Professional Documents
Culture Documents
AT-TASYRI’
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
Vol. I, No. 3, Oktober 2009 - Januari 2010
Konsep Ekonomi
Menurut Ibn Khaldūn
Syamsuar Basyariah
Konsep Makanan
Dalam Islam: Kajian
Fiqh Mu’amalah
Asmawati
Status Kepemilikan
Dan Pemanfaatan
Lahan Tidur Dalam
Fiqh Islam
Anton Jamal
Diterbitkan oleh:
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
TEUNGKU DIRUNDENG, MEULABOH
ACEH BARAT
AT-TASYRI´
JURNAL ILMIAH PRODI MUAMALAH
ISSN: 2085-2541
Volume 1 Nomor 3
Oktober 2009 - Januari 2010
Penanggung Jawab
Syamsuar Basyariah
Ketua Redaksi
Asmawati
Redaktur Pelaksana
Fauzi Saleh
Jamaluddin Thayyib
Muliadi Kurdi
Banta Ali Abdullah
Penyunting Ahli
Juhaya S. Praja
Nur Ahamad Fadhil Lubis
Nazaruddin AW
Usamah El-Madny
Muhammad Maulana
Zulkarnain Abdullah
Jamaluddin Thayyib
Setting/Layout
Khairul Umami
Sirkulasi
M. Yunus
Nurhayati
Maidijar
ALAMAT REDAKSI
Jalan Teuku Umar Komplek Masjid Nurul Huda,
Meulaboh-Aceh Barat
No. 100 Telp: 0655-7551591; Fax: 0655-7551591
E-mail: prodimu_stai@yahoo.co.id
Website: www.staidirundeng.ac.id
DAFTAR ISI
Islam sebagai rahmat li ‘alamin telah memberikan panduan hidup baik dalam
konteks hubungan vertical kepada Allah swt maupun horizontal sesama
manusia. Karena itu, panduan ke arah perbaikan dan perubahan sistem
kemasyarakatan mutlak diperlukan dengan mengacu kepada al-Qur’an dan
Hadith. Ini di antara yang mendorong diexsplore beberapa artikel ini dengan
maksud membumikan ajaran Islam dalam kehidupan yang lebih praktis.
Fauzi Saleh menulis sisi lain dalam meningkatkan produktivitas umat melalui
pemberdaan ekonomi terutama dikaitkan dengan media dan lembaga yang
ada. Dalam tulisan yang berjudul “Pemberdayaan Ekonomi Umat Dalam
Perspektif Fiqh Modern:Penerapan Konsep Mudarabah pada Program
Gerakan Masyarakat Aceh Darussalam” mengupas bagaimana konsep ini
diterapkan terutama dalam mengcounter model ekonomi sekarang ini yang
cenderung ribawi, tanpa memperdulikan nilai kearifan dan keadilan.
Hal lain yang relevan diuraikan untuk saat ini adalah berkaitan dengan
makanan yang halal dan tayyib. Asmawati secara khusus menguraikan
bagaimana karakteristik makanan yang direkomendasikan Islam untuk
dikonsumsi. Dalam uraiannya dalam artikel yang berjudul “Konsep Makanan
Dalam Islam: Kajian Fiqh Mu’amalah”, ia mendeskripsikan secara tuntas
barometer halal dan haram dalam Islam serta dampaknya dalam kehidupan
baik bagi manusia secara umum maupun umat Islam secara khusus.
Baihaqi A. Samad mengupas lebih jauh tentang ekonomi Islam secara teoritis
dan probabilitas penerapannya lebih tinggi dibandingkan dengan konsep
ekonomi lainnya. Konsep ekonomi Islam telah menunjukkan keampuhannya
dalam tataran praktis bahkan dalam kegoncangan ekonomi global.
dto
Syamsuar Basyariah
Anton Jamal
Dosen Prodi Mu’amalah Sekolah Tinggi Agama Islam Teungku Dirundeng Meulaboh.
Memperoleh Magister (S2) dari PPs IAIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh
dengan Konsentrasi Fiqh Modern
Abstract
Islam has motivated the ummah to intensify and extensify the unexploited
earth. By this way, they will reach the harvest for support their life. For that,
anyone that extensify the free earth (no ownership), it is considered that
belong to him. Hence, Islam appreciated anyone ferlitized and planted the
earth. Nowadays, all spaces of the earth have owned. But, such the forest
or jungle, if someone tries to plant in this place, so who is the owner of that
space. Here, the writer tries to explain about the case.
A. Pendahuluan
Pada hakikatnya, alam semesta beserta isinya bagaimanapun keadaannya,
konkret maupun abstrak, adalah fasilitas untuk mencapai kesejahteraan
umat manusia. Alam diciptakan untuk selalu memberikan yang terbaik buat
keberlangsungan hidup manusia. Darinya manusia memperoleh makan,
minum, perlindungan, keselamatan mata pencaharian kehidupan. Firman
Allah Swt.,“Dia-lah, yang Telah menurunkan air hujan dari langit untuk
kamu, sebahagiannya menjadi minuman dan sebahagiannya (menyuburkan)
tumbuh-tumbuhan, yang pada (tempat tumbuhnya) kamu menggembalakan
ternakmu”.1
Namun fakta yang terjadi sering sebaliknya, Dengan rakus manusia hanya
mengambil untungnya saja, mengeksploitasi alam secara besar-besaran.
Tanpa adanya perimbangan dengan upaya untuk melaksanakan kewajiban
guna menjaga kelestarian alam, sehingga keseimbangan alam dapat terjaga.
Akibatnya, potensi kekayaan alam punah, hutan semakin menggundul,
pencemaran lingkungan makin terelakkan, sehingga banjir melanda, longsor
menerjang, badai menghantam, hama mengganas, dan kebakaran hutan
terus terjadi.
B. Pembahasan
Untuk menanggulangi kerusakan alam ini, dibutuhkan kesadaran dan
partisipasi dan segenap elemen masyarakat. Dalam hal ini, sebenarnya
pemerintah Indonesia sudah membuat aturan tentang lingkungan.
Pemerintah membuat departemen khusus yang mengurus masalah ini. Secara
teoritis apa yang dilakukan pemerintah membuat aturan-aturan tentang
pengelolaan alam sebetulnya sudah memberikan angin segar untuk menjaga
keseimbangan alam. Namun sayangnya, hal ini ternyata menimbulkan
masalah baru. Sebagian rakyat merasa hidupnya terganggu dan terbelenggu.
Terutama mereka yang menggantungkan hidupnya dari hutan. Mereka juga
memandang adanya ketidak adilan. Mestinya mereka bisa hidup cukup
dengan apa yang ada di alam sekitarnya. Akan tetapi mereka cenderung untuk
tidak mendapat apa-apa dari hasil hutan yang tiap hari dijaganya. Hutan-
hutan dikuasai oleh para pengusaha yang dengan seenaknya mengambil
hasil hutan untuk kepentingan pribadinya. Satu-satunya jalan yang mereka
tempuh adalah merampas dan mencuri. Merakapun kucing-kucingan dengan
polisi hutan maupun mandor. Walaupun harus berhadapan dengan laras
panjang, mereka tetap melakukan aksinya. Disamping itu, ada anggapan
bahwa hutan itu milik umum, semua orang bisa memanfaatkannya. Dan
tentunya merekalah yang lebih berhak dari “orang-orang jauh” yang tidak
pernah bergaul dengan hutan. Dari sini tampak ada tarik menarik yang
cukup kuat antara pemerintah dengan rakyat, khususnya rakyat kelas bawah.
Satu sisi, pemerintah, dengan aturan-aturan yang dibuatnya, menginginkan
adanya kestabilan ekosistem hutan. Di pihak lain, rakyat ingin memanfaatkan
karunia Tuhan yang telah di rampas pihak-pihak tertentu.
Ada tiga cara yang dapat dilakukan untuk dapat memperoleh hak mengelola
tanah ini. Pertama, dengan cara ihya’, yakni pemanfaatan lahan yang dilakukan
oleh individu. Dalam hal ini, seseorang mematok lahan untuk digarap dan
difungsikan untuk kepentingan pribadinya. Orang yang telah melakukannya
dapat memiliki lahan tersebut. Karena itu, orang lain tidak dibenarkan untuk
mengambil alihnya. Dalam masalah ini, terjadi perbedaan pendapat di antara
para pakar Fiqh. Mazhab Syafi’i menyatakan siapapun berhak mengambil
manfaat atau memilikinya, meskipun tidak mendapat izin dari pemerintah.
Beda halnya dengan Imam Abu Hanifah. Beliau berpendapat, ihya’ boleh
dilakukan dengan catatan mendapat izin dari pemerintah yang sah. Imam
Malik juga berpendapat hampir sama dengan Imam Abu Hanifah. Hanya
saja ia menengahi dua pendapat itu dengan cara membedakan dari letak
3 Al-Bajuri, Hasyiyah al-Bajuri, Juz II, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), hal. 37
daerahnya. Jika tanah tersebut berada di daerah yang tidak terlalu penting
bagi manusia, maka tidak perlu izin Imam. Misalnya berada di daerah
padang pasir yang tidak dihuni manusia. Tapi bila berada di daerah yang
dekat dengan pemukiman, atau daerah strategis yang menjadi incaran setiap
orang, untuk melakukan ihya’ izin Imam sangat dibutuhkan.4
Kedua, dengan proses iqta’, yakni pemerintah memberi jatah pada orang-orang
tertentu untuk menempati dan memanfaatkan sebuah lahan, adakalanya
untuk dimiliki, atau hanya untuk dimanfaatkan dalam jangka waktu tertentu.
Pemanfaatan dengan cara ini bisa berkonsekuensi adanya kepemilikan dan
bisa juga berarti pemberian wewenang pengelolaan. Namun yang paling
sering terjadilah kemungkinan kedua, yakni orang yang paling berhak atas
lahan tersebut, dan bukan sebagai pemilik mutlak.5
Pada dasarnya, lahan yang boleh dimanfaatkan dengan cara ini tidak terbatas
4 Sayyid ‘Alwi ibn al-Sayyid Ahmad al-Saqqaf, Hasyiyah Tarsyih al-Mustafiddin bi Tawsyiyah
Fath al-Mu‘in, (Mesir: Mustafa al-Bab al-Halaby, 1995), hal. 271. Sandaran Abu Hanifah adalah
sabda Rasul saw.:
“Tiada hak bagi siapapun kecuali apa yang telah ditentukan oleh imamnya”.
Sementara Imam Syafi’i berargumentasi dengan sabda Rasulullah saw.:
“Siapa yang menghidupkan (mengurusi) tanah yang tidak dimiliki oleh seseorang, maka
dialah pemilik segala manfaatnya. Dan orang lain tidak punya hak pada tanah tersebut”.
5 Al-Nawawi, al-Majmu‘ Syarh al-Muhazzab, Juz XV, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), hal. 232-233.
pada hutan saja. Tapi bisa juga berlaku untuk pemanfaatan tempat-tempat
umum. Karena itu, membaginya menjadi dua bentuk. Pertama, pemerintah
memberi hak pada seseorang untuk mengelola dan memfungsikan sebuah
lahan di tempat umum seperti pasar, mesjid dan semacamnya. Namun tidak
dengan maksud memilikinya. Ia hanya diberi hak memanfaatkan lahan
tersebut, tidak lebih dari itu. Misalnya digunakan untuk tempat berdagang,
untuk tempat bersantai, tempat shalat dan lainnya. Ini disebut pula dengan
iqta’ irfaq. Kedua, pemerintah memberi jatah lahan pada tanah mawat untuk
dikelola dan dimanfaatkan, baik itu berupa lahan tambang, ladang, kebun
atau hutan. Sebagai yang dilakukan Nabi kepada sahabat Wayl.6
Ketiga, dengan cara hima’. Dalam hal ini pemerintah menetapkan suatu
area untuk dijadikan sebagai kawasan lindung yang difungsikan untuk
kemaslahatan umum. Dalam konteks dulu, difungsikan untuk tempat
6 Ibnu Qudamah, al-Mughni, Juz V, (Mesir: Matba‘ah al-Qahirah, 1970), hal. 336.
7 Al-Nawawi, Majmu‘, Juz XV,.., hal. 230-232
“Tidak ada hak melakukan hima, kecuali bagi Allah dan Rasul-Nya”
Hadits ini menjelaskan bahwa tanah hima itu dimaksudkan untuk menjaga
kemaslahatan masyarakat umum. Baik yang fakir ataupun yang kaya
mempunyai hak yang sama terhadap lahan tersebut. Orang yang fakir
dapat memfungsikan lahan tersebut sebagai daerah pengembalaan ternak-
ternak yang mereka dapatkan dari hasil sedekah. Sedangkan si kaya
memfungsikannya untuk mengembala kuda-kuda perang. Inilah yang
membedakan hima di zaman Islam dengan apa yang dilakukan masyarakat
Jahiliyah sebelum Islam. Kaum Jahiliyah juga mempraktikkan cara seperti
ini, namun tidak untuk kepentingan umum. Manfaat dan hasil tanah tersebut
diambil sendiri oleh pimpinan mereka.8
Terjadi perdebatan di kalangan para ulama tentang tanah hima setelah masa
Rasul. Apakah Imam berhak melaksanakan kebijakan ini. Bersandarkan
pada Hadits di atas, sebagian ulama mengatakan hima al-mawat hanya
tertentu bagi Nabi. Namun mayoritas ulama berpendapat boleh dilakukan
oleh selain Nabi, asalkan dilaksanakan oleh pemerintah serta dibutuhkan
oleh semua masyarakat, serta bukan untuk kepentingan perutnya sendiri.
Syarat lain yang harus dipenuhi untuk kebolehan melakukan hima al-mawat
8 Al-Syawkani, Nayl al-Autar, Juz V, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), hal. 308-309.
adalah area yang dibuat suaka tidak membuat masyarakat merasa sempit
atau terganggu, dan tanah tersebut benar-benar kosong (tidak sedang dihuni,
dibuat ladang pertanian atau kebutuhan hidup lainnya). Namun yang
penting, lahan tersebut dimaksudkan untuk menjaga kemaslahatan umum.
Dan inilah pendapat yang unggul. Karena ternyata ini pernah dilakukan oleh
khalifah Abu Bakar, ‘Umar ibn Khattab dan lainnya.9
Larangan lain yang harus dijauhi oleh warga adalah mengambil manfaat,
semisal kayu. Baik untuk memenuhi kebutuhan keluarga ataupun dijual.
Nmaun demikian ini ada ukurannya. Tidak semua pemanfaatan kayu hutan
dikategorikan sebagai pelanggaran. Jika yang diambil itu hanya barang
(pohon, satwa dan lain-lain) yang remeh-remeh, nilai komersialnya rendah
atau bahkan tidak ada, fiqh masih memberikan toleransinya. Artinya, boleh
saja mengambil barang di kawasan hutan lindung tersebut selama eksisitensi
barang yang diambil itu tidak hilang. Seperti mengambil ranting, daun atau
akar serta barang yang kurang nyata manfaatnya atau nilai komersialnya
sangat rendah. Tetapi, jika yang diambil itu barang penting, atau nilainya
sangat mahal, semisal pohon langka, pohon besar dan semacamnya, maka
dengan tegas fiqh melarangnya. Jadi boleh tidaknya mengambil itu dilihat
dari sisi apakah akibat pengambilan itu eksisitensi dan fungsi barang
tersebut akan hilang atau tidak, (min hayth al-iftiyat). Kalau tidak sampai
menghilangkan eksisitensi dan fungsinya, maka ada kelonggaran untuk
memanfaatkannya.10
10 Wahbah Zuhayli, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Juz II, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1984), hal.
574.
Hal yang sama juga mesti diperhatikan demi kelestarian lingkungan adalah
menghindari eksploitasi yang berlebihan. Walau telah mendapat HPH,
para pengusaha tidak dibenarkan melakukan usahanya sehingga merusak
ekosistem hutan. Misalnya dengan membakar, atau melakukan penebangan
hingga membuat hutan menjadi gundul. Dan juga dilarang menggunakan
obat-obatan yang banyak mengandung bahan kimia. Sehingga dapat
mengakibatkan pencemaran baik udara maupun air. Karena semua perbuatan
ini termasuk ifsad fi al-ard, yang telah dilarang oleh Alquran, “ Dan janganlah
kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya
dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (Tidak akan diterima) dan
harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada
orang-orang yang berbuat baik.”12
11 Al-Malybari, I‘anah al-Talibin, Juz III, (Indonesia: Maktabah Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah,
t.t), hal. 9.
12 Qs. al-A‘raf/7.
13 Al-Qurtubi, al-Jami‘, Juz IV, hal. 227
3. Wewenang Pemerintah
Pemerintah mempunyai kekuasaan sangat besar untuk mengatur hutan.
Dan pemerintah harus mampu menjamin kesejahteraan rakyat. Yakni
dengan cara membagi-bagikan kekayaan alam kepada mereka yang
membutuhkannya secara adil, bukannya menguasai untuk kepentingan
pribadinya. Parameternya bukan siapa yang jauh atau dekat, tapi mereka
adalah yang lebih butuh dan mampu mengelola sumber daya alam. Sehingga
cita-cita dan tujuan kemaslahatan umum benar-benar terwujud nyata. Sesuai
dengan kaedah Fiqh:
Tidak itu saja, pemerintah juga punya hak untuk memberlakukan sanksi
kepada “raja hutan” yang telah mengeksploitasi hutan demi kepentingan
pribadinya. Begitu juga para pencuri kayu dari kawasan lindung, mereka
juga harus dijerat hukum. Mereka dapat dikenai hukuman karena telah
merusak alam. Akibat perbuatan mereka, hutan menjadi gundul, alam
menjadi gersang, sungai dan pantai menjadi tercemar. Akibatnya, tanah
longsor, banjir, erosi terjadi dimana-mana. Ini tentu membahayakan
kehidupan manusia. Karena itu sangat pantas kalau mereka mendapat
Memang di antara para penebang pohon itu ada yang beranggapan bahwa
alam semesta ini adalah milik negara dan digunakan atau dimanfaatkan
sepenuhnya untuk kemakmuran rakyat. Dan mereka semua adalah rakyat
yang punya bagian dari alam tersebut. Jadi, seandainya ada rakyat yang
mengambil sesuatu dari kawasan hutan, maka sama saja dengan mengambil
sebagian hak yang dia miliki. Karena itu pemerintah tidak berhak menjatuhkan
sanksi.
Sudah pasti yang menjadi tolok ukur untuk memberikan sanksi adalah
seberapa besar, kerusakan alam yang terjadi. Oknum yang telah menghabiskan
banyak kayu hutan untuk kepentingannya sendiri, tentu harus dihukum
16 Dalam khazanah Fiqh Klasik, mereka dapat dikenakan hukuman ta’zir (hukuman yang tidak
disebutkan secara langsung oleh syara‘). Sebab yang menjadi patokan dalam ta’zir adalah setiap
orang yang melakukan kemungkaran, atau menyakiti serta membahayakan orang lain. Dalam
hal ini, mereka telah melakukan perbuatan yang dapat membahayakan kepentingan umum.
Muhammad al-Zuhayli, al-Nazariyyah al-Fiqhiyyah, (Mesir: Matba‘ah al-Qahirah), hal. 61.
lebih berat dari orang yang hanya mencuri beberapa batang kayu hutan
untuk kayu bakar, serta memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Mereka
tidak bisa disamakan. Apalagi dibalik, si “raja rimba” mendapat hukuman
yang ringan, sementara orang kecil hukumannya berat. Sebab Alquran
mengajarkan agar kadar hukuman yang diberikan kepada seseorang harus
sesuai dengan kejahatan yang dilakukan.
C. Penutup
Dari penjelasan di atas dapat di pahami, bahwa Islam adalah agama yang
mengatur seluruh sisi kehidupan manusia tidak hanya yang berhubungan
dengan ibadah mahdah (hubungan manusia dengan Allah Swt.), juga mengatur
mu’amalah (hubungan sesama manusia). Disamping itu hukum-hukum yang
sudah terdapat dalam Alquran dan Sunnah selain dapat dipahami secara
tekstual juga terbuka untuk dipahami secara kontekstual. Dan fiqh adalah
produk pemahaman terhadap kedua sumber hukum tersebut. Sehingga
wajar, jika pemahaman-pemahaman para ulama terdahulu perlu di kaji
kembali dalam konteks kekinian. Sebagaimana halnya pemahaman para
ulama yang berkaitan dengan status kepemilikan dan pemanfaatan lahan
tidur di atas, yang dalam bahasa fiqh lebih dikenal dengan ihya al-mawat.
Akan tetapi pemahaman fiqh yang kontekstual dan kekinian tersebut tidak
boleh lepas dari ruh al-tasyri‘ (maqasid al-ayari‘ah) dan bertentangan dengan
dalil-dalil khusus.
Kebijakan-kebijakan pemerintah dalam mengatur kepemilikan dan
pengelolaan lahan tidur termasuk hutan, dapat dipahami sebagai upaya
untuk menjaga kemaslahatan umum yang tidak bertentangan dengan
dalil-dalil khusus dan maqasid al-syari‘ah yaitu : menjaga jiwa dan harta dari
ancaman bencana alam, sebagai akibat dari kerusakan yang di buat oleh
sebahagian manusia.
Daftar Pustaka
Al-Nawawi. al-Majmu‘ Syarh al-Muhazzab, Juz XV, Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
Wahbah Zuhayli, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh. Juz II. Damaskus: Dar al-Fikr,
1984.
Al-Malybari. I‘Anah al-Talibin, Juz III, Indonesia: Maktabah Ihya’ al-Kutub al-
‘Arabiyyah, t.th.
Fauzi Saleh
Abstract
Mudarabah is the concept based on profit and loss sharing (PLS). The concept
has been applied either in Islamic World or non-moslem World as well. For
Aceh especially as province applied Syariah law, the concept is precise way
to upgrade to the ummah economic grade. As a case, Gema Assalam as
mentioned below, should be modified with this concept. Here, the society
will see how the justice of the concept in sharing the loss and profit will be
applied. By this awareness, the worker and the investor will believe each
other to apply the business based on mudarabah concept.
A. Pendahuluan
Kondisi daerah khususnya, tingkat kemiskinan masyarakat Nanggroe
Aceh Darussalam dengan penduduk 4.166.040 jiwa, penduduk miskin
telah mencapai 1.223.704 jiwa (33,84 %) dari jumlah penduduk. Dilihat dari
laporan terakhir dari Kabupaten/Kota keadaan Februari 2003 dengan jumlah
penduduk 4.133.510 jiwa, penduduk miskin telah mencapai 60,31 %1. Kondisi
demikian dapat dikatakan sudah sangat kritis dan diperlukan langkah
perbaikan segera..2
1 Maksudnya mereka yang belum terpenuhi kebutuhannya baik pangan, sandang maupun
papan yang merupakan salah satu dari lima kebutuhan dharurinya, yang kemaslahatanya harus
diwujudkan dan dipelihara. Kelima unsur itu – kata al-Syatibi- adalah agama, jiwa, keturunan, akal
dan harta. Dalam usaha mewujudkan dan memelihara lima unsur pokok itu, ia membagi kepada
tiga tingkat maqasid atau tujuan syari’ah, yaitu: al-darûriyyât, al-hâjiyât dan al-tahsiniyât.
Tidak terwujud daruriyat dapat merusak kehidupan dunia dan akhirat secara keseluruhan. Namun
apabila dianalisis lebih jauh, ketiga tingkat itu tidak dapat dipisahkan. Tampaknya bagi al-Syatibi,
tingkat hajiyat adalah penyempurna tingkat daruriyat, tingkat tahsiniyat merupakan penyempurna
lagi bagi tingkat hajiyat. Sedangkan daruriyat menjadi pokok hajiyat dan tahsiniyat. (Lihat Al-
Syatibi, al-Muwâfaqât , Juz 2, hal 8. Menurut Asafri Jaya Bakri, jika diperhatikan Syatibi juga
membagikan maslahah kepada dua bagian: dunyawiyah dan ukhrawiyah, namun ia bukanlah
garis pemisah antara dua orientasi kandungan hukum Islam. Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqasid
Syari’ah Menurut al-Syitibi (Jakarta: Rajawali Press, 1996), hal. 72-73), al-Syatibi, al-Muwafaqat
fi usul al-Ahkam, Juz 2 (Beirut: Dar al-Fikr, 1451H), hal. 3-4.
2 Pemda NAD, Petunjuk Teknis Operasional Program Gema Assalam, (Banda Aceh: Pemda
NAD,2003), hal. 1.
3 “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Murasa Sarkaniputra, Hutanku, Hutanmu, Hutan Kita semua, Cet. I, (Bogor: Yayasan Bina
Lingkungan Gunung Salak, 2003), hal. 43.
Sasaran dari program ini akan memberikan dampak positif kiranya bila
ditunjang dengan konsep islami yang sudah terbukti kemampuannya. Penulis
ingin menguraikan plus minus perjalanan program ini dan pembenahan
yang diperlukan dalam etos kerjanya dengan merujuk al Qur’an, sunnah,
Ahkam syari’ah, shuratic process, Pancasila, UUD 45, DNA Cromosom, tawhidi
epistemology dan seterusnya, insya Allah akan tercover sebagian permasalah
terutama dalam pemberdayaan Ekonomi rakyat di Nanggroe Aceh
Darussalam.
1. Kendala
Kendala yang dihadapi dalam pembangunan suatu investasi, termasuk
Gema Assalam, terdiri dari aspek:
1. Hardware, yaitu ketersediaan sarana dan prasarana yang tergolong
piranti keras, seperti lahan dan infrastruktur yang cukup untuk dapat
dikembangkan investasi yang disalurkan Gema Assalam.
2. Software, yaitu system informasi yang menjelaskan konsep bridging
network antara Gema Assalam dengan masyarakat.
3. Orgware, yaitu terbentuknya suatu organisasi yang sehat secara
evolutif. Bekerja didasarkan pada prinsip akuntabilitas, transparansi,
efektif, efesien, partisipatif, sehingga menghasilkan kebijakan yang
demokratis dan adil.
4. Finware, yaitu efektivitas biaya dengan tingkaat analisis investasi yang
menyeluruh.
5. Ecoware, yaitu adanya lingkungan yang dapat memberikan kontribusi
12 Ali Yafie, Menggagas Fiqh Sosial, Cet. II, (Bandung: Mizan, 1994) hal 200.
13 Bunyinya: Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) (maksudnya: Badan yang
beranggotakan ulama, penulis) bersifat Independen yang berfungsi memberikan pertimbangan
terhadap kebijakan Daerah, termasuk bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan
serta tatanan ekonomi Islami MPU, Kumpulan Undang-undang, PERDA, QANUN, dan Instruksi
Gubernur tentang Keistimewaan Nanggroe Aceh Darussalam, (Banda Aceh: MPU, 2002), hal.
6-7.
Konsep mudarabah kiranya dapat memberikan solusi yang berarti dari kendala-
kendala di atas. Karena Hardware, Software, dan Orgware – walaupun tidak
sepenuhnya – namun dapat dikatakan sudah tersedia. Sekarang konsep
ini sejauh praktek yang dijalankan memang efektive dalam hal investasi.
Ecoware sendiri itu akan terbentuk ketika masyarakat harus bermuamalah
secara Islami, karena – mau tidak mau – harus mengikuti cara main yang
diatur dalam kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya SAW.
Masyarakat Aceh ada yang bekerja sebagai petani, juga ada nelayan dan
pedagang. Sebelum diberikan investasikan kepada mereka, maka hendaknya
didata mana di antara mereka yang paling membutuhkan investasi pemerintah
berupa Gema Assalam. Yang sama sekali tidak berasaskan pertimbangan
kerabat, kasih sayang seterusnya15
Konsep yang ditawarkan Islam sangat bervariasi yang sangat applicable baik
bagi masyarakat kota maupun desa, petani, nelayan, pedagang atau lainnya
dapat menjalankan usaha islami ini. Konsep ini memiliki prinsip-prinsip
14 Murasa Sarkaniputra, Jauhar, Vol. 3 No. 2 (Jakarta: UIN, 2002) hal. 195-196.
15 Ibn Taimiyyyah, al-Siyâsah al-Syar’iyyah, (Beirut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah,2000), hal. 54-
55.
16 Murasa Sarkaniputra, Hutanku,..., hal. 46.
17 Muhammad Najetullah Siddiqi, Issues in Islamic Bank, diterjemahkan oleh Asep Hikmat
Suhendi, (Bandung: Pustaka, 1984), hal. 132.
18 Murasa Sarkaniputra, dkk, Tauhidi Epistemologi, (Jakarta: UIN, 2003), hal. 28.
19 Ibid., hal. 31.
20 Azalur Rahman, Economic Doctrine of Islam, diterjemahkan oleh: M Sonhadji, dkk, Jilid 3
(Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), hal. 386.
21 Wahbah al Zuhayli, Fiqh al-Islâm wa adillatuh, (Suriah: Dar al Fikr, 1997), Cet. VII, hal.
3929.
22 Ibid.,hal. 3930.
4. Macam-macam Mudarabah
a. Mudarabah Mutlaqah, yakni bentuk kerja sama antara sahib al-mal dan
mudarib yang cakupannya sangat luas dana tidak ditabatasi oleh
spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis.
b. Mudarabah Muqayyadah (restricted mudarabah) yaitu si mudarib dibatasi
denganbatasaanjenis usaha, waktu atau tempat usaha.24 Model kedua
ini kiranya lebih mudah dalam pelaksanaan Gema Assalam, karena
lebih mudah dalam pengontrolan dan memiliki batasan-batasan yang
dibuat untuk mencapai target.
5. Rukun Mudarabah
Menurut Hanafiah ada dua rukun akad mudarabah, yaitu ijab dan qabul.
Sedangkan jumhur, rukunnya ada tiga: `aqidan (pemilik harta dan pekerja),
ma`qud `alayh (modal, pekerjaan dan laba), sighah (ijab dan qabul). Asy-
Syafi’iyyah menggapnya lima: modal, pekerjaan, laba, sighah dan `aqidan 25
6. Syarat-syarat mudarabah:
Rabb al-mal dan mudarib sebagai DNA-Chromosomenya mudhrabah,
keduanya disyaratkan: keduanya memiliki kekuasaan untuk melakukan
tawkil dan wakalah.
23 Mustaq Ahmad, Business Ethics in Islam, diterjemahkan oleh Samson Rahman dengan judul
Etika Bisnis Dalam Islam, Cet. I, (Jakarta: al-Kautsar, 2001), hal 112-114.
24 Syafi’i Antonio, Bank Syariah, Cet. VI, (Jakarta: GIP, 2001), hal. 97.
25 Wahbah al-Zuhayli, Fiqh al-Islâm wa adillatuh …, hal. 3928.
7. Hukum-Hukum Mudarabah
a. Fasidah, bentuknya seperti kata seseorang kepada temannya:
pasanglah nyala ikan, nantinya kita bagi dua. Menurut Hanafiah,
Syafi’iyyah dan Hanabilah bahwa si mudarib tidak berkewajiban
26 Wahbah al-Zuhayli, Fiqh al-Islâm wa adillatuh, hal 3944-3950, Abdullah Saeed berpendapat
bahwa apabila terjadi kerugian, maka investor menanggungnya sepanjang tidak terbukti bahwa
mudharib menyelewengkan atau terjadi kesalahan manajemen dari dana mudhârabah berdasarkan
persyaratan kontrak yang telah disepakati dengan investor.(Abdullah Saeed, Islamic Bank,
diterjemahkan Muhammad Ufuqul Mubin, dkk dengan judul Bank Islam dan Bunga (Yogyakarta:
pustaka Pelajar, 2003), cet. I, hal. 106.
27 Wahbah al Zuhayli, Fiqh al-Islâm wa adillatuh…hal 3944-3950, Abdullah Saeed berpendapat
bahwa apabila terjadi kerugian, maka investor menanggungnya sepanjang tidak terbukti bahwa
mudarib menyelewengkan atau terjadi kesalahan manajemen dari dana mudarabah berdasarkan
persyaratan kontrak yang telah disepakati dengan investor.(Abdullah Saeed, Islamic Bank,
diterjemahkan Muhammad Ufuqul Mubin, dkk dengan judul Bank Islam dan Bunga, Cet. I,
(Yogyakarta: pustaka Pelajar, 2003), hal. 106.
28 Syams al-Din al-Sarakhsi, al-Mabsut, Juz 22, (Beirut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1414 H),
cet. I 27, Wahbah al- Zuhayli, Fiqh al-Islâm wa adillatuh… hal. 3937.
29 Wahbah al-Zuhayli, Fiqh al-Islâm wa adillatuh…,hal. 3940
8. Modal
Modal: hendaknya berbentuk uang, diketahui jumlahnya, cash, diserahkan
kepada mudarib.Laba: Hendaknya jelas jumlahnya, jelas prosentase
pembagiannya32. Untuk menghindari perselisihan,, dalam kontrak mudarabah
secara khusus ditentukan jumlah modal yan disertakan dalam bentuk
sejumlah mata uang yang beredar. 33 Namun tidak boleh dianggap bahwa
30 `Alauddin Abu Bakar bin Mas’ud al-Kasani, Badai` al-Shana-I`…hal.108, Wahbah al-
Zuhayli, Fiqh al-Islâm wa adillatuh… ,hal. 3941
31 Wahbah al-Zuhayli, Fiqh al-Islâm wa adillatuh… ,hal 3957
32 Wahbah al-Zuhayli, Fiqh al-Islâm wa adillatuh., hal 3931-3940
33 Ibn Rusyd, Bidâyat al-Mujtahid wa nihâyat al-muqtashid, Juz. II, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.,),
hal. 78
modal dalam kontrak tersebut sebagai bentuk hutang pihak mudarib kepada
investor34.Alasannya adalah kalau dianggap hutang maka dimungkinkan si
investor mengambil keuntungan dari hutang tersebut, dan itu adalah riba
yang dipraktekkan pada masa pra-Islam35.
34 Ibn Qudamah, al-Mughni, Juz 5 (Riyad: Maktabat al-Riyad al-Hadithah, 1981), hal. 73.
35 Ahmad Saeed, Islamic Bank, hal. 94
36 Murasa Sarkaniputra, Tauhidi Epistemology, hal. 35-36
37 M. Nejatullah Siddiqi, Partnership and Profit Sharing in Islamic Law, (Yogyakarta: PT.
Dana Bhakti Prima Yasa, 1996), hal 15-18
38 Ibn Qudamah, al-Mughni, Juz 5, hal. 54
E. Penutup
Gema Assalam – menurut hemat penulis – memiliki sasaran dan objek yang
jelas, demikian pula pelaksanaannya. Rancangan konsepnya operasionalnya
pun terasa memadai. Namun masih perlu ditingkatkan pembekalan pelaksana
dari jajaran atas hingga bawah dengan etika bisnis Islami yang merupakan
salah satu perwujudan pembangunan manusia seutuhnya sebagaimana
tercantum dalam GBHN.
keterpurukan nilai mata uang dan inflasi. Untuk itu, perlu pinjaman besar-melalui dan dibawah
pengawasan IMF. Bappenas, Menuju Konsesus Baru (Jakarta: Bappenas, 2001), hal 37.
43 Salah satu akibat yang paling serius dari bunga adalah kecenderungan endemis bank-bank
untuk berlebih-lebihan dalam memberikan kredit. Penyebabnya adalah cara penciptaan uang baru
tersebut dalam suatu sistem berdasarkan bunga tergantung pada operasi-opersi peminjaman bank-
bank komersial. Muhammad Najetullah Siddiqi, Issues in Islamic Banking, hal 112.
Daftar Pustaka
Ahmad, R. Mustaq. Business Ethics in Islam, diterjemahkan oleh Samson,
Cet.I. Jakarta: al-Kautsar, 2001.
Ibn Rusyd. Bidâyat al-Mujtahid wa Nihâyat al-Muqtasid. Juz II. Beirut: Dar al-
Fikr, t.th.
Ida Laode. Otonomi Daerah, Demokrasi Lokal dan Clean Government. Jakarta:
PSPK, 2000.
www.transparansi.or.id
www.xs4all.nl
Ida Fitriana
Staff Pengajar STAI Teungku Dirundeng Meulaboh, Aceh Barat
Abstract
Ihtikar is a form to collect the daily need and done by someone for his interest
without attention the scare condition of society. The practice leads the impact
for the society where they hardly find the need in market. The aim of the
practice is to raise up the price when the need could not be found in the
market. So, the trader will get the great profit, meanwhile, the society will
face the great problem with it. Here, Islamic Law plays an important role to
solve the problem
A. Pendahuluan
Urgensi bisnis tidak bisa dipandang sebelah mata. Bisnis selalu memegang
peranan vital dalam kehidupan sosial dan ekonomi manusia sepanjang masa.
Hal ini pun masih berlaku di era kehidupan sekarang. Karena kekuatan
ekonomi mempunyai kesamaan makna dengan kekuatan politik, sehingga
urgensi bisnis mempengaruhi semua tingkat individu, sosial, regional,
nasional dan internasional.
Obyek muamalah dalam Islam mempunyai bidang yang amat luas, sehingga al-
Qur’an dan as-Sunnah secara mayoritas lebih banyak mebicarakan persoalan
muamalah dalam bentuk global dan umum saja. Hal ini menunjukkan bahwa
Islam memberikan peluang bagi manusia untuk melakukan inovasi terhadap
berbagai bentuk muamalah yang mereka butuhkan dalam kehidupan
mereka, dengan syarat bahwa bentuk muamalah hasil inovasi ini tidak bisa
keluar dari prinsip-prinsip yang telah ditentukan oleh Islam.
Apabila ditinjau dalam kegiatan perdagangan, banyak sekali kita melihat hal-
hal berdampak negatif yang dilakukan oleh pedagang. Seperti melakukan
penipuan, penimbuan dan segala bentuk kecurangan lainnya. Islam sangat
melarang terhadap masalah ini. Islam menganjurkan dalam melakukan
transaksi muamalah harus mempunyai etika (moral) dengan tujuan dapat
menguntungkan kedua belah pihak, baik pembeli maupun penjual.1
1 Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, (Jakarta :
Sinar Grafika, 1994), hal. 5-10.
Ada beberapa definisi ihtikar yang dikemukakan ulama fiqh. Imam asy-
Syaukani (1172-1250H/1759-1824 M), mendefinisikan dengan: “penimbunan
adalah penahanan barang dagangan dari peredarannya”.
Jadi dari uraian di atas dapat diambil suatu pengertian, penimbunan ialah
membeli sesuatu dan menyimpannya agar barang tersebut berkurang
dimasyarakat sehingga harganya meningkat dan dengan demikian manusia
akan terkena kesulitan.
2 Mustaq Ahmad, Etika Bisnis dalam Islam, terjh, Samson Rahman, Jakarta : Pustaka al-
Kautsar, 2001, hal. 56-98
3 Ibid.
4 Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1999), hal. 46-49.
5 Yusuf Qaradawi, Min Hady al-Islam Fatawa Mu’asirah, juz 2, (Cairo : Dar al-Wafa’, 1995),
hal. 67-80.
Selanjutnya hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, al-Hakim, Ibn Abi Syaibah
dan al-Bazzaz, bahwa Nabi Saw. bersabda:
6 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Juz III, (Kairo: Dar al-Fath li al I’lam al-‘Arabiy, 1990), hal. 57-
70
Oleh sebab itu, kemudharatan yang menimpa orang banyak tidak terbatas
pada makanan, pakaian da hewan, tetapi mencakup seluruh produk yang
diperlukan orang.7
7 Ibid.
8 Ibid.
Apa yang mereka sebutkan sebagai makanan pokok itu menurut ilmu
pengetahuan modern tidak cukup untuk menjadi makanan sehat bagi
manusia, sebab untuk menjadi makanan sehat haruslah memenuhi sejumlah
unsur pokok, seperti protein, zat lemak, dan vitamin. Jika tidak begitu, maka
manusia akan menjadi sasaran penyakit karena kondisi makanan yang buruk.
Pada zaman kita sekarang ini obat-obatan telah menjadi kebutuhan pokok
bagi manusia, demikian pula halnya pakaian dan lainnya. Hal ini disebabkan
kebutuhan manusia terus berkembang sesuai dengan perkembangan kondisi
kehidupan mereka. Betapa banyak perkara yang asalnya bersifat tahsini atau
kamali (pelengkap) kini menjadi kebutuhan. Begitupun sesuatu yang semula
sebagai kebutuhan dapat berubah menjadi daruri (kebutuhan yang sangat
pokok, yang apabila tidak terpenuhi akan menimbulkan bencana).
9 Ibid.
4. Hukum Ihtikar
Berdasarkan pada ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Rasulullah Saw di atas, para
ulama fiqh spakat menyatakan bahwa ihtikar tergolong kedalam perbuatan
yang dilarang (haram). Seluruh ulama sepakat menyatakan bahwa melakukan
ihtikar itu hukumnya haram, meskipun terjadi perbedaan pendapat tentang
cara menetapkan hukum itu, sesuai dengan sistem pemahaman hukum yang
dimiliki mazhab masing-masing. Perbedaan pendapat itu adalah sebagai
berikut :
Dalam kasus ihtikar, yang paling utama dipelihara adalah hak konsumen,
karena menyangkut orang banyak; sedangkan hak orang yang melakukan
ihtikar hanya merupakan hak pribadi. Tatkala kepentingan pribadi
bertentangan dengan kepentingan orang banyak, maka yang didahulukan
adalah kepentingan orang banyak.
10 Ibid.
C. Penutup
Dari uraian diatas maka dapat dambil suatu kesimpulan bahwa penimbunan
merupakan suatu hal yang sangat dilarang oleh Syara”. Karena didalamnya
terdapat sifat ananiyah (mementingkan diri sendiri) tanpa memperhatikan
kepentingan masyarakat banyak.
Islam mengakui adanya mekanisme pasar dan harga, tetapi dalam Islam
tidak sama dengan mekanisme pasar sistem ekonomi kapitalisme. Kekuatan
penggerak aktivitas pasar dalam Islam adalah ta’awun (tolong menolong)
dan ‘an taradin minkum (suka sama suka). Untuk memberikan keadilan
kepada semua pihak, ekonomi Islam menekankan agar pedagang tidak
menjual barang dengan harga yang terlalu rendah. Apabila dikaitkan dengan
penimbunan, disini terdapat berbagai kecurangan yang dilakukan oleh
pedagang, yaitu merugikan pihak konsumen dan yang terlebih parah adalah
dapat merusak harga pasar.
Oleh karena itu perlu dilakukannya intervensi dari pemerintah agar harga
pasar dapat berjalan dengan normal. Pemerintah berhak memaksa pedagang
untuk menjual barang itu dengan harga standar yang berlaku di pasar.
Bahkan menurut mereka, barang yang ditimbun oleh para pedagang itu dijual
dengan harga modalnya dan pedagang itu tidak berhak untuk mengambil
untung, sebagai hukuman terhadap tindakan mereka.
Daftar Pustaka
Ahmad, Mustaq, Etika Bisnis dalam Islam, terjh, Samson Rahman, Jakarta :
Pustaka al-Kautsar, 2001.
Qaradawi, Yusuf, Min Hady al-Islam Fatawa Mu’asirah, juz 2, Cairo : Dar al-
Wafa’, 1995.
Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, Kairo: Dar al-Fath li al I’lam al-‘Arabiy, 1990.
Asmawati
Staff Pengajar STAI Teungku Dirundeng Meulaboh, Aceh Barat
Abstract
The food is an important thing to produce eneryg and support human life. In
Islam, the food that we consume should be based on two point things; halal
and tayyib. Halal means the food is kind of substance allowed by syari’ah and
a right effort. Meanwhile, it contains the vitamin and calory to support the
health and brain development.
A. Pendahuluan
Makanan adalah salah satu hasil produksi yang paling banyak dijumpa di
pasaran. Tingkat kesehatan dan keamanan makanan ini sering diabaikan
oleh banyak konsumen. Perkembangan industri makanan yang cukup luas
saat ini, telah mendorong produksi makanan dalam variasi bentuk dan rasa.
Berjuta perusahaan produser makanan kini menggunakan bahan kimia,
perisa, enzim, aroma, pewarna, hormon dan sebagainya bagi menarik daya
beli konsumen.
Dalam membincangkan tentang makanan, umat Islam tidak dapat lari dari
membicarakan makanan yang halal dan haram. Dalam konteks ini, nass- nass
Alquran dan al-Hadith serta pendapat fuqaha memberi panduan hukum
bagi menentukan kategori-kategori makanan ini. Hukum yang diperoleh
itu, adalah wajib diamalkan oleh umat Islam, di mana mereka wajib memilih
makanan yang halal untuk dimakan dan meninggalkan makanan-makanan
yang haram. Oleh itu mengetahui makanan halal dan haram adalah satu
perkara yang wajib dipahami oleh umat Islam.
1 Taqi Falsafi, Child between Heredity and Education, (Beirut: al-‘alami Library, 1969), hal.
17.
Dalam hal ini, Rasulullah Saw. mengaitkan antara terkabulnya do’a dengan
makanan halal sebagaimana sabda Baginda yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim:
Maksud dari hadith di atas adalah perintah memakan makanan yang baik-
baik setaraf dengan perintah mengerjakan amal saleh. Amal saleh itu tidak
mungkin (dapat dikerjakan) kecuali dengan makan, minum, berpakaian,
dan apa saja yang diperlukan oleh seorang manusia seperti tempat tinggal,
kendaraan, buku-buku untuk belajar dan sebagainya. Akibatnya adalah amal
saleh yang akan diterima adalah amal saleh yang dilakukan berdasarkan
aturan-aturan Allah dan kesucian jiwa serta kesucian raga. Begitu pula ketika
seseorang berdoa memohon kepada Allah, hendaklah ia melakukannya
dalam keadaan suci lahir maupun batin.
2 Muslim bin Hajjaj, Sahih Muslim, (Turki: al-Maktabah Islamiy, 1972), hal. 147.
Makanan dalam Islam mempunyai perhatian yang lebih jauh dan bukanlah
sekadar memenuhi tuntutan hawa nafsu saja, tetapi ia merupakan suatu
ibadah sekiranya ia diniatkan karena Allah. Kesemua aturan-aturan
atau undang-undang yang Allah gariskan berkaitan dengan makanan
menunjukkan betapa sempurnanya ajaran Islam, betapa agung dan adilnya
Allah dalam mengatur hal ehwal kehidupan manusia.
Tafsiran yang dinyatakan oleh beliau ialah mas kawin bukanlah sesuatu
yang harus bahkan tidak lazim berupa makanan, namun demikian ayat ini
menggunakan perkataaan “makan” untuk “konsumen” mas kawin tersebut
yang bermaksud menggunakan mas kawin untuk membuka usaha bagi
memenuhi keperluan makan.
Dalam ayat yang lain pula perkataan “akala” diartikan sebagai aktivitas, yang
bunyinya sebagai berikut:
Potongan ayat ini difahami sebagai suatu larangan untuk melakukan aktivitas
apapun yang tidak disertai nama Allah. Ini disebabkan karena kata ”makan”
di sini difahami dalam arti luas yakni segala bentuk aktivitas. Penggunaan
kata tersebut untuk arti aktivitas, seolah-olah menyatakan bahwa aktivitas
perlu kepada kalori, dan kalori diperolehi melalui makanan.
Makanan atau adalah jama’ bagi perkataaan yaitu apa saja yang
dimakan oleh manusia untuk memberi kekuatan, kesegaran badan dan
7 Al-quran, An-Nisak,4: 4
8 Alquran,Al-‘An’am, 6: 121
Keperluan akan makanan dan minuman adalah naluri semula jadi manusia
dan seluruh ciptaan Allah. Sememangnya Allah telah menciptakan alam
beserta isinya adalah untuk manusia memenuhi keperluannya. Apabila makan
dan minum boleh dipenuhi secara sempurna maka keperluan-keperluan
lainnya akan mudah dipenuhi pula. Dengan terpenuhinya keperluan lainnya
peningkatan ibadah akan lebih mudah dan selesa untuk dilakukan.
Perintah memakan makanan yang baik oleh Allah ditujukan kepada seluruh
9 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Terj. Mahyudin Syaf, (Kuala Lumpur: Pustaka al-Azhar, 1996),
hal. 92.
10 Mohamed bin Jusoh, Prinsip Utama Makanan dan Minuman dalam Islam, Bahagian Hal
Ehwal Konsumen, (Kula Lumpur: Jabatan Perdana Menteri, 1986), hal. 2.
11 Alquran, Al-Baqarah/2:68.
manusia bukan kepada umat Islam saja. Ini menunjukkan bahwa makanan
halal dan baik sesuai untuk semua manusia. Pada prinsipnya segala sesuatu
yang ada di alam raya ini adalah halal digunakan, sehingga makanan dan
minuman yang terdapat didalamnya juga adalah halal. Oleh karena itu tidak
ada alasan bagi umat Islam mencari makanan selain dari standard halal dan
tayyib di sisi Allah.
Kata “halal” berasal dari akar kata yang berarti “lepas” atau “tidak terikat”.12
Berdasarkan arti ini perkataan halal bagi umat Islam difahamkan kepada
sesuatu yang dibolehkan oleh syara’. Kepatuhan kepada syara’ adalah usaha
untuk melepaskan diri dari ikatan bahaya dunia dan akhirat. Dengan
demikian makanan dan minuman halal adalah makanan yang dibolehkan
memakannya dan dengan memakannya terlepas ikatan bahaya dunia
dan akhirat. Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa perintah makan
mempunyai taraf yang sama dengan perintah melakukan amal saleh. Firman
Allah :
13
”Wahai para Rasul, makanlah dari yang baik (bersih dan sehat) dan
berbuat amal salehlah kamu sekalian…”
Ayat ini secara jelas mendahulukan perintah memakan yang baik dan halal
daripada berbuat amal saleh, dan ini pula menunjukkan bahwa perbuatan
amal saleh akan sia-sia apabila tidak disertai dengan memakan makanan
yang memenuhi standard ini.
12 Munie Ba’ albaki, al-Mawrid, Beirut: Dar al-c Ilmi lil-Malayen, 1995), hal. 326.
13 Al-Muminun/ 23:51
Para ulama juga sepakat bahwa makanan yang digalakkan oleh Islam adalah
makanan tayyib yang tidak mengandungi unsur-unsur yang merbahaya bagi
kesehatan jiwa dan akal manusia. Dari segi bahasa kata tayyib berarti lezat,
baik, sehat, dan mententeramkan.14 Para pakar tafsir ketika menjelaskan kata
ini dalam konteks makanan menyatakan bahwa ia berarti makanan yang
tidak kotor dari segi zatnya, atau tidak dicampuri benda najis (menjijikkan).15
Ada juga yang mengartikan sebagai makanan yang mengandung selera
bagi yang akan memakannya dan tidak membahayakan fisikal dan akalnya.16
Berdasarkan pendapat–pendapat tersebut dapatlah kita fahami bahwa
perbincangan makanan dalam Islam bukan pada masalah halal dan haram
saja tetapi juga merangkum soal sekuriti atau keamanan, nilai makanan dan
keseimbangan makanan.
1. Benda-benda yang najis dan kotor seperti hingus, nanah, darah dan
segala yang yang menjijikkan. Firman Allah
19
18 Louis Ma’luf, Al-Munjid fi al-lughah wa al-a’lam, (Beirut, Dar al-Masyriq, 1994), hal. 166
dan 476.
19 Al- Ac raf/7 :157
1. Bangkai
Bangkai adalah binatang yang mati dengan sendirinya tanpa ada suatu
usaha manusia dengan sengaja seperti disembelih atau berburu.23
Mengikut pengertian fuqaha bangkai adalah tiap-tiap binatang yang
telah mati dengan tidak disembelih mengikut Syarak. Dan setiap binatang
20 al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadhdhab, juz. 9, (Kairo: Matba’ah al-‘Asimah, t.th), hal.
23.
21 Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, kitab al-asyribah (30), bab kullu muskirin haramun (9)…, hal.
3391.
22 Munir Ba’albaki, al-Mawrid…, hal. 895
23 Ahmad Sonhaji Muhammad, Tafsir al-Quran : surah al-Maidah, (Singapura: al-Maktab at-
Tijari as-Syarqi, 1965), hal. 16.
yang mati tanpa memenuhi Syarak adalah haram untuk dimakan kecuali
bangkai ikan dan belalang.24 Pernyataan ini dipertegas dengan hadith
Rasulullah
25
Dihalalkan bagi kita dua bangkai yaitu bangkai ikan dan belalang
Termasuk dalam katagori ini adalah semua jenis binatang yang tidak
disembelih atau disembelih tetapi tidak menyebut nama Allah. Binatang-
binatang yang mati dengan sendirinya seperti penyakit tua atau termakan
racun juga haram dimakan kecuali jika binatang itu masih sempat
disembelih dengan sisa-sisa nyawanya. Di antara tanda-tanda binatang
itu masih hidup adalah darah masih mengalir dan matanya masih dapat
bergerak-gerak.26
Binatang yang mati tercekik, mati dipukul, mati terjatuh, mati beradu atau
diserang binatang buas juga dianggap bangkai. Hikmah yang diambil
oleh pengharaman ini adalah karena Allah Swt mengetahui betapa
perlunya manusia pada binatang, begitu pula Islam mengajarkan untuk
memberi kasih sayang dalam pemeliharaan. Oleh karena itu tidak layak
kalau manusia dibiarkan melakukan sesuka hati memukul, mencekik
dan menyiksanya hingga mati. Islam melarang memakan hewan-hewan
yang mati dalam keadaan seperti itu, sama sebagaimana Islam menegah
perbuatan itu. Hadith rasulullah saw., “Sesungguhnya Allah telah
menentukan kebaikan atas segala sesuatu. Apabila kamu membunuh,
maka lakukanlah sebaik mungkin. Apabila kamu menyembelih, maka
juga lakukanlah sebaik mungkin. Dan hendaklah salah seorang kamu
menajamkan pisau yang akan digunakan untuk menyembelih. Sekali lagi
24 Muhammad Yusuf al-Qardawi, al-Halal wa al-Haram fi al-Islam, (Mesir: Dar al-Kutub al-
‘Arabiyah ‘Isa al-Bāby al-Halaby, 1960), hal. 55.
25 Muhammad Yasid Abu c Abd Allah al-Qazwani.Sunan Ibn Majah. Kitab al- Atcimah (4),
bab saidul al-Maitatani wa al-jarād, hal. 3218.
26 M. Yusuf al-Qaradawi, Halal dan Haram dalam Islam (terj.), (Singapura: Pustaka
Nasional Pte. Ltd, 1989), hal. 60.
2. Darah
Darah pada asalnya ialah benda yang mulia dan amat penting untuk
kelangsungan hidup, karena tanpa darah manusia tidak akan dapat
tumbuh dan bertahan hidup. Ketiadaan aliran darah dalam tubuh pula
bererti sesuatu kehidupan itu telah mati. Adapun maksud darah yang
diharamkan memakannya dalam konteks ini ialah darah yang mengalir
( } sewaktu penyembelihan binatang tersebut. Manakala darah
yang membeku (beketul) seperti hati dan limpa adalah halal dimakan. Ini
berdasarkan hadith Rasulullah Saw.
28
“Di halalkan bagi kita dua jenis bangkai dan dua jenis darah yaitu
bangkai ikan dan belalang adapun dua darah yaitu hati dan limpa”.
D. Penutup
Perniagaan dalam Islam merupakan suatu pekerjaan yang sangat mulia apabila
dilakukan di atas prinsip-prinsip dan nilai-nilai perniagaan Islam. Sebagai
sebuah aktivitas, perniagaan meletakkan hubungan-hubungan kemanusiaan
sebagai asas yang memungkinkan umat manusia berinteraksi satu sama
lain dalam suatu pergaulan yang seimbang dan saling menguntungkan bagi
mencapai kebahagiaan bersama.
Daftar Pustaka
al-Bustani, Fuad Ifrad. Munjid al-Tullab. Beirut: Dar al-Masytiq Tabc in al-c
Isyriah, 1970.
al-Jazairi, Abu Bakar Jabir. Ais at-Tafsir lilkalāmi al-c Aliya al-Kabir. Jilid I. Mesir:
Dar al-Salamah, 1992.
al-Qaradawi, M. Yusuf. Halal dan Haram dalam Islam (terj.), Singapura: Pustaka
Nasional Pte. Ltd, 1989.
al-Tabari, Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir, Tafsir at-Tabari. Dar al-Mac arif,
Mesir, t.th.
Ba’ albaki, Munie. al-Mawrid. Beirut: Dar al-c Ilmi lil-Malayen, 1995.
Falsafi, Taqi, Child between Heredity and Education. Beirut: al-‘alami Library,
1969.
Ibn Jusoh, Mohamed. Prinsip Utama Makanan dan Minuman dalam Islam,
Bahagian Hal Ehwal Konsumen. Kula Lumpur: Jabatan Perdana Menteri, 1986.
Katlehen, Marie V. Krause. Makan, Makanan, Pemakanan dan Terapi Diet. Terj.
Suriah Abd. Rahman. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1993.
Sabiq, Sayyid. Fiqh Sunnah. Terj. Mahyudin Syaf. Kuala Lumpur: Pustaka al-
Azhar, 1996.
Syahril
Pembantun Rektor II Universitas Teuku Umar Meulaboh
Abstract
’Āmil (worker in this context for palm plantation has a great role to succeed
the actvity. Without a good participation of worker, the harvest will be lower,
if it is not loss. Appearantly, it need a balance between working and wage
for support their activity. As a factual thing, the writer try to analyze the
condition of worker and their wage related to activity of palm plantation in
West Aceh. The study at least will be a model for other places how to manage
worker, working and wage altogether.
A. Pendahuluan
Perkebunan kelapa sawit sudah menjadi komoditi pasar dunia sehingga
secara bisnis memiliki prospek yang baik bagi Indonesia sebagai negara
agraris dan terutama Nanggroe Aceh Darussalam yang memiliki lahan yang
luas dan subur untuk komoditi ini. Selain luas lahan dan kesuburan tanah,
hutan yang sebagian besar rusak karena kejahilan dari pihak-pihak yang
tidak bertanggung jawab dan kestabilan alam terganggu sehingga sering
terjadi banjir bandang seperti di Kabupaten Aceh Tenggara.
B. Landasan Teoritis
1. Tingkat Suku Bunga
Para ekonom menjelaskan tingkat bunga nominal (nominal interest rate)
adalah tingkat bunga yang dibayarkan investor. Sedangkan tingkat bunga riil
(real interest rate) adalah tingkat bunga nominal yang dikoreksi karena inflasi.
Jika tingkat bunga nominal adalah 8 persen dan tingkat inflasi 3 persen maka
tingkat bunga riil adalah 5 persen.1
1
N. Gregory Mankiw, Teori Makro Ekonomi, (Jakarta: Erlangga, 2000), hal. 53.
2 Faried Wijaya, Perkreditan Bank dan Lembaga-lembaga Keuangan Kita, (Yogyakarta:
BPFE UGM, 1991), hal. 150.
2. Teori Upah
Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan
pengertian Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan
dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja
kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut perjanjian
kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk
3 Manullang, Ekonomi Moneter, (Jakarta: Balai Aksara Yudhistira, 1983), hal. 104.
W = ω x Pe
W/P = ω x Pe / P
Asumsi akhir dari modal upah kaku (sticky-wage model) adalah bahwa
pengkaryaan ditentukan oleh jumlah tenaga kerja yang diminta perusahaan.
Dengan kata lain, tawar-menawar antara pekerja dan perusahaan tidak
menentukan tingkat pengkaryaan selanjutnya; apalagi, para pekerja sepakat
4 Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2005) hal. 144.
5 As'ad, Moh (2003). Psikologi Industri, (Yogyakarta: Liberty, 2003), hal. 94-101.
6 N. Gregory Mankiw, Teori Makro..., hal. 323.
L = Ld (W / P )
yang menyatakan bahwa semakin rendah upah riil, semakin banyak tenaga
kerja yang digunakan perusahaan.
Y = F (L)
Y = Y + α (P − Pe )
Produktivitas tenaga kerja sangat ditentukan oleh faktor usia, masa usia
produktif adalah antara 15-64 tahun. Sedangkan di bawah 15 tahun dan di
atas 64 tahun dianggap sebagai usia non produktif atau kurang produktif.
Karena usia yang terlalu muda tenaga kerja memiliki tanggung jawab yang
rendah, skill juga rendah serta faktor fisik yang masih lemah. Sedang usia 64
tahun ke atas tenaga kerja sudah terlalu tua sehingga kurang mampu untuk
bekerja secara optimal karena keadaan fisik yang sudah melemah (Sukotjo
dan Swastha,1985:16).
9 Jamaluddin Ahmad, “Produktivitas Tenaga Kerja dan Elastisitas Kesempatan Kerja di Daerah
Istimewa Aceh”. Jurnal Ilmiah Mon Mata, No. 20, Desember 1995. (Banda Aceh: Penerbit
Lembaga Penelitian Unsyiah, Banda Aceh), hal. 12.
4. Hipotesis
Berdasarkan latar belakang, rumusan penelitian, tujuan penelitian dan
beberapa penelitian sebelumnya, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai
berikut :
1. Diduga tingkat suku bunga kredit dan tingkat upah riil berpengaruh
negatif, sedangkan produktivitas tenaga kerja berpengaruh positif
terhadap permintaan tenaga kerja perkebunan kelapa sawit di
Kabupaten Aceh Barat.
2. Diduga tingkat upah riil dalam pasar tenaga kerja perkebunan kelapa
sawit menuju divergen.
5. Model Analisis
Model analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah fungsi permintaan
tenaga kerja menurut McCafferty16 dengan formulasi sebagai berikut :
13 Don Bellatte and Mark Jackson, Ekonomi Ketenagakerjaan, (Jakarta: Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Unirversitas Indonesia, 1983), hal. 152.
14 E.P Adam dan R J Eber, (1986), Production and Operation Management, Concept, Model and
Behavior, 3 ED, (New Jersey: Prentice Hall International Edition, 1986), hal. 58.
15 Muhammad Arsyad Anwar, dkk, Prospek Ekonomi Indonesia Jangka Pendek Sumber Daya,
Tehnologi dan Pembangunan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995), hal. 221.
16 Stephen McCafferty, Macroeconomic Theory, (New York: Harper dan Row Publisher, 1990),
hal. 102.
L
D = f (−, r , y ) ………………………………..(3.1)
P
w / p = ∑n
w/ p
dimana :
w / p = Upah riil rata-rata
w/p = upah riil
n = waktu
Pada periode tahun 1995-2005 tingkat upah nominal lebih tinggi dari pada
upah riil. Peningkatan tingkat upah riil seiring dengan meningkat tingkat
upah nominal di perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Aceh Barat. Pada
tahun 1995-1997 tingkat upah riil mendekati upah nominal, kemudian terus
menjauh kesenjangan upah riil dengan upah nominal pada tahun 1998-
2000. Seterusnya tahun 2001 terlihat sudah mendekati lagi upah riil dengan
upah nominal dan mulai tahun 2002-2005 terlihat semakin menjauh. Artinya
tingkat upah riil dan upah nominal selama periode 1995-2005 tidak terjadi
keseimbangan, hal ini dipengaruhi oleh tinggi rendah inflasi. Untuk lebih
jelas dapat dilihat pada Grafik 4.2 dibawah ini.
Selama periode 1995-2005 tingkat suku bunga kredit investasi Bank Indonesia
mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 9,61 persen per tahun. Rata-rata
pertumbuhan suku bunga investasi besar karena berhubungan dengan
kebijakan monoter yang dilakukan pemerintah melalui Bank Sentral untuk
menstabilkan perekonomian Indonesia yang dilanda berbagai krisis seperti
yang terjadi pada tahun akhir tahun 1997 yang lebih dikenal dengan krisis
moneter.
3. Pembahasan
Berdasarkan analisis data didapatlah koefisien estimasi sebagai berikut:
dari variasi tersebut dijelaskan oleh varibel diluar model penelitian ini.
Kemudian F hitung menunjukkan angka 118,915. Yang lebih besar dari 1,734
(nilai F tabel) pada tingkat signifikansi 1 % dari df (3). Artinya secara bersama-
sama variabel tingkat upah riil, produktivitas tenaga kerja, dan tingkat suku
bunga kredit secara statistik mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
jumlah permintaan tenaga kerja oleh perkebunan kelapa sawit di Kabupaten
Aceh Barat.
Hasil ini sesuai dengan teori produktivitas tenaga kerja. Di mana menurut
teori produktivitas, produktivitas berhubungan positif dengan permintaan
tenaga kerja.
D. Penutup
Dari analisis data dan hasil pembahasan tentang permintaan tenaga kerja oleh
perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Aceh Barat, yang menggunakan data
panel seperti yang diuraikan di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan di
antaranya :
Peningkatan atau penurunan tingkat suku bunga kredit tidak secara signifikan
mempegaruhi permintaan tenaga kerja pada perkebunan sawit di Kabupaten
Aceh Barat. Tingkat investasi di perkebunan kelapa sawit di kabupaten Aceh
Barat tidak hanya dipengaruhi oleh tingkat suku bunga tetapi keamanan dan
perusahaan perkebunan di Aceh Barat adalah cabang sehingga akses modal
dari perusahaan induk.
Daftar Pustaka
Adam, EP, dan R J Eber, (1986), Production and Operation Management, Concept,
Model and Behavior, 3 ED, Prentice Hall International Edition, New Jersey.
Dorn Bush, Rudiger and Stanley Fisher, (1994), Makro Ekonomi, Edisi Keempat,
Diterjemahkan oleh Mulyadi, Erlangga, Jakarta.
Mankiw, N. Gregory, 2000. Teori Makro Ekonomi, Edisi Keempat, PT. Erlangga,
Jakarta.
Todaro, Michael, P., 2000. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, Edisi keenam,
Erlangga, Jakarta.
Syamsuar Basyariah
Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Tgk Dirundeng Meulaboh
Abstract
A. Pendahuluan
Manusia merasa bersyukur dan gembira karena saat ini kajian tentang
ekonomi Islam semakin meluas, maraknya kajian ekonomi Islam ini, tentu
akan mempengaruhi kajian mikro ekonomi seperti Akuntansi. Tradisi
keilmuan ekonomi telah dimulai jauh sebelum lahirnya Adam Smith, tujuh
ratus tahun bapak ekonomi konvensional menulis buku The Wealth of Nations,
seorang ulama Islam bernama abu Hamid al-ghazali telah membahas fungsi
uang dalam perekonomian. Tradisi keilmuan ini terus berlanjut. Dua ratus
tahun setelah al-Ghazali menjelaskan peranan uang dalam perekonomian, di
Tunisia, seorang ulama lain bernama Abdurrahman Ibn khaldun alias Abu
Zaid menjelaskan lebih lanjut dari apa yang telah di sampaikan al-Ghazali.
Ibn Khaldun menegaskan bahwa kekayaan suatu negara tidak ditentukan oleh
banyaknya uang di negara tersebut, tetapi ditentukan oleh tingkat produksi
negara tersebut dan neraca pembayaran yang positif. Bisa satu negara
mencetak uang sebanyak-banyaknya, tetapi bila hal itu bukan merupakan
refleksi pesatnya pertumbuhan sector produksi, uang yang melimpah tidak
akan ada nilainya. Sektor produksilah yang menjadi motor pembangun,
menyerap tenaga kerja, meningkatkan pendapatan pekerja dan menimbulkan
permintaan atas factor produksi lainnya. Pendapat ini menunjukkan bahwa
perdagangan internasional telah menjadi bahasan utama para ulama ketika
itu.1
1 Adiwarman Aswar Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, (Jakrta: Gema Insani
Press, 2001), hal. 55
dalam suatu hadits yang diriwayatkan Bukhari, Muslim dan Nasa’I dari
Zubair bin Auwwam, yang artinya: “ seseorang yang membawa tali pada
pagi hari berangkat mencari dan mengerjakan kayu bakar ke bukit-bukit
lalu menjualnya, memakannya dan menyedekahkannya lebih baik dari pada
meminta-minta kepada manusia lainnya.
B. Pembahasan
Ekonimi Islam selama tiga dasawarsa merupakan tema yang paling banyak
mendapat perhatian dari para sarjana dan cendikiawan muslim disbanding
disiplin lainnya. Gagasan ekonomi dimaksud sebagai sebagai alternatif
terhadap system ekonomi kapitalis dan sosialis yang bukan saja dianggap
tidak sejalan dengan jaran Islam, namun juga gagal dalam memecahkan
berbagai problem ekonomi yang dihadapi terutama oleh negara-negara dunia
ketiga. Sistem ekonomi Islam diharapkan dapat mencegah ketidakadilan
dalam penerimaan dan pembagian sumber-sumber materi agar dapat
memberikan kepuasan pada semua manusia dan memungkinkan mereka
menjalankan kewajiban kepada Allah dan masyarakat. Islam mewajibkan
zakat, melarang riba, mengizinkan pemilikan kekayaan pribadi, tetapi juga
memberi hak kepada masyarakat untuk menyebarkan kembali kekayaan
pribadi; melarang pemilikan tanah yang diluar kemampuan seseorang
atau keluarganya untuk mengelolanya. Ketentuan-ketentuan ini, jika
dilaksanakan, diyakini akan menciptakan suatu masyarakat yang memiliki
Adapun menurut Ibn Khaldun ada prinsip-prinsip dasar yang harus dimiliki
system ekonomi Islam, yaitu:
1. Tauhid ilahiyah
2. Kemakmuran dunia akhirat
3. Dimensi material dan moral
4. kemakmuran untuk semua yang bersifat jangka panjang dan sustained
5. dapat diterapkan. Sistem ini dapat dipraktekkan karena pernah
diterapkan pada abad ke 5-9 di Jazirah Arab dengan sangat sukses.4
Mekanisme pasar dalam Soal-soal ekonomi ini dibicarakan juga oleh filosof
Islam, Ibnu Khaldun (1332 – 1046) dalam bukunya Muqaddamah, bagian
V, “Motif ekonomi timbuk karena hasrat manusia yang tidak terbatas,
sedangkan barang yang memuaskan kebutuhannya itu sangat terbatas. Sebab
itu, pemecah soal ekonomi haruslah dipandang dari dua sudut, sudut tenaga
dan sudut penggunannya.
2 P. A. Rifa’I Hasan, “Ekonomi Islam: Gagasan, Kritik dan Harapan”, dalamUlumul Qur’an,
nomor 5, tahun 1990, hal. 3.
3 Sofyan Syafri Harahap, Menuju perumusan Teori Akuntansi Islam, (Jakarta:Pustaka Kuantum,
2001), hal. 29
4 Sofyan Syafri Harahap, Menuju… hal. 32.
Pendapat Ibnu Khaldun tersebut jika dianalisa dengan kondisi kita hari ini
bahwa emas dan perak yang menempati tempat ukuran standar, dapat saja
diganti dengan uang kertas akan tetapi substansi dari tujuan pemanfaatan
emas dan perak tetap memiliki nilai yang relevan serta adanya jaminan
emas dan perak di dalam Bank. Uraian sistim perekonomian Ibnu Khaldun
sangat luas bahkan di dalam kitab muqaddimahnya terdapat 33 pasal yang
membahas tentang persoalan ekonomi, namun persoalan ekonomi di zaman
kita sekarang jauh lebih luas dari pada yang diuraikan oleh Ibnu Khaldun,
akan tetapi pengakuan kita kepada Ibnu Khaldun sebagai perintis jalan bagi
perekonomian modern tidaklah menjadi lekang bahkan pengaruh pemikiran
Ibnu Khaldun terhadap mekanisme pasar sampai ke zaman renesain Eropa.
Dimana pusat pereonomian Eropa sebagaimana pernah diulas oleh Ibnu
Khaldun adalah pada dua titik yaitu pertanian dan perdagangan. Dalam
uraian tentang perekonomian Ibnu Khaldun serta karya-karyanya terutama
di dalam bukunya Muqaddimah ditegaskan oleh Abdullah Zaki Alkaaf
”menjadi lampu ditengah-tengah kegelapan atau bintang di alam cakrawala
yang telah memberi pedoman bagi teori ekonomi Eropa khususnya dan
internasioanal umumnya”.
Kalau Ibn Taymiyah mempunyai satu gagasan yang jelas tentang harga
dipasar bebas yang ditentukan oleh kekuatan-kekuatan sekarang yang
disebut permintaan dan penewaran, maka mekanisme pasar Ibn Khaldun
juga memiliki konsep yang jelas tentang permintaan dan penawaran
sehubungan dengan naik turunnya harga, Ibn Khaldun membagi barang-
barang berdasarkan kebutuhan dan kemewahan. Edangkan Abu Yusuf
memberikan perhitungan teoritis tentang permintaan dan penawaran yang
tidak memiliki batasan yang pasti tentang murah dan mahalnya harga.9
Meminjam istilah Ibn Khaldun, cara hidup kita atau perubahan yang terjadi
dalam cara hidup kita, dapat mempengaruhi pemikiran kita. Lingkungan
sosial ekinomi lewat daya peka kita, juga berpengaruh terhadap pemikiran
kita. Cara hidup yang dimaksud adalah bagaimana meningkatkan
produktifitas disektor-sektor lapangan kerja. Ini artinya selama ini konsep
mekanisme pasar Ibn Khaldun belum dipikirkan secara serius
Dasar uraian diatas sudah dapat ditarik benang merah antara kajian ekonomi
yang berwarna Islam. Pertama, kajian ekonomi Islam dalam lingkup
normative, dalam arti upaya menjelaskan dasar-dasar filosofis atau normative
suatu kegiatan ekonomi yang sesuai dengan tuntutan Islam. Menurut
ajran baku dalam al-Quran dan hadits. Untuk melakukan hal itu, jelaslah
diperlukan pengusahaan yang baik atas Islam dan ilmu ekonomi. Terutama
perbandingan system ekonomi dan sejarah perkembangan pemikiran
ekonomi. Dengan kajian seperti itu, agaknya dapat disusun konsep system
ekonomi Islam yang ideal.
Kedua, kajian ekonomi Islam hasil pemikiran atau penyelidikan para pakar
ekonomi maupun sosiolog seperti Ibn Khaldun, Ibn Taimiyah, maupun Max
Weber, yang dilakun secara analitis kritis, baik melalui pemeriksaan teori atau
tesis yang dikemukakan maupun melalui pengujiannya terhadap kenyataan
perilaku ekonomi Muslim.
Awal dari sifat bahasan ibn Khaldun sabgat berbeda dengan ibn taymiyah.
Menurut A.A. Islahi, pembahasan Ibn Khaldun lebih bersifat ”Sosiologi
Ekonomi,” sedangkan bahsan ibn Taymiyah lebih bersifat gambaran “politik
Ekonomi Islam.” Dengan pengaruh pengalamannya Ibn Khaldun lebih
dulu mengedepankan teori baru menunjukkan bukti-buktinya. Jadi kajian
C. Kesimpulan
Tatanan ekonomi harus diatur sedemikian rupa, sehingga seluruh manusia
bisa memperoleh hak milik secara wajar dan menikmatinya dengan tampa
melupakan Allah sebagai pemberi harta tersebut.
Dalam aktifatas ekonomi Ibn Khaldun dan Ibn Taimiyah sangat menekankan
adanya kerja sama dan persatuan untuk mencapai kebaikan dan bersekutu
pula untuk menghilangkan penderitaan. Jadi manusia secara kodrati
merupakan makhluk sosial.
11 A.A. Islahi, Konsep Ekonomi Ibn Taimiyah, (Surabaya: PT. Bina ilmu, 1997), hal 317-318
Daftar Pustaka
A. Islahi, Konsep Ekonomi Ibn Taimiyah, Surabaya: Bina ilmu, 1997
Islahi, Abdul Azis, Teori Mekanisme Pasar Menurut Ibn Taymiyah. Jakarta:
Pustaka Kuantum, 2001
Zulkarnaini
Alumni Fak. Ushuluddin, Jurusan Aqidah Dan Filsafat. S.2 diselesaikan
pada pascasarjana kosentrasi Dirasah Islamiyah IAIN Ar-Raniry Banda
Aceh. Bekerja pada Dep. Agama Kota Banda Aceh Dan Dosen Luar Biasa
IAIN Ar-Raniry Banda Aceh.
Abstract
Production plays an important role to ensure self and social interest. In Islamic
economy system, the production is aimed to reach the economic justice (al-
‘Adalah al-Iqtisadiyah), social insurance (at- Taqaful al-Ijtima’i) and utilize the
resources of economic empowering for productivity effeciently
A. Pendahuluan
Perkataan ekonomi berasal dari dari kata Yunani yaitu "oicos" dan "nomos"
yang berarti rumah, dan nomos berarti aturan. Jadi ekonomi adalah aturan-
aturan untuk menyelenggarakan kebutuhan hidup manusia dalam rumah
tangga, baik rumah tangga rakyat (volkshuishouding) maupun dalam rumah
tangga negara (staathuishouding).1 Dalam bahasa Arab disebut dengan
iqtishad yang artinya mengatur soal-soal penghidupan manusia dengan
sehemat-hematnya dan secermat-cermatnya. 2
Pada sisi lain ekonomi Islam menempatkan self interest dan social interst
sebagai tujuan, keadilan ekonomi, jaminan sosial dan pemanfaatan sumber-
5 Rifat al-Mahjub, Dirasat Iqtisadiyat Islam, (kairo: Ma'had ad-Dirasat al-Islamiyah, 1987),
hal. 14.
6 Thahir Abdul Mukhsin Sulaiman, Menanggulangi Krisis Ekonomi Secara Islam, (Bandung:
Al-Ma'arif, 1985), hal. 139.
Etika yang paling penting adalah menjaga sumber daya alam dan mensyukuri
nikmat Allah, agar sumber daya alam itu tidak rusak. Rusaknya sumber daya
alam itu adalah hadirnya bentuk kejahatan yang dilakukan manusia seperti
pencemaran, binasanya makhluk-makhluk lain dan sebagainya. Pada sisi
lain adalah rusaknya spiritual dan tersebarnya kezaliman yang keduanya
tidak diridhai Allah.7
Sejauh ini pandangan ekonomi Islam faktor pruduksi meliputi sumber daya
alam, sumber daya manusia, modal dan manajemen, dengan demikian tugas
manusia (umat Islam) bagaimana memanfaatkan keempat faktor ini untuk
menciptakan kesempatan produksi, stabilitas ekonomi dan kemakmuran.
B. Faktor-faktor Produksi
Makna produksi adalah penghasilan.9 Produksi juga diartikan sebagai
7 Yusuf Qaradawi, (terj.) Norma dan Etika Ekonomi Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997),
hal. 117-118.
8 Monzer Khaf, Ekonomi Islam: Telaah Analitik Terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hal. 7.
9 Jhon Echol dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1996), hal.
449.
10 Richard G. Lipsey, dkk., Pengantar Makro Ekonomi, (Jakarta: Prinarupa, Aksara, 1995), hal.
336.
11 Nazih Hamad, Mu'jam al-Mustalahat al-Fiqh Iqtisadiyah fi Lughah al- Fuqaha' (Kairo: al-
Ma'had al- 'Alami Li al-Fikr al-Islami, 1993), hal. 74.
12 Jaribah ibn Ahmad al-Haritsi, Al-Fiqh Al-Iqtishadi Li Amiril Mukminin Umar Ibn Khattab,
(Jeddah: Al-Andalus al-Khadra, 2003), hal. 37.
13 Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya.
Hud/11:61.
Konsep ekonomi Islam dalam masalah tanah yang menyangkut ada tidaknya
produksi, feodalisme harus dihapuskan sebab peran feodalisme dalam
penyelesaian tanah akan mendatangkan bahaya dan menghambat produksi
serta mendatangkan ketidak adilan.15 Menyangkut tanah sebagai sumber dan
faktor produksi Fiqh Islam mengatur tata cara pengelolaan tanah sebagai
berikut:
a. Islam memaksa pemilik tanah menanami tanahnya dengan alat-
alatnya, benihnya, binatangnya dan para pekerjanya.
b. Tanah diambil dari pemilik bila ia mengabaikannya selama tiga tahun.
c. Pemilik tanah dilarang menyewakan tanahnya untuk pertanian secara
mutlak, termasuk bagi hasil pertanian (muzara'ah).16
Dari tata cara di atas manfaat tanah sangat tinggi dalam perencanaan strategi
pertanian bagi umat Islam17 adalah:
1. Meningkatkan produksi bahan makanan, mengingat bahan makanan
sangat diperlukan untuk mencukupi kebutuhan pangan penduduk
yang semakin bertambah.
2. Meningkatkan produksi bahan-bahan yang dibutuhkan untuk
pakaian seperti kapas, wol, pohon rami dan sutra. Produksi ini
dibutuhkan untuk pakaian penduduk dalam negeri.
3. Meningkatkan produksi komoditi yang memiliki pasaran luar negeri
berupa bahan-bahan makanan, dalam bentuk biji-bijian, ataupun
14 Amidar Amir, Pengantar Agro Bisnis Dalam Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), hal.
57.
15 Abd Rahman Maliki, Politik Ekonomi Islam, (Bangil: al-Izzah, 2001), hal. 57.
16 Nazih Hamad, Mu'jam al-Mustalahat al-Fiqh Iqtisadiyah …, hal. 66.
17 Abd Rahman Maliki, Politik Ekonomi Islam…, hal. 92.
berupa bahan untuk pakaian seperti kapas dan sutra atau yang
lainya.
Pada dasarnya tenaga kerja ini terbagi kepada dua, yaitu: pertama, tenaga
kerja ahli yang memiliki keahlian bidang tertentu seperti, guru, insinyur,
dokter dan lain-lain. Tenaga kerja ini menerima upah yang tinggi. Kedua,
tenaga kerja kasar yang tidak memiliki keahlian tertentu, sehingga upah
yang diterimapun sedikit. Ekonomi Islam dalam persoalan produksi
menempatkan tenaga ahli pada tingkat pertama, karena pengaruh terhadap
hasil pruduksi sangat menentukan baik secara kwalitas maupun kwantitas.20
Disamping keahlian tenaga kerja ekonomi Islam juga mengedepankan
moral dan fisik sebagai sendi penopang produksi. al-Qur'an menjelaskan
18 Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar Kami
tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. (al-‘Ankabut: 69).
19 Ibn Khaldun, Muqaddimah, (Beirut: al-Maktabat al-Zahirah, 1980), hal. 454.
20 Afdalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Dana Bakti wakaf, 1995), hal. 257.
Berkatalah salah seorang anaknya: Hai ayahku, ambillah dia (Musa) sebagai
pekerja (mengembala ternak), karena sebaik-baiknya pekerja ialah yang kuat
dan jujur. (al-Qasas: 26).
Ayat di atas menjelaskan bahwa kekuatan fisik (al-Qawiy) dan kejujuran (al-
Amin) sebagai kekuatan moral merupakan sifat yang sangat diperlukan
oleh seorang pekerja yang cakap dalam proses produksi. Sifat tersebut
dimiliki oleh nabi Musa dan justru karena hal itu dapat dijadikan contoh
oleh tenaga kerja dalam konsep ekonomi Islam. Kejujuran juga satu unsur
yang paling penting yang harus dimiliki tenaga kerja untuk meningkatkan
hasil produksi.
Aspek akal pikiran yang cerdas sangat diperlukan tenaga kerja untuk
memahami nilai-nilai normatif dan etika kerja. Penekan aspek akal dan etika
dalam produksi menunjukkan bahwa ekonomi Islam dalam segi produksi
dapat membentuk sikap dan kepribadian tenaga kerja dalam melakukan
kegiatan ekonomi.21
Pada sisi lain amanah dalam kontek etika kerja sangat diperlukan sebagai
tanggung jawab dalam arti meberi yang terbaik kepada majikan atau
perusahaan serta masyarakat. Hal ini dapat dinilai pada keyakinannya bahwa
berusaha dan bekarja adalah satu kewajiban, dilaksanakannya pekerjaan
dengan baik adalah ibadah dan mendapat pahala. Sedangkan niat ikhlas
bekerja untuk mencari keuntungan di dunia dan akhirat. Karena itu amanah
yang harus dimiliki tenaga kerha adalah amanah terhadap Allah dan amanah
sesama manusia, yang tercakup dalam kegiatan ekonomi.
3. Modal
Modal adalah kekayaan yang digunakan untuk memperoleh alat-alat
Modal sebagai gaji buruh (upah pekerja), maka dasar penetapan upah
pekerja adalah standar minimum.24Artinya gaji upah pekerja dapat menutupi
kebutuhan minimum. Atau dengan kata lain ditentukan berdasarkan beban
hidupnya tanpa memperhatikan jasa (manfaat) tenaga yang diberikan.
Karena itu tata cara pemabayaran gaji tenaga kerja adalah:
1. Menghitung pengeluaran seorang buruh bersama istri, anaknya,
menghitung kebutuhan minimum mereka dan yang paling penting
adalah menilai keahlian dan senioritasnya.
2. Mencoba mendasarkan ganti rugi dengan mempertimbangkan
buruh dalam hubungan dengan fungsinya pada proses produksi, jadi
tergantung pada bagaimana jasanya memberi sumbangan terhadap
produksi itu sendiri sehingga modal yang dikeluarkan tidak rugi.
Islam menyediakan jalan keluar agar modal tidak dicermari oleh noda
penimbunan dan bungan, maka hendaknya menarik sebagian untuk zakat,
infak, sedekah, didistribusikan kepada orang-orang yang membutuhkan
dalam masyarakat. Kenyataan sejarah telah menunjukkan kaum muslimin
pada masa Khulafaur Rasyidin terutama Usman Ibn Affan, dana zakat,
infak, sedekah dan kebajikan lainnya, telah berfungsi dengan baik menekan
angka kemiskinan dan membantu pedagang mndapat pinjaman produktif
tanpa bunga.
4. Manajemen
Produksi yang baik biasanya dilakukan dengan sistem menajemen yang
baik pula. Dalam pengololaan produksi baik hasil maupun prosesnya prinsip
menajemen dapat dilaksanakan: pertama, pembagian kerja yang tujuannya
memperoleh hasil yang baik. Kedua, wewenang atau kebulatan perintah
yaitu hak memberi perintah untuk dipatuhi. Dan setiap orang pelaksana
untuk tugas tertentu hanya menerima penugasan dari satu kepala. Ketiga,
kebulatan pimpinan untuk merancang program kerja pengelolaan. Keempat,
25 Sistem mudarabah dalam fiqh Islam merupakan kesepakatan antara pemilik modal dengan
modal pengusaha untuk membangun usaha dagang dengan modal dari pihak pertama dan
usaha pngelola dari pihak kedua. Bila usaha itu mendapat keuntungan, maka keuntungan itu
dibagi sesuai prosentase yang disepakati. Seandainya usaha itu tidak mendapat untung dan tidak
pula rugi, maka pemilik modal menerima modalnya secara penuh, sedangkan pengusaha tidak
mendapt apa-apa selain ongkos dan biaya operasional selama pengelolaan. Bila usaha itu rugi,
maka pemilik modal tidak boleh memaksa pekerja untuk memikulnya, meskipun ia mendapat
prosentase untung kalau perusahaan itu mendapat keuntungan.
5. Teknologi
Teknologi bukan hanya mesin atau alat-alat canggih yang digunakan, melain
cara menerapkan sains untuk memanfaatkan alam bagi kesejahtraan dan
kenyamanan manusia. Dalam ekonomi Islam pada tataran teoritis normatif
penempatan teknologi sebagai faktor pokok produksi dapat menciptakan
kemaslahatan manusia. Pada tataran praktis, penggunaan teknologi sebagai
faktor pokok produksi dapat mengatasi masalah kelangkaan relatif sumber
daya ekonomi.28
C. Prinsip produksi
Pada dasarnya prinsip produksi adalah mencapainya kesejahtraan ekonomi
dalam bentuk barang dan jasa yang baik serta halal. Prinsip ini bukan
hanya pada sisi material saja, tapi lebih dari itu moral sebagai sarana untuk
mencapai tujuan di akhirat.
26 Van Der Schroeff dan Willem H. Makaliwe, Menajemen dan Organisasi Perusahaan, (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1983), hal. 29.
27 Suroso Imam Zadjuli, Prinsip-prinsip Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992),
hal. 47.
28 Uzaer Mustafa, Teknologi Ekonomi Persepektif Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004),
hal. 67.
29 Rustam Efendi, Dasar-dasar Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Magistra Insania Press, 2003),
D. Penutup
Konsep produksi dalam persepektif Islam merupakan rumusan-rumusan
atau kaedah-kaedah yang mempunyai nilai-nilai normatif sebagai landasan
teoritis produksi agar tidak bertentangan dengan prinsip keadilan ekonomi
dalam mencapai tujuan utama yaitu untuk memenuhi kebutuhan hidup
layak bagi manusia.
hal. 71.
30 Ibid., hal. 89.
Daftar Pustaka
Al-Mawardi, ‘Ali ibn Muhammad. Al-Ahkam al-Sultaniyah. Kairo: al-Malabi,
1973.
Rahman, Afdalur. Doktrin Ekonomi Islam. Yogyakarta: Dana Bakti wakaf, 1995.
al-Najjar, ‘Abd Hadi Ali. Ekonomi Islam. Terj. Muslim Ibrahim, Banda Aceh,
MPU Nad, 2000.
al-Kaf, ‘Abd Allah Zaky. Ekonomi dalam persepektif Islam. Bandung: Pustaka
Setia, 2002.
Amir, Amidar. Pengantar Agro Bisnis Dalam Islam. Jakarta: Gema Insani Press,
2002.
Echol, Jhon dan Hasan Shadily. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia,
1996.
Khaf, Monzer. Ekonomi Islam: Telaah Analitik Terhadap Fungsi Sistem Ekonomi
Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.
Lipsey, Richard G., dkk. Pengantar Makro Ekonomi. Jakarta: Prinarupa, Aksara,
1995.
Effendi, Rustam. Dasar-dasar Ekonomi Islam. Pekan Baru: UIR Press, 2001.
Yusuf Qaradawi. (ter.) Norma dan Etika Ekonomi Islam. Jakarta: Gema Insani
Press, 1997.
Baihaqi A. Samad
Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh
Abstract
To build the stabilized economic system, it not only needs the formal institution,
but also the science-base that be more theoritcal to be implemented. To study
on the economic system based on the macro of Islamic system that can be
eased through the fact and concrete data. The system can be reached through
empowering the sysmatic managemen and fulfilled with the economic-sosial
permanent institution.. System of Islam economic is an integral aspecs to
develop the prosperity life so the society will be prosperous. The principle
of Islamic economy should be refered to Al-Qur’an and Hadits in order
to regulate someone, unless he will exploit the natural resources based on
his will. Al-Qur’an give the limit between the right and wrong. So, Islamic
economy guided humanbeing to be honorer in the world and hereafter
A. Pendahuluan
Dewasa ini, dunia Islam tengah melewati salah satu masa sejarahnya yang
paling kritis tetapi kreatif. Di tengah krisis --sistem kontemporer yang bebas
nilai-- yakni tersebarnya faham kapitalis dan sosialis, Islam masih mampu
tampil dengan kokoh untuk menetranisir nilai-nilai. Oleh karena itu, sistem
ekonomi Islam perlu dibangun secara lebih sistematis untuk menciptakan
sebuah kehidupan yang selamat, sejahtera, benar-benar diinginkan dalam
realitas masyarakat, yakni masyarakat yang "homo-Islamicus" sebagaimana
paham kapitalis dan sosialis.1
Sistem ekonomi Islam adalah satu kesatuan dari beberapa aspek pola
pengembangan kehidupan sejahtera oleh individu-individu sehingga
membentuk masyarakat adil makmur.
Dari teori tersebut dapat dipahami bahwa ilmu ekonomi adalah suatu ilmu
yang termasuk ke dalam kelompok ilmu sosial. Dengan kata lain ilmu tersebut
merupakan salah satu ilmu yang mempelajari perilaku sosial kemasyarakatan
dalam batasan-batasan tertentu. Karena itu, ilmu ekonomi adalah ilmu yang
mempertemukan banyak orang yang dikendalikan oleh berbagai motif.
Aspek kebudayaan dan moralitas bangsa merupakan kecenderungan positif
yang mampu melahirkan bentuk-bentuk dan sistem perekonomian dunia
yang handal. Akibat dari proses kebudayaan dan peradaban manusia yang
beragam kemungkinan besar akan timbul perlakuan ekonomi yang kasar
dan bertentangan dengan fitrah manusia sendiri. Fenomena di atas telah
terjadi di negara-negara sosisalis dan kapitalis di berbagai belahan dunia
Eropah.
Dari berbagai penjelasan tadi, jika ditinjau dari perspektif Islam sungguh
terdapat perbedaan dalam aplikasinya. Ilmu ekonomi Islam bukan ilmu
yang berdiri sendiri, melainkan bagian integral dari sistem kehidupan
yang sempurna yang meliputi aspek nilai normatif dan aspek nilai positif.
Dengan demikian definisi yang tepat dari ilmu ekonomi Islam adalah ilmu
pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat
yang diilhami nilai-nilai Islam. Definisi tersebut tidak berarti bahwa kaum
Muslimin dicegah untuk mempelajari masalah-masalah ekonomi sekuler dan
kapitalis yang berkembang pesat dalam sistem pasar dunia modern hari ini.
Sebaliknya mereka diilhami oleh nilai-nilai Islam yang diperintahkan syari'at
untuk mempelajari masalah minoritas non-Muslim dalam sebuah negara
Islam khususnya, dan mengenai manusia pada umumnya .5
4 Mannan, Teori dan Parkatek Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1993),
hal. 11.
5 Mannan, Teori dan Parkatek ..., hal. 11.
Dari kedua definisi di atas terlihat adanya perbedaan nilai. Sebagian ahli
ekonomi mendukung pandangan yang menyebutkan bahwa ilmu ekonomi
adalah ilmu mengenai perilaku manusia yang berhubungan dengan kegiatan
mendapatkan uang dan membelanjakan uang semakin bertambah. Tetapi
penulis klasik dan pengikut mereka masa kini cenderung menyelidiki yang
tersirat di belakang selubung keuangan itu dan menggambarkan masalah
ekonomi dari segi yang bukan moneter. Permasalahan yang mendasar tentang
perekonomian umat hari ini, bersumber dari kenyataan yang menjelaskan
bahwa kita mempunyai kebutuhan dan kebutuhan tersebut pada umumnya
tidak dapat dipenuhi tanpa mengeluarkan sumber daya energi manusia. Bila
kita memiliki sarana yang cukup untuk memenuhi semua jenis kebutuhan,
maka kesenjangan perilaku ekonomi tidak akan timbul.
Perbedaan juga terlihat pada sifat dan volumenya. Pertikaian abadi antara
beraneka ragam keinginan dan kurangnya sarana telah memaksa umat
manusia untuk mengadakan pilihan di antara kebutuhan-kebutuhannya.
Problema ini muncul guna menetapkan daftar prioritas dan kemudian
mendistribusikan sumber daya manusia sedemikian rupa untuk
mendorongnya mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut secara
maksimum. Dalam ilmu ekonomi modern alternatif ini muncul, disebabkan
karena ketergantungan pada bermacam-macam tingkah individu. Sedangkan
dalam ilmu ekonomi Islam, setiap individu tidak mempunyai wewenang
penuh untuk mendistribusikan sumber-sumber daya semaunya. Dalam
hal ini ada suatu pembatasan moral yang serius berdasarkan ketetapan Al-
Qur'an dan Al-Sunnah atas tenaga individu.
Dari kedua definisi tadi juga telah menimbulkan kontroversi apakah ilmu
ekonomi Islam mementingkan tujuan atau harus bersikap netral di antara
berbagai tujuan yang diinginkan. Sementara itu ilmu ekonomi modern
bersikap acuh tak acuh dengan tujuan tertentu, maka ia hanya membahas
masalah-masalah ekonomi seperti apa adanya, tidak menurut yang
seharusnya. Dengan kata lain ilmu ekonomi modern tidak mempersoalkan
pertimbangan-pertimbangan nilai. Sebaliknya ilmu ekonomi Islam tidak
dapat berdiri netral di antara tujuan yang berbeda, misalnya saja kegiatan
membuat dan menjual alkohol dalam perspektif ekonomi moden masih
dikatagori sebagai aktivitas ekonomi yang baik. Namun hal ini tidak boleh
terjadi dalam hukum Islam. Karena, dalam banyak hal usaha ini tidak akan
memajukan kesejahteraan manusia sebagai suatu kesejahteraan yang tidak
dapat diukur dengan uang.
Menurut AM. Saifuddin ada tiga asas filsafat ekonomi Islam yaitu:
1. Dunia dan seluruh isinya adalah milik Allah dan menurut kepada
kehendak-Nya. Hal ini seperti yang ditegaskan-Nya sendiri dalam Al-
Quran Surat Thaha ayat 6, “Kepunyaan-Nya apa yang ada di langit,
segala yang di bumi, semua yang di antara keduanya dan apa yang di
bawah tanah” (Qs.. Thaha : 6).
Dengan demikian, segala sesuatu milik Allah Swt. atau Allah Swt. sebagai
pemilik absolut." Manusia sebagai khalifah-Nya hanya mempunyai hak
untuk mengurus dan memanfaatkan alam semesta itu untuk kelangsungan
hidup dan kehidupan manusia di lingkungannya. Ini berarti bahwa hak
pengurusan dan pemanfaatan sumber-sumber alam dan harta kekayaan yang
ada padanya terhadap manusia sangat terbatas, sesuai dengan kehendak dan
Implikasi dari status pemilikan menurut Islam ialah bahwa hak manusia
atas barang atau jasa itu terbatas. Hal ini sangat berbeda dengan pemilikan
mutlak oleh individu pada sistem kapitalisme dan oleh kaum proletar pada
sistem marxisme.7
2. Allah itu Esa, Pencipta segala makhluk, dan semua yang diciptakan tunduk
kepadaNya. Manusia adalah salah satu makhluk Allah. Kepadanya diberi
alat perlengkapan lebih sempurna dari makhluk-makhluk-Nya yang lain
agar ia mampu melaksanakan tugas, hak dan kewajiban sebagai khalifah
Allah di muka bumi. Alam ini, semua flora dan fauna diciptakan oleh
Allah sebagai sumber ekonomi dan keindahan bagi umat manusia.
Allah telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sama, tapi berbeda
pada rupanya. Ia menjadikannya dengan tidak ada perbedaan kelas atau
strata di hadapan Allah. Perbedaannya hanya terletak pada tingkat keimanan
dan ketaqwaan seseorang kepada Allah Swt.8
Implikasi dari doktrin ini telah menjalin persamaan dan persaudaraan antara
umat manusia dalam kegiatan perekonomian. Dari kegiatan perekonomian
telah terciptanya pergaulan yang luar biasa di antara manusia, berupa saling
membantu dan bekerja sama dalam bentuk syirkah dan qiradh (profit and loss-
sharing).9 Dalam mewujudkan hubungan kerja sama dunia usaha, prinsip
persaudaraan merupakan dasar pengembangan perekonomian Islam.
6 A.M. Saifuddin, Ekonomi dan Masyarakat dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Rajawali
Press, 1987), hal. 61; Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Waqaf, (Jakarta: UI Press,
1988), hal. 5-6.
7 A.M. Saifuddin, Ekonomi dan Masyarakat ..., hal. 62.
8 Surat (49): 13.
9 Surat (2): 254; Surat (5): 2.
Ketiga asas filsafat sistem ekonomi Islam yang dibangun –seperti yang
tersebut di atas- pada dasarnya (intinya) berpangkal pada “tawhîd”. Inilah
perbedaan yang sangat menonjol antara sistem ekonomi Islam dengan sistem
ekonomi yang berlaku di luar Islam.
1. Sumpah Palsu
Islam mengutuk semua transaksi bisnis yang menggunakan sumpah
palsu yang diucapkan para pengusaha.
3. I’tikad baik
Islam tidak hanya menekankan agar memberikan timbangan dengan
ukuran penuh, tetapi juga menganjurkan untuk beri’tikad baik. Dari
hasil pengamatan diketahui bahwa hubungan buruh dalam bisnis
terutama timbul karena kedua pihak tidak dapat menentukan secara
tertulis syarat bisnis mereka dengan jelas dan jujur. Untuk membina
hubungan baik, semua perjanjian harus dinyatakan secara tertulis
dengan menguraikan syarat-syaratnya, karena yang demikian itu
lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persahabatan, dan lebih
dapat mencegah timbulnya keragu-raguan.
Dari keterangan di atas, jelas bahwa perdagangan dan perniagaan
dalam negara Islam secara mendasar berbeda dari pengertian modern
tentang perdagangan dan perniagaan. Perdagangan dan perniagaan
dalam Islam dikembangkan dengan nilai-nilai moral, sedangkan
perdagangan dan perniagaan modern tidak demikian. Karena
itu semua transaksi bisnis yang bertentangan dengan kebajikan
tidaklah bersifat Islami. Negara Islam punya hak sepenuhnya untuk
mengekang setiap transaksi atau praktek apa saja yang berusaha
menarik keuntungan dari kebutuhan atau penderitaan rakyat miskin.
4. Sistem Monopoli
Dalam sistem perekonomian Islam, sasaran keuntungan adalah
untuk mencapai kemakmuran sosial yang sebanyak-banyaknya.
Kemakmuran sosial ini meliputi nilai material dan nila-nilai moral.
Jika dinilai dari norma kebajikan dan pemeliharaan bagi kemakmuran
untuk golongan miskin, maka tidak mungkin bagi ekonomi Islam
untuk menganjurkan usaha monopoli dan spekulasi. Karena dalam
sistem monopoli terjadi penetapan harga yang lebih tinggi dan
5. Usaha Spekulatif
Seperti halnya monopoli, Islam juga melarang usaha spekulatif yaitu
membeli sesuatu dengan harga yang murah pada suatu waktu dan
menjual barang yang sama dengan harga yang mahal pada waktu
lain. Bila harga pada masa depan diharapkan lebih baik daripada
harga sekarang, maka para pembeli spekulatif membelinya dengan
maksud untuk menjualnya dengan harga yang lebih tinggi kelak.
Demikian pula, bila harga di kemudian hari akan lebih rendah dari
harga sekarang, para spekulan akan menjualnya sekarang untuk
menghindarkan penjualan pada harga yang lebih rendah nantinya.
6. Pengharaman Riba
Para ulama telah sepakat atas pengharaman riba. Pengertian dasar
"riba" adalah pertambahan atau pertumbuhan. Sehubungan dengan
perkembangan perekonomian dan perbankan hari ini permasalahan
riba dilihat dari macamnya ada dua yaitu:
1. Riba Nasi`ah, yaitu tambahan yang terjadi dalam hutang piutang
berjangka waktu sebagai imbalan jangka waktu tersebut. Riba ini
disebut riba jahiliyah karena biasa dilakukan di zaman jahiliyah
yakni masa sebelum agama Islam datang dan berkembang. Riba
nasiah dilarang karena ('illatnya) mengandung unsur-unsur
eksploitasi manusia atas manusia, pemerasan orang kaya terhadap
orang miskin.11
2. Riba Fadl, yakni tambahan yang diperoleh seseorang sebagai hasil
pertukaran dua barang yang sejenis, misalnya pertukaran antara 1
gram emas dengan 2 gram emas pula, dan berbagai macam benda
yang sejenis lainnya dalam ukuran yang lebih dengan pinjaman
pokok (asal).12
Dari kedua macam bentuk riba tersebut di atas, barang kali ada yang
perlu diambil sebagai suatu pertimbangan dalam pelaksanaan sistem
perekomomian kita hari ini. Seperti yang menjadi masalah besar dalam
sistem ekonomi keuangan sekarang ini, riba yang berarti tambahan sesuatu
itu, samakah dengan bunga atau tidak? Lalu bagaimana kedudukan dan
manfaat bank dalam masalah tersebut?
E. Penutup
Untuk membangun sebuah sistem ekonomi mantap, tidak hanya
memerlukan perangkat kelembagaan yang formal, tetapi juga membutuhkan
perangkat ilmu yang lebih bernuansa teoritis untuk diterapkan. Kajian sistem
ekonomi secara makro dari sebuah sistem ekonomi Islam dapat dipermudah
melalui fakta dan data kongkret. Sistem ini dapat ditempuh dengan cara
pemberdayaan umat lewat pengaturan manajemen yang sistematis, yang
dilengkapi dengan lembaga-lembaga ekonomi-sosial yang permanen.
14 Abu Zahrah, Buhuth fi Al-Riba, (Mesir: Dar Al-Kamilah, 1970), hal. 36.
15 Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam ..., hal. 13.
Sistem ekonomi Islam adalah satu kesatuan dari beberapa aspek pola
pengembangan kehidupan sejahtera oleh individu-individu sehingga
membentuk masyarakat adil makmur. Prinsip ekonomi Islam sebagaimana
yang ditegaskan oleh Al-Qur'an adalah: alat produksi dan sumber daya
alamiah yang mendukung kehidupan manusia. Allah telah menciptakan dan
mengatur benda-benda yang ada di alam ini sesuai dengan hukum alam.
Dialah yang menundukkan semua itu, agar bisa dimanfaatkan oleh manusia
sesuai dengan kebutuhannya. Dialah yang menyuruh manusia untuk
mengolah benda-benda itu untuk dimanfaatkan oleh manusia.
Daftar Pustaka
Ali, Daud. Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Waqaf. Jakarta: UI Press, 1988.
Mannan. Teori dan Parkatek Ekonomi Islam. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf,
1993.
Petunjuk Umum
1. Artikel harus merupakan produk ilmiah orisinil, belum pernah
dipublikasikan di media manapun.
2. Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia baku, bahasa Inggris dan bahasa
Arab.
3. Isi tulisan berkaitan dalam bentuk konseptual, hasil penelitian dan
terjemahan dari bahasa asing.
4. Panjang tulisan antara 15 sampai 20 halaman kwarto dengan spasi ganda.
5. Artikel diserahkan dalam bentuk print out dan soft copy
Petunjuk Teknis
1. Kerangka tulisan meliputi judul, nama penulis, abstrak, kata kunci,
pendahuluan, data, pembahasan serta kesimpulan.
2. Abstrak boleh dibuat dalam bahasa Inggris/Arab dengan memuat inti
permasalahan dan panjang tulisan antara 250-300 kata.
3. Kata kunci bisa berbentuk kata maupun frasa maksimum 3 kosa kata.
4. Pendahuluan mencakup permasalahan, tujuan dan metodologi yang
dipergunakan.
5. Data disesuaikan dengan bentuk tulisan (library research) atau (field
research).
6. Pembahasan harus dilakukan secara sistematis dengan merujuk pada
pendapat para ahli atau kajian yang pernah dilakukan mengenai topik
yang dibahas.
7. Kesimpulan dapat berisi ungkapan singkat yang telah dibahas atau dapat
berupa ungkapan implikatif yang tertarik dan topik yang diangkat untuk
diterapkan pada kondisi dan tempat tertentu.
8. Curriculum Vitae disebutkan alumni dan bidang keahlian.
9. Daftar Rujukan dalam bentuk FOOT NOTE dan hanya buku yang
karyanya dikaji saja yang dimasukkan dalam daftar isi.
10. Transliterasi Arab Latin dipergunakan transliterasi sebagaimana yang
terdapat dalam konkordasi Alquran yang disusun oleh Ali Audah.
Catatan
1. Dewan Redaksi dapat mengubah dan mengoreksi bahasa dan istilah
tanpa merubah isinya atau tanpa diberitahukan kepada penulis. Untuk
kondisi tertentu naskah yang masuk akan dikembalikan untuk diadakan
perbaikan seperlunya.
2. Jadwal Penerbitan "at-Tasyri’" empat kali dalam setahun.
AT-TASYRI’ adalah jurnal Prodi Mu’amalah memuat solusi problematika
ekonomi kontemporer dalam perspektif hukum Islam. Jurnal ini diterbitkan
oleh Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Teungku Dirundeng Meulaboh
bekerjasama dengan Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LKAS) Banda Aceh.