You are on page 1of 128

ISSN 2085 - 2541

AT-TASYRI’
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
Vol. I, No. 3, Oktober 2009 - Januari 2010

Konsep Ekonomi
Menurut Ibn Khaldūn
Syamsuar Basyariah

Konsep Makanan
Dalam Islam: Kajian
Fiqh Mu’amalah
Asmawati

Status Kepemilikan
Dan Pemanfaatan
Lahan Tidur Dalam
Fiqh Islam
Anton Jamal

Diterbitkan oleh:
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
TEUNGKU DIRUNDENG, MEULABOH
ACEH BARAT
AT-TASYRI´
JURNAL ILMIAH PRODI MUAMALAH
ISSN: 2085-2541
Volume 1 Nomor 3
Oktober 2009 - Januari 2010

SUSUNAN PENGURUS JURNAL AT-TASYRI'

Penanggung Jawab
Syamsuar Basyariah

Ketua Redaksi
Asmawati

Redaktur Pelaksana
Fauzi Saleh
Jamaluddin Thayyib
Muliadi Kurdi
Banta Ali Abdullah

Penyunting Ahli
Juhaya S. Praja
Nur Ahamad Fadhil Lubis
Nazaruddin AW
Usamah El-Madny
Muhammad Maulana
Zulkarnain Abdullah
Jamaluddin Thayyib

Administrasi dan Tata Usaha


Amrizal Hamsa
Hanifuddin Jamin

Setting/Layout
Khairul Umami

Sirkulasi
M. Yunus
Nurhayati
Maidijar

ALAMAT REDAKSI
Jalan Teuku Umar Komplek Masjid Nurul Huda,
Meulaboh-Aceh Barat
No. 100 Telp: 0655-7551591; Fax: 0655-7551591
E-mail: prodimu_stai@yahoo.co.id
Website: www.staidirundeng.ac.id
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ...............................................................................................

Status Kepemilikan Dan Pemanfaatan Lahan Tidur


Dalam Fiqh Islam (Studi Pemberdayaan Ekonomi Umat)
Anton Jamal .................................................................................................... 239

Pemberdayaan Ekonomi Umat Dalam Perspektif Fiqh Modern


(Penerapan Konsep Mudarabah pada Program Gerakan
Masyarakat Aceh Darussalam)
Fauzi Saleh ...................................................................................................... 253

Ihtikar Dalam Perspektif Hukum Islam


Ida Fitriana ...................................................................................................... 269

Konsep Makanan Dalam Islam: Kajian Fiqh Mu’amalah


Asmawati . ....................................................................................................... 281

Peran ’Amil Dalam Permberdayaan Lahan Perkebunan


Syahril .............................................................................................................. 297

Konsep Ekonomi Menurut Ibn Kaldun


Syamsuar Basyariah ....................................................................................... 315

Produksi Dalam Konsepsi Ekonomi Islam


Zulkarnaini ..................................................................................................... 325

Konsep Ekonomi Islam


Baihaqi A. Samad .......................................................................................... 339
KATA PENGANTAR

Islam sebagai rahmat li ‘alamin telah memberikan panduan hidup baik dalam
konteks hubungan vertical kepada Allah swt maupun horizontal sesama
manusia. Karena itu, panduan ke arah perbaikan dan perubahan sistem
kemasyarakatan mutlak diperlukan dengan mengacu kepada al-Qur’an dan
Hadith. Ini di antara yang mendorong diexsplore beberapa artikel ini dengan
maksud membumikan ajaran Islam dalam kehidupan yang lebih praktis.

Anton Jamal membahas tentang “Status Kepemilikan Dan Pemanfaatan Lahan


Tidur Dalam Fiqh Islam, Studi Pemberdayaan Ekonomi Umat”. Produktivitas
dapat diupgrade dengan melakukan intensifikasi dan eksensifikasi lahan.
Islam memberikan apresiasi kepada umatnya yang aktif dan kreatif. Bentuk
apresiasi terlihat bahwa Islam memberikan otoritas kepemilikan kepada
siapa yang yang melakukan Ihya al-Mawat (memakmurkan kembali tanah
yang terbengkalai dan tidak produktif).

Fauzi Saleh menulis sisi lain dalam meningkatkan produktivitas umat melalui
pemberdaan ekonomi terutama dikaitkan dengan media dan lembaga yang
ada. Dalam tulisan yang berjudul “Pemberdayaan Ekonomi Umat Dalam
Perspektif Fiqh Modern:Penerapan Konsep Mudarabah pada Program
Gerakan Masyarakat Aceh Darussalam” mengupas bagaimana konsep ini
diterapkan terutama dalam mengcounter model ekonomi sekarang ini yang
cenderung ribawi, tanpa memperdulikan nilai kearifan dan keadilan.

Untuk itu, Islam melakukan semua bentuk yang dapat menghalangi


kemakmuran dan kesejahteraan umat. Bentuk tersebut semacam ihtikar
(menimbun) kebutuhan pokok dan tidak disalurkan dengan maksud dapat
meraih keuntungan besar dengan menjual harga di atas standar harga ketika
barang tersebut langka di pasaran. Hal inilah yang dibahas oleh Ida Fitriana
dengan judul “Ihtikar Dalam Perspektif Hukum Islam”.

Hal lain yang relevan diuraikan untuk saat ini adalah berkaitan dengan
makanan yang halal dan tayyib. Asmawati secara khusus menguraikan
bagaimana karakteristik makanan yang direkomendasikan Islam untuk
dikonsumsi. Dalam uraiannya dalam artikel yang berjudul “Konsep Makanan
Dalam Islam: Kajian Fiqh Mu’amalah”, ia mendeskripsikan secara tuntas
barometer halal dan haram dalam Islam serta dampaknya dalam kehidupan
baik bagi manusia secara umum maupun umat Islam secara khusus.

Pemberdayaan ekonomi juga melibatkan semua unsur dan stakeholder.


Tenaga kerja (’amil) dalam sebuah proses sebuah usaha merupakan hal yang
urgen. Sebagai suatu sampel yang diangkat Syahril dalam tulisannya ”Peran
’Amil Dalam Permberdayaan Lahan Perkebunan” membahas bagaimana
perekruitmen tenaga perkebunan Kelapa Sawit di Aceh Barat. Uraian ini
paling kurang menjadi acuan untuk menerangkan tata cara merekruit
tenaga kerja yang dapat menghasilkan produktivitas yang memadai dengan
mengedapankan sistem yang saling menguntungkan.

Uraian di atas secara keseluruhan mengerucut dan membingkai format


ekonomi umat. Akan lebih menarik, bila indikator-indikator ekonomi itu
dirujuk kepada beberapa ahli seumpama Ibn Khaldun. Syamsuar Basyariah
dalam judulnya ”Konsep Ekonomi Menurut Ibn Kaldun” mencoba
mengelaborasi konsep ekonominya dalam bentuk yang lebih komprehensif
sehingga terlihat sisi-sisi menarik dari apa yang digagas Ibn Khaldun.

At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010


viii
Sementara Zulkarnaini menguraikan bagaimana layaknya sebauh produksi,
baik sisi manfaat maddi maupun ruhi. Dalam artikelnya ”Produksi Dalam
Konsepsi Ekonomi Islam”, ia mengutarakan bahwa produksi merupakan
bagian yang tak dapat dipisahkan dari keberlangsungan ekonomi umat.
Produksi yang unggul dan memadai akan semakin memompa roda
perekonomian dan pada klimaksnya meningkatkan kemakmuran dan
kesejahteraan umat.

Baihaqi A. Samad mengupas lebih jauh tentang ekonomi Islam secara teoritis
dan probabilitas penerapannya lebih tinggi dibandingkan dengan konsep
ekonomi lainnya. Konsep ekonomi Islam telah menunjukkan keampuhannya
dalam tataran praktis bahkan dalam kegoncangan ekonomi global.

Selanjutnya, kami segenap civitas akademika STAI Teungku Dirundeng


mengucapkan terima kasih atas kontribusi tulisan yang diajukan ke meja
redaksi semoga menjadi sumbangan pemikiran yang amat bermakna.
Terima kasih yang tak terhingga kepada Lembaga Kajian Sosial Agama dan
Masyarakat (LKAS) yang ikut membantu hingga terbitnya jurnal ini.

Meulaboh, Oktober 2009


Kepala STAI – Tgk. Dirundeng

dto

Syamsuar Basyariah

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


ix
STATUS KEPEMILIKAN DAN PEMANFAATAN
LAHAN TIDUR DALAM FIQH ISLAM
(Studi Pemberdayaan Ekonomi Umat)

Anton Jamal
Dosen Prodi Mu’amalah Sekolah Tinggi Agama Islam Teungku Dirundeng Meulaboh.
Memperoleh Magister (S2) dari PPs IAIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh
dengan Konsentrasi Fiqh Modern

Abstract

Islam has motivated the ummah to intensify and extensify the unexploited
earth. By this way, they will reach the harvest for support their life. For that,
anyone that extensify the free earth (no ownership), it is considered that
belong to him. Hence, Islam appreciated anyone ferlitized and planted the
earth. Nowadays, all spaces of the earth have owned. But, such the forest
or jungle, if someone tries to plant in this place, so who is the owner of that
space. Here, the writer tries to explain about the case.

Key words: kepemilikan, lahan tidur


Anton Jamal

A. Pendahuluan
Pada hakikatnya, alam semesta beserta isinya bagaimanapun keadaannya,
konkret maupun abstrak, adalah fasilitas untuk mencapai kesejahteraan
umat manusia. Alam diciptakan untuk selalu memberikan yang terbaik buat
keberlangsungan hidup manusia. Darinya manusia memperoleh makan,
minum, perlindungan, keselamatan mata pencaharian kehidupan. Firman
Allah Swt.,“Dia-lah, yang Telah menurunkan air hujan dari langit untuk
kamu, sebahagiannya menjadi minuman dan sebahagiannya (menyuburkan)
tumbuh-tumbuhan, yang pada (tempat tumbuhnya) kamu menggembalakan
ternakmu”.1

Dalam Surat yang sama Alquran menyatakan,“Dan Dia-lah, Allah yang


menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daripadanya
daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan
yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya
kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur”.2

Karena itu, sungguh beruntung negara yang memiliki wilayah hamparan


luas hijau terbentang. Berbagai kekayaan alam akan muncul di sana. Minyak
tanah, barang-barang tambang, serta hasil hutan lainnya dapat memberikan
manfaat yang sangat besar bagi kehidupan manusia. Ini semua adalah nikmat
Allah yang diberikan kepada manusia.

Sebagai kompensasinya, manusia diminta untuk merawat dan


melestarikannya. Manusia hanya diminta menjaganya agar apa yang menjadi
kekayaan lam tersebut tetap lestari dan terus dapat dinikmati oleh manusia.
Caranya adalah dengan memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan
alam serta menjauhkan dari hal-hal yang mengancam kepunahan alam serta
isinya. Sehingga kekayaan alam yang telah diberikan menjadi lestari dan
dapat dinikmati secara terus-menerus oleh umat manusia, bahkan terus di
oleh Allah SWT.

1 QS. Al-Nahl/16: 10.


2 QS. Al-Nahl/16: 14.

At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010


240
STATUS KEPEMILIKAN DAN PEMANFAATAN LAHAN TIDUR DALAM FIQH ISLAM

Namun fakta yang terjadi sering sebaliknya, Dengan rakus manusia hanya
mengambil untungnya saja, mengeksploitasi alam secara besar-besaran.
Tanpa adanya perimbangan dengan upaya untuk melaksanakan kewajiban
guna menjaga kelestarian alam, sehingga keseimbangan alam dapat terjaga.
Akibatnya, potensi kekayaan alam punah, hutan semakin menggundul,
pencemaran lingkungan makin terelakkan, sehingga banjir melanda, longsor
menerjang, badai menghantam, hama mengganas, dan kebakaran hutan
terus terjadi.

B. Pembahasan
Untuk menanggulangi kerusakan alam ini, dibutuhkan kesadaran dan
partisipasi dan segenap elemen masyarakat. Dalam hal ini, sebenarnya
pemerintah Indonesia sudah membuat aturan tentang lingkungan.
Pemerintah membuat departemen khusus yang mengurus masalah ini. Secara
teoritis apa yang dilakukan pemerintah membuat aturan-aturan tentang
pengelolaan alam sebetulnya sudah memberikan angin segar untuk menjaga
keseimbangan alam. Namun sayangnya, hal ini ternyata menimbulkan
masalah baru. Sebagian rakyat merasa hidupnya terganggu dan terbelenggu.
Terutama mereka yang menggantungkan hidupnya dari hutan. Mereka juga
memandang adanya ketidak adilan. Mestinya mereka bisa hidup cukup
dengan apa yang ada di alam sekitarnya. Akan tetapi mereka cenderung untuk
tidak mendapat apa-apa dari hasil hutan yang tiap hari dijaganya. Hutan-
hutan dikuasai oleh para pengusaha yang dengan seenaknya mengambil
hasil hutan untuk kepentingan pribadinya. Satu-satunya jalan yang mereka
tempuh adalah merampas dan mencuri. Merakapun kucing-kucingan dengan
polisi hutan maupun mandor. Walaupun harus berhadapan dengan laras
panjang, mereka tetap melakukan aksinya. Disamping itu, ada anggapan
bahwa hutan itu milik umum, semua orang bisa memanfaatkannya. Dan
tentunya merekalah yang lebih berhak dari “orang-orang jauh” yang tidak
pernah bergaul dengan hutan. Dari sini tampak ada tarik menarik yang
cukup kuat antara pemerintah dengan rakyat, khususnya rakyat kelas bawah.
Satu sisi, pemerintah, dengan aturan-aturan yang dibuatnya, menginginkan
adanya kestabilan ekosistem hutan. Di pihak lain, rakyat ingin memanfaatkan
karunia Tuhan yang telah di rampas pihak-pihak tertentu.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


241
Anton Jamal

1. Status Lahan Kosong


Dalam fiqh klasik, tanah kosong itu disebut al-mawat. Ulama berbeda pendapat
dalam mendefinisikan tanah mawat ini. Sebagian mereka mengatakan, bahwa
yang dimaksud adalah tanah yang tidak ada pemiliknya. Karena itu, tanah
yang sudah lama ditinggalkan pemiliknya, masih digolongkan tanah mawat.
Yang lain mengartikannya dengan tanah yang tidak pernah dimanfaatkan,
lalu ditinggalkan pemiliknya, tidak disebut tanah mawat. Ibn Rif’ah membagi
dua bentuk tanah mawat. Pertama, tanah yang tidak pernah dikelola oleh
seseorang. Ini adalah bentuk asal dari tanah mawat. Kedua, tanah yang pernah
dimanfaatkan oleh orang kafir, kemudian ditinggalkan. Al-Zarkasyi membagi
lahan itu menjadi empat macam. Pertama, tanah yang dimiliki dengan cara
pembelian, hibah, dan semacamnya. Kedua, tanah yang digunakan untuk
kepentingan umum. Seperti lahan yang digunakan untuk kepentingan
umum seperti pasar, jalan, dan semacamnya. Ketiga, tanah milik orang atau
kelompok tertentu. Misalnya waqaf khassah (wakaf untuk komunitas tertentu),
tanah desa, dan semacamnya. Keempat, tanah yang tidak dimiliki baik oleh
perorangan, kelompok, ataupun umum. Inilah yang disebut dengan tanah
mawat. Beberapa definisi ini sebenarnya memiliki maksud yang hampir
sama, bahwa yang dimaksud mawat adalah tanah yang tidak dikelola oleh
seseorang.3

Ada tiga cara yang dapat dilakukan untuk dapat memperoleh hak mengelola
tanah ini. Pertama, dengan cara ihya’, yakni pemanfaatan lahan yang dilakukan
oleh individu. Dalam hal ini, seseorang mematok lahan untuk digarap dan
difungsikan untuk kepentingan pribadinya. Orang yang telah melakukannya
dapat memiliki lahan tersebut. Karena itu, orang lain tidak dibenarkan untuk
mengambil alihnya. Dalam masalah ini, terjadi perbedaan pendapat di antara
para pakar Fiqh. Mazhab Syafi’i menyatakan siapapun berhak mengambil
manfaat atau memilikinya, meskipun tidak mendapat izin dari pemerintah.
Beda halnya dengan Imam Abu Hanifah. Beliau berpendapat, ihya’ boleh
dilakukan dengan catatan mendapat izin dari pemerintah yang sah. Imam
Malik juga berpendapat hampir sama dengan Imam Abu Hanifah. Hanya
saja ia menengahi dua pendapat itu dengan cara membedakan dari letak

3 Al-Bajuri, Hasyiyah al-Bajuri, Juz II, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), hal. 37

At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010


242
STATUS KEPEMILIKAN DAN PEMANFAATAN LAHAN TIDUR DALAM FIQH ISLAM

daerahnya. Jika tanah tersebut berada di daerah yang tidak terlalu penting
bagi manusia, maka tidak perlu izin Imam. Misalnya berada di daerah
padang pasir yang tidak dihuni manusia. Tapi bila berada di daerah yang
dekat dengan pemukiman, atau daerah strategis yang menjadi incaran setiap
orang, untuk melakukan ihya’ izin Imam sangat dibutuhkan.4

Dalam konteks sekarang, khususnya di Indonesia ini, dampak dari pendapat


Imam Syafi‘i sangat besar. Karena akan memperparah terjadi kerusakan
hutan. Penebangan liar, peladang berpindah atau para penambang dengan
seenaknya mengeksploitasi potensi alam tanpa memperhatikan keseimbangan
ekosistem yang ada di dalamnya. Karena itu yang lebih maslahah untuk saat
ini adalah mengikuti pendapat Imam Abu Hanifah. Semua jenis pemanfaatan
hutan (dalam bentuk ihya’), harus dengan seizin pemerintah. Tanpa itu,
seseorang tidak dibenarkan membuka lahan baru. Apa lagi pemerintah telah
menetapkan dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3. Disebutkan
bahwa bumi dan air serta kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara, dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Kedua, dengan proses iqta’, yakni pemerintah memberi jatah pada orang-orang
tertentu untuk menempati dan memanfaatkan sebuah lahan, adakalanya
untuk dimiliki, atau hanya untuk dimanfaatkan dalam jangka waktu tertentu.
Pemanfaatan dengan cara ini bisa berkonsekuensi adanya kepemilikan dan
bisa juga berarti pemberian wewenang pengelolaan. Namun yang paling
sering terjadilah kemungkinan kedua, yakni orang yang paling berhak atas
lahan tersebut, dan bukan sebagai pemilik mutlak.5

Pada dasarnya, lahan yang boleh dimanfaatkan dengan cara ini tidak terbatas

4 Sayyid ‘Alwi ibn al-Sayyid Ahmad al-Saqqaf, Hasyiyah Tarsyih al-Mustafiddin bi Tawsyiyah
Fath al-Mu‘in, (Mesir: Mustafa al-Bab al-Halaby, 1995), hal. 271. Sandaran Abu Hanifah adalah
sabda Rasul saw.:
“Tiada hak bagi siapapun kecuali apa yang telah ditentukan oleh imamnya”.
Sementara Imam Syafi’i berargumentasi dengan sabda Rasulullah saw.:

“Siapa yang menghidupkan (mengurusi) tanah yang tidak dimiliki oleh seseorang, maka
dialah pemilik segala manfaatnya. Dan orang lain tidak punya hak pada tanah tersebut”.
5 Al-Nawawi, al-Majmu‘ Syarh al-Muhazzab, Juz XV, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), hal. 232-233.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


243
Anton Jamal

pada hutan saja. Tapi bisa juga berlaku untuk pemanfaatan tempat-tempat
umum. Karena itu, membaginya menjadi dua bentuk. Pertama, pemerintah
memberi hak pada seseorang untuk mengelola dan memfungsikan sebuah
lahan di tempat umum seperti pasar, mesjid dan semacamnya. Namun tidak
dengan maksud memilikinya. Ia hanya diberi hak memanfaatkan lahan
tersebut, tidak lebih dari itu. Misalnya digunakan untuk tempat berdagang,
untuk tempat bersantai, tempat shalat dan lainnya. Ini disebut pula dengan
iqta’ irfaq. Kedua, pemerintah memberi jatah lahan pada tanah mawat untuk
dikelola dan dimanfaatkan, baik itu berupa lahan tambang, ladang, kebun
atau hutan. Sebagai yang dilakukan Nabi kepada sahabat Wayl.6

Kebijakan dari sini, kebijakan pemerintah Indonesia untuk memberi Hak


Guna Usaha (HGU) atau Hak Pengolahan Hutan (HPH) kepada sebuah
perusahaan dapat dibenarkan. Konsep ini, juga bisa berwujud dalam
kebijakan pemerintah untuk melakukan transmigrasi ke daerah-daerah,
dengan memberi lahan garapan pada masing-masing keluarga agar dikelola
dengan tanaman produktif. Dan juga dapat dilihat dari kebijakan pemerintah
yang memberi izin pengelolaan tambang pada sebuah perusahaan dalam
jangka waktu tertentu.

Hanya saja, pemerintah tidak boleh sembarangan memberikan dalam


melakukan kebijakan ini. Pemerintah harus selektif, jangan sampai
mengorbankan hak-hak rakyat ataupun kepentingan umum. Pemerintah
tidak diperkenankan menggusur hak milik rakyat hanya untuk memberikan
kesempatan kepada pengusaha untuk mengeksploitasi suatu lahan. Lahan
milik penduduk, tanah adat, tanah pekuburan dan semacamnya merupakan
tempat-tempat yang tidak boleh diserahkan kepada pengusaha untuk
dikelola. Kalau ini terjadi, jelas fiqh menentangnya.7

Ketiga, dengan cara hima’. Dalam hal ini pemerintah menetapkan suatu
area untuk dijadikan sebagai kawasan lindung yang difungsikan untuk
kemaslahatan umum. Dalam konteks dulu, difungsikan untuk tempat

6 Ibnu Qudamah, al-Mughni, Juz V, (Mesir: Matba‘ah al-Qahirah, 1970), hal. 336.
7 Al-Nawawi, Majmu‘, Juz XV,.., hal. 230-232

At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010


244
STATUS KEPEMILIKAN DAN PEMANFAATAN LAHAN TIDUR DALAM FIQH ISLAM

pengembalaan kuda-kuda milik negara, hewan zakat dan lainnya. Setelah


pemerintah menentukan sebuah lahan sebagai hima al-mawat, maka
lahan tersebut menjadi milik negara. Tidak seorangpun dibenarkan
memanfaatkannya untuk kepentingan pribadinya (melakukan ihya’), apalagi
sampai merusaknya. Kawasan itu difungsikan sesuai dengan tujuan awal
kebajikan tersebut. Jika lahan itu dimaksudkan untuk pengembalaan kuda-
kuda perang, maka pemanfaatan yang boleh hanyalah untuk kepentingan
kuda perang, maka pemanfaatan yang boleh hanyalah untuk kepentingan
kuda perang. Bila untuk ternak zakat, maka yang berhak adalah hewan
zakat. Dan begitu seterusnya. Dalam sejarah Islam dijelaskan bahwa Nabi
Saw. Pernah melakukan hal semacam ini di daerah Naqi‘, seraya berkata:

“Tidak ada hak melakukan hima, kecuali bagi Allah dan Rasul-Nya”

Hadits ini menjelaskan bahwa tanah hima itu dimaksudkan untuk menjaga
kemaslahatan masyarakat umum. Baik yang fakir ataupun yang kaya
mempunyai hak yang sama terhadap lahan tersebut. Orang yang fakir
dapat memfungsikan lahan tersebut sebagai daerah pengembalaan ternak-
ternak yang mereka dapatkan dari hasil sedekah. Sedangkan si kaya
memfungsikannya untuk mengembala kuda-kuda perang. Inilah yang
membedakan hima di zaman Islam dengan apa yang dilakukan masyarakat
Jahiliyah sebelum Islam. Kaum Jahiliyah juga mempraktikkan cara seperti
ini, namun tidak untuk kepentingan umum. Manfaat dan hasil tanah tersebut
diambil sendiri oleh pimpinan mereka.8

Terjadi perdebatan di kalangan para ulama tentang tanah hima setelah masa
Rasul. Apakah Imam berhak melaksanakan kebijakan ini. Bersandarkan
pada Hadits di atas, sebagian ulama mengatakan hima al-mawat hanya
tertentu bagi Nabi. Namun mayoritas ulama berpendapat boleh dilakukan
oleh selain Nabi, asalkan dilaksanakan oleh pemerintah serta dibutuhkan
oleh semua masyarakat, serta bukan untuk kepentingan perutnya sendiri.
Syarat lain yang harus dipenuhi untuk kebolehan melakukan hima al-mawat

8 Al-Syawkani, Nayl al-Autar, Juz V, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), hal. 308-309.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


245
Anton Jamal

adalah area yang dibuat suaka tidak membuat masyarakat merasa sempit
atau terganggu, dan tanah tersebut benar-benar kosong (tidak sedang dihuni,
dibuat ladang pertanian atau kebutuhan hidup lainnya). Namun yang
penting, lahan tersebut dimaksudkan untuk menjaga kemaslahatan umum.
Dan inilah pendapat yang unggul. Karena ternyata ini pernah dilakukan oleh
khalifah Abu Bakar, ‘Umar ibn Khattab dan lainnya.9

Dalam konteks keindonesiaan, bentuk ketiga ini tertuang dalam kebijakan


pemerintah untuk membuat kawasan lindung yang berfungsi sebagai daerah
penyangga sebagai paru-paru kota. Kebijakan ini juga dapat kita lihat dengan
penetapan beberapa kawasan sebagai hutan lindung yang berfungsi sebagai
cagar alam. Dalam UU Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan, pemerintah
telah membagi hutan dalam tiga kelompok besar. Pertama, hutan lindung,
yaitu kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan
kehidupan untuk tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah
intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah. Pengelola hutan ini hanya
pemerintah di bawah pengawasan badan internasional yang bergerak di
bidang kehutanan. Kedua, hutan konservasi, ialah kawasan hutan yang
mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan
satwa serta ekosistemnya. Ketiga, hutan produksi, yaitu kawasan hutan yang
mempunyai tugas pokok memproduksi hasil hutan.
Hutan kategori pertama dan kedua harus tetap dan selalu dipelihara
kelestariannya. Siapapun tidak boleh mengotak-atiknya, bahkan samapai
mengubahnya. Disamping fungsi yang sudah disebutkan agar hutan tersebut
bernilai komersial dan memberikan penghasilan atau bahkan bernilai mata
pencaharian warga sekitar, maka bisa dupayakan bagaimana hutan tersebut
menjadi objek kawasan wisata. Untuk jenis hutan yang ketiga, warga sekitar
atau siapapun baik baik secara kolektif atau secara perorangan bisa turut
serta mengelolanya. Dengan demikian, hal tersebut bisa menjamin adanya
kelestarian, dalam arti tidak terjadi hutan gundul. Kalau memang tidak
mendapat apa yang sedang ditanam di hutan, bisa juga warga diberi hak
untuk memanfaatkan lahan dengan ditanami palawija atau tanaman lain
yang bisa diandalkan untuk keberlangsungan hidup.

9 Al-Bukhari, Matn al-Bukhari, Juz II..., hal. 53.

At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010


246
STATUS KEPEMILIKAN DAN PEMANFAATAN LAHAN TIDUR DALAM FIQH ISLAM

2. Pemanfaatan Hasil Hutan


Kebijakan seperti ini jelas bertujuan untuk menjaga kepentingan umum,
karena itu tidak ada alasan untuk melarangnya. Dan dengan pertimbangan
kemaslahatan, Islam sangat mendukung dengan apa yang dilakukan
pemerintah. Meskipun dalam kenyataan di lapangan tidak mesti demikian.
Di sana-sini masih banyal penyelewengan dan bisa membuka jalan monopoli.
Tapi yang terpenting adalah secara normatif Islam melegalisasinya. Oleh
karena itu siapapun, juga dilarang mendirikan bangunan atau membuat
ladang pertanian bahkan mendirikan pabrik dan sejenisnya di kawasan
yang di lindungi (hima al-mawat). Konsekuensinya kalau sudah terlanjur
menempatinya, dia harus mau berpindah. Kalau masih ngotot dan bersikeras
pada pendiriannya, penguasa berhak menggusurnya.

Larangan lain yang harus dijauhi oleh warga adalah mengambil manfaat,
semisal kayu. Baik untuk memenuhi kebutuhan keluarga ataupun dijual.
Nmaun demikian ini ada ukurannya. Tidak semua pemanfaatan kayu hutan
dikategorikan sebagai pelanggaran. Jika yang diambil itu hanya barang
(pohon, satwa dan lain-lain) yang remeh-remeh, nilai komersialnya rendah
atau bahkan tidak ada, fiqh masih memberikan toleransinya. Artinya, boleh
saja mengambil barang di kawasan hutan lindung tersebut selama eksisitensi
barang yang diambil itu tidak hilang. Seperti mengambil ranting, daun atau
akar serta barang yang kurang nyata manfaatnya atau nilai komersialnya
sangat rendah. Tetapi, jika yang diambil itu barang penting, atau nilainya
sangat mahal, semisal pohon langka, pohon besar dan semacamnya, maka
dengan tegas fiqh melarangnya. Jadi boleh tidaknya mengambil itu dilihat
dari sisi apakah akibat pengambilan itu eksisitensi dan fungsi barang
tersebut akan hilang atau tidak, (min hayth al-iftiyat). Kalau tidak sampai
menghilangkan eksisitensi dan fungsinya, maka ada kelonggaran untuk
memanfaatkannya.10

Larangan ini juga merembet ke transaksi selanjutnya. Misalnya hasil curian


atau jarahan tersebut diperjual belikan. Namun hukumnya tidak bisa dipukul

10 Wahbah Zuhayli, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Juz II, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1984), hal.
574.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


247
Anton Jamal

samarata, masih ada klasifikasinya. Pertama, pihak pembeli memang tahu


bahwa yang dibeli itu adalah barang haram, maka transaksi yang dilakukan
dianggap tidak sah karena memang tidak memenuhi syarat-rukun akad
jual beli. Dan hukumnya jelas haram karena membantu seseorang dalam
perbuatan maksiat. Kedua, kalau orang yang membeli itu benar-benar
tidak tahu bahwa barang itu adalah haram (hasil curian), dan orang yang
menjual berpenampilan seperti orang baik-baik (bukan tampang kriminal),
maka pihak pembeli tidak berdosa dan ia tidak akan dituntut di akhirat.
Sebaliknya, jika yang menjual punya potongan pencuri atau mencurigakan,
maka di akhirat tetap dihukumi sah sebab transaksinya secara zahir (kasat
mata) sudah benar.11

Hal yang sama juga mesti diperhatikan demi kelestarian lingkungan adalah
menghindari eksploitasi yang berlebihan. Walau telah mendapat HPH,
para pengusaha tidak dibenarkan melakukan usahanya sehingga merusak
ekosistem hutan. Misalnya dengan membakar, atau melakukan penebangan
hingga membuat hutan menjadi gundul. Dan juga dilarang menggunakan
obat-obatan yang banyak mengandung bahan kimia. Sehingga dapat
mengakibatkan pencemaran baik udara maupun air. Karena semua perbuatan
ini termasuk ifsad fi al-ard, yang telah dilarang oleh Alquran, “ Dan janganlah
kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya
dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (Tidak akan diterima) dan
harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada
orang-orang yang berbuat baik.”12

Dalam tafsirnya, al-Qurtubi menyatakan bahwa larangan dalam ayat ini


berlaku mutlak. Artinya, Allah melarang manusia untuk merusak ekosistem
alam ini. Al-dhahhak menyatakan, arti ayat ini adalah, janganlah kamu
mencemarkan air, memotong pepohonan yang berbuah dan semacamnya. 13

11 Al-Malybari, I‘anah al-Talibin, Juz III, (Indonesia: Maktabah Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah,
t.t), hal. 9.
12 Qs. al-A‘raf/7.
13 Al-Qurtubi, al-Jami‘, Juz IV, hal. 227

At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010


248
STATUS KEPEMILIKAN DAN PEMANFAATAN LAHAN TIDUR DALAM FIQH ISLAM

3. Wewenang Pemerintah
Pemerintah mempunyai kekuasaan sangat besar untuk mengatur hutan.
Dan pemerintah harus mampu menjamin kesejahteraan rakyat. Yakni
dengan cara membagi-bagikan kekayaan alam kepada mereka yang
membutuhkannya secara adil, bukannya menguasai untuk kepentingan
pribadinya. Parameternya bukan siapa yang jauh atau dekat, tapi mereka
adalah yang lebih butuh dan mampu mengelola sumber daya alam. Sehingga
cita-cita dan tujuan kemaslahatan umum benar-benar terwujud nyata. Sesuai
dengan kaedah Fiqh:

“Kebijakan pemerintah terhadap rakyatnya harus berdasarkan


pertimbangan kemaslahatan” 14

Karena itu, sepatutnya pemerintah lebih selektif untuk menentukan pihak-


pihak yang diberi izin mengelola hutan. Jangan sampai memberi kesempatan
pada pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Yang mengeruk hasil hutan
tanpa memikirkan kesimbangan lingkungan. Jika dalam pelaksanaannya
pihak yang diberi kewenangan tersebut melakukan pelanggaran, misalnya
merusak hutan, atau mencemari air, pemerintah berhak mencabut izin
usahanya. Sebagaimana yang dilakukan Khalifah Umar kepada Bilal bib
Harits yang tidak mampu mengelola dengan baik lahan yang telah diberikan
oleh Rasul.15

Tidak itu saja, pemerintah juga punya hak untuk memberlakukan sanksi
kepada “raja hutan” yang telah mengeksploitasi hutan demi kepentingan
pribadinya. Begitu juga para pencuri kayu dari kawasan lindung, mereka
juga harus dijerat hukum. Mereka dapat dikenai hukuman karena telah
merusak alam. Akibat perbuatan mereka, hutan menjadi gundul, alam
menjadi gersang, sungai dan pantai menjadi tercemar. Akibatnya, tanah
longsor, banjir, erosi terjadi dimana-mana. Ini tentu membahayakan
kehidupan manusia. Karena itu sangat pantas kalau mereka mendapat

14 Al-Sayuti, al-Asybah wa al-Nazair fi al-Furu‘, (Indonesia: al-Haramayn, t.th.), hal. 83-84.


15 Ibn Qudamah, al-Mughni..., hal. 337-338.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


249
Anton Jamal

hukuman atas perbuatan mereka itu.

Memang di antara para penebang pohon itu ada yang beranggapan bahwa
alam semesta ini adalah milik negara dan digunakan atau dimanfaatkan
sepenuhnya untuk kemakmuran rakyat. Dan mereka semua adalah rakyat
yang punya bagian dari alam tersebut. Jadi, seandainya ada rakyat yang
mengambil sesuatu dari kawasan hutan, maka sama saja dengan mengambil
sebagian hak yang dia miliki. Karena itu pemerintah tidak berhak menjatuhkan
sanksi.

Anggapan semacam ini tentu tidak dapat dibenarkan. Karena pertama,


setelah pemerintah menetapkan sebuah kawasan lindung, semua rakyat
wajib patuh pada keputusan tersebut. Dan rakyat tidak lagi punya hak
untuk memanfaatkannya. Bukankah Allah memerintahkan manusia untuk
patuh pada apa yang telah diputuskan pemerintah?. Kedua, dalam teori
fiqh, memang dikenal istilah syubhah, yakni terjadinya ketidakjelasan baik
karena benar-benar tidak tahu atau karena ada percampuran kepemilikan.
Dalam hal ini, rakyat mempunyai hak atas hutan karena hutan itu memang
diperuntukkan untuk kemaslahatan rakyat. Ketika mereka mengambil kayu
hutan itu bisa digolongkan sebagai tindakan syubhah. Namun, adanya syubhah
ini bukan berarti hukuman akan hilang. Orang yang melakukan tindakan
kejahatan dengan cara ini tetap harus menadapat hukuman. Sebab syubhah
hanya bisa menggugurkan had hukuman-hukuman yang pasti dari Tuhan,
seperti potong tangan, qisas dan semacamnya) dan Kaffarah (sanksi karena
melanggar sumpah dan lainnya), namun tidak menggugurkan ta’zir. Karena
pencuri hutan dapat dihukum dengan mengatas namakan ta’zir.16

Sudah pasti yang menjadi tolok ukur untuk memberikan sanksi adalah
seberapa besar, kerusakan alam yang terjadi. Oknum yang telah menghabiskan
banyak kayu hutan untuk kepentingannya sendiri, tentu harus dihukum

16 Dalam khazanah Fiqh Klasik, mereka dapat dikenakan hukuman ta’zir (hukuman yang tidak
disebutkan secara langsung oleh syara‘). Sebab yang menjadi patokan dalam ta’zir adalah setiap
orang yang melakukan kemungkaran, atau menyakiti serta membahayakan orang lain. Dalam
hal ini, mereka telah melakukan perbuatan yang dapat membahayakan kepentingan umum.
Muhammad al-Zuhayli, al-Nazariyyah al-Fiqhiyyah, (Mesir: Matba‘ah al-Qahirah), hal. 61.

At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010


250
STATUS KEPEMILIKAN DAN PEMANFAATAN LAHAN TIDUR DALAM FIQH ISLAM

lebih berat dari orang yang hanya mencuri beberapa batang kayu hutan
untuk kayu bakar, serta memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Mereka
tidak bisa disamakan. Apalagi dibalik, si “raja rimba” mendapat hukuman
yang ringan, sementara orang kecil hukumannya berat. Sebab Alquran
mengajarkan agar kadar hukuman yang diberikan kepada seseorang harus
sesuai dengan kejahatan yang dilakukan.

C. Penutup
Dari penjelasan di atas dapat di pahami, bahwa Islam adalah agama yang
mengatur seluruh sisi kehidupan manusia tidak hanya yang berhubungan
dengan ibadah mahdah (hubungan manusia dengan Allah Swt.), juga mengatur
mu’amalah (hubungan sesama manusia). Disamping itu hukum-hukum yang
sudah terdapat dalam Alquran dan Sunnah selain dapat dipahami secara
tekstual juga terbuka untuk dipahami secara kontekstual. Dan fiqh adalah
produk pemahaman terhadap kedua sumber hukum tersebut. Sehingga
wajar, jika pemahaman-pemahaman para ulama terdahulu perlu di kaji
kembali dalam konteks kekinian. Sebagaimana halnya pemahaman para
ulama yang berkaitan dengan status kepemilikan dan pemanfaatan lahan
tidur di atas, yang dalam bahasa fiqh lebih dikenal dengan ihya al-mawat.
Akan tetapi pemahaman fiqh yang kontekstual dan kekinian tersebut tidak
boleh lepas dari ruh al-tasyri‘ (maqasid al-ayari‘ah) dan bertentangan dengan
dalil-dalil khusus.
Kebijakan-kebijakan pemerintah dalam mengatur kepemilikan dan
pengelolaan lahan tidur termasuk hutan, dapat dipahami sebagai upaya
untuk menjaga kemaslahatan umum yang tidak bertentangan dengan
dalil-dalil khusus dan maqasid al-syari‘ah yaitu : menjaga jiwa dan harta dari
ancaman bencana alam, sebagai akibat dari kerusakan yang di buat oleh
sebahagian manusia.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


251
Anton Jamal

Daftar Pustaka

Al-Bukhari. Matn al-Bukhari, Juz II, Beirut: Dar al-Fikr, t.th.

Al-Bajuri, Hasyiyah al-Bajuri, Juz II, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.

Al-Nawawi. al-Majmu‘ Syarh al-Muhazzab, Juz XV, Beirut: Dar al-Fikr, t.th.

Ibn Qudamah. al-Mughni. Juz V, Mesir: Matba‘ah al-Qahirah, 1970.

Al-Sayuti, al-Asybah wa al-Naza’ir fi al-Furu‘, Indonesia: al-Haramayn, t.th.

Sayyid ‘Alwi bin al-Sayyid Ahmad al-Saqqaf. Hasyiyah Tarsyih al-Mustafiddin


bi Tawsyiyah Fath al- Mu‘in. Mesir: Mustafa Bab al-Halaby, 1995.

Al-Syawkani. Nayl al-Autar. Juz V. Beirut: Dar al-Fikr, t.th.

Wahbah Zuhayli, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh. Juz II. Damaskus: Dar al-Fikr,
1984.

Al-Malybari. I‘Anah al-Talibin, Juz III, Indonesia: Maktabah Ihya’ al-Kutub al-
‘Arabiyyah, t.th.

At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010


252
PEMBERDAYAAN EKONOMI UMAT
DALAM PERSPEKTIF FIQH MODERN
(Penerapan Konsep Mudārabah pada Program
Gerakan Masyarakat Aceh Darussalam)

Fauzi Saleh

Abstract

Mudarabah is the concept based on profit and loss sharing (PLS). The concept
has been applied either in Islamic World or non-moslem World as well. For
Aceh especially as province applied Syariah law, the concept is precise way
to upgrade to the ummah economic grade. As a case, Gema Assalam as
mentioned below, should be modified with this concept. Here, the society
will see how the justice of the concept in sharing the loss and profit will be
applied. By this awareness, the worker and the investor will believe each
other to apply the business based on mudarabah concept.

Key words: mudārabah, pemberdayaan ekonomi


Fauzi Saleh

A. Pendahuluan
Kondisi daerah khususnya, tingkat kemiskinan masyarakat Nanggroe
Aceh Darussalam dengan penduduk 4.166.040 jiwa, penduduk miskin
telah mencapai 1.223.704 jiwa (33,84 %) dari jumlah penduduk. Dilihat dari
laporan terakhir dari Kabupaten/Kota keadaan Februari 2003 dengan jumlah
penduduk 4.133.510 jiwa, penduduk miskin telah mencapai 60,31 %1. Kondisi
demikian dapat dikatakan sudah sangat kritis dan diperlukan langkah
perbaikan segera..2

Penanggulan kemiskinan dapat menitikberatkan pada pemberdayaan


masyarakat sebagai pendekatan operasional, merupakan wujud komitmen
pemerintah dalam merealisasikan kesejahteraan sosial bagi masyarakat
yang digambarkan dalam sila kelima dari Pancasila. Pemerintah mempuyai
kewajiban untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui program-
program penanggulangan dan pengentasan kemiskinan. Sehingga setiap
warga negara mendapatkan penghidupan yang layak sebagaimana yang
tercantum dalam UUD 45 pasal 273

Untuk tujuan ini diperlukan program-program pembangunan gampong


melalui upaya-upaya terobosan dalam bentuk gerakan pembangunan

1 Maksudnya mereka yang belum terpenuhi kebutuhannya baik pangan, sandang maupun
papan yang merupakan salah satu dari lima kebutuhan dharurinya, yang kemaslahatanya harus
diwujudkan dan dipelihara. Kelima unsur itu – kata al-Syatibi- adalah agama, jiwa, keturunan, akal
dan harta. Dalam usaha mewujudkan dan memelihara lima unsur pokok itu, ia membagi kepada
tiga tingkat maqasid atau tujuan syari’ah, yaitu: al-darûriyyât, al-hâjiyât dan al-tahsiniyât.
Tidak terwujud daruriyat dapat merusak kehidupan dunia dan akhirat secara keseluruhan. Namun
apabila dianalisis lebih jauh, ketiga tingkat itu tidak dapat dipisahkan. Tampaknya bagi al-Syatibi,
tingkat hajiyat adalah penyempurna tingkat daruriyat, tingkat tahsiniyat merupakan penyempurna
lagi bagi tingkat hajiyat. Sedangkan daruriyat menjadi pokok hajiyat dan tahsiniyat. (Lihat Al-
Syatibi, al-Muwâfaqât , Juz 2, hal 8. Menurut Asafri Jaya Bakri, jika diperhatikan Syatibi juga
membagikan maslahah kepada dua bagian: dunyawiyah dan ukhrawiyah, namun ia bukanlah
garis pemisah antara dua orientasi kandungan hukum Islam. Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqasid
Syari’ah Menurut al-Syitibi (Jakarta: Rajawali Press, 1996), hal. 72-73), al-Syatibi, al-Muwafaqat
fi usul al-Ahkam, Juz 2 (Beirut: Dar al-Fikr, 1451H), hal. 3-4.
2 Pemda NAD, Petunjuk Teknis Operasional Program Gema Assalam, (Banda Aceh: Pemda
NAD,2003), hal. 1.
3 “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Murasa Sarkaniputra, Hutanku, Hutanmu, Hutan Kita semua, Cet. I, (Bogor: Yayasan Bina
Lingkungan Gunung Salak, 2003), hal. 43.

At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010


254
PEMBERDAYAAN EKONOMI UMAT DALAM PERSPEKTIF FIQH MODERN

yaitu Gema Assalam (Gerakan Masyarakat Aceh Darussalam). Program


pembangunan gampong masa sebelumnya dalam penanggulangan
kemiskinan, dengan menitikberatkan pada pemberdayaan masyarakat
sebagai pendekatan operasionalnya.4

Namun dalam perjalanannya tidaklah mulus, khususnya dalam membantu


percepatan penanggulangan kemiskinan melalui usaha Ekonomi Produktif
masyarakat dan sekaligus dapat terbuka lapangan usaha serta menciptakan
lapangan kerja.5

Sasaran dari program ini akan memberikan dampak positif kiranya bila
ditunjang dengan konsep islami yang sudah terbukti kemampuannya. Penulis
ingin menguraikan plus minus perjalanan program ini dan pembenahan
yang diperlukan dalam etos kerjanya dengan merujuk al Qur’an, sunnah,
Ahkam syari’ah, shuratic process, Pancasila, UUD 45, DNA Cromosom, tawhidi
epistemology dan seterusnya, insya Allah akan tercover sebagian permasalah
terutama dalam pemberdayaan Ekonomi rakyat di Nanggroe Aceh
Darussalam.

Dengan metode komperatif antara beberapa mazhab, penulis mencoba


mengungkapkan konsep Islam tentang mudarabah yang sejalan dengan
perkembangan bisnis modern dan mencoba memikirkan langkah-langkah
apa saja yang kiranya dapat mereformasikan pola yang sudah ada dengan
merujuk kepada al-Qur’an, sunnah, Ahkam syari’ah, shuratic process (proses
musyawarah), Pancasila, UUD 45, DNA Cromosom, tauhidi epistemology6
dan seterusnya.

B. Sekilas tentang Gema Assalam


Munculnya Gema Assalam ini dilatarbelakangi oleh keinginan Pemerintah

4 Pemda NAD, Petunjuk Teknis Operasional…, hal. 2.


5 Ibid., hal. 3.
6 Tauhidi epistemology ini dapat diartikan teori pengetahuan berdasarkan tauhid, yang
karakternya: premis aksiomatiknya tidak berubah-ubah, tidak terpecah-pecah, dalam kesatuan
dan sempurna dan dapat diimplementasikan secara universal kepada semua sistem. Murasa
Sarkaniputra, Tauhidi Epistemologi, hal 13-24.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


255
Fauzi Saleh

Daerah untuk memperdayakan ekonomi rakyat terutama mereka yang


berada di bawah garis kemiskinan, sebagaimana yang diuraikan dalam
pendahuluan di atas.

Landasan pelaksanaannya didasarkan pada Keputusan Gubernur No.


24 Tahun 2002 tentang: Petunjuk Pelaksanaan Program Masyarakat Aceh
Darussalam7.

Di antara maksud dan tujuannya adalah membantu percepatan pelaksanaan


pembangunan masyarakat gampong dengan percepatan penanggulangan
kemiskinan melalui pemberdayaan masyarakat dalam rangka pemenuhan
kebutuhan dasar masyarakat, meningkatkan kesadaran sosial, kesadaran
berbangsa dan negara, mendorong pelaksanaan syari’at Islam, meningkatkan
kemampuan lembaga adat dan menciptakan lapangan kerja.8 Program riil
sebagai pembangunan sarana dan prasarana yaitu: air bersih, listrik dan
telepon, perumahan rakyat, jalan dan jembatan, usaha ekonomi produktif,
bantuan peralatan, bibit, pupuk, sarana ibadah, pendidikan, kesehatan, pos
obat, pasar gampong dan kantor mukim.9 Sedangkan sasaran utamanya
adalah kemukiman berpenduduk miskin dengan prioritas lokasi yang
dipilih10

C. Konsep Islami dalam Berbinis


Yang diberikan kepada masyarakat berupa kail, bukan ikan, yang layak
dipakai dan sesuai dengan tuntunan Ilahi, sehingga usaha yang dikerjakan
memiliki dimensi duniawi dan ukhrawi, dalam hal ini penulis sebut dengan
konsep Islami.11 Apalagi tuntunan Ilahi-lah yang telah membuktikan

7 Surat Keputusan Gubernur NAD, tertanggaal 31 Juli 2002, hal. 1.


8 Ibid., hal. 2
9 Ibid., hal. 3
10 Ibid
11 Hal ini mengacu kepada tauhidi epistemology bahwa ghayah (tujuan) hidup setiap insan
hadalah mardhatillah, maka harus dimulai dengan niat li Allah, yang disenergikan dengan
kaifiat (cara) berdasarkan syari’ah. Aksioma ini diikuti oleh asumsi, yakni pelarangan atas riba,
gharar, dan israf. Yang klimaksnya menghasilkan suatu komoditi yang halal dan thayyib. Murasa
Sarkaniputra, Tauhidi Epistemologi, hal. 26.

At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010


256
PEMBERDAYAAN EKONOMI UMAT DALAM PERSPEKTIF FIQH MODERN

keberhasilan dalam berbagai sektor kehidupan manusia. Memang tidak


mengada-ada, bahkan sudah pernah tercatat dalam sejarah dimana tingkat
kemiskinan mencapai titik nol dalam dunia Islam, yaittu di masa Umar
ibn ‘Abd al-Aziz. Salah satu indikatornya ialah sulitnya menemukan orang
yang bersedia menerima zakat karena tidak merasa dirinya miskin.12 Untuk
mengaplikasi hal tersebut penulis hanya membahas berkenaan dengan usaha
ekonomi produktif.

Bagi NAD khususnya memiliki kesempatan emas – dalam kaitannya dengan


penerapan syari’at Islam – untuk membentuk qanun khusus yang menetapkan
bentuk-bentuk transaksi usaha Islami sebagaimana yang diamanahkan
dalam ayat 2, Bagian Kelima, Pasal 9, Undang-Undang No. 44 tahun 1999.13

1. Kendala
Kendala yang dihadapi dalam pembangunan suatu investasi, termasuk
Gema Assalam, terdiri dari aspek:
1. Hardware, yaitu ketersediaan sarana dan prasarana yang tergolong
piranti keras, seperti lahan dan infrastruktur yang cukup untuk dapat
dikembangkan investasi yang disalurkan Gema Assalam.
2. Software, yaitu system informasi yang menjelaskan konsep bridging
network antara Gema Assalam dengan masyarakat.
3. Orgware, yaitu terbentuknya suatu organisasi yang sehat secara
evolutif. Bekerja didasarkan pada prinsip akuntabilitas, transparansi,
efektif, efesien, partisipatif, sehingga menghasilkan kebijakan yang
demokratis dan adil.
4. Finware, yaitu efektivitas biaya dengan tingkaat analisis investasi yang
menyeluruh.
5. Ecoware, yaitu adanya lingkungan yang dapat memberikan kontribusi

12 Ali Yafie, Menggagas Fiqh Sosial, Cet. II, (Bandung: Mizan, 1994) hal 200.
13 Bunyinya: Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) (maksudnya: Badan yang
beranggotakan ulama, penulis) bersifat Independen yang berfungsi memberikan pertimbangan
terhadap kebijakan Daerah, termasuk bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan
serta tatanan ekonomi Islami MPU, Kumpulan Undang-undang, PERDA, QANUN, dan Instruksi
Gubernur tentang Keistimewaan Nanggroe Aceh Darussalam, (Banda Aceh: MPU, 2002), hal.
6-7.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


257
Fauzi Saleh

dan pengkondisian baik secara parsial/individu maupun komunitas


secara kualitatif.14

Konsep mudarabah kiranya dapat memberikan solusi yang berarti dari kendala-
kendala di atas. Karena Hardware, Software, dan Orgware – walaupun tidak
sepenuhnya – namun dapat dikatakan sudah tersedia. Sekarang konsep
ini sejauh praktek yang dijalankan memang efektive dalam hal investasi.
Ecoware sendiri itu akan terbentuk ketika masyarakat harus bermuamalah
secara Islami, karena – mau tidak mau – harus mengikuti cara main yang
diatur dalam kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya SAW.

Masyarakat Aceh ada yang bekerja sebagai petani, juga ada nelayan dan
pedagang. Sebelum diberikan investasikan kepada mereka, maka hendaknya
didata mana di antara mereka yang paling membutuhkan investasi pemerintah
berupa Gema Assalam. Yang sama sekali tidak berasaskan pertimbangan
kerabat, kasih sayang seterusnya15

2. Mudârabah salah satu konsep Usaha Islami


Islam mengedepankan suatu konsep Mudarabah (Profit and Loss System),
yaitu suatu system usaha berbagai laba dan rugi, dimana pihak-pihak yang
melakukan investasi memberikan modal, tenaga kerja, manajemen pada
kesepakatan kontrak untukusaha patungan dengan prosentase nisbah
ditentukan diawal kontrak.16Ia merupakan tranformasi Islam dari suatu
perekonomian modern yang merupakan penggantian pranata bunga17.

Konsep yang ditawarkan Islam sangat bervariasi yang sangat applicable baik
bagi masyarakat kota maupun desa, petani, nelayan, pedagang atau lainnya
dapat menjalankan usaha islami ini. Konsep ini memiliki prinsip-prinsip

14 Murasa Sarkaniputra, Jauhar, Vol. 3 No. 2 (Jakarta: UIN, 2002) hal. 195-196.
15 Ibn Taimiyyyah, al-Siyâsah al-Syar’iyyah, (Beirut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah,2000), hal. 54-
55.
16 Murasa Sarkaniputra, Hutanku,..., hal. 46.
17 Muhammad Najetullah Siddiqi, Issues in Islamic Bank, diterjemahkan oleh Asep Hikmat
Suhendi, (Bandung: Pustaka, 1984), hal. 132.

At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010


258
PEMBERDAYAAN EKONOMI UMAT DALAM PERSPEKTIF FIQH MODERN

Ekonomika Islami, yakni: tauhid dan ukhuwwah, kerja dan produktivitas,


keadilan distributive, santun lingkungan18. Yang perspektif dan produktivitas
kerjanya untuk mencapai tiga sasaran; mencukupi kebutuhan hidup (isyba`),
meraih laba yang wajar (irbah) dan menciptakan kemakmuran lingkungan
baik sosial maupun alamiah (al-i`mar).19

Penerapan konsep Mudârabah yang kaitannya dengan Gema Assalam:


a. Gema Assalam dianggap sebagai rabb al-mal (investor) yang
memberikan modal kepada mudarib (dalam hal ini masyarakat yang
berekonomi lemah).
b. Selanjutnya si mudarib secara bebas sepenuhnya dapat berdagang
dengan modal yang dipercayakan dengan cara yang dianggap
paling baik dan mengambil langkah yang dianggap perlu untuk
mendapatkan keuntungan maksimum
c. Pihak Gema Assalam dan mudarib keduanya berhak menentukan
jangka waktu kontrak kemitraan20
d. Mudarabah termasuk kontrak ghayr lazim (tidak mengikat), artinya
pihak Gema Assalam dan Mudarib, keduanya berhak untuk
membatalkan kontrak, demikian pendapat Hanafi, Syaf’ie dan
Hanbali.21
e. Bila dalam satu modal untuk dikerjakan oleh sekian mudarib, maka
hasilnya dibagikan sesuai dengan kadar perbuatan mereka.22

3. Etika Bisnis Islami


Supaya bisnis dapat berjalan baik, maka hendaknya pihak investor dan
mudarib mengikuti etika Islam dalam mengayun langkah bisnis, di antaranya;
a. Motivasi untuk berbakti, yakni hendakya berniat untuk memberikan

18 Murasa Sarkaniputra, dkk, Tauhidi Epistemologi, (Jakarta: UIN, 2003), hal. 28.
19 Ibid., hal. 31.
20 Azalur Rahman, Economic Doctrine of Islam, diterjemahkan oleh: M Sonhadji, dkk, Jilid 3
(Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), hal. 386.
21 Wahbah al Zuhayli, Fiqh al-Islâm wa adillatuh, (Suriah: Dar al Fikr, 1997), Cet. VII, hal.
3929.
22 Ibid.,hal. 3930.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


259
Fauzi Saleh

pengabdian yang diharapkan olehmasyarakatnya dan manusia secara


keseluruhan.
b. Ingat Kepada Allah dan prioritas utamanya, artinya kesadaran akan
Allah ini, hendaknya menjadi sebuah kekuatan pemicu (driving force)
dalam segala tindakannya. 23

4. Macam-macam Mudarabah
a. Mudarabah Mutlaqah, yakni bentuk kerja sama antara sahib al-mal dan
mudarib yang cakupannya sangat luas dana tidak ditabatasi oleh
spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis.
b. Mudarabah Muqayyadah (restricted mudarabah) yaitu si mudarib dibatasi
denganbatasaanjenis usaha, waktu atau tempat usaha.24 Model kedua
ini kiranya lebih mudah dalam pelaksanaan Gema Assalam, karena
lebih mudah dalam pengontrolan dan memiliki batasan-batasan yang
dibuat untuk mencapai target.

5. Rukun Mudarabah
Menurut Hanafiah ada dua rukun akad mudarabah, yaitu ijab dan qabul.
Sedangkan jumhur, rukunnya ada tiga: `aqidan (pemilik harta dan pekerja),
ma`qud `alayh (modal, pekerjaan dan laba), sighah (ijab dan qabul). Asy-
Syafi’iyyah menggapnya lima: modal, pekerjaan, laba, sighah dan `aqidan 25

6. Syarat-syarat mudarabah:
Rabb al-mal dan mudarib sebagai DNA-Chromosomenya mudhrabah,
keduanya disyaratkan: keduanya memiliki kekuasaan untuk melakukan
tawkil dan wakalah.

Yang menjadi kewajiban mudarib: bersikap amanah, boleh memiliki bentuk


usaha apa saja pada mudarabah mutlaqah dan investor menentukan jenis
usaha tertentu pada muqayyadah, melaksanakan operasional yang layak.

23 Mustaq Ahmad, Business Ethics in Islam, diterjemahkan oleh Samson Rahman dengan judul
Etika Bisnis Dalam Islam, Cet. I, (Jakarta: al-Kautsar, 2001), hal 112-114.
24 Syafi’i Antonio, Bank Syariah, Cet. VI, (Jakarta: GIP, 2001), hal. 97.
25 Wahbah al-Zuhayli, Fiqh al-Islâm wa adillatuh …, hal. 3928.

At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010


260
PEMBERDAYAAN EKONOMI UMAT DALAM PERSPEKTIF FIQH MODERN

Sedangkan haknya: mendapatkan keuntungan sesuai perjanjian, tidak


menanggung resiko bila telah menjalankan tugasnya sesuai prosedur.26

Yang menjadi kewajiban mudarib: bersikap amanah, boleh memiliki bentuk


usaha apa saja pada mudarabah muthlaqah dan investor menentukan jenis
usaha tertentu pada muqayyadah, melaksanakan operasional yang layak.
Sedangkan haknya: mendapatkan keuntungan sesuai perjanjian, tidak
menanggung resiko bila telah menjalankan tugasnya sesuai prosedur.27
Syarat pada laba
a. Hendaknnya laba itu jelas kadarnya, karena bila laba itu samar-
samar menyebabkan akad itu rusak28. Menurut Hanafiah, bila ada
syarat yang menyebabkan samarnya kadar laba maka syarat itu bisa
merusak akad mudarabah. Menurut Malikiyah, boleh mensyaratkan
laba itu untuk salah satunya atau kepada orang lain.
b. Laba hendaknya berbentuk bagian tertentu yang sudah masyhur,
seperti: 1/3, 1/2, 1/4, dan sebagainya. Tidak boleh dalam jumlah pasti,
misalnya 100 dinar.29

7. Hukum-Hukum Mudarabah
a. Fasidah, bentuknya seperti kata seseorang kepada temannya:
pasanglah nyala ikan, nantinya kita bagi dua. Menurut Hanafiah,
Syafi’iyyah dan Hanabilah bahwa si mudarib tidak berkewajiban

26 Wahbah al-Zuhayli, Fiqh al-Islâm wa adillatuh, hal 3944-3950, Abdullah Saeed berpendapat
bahwa apabila terjadi kerugian, maka investor menanggungnya sepanjang tidak terbukti bahwa
mudharib menyelewengkan atau terjadi kesalahan manajemen dari dana mudhârabah berdasarkan
persyaratan kontrak yang telah disepakati dengan investor.(Abdullah Saeed, Islamic Bank,
diterjemahkan Muhammad Ufuqul Mubin, dkk dengan judul Bank Islam dan Bunga (Yogyakarta:
pustaka Pelajar, 2003), cet. I, hal. 106.
27 Wahbah al Zuhayli, Fiqh al-Islâm wa adillatuh…hal 3944-3950, Abdullah Saeed berpendapat
bahwa apabila terjadi kerugian, maka investor menanggungnya sepanjang tidak terbukti bahwa
mudarib menyelewengkan atau terjadi kesalahan manajemen dari dana mudarabah berdasarkan
persyaratan kontrak yang telah disepakati dengan investor.(Abdullah Saeed, Islamic Bank,
diterjemahkan Muhammad Ufuqul Mubin, dkk dengan judul Bank Islam dan Bunga, Cet. I,
(Yogyakarta: pustaka Pelajar, 2003), hal. 106.
28 Syams al-Din al-Sarakhsi, al-Mabsut, Juz 22, (Beirut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1414 H),
cet. I 27, Wahbah al- Zuhayli, Fiqh al-Islâm wa adillatuh… hal. 3937.
29 Wahbah al-Zuhayli, Fiqh al-Islâm wa adillatuh…,hal. 3940

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


261
Fauzi Saleh

melakukan seperti akad mudarabah yang shahih. Namun bagi pekerja


cukup dibayar upah saja.30
b. Sahihah. Ini merujuk kepada kondisi tangan mudarib, pekerjaan
mudarib, sebagian merujuk kepada apa yang berhak dipemuroleh
mudarib dari pekerjaannya dan rabb mal dari modalnya.
- tangan mudarib: sepakat imam mazhab bahwa mudarib orang
yang memegang amanah berupa modal yang ada pada tangannya
sama dengan wadi’ah. Apabila mensyaratkan bahwa mudarib
menjamin kerugian, maka syarat ini dianggap batil dan akadnya
sah menurut pendapat Hanafiah dan Hanabilah. Sementara
menurut Malikiyah dan Syafi’iyyah menggapnya akadnya fasid
karena syarat itu menambahkan gharar yang kontradiksi dengan
normalnya akad.
- Tasarruf mudarib: hukumnya berbeda tergantung jenis mudarabah
yang dijalankan yakni muqayyadah dan muthlaqah.
- Hak-hak mudarib ada dua hal: nafaqah (biaya operasional) dari
harta mudarabah dan laba yang ditentukan dalam akad. Tentang
biaya operasional, ada tiga pendapat: Syafi’ie dalam salah satu
pendapatnya mengatakan tidak berhak. Ibrahim al-Nakha’ie dan
Hasan Basri berkata: berhak baginya baik ketika musafir atau
tidak. Jumhur mengatakan: berhak nafakah ketika musafir saja. 31

8. Modal
Modal: hendaknya berbentuk uang, diketahui jumlahnya, cash, diserahkan
kepada mudarib.Laba: Hendaknya jelas jumlahnya, jelas prosentase
pembagiannya32. Untuk menghindari perselisihan,, dalam kontrak mudarabah
secara khusus ditentukan jumlah modal yan disertakan dalam bentuk
sejumlah mata uang yang beredar. 33 Namun tidak boleh dianggap bahwa

30 `Alauddin Abu Bakar bin Mas’ud al-Kasani, Badai` al-Shana-I`…hal.108, Wahbah al-
Zuhayli, Fiqh al-Islâm wa adillatuh… ,hal. 3941
31 Wahbah al-Zuhayli, Fiqh al-Islâm wa adillatuh… ,hal 3957
32 Wahbah al-Zuhayli, Fiqh al-Islâm wa adillatuh., hal 3931-3940
33 Ibn Rusyd, Bidâyat al-Mujtahid wa nihâyat al-muqtashid, Juz. II, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.,),
hal. 78

At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010


262
PEMBERDAYAAN EKONOMI UMAT DALAM PERSPEKTIF FIQH MODERN

modal dalam kontrak tersebut sebagai bentuk hutang pihak mudarib kepada
investor34.Alasannya adalah kalau dianggap hutang maka dimungkinkan si
investor mengambil keuntungan dari hutang tersebut, dan itu adalah riba
yang dipraktekkan pada masa pra-Islam35.

9. Pembagian Keuntungan dan Pertanggung jawaban Kerugian


Persentase nisbah yang ditentukan ditentukan oleh:
- nisbah relatif dari modalyang diberikan oleh tiap rekanan dalam
proyek penggunaan-modal (capital-using project) atau .
- nisbah upah relatif dari curahan tenaga kerja dalam kasus proyek
penggunaan-tenagaan kerja (labour using project) .
- oleh relatif dari nilai uang yang ditaruh oleh masing-masing
perusahaan dalam suatu kasus proyek patungan (inter-firm supervision
of the joint project).36

10. Pertanggungjawaban Kerugian


Jika terjadi kerugian dalam usaha, maka hal tersebut dianggap sebagai reduksi
atas modal dan ditanggung oleh pemilik modal itu sendiri. Hukuman atas
gagalnya permasukan tambahan modal ini tidak sepantasnya dibebankan
kepada pihak yang menjalankan usaha tersebut.37Tapi jika si mudarib
melanggar persetujuan kontrak dan mengalami kerugian dalm usahanya,
maka dia harus bertanggung jawab atas setiap kerugian yang dialami. 38

11. Pembagian Keuntungan


Bagian keuntungan setiap pihak harus ditetapkan sesuai bagian atau
prosentasi. Membagi keuntungan kepada pihak yang memperoleh modal
melalui mudarabah dan kepada pemilik modal ditetapkan dengan suatu
ukuran keuntungan yang sederhana, misalnya, seperdua, sepertiga, atau

34 Ibn Qudamah, al-Mughni, Juz 5 (Riyad: Maktabat al-Riyad al-Hadithah, 1981), hal. 73.
35 Ahmad Saeed, Islamic Bank, hal. 94
36 Murasa Sarkaniputra, Tauhidi Epistemology, hal. 35-36
37 M. Nejatullah Siddiqi, Partnership and Profit Sharing in Islamic Law, (Yogyakarta: PT.
Dana Bhakti Prima Yasa, 1996), hal 15-18
38 Ibn Qudamah, al-Mughni, Juz 5, hal. 54

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


263
Fauzi Saleh

seperempat. Apabila satu jumlah ditentukan, misalnya untuk salah satu


pihak memperoleh 100.000 rupiah di luar keuntungan, atau kurang dari itu,
atau lebih dari itu, dan sisanya untuk pihak lain, hal seperti ini tidak sah. Jadi
pembagian keuntungan dilakukan melalui tingkat perbandingan ratio, bukan
ditetapkan dengan jumlah (uang) pasti.39

D. Aksiologi Konsep Mudarabah Gema Assalam terhadap NAD:


1. Prinsip mudarabah dalam Gema Assalam ini menurut hemat
penulis merupakan salah satu langkah cara meningkatkan peran
masyarakat dalam pelaksanaan otonomi daerah, dimana mereka
ikut bertanggung jawab dan mengelola daerahnya sendiri termasuk
dalam mengembangan keuangan dana Gema Assalam sebagai salah
satu asset daerah, sebagaimana yang dimaksudkan dalam UU No. 22
tahun 199 dengan Peraturan Pemerintah No. 25/200040
2. Dapat menghindari kerugian daerah, mengingat pertanggungjawaban
dari konsep mudarabah ini sangat transparan. Mengingat bahwa dana
Gema Assalam sebagiannya berasal dari APBN dan APBD. Namun
kalau konsep mudarabah ini tidak dapat dijalankan maka akan
mengakibatkan penyaluran uang yang tidak semestinya, akhirnya
dikenakan tuntutan Ganti Rugi Keuangan dan Material Daerah
sebagai yang tercantum dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No.
11 tahun 197841
3. Dengan menjadikan konsep mudarabah dapat memperdayakan
ekonomi rakyat, berarti pemerintah daerah secara tidak langsung telah
membantu negara dari keterpurukan ekonomi yang berkelanjutan
dan mengurangi ketergantungan kepada IMF42. Karena mudarabah

39 Sarakhsi, al-Mabsût, Juz 22 (Beirut: Dar al-Fikr, 1409 H), hal. 18


40 Isinya berkenaan dengan kewenangan pemerintah dan pemerintah propinsi sebagai daerah
otonom yang menjadi landasan implementasi otonomi daerah telah membawa angin segar bagi
pemerntah dan masyarakat daerah untuk dapat mengurus dan mengelola daerahnya sendiri. Laode
Ida, Otonomi Daerah, Demokrasi Lokal dan Clean Government, (Jakarta: PSPK, 2000), cet. I,
hal. 61.
41 D. J. Mamesah, Sistem Administrasi Keuangan Daerah, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1995), cet. I, hal 158-159.
42 Sebagaimana yang terjadi pada tahun 1997, dimana pemerintah mencoba menghentikan

At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010


264
PEMBERDAYAAN EKONOMI UMAT DALAM PERSPEKTIF FIQH MODERN

merupakan konsep ekonomi yang bebas bunga. 43

E. Penutup
Gema Assalam – menurut hemat penulis – memiliki sasaran dan objek yang
jelas, demikian pula pelaksanaannya. Rancangan konsepnya operasionalnya
pun terasa memadai. Namun masih perlu ditingkatkan pembekalan pelaksana
dari jajaran atas hingga bawah dengan etika bisnis Islami yang merupakan
salah satu perwujudan pembangunan manusia seutuhnya sebagaimana
tercantum dalam GBHN.

Konsep mudarabah merupakan suatu alternatif yang sangat prospektif, di


samping sejalan dengan penerapan syariat Islam, juga sudah teruji akan
kemampuannya untuk mencapai kemajuan usaha yang qurani.

keterpurukan nilai mata uang dan inflasi. Untuk itu, perlu pinjaman besar-melalui dan dibawah
pengawasan IMF. Bappenas, Menuju Konsesus Baru (Jakarta: Bappenas, 2001), hal 37.
43 Salah satu akibat yang paling serius dari bunga adalah kecenderungan endemis bank-bank
untuk berlebih-lebihan dalam memberikan kredit. Penyebabnya adalah cara penciptaan uang baru
tersebut dalam suatu sistem berdasarkan bunga tergantung pada operasi-opersi peminjaman bank-
bank komersial. Muhammad Najetullah Siddiqi, Issues in Islamic Banking, hal 112.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


265
Fauzi Saleh

Daftar Pustaka
Ahmad, R. Mustaq. Business Ethics in Islam, diterjemahkan oleh Samson,
Cet.I. Jakarta: al-Kautsar, 2001.

Al-Zuhayli, Wahbah. Fiqh al-Islâm wa Adillatuh. Suriah: Dar al-Fikr, 1997.

Al-Syatibi. al-Muwafaqat fi ushûl al-Ahkâm. Juz 2. Beirut: Dar al-Fikr, 1451H.


hal. 3-4.

Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syariah. Jakarta: GIP, 2001.

Bakri, Asafri Jaya. Konsep Maqasid Syari’ah Menurut al-Syitibi. Jakarta:


RajaGrafindo, 1996.

Bappenas. Menuju Konsesus Baru. Jakarta: Bappenas, 2001.

Ibn Qudamah. al-Mughni. Juz 5. Riyad: Maktabat al-Riyad al-Hadithah, 1981.

Ibn Rusyd. Bidâyat al-Mujtahid wa Nihâyat al-Muqtasid. Juz II. Beirut: Dar al-
Fikr, t.th.

Ibn Taymiyyyah, al-Siyâsah al-Syar’iyyah. Beirut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah,


2000.

Ida Laode. Otonomi Daerah, Demokrasi Lokal dan Clean Government. Jakarta:
PSPK, 2000.

Mamesah D.J. Sistem Administrasi Keuangan Daerah. Jakarta: Gramedia


Pustaka Utama, 1995.

MPU. Kumpulan Undang-undang, PERDA, QANUN, dan Instruksi Gubernur


tentang Keistimewaan Nanggroe Aceh Darussalam. Banda Aceh: MPU, 2002.
NAD, Pemda. Petunjuk Teknis Operasional Program Gema Assalam. Banda

At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010


266
PEMBERDAYAAN EKONOMI UMAT DALAM PERSPEKTIF FIQH MODERN

Aceh: Pemda NAD, 2003.

NAD, Surat Keputusan Gubernur, tertanggal 31 Juli 2002.

Rahman, Azalur. Economic Doctrine of Islam, diterjemahkan oleh: M Sonhadji,


dkk. Jilid 3. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995.

Saeed, Abdullah. Islamic Bank, diterjemahkan Muhammad Ufuqul Mubin,


dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.

Sarakhsi. Al-Mabsût. Juz 22. Beirut: Dar al-Fikr, 1409 H.

Sarkaniputra, Murasa, Jauhar, Vol. 3 No. 2. Jakarta: UIN, 2002.

-----------. dkk. Tauhidi Epistemologi. Jakarta: UIN, 2003.

-----------.Hutanku, Hutanmu, Hutan Kita semua. Bogor: Yayasan Bina


Lingkungan Gunung Salak, 2003.

Siddiqi, M. Nejatullah. Partnership and Profit Sharing in Islamic Law.


Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1996.

-----------. Issues in Islamic Bank, diterjemahkan oleh Asep Hikmat Suhendi.


Bandung: Pustaka, 1984.

T. Agustin. S. UUD’45,amandemen ke-4 tahun 2002. Semarang: Aneka Ilmu,


2002.

www.transparansi.or.id

www.xs4all.nl

Yafie, Ali. Menggagas Fiqh Sosial. Bandung: Mizan, 1994.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


267
At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010
268
IHTIKAR DALAM PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM

Ida Fitriana
Staff Pengajar STAI Teungku Dirundeng Meulaboh, Aceh Barat

Abstract

Ihtikar is a form to collect the daily need and done by someone for his interest
without attention the scare condition of society. The practice leads the impact
for the society where they hardly find the need in market. The aim of the
practice is to raise up the price when the need could not be found in the
market. So, the trader will get the great profit, meanwhile, the society will
face the great problem with it. Here, Islamic Law plays an important role to
solve the problem

Key words: Ihtikar, Hukum Islam


Ida Fitriana

A. Pendahuluan
Urgensi bisnis tidak bisa dipandang sebelah mata. Bisnis selalu memegang
peranan vital dalam kehidupan sosial dan ekonomi manusia sepanjang masa.
Hal ini pun masih berlaku di era kehidupan sekarang. Karena kekuatan
ekonomi mempunyai kesamaan makna dengan kekuatan politik, sehingga
urgensi bisnis mempengaruhi semua tingkat individu, sosial, regional,
nasional dan internasional.

Keterlibatan Muslim dalam dunia bisnis bukanlah merupakan suatu


fenomena baru. Kenyataan tersebut telah berlangsung sejak empat belas abad
yang lalu. Hal tersebut tidaklah mengejutkan karena Islam menganjurkan
umatnya untuk melakukan kegiatan bisnis. Rasulullah Saw. sendiri telah
terlibat di dalam kegiatan ini selama beberapa tahun.

Obyek muamalah dalam Islam mempunyai bidang yang amat luas, sehingga al-
Qur’an dan as-Sunnah secara mayoritas lebih banyak mebicarakan persoalan
muamalah dalam bentuk global dan umum saja. Hal ini menunjukkan bahwa
Islam memberikan peluang bagi manusia untuk melakukan inovasi terhadap
berbagai bentuk muamalah yang mereka butuhkan dalam kehidupan
mereka, dengan syarat bahwa bentuk muamalah hasil inovasi ini tidak bisa
keluar dari prinsip-prinsip yang telah ditentukan oleh Islam.

Apabila ditinjau dalam kegiatan perdagangan, banyak sekali kita melihat hal-
hal berdampak negatif yang dilakukan oleh pedagang. Seperti melakukan
penipuan, penimbuan dan segala bentuk kecurangan lainnya. Islam sangat
melarang terhadap masalah ini. Islam menganjurkan dalam melakukan
transaksi muamalah harus mempunyai etika (moral) dengan tujuan dapat
menguntungkan kedua belah pihak, baik pembeli maupun penjual.1

B. Ihtikar dalam Perspektif Etimologi dan Terminologi Agama


Menimbun (ihtikar) berasal dari kata hakara yang berarti az-zulm (aniaya)
dan isa’ah al-mu’asyarah (merusak pergaulan). Dengan timbangan ihtakara,

1 Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, (Jakarta :
Sinar Grafika, 1994), hal. 5-10.

At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010


270
IHTIKĀR DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

yahtakiru, ihtikar. Kata ini berarti upaya penimbunan barang dagangan


untuk menunggu melonjaknya harga.

Ada beberapa definisi ihtikar yang dikemukakan ulama fiqh. Imam asy-
Syaukani (1172-1250H/1759-1824 M), mendefinisikan dengan: “penimbunan
adalah penahanan barang dagangan dari peredarannya”.

Imam al-Ghazali (450-505H/1058-1111 M), pakar fiqh Syafi’iyah,


mendefinisikan dengan: “penimbunan adalah penyimpanan barang
dagangan oleh penjual makanan untuk menunggu melonjaknya harga, dan
menjualnya ketika harga melonjak”.2

Ulama Malikiyah mendefinisikan ihtikar dengan: “penimbunan adalah


penyimpanan barang oleh produsen baik makanan, pakaian, dan segala
barang yang boleh merusak pasar”.3

Jadi dari uraian di atas dapat diambil suatu pengertian, penimbunan ialah
membeli sesuatu dan menyimpannya agar barang tersebut berkurang
dimasyarakat sehingga harganya meningkat dan dengan demikian manusia
akan terkena kesulitan.

Penimbunan baik berbentuk uang tunai maupun bentuk barang, sangatlah


bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam terminologi Islam, penimbunan
harta seperti emas, perak dan yang lainnya disebut iktinaz, sementara
penimbunan barang-barang seperti makanan dan kebutuhan sehari-hari
disebut ihtikar.

Islam juga melarang praktek penimbunan makanan pokok, yang sengaja


dilakukan untuk dijual jika harganya telah melambung, pada masa
kekhalifahannya. Umar bin khathab mengeluarkan sebuah peringatan
keras terhadap segala praktek penimbunan barang-barang yang menjadi

2 Mustaq Ahmad, Etika Bisnis dalam Islam, terjh, Samson Rahman, Jakarta : Pustaka al-
Kautsar, 2001, hal. 56-98
3 Ibid.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


271
Ida Fitriana

kebutuhan masyarakat. Dia tidak membolehkan seorangpun dari kaum


Muslimin untuk membeli barang-barang sebanyak-banyaknya dengan niatan
untuk dia timbun.4

Babilii juga mengatakan bahwasanya proses penimbunan bukan hanya


mengkorupsi komoditas yang ditimbun namun juga kekayaan yang
ditimbun. Korupsi kekayaan, menurut Babili, adalah menyetop keuntungan
dari barang itu untuk sampai pada orang lain. Penimbunan barang akan
menghambat dan menghentikan sirkulasinya, dan akan mengakibatkan
tersendatnya distribusi kekayaan.

Menurut Maududi, larangan terhadap penimbunan makanan, disamping


untuk memberikan pelayanan pada tujuan-tujuan tertentu, ia juga bertujuan
untuk mengeliminasi kejahatan black-market (pasar gelap) yang biasanya
muncul seiring dengan adanya penimbunan tersebut. Rasulullah ingin
membangun sebuah pasar bebas, dengan demikian harga yang adil dan
masuk akal bisa muncul sebuah pasar bebas, dengan demikian harga
yang adil dan masuk akal bisa muncul dan berkembang sebagai hasil dari
adanya kompetisi yang terbuka. Abu Dhar, seorang sahabat Rasulullah yang
sangat kritis dalam menyikapi penimbunan harta benda ini, berkeyakinan
bahwasanya penimbunan harta benda itu adalah haram, meskipun telah
dibayarkan zakatnya.

Yusuf Qaradawi mengatakan perbuatan menimbun menunjukkan adanya


motivasi ananiyah (mementingkan diri sendiri), tanpa menghiraukan bencana
dan mudharat yang akan menimpa orang banyak, asakan dengan cara itu dia
dapat mengeruk keuntungan yang besar.5

1. Dasar Hukum pelarangan Ihtikar


Dasar hukum dari pelarangan ihtikar, yang dikemukakan para ulama fiqh
yang tidak membolehkannya adalah hasil induksi dari nilai-nilai universal

4 Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1999), hal. 46-49.
5 Yusuf Qaradawi, Min Hady al-Islam Fatawa Mu’asirah, juz 2, (Cairo : Dar al-Wafa’, 1995),
hal. 67-80.

At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010


272
IHTIKĀR DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

yang dikandung al-Qur’an yang menyatakan bahwa setiap perbuatan aniaya,


termasuk didalamnya ihtikar, diharamkan. Diantara ayat-ayat itu adalah
firman Allah dalam surat al-Maidah yang berbunyi:

“Bertolong-tolonglah kamu atas kebaikan dan jangan bertolong-


tolongan atas dosa dan permusuhan”. (al-Maidah/6: 2).

Kemudian hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, al-Tirmidhi dan


Muslim dari Muammar, bahwa Nabi Saw. bersabda:

“Siapa yang melakukan penimbunan, ia dianggap bersalah”.

Selanjutnya hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, al-Hakim, Ibn Abi Syaibah
dan al-Bazzaz, bahwa Nabi Saw. bersabda:

“Siapa orang yang menimbun barang pangan selama 40 hari, ia


sungguh telah lepas dari Allah dan Allah lepas dari padanya”.6

2. Jenis Barang yang Haram Ditimbun


Dalam masalah ini para fuqaha berbeda pendapat mengenai dua hal, yaitu
jenis barang yang diharamkan menimbunnya, dan waktu yang diharamkan
orang menimbun.

Ulama Malikiyah, sebagian ulama Hanabilah, Abu Yusuf (731-798 M),


dan Ibn ‘Abidin (1198-1252 H/1714-1836 M), keduanya pakar fiqh Hanafi,
menyatakan bahwa larangan ihtikar tidak terbatas pada makanan, pakaian,
dan hewan, tetapi meliputi seluruh produk yang diperlukan masyarakat.
Menurut mereka, yang menjadi illat (motivasi hukum) dalam larangan
melakukan ihtikar itu adalah kemudharatan yang menimpa orang banyak.

6 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Juz III, (Kairo: Dar al-Fath li al I’lam al-‘Arabiy, 1990), hal. 57-
70

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


273
Ida Fitriana

Oleh sebab itu, kemudharatan yang menimpa orang banyak tidak terbatas
pada makanan, pakaian da hewan, tetapi mencakup seluruh produk yang
diperlukan orang.7

al-Syawkani tidak merinci produk apa saja yang disimpan, sehingga


seseorang dapat dikatakan sebagai muhtakir (pelaku ihtikar) jika menyimpan
barang itu untuk dijual ketika harga melonjak. Bahkan al-Syawkani tridak
membedakan apakah penimbunan itu terjadi ketika pasar berada dalam
keadaan normal (pasar stabil), ataupun dalam keadaan pasar tidak stabil. Hal
ini perlu dibedakan, karena menurut jumhur ulama, jika sikap para pedagang
dalam menyimpan barang bukan untuk merusak harga pasar, tentu tidak
ada larangan. Menurut Fathi al-Durayni, al-Syawkani memang termasuk
kedalam kelompok ulama yang mengharamkan ihtikar pada seleruh benda /
barang yang diperlukan oleh masyarakat banyak.

Sebagian ulama Hanabilah dan al-Ghazali mengkhususkan keharaman


ihtikar pada jenis makanan pokok saja. al-Ghazali berkata, “Adapun yang
bukan makanan pokok dan bukan pengganti makanan pokok, seperti
obat-obatan, jamu dan za’faran, tiada sampailah larangan itu kepadanya,
meskipun dia itu barang yang dimakan. Adapun penyerta makana pokok,
seperti daging, buah-buahan dan yang dapat menggantikan makanan pokok
dalam suatu kondisi, walaupun tidak mungkin secara terus-menerus, maka
ini termasuk hal yang menjadi perhatian. Maka sebagian ulama ada yang
menetapkan haram menimbun minyak samin, madu, minyak kacang, keju,
minyak zaitun, dan yang berlaku seperti itu.

Dari penjelasan al-Ghazali ini, Yusuf Qaradawi menilai bahwa mereka


(sebagian fuqaha) menganggap al-qut (makanan pokok) itu hanya terbatas
pada makanan kering, seperti roti, dan nasi (beras) tanpa minyak samin dan
lauk-pauk. Sehingga keju, minyak zaitun, madu, biji-bijian, dan sejenisnya
dianggap di luar kategori makanan pokok.8

7 Ibid.
8 Ibid.

At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010


274
IHTIKĀR DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

Apa yang mereka sebutkan sebagai makanan pokok itu menurut ilmu
pengetahuan modern tidak cukup untuk menjadi makanan sehat bagi
manusia, sebab untuk menjadi makanan sehat haruslah memenuhi sejumlah
unsur pokok, seperti protein, zat lemak, dan vitamin. Jika tidak begitu, maka
manusia akan menjadi sasaran penyakit karena kondisi makanan yang buruk.

Pada zaman kita sekarang ini obat-obatan telah menjadi kebutuhan pokok
bagi manusia, demikian pula halnya pakaian dan lainnya. Hal ini disebabkan
kebutuhan manusia terus berkembang sesuai dengan perkembangan kondisi
kehidupan mereka. Betapa banyak perkara yang asalnya bersifat tahsini atau
kamali (pelengkap) kini menjadi kebutuhan. Begitupun sesuatu yang semula
sebagai kebutuhan dapat berubah menjadi daruri (kebutuhan yang sangat
pokok, yang apabila tidak terpenuhi akan menimbulkan bencana).

Dengan demikian, Yusuf Qaradawi berpendapat haram menimbun setiap


macam kebutuhan manusia, seperti makanan, obat-obatan, pakaian, alat-alat
sekolah, alat-alat rumah tangga, alat-alat kerja, dan lainnya. Sebagai dalilnya
ialah keumuman hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim :

“Tidak menimbun kecuali orang yang berbuat dosa”. (HR. Muslim).

Waktu diharamkam menimbun


Mengenai waktu dihramkannya menimbun para ulama juga berbeda
pendapat. Sebagian ulama memberlakukan larangan itu untuk semua waktu,
tidak membedakan antara waktu sempit dan waktu sempit dan waktu lapang,
karena disandarkan pada keumuman larangan. Demikianlah sikap para salaf
dan wara’.9

al-Ghazali mengatakan bahwa mungkin juga waktu itu dihubungkan


dengan waktu sedikitnya persediaan makanan, sedangkan manusia
membutuhkannya, sehingga menunda penjualannya akan menimbulkan
mudharat. Adapun jika makanan itu banyak dan berlimpah sementara

9 Ibid.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


275
Ida Fitriana

manusia tidak memerlukan dan menginginkannya dengan harga yang


murah maka pemilik makanan itu boleh menungu, dan ia tidak menunggu
musim kemarau (paceklik). Maka hal ini tidak menimbulkan kemelaratan
(mudharat).

Apabila seseorang menyimpan ( menimbun) madu, minyak samin, minyak


kacang, dan sebagainya pada waktu kemarau, maka akan mendatangkan
kemelaratan, dan hal ini seyogyanya dihukumi haram. Karena yang menjadi
pegangan tentang haram dan tidaknya persoalan ini adalah mendatangkan
kemelaratan, dan ini dapat dipahami dengan menentukan jenis makanan
tersebut.

Kalaupun menimbun tidak mendatangkan kemelaratan, namun hal ini


tidak lepas dari hukum makruh, karena ia menunggu faktor-faktor tertentu
yang menyebabkan kemelaratan, yaitu kenaikan harga. Maka menunggu
hal-hal yang membawa kemelaratan itu harus diawasi sebagaimana
menunggu kemelaratan itu sendiri, meskipun tingkatnya masih dibawahnya
menunggu kemelaratan itu sendiri masih dalam kategori di bawah memberi
kemelaratan.

Sedangkan para ahli fiqh berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan


penimbunan terlarang adalah yang terdapat syarat-syarat sebagai berikut:
1. Bahwa barang yang ditimbun adalah kelebihan dari kebutuhannya
berikut tanggungan untuk persediaan setahun penuh. Karena
seseorang boleh menimbun persediaan nafkah untuk dirinya dan
keluarganya untuk persiapan selama ini (satu tahun).
2. Bahwa orang tersebut menunggu saat memuncaknya harga barang
agar ia dapat menjualnya dengan harga yang tinggi karena orang
sangat membutuhkan barang tersebut kepadanya.
3. Bahwa penimbunan dilakukan pada saat dimana manusia sangat
membutuhkan barang yang ditimbun, seperti makanan, pakaian
dan lain-lain. Jika barang-barang yang ada di tangan pedagang
tidak dibutuhkan manusia, maka hal itu tidak dianggap sebagai
penimbunan, karena tidak menyebabkan kesulitan bagi manusia.

At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010


276
IHTIKĀR DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

4. Hukum Ihtikar
Berdasarkan pada ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Rasulullah Saw di atas, para
ulama fiqh spakat menyatakan bahwa ihtikar tergolong kedalam perbuatan
yang dilarang (haram). Seluruh ulama sepakat menyatakan bahwa melakukan
ihtikar itu hukumnya haram, meskipun terjadi perbedaan pendapat tentang
cara menetapkan hukum itu, sesuai dengan sistem pemahaman hukum yang
dimiliki mazhab masing-masing. Perbedaan pendapat itu adalah sebagai
berikut :

Pendapat pertama, dikemukakan oleh ulama Syafi’iyah, Hanabilah,


Malikiyah, Zaydiyah, dan Zahiriyah. Menurut mereka, melakukan ihtikar
hukumnya haram. Alasan yang mereka kemukakan adalah ayat dan hadits-
hadits yang telah disebutkan di atas. Menurut para ulama Malikiyah, ihtikar
hukumnya haram, dan harus dapat dicegah oleh pemerintah dengan segala
cara, karena perbuatan itu memberikan mudharat yang besar terhadap
kehidupan masyarakat, stabilitas ekonomi masyarakat dan negara.10 Oleh
sebab itu, pihak penguasa harus segera turun tangan untuk mengatasinya,
sesuai dengan kaidah Fiqh yang menyatakan :

“Hak orang lain terpelihara secara syara”.

Dalam kasus ihtikar, yang paling utama dipelihara adalah hak konsumen,
karena menyangkut orang banyak; sedangkan hak orang yang melakukan
ihtikar hanya merupakan hak pribadi. Tatkala kepentingan pribadi
bertentangan dengan kepentingan orang banyak, maka yang didahulukan
adalah kepentingan orang banyak.

Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa hadits yang mengatakan bahwa ihtikar


merupakan suatu pekerjaan yang salah, mengandung pengertian yang dalam.
Orang yang melakukan kesalahan dengan sengaja berarti telah berbuat suatu
pengingkaran terhadap ajaran syara’. Mengingkari ajaran syara’ merupakan
perbuatan yang diharamkan.

10 Ibid.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


277
Ida Fitriana

C. Penutup
Dari uraian diatas maka dapat dambil suatu kesimpulan bahwa penimbunan
merupakan suatu hal yang sangat dilarang oleh Syara”. Karena didalamnya
terdapat sifat ananiyah (mementingkan diri sendiri) tanpa memperhatikan
kepentingan masyarakat banyak.

Islam sangat mengutamakan keadilan dalam kegiatan ekonomi umat muslim


yaitu keadilan dalam bidang produksi, distribusi, dan konsumsi. Dalam
kegiatan ekonomi Islam, semua pihak merasakan kepuasan tanpa menzalimi
suatu pihak. Salah satu aktivitas ekonomi dalam Islam adalah bisnis
(perdagangan). Islam telah menetapkan aturan-aturan umum mengenai
bidang bisnis ini.

Islam mengakui adanya mekanisme pasar dan harga, tetapi dalam Islam
tidak sama dengan mekanisme pasar sistem ekonomi kapitalisme. Kekuatan
penggerak aktivitas pasar dalam Islam adalah ta’awun (tolong menolong)
dan ‘an taradin minkum (suka sama suka). Untuk memberikan keadilan
kepada semua pihak, ekonomi Islam menekankan agar pedagang tidak
menjual barang dengan harga yang terlalu rendah. Apabila dikaitkan dengan
penimbunan, disini terdapat berbagai kecurangan yang dilakukan oleh
pedagang, yaitu merugikan pihak konsumen dan yang terlebih parah adalah
dapat merusak harga pasar.

Oleh karena itu perlu dilakukannya intervensi dari pemerintah agar harga
pasar dapat berjalan dengan normal. Pemerintah berhak memaksa pedagang
untuk menjual barang itu dengan harga standar yang berlaku di pasar.
Bahkan menurut mereka, barang yang ditimbun oleh para pedagang itu dijual
dengan harga modalnya dan pedagang itu tidak berhak untuk mengambil
untung, sebagai hukuman terhadap tindakan mereka.

At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010


278
IHTIKĀR DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

Daftar Pustaka
Ahmad, Mustaq, Etika Bisnis dalam Islam, terjh, Samson Rahman, Jakarta :
Pustaka al-Kautsar, 2001.

an-Nabhani, Taqy al-Din. Membangun sistem ekonomi Alternatif Perspektif Islam,


Terjh: Maghfur Wachid, Surabaya: Risalah Gusti,1996.

Haroen, Nasrun, Fiqh Muamalah, Jakarta : Gaya Media Pratama, 1999.

Pasaribu, Chairuman dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam,


Jakarta : Sinar Grafika, 1994.

Qaradawi, Yusuf, Min Hady al-Islam Fatawa Mu’asirah, juz 2, Cairo : Dar al-
Wafa’, 1995.

Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, Kairo: Dar al-Fath li al I’lam al-‘Arabiy, 1990.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


279
At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010
280
KONSEP MAKANAN DALAM ISLAM

Asmawati
Staff Pengajar STAI Teungku Dirundeng Meulaboh, Aceh Barat

Abstract

The food is an important thing to produce eneryg and support human life. In
Islam, the food that we consume should be based on two point things; halal
and tayyib. Halal means the food is kind of substance allowed by syari’ah and
a right effort. Meanwhile, it contains the vitamin and calory to support the
health and brain development.

Key words: Makanan, halal


Asmawati

A. Pendahuluan
Makanan adalah salah satu hasil produksi yang paling banyak dijumpa di
pasaran. Tingkat kesehatan dan keamanan makanan ini sering diabaikan
oleh banyak konsumen. Perkembangan industri makanan yang cukup luas
saat ini, telah mendorong produksi makanan dalam variasi bentuk dan rasa.
Berjuta perusahaan produser makanan kini menggunakan bahan kimia,
perisa, enzim, aroma, pewarna, hormon dan sebagainya bagi menarik daya
beli konsumen.

Dalam membincangkan tentang makanan, umat Islam tidak dapat lari dari
membicarakan makanan yang halal dan haram. Dalam konteks ini, nass- nass
Alquran dan al-Hadith serta pendapat fuqaha memberi panduan hukum
bagi menentukan kategori-kategori makanan ini. Hukum yang diperoleh
itu, adalah wajib diamalkan oleh umat Islam, di mana mereka wajib memilih
makanan yang halal untuk dimakan dan meninggalkan makanan-makanan
yang haram. Oleh itu mengetahui makanan halal dan haram adalah satu
perkara yang wajib dipahami oleh umat Islam.

Perhatian Islam terhadap makanan sedemikian besar, karena tidak dapat


dinafikan bahwa makanan mempunyai pengaruh yang sangat besar
terhadap pertumbuhan dan kesehatan jasmaniah. Hal yang terpenting yang
sering tegaskan Islam adalah pengaruh makanan terhadap perkembangan
jiwa manusia (mental). Syeh Taqi Falsafi seorang ulama kontemporer, dalam
bukunya Child between Heredity and Education menguatkan pendapatnya
dengan mengutip pemikiran Alexis Carrel, pemenang Nobel Kedokteran
dengan tulisan sebagai berikut:

“Pengaruh dari campuran (senyawa) kimiawi yang dikandung oleh


makanan terhadap aktivitas jiwa dan fikiran manusia tidak boleh
dikesan secara sempurna, karena belum lagi diadakan eksperimen
yang memandai. Namun tidak dapat diragukan bahwa perasaan
manusia dipengaruhi oleh kualitas dan kuantiti makanan.” 1

1 Taqi Falsafi, Child between Heredity and Education, (Beirut: al-‘alami Library, 1969), hal.
17.

At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010


282
KONSEP MAKANAN DALAM ISLAM

Jika demikian, makanan mempunyai pengaruh yang cukup kuat bukan


saja pada fisik (tubuh) tetapi juga jiwa dan perasaan manusia. Kenyataan ini
boleh dilihat pada beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa minuman
keras merupakan langkah awal yang mengakibatkan langkah-langkah
kepada kejahatan. Secara logik, orang yang meminum minuman keras tidak
boleh meluruskan sikap dan tindakannya. Mereka tidak sadar apa saja
yang dilakukannya. Hal ini disebabkan pengaruh minuman tersebut boleh
merusak jiwa dan jaringan fikiran. Ini pula yang menjadi qarinah larangan
terhadap melaksanakan shalat dalam keadaan mabuk.

Dalam hal ini, Rasulullah Saw. mengaitkan antara terkabulnya do’a dengan
makanan halal sebagaimana sabda Baginda yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim:

“Hai seluruh manusia, sesungguhnya Allah Maha Baik. Dia tidak


menerima (sesuatu) kecuali yang baik. Dia memerintahkan kaum
mukmin sebagaimana memerintahkan para Rasul dengan firman-Nya,
“Wahai Rasul, makanlah rezeki yang baik yang telah Kami anugerahkan
kepadamu”. (Kata perawi) Rasul kemudian menceritakan tentang
seorang musafir yang kumal dan kotor menadah tangan ke langit
berdo’a, “wahai Tuhan, wahai Tuhan….(tetapi) makanannya haram,
minumannya haram, pakaiannya haram, barangan haram, maka
bagaimana do’nya akan dikabulkan.”2

Maksud dari hadith di atas adalah perintah memakan makanan yang baik-
baik setaraf dengan perintah mengerjakan amal saleh. Amal saleh itu tidak
mungkin (dapat dikerjakan) kecuali dengan makan, minum, berpakaian,
dan apa saja yang diperlukan oleh seorang manusia seperti tempat tinggal,
kendaraan, buku-buku untuk belajar dan sebagainya. Akibatnya adalah amal
saleh yang akan diterima adalah amal saleh yang dilakukan berdasarkan
aturan-aturan Allah dan kesucian jiwa serta kesucian raga. Begitu pula ketika
seseorang berdoa memohon kepada Allah, hendaklah ia melakukannya
dalam keadaan suci lahir maupun batin.

2 Muslim bin Hajjaj, Sahih Muslim, (Turki: al-Maktabah Islamiy, 1972), hal. 147.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


283
Asmawati

Dalam Alquran Allah juga menjelaskan bahwa persoalan makanan


mempunyai tujuan untuk menciptakan kestabilan keamanan sebagai dua
sebab utama beribadah kepada Allah. Begitu antara lain kandungan firman-
Nya :
3

Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan yang menguasai rumah (ka’bah)


ini. Tuhan yang memberi mereka penghidupan, menyelanatkan mereka dari
kelaparan dan mengamankan mereka dari ketakutan.

Makanan dalam Islam mempunyai perhatian yang lebih jauh dan bukanlah
sekadar memenuhi tuntutan hawa nafsu saja, tetapi ia merupakan suatu
ibadah sekiranya ia diniatkan karena Allah. Kesemua aturan-aturan
atau undang-undang yang Allah gariskan berkaitan dengan makanan
menunjukkan betapa sempurnanya ajaran Islam, betapa agung dan adilnya
Allah dalam mengatur hal ehwal kehidupan manusia.

B. Pengertian Makanan dalam Islam


Makan dalam bahasa arab adalah yaitu perbuatan memasukkan
sesuatu ke dalam mulut dan menelannya setelah dikunyah.4 Dalam sumber
yang lain disebutkan sebagai proses menerima dan menggunakan bahan
makanan yang diperlukan oleh makhluk untuk mengawal fungsi dan
pertumbuhannya atau memperbaharui komponennya. 5

Menurut M. Quraish shihab, perkataan “akala” tidak saja digunakan dalam


arti ”memasukkan sesuatu ke tenggorokan” tetapi boleh juga memberi arti
segala aktivitas dan usaha.6 Misalnya firman Allah

3 Al-quran, Quraish, 106: 3-4.


4 Fuad Ifrad al-Bustani, Munjid at-Tulab, Dar al-Masytiq, Tabc in al-c Isyriah, Beirut, 1970, hal.
10
5 Marie V. Krause Katlehen, Makan, Makanan, Pemakanan dan Terapi Diet. Terj. Suriah Abd.
Rahman, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, 1993, hal. 3
6 M. Quraish Shihab, Wawasan Alquran, Tafsir Maudhuc i atas Pelbagai Persoalan Umat,
(Bandung:Mizan, 1998), hal. 138

At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010


284
KONSEP MAKANAN DALAM ISLAM

“Dan berikanlah kepada perempuan-perempuan itu maskawin-


maskawin mereka sebagai pemberian wajib. Kemudian jika mereka
dengan suka hatinya memberikan kepada kamu maskawinnya maka
makanlah (gunakanlah) pemberian (yang halal) itu sebagai nikmat
yang lezat lagi baik kesudahannya”.

Tafsiran yang dinyatakan oleh beliau ialah mas kawin bukanlah sesuatu
yang harus bahkan tidak lazim berupa makanan, namun demikian ayat ini
menggunakan perkataaan “makan” untuk “konsumen” mas kawin tersebut
yang bermaksud menggunakan mas kawin untuk membuka usaha bagi
memenuhi keperluan makan.

Dalam ayat yang lain pula perkataan “akala” diartikan sebagai aktivitas, yang
bunyinya sebagai berikut:

Dan janganlah kamu makan dari (sembelihan binatang-binatang


halal) yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya, karena
sesungguhnya yang sedemikian itu adalah perbuatan fasik (berdosa).

Potongan ayat ini difahami sebagai suatu larangan untuk melakukan aktivitas
apapun yang tidak disertai nama Allah. Ini disebabkan karena kata ”makan”
di sini difahami dalam arti luas yakni segala bentuk aktivitas. Penggunaan
kata tersebut untuk arti aktivitas, seolah-olah menyatakan bahwa aktivitas
perlu kepada kalori, dan kalori diperolehi melalui makanan.

Makanan atau adalah jama’ bagi perkataaan yaitu apa saja yang
dimakan oleh manusia untuk memberi kekuatan, kesegaran badan dan

7 Al-quran, An-Nisak,4: 4
8 Alquran,Al-‘An’am, 6: 121

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


285
Asmawati

sebagainya. Karena itu minuman pun termasuk dalam pengertian makanan.


9
Dalam ilmu sains tidak dibedakan antara makanan dan minuman karena
kedua-duanya dimasukan di bawah proses makanan. Walau bagaimanapun
istilah makanan tidak dapat lari dari menyentuh kedua-duanya yaitu
makanan dan minuman.10 Ia merupakan salah satu daripada keperluan
asasi manusia, di mana makanan dan minuman yang baik akan menjamin
kesehatan mental dan fisikal.

Keperluan akan makanan dan minuman adalah naluri semula jadi manusia
dan seluruh ciptaan Allah. Sememangnya Allah telah menciptakan alam
beserta isinya adalah untuk manusia memenuhi keperluannya. Apabila makan
dan minum boleh dipenuhi secara sempurna maka keperluan-keperluan
lainnya akan mudah dipenuhi pula. Dengan terpenuhinya keperluan lainnya
peningkatan ibadah akan lebih mudah dan selesa untuk dilakukan.

1. Klasifikasi Makanan dan Minuman


Kebersihan dan kesehatan adalah dua perkara penting yang digalakkan
dalam kehidupan orang-orang Islam. Bahkan ia menjadi sebahagian daripada
keimanan. Berdasarkan amalan itu, Islam telah menggariskan segala sesuatu
yang baik, bersih dan sehat saja yang boleh dijadikan makanan dan minuman
serta mengharuskan menjauhi yang buruk-buruk. Karena makanan dan
minuman yang baik akan memberikan kekuatan dan kesehatan kepada
manusia. Atas dasar ini turun perintah Allah Swt.:
11

”Wahai sekalian manusia, makanlah bagi kamu makanan yang halal


lagi baik dari apa saja yang terdapat di bumi….”

Perintah memakan makanan yang baik oleh Allah ditujukan kepada seluruh

9 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Terj. Mahyudin Syaf, (Kuala Lumpur: Pustaka al-Azhar, 1996),
hal. 92.
10 Mohamed bin Jusoh, Prinsip Utama Makanan dan Minuman dalam Islam, Bahagian Hal
Ehwal Konsumen, (Kula Lumpur: Jabatan Perdana Menteri, 1986), hal. 2.
11 Alquran, Al-Baqarah/2:68.

At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010


286
KONSEP MAKANAN DALAM ISLAM

manusia bukan kepada umat Islam saja. Ini menunjukkan bahwa makanan
halal dan baik sesuai untuk semua manusia. Pada prinsipnya segala sesuatu
yang ada di alam raya ini adalah halal digunakan, sehingga makanan dan
minuman yang terdapat didalamnya juga adalah halal. Oleh karena itu tidak
ada alasan bagi umat Islam mencari makanan selain dari standard halal dan
tayyib di sisi Allah.

2. Makanan yang halal


Perhatian Alquran terhadap makanan sedemikian besar, sehingga ketika
berbicara tentang “perintah makan” Allah Swt memerintahkan seluruh
manusia untuk memakan makanan yang halal dan tayyib. Perintah kepada
makanan halal adalah untuk memastikan manusia tumbuh secara sehat baik
fisikal, jiwa maupun akal.

Kata “halal” berasal dari akar kata yang berarti “lepas” atau “tidak terikat”.12
Berdasarkan arti ini perkataan halal bagi umat Islam difahamkan kepada
sesuatu yang dibolehkan oleh syara’. Kepatuhan kepada syara’ adalah usaha
untuk melepaskan diri dari ikatan bahaya dunia dan akhirat. Dengan
demikian makanan dan minuman halal adalah makanan yang dibolehkan
memakannya dan dengan memakannya terlepas ikatan bahaya dunia
dan akhirat. Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa perintah makan
mempunyai taraf yang sama dengan perintah melakukan amal saleh. Firman
Allah :
13

”Wahai para Rasul, makanlah dari yang baik (bersih dan sehat) dan
berbuat amal salehlah kamu sekalian…”

Ayat ini secara jelas mendahulukan perintah memakan yang baik dan halal
daripada berbuat amal saleh, dan ini pula menunjukkan bahwa perbuatan
amal saleh akan sia-sia apabila tidak disertai dengan memakan makanan
yang memenuhi standard ini.

12 Munie Ba’ albaki, al-Mawrid, Beirut: Dar al-c Ilmi lil-Malayen, 1995), hal. 326.
13 Al-Muminun/ 23:51

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


287
Asmawati

Logikanya makanan halal adalah makanan yang telah terjamin kualitasnya


dari bentuk keburukan, karena memakan makanan yang halal sebagaimana
yang diperintahkan oleh Allah Swt akan memberikan kesehatan, terlepas dari
penyakit dan keburukan di dunia. Di sisi lain pula, apabila kita memakan
makanan yang halal bermakna kita telah melaksanakan perintah Allah Swt
dengan demikian kita akan terlepas dari ancaman dan bahaya akhirat.

Para ulama juga sepakat bahwa makanan yang digalakkan oleh Islam adalah
makanan tayyib yang tidak mengandungi unsur-unsur yang merbahaya bagi
kesehatan jiwa dan akal manusia. Dari segi bahasa kata tayyib berarti lezat,
baik, sehat, dan mententeramkan.14 Para pakar tafsir ketika menjelaskan kata
ini dalam konteks makanan menyatakan bahwa ia berarti makanan yang
tidak kotor dari segi zatnya, atau tidak dicampuri benda najis (menjijikkan).15
Ada juga yang mengartikan sebagai makanan yang mengandung selera
bagi yang akan memakannya dan tidak membahayakan fisikal dan akalnya.16
Berdasarkan pendapat–pendapat tersebut dapatlah kita fahami bahwa
perbincangan makanan dalam Islam bukan pada masalah halal dan haram
saja tetapi juga merangkum soal sekuriti atau keamanan, nilai makanan dan
keseimbangan makanan.

Berikut boleh disebutkan panduan cam mengenai makanan halal mengikut


ajaran Islam: 17
1. Bukan terdiri daripada atau mengandungi apa-apa bahagian atau
benda yang diharamkan oleh syarak, atau tidak disembelih mengikut
hukum syarak
2. Bukan benda-benda najis mengikut hukum syarak
3. Disedia, diproses atau dikilangkan dengan menggunakan apa-apa
alat yang bebas dari benda –benda najis mengikut hukum syarak.

14 Munie Bac albaki, al-Mawrid…,hal. 95.


15 Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Ais at-Tafsir lilkalāmi al-c Aliya al-Kabir, (Mesir: Dar al-Salamah,
1992 ), Jil. 1, hal.144.
16 Abu Jac far Muhammad Ibn Jarir al-Tabari, Tafsir at-Tabari, Dar al-Mac arif, Mesir, t.th, hal.
243.
17 Bahagian Hal Ehwal Islam Jabatan Perdana Menteri, Garis Panduan Makanan, Minuman dan
Bahan Gunaan Orang Islam, Kuala Lumpur: Perniagaan Rita, 1993), hal.2-3.

At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010


288
KONSEP MAKANAN DALAM ISLAM

4. Masa penyediaan, pemproses atau penyimpanannya adalah tidak


bersentuhan atau berdekatan dengan benda-benda haram atau najis
mengikut hukum syarak.

Demikian petunjuk yang diterangkan dalam Alquran tentang makanan,


kesemuanya merupakan bagian yang paling fundamental dalam kehidupan
manusia di dunia. Walau demikian makanan bukanlah suatu masalah yang
diasingkan dari amalan saleh lainnya bahkan ia menjadi faktor utama untuk
mencapai kesempurnaan ibadah bagi mendapat keridhaan Allah.

3. Makanan Yang Haram


Pembahasan mengenai makanan haram mempunyai makna yang
berlawanan dengan makanan halal. Makanan haram adalah makanan yang
tidak dibenarkan menyentuh atau memakannya , dan bagi sesiapa yamg
memakannya diberi ganjaran dosa oleh Allah Swt. Alquran menjelaskan
makanan haram ini dengan sebutan yang perkataan dasarnya
yang berarti yang dibenci, yang najis, buruk dan segala yang haram. Perkatan
ini adalah lawan daripada perkataan yang bermakna enak, lezat, halal ,
baik dan bagus. 18

Merujuk pada makna di atas maka benda-benda yang tergolong dalam


makna ini boleh dibincangkan sebagai berikut :

1. Benda-benda yang najis dan kotor seperti hingus, nanah, darah dan
segala yang yang menjijikkan. Firman Allah
19

…Dan mengharamkan kepada mereka segala benda yang buruk

2. Benda-benda yag boleh membawa bahaya seperti benda-benda yang


beracun atau benda-benda yang boleh membawa mudarat kepada

18 Louis Ma’luf, Al-Munjid fi al-lughah wa al-a’lam, (Beirut, Dar al-Masyriq, 1994), hal. 166
dan 476.
19 Al- Ac raf/7 :157

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


289
Asmawati

tubuh. Semua benda-benda ini dilarang memakannya. Mengikut al-


Maruzi pengharaman dikenakan ke atas benda-benda itu, karena ia
memberi mudarat atau mendatangkan bahaya.20
3. Benda-benda yang memabukkan atau yang boleh menghilangkan
akal seperti ganja, arak, merampok dan sejenisnya. Pengharaman
ini berdasarkan hadith yang diriwayatkan oleh Muslim daripada
Abdullah bin Umar:
21

Setiap yang memabukkan adalah haram.

Bahkan dalam surah al-Maidah ayat 90 kata rijs menunjukkan pengharaman


terhadap khamar dan sejenisnya. Kata rijs mengandung arti keburukan budi
pekerti serta kerosakan moral.22 Sehingga ketika Allah menyebutkan jenis
makanan tertentu sebagai rijs, maka ini bermakna makanan tersebut boleh
menimbulkan keburukan budi pekerti. Tidak dapat dinafikan bahwa kesan
arak, ganja, perampokan dikalangan pemuda dan pemudi masa kini telah
melahirkan generasi-generasi yang tidak bermoral dan berbudi pekerti yang
buruk.

Secara garis besar pembahasan berkaitan dengan ayat di atas dihuraikan


sebagai berikut:

1. Bangkai
Bangkai adalah binatang yang mati dengan sendirinya tanpa ada suatu
usaha manusia dengan sengaja seperti disembelih atau berburu.23
Mengikut pengertian fuqaha bangkai adalah tiap-tiap binatang yang
telah mati dengan tidak disembelih mengikut Syarak. Dan setiap binatang

20 al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadhdhab, juz. 9, (Kairo: Matba’ah al-‘Asimah, t.th), hal.
23.
21 Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, kitab al-asyribah (30), bab kullu muskirin haramun (9)…, hal.
3391.
22 Munir Ba’albaki, al-Mawrid…, hal. 895
23 Ahmad Sonhaji Muhammad, Tafsir al-Quran : surah al-Maidah, (Singapura: al-Maktab at-
Tijari as-Syarqi, 1965), hal. 16.

At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010


290
KONSEP MAKANAN DALAM ISLAM

yang mati tanpa memenuhi Syarak adalah haram untuk dimakan kecuali
bangkai ikan dan belalang.24 Pernyataan ini dipertegas dengan hadith
Rasulullah
25

Dihalalkan bagi kita dua bangkai yaitu bangkai ikan dan belalang

Termasuk dalam katagori ini adalah semua jenis binatang yang tidak
disembelih atau disembelih tetapi tidak menyebut nama Allah. Binatang-
binatang yang mati dengan sendirinya seperti penyakit tua atau termakan
racun juga haram dimakan kecuali jika binatang itu masih sempat
disembelih dengan sisa-sisa nyawanya. Di antara tanda-tanda binatang
itu masih hidup adalah darah masih mengalir dan matanya masih dapat
bergerak-gerak.26

Binatang yang mati tercekik, mati dipukul, mati terjatuh, mati beradu atau
diserang binatang buas juga dianggap bangkai. Hikmah yang diambil
oleh pengharaman ini adalah karena Allah Swt mengetahui betapa
perlunya manusia pada binatang, begitu pula Islam mengajarkan untuk
memberi kasih sayang dalam pemeliharaan. Oleh karena itu tidak layak
kalau manusia dibiarkan melakukan sesuka hati memukul, mencekik
dan menyiksanya hingga mati. Islam melarang memakan hewan-hewan
yang mati dalam keadaan seperti itu, sama sebagaimana Islam menegah
perbuatan itu. Hadith rasulullah saw., “Sesungguhnya Allah telah
menentukan kebaikan atas segala sesuatu. Apabila kamu membunuh,
maka lakukanlah sebaik mungkin. Apabila kamu menyembelih, maka
juga lakukanlah sebaik mungkin. Dan hendaklah salah seorang kamu
menajamkan pisau yang akan digunakan untuk menyembelih. Sekali lagi

24 Muhammad Yusuf al-Qardawi, al-Halal wa al-Haram fi al-Islam, (Mesir: Dar al-Kutub al-
‘Arabiyah ‘Isa al-Bāby al-Halaby, 1960), hal. 55.
25 Muhammad Yasid Abu c Abd Allah al-Qazwani.Sunan Ibn Majah. Kitab al- Atcimah (4),
bab saidul al-Maitatani wa al-jarād, hal. 3218.
26 M. Yusuf al-Qaradawi, Halal dan Haram dalam Islam (terj.), (Singapura: Pustaka
Nasional Pte. Ltd, 1989), hal. 60.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


291
Asmawati

hendaklah kamu lakukan sebaik mungkin.27

2. Darah
Darah pada asalnya ialah benda yang mulia dan amat penting untuk
kelangsungan hidup, karena tanpa darah manusia tidak akan dapat
tumbuh dan bertahan hidup. Ketiadaan aliran darah dalam tubuh pula
bererti sesuatu kehidupan itu telah mati. Adapun maksud darah yang
diharamkan memakannya dalam konteks ini ialah darah yang mengalir
( } sewaktu penyembelihan binatang tersebut. Manakala darah
yang membeku (beketul) seperti hati dan limpa adalah halal dimakan. Ini
berdasarkan hadith Rasulullah Saw.

28

“Di halalkan bagi kita dua jenis bangkai dan dua jenis darah yaitu
bangkai ikan dan belalang adapun dua darah yaitu hati dan limpa”.

3. Daging Babi (khinzir)


Babi adalah salah satu binatang khabaith yang sangat kotor. Ia akan
memakan semua makanan yang kotor dan bernajis. Secara logik, binatang
yang hidup dengan makanan yang kotor dan najis bermakna ia tumbuh
dan membesar dengan zat-zat kotor itu pula. Oleh karena itu babi
merupakan binatang yang dijauhi oleh Islam karena seluruh tubuhnya
adalah najis mughallazah yang boleh menimbulkan pelbagai penyakit bagi
pemakannya. Para pakar kesehatan dan sains mengkaji dan membuat
kesimpulan bahwa pada babi terdapat pelbagai bakteri penyakit dan
parasit yang sukar dihilangkan sekalipun di masak dengan suhu yang
tinggi.

Muhammad Wasfiy29 menyebut pelbagai parasit yang ada dalam daging


babi yang sangat berbahaya, antara lain : pertama, Taenia solium, yaitu

27 Muslim bin Hajjaj, Sahih Muslim…, hal. 338


28 Muhammad ‘Ali al-Syawkani, Nayl al-Awtar…, juz. 8, hal. 176.
29 Muhammad Wisfiy, Al-Quran wa al-Tibb…, hal. 201-205.

At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010


292
KONSEP MAKANAN DALAM ISLAM

sejanis cacing parasit yang menyebabkan penyakit Taenasis. Cacing ini


tidak mempunyai mulut dan ia menghisap atau menyedut sari makanan
pemakan. Cacing ini boleh mencapai hingga 8 meter di dalam perut.
Cacing ini pula sangat tahan dalam bentuk sist. Seterusnya sist itu akan
membentuk larva di dalam daging babi. Apabila manusia memakannya
daging babi yang sudah tercemar parasit ini, maka larva akan berkembang
dalam usus manusia membentuk cacing dewasa. Pelbagai penyakit yang
berawal dari penyakit ini antara lain sakit perut, mencret, melemahkan
otot-otot dan akhirnya membawa kematian.

Kedua, trichnosis, hasil kajian menunjukkan bahwa 1 gram babi


mengandung 1500 parasit. Hasil kajian juga membuktikan bahwa lemak
babi adalah antara jenis lemak yang sukar dihadam.

D. Penutup
Perniagaan dalam Islam merupakan suatu pekerjaan yang sangat mulia apabila
dilakukan di atas prinsip-prinsip dan nilai-nilai perniagaan Islam. Sebagai
sebuah aktivitas, perniagaan meletakkan hubungan-hubungan kemanusiaan
sebagai asas yang memungkinkan umat manusia berinteraksi satu sama
lain dalam suatu pergaulan yang seimbang dan saling menguntungkan bagi
mencapai kebahagiaan bersama.

Interaksi yang terjadi antara produsen dan konsumen di dunai perniagaan


adalah interaksi yang di dalamnya terdapat hak dan kewajiban masing-
masing pihak. Berkaitan dengan ini, adanya hak konsumen untuk
mendapat perlindungan adalah tanggung jawab dan kewajiban produsen
untuk memenuhinya. Adapun tanggung jawab dan kewajiban produsen
berdasarkan nilai-nilai etika perniagaan Islam adalah:
1. Amanah, dimana produsen berkewajiban untuk memenuhi apa yang
telah dijanjikan kepada konsumen berkaitan dengan barangan yang
dikeluarkannya. Misalnya ketentuan-ketentuan yang tertulis pada
produk dan iklan yang disampaikan oleh produsen.
2. Kejujuran, produsen wajib memberi maklumat yang lengkap
mengenai hasil keluarannya, baik kekurangan (kecacatan), kelebihan,
keselamatan juga kehalalannya.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


293
Asmawati

3. Kewajiban produsen untuk tidak mengatakan yang tidak benar


mengenai produk yang ditawarkan. Mengatakan yang tidak benar
pada hakekatnya merupakan penipuan yang disengajakan dan
merugikan konsumen secara material dan spritual. Keadaan ini
berlaku pada saat produsen melakukan kempen dan iklan secara
berlebihan. Kebiasaannya cara ini gagal untuk memberikan fakta
yang sebenarnya kepada konsumen.
4. Mengeluarkan barangan yang baik. Islam tidak membenarkan
mengeluarkan barangan-barangan yang membawa mafsadah
(kerosakan) bagi konsumen. Seruan kepada barangan yang baik akan
memberi kemaslahatan bagi konsumen dunia dan akhirat.
5. Adil, mengagihkan kekayaan dalam bentuk produk juga kewajiban
produsen bagi mewujudkan persaudaraan dan keadilan sosial
ekonomi yang aman dan sejahtera.

At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010


294
KONSEP MAKANAN DALAM ISLAM

Daftar Pustaka
al-Bustani, Fuad Ifrad. Munjid al-Tullab. Beirut: Dar al-Masytiq Tabc in al-c
Isyriah, 1970.

al-Jazairi, Abu Bakar Jabir. Ais at-Tafsir lilkalāmi al-c Aliya al-Kabir. Jilid I. Mesir:
Dar al-Salamah, 1992.

al-Nawawi. al-Majmu’ Syarh al-Muhadhdhab, juz. 9. Kairo: Matba’ah al-


‘Asimah, t.th.

al-Qaradawi, M. Yusuf. Halal dan Haram dalam Islam (terj.), Singapura: Pustaka
Nasional Pte. Ltd, 1989.

al-Qardawi, Muhammad Yusuf. al-Halal wa al-Haram fi al-Islam. Mesir: Dar


al-Kutub al-‘Arabiyah ‘Isa al-Bāby al-Halaby, 1960.

al-Tabari, Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir, Tafsir at-Tabari. Dar al-Mac arif,
Mesir, t.th.

Ba’ albaki, Munie. al-Mawrid. Beirut: Dar al-c Ilmi lil-Malayen, 1995.

Falsafi, Taqi, Child between Heredity and Education. Beirut: al-‘alami Library,
1969.

Ibn Hajjaj, Muslim. Sahih Muslim. Turki: al-Maktabah Islamiy, 1972.

Ibn Jusoh, Mohamed. Prinsip Utama Makanan dan Minuman dalam Islam,
Bahagian Hal Ehwal Konsumen. Kula Lumpur: Jabatan Perdana Menteri, 1986.

Katlehen, Marie V. Krause. Makan, Makanan, Pemakanan dan Terapi Diet. Terj.
Suriah Abd. Rahman. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1993.

Ma’luf, Louis. Al-Munjid fi al-lughah wa al-a’lam. Beirut, Dar al-Masyriq, 1994.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


295
Asmawati

Muhammad, Ahmad Sonhaji. Tafsir al-Quran : surah al-Maidah. Singapura: al-


Maktab at-Tijari as-Syarqi, 1965.

Sabiq, Sayyid. Fiqh Sunnah. Terj. Mahyudin Syaf. Kuala Lumpur: Pustaka al-
Azhar, 1996.

Shihab, M. Quraish. Wawasan al-Quran, Tafsir Maudhuc I atas Pelbagai Persoalan


Umat. Bandung: Mizan, 1998.

At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010


296
PERAN 'ĀMIL DALAM PERMBERDAYAAN
LAHAN PERKEBUNAN
(Studi Kasus Permintaan Tenaga Perkebunan Kelapa Sawit
di Aceh Barat)

Syahril
Pembantun Rektor II Universitas Teuku Umar Meulaboh

Abstract

’Āmil (worker in this context for palm plantation has a great role to succeed
the actvity. Without a good participation of worker, the harvest will be lower,
if it is not loss. Appearantly, it need a balance between working and wage
for support their activity. As a factual thing, the writer try to analyze the
condition of worker and their wage related to activity of palm plantation in
West Aceh. The study at least will be a model for other places how to manage
worker, working and wage altogether.

Key words: Permintaan tenaga kerja, sawit


Syahril

A. Pendahuluan
Perkebunan kelapa sawit sudah menjadi komoditi pasar dunia sehingga
secara bisnis memiliki prospek yang baik bagi Indonesia sebagai negara
agraris dan terutama Nanggroe Aceh Darussalam yang memiliki lahan yang
luas dan subur untuk komoditi ini. Selain luas lahan dan kesuburan tanah,
hutan yang sebagian besar rusak karena kejahilan dari pihak-pihak yang
tidak bertanggung jawab dan kestabilan alam terganggu sehingga sering
terjadi banjir bandang seperti di Kabupaten Aceh Tenggara.

Kemudian pengembangan komoditi ini menyerap tenaga kerja awam, artinya


walaupun mereka tidak berpendidikan (pendidikan rendah) masih dapat
ditampung karena untuk menjadi pekerja kebun tidak memerlukan sumber
daya menusia yang berkualitas tinggi. Maka dari itu Kabupaten Aceh Barat
memiliki masyarakat yang masih didominasi pendidikan rendah sangat
baik dalam menciptakan kesempatan kerja melalui pengembangan prioritas
komoditi unggulan, salah satunya kelapa sawit.

B. Landasan Teoritis
1. Tingkat Suku Bunga
Para ekonom menjelaskan tingkat bunga nominal (nominal interest rate)
adalah tingkat bunga yang dibayarkan investor. Sedangkan tingkat bunga riil
(real interest rate) adalah tingkat bunga nominal yang dikoreksi karena inflasi.
Jika tingkat bunga nominal adalah 8 persen dan tingkat inflasi 3 persen maka
tingkat bunga riil adalah 5 persen.1

Kenaikan tingkat suku bunga dapat menggeser pengeluaran investasi


pada peralatan kapital (mesin produksi) ke penanaman dana deposito,
karena hal ini akan lebih menarik dan menguntungkan. Jadi secara singkat
dapat dikatakan bahwa perubahan tingkat suku bunga terutama akan
mempengaruhi pengeluaran investasi dan selanjutnya pada tingkat output,
kesempatan kerja dan tingkat harga.2


1
N. Gregory Mankiw, Teori Makro Ekonomi, (Jakarta: Erlangga, 2000), hal. 53.
2 Faried Wijaya, Perkreditan Bank dan Lembaga-lembaga Keuangan Kita, (Yogyakarta:
BPFE UGM, 1991), hal. 150.

At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010


298
PERAN 'ĀMIL DALAM PERMBERDAYAAN LAHAN PERKEBUNAN

Dorongan untuk mengadakan investasi ditentukan oleh keuntungan yang


diharapkan dari investasi baru dan besarnya tingkat bunga yang dibayar.
Tingkat keuntungan yang diharapkan dari investasi baru itulah dinamakan
dengan “marginal effiency of capital”. Marginal effiency of capital merupakan
tingkat keuntungan yang tertinggi yang diharapkan dari sebuah tambahan
dari suatu aktiva modal dari jenis itu.3 (Manullang, 1983:104).

Investasi merupakan pengeluaran atas tambahan-tambahan terhadap


persediaan modal (mesin, bangunan, persediaan). Investasi seperti itu dilakukan
dengan tujuan mencari keuntungan di kemudian hari melalui pengoperasian
pabrik dan mesin. Anggaplah perusahaan meminjam untuk membeli modal
(mesin dan pabrik) yang mereka pergunakan. Maka semakin tinggi suku bunga,
semakin banyak perusahaan harus membayar bunga dalam setiap tahun dari
laba yang mereka terima dari investasi mereka. Jadi semakin tinggi suku
bunga, semakin kecil keuntungan perusahaan itu setelah membayar bunga
dan semakin kecil pula keinginan untuk melakukan investasi dan sebaliknya
suku bunga yang rendah membuat pengeluaran investasi menguntungkan
(Dornbush,1996:135).

Faktor-faktor utama yang menentukan investasi ( Sukirno, 2003: 109) adalah:


a. Tingkat keuntungan investasi yang diramalkan akan diperoleh.
b. Tingkat bunga.
c. Ramalan mengenai keadaan ekonomi di masa depan.
d. Kemajuan teknologi.
e. Tingkat pendapatan nasional dan perubahan-perubahannya.
f. Keuntungan yang diperoleh perusahaan-perusahaan.

2. Teori Upah
Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan
pengertian Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan
dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja
kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut perjanjian
kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk

3 Manullang, Ekonomi Moneter, (Jakarta: Balai Aksara Yudhistira, 1983), hal. 104.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


299
Syahril

tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/


atau jasa yang telah atau akan dilakukan.4

Menurut As'ad5 pengupahan dapat digolongkan ke dalam 3 (tiga) sistem


pengupahan, yaitu:
1. Sistem upah menurut banyaknya produksi.
2. Sistem upah menurut lamanya kerja.
3. Sistem upah menurut senioritas.
4. Sistem upah menurut kebutuhan.

Para pekerja dan perusahaan menetapkan upah nominal W berdasarkan


upah riil sasaran ω dan ekspektasi tingkat harga P e . Upah nominal yang
mereka tetapkan adalah6

W = ω x Pe

Upah Nominal = Upah Riil Sasaran x Tingkat harga yang diharapkan

Setelah upah nominal ditetapkan dan sebelum tenaga kerja ditarik,


perusahaan mempelajari tingkat harga actual P. Upah riil kemudian menjadi:

W/P = ω x Pe / P

Upah Riil = Upah Riil Sasaran x Tingkat harga yang diharapkan/Tingkat


harga aktual

Asumsi akhir dari modal upah kaku (sticky-wage model) adalah bahwa
pengkaryaan ditentukan oleh jumlah tenaga kerja yang diminta perusahaan.
Dengan kata lain, tawar-menawar antara pekerja dan perusahaan tidak
menentukan tingkat pengkaryaan selanjutnya; apalagi, para pekerja sepakat

4 Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2005) hal. 144.
5 As'ad, Moh (2003). Psikologi Industri, (Yogyakarta: Liberty, 2003), hal. 94-101.
6 N. Gregory Mankiw, Teori Makro..., hal. 323.

At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010


300
PERAN 'ĀMIL DALAM PERMBERDAYAAN LAHAN PERKEBUNAN

memberikan sebanyak mungkin tenga kerja yang ingin digunakan perusahaan


pada tingkat upah yang ditetapkan sebelumnya. Kita menggambarkan
keputusan perusahaan menarik tenaga kerja dengan fungsi permintaan
tenaga kerja.7

L = Ld (W / P )

yang menyatakan bahwa semakin rendah upah riil, semakin banyak tenaga
kerja yang digunakan perusahaan.

Y = F (L)

yang menyatakan bahwa semakin banyak tenaga kerja digunakan, semakin


banyak output diproduksi. Karena upah nominal adalah kaku, perubahan
yang tidak diharapkan dalam tingkat harga menjauh upah riil dari upah riil
sasaran, dan perubahan upah riil ini mempengaruhi jumlah tenaga kerja
yang digunakan dan output yang diproduksi.

Y = Y + α (P − Pe )

Output menyimpang dari tingkat alamiahnya bila tingkat harga menyimpang


dari tingkat harga yang diharapkan.

Pendapat yang lain memberika argumentasi bahwa menaikkan upah


minimum berarti menaikkan pendapatan para pekerja, seperti yang
dikemukakan oleh Keynes.8

Undang-undang No. 13 Tahun 2003 menyebutkan setiap pekerja/buruh


berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan (Pasal 88 ayat 1). Untuk maksud tersebut, pemerintah
menetapkan kebijakan pengupahan untuk melindungi pekerja/buruh.

7 N. Gregory Mankiw, Teori Makro..., hal. 325.


8 Nazamuddin, (1998),” Dua Teori Tentang Upah dan Implikasi Ekonomi Makro”, Jurnal
Ekobis, Vol.1. No.1, Mei 1998,( Banda Ace: Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala,
1998), hal. 15

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


301
Syahril

Kebijakan pengupahan itu meliputi :


1. Upah minimum.
2. Upah kerja lembur.
3. Upah tidak masuk kerja karena berhalangan.
4. Upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain diluar
pekerjaannya.
5. Upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya.
6. Denda dan potongan upah.
7. Hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah.
8. Struktur dan skala pengupahan yang proposional.
9. Upah untuk pembayaran pesangon.
10. Upah untuk perhitungan pajak penghasilan.

3. Produktivitas Tenaga Kerja


Menurut Greenberg (Sinungan, 1995:3), mendefinisikan produktivitas sebagai
perbandingan antara totalitas pengeluaran pada waktu tertentu dibagi
totalitas masukan selama periode tersebut.

Sedangkan menurut Ahmad9 (1995:12), produktivitas tenaga kerja adalah


nilai produksi (Q) per satuan tenaga kerja atau Q/L. Nilai produksi didekati
dengan nilai PDRB baik menurut sektor kegiatan ekonomi maupun secara
total berdasarkan harga konstan. Dalam hal ini faktor produksi lainnya
diwakili oleh tenaga kerja.

Produktivitas tenaga kerja sangat ditentukan oleh faktor usia, masa usia
produktif adalah antara 15-64 tahun. Sedangkan di bawah 15 tahun dan di
atas 64 tahun dianggap sebagai usia non produktif atau kurang produktif.
Karena usia yang terlalu muda tenaga kerja memiliki tanggung jawab yang
rendah, skill juga rendah serta faktor fisik yang masih lemah. Sedang usia 64
tahun ke atas tenaga kerja sudah terlalu tua sehingga kurang mampu untuk
bekerja secara optimal karena keadaan fisik yang sudah melemah (Sukotjo
dan Swastha,1985:16).

9 Jamaluddin Ahmad, “Produktivitas Tenaga Kerja dan Elastisitas Kesempatan Kerja di Daerah
Istimewa Aceh”. Jurnal Ilmiah Mon Mata, No. 20, Desember 1995. (Banda Aceh: Penerbit
Lembaga Penelitian Unsyiah, Banda Aceh), hal. 12.

At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010


302
PERAN 'ĀMIL DALAM PERMBERDAYAAN LAHAN PERKEBUNAN

Produktivitas memiliki arti penting dalam pendapatan nasional atau dapat


dikatakan juga GNP banyak diperoleh dengan meningkatkan keefektifan
dan mutu tenaga kerja dibandingkan dengan melalui formasi modal dan
pertambahan tenaga kerja. Pertumbuhan ekonomi biasanya disertai dengan
terjadinya kenaikan produktivitas per pekerja, maka dapat diduga laju
pertumbuhan produksi pada umumnya lebih rendah dari satu.10

Selanjutnya bila tenaga kerja digunakan sebagai masukan faktor-faktor


yang dapat mempengaruhi produktivitasnya adalah tingkat pendidikan,
ketrampilan, manajemen, hubungan industrial, tingkat penghasilan, gizi dan
kesehatan, jaminan sosial, lingkungan iklim kerja, sarana produksi, tehnologi
dan kesempatan berprestasi.11

Lembaga Pusat Produktivitas Nasional (LPPN) (Sedarmayanti, 1995:73)


menyatakan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi produktivitas
kerja adalah; pendidikan, ketrampilan, disiplin, motivasi, sikap dan etika
kerja, gizi dan kesehatan, tingkat dan penghasilan, jaminan sosial, lingkungan
dan iklim kerja, hubungan industrial, tehnologi, manajemen dan kesempatan
berprestasi.

Kegiatan produksi dapat pula dipandang sebagai manifestasi kegiatan investasi


dalam arti pengeluaran yang dibutuhkan produksi. Dalam pembahasan
investasi ini tidak hanya dibatasi pengeluaran langsung untuk memperoleh
faktor produksi tenaga kerja tetapi juga harus termasuk pengeluaran untuk
pembentukan modal manusiawi (human capital). Semakain tinggi tingkat
pendidikan semakain tinggi pula tingkat produktivitas kerja.12 (Simanjuntak,
1998:39).

10 Jamaluddin Ahmad, “Produktivitas Tenaga Kerja..., hal. 4.


11 Depnaker Propinsi Istimewa Aceh, Laporan Analisis Kebutuhan Tenaga Kerja Terampil di
Propinsi Istimewa Aceh, Tahun 1996/1997, hal. 65.
12 Payaman J. Simanjuntak, Pengantar Ekonomi Sumber Daya Manusia, Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Unirversitas Indonesia. Jakarta (1985),., hal. 39.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


303
Syahril

Ballente dan Jackson13 berpendapat bahwa kenaikan dalam produktivitas


tenaga kerja (pertambahan modal atau kemajuan tehnologi) akan menaikkan
tingkat upah umumnya. Produktivitas adalah konsep sistematis yang
berkaitan dengan konversi dari masukan menjadi keluaran dari suatu system
yang berbeda pada suatu keadaan tertentu.14

Perkembangan produktivitas tergantung baik pada kuantitas dan kualitas


input maupun output yang dihasilkan (yang menentukan harga produk yang
bersangkutan), efesien dalam menghasilkan produksi , komplementaristas
dengan input lainnya dan segala pertimbangan teknis ekonomis, seperti
skala operasi, elastisitas substitusi, dan kemajuan tehnologi.15

4. Hipotesis
Berdasarkan latar belakang, rumusan penelitian, tujuan penelitian dan
beberapa penelitian sebelumnya, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai
berikut :
1. Diduga tingkat suku bunga kredit dan tingkat upah riil berpengaruh
negatif, sedangkan produktivitas tenaga kerja berpengaruh positif
terhadap permintaan tenaga kerja perkebunan kelapa sawit di
Kabupaten Aceh Barat.
2. Diduga tingkat upah riil dalam pasar tenaga kerja perkebunan kelapa
sawit menuju divergen.

5. Model Analisis
Model analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah fungsi permintaan
tenaga kerja menurut McCafferty16 dengan formulasi sebagai berikut :

13 Don Bellatte and Mark Jackson, Ekonomi Ketenagakerjaan, (Jakarta: Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Unirversitas Indonesia, 1983), hal. 152.
14 E.P Adam dan R J Eber, (1986), Production and Operation Management, Concept, Model and
Behavior, 3 ED, (New Jersey: Prentice Hall International Edition, 1986), hal. 58.
15 Muhammad Arsyad Anwar, dkk, Prospek Ekonomi Indonesia Jangka Pendek Sumber Daya,
Tehnologi dan Pembangunan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995), hal. 221.
16 Stephen McCafferty, Macroeconomic Theory, (New York: Harper dan Row Publisher, 1990),
hal. 102.

At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010


304
PERAN 'ĀMIL DALAM PERMBERDAYAAN LAHAN PERKEBUNAN

L
D = f (−, r , y ) ………………………………..(3.1)
P

Untuk mempersempit konsentrasi penelitian maka output diganti dengan


produktivitas tenaga kerja , sehingga fungsi permintaan tenaga kerja menjadi:
W
L
D = f (−, PTK , r ) ………….……………….(3.2)
P

demikian model ekonometrik untuk permintaan tenaga kerja perkebunan


kelapa sawit (perkebunan besar) di Kabupaten Aceh Barat (asumsi hubungan
linier, persamaan 3.2) adalah sebagai berikut :
W
LD = a 0 − a1 −+ a 2 PTK − a 3 r + e ……………………(3.3)
P

Untuk menjawab hipotesis kedua dalam penelitian ini, dengan menggunakan


rumus rata-rata menurut Blalock, Hubert M.Jr (1972 : 56) dengan formulasi:

w / p = ∑n
w/ p

dimana :
w / p = Upah riil rata-rata
w/p = upah riil
n = waktu

Untuk melihat permintaan tenaga kerja menuju konvergen atau divergen,


bila tingkat upah riil ( w / p ) tenaga kerja perkebunan kelapa sawit di
Kabupaten Aceh Barat mendekati atau sama dengan tingkat upah riil rata-
rata ( w / p ) tenaga kerja perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Aceh Barat
disebut konvergen. Sebaliknya, bila tingkat upah riil ( w / p ) tenaga kerja
perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Aceh Barat menjauhi atau tidak sama
dengan tingkat upah riil rata-rata ( w / p ) tenaga kerja perkebunan kelapa
sawit di Kabupaten Aceh Barat disebut divergen.

6. Definisi Operasional Variabel


a. Permintaan tenaga kerja (LD) adalah permintaan tenaga kerja
perkebunan kelapa sawit (khusus tenaga kerja yang status SKU dan

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


305
Syahril

BHL) di Kabupaten Aceh Barat. (orang)


b. Tingkat suku bunga (r) yang dipakai dalam penelitian ini adalah
tingkat suku bunga investasi pada Bank Indonesia.
c. Tingkat upah riil yang dimaksud adalah tingkat upah nominal di bagi
indek implisit PDRB Kabupaten Aceh Barat.
d. Produktivitas tenaga kerja yang dimaksud adalah total produksi
pada perkebunan kelapa sawit dibagi dengan jumlah tenaga kerja di
perkebunan kelapa sawit (khusus perkebunan besar) di Kabupaten
Aceh Barat.

C. Permintaan dan Produktivitas Tenaga Kerja di Aceh Barat


1. Permintaan Tenaga Kerja
Permintaan tenaga kerja di perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Aceh Barat
mengalami fluktuasi. Hal ini terjadi karena tidak stabil politik di Nanggroe
Aceh Darussalam yaitu gangguan keamanan dari ekses konflik Pemerintahan
Pusat dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang mempengaruhi terhadap
aktivitas perusahaan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Aceh Barat. Pada
tahun 1999 pertumbuhan permintaan tenaga kerja di perkebunan kelapa
sawit menurun sebesar 0,6 persen dan selanjutnya pada tahun 2000 menurun
lagi sebesar 3,42 persen, kemudian tahun 2001 menurun lagi sebesar 0,76
persen. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Grafik 4.1 dibawah ini.

At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010


306
PERAN 'ĀMIL DALAM PERMBERDAYAAN LAHAN PERKEBUNAN

Pada periode tahun 1995-2005 tingkat upah nominal lebih tinggi dari pada
upah riil. Peningkatan tingkat upah riil seiring dengan meningkat tingkat
upah nominal di perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Aceh Barat. Pada
tahun 1995-1997 tingkat upah riil mendekati upah nominal, kemudian terus
menjauh kesenjangan upah riil dengan upah nominal pada tahun 1998-
2000. Seterusnya tahun 2001 terlihat sudah mendekati lagi upah riil dengan
upah nominal dan mulai tahun 2002-2005 terlihat semakin menjauh. Artinya
tingkat upah riil dan upah nominal selama periode 1995-2005 tidak terjadi
keseimbangan, hal ini dipengaruhi oleh tinggi rendah inflasi. Untuk lebih
jelas dapat dilihat pada Grafik 4.2 dibawah ini.

2. Poduktivitas Tenaga Kerja


Produktivitas tenaga kerja perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Aceh
Barat berfluktuasi, dimana pada tahun 2000 mengalami penurunan sebesar
1,17 persen dan bahkan di tahun 2001 menurun pada posisi mines yaitu -8,54.
Hal ini terjadi karena di tahun 2000 dan 2001 awal terjadi konflik yang mana
perusahaan-perusahaan besar perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Aceh
Barat mengalami gangguan keamanan sehingga terjadi ketidakseimbangan
aktivitas perusahaan. Kemudian pada tahun 2002, perkebunan besar kelapa
sawit di Kabupaten Aceh Barat sudah mulai meminta penjagaan keamanan
dari pihak TNI untuk pengamanan terhadap pemerasan dan intimidasi pihak

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


307
Syahril

GAM sehingga mulai tahun ini terjadi partumbuhan produktivitas tenaga


kerja. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Grafik 4.3 dibawah ini.

Selama periode 1995-2005 tingkat suku bunga kredit investasi Bank Indonesia
mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 9,61 persen per tahun. Rata-rata
pertumbuhan suku bunga investasi besar karena berhubungan dengan
kebijakan monoter yang dilakukan pemerintah melalui Bank Sentral untuk
menstabilkan perekonomian Indonesia yang dilanda berbagai krisis seperti
yang terjadi pada tahun akhir tahun 1997 yang lebih dikenal dengan krisis
moneter.

3. Pembahasan
Berdasarkan analisis data didapatlah koefisien estimasi sebagai berikut:

LD = 6,2972 - 0,005627 W/P + 2,8376 PTK - 0,48402 r

Hasil ini diperoleh dengan menggunakan pendekatan OLS (Ordinary Least


Sguares) diperoleh nilai R 2 = 0,9440 , artinya 94 % dari variabel besaran
permintaan tenaga kerja oleh perkebunan kelapa sawit ini dapat dijelaskan
oleh variabel independent yang tercakup dalam model, sedangkan 6 % lagi

At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010


308
PERAN 'ĀMIL DALAM PERMBERDAYAAN LAHAN PERKEBUNAN

dari variasi tersebut dijelaskan oleh varibel diluar model penelitian ini.
Kemudian F hitung menunjukkan angka 118,915. Yang lebih besar dari 1,734
(nilai F tabel) pada tingkat signifikansi 1 % dari df (3). Artinya secara bersama-
sama variabel tingkat upah riil, produktivitas tenaga kerja, dan tingkat suku
bunga kredit secara statistik mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
jumlah permintaan tenaga kerja oleh perkebunan kelapa sawit di Kabupaten
Aceh Barat.

Di samping tidak terjadi heterostatisitas, penelitian ini juga memenuhi


asumsi linier Klasik lainnya yaitu tidak terjadi serial atau autokorelasi. Yang
ditujukan oleh nilai DW sebesar 1,1377. Dimana setelah dihitung berdasarkan
test DW angka ini merupakan angka yang tidak terjadinya autokorelasi.

Hasil estimasi menunjukkan bahwa variabel upah riil tenaga kerja


bertanda negatif yaitu sebesar 0,005627 pada tingkat alpha 0,10. Temuan ini
mengindikasikan bahwa upah riil tenaga kerja berkorelasi negatif dengan
permintaan tenaga kerja. Artinya bila terjadi kenaikan upah riil 1 % maka
akan menyebabkan penurunan permintaan tenaga kerja di perkebunan
kelapa sawit sebesar 0,0056 %. Hal ini juga berarti semakin tinggi tingkat
upah riil tenaga kerja maka semakin berkurang permintaan tenaga kerja.

Hasil estimasi menunjukkan bahwa variabel produktivitas tenaga kerja


bertanda positif yaitu sebesar 2,8376 pada tingkat alpha 0,05. Temuan ini
mengindikasikan bahwa produktivitas tenaga kerja berkorelasi positif dengan
permintaan tenaga kerja. Artinya bila terjadi kenaikan produktivitas 1 % maka
akan menyebabkan peningkatan permintaan tenaga kerja di perkebunan
kelapa sawit sebesar 2,84 %. Hal ini juga berarti semakin produktif tenaga
kerja maka semakin meningkat permintaan tenaga kerja.

Hasil ini sesuai dengan teori produktivitas tenaga kerja. Di mana menurut
teori produktivitas, produktivitas berhubungan positif dengan permintaan
tenaga kerja.

Variabel tingkat suku bunga kredit mendapatkan hasil estimasi sebesar


0,48402 pada tingkat alpha 0,05. Dari hasil estimasi bahwa variabel tingkat

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


309
Syahril

suku bunga kredit tidak mempengaruhi terhadap permintaan tenaga kerja


perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Aceh Barat.

Tidak signifikan pangaruh tingkat suku bunga kredit terhadap permintaan


tenaga kerja, karena perkebunan besar yang ada di Kabupaten Aceh Barat
adalah cabang dari perkebunan besar daerah lain yang bantuan modal
investasi dari hasil perkebunan induk.

Tidak signifikannya pengaruh tingkat suku bunga kredit terhadap permintaan


tenaga kerja di perkebunan kelapa sawit dikarenakan para investor lebih
memperhatikan faktor keamanan daripada tinggi rendahnya tingkat suku
bunga kredit.

Permintaan tenaga kerja perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Aceh Barat


menuju divergen karena menjauh dari rata-rata tingkat upah riil (w/p) tenaga
kerja perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Aceh Barat.

D. Penutup
Dari analisis data dan hasil pembahasan tentang permintaan tenaga kerja oleh
perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Aceh Barat, yang menggunakan data
panel seperti yang diuraikan di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan di
antaranya :

Tingkat upah riil berpengaruh negatif terhadap permintaan tenaga kerja.


Atau dengan kata lain meningkatkan upah riil akan menurunkan permintaan
tenaga kerja.

Hasil estimasi juga menunjukkan bahwa peningkatan produktivitas akan


meningkatkan permintaan terhadap tenaga kerja dan sesuai dengan teori
produktivitas tenaga kerja, artinya permintaan tenaga kerja berpengaruh
positif terhadap permintaan tenaga kerja.

Peningkatan atau penurunan tingkat suku bunga kredit tidak secara signifikan
mempegaruhi permintaan tenaga kerja pada perkebunan sawit di Kabupaten
Aceh Barat. Tingkat investasi di perkebunan kelapa sawit di kabupaten Aceh

At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010


310
PERAN 'ĀMIL DALAM PERMBERDAYAAN LAHAN PERKEBUNAN

Barat tidak hanya dipengaruhi oleh tingkat suku bunga tetapi keamanan dan
perusahaan perkebunan di Aceh Barat adalah cabang sehingga akses modal
dari perusahaan induk.

Permintaan tenaga kerja perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Aceh Barat


menuju divergen, artinya kurvanya menjauhi tingkat upah riil rata-rata.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


311
Syahril

Daftar Pustaka
Adam, EP, dan R J Eber, (1986), Production and Operation Management, Concept,
Model and Behavior, 3 ED, Prentice Hall International Edition, New Jersey.

Ahmad, Jamaluddin (1995). “Produktivitas Tenaga Kerja dan Elastisitas


Kesempatan Kerja di Daerah Istimewa Aceh”. Jurnal Ilmiah Mon Mata, No. 20,
Desember 1995. Halaman 15, Penerbit Lembaga Penelitian Unsyiah, Banda
Aceh.

Arsyad Anwar, Muhammad, dkk, (1995), Prospek Ekonomi Indonesia Jangka


Pendek Sumber Daya, Tehnologi dan Pembangunan, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.

As'ad, Moh (2003). Psikologi Industri, Penerbit Liberty, Yogyakarta.

Bellatte, Don and Mark Jackson. (1983). Ekonomi Ketenagakerjaan, Lembaga


Penerbit Fakultas Ekonomi Unirversitas Indonesia, Jakarta.

Depnaker Provinsi Istimewa Aceh, Laporan Analisis Kebutuhan Tenaga Kerja


Terampil di Propinsi Istimewa Aceh, Tahun 1996/1997.

Dorn Bush, Rudiger and Stanley Fisher, (1994), Makro Ekonomi, Edisi Keempat,
Diterjemahkan oleh Mulyadi, Erlangga, Jakarta.

Froyen, Richard T, (1995), Macroeconomics Theories and Policies, Fifth Eddition,


Prentice-Hall, Companies. Singapore.

Husni, Lalu (2005), Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Raja Grafindo


Persada, Jakarta.

Mankiw, N. Gregory, 2000. Teori Makro Ekonomi, Edisi Keempat, PT. Erlangga,
Jakarta.

At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010


312
PERAN 'ĀMIL DALAM PERMBERDAYAAN LAHAN PERKEBUNAN

McCafferty, stephen, (1990), Macroeconomic Theory, Harper dan Row,


Publisher, New York

Mc Connel, Campbell R and Stanley L Brue (1989), Contemporary Labor


Economics, Second Edition, Mc Graw-Hill, USA.

Manullang,1983. Ekonomi Moneter, Balai Aksara, Yudhistira, Jakarta.

Nazamuddin, (1998),” Dua Teori Tentang Upah dan Implikasi Ekonomi


Makro”, Jurnal Ekobis, Vol.1. No.1, Mei 1998, Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Syiah Kuala. Banda Aceh.

Sedarmayanti, (1995), Sumber Daya Manusia dan Produktivitas Kerja, Ilham


Jaya, Bandung.

Simanjuntak, Payaman J (1985), Pengantar Ekonomi Sumber Daya Manusia,


Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Unirversitas Indonesia. Jakarta.

Sukotjo, I dan Swastha B, (1985), Pengantar Ekonomi Perusahaan Modern, liberty,


Yogyakarta.

Sukirno, Sadono, 1985. Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah dan Dasar


Kebijakan, LPFE UI, Jakarta.

Sukirno, Sadono, 1994. Pengantar Teori Makro Ekonomi, Grafindo Persada,


Jakarta.

Todaro, Michael, P., 2000. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, Edisi keenam,
Erlangga, Jakarta.

Wijaya, Faried, (1991), Perkreditan Bank dan Lembaga-lembaga Keuangan Kita,


BPFE UGM, Yogyakarta.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


313
At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010
314
Konsep Ekonomi
Menurut Ibn KhaldŪn

Syamsuar Basyariah
Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Tgk Dirundeng Meulaboh

Abstract

Ibn Khaldūn has promoted a concept related to economic thing. According to


him, the property of a state is not based on the quantity of the money that the
state has, but based on the capacity to produce the luggages and the needs.
The concept at least lead a view how to build the human resources beside the
natural resources. Both of resources should be balance in order to stabilize the
economic of the nation.

Key words: ekonomi, Ibn Khaldūn


Syamsuar Basyariah

A. Pendahuluan
Manusia merasa bersyukur dan gembira karena saat ini kajian tentang
ekonomi Islam semakin meluas, maraknya kajian ekonomi Islam ini, tentu
akan mempengaruhi kajian mikro ekonomi seperti Akuntansi. Tradisi
keilmuan ekonomi telah dimulai jauh sebelum lahirnya Adam Smith, tujuh
ratus tahun bapak ekonomi konvensional menulis buku The Wealth of Nations,
seorang ulama Islam bernama abu Hamid al-ghazali telah membahas fungsi
uang dalam perekonomian. Tradisi keilmuan ini terus berlanjut. Dua ratus
tahun setelah al-Ghazali menjelaskan peranan uang dalam perekonomian, di
Tunisia, seorang ulama lain bernama Abdurrahman Ibn khaldun alias Abu
Zaid menjelaskan lebih lanjut dari apa yang telah di sampaikan al-Ghazali.

Ibn Khaldun menegaskan bahwa kekayaan suatu negara tidak ditentukan oleh
banyaknya uang di negara tersebut, tetapi ditentukan oleh tingkat produksi
negara tersebut dan neraca pembayaran yang positif. Bisa satu negara
mencetak uang sebanyak-banyaknya, tetapi bila hal itu bukan merupakan
refleksi pesatnya pertumbuhan sector produksi, uang yang melimpah tidak
akan ada nilainya. Sektor produksilah yang menjadi motor pembangun,
menyerap tenaga kerja, meningkatkan pendapatan pekerja dan menimbulkan
permintaan atas factor produksi lainnya. Pendapat ini menunjukkan bahwa
perdagangan internasional telah menjadi bahasan utama para ulama ketika
itu.1

Berbicara masalah ekonomi, meliputi kaedah yang luas, maka pembahasan


dalam ilmu ekonomi terbagi pada:
1. Ekonomi sebagai usaha hidup dan pencarian manusia dinamakan
economical life
2. Ekonomi dalam rencana suatu pemerintahan dinamakan political
economy
3. Ekonomi dalam teori dan pengetahuan dinamakan economical
science
Secara lengkap, soal-soal ekonomi disebutkan oleh Nabi Muhammad saw.

1 Adiwarman Aswar Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, (Jakrta: Gema Insani
Press, 2001), hal. 55

At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010


316
Konsep Ekonomi Menurut Ibn KhaldŪn

dalam suatu hadits yang diriwayatkan Bukhari, Muslim dan Nasa’I dari
Zubair bin Auwwam, yang artinya: “ seseorang yang membawa tali pada
pagi hari berangkat mencari dan mengerjakan kayu bakar ke bukit-bukit
lalu menjualnya, memakannya dan menyedekahkannya lebih baik dari pada
meminta-minta kepada manusia lainnya.

System ekonomi dalam Islam, tidak hanya didasari dari undang-undang


pemerintah, tetapi juga dilandasi dari ajaran-ajaran Islam. Memang dalam
al-Quran belum dijelas secara deteil dan terperinci setiap pokok pembahasan
masalah perekonomian, tetapi banyak hadis-hadis Rasullah yang membahas
dan mengklasifikasikan setiap pokok permasalahan untuk memudahkan
aplikasinya dalam kehidupan sosial masyarakat.

Dalam hal ini, Ibn Khaldun ikut menyumbangkan pikirannya terhadap


system perjalanan ekonomi secara Islami. Ibn Khaldun memperkenalkan
apa yang disebut dengan lingkaran keadilan dalam komentarnya terhadap
konsep ekonomi. Maka yang menjadi objek kajian dalam makalah ini adalah
bagaimana konsep pemikiran Ibn Khaldun dalam bidsang ekonomi..

B. Pembahasan
Ekonimi Islam selama tiga dasawarsa merupakan tema yang paling banyak
mendapat perhatian dari para sarjana dan cendikiawan muslim disbanding
disiplin lainnya. Gagasan ekonomi dimaksud sebagai sebagai alternatif
terhadap system ekonomi kapitalis dan sosialis yang bukan saja dianggap
tidak sejalan dengan jaran Islam, namun juga gagal dalam memecahkan
berbagai problem ekonomi yang dihadapi terutama oleh negara-negara dunia
ketiga. Sistem ekonomi Islam diharapkan dapat mencegah ketidakadilan
dalam penerimaan dan pembagian sumber-sumber materi agar dapat
memberikan kepuasan pada semua manusia dan memungkinkan mereka
menjalankan kewajiban kepada Allah dan masyarakat. Islam mewajibkan
zakat, melarang riba, mengizinkan pemilikan kekayaan pribadi, tetapi juga
memberi hak kepada masyarakat untuk menyebarkan kembali kekayaan
pribadi; melarang pemilikan tanah yang diluar kemampuan seseorang
atau keluarganya untuk mengelolanya. Ketentuan-ketentuan ini, jika
dilaksanakan, diyakini akan menciptakan suatu masyarakat yang memiliki

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


317
Syamsuar Basyariah

segala keunggulan dalam kesamaan dan keadilan, pemerataan dan


kerjasama, serta dinamisme ekonomi dan pertumbuhan. 2Konsep ekonomi
Islam menjaga agar nilai-nilai Islam tetap berlaku dan dapat mewujudkan
risalah yang dibawa oleh Islam itusendiri. Menurut Chapra ekonomi Islam
adalah ekonomi yang mewujudkan risalah Islam. Beliau menyatir pendapat
al-Ghazali tentang maksud ar-Risalah sebagai upaya untuk mewujudkan
kesejahteraan bagi seluruh manusia yang terletak pada :
1. mengamankan keyakinan atau agama
2. mengamankan diri manusia itu sendiri
3. mengamankan otak dan pikirannya
4. Mengamankan keturunan dan generasi mudanya
5. mengamankan harta kekayaannya3

Adapun menurut Ibn Khaldun ada prinsip-prinsip dasar yang harus dimiliki
system ekonomi Islam, yaitu:
1. Tauhid ilahiyah
2. Kemakmuran dunia akhirat
3. Dimensi material dan moral
4. kemakmuran untuk semua yang bersifat jangka panjang dan sustained
5. dapat diterapkan. Sistem ini dapat dipraktekkan karena pernah
diterapkan pada abad ke 5-9 di Jazirah Arab dengan sangat sukses.4

Mekanisme pasar dalam Soal-soal ekonomi ini dibicarakan juga oleh filosof
Islam, Ibnu Khaldun (1332 – 1046) dalam bukunya Muqaddamah, bagian
V, “Motif ekonomi timbuk karena hasrat manusia yang tidak terbatas,
sedangkan barang yang memuaskan kebutuhannya itu sangat terbatas. Sebab
itu, pemecah soal ekonomi haruslah dipandang dari dua sudut, sudut tenaga
dan sudut penggunannya.

2 P. A. Rifa’I Hasan, “Ekonomi Islam: Gagasan, Kritik dan Harapan”, dalamUlumul Qur’an,
nomor 5, tahun 1990, hal. 3.
3 Sofyan Syafri Harahap, Menuju perumusan Teori Akuntansi Islam, (Jakarta:Pustaka Kuantum,
2001), hal. 29
4 Sofyan Syafri Harahap, Menuju… hal. 32.

At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010


318
Konsep Ekonomi Menurut Ibn KhaldŪn

Adapun sudut tenaga terbagi menjadi:


a. Tenaga untuk mengerjakan barang-barang (objek) untuk memenuhi
kebutuhan sendiri (subjek) dinamakan ma’asy (penghidupan)
b. Tenaga untuk mengerjakan barang-barang yang memenuhi
kebutuhan orang banyak, dinamakan tamawwul (perusahaan). 5

Berdasarkan keterangan diatas, nampak jelas bahwa Ibnu Khaldun


mendasarkan pemikiran ekonominya pada doktrin al-Qur’an, hal ini dapat
diketahui dari perkataan Ma’isya dal al-Haqqah ayat 21, dan al-Qaria’ah ayat
7. dan kata ma’asya dalam surat Naba’ ayat 11. Semua perkataan itu adalah
dipakai sebagai istilah untuk menunjukkan perlunya tenaga manusia untuk
mencukupkan kebutuhan hidupnya. Ibnu Khaldun juga memasukkan
perusahaan pribadi dan perusahaan umum kedalam pemabasan mekanisme
pasar. Usaha tersebut digunakan bagi usaha suatu ummat. Ia mengatakan
kalau usaha tersebut dipenuhi oleh kebinasaan dan kehancuran maka
persaingan ekonomi atau kasab telah terjadi kezaliman. Pada bagian pertama
dari uraian ekonomi Ibnu Khaldun (Ma’asyi dan Rezki) hanya diperuntukkan
bagi kebutuhan sendiri sedangkan pada bagian kedua Tamawwul dan kasab bagi
pekerjaan perusahaan. Tentang mata uang dalam pandangan Ibnu Khaldun
memegang peranan penting kerena uang merupakan alat penghargaan
proporsi mata uang dalam penglihatan Ibnu Khaldun sebagai anugrah
Tuhan. Untuk itu dia menulis sebagai beriukt: “ Tuhan telah menjadikan
dua barang galian yang berharga yaitu emas dan perak, menjadi nilai dalam
perhubungan ekonomi sekaligus sebagai alat simpan bagi penduduk dunia”.
Karena begitu pentingnya mata uang maka uang iru bisa berfungsi sebagai:
1. Alat penukar dan pengukur harga sebagai nilai usaha (almakasib)
2. Alat perhubungan atau alqaniyah
3. Alat simpanan dalam Bank-bank atau azzakhirah. 6

Pendapat Ibnu Khaldun tersebut jika dianalisa dengan kondisi kita hari ini
bahwa emas dan perak yang menempati tempat ukuran standar, dapat saja
diganti dengan uang kertas akan tetapi substansi dari tujuan pemanfaatan

5 Abdullah Zaki Alkaaf, Ekonomi …, hal. 209.


6 Abdullah Zaki Alkaaf, Ekonomi…hal. 211.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


319
Syamsuar Basyariah

emas dan perak tetap memiliki nilai yang relevan serta adanya jaminan
emas dan perak di dalam Bank. Uraian sistim perekonomian Ibnu Khaldun
sangat luas bahkan di dalam kitab muqaddimahnya terdapat 33 pasal yang
membahas tentang persoalan ekonomi, namun persoalan ekonomi di zaman
kita sekarang jauh lebih luas dari pada yang diuraikan oleh Ibnu Khaldun,
akan tetapi pengakuan kita kepada Ibnu Khaldun sebagai perintis jalan bagi
perekonomian modern tidaklah menjadi lekang bahkan pengaruh pemikiran
Ibnu Khaldun terhadap mekanisme pasar sampai ke zaman renesain Eropa.
Dimana pusat pereonomian Eropa sebagaimana pernah diulas oleh Ibnu
Khaldun adalah pada dua titik yaitu pertanian dan perdagangan. Dalam
uraian tentang perekonomian Ibnu Khaldun serta karya-karyanya terutama
di dalam bukunya Muqaddimah ditegaskan oleh Abdullah Zaki Alkaaf
”menjadi lampu ditengah-tengah kegelapan atau bintang di alam cakrawala
yang telah memberi pedoman bagi teori ekonomi Eropa khususnya dan
internasioanal umumnya”.

Pengakuan serupa juga dilontarkan oleh M. Luthfi Jum’ah dalam bukunya


Tarikh Falasifah al-Islam sebagai berikut “ Karangan Ibnu Khaldun bagian
kelima dari bukunya muqaddimah khusus mengenai ilmu ekonomi dijadikan
dasar bagi Karl Marx sewaktu menulis bukunya Das Kapital. Tentang
permintaan dan penawaran berhubungan dengan naik turunnya harga, Ibnu
Khaldun membagi barang atas kebutuhan dan kemewahan menurutnya jika
satu kota berkembang dan jumlah penduduknya meningkat

Perkembangan pemikiran dan penerapan ekonomi Islam sangat spektakuler,


apalagi khazanah umat Islam dari fillusufnya terdahulu seperti Ibnu
Khaldun, Ibnu Taimiyah, al-Ghazali dan Abu Yusuf benar dapat digali.
Pemikiran tersebut jika diterapkan dalam konteks sosial sekarang akan dapat
melahirkan system baru yang dapat dikaji untuk perkembangan berikutnya.
Integrasi teori, konsep dan praktek perlu diperjuangkan. Sehingga ilmu yang
Islami akan menopang lahirnya ilmu yang sejalan dengan nilai dan ciri Islam
yang berlanjut akan melahirkan masyarakat yang Islami pula.7

7 Sofyan Syafri Harahap, Menuju perumusan…,hal. 39.

At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010


320
Konsep Ekonomi Menurut Ibn KhaldŪn

Kalau kita mengambil contoh dari tradisi pemikiran Islam, mukaddimahnya


Ibn Khaldun dapat dijadikan teladan bagi suatu analisis emperis yang Islami.
Akan teytapi sayangnya tradisi tersebut belumpernah dikembangkan lebih
lanjut oleh sarjana-sarjana muslim untuk menganalisis gejala perkembangan
masyarakat modern. Pada hal dalam mukaddimah terkandung analis
ekonomi-politik yang tepat untuk masyarakat abad tengah.8 Demikian
kesimpulan yang diambil oleh pakar ekonom Indonesia Prof. Drs. Dawam
Rahardjo.

Analisis Dawam tampaknya sangat beralasan mengingat konsep mekanisme


pasar yang dikembangkan oleh pendahulu Ibn Khaldun yaitu Ibn
Taymiyah sangat relavan dengan mekanisme pasar modern menarik untuk
diperbandingkan. Konsep mekanisme pasr Ibnu Khaldun dengan konsep
mekanisme pasar Ibn Taymiyah, dan Abu Yusuf.

Kalau Ibn Taymiyah mempunyai satu gagasan yang jelas tentang harga
dipasar bebas yang ditentukan oleh kekuatan-kekuatan sekarang yang
disebut permintaan dan penewaran, maka mekanisme pasar Ibn Khaldun
juga memiliki konsep yang jelas tentang permintaan dan penawaran
sehubungan dengan naik turunnya harga, Ibn Khaldun membagi barang-
barang berdasarkan kebutuhan dan kemewahan. Edangkan Abu Yusuf
memberikan perhitungan teoritis tentang permintaan dan penawaran yang
tidak memiliki batasan yang pasti tentang murah dan mahalnya harga.9

Dibidang penghasilan pajak yang turut mempengaruhi fluktuasi harga tidak


luput dari perhatian Ibn Khaldun, dalam hai ini ia berkomentar “ pemerintah
adalah pasar terbesar, ibu dari semua pasar, dalam besarnya pendapatan
dan penerimaannya. Jika pasar pemerintah mengalami penurunan, maka
adalah wajar jika pasar yang lainnya mengalami penurunannya, maka pasar
yang lainpun ikut menurun, bahkan dalam agrizat yang lebih besar”.10 Dari

8 M.Dawam Rahardjo, Deklarasi Mekkah, (Bandung: Mizan, 1987), hal. 107


9 Abdul Azis Islahi, Teori Mekanisme Pasar Menurut Ibn Taymiyah, dalam Ulumul Qur’an,
vol. 2, no. 2, (Jakarta: LSAF, 1989), hal. 94-96
10 Mimbar Ulama, kKebijakan Fiskal Rasulullah, (Jakarta: Sekretaiat MUI, tt), hal. 47

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


321
Syamsuar Basyariah

pernyataan tersebut, Ibn Khaldun sepertinya mengajukan diaknosa obat bagi


resesi yaitu mengecilkan pajak dan meningkatkan pengeluaran pemerintah.
Rekavri tersebut merupakan inovasi yang layak diimplementasikan sesuai
kontemporer sehingga tidak berlebihan jika Laffer penesehat ekonomi
mantan poresiden Regan mengambil konsep mekanisme pasar tersebut dari
ide Ibn Khaldun

Meminjam istilah Ibn Khaldun, cara hidup kita atau perubahan yang terjadi
dalam cara hidup kita, dapat mempengaruhi pemikiran kita. Lingkungan
sosial ekinomi lewat daya peka kita, juga berpengaruh terhadap pemikiran
kita. Cara hidup yang dimaksud adalah bagaimana meningkatkan
produktifitas disektor-sektor lapangan kerja. Ini artinya selama ini konsep
mekanisme pasar Ibn Khaldun belum dipikirkan secara serius

Dasar uraian diatas sudah dapat ditarik benang merah antara kajian ekonomi
yang berwarna Islam. Pertama, kajian ekonomi Islam dalam lingkup
normative, dalam arti upaya menjelaskan dasar-dasar filosofis atau normative
suatu kegiatan ekonomi yang sesuai dengan tuntutan Islam. Menurut
ajran baku dalam al-Quran dan hadits. Untuk melakukan hal itu, jelaslah
diperlukan pengusahaan yang baik atas Islam dan ilmu ekonomi. Terutama
perbandingan system ekonomi dan sejarah perkembangan pemikiran
ekonomi. Dengan kajian seperti itu, agaknya dapat disusun konsep system
ekonomi Islam yang ideal.

Kedua, kajian ekonomi Islam hasil pemikiran atau penyelidikan para pakar
ekonomi maupun sosiolog seperti Ibn Khaldun, Ibn Taimiyah, maupun Max
Weber, yang dilakun secara analitis kritis, baik melalui pemeriksaan teori atau
tesis yang dikemukakan maupun melalui pengujiannya terhadap kenyataan
perilaku ekonomi Muslim.

Awal dari sifat bahasan ibn Khaldun sabgat berbeda dengan ibn taymiyah.
Menurut A.A. Islahi, pembahasan Ibn Khaldun lebih bersifat ”Sosiologi
Ekonomi,” sedangkan bahsan ibn Taymiyah lebih bersifat gambaran “politik
Ekonomi Islam.” Dengan pengaruh pengalamannya Ibn Khaldun lebih
dulu mengedepankan teori baru menunjukkan bukti-buktinya. Jadi kajian

At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010


322
Konsep Ekonomi Menurut Ibn KhaldŪn

ekonominya lebih bersifat “ekonomi positif”, yang berbazis studempirik.


Sedangkan Ibn Taimiyah menekankan pada praktek ekonomi yang
diharapkan bagi setiap individual dan kebijakan ekonomi yang adil oleh
negara. Jadi secara umum lebih bersifat normative.11

C. Kesimpulan
Tatanan ekonomi harus diatur sedemikian rupa, sehingga seluruh manusia
bisa memperoleh hak milik secara wajar dan menikmatinya dengan tampa
melupakan Allah sebagai pemberi harta tersebut.

Pelaku ekonomi Islam perlu memperhatikan tiga tujuan pokok ekonomi


dalam Islam, yaitu:
1. mengutamakan prinsip-prinsip Ilahiyah (ketuhanan)
2. Memperjuangkan kebutuhan hidup duniawitampa meninggalkan
keselamatan ukhrawi
3. Menciptakan kesejahteraan sosial.

Ekonomi dalam Islam mengandung dasar-dasar keutamaan dan


kebahagiaan serta kemakmuran bersama (kolektif) dan menghilangkan atau
meminimalkan jurang pemisah antara kaum borjuis (agniya) dan kaum
proletar (mustadhafin).

Dalam aktifatas ekonomi Ibn Khaldun dan Ibn Taimiyah sangat menekankan
adanya kerja sama dan persatuan untuk mencapai kebaikan dan bersekutu
pula untuk menghilangkan penderitaan. Jadi manusia secara kodrati
merupakan makhluk sosial.

Pemikiran Ibn Khaldun dalam bidang ekonomi dipengaruhi oleh pemikiran


al-Ghazali dan Ibn Taimiyah. Miskipun pemikiran keduanya sangat berbeda,
Ibn Khaldun bersifat “ Sosiologi Ekonomi”, dan Ibn Taimiyah bersifat
“politik ekonomi Islam”, akan tetapi juga terdapat sisi persamaan, seperti
pertimbangan peran penting penawaran dan permintaan dalam menetapkan
harga. Ibn Khaldun menyatakan bahwa keuntungan yang moderat akan

11 A.A. Islahi, Konsep Ekonomi Ibn Taimiyah, (Surabaya: PT. Bina ilmu, 1997), hal 317-318

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


323
Syamsuar Basyariah

mendorong perdagangan, sementara keuntungan yang rendah akan


melesukan para pedagang dan perajin, sedang keuntungan yang tinggi akan
membuat permintaan melemah. Sedang Ibn Taimiyah menyebutkan secara
eksplisit beberapa elemen kompetisi dan berbagai biaya penawaran.

Daftar Pustaka
A. Islahi, Konsep Ekonomi Ibn Taimiyah, Surabaya: Bina ilmu, 1997

Ulumul Qur’an, nomor 5, tahun 1990

Harahap, Sofyan Syafri, Menuju perumusan Teori Akuntansi Islam Jakarta:


Gema Insani Press, 2001

Islahi, Abdul Azis, Teori Mekanisme Pasar Menurut Ibn Taymiyah. Jakarta:
Pustaka Kuantum, 2001

Karim, Adiwarman. Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta: GIP,


2001.

Rahardjo, M. Dawam, Deklarasi Mekkah, Bandung: Mizan, 1987

Ulama, Mimbar. Kebijakan Fiskal Rasulullah. Jakarta: Sekretaiat MUI, t.th.

Ulumul Qur’an, vol. 2, no. 2. Jakarta: LSAF, 1989

At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010


324
PRODUKSI DALAM KONSEPSI
EKONOMI ISLAM

Zulkarnaini
Alumni Fak. Ushuluddin, Jurusan Aqidah Dan Filsafat. S.2 diselesaikan
pada pascasarjana kosentrasi Dirasah Islamiyah IAIN Ar-Raniry Banda
Aceh. Bekerja pada Dep. Agama Kota Banda Aceh Dan Dosen Luar Biasa
IAIN Ar-Raniry Banda Aceh.

Abstract

Production plays an important role to ensure self and social interest. In Islamic
economy system, the production is aimed to reach the economic justice (al-
‘Adalah al-Iqtisadiyah), social insurance (at- Taqaful al-Ijtima’i) and utilize the
resources of economic empowering for productivity effeciently

Key words: Produksi, Ekonomi Islam.


Zulkarnaini

A. Pendahuluan
Perkataan ekonomi berasal dari dari kata Yunani yaitu "oicos" dan "nomos"
yang berarti rumah, dan nomos berarti aturan. Jadi ekonomi adalah aturan-
aturan untuk menyelenggarakan kebutuhan hidup manusia dalam rumah
tangga, baik rumah tangga rakyat (volkshuishouding) maupun dalam rumah
tangga negara (staathuishouding).1 Dalam bahasa Arab disebut dengan
iqtishad yang artinya mengatur soal-soal penghidupan manusia dengan
sehemat-hematnya dan secermat-cermatnya. 2

Ekonomi Islam adalah ekonomi yang berdasarkan pengawasan Tuhan.3 Sistem


ini manusia menggunakan sarana tidak terlepas dari syari'at yang bertitik
tolak dari Allah, bertujuan akhir kepada Allah. Dengan demikian cakupan
ekonomi sangat luas akan tetapi secara garis besar ekonomi tersebut dapat
digolongkan kepada: ekonomi sebagai usaha hidup dan pencaharian manusia
(economic life), ekonomi dalam rencana suatu pemerintahan (political economi)
dan ekonomi dalam teori pengetahuan (economic science).4 Ketiga cakupan ini
bertujuan untuk kemakmuran manusia baik dunia dan akhirat.

Dalam Islam aktifitas ekonomi seperti produksi, distribusi, kosumsi, impor-


exspor tidak lepas dari titik tolak ketuhanan dan tujuan akhir untuk Tuhan.
Karenanya tujuan ekonomi Islam untuk membantu manusia beribadah
kepada Allah, untuk lebih jelasnya tulisan ini hanya membahas produksi
mrngingat produksi memegang peranan penting dalam ekonomi Islam.

Pada sisi lain ekonomi Islam menempatkan self interest dan social interst
sebagai tujuan, keadilan ekonomi, jaminan sosial dan pemanfaatan sumber-

1 Mulya Bakri, Ekonomi Pembangunan, (Jakarta: Gramedia, 1999), hal. 56.


2 Abdullah Zaky al-Kaaf, Ekonomi dalam persepektif Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2002),
hal. 19.
3 Istilah yang sering digunakan dalam pengawasan adalah waskat (pengawasan melekat),
dalam ekonomi Islam dimaksudkan bahwa Allah selalu hadir dalam kehidupan atau "perasaan
selalu ada yang mengawasi" kata yang lebih popularnya Allah seolah-olah melihat perpuatan
kita dan meskipun kita tidak dapat melihatnya. ‘Abd al-Hadi Ali Al-Najjar, Ekonomi Islam, Terj.
Muslim Ibrahim, (Banda Aceh, MPU Nad, 2000), hal. 15.
4 Rustam Effendi, Dasar-dasar Ekonomi Islam, (Pekan Baru: UIR Press, 2001), hal. 13.

At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010


326
PRODUKSI DALAM KONSEPSI EKONOMI ISLAM

sumber daya ekonomi sebagai prinsip fundamental sistem ekonomi.5 Dalam


ekonomi Islam kerja adalah kewajiban setiap orang, dan hasilnya menjadi hak
milik peribadi yang dihormati dan dilindungi. Karena itu dalam ekonomi
Islam ada korelasi signifikan antara keadilan dan produksi. Korelasi ini
menunjukkan bahwa produksi adalah suatu keharusan dalam pandangan
persepektif Agama Islam. Keharusan ini terbukti pada kisah Dzukarnayn
dalam surat Al-Kahfi: 92-97.

Kemudian dia menempuh suatu jalan (yang lain lagi).


Hingga apabila dia telah sampai di antara dua buah bukit, dia mendapati di
hadapan kedua bukit itu suatu kaum yang hampir tidak mengerti pembicaraan
(bahasanya sangat sederhana.
Mereka berkata: Hai Dzulkarnain, sesungguhnya Ya'juj dan Maujud itu
orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, maka dapatkah kami
memberikan sesuatu pembayaran kepadamu, supaya kamu membuat dinding
antara kami dan mereka.?
Dzulkarnain berkata: "Apa yang telah dikuasakan oleh Tuhan kepadaku
adalah lebih baik, maka tolonglah aku ( manusia dan alat-alat) membuat
dinding antara kamu dan mereka.
Berilah aku potongan-potongan besi. Hingga apabila besi itu telah sama
rata dengan kedua (puncak) gunung itu, berkatalah Dzulkarnain, Tiuplah
(api itu). Hingga apabila besi itu sudah menjadi (merah seperti) api, diapun
berkata: Berilah aku tembaga (yang mendidih) agar kutuangkan ke atas besi
panas itu.
Maka mereka tidak bisa mendakinya dan mereka tidak bisa (pula)
melobanginya.

Dari ayat-ayat di atas merupakan contoh lengkap dari sebuah usaha


produksi dan manajer serta perancana dalam membuat dinding.6 Di samping

5 Rifat al-Mahjub, Dirasat Iqtisadiyat Islam, (kairo: Ma'had ad-Dirasat al-Islamiyah, 1987),
hal. 14.
6 Thahir Abdul Mukhsin Sulaiman, Menanggulangi Krisis Ekonomi Secara Islam, (Bandung:
Al-Ma'arif, 1985), hal. 139.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


327
Zulkarnaini

itu produksi adalah sebagai prinsip kesejahteraan ekonomi yang harus


menganut prinsip etika yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim dan
harus berpegang pada semua yang dihalalkan Allah dan tidak melewati batas.

Etika yang paling penting adalah menjaga sumber daya alam dan mensyukuri
nikmat Allah, agar sumber daya alam itu tidak rusak. Rusaknya sumber daya
alam itu adalah hadirnya bentuk kejahatan yang dilakukan manusia seperti
pencemaran, binasanya makhluk-makhluk lain dan sebagainya. Pada sisi
lain adalah rusaknya spiritual dan tersebarnya kezaliman yang keduanya
tidak diridhai Allah.7

Fungsi etika dalam tujuan produksi adalah untuk meningkatkan


kesejahtraan manusia tidak hanya kondisi moral, malainkan material dan
moral sebagai sarana untuk mencapai tujuan di akhirat. Dalam hal ini
produksi memiliki implikasi antara lain: pertama, produk-produk yang
menjauhkan manusia dari nilai-nilai moral dilarang untuk diproduksi. Kedua,
aspek sosial produksi ditekankan dan secara ketat dikaitkan dengan proses
produksi. Ketiga, masalah ekonomi hadir bukan karena banyak berkaitan
dengan kebutuhan hidup, tetapi timbul karena kamaslahatan dan kealpaan
manusia dalam usahanya untuk mengambil manfaat yang sebesar-besarnya
dari anugerah Allah, baik sumber alami maupun sumber manusiawi.8

Sejauh ini pandangan ekonomi Islam faktor pruduksi meliputi sumber daya
alam, sumber daya manusia, modal dan manajemen, dengan demikian tugas
manusia (umat Islam) bagaimana memanfaatkan keempat faktor ini untuk
menciptakan kesempatan produksi, stabilitas ekonomi dan kemakmuran.

B. Faktor-faktor Produksi
Makna produksi adalah penghasilan.9 Produksi juga diartikan sebagai

7 Yusuf Qaradawi, (terj.) Norma dan Etika Ekonomi Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997),
hal. 117-118.
8 Monzer Khaf, Ekonomi Islam: Telaah Analitik Terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hal. 7.
9 Jhon Echol dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1996), hal.
449.

At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010


328
PRODUKSI DALAM KONSEPSI EKONOMI ISLAM

tindakan dalam membuat komoditi, barang-barang maupun jasa.10 Bahasa


Arab menyebutkan produksi adalah "intaj" dari akar kata nataja.11 Dengan
demikian makna produksi adalah usaha mengembangkan sumber daya
alam agar lebih bermanfaat bagi kebutuhan manusia. Dalam ilmu ekonomi
produksi diartikan sebagai usaha mengekploitasikan sumber daya agar
dapat menghasilkan manfaat ekonomi. Dari definisi di atas produksi dapat
diartikan dengan segala perbuatan manusia yang berbentuk dan berguna serta
menghasilkan. Secara praktis makna produksi adalah setiap bentuk akfifitas
yang dilakukan manusia untuk mewujudkan manfaat atau menambahnya
dengan cara mengeksplorasi sumber-sumber ekonomi yang disediakan Allah,
sehingga menjadi maslahat, untuk memenuhi kebutuhan manusia.12

Dari pengertian di atas produksi memiliki faktor-faktor yang satu sama


lainnya memilki keterkaitan. Adapun faktor produksi adalah:

1. Sumber daya Alam (SDA)


Sumber daya alam yang fundamental adalah tanah dan dianjurkan untuk
diolah.13Dalam sejarah manusia sejak nabi Adam dan Istrinya Hawa telah
memulai bekerja mengolah tanah (pertanian) untuk sumber produksi. Kerja
dalam bentuk produksi pertanian ini tergambar dalam surat Ar-Ra’d; 4.

Dan di bumi terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun


anggur, tanaman-tanaman dan pohon korma yang bercabang dan yang tidak
bercabang. Disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebagian tanam-
tanaman itu atas sebahagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada
yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang
berfikir.

10 Richard G. Lipsey, dkk., Pengantar Makro Ekonomi, (Jakarta: Prinarupa, Aksara, 1995), hal.
336.
11 Nazih Hamad, Mu'jam al-Mustalahat al-Fiqh Iqtisadiyah fi Lughah al- Fuqaha' (Kairo: al-
Ma'had al- 'Alami Li al-Fikr al-Islami, 1993), hal. 74.
12 Jaribah ibn Ahmad al-Haritsi, Al-Fiqh Al-Iqtishadi Li Amiril Mukminin Umar Ibn Khattab,
(Jeddah: Al-Andalus al-Khadra, 2003), hal. 37.
13 Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya.
Hud/11:61.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


329
Zulkarnaini

Dalam perkembangan sejarah perekonomian islam tanah menjadi sumber


utama untuk menghidupkan negara. Pada masa pemerintahan Rasulullah
banyak sahabat yang berusaha dibidang pertanian sebagai sumber
penghasilan yang produktif (Ihya al-Mawat). Melihat kepada fungsinya
tanah sebagai faktor utama prodouksi, maka dalam ekonomi Islam produksi
tidak bisa dipisahkan dengan tanah sebagai lahan produksi.14

Konsep ekonomi Islam dalam masalah tanah yang menyangkut ada tidaknya
produksi, feodalisme harus dihapuskan sebab peran feodalisme dalam
penyelesaian tanah akan mendatangkan bahaya dan menghambat produksi
serta mendatangkan ketidak adilan.15 Menyangkut tanah sebagai sumber dan
faktor produksi Fiqh Islam mengatur tata cara pengelolaan tanah sebagai
berikut:
a. Islam memaksa pemilik tanah menanami tanahnya dengan alat-
alatnya, benihnya, binatangnya dan para pekerjanya.
b. Tanah diambil dari pemilik bila ia mengabaikannya selama tiga tahun.
c. Pemilik tanah dilarang menyewakan tanahnya untuk pertanian secara
mutlak, termasuk bagi hasil pertanian (muzara'ah).16

Dari tata cara di atas manfaat tanah sangat tinggi dalam perencanaan strategi
pertanian bagi umat Islam17 adalah:
1. Meningkatkan produksi bahan makanan, mengingat bahan makanan
sangat diperlukan untuk mencukupi kebutuhan pangan penduduk
yang semakin bertambah.
2. Meningkatkan produksi bahan-bahan yang dibutuhkan untuk
pakaian seperti kapas, wol, pohon rami dan sutra. Produksi ini
dibutuhkan untuk pakaian penduduk dalam negeri.
3. Meningkatkan produksi komoditi yang memiliki pasaran luar negeri
berupa bahan-bahan makanan, dalam bentuk biji-bijian, ataupun

14 Amidar Amir, Pengantar Agro Bisnis Dalam Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), hal.
57.
15 Abd Rahman Maliki, Politik Ekonomi Islam, (Bangil: al-Izzah, 2001), hal. 57.
16 Nazih Hamad, Mu'jam al-Mustalahat al-Fiqh Iqtisadiyah …, hal. 66.
17 Abd Rahman Maliki, Politik Ekonomi Islam…, hal. 92.

At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010


330
PRODUKSI DALAM KONSEPSI EKONOMI ISLAM

berupa bahan untuk pakaian seperti kapas dan sutra atau yang
lainya.

Untuk meningkatkan produksi, disamping tanah tenaga kerja merupakan


satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dalam ekonomi Islam.

2. Tenaga Kerja (SDM)


Faktor tenaga kerja al-Qur'an menganjurkan agar umat Islam harus memiliki
fisik yang baik dan kerja keras dan saling tolong menolong dan berlaku baik.18
Seruan al-Qur'an ini menunjukkan bahwa setiap muslim dapat mengatur
tenaga, pikiran, waktu untuk melakukan amal saleh, amal produktip karena
konsep masyarakat Islam adalah masyarakat kerja.

Dalam melakukan produksi kwalitas dan kwantitas produksi ditentukan


oleh tenaga kerja. Karena tenaga kerja merupakan sumber kekayaan yang
sangat penting di antara sumber-sumber ekonomi lainnya. Tenaga kerja
harus mengambil upah atas hasil kerjanya sebanding dengan kerjanya dan
manfaatnya. Dalam penentuan hasil kerja maka spesialisasi sangat dibutuhkan.
Spesialisasi kerja dapat menambah kualitas dan kwantitas produksi dan
akhirnya tingkat kesejahtraan masyarakat semakin tinggi pula.19

Pada dasarnya tenaga kerja ini terbagi kepada dua, yaitu: pertama, tenaga
kerja ahli yang memiliki keahlian bidang tertentu seperti, guru, insinyur,
dokter dan lain-lain. Tenaga kerja ini menerima upah yang tinggi. Kedua,
tenaga kerja kasar yang tidak memiliki keahlian tertentu, sehingga upah
yang diterimapun sedikit. Ekonomi Islam dalam persoalan produksi
menempatkan tenaga ahli pada tingkat pertama, karena pengaruh terhadap
hasil pruduksi sangat menentukan baik secara kwalitas maupun kwantitas.20
Disamping keahlian tenaga kerja ekonomi Islam juga mengedepankan
moral dan fisik sebagai sendi penopang produksi. al-Qur'an menjelaskan

18 Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar Kami
tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. (al-‘Ankabut: 69).
19 Ibn Khaldun, Muqaddimah, (Beirut: al-Maktabat al-Zahirah, 1980), hal. 454.
20 Afdalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Dana Bakti wakaf, 1995), hal. 257.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


331
Zulkarnaini

kriteria tenega kerja yang baik dan sehat, firman Allah;

Berkatalah salah seorang anaknya: Hai ayahku, ambillah dia (Musa) sebagai
pekerja (mengembala ternak), karena sebaik-baiknya pekerja ialah yang kuat
dan jujur. (al-Qasas: 26).

Ayat di atas menjelaskan bahwa kekuatan fisik (al-Qawiy) dan kejujuran (al-
Amin) sebagai kekuatan moral merupakan sifat yang sangat diperlukan
oleh seorang pekerja yang cakap dalam proses produksi. Sifat tersebut
dimiliki oleh nabi Musa dan justru karena hal itu dapat dijadikan contoh
oleh tenaga kerja dalam konsep ekonomi Islam. Kejujuran juga satu unsur
yang paling penting yang harus dimiliki tenaga kerja untuk meningkatkan
hasil produksi.

Aspek akal pikiran yang cerdas sangat diperlukan tenaga kerja untuk
memahami nilai-nilai normatif dan etika kerja. Penekan aspek akal dan etika
dalam produksi menunjukkan bahwa ekonomi Islam dalam segi produksi
dapat membentuk sikap dan kepribadian tenaga kerja dalam melakukan
kegiatan ekonomi.21

Pada sisi lain amanah dalam kontek etika kerja sangat diperlukan sebagai
tanggung jawab dalam arti meberi yang terbaik kepada majikan atau
perusahaan serta masyarakat. Hal ini dapat dinilai pada keyakinannya bahwa
berusaha dan bekarja adalah satu kewajiban, dilaksanakannya pekerjaan
dengan baik adalah ibadah dan mendapat pahala. Sedangkan niat ikhlas
bekerja untuk mencari keuntungan di dunia dan akhirat. Karena itu amanah
yang harus dimiliki tenaga kerha adalah amanah terhadap Allah dan amanah
sesama manusia, yang tercakup dalam kegiatan ekonomi.

3. Modal
Modal adalah kekayaan yang digunakan untuk memperoleh alat-alat

21 Buray. Philosophical Foundation and Ethical Foundation, (Englewood Cliffs: Prentice-


Hall, 1987), hal. 202.

At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010


332
PRODUKSI DALAM KONSEPSI EKONOMI ISLAM

produksi dan pembayaran gaji buruh untuk proses produki.22Dalam


ekonomi Islam modal dalam faktor froduksi ada dua, yaitu: pertama, alat
produksi, yaitu alat-alat yang dipergunakan untuk memproduksi barang
dan jasa seperti mesin tekstil, traktor pertanian, dan sebagainya. Kedua, uang
dan barang. Berbeda dengan alat-alat produksi, modal uang dan barang
diposisikan sebagai pihak yang menerima bagian dari keuntungan apabila
modal tersebut dikelola orang lain, dan pemilik modal juga menanggung
resiko kerugian yang ditimbulkan akibat kerja ekonomi antara pemilik modal
dan pengelola.23

Modal sebagai gaji buruh (upah pekerja), maka dasar penetapan upah
pekerja adalah standar minimum.24Artinya gaji upah pekerja dapat menutupi
kebutuhan minimum. Atau dengan kata lain ditentukan berdasarkan beban
hidupnya tanpa memperhatikan jasa (manfaat) tenaga yang diberikan.
Karena itu tata cara pemabayaran gaji tenaga kerja adalah:
1. Menghitung pengeluaran seorang buruh bersama istri, anaknya,
menghitung kebutuhan minimum mereka dan yang paling penting
adalah menilai keahlian dan senioritasnya.
2. Mencoba mendasarkan ganti rugi dengan mempertimbangkan
buruh dalam hubungan dengan fungsinya pada proses produksi, jadi
tergantung pada bagaimana jasanya memberi sumbangan terhadap
produksi itu sendiri sehingga modal yang dikeluarkan tidak rugi.

Beberapa ketentuan hukum Islam mengenai modal antara lain:


1. Islam mengharamkan penimbunan modal.
2. Modal tidak boleh dipinjam dan meminjamkan dengan cara riba.
3. Modal harus didapatkan dengan cara yang sama dengan mendapatkan
hak milik.
4. Modal yang mencapai nisap, zakatnya wajib dikeluarkan.
5. Modal tidak boleh digunakan untuk memproduksi dengan cara
boros.

22 Thahir Abdul Mukhsin Sulaiman, Menanggulangi Krisis…, hal. 98.


23 al-Sadr Muhammad al-Baqir, Iqtisaduna, (Beirut: Dar al-Ta'aruf, 1996), hal. 242.
24 Ali ibn Muhammad al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sultaniyah, (Kairo: al-Malabi, 1973), hal. 98.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


333
Zulkarnaini

6. Pembayaran gaji buruh / pekerja harus sesuai dengan ketentuan gaji


dalam Islam.

Dalam ekonomi Islam pemilik modal harus berupaya memproduksikan


modalnya, dan bagi yang tidak mampu menjalankan usaha, Islam
menyediakan bisnis alternatif yaitu mudarabah dan musyarakah. Seandainya
pemilik modal tidak siap menanggung resiko bisnis mudarabah25 dan
musyarakah, Islam menganjurkan Qard al-hasan, suatu pinjaman kebajikan
yang diberikan tanpa harapan keuntungan keuangan.

Islam menyediakan jalan keluar agar modal tidak dicermari oleh noda
penimbunan dan bungan, maka hendaknya menarik sebagian untuk zakat,
infak, sedekah, didistribusikan kepada orang-orang yang membutuhkan
dalam masyarakat. Kenyataan sejarah telah menunjukkan kaum muslimin
pada masa Khulafaur Rasyidin terutama Usman Ibn Affan, dana zakat,
infak, sedekah dan kebajikan lainnya, telah berfungsi dengan baik menekan
angka kemiskinan dan membantu pedagang mndapat pinjaman produktif
tanpa bunga.

4. Manajemen
Produksi yang baik biasanya dilakukan dengan sistem menajemen yang
baik pula. Dalam pengololaan produksi baik hasil maupun prosesnya prinsip
menajemen dapat dilaksanakan: pertama, pembagian kerja yang tujuannya
memperoleh hasil yang baik. Kedua, wewenang atau kebulatan perintah
yaitu hak memberi perintah untuk dipatuhi. Dan setiap orang pelaksana
untuk tugas tertentu hanya menerima penugasan dari satu kepala. Ketiga,
kebulatan pimpinan untuk merancang program kerja pengelolaan. Keempat,

25 Sistem mudarabah dalam fiqh Islam merupakan kesepakatan antara pemilik modal dengan
modal pengusaha untuk membangun usaha dagang dengan modal dari pihak pertama dan
usaha pngelola dari pihak kedua. Bila usaha itu mendapat keuntungan, maka keuntungan itu
dibagi sesuai prosentase yang disepakati. Seandainya usaha itu tidak mendapat untung dan tidak
pula rugi, maka pemilik modal menerima modalnya secara penuh, sedangkan pengusaha tidak
mendapt apa-apa selain ongkos dan biaya operasional selama pengelolaan. Bila usaha itu rugi,
maka pemilik modal tidak boleh memaksa pekerja untuk memikulnya, meskipun ia mendapat
prosentase untung kalau perusahaan itu mendapat keuntungan.

At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010


334
PRODUKSI DALAM KONSEPSI EKONOMI ISLAM

tata tertip, adalah ketentuan peraturan untuk dipatuhi.26

Kelima, kepentingan pribadi tunduk pada kepentingan umum. Keenam,


imbalan untuk karyawan, artinya gaji yang diberikan dan yang diterima
harus mendapat kepuasan. Ketujuh, menganut sistem the right man on the
righ place. Kedelapan, herarkhi yang meliputi jalur dari pucuk pimpinan ke
bawah sampai tingkat pelaksana. Kesembilan, kelayakan atau kewajaran yang
tidak sepenuhnya sama maknanya dengan keadilan. Kesepuluh, stabilitas
kepegawaian yang merupakan syarat pokok bagi kelancaran organisasi,
yang akan berfungsi dengan baik. Kesebelas, prakarsa pimpinan terhadap
kemajuan produksi. Keduabelas, kesatuan dan persatuan karyawan.27

5. Teknologi
Teknologi bukan hanya mesin atau alat-alat canggih yang digunakan, melain
cara menerapkan sains untuk memanfaatkan alam bagi kesejahtraan dan
kenyamanan manusia. Dalam ekonomi Islam pada tataran teoritis normatif
penempatan teknologi sebagai faktor pokok produksi dapat menciptakan
kemaslahatan manusia. Pada tataran praktis, penggunaan teknologi sebagai
faktor pokok produksi dapat mengatasi masalah kelangkaan relatif sumber
daya ekonomi.28

C. Prinsip produksi
Pada dasarnya prinsip produksi adalah mencapainya kesejahtraan ekonomi
dalam bentuk barang dan jasa yang baik serta halal. Prinsip ini bukan
hanya pada sisi material saja, tapi lebih dari itu moral sebagai sarana untuk
mencapai tujuan di akhirat.

Produksi dalam Islam29 meliputi: pertama produk-produk yang dihasilkan

26 Van Der Schroeff dan Willem H. Makaliwe, Menajemen dan Organisasi Perusahaan, (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1983), hal. 29.
27 Suroso Imam Zadjuli, Prinsip-prinsip Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992),
hal. 47.
28 Uzaer Mustafa, Teknologi Ekonomi Persepektif Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004),
hal. 67.
29 Rustam Efendi, Dasar-dasar Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Magistra Insania Press, 2003),

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


335
Zulkarnaini

tidak menjauhkan manusia dari kebaikan dan tidak merusak manusia.


Kedua, memiliki aspek sosial produksi yang ditekankan pada kesejahtraan
bersama. Ketiga, segala bentuk penimbunan terahadap barang-barang
kebutuhan pokok bagi masyarakat juga dilarang sebagai perlindungan
syari'at terhadap konsumen dan masyarakat.

Keempat, kegiatan produksi harus memperhatikan dampak lingkungan.


Setiap kegiatan produksi harus mempertimbangkan karusakan-kerusakan
yang akan diakibatkannya terhadap lingkungan; udara, air. Hutan dan
kerusakan atau kerugian sosial lainnya.30

D. Penutup
Konsep produksi dalam persepektif Islam merupakan rumusan-rumusan
atau kaedah-kaedah yang mempunyai nilai-nilai normatif sebagai landasan
teoritis produksi agar tidak bertentangan dengan prinsip keadilan ekonomi
dalam mencapai tujuan utama yaitu untuk memenuhi kebutuhan hidup
layak bagi manusia.

Model produksi dalam persefektif Islam bertitik tolak dari pemberdayaan


sumber daya yang tersedia secara adil dan efesien. Efesien dalam arti
bahwa sumber-sumber daya telah dimanfaatkan secara maksimal sesuai
dengan kebutuhan manusia baik maslahah individu dan masyarakat. Hal ini
menuntut adanya kebijakan ekonomi dalam memilih jenis dan kuantitas
berbagai barang yang diproduksi. Memilih jenis dan kualitas berbagai
barang yang diproduksi berarti memilih lokasi/ daerah tertentu di mana
sumber daya industri untuk kegiatan produksi dilaksanakan.

Keadilan ekonomi yang merupakan prinsip fundamental sistem ekonomi


Islam, berinteraks secara signifikan dengan keadilan dalam kegiatan produksi
yang mencakup harga yang adil, upah yang adil dan laba yang adil.

hal. 71.
30 Ibid., hal. 89.

At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010


336
PRODUKSI DALAM KONSEPSI EKONOMI ISLAM

Daftar Pustaka
Al-Mawardi, ‘Ali ibn Muhammad. Al-Ahkam al-Sultaniyah. Kairo: al-Malabi,
1973.

Rahman, Afdalur. Doktrin Ekonomi Islam. Yogyakarta: Dana Bakti wakaf, 1995.

al-Baqir, Al-Sadr Muhammad. Iqtisaduna. Beirut: Dar al-Ta'aruf, 1996.

al-Najjar, ‘Abd Hadi Ali. Ekonomi Islam. Terj. Muslim Ibrahim, Banda Aceh,
MPU Nad, 2000.

al-Kaf, ‘Abd Allah Zaky. Ekonomi dalam persepektif Islam. Bandung: Pustaka
Setia, 2002.

Amir, Amidar. Pengantar Agro Bisnis Dalam Islam. Jakarta: Gema Insani Press,
2002.

Malik, Abd Rahman. Politik Ekonomi Islam. Bangil: al-Izzah, 2001.

Buray. Philosophical Foundation and Ethical Foundation. Englewood Cliffs:


Prentice-Hall, 1987.

Ibnu Khaldun. Muqaddimah.Beirut: al-Maktabah az-Zahirah, 1980.

Echol, Jhon dan Hasan Shadily. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia,
1996.

al-Harithi, Jaribah ibn Ahmad. Al-Fiqh Al-Iqtisadi li Amir al-Mukminin ‘Umar


ibn Khattab. Jeddah: Al-Andalus al-Khadra. 2003.

Khaf, Monzer. Ekonomi Islam: Telaah Analitik Terhadap Fungsi Sistem Ekonomi
Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


337
Zulkarnaini

Bakri, Mulya. Ekonomi Pembangunan. Jakarta: Gramedia, 1999.

Hamad, Nazih, Mu'jam al-Mustalahat al-Fiqh Iqtisadiyah fi Lughah al- Fuqaha'


Kairo: al-Ma'had al- 'Alami Li al-Fikr al-Islami, 1993.

Imam Zadjuli, Suroso, Prinsip-prinsip Ekonomi Islam. Yogyakarta: Tiara


Wacana, 1992.

Lipsey, Richard G., dkk. Pengantar Makro Ekonomi. Jakarta: Prinarupa, Aksara,
1995.

Effendi, Rustam. Dasar-dasar Ekonomi Islam. Pekan Baru: UIR Press, 2001.

al-Mahjub, Rifat. Dirasat Iqtisadiyat Islam. Kairo: Ma'had al-Dirasat al-


Islamiyah, 1987.

Sulaiman, Thahir Abdul Mukhsin. Menanggulangi Krisis Ekonomi Secara Islam.


Bandung: Al-Ma'arif, 1985.

Mustafa, Uzaer. Teknologi Ekonomi Persepektif Islam. Jakarta: Gema Insani


Press, 2004.

Schroeff, Van Der dan Willem H. Makaliwe. Menajemen dan Organisasi


Perusahaan. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983.

Yusuf Qaradawi. (ter.) Norma dan Etika Ekonomi Islam. Jakarta: Gema Insani
Press, 1997.

At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010


338
KONSEP EKONOMI MENURUT
PERSPEKTIF ISLAM

Baihaqi A. Samad
Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh

Abstract

To build the stabilized economic system, it not only needs the formal institution,
but also the science-base that be more theoritcal to be implemented. To study
on the economic system based on the macro of Islamic system that can be
eased through the fact and concrete data. The system can be reached through
empowering the sysmatic managemen and fulfilled with the economic-sosial
permanent institution.. System of Islam economic is an integral aspecs to
develop the prosperity life so the society will be prosperous. The principle
of Islamic economy should be refered to Al-Qur’an and Hadits in order
to regulate someone, unless he will exploit the natural resources based on
his will. Al-Qur’an give the limit between the right and wrong. So, Islamic
economy guided humanbeing to be honorer in the world and hereafter

Key words: Konsep, Ekonomi, Islam.


Baihaqi A. Samad

A. Pendahuluan
Dewasa ini, dunia Islam tengah melewati salah satu masa sejarahnya yang
paling kritis tetapi kreatif. Di tengah krisis --sistem kontemporer yang bebas
nilai-- yakni tersebarnya faham kapitalis dan sosialis, Islam masih mampu
tampil dengan kokoh untuk menetranisir nilai-nilai. Oleh karena itu, sistem
ekonomi Islam perlu dibangun secara lebih sistematis untuk menciptakan
sebuah kehidupan yang selamat, sejahtera, benar-benar diinginkan dalam
realitas masyarakat, yakni masyarakat yang "homo-Islamicus" sebagaimana
paham kapitalis dan sosialis.1

Untuk membangun sebuah sistem ekonomi mantap, tidak hanya


memerlukan perangkat kelembagaan yang formal, tetapi juga membutuhkan
perangkat ilmu yang lebih bernuansa teoritis untuk diterapkan. Kajian sistem
ekonomi secara makro dari sebuah sistem ekonomi Islam dapat dipermudah
melalui fakta dan data kongkret. Sistem ini dapat ditempuh dengan cara
pemberdayaan umat lewat pengaturan manajemen yang sistematis, yang
dilengkapi dengan lembaga-lembaga ekonomi-sosial yang permanen seperti
zakat, wakaf, hibah, larangan riba, kerjasama ekonomi seperti qiradh, syirkah,2
mudharabah, dan lain-lain.

Sistem ekonomi Islam adalah satu kesatuan dari beberapa aspek pola
pengembangan kehidupan sejahtera oleh individu-individu sehingga
membentuk masyarakat adil makmur.

B. Definisi Ekonomi Islam


Berbagai definisi tentang ekonomi yang dikemukakan para ekonom telah
mewarnai sikap dan perilaku masyarakat dalam prakteknya. Dalam definisi
modern, ilmu ekonomi adalah "Suatu ilmu yang membahas tentang usaha
umat manusia kehidupan yang biasa".3 Ungkapan ini diperkuat oleh

1 AM. Saefuddin, Ekonomi dan Masyarakat dalam Perspektif Islam,


(Jakarta: Rajawali Press, 1987), hal. 20.
2 Percampuran modal dua orang atau lebih dalam suatu usaha bersama, (Al-Jurjani Al-
Hanafi, At-Ta’rifat, (Mesir: al-Maktabah Al-Misriyah, t.th.), hal. 3.
3 Saiful Azhar bin Ruslan, “Economic Principles in Islam”, Journal of Islamic Economics,
IIUM, vol I, No. 1, Januari 1995, hal. 59.

At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010


340
KONSEP EKONOMI MENURUT PERSPEKTIF ISLAM

pendapat Robbins sebagai seorang pakar ekomomi, yaitu: "Ilmu ekonomi


adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang perilaku manusia
sebagai hubungan antara tujuan dan sarana langka yang memiliki kegunaan-
kegunaan alternatif.4

Dari teori tersebut dapat dipahami bahwa ilmu ekonomi adalah suatu ilmu
yang termasuk ke dalam kelompok ilmu sosial. Dengan kata lain ilmu tersebut
merupakan salah satu ilmu yang mempelajari perilaku sosial kemasyarakatan
dalam batasan-batasan tertentu. Karena itu, ilmu ekonomi adalah ilmu yang
mempertemukan banyak orang yang dikendalikan oleh berbagai motif.
Aspek kebudayaan dan moralitas bangsa merupakan kecenderungan positif
yang mampu melahirkan bentuk-bentuk dan sistem perekonomian dunia
yang handal. Akibat dari proses kebudayaan dan peradaban manusia yang
beragam kemungkinan besar akan timbul perlakuan ekonomi yang kasar
dan bertentangan dengan fitrah manusia sendiri. Fenomena di atas telah
terjadi di negara-negara sosisalis dan kapitalis di berbagai belahan dunia
Eropah.

Dari berbagai penjelasan tadi, jika ditinjau dari perspektif Islam sungguh
terdapat perbedaan dalam aplikasinya. Ilmu ekonomi Islam bukan ilmu
yang berdiri sendiri, melainkan bagian integral dari sistem kehidupan
yang sempurna yang meliputi aspek nilai normatif dan aspek nilai positif.
Dengan demikian definisi yang tepat dari ilmu ekonomi Islam adalah ilmu
pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat
yang diilhami nilai-nilai Islam. Definisi tersebut tidak berarti bahwa kaum
Muslimin dicegah untuk mempelajari masalah-masalah ekonomi sekuler dan
kapitalis yang berkembang pesat dalam sistem pasar dunia modern hari ini.
Sebaliknya mereka diilhami oleh nilai-nilai Islam yang diperintahkan syari'at
untuk mempelajari masalah minoritas non-Muslim dalam sebuah negara
Islam khususnya, dan mengenai manusia pada umumnya .5

4 Mannan, Teori dan Parkatek Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1993),
hal. 11.
5 Mannan, Teori dan Parkatek ..., hal. 11.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


341
Baihaqi A. Samad

Dari kedua definisi di atas terlihat adanya perbedaan nilai. Sebagian ahli
ekonomi mendukung pandangan yang menyebutkan bahwa ilmu ekonomi
adalah ilmu mengenai perilaku manusia yang berhubungan dengan kegiatan
mendapatkan uang dan membelanjakan uang semakin bertambah. Tetapi
penulis klasik dan pengikut mereka masa kini cenderung menyelidiki yang
tersirat di belakang selubung keuangan itu dan menggambarkan masalah
ekonomi dari segi yang bukan moneter. Permasalahan yang mendasar tentang
perekonomian umat hari ini, bersumber dari kenyataan yang menjelaskan
bahwa kita mempunyai kebutuhan dan kebutuhan tersebut pada umumnya
tidak dapat dipenuhi tanpa mengeluarkan sumber daya energi manusia. Bila
kita memiliki sarana yang cukup untuk memenuhi semua jenis kebutuhan,
maka kesenjangan perilaku ekonomi tidak akan timbul.

Perbedaan juga terlihat pada sifat dan volumenya. Pertikaian abadi antara
beraneka ragam keinginan dan kurangnya sarana telah memaksa umat
manusia untuk mengadakan pilihan di antara kebutuhan-kebutuhannya.
Problema ini muncul guna menetapkan daftar prioritas dan kemudian
mendistribusikan sumber daya manusia sedemikian rupa untuk
mendorongnya mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut secara
maksimum. Dalam ilmu ekonomi modern alternatif ini muncul, disebabkan
karena ketergantungan pada bermacam-macam tingkah individu. Sedangkan
dalam ilmu ekonomi Islam, setiap individu tidak mempunyai wewenang
penuh untuk mendistribusikan sumber-sumber daya semaunya. Dalam
hal ini ada suatu pembatasan moral yang serius berdasarkan ketetapan Al-
Qur'an dan Al-Sunnah atas tenaga individu.

Dari kedua definisi tadi juga telah menimbulkan kontroversi apakah ilmu
ekonomi Islam mementingkan tujuan atau harus bersikap netral di antara
berbagai tujuan yang diinginkan. Sementara itu ilmu ekonomi modern
bersikap acuh tak acuh dengan tujuan tertentu, maka ia hanya membahas
masalah-masalah ekonomi seperti apa adanya, tidak menurut yang
seharusnya. Dengan kata lain ilmu ekonomi modern tidak mempersoalkan
pertimbangan-pertimbangan nilai. Sebaliknya ilmu ekonomi Islam tidak
dapat berdiri netral di antara tujuan yang berbeda, misalnya saja kegiatan
membuat dan menjual alkohol dalam perspektif ekonomi moden masih

At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010


342
KONSEP EKONOMI MENURUT PERSPEKTIF ISLAM

dikatagori sebagai aktivitas ekonomi yang baik. Namun hal ini tidak boleh
terjadi dalam hukum Islam. Karena, dalam banyak hal usaha ini tidak akan
memajukan kesejahteraan manusia sebagai suatu kesejahteraan yang tidak
dapat diukur dengan uang.

C. Falsafah Ekonomi Islam


Prinsip ekonomi yang berulang kali ditegaskan oleh Al-Qur'an adalah: alat
produksi dan sumber daya alamiah yang mendukung kehidupan manusia.
Allah telah menciptakan dan mengatur benda-benda yang ada di alam ini
sesuai dengan hukum alam. Dialah yang menundukkan semua itu, agar
bisa dimanfaatkan oleh manusia sesuai dengan kebutuhannya. Dialah yang
menyuruh manusia untuk mengolah benda-benda itu untuk dimanfaatkan
oleh manusia.

Dari kenyataan di atas, dapat dipahami bahwa Allah telah meletakkan


prinsip dasar dengan memberikan petunjuk yang jelas lewat al-Qur’an, agar
seseorang tidak berhak untuk bertidak secara bebas dalam mengambil dan
mengeksploitasi sumber-sumber daya alam ini sekehendaknya. Ia tidak
berhak untuk menentukan garis pemisah antara haq dan bathil dengan
seenaknya

Menurut AM. Saifuddin ada tiga asas filsafat ekonomi Islam yaitu:
1. Dunia dan seluruh isinya adalah milik Allah dan menurut kepada
kehendak-Nya. Hal ini seperti yang ditegaskan-Nya sendiri dalam Al-
Quran Surat Thaha ayat 6, “Kepunyaan-Nya apa yang ada di langit,
segala yang di bumi, semua yang di antara keduanya dan apa yang di
bawah tanah” (Qs.. Thaha : 6).

Dengan demikian, segala sesuatu milik Allah Swt. atau Allah Swt. sebagai
pemilik absolut." Manusia sebagai khalifah-Nya hanya mempunyai hak
untuk mengurus dan memanfaatkan alam semesta itu untuk kelangsungan
hidup dan kehidupan manusia di lingkungannya. Ini berarti bahwa hak
pengurusan dan pemanfaatan sumber-sumber alam dan harta kekayaan yang
ada padanya terhadap manusia sangat terbatas, sesuai dengan kehendak dan

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


343
Baihaqi A. Samad

ketentuan Allah, Pemilik dan Pencipta alam semesta ini.6

Implikasi dari status pemilikan menurut Islam ialah bahwa hak manusia
atas barang atau jasa itu terbatas. Hal ini sangat berbeda dengan pemilikan
mutlak oleh individu pada sistem kapitalisme dan oleh kaum proletar pada
sistem marxisme.7

Doktrin bahwa Allahlah pemilik dan pencipta alam semesta merupakan


landasan nilai-nilai sistem ekonomi Islam.

2. Allah itu Esa, Pencipta segala makhluk, dan semua yang diciptakan tunduk
kepadaNya. Manusia adalah salah satu makhluk Allah. Kepadanya diberi
alat perlengkapan lebih sempurna dari makhluk-makhluk-Nya yang lain
agar ia mampu melaksanakan tugas, hak dan kewajiban sebagai khalifah
Allah di muka bumi. Alam ini, semua flora dan fauna diciptakan oleh
Allah sebagai sumber ekonomi dan keindahan bagi umat manusia.

Allah telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sama, tapi berbeda
pada rupanya. Ia menjadikannya dengan tidak ada perbedaan kelas atau
strata di hadapan Allah. Perbedaannya hanya terletak pada tingkat keimanan
dan ketaqwaan seseorang kepada Allah Swt.8

Implikasi dari doktrin ini telah menjalin persamaan dan persaudaraan antara
umat manusia dalam kegiatan perekonomian. Dari kegiatan perekonomian
telah terciptanya pergaulan yang luar biasa di antara manusia, berupa saling
membantu dan bekerja sama dalam bentuk syirkah dan qiradh (profit and loss-
sharing).9 Dalam mewujudkan hubungan kerja sama dunia usaha, prinsip
persaudaraan merupakan dasar pengembangan perekonomian Islam.

6 A.M. Saifuddin, Ekonomi dan Masyarakat dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Rajawali
Press, 1987), hal. 61; Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Waqaf, (Jakarta: UI Press,
1988), hal. 5-6.
7 A.M. Saifuddin, Ekonomi dan Masyarakat ..., hal. 62.
8 Surat (49): 13.
9 Surat (2): 254; Surat (5): 2.

At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010


344
KONSEP EKONOMI MENURUT PERSPEKTIF ISLAM

3. Iman kepada hari Kiamat merupakan asas penting dalam sistem


ekonomi Islam karena dengan keyakinan itu tingkah laku ekonomi
manusia di dunia ini akan dapat terkendali, sebab ia sadar bahwa
semua perbuatannya, termasuk tindakan ekonominya, akan diminta
pertanggungjawaban kelak oleh Allah. Pertanggungjawaban itu tidak
hanya mengenai tingkah laku (ekonomi)nya saja, tetapi juga mengenai
harta kekayaan yang diamanahkan Allah kepada manusia.

Iman kepada hari Kiamat akan mempengaruhi langsung tingkah laku


ekonomi yang dipilihnya. Kondisi ini lebih bernilai daripada sekedar teori
siklus hidup sebagai suatu barang ekonomi, karena horizon waktunya akan
menjangkau keadaan setelah mati atau di balik dunia ini.

Ketiga asas filsafat sistem ekonomi Islam yang dibangun –seperti yang
tersebut di atas- pada dasarnya (intinya) berpangkal pada “tawhîd”. Inilah
perbedaan yang sangat menonjol antara sistem ekonomi Islam dengan sistem
ekonomi yang berlaku di luar Islam.

D. Prinsip Perdagangan dan Perniagaan dalam Islam


Prinsip dasar yang telah ditetapkan Islam mengenai perdagangan dan
perniagaan sangat erat hubungannya dengan nilai-nilai kejujuran,
kepercayaan, dan ketulusan. Dewasa ini, di tengah arus globalisasi dan di
tengah ketidak-sempurnaan pasar banyak nilai-nilai moral yang terabaikan
bahkan menjurus kepada sikap hidup yang "many oriented."

Islam menawarkan konsep-konsep kemaslahatan antara pihak-pihak yang


terlibat dalam dunia bisnis dengan mengharamkan bentuk sumpah palsu,
penetapan takaran yang tidak benar, dan sebaliknya menganjurkan untuk
beri’tikad baik dalam transaksi jual beli. Penjabaran terhadap prinsip-prinsip
dasar tersebut adalah sebagai berikut:

1. Sumpah Palsu
Islam mengutuk semua transaksi bisnis yang menggunakan sumpah
palsu yang diucapkan para pengusaha.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


345
Baihaqi A. Samad

2. Takaran yang benar


Dalam sistem perdagangan Islam, timbangan dan ukuran yang tepat
dan standard benar-benar harus diutamakan. Islam telah memberikan
penekanan penting dan faedah memberikan timbangan dan ukuran
yang benar. mereka mengurangi.

3. I’tikad baik
Islam tidak hanya menekankan agar memberikan timbangan dengan
ukuran penuh, tetapi juga menganjurkan untuk beri’tikad baik. Dari
hasil pengamatan diketahui bahwa hubungan buruh dalam bisnis
terutama timbul karena kedua pihak tidak dapat menentukan secara
tertulis syarat bisnis mereka dengan jelas dan jujur. Untuk membina
hubungan baik, semua perjanjian harus dinyatakan secara tertulis
dengan menguraikan syarat-syaratnya, karena yang demikian itu
lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persahabatan, dan lebih
dapat mencegah timbulnya keragu-raguan.

Dari keterangan di atas, jelas bahwa perdagangan dan perniagaan
dalam negara Islam secara mendasar berbeda dari pengertian modern
tentang perdagangan dan perniagaan. Perdagangan dan perniagaan
dalam Islam dikembangkan dengan nilai-nilai moral, sedangkan
perdagangan dan perniagaan modern tidak demikian. Karena
itu semua transaksi bisnis yang bertentangan dengan kebajikan
tidaklah bersifat Islami. Negara Islam punya hak sepenuhnya untuk
mengekang setiap transaksi atau praktek apa saja yang berusaha
menarik keuntungan dari kebutuhan atau penderitaan rakyat miskin.

4. Sistem Monopoli
Dalam sistem perekonomian Islam, sasaran keuntungan adalah
untuk mencapai kemakmuran sosial yang sebanyak-banyaknya.
Kemakmuran sosial ini meliputi nilai material dan nila-nilai moral.
Jika dinilai dari norma kebajikan dan pemeliharaan bagi kemakmuran
untuk golongan miskin, maka tidak mungkin bagi ekonomi Islam
untuk menganjurkan usaha monopoli dan spekulasi. Karena dalam
sistem monopoli terjadi penetapan harga yang lebih tinggi dan

At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010


346
KONSEP EKONOMI MENURUT PERSPEKTIF ISLAM

membatasi hasil produksi atau pemusatan suplai dalam satu tangan,


maka soal eksploitasi banyak sekali dihubungkan dengan gagasan
monopoli.10

Pemberlakuan sistem ekonomi pasar bebas yang kompetitif cenderung


terjadinya monopoli. Kejadian seperti ini akan mengorbankan para
konsumen, pekerja miskin dan masyarakat secara keseluruhan.
Kondisi seperti ini akan menimbukan ketidakharmonisan antara
kepentingan pribadi dan sosial, antara milik pribadi dan milik
bersama.

5. Usaha Spekulatif
Seperti halnya monopoli, Islam juga melarang usaha spekulatif yaitu
membeli sesuatu dengan harga yang murah pada suatu waktu dan
menjual barang yang sama dengan harga yang mahal pada waktu
lain. Bila harga pada masa depan diharapkan lebih baik daripada
harga sekarang, maka para pembeli spekulatif membelinya dengan
maksud untuk menjualnya dengan harga yang lebih tinggi kelak.
Demikian pula, bila harga di kemudian hari akan lebih rendah dari
harga sekarang, para spekulan akan menjualnya sekarang untuk
menghindarkan penjualan pada harga yang lebih rendah nantinya.

6. Pengharaman Riba
Para ulama telah sepakat atas pengharaman riba. Pengertian dasar
"riba" adalah pertambahan atau pertumbuhan. Sehubungan dengan
perkembangan perekonomian dan perbankan hari ini permasalahan
riba dilihat dari macamnya ada dua yaitu:
1. Riba Nasi`ah, yaitu tambahan yang terjadi dalam hutang piutang
berjangka waktu sebagai imbalan jangka waktu tersebut. Riba ini
disebut riba jahiliyah karena biasa dilakukan di zaman jahiliyah
yakni masa sebelum agama Islam datang dan berkembang. Riba
nasiah dilarang karena ('illatnya) mengandung unsur-unsur
eksploitasi manusia atas manusia, pemerasan orang kaya terhadap

10 Mannan, Teori dan Parkatek..., hal. 291.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


347
Baihaqi A. Samad

orang miskin.11
2. Riba Fadl, yakni tambahan yang diperoleh seseorang sebagai hasil
pertukaran dua barang yang sejenis, misalnya pertukaran antara 1
gram emas dengan 2 gram emas pula, dan berbagai macam benda
yang sejenis lainnya dalam ukuran yang lebih dengan pinjaman
pokok (asal).12

Dari kedua macam bentuk riba tersebut di atas, barang kali ada yang
perlu diambil sebagai suatu pertimbangan dalam pelaksanaan sistem
perekomomian kita hari ini. Seperti yang menjadi masalah besar dalam
sistem ekonomi keuangan sekarang ini, riba yang berarti tambahan sesuatu
itu, samakah dengan bunga atau tidak? Lalu bagaimana kedudukan dan
manfaat bank dalam masalah tersebut?

Menurut Muhammad Najatullah Siddiqi, seorang pemikir sistem ekonomi


Islam terkemuka, lembaga perbankan dalam perekonomian modern
mempunyai peranan yang sangat penting. Dengan sarana-sarana yang
diciptakannya dan kemudahan-kemudahan yang diberikannya, bank
telah berhasil menjadi perantara dalam dunia keuangan, memudahkan
pertukaran, membantu pembentukan modal dan kemungkinan
berproduksi dalam skala massal. Di samping itu bank juga menerima
simpanan dalam deposito dan rekening giro, dan bentuk-bentuk jasa
lainnya.13

Melihat fungsi dan peranannya yang bermanfaat bagi manusia dalam


perekonomian modern, maka lembaga perbankan itu dapat dibenarkan
dipandang dari sudut ajaran Islam. Namun yang menjadi masalah
adalah apakah bunga (interest) yang dipungut atau diterima oleh bank
itu, termasuk ke dalam kategori riba atau bukan.

11 Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf, Universitas


Indonesia Press, Jakarta, 1988., hal. 10. Ibnu Rusjd, Bidayah al-Mujtahid, Juzu’ I,
hal. 128.
12 Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam...,, hal. 11.
13 Muhammad Najatullah Siddiqi, Islamic Banking, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1984),
hal. 58-61.

At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010


348
KONSEP EKONOMI MENURUT PERSPEKTIF ISLAM

Menanggapi permasalahan di atas, Abu Zahrah (Guru Besar Hukum


Islam pada Universitas Al-Azhar) mengatakan bahwa rente adalah
sama dengan riba nasiah yang dilarang dalam Islam. Akan tetapi karena
dalam sistem perekonomian sekarang peranan bank sangat penting dan
rente merupakan komponen modus operandinya, maka rente (bunga)
yang dipungut atau diberi oleh bank tersebut tidak dapat dihapuskan
begitu saja. Bahkan dalam keadaan dharurat atau terpaksa dibolehkan
melakukan transaksi dengan bank konvensional.14

Menurut Mustafa Ahmad Az-Zaqra (Guru Besar Hukum Islam dan


Hukum Perdata pada Universitas Suriah) ada dua alternatif mengenai
riba dan perbankan, yaitu: Bunga hutang piutang yang bersifat konsumtif
adalah riba, sedangkan bunga hutang piutang yang bersifat produktif
tidak sama dengan riba nasiah.15

Sehubungan dengan usaha menghapuskan unsur-unsur riba dalam


praktek bank konvensional, pihak ekonom muslim telah berupaya
mengembangkan institusi keuangan perbangkan Islam dengan sistem
syari’ah tanpa bunga melalui pelaksanaan mudharabah, musyarakah,
murabahah dan lain-lain. Dalam sistem perbangkan syari’ah keuntungan
dan resiko ditanggung bersama-sama menurut perjanjian (profit-loss
sharing agreement).

E. Penutup
Untuk membangun sebuah sistem ekonomi mantap, tidak hanya
memerlukan perangkat kelembagaan yang formal, tetapi juga membutuhkan
perangkat ilmu yang lebih bernuansa teoritis untuk diterapkan. Kajian sistem
ekonomi secara makro dari sebuah sistem ekonomi Islam dapat dipermudah
melalui fakta dan data kongkret. Sistem ini dapat ditempuh dengan cara
pemberdayaan umat lewat pengaturan manajemen yang sistematis, yang
dilengkapi dengan lembaga-lembaga ekonomi-sosial yang permanen.

14 Abu Zahrah, Buhuth fi Al-Riba, (Mesir: Dar Al-Kamilah, 1970), hal. 36.
15 Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam ..., hal. 13.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


349
Baihaqi A. Samad

Sistem ekonomi Islam adalah satu kesatuan dari beberapa aspek pola
pengembangan kehidupan sejahtera oleh individu-individu sehingga
membentuk masyarakat adil makmur. Prinsip ekonomi Islam sebagaimana
yang ditegaskan oleh Al-Qur'an adalah: alat produksi dan sumber daya
alamiah yang mendukung kehidupan manusia. Allah telah menciptakan dan
mengatur benda-benda yang ada di alam ini sesuai dengan hukum alam.
Dialah yang menundukkan semua itu, agar bisa dimanfaatkan oleh manusia
sesuai dengan kebutuhannya. Dialah yang menyuruh manusia untuk
mengolah benda-benda itu untuk dimanfaatkan oleh manusia.

Dari kenyataan di atas, dapat dipahami bahwa Allah telah meletakkan


prinsip dasar dengan memberikan petunjuk yang jelas lewat al-Qur’an, agar
seseorang tidak berhak untuk bertidak secara bebas dalam mengambil dan
mengeksploitasi sumber-sumber daya alam ini sekehendaknya. Ada tiga asas
filsafat ekonomi Islam yaitu, dunia dan seluruh isinya adalah milik Allah dan
menurut kepada kehendak-Nya, Allah itu Esa, Pencipta segala makhluk, dan
semua yang diciptakan tunduk kepadanya dan iman kepada hari Kiamat
merupakan asas penting dalam sistem ekonomi Islam. Ketiga asas filsafat
sistem ekonomi Islam tersebut bersumber pada aspek ketauhidan.

At-Tasyri' | Volume I. No. 3, Oktober 2009-Januari 2010


350
KONSEP EKONOMI MENURUT PERSPEKTIF ISLAM

Daftar Pustaka
Ali, Daud. Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Waqaf. Jakarta: UI Press, 1988.

Al-Jurjani Al-Hanafi. At-Ta’rifat. Mesir: al-Maktabah Al-Misriyah, t.th.

Ibn Ruslan, Saiful Azhar. “Economic Principles in Islam”, Journal of Islamic


Economics. IIUM, vol I, No. 1, Januari 1995.

Mannan. Teori dan Parkatek Ekonomi Islam. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf,
1993.

Saefuddin, AM. Ekonomi dan Masyarakat dalam Perspektif Islam. Jakarta:


Rajawali Press, 1987.

Saifuddin. Ekonomi dan Masyarakat dalam Perspektif Islam. Jakarta: Rajawali


Press, 1987.

Siddiqi, Muhammad Najatullah. Islamic Banking. Bandung: Penerbit Pustaka,


1984.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah


351
PETUNJUK PENULISAN
ARTIKEL

Petunjuk Umum
1. Artikel harus merupakan produk ilmiah orisinil, belum pernah
dipublikasikan di media manapun.
2. Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia baku, bahasa Inggris dan bahasa
Arab.
3. Isi tulisan berkaitan dalam bentuk konseptual, hasil penelitian dan
terjemahan dari bahasa asing.
4. Panjang tulisan antara 15 sampai 20 halaman kwarto dengan spasi ganda.
5. Artikel diserahkan dalam bentuk print out dan soft copy

Petunjuk Teknis
1. Kerangka tulisan meliputi judul, nama penulis, abstrak, kata kunci,
pendahuluan, data, pembahasan serta kesimpulan.
2. Abstrak boleh dibuat dalam bahasa Inggris/Arab dengan memuat inti
permasalahan dan panjang tulisan antara 250-300 kata.
3. Kata kunci bisa berbentuk kata maupun frasa maksimum 3 kosa kata.
4. Pendahuluan mencakup permasalahan, tujuan dan metodologi yang
dipergunakan.
5. Data disesuaikan dengan bentuk tulisan (library research) atau (field
research).
6. Pembahasan harus dilakukan secara sistematis dengan merujuk pada
pendapat para ahli atau kajian yang pernah dilakukan mengenai topik
yang dibahas.
7. Kesimpulan dapat berisi ungkapan singkat yang telah dibahas atau dapat
berupa ungkapan implikatif yang tertarik dan topik yang diangkat untuk
diterapkan pada kondisi dan tempat tertentu.
8. Curriculum Vitae disebutkan alumni dan bidang keahlian.
9. Daftar Rujukan dalam bentuk FOOT NOTE dan hanya buku yang
karyanya dikaji saja yang dimasukkan dalam daftar isi.
10. Transliterasi Arab Latin dipergunakan transliterasi sebagaimana yang
terdapat dalam konkordasi Alquran yang disusun oleh Ali Audah.

Catatan
1. Dewan Redaksi dapat mengubah dan mengoreksi bahasa dan istilah
tanpa merubah isinya atau tanpa diberitahukan kepada penulis. Untuk
kondisi tertentu naskah yang masuk akan dikembalikan untuk diadakan
perbaikan seperlunya.
2. Jadwal Penerbitan "at-Tasyri’" empat kali dalam setahun.
AT-TASYRI’ adalah jurnal Prodi Mu’amalah memuat solusi problematika
ekonomi kontemporer dalam perspektif hukum Islam. Jurnal ini diterbitkan
oleh Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Teungku Dirundeng Meulaboh
bekerjasama dengan Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LKAS) Banda Aceh.

Redaksi mengundang para penulis,


peneliti dan peminat ekonomi Islam
agar dapat memberikan kontribusinya
dalam bentuk tulisan ilmiah.

Tulisan dapat dikirim ke alamat redaksi :


Jalan Teuku Umar Komplek Masjid
Nurul Huda, Meulaboh-Aceh Barat
No. 100 Telp: 0655-7551591;
Fax: 0655-7551591
E-mail: prodimu_stai@yahoo.co.id
Website: www.staidirundeng.ac.id

You might also like