Professional Documents
Culture Documents
Alhamdulillah, puji dan syukur kami haturkan kehadirat allah SWT yang senantiasa
memberikan rahmat, taufiq, dan hidayahnya sehigga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Shalawat dan salam kami sampaikan kepada nabi Muhammad SAW , sahabat , keluarga dan
kepada mereka yang mengikutinya ajarannya sampai hari pembalasan.
Makalah ini kami susun untuk memenuhi tugas mata kuliah” kapita selekta
pendidikan” kami menyadari bahwa makalah ini sangatlah jauh dari sempurna. Hal tersebut
dikarenakan keterbatasan kemampuan dan pengetahuan kami. Untuk itu kami mohon
sarannya yang bersifat membangun demi perbaikan makalah ini.
Semoga makalah ini bemanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.
Amien….
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN
BAB II : PEMBAHASAN
2.1. Pengertian
3.1. Kesimpulan
3.2. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.3. Tujuan
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian
c) Ahmad D.Marimba bahwa pendidikan islam adalah bombing dan jasmani dan rohani
menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran islam.
Semua pengertian diatas lebih global sifatnya, secara lebih teknis Endang Saifuddin
Anshari memberikan pe ngertian pendidikan islam ssebagai “ Proses Bimbingan
(pimpinan,tuntutan,usulan ), dengan metode tertentu dan dengan alat perlengkapan yang ada
kea rah terciptanya pribadi tertentu disertai evaluasi sesuai dengan ajaran islam. merupakan
proses budaya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia, dan berlangsung sepanjang
hayat, yang dilaksanakan di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Karena itu,
pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah.
Sekolah umum atau biasa disebut dengan sekolah formal adalah: sekolah yang di dalamnya
diajarkan beberapa ilmu pengetahuan dan cenderung pengetahuan yang bersifat umum
( ipa,matematika, bahasa Indonesia) dan sedikit mempelajari ilmu agama.
Madrasah adalah suatu sekolah yang berciri khas agama islam. Makna yang
terkandung di dalamnya bahwa madrasah mulai dari tingkat dasar dan menengah
memberlakukan kurikulum sekolah yang ditambah dengan kurikulum ilmu- ilmu agama
sebagai ciri khasnya.
Sistem pendidikan nasional adalah salah satu keseluruhan yang terpadu dari semua
satuan dan kegiatan pendidikan yang berkaitan satu dengan yang lainnya untuk
mengusahakan tercapainya tujuan pendidikan nasional.
Kenyataan sejarah menunjukkan bahwa pada awal perkembangan sains modern (sekitar
abad 16/ 17 M) pernah terjadi perpecahan antra kaum agamawi dan ilmuan, yang ditandai
dengan sikap kekerasan kaum agamawi eropa (penganut geosentis) kepada penganut
heliosentris, seperti Bruno, Kepler, Galileo dan lain-lain.
1) Tempat pendidikan yang diatur sebagai sekolah dan membuat pendidikan dan ilmu
pengetahuan agama Islam menjadi pokok pengajarannya.
2) Pondok dan pesantren yang memberikan pendidikan setingkat dengan madrasah.
Konsentrasi madrasah pada fase ini adalah pengembangan ilmu- ilmu agama,karena itu
ruang gerak madrasah lebih terbatas baik dari segi melanjutkan pelajaran maupun lapangan
kerja. Fase kedua adalah madrasah surat keputusan bersama (SKB) Tiga Menteri Tahun 1975.
Pada fase ini telah terjadi perubahan orientasi madrasah dari lembaga yang konsentrasi
keilmuannya dalam bidang agama, berubah menjadi konsentrasinya pada pengetahuan umum.
Fase ketiga adalah fase madrasah setelah undang- undang No.2 tahun 1989. Madrasah pada
periode ini disebut sebagai sekolah yang berciri khas Islam. Pengertiannya bahwa seluruh
programnya sama dengan sekolah yang ditambah dengan mata pelajaran agama Islam sebagai
cirri keislamannya. Pada tingkat menengah disebut Madrasah Aliyah sama dengan sekolah
Minat ummat Islam terhadap madrasah sebenarnya cukup tinggi. Di beberapa daerah,
jumlah siswa madrasah Ibtidaiyah dan Tsanawiyah bahkan lebih banyak daripada jumlah
siswa Sekolah Dasar atau SLTP. Di mata mereka, madrasah memiliki beberapa kelebihan
jika dibandingkan dengan sekolah umum. Madrasah, terutama yang ada di dalam pondok
pesantren, memberikan bekal mental keagamaan (keimanan dan ketaqwaan) yang kuat kepada
siswanya. Dengan bekal mental yang kuat ini, diharapkan, apabila mereka menjadi pemimpin
di kemudian hari, mereka akan menjadi pemimpin yang jujur, amanah, dan adil.
Sayang, kualitas lembaga yang mengemban misi penting ini, menurut banyak pengamat,
amat memprihatinkan. Kualitas pendidikan di madrasah yang ada di luar pondok, terutama
yang yayasannya kurang kuat, sering berada di bawah standar, baik dilihat dari segi
pendidikan agama maupun dari segi pendidikan umum. Di bidang pendidikan agama
madrasah ini kalah dari madrasah yang ada di dalam pondok dan, di bidang pendidikan umum
ia kalah dari sekolah umum yang ada di sekitarnya. Madrasah yang ada di dalam pondok
masih agak lumayan, walaupun kualitas pendidikan umumnya mungkin kalah jika
dibandingkan dengan standar sekolah umum tetapi di bidang pendidikan agama kebanyakan
dari mereka memiliki kualitas di atas standar. Tentu saja, kekecualian-kekecualian juga ada.
Madrasah yang kualitas pendidikan umumnya lebih tinggi dari sekolah umum, seperti MIN
Malang I, juga ada, walau sedikit sekali.
Persoalan ini menjadi makin serius apabila dikaitkan dengan isu besar akhir-akhir ini,
yakni globalisasi. Kalau banyak orang mengatakan bahwa bangsa Indonesia belum siap untuk
memasuki era globalisasi, maka lulusan madrasah dikhawatirkan lebih tidak siap lagi
menghadapi era globalisasi ini.
Ada beberapa kemungkinan hubungan antara pendidikan Islam dan iptek: (a)
berseberangan atau bertentangan, (b) bertentangan tapi dapat hidup berdampingan secara
damai, (c) tidak bertentangan satu sama lain, (d) saling mendukung satu sama lain, agama
mendasari pengembangan iptek atau iptek mendasari penghayatan agama.
Pola hubungan pertama adalah pola hubungan yang negatif, saling tolak. Apa yang
dianggap benar oleh agama dianggap tidak benar oleh ilmu pengetahuan dan teknologi.
Demikian pula sebaliknya. Dalam pola hubungan seperti ini, pengembangan iptek akan
menjauhkan orang dari keyakinan akan kebenaran agama dan pendalaman agama dapat
menjauhkan orang dari keyakinan akan kebenaran ilmu pengetahuan. Orang yang ingin
menekuni ajaran agama akan cenderung untuk menjauhi ilmu pengetahuan dan teknologi
yang dikembangkan oleh manusia. Pola hubungan pertama ini pernah terjadi di zaman
Galileio-Galilei. Ketika Galileo berpendapat bahwa bumi mengitari matahari sedangkan
gereja berpendapat bahwa matahari lah yang mengitari bumi, maka Galileo dipersalahkan dan
dikalahkan. Ia dihukum karena dianggap menyesatkan masyarakat.
Pola hubungan ke dua adalah perkembangan dari pola hubungan pertama. Ketika
kebenaran iptek yang bertentangan dengan kebenaran agama makin tidak dapat disangkal
sementara keyakinan akan kebenaran agama masih kuat di hati, jalan satu-satunya adalah
menerima kebenaran keduanya dengan anggapan bahwa masing-masing mempunyai wilayah
kebenaran yang berbeda. Kebenaran agama dipisahkan sama sekali dari kebenaran ilmu
pengetahuan. Konflik antara agama dan ilmu, apabila terjadi, akan diselesaikan dengan
menganggapnya berada pada wilayah yang berbeda. Dalam pola hubungan seperti ini,
pengembangan iptek tidak dikaitkan dengan penghayatan dan pengamalan agama seseorang
karena keduanya berada pada wilayah yang berbeda. Baik secara individu maupun komunal,
pengembangan yang satu tidak mempengaruhi pengembangan yang lain. Pola hubungan
seperti ini dapat terjadi dalam masyarakat sekuler yang sudah terbiasa untuk memisahkan
urusan agama dari urusan negara/masyarakat.
Pola ke tiga adalah pola hubungan netral. Dalam pola hubungan ini, kebenaran ajaran
agama tidak bertentangan dengan kebenaran ilmu pengetahuan tetapi juga tidak saling
mempengaruhi. Kendati ajaran agama tidak bertentangan dengan iptek, ajaran agama tidak
dikaitkan dengan iptek sama sekali. Dalam masyarakat di mana pola hubungan seperti ini
terjadi, penghayatan agama tidak mendorong orang untuk mengembangkan iptek dan
pengembangan iptek tidak mendorong orang untuk mendalami dan menghayati ajaran agama.
Keadaan seperti ini dapat terjadi dalam masyarakat sekuler. Karena masyarakatnya sudah
terbiasa dengan pemisahan agama dan negara/masyarakat, maka. ketika agama bersinggungan
dengan ilmu, persinggungan itu tidak banyak mempunyai dampak karena tampak terasa aneh
kalau dikaitkan. Mungkin secara individu dampak itu ada, tetapi secara komunal pola
hubungan ini cenderung untuk tidak menimbulkan dampak apa-apa.
Pola hubungan yang ke empat adalah pola hubungan yang positif. Terjadinya pola
hubungan seperti ini mensyaratkan tidak adanya pertentangan antara ajaran agama dan ilmu
pengetahuan serta kehidupan masyarakat yang tidak sekuler. Secara teori, pola hubungan ini
dapat terjadi dalam tiga wujud: ajaran agama mendukung pengembangan iptek tapi
pengembangan iptek tidak mendukung ajaran agama, pengembangan iptek mendukung ajaran
agama tapi ajaran agama tidak mendukung pengembangan iptek, dan ajaran agama
mendukung pengembangan iptek dan demikian pula sebaliknya.
Dalam wujud pertama, pendalaman dan penghayatan ajaran agama akan mendukung
pengembangan iptek walau pengembangan iptek tidak akan mendorong orang untuk
mendalami ajaran agama. Sebaliknya, dalam wujud ke dua, pengembangan iptek akan
mendorong orang untuk mendalami dan menghayati ajaran agama walaupun tidak sebaliknya
terjadi. Pada wujud ke tiga, pengembangan iptek akan mendorong orang untuk lebih
mendalami dan menghayati ajaran agama dan pendalaman serta penghayatan ajaran agama
akan mendorong orang untuk mengembangkan iptek.
Pertanyaan selanjutnya adalah "pola hubungan yang manakah yang dikehendaki oleh
bangsa Indonesia terjadi di negara kita ini?" Untuk menjawab pertanyaan di atas, maka kita
perlu melihat kembali GBHN sebagai cermin keinginan bangsa Indonesia tentang apa yang
mereka harapkan terjadi di Indonesia dalam masa 5 atau 25 tahun mendatang.
Kalau kita simak pernyataan eksplisit GBHN 1993-1998 tentang kaitan iptek dan
pendidikan Islam, akan kita lihat bahwa pola hubungan yang diharapkan adalah pola
hubungan ke tiga, pola hubungan netral. Ajaran agama dan iptek tidak bertentangan satu
sama lain tetapi tidak saling mempengaruhi. Pada Bab II, G. 3. GBHN 1993-1998, yang telah
dikutip di muka, dinyatakan bahwa pengembangan iptek hendaknya mengindahkan nilai-nilai
agama dan budaya bangsa. Artinya, pengembangan iptek tidak boleh bertentangan dengan
nilai-nilai agama dan budaya bangsa. Tidak boleh bertentangan tidak berarti harus
mendukung. Kesan hubungan netral antara agama dan iptek ini juga muncul kalau kita
membaca GBHN dalam bidang pembangunan Agama dan Kepercayaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Tak ada satu kalimat pun dalam pernyataan itu yang secara eksplisit menjelaskan
bagaimana kaitan agama dengan iptek. Pengembangan agama tidak ada hubungannya dengan
pengembangan iptek.
Akan tetapi, kalau kita baca GBHN itu secara implisit dalam kaitan antara pembangunan
bidang agama dan bidang iptek, maka kita akan memperoleh kesan yang berbeda. Salah satu
asas pembangunan nasional adalah Asas Keimanan dan Ketaqwaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa yang berarti
"... bahwa segala usaha dan kegiatan pembangunan nasional dijiwai, digerakkan, dan
dikendalikan oleh keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai nilai
luhur yang menjadi landasan spiritual, moral,dan etik dalam rangka pembangunan nasional
sebagai pengamalan Pancasila" (Bab II, C. 1.)
Dari sini dapat disimpulkan bahwa, secara implisit, bangsa Indonesia menghendaki agar
pendidikan Islam dapat berperan sebagai jiwa, penggerak, dan pengendali ataupun sebagai
landasan spiritual, moral, dan etik bagi pembangunan nasional, termasuk pembangunan
bidang iptek tentunya. Dalam kaitannya dengan pengembangan iptek pendidikan Islam
diharapkan dapat menjiwai, menggerakkan, dan mengendalikan pengembangan iptek tersebut.
Pola hubungan antara agama dan iptek di Indonesia saat ini baru pada taraf tidak
saling mengganggu. Pengembangan iptek dan pengembangan kehidupan beragama
diusahakan agar tidak saling tabrak pagar masing-masing. Pengembangan agama diharapkan
tidak menghambat pengembangan iptek sedang pengembangan iptek diharapkan tidak
mengganggu pengembangan kehidupan beragama. Konflik yang timbul antara keduanya
diselesaikan dengan kebijaksanaan.
Sebagai contoh, beberapa waktu yang lalu ada polemik di surat kabar tentang tayangan
televisi swasta yang dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai agama (misalnya, penonjolan
aurat wanita, cerita perselingkuhan, dsb.). Fihak yang berkeberatan mengatakan bahwa hal
itu dapat merusak mental masyarakat. Tetapi, fihak yang tidak berkeberaan dengan acara
seperti itu mengatakan bahwa 'kalau anda tidak senang dengan acara itu, matikan saja
televisinya.' Perusahaan televisi swasta adalah perusahaan yang harus memikirkan
keuntungan dan ia akan berusaha menayangkan film yang digemari masyarakat. Kalau
masyarakatnya senang film sex dan sadis, maka film itu pulalah yang akan memperoleh rating
tinggi dan diminati oleh pemasang iklan. Ini adalah pemikiran yang sekuler, yang
memisahkan urusan dagang dari agama. Tugas pengusaha adalah mencari untung sebanyak-
banyaknya, sedang mendidik kehidupan beragama masyarakat adalah tugas guru agama dan
ulama. Kasarnya, tugas setan memang menggoda manusia sedang mengingatkan manusia
adalah tugas nabi.
Polemik ini diselesaikan dengan penerapan sensor intern dari perusahaan televisi swasta.
Kini adegan ciuman bibir antara lelaki perempuan, yang biasa kita lihat di bioskop, tidak akan
kita temukan di televisi. Film "Basic Instinct" yang ditayangkan di televisi beberapa waktu
yang lalu telah dipotong sedemikian rupa sehingga steril dari adegan sex yang panas.
Ada pula konflik antara ajaran agama dan ajaran ilmu pengetahuan yang diselesaikan
dengan cara menganggapnya "tidak ada atau sudah selesai" padahal ada dan belum
diselesaikan. Sebagai contoh adalah teori tentang asal usul manusia yang diajarkan di
sekolah. Guru biologi mengajarkan bahwa menurut sejarahnya, manusia itu berasa dari suatu
jenis tertentu yang kemudian pecah menjadi dua cabang: yang satu mengikuti garis pongid
yang akhirnya menjadi kera modern, yang lain mengikuti garis manusia yang berkembang
mulai dari manusia kera purba sampai ke manusia modern. Guru agama Islam mengajarkan
bahwa, berdasarkan dalil-dalil naqli, manusia itu diciptakan oleh Allah s.w.t. dalam
bentuknya seperti sekarang. (Lihat buku teks Biologi SMU untuk kelas tiga dan bandingkan
dengan buku teks Pendidikan Agama Islam di SMU).
Ini adalah pertentangan teori yang klasik, antara teori evolusi dan teori ciptaan, yang pernah
melanda Amerika Serikat beberapa tahun yang lalu. Di dunia ilmu pengetahuan, konflik itu
tetap berlangsung sampai sekarang walaupun kelompok pendukung teori ciptaan ini
jumlahnya makin sedikit jika dibandingkan dengan mereka yang mempercayai teori evolusi.
Di bidang ilmu, konflik antara teori yang satu dengan yang lain adalah wajar dan merupakan
rahmat (Konflik semacam inilah yang menimbulkan paradigma baru dalam ilmu pengetahuan
dan menghasilkan teori-teori baru. Akan tetapi, jika konflik semacam ini diajarkan di sekolah
tanpa diselesaikan, maka kebingungan lah yang akan menjadi akibatnya. Di Amerika, konflik
ini diselesaikan dengan melarang diajarkannya teori ciptaan di seluruh sekolah negeri.
Di Indonesia, konflik di sekolah ini tidak diselesaikan dan dianggap tidak ada. Pelajaran
Biologi hanya mengajarkan teori evolusi dalam bidang biologi dan pura-pura tidak tahu
bahwa ajaran agama Islam, Kristen, dan Katolik menganut faham creationism (manusia
diciptakan). Sebaliknya, Pendidikan Agama Islam mengajarkan teori ciptaan dan
menyalahkan teori evolusi tanpa menjelaskan dimana letak kesalahan teori evolusi itu
(padahal, sampai saat ini, teori evolusi ini masih menjadi tulang punggung ilmu hayat
(biologi). Secara teoritis, keadaan seperti ini akan menghasilkan lulusan SMA yang bingung
di bidang asal usul manusia (barangkali gurunya pun bingung!).
Pendidikan tidak hanya berfungsi untuk” know to how “dan” know to do”, tetapi yang amat
penting adalah” how to be”. Oleh karena itu supaya terwujud how to be maka diperlukan
transfer budaya dan kultur. Mengingat pentingnya masalah yang berkenaan dengan
pendidikan maka perlu diatur suatu aturan yang baku mengenai pendidikan tersebut yang
dipayungi dalam sistem pendidikan nasional.
Sistem pendidikan nasional adalah salah satu keseluruhan yang terpadu dari semua
satuan dan kegiatan pendidikan yang berkaitan satu dengan yang lainnya untuk
mengusahakan tercapainya tujuan pendidikan nasional.
Sementara pada sisi lain, Undang-Undang ini dimaksudkan sebagai jawaban legal
formal terhadap krisis pendidikan yang telah menggurita dalam tubuh bangsa Indonesia.
Dalam peringatan Hari Pendidikan Nasional tahun 2003, Megawati Sukarno Putri, Presien RI
saat itu misalnya menegaskan, kegagalan dan kekurangberhasilan yang terjadi selama ini
merupakan cerminan dari kegagalan dalam membentuk mental dan karakter sebagai bangsa
yang sedang membangun. Semua itu bagaikan bermuara pada kesimpulan tentang tipisnya
etika kita dalam membina kehidupan berbangsa dan bernegara. Kalau disimak ujung dari
semua itu seakan-akan berhenti pada ungkapan tentang gagalnya sistem pendidikan nasional
kita. Kesadaran akan adanya kegagalan dalam dunia pendidikan ini ditandai dengan tuntutan
reformasi yang beriringan dengan tuntutan reformasi pada bidang kehidupan lainnya. Bahkan
di kawasan Asia, Indonesia di nilai sebagai negara yang paling ketinggalan (least well-
educated country) dalam pendidikan baik dari budgeting, out put, maupun manjerial. Dalam
konteks reformasi pendidikan inilah sesungguhnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2003 ini
lahir.
Terdapat banyak isu reformasi pendidikan yang diusung saat itu. Sedikitnya isu-isu
sentral reformasi pendidikan ini bermuara pada empat hal, yaitu 1) pendidikan agama sebagai
basis pendidikan nasiona, 2) pemerataan kesempatan pendidikan, 3) peningkatan mutu dan
relevansi pendidikan, dan 4) efisiensi menajemen pendidikan. Keempat hal pokok ini tidak
lagi bisa dijawab oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Namun menjelang disahkannya Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 sebagai
pengganti UU Sisdiknas sebelumnya –seperti ramai diberitakan oleh media massa - seluruh
persoalan pendidikan yang rumit didiskusikan oleh para pakar pendidikan selama kurang
lebih dua tahun itu, semuanya tenggelam ditelan polemik pasal-pasal “yang berpihak“
terhadap pendidikan agama. Bahkan polemik ini sudah jauh melampaui diskusi-diskusi
kependidikan, tetapi merambah masuk ke dalam ranah politik dan sentimen agama. Dapat
dikatakan, bahwa pasal-pasal yang beraroma agama dan bersentuhan dengan pendidikan
agama dan pendidikan keagamaan menjadi pusaran konflik yang mengundang debat sengit,
unjuk rasa, sampai pada ancaman memisahkan diri dari NKRI.
Hal penting yang dapat disimpulkan dari pelacakan jejak kontroversi seputar UU
Sisdiknas di atas adalah pendidikan agama dan pendidikan keagamaan, terutama Islam- telah
menjadi konteks tersendiri yang memotivasi, mewarnai dan memperkaya UU Sisdiknas,
sekaligus menjadikan Undang-Undang ini dianggap kontroversial. Dari konteks inilah penulis
melihat kajian terhadap posisi pendidikan agama dan pendidikan keagamaan dalam UU
Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003.
Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, tersebut dalam Bab Vi Jalur,
Jenjang dan Jenis Pendidikan pada Bagian ke Sembilan Pendidikan Keagamaan Pasal 30
isinya adalah :
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
3.2. Saran
Melihat realita tentang isu- isu yang marak tentang pendidikan Islam yang semakin
merosot dan kurang diminati para peserta didik, maka diharapkan pemerintah maupun
lembaga- lembaga seperti madrasah maupun sekolah umum tidak mengesampingkan
pendidikan Islam. Karena pada dasarnya pendidikan Islam akan mampu membentuk pribadi
peserta didik yang berpengetahuan, agamis maupun berakhlak karimah, tidak diperbudak oleh
IPTEK akibat minimnya pengetahuan sehingga menjerumuskan peserta didik sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Muzayyin. 2003. Kapita selekta pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Putra Daulay, Haidar.2004. Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional Indonesia
http://lpmpalmuhajirin.blogspot.com/2009/02/pendidikan-islam-dalam-sisdiknas-part.html
Nata, Abuddin. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Jakarta: Gramedia Widiasarana.