan lamanya masa iddah.

b. Sunnah
Sunnah menurut istilah syara’ ialah segala sesuatu yang bersumber
dari Rasulullah saw., baik perkataan, perbuatan, ketetapan dan cita-
cita. Sunnah merupakan sumber hukum paling kuat setelah Alquran.
Terkadang sunnah menjelaskan makna ayat-ayat yang mujmal dalam
Alquran seperti perintah shalat. Dalam Alquran hanya disebutkan
perintahnya saja sedangkan cara-caranya tidak disebutkan. Sunnahlah
yang menerangkan hal-hal tersebut. Terkadang sunnah juga berfungsi
untuk mentakhsis hukum yang disebutkan dalam Alquran. Misalnya
hukuman rajam bagi pezina muhsan. Dalam Alquran hanya disebutkan
pezina perempuan dan laki-laki, tidak disebutkan muhsan (sudah pernah
menikah) atau bikr (belum pernah menikah).

Dalam mengistinbatkan suatu hukum, Umar bin Khattab selalu


berpegang kepada Alquran dan sunnah. Selain itu ia tidak serta merta
mengambil pendapat orang lain, karena menurutnya, pendapat selain
Rasulullah punya kemungkinan terjadi kekeliruan. Sebab Rasulullah
diawasi langsung oleh Allah, sehingga semua pendapatnya selalu
berdasarkan wahyu, sebagaimana firman Allah surat An-Najm, “Dan
tidaklah ia (Muhammad) berbicara menurut nafsunya. Kecuali wahyu
yang diturunkan padanya”. (Qs. An-Najm (53):3-4)

Ada dua model pembagian tasyri’ yang dipraktekkan Umar, yaitu:


1. Tasyri’ yang telah dijelaskan dengan nash yang jelas, baik dari Alquran
maupun sunnah sehingga tetap relevan sepanjang masa.
2. Tasyri’ yang berasal dari ijtihad Umar sendiri yang tidak berhubungan
dengan nash, dalam hal ini ia berijtihad dan mempraktekkan
hukumnya menurut yang paling sesuai dengan situasi dan kondisi

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


135
Asra Febriani

serta paling mendekati kebenaran. Ia tidak menetapkan ijtihadnya itu


berlaku sepanjang masa, karena menurutnya ijtihadnya bisa berubah
jika situasi dan kondisi zaman sudah berubah.2

c. Ijma’
Ijma’ menurut ahli ushul ialah kesepakatan para mujtahid dalam suatu
masa terhadap suatu hukum syar’i mengenai suatu peristiwa sepeninggal
Rasulullah saw. Kehujjahan ijma’ dapat dibuktikan dengan dalil-dalil dari
Alquran maupun hadis, antara lain sebagaimana terdapat dalam surat
Al-Nisa’, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul, dan orang-orang yang memegang kekuasaan diantara kamu.” (Qs.
An-Nisa (4): 59)

Dan juga sabda Rasulullah saw.,“Umatku tidak sepakat untuk membuat


kekeliruan.” (HR. Ibnu Majah)

d. Qiyās
Qiyās menurut ahli ushul ialah menyamakan hukum suatu peristiwa yang
tidak ada nash dengan hukum suatu peristiwa yang sudah ada dalil nash
karena adanya persamaan ‘illat hukum dari kedua peristiwa tersebut.

Umar bin Khattab sering menggunakan qiyās dalam mengistinbathkan


suatu hukum. Hal ini dapat kita temukan dalam banyak model tasyri’
yang ditetapkan Umar. Misalnya dalam peristiwa pembatalan had
(hukuman) potong tangan bagi pencuri yang mencuri karena terpaksa,
sehingga dihalalkan mengambil barang milik orang lain tanpa seizin
pemiliknya, kemungkinan dikiaskan dengan bolehnya memakan bangkai
dalam keadaan terpaksa, meskipun hukum asal memakannya adalah
haram. Hal ini sesuai kaidah ushul fiqh yang berbunyi al-darūratu tubīh
al-mahdhūrāt (kemudharatan membolehkan hal yang terlarang).

Umar mengqiyaskan beberapa hadd selain hadd sariqah karena Rasulullah

2 Muhammad Baltaji, Metodologi Ijtihad Umar bin Khattab, (Kairo: Dar as-Salam, 2003), hal.
24.

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


136
IJTIHAD ’UMAR IBN KHATTĀB DAN PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM

telah memerintahkan untuk ditangguhkannya hadd- hadd tersebut ketika


dalam keadaan perang. Beliau melarang pelaksanaan hadd dalam bentuk
apapun ketika perang sedang berkecamuk.

Umar juga menggunakan qiyās pada zakat barang dagangan dengan


mengqiyaskan pada emas dan perak karena persamaan ‘illat keduanya
yaitu sama-sama memiliki nilai. Umar juga mengkiyaskan pada
penerimaan diyyat dengan selain unta berdasarkan penerimaan
Rasulullah saw. atas pembayaran pajak dengan memakai selain uang
yaitu membayarnya dengan kain dan hewan piaraan.

C. Bidang Ijtihad Umar Bin Khattab


Ada beberapa bidang yang menjadi simbol ijtihad umar yang dapat diadikan
rujukan dan menjadi sebuah inspirasi bagi para ulama tentang masih selalu
terbukanya ijtihad-ijtihad baru sebagai refleksi dinamisasinya hukum Islam
dan sesuai dengan konteks dan realita. Di antara masalah-masalah, sebagai
hasil dari ijtihad Umar bin Khattab adalah:

1. Standarisasi Ukuran Diyyat


Abu Yusuf telah meriwayatkan bahwa Rasulullah menetapkan diyyat kepada
masyarakat sesuai dengan harta yang dimiliki. Seorang pembunuh bisa
membayar diyyat dengan seratus ekor unta, atau dua ribu kambing atau
dua ratus sapi atau dua ratus potong pakaian, tergantung pada harta yang
dimiliki. Dan bagi yang memiliki emas maka diyyatnya adalah seribu dinar.3

Umar bin Khattab menentukan ukuran diyyat sebesar seribu dinar, atau
sepuluh ribu dirham, atau seratus ekor unta, atau dua ratus ekor sapi atau
dua ribu ekor kambing, atau dua ratus potong pakaian bagi yang memiliki
pakaian. Pembunuh bisa memilih membayar diyyat sesuai keinginannya
dengan harta yang dimiliki. Hal ini menunjukkan bahwa diyyat dapat
disesuaikan dengan kondisi orang yang membayarnya.

3 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtashid, Jilid II, (Mesir: Ahmad Kamil,
1333 H), hal. 344.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


137
Asra Febriani

Tujuan tasyri’ Islami dalam menyikapi persoalan maliyah (harta) adalah


dengan menyesuaikan harga dan ukurannya, bukan pada jenis dan bentuk
barangnya. Selama kita berpegang pada nilai dan ukuran yang telah
ditetapkan Rasulullah, kita bisa menggunakan barang lain yang sama
harga dan nilainya, hal itu adalah untuk memudahkan masyarakat dalam
melaksanakan hukum Islam. Maka tidak ada salahnya ‘Umar ibn Khattab
menentukan pembayaran diyyat dengan uang dengan nilai yang sama dengan
harga unta. Umar juga memberi penangguhan dalam pembayaran diyyat
agar tidak memberatkan mereka. Menurutnya diyyat bisa dibayar dengan
cara dicicil sampai tiga tahun. Dalam kurun dua tahun diyyat boleh dibayar
dua pertiga atau setengahnya dan dilunasi pada tahun ketiga.

Oleh karena itu, setelah masa ‘Umar ibn Khattab para ulama tidak
mengharuskan membayar diyyat sesuai dengan ketetapan ‘Umar ibn
Khattab, karena kondisi perekonomian masa mereka berbeda dengan kondisi
perekonomian pada masa ‘Umar ibn Khattab. Sebab yang terpenting adalah
kesesuaian harga dengan seratus ekor unta dan dibayar dengan barang yang
mudah ditemukan untuk menghindari kesulitan.

2. Pembagian Zakat Terhadap Muallaf


Di antara orang-orang yang berhak menerima zakat adalah muallaf. Hal ini
sesuai dengan firman Allah, “Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-
orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf
yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang
berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan
sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah.” (Qs. Al-Tawbah (9): 60)

Pemberian zakat pada masa Rasulullah saw., kepada muallaf bertujuan agar
orang-orang kafir tertarik memeluk agama Islam sehingga jumlah kaum
muslimin semakin banyak. Pemberian tersebut diberikan untuk melunakkan
hati mereka agar mereka tidak berpikir untuk memusuhi Islam dan untuk
menarik simpati agar mereka mau menerima dakwah Islam. Tidak bisa
dipungkiri bahwa harta adalah salah satu cara untuk menaklukkan hati
seseorang. Dan pemberian zakat ini menjadi salah satu cara agar Islam yang
kekuatannya belum besar ketika itu mampu ditingkatkan secara bertahap.

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


138
IJTIHAD ’UMAR IBN KHATTĀB DAN PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM

Pemberian zakat kepada muallaf tetap berlanjut sampai Rasulullah wafat.


Di saat pemerintahan khalifah Abu Bakar, datang dua orang muallaf yang
meminta bagian zakat berupa tanah, lalu Abu Bakar membuat sertifikat
(surat kepemilikan) dan memberikan kepada mereka. Setelah itu mereka
menemui Umar bin Khattab untuk menguatkan sertifikat itu, namun ketika
Umar mengetahui isi surat tersebut segera ia hapus isi surat tersebut seraya
berkata: ”Dahulu Rasulullah menganggap kalian sebagai muallaf, ketika itu
Islam masih kecil dan pemeluknya masih sediki, namun karena sekarang
Allah telah menjadikan Islam besar dan jaya maka pergilah kalian bekerja
sebagaimana kaum muslimin bekerja. Kebenaran berasal dari Tuhan kalian.
Barangsiapa mau beriman maka berimanlah, dan barangsiapa tidak mau
beriman maka kufurlah!”

Akhirnya dengan menggerutu dan uring-uringan mereka kembali menghadap


Abu Bakar. Namun setelah mereka bermusyawarah akhirnya Abu bakar
sepakat untuk menarik kembali keputusannya. Melihat itu kedua muallaf
tersebut bertambah jengkel dan mereka bertanya,”Sebenarnya siapa yang
menjadi khalifah, anda atau ’Umar?” spontan Abu Bakar menjawab,”Dia,
jika ia mau.”

Ijtihad ‘Umar ibn Khattab tersebut sama sekali tidak bertentangan dengan
Alquran dan sunnah, karena pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar
tidak ditemui lagi orang-orang yang layak disebut al-muallafat qulubuhum
(orang-orang yang ditaklukkan hatinya). Pada saat itu Islam sudah menjadi
superpower, yang mampu mengalahkan imperium Roma dan Persi, sehingga
’Umar berpendapat tidak perlu menghambur-hamburkan harta untuk
menarik simpati orang-orang kafir agar memeluk Islam.

3. Al-Sawafi
Setiap menaklukkan suatu daerah tertentu, Khalifah ‘Umar ibn Khattab
menetapkan bahwa tanah-tanah yang ada di daerah tersebut diserahkan
kepada pengelola (yang akhirnya menjadi pemilik) dan hanya mewajibkan
kepada mereka untuk membayar pajaknya. Hal ini berlaku pada tanah yang
mempunyai pemilik yang ditemukan ditengah berkecamuknya peperangan

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


139
Asra Febriani

dalam penaklukan daerah tersebut.

Namun ada juga tanah yang tidak bisa dimiliki oleh seorang pun dari
penduduk setempat. Tanah tersebut dinamakan Al-Sawafi yaitu tanah yang
pada awalnya milik Kaisar atau raja atau keluarganya, atau milik prajurit
negara atau milik sipil yang bergabung dengan pasukan perang atau orang
yang ikut membantu dalam distribusi logistik perang. Status tanah tersebut
diserahkan kepada penguasa atau imam.

Disebut Al-Sawafi karena ‘Umar ingin memurnikannya dengah


mengalokasikan seluruh hasil dari tanah tersebut kepada Baytl Mal. Al-
Sawafi disebut juga Al-Qata’i karena dalam perkembangannya tanah tersebut
dibagikan kepada orang-orang yang berkompeten dalam mengurusnya.
Umar memberikan sebagian hasil dari tanah tersebut kepada penggarapnya,
bagian tersebut tergantung kepada income yang diperoleh dari hasil produksi
tanah tersebut.

Salah satu tujuan ‘Umar membagikan tanah Al-Sawafi adalah agar si


penggarap bisa menjadi intel untuk melakukan spionase terhadap penyusup-
penyusup dari kalangan musuh Islam dan sekaligus mempertahankan tanah
tersebut dari serangan musuh terutama di daerah perbatasan. Hal ini demi
mewujudkan kemaslahatan umat Islam karena pembagian tanah yang
dilakukan Rasulullah saw, Abu Bakar dan ‘Umar berasaskan prinsip maslahat.
Dan pada dasarnya tanah ini adalah tanah wakaf yang pemanfaatannya
tergantung kepada imam selama bervisi maslahat.

4. Mengqisas Orang Banyak Sebab Membunuh Satu Orang


Allah berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 178, “Diwajibkan atas kamu
qisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh, orang merdeka dengan
orang merdeka, hamba dengan hamba.” (Qs. Al-Baqarah (2): 178)

Menerapkan qisas terhadap pembunuh adalah balasan yang setimpal terhadap


jiwa yang dibunuhnya. Namun bagaimanakah jika pelaku pembunuhan
berjumlah lebih dari satu orang dan mereka membunuh satu nyawa?
Menurut riwayat dari Imam Malik dan Al-Syafi’i, bahwa ’Umar pernah

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


140
IJTIHAD ’UMAR IBN KHATTĀB DAN PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM

membunuh sekelompok orang (antara lima atau tujuh pelaku pembunuhan)


karena mereka membunuh satu orang. Ia berkata,”sekalipun pembunuh
orang tersebut adalah seluruh penduduk Shan’a, maka aku akan membunuh
mereka semua.”4

Diriwayatkan oleh Al-Jasas bahwa ’Umar pernah membunuh beberapa orang


laki-laki karena mereka telah membunuh seorang wanita. Keputusan ini
sangat popular dan jelas sehingga hampir dapat disebut sebagai ijma’ ulama.5
Keputusan Umar ini dilaksanakan untuk mewujudkaan kemaslahatan umat
karena jika mereka dibebaskan dari qishash maka akan banyak pembunuhan
dilakukan bersama-sama. Mereka akan membunuh dengan cara bersama-
sama agar terhindar dari qishash. Dan ini akan menggugurkan maksud dari
firman Allah dalam ayat tadi.

Tujuan pelaksanaan qisas ialah untuk menciptakan maslahat ’āmah dan


mencegah hal-hal yang tidak diinginkan saddu adz-zarī’ah. Oleh karena itu
keputusan Umar dalam masalah ini tidak bertentangan dengan nash syar’ī
yaitu “jiwa dengan jiwa”. Oleh karena itu kalangan jumhur sepakat dengan
keputusan ini termasuk imam Malik, Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Ath-Thawrī
dan imam Ahmad.

5. Subsidi Terhadap Rakyat


Imam Ahmad bin Hanbal dalam al-Musnad meriwayatkan bahwa Khalifah
Umar bin Khattab pernah didatangi pegawainya dengan membawa harta fay’i
(harta rampasan perang) yang sangat banyak, lalu ia berkata,”Demi Allah
yang tidak ada yang bisa menyamai-Nya, semua orang berhak atas harta itu.
Berikanlah penggembala di gunung satu sa’ bagiannya, karena wajahnya
turut mengalirkan darah (ikut berperang).”6

Ibnu Sa’ad meriwayatkan bahwa ‘Umar pernah menulis surat kepada


Hudhaifah,” Berikanlah mereka (setiap warga) bagiannya dan rezekinya.” Dalam

4 Malik ibn Anas, Al-Muwatta’, Jilid II, (Kairo: Asy-Syarfiyyah, 132 H), hal. 188.
5 Al-Jashash, Ahkam Al-Qura=n, Jilid I, (Mesir: Al-Bahiyyah, 1347 H), hal. 162-163.
6 Ahmad ibn Hanbal, Al-Musnad, Jilid I, (Mesir: Dar Al-Ma’arif, 1954), hal. 282

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


141
Asra Febriani

surat balasannya Hudzaifah mengatakan,”Kami sudah memberi mereka


semua bagian, akan tetapi masih banyak tersisa.” Mendengar laporan itu
‘Umar kembali menulis surat yang isinya,”Harta itu adalah hasil fa’I mereka
sendiri yang telah diberikan Allah, dan bukan milik ‘Umar dan keluarganya.
Bagikan lagi harta itu kepada mereka.”7

Sejarah mencatat bahwa ‘Umar melaksanakan pembagian subsidi terhadap


rakyat sepanjang masa pemerintahannya. Menurutnya kebutuhan semua
rakyat adalah tanggung jawab negara Islam dan kakayaan negara adalah
hak seluruh rakyat, bukan haknya atau keluarganya atau hak golongan
tertentu. Ia juga berinisiatif untuk mendirikan Baytul Mal dan Dīwan, ia
memerintahkan kepada pegawainya untuk mencatat setiap bayi yang baru
lahir dan memberinya seratus dirham dan dua kantong makanan setiap
bulannya dan diserahkan kepada keluarganya, baik yang kaya maupun
miskin. Tidak ada perbedaan karena parameter pemberian tersebut adalah
setiap anak yang lahir, bukan standar kekayaan keluarganya. Jika anak
tersebut sudah menginjak usia anak-anak, Umar menambah bagian mereka
menjadi dua ratus dirham setiap anak.

Ketika anak sudah baligh, ia menambah menjadi lima ratus atau enam ratus
dirham, ia juga tidak membedakan antara setiap anak yang lahir tersebut.
Suatu ketika ia bertemu dengan seorang anak jalanan, ia memberi uang
kepada anak itu sebanyak seratus dirham dan memerintahkan wali anak
tersebut agar mengambil bagian makanan anak itu setiap bulan. Ia juga
berpesan kepada para wali dari anak-anak tersebut agar selalu berbuat baik
kepada mereka, sedangkan nafkah mereka ditanggung oleh Baytul Mal.
Perhatian Umar kepada anak jalanan melebihi perhatiannya kepada anak
yang berada dalam keluarga yang normal, Umar menetapkan bahwa anak
jalanan adalah bagian dari orang merdeka yang harus diperlakukan dengan
layak seperti orang merdeka lainnya. 8

Khalifah ‘Umar bin Khattab tidak hanya berpikir bahwa tanggung jawabnya

7 Muhammad bin Saad, Ath-Thabaqat Al-Kabīr, Jilid III, (Leiden Press, 1325 H), hal. 215.
8 Syams Al-Din Al-Sarakhasi, Al-Mabsut, Jilid X, (Mesir: Al-Sa’adah, 1324 H), hal. 210.

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


142
IJTIHAD ’UMAR IBN KHATTĀB DAN PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM

selesai setelah ia memberi uang itu kepada rakyatnya, tetapi ia juga memikirkan
pemanfaatan dari uang tersebut agar digunakan untuk kemaslahatan. Bahkan
ia juga berpikir untuk masa depan orang-orang sesudahnya.

Ibnu Sa’ad dan Al-Baladhri meriwayatkan bahwa Khalid bin Arfatah Al-
Udhri menemui ’Umar untuk menanyakan keadaan orang-orang setelah
mereka, ”Wahai Amirul Mukminin, engkau tinggalkan mereka sesudahku,
padahal mereka berdoa kepada Allah agar menambah umurmu dan agar
umurmu lebih panjang dari umur mereka. Orang-orang yang ikut perang
Qadisiyah mendapat dua ribu dirham atau seribu lima ratus dirham. Setiap
anak yang lahir baik laki-laki maupun perempuan diberikan seratus dirham
dan dua kantong makanansetiap bulannya. Dan jika mereka sudah baligh,
mereka mendapatkan lima ratus atau enam ratus dirham. Jika bagian-bagian
ini diberikan kepada keluarga mereka padahal anak-anak itu ada yang sudah
makan dan ada yang masih menyusui , apa pendapatmu?”

Maksud dari pertanyaan Khalid bin Arfathah Al-Udri adalah agar ’Umar
hanya member bagian kepada orang yang membutuhkan saja. Mendengar
ini Umar menjawab, ”Demi Allah, jika itu memang hak mereka, maka aku
akan memberikannya. Aku akan sangat bahagia jika memberikan sesuatu
kepada yang berhak menerimanya. Kalian jangan memujiku, karena jika
harta itu dari keluarga Al-Khattab, maka aku tidak akan memberikan bagian
kepada mereka dari harta itu. Akan tetapi aku tahu bahwa pemberian itu
adalah suatu anugerah sehingga aku tidak berhak untuk menahannya. Jika
salah satu diantara mereka ada yang bekerja sebagai penggembala kambing,
iapun akan diberi bagian. Wahai Khalid, aku khawatir jika para pemimpin
setelahku tidak memberi bagian kepada orang yang berhak menerima bagian
tersebut. Jika nanti diantara mereka ada yang menyimpan dan mengkorupsi
kekayaan negara, maka cari dan kejarlah mereka sampai apa yang diambilnya
itu dikembalikan. Nasehatku kepadamu ini seperti nasehat tokoh-tokoh
Islam sebelumku, Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa meninggal dalam
keadaan menipu rakyatnya, maka ia tidak akan dapat mencium bau surga.” 9

9 Ahmad bin Yahya Al-Biladzari, Futuh al-Buldan, (Beirut: Dar Al-Nasr, 1957), hal. 635

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


143
Asra Febriani

‘Umar memberikan subsidi kepada seluruh lapisan masyarakat tanpa


membedakan suku, ras, warna kulit, Arab atau a’jam sebagai salah satu
implementasi tasyri’ Islami. Bahkan ia memberikan bagian kepada orang
yang berbeda akidah sekalipun. Hal ini terbukti dalam riwayat Abu Yusuf
bahwa ‘Umar memberi bagian dari jizyah (pajak) kepada laki-laki Yahudi
renta. Pemberian bagian terhadap nan muslim oleh ‘Umar berdasarkan pada
tasyri’ islam dan sesuai kaidah umum yaitu perintah berinfak secara mutlak.

Sumber keuangan negara Islam pada masa ‘Umar bin Khattab berasal dari
zakat kaum muslimin, seperlima dari hasil rampasan perang, pajak dari
daerah-daerah ekspansi baru yang ditaklukkan Islam, pajak yang dibayar
oleh orang-orang kafir mu’ahidin yaitu orang-orang kafir yang telah mengikat
perjanjian dengan orang Islam dengan syarat mereka ikut berperang
bersama umat Islam untuk mempertahankan negara sebagai ganti dari
jaminan keamanan yang diberikan pasukan Islam kepada mereka dan dari
sepersepuluh jumlah barang dagangan kafir dhimmi dan Harbi sebagai biaya
cukai.

Jika sudah demikian adakah orang yang tidak mau tunduk kepada negara
Islam yang telah memberi subsidi tanpa pandang bulu pada masa ‘Umar?
Oleh sebab itu Umar bin Khattab berhasil membuat negara Islam mencapai
kegemilangannya dalam sejarah umat manusia.

6. Membagi Lima Bagian Al-Salab


As-salab ialah segala sesuatu yang diambil dari apa yang dibawa oleh orang
yang dibunuh dalam peperangan. Rasulullah saw telah mengizinkan
mengambil al-salab dalam sabdanya. Artinya “Barangsiapa yang bisa
membunuh musuh (orang kafir), maka ia berhak atas barang yang ada pada
musuh itu.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)

Asbab wurūd hadis tersebut adalah ketika Zubayr bin ‘Awwam berkelahi
dengan seseorang dan ia berhasil membunuhnya lalu Rasulullah memberi
semua harta salab kepada Zubayr. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa al-
Barra’ bin Malik pernah berkelahi dengan Marhaban Al-Zarah dalam suatu
peperangan antara kaum muslimin dan bangsa Persi pada masa kekhlalifahan

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


144
IJTIHAD ’UMAR IBN KHATTĀB DAN PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM

‘Umar. Al-Barra’ berhasil membunuh Marhaban dan mengambil hartanya


berupa dua gelang, baju Persi dari sutera, sabuk berlapis emas dan permata
yang semuanya bernilai delapan puluh ribu dirham.

Melihat hal tersebut Umar mengatakan,”pada zaman Rasulullah dulu


kita tidak membagi lima salab, akan tetapi salab yang diperoleh Al-Barra’
jumlahnya terlalu besar, aku akan menariknya dan membagi seperlima saja.
Dan Umar adalah orang pertama yang membagi salab menjadi lima bagian.
Jadi Umar telah mempraktekkan hukum ghanimah kepada salab ketika salab
tersebut berjumlah banyak. Hal itu bertujuan untuk kemaslahatan dan
masalah salab adalah masalah furu’iyah yang tidak ada nash Alquran sehingga
ia berpendapat keputusannya diserahkan kepada imam atau hakim yang
bisa dilaksanakan selama berpegang pada prinsip maslahat.

Menurut Umar, Rasulullah memberi seluruh harta salab karena salab ketika
itu bernilai sedikit yang tidak mungkin dibagi lima. Oleh karena itu ia
menyamakan salab yang diperoleh Al-Barra’ dengan hukum ghanimah karena
nilainya yang besar. Salah satu penyebab Umar melakukan hal tersebut
adalah karena ia khawatir akan tersebarnya berita salab yang bernilai besar
itu dikalangan muslimin yang ikut berperang, sehingga dapat menyebabkan
mereka tidak mau berperang jika musuh mempunyai salab sedikit. Umar
sangat menekankan keikhlasan dalam berperang yaitu semata-mata
menegakkan agama Allah, bukan karena materi yang sudah menjadi tabiat
manusia.

C. Penutup
‘Umar ibn Khattab adalah salah seorang tokoh yang memberikan inspirasi
kepada mujtahid untuk berani memberi terobosan ijtihad terhadap masalah-
masalah yang tidak disinggung dalam nash-nash syar’i, bahkan mencoba
menginterpretasi kembali terhadap berbagai nash yang telah ada, untuk
disesuaikan dengan kontek kekinian, dengan tetap berpegang teguh pada
al-Quran dan Sunnah.

‘Umar ibn Khattab merupakan orang yang sangat jenius yang mampu
mensinergikan antara pemahaman yang benar terhadap nash dan tujuan

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


145
Asra Febriani

nash-nash itu sendiri dengan maslahat ‘ammah (kamaslahatan umum) yang


timbul dari nash-nash tersebut. Ia menetapkan suatu hukum terhadap suatu
peristiwa berdasarkan pada nash yang qat’i thubut dan juga pada nash yang
qath’iyud dalalah. Beliau meneliti nash-nash tersebut secara mendalam dan
hati-hati, lalu menetapkan tujuan syar’i dalam mensyariatkan suatu hukum,
di samping itu Umar juga mencoba menerapkan ijtihadnya pada berbagai
peristiwa secara kontekstual, meskipun sudah ada nash yang qat’i.

Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa Umar bin Khattab dalam
menetapkan suatu hukum, tetap meruju’ kepada Alqurandan Hadis sebagai
dasar hukum dalam membuat suatu keputusan dan kesimpulan-kesimpulan
hukum, namun dalam menerjemahkan teks-teks tersebut, tentunya perlu
disesuaikan dengan kontek dan situasi tertentu, sehingga hukum Islam
benar-benar menjadi rahmatan lil ‘alamin di sepanjang masa.

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


146
IJTIHAD ’UMAR IBN KHATTĀB DAN PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM

DAFTAR PUSTAKA

Bin Hambal, Ahmad. Al-Musnad, Jilid I, Mesir: Dar Al-Ma’arif, 1954.

Bin Yahya Al-Biladzari, Ahmad. Futuh Al-Buldan, Beirut: Dar Al-Nasr, 1957.

Al-Jashash, Ahkam Alquran, Jild I, Mesir: Al-Bahiyyah, 1347 H.

Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, Jilid II, Mesir:


Ahmad Kamil, 1333 H.

Bin Anas, Malik. Al-Muwatta’, Jilid II, Kairo: Asy-Syarfiyyah, 132 H.

Baltaji, Muhammad. Metodologi Ijtihad ‘Umar bin Khattab, Kairo: Dar al-
Salam, 2003.

Bin Sa’ad, Muhammad. Al-Tabaqat Al-Kabīr, Jilid III, (Leiden Press, 1325 H).

Fathur Rahman, Mukhtar Yahya. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islam,


(Bandung: al-Ma’arif, 1986).

Al-Sarkhasi, Syams al-Din. Al-Mabsuth, Jilid X, (Mesir: al-Sa’adah, 1324 H).

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


147
At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009
148
SANKSI ATAS NASABAH MAMPU YANG
MENUNDA-NUNDA PEMBAYARAN HUTANG
(Studi atas Fatwa DSN)

Mahli Ismail
Fakultas Syari`ah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, Asrama Pascasarjana
Kota Banda Aceh NAD, 23111, Email: Mahli_Ismail@yahoo.Com

Abstract

Establishing the financial body based on the syariah law that influence to
apply the economic values in activity of society. The existence of Syari’ah
Bank is to develop the syariah principle especially to apply its model in the
bussiness, such if the debitor does not execute the obligation meanwhile he
has an ability for it, so he due to be punished.

Key words: Nasabah, sanksi, utang


Mahli Ismail

A. Pendahuluan
Eksistensi perbankan sebenarnya untuk memudahkan kegiatan manusia
secara umum dengan prinsip mutualisme (saling menguntungkan). Untuk
mewujudkan prinsip tersebut, maka perbankan dan penggunanya (nasabah)
mesti mentaati aturan-aturan yang berlaku sehingga memberikan kenyamanan
dalam bertransaksi. Dalam konteks ini, penulis hanya menfokuskan uraian
tentang bagaimana prilaku mereka yang menundah pembayaran utang dan
solusi yang harus tempuh agar kegiatan perbankan tidak menjadi terkendala
karenanya.

Tulisan ini akan diuraikan secara sistematis dimulai dengan pengertian bank
hingga ke pokok permasalahan yang dimaksud.

1. Pengertian Bank
Bank berasal dari kata banque bahasa Perancis dan banco dalam bahasa Itali,
berarti peti atau bangku. Konotasi kata ini menunjukkan fungsi dasar bank
secara komersial, yaitu menyiratkan fungsi sebagai tempat penyimpan
benda-benda berharga seperti emas, berlian, uang dan sebagainya.1 Pada
abad 12 banco di Italia merujuk pada meja, tempat usaha menukar uang
(money changer) dalam transaksi bisnis yang luas yaitu membayar uang dan
jasa. Jadi fungsi dasar bank adalah menyediakan tempat untuk menitipkan
uang dengan aman dan menyediakan alat pembayaran untuk membeli
barang dan jasa.

2. Sejarah Hukum Perbankan Syari`ah di Indonesia


Pada era modern ini, fungsi bank konvensional sebagai lembaga Intermediasi2
adalah menerima simpanan dari nasabah dan meminjamkan kepada nasabah
lain yang membutuhkan dana. Atas simpanan para nasabah itu, bank

1 Iswardono Sp, Uang dan Bank, ( Yogyakarta: BPFE, 1994), hal. 50. Lihat juga Zainul Arifin,
Dasar-Dasar Manajemen Bank Syari`ah, ( Jakarta: AlvaBet, 2003), hal. 1
2 Undang-Undang nomor 10 Tahun 1998. Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 182. tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992, tentang perbankan, disebutkan bahwa
bank adalah Badan Usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan
dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau dalam bentuk lainnya dalam
rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


150
SANKSI ATAS NASABAH MAMPU YANG MENUNDA-NUNDA PEMBAYARAN HUTANG

memberi imbalan berupa bunga, demikian pula atas pemberian pinjaman


itu bank mengenakan bunga.3 Peran Bank Konvesional amat besar dalam
memenuhi kebutuhan manusia. Fungsi dan kerja Bank Konvesional ini
telah mengadopsi secara meluas di dunia termasuk negara-negara yang
berpenduduk muslim.

Dalam operasional Bank Konvesional terdapat kegiatan-kegiatan yang belum


sesuai dengan syari`at Islam seperti menerima dan membayar bunga yang
sangat mempengaruhi kegiatan ekonomi Islam di sisi lain. Karena itu untuk
mengembangkan perekonomian Islam perlu digalakkan dan ditingkatkan
pendirian Bank Syari`ah dalam rangka memenuhi kebutuhan dan kelancaran
proses ekonomi Islam secara meluas. Agama merupakan suatu visi tentang
sesuatu yang ada di atas, dibalik, dan di dalam hal-hal yang senantiasa
berubah atau bersifat sementara; sesuatu yang nyata, tetapi tetap menunggu
untuk dinyatakan; sesuatu yang merupakan kemungkinan yang masih jauh,
tetapi sekaligus juga merupakan kenyataan besar yang sudah terwujud
sekarang ini sesuatu yang merupakan ideal tertinggi yang pantas dicita-
citakan, tetapi sekaligus juga sesuatu yang mengatasi segala dambaan.

Kesimpulan bahwa “Bank berdasarkan prinsip bagi hasil” merupakan istilah


bagi Bank Islam atau Bank Syariah baru dapat dipahami dari Penjelasan
Pasal 1, ayat (1) PP No. 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi
Hasil.4 Dalam penjelasan ayat tersebut ditetapkan bahwa yang dimaksud
dengan prinsip bagi hasil adalah prinsip mu`amalat berdasarkan Syari’at
dalam melakukan kegiatan usaha Bank. Melihat ketentuan-ketentuan yang
ada dalam PP No. 72 Tahun 1992, keleluasaan untuk mempraktekkan gagasan
perbankan berdasarkan Syari`at Islam terbuka seluas-luasnya, terutama
berkenaan dengan jenis transaksi yang dapat dilakukan. `Pembatasan hanya
diberikan dalam hal: 1. Larangan melakukan kegiatan usaha yang tidak
berdasarkan prinsip bagi hasil (maksudnya kegiatan usaha berdasarkan
perhitungan bunga) bagi Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
yang kegiatan usahanya semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil. Begitu

3 Ahmad Arif Rifan, MSI-UII.Net, 8-8-2005.


4 Iswardono Sp, Uang dan Bank, hal. 1.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


151
Mahli Ismail

pula Bank Umum atau BPR yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan
prinsip bagi hasil dilarang melakukan kegiatan usaha yang berdasarkan
prinsip bagi hasil. 2. Kewajiban memiliki Dewan Pengawas Syariah yang
bertugas melakukan pengawasan atas produk perbankan baik dana
maupun pembiayaan agar berjalan sesuai dengan prinsip Syari’at, dimana
pembentukannya dilakukan oleh Bank berdasarkan hasil konsultasi dengan
Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pada saat berlakunya UU No. 7 Tahun 1992,
selain ketiga PP tersebut di atas tidak ada lagi peraturan perundangan yang
berkenaan dengan Bank Islam. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa
eksistensi Bank Islam yang telah diakui secara hukum positif di Indonesia,
belum mendapatkan dukungan secara wajar berkenaan dengan praktek
traksaksionalnya.

Hal ini dapat dilihat misalnya dari tidak seimbangnya jumlah dana yang
mampu dikumpulkan dibandingkan dengan penyalurannya di masyarakat.
Bagi BMI tidak ada kesulitan untuk mengumpulkan dana berupa tabungan
dan investasi dari masyarakat, namun untuk penyalurannya masih sangat
terbatas, mengingat belum adanya instrumen investasi yang berdasarkan
prinsip Syariah yang diatur secara pasti, baik instrumen investasi di Bank
Indonesia, Pemerintah, atau antar-Bank. Tidak mengherankan bilamana
dalam Laporan Keuangan BMI pada masa tersebut dapat ditemukan satu pos
anggaran atau account yang diberi istilah sebagai “Pendapatan Non Halal”,
yakni pendapatan yang didapatkan dari transaksi yang bersifat perbankan
konvensional.

Perkembangan lain yang patut dicatat berkaitan dengan perbankan Syariah


pada saat berlakunya Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
adalah berdirinya Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI). BAMUI
berdiri secara resmi tanggal 21 Oktober 1993 dengan pemrakarsa MUI dengan
tujuan menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa muamalat dalam
hubungan perdagangan, industri, keuangan, jasa dan lain-lain di kalangan
umat Islam di Indonesia. Dengan demikian dalam transaksi-transaksi atau
perjanjian-perjanjian bidang perbankan Syariah lembaga BAMUI dapat
menjadi salah satu choice of forum bagi para pihak untuk menyelesaikan
perselisihan atau sengketa yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan transaksi

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


152
SANKSI ATAS NASABAH MAMPU YANG MENUNDA-NUNDA PEMBAYARAN HUTANG

atau perjanjian tersebut. Perkembangan kemudian berkenaan dengan


BAMUI, melalui Surat Keputusan Majelis Ulama Indonesia No. Kep-09/MUI/
XII/2003 tanggal 24 Desember 2003 menetapkan di antaranya perubahan
nama BAMUI menjadi Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS)
dan mengubah bentuk badan hukumnya yang semula merupakan Yayasan
menjadi ‘Badan’ yang berada di bawah MUI dan merupakan perangkat
organisasi MUI. Meskipun pada saat berlakunya Undang-undang No.
7 Tahun 1992 perkembangan perbankan Syari`ah masih sangat terbatas,
namun sebagaimana disebutkan oleh Prof. Dr. Mariam Darus Badrul zaman,
SH merupakan salah satu tonggak sejarah yang sangat penting khususnya
di dalam kehidupan umat Islam dan pada umumnya bagi perkembangan
Hukum Nasional.

Dalam makalah yang berjudul “Peranan BAMUI Dalam Pembangunan


Hukum Nasional” beliau mengatakan sebagai berikut : “Undang-undang
Perbankan No. 7 Tahun 1992 membawa era baru dalam sejarah perkembangan
hukum ekonomi di Indonesia. Undang-undang tersebut memperkenalkan
“sistem bagi hasil” yang tidak dikenal dalam Undang-undang tentang Pokok
Perbankan No. 14 Tahun 1967. Dengan adanya sistem bagi hasil itu maka
Perbankan dapat melepaskan diri dari usaha-usaha yang mempergunakan
sistem “bunga”. Jika selama ini peranan Hukum Islam di Indonesia terbatas
hanya pada bidang hukum keluarga, tetapi sejak tahun 1992, peranan
Hukum Islam sudah memasuki dunia hukum ekonomi (bisnis).” Pada
tahun 1998 eksistensi Bank Islam lebih dikukuhkan dengan dikeluarkannya
Undang-undang No.10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang
No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Dalam Undang-undang tersebut,
sebagaimana ditetapkan dalam angka 3 jo. angka 13 Pasal 1 Undang-undang
No. 10 Tahun 1998, penyebutan terhadap identitas perbankan Islam secara
tegas diberikan dengan istilah Bank Syari’ah atau Bank Berdasarkan Prinsip
Syari’ah. Pada tanggal 12 Mei 1999, Direksi Bank Indonesia mengeluarkan
tiga buah Surat Keputusan sebagai pengaturan lebih lanjut Bank Syari`ah
sebagaimana telah dikukuhkan melalui Undang-undang No.10 Tahun 1998,
yakni: 1. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/33/KEP/DIR tentang
Bank Umum, khususnya Bab XI mengenai Perubahan Kegiatan Usaha
dan Pembukaan Kantor Cabang Syariah; 2. Surat Keputusan Direksi Bank

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


153
Mahli Ismail

Indonesia No. 32/34/KEP/DIR tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip


Syari`ah; dan 3. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/36/KEP/DIR
tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syari`ah.

Selanjutnya berkenaan dengan operasional dan instrumen yang dapat


dipergunakan Bank Syariah, pada tanggal 23 Februari 2000 Bank Indonesia
secara sekaligus mengeluarkan tiga Peraturan Bank Indonesia, yakni: 1.
Peraturan Bank Indonesia No. 2/7/PBI/2000 tentang Giro Wajib Minimum
Dalam Rupiah Dan Valuta Asing Bagi Bank Umum Yang Melakukan
Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah , yang mengatur mengenai
kewajiban pemeliharaan giro wajib minimum bank umum yang melakukan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah; 2. Peraturan Bank Indonesia No.
2/8/PBI/2000 tentang Pasar Uang Antar Bank Berdasarkan Prinsip Syariah,
yang dikeluarkan dalam rangka menyediakan sarana penanaman dana atau
pengelolaan dana antar bank berdasarkan prinsip syariah; dan 3.Peraturan
Bank Indonesia No. 2/9/PBI/2000 tentang Sertifikat Wadiah Bank Indonesia
(SWBI), yakni sertifikat yang diterbitkan Bank Indonesia sebagai bukti
penitipan dana berjangka pendek dengan prinsip Wadiah yang merupakan
piranti dalam pelaksanaan pengendalian moneter semacam Sertifikat Bank
Indonesia (SBI) dalam praktek perbankan konvensional.

Berkenaan dengan peraturan-peraturan Bank Indonesia di atas, relevan


dikemukakan dalam hal ini mengenai tugas Bank Indonesia dalam menetapkan
dan melaksanakan kebijakan moneter berdasarkan prinsip syari`ah,
sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang No. 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia (UUBI). Pasal 10 ayat (2) UUBI memberikan kewenangan
kepada Bank Indonesia untuk menggunakan cara-cara berdasarkan prinsip
syari`ah dalam melakukan pengendalianmoneter. Kemudian Pasal 11 ayat (1)
UUBI juga memberikan kewenangan kepada Bank Indonesi untuk mengatasi
kesulitan pendanaan jangka pendek suatu Bank dengan memberika
pembiayaan berdasarkan prinsip syari`ah untuk jangka waktu paling lama
90 (sembilan puluh) hari. Dipandang dari sudut lain, dengan demikian UUBI
sebagai undang-undang bank sentral yang baru secara hukum positif telah
mengakui dan memberikan tempat bagi penerapan prinsip prinsip syariah
bagi Bank Indonesia dalam melakukan tugas dan kewenangannya.

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


154
SANKSI ATAS NASABAH MAMPU YANG MENUNDA-NUNDA PEMBAYARAN HUTANG

Di samping peraturan-peraturan tersebut di atas, terhadap jenis kegiatan,


produk dan jasa keuangan syariah, Bank Syari`ah juga wajib mengikuti
semua fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN), yakni satu-satunya dewan
yang mempunyai kewenangan mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan,
produk dan jasa keuangan syariah,s erta mengawasi penerapan fatwa
dimaksud oleh lembaga-lembaga keuangan syariah di Indonesia. Sampai
saat ini DSN telah memfatwakan sebanyak 43 fatwa, melingkupi fatwa
mengenai produk perbankan syari`ah, lembaga keuangan non-bank seperti
asuransi, pasar modal, gadai serta berbagai fatwa penunjang transaksi dan
akad lembaga keuangan syari`ah.

Kerjasama pemerintah dan para ulama untuk menyampaikan pesan sistem


ekonomi berdasarkan nilai-nilai Islam hendaknya terus dilakukan. Untuk
menjembatani kesenjangan para ulama dan ilmu ekonomi Islam, dilakukan
pelatihan dan pendidikan ekonomi/perbankan Islam kepada para ulama dan
di sisi lain para ekonom Islam dan Islamic bankers diharapkan juga terjun
menjadi tenaga pendidik di berbagai institusi pendidikan syariah. Kemajuan
sistem informasi dan teknologi dewasa ini juga membuka peluang belajar
syariah melalui internet. Dengan kemudahan ini seyogyanya tugas institusi
pendidikan di tanah air juga akan sangat terbantu.

Eksistensi Bank Syariah di Tanah Air telah mendapat tempat di masyarakat


luas. Karena itu, sosialisasi bank syariah di masa mendatang harus lebih
menonjolkan pemberian pemahaman tentang nilai tambah bank tersebut.
Sistem pendidikan keuangan Islam di berbagai tingkatan, berperan penting
untuk mendidik masyarakat tentang keunggulan bank syariah.

Faktor Sumber daya insani (SDI) dalam sistem perbankan Syariah tidak hanya
menentukan kinerja Bank Syariah, namun juga alat promosi dan edukasi bagi
masyarakat. Menciptakan masyarakat yang cenderung bertransaksi dengan
Bank Syariah mutlak ditentukan oleh sistem pendidikan yang akan mencetak
SDI yang beriman dan berilmu, ditambah peran serta para ulama.

3. Pengertian Murabahah
Murabahah merupakan jual beli barang pada harga asal dengan tambahan

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


155
Mahli Ismail

keuntungan yang desepakati. Dalam murabahah penjual harus memberitahu


harga pokok produk yang ia beli/pesanan dan menentukan suatu tingkat
keuntungan sebagai tambahannya sesuai kesepakatan/`aqad. Pada dasarnya
murabahah memiliki fleksibilitas yang luas yang diterapkan pada produk
pembiayaan untuk pembelian barang-barang investasi berupa domestic/
elektronik dan perumahan, dalam kontrak jangka pendek dengan sekali
`aqad.

4. Hukum Jaminan
Hukum jaminan diatur dalam buku ke II KUHPerdata yang berisi tentang
benda, hak kebendaan, warisan, tentang piutang yang diistimewakan, gadai
dan hipotik. Tentang benda dan hak kebendaan merupakan asas dari buku
ke II KUH Perdata. Waris dimasukkan ke dalam buku ke II KUHPerdata
karena pengaruh dari hukum Romawi. Sedangkan tentang piutang yang
diistimewakan mempunyai hubungan yang erat mengenai gadai dan
hipotik. Buku KUHPerdata memliki sistem tertutup. Artinya hak-hak
kebendaan di luar dari buku ke II tidak diperkenankan dan para pihak yang
membuat perjanjian tidak bebas dalam memperjanjikan hak kebendaan yang
baru. Namun pada kenyataannya pembuat undang-undang sendiri yang
menciptakan hak kebendaan yang baru dalam suatu perundang-udangan
di luar KUHPerdata, seperti: Creditverband dan Oogstverband. Selain itu
praktek dan yurisprudensi juga mengenal adanya lembaga hukum baru,
yang mempunyai ciri hak-hak kebendaan (fiducia). Hukum Jaminan adalah
peraturan hukum yang mengatur tentang jaminan-jaminan piutang seorang
kreditur terhadap seorang debitur.

Untuk pembiayaan berskala besar dengan risiko tinggi, hal ini memerlukan
keterlibatan pemerintah selain Bank Syari`ah sebagai intermediator, dengan
menerbitkan instrumen sukuk. Ketika landasan hukum sukuk diterbitkan di
Tanah Air, diharapkan high risk financing bukan lagi menjadi kendala berarti.
Bahkan potensi dana-dana simpanan Syariah yang ditanam dalam bentuk
sukuk dapat disalurkan untuk membiayai proyek-proyek pembangunan
pemerintah. Di samping memenuhi kebutuhan pembiayaan jangka panjang,
sukuk juga dikenal sebagai instrumen yang likuid sehingga keberadaanya
di pasar keuangan Syariah diharapkan dapat mengatasi kendala risiko

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


156
SANKSI ATAS NASABAH MAMPU YANG MENUNDA-NUNDA PEMBAYARAN HUTANG

likuiditas, risiko pasar, dan lain-lain.

Kerjasama antara Dewan Syariah Nasional (DSN), Bank Indonesia, lembaga


kajian perbankan syariah dan perbankan Syariah sendiri akan berkontribusi
dalam melihat kemungkinan pengembangan instrumen (produk) Bank
Syariah. Proses financial engineering yang sedang dan terus dilakukan
berbagai bank syariah dunia dapat menjadi salah satu rujukan terkait dengan
hal tersebut.

Secara umum salah satu faktor struktural yang menjadi penyebab


keterpurukan ekonomi rakyat adalah meluasnya kolusi, korupsi dan
nepotisme antara para biokrat, pengusaha besar dan para banker di Indonesia
dalam mengalokasikan sumber daya ekonomi hanya untuk kalangan mereka
sendiri. Dunia perbankan nasional dijadikan pintu dan sarana tempat
pencurian dan perampokan uang rakyat dan Negara secara sestimatis, salah
satu caranya adalah dengan memanfaatkan kelemahan payung hukum dalam
dunia perbankan dan rusaknya system politik nasional, yang selanjutnya hal
ini melahirkan sebuah fenomina yang disebut dengan kredit mancet.5

Pada prinsipnya pembeli/pemesan/debitur setelah barang diterima, ia punya


kewajiban untuk melunasi hutangnya. Namun hutangnya belum lunas ia
telah menjual/mengalihkan hak milik barang/benda tersebut kepada pihak
ketiga, dan sekaligus menunda-nunda pembayan hutang. Oleh karena itu
pihak Bank akan mengambil sikap: Mengambil prosedur perdata untuk
mendapatkan kembali hutang (harga barang) dan mengklaim kerusakan
financial yang terjadi akibat penundaan pembayaran hutang. Bagaimana
sistem pengambilan dan penyitaan barang/benda sebagai jaminan dari
pembeli/pemesan/debitur yang sudah berada pada pihak ketiga.6

Bagaimana pandangan Islam terhadap hutang dan tindakan terhadap orang-


orang atau para pihak yang tidak memenuhi kewajibannya (bayar Hutang).

5 Ahmad Arif Rifan, MSI-UII.Net, 8-8-2005.


6 Yusuf Qardawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, Alih bahasa Zainbal Arifin dan Dahlia
Husin (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), hal. 149.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


157
Mahli Ismail

Hutang timbul apabila terjadi pinjaman uang atau transaksi yang tidak tunai.
Islam menganjurkan sedapat mungkin untuk tidak berutang, namun jika
terpaksa berhutang diwajibkan segera membayar atau menepati akad atau
janji yang telah disepakati.7

Dalam hukum Islam seseorang diwajibkan untuk menghormati dan


mematuhi setiap perjanjian atau amanah yang dipercaya kepadanya.
Apabila seseorang telah mendapat keredit atau pembiayaan dari Bank, maka
ia setelah mendapat amanah dari orang lain (deposan atau sahib al-mal di
Bank). Jika debitur tersebut melakukan cidera janji, maka ia dapat dikatakan
telah melakukan wanprestasi, dapat/bisa dilakukan tindakan sesuai dengan
kondisi dan alasannya.8

Pada zaman sekarang ini dalam perbankan syari`ah ada muncul sikap
menunda-nunda pembayaran yang dilakukan oleh debitur atau nasabah
Bank terhadap akad Murabahah. Akibatnya Bank mengalami kerugian
material (biaya penagihan dan penyewaan pengacara) dan non material
(waktu dan tenaga serta pikiran).

Fenomena ini memunculkan berbagai permintaan dari pengelola perbankan


Syariah akan pentingnya penagihan ganti rugi dan pengenaan saksi ganti
rugi atas biaya yang dikeluarkan untuk melakukan penagihan kepada
nasabah pembiayaan yang lalai dan nakal (menunda-nunda pembayaran
hutang). Berdasarkan alasan tersebut, Dewan Syari`ah Nasional Majlis Ulama
Indonesia mengeluarkan fatwa9 tentang sanksi atas nasabah mampu yang
menunda-nunda pembayaran. 10

7 Lebih lanjut tentang penanganan pembiayaan bermasalah lihat Muhammad, Manajemen


Bank Syari`ah, (Yogyakarta: UPP APM YKPN, 2002), hal. 267.
8 Komentar Direktur Utama Bank Mu`amalah Indonesia, A. Ridwan Amin Dalam Ta`widh,
Pembayaran Bagi Nasabah Nakal dalam Republika, senin, 4 Oktober 2004.
9 DSN-MUI, Fatwa No. 17/DSN-MUI/IX/2000.
10 Fit Elfani, Kepala Devisi Unit Usaha Syari`ah Bank Rakyat Indonesia, menunda-nunda
pembayaran, contohnya adalah mendahulukan pelunasan pada pihak lain, atau menggunakan
dahulu uangnya untuk kepentingan lain, atau mengunakan modal kerja yang diberikan bank pada
usaha lain sehingga usahanya mengalami kegagalan ( dalam repoblika, senin 4 Oktober 2004).

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


158
SANKSI ATAS NASABAH MAMPU YANG MENUNDA-NUNDA PEMBAYARAN HUTANG

B. Fatwa Dewan Syariah Nasinal tentang sanksi atas nasabah mampu


yang menuda-nunda pembayaran
Di antara keputusan fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syari’ah Nasional11
adalah No. 17/DSN-MUI/IX/2000, tentang sanksi atas nasabah mampu yang
menunda-nunda pembayaran, sebagaimana berikut 12:

Pertama : Ketentuan Umum


1.  Sanksi yang disebut dalam fatwa ini adalah sanksi yang dikenakan
LKS kepada nasabah yang mampu membayar, tetapi menunda-
nunda pembayaran dengan sengaja.
2.  Nasabah yang tidak/belum mampu membayar disebabkan force major
tidak boleh dikenakan sanksi.
3.  Nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran dan/atau tidak
mempunyai kemauan dan itikad baik untuk membayar hutangnya
boleh dikenakan sanksi.
4.  Sanksi  didasarkan pada prinsip ta’zir yaitu bertujuan agar nasabah
lebih disiplin dalam melaksanakan kewajibannya.
5.  Sanksi dapat berupa denda sejumlah uang yang besarnya ditentukan
atas dasar kesepakatan dan dibuat saat akad ditandatangani.
6.  Dan yang berasal dari denda diperuntukkan sebagai dana sosial.

Kedua   : Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika
terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya 
dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah terjadi kesepakatan
melalui musyawarah.

Ketiga  : Fatwa ini berlaku sejak ditetapkannya dengan ketentuan jika di

11 Dewan Syari’ah Nasional dibentuk oleh MUI pada  Tahun 1999. Lembaga ini saat ini
beranggotakan para ahli hukum islam, dan para ahli serta para praktisi ekonomi, terutama sektor
keuangan, baik bank maupun non-bank. Dimana fungsi utama lain dari lembaga ini adalah meneliti
dan memberi fatwa bagi produk-produk yang di  kembangkan oleh Lembaga Keuangan Syari’ah
(LKS). Lebih lanjut lihat Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah : Dari teori ke Praktik,
(Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hal. 235. Lihat juga Arifin. Z, Memahami Bank Syari’ah :
Lingkup Peluang, Tantangan dan Prospek. (Jakarta : ALVABET, 1999).
12 Himpuna Fatwa Dewan Syari`at Nasional, Diterbitkan oleh DSN-MUI, Himpunan Fatwa
Dewan Syari`ah Nasional, (Jakarta: Intermasa, 2003).

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


159
Mahli Ismail

kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan


sebagaimana mestinya.
a. Keputusan fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional ini
didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut13:
1. Bahwa masyarakat banyak memerlukan pembiayaan dari
Lembaga Keuangan Syariah (LKS) berdasarkan pada prinsip
jual beli maupun akad lain yang pembayarannya kepada LKS
dilakukan secara angsuran.
2. Bahwa nasabah mampu terkadang menunda-nunda kewajiban
pembayarannya baik dalam akad jual beli maupun akad yang
lain, pada waktu yang telah ditentukan berdasarkan kesepakatan
di antara kedua belah pihak.
3. Bahwa masyarakat dalam hal ini pihak LKS, meminta fatwa
kepada DSN tentang tindakan atau sanksi apakah yang dapat
dilakukan terhadap nasabah mampu yang menunda-nunda
pembayaran tersebut menurut Syariah Islami.
4. Bahwa oleh karena itu, DSN perlu menetapkan fatwa tentang
sanksi atas nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran
menurut prinsip Syariah Islam, untuk dijadikan pedoman bagi
LKS. 

b. Dalil-dalil yang digunakan oleh Dewan Syariah Nasional dalam


menetapkan fatwa tentang sanksi atas nasabah mampu yang
menunda-nunda pembayaran.
1. Firman Allah Qs. Al-Maidah (5) : 1:
“Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu.….”
2. Hadis Nabi riwayat Tirmizi dan ‘Amr bin ‘Auf.
“Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali
perdamaian yang  mengharamkan yang halal  atau menghalalkan yang
haram, dan kaum muslimin  terikat degan syarat yang mengharapkan
yang halal dan menghalalkan yang halal.”
3.  Hadis Nabi riwayat jama’ah (Bukhari, Muslim, Ahmad, Nasa’I,
Abu Daud, Tirmidzi, Malik, al-Darimi dari Abu Hurairah, Ibn

13 Ibid, hal. 103-105.

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


160
SANKSI ATAS NASABAH MAMPU YANG MENUNDA-NUNDA PEMBAYARAN HUTANG

Majah dan Abu Hurairah dan Ibn Umar).


“menunda-nunda (pembayaran) dilakukan oleh orang mampu adalah
suatu kezaliman….”
4. Hadis Nabi riwayat Nasa’i, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad
dari Syraid bin Suwaid :
“Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu
menghalalkan harga diri dan pemberian sanksi kepadanya.”
5. Hadis Nabi riwayat Ibn Majah dari ‘Ubaidah bin Samit, riwayat
Ahmad dari Ibn ‘Abbas, dan Malik dari Yahya :
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan
orang lain.”
6. Kaidah Fiqih :
“Pada dasarnya, segala bentuk mu’amalat boleh dilakukan kecuali ada
dalil yang mengharamkannya.”
“bahaya (beban berat) harus dihilangkan.” 

c. Telaah terhadap fatwa Dewan Syari’ah Nasional tentang sanksi atas


nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran.
Berdasarkan fatwa ini, para nasabah mampu yang menunda-nunda
pembayaran dapat dikenakan sanksi yang didasarkan pada prinsip
ta’zir14, yaitu bersifat menyerahkan dan demi perbaikan serta bertujuan
agar nasabahnya lebih disiplin dalam melaksanakan kewajibannya.
Sanksi dapat berupa denda sejumlah uang yang besarnya ditentukan
atas dasar kesepakatan dan dibuat saat akad ditandatangani. Selama
ini bila nasabah lalai melunasi pembiayaan bank mereka dikenakan
denda. Denda tersebut ditujukan guna mendisplinkan nasabah dan
bertanggungjawab atas janji yang dibuatnya kepada bank. Lalu

14 Ta’zir menurut bahasa adalah amshdar (kata dasar) bagi ‘azzara yang berarti menolak dan
mencegah kejahatan, juga berarti menguatkan, memuliakan, membantu. Dalam al-Qur’an
disebutkan : Ta’zir juga berarti hukuman yang berupa memberi pelajaran. Disebut ta’zir karena
hukuman tersebut sebenarnya menghalangi si terhukum untuk tidak kembali kepada jarimah atau
dengan kata lain membuatnya jera. Para fuqaha mengartikan ta’zir dengan hukuman yang tidak
ditentukan oleh al-Qur’an dna hadis yang berkaitan dengan kejahatan yang melanggar hak Allah
dan hak hamba yang berfungsi untuk memberi pelajaran kepada si terhukum dna mencegahnya
untuk tidak mengulangi kejahatan serupa. Ta’zir sering juga disamakan oleh fuqaha dengan
hukuman terhadap setiap maksiat yang tidak dianzam dengan hukuman had atau kaffarah. (Lebih
lanjut lihat, Abu Ishaq al-Syirazi, AlMuhadzdzab, Mesir: Isa al-Babi al-Halabi,t.t, hal. 289).

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


161
Mahli Ismail

dana yang berasal dari denda diperuntukkan sebagai dana sosial,


karena sifatnya, denda yang dibayar nasabah tidak boleh dijadikan
sebagaimana pendapatan, akan tetapi dimasukkan pada dana sosial
yang akan disalurkan pada pembiayaan dengan aqad Al-Qard al-
Hasan. 15

Sementara itu, dalam sistem Bank Konvensional selama ini, bila


nasabah lalai melunasi hutangnya pada Bank atau lalai dalam
memenuhi kewajibannya terhadap Bank pada waktu yang telah
ditentukan, mereka dikenakan denda. Dan denda tersebut dapat
diklaim sebagai pendapatan oleh pihak Bank. Sedangkan dalam
sistem perbankan Syariah denda tersebut tidak dapat diklaim sebagai
pendapatan, bahkan dana yang didapat dari denda tersebut harus
dimasukkan pada dana sosial yang akan disalurkan pada pembiayaan 
dengan akad al-Qard al-Hasan. Perbedaan  inilah yang terjadi antara
Bank Syariah dan Bank Konvensional.

Dalam sistem  Konvensional denda biasanya didasarkan pada teori


Time  value of  money, yaitu teori yang menyatakan bahwa uang
dengan jumlah yang sama sekarang atau saat ini adalah lebih bernilai
dibandingkan dengan yang saat nanti. Dalam ekonomi Konvensional
time value of money biasanya juga didefinisikan sebagai “a dollar is
worth more than a dollar in the future because a dollar today can be invested
to get a return.”16 Namun jika time  value of money ini hanya masalah

15 Qard Hasan (Pinjaman Kebijakan). Ini adalah jenis pinjaman tanpa laba (zero-return)
di manaAlquran an mendorong kaum muslim agar mengadakannya untuk kalangan yang
membutuhkan. Peminjam berkewajiban mengembalikan hanya pokok pinjamannya saja, tetapi
boleh memberikan kelebihan (marjin) menurut kebijaksanannya. Peminjam qard hasan juga
mendapatkan manfaat dari berbagai macam layanan dan keuangan serta diberikan kepada
lembaga-lembaga amal untuk mendapat aktivitas-aktivitas mereka. Pembayaran kembali
dilakukan selama suatu periode yang disepakati oleh kedua pihak. Pungutan biaya layanan yang
tidak seberapa atas pinjaman ini dibolehkan asalkan berdasarkan atas biaya pengurusan pinjaman
yang sesungguhnya, dan tidak dikaitkan dengan jumlah atau batas waktu pinjaman. (lebih lanjut
lihat  Latifa M. Alqaud dan Merryn K. Lewis, Perbankan Syariah : Prinsip, Praktek dan Prospek,
alih bahasa Burhan Wirasubrata, Jakarta : Serambi, 2003), hal. 90-91).
16 Aswath Damodaran,  Corporate Finance : Theory and Practise (New York : John Wiley and
Sons, 2001), h. 34.

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


162
SANKSI ATAS NASABAH MAMPU YANG MENUNDA-NUNDA PEMBAYARAN HUTANG

keuntungan dan resiko, maka Islam menolaknya, hal ini disebabkan


oleh masalah ketidakpastian di dunia ini, juga sifat seluruh manusia
dan tidak seorang pun berhak mengecualikan dirinya dari hal itu
dengan sebesar biaya apapun.17

Namun selanjutnya ternyata  yang menjadi masalah adalah biaya


dalam proses penagihan terhadap nasabah yang mampu tetapi
menunda-nunda pembayaran. Dalam sistem Bank Konvensional
biaya yang dikeluarkan dalam proses penagihan sebagian dapat
ditutupi dari dana denda, misalnya biaya yang relatif kecil seperti
biaya administrasi hingga biaya yang besar seperti menyewa
pengacara, jika kasusnya serius. Sementara itu dalam sistem Bank
Syariah biaya yang dikeluarkan dalam proses penagihan tidak dapat
ditutupi oleh dana denda, karena dana tersebut menjadi dana sosial,
sehingga hal ini menjadi beban tersendiri bagi pihak Bank Syariah
dan hal ini dirasa kurang adil (bagi pihak Bank Syariah).

Sekilas bila dicermati pasal 4, 5 dan 6 dari ketentuan umum dalam


fatwa DSN tentang sanksi atas masalah mampu yang menunda-nunda
pembayaran, tampak  bahwa pihak Bank Syariah kurang diuntungkan
dalam hal pembiayaan terhadap proses penagihan, bahkan
cenderung menjadi rugi. Namun saat ini sepertinya kekurangan yang
ada dalam fatwa tentang sanksi atas masalah mampu menunda-
nunda pembayaran ini dapat diatasi dengan telaah terbitnya fatwa
DSN yang lain, yaitu fatwa tentang ta’wid18   yaitu fatwa ganti rugi
dalam hal ini adalah ganti rugi untuk biaya yang dikeluarkan dalam
proses penagihan. Akan tetapi syarat pengenaan biaya ganti rugi
adalah adanya kerugian riil yang diderita Bank Syariah. Dan angka
kerugiannya harus nyata, jelas besarannya dan bisa dihitung serta
bukan semata berdasarkan persentase. Selain itu,  kerugian hanya
dibebankan kepada nasabah yang nakal dan lalai membayar, bukan

17 Muhammad, Manajmen Bank Syari’ah, (yogyakarta: LPP AMP YKPN, 2002), hal. 66.
18 Fatwa ini telah dikeluarkan oleh DSN pada hari Jum’at., 01 Oktober dan menjadi  produk
fatwa ke-43 dari Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


163
Mahli Ismail

karena force major.19 Jika kejadiannya adalah force majeour maka tidak
perlu ada ganti rugi. 

d. Analisis terhadap Teks dan Fonomena


1. Orang yang berjanji wajib memenuhi janji, pelanggaran dari janji
merupakan perbuatan tercela.
2. Menunda-nunda (pembayaran) oleh orang mampu adalah suatu
kezaliman
3. Menunda-nunda (pembayaran) oleh orang mampu boleh
dikenakan sanksi
4. Menunda-nunda (pembayaran) kepada pihak lain berarti
membuat orang lain rugi
5. Besarnya ganti rugi boleh diselesaikan dengan perdamaian kedua
belah pihak

e. Kategori:
- Menunda pembayaran, dapat merugikan orang lain dan
merupakan perbuatan melawan hukum,
- Sanksinya; wajib ganti rugi, yang besarnya merurut kesepakatan.

D. Penutup
Dari uraian dan telaah  terhadap fatwa  tersebut pada  bagian B dapat diambil
kesimpulan:
1.   Bahwa sanksi bagi nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran
tetap berlaku. Sanksi ini didasarkan pada prinsip ta’zir yaitu bertujuan
agar nasabah lebih disiplin dalam melaksanakan kewajibannya.
2.   Sanksi dapat berupa denda sejumlah uang yang besarnya ditentukan
atas dasar kesepakatan dan dibuat saat akad ditandatangani. Dana yang
didapat dari denda itu tidak dapat diklaim sebagai pendapatan Bank
Syariah tetapi harus dimasukkan pada dana sosial yang selanjutnya akan
disalurkan pada pembiayaan dengan akad al-Qard al-Hasan.20

19 Suatu kesalahan. Akibat yang bukan karena suatu kesengajaan, atau akibat dari sesuatu yang
berada di luar kemampuan dan kontrol nasabah, misalnya adalah yang diakibatkan oleh bencana
alam.
20 Pembiayaan qard hasan bisa juga menjadi jalan untuk membererat dan memfasilitasi

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


164
SANKSI ATAS NASABAH MAMPU YANG MENUNDA-NUNDA PEMBAYARAN HUTANG

3.   Jika dalam proses penagihan Bank Syariah ternyata mengalami kerugian,
maka Bank Syariah dapat mengenakan biaya ganti rugi pada nasabah
dengan syarat perhitungannya bukan berdasar pesentase atau time value
of money melainkan biaya yang sebenarnya dikeluarkan oleh Bank akibat
kelalaian nasabah, dan hal ini telah diatur dalam fatwa DSN yang lain
yaitu fatwa tentang ta’widh atau ganti rugi.

hubungan bisnis yang ada. Al-Harran (1993, h.99) memberikan beberapa contoh keadaan di
mana sebaiknya institusi-institusi keuangan Islam menggunakan model pembiayaan qardh
hasan.(a) Dalam musyarakah antara institusi dan klien, sering kali tidak semua saham institusi
dalam proyek dapat diarahkan untuk mendapatkan hak partisipasi dalam keuntungan proyek.
Partisipasi institusi bisa terpecah ke dalam dua bagian: saham dalam modal kemitraan dan
saham dalam modal kerja yang disediakan melalui qard hasan. Namun, dalam hukum Islam
muncul tanda tanya tentang qardh ini karena keuntungan yang diambil darinya. (b) Qardh
hasan dapat juga diberikan kepada klaim.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


165
Mahli Ismail

DAFTAR PUSTAKA
Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syari’ah : Dari teori ke Praktik. Jakarta: Gema
Insani Press, 2001.

Arifin, Zainul. Dasar-Dasar Manajemen Bank Syari`ah. Jakarta: AlvaBet, 2003.

Arifin. Z. Memahami Bank Syari’ah: Lingkup Peluang, Tantangan dan Prospek.


Jakarta : ALVABET, 1999.

Damodaran,  Aswath. Corporate Finance : Theory and Practise. (New York : John
Wiley and Sons, 2001.

DSN-MUI, Fatwa No. 17/DSN-MUI/IX/2000.

Himpuna Fatwa Dewan Syari`at Nasional. Diterbitkan oleh DSN-MUI.


Himpunan Fatwa Dewan Syari`ah Nasional. Jakarta: Intermasa, 2003.

Iswardono. Uang dan Bank. Yogyakarta: BPFE, 1994.

M. Alqaud, Latifa dan Merryn K. Lewis. Perbankan Syariah : Prinsip, Praktek


dan Prospek, alih bahasa Burhan Wirasubrata. Jakarta : Serambi, 2003.

Muhammad. Manajmen Bank Syari’ah. Yogyakarta: LPP AMP YKPN, 2002.

Qardawi, Yusuf. Norma dan Etika Ekonomi Islam, Alih bahasa Zainal Arifin dan
Dahlia Husin. Jakarta: Gema Insani Press, 1997.

Republika. senin 4 Oktober 2004.

Rifan, Ahmad Arif. MSI-UII.Net, 8-8-2005.

Al-Syirazi, Abu Ishaq. AlMuhadhdab. Mesir: Isa al-Bai al-Halabi, t.th.

Undang-Undang nomor 10 Tahun 1998. Lembaran Negara Tahun 1998


Nomor 182.

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


166
HUKUM DHARŪRIYYAT, HÃJIYÃT DAN
TAHSINIYÃT DALAM PANDANGAN SYARI’AH

Irwansyah
Mahasiswa program Doktor, Jurusan Fiqh Modern, Pascasarjana IAIN Al-Raniry Banda Aceh.

Abstract

Everyone is to fulfill the need of the life. Each of the need generally can be
classified to be primary (darūriyyat) and secondary (hājiyāt). Dharūri is the
main need in human life, if it is not be fulfilled will effected the loss in the
world and be punished in hereafter. Meawhile hājī is everything that impact
the main elements, without that, it will be hard to get darūri. But it could not
be reached, the life will not loss. The end is tahsinī, it means that the things are
related to eligible and good, a costume put it in a good perspective and all of
that can be positioned in a part of akhlāk al-karīmah. In other word, the three
terms can be explained that dharūri is related to keep five principle of life;
religion, sense, soul, wealth and off-spring. Hājī is to avoid from the hardness
to get the five. Meanwhile tahsinī is an effort of human being to do something
better or in a way of a good manner.

Key words: Dharūriyyat, Hājiyāt dan Tahsiniyāt


Irwansyah

A. Pendahuluan
Objek kajian hukum Islam mencakup berbagai aspek. Selain persoalan
antar manusia dengan sesama, manusia dengan pencipta (Allah), dan juga
persoalan manusia dengan lingkungan sekitarnya. Semua pengkajian dan
pengaturan tersebut yang tujuan inti adalah demi kemaslahatan manusia
itu, agar dapat memperoleh kehidupan yang yang terbaik, baik di dunia
maupun di akhirat.

Untuk mewujudkan tujuan tersebut maka pembebanan hukum dalam Islam


didasarkan atas asas kemaslahatan. Maslahah yang dimaksud itu tidak saja
untuk manusia sebagai khalifat Allah di permukaan bumi, tapi juga hewan,
tumbuh-tumbuhan dan lingkungan di sekitarnya juga akan merasakan
manfaatnya. Sebagai contoh bagi bukan manusia dapat diilustrsikan bahwa
hewan hanya boleh dimakan bila dilakukan dengan penyembelihan;
penebangan liar dilarang, karena membahayakan lingkungan. Dengan
aturan demikian, hewan tidak boleh dibunuh sesuka hati. dan memotong
pepohonan hanya bilamana hasil yang diperoleh baik untuk kehidupan.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa aturan hukum Islam diarahkan


untuk mengatur kehidupan manusia, dikarenakan faktor buruk (qabh) dan
baik (husn).1 Perbuatan yang baik menurut syara’ adalah suatu perbuatan yang
menyuruh kepada manusia untuk melaksanakannya. Sementara perbuatan
yang buruk adalah perbuatan yang dilarang untuk mengerjakannya. Dengan
bahasa lebih sederhana bahwa hukum Islam menjadikan nilai-nilai etika
dalam menentukan formulasi hukumnya.

Dua pembagian qabh dan husn tersebut dapat dikelompokkan kepada tiga
tingkatan; harus dilakukan, lebih baik dilakukan, dan alangkah baik untuk
dilakukan. Artinya, perbuatan yang baik tidak semuanya wajib dilakukan,
tetapi mungkin saja pembebanannya lebih baik atau baik dilakukannya. Tiga
tingkatan ini dalam kajian nilai hukum ekplisitnya diberi nilai hukum wajib,
haram, sunat, makruh dan mubah

1 Asaf A. A. Fyzee, Pokok-Pokok Hukum Islam, terj. Arifin Bey, (Jakarta: Tintamas,
1965), hal 21. lihat J.N.d Anderson, Hukum Islam di Dunia Modern, terj. Machnun Husein,
(Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1994), hal. 3.

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


168
HUKUM DHARŪRIYYAT, HÃJIYÃT DAN TAHSINIYÃT DALAM PANDANGAN SYARI’AH

Dalam metodologi hukum Islam, ketiga tingkatan itu diberi nama, tingkatan
wajib dilakukan disebut darūri, tidak wajib dilakukan namun dengan
melakukannya akan menyempurnakan yang wajib disebut hājī, dan baik
melakukannya atau pelengkap dua yang pertama disebut dengan tahsinī.
Ketiga tingkatan itu, sesuai dengan prinsip kemaslahatan dimaksudkan
untuk menjaga atau memelihara unsur yang lima; yaitu agama, jiwa, akal,
keturunan dan harta. Pemeliharaan masing-masing lima jenis ini, dilakukan
berbagai ketentuan perbuatan hukum. Dan pelaksanaan ketentuan dimaksud
berada pada tiga tingkatan darūri, hājī dan tahsinī.

Untuk tiga tingkatan dimaksud, syara’ tidak memberi suatu uraian secara
ekplisit. Pengelompokan itu merupakan ijtihad para ulama. Usaha fuqahā
dalam memformulasinya untuk sebuah tujuan, yaitu menjelaskan hukum-
hukum syara’ agar dapat diamalkan sesuai dengan tiga tingkatan itu. Oleh
karena, dalam kajiannya nanti selain ketiga istilah itu, perlu juga dijelaskan
landasan pengelompokkan dan perbuatan yang termasuk dalam masing-
masing kelompok. Untuk lebih jelasnya akan dijelaskan sebagai berikut.

B. Pembahasan
1. Pengertian Syara’dan Hukumnya
syari’ah, adalah ketetapan-ketetapan Allah dan Rasulnya, baik berupa
larangan maupun berupa suruhan, yang meliputi seluruh aspek hidup dan
kehidupan manusia.2 Dengan demikian dapat dipahami bahwa syari’ah,
adalah sebagai jalan yang ditetapkan Tuhan bagi manusia agar dapat
menjalankan kehidupannya sesuai aturan yang dibenarkannya. Aturan ini
secara umum dibentuk dalam suatu bagiannya yang dinamakan dengan
hukum syara’. Hukum tersebut mengatur tata kehidupan manusia, dalam
usahanya mencari kebutuhan hidup, baik yang bersifat batin maupun lahir.3

2 Daud Ali, Hukum Islam, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1998), hal. 41


3 Berbicara tentang hukum, antara konsep Islam dan Barat mempunyai perbedaan. Hukum
Islam: memasukkan seluruh perbuatan manusia ke dalam cakupannya. Sedangkan hukum
dalam pandangan Barat adalah sesuatu yang diberlakukan oleh badan-badan peradilan. khusus
pembahasan hukum Islam dapat dilihat dari materi literatur fiqh. Anderson memandang
hukum Islam sebagai ajaran (doktrin) tentang tugas-tugas atau kewajiban-kewajiban setiap
Muslim. J.N.d Anderson, Hukum Islam…, hal. 4-6.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


169
Irwansyah

Aturan hukum syara’ mempunyai asas yang umum. Artinya tidak hanya
membicarakan masalah yang timbul ketika aturan itu disampaikan, tetapi
juga mepunyai celah yang besar untuk dimasukan persoalan baru yang
muncul kemudian.4 Karena itu, aturan ini disebutkan dengan teks yang
global, namun memiliki nuansa yang luas untuk dipahami. Bentuk aturan
tersebut dapat dipahami sebagai jalan untuk dapat diaplikasi dalam ruang
dan waktu yang tidak terbatas.5

Selain itu, aturan yang disebutkan dalam dua sumber dasar agama tersebut
tidak memberi nilai yang kongkret terhadap suatu masalah. Oleh karena
itu, ketika para ahli hukum menelaahnya, akan menemukan hukum yang
bervariasi antara satu peneliti dengan peneliti yang lain. Faktor yang
menyebabkannya adalah pengaruh redaksi yang tersedia berpeluang untuk
ditafsir dalam bentuk yang berbeda.

Berbagai bentuk aturan yang disampaikan itu dapat dilihat dari aspek yang
diatur dalam objek kajian hukum syara’, yakni meliputi hubungan manusia
dengan manusia lain, hubungan dengan Tuhan, hubungan dengan dirinya
sendiri, dan hubungan manusia dengan alam sekitarnya,6 dan berbagai
bidang lain yang dikehendaki syar’ī.7 Kesemuaannya disampaikan secara
global (absolut), dan dalam bentuk yang juz-iyyah. Dan telah diformulasi
dalam sebuah kaidah umum: .8

4 Said Ramadhan, Keunikan dan Keistimewaan Hukum Islam, terj. Badri Saleh, (Jakarta:
Firdaus, 1991), hal. 8.
5 Dalam penetapan hukum senantiasa didasarkan pada tiga sendi pokok:Hukum-hukum
ditetapkan sesudah masyarakat membutuhkan hukum-hukum itu; Hukum-hukum ditetapkan
oleh sesuatu kekuasaan yang berhak menetapkan hukum dan menundukkan masyarakat
ke bawah ketetapannya; Hukum-hukum ditetapkan menurut kadar kebutuhan masyarakat.
Kaidah ushul mengatakan: ada dan tidaknya hukum itu bergantung kepada sebab (‘illatnya).
Lihat Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos, 1997), hal. 72.
6 Daud Ali, Hukum …, hal. 38.
7 Yusuf Qaradhawi, Syariat Islam Ditentang Zaman, terj. Abdul Zaki, ( Surabaya: Pustka
Progresif, 1993), hal.17.
8 Muhammad Salim’Awa, Fi Ushul al-Nidham al-Jina’I al-Islami, (Qahirah: Dar al-
Ma’arif, 1983), hal 46.

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


170
HUKUM DHARŪRIYYAT, HÃJIYÃT DAN TAHSINIYÃT DALAM PANDANGAN SYARI’AH

H.A.R. Gibb menulis, Hukum Islam memiliki jangkauan paling jauh dan alat
efektif dalam membentuk tatanan sosial dan kehidupan masyarakat. Seperti
disebutkan di atas, bahwa hukum Islam diformulasikan atas dasar norma-
norma etika, yang masyarakat secara ideal harus menyesuaikan diri dengan
lingkungannya. Oleh karena itu, hukum Islam mempengaruhi semua aspek
kehidupan sosial, ekonomi, dan semua aspek lainnya.9

Hukum Islam merupakan hukum yang komprehensif. Ia tidak ditetapkan


hanya untuk seorang individu, tanpa keluarga, dan bukan ditetapkan hanya
untuk satu keluarga tanpa masyarakat, bukan pula untuk satu masyarakat
secara terpisah dari masyarakat lainnya dalam lingkungan umat Islam, dan
ia tidak pula ditetapkan hanya untuk satu bangsa secara terpisah dari bangsa-
bangsa dunia yang lainnya baik bangsa penganut agama ahlu kitab maupun
kaum penyembah berhala.10

Hukum Islam tidak bermaksud untuk menghancurkan kebebasan individu,


melainkan mengontrolnya demi kepentingan masyarakat yang terdiri dari
individu itu sendiri. Jadi, pengaturan itu dimaksudkan untuk menjaga
individu dalam kehidupan bermasyarakat. Ini menunjukkan, hukum
memainkan peran dalam mendamaikan pribadi dengan kepentingan
masyarakat. Individu diperbolehkan mengembang hak pribadinya dengan
syarat tidak menganggu kepentingan masyarakat.11

Dalam aplikasinya ketentuan hukum yang diberikan Islam tidak mendhalimi


dan didhalimi. Sistem hukum itu mampu memberikan kebahagiaan
kepada orang yang mendapat putusan hukum darinya. Ini terjadi karena ia
memenuhi syarat-syarat keadilan, keamanan, ketentraman, dan kepuasan
batin.12 Dengan bahasa lain, aturan hukum Islam mengandung nilai maslahah
yang besar bagi dan kehidupan manusia.

9 Fathurrahman Djamil, Filsafat…hal.156.


10 Yusuf Qaradhawi, Pengantar Kajian Islam, terj. Setiawan Budi Utomo, (Jakarta: Pustaka
al-Kautsar, 1996), hal. 146.
11 Fathurrahman Djamil, filsafat…hal. 157.
12 Yusuf Qaradawi, Syariat Islam …, hal 15.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


171
Irwansyah

Rincian maslahah yang difokus hukum Islam terlihat dari tujuan


pemeliharaannya pada lima aspek berikut:
a). memelihara kemaslahatan agama
b). memelihara jiwa
c). memelihara akal
d). memelihara keturunan
e). memelihara harta benda dan kehormatan.13

Kelima perkara itu merupakan hal yang pokok bagi manusia. Jadi, dengan
memperhatikan keutuhan lima bidang tersebut, kebaikan diduga akan
terwujud. Oleh karena itu, maslahah dijadikan sebagai unsur yang mendasar
dalam penerapan hukum Islam. Beberapa nash menunjukkan bahwa syari’at
tidaklah diturunkan kecuali untuk kemaslahatan umat manusia, sehingga
pemikiran demi kemaslahatan adalah sesuai dengan apa yang telah ditetapkan
oleh tasyrī’.

Keseluruhan tasyrī’ berpijak atas dasar maslahat, meskipun terkadang akal


manusia tidak dapat mengetahui maslahah dibalik nass-nass tasyri’iyah.
“sesungguhnya Allah memerintahkan kepada yang ma’ruf atau kebaikan,
dan melarang setiap kejelekan dan kemungkaran. Oleh karena itu, dalam
setiap sesuatu yang mungkin terjadi pada masyarakat, harus masuk dalam
salah satu dari dua bagian tersebut (baik atau buruk.14

2. Maslahat Sebagai Prinsip Dasar Hukum Syara’


Hasbi Ash-Shiddieqy mengambarkan tentang maslahah, yang mana unsur
tersebut merupakan hal yang utama dalam pemberlakuan sebuah hukum,
yakni Orang yang mempunyai rasa dalam melaksanakan syari’at dan
memperhatikan kesempurnaan-kesempurnaannya, pastilah akan melihat
semua permasalahan yang menyangkut dengan kehidupan, pastilah
mengandung sebuah tujuan yang baik, yaitu demi kemaslahatan seorang
hamba, baik di dunia dan di akhirat, Ia meyakini bahwa tidak ada kemaslahatan

13 Fathurrahman Djamil, Filsafat…hal. 73.


14 Muhammad Baltaji, Metodologi Ijtihad Umar bin Khatab, terj. Masturi Irham, Jakarta,
Khalifah, 2005, Hal. 480.

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


172
HUKUM DHARŪRIYYAT, HÃJIYÃT DAN TAHSINIYÃT DALAM PANDANGAN SYARI’AH

yang lebih baik dari apa yang terkandung dalam syari’at Islam. 15

Seperti halnya Hasbi Ash-Shiddieqy, kebanyakan para pemikir hukum Islam


lainnya memandang bahwa syari’at Islam yang diberikan Allah SWT. kepada
umat manusia dimaksudkan untuk kemaslahatan manusia, baik di dunia
maupun di akhirat.16 Syari’at Islam merupakan hukum yang manusiawi,
karena isi yang dikandungnya memberi kebaikan besar bagi umat manusia
khususnya dan makhluk lain pada umumnya.

Di antara hikmah yang terkandung dalam hukum yang di bawanya adalah


masing-masing jenis makhluk memperoleh penghidupan yang layak, serta
mendapat hak kepribadiannya masing-masing. Dan dengan hukum itu pula
masing-masing mereka akan berada di tempat yang baik. Oleh karena itu,
hukum ini dipandang sesuatu yang sesuai dengan prinsip-prinsip moralitas,
etika dan hak-hak pribadinya. Oleh karena itu, Islam tidak membiarkan
semuanya hanya tergantung pada masyarakat dan manusia saja dengan
aturan-aturan mereka sendiri.17 Artinya bahwa ajaran Islam sangat sejalan
dan koheren dengan segala isi jagat raya.

Meskipun sebagian hukum Islam terkesan keras dan kasar yang terlihat
secara kasat mata, namun maksud asasi dari aturan itu bila dikaji secara
mendalam juga mengandung makna kemaslahatan. Sebagai contoh, Jihad yang
dilakukan beresiko besar merupakan suatu hukum yang disyari’atkan untuk
memelihara agama dan jiwa umat Islam. Seperti dimaksud dalam asas umum
yang digunakan dalam memahami masalah ini adalah tujuan peperangan
dalam Islam hanyalah ta’mīnul ‘aqīidah dan himmayat al- da’wah al-Islāmiyyah

15 Hasbi Ash-Shiddieqy, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993, hal. 124.
16 Ibnu Qayim mengatakan bahwa sesungguhnya syariat itu fondasi dan asasnya adalah
hikmah dan kemaslahatan hamba, baik dalam kehidupan dunia maupun dalam kehidupan
akhirat. Asy-Syathibi mengatakan dibuat hukum hanyalah untuk kemaslahatan hamba
di dunia dan di akhirat. Mu’tazilah sepakat bahwa hukum-hukum Allah diillatkan dengan
keharusan memelihara kemaslahatan hamba. Hasbi Ash-Shiddieqy, Filsafat Hukum… , hal.
80 .
17 Fathurrahman Djamil, Filsafat…,hal. 154.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


173
Irwansyah

dan daf’ul i’tidā-i ‘anil muslimin wa bilādihim.18Jadi, jihad yang terlihat berat
toh juga mempunyai makna yang tinggi bagi kehidupan manusia. Karena
dengannya agama dan jiwa akan terjamin dan terpelihara.

Izzuddin Ibn Abdi Salam membagi maslahat kepada tiga tingkatan; maslahat
yang utama, kurang utama, dan pertengahan. Yang utama adalah maslahat
yang menolak segala kerusakan yang paling buruk, dan mendatangkan
maslahatnya yang paling kuat. Bahagian ini wajib untuk dijalankan.19 Ada
pun yang kurang utama dan pertengahan ia menyebutnya dengan perbuatan
yang sunat dan mubah untuk dikerjakan.

Salam menambahkan bahwa dalam hal-hal yang dilarang, tujuan utama adalah
menolak kefasadan dan mencegah kemudharatan. Apabila kefasadatannya
besar maka wajib ditinggalkan. Kurang dari itu dapat dimasukkan dalam
makruh. Sebagi contoh, keharaman zina karena akan sangat membahayakan,
maka wajib ditinggalkan. Dan perbuatan ini tentulah lebih tinggi dari pada
keharaman memeluk dan mencium, mungkin perbuatan terakhir tidak
sebarat yang dipengaruhi oleh zina, walaupun kedua-duanya haram.20

Prinsip lain yang ditetapkan dalam hukum Islam mencegah kemudharatan


bagi umat manusia. Sebenarnya, prinsip ini perluasan dari konsep maslahah
yang dijelaskan di atas. Namun, untuk lebih jelas dipandang perlu untuk
dijelaskan secara terperinci, sehingga prinsip utama dari hukum Islam
dapat dipahami lebih mendalam. Perlu dipahami bahwa kadang-kadang
aturan yang ditetapkan hukum syara’ memberi kesulitan bagi mukallaf
untuk mengamalkannya. Kondisi ini oleh syara’ membolehkan mencari jalan
yang lain, yang memberi kebaikan bagi manusia. Inilah yang dinamakan
dengan keadaaan dharurat. Keadaan ini oleh syara’ memberi aturan baru
yang dinamakan dengan rukhsah. Beberapa kaidah akan dijadikan dasar
berkaitan dengan penjelasan ini; (keadaan dharurat
membolehkan yang terlarang), demikian juga

18 Hasbi Ash-Shiddieqy, Filsafat…, hal 149.


19 Ibid., hal. 192.
20 Hasbi Ash-Shiddieqy, Filsafat…, hal. 194-195 .

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


174
HUKUM DHARŪRIYYAT, HÃJIYÃT DAN TAHSINIYÃT DALAM PANDANGAN SYARI’AH

(keadaan dharurat mewajibkan kita mengerjakan yang terlarang), dan


(kemudharatan yang besar ditolak dengan
mengerjakan kemedharatan yang kecil).

3. Pengelompokan Hukum Kepada Dharūrī, Hājī, dan Tahsinī


a. Pengertian Dharūrī, Hājī, dan Tahsinī
Apa bila kita membaca literatur yang membahas tentang maqāsid al-tasyrī’,
maka istilah dharūrī, hājī, dan tahsinī dapat kita temukan di dalamnya,
dan disebut sebagai tataran pembebanan hukum dalam pensyariatannya.
Jadi, istilah yang tiga ini merupakan term yang digunakan untuk melihat
tingkatan pensyariatan hukum yang disampaikan oleh syara’. Disebutkan
hukum adakala bersifat dharūrī, (pokok), hājī (skunder) dan tahsinī (tersier,
sebuah istilah yang dipinjam dari ilmu hukum). Untuk lebih lengkapnya,
pengertian ketiga istilah itu akan dijelaskan berikut ini.

Dharūrī adalah segala sesuatu yang harus ada untuk tegaknya kehidupan
manusia, baik diniyah maupun dunyawiyah, dalam arti apabila dharuri
itu tidak terwujud, maka cederalah kehidupan manusia di dunia ini dan
hilanglah kenikmatan serta wajiblah atasnya azab yang pedih di akhirat.
Jadi, unsur yang keberadaanya sebagai pokok bagi keberadaan agama
dan kehidupan manusia, menjadi bagian dari dharūri. Demikian juga,
persoalan yang memungkinkan hancurnya agama dan kehidupannya,
maka memelihara keduanya dari gangguan menjadi bagian darūri juga.21

Pengertian tersebut mengisyarahkan bahwa dharūri dapat dilihat


dari dua faktor: Pertama, mengwujudkan segala yang mengokohkan
perwujudannya, yakni yang meneguhkan sendi-sendinya dan
mengokohkan fondasi-fondasinya, dengan memelihara dari
keeksistensinya.

Kedua, mengerjakan segala sesuatu yang bersifat menolak kesadaran


yang mungkin atau diduga menimpa pada unsur pokok. Artinya

21 Abu Ishaq Al-Syatibi, Muwafaqat Fi Usul al-Syari’ah, jilid 2, (Qahirah: Maktabah


Taufiqaiyah, 2003), hal. 6.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


175
Irwansyah

menolak segala yang terjadi atau dikhawatirkan akan merusak dengan


sebab terjadinya sesuatu. Hal itu ibarat memelihara dari segala ketiadaan
(menghindari segala hal yang memberi efek hilang atau musnahnya
sendi-sendi sebagai fondasi itu).22

Adapun hājī adalah segala yang dihajatkan masyarakat untuk


menghindarkan masyaqah, dan menghilangkan kesulitan. Namun,
apabila suatu hajiyat ini tidak terwujud, kehidupan manusia tidak
merusak, hanya saja menimbulkan kekurangan dan kesempitan an sich.
Hājī ini berlaku dalam bidang ibadah, bidang adat, bidang mu’amalat,
dan jinayat.23 Ada juga yang mengartikan hājī dengan sesuatu yang
mempengaruhi pada yang pokok, sehingga kesulitan (masyaqqah) dan
kepayahan (haraj) akan terhindari. Kedua makna itu intinya sama, yakni
menghindari kesulitan dalam menjaga yang pokok. Secara sederhana
dapat dikatakan, dengan adanya hājiyāt perbuatan yang dharūri akan
lebih sempurna.

Sedangkan tahsinī diartikan dengan sesuatu yang menjadikan perbuatan


yang kedua sebelumnya; dharuri dan tahsinī lebih baik, dan pantas yang
oleh adat kebiasaan dipandang baik, yang kesemuanya dicakup dalam
bagian makarimul akhlak.24 Umumnya tingkatan tahsinī dikelompokkan
dalam sisi akhlakul karīmah.25 Penulis memandang, akhlakul karīmah di sini
tidak saja bersifat fertikal, namun dalam hubungan horizontal akhlakul
karīmah juga harus diaplikasikan. Dan term ini nampaknya semakna
dengan istilah ihsān yang disebut dalam dialog jibril dengan Nabi saw.
ketika ditanya ma huwa islām, īmān, dan ihsān.

Dengan bahasa lebih sederhana, ketiga istilah di atas dapat disebutkan


bahwa, dharuri dimaksudkan untuk memelihara lima unsur pokok;
agama, akal, jiwa, harta dan keturunan. Hājī dimaksudkan untuk

22 Hasbi Ash-Shiddieqy, Filsafat…, hal. 187.


23 Hasbi Ash-Shiddieqy, Filsafat…, hal. 190.
24 Hasbi Ash-Shiddieqy, Filsafat…, hal. 191.
25 Hasbi Ash-Shiddieqy, Filsafat…, hal. 8-9.

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


176
HUKUM DHARŪRIYYAT, HÃJIYÃT DAN TAHSINIYÃT DALAM PANDANGAN SYARI’AH

menghilangkan kesulitan atau menjadikan pemeliharaan terhadap lima


unsur pokok menjadi lebih baik lagi. dan tahsini dimaksudkan agar
manusia dapat melakukan yang terbaik dengan cara (kaifiyāt) yang mulia
untuk penyempurnaan pemeliharaan lima unsur pokok .26

b. Pengelompokan Hukum (dharuri, hājī dan tahsinī)
Di atas telah disebutkan bahwa hukum syara’ merupakan aturan yang
mengandung tujuan dan maksud mensejahterakan umat manusia dari
segala kebutuhan yang dikehendaki. Hukum Islam tidak menginginkan
umat manusia berada dalam kemudharatan. Namun Islam menginginkan,
mendorong dan mengarahkan agar semua perilaku manusia kepada
sesuatu yang bermakna, sehingga memperoleh hasil yang berdaya guna
bagi dirinya dan masyarakat.27 Faktor kemaslahatan merupakan konsep
dasar dalam pensyariatan hukum Allah. Dan dalam pensyariatan hukum-
hukumnya tidak terlepas dari klasifikasi tiga tingkatan; yaitu dharuri, hājī
dan tahsinī.28

Secara metodologi pengelompokan tiga tingkatan itu didasarkan pada


‘illat hukum yang dikandung dalam berbagai dalil nash. Akan tetapi
penjelasan nash terhadap konsep ini bersifat implisit, dan bukan ekplisit.
Karena itu, usaha ulama menjadi keharusan dan hasil yang dikemukakan
dapat dibenarkan secara logis.29

Kajian terhadap ‘illat dalam mencari nilai dasar pembebanan hukum


sehingga dapat dikelompokkan dalam tiga tingkatan; dharuri, haji, dan
tahsini, mempunyai relevansi dengan prinsip maslahah yang dikandung
dalam berbagai penetapan hukum. Bahkan dengan faktor maslahah itu
kadang-kadang disebut sebagai acuan pengelompokan ketiga bagian itu.

26 Asafri jaya bakri, Konsep Maqasid Syariah Menurut Al-Syatibi, (Jakarta:RajaGrafindo


Persada, 1996), hal. 72.
27 Abdullah Ahmed An-Na’im, Dekonsruksi Syari’ah, terj.Ahmad Suaedi dan Amruddin
al-Rany, (Yogyakarta: LKIS, 2004), hal. 249
28 Hasbi Ash-Shiddieqy, Filsafat…, hal. 186.
29 Syaikh al-Said Muhammad al-Thahir bin ‘Asyur, Maqāsid al-Syarī’ah al-Islāmiyyah,
(Tunis:: Maktabah al-Istiqamah, t.t.), hal. 12.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


177
Irwansyah

Selanjutnya, berbagai hukum di dalamnya mengandung kemaslahatan,


dan atas dasar maslahah itu pula pensyari’atan diwajibkan. Untuk lebih
rinci penjelasan tentang kemaslahatan berdasarkan pada aspek yang
lima yang oleh agama menjadikannya sebagai pokok yang harus selalu
dipelihara adalah sebagai berikut:
a. Memelihara agama
1. Dharūri. Sesuai makna yang dimiliki dharuri seperti disebutkan
di atas, maka memelihara agama pada peringkat dharuri dapat
diartikan dengan memelihara dan melaksanakan kewajiban
keagamaan yang dipandanng sebagai bagian primer dari
perbuatan agama, seperti melaksanakan shalat lima waktu.
Kalau shalat itu diabaikan, maka akan terancamlah eksistensi
agama.

Berkaitan pemeliharaan agama pada tingkat dharuri terbagi


atas dua bentuk; pertama, abstrak, seperti iman kepada Allah
dan hari kiamat, kedua kongkret, seperti diperitah berjihad,
orang murtad harus diperang, dan berbagai perbuatan lainnya
yang pokok dalam agama.30
2. Hājī. Perbuatan hukum yang menjadi bagi haji adalah
melaksanakan ketentuan agama dengan maksud menghindari
kesulitan, seperti melaksanakan shalat jamak dan qasar
bagi orang yang sedang bepergian. Kalau ketentuan ini
tidak dilaksanakan maka tidak akan mengancam eksistensi
agama, melainkan hanya akan mepersulit bagi orang yang
melakukannya.
3. Tahsinī. Tahsinī pada agama yaitu mengikuti petunjuk
agama guna menjunjung tinggi martabat manusia, sekaligus
melengkapi pelaksanaan kewajiban terhadap Tuhan. Seperti
bersedekah kepada orang lain atau lembaga tertentu yang
dipandang sebagai lembaga sosial. Dalam hal ini sedekah
akan menjadikan agama lebih indah

30 Yusuf Hamid al-‘Alim, Al-Maqāsid al-‘Ãmmah li Syarī’ati Islam, (Riyadh, Al-Dar al-
‘Alamiyah, 1994), hal.248.

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


178
HUKUM DHARŪRIYYAT, HÃJIYÃT DAN TAHSINIYÃT DALAM PANDANGAN SYARI’AH

b. Memelihara jiwa31
1. Dharūri. Seperti memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan
untuk mempertahankan hidup. Kalau kebutuhan pokok ini
diabaikan, maka akan berakibat terancamnya eksistensi jiwa
manusia.
2. Hājī. Seperti diperbolehkan berburu binatang untuk
menikmati makanan yang lezat dan halal. Kalau kegiatan ini
diabaikan , maka tidak akan mengancam eksistensi manusia,
melaikan hanya mempersulit hidupnya.
3. Tahsinī. Seperti ditetapkannya tata cara makan dan minum.
Kegiatan ini hanya berhubungan dengan kesopanan dan etika,
sama sekali tidak akan mengancam eksistensi jiwa manusia,
ataupun mempersulit kehidupan seseorang.

c. Memelihara akal
1. Dharūri. Seperti diharamkannya minuman khamr. Bahwasanya
jenis minuman khamr berpeluang besar efeknya akal manusia
menjadi rusak.
2. Hājī. Seperti dianjurkannya menuntut ilmu pengetahuan,
karena ilmu pengetahuan yang dimiliki seseorang akan
mempermudah dirinya dalam pemeliharaan akal.
3. Tahsinī. Seperti menghindarkan diri dari menghayal atau
mendengarkan sesuatu yang tidak berfaedah

d. Memelihara Keturunan
1. Daruri. Seperti disyariatkannya nikah dan dilarang berzina.
Di mana perkawinan yang didasar lewat nikah akan
menunjukkan kejelasan keturunan seseorang.
2. Hājī. Seperti ditetapkannya ketentuan menyebutkan mahar
bagi suami pada waktu akad nikah dan diberikan hak talak

31 Makna ketiga tingkatan Darūrī, Hājī, dan Tahsinī pada jiwa, akal, keturunan, dan harta
tidak disebutkan lagi, karena makna keempat bagian itu dapat diikuti dari pengertian yang
diberikan dari penjelasan pemeliharaan agama. Makna yang diberikan dikaitkan sesuai
dengan bagian masing-masing. Selanjutnya, penjelasan empat bagian berikut ini diawali
dengan contohnya.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


179
Irwansyah

kepadanya.
3. Tahsinī. Contoh Tahsinī seperti disyariatkannya walimah dalam
perkawinan. Hal ini dilakukan dalam rangka melengkapi
kegiatan perkawinan.

e. Memelihara Harta
1. Dharūri. Ialah sebuah ketentuan tentang tata cara pemilikan
harta dan larangan mengambil harta orang lain dengan cara
yang tidak sah.
2. Hājī. Seperti syari’at jual beli dengan cara salam
3. Tahsinī. Seperti ketentuan tentang menghindarkan diri dari
pengecohan dan penipuan. Hal ini erat kaitannya dengan
etika bermuamalah atau etika bisnis.32

4. Pengutamaan dari Lima Aspek Ketika Kontradiksi
Mengetahui urutan peringkat maslahat di atas menjadi penting artinya,
apabila dihubungkan dengan skala prioritas penerapannya, ketika maslahat
yang satu berbenturan dengan kemaslahatan yang lain. Dalam hal ini tentu
peringkat dharuri harus didahulukan daripada peringkat haji dan tahsini.
Ketentuan ini menunjukkan bahwa dibenarkan mengabaikan hal-hal yang
termasuk dalam peringkat kedua dan ketiga, bila mana kemaslahatan yang
masuk peringkat pertama terancam eksistensinya.

Misalnya, seseorang diwajibkan untuk memenuhi kebutuhan pokok dengan


untuk memelihara eksistensi jiwa. Makanan yang dimaksud harus makanan
yang halal. Manakala pada suatu saat ia tidak mendapatkan makanan yang
halal, pada hal ia akan mati kalau tidak makan, maka dalam kondisi tersebut
ia dibolehkan memakan makanan yang diharamkan demi menjaga eksistensi
jiwa.

Makan dalam hal ini termasuk dalam menjaga jiwa dalam peringkat darūri,
sedangkan makanan yang halal termasuk memelihara jiwa dalam peringkat
hājī. Jadi haruslah lebih didahulukan memelihara jiwa dalam peringkat

32 Fathurrahman Djamil, Filsafat…, hal. 128-133.

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


180
HUKUM DHARŪRIYYAT, HÃJIYÃT DAN TAHSINIYÃT DALAM PANDANGAN SYARI’AH

darūri daripada hājīi. Begitu juga halnya ketika peringkat tahsini berbenturan
dengan peringkat haji, maka peringkat haji harus didahulukan daripada
peringkat tahsinī.

Bila terjadi kesamaan pada tingkatan yang sama, seperti darūri misalnya,
maka skala prioritas didasarkan pada urutan yang sudah baku, yakni agama
harus didahulukan daripada jiwa, dan jiwa harus didahulukan daripada
akal, dan begitu seterusnya. Namun, di antara kelima unsur itu, melihara
jiwa merupakan unsur yang sentral dalam kaitannya dengan kemaslahatan
yang bersifat duniawi. Karena itu dalam kasus tertentu memelihara jiwa
dapat didahulukan daripada memelihara keyakinan. (QS. An-Nahl: 106).33
Dan demikianlah seterusnya dari urutan lima yang diperioritaskan.

C. Penutup
Hukum Islam dibebankan (khithab) kepada mukallaf dengan pertimbangan
yang logis dan terikat dengan nilai keistimewaan yang tinggi. Meskipun
hukum yang ditetapkan syara’ diperintahkan untuk melaksanakannya, tapi
ternyata mempunyai tingkatan-tingkatan yang berbeda. Para ahli hukum
Islam menyebutkan, paling tidak ada tiga tingkatan hukum itu dibebankan
kepada setiap umat Islam untuk diamalkan, yaitu; Darūrī, Hājī, dan Tahsinī.
Ketiga tingkatan ini erat kaitannya dengan lima aspek pokok yang oleh
agama diperintahkan untuk selalu dijaga dan dipelihara, yaitu; agama, jiwa,
akal, keturunan dan harta.

Yang dimaksud dengan daruri adalah segala perbuatan hukum yang sifatnya
primer (pokok) yang berhubungan dengan segala aspek yang lima. Artinya,
dengan mengerjakan kelima aspek tersebut maka seseorang akan menjadi
terpelihara, sebaliknya dengan meninggalkan lima aspek tersebut maka akan
menjadi binasa.

Adapun yang dimaksud dengan Hājī adalah perbuatan hukum yang


keberadaannya menjadikan lima aspek yang diprioritas syara’ akan lebih baik,
dan dengan mengerjakannya kesulitan dan kecacatannya akan terhindari.

33 Fathurrahman Djamil, Filsafat…, hal. 133

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


181
Irwansyah

Sementara yang terakhir yaitu Tahsinī. Hukum yang masuk dalam kelompok
tahsinī merupakan hukum yang membuat lima aspek tadi akan lebih indah.
Di mana dengan perbuatan itu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta akan
lebih baik, dan terbentuk lebih ihsān (kelihatan indah diperhatikan.

Berbagai hukum yang disyariatkan atau yang ditetapkan syara’ akan


dikelompokkan dalam tiga tingkatan yang disebutkan. Pengelompokkan ini
ditunjukkan oleh faktor yang mempengaruhi secara primer (pokok), ataupun
sekunder.

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


182
HUKUM DHARŪRIYYAT, HÃJIYÃT DAN TAHSINIYÃT DALAM PANDANGAN SYARI’AH

DAFTAR PUSTAKA

Al-Na’im, Abdullah Ahmad. Dekonsruksi Syari’ah, (terj), Ahmad Suaedi dan


Amiruddin Al-Rany. Yogyakarta: LKIS, 2004.

Al-Khatib, ‘Abdul al-Karīm. Ijtihād, terj.Ach. Maimun Syamsuddin dan Abdul


Wahid Hasan. Tanggerang: Gaya Media Pratama, 2005.

Al-Syatibi, Abi Ishaq. Al-Muwāfaqāt Fī Ushūl al-Syarī’ah. Jilid 2, Kairo:


Maktabah Taufiqiyah, 2003.

A. Fyzee, Asaf A. Pokok-Pokok Hukum Islam. terj. Arifin Bey. Jakarta: Tintamas,
1965.

Bakri, Asafri Jaya. Konsep Maqāsid al-Syrī’ah Menurut Al-Syātibī. Jakarta:


RajaGrafindo Persada,1996.

Fathurrahman Djamil. Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos, 1997

Hasbi Ash-Shiddieqy. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1993.

J.N.d Anderson. Hukum Islam di Dunia Modern. terj. Machnun Husein.


Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1994.

Baltaji, Muhammad. Metodologi Ijtihad ‘Umar bin Khattāb, terj. Masturi Irham.
Jakarta, Khalifah, 2005.

Salim ’Awa Muhammad. Fī al-Ushūl al-Nidhām al-Jinā’I al-Islami. Kairo: Dār


al-Ma’ārif, 1983.

Ramadhan, Sayyid. Keunikan dan Keistimewaan Hukum Islam. Terj. Badri Saleh.
Jakarta: Firdaus, 1991.

Satjipto Rahardjo. Hukum dan Masyarakat. Bandung: Aksara, 1979.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


183
Irwansyah

Bin ‘Asyur, al-Said Muhammad al-Thahir. Maqāsid al-Syarī’ah al-Islāamiyah.


Tunis: Maktabah al-Istiqāmah, t.t.

Al-‘Ãlim, Yusuf al-Hamid. Al-Maqasid al-‘Ãmmah li al-Syarī’at al- Islāmi.


Riyadh: Al-Dār al-‘Alāmiyah, 1994.

Al-Qaradawi, Yusuf. Pengantar Kajian Islam. Terj. Setiawan Budi Utomo.


Jakarta: Pustaka al-Kautsar,1996

--------------------. Syariat Islam Ditentang Zama. , Terj. Abu Zaki. Surabaya:


Pustaka Progresif, 1993.

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


184
KONSEP PERLINDUNGAN KONSUMEN
DALAM MEMPEROLEH MAKANAN
MENURUT ISLAM

Asmawati
Ketua II Sekolah Tinggi Agama Islam Teungku Dirundeng Meulaboh, Alumnus Universitas
Kebangsaan Malaysia (UKM), Tahun 2003.

Abstract

The protection of consumer toward variety of product especially the food


in Islam is the obligation that must be paid attention, at least there are three
element related to the case, namely: producer, trader and consumer him/
herself. The obligation of consumer is to produce the halal food and save to be
consumed as well not destroy the environment. The second, trader or vendor.
He/She is considered as contributor of producer. The commodity should
good condition, as well the transaction should be conducted in trust. So the
consumer feel not loss after consuming the food. The third is the consumer.
As decider, the consumer should force the producen to produce the good
food based on the will of consumer, besides not to trespass the rule of the
government.

Key words: Perlindungan, Konsumen dan Makanan


Asmawati

A. Pendahuluan
Salah satu ciri pembangunan sesuatu negara adalah kemajuan dalam bidang
ekonomi. Seiring dengan perkembangan dunia, bidang ini memainkan peranan
yang cukup strategis bagi terwujudnya kemakmuran dan kesejahteraan
masyarakat. Perbincangan mengenai ekonomi selalu dihadapkan dengan
berbagai persoalan pemenuhan kepentingan-kepentingan dan keinginan
masyarakat yang sifatnya tidak terbatas dan beraneka ragam. Dengan
meningkatnya kebutuhan masyarakat (yang berupa materi) sebagai ekses
dari perkembangan sistem ekonomi dunia, telah mendorong semua negara
untuk selalu mengawal setiap aktivitas negaranya agar dapat berjalan
dengan baik dan lancar.

Berkembangnya sistem ekonomi kapitalis dan sosialis, yang melihat


keuntungan hanya dari aspek keuntungan materi semata, telah melahirkan
krisis nilai yang berkelanjutan, karena itu untuk mengatasi fenomena
tersebut Islam telah menawarkan sebuah sistem yang utuh dan lengkap yang
mengatur semua sisi kehidupan manusia termasuk juga sistem ekonomi.
Salah satu unsur perekonomian yang sangat dominan dalam masyarakat
adalah perniagaan. Perniagaan ini merupakan aktivitas ekonomi yang
melibatkan seluruh lapisan masyarakat baik dalam skala kecil maupun
dalam skala besar.

Dalam ajaran Islam terdapat bagian khusus yang membahas tentang masalah
kebendaan dan harta kekayaan yang di dalamnya mengatur tentang hukum
jual beli dan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengannya. Dan hal yang
paling penting dalam transaksi perniagaan Islam adalah halal dan baik, serta
kejujuran.

Prinsip kejujuran memiliki nilai tertinggi dalam praktek perdagangan,


sebagaimana telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. ketika berniaga di
Makkah dan Syam, dengan menunjukkan setiap kecacatan dan kekurangan
barang dagangannya, sehingga konsumen tidak merasa kecewa terhadap
apa yang telah mereka beli. Inilah salah satu etika perniagaan Islam yang
telah diajarkan oleh Rasulullah saw.

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


186
KONSEP PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM MEMPEROLEH MAKANAN MENURUT ISLAM

B. Pembahasan
1. Definisi dan Perilaku Konsumen
Istilah konsumen dalam bahasa Arab disebut dengan mustahlak (
)1 ia berasal dari kata halaka ( ) yang bererti habis, binasa, atau mati.2
Kemudian kata ini dalam pembahasan ekonomi Islam dimaknai dengan
barang yang habis digunakan, seperti makanan, minuman dan sejenisnya
3

Ramadhan Ali as-Sayid as-Syarnabasi mendefinisikan bahwa konsumen


adalah seseorang yang memerlukan suatu barang dengan cara membeli
dan bermaksud untuk menggunakan atau menghabiskannya.4Konsumen
juga di difinisikan sebagai orang yang membeli atau menyewa barang untuk
kegunaan atau keperluan sendiri atau seseorang yang membayar harga
barang atau perkhidmatan dan berhak mendapatkan apa yang dibayar, baik
dalam bentuk sejumlah kuantitas atau kualitas yang sebenarnya.5Secara
ekonomi konsumen merupakan orang yang membeli, mendapatkan dan
menggunakan semua jenis barang dan perkhidmatan dari pihak lain.6

Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa setiap orang yang
menggunakan barang dan perkhidmatan untuk keperluan sendiri baik secara
individu atau kolektif disebut sebagai konsumen. Penjual juga dikatakan
konsumen karena mereka juga menggunakan barang dan perkhidmatan
untuk memenuhi keperluan mereka. Oleh karena itu, konsumen secara
kualitas dan kuantitas merupakan bagian yang tak terpisahkan dan sangat
berpengaruh dalam kegiatan ekonomi dunia.

1 Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, edisi. III, (Beirut: Libraire du Liban,
1960), hal. 109
2 Rohi Baalbaki, al-Mawrid, (Beirut-Libnan: Dār al-‘Ilm lil-Malāyīn, 1997), hal. 1200.
3 Ibrahim Musthafa, Mu’jam Wasit, juz. I, (Istambul: Maktabah Islamiyah, 1999), hal. 991
4 Ramadhan Ali as-Syarbasi, Himāyah al-mustahlika…, hal. 25.
5 P.G Krishnan, Consumer Protection dalam Leelakrisnan P., Consumer Protection and
Legal Control, (Cochin: Eastern Book co. 1991), hal. 4
6 Mohammad Shariff Abu Samah, Undang-Undang dan Perlindungan Konsumen, (Kuala
Lumpur: Internasional La Book Service, 1999), hal. 7

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


187
Asmawati

Dari berbagai konsumen yang ada di dunia, konsumen muslim juga


merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam rangka pemenuhan
keperluan dan kebutuhan mereka. Namun bagi setiap muslim pemenuhan
kebutuhan tidaklah dapat digunakan sekehendak hatinya, namun haruslah
berdasarkan ketetapan dan ketentuan Allah dan Rasulnya. Yusuf al-Qaradawi
menekankan bahawa salah satu akhlak yang sangat fundamental dalam
transaksi ekonomi, baik dalam memilih dan menggunakan barang, secara
individu maupun kolektif adalah dengan berpegang teguh pada apa yang
dihalalkan oleh Allah Swt. dan tidak melampui batas.7

Muhammad Nejatullah Siddiqi menambahkan bahwa manusia dilahirkan


dengan berbagai keperluan yang sifatnya tidak terbatas. Semakin baik
keperluan itu dapat dipenuhi, semakin baik pula kesehatan dan kualitas
dirinya, selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai moral dan spiritual.
Islam memberikan kesempatan untuk melakukan usaha dalam bentuk apa
pun dan membolehkan untuk memperoleh keuntungan-keuntungan secara
material, namun perlu digaris bawahi bahwa semua usaha itu haruslah
mengandung makna ibadah, artinya bahwa Islam tidak hanya melihat
dari aspek ekonomi semata, namun dalam setiap sisi kehidupan manusia
termasuk dalam transaksi ekonomi juga mengandung makna ibadah.8

Dengan demikian usaha untuk memenuhi keperluan hidup, merupakan


formulasi untuk memperolehi kemudahan hidup dan ibadah, bukan
hanya sebatas untk memenuhi secara material. Dan kemajuan ekonomi
yang baik tidak hanya dilihat pada peningkatan jumlah barang saja, tetapi
harus dibarengi dengan moral dan rasa tanggungjawab yang tinggi yang
berdasarkan pada ketentuan syari’ah, baik dalam berusaha maupun dalam
menggunakan hasilnya, artinya bahwa dalam memenuhi kebutuhannya
seorang konsumen muslim haruslah selalu dikontrol dan dibatasi oleh nilai-
nilai keimanan.

7 Yusuf al-Qardawi, Dauri al-qiyāmi wa al-akhlak fi al-iqtishādi al-islāmī, hal. 159


8 Muhammad Nejatullah Siddiqi, Some Aspects of the Islamic Economy, (Delhi: Markazi
Maktabah Islami, 1972), hal.17-19

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


188
KONSEP PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM MEMPEROLEH MAKANAN MENURUT ISLAM

2. Penggunaan dan Perlindungan Konsumen


Masalah penggunaan muncul seiring dengan lahirnya manusia ke muka
bumi. Ia merupakan permasalahan yang asas dalam kehidupan. Bahkan
keluarnya Adam dari surga selanjutnya turun ke bumi adalah rencana Allah,
agar Adam dapat memakmurkan bumi dan melangsungkan kehidupannya.
Adam dan anak cucunya bekerja keras merubah bumi agar menghasilkan
sesuatu untuk memenuhi keperluan hidup.9

Sementara makna penggunaan sendiri menurut Mohammad Hamdan Hj


Adnan dapat dimaknai dengan dua makna: Pertama. “Penggunaan adalah
sesuatu usaha untuk menyamakan kedudukan pembeli dan penjual. Konsumen
ingin mengetahui apa yang mereka beli, apa yang mereka makan, berapa
lama barang itu dapat disimpan, apakah barang tersebut dapat digunakan
dan apakah kalau digunakan tidak mengganggu alam sekitarnya.” Kedua.
Penggunaan adalah apa yang dikehendaki oleh penjual untuk memahami
dan mengamalkan nilai-nilai agama dalam perniagaannya, supaya konsumen
merasa tentram dan puas melakukan transaksi dengannya.10

Virginia Kanuer menambahkan, “Penjelasan suatu produk tidak boleh


lebih dan tidak boleh kurang, Ia merupakan penjelasan yang kongkrit
dan nyata, serta memberikan kepada konsumen sebagaimana yang telah
dijanjikan, sehingga masyarakat dan konsumen dapat memperoleh barang
yang sempurna dan tidak cacat. Di samping itu bahwa barang yang dijual
itu harus mempertimbangkan akan keselamatan dan kesehatan, baik bagi
ekologi maupun alam sekitarnya.”11

Dari dua penjelasan di atas dapatlah kita pahami bahwa masalah penggunaan
berkaitan erat dengan sikap penjual dan pelaku ekonomi itu sendiri dalam
memenuhi kebutuhan-kebutuhan konsumen. Artinya bahwa penjual
haruslah memberikan pelayanan terbaik kepada konsumen-konsumennya,

9 Yusuf al-Qardawi, Daūr al-Qiyām wa al-Akhlāk fi al-Iqtishādi al-Islamiy, hal. 140


10 Mohd. Hamdan Hj. Adnan, Kekonsumenan, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka,
1994), hal. 3
11 Ibid.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


189
Asmawati

dan juga produk yang dijual itu haruslah memberikan keselamatan dan
berdampak sehat baik secara fisik maupun mental, di samping juga tidak
merusak alam sekitarnya.

3. Hak-Hak Konsumen
Berbicar mengenai konsumen, tentu tidak terlepas juga dari penjual, kedua-
duanya memiliki kepentingan masing-masing dan memiliki hak-hak yang
sama. Hubungan antara penjual dan konsumen merupakan interaksi sosial
dalam batasan sebuah transaksi perniagaan yang di dalamnya terdapat hak
dan kewajiban antara satu dengan yang lainnya. Ini artinya dalam sebuah
transaksi ekonomi atau perniagaan, setiap konsumen mempunyai hak untuk
mendapatkan barang sesuai dengan apa yang diinginkan, sementara pihak
penjual berkewajiban dan bertanggungjawab untuk memenuhi hak dan
kepentingan konsumen yang dilayaninya.

Dalam Islam aturan-aturan yang berkaitan dengan perniagaan, ini termaktub


dalam etika perniagaan Islam. Dalam Alquran kata etika ini sering disebut
dengan ungkapan khuluq yang bermakna akhlak atau moral. Ketika kata etika
disebut dalam perniagaan Islam, maka yang tergambar adalah bagaimana
akhlak dan moral dalam sebuah perdagangan. Allah berfirman yang
artinya,“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta-harta di antara
kamu dengan jalan yang salah dan (janganlah) kamu membawa (urusan
hata) kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada
harta orang lain dengan jalan berdusta, sedangkan kamu mengetahuinya”.
(Qs. Al-Baqarah (2): 188)

Menurut M. Quraish Shihab kata “Di antara kamu” dalam ayat adalah harta
benda milik bersama dan Allah membaginya untuk semua manusia secara
adil dan bijaksana. Pembagian ini ditetapkan berdasarkan hukum dan etika
agar pencapaian dan pemanfaatannya tidak menimbulkan perselisihan dan
kerusakan. Ayat ini juga memberi hak dan kebebasan bagi semua pihak dalam
melakukan perniagaan, agar tetap memperhatikan hak-hak orang lain.12

12 Muhammad Quraish Shihab. Etika Bisnis Islam dalam Wawasan Alquran. Ulumul Quran,
jilid 3, 2007, hal. 4-9.

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


190
KONSEP PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM MEMPEROLEH MAKANAN MENURUT ISLAM

Sebagaimana hak-hak konsumen telah dipaparkan dalam syariat Islam, hak-


hak konsumen juga termaktub dalam deklarasi PBB yang telah diakui secara
universal oleh hampir semua negara di dunia. Hak-hak konsumen tersebut
adalah sebagai berikut :
a. Hak untuk mendapatkan keselamatan, dimana konsumen harus
dilindungi dari bahaya yang mengancam kesehatan dan keselamatan
jiwanya ketika mengkonsumsinya;
b. Hak untuk mendapatkan informasi, yaitu hak konsumen untuk
mendapatkan informasi yang jelas mengenai kegunaan barang-
barang dan cara perniagaannya;
c. Hak membuat pilihan, Yaitu hak yang diberikan kepada konsumen
untuk memilih barang-barang sesuai dengan harga yang patut dan
mutu yang memuaskan, setiap kali konsumen membeli barang-
barangnya;
d. Hak untuk menyuarakan pendapat, yaitu hak menyuarakan pendapat
apabila tidak puas hati terhadap barang yang ia peroleh atau tidak
mendapat layanan yang sewajarnya;
e. Hak untuk mendapatkan ganti rugi, yaitu hak konsumen untuk
mendapatkan ganti rugi yang disebabkan oleh kekeliruan pada
barang-barang yang bermutu rendah atau juga pada kualitas yang
tidak memuaskan;
f. Hak untuk mendapatkan keperluan yang asasi, yaitu hak konsumen
untuk mendapatkan barang yang menjadi kebutuhan asasi dalam
kehidupan seperti makanan, pakaian, perumahan, kesehatan, air
bersih dan lain-lain;
g. Hak untuk mendapatkan pendidikan konsumen, yaitu hak untuk
mendapatkan pendidikan konsumen supaya dapat bertindak dan
berperilaku sebagai konsumen yang baik;
h. Hak untuk mendapatkan alam sekitar yang sehat dan selamat yang
dapat memperbaiki mutu kehidupan. 13

Walaupun dalam deklarasi ini tidak menyebutkan hak-hak konsumen muslim

13 FOMCA. 1999. Hak-Hak Konsumen. (atas talian) http://www.fomca.org.my/hak.htm. (25


Maret 2002)

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


191
Asmawati

secara terperinci, akan tetapi hak-hak ini boleh kita pahami secara implisit
dalam hak memenuhi keperluan yang asasi. Dan pemenuhan keperluan
asasi bagi konsumen muslim mestilah sesuai dengan ajaran Islam, baik pada
makanan, pakaian, perumahan dan sebagainya.

4. Perlindungan Konsumen
Perlindungan konsumen atau merujuk pada usaha-usaha untuk
memberi perlindungan kepada konsumen berkaitan dengan hak-hak mereka
untuk mendapatkan barang di pasaran. Berkaitan dengan perlindungan
konsumen tentu juga tidak terlepas dari dunia perniagaan, termasuk etika
perniagaan yang melibatkan produsen, penjual dan konsumen.

Tidak ada definisi khusus berkaitan dengan perlindungan konsumen


dalam kitab-kitab mu’amalah. Namun sebagaimana yang telah dibicarakan
sebelumnya bahwa perniagaan dalam Islam terikait erat dengan norma-
norma atau etika perniagaan yang bersumber dari Alquran dan Sunnah.

Oleh karena itu, etika perniagaan yang menjadi panduan dalam perlindungan
konsumen dalam Islam dapat dijabarkan sebagai berikut:

a. Sebagai Produsen
Penjual mempunyai tanggungjawab terhadap kualitas barang dan akan
berdampak kepada konsumen dan masyarakat secara keseluruhan.
Berikut kode etik yang wajib diperhatikan oleh penjual dan produsen.

1. Menjalankan keadilan
Keadilan dapat dicapai melalui tindakan memproduksi suatu barang.
Barang yang diproduksi mestilah mengikut keperluan masyarakat.
Masyarakat diberi hak yang sama untuk menikmati barang yang
diproduksinya. Artinya produsen tidak boleh memperuntukkan suatu
barang hanya untuk kelompok tertentu saja, kerana sikap ini akan
membawa kepada perpecahan dan permusuhan dalam masyarakat.

Menurut M. Umer Chapra, keimanan yang dimiliki oleh seorang


muslim akan menanamkan kesadaran terhadap makna penting

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


192
KONSEP PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM MEMPEROLEH MAKANAN MENURUT ISLAM

sebuah persaudaraan dan keadilan sosial secara ekonomi sehingga


dapat mewujudkan kehidupan yang seimbang, adil dan aman.14

2. Memproduksi barang yang baik


Ini bermakna bahwa barang yang diproduksi harus sesuai dengan
ketentuan syara’. Prrodusen tidak boleh memproduksi barang-
barang yang akan membawa mudarat kepada konsumennya, baik
dari segi agama, moral, kesehatan dan keamanan.

Sejalan dengan ini, Muhammad Babili mengatakan bahwa: seruan


kepada konsumen barang yang baik mestilah diikuti dengan seruan
produksi barang yang baik. Seterusnya mendatangkan hasil dan harga
yang baik pula. Dengan demikian tidak dibenarkan memproduksi
barang-barang yang akan mendatangkan bencana kepada kesehatan
dan akhlak.15
3. Memberi kebajikan pada masyarakat
Tujuan produsen bukan saja mencari keuntungan yang maksimum
dari konsumen, tetapi produsen juga harus mempertimbangkan
kebajikan untuk masyarakat umum. Selama ini konsumen telah
memberi banyak sumbangan untuk kelangsungan produksi. Artinya
masyarakat (konsumen) telah memberi kepercayaan kepada produsen
untuk memproduksi barang keperluan mereka, tentu produsen
mendapat keuntungan yang banyak. Oleh karena itu selayaknya
produsen juga memperhatikan kebajikan mereka dengan membuka
kesempatan bagi peekerja.

b. Sebagai penjual atau penyalur


Walaupun penjual hanya menjadi perantara antara produsen dan
konsumen, sebenarnya penjual juga mempunyai tanggungjawab untuk
melindungi hak dan kepentingan konsumen yang dilayaninya. Berikut
beberapa prnsip yang wajib ada pada penjual muslim:

14 M. Umer Chapra, Islam and The Economic Challenge, (USA: The Islamic Foundation and the
International Institute of Islamic, 1992), hal. 7
15 Mahmud Muhammad Babili, Ekonomi dari kacamata Islam, (Terengganu: Yayasan Islam
Trengganu, 1988), hal. 136.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


193
Asmawati

1. Kejujuran
Perniagaan yang jujur ialah perniagaan yang selamat dari pada
tipu daya dan penyelewengan. Rasulullah saw., bersabda, “Seorang
muslim itu saudara muslim, tidak halal bagi seorang muslim menjual
kepada saudaranya satu jualan yang mempunyai aib kecuali dia
menjelaskannya kepadanya”.16

Berdasarkan prinsip ini, seorang penjual wajib menunjukkan


kecacatan dan kekurangan barang niaganya kepada calon konsumen
apabila memang ada kecacatan. Begitu pula dalam mempromosikan
barangnya. Penjual wajib mengatakan apa adanya berkaitan dengan
barang niaganya tanpa menutupi informasi yang sebenarnya, baik
kesehatannya, kehalalan, keamanan dan risikonya. Dengan berbuat
jujur akan menumbuhkan kepercayaan calon konsumen dan
konsumen tidak merasa kecewa di kemudian hari.

2. Ramah terhadap calon konsumen


Prinsip ini merujuk kepada prilaku lahiriyah yang menyangkut sopan
santun dan tata susila yang disebut norma etika.17 Dalam berniaga
juga ada etika tersendiri, misalnya melayani pelanggan dengan
santun, karena sikap ini akan menarik calon konsumen terhadap
barang niaganya.

3. Penawaran yang jujur


Kerana perniagaan berasaskan kerelaan antara kedua pihak, maka
penjual hendaklah menawarkan barang dengan harga yang sesuai.
Berkaitan dengan ini Rasulullah melarang al-Najasy yaitu mengajak
orang lain untuk menawar padahal yang bersangkutan tidak
bermaksud membeli, hanya sebagai cara menarik orang lain.

16 Al-Hafizh abi Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwani, Sunan Ibn Majah, Kitab al-Tijarah
Jilid 12, Bab. Man Bā’a ‘Aiban Fayubāyinihī , hal. 2246.
17 Norma etika adalah norma yang mengatur pola prilaku dan setiap lahiriyah manusia. Norma
ini berkaitan dengan tata cara dalam pergaulan sehari-hari. A. Sony Keraf, Etika Bisnia Tuntutan
dan Relevansinya, hlm.18.

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


194
KONSEP PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM MEMPEROLEH MAKANAN MENURUT ISLAM

18

“Bahawasanya Rasulullah saw., melarang jual beli najasy”.

4. Tidak memaksa pembeli dan tidak bersumpah


Meskipun cara ini memberi keuntungan dalam berniaga dan dapat
meyakinkan pembeli, tetapi keberkatannya akan dihilangkan. Sabda
Rasulullah saw.
19

”Jauhilah banyak bersumpah dalam jual beli kerena ia dapat


melariskan perniagaan namun dilenyapkan keberkatannya”.

5. Tegas dan adil dalam timbangan


Kejahatan yang sangat halus dan sering terjadi dalam pasaran ialah
kecurangan dalam timbangan dan sukatan. Allah amat memandang
berat masalah ini dan dijadikan pesan secara khusus bagi para
penjual, sebagaimana Firman Alla yang artinya, ”Hendaklah kamu
menyempurnakan timbangan, dan janganlah kamu menjadi golongan
yang merugikan orang lain. Dan timbanglah dengan neraca yang
betul timbangannya. Janganlah kamu mengurangi hak-hak orang
ramai, dan janganlah kamu merajalela membuat kerosakan di bumi”.
(Qs. Al-Syu’arā’ (26): 181-183)

Menurut Afzalur Rahman20 kata-kata “janganlah kamu mengurangi


hak-hak orang lain” menunjukkan suatu larangan yang tegas dan

18 Bukhari Muslim, Allu’luu wa al-Marjān, Kitab al-Buyu’ Jilid 21, Bab al-Tahrīm an-Najsy ,
Jilid 4, hal. 107.
19 Muslim Ibn al-Hajjaj, Shahih Muslim bi Syarhi al-Imam an-Nawawi, Kitab al-Buyuc (12), bab
al-Nahyi ’an al-Halaf fi al-Bayc (48), hal. 4102.
20 Afzalur Rahman, Economic Doctrines of Islam, Vol. II, Islamic Publication LTD, Lahore
(Pakistan), 1975, hal. 75-76

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


195
Asmawati

betapa jahat dan dhalimnya orang yang suka menipu dan menganiaya
hak orang lain. Dan Alquran menegaskan bahwa perbuatan yang
memperdaya orang lain sama dengan orang yang membuat kerusakan
di bumi.

Dengan demikian terbukti bahwa tidak tegas dan tidak adil dalam
timbangan dan sukatan akan menimbulkan keburukan dan
menghambat kemajuan ekonomi. Atas dasar ini pula, dapat kita
fahami bahwa korupsi, kesepakatan jahat (kolusi), dan nepotisme
dilarang dalam sesbuah negara, kerana akan ia menganiaya hak
orang lain, di samping juga akan menghambat kemajuan negara
dalam berbagai sektor.

6. Tidak menimbun barang dan monopoli


Usaha menimbun atau menahan barang dari pasaran adalah haram.
Kerana risiko dari tindakan ini mendatangkan gangguan sosial.
Keperluan manusia kepada makanan, ubat-ubatan, pakaian dan
sebagainya tidak boleh ditahan. Ia mutlak dan harus tersedia. Penjual
yang melakukan perbuatan ini digolongkan sebagai orang yang
mementingkan diri sendiri. Nabi bersabda saw.,
21

“Siapa yang melakukan penimbunan, ia dianggap bersalah”.

Al-Qaradawi menegaskan bahawa Islam tidak mengizinkan


sistem dan amalan yang mengacau sistem pasar bebas,22misalnya
dengan cara menimbun barang atau manipulasi dan memainkan
harga (kerana serakah).23Berbeda dengan pengontrolan harga,

21 Al-Hafiz ibn Abdullah Muhammad ibn al-Qazwani, Sunan Abu Daud, kitab at-Tijarah , Jilid
12, Bab al-Hukrah wa al-Jalb…, hal. 2154.
22 Sistem pasar dimana harga ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran di pasar
tanpa ada paksaan dari mana-mana pihak.
23 Yusuf al-Qardawi, al-Halal wa al-Haram fi al-Islam, (Kairo: Maktabah Wahbah, Kaherah,
1993), hal. 244-246.

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


196
KONSEP PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM MEMPEROLEH MAKANAN MENURUT ISLAM

Islam membenarkannya atas dasar kemaslahatan masyarakat serta


mencegah perbuatan serakah secara individu, contohnya penetapan
dan pengawalan harga yang dilakukan oleh pemerintah terhadap
makanan, obat-obatan, minyak dan sebagainya.

c. Konsumen
Konsumen yang cakap dalam Islam adalah konsumen yang dapat
menyeimbangkan antara keperluan dunia dan akhirat. Keseimbangan
ini akan mengajarnya untuk membelanjakan harta secukupnya, tidak
berlebih-lebihan dan pandai bersyukur.

Keperluan akan keseimbangan ditekankan Allah dengan menyebut


umat Islam sebagai “Ummat Wasata” (umat yang pertengahan) yaitu
umat yang cukup professional dalam mengatur keperluannya antara
dunia dan akhirat, jasmani dan rohani, akal dan sanubari, impian dan
kenyataan serta iman dan kekuasaan. Keperluan kepada harta dan
membelanjakannya bagi seorang muslim bukanlah sebuah tujuan
yang agung, tetapi ia hanya merupakan wasilah untuk mendapatkan
keridhaan Allah. Bahkan Islam sangat menganjurkan untuk saling
membantu kepada sesama. Allah berfirman, ”Hendaklah kamu saling
tolong menolong untuk membuat kebajikan dan bertaqwa, dan janganlah
kamu saling tolong menolong dalam melakukan dosa (ma’siat) dan
pencerobohan”. (Qs. Al-Maidah (5): 2.)

Kenyataan dewasa ini menunjukkan sebaliknya, dimana orang muslim


lebih suka bermu’amalah dengan non muslim. Walaupun secara agama
hal itu dapat dibenarkan, tetapi ia akan merugikan kekuatan ekonomi
umat Islam. Artinya bahwa uang yang dibelanjakan oleh umat Islam pada
peniaga non muslim akan memperkuat keadaan ekonomi non muslim,
sementara ekonomi umat Islam menjadi lemah dan terkebelakang. Oleh
kerena itu dorongan untuk bermua’amalah sesama Islam haruslah terus
digalakkan dalam hati setiap muslim, untuk meminimumkan penipuan
yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak memahami etika perniagaan.

Dari uraian di atas dapat kita pahami bahwa perlindungan konsumen

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


197
Asmawati

dalam Islam berdiri atas nilai-nilai etika perniagaan Islam yang diterapkan
oleh para peniaga. Ramadhan as-Syarnabasi mengatakan bahwa Islam
menuntut agar pelaku eknomi harus memahami etika perniagaan dalam
Islam, agar perniagaan dapat berjalan dengan dengan baik. Hal ini sejalan
dengan ungkapan Umar r.a: “ Tidak ada perniagaan di pasar kami kecuali
bagi orang yang memahami agamanya.”24Artinya bahwa produsen, penjual
dan pembeli wajib mengetahui dan menerapkan prinsip-prinsip perniagaan
yang telah digariskan dalam Alquran dan Sunnah agar masing-masing pihak
dapat mengetahui hak dan kewajiban masing-masing.

Dalam kontek kenegaraan, kesadaran para pelaku perniagaan akan tugas


dan kewajiban mereka saja tidaklah cukup, ia perlu kepada komponen-
komponen lainnya, yaitu aturan hukum yang dibuat oleh pemerintah yang
secara efektif praktis mempunyai kekuasaan untuk memaksa semua pihak
untuk menghormati dan menjaga hak dan kepentingan masing-masing
pihak.

Keterlibatan pemerintah dalam kegiatan perniagaan salah satu caranya


adalah dengan menciptakan kestabilan ekonomi negara. Pembuatan
undang-undang oleh pemerintah akan mengikat seluruh pelaku perniagaan,
dan kalau melanggar ketentuan tersebut, maka pemerintah mempunyai
wewenang untuk memberikan sangsi sesuai dengan pelanggaran yang
dilakukan. Dalam hal ini undang-undang berfungsi sebagai pengawal setiap
tindakan pelaku perniagaan, di samping juga bertujuan untuk melindungi
hak-hak konsumen dari hal-hal yang dapat merugikan baik yang bersifat
material maupun immaterial.

C. Penutup
Kebutuhan akan makanan merupakan kebutuhan yang paling asasi di antara
kebutuhan asai lainnya. Makanan merupakan kebutuhan pokok yang harus
dipenuhi setiap saat dan waktu, semua manusia berusaha dengan berbagai
cara untuk memnuhi kebutuhannya.

24 30 Ramadhan Ali as-Sayid as-Syarnabasi, Himāyah al-Mustahlik…, hal. 173-175.

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


198
KONSEP PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM MEMPEROLEH MAKANAN MENURUT ISLAM

Islam menginginkan agar dalam upaya memenuhi kebutuhan memiliki


aturan yang jelas, sehingga tidak ada yang saling terdhalimi dalam setiap
usahanya, oleh karena itu Islam menginginkan umatnya agar dalam
memenuhi kebutuhan harusah memperhatikan dua prinsip utama, yaitu
halal dan baik.

Dua prinsip inilah yang harus dijadikan landasan dalam memberikan


perlindungan kepada konsumen terhadap berbagai produk dan makanan
yang tersedia di hadapannya. Perlindungan konsumen dalam Islam adalah
suatu perlindungan yang di dasari atas nilai-nilai etika perniagaan yang
berlandaskan pada aturan-aturan Islam, baik ia sebagai produsen, penyalur
dan juga konsumen itu sendiri. Ketiga komponen ini haruslah berjalan
seimbang dan ketiganya saling berkaitan. Hal lain yang perlu diperhatikan
adalah adanya kebijakan penguasa, karena kesadaran para pelaku perniagaan
dan konsumen akan tugas dan kewajibannya tidaklah cukup. Ketiganya
tidak memiliki kekuatan dalam aplikasinya, sehingga perlu dibuat aturan
hukum sebagai landasan dalam operasionalnya, hanya pemerintahlah yang
mempunyai kekuasaan dalam memaksa semua pihak untuk menghormati
dan menjaga hak dan kepentingan masing-masing.

Demikianlah, empat komponen penting yang harus diperhatikan dalam


memberikan perlindungan konsumen terhadap suatu produk atau makanan
yang menjadi kebutuhan asasi manusia, terutama bagi seorang muslim. Umar
r.a berkata: “ Tidak ada perniagaan di pasar kami kecuali bagi orang yang
memahami agamanya.”25 Artinya bahwa produsen, penjual dan pembeli
wajib mengetahui dan menerapkan prinsip-prinsip perniagaan yang telah
digariskan dalam Al-quran dan Sunnah

25 30 Ramadan Ali as-Sayid as-Syarnabasi, Himāyah al-Mustahlik…, hal 173-175.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


199
Asmawati

DAFTAR PUSTAKA

Abu Samah, Mohammad Shariff. Undang-Undang dan Perlindungan Konsumen.


Kuala Lumpur: Internasional La Book Service, 1999.

Adnan, Mohd. Hamdan. Kekonsumenan. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan


Pustaka, 1994.

Al-Qardawi, Yusuf. al-Halal wa al-Haram fi al-Islam. Kairo: Maktabah al-


Wahbah. 1993.

__________. Dauri al-Qiyāmi wa al-Akhlak fi al-Iqtishādi al-Islāmī.

Babili, Mahmud Muhammad. Ekonomi dari kacamata Islam. Terengganu:


Yayasan Islam Trengganu, 1988.

Bukhari Muslim, Allu’luu wa al-Marjān, Kitab al-Buyu’. Jilid 21. Bab al-
Tahrīm al-Najsi. Tt.: tp, t.th..

Chapra, M. Umer. Islam and The Economic Challenge, The Islamic Foundation
and The International Institute of Islamic. USA: Thought, 1992.

FOMCA. 1999. Hak-Hak Konsumen. (atas talian) http://www.fomca.org.my/


hak.htm. 25 Maret 2002.

Ghifari, M. Fahim Khan dan Noor Muhammad. Shatibi’s Objektives of


Shari’ah and Some Implications for Consumer Theory, Abdul Hasan M. Shadeq
dan Aidit Ghazali (Editor) dalam Reading in Islamic Aconomic Thought.
Malaysia: Sdn Longman. Bhd, Selangor, 1992.

Ibn al-Hajjaj, Muslim. Shahih Muslim bi Syarhi al-Imam al-Nawawi, al-Buyu’.


Bab al-Nahyi ’an al-Halaf fi al-Bayyi’

Ibn al-Qazwani, Al-Hafiz ibn Abdullah Muhammad. Sunan Abu Daud, Bab.

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


200
KONSEP PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM MEMPEROLEH MAKANAN MENURUT ISLAM

Al-Tijārah. Jilid 12.

Ibn Yazid al-Qazwani, Al-Hafizh Abi Abdillah Muhammad. Sunan Ibn


Majah, Bab. Al-Tijārah. Jilid 12, dan Bab. Man Bā’a ‘Aiban Fayubāyinihī. Tt.:
tp, t.th..

M.A. Mannan, Islamic Economics Theory and Practice. Delhi: Idarah-I Adabiyat-I
1970.

Musthafa, Ibrahim. Mu’jam al- Wasith. Juz. I. Istambul: Maktabah Islamiyah,


1999.

P.G Krishnan, Consumer Protection dalam Leelakrisnan P., Consumer Protection


and Legal Control. Cochin: Eastern Book co. 1991.

Quraish Shihab, Muhammad. Etika Bisnis Islam dalam Wawasan Alquran.


’Ulumul Qur’an. Jilid 3, 2007.

Rahman, Afzalur. Economic Doctrines of Islam. Vol. II. Lahore Pakistan: Islamic
Publication LTD, 1975.

Rohi Balbaki. al-Mawrid. Beirut-Lubnan: Dār al-‘Ilm lil-Malāyīn, 1997.

Siddiqi, Muhammad Nejatullah. Some Aspects of The Islamic Economy. Delhi:


Markazi Maktabah Islami, 1972.

Wehr, Hans, A Dictionary of Modern Written Arabic, edisi. III. Beirut: Libraire
du Liban, 1960.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


201
At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009
202
PENGEMBANGAN MU’AMALAH
IQTISĀDIYYAH MODERN
(Prosperk Pengembangan Usaha Telepon Seluler
di Kota Meulaboh)

Syahril
Dosen Universitas Teuku Umar Meulaboh, dan Dosen Prodi Mu’amalah Sekolah Tinggi
Agama Islam Teungku Dirundeng Meulaboh

Abstract

Cellular phone considered as an important communication instrument in


the world. In Meulaboh especially, cellular phone used hugely after disaster
earthquake and tsunami that happened several years ago. it is more effective
as it is needless of the cable and wire so the communication here can be
pursued through this way. The writer will mentioned the dynamic aspect
of the development of cellular phone in Meulaboh even though it was as
the serious places in Aceh attacked by tsunami. Surely, it will be described
the urgent step that play the important role to develop the condition of
communication here through phone cellular.

Key words: Pengembangan, Mu'āmalah, Modern


Syahril

A. Pendahuluan
Perkembangan dunia dewasa ini yang sangat spektakuler, salah satu adalah
perkembangannya tehnologi informasi. Tehnologi informasi yang merupakan
sarana yang penting dalam pembangunan. Pembangunan suatu negara
atau daerah tidak dapat dilakukan dengan maksimal tanpa menggunakan
tehnologi.

Secara teoritis penggunaan tehnologi akan meningkatkan produksi dan


menekan biaya (efisiensi). Misalnya Negara Jepang yang merupakan salah
satu negara industri yang termaju di dunia. Walaupun Jepang secara luas
negara, sumber daya alam yang sangat terbatas tapi Jepang bisa menjadi
negara yang sangat mempengaruhi perekonomian dunia. Keunggulan
Jepang karena mereka memiliki sumber daya manusia yang tinggi sehingga
dapat menciptakan tehnologi yang canggih.

Perkembangan tehnologi informasi yang sangat spektakuler dewasa ini


adalah telepon seluler. Telepon seluler yang lebih dikenal dengan HP adalah
sarana telekomukasi yang sangat praktis, dimana telepon jenis ini tanpa ada
jaringan (kawat) seperti telepon rumah. Dengan demikian telepon jenis ini
sangat membantu dunia bisnis dengan semakin meningkatnya kapasitas
kerja yang super sibuk.

Bencana gempa dan tsunami di Kabupaten Aceh Barat yang menghancurkan


berbagai sarana dan prasarana yang ada salah satunya adalah sarana
telekomukasi. Kerusakan jaringan telepon yang sangat parah membutuhkan
biaya yang tinggi dan waktu yang panjang yang dibutuhkan untuk
membangun jaringan yang sudah rusak.

Maka dari itu menggambarkan bahwa di Kabupaten Aceh Barat merupakan


salah satu daerah yang terkena bencana gempa dan tsunami sangat
berpeluang dalam pengembangan usaha telepon seluler ini.

Kemudian dengan perkembangan penduduk Kabupaten Aceh Barat yang


semakin meningkat. Karena meningkatnya penduduk diasumsikan jumlah
konsumen terhadap pengguna telepon seluler juga meningkat. Pasca bencana

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


204
PENGEMBANGAN MU’AMALAH IQTISĀDIYYAH MODERN

gempa dan tsunami banyak NGO dan lembaga lain yang unit kerjanya di
Wilayah Kabupaten Aceh Barat dan Kabupaten sekitar.

B. Penjelasan Terminologi dan Landasan Teoritis


Untuk menganalisis problematika ini, perlu penulis uraikan beberapa terma
yang digunakan sebagai pijakan dan landasan penelitian yang dengan itu
dapat memberikan indikator-indikator penting dalam kaitannya dengan
pengembangan usaha phone cellular. Penjelasan istilah operasiona ini penting
dalam melihat tingkat fluktuasi dan dinamisasi usaha tersebut di tempat
yang telah ditentukan – dalam konteks ini kota Meulaboh.

1. Pengertian Pengembangan Usaha


Melalui Undang-undang No. 22 tentang otonomi dan Undang-undang No.
25 Tahun 1999 tentang pengembangan keuangan pusat dan daerah agar
sektor kedunia usahaan menjadi penggerak utama dalam ekonomi yang
efisen, berdaya guna dan mempunyai struktur yang makin kokoh.

Disamping pembangunan dunia usaha ditujukan untuk memperkokoh


struktur ekonomi daerah dan ekonomi nasional dengan keterkaitan yang kuat
sehingga mendukung antar sektor peningkatan daya tahan perekonomian
nasional, memperluasa lapangan kerja dan kesempatan berusaha yang
sekaligus mendorong berkembangnya sektor lain. Hal ini berarti bahwa
sektor-sektor usaha yang merupakan instrument yang harus dan mampu
mentransformasikan sektor-sektor lain seperti pertanian, perkebunan,
perhubungan, pariwasata dan usaha-usaha lainnya menjadi sektor yang
semakin produktif.

Menurut Assauri, mengatakan bahwa “Usaha adalah kumpulan dari


perusahaan yang memproduksikan barang yang berbeda-beda, usaha ini
meliputi perusahaan yang membutuhkan bahan mentah, baik bahan baku
maupun bahan yang daur ulang menjadi bahan baku yang siap diproses dan
dijadikan bahan jadi”1.

1 Assauri Sofyan, Manajemen Produksi, (Jakarta: FEUI, 1985), hal. 15.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


205
Syahril

Selanjutnya Winardi (1981 :18) mengatakan sebagai berikut,“Pembangunan


usaha termasuk didalamnya adalah suatu usaha produktif terutama dalam
bentuk barang atau perusahaan bertambah yang menyelenggarakan usaha
jasa, misalnya transportasi dan pembangunan yang mempergunakan tenaga
kerja. Pembangunan dunia usaha adalah bagian dan program jangka panjang
untuk mengubah struktur ekonomi yang terlalu berat sebelah kepada
produksi bahan manfaat dan hasil-hasil pertanian dan perkebunan kearah
ekonomi yang lebih seimbang dan serasi untuk melngkapi industri”.

Menurut Sastra Atmajaya2, perlu empat syarat pokok dalam suatu usaha
yaitu : Kaum buruh/tenaga kerja, Kapital atau modal, Tenaga organisasi atau
skill dan Bahan baku atau bahan mentah.

Di Indonesia sumberdaya alam belum dimanfaatkan sebagaimana mestinya


karena keterbatasan sumberdaya manusia yang mengelola, pemodalan untuk
membiayai segala kebutuhan suatu usaha.

2. Pengertian Studi Kelayakan


Menurut Suetrisno3 mengatakan bahwa studi kelayakan (feasibilitity study)
adalah suatu studi atau telah agar sesuatu yang didirikan dapat dilaksanakan
secara efektif dan efisien.

Kemudian menurut Yakob Ibrahim, studi kelayakan adalah bahan


pertimbangan dalam mengambil suatu keputusan, apakah menerima atau
menolak dari segala gagasan usaha/proyek yang direncanakan.4 Pengertian
layak dalam penilaian ini adalah kemungkinan dari gagasan usaha/proyek
yang akan dilaksanakan dari manfaat (benefit), baik dalam arti keuntungan
materi (financial benefit) maupun dalam arti non materi (social benefit).
Selanjutnya Saud Husnan mengatakan bahwa studi kelayakan adalah
penelitian tentang dapat tidaknya suatu proyek (biasanya merupakan

2 Sastra Admaja, Produktivitas Pekerja, (Jakarta: Aksara), hal. 231.


3 Suetrisno, Pengantar Studi Kelayakan Proyek, (Yogyakarta: BPFE, 1980), hal. 1.
4 Yakob Ibrahim, Studi Kelayakan Proyek, (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), hal. 1.

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


206
PENGEMBANGAN MU’AMALAH IQTISĀDIYYAH MODERN

proyekinvestasi) dilaksanakan dengan berhasil.5

Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa


studi kelayakan adalah suatu kajian atau telaah atau dengan kata lain
pertimbangan dalam pengambilan keputuasan suatu usaha/proyek dapat
dikembangkan atau dikerjakan, dengan melihat manfaat yang diberikan,
baik dalam arti financial benefit maupun social benefit.

Studi kelayakan dengan evalusi proyek mempunyai kesamaan dan


perbedaan. Pesamaan adalah sama-sama bertujuan menilai kelayakan
suatu gagasan usaha/proyek. Hasil dari penilaian ini merupakan bahan
pertimbangan bagi pengambilan keputusan untuk menerima atau menolak
usaha/proyek yang direncanakan. Perbedaannya adalah studi kelayakan
lebih mempertimbangkan keuntungan materi (financial benefit) daripada
manfaat sosial (social benefit), sedangkan evaluasi proyek sebaliknya, yaitu
lebih mementingkan social benefit daripada financial benefit.

Sedangkan faktor-faktor yang perlu dinilai dalam menyusun studi kelayakan


bisnis menurut Yakob Ibrahim menyangkut dengan beberapa aspek antara
lain : “Aspek marketing, aspek teknik produksi, aspek manajemen, aspek
lingkungan, dan aspek keuangan. Dengan demikian apabila gagasan usaha/
proyek yang telah dinyatakan dari segi ekonomi, dalam pelaksanaan jarang
mengalami kegagalan kecuali sebabkan oleh faktor-faktor uncontrolable
seperti banjir, terbakar, dan bencana alam lainnya yang di luar jangkauan
manusia”.6 Studi kelayakan yang disusun merupakan pedoman kerja,
baik dalam penanaman investasi, pengeluaran biaya, cara produksi, cara
melaksanakan pemasaran dari hasil produksi, dan cara dalam menentukan
jumlah tenaga kerja beserta jumlah pemimpin yang diperlukan. Layaknya
gagasan usaha/proyek dalam sebuah kelayakan bisnis, apabila kegiatan
usaha yang dijalankan berdasarkan kegiatan yang telah diatur dalam studi
kelayakan dan dalam keadaan ini tidak menjamin kegiatan usaha apabila
tidak dikerjakan selaras dengan kegiatan yang telah diatur dalam sebuah

5 Saud Husnan, Studi Kelayakan Proyek, (Yogyakarta: BPFE, 1984), hal. 3


6 Yakob Ibrahim, Kelayakan Proyek..., hal. 3.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


207
Syahril

studi kelayakan.

Dilihat dari evaluasi proyek sebenarnya tidak jauh berbeda dengan studi
kelayakan bisnis, bila studi kelayakan bisnis menilai kegiatan usaha yang
akan dikerjakan, sedangkan evaluasi proyek adalah salah satu kegiatan yang
menilai dan memilih dari bermacam-macam investasi yang mungkin untuk
dikembangkan sesuai kemampuan dari investasi yang dimiliki. Penilaian
yang dilakukan dengan studi kelayakan bisnis, seperti yang telah diuraikan
di atas orientasi lebih bersifat mikro dan penilaian yang dilakukan melalui
evaluasi proyek lebih bersifat makro.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas maka dapat diambil suatu intisarinya
adalah studi kelayakan ini bukan dimanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan
raksasa saja tetapi usaha kecilpun perlu memakai/mengembangkan suatu
usaha tidak memperhitungkan studi kelayakan usahanya maka tidak
ada kepastian apakah usaha tersebut menghasilkan benefit atau tidak.
Maka dari itu di zaman sekarang ini sangat perlu studi kelayakan dalam
mengembangkan suatu usaha.

3. Pengertian Pemasaran
Setiap hubungan antara individu atau antar organisasi yang melibatkan
suatu tukar menukar (transaksi) adalah pemasaran. Jadi intisari pemasaran
adalah traksaksi tukar-menukar yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
dan keinginan manusia. Akibat pemasaran terjadi setiap kali suatu unit social
mengadakan transaksi dengan unit social yang lain atau sesuatu yang bernilai.
Pemasaran mencakup semua kegiatan yang dirancang untuk memberikan
kemudahan dalam transaksi tersebut.

Di zaman yang penuh persaingan kompetitif, konsep dan pemakaian ilmu


pemasaran cendrung adaptif dan respontif. Tentu saja kebutuhan pemasaran
sekarang lebih mengarahkan kepada orientasi pasar dengan menekankan
pada kebutuhan dan keinginan pasar.

Batasan pengertian pemasaran telah banyak dikemukakan para ahli dalam


berbagai macam leteratur ilmiah khususnya dalam bidang Ilmu Manajemen

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


208
PENGEMBANGAN MU’AMALAH IQTISĀDIYYAH MODERN

Pemasaran atau Ilmu Sosial lainnya.

Pendapat yang terkenal antara lain dikemukan oleh Stanton yang mengatakan
bahwa pemasaran adalah suatu system total dari kegiatan bisnis yang
dirancang untuk merencanakan, menentukan harga, mempromosikan dan
menditribusikan barang-barang yang dapat merumuskan keinginan dan jasa
baik kepada para konsumen saat ini maupun konsumen potensial.7

Ahli lain juga memberikan pengertian tentang pemasaran Kotler bahwa


Pemasaran adalah suatu proses social dan manjerial perseorangan atau
kelompok untuk memperoleh yang mereka butuhkan dan inginkan melalui
perbuatan dan pertukaran nilai dengan pihak lain.8

Selanjutnya Basu Swastha, DH menyatakan bahwa pemasaran adalah “


Suatu keseluruhan dan kegiatan-kegiatan bisnis yang ditujukan untuk
merencanakan, menentukan harga, mempromosikan, dan mendistribusikan
barang dan jasa yang memuaskan kebutuhan baik kepada pembeli yang ada
maupun pembeli potensial”9.

Bedasarkan definisi di atas bahwa kegiatan pemasaran bukan semata-mata


untuk menjual barang dan jasa tetapi juga berusaha untuk meningkatkan
kepuasan konsumen dalam menggunakan barang dan jasa.

Pemasaran bukanlah merupakan suatu cara yang sederhana untuk


menghasilkan penjualan. Tetapi pemasaran merupakan hal yang sangat
penting dalam meningkatkan penjualan. Sedangkan pertukaran merupakan
suatu tahap proses pemasaran sebenarnya, pemasaran dilakukan baik
sebelum maupun sesudah pertukaran tersebut dilakukan.

Peranan pemasaran mempunyai arti yang sangat penting dan langsung


berhubungan dengan sukses atau gagalnya suatu perusahaan. Tidak ada

7 J. William Stanton, Prinsip Pemasaran, (Jakarta: Erlangga, Jakarta, 1984), hal. 7.


8 P. Kotler, Manajemen Pemasaran, Ed. 7, (Yogyakarta: Gramedia, 1984), hal. 13.
9 Basu Swastha dan Irawan, Manajemen Pemasaran Modern, (Yogyakarta: Liberty), hal. 5.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


209
Syahril

suatu perusahaan yang manpu bertahan bilamana perusahaan tersebut tidak


mampu memasarkan atau menjual barang-barang dan jasa-jasa yang berhasil.

Untuk keberhasilan suatu perusahaan, pemasaran merupakan hal yang


utama dalam mengambil kebijaksanaan produksi suatu barang atau jasa.
Maka perusahaan terus mengamati konsep pemasaran. Ada tiga ketetapan
pokok yang mendasari konsep pemasaran, Stanton10, antara lain :
a. Semua operasi dan perencanaan perusahaan harus berorientasi
kepada konsumen.
b. Sasaran perusahaan harus volume penjualan yang menghasilkan
laba.
c. Semua kegiatan pemasaran di sebuah perusahaan harus dikoordinir
secara organisatoris.

4. Pengertian Strategi pemasaran


Penerapan strategi dalam suatu perusahaan dapat memberikan manfaat
bagi perusahaan bersangkutan. Karena dengan adanya strategi pemasaran
perusahaan akan lebih spesifik dalam melakukan kegiatannya, mudah dalam
mencapai tujuan dan lebih mudah dalam menghadapi berbagai hambatan.

Menurut Glueck dan Jauch bahwa “Strategi adalah rencana yang disatukan,
menyeluruh dan terpadu yang mengaitkan keunggulan perusahaan dengan
tantangan lingkungan yang dirancang untuk memastikan bahwa tujuan
utama perusahaan dapat dicapai melalui pelaksanaan yang tepat oleh
perusahaan”.

Jadi strategi merupakan rencana yang dilakukan oleh perusahaan untuk


mencapai satu tujuan yang telah direncanakan dengan cara mengembangkan
dan mempertahankan dengan mempertimbangkan adanya kesesuaian antara
sasaran dan sumber daya perusahaan dengan peluang yang ada.

Adapun pengertian dari strategi pemasaran Kotler dan Armstrong


menyebutkan bahwa strategi pemasaran adalah logika pemasaran yang

10 J. William Stanton, Prinsip Pemasaran..., hal. 13.

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


210
PENGEMBANGAN MU’AMALAH IQTISĀDIYYAH MODERN

dilaksanakan dengan harapan bahwa bisnis akan mencapai sasaran


pemasaran. Strategi pemasaran terdiri dari spesifik untuk pasar sasaran,
penentuan posisi produk, marketing mix dan tingkat pengeluaran pemasaran.
Strategi pemasaran harus merinci segmen pasar yang akan menjadi pusat
perhatian perusahaan.11

Definisi di atas menyebutkan bahwa dalam mengembangkan strategi


pemasaran tidak terlepas dari pantauan terhadap segmentasi, penentuan
pasar sasaran, penempatan posisi produk, pengembangan marketing mix
dan juga menyangkut dengan pengeluaran pemasaran. Unsur tersebut dapat
dikatakan sebagai kegiatan penting bagi suatu perusahaan dalam mencapai
sasaran.

C. Pembahasan dan Analisis


1. Perkiraan Jumlah Pendapatan Usaha Telepon Seluler
Dari hasil penelitian diketahui bahwa pendapatan usaha telepon seluler
(kasus Bumar Ponsel) mengalami peningkatan. Dalam hal ini penulis
mengasumsikan terjadinya kenaikan pendapatan usaha telepon seluler di
Kota Meulaboh rata-rata pertahun sebesar 5 %. Kenaikan ini penulis estimasi
berdasarkan perkembangan pendapatan 2 tahun yang lalu. Namun demikian,
penulis yakin bahwa hasil estimasi ini tidak begitu optimis karena memang
kita ingin melihat objektifitas dari hasil penelitian perdana ini.

2. Aspek Pemasaran
Toko Bumar Ponsel telah memiliki pelanggan tetap yang telah cukup lama
khususnya pelanggan pulsa isi ulang. Untuk perusahaan sejenis, perusahaan
Bumar Ponsel termasuk yang terbesar dan sudah cukup dikenal sebagai
penjual produk hand phone (termasuk sparepart/assesoris) yang cukup
lengkap di Meulaboh.

Toko Bumar Ponsel sudah memulai menjalankan usaha sejak Januari 2005
di lokasi baru Jl. Gajah Mada No.165, sebelum bencana tsunami Bumar
Ponsel sudah mulai usaha sejak tahun 2003 (sejak sinyal HP mulai ada di

11 P. Kotler, Manajemen Pemasaran…, hal. 54.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


211
Syahril

Meulaboh) dengan membuka toko di Jl. H.D.Dariyah II Meulaboh, namun


tempat tersebut telah hancur akibat bencana.

Produk yang diperdagangankan berupa Hand Phone berikut pulsa,


assesories, sparepart dan aplikasi serta service HP. Produk tersebut
merupakan kebutuhan pendukung sarana komunikasi sekaligus hiburan
bagi masyarakat.

Sasaran pasar adalah masyarakat Meulaboh dan pendatang/petugas LSM/


NGO serta sebagian pedangan hand phone di luar kota Meulaboh (Kab. Aceh
Jaya dan Nagan Raya) dengan penguasaan pangsa pasar lebih kurang 10%.

Ukuran target pasar, tingkat konsumsi tinggi daya beli tinggi. Produk yang
diperdagangkan adalah hand phone dan pulsa berikut segala perangkatnya.
Tingkat permintaan semakin meningkat, hal ini disebabkan semakin
banyaknya masyarakat yang membutukan sarana komunikasi yang praktis,
di samping sarana telepon dari PT. Telkom sebagian besar hancur akibat
bencana dan belum sepenuhnya pulih. Di samping itu HP merupakan
produk yang menawarkan sisi hiburan yang menarik minat konsumen dan
ini masih ditambah dengan banyaknya pendatang di kota Meulaboh yang
membutuhkan komunikasi jenis HP.

Proporsi penjualan saat ini tunai dan kredit dengan jangka waktu 1 minggu
sampai dengan 1 bulan. Penjualan secara kredit diberikan secara selektif
kepada pelanggan yang telah dikenal. Sebagian besar penjualan secara
kredit diberikan kepada sesama pedagang untuk pembelian HP, aplikasi
dan assesoris yang dijual secara grosir dengan jangka waktu sampai dengan
minggu.

3. Aspek Teknik Produksi


Saat ini, perusahaan ini memiliki toko yang berlokasi di Jl. Gajah Mada
No.165B Meulaboh. Lokasi usaha dinilai strategis karena terletak di salah
satu jalan utama kota Meulaboh yang merupakan areal perdagangan dan
perkantoran yang mudah dijangkau.

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


212
PENGEMBANGAN MU’AMALAH IQTISĀDIYYAH MODERN

Tempat usaha di Jl. Gajah Mada No.165 B berada di atas bangunan toko
permanen 1 (satu) lantai (bangunan baru dibangun setelah bencana tsunami),
yang digunakan sebagai outlet sekaligus tempat melakukan pekerjaan service
HP, Tempat usaha ini dikuasai secara sewa dengan harga Rp. 15 juta per
tahun selama 5 tahun .

Sarana dan prasarana yang mendukung usaha cukup memadai. Kondisi


peralatan baik dan terawat.

4. Aspek Umum dan Manajemen


Bentuk perusahaan adalah perusahaan perseorangan, manajemen masih
dikelola dengan sederhana dan pengambilan keputusan terakhir ada pada
sdr. Junaidi. Pendidikan terakhir pemilik usaha lulusan SLTA dan cukup
memiliki pengalaman dalam menjalankan usaha.

5. Aspek Finansial
Dimasa sekarang ini banyak usaha yang dapat dilakukan oleh seseorang
atau perusahaan untuk berusaha mendapat keuntungan, sehingga muncul
pikiran-pikiran atau gagasan untuk menentukan jenis usaha apa yang lebih
menguntungkan pada masa sekarang ini.

Banyak usaha yang akan didirikan menuntut para pengusaha untuk


melakukan penelitian terhadap usaha yang akan dilakukan, apakah usaha
itu layak diusahakan atau tidak.

Maka dari itu studi kelayakan akan membantu para pengusaha dalam
menilai feasibel atau tidaknya suatu usaha dapat dikembangkan. Adapun alat
yang dapat digunakan dalam menilai kelayakan usaha adalah : Net Present
Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Profitability Ratio (PR), Net Benefit
Cost Ratio (Net B/C), Gross Benefit Cost Ratio dan Break Event Point (BEP).

Hasil perhitungan dan kreteria investasi ini akan mampu menjawab


permasalahan layak atau tidaknya usaha yang akan dikembangkan. Jadi
untuk lebih jelasnya kreteria investasi tersebut akan diuraikan satu persatu
berikut ini :

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


213
Syahril

6. Perhitungan NPV dari Usaha Telepon Seluler


Salah satu alat yang digunakan untuk menentukan layak atau tidaknya suatu
usaha adalah Net Present Value (NPV). Net Present Value (NPV) merupakan
kreteria investasi yang sangat penting dalam mengukur suatu usaha layak
atau tidak untuk dikembangkan. Net Present Value (NPV) adalah alat benefit
yang telah didiscounted dengan Social Oppurtunity Cost of Capital (SOCC)
atau dengan kata lain net present value adalah keuntungan bersih yang akan
diterima setelah disesuaikan dengan tingkat suku bungan yang berlaku.

Layak atau tidaknya usaha yang akan dilaksanakan atau dikembangkan


sangat ditentukan oleh net present value yang akan dihitung. Jika net present
value menunjukkan angka yang positif, berarti bahwa usaha tersebut layak
dikembangkan. Sedangkan bila net present value bernilai negatif berarti
usaha tersebut tidak layak dilaksanakan atau dikembangkan.

Untuk mengetahui hasil perhitungan net present value dari usaha telepon
seluler di Kota Meulaboh akan diperlihatkan pada tabel dibawah ini :

Tabel. Persiapan Perhitungan Net Present Value pada Usaha Telepon Seluler
di Kota Meulaboh (Rp.000).

Tahun
Jenis Biaya
0 1 2 3 4 5
                 
Pendapatan - 360,000 378,000 396,900 416,745 437,582

Jumlah Biaya :            
Investasi
- 100,000
awal - - - - -
Biaya
-   108,000 108,375 108,769 109,182 109,616
operasi
Bunga
-   18,000 15,484 12,515 9,012 4,878
bank
Peng.
-   13,977 30,472 49,934 72,900 100,000
Pinjaman
Total 100,000 139,977 154,331 171,218 191,094 214,494

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


214
PENGEMBANGAN MU’AMALAH IQTISĀDIYYAH MODERN

Benefit 100,000) 220,022 223,669 225,682 225,651 223,088


               
Pajak Penj.
33,003 33,550 33,852 33,848 33,463
15% -
Net Benefit 100,000) 187,019 190,119 191,830 191,803 189,625
D.F 18%
1.0000 0.8475 0.7182 0.6660 0.5158 0.4371
Present Value 100,000) 158,499 136,543 127,7598 98,932 82,885
NPV   704,617          
                 
Sumber : Hasil Penelitian, 2007 (diolah)

Berdasarkan tabel di atas diperoleh net present value sebesar Rp. 704,617
yaitu selisih antara net present value negatif dengan net present value positif.
Angkat net present value positif menunjukkan bahwa usaha telepon seluler
layak dikembangkan karena akan memberikan keuntungan bagi yang
mengusahakannya.

Net Present Value sebesar Rp. 704,617 merupakan net bersih yang telah
didiscounted dengan Social Oppurtunity Cost of Capital (SOCC) atau dengan
kata lain net benefit yang diperoleh merupakan keuntungan bersih yang telah
disesuaikan dengan tingkat bunga bank yang berlaku yaitu 18 %.

Angkat net present value yang jauh dari angka nol menunjukkan keuntungan
bersih yang diperoleh semakin besar, demikian juga sebaliknya bila net
present value yang diperoleh mendekati titik nol atau sama dengan nol. Ini
artinya perusahaan untuk bisa memperoleh keuntungan semakin tinggi.
Net prsent value yang sama dengan nol bukan berarti perusahaan tidak
memperoleh keuntungan atau dengan kata lain perusahaan bukan berada
pada titik impas (break event point), akan tetapi net present value sama dengan
nol menunjukkan bahwa perusahaan tetap mampu memperoleh keuntungan
secara normal yang disebut dengan profit.

7. IRR dari Usaha Telepon Seluler


Selanjutnya dalam menganalisis kelayakan suatu usaha adalah kriteria
investasi Internal Rate of Return (IRR). Internal rate of return adalah tingkat
bunga yang akan menghasilkan nilai present value sama dengan nol. Angka
Internal Rate of Return yang diperoleh menggambarkan tingkat suku bunga

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


215
Syahril

yang menyamakan nilai net present value, tentunya Internal Rate of Return yang
lebih besar dari tingkat SOCC. Angka Internal Rate of Return yang lebih
besar dari SOCC atau tingkat suku bunga terus meningkat sampai mencapai
angka yang sama dengan Internal Rate of Return perusahaan masih manpu
memperoleh keuntungan (normal profit).

Untuk melihat gambaran selengkapnya tentang angka internal rate of return


dari usaha telepon seluler dapat dilihat pada perhitungan di bawah ini
berdasarkan lampiran 1 :

IRR = i1 + NPV 1
( NPV 1− NPV 2 ) (i 2 − i1)
704,617,571
IRR = 0,18 + ( 704,617,57 1 − 631,938,604 )
( 0,23 − 0,18 )

IRR = 6 ,4
7 persen

Berdasarkan analisis data yang ada memperlihatkan bahwa hasil perhitungan


internal rate of return diperoleh angka 66,47 %. Angka ini menggambarkan
bahwa usaha telepon seluler di Kota Meulaboh layak untuk dikembangkan,
karena angka internal rate of return yang diperoleh lebih besar dari tingkat
SOCC. (66,47% > 18%).

Perhitungan internal rate of return sebesar 66,47% menunjukkan bahwa


apabila terus naik sampai mencapai angka 66,47% usaha telepon seluler di
Kota Meulaboh masih mampu memperoleh keuntungan. Apabila tingkat
SOCC yang menunjukkan net present value mencapai angka nol, kondisi
ini bukan berarti bahwa usaha telepon seluler masih berada pada kondisi
pulang pokok atau break event point. Akan tetapi usaha yang sering
dinamakan dengan profit normal. Profit normal tidak sama dengan break
event point. Suatu perusahaan dikatakan pada posisi break event point
apabila total cost sama dengan total revenue, sedangkan profit normal yang
menggambarkan perusahaan telah berada pada posisi total revenue lebih
besar dari total cost (TR>TC), akan tetapi net present value yang dimiliki
akan sama dengan nol, hal ini telah disesuaikan dengan perubahan tingkat
suku bunga atau SOCC.

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


216
PENGEMBANGAN MU’AMALAH IQTISĀDIYYAH MODERN

8. Net B/C Usaha Telepon Seluler


Selanjutnya yang digunakan dalam perhitungan kriteria investasi adalah Net
Benefit Cost Ratio (Net B/C). Net benefit cost ratio adalah perbandingan antara
net benefit yang didiscounted dengan SOCC yang menghasilkan nilai net
benefit positif dengan net benefit yang telah didiscounted negatif.

Nilai net benefit cost ratio yang lebih besar dari satu berarti bahwa perusahaan
tersebut memiliki net present value yang lebih besar dari nol, ini menunjukkan
bahwa perusahaan tersebut layak untuk dilaksanakan. Apabila hasil net
benefit cost ratio lebih kecil dari satu berarti bahwa usaha tersebut tidak layak
dilaksanakan. Usaha hasil perhitungan net benefit cost ratio lebih kecil dari
satu arus cash inflow (putaran kas masuk) sama dengan arus kas out flow
(arus kas masuk) dalam nilai present value, kondisi ini disebut juga dengan
Break Event Point (BEP).

Untuk mengetahui besarnya net benefit cost ratio dari usaha telepon seluler,
maka dapat dilakukan perhitungan di bawah ini berdasarkan lampiran 1.
n _
_

∑N B
i (+)
Net b
c = i =1
n _

∑N B
i
i =1
( −)

100.000.000
Net b c =
950.395.468
Net b c = 9,5

Berdasarkan pada hasil perhitungan di atas, bahwa net benefit cost ratio yang
dihitung lebih besar dari satu yaitu 9,5. Ini berarti usaha telepon seluler di
Kota Meulaboh layak di kembangkan.

8. Gross B/C dari usaha Telepon Seluler


Gross Benefit Cost ratio merupakan perbandingan antara benefit secara
kotor yang telah didiscounted dengan cost secara keseluruhan yang telah
didiscounted. Nilai gross benefit cost ratio yang lebih besar dari satu berarti
usaha layak dikembangkan, dan sebaliknya bilai angka gross benefit cost
ratio lebih kecil dari satu maka usaha tersebut tidak layak dikembangkan.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


217
Syahril

Untuk mengetahui besarnya angka angka gross benefit cost ratio dari usaha
telepon seluler dapat dilihat pada perhitungan di bawah ini berdasarkan
lampiran 2.
n

∑N B
i
i =1
(1 + r ) − n
Gross b
c = n

∑ N ci
i =1
(1 + r ) − n

711.314.790
Gross b
c =
346.034.368

Gross b
c = 2,055

Berdasarkan hasil perhitungan di atas, bahwa usaha telepon seluler di Kota


Meulaboh layak dikembangkan sesuai dengan asumsi yang bahwa angka
gross benefit cost ratio lebih besar dari satu (2,055>1).

9. Ratio dari Usaha Telepon Seluler


Profitability ratio merupakan ratio antara present value aliran kas bersih
dengan investasi yang dilakukan. Angka perbandingan di anggap mengukur
rentabilitas suatu investasi di atas tingkat discounted ratenya. Yang
dimaksud dengan rentabilitas adalah kemampuan suatu perusahaan untuk
menghasilkan laba. Jika profitability ratio yang dihitung menunjukkan angka
lebih besar dari satu, ini berarti usaha ini layak untuk dikembangkan.

Besar kecilnya angka profitability ratio yang dihitung ini menunjukkan


kemampuan suatu perusahaan dalam memperoleh laba. Profitability ratio ini
diperoleh dari hasil perbandingan antara selisih benefit dengan biaya operasi
dan pemeliharaan dibandingkan dengan jumlah investasi.

Nilai dari masing-masing variabel adalah nilai present value atau nilai yang
telah didiscounted dengan discount factor dari SOCC. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada perhitungan di bawah ini:
n n

∑B
i − ∑ OMi
P
R = i =1
n
i =1

∑ Ii
i =1

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


218
PENGEMBANGAN MU’AMALAH IQTISĀDIYYAH MODERN

711,314,790 - 346,034,368
P
R =
100,000,000

P
R = 3,6
5

10. Tanggapan Terhadap Hipotesis


Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai kelayakan usaha
telepon seluler di Kota Meulaboh Aceh Barat mempunyai kelayakan untuk
dikembangkan dilihat dari analisis NPV > 0, IRR > SOCC, Net B/C > 1, Gross
B/C > 1 dan PR > 1.

Sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan, maka hipotesis yang telah
dikemukakan sebelumnya diterima kebenarannya, hal ini didasari dengan
hasil yang diperoleh.

D. Penutup
Dari analisis data dan hasil pembahasan tentang kelayakan usaha telepon
seluler di Kota Meulaboh Kabupaten Aceh Barat, dapat diambil beberapa
kesimpulan di antaranya :
1. Hasil evaluasi yang didasarkan pada discounted kriteria investasi
menunjukkan hasil yang positif dimana NPV = Rp 704.617.000, IRR =
66,47 persen, Net B/C =9,5 persen, Gross B/C = 2,055 persen, dan PR = 3,65.
Dengan demikian usaha telepon seluler ini layak untuk dikembangkan di
Kota Meulaboh Aceh Barat.
2. Selain kelayakan secara financial usaha telepon seluler dilihat dari
pemasarannya, memang salah satu produk yang lagi ngetrain. Karena
produk ini merupakan sarana komunikasi yang sangat praktis dan
efisien serta memiliki fasilitas hiburan dengan menggunakan teknologi
yang semakin canggih dengan memunculkan produk-produk baru yang
semakin menarik perhatian masyarakat.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


219
Syahril

DAFTAR PUSTAKA
Assauri Sofyan. Manajemen Produksi. Jakarta: FEUI, 1978.

Basu Swastha dan Irawan. Manajemen Pemasaran Modern. Yogyakarta: Liberty,


1990.

Cahyono. Pengembangan Usaha dan Sektor Informal. Jakarta: Ananda, 1985.

Husna, Saud. Studi Kelayakan Proyek. Yogyakarta: BPFE,1984.

Kotler P.. Manajemen Pemasaran. Edisi 7. Yogyakarta: Gramedia,1984.

Mahmud S.. Dasar Ilmu Ekonomi dan Gerakan Koperasi. Jakarta: Intermasa,1976.

Stanton J. William. Prinsip Pemasaran. Jakarta: Erlangga,1984.

Suetrisno. Pengantar Studi Kelayakan Proyek. Yogyakarta: BPFE,1980.

Sastra Admaja. Produktivitas Pekerja. Jakarta: Aksara, 1986.

Yakob Ibrahim, H.M.. Studi Kelayakan Proyek. Jakarta: Rineka Cipta, 1997.

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


220
PERBUATAN PIDANA BUGHĀH DALAM
HUKUM ISLAM DAN DAMPAKNYA
TERHADAP MUĀMALAH

Riswadi
Alumni Pascasarjana IAIN Ar-Raniry Banda Aceh.

Abstract

During this time, bughah is the issue that not be focused more by ‘ulemas. Infect,
the case has been considered kind of crime (jarimah) that transgress the law.
Meanwhile in Islamic Law, the the ulemas have various perspective toward
the case. Among them said that bughah kind of had, qisas, or only ta’zir. Such
the definition toward this crime sometimes is related to kind of deed, right
or other causes that considered as action fight toward the country. Therefore,
the possible varieties that contain the perception and different motivation
in order to explain the action of bughah. The factor of environment, sosio-
history, culture and political development as well takes part of difference of
kind substance of jarimah to categorized the action of bughah.      

Key words: Perbuatan bughāh dan jenis pidananya


RISWANDI

A. Pendahuluan
Dalam beberapa literatur fikih yang dirujuk, penulis tampaknya menemukan
beberapa hal sehubungan dengan pandangan ulama fikih tentang perbuatan
bughah beserta katagori jenis pidananya. Di kalangan Hanafiyah, bahwa yang
termasuk dengan perbuatan bughah meliputi beberapa syarat di antaranya
adalah : Yang pertama, adanya perbuatan melawan pemerintah. Yang kedua,
mempunyai alasan melawan pemerintah. Yang ketiga, memiliki kekuatan
senjata, dan yang keempat, perbuatan itu dilakukan dengan cara anarkis.1

Sejumlah syarat-syarat yang terkait dengan perbuatan bughah di atas, oleh


kalangan Hanafiyah sudah dianggap bagian dari tindak pidana. Landasan
ini berdasarkan kandungan definisi yang dipakai sebagai berikut :

“Yang dikatakan dengan bughah, sekelompok orang yang memiliki


kekuatan, kemudian perbuatan itu ber-maksud melawan pemerintah
berkaitan dengan perkara-perkara tertentu, karena terdapat perbedaan
paham”. 2

Meski kemudian, tindak pidana bughah yang dimaksud belum mencapai titik
akhir; lantaran jenis pidana itu masih berada di antara had dan qishas.3 Untuk
mengurai hal ini, maka alasan yang dipakai oleh kalangan Hanafiyah karena
tindakan bughah digerak-kan oleh dua pihak. Pertama, pemerintah. Kedua,
kalangan bughah.4 

Kategori alasan pertama, bahwa pemerintah atau pemimpin sejauh telah


bekerja secara maksimal menurut ketentuan syara' dan diangkat berdasarkan
kesepakatan bersama, berarti mentaati menjadi sebuah kewajiban. Namun
sebaliknya, untuk kategori alasan kedua, bahwa perintah melawan pemimpin

1 Ibn ’Abid, Hasyiyah Rad al-Mukhtar, jilid 3 dan 4, (Beirut: Dar al-Fikr, 1966), hal. 262
2 Ibid, hal. 338. Lihat juga Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, jilid 7, (Damsyik:
Dar al-Fikr, 1422 H/2002 M), hal. 5478.
3 Syams al-Din Muhammad ibn Muhammad al-Khatibi al-Syarbayni, Mughni al-Muhtaj, jilid
5, (Beirut: Dar al-Kitab al-’Ilmiyah, 1994), hal. 401-405.

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


222
PERBUATAN PIDANA BUGHĀH DALAM HUKUM ISLAM DAN DAMPAKNYA TERHADAP MUĀMALAH

yang zalim juga sebuah perintah wajib. Dikarenakan ada dua perintah yang
saling berlawanan; di satu sisi mengutuk perbuatan bughah, tapi di sisi yang
lain, boleh melawan pemimpin yang zalim, maka tindakan memerangi
menurut pandangan ini merupakan jenis pidana yang dianggap paling
tinggi, sekaligus sebagai upaya pilihan; antara had atau qishas. 4

Selanjutnya, pemerintah harus memiliki sikap sabar dan tidak boleh


mendahului sebelum kelompok pelaku bughah melakukan penyerangan.
Alasan yang digunakan karena posisi pemimpin memiliki status yang lebih
tinggi, baik kedudukannya, ilmunya, tanggung jawabnya, dan kewajibannya
sebagai pemimpin. Kemudian alasan lainnya, sikap pemerintah melawan
kelompok pelaku  bughah untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan
adanya kejahatan yang mengarah kepada perbuatan anarkis. 5

 Senada demikian, kalangan Malikiyah juga punya pandangan yang hampir


serupa dengan kalangan Hanafiah. Hanya saja yang menjadi pertimbangan
dan tampak perbedaan di kalangan Malikiyah adalah, ketika membatasi
syarat perbuatan bughah sebatas pada sikap melawan pemerintah saja, meski
jenis pidana yang ditetapkan adalah had atau qishas.6 Sementara segi definisi
bughah yang dipakai di kalangan Malikiyah sebagai berikut ;    

Maksud arti: "Pelaku bughah enggan mentaati pemimpin atau wakilnya


yang sah dan adil bukan karena maksiat, melainkan ada alasan tertentu
berkaitan dengan kewajiban yang telah ditetapkan pada pemimpin
tersebut".7 

4 Lihat Abi ’Abdullah ibn Ahmad al-Ansari al-Qurtubi, al-Kafi fi Fiqh ahl al-Madinah al-
Maliki, (Beirut: Dar al-Kitab al-’Ilmiyah, 1992), hal. 222. Meski begitu, alasan pokok yang
harus dimiliki dan menjadi syarat perbuatan bughah, menurut kalangan Malikiyah, karena pelaku
bughah memiliki wilayah, senjata, komando, dan bertindak secara anarkis.
5 Ibn Qadamah al-Maqdisi, al-Mughni, jilid 8, ((Beirut: Dar al-Fikr, 1978), hal. 114. Dan
sebagai tambahan, menurut kalangan Hanafiyah, di saat perang itu berlangsung, tidak ada aturan
yang menyebabkan seseorang di antara kedua kelompok [pemerintah dan pelaku bughah] untuk
dapat menanggung jaminan atau ganti rugi apapun, baik dari segi jiwa maupun harta.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


223
RISWANDI

Definisi ini bisa diarahkan, bahwa kalangan Malikiyah cukup membatasi


syarat perbuatan bughah sebatas pada sikap melawan pemerintah saja.
Sementara sikap "melawan" [oleh pelaku bughah] disebabkan adanya
perselisihan atau perbedaan paham. Meski kemudian, kalangan Malikiyah
tidak menjelaskan secara detail maksud perselisihan tersebut. Karena itu,
boleh jadi sikap melawan pemerintah bisa mencakup segalanya, dengan
catatan selama pemimpin itu tidak melaksanakan kewajibannya. 6

Jika demikian, untuk menetapkan jenis pidana tersebut, kalangan Malikiah  


tetap berpedoman bahwa pelaku bughah bukan sebagai musuh perang.
Pelaku bughah masih tetap berada dalam kategori orang-orang muslim.
Namun jika mereka tetap melawan, pemerintah harus menanyakan lebih
dahulu alasan mereka melawan pemerintah; baru kemudian pemerintah
mengambil inisiatif delik pidana menurut perbuatan yang ditimbulkan. Dan
sebagai tambahan, pemerintah atau pemimpin tetap memiliki status politik
yang tinggi dalam tatanan sosial.  

Sementara di kalangan Syafi’iyah, batasan yang diberikan terhadap pelaku


bughah hanya berupa jenis had atau ta’zir. Kedua jenis ini disebabkan lantaran
syarat yang digunakan sebagai berikut : Yang pertama, adanya kekuatan/
kekuasaan dan anggota-anggotanya dalam jumlah yang banyak. Yang kedua,
pelaku bughah mendiami daerah atau kawasan dar ahl al-’adl. 7 Dan yang
ketiga, perbuatan pelaku bughah disebabkan atas dasar ta’wil muhtamal. Yakni
berdasarkan permasalahan yang muncul karena adanya penafsiran dan
penjelasan.8

Ketiga syarat ini dipahami menjadi indikasi perbuatan bughah. Ditambahkan


pula, menurut kalangan Syafi’iyah, alasan dari ketiga syarat tersebut juga
disebabkan oleh beberapa hal. Yang pertama, memiliki kekuatan senjata.

6 Ibid.
7 Yang dimaksud dengan dar ahl al-’adl, tempat di mana daerah atau kawasan itu menjadi
komunitas masyarakat tinggal, dan mereka tanpa melibat diri dengan kegiatan pelaku bughah.
8 Ibrahim al-Baijuri, Syarh al-’Alamah ibn al-Qasim al-Ghazya atas Matan Abi Sjuja’,
Hasyiyah, Jilid 2, (Beirut: Dar al-Kitab al-’Ilmiyah, 1420 H/1999 M), hal. 474 dst.

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


224
PERBUATAN PIDANA BUGHĀH DALAM HUKUM ISLAM DAN DAMPAKNYA TERHADAP MUĀMALAH

Kedua, alasan yang mendorong pelaku bughah untuk melawan pemerintah.


Ketiga, perbuatan bughah dipimpin oleh seorang ketua. 9 Sementara definisi
yang digunakan di kalangan ini, di antaranya adalah :

"Pelaku bughah termasuk dalam kalangan muslim yang melawan


pemimpin, kemudian keluar dari kebijakan dan tidak lagi mengikuti
pemimpin, atau pelaku bughah enggan melaksanakan haknya, dan mereka
memiliki senjata, alasan yang kuat, serta pemimpin yang ditaati".10 

Definisi ini bisa diarahkan, bahwa faktor damai lebih penting daripada
membunuh. Sekiranya jenis pidana itu akan dikenakan, maka hukuman
yang berlaku sama seperti yang diperuntukkan di kalangan hirabah, yakni:
hukuman mati, salib, atau potong tangan dan kaki secara silang, atau dibuang
dari tempat asalnya, dengan berdasarkan ketentuan pemerintah yang sah.11
Namun jenis pidana perbuatan tersebut belum bisa ditetapkan, sekiranya
pemerintah/pemimpin belum melakukan diplomasi politik dengan pelaku
bughah. Bagaimana pun, diplomasi politik menjadi unsur penting dalam
urusan ini. 

Sementara di kalangan Hanbaliyah tampaknya relatif lebih netral ketika


mengajukan syarat perbuatan bughah. Bahkan syarat yang mereka tawarkan
justru hampir serumpun dengan ketiga ulama di atas. Hanya saja yang
membedakan dari ketiga ulama di atas, di mana syarat perbuatan bughah yang
mereka tawarkan sebatas; Pertama, memiliki senjata/kekuasaan. Kedua, alasan
melawan pemerintah. 12 Kedua syarat ini berdasarkan definisi yang meraka

9 ’Abd al-Qadir ’Audah, al-Tasyri’ al-Jinai…, jilid 2, hm. 680-681.


10 Syams al-Din Muhammad ibn Abi al-Hamzah al-Misri, Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-
Minhaj, jilid 8, (Mesir: Syirkah Maktabah wa Matba’ah al-Bab al-Halabi, 1963), hal. 382.
11 Lihat ’Abd al-Qadir ’Audah, al-Tasyri’ al-Janai…, jilid 2, hal. 681; 692. Sayyid Sabiq,
Fiqh…, Jilid 3, hal. 504.
12 Ibn Qadamah, al Mughni…, jilid 10, hal. 46.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


225
RISWANDI

gunakan ketika mengidentifikasi perbuatan bughah. Karena itu, definisi yang


dipakai sebagai berikut :

"Pelaku bughah adalah sekelompok orang yang melawan pemerintah/


pemimpin yang sah, dan begitu juga dengan pemimpin yang zalim
disebabkan perbedaan paham. Kemudian pelaku bughah juga memiliki
senjata/kekuasaan, meskipun tidak berada di bawah pimpinan-nya".13 

Definisi ini bisa diarahkan, bahwa jenis pidana bughah ditetapkan dengan
pidana had atau ta’zir. Dasar jenis ini disebabkan kepada prinsip umum
yang masih berlaku, di mana tujuan memerangi pelaku bughah hanya untuk
menghentikan dan bukan menghancurkan mereka. Bagaimana pun, prinsip
umum ini, seperti jiwa dan harta menjadi penting karena pelaku bughah juga
bagian dari kelompok umat Islam dan mereka adalah ber-saudara.

Lebih dari itu, menetapkan jenis pidana perbuatan bughah berdasarkan


ketentuan di atas, menurut kalangan Hanbaliyah, harus mempertimbangkan
tingkat kerusakan yang dibuat pelaku bughah. Sekiranya kedua syarat yang
telah disebutkan di atas; [kekuatan/kekuasaan serta alasan melawan] tidak
memadai dari segi tingkat kerusakan, maka sudah barang tentu jenis pidana
untuk perbuatan tersebut adalah ta’zir. Begitu sebaliknya, jika jenis pidana
had yang akan ditetapkan, maka perbuatan bughah sudah mengarah kepada
tingkat kerusakan yang berat.  

B. Definisi dan Dasar Hukum Perbuatan Pidana Bughah


Sekiranya perbuatan bughah secara definitif mengarah kepada kejahatan
politik, maka konsekuensi dalam hukum pidana Islam, dengan pelbagai
katagori dalil hukum adalah perbuatan dilarang—yang pada akhirnya wajib
diperangi. Namun untuk mempermudah substansi kajian ini, penulis sedikit
perlu mengetengahkan definis bughah.

Pengertian kata mengandung arti , yang berarti mencari atau

13 Ibid.

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


226
PERBUATAN PIDANA BUGHĀH DALAM HUKUM ISLAM DAN DAMPAKNYA TERHADAP MUĀMALAH

menuntut sesuatu. 14 Sementara menurut Wahbah al-Zuhaili, kata


berarti yang dhalim ( ), perbuatan jahat ( ), menyimpang kebenaran
( ), atau melawan/menentang ( ).15 Kata-kata ini jika
dibandingkan dengan apa yang terdapat dalam Kamus Lisan al-’Arab akan
tampak sesuai dengan makna di atas, yakni perbuatan zalim, perbutan jahat,
menyimpang dari kebenaran, atau melawan/menentang. 16 

Namun secara lebih luas, pengertian ini tidak mendapat kejelasan dalam
literatur-literatur fikih, selain yang telah disebutkan dalam pembahasan
pandangan ulama fikih di atas. Meski begitu, untuk melihat maksud kata
selanjutnya, ulama fikih secara umum menyebutkan dengan; "Mencari
atau menuntut sesuatu yang tidak halal, baik karena dosa maupun ke-
zaliman". Atau bisa juga sebaliknya, bahwa maksud kata tidak selamanya
perbuatan itu bisa disalahkan. Atas dasar ini, maka definisi yang dipakai
17

secara khusus dan disepakati ulama fikih berkaitan dengan penyebutan kata
al-baghyu adalah, perbuatan melawan pemerintah atau pemimpin negara. 18

Selanjutnya, definisi ini bisa disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan


makar atau bughah adalah, suatu perbuatan atau tindakan yang dilakukan
oleh sekelompok orang/organisasi, dan yang bersangkutan memiliki
kekuatan/kekuasaan dengan maksud dan tujuan menentang pemerintah atau
pemimpin, lantaran adanya perbedaan paham mengenai urusan kenegaraan.

Adapun dalil hukum normatif yang ikut digunakan secara luas oleh ulama
fikih sehubungan dengan perbuatan pidana bughah sebagai berikut :

14 Muhammad ibn Isma’il al-Kahlani, Subul al-Salam, juz, 3, (Beirut: Masyuriyah Dar al-
Maktab al-Halabi, 1960), hal. 261.
15 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami…, hal. 5478.
16 Abi al-Fadl Jamal al-Din Muhammad ibn Mukram ibn Manzur al-Afriqi al-Misri, Lisan al-
’Arab, jilid 14, (Beirut: Dar al-Sadir, 1410 H/1990 M), hal. 78.
17 ’Abd al-Qadir ’Audah, al-Tasyri’ al-Janai…, jilid 2, hal. 673; Ahmad Fathi Bahnasi, al-
Masuliyyah…, hal. 83-84.
18 ’Abd al-Qadir ’Audah, al-Tasyri’ al-Janai…, jilid 2, hal. 673; Ahmad Fathi Bahnasi, al-
Masuliyyah…, hal. 83-84.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


227
RISWANDI

Pertama, surat al-Hujarat ayat 9. 

Maksud arti: "Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu
berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya, tapi kalau yang
satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar
perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah.
Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan,
dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-
orang yang berlaku adil". 

Ayat ini turun di Madinah. Atau diperkirakan bertepatan dengan tahun ke-9 
Hijrah (631M). 19Adapun tujuan utama ayat ini, berkaitan dengan perintah
perdamaian di antara kelompok-kelompok yang bertikai. Sementara
pertikaian yang dimaksud dalam ayat ini, lebih mengarah kepada fitnah.
Maksud fitnah di sini yaitu, suatu berita yang akan diterima dan diamalkan
perlu diteliti nilai kebenarannya. Sebab, jika tidak, berita tersebut bisa
memecah belah umat [Islam] dan menimbulkan pertikaian.

Namun ada beberapa peristiwa yang menyebabkan turunnya ayat ini, seperti
yang dikutip al-Tabari dari ibn Abbas menyatakan: "Allah memerintahkan
Nabi dan orang-orang mukmin ketika terlibat pertikaian agar kembali
kepada hukum Allah. Perintah ini supaya yang terzalimi bisa diselamatkan
dari yang men-zalimi. Siapa saja di antara kelompok tertentu merasa enggan,
maka kelompok tersebut termasuk golongan yang durhaka. Dan pemimpin
wajib memerangi mereka hingga mereka kembali kepada perintah Allah".20

al-Tabari juga mengutip riwayat ibn Zaid: "Karena perintah Allah kepada

19 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol. 13,
(Jakarta: Lentera Hati, 2003), hal. 225.
20 Lihat al-Tabari, al-Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, jilid 9, (Beirut: Dar al-Kitab al-’Ilmiyah,
1992), hal. 387. Sementara dalam tafsir al-Suyuti memiliki beberapa jalur riwayat, di antaranya
adalah: ibn Jarir, ibn al-Mundhir dan ibn Mardawaih. Lihat al-Suyuti, al-Dur al-Manthur fi Tafsir
al-Ma’thur, jilid 6, (Beirut: Dar al-Kitab al-’Ilmiyah, 1990), hal. 97.

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


228
PERBUATAN PIDANA BUGHĀH DALAM HUKUM ISLAM DAN DAMPAKNYA TERHADAP MUĀMALAH

wali mendamaikan kelompok-kelompok yang bertikai. Jika salah satunya


enggan berdamai, maka perangilah mereka hingga mereka kembali ke jalan
Allah. Kemudian, beritahu ke mereka bahwa kita bersaudara dan wajib
didamaikan. Dengan demikian, maka pemimpin adalah orang yang berhak
memerangi kelompok bughah.21  

Lebih lanjut, riwayat al-Tabari yang mengutip dari Anas ibn Malik
menyebutkan: "Sebuah peristiwa di mana Rasul sedang mengenderai keledai
dan melewati ’Abdullah ibn Ubay ibn Salul [yang dianggap tokoh munafik]
sedang duduk dan berkumpul sesama rekan-rekannya. Lalu kemudian,
keledai Rasul "buang air kecil", dan pada saat bersamaan ’Abdullah ibn Ubay
ibn Salul berkata; "Lepaskan keledaimu karena aroma air seni itu menggangu
kami".

Lalu shahabat Nabi saw., ’Abdullah ibn Rawahah menegur ’Abdullah ibn
Ubay; "Demi Allah, aroma air seni keledai Rasul lebih wangi dari minyak
wangimu". Karena itu, peristiwa demikian akhirnya menimbulkan pertikaian
yang mengundang kehadiran kelompok masing-masing [’Aus dan Khazraj].
Kemudian pertikaian tersebut hanya menggunakan pelepah kurma, tangan,
dan alas kaki. 22

Kedua, surat al-Hujarat ayat 10.

21 Lihat al-Tabari, al-Jami’ al Bayan…, jilid 9, hal. 387. Bahkan dalam kondisi seperti yang
dikutip al-Tabari, pemimpin yang berhak menentukan atau mendefinisikan, apakah perbuatan
itu mengarah kepada bughah atau tidak. Sehingga nantinya kelompok tersebut bisa ditetapkan
dengan jenis pidana tertentu. Sementara dalam tafsiran al-Suyuti tidak terdapat redaksi riwayat
seperti ini.
22 Ibid, hal. 387-388, dst. Namun begitu, peristiwa di atas dinilai tidak kuat. Yang pertama,
karena kasus ’Abdullah ibn ubay terjadi pada awal masa kehadiran (hijrah) Rasul di Madinah (622
M), sementara ayat ini turun pada tahun ke-9 Hijriah (631 M) Nabi di Madinah. Kedua, kasus
di atas bukan penyebab utama turunnya ayat 9, selain dianggap sebagai sampel yang nilainya
sama dengan maksud ayat ini. Ketiga, ’Abdullah ibn Ubay dicap sebagai kelompok orang-orang
munafik—yang penilaiannya dinilai kafir berdasarkan firman Allah, surat al-Taubah ayat 84,
dan Nabi melarang menshalatkan-nya. Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…, hal. 246.
Sementara dalam tafsir al-Suyuti terdapat beberapa periwayatan yang dipakai dalam menafsirkan
ayat ini, di antaranya adalah: Ahmad ibn Hanbal, Bukhari, Muslim, ibn Jarir al-Tabari, ibn
Mardawaih, dan al Baihaqi. Lihat al-Suyuti, al-Dur al-Manthur…, jilid 6, hal. 94-96. Sedangkan
isi berita (matan) yang dipakai sama.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


229
RISWANDI

"Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah (bagaikan) bersaudara


karena itu damaikanlah antara kedua saudara kamu dan bertakwalah
kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat". 

Ayat ini dipahami sama dengan ayat yang dipakai di atas. Bahkan ayat
ini merupakan jawaban atas ayat sebelumnya. Atau dengan kata lain,
ayat sebelumnya (al-Hujarat: 9) dipahami hanya sebatas "penjelas" ketika
menyelesaikan perkara pertikaian. Sebaliknya, ayat berikut ini [al-Hujarat:
10] menjadi "penguat" dalam merespon penyelesaian konflik internal
[sesama mukmin] dengan cara berdamai. Untuk itu, antara ayat 9 dan 10
memiliki hubungan sebab yang sama berkaitan dengan penyelesaian perkara
perbuatan pidana bughah.

Meski begitu, titik tekan ayat ini hendak membedakan persaudaraan yang
dimaksud. Dengan arti kata, bahwa persaudaraan karena nasab (se-kandung:
genetika biologis) menjadi terputus bila berbeda dalam soal akidah. Sementara
sesama mukmin lainnya [se-keturunan: genetika sosiologis-kultural] jauh
lebih afdhal nilai persaudaraan itu. Alasannya karena satu keimanan.
Jadi, siapa saja [sekiranya] di kalangan mukmin yang bersaudara terlibat
pertikaian, maka pertikaian tersebut berhak didamai-kan oleh kalangan
lainnya yang tidak terlibat pertikaian.

Ketiga, surat al-Nisa’ ayat 59.               

"Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya),
dan ulil ’amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan
Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
Hari Kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya" (Qs. al-Nisa’ ayat 59).               .   

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


230
PERBUATAN PIDANA BUGHĀH DALAM HUKUM ISLAM DAN DAMPAKNYA TERHADAP MUĀMALAH

Ayat ini turun di Mekkah, kendati termasuk dalam kelompok Madaniyah. 23

Sementara sebab turun-nya ayat ini bisa digambarkan sebagai berikut ;

Sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat al-Suyuti, yang merujuk ibn


Jarir dan ibn Abi Hatim (Abdurrahman ibn Abi Hatim; 240-326 H/854-938
M—Hanzala, Rayy kawasan Irak dan termasuk dalam kelompok tabi’in),
dari al-Suddi, di mana ayat ini berhubungan dengan peristiwa shahabat
Rasul; Ammar ibn Yasir yang berada di bawah ke-pemimpinan Khalid ibn
al-Walid sebagai utusan Rasul dalam suatu wilayah.

Se-sampai tujuan, penduduk setempat melarikan diri kecuali seorang pria


beserta keluarga-nya menghadap utusan Rasul: "Hai Ammar, aku masuk
Islam dan bersyahadat bahwa tiada Tuhan melainkan Allah, dan Muhammad
sebagai Rasul-Nya. Sementara kaum-ku melarikan diri,.Apakah Islam-ku
telah menyelamatkan aku; jika tidak aku akan melarikan diri seperti kaum-
ku yang lain? Ammar menjawab: "Tentu, Islam-mu akan bermanfaat bagi-
mu, maka menetaplah dan jangan lari".24

Peristiwa di atas ternyata tidak disetujui Khalid ibn al-Walid. Bahkan Khalid
mempertanyakan esensi perlindungan yang diberikan Ammar, seperti dalam
pernyataan-nya: "Dalam hubungan apakah engkau (Ammar) berusaha
memberikan perlindungan kepadanya" ? Lalu Ammar tidak merespon
pertanyaan itu, sehingga terjadi perselisihan di antara kedua shahabat
tersebut. Yang pada akhirnya, mereka mengadu pada Rasul, dan Rasul

23 Secara umum, surat ini terdiri dari 176 ayat. Dan merupakan surat terpanjang sesudah al-
Baqarah. Sementara dari segi urutan turunnya, surat ini turun sesudah surat al-Mumtahanah—
pada saat terjadinya kasus Hudaibiyah, yakni tahun ke-6 H (628 M). Kemudian pendapat lain
menyebutkan, surat ini turun pada saat Fathu Mekkah, yakni tahun ke-8 H (630 M). Meski begitu,
ulama tafsir sepakat bahwa di antara ayat-ayat ini, ada yang sebagian turun pada tahun ke-6 H
dan ada juga pada tahun ke-8 H. Lebih dari itu, kebanyakan dari ayat-ayat ini, menurut ulama
tafsir turun pada awal permulaan Hijriah (622 M). Lihat Sayyid Qutub, [terj.,] Tafsir fi Zhilalil
al-Qur’an: di bawah Naungan al-Quran, jilid 4, (Jakarta: Gema Insani, 2001), hal. 83. Karenanya,
surat ini ada yang turun di Madinah dan ada juga yang turun di Mekkah. Kendati secara khusus,
substansi ayat ini berhubungan dengan perintah mengikuti putusan hukum dari siapa pun yang
berwenang menetapkan hukum. Dengan lain kata, ayat ini berhubungan dengan kekuasaan dan
pemerintahan.
24 Al-Suyuti, Tafsir al Dur al-Manthur…, jilid 2, hal. 314.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


231
RISWANDI

membenarkan kebijakan yang ditempuh Ammar. 25 

C. Tanggung Jawab dan Penerapan Perbuatan Pidana Bughah


Jika merujuk kepada aturan yang digunakan al-Mawardi, maka pembebanan
tanggung jawab perbuatan pidana bughah hanya melihat pada tingkat
bagaimana dampak perbuatan tersebut. Artinya, apakah perbuatan pelaku
bughah sudah mengarah pada tahap peperangan atau hanya sebatas ancaman
saja. Karena itu, dalam sudut pandang al-Mawardi, kedua motif perbuatan
pidana tersebut [antara peperangan dan ancaman] menjadi keharusan untuk
dibedakan.

Sekiranya perbuatan tersebut belum mengarah kepada peperangan,


yakni sebatas ancaman saja maka konsekuensi yang ditempuh cukup
diberikan peringatan saja dan dianggap sebagai jarimah biasa—dalam
arti kata bahwa perbuatan tersebut bukan persoalan politik. Kemudian al-
Mawardi menambahkan, sekiranya kejahatan itu ada, seperti pencurian
maka perbuatan itu harus dihukum dengan delik pencurian. Begitu juga
apabila pelaku bughah merampas harta milik orang lain, maka wajib atasnya
melakukan ganti rugi. Jadi, menurut al-Mawardi, kendati perbuatan pelaku
bughah itu sebatas ancaman, maka tanggung jawab pidana yang dimaksud
tetap berlaku meskipun tidak dipandang atas dasar pemberontak. 26

Namun, jika perbuatan tersebut sudah mengarah pada tingkat peperangan,


maka al-Mawardi menetapkan tanggung jawab pidana bughah dengan dua
cara. Yang pertama, korban perang tidak perlu dipertanggung jawabkan.
Yang kedua, harus menanggungnya karena perbuatan maksiat. Artinya,
tidak menghilangkan hak dan tidak pula menghapus kewajiban utang. 27
Bahkan tanggungjawab perbuatan pidana bughah pun masih bisa dikaitkan,

25 Ibid. Sementara dalam tafsir al-Tabari, riwayat di atas diambil melalui jalur al-Suddi, dari Abi
Salih dan bersumber dari ibn Abbas. Lihat al-Tabari, al-Jami’ al-Bayan…, jilid 2, hal. 225.
26 al-Mawardi, al-Ahkam al-Sultaniyyah wa al-Wilayat al-Diniyah, (Beirut: Dar al-Kitab al-
’Ilmiyah, 1416 H/1996 M), hal. 123-124.
27 Ibid, hal. 124-125. Maksud ini, sekiranya pelaku bughah membunuh dengan sengaja, maka
mereka dikenakan qishas. Tapi sekiranya mereka membunuh tanpa sengaja, maka jenis pidana
yang dikenakan adalah diyat. Dan begitu seterusnya.

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


232
PERBUATAN PIDANA BUGHĀH DALAM HUKUM ISLAM DAN DAMPAKNYA TERHADAP MUĀMALAH

apakah sudah mengarah kepada pemberontakan atau perbuatan itu tidak


berhubungan dengan pemberontakan. 28

Jika yang dimaksud bahwa perbuatan itu mengarah kepada pemberontakan,


seperti merusak jambatan, membom gudang amunisi, gedung-gedung
pemerintah, membunuh para pejabat atau pun menawannya; maka semua itu
tidak ditetapkan dengan jenis pidana biasa, melainkan dengan jenis pidana
yang paling tinggi, yakni hukuman mati apabila tidak ada pengampunan
(amnesti).

al-Mawardi menegaskan, bahwa tujuan memerangi pelaku bughah semata-


mata untuk menghilangkan sikap perlawanan mereka. Bahkan apabila situasi
perang telah selesai, maka perlawanan atau tindakan perang harus dihentikan.
Begitu juga dengan tingkat jaminan keselamatan bagi pelaku bughah adalah
suatu keharusan dan menjadi pertimbangan yang dianggap penting. Namun
al-Mawardi menambahkan, sekiranya tindakan memerangi merupakan
bagian dari jenis pidana yang dimaksud, maka besar kemungkinan bahwa
pelaku bughah dianjurkan untuk dibunuh setelah mereka tertangkap dalam
peperangan. 29 

Sementara pertanggung jawaban pidana untuk perbuatan bughah model ini


tidak ada. Jika mereka merusak dan menghancurkan aset-aset negara yang
dianggap perlu, demi kelancaran serangan dan upaya pemberontakan,
maka ketentuan yang dibuat al-Mawardi tidak menyebabkan pelaku bughah
menerima beban hukum. Adapun perusakan harta yang tidak berkaitan
dengan pemberontakan, misalnya harta kekayaan individu, maka mereka
tetap dibebani pertanggung jawaban perdata. 30

Karena itu, tuntutan bagi pelaku bughah hanya sebatas pada perdata saja.
Barang yang diambil harus dikembalikan dan yang sudah dihancurkan

28 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam: Fikih Jinayah, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2004), hal. 116-117.
29 al-Mawardi, al-Ahkam al-Sultaniyyah…, hal. 123.
30 al-Mawardi, al-Ahkam al-Sultaniyyah…, hal. 123.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


233
RISWANDI

harus diganti. Pendapat ini dikemukakan di kalangan Hanafiyah, dan


diperkuat kembali di kalangan Syafi’iyah. Bahkan pendapat yang dimaksud
di kalangan Syafi’iyah, di mana tanggung jawab itu berlaku sepenuhnya bagi
pelaku bughah atas semua barang yang dihancurkan, tanpa harus mengaitkan
dengan perbuatan bughah atau tidak. Karena bagaimana pun, menurut
Syafi’iyah, perbuatan mereka adalah perbuatan melawan hukum. 31

Namun sekiranya para pelaku bughah itu meminta bantuan kepada kafir
harbi, jika ia musta’man maka pemerintah berhak membatalkan perjanjian
keamanan-nya dan status hukumnya kembali seperti semula, yakni sebagai
kafir harbi kecuali keikutsertaannya itu dipaksa. Apabila kafir harbi tersebut
murni, bukan musta’man maka status hukumnya sesuai dengan status hukum
asalnya, yakni sebagai kafir harbi yang setiap saat boleh diperangi atau
hartanya dirampas. Karena bagaimana pun, status mereka tidak memiliki
perjanjian keamanan dengan pemerintah setempat.  

Dengan demikian, sejauh apa yang sudah dijelaskan di atas, maka aturan
yang bisa dipakai sehubungan dengan pertanggung jawaban pidana bughah,
berdasarkan argumentasi al-Mawardi sebagai berikut: Pertama, adanya
larangan terhadap perbuatan tersebut. Kedua, perbuatan itu dilakukan secara
sengaja dan penuh kesadaran. Ketiga, adanya konsekuensi hukum atas
perbuatan tersebut.42

Lebih dari itu, menurut al-Mawardi, kendati ketiga faktor di atas bisa
menyebabkan adanya tanggung jawab pidana bughah, namun tanggung
jawab itu perlu dipertimbangkan secara politik. Pertimbangan ini lantaran
efek (sebab) perbuatan itu semata-mata mengarah kepada negara atau
pemerintah. Sehingga, negara atau pemerintah memiliki kekuasaan secara
mutlak ketika menetapkan tanggung jawab pidana bughah berdasarkan
kebijaksanaan politik.

Maksud ini, di mana kebijakan pemerintah yang akan ditempuh; antara


memberikan pengampunan dengan tetap melaksanakan jenis pidana harus

31 ’Abdul Qadir ’Audah, at-Tasyri’ al-Janai…, jilid 2, hal. 699.

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


234
PERBUATAN PIDANA BUGHĀH DALAM HUKUM ISLAM DAN DAMPAKNYA TERHADAP MUĀMALAH

seimbang dan tidak boleh mengikat apalagi sepihak. Karena itu, menurut
al-Mawardi, langkah ini ditempuh lantaran ada dua alasan; yang pertama,
syarat-syarat yang ada pada perbuatan bughah mustahil dipenuhi. Yang kedua,
adanya kekhawatiran bahwa perbuatan itu ikut melukai kepentingan publik,
sehingga syarat-syarat bughah perlu diperluas.32 Dengan demikian, perlu
pertimbangan secara politik ketika menetapkan jenis pidana untuk kategori
perbuatan bughah. 

D. Penutup

Tampaknya belum ada kejelasan yang tepat mengenai jenis pidana yang pas
bagi pelaku bughah. Dan barangkali salah satu alasannya adalah, banyaknya
syarat yang perlu diidentifikasi secara akurat mengenai perbuatan bughah.
Sehingga hal ini  mempengaruhi upaya untuk mencapai jenis pidana bughah.
Namun begitu, ada beberapa hal yang perlu digaris bawahi menyangkut
jenis pidana bughah, dan di antaranya adalah :

Pertama, bahwa perbuatan bughah tidak bermaksud keluar dari pemerintah


atau negara. Perbuatan mereka hanya sebatas pada "ancaman" politik, yakni
hendak menggangu jalannya pemerintahan atau beberapa hal lainya yang
menyangkut dengan keutuhan negara. Meski begitu, perlu untuk dibedakan
mana perbuatan bughah yang mengarah kepada pemerintah (melawan
pemerintah) atau yang tidak mengarah kepada pemerintah. Jenis pertama
dikenakan pidana ta’zir, sementara jenis kedua dikenakan hudud.   

Kedua, bahwa perbuatan bughah ikut melukai kepentingan publik (perbuatan


maksiat), juga sekaligus sebuah kejahatan yang sifatnya mukhalafah, yakni
melakukan perbuatan makruh dan meninggalkan perbuatan mandub.

Ketiga, bahwa perbuatan bughah bisa dikatagorikan ke dalam jarimah negatif


(jaraim salbiyah), lantaran menolak perbuatan yang diperintah, yakni mentaati
pemimpin (al-Nisa’: 59).

32 al-Mawardi, Adb al-Dunya wa al-Din, (Kairo: Maktabah al-Qahirah, 1950), hal. 113.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


235
RISWANDI

DAFTAR PUSTAKA
’Audah, ’Abd al-Qadir. al-Tasyri’ al-Jinai al-Islami: Muqaranah bi al-Qanun al-
Wadh’i, jilid 1 dan 2. Beirut: Muassasah al-Risalah, 1466 H/2001 M. 

A. Hanafi. Asas-asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1967 

al-Bayjuri, Ibrahim. Syarh al-’Alamah ibn al-Qasim al-Ghazya atas Matan


Abi Sjuja’. Hasyiyah. Jilid 2. Beirut: Dar al-Kitab al-’Ilmiyah, 1420 H/1999 M. 

al-Kahlani. Muhammad ibn Isma’il, Subul al-Salam, jilid, 3. Beirut: Masyuriyah


Dar al-Maktab al-Halabi, 1960 

Al-Maqdisi, Ibn Qudamah. al-Mughi. Jilid 8. Beirut: Dar al-Fikr, 1978.  

Al-Mawardi. al-Adab al-Dunya wa al-Din. Kairo: Maktabah al-Qahirah, 1950.  

Al-Mawardi. al-Ahkam al-Sultaniyyah wa al-Wilayat al-Diniyah. Beirut: Dar al-


Kitab al-’Ilmiyah, 1416 H/1996 M. 

al-Misri, Syams al-Din Muhammad ibn Abi al-Hamzah, Nihayah al-Muhtaj


ila Syarh al-Minhaj, jilid 8, Mesir: Syirkah Maktabah wa Matba’ah al-Bab al-
Halabi, 1963. 

al-Nawawi. Sahih Muslim, dalam bab "hukm min Farq Amr al-Muslimin wa
huwa Mujtama’", jilid 11-12, Mesir: al-Matba’ah al-Misr wa Maktabah, t.th.  

Al-Qurtubi, Abi ’Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Ansari, al-Jami’ li Ahkam


al-Qur’an, jilid I, Beirut: Dar al-Kitab al-’Ilmiyah, 1994. 

al-Qurtubi, Abi ’Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Ansari, al-Kafi fi Fiqh ahl
al-Madinah al-Maliki, Beirut: Dar al-Kitab al-’Ilmiyah, 1992 

al-Suyuti. al-Dur al-Manthur fi Tafsir al-Ma’thur. Jilid 6. Beirut: Dar al-Kitab


al-’Ilmiyah, 1990. 

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


236
PERBUATAN PIDANA BUGHĀH DALAM HUKUM ISLAM DAN DAMPAKNYA TERHADAP MUĀMALAH

al-Syarbayni, Syams al-Din Muhammad ibn Muhammad al-Khatibi, Mughni


al-Muhtaj, jilid 5, Beirut: Dar al-Kitab al-’Ilmiyah, 1994.  

al-Tabari. al-Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an. Jilid 9. Beirut: Dar al-Kitab al-
’Ilmiyah, 1992. 

al-Zuhayli, Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, jilid 7. Damaskuks: Dar al-


Fikr, 1422 H/2002 M.

Bahnasi, Ahmad Fathi. al-Qishas fi al-Fiqh al-Islami. Mesir: al-Syirkah al-


’Arabiyah, 1964.

Ibn ’Abid. Hasyiyah Rad al-Mukhtar. Jilid 3 dan 4, Beirut: Dar al-Fikr, 1966. 

Ibn Manzur al-Afriqi al-Misri. Abi al-Fadl Jamal al-Din Muhammad ibn
Mukram. Lisan al- ’Arab, jilid 14. Beirut: Dar al-Sadir, 1410 H/1990 M 

Ibn Taimiyah. al-Siyasah al-Syar’iyah fi Ishlah al-Ra’i wa al-Ra’iyat. Beirut: Dar


al-Kitab al-’Arabiyah, 1966. 

Ibn Taurah, Abi Isa Muhammad Isa. Sunan al-Turmuzi, dalam Kitab Diyat, bab
"Ma Ja la Yahillu Dam Amr Muslim illa bi ihda salasah", No. Hadith 1407, jilid
3, Beirut: Dar al-Fikr, 1414 H/1994 M  

Muslich, Ahmad Wardi. Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam: Fikih Jinayah,
Jakarta: Sinar Grafika, 2004 

Qutub, Sayyid [terj.,] Tafsir fi Zhilalil al-Qur’an: di bawah Naungan al-Qur’an,


jilid 4, Jakarta: Gema Insani, 2001.  

Sabiq, Sayyid. [ter.,] Nor Hasanuddin, dkk.. Fiqh Sunnah. jilid 3. Jakarta: Pena
Pundi Aksara, 2007. 

Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran, Vol.
13, Jakarta: Lentera Hati, 2003

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


237
PETUNJUK PENULISAN
ARTIKEL

Petunjuk Umum
1. Artikel harus merupakan produk ilmiah orisinil, belum pernah
dipublikasikan di media manapun.
2. Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia baku, bahasa Inggris dan bahasa
Arab.
3. Isi tulisan berkaitan dalam bentuk konseptual, hasil penelitian dan
terjemahan dari bahasa asing.
4. Panjang tulisan antara 15 sampai 20 halaman kwarto dengan spasi ganda.
5. Artikel diserahkan dalam bentuk print out dan soft copy

Petunjuk Teknis
1. Kerangka tulisan meliputi judul, nama penulis, abstrak, kata kunci,
pendahuluan, data, pembahasan serta kesimpulan.
2. Abstrak boleh dibuat dalam bahasa Inggris/Arab dengan memuat inti
permasalahan dan panjang tulisan antara 250-300 kata.
3. Kata kunci bisa berbentuk kata maupun frasa maksimum 3 kosa kata.
4. Pendahuluan mencakup permasalahan, tujuan dan metodologi yang
dipergunakan.
5. Data disesuaikan dengan bentuk tulisan (library research) atau (field
research).
6. Pembahasan harus dilakukan secara sistematis dengan merujuk pada
pendapat para ahli atau kajian yang pernah dilakukan mengenai topik
yang dibahas.
7. Kesimpulan dapat berisi ungkapan singkat yang telah dibahas atau dapat
berupa ungkapan implikatif yang tertarik dan topik yang diangkat untuk
diterapkan pada kondisi dan tempat tertentu.
8. Curriculum Vitae disebutkan alumni dan bidang keahlian.
9. Daftar Rujukan dalam bentuk FOOT NOTE dan hanya buku yang
karyanya dikaji saja yang dimasukkan dalam daftar isi.
10. Transliterasi Arab Latin dipergunakan transliterasi sebagaimana yang
terdapat dalam konkordasi Alquran yang disusun oleh Ali Audah.

Catatan
1. Dewan Redaksi dapat mengubah dan mengoreksi bahasa dan istilah
tanpa merubah isinya atau tanpa diberitahukan kepada penulis. Untuk
kondisi tertentu naskah yang masuk akan dikembalikan untuk diadakan
perbaikan seperlunya.
2. Jadwal Penerbitan "at-Tasyri’" empat kali dalam setahun.
AT-TASYRI’ adalah jurnal Prodi Mu’amalah memuat solusi problematika
ekonomi kontemporer dalam perspektif hukum Islam. Jurnal ini diterbitkan
oleh Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Teungku Dirundeng Meulaboh
bekerjasama dengan Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LKAS) Banda Aceh.

Redaksi mengundang para penulis,


peneliti dan peminat ekonomi Islam
agar dapat memberikan kontribusinya
dalam bentuk tulisan ilmiah.

Tulisan dapat dikirim ke alamat redaksi :


Jalan Teuku Umar Komplek Masjid
Nurul Huda, Meulaboh-Aceh Barat
No. 100 Telp: 0655-7551591;
Fax: 0655-7551591
E-mail: prodimu_stai@yahoo.co.id
Website: www.staidirundeng.ac.id

You might also like