You are on page 1of 23

Kiat Mendidik Anak Sholeh

Kiat Mendidik Anak Sholeh

Memiliki anak yang sholeh/solehah adalah dambaan setiap orang tua. Namun untuk mendidik anak agar
menjadi sholeh adalah pekerjaan yang tidak mudah. Faktor utama penyebab nya adalah orang tua tidak
memiliki kiat khusus untuk mendidik anak yang baik dan benar. Mendidik anak sebenarnya tidak hanya
untuk keperluan dunia saja (mencari kerja, dll), namun juga harus di imbangi dengan pendidikan
kecerdasan intelektual, emosional, sosial dan spiritual.

Salah satu contoh mendidik anak sholeh adalah dengan mengajarkan ibadah sehari-hari yang kita
laksanakan. Seperti Shalat, menjalankan Ibadah Puasa di bulan Ramadhan, berkata dengan sopan,
berbuat santun. Contoh nyata dalam kehidupan kita sehari-hari ini merupakan pendidikan yang paling
tepat dilakukan agar anak menjadi Sholeh/Sholehah.

Sebagaimana kita ketahui, Allah juga memberikan contoh- contoh Nabi atau orang yang bisa kita jadikan
suri teladan dalam kehidupan atau peringatan agar kita tidak menirunya, sebagaimana firman- Nya:
“Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrahim dan umatnya) ada teladan yang baik bagimu; (yaitu) bagi
orang-orang yang mengharap (pahala) Allah dan (keselamatan pada) Hari Kemudian. Dan barangsiapa
yang berpaling, maka sesungguhnya Allah Dia-lah yang Maha kaya lagi Maha Terpuji” (Qs.. Al
Mumtahanah [60]: 6). Selain itu,

Nabi Muhammad Saw bersabda “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang
baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia
banyak menyebut Allah”. Di pihak lain, Nabi Muhammad Saw bersabda “Barang siapa yang memberikan
contoh yang baik dalam Islam maka baginya pahala atas perbuatan baiknya dan pahala orang-orang
yang mengikutinya hingga hari kiamat. Yang demikian itu tidak menghalangi pahala orang-orang yang
mengikutinya sedikitpun. Dan barang siapa yang memberikan contoh yang buruk didalam Islam maka
baginya dosa atas perbuatannya dan dosa orangorang yang mengikutinya hingga hari kiamat. Yang
demikian itu tanpa mengurangi sedikitpun dosa orang-orang yang mengikutinya” (HR Muslim).
Membimbing Perilaku Anak

Banyak sekali metode yang bisa digunakan oleh orang tua untuk memberikan nasihat dan disiplin
kepada anak. Namun karena sudah terlalu banyak, lalu bagaimana caranya orang tua mengetahui kapan
dan metode apa yang paling cocok dipakai? Ini sering membuat orang tua kelimpungan.

Artikel singkat ini bertujuan untuk mengurutkan kembali metode-metode tersebut secara sistematis,
lebih logis, serta memadukannya dengan ajaran-ajaran Islam. Berikut ini adalah kumpulan dari berbagai
metode yang sebagian besarnya dipetik dari buku-buku terkenal di mana materi ini dibahas secara lebih
mendetil. Walaupun pembahasan di sini bersifat menyeluruh, namun tidak semua metode disebutkan
satu persatu. Ada beberapa metode yang diberi nama berbeda namun pada hakikatnya mereka sama.
<p>

A. Membimbing Anak Berperilaku Positif

Berikut adalah strategi untuk menumbuhkan dan mempertahankan perilaku positif anak.

1. Bahasa tubuh dan Ekspresi Wajah

Anak-anak bisa membaca apakah orang tua mereka senang atau marah kepada mereka hanya dengan
melihat ekspresi wajah, gerak tubuh (gesture) dan body language (bahasa tubuh). Ekspresi gembira dari
orang tua, misalnya wajah yang tersenyum, akan mendorong anak untuk mengulang perbuatan yang
sedang dikerjakannya itu. Bayipun bisa membaca suasana ini. Respon orangtua dengan senyum dan
tertawa ketika bayi sedang memelerkan lidahnya akan mendorong bayi tersebut untuk mengulanginya
lagi. Atau ketika seorang anak yang telah melakukan suatu tindakan lucu/aneh tetapi membuat orang
tuanya geli dan mehanan tawa juga akan merangsang si anak tadi mengulang tindakannya. Namun kala
orangtuanya menunjukkan rasa tidak senang, si anak pun akan menghentikan perbuatannya.

Adalah wajar bila anak ingin membuat orang tuanya senang. Sebagai manusia, tentunya wajar kalau kita
ingin menyenangkan orang yang kita cintai. Naluri inilah yang harus ditumbuhkan dan dipertahankan
oleh orang tua untuk membimbing prilaku anak-anak mereka.
Para Sahabat Rasulullah sangat mencintai Beliau. Mereka ingin membuat Rasulullah senang dan mereka
pun mengetahui saat Rasulullah merasa terhibur:

Sebagaimana dikisahkan oleh Abdullah bin Kab (Bukhari, 4.756): “Aku mendengar Ba’b bin Malik
bercerita setelah kegagalannya bergabung dengan perang Tabuk. Dia berkata, “Ketika aku menegur
Rasulullah yang wajahnya sedang bersinar gembira – sebagaimana biasanya wajah Beliau jika sedang
gembira - wajahnya bersinar bagaikan sepotong bulan, kami tahu persis saat Beliau merasa gembira,
yaitu dari pancaran wajahnya.”

Dan ketika Rasulullah sedang marah:

Sebagaimana dikisahkah oleh Abdullah (Bukhari, 4.617): “Suatu saat ketika Rasulullah sedang
menyampaikan sesuatu (di antara pengikutnya). Seorang laki-laki berkata, “Penyampaian ini tidak
dilakukan dengan mencari keridhoan Allah”. Kemudian aku pergi menemui Rasulullah dan mengabarkan
(tentang hal ini). Beliau menjadi sangat marah dan aku bisa melihat tanda kemarahan di wajahnya.
Kemudian Beliau berkata,” Semoga Allah memberikan rahmatNya kepada Musa, karena dia telah
mendapatkan perlakuan yang lebih lagi (dengan cara yang lebih kejam) dari pada yang ini; namun dia
tetap sabar menjalaninya”.

Kisah lainnya:

Sebagaimana dikisahkan oleh Abu Musa (Bukhari, 1.92): “ Rasulullah pernah ditanyai tentang hal yang
tidak Beliau sukai, namun si penanya mendesak, Rasulullah menjadi marah kemudian berkata kepada
orangorang tersebut, “Tanyakan apa saja yang kalian suka.” Seorang laki-laki bertanya, “Siapakah Ayah
saya?’ Rasulullah menjawab, “Ayahmu adalah Hudhafa.” Kemudian seorang laki-laki lainnya berdiri dan
bertanya, “Siapakah Ayah saya?’ Beliau menjawab, “Ayahmu adalah Salim, Pemimpin Shaiba.” Lalu
ketika Umar melihat (kemarahan) di wajah Rasulullah dia berkata, ‘Ya Rasulullah, Kami mohon ampun
kepada Allah (karena telah membuatmu marah).”

Ketika seorang anak melakukan satu perbuatan positif, penting sekali bagi orang tua agar segera
menunjukkan rasa senangnya, yang antara lain bisa diekspresikan melalui senyuman, pelukan, ciuman
atau dengan berbagai bentuk ekspresi lainnya, gesture atau body language. Sebaliknya, setiap kali anak
melakukan perbuatan negatif, orang tua juga harus segera menunjukkan ekspresi ketidaksetujuannya,
misalnya dengan mengernyitkan dahi, melipat tangan, bertolak pinggang atau dengan menggunakan
berbagai ekspresi negatif lainnya.

Namun perlu diingat bahwa bentukbentuk ekspresi ini hanya akan ampuh jika adanya ikatan batin
antara orangtua dan anak.

2. Pujian

Karena anak ingin membuat orang tuanya senang maka mereka akan melakukan segala upaya untuk
mendapat pujian. Demikian juga bagi orang tua, jika ingin anak-anaknya senantiasa berperilaku baik,
maka mereka harus terus memuji anak atas perilaku positifnya itu. Namun pujian harus benar-benar
diberikan dengan penuh ketulusan, kalau tidak tulus maka tidak perlu memuji sama sekali.
Sesungguhnya tidak ada yang lebih sia-sia dan tidak bermanfaat melainkan pujian kosong yang terlontar
begitu saja dari mulut orangtua, atau pujian yang diberikan kepada anak setelah orangtua berpikir-pikir
dahulu. Berikut ini akan diberikan dua contoh yang mengilustrasikan kapan saat yang paling tepat untuk
memberikan pujian dan satu contoh dimana pujian tidak seharusnya diberikan.

a. Pujilah perbuatan baik

Ketika orangtua melihat anaknya melakukan suatu perbuatan baik, orangtua sebaiknya segera memuji
misalnya dengan cara-cara alternatif berikut ini:

(i). Mengapresiasi perbuatan anak dengan cara menyebutkan atau mendiskripsikan kembali hal yang
telah dilakukan;

(ii) Menggunakan empati dalam menjelaskan kepada anak bagaimana pengaruh tindakannya terhadap
orang lain;

(iii) Mengaitkan tindakan anak dengan keberadaan Allah, dengan maksud mengajarkan anak untuk
melakukan perbuatan mulia yang diridhoi Allah;
(iv) Memuji perbuatan itu sendiri

Misalnya saja, ketika si anak bersedia berbagi main-mainan dengan temannya, orangtua mungkin bisa
memujinya: “Subhanallah, kamu sudah mau bermain teacups bareng Sarah. Sarah senang karena kamu
mau main dengannya. Allah juga sayang kalau kamu mau berbagi dengan orang lain. Bagus itu!”

Atau ketika si anak membereskan mainannya: “Wah, kamu sudah meletakkan mainanmu di tempatnya.
Mama senang karena kamu sudah mau merapikan mainan itu. Allah juga senang kalau kamu mau
bersih-bersih dan rapi. Pinter deh!”

Atau ketika anak selesai mengerjakan tugas yang dibebankan kepadanya, “Masya Allah, tugas yang
Mama suruh tadi sudah diselesaikan ya (sebutkan dengan jelas apa jenis tugasnya, misalnya merapikan
mainannya). Mama senang sekali. Kalau kamu buat Mama senang, Allah juga akan senang sama kamu.
Pinter deh anak Mama!”

Contoh metode memuji anak yang diberikan diatas tidak harus diikuti dengan urutan kaku. Untuk
contoh terakhir misalnya, orang tua bisa memodifikasinya sedikit, misalnya, “Kamu memang anak yang
sholeh karena tugas yang Mama berikan tadi sudah kamu selesaikan! Mama senang deh. Nah, kalau
Mama senang, Allah juga akan sayang sama kamu”.

b. Pujilah proses kerja anak

Anak kadang ingin menunjukkan kepada orang tuanya apa yang telah dikerjakannya, namun sebenarnya
yang ingin ditunjukkan anak itu bukan hanya produk akhir tetapi juga kemampuan si anak dalam
menyelesaikan karyanya itu. Dalam hal ini seharusnya orang tua memfokuskan pujiannya pada
kemampuan si anak menyelesaikan pekerjaan tersebut dan bukan pada produk akhir. Misalnya, saat
anak menunjukkan kepada orang tuanya sebuah puzzle yang baru saja diselesaikan, orangtua bisa
memuji proses pengerjaaan puzzle itu dengan mengatakan, “Wah kamu sudah mengerjakan puzzle ini!
Senang kan? Bagus, Allah juga suka kalau kamu bisa memikirkan banyak cara menyelesaikan suatu
pekerjaan.”

c. Jangan memuji hasil kerja anak


Ini masih berhubungan dengan poin di atas: bahwa orangtua seharusnya memuji proses bukan produk
akhir kerja anak. Orang tua perlu membedakan kedua hal ini. Misalnya ketika anak baru saja selesai
membangun tower dari balok plastik, dan ingin segera menunjukkan ke orang tuanya, “Lihat Ma/Pa!”.
Biasanya respon spontan yang keluar adalah “Good girl! Nice tower!” Jelas, dalam hal ini orangtua telah
memuji hasil - yaitu tower itu - bukan pada prosesnya - yaitu kemampuan si anak membangun tower
tersebut.

Sebagaimana memuji perbuatan anak akan mendorong mereka berprilaku baik, maka dengan
memfokuskan hasil akhir bangunan tower ini, akan menyiratkan dan mendorong anak untuk membuat
bangunan tower dengan cara yang persis sama setiap saat. Ini akan membatasi kreatifitas anak untuk
membuat tower dengan model lain yang lebih bervariasi. Jika orangtua memuji pekerjaan anak dengan
memfokuskan pada kemampuan atau proses kerja keras membangun tower tersebut, maka orangtua
setidaknya membuka peluang kepada anak menggunakan kemampuan atau kerja kerasnya untuk
membangun tower dengan banyak model nantinya. Sehingga orangtua bisa menyulap pujian “Good
boy/girl! Nice tower!” tadi dengan cara:

(i) Menjelaskan kepada anak hal yang telah dilakukannya: “Kamu sudah berhasil membangun sebuah
tower!”

(ii) Mendiskripsikan hasil kerja anak: “Tower nya besar sekali ya! Ada menara-menara kecilnya lagi!

(iii) Memuji prosesnya : “Pinter ya cara bikinnya!”

(iv) Mengaitkan proses tadi dengan Allah: “Allah menyayangi orang yang rajin berusaha.”

Contoh lainnya adalah ketika anak menunjukkan kepada orang tua gambar yang sudah diwarnai atau
dilukis. Biasanya orang tua akan langsung merespon, “Gambar yang bagus. Anak pinter!” Sebenarnya
akan lebih baik kalau pujian ini diganti dengan, “Wah! Kamu sudah mewarnai/melukis gambar ini. Mama
bisa liat ada banyak warna merah dah garis-garis lurus di sana sini. Cantik sekali ya, Masya Allah!”

3. Empati
Empati adalah menempatkan diri kita di posisi orang lain dan merasakan apa yang sedang dirasakannya.

Ini adalah sifat penting yang harus dimiliki oleh setiap muslim untuk menjalin tali persaudaraan,
menumbuhkan sikap derma, kebaikan dan membangkitkan karakteristikkarateristik luhur lainnya yang
merupakan akar dari ajaran Islam.

Rasulullah bersabda, “Pengikutku adalah mereka yang saling mengasihi dan menunjukkan rasa cinta
kepada sesamanya dan saling berbaikan, bagaikan tubuh yang satu, sehingga jika ada satu anggota
badan yang sakit, maka seluruh tubuh akan merasakan rasa sakit itu”. (Hadist Sahih Al-Bukhari, Hadith
8.40, dikisahkan oleh An Numan bin Bashir) Tanpa rasa empati ini, akan sulit merasakan kasih sayang,
cinta, kebaikan atau segala bentuk keprihatinan terhadap orang lain.

Metode pendisiplinan yang berfokus pada empati seperti ini sering dikenal dengan istilah ‘Inductive
Discipline’. ‘Induction’ adalah metode yang melibatkan penjelasan dan pemberian alasan, yaitu dengan
cara meminta anak agar memfokuskan perhatiannya terhadap penderitaan orang lain dan merefleksi
apa yang telah dilakukan si anak sehingga suatu permasalahan timbul.

Metode ini mengajarkan anak untuk menggunakan pola pikir kritisnya dalam menganalisa sebab-sebab
emosional yang terjadi terhadap dirinya dan orang di sekitarnya.

Untuk mendorong anak berempati, orang tua perlu:

a) Memfokuskan perhatian anak pada penderitaan orang lain: Misalnya “Dia sedih.” Dia merasa takut.”

b) Menjelaskan apa yang telah dilakukan anak yang menyebabkan suatu masalah: Misalnya, “Kalau
kamu mendorongnya, dia akan takut”. “Dia sedih karena kamu memukulnya.”

c) Berikan nasehat: “Sebaiknya kita saling menolong sesama”. “Allah mencintai hambaNya yang baik.”
“Saya senang bermain bersama.”
Misalnya ketika orang tua minta tolong kepada anak untuk memegang tas tetapi si anak acuh saja,
jelaskan situasi kepadanya secara verbal, misalnya, “Mama sedih/kecewa karena kamu tidak mau
memegang tas ini waktu Mama minta tolong. Saling membantu itu baik lho!. “Allah akan sayang kalau
kamu mau menolong Mama.”

Orang tua perlu :

a). Berkomunikasi dengan jelas, menggunakan bahasa/subyek yang spesifik, misalnya “Kita harus saling
berbagi.” atau “Dia merasa kecewa”;

b). Mempraktekkan sendiri ekspresi empati ini karena anak biasanya akan belajar dan meniru apa yang
Anda kerjakan.

c). Berilah dorongan kepada anak agar mereka sendiri berpikir bahwa mereka bisa saling membantu dan
menjadi anak sholeh;

d). Perhatikan tingkat perkembangan anak; dan

e). Suruhlah anak dengan cara yang baik dan santun, bukan sebaliknya.
Saatnya Meninggalkan Musik

www.muslim.or.id

Siapa saja yang hidup di akhir zaman, tidak lepas dari lantunan suara musik atau nyanyian. Bahkan
mungkin di antara kita –dulunya- adalah orang-orang yang sangat gandrung terhadap lantunan suara
seperti itu. Bahkan mendengar lantunan tersebut juga sudah menjadi sarapan tiap harinya. Itulah yang
juga terjadi pada sosok si fulan. Hidupnya dulu tidaklah bisa lepas dari gitar dan musik. Namun, sekarang
hidupnya jauh berbeda. Setelah Allah mengenalkannya dengan Al haq (penerang dari Al Qur’an dan As
Sunnah), dia pun perlahan-lahan menjauhi berbagai nyanyian. Alhamdulillah, dia pun mendapatkan
ganti yang lebih baik yaitu dengan kalamullah (Al Qur’an) yang semakin membuat dirinya mencintai dan
merindukan perjumpaan dengan Rabbnya.

Lalu, apa yang menyebabkan hatinya bisa berpaling kepada kalamullah dan meninggalkan nyanyian?
Tentu saja, karena taufik Allah kemudian siraman ilmu. Dengan ilmu syar’i yang dia dapati, hatinya mulai
tergerak dan mulai sadarkan diri. Dengan mengetahui dalil Al Qur’an dan Hadits yang membicarakan
bahaya lantunan yang melalaikan, dia pun mulai meninggalkannya perlahan-lahan. Juga dengan
bimbingan perkataan para ulama, dia semakin jelas dengan hukum keharamannya.

Alangkah baiknya jika kita melihat dalil-dalil yang dimaksudkan, beserta perkataan para ulama masa
silam mengenai hukum nyanyian karena mungkin di antara kita ada yang masih gandrung dengannya.
Maka, dengan ditulisnya risalah ini, semoga Allah membuka hati kita dan memberi hidayah kepada kita
seperti yang didapatkan si fulan tadi. Allahumma a’in wa yassir (Ya Allah, tolonglah dan mudahkanlah).

Beberapa Ayat Al Qur’an yang Membicarakan “Nyanyian”

Pertama: Nyanyian dikatakan sebagai “lahwal hadits” (perkataan yang tidak berguna)

Allah Ta’ala berfirman,


‫ِك لَ ُه ْم َع َذابٌ م ُِهينٌ َوإِ َذا ُت ْتلَى َعلَ ْي ِه آ َيا ُت َنا َولَّى مُسْ َت ْك ِبرً ا‬َ ‫يل هَّللا ِ ِبغَ ي ِْر عِ ْل ٍم َو َي َّتخ َِذ َها ُه ُز ًوا أُولَئ‬ ِ ‫اس َمنْ َي ْش َت ِري لَه َْو ْال َحدِي‬
ِ ‫ث ِليُضِ َّل َعنْ َس ِب‬ ِ ‫َوم َِن ال َّن‬
َ
‫ب أل ٍِيم‬ ُ ُ َ َ
ٍ ‫ َكأنَّ فِي أذ َن ْي ِه َو ْقرً ا َف َب ِّشرْ هُ ِب َع َذا‬1‫َكأنْ لَ ْم َيسْ َمعْ َها‬

“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk
menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan.
Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan. Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat
Kami dia berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah dia belum mendengarnya, seakan-akan ada
sumbat di kedua telinganya; maka beri kabar gembiralah padanya dengan azab yang pedih.” (QS.
Luqman: 6-7)

Ibnu Jarir Ath Thabariy -rahimahullah- dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa para pakar tafsir
berselisih pendapat apa yang dimaksud dengan ‫ث‬ ِ ‫“ لَه َْو ْال َحدِي‬lahwal hadits” dalam ayat tersebut. Sebagian
mereka mengatakan bahwa yang dimaksudkan adalah nyanyian dan mendengarkannya. Lalu setelah itu
Ibnu Jarir menyebutkan beberapa perkataan ulama salaf mengenai tafsir ayat tersebut. Di antaranya
adalah dari Abu Ash Shobaa’ Al Bakri –rahimahullah-. Beliau mengatakan bahwa dia mendengar Ibnu
Mas’ud ditanya mengenai tafsir ayat tersebut, lantas beliau –radhiyallahu ‘anhu- berkata,

ٍ ‫ ي َُر ِّد ُد َها َثالَث َمَرَّ ا‬،‫ َوالَّذِي الَ إِلَ َه إِالَّ ه َُو‬،ُ‫ال ِغ َناء‬.
‫ت‬

“Yang dimaksud adalah nyanyian, demi Dzat yang tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak diibadahi
selain Dia.” Beliau menyebutkan makna tersebut sebanyak tiga kali.[1]

Penafsiran senada disampaikan oleh Mujahid, Sa’id bin Jubair, ‘Ikrimah, dan Qotadah. Dari Ibnu Abi
Najih, Mujahid berkata bahwa yang dimaksud lahwu hadits adalah bedug (genderang).[2]

Asy Syaukani dalam kitab tafsirnya mengatakan, “Lahwal hadits adalah segala sesuatu yang melalaikan
seseorang dari berbuat baik. Hal itu bisa berupa nyanyian, permainan, cerita-cerita bohong dan setiap
kemungkaran.” Lalu, Asy Syaukani menukil perkataan Al Qurtubhi yang mengatakan bahwa tafsiran yang
paling bagus untuk makna lahwal hadits adalah nyanyian. Inilah pendapat para sahabat dan tabi’in.[3]
Jika ada yang mengatakan, “Penjelasan tadi kan hanya penafsiran sahabat, bagaimana mungkin bisa jadi
hujjah (dalil)?”

Maka, cukup kami katakan bahwa tafsiran sahabat terhadap suatu ayat bisa menjadi hujjah, bahkan bisa
dianggap sama dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (derajat marfu’). Simaklah perkataan
Ibnul Qayyim setelah menjelaskan penafsiran mengenai “lahwal hadits” di atas sebagai berikut,

“Al Hakim Abu ‘Abdillah dalam kitab tafsirnya di Al Mustadrok mengatakan bahwa seharusnya setiap
orang yang haus terhadap ilmu mengetahui bahwa tafsiran sahabat –yang mereka ini menyaksikan
turunnya wahyu- menurut Bukhari dan Muslim dianggap sebagai perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Di tempat lainnya, beliau mengatakan bahwa menurutnya, penafsiran sahabat tentang suatu
ayat sama statusnya dengan hadits marfu’ (yang sampai pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).”
Lalu, Ibnul Qayyim mengatakan, “Walaupun itu adalah penafsiran sahabat, tetap penafsiran mereka
lebih didahulukan daripada penafsiran orang-orang sesudahnya. Alasannya, mereka adalah umat yang
paling mengerti tentang maksud dari ayat yang diturunkan oleh Allah karena Al Qur’an turun di masa
mereka hidup”.[4]

ِ ‫ لَه َْو ْال َحدِي‬/lahwal hadits/ dengan nyanyian patut kita terima karena ini
Jadi, jelaslah bahwa pemaknaan ‫ث‬
adalah perkataan sahabat yang statusnya bisa sama dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kedua: Orang-orang yang bernyanyi disebut “saamiduun”

Allah Ta’ala berfirman,

َ ‫ َوأَ ْن ُت ْم َسا ِمد‬, ‫ون‬


‫ َفاسْ ُجدُوا هَّلِل ِ َواعْ ُبدُوا‬, ‫ُون‬ َ ‫ون َوال َت ْب ُك‬
َ ‫ َو َتضْ َح ُك‬, ‫ُون‬ ِ ‫أَ َفمِنْ َه َذا ْال َحدِي‬
َ ‫ث َتعْ َجب‬

“Maka, apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kamu mentertawakan dan tidak
menangis? Sedang kamu saamiduun? Maka, bersujudlah kepada Allah dan sembahlah (Dia).” (QS. An
Najm: 59-62)

Apa yang dimaksud ‫ُون‬


َ ‫ َسا ِمد‬/saamiduun/?
Menurut salah satu pendapat, makna saamiduun adalah bernyanyi dan ini berasal dari bahasa orang
Yaman. Mereka biasa menyebut “ismud lanaa” dan maksudnya adalah: “Bernyanyilah untuk kami”.
Pendapat ini diriwayatkan dari ‘Ikrimah dan Ibnu ‘Abbas.[5]

‘Ikrimah mengatakan, “Mereka biasa mendengarkan Al Qur’an, namun mereka malah bernyanyi.
Kemudian turunlah ayat ini (surat An Najm di atas).”[6]

Jadi, dalam dua ayat ini teranglah bahwa mendengarkan “nyanyian” adalah suatu yang dicela dalam Al
Qur’an.

Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Mengenai Nyanyian

Hadits Pertama

Bukhari membawakan dalam Bab “Siapa yang menghalalkan khomr dengan selain namanya” sebuah
riwayat dari Abu ‘Amir atau Abu Malik Al Asy’ari telah menceritakan bahwa dia tidak berdusta, lalu dia
menyampaikan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

ْ ِ ‫ َو َل َي ْن ِز َلنَّ أَ ْق َوا ٌم إِلَى َج ْن‬، ‫ف‬ َ ُّ‫لَ َي ُكو َننَّ مِنْ أ ُ َّمتِى أَ ْق َوا ٌم َيسْ َت ِحل‬
‫ِيه ْم – َيعْ نِى‬ ِ ‫ َيأت‬، ‫ار َح ٍة لَ ُه ْم‬
ِ ‫ب َعلَ ٍم َيرُو ُح َعلَي ِْه ْم ِب َس‬ َ ‫از‬ ِ ‫ير َو ْال َخ ْم َر َو ْال َم َع‬
َ ‫ون ْالح َِر َو ْال َح ِر‬
‫ير إِلَى َي ْو ِم ْالقِ َيا َم ِة‬
َ ‫از‬ ِ ‫ين ق َِر َد ًة َو َخ َن‬
َ ‫آخ ِر‬ َ ‫ َف ُي َب ِّي ُت ُه ُم هَّللا ُ َو َي‬. ‫اج ٍة َف َيقُولُوا ارْ ِجعْ إِلَ ْي َنا غ ًَدا‬
َ ‫ َو َي ْم َس ُخ‬، ‫ض ُع ْال َعلَ َم‬ َ ‫ِير – ل َِح‬َ ‫ْال َفق‬

“Sungguh, benar-benar akan ada di kalangan umatku sekelompok orang yang menghalalkan zina, sutera,
khamr, dan alat musik. Dan beberapa kelompok orang akan singgah di lereng gunung dengan binatang
ternak mereka. Seorang yang fakir mendatangi mereka untuk suatu keperluan, lalu mereka berkata,
‘Kembalilah kepada kami esok hari.’ Kemudian Allah mendatangkan siksaan kepada mereka dan
menimpakan gunung kepada mereka serta Allah mengubah sebagian mereka menjadi kera dan babi
hingga hari kiamat.”[7] Jika dikatakan menghalalkan musik, berarti musik itu haram.
Hadits di atas dinilai shahih oleh banyak ulama, di antaranya adalah: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam
Al Istiqomah (1/294) dan Ibnul Qayyim dalam Ighatsatul Lahfan (1/259). Penilaian senada disampaikan
An Nawawi, Ibnu Rajab Al Hambali, Ibnu Hajar dan Asy Syaukani –rahimahumullah-.

Memang, ada sebagian ulama semacam Ibnu Hazm dan orang-orang yang mengikuti pendapat beliau
sesudahnya seperti Al Ghozali yang menyatakan bahwa hadits di atas memiliki cacat sehingga mereka
pun menghalalkan musik. Alasannya, mereka mengatakan bahwa sanad hadits ini munqothi’ (terputus)
karena Al Bukhari tidak memaushulkan sanadnya (menyambungkan sanadnya). Untuk menyanggah hal
ini, kami akan kemukakan 5 sanggahan sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah:

Pertama, Al Bukhari betul bertemu dengan Hisyam bin ‘Ammar dan beliau betul mendengar langsung
darinya. Jadi, jika Al Bukhari mengatakan bahwa Hisyam berkata, itu sama saja dengan perkataan Al
Bukhari langsung dari Hisyam.

Kedua, jika Al Bukhari belum pernah mendengar hadits itu dari Hisyam, tentu Al Bukhari tidak akan
mengatakan dengan lafazh jazm (tegas). Jika beliau mengatakan dengan lafazh jazm, sudah pasti beliau
mendengarnya langsung dari Hisyam. Inilah yang paling mungkin, karena sangat banyak orang yang
meriwayatkan (hadits) dari Hisyam. Hisyam adalah guru yang sudah sangat masyhur. Adapun Al Bukhari
adalah hamba yang sangat tidak mungkin melakukan tadlis (kecurangan dalam periwayatan).

Ketiga, Al Bukhari memasukkan hadits ini dalam kitabnya yang disebut dengan kitab shahih, yang tentu
saja hal ini bisa dijadikan hujjah (dalil). Seandainya hadits tersebut tidaklah shahih menurut Al Bukhari,
lalu mengapa beliau memasukkan hadits tersebut dalam kitab shahih?

Keempat, Al Bukhari membawakan hadits ini secara mu’allaq (di bagian awal sanad ada yang terputus).
Namun, di sini beliau menggunakan lafazh jazm (pasti, seperti dengan kata qoola yang artinya dia
berkata) dan bukan tamridh (seperti dengan kata yurwa atau yudzkaru, yang artinya telah diriwayatkan
atau telah disebutkan). Jadi, jika Al Bukhari mengatakan, “Qoola: qoola Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam [dia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, …]”, maka itu sama saja
beliau mengatakan hadits tersebut disandarkan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kelima, seandainya berbagai alasan di atas kita buang, hadits ini tetaplah shahih dan bersambung
karena dilihat dari jalur lainnya, sebagaimana akan dilihat pada hadits berikutnya.[8]
Hadits Kedua

Dari Abu Malik Al Asy’ari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

َ ْ‫ت َي ْخسِ فُ هَّللا ُ ِب ِه ُم األَر‬


‫ض َو َيجْ َع ُل ِم ْن ُه ُم ْالق َِر َد َة‬ ِ ‫ازفِ َو ْال ُم َغ ِّن َيا‬ ُ
ِ ‫لَ َي ْش َربَنَّ َناسٌ مِنْ أ َّمتِى ْال َخ ْم َر ي َُسمُّو َن َها ِب َغي ِْر اسْ ِم َها يُعْ َزفُ َعلَى ُرءُوسِ ِه ْم ِب ْال َم َع‬
‫ير‬
َ ‫از‬ ِ ‫َو ْال َخ َن‬

“Sungguh, akan ada orang-orang dari umatku yang meminum khamr, mereka menamakannya dengan
selain namanya. Mereka dihibur dengan musik dan alunan suara biduanita. Allah akan membenamkan
mereka ke dalam bumi dan Dia akan mengubah bentuk mereka menjadi kera dan babi.”[9]

Hadits Ketiga

Dari Nafi’ –bekas budak Ibnu ‘Umar-, beliau berkata,

‫ َقا َل َفيَمْضِ ى‬.‫يق َوه َُو َيقُو ُل َيا َنافِ ُع أَ َتسْ َم ُع َفأَقُو ُل َن َع ْم‬ َّ ‫ض َع إِصْ َب َع ْي ِه فِى أ ُ ُذ َن ْي ِه َو َعدَ َل َرا ِحلَ َت ُه َع ِن‬
ِ ‫الط ِر‬ َ ‫اع َف َو‬ َ ‫ص ْوتَ َزم‬
ٍ ‫َّار ِة َر‬ َ ‫ُع َم َر َسم َِع ابْنُ ُع َم َر‬
ْ َ
‫صن َع مِث َل‬ َ
َ ‫اع ف‬ َ
َ ‫ص ْو زم‬ َ‫ت‬ ‫هَّللا‬ ُ َ َ َّ َ َ َ َ
ِ ‫ض َع َيدَ ْي ِه َوأ َعادَ الرَّ ا ِحلة إِلى الط ِر‬ ُ ‫َح َّتى قُ ْل‬
َ ‫ َقا َل َف َو‬.َ‫ت ال‬
ٍ ‫َّار ِة َر‬ َ ‫ َو َسم َِع‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫يق َوقا َل َرأيْت َرسُو َل‬
‫َه َذا‬

Ibnu ‘Umar pernah mendengar suara seruling dari seorang pengembala, lalu beliau menyumbat kedua
telinganya dengan kedua jarinya. Kemudian beliau pindah ke jalan yang lain. Lalu Ibnu ‘Umar berkata,
“Wahai Nafi’, apakah kamu masih mendengar suara tadi?” Aku (Nafi’) berkata, “Iya, aku masih
mendengarnya.”

Kemudian, Ibnu ‘Umar terus berjalan. Lalu, aku berkata, “Aku tidak mendengarnya lagi.”

Barulah setelah itu Ibnu ‘Umar melepaskan tangannya dari telinganya dan kembali ke jalan itu lalu
berkata, “Beginilah aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mendengar suara seruling
dari seorang pengembala. Beliau melakukannya seperti tadi.”[10]
Keterangan Hadits

Dari dua hadits pertama, dijelaskan mengenai keadaan umat Islam nanti yang akan menghalalkan
musik,berarti sebenarnya musik itu haram kemudian ada yang menganggap halal. Begitu pula pada
hadits ketiga yang menceritakan kisah Ibnu ‘Umar bersama Nafi’. Ibnu ‘Umar mencontohkan bahwa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hal yang sama dengannya yaitu menjauhkan manusia dari
mendengar musik. Hal ini menunjukkan bahwa musik itu jelas-jelas terlarang.

Jika ada yang mengatakan bahwa sebenarnya yang dilakukan Ibnu ‘Umar tadi hanya menunjukkan
bahwa itu adalah cara terbaik dalam mengalihkan manusia dari mendengar suara nyanyian atau alat
musik, namun tidak sampai menunjukkan keharamannya, jawabannya adalah sebagaimana yang
dikatakan Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni (julukan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah) rahimahullah berikut
ini,

‫ض َر ٌر دِينِيٌّ اَل َي ْن َدفِ ُع إاَّل ِبال َّس ِّد‬ َ ‫اللَّ ُه َّم إاَّل أَنْ َي ُك‬
َ ‫ون فِي َسمَاعِ ِه‬

“Demi Allah, bahkan mendengarkan nyanyian (atau alat musik) adalah bahaya yang mengerikan pada
agama seseorang, tidak ada cara lain selain dengan menutup jalan agar tidak mendengarnya.”[11]

Kalam Para Ulama Salaf Mengenai Nyanyian (Musik)

Ibnu Mas’ud mengatakan, “Nyanyian menumbuhkan kemunafikan dalam hati sebagaimana air
menumbuhkan sayuran.”

Al Qasim bin Muhammad pernah ditanya tentang nyanyian, lalu beliau menjawab, “Aku melarang
nyanyian padamu dan aku membenci jika engkau mendengarnya.” Lalu orang yang bertanya tadi
mengatakan, “Apakah nyanyian itu haram?” Al Qasim pun mengatakan,”Wahai anak saudaraku, jika
Allah telah memisahkan yang benar dan yang keliru, lantas pada posisi mana Allah meletakkan
‘nyanyian’?”
‘Umar bin ‘Abdul Aziz pernah menulis surat kepada guru yang mengajarkan anaknya, isinya adalah,
”Hendaklah yang pertama kali diyakini oleh anak-anakku dari budi pekertimu adalah kebencianmu pada
nyanyian. Karena nyanyian itu berasal dari setan dan ujung akhirnya adalah murka Allah. Aku
mengetahui dari para ulama yang terpercaya bahwa mendengarkan nyanyian dan alat musik serta
gandrung padanya hanya akan menumbuhkan kemunafikan dalam hati sebagaimana air menumbuhkan
rerumputan. Demi Allah, menjaga diri dengan meninggalkan nyanyian sebenarnya lebih mudah bagi
orang yang memiliki kecerdasan daripada bercokolnya kemunafikan dalam hati.”

Fudhail bin Iyadh mengatakan, “Nyanyian adalah mantera-mantera zina.”

Adh Dhohak mengatakan, “Nyanyian itu akan merusak hati dan akan mendatangkan kemurkaan Allah.”

Yazid bin Al Walid mengatakan, “Wahai anakku, hati-hatilah kalian dari mendengar nyanyian karena
nyanyian itu hanya akan mengobarkan hawa nafsu, menurunkan harga diri, bahkan nyanyian itu bisa
menggantikan minuman keras yang bisa membuatmu mabuk kepayang. … Ketahuilah, nyanyian itu
adalah pendorong seseorang untuk berbuat zina.”[12]

Empat Ulama Madzhab Mencela Nyanyian

Imam Abu Hanifah. Beliau membenci nyanyian dan menganggap mendengarnya sebagai suatu
perbuatan dosa.[13]

Imam Malik bin Anas. Beliau berkata, “Barangsiapa membeli budak lalu ternyata budak tersebut adalah
seorang biduanita (penyanyi), maka hendaklah dia kembalikan budak tadi karena terdapat ‘aib.”[14]

Imam Asy Syafi’i. Beliau berkata, “Nyanyian adalah suatu hal yang sia-sia yang tidak kusukai karena
nyanyian itu adalah seperti kebatilan. Siapa saja yang sudah kecanduan mendengarkan nyanyian, maka
persaksiannya tertolak.”[15]

Imam Ahmad bin Hambal. Beliau berkata, “Nyanyian itu menumbuhkan kemunafikan dalam hati dan aku
pun tidak menyukainya.”[16]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Tidak ada satu pun dari empat ulama madzhab
yang berselisih pendapat mengenai haramnya alat musik.”[17]
Bila Engkau Sudah Tersibukkan dengan Nyanyian dan Nasyid

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memberikan pelajaran yang sangat berharga. Beliau mengatakan,

“Seorang hamba jika sebagian waktunya telah tersibukkan dengan amalan yang tidak disyari’atkan, dia
pasti akan kurang bersemangat dalam melakukan hal-hal yang disyari’atkan dan bermanfaat. Hal ini jauh
berbeda dengan orang yang mencurahkan usahanya untuk melakukan hal yang disyari’atkan. Pasti
orang ini akan semakin cinta dan semakin mendapatkan manfaat dengan melakukan amalan tersebut,
agama dan islamnya pun akan semakin sempurna.”

Lalu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, ”Oleh karena itu, banyak sekali orang yang terbuai
dengan nyanyian (atau syair-syair) yang tujuan semula adalah untuk menata hati. Maka, pasti karena
maksudnya, dia akan semakin berkurang semangatnya dalam menyimak Al Qur’an. Bahkan sampai-
sampai dia pun membenci untuk mendengarnya.”[18]

Jadi, perkataan Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni (yang dijuluki Syaikhul Islam) memang betul-betul
terjadi pada orang-orang yang sudah begitu gandrung dengan nyanyian, gitar dan bahkan dengan
nyanyian “Islami” (yang disebut nasyid). Tujuan mereka mungkin adalah untuk menata hati. Namun,
sayang seribu sayang, jalan yang ditempuh adalah jalan yang keliru karena hati mestilah ditata dengan
hal-hal yang masyru’ (disyariatkan) dan bukan dengan hal-hal yang tidak masyru’, yang membuat kita
sibuk dan lalai dari kalam Robbul ‘alamin yaitu Al Qur’an.

Tentang nasyid yang dikenal di kalangan sufiyah dan bait-bait sya’ir, Syaikhul Islam mengatakan,

“Oleh karena itu, kita dapati pada orang-orang yang kesehariannya dan santapannya tidak bisa lepas
dari nyanyian, mereka pasti tidak akan begitu merindukan lantunan suara Al Qur’an. Mereka pun tidak
begitu senang ketika mendengarnya. Mereka tidak akan merasakan kenikmatan tatkala mendengar Al
Qur’an dibanding dengan mendengar bait-bait sya’ir (nasyid). Bahkan ketika mereka mendengar Al
Qur’an, hatinya pun menjadi lalai, begitu pula dengan lisannya akan sering keliru.”[19]

Adapun melatunkan bait-bait syair (alias nasyid) asalnya dibolehkan, namun tidak berlaku secara mutlak.
Melatunkan bait syair (nasyid) yang dibolehkan apabila memenuhi beberapa syarat berikut:
Bukan lantunan yang mendayu-dayu sebagaimana yang diperagakan oleh para wanita.

Nasyid tersebut tidak sampai melalaikan dari mendengar Al Qur’an.

Nasyid tersebut terlepas dari nada-nada yang dapat membuat orang yang mendengarnya menari dan
berdansa.

Tidak diiringi alat musik.

Maksud mendengarkannya bukan mendengarkan nyanyian dan nadanya, namun tujuannya adalah
untuk mendengar nasyid (bait syair).

Diperbolehkan bagi wanita untuk memukul rebana pada acara-acara yang penuh kegembiraan dan
masyru’ (disyariatkan) saja.[20]

Maksud nasyid ini adalah untuk memberi dorongan semangat ketika keletihan atau ketika berjihad.

Tidak sampai melalaikan dari yang wajib atau melarang dari kewajiban.[21]

Penutup

Kami hanya ingin mengingatkan bahwa pengganti nyanyian dan musik adalah Al Qur’an. Dengan
membaca, merenungi, dan mendengarkan lantunan Al-Qur’anlah hati kita akan hidup dan tertata karena
inilah yang disyari’atkan.

Ingatlah bahwa Al Qur’an dan musik sama sekali tidak bisa bersatu dalam satu hati. Kita bisa
memperhatikan perkataan murid Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yaitu Ibnul Qayyim rahimahullah. Beliau
mengatakan, “Sungguh nyanyian dapat memalingkan hati seseorang dari memahami, merenungkan dan
mengamalkan isi Al Qur’an. Ingatlah, Al Qur’an dan nyanyian selamanya tidaklah mungkin bersatu dalam
satu hati karena keduanya itu saling bertolak belakang. Al Quran melarang kita untuk mengikuti hawa
nafsu, Al Qur’an memerintahkan kita untuk menjaga kehormatan diri dan menjauhi berbagai bentuk
syahwat yang menggoda jiwa. Al Qur’an memerintahkan untuk menjauhi sebab-sebab seseorang
melenceng dari kebenaran dan melarang mengikuti langkah-langkah setan. Sedangkan nyanyian
memerintahkan pada hal-hal yang kontra (berlawanan) dengan hal-hal tadi.”[22]

Dari sini, pantaskah Al Qur’an ditinggalkan hanya karena terbuai dengan nyanyian? Ingatlah, jika
seseorang meninggalkan musik dan nyanyian, pasti Allah akan memberi ganti dengan yang lebih baik.
َ َ‫ك هَّللا ُ ِب ِه َما ه َُو َخ ْي ٌر ل‬
‫ك ِم ْن ُه‬ َ َ‫ك لَنْ َت َد َع َشيْئا ً هَّلِل ِ َع َّز َو َج َّل إِالَّ َب َّدل‬
َ ‫إِ َّن‬

“Sesungguhnya jika engkau meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan memberi ganti
padamu dengan sesuatu yang lebih baik.”[23]

Tatkala Allah memerintahkan pada sesuatu dan melarang dari sesuatu pasti ada maslahat dan manfaat
di balik itu semua. Sibukkanlah diri dengan mengkaji ilmu dan mentadaburri Al Quran, niscaya perlahan-
lahan perkara yang tidak manfaat semacam nyanyian akan ditinggalkan. Semoga Allah membuka hati
dan memberi hidayah bagi setiap orang yang membaca risalah ini.

Washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma’in. Walhamdulillahi robbil
‘alamin.
Kesyirikan dalam Sumpah Pramuka “Tri Satya” (yaitu bersumpah DEMI KEHORMATANKU, bukan DEMI
ALLAH)

Filed under: Uncategorized, al islam

http://ustadzaris.com/kesyirikan-dalam-sumpah-pramuka-tri-satya

“Tri Satya, demi kehormatanku aku berjanji…”

Demikianlah kata-kata yang sering kita dengar dari Pramuka. Dalam kalimat di atas terdapat ucapan
sumpah dengan selain Allah yaitu bersumpah dengan ‘kehormatan’.

Apakah ini dibolehkan? Berikut ini jawabannya,

ْ‫ َيقُو ُل « َمن‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫ت َرسُو َل هَّللا‬


1ُ ْ‫ْن ُع َبيْدَ َة َقا َل َسم َِع ابْنُ ُع َم َر َر ُجالً َيحْ لِفُ الَ َو ْال َكعْ َب ِة َف َقا َل لَ ُه ابْنُ ُع َم َر إِ ِّنى َسمِع‬
ِ ‫َعنْ َسعْ ِد ب‬
‫ك‬
َ َ ‫ر‬ ‫ش‬ْ َ ‫أ‬ ْ
‫د‬ َ
‫ق‬ َ
‫ف‬ ‫هَّللا‬ ‫ْر‬
ِ ِ ِ َ َ‫ي‬ َ
‫غ‬ ‫ب‬ ‫ف‬ َ ‫ل‬ ‫ح‬ ».

Dari Sa’ad bin Ubadah, suatu ketika Ibnu Umar mendengar seorang yang bersumpah dengan
mengatakan ‘Tidak, demi Ka’bah’ maka Ibnu Umar berkata kepada orang tersebut, Aku mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang bersumpah dengan selain Allah
maka dia telah melakukan kesyirikan” (HR Abu Daud no 3251, dinilai shahih oleh al Albani).

Bersumpah dengan Allah adalah bentuk mengagungkan Allah. Oleh karenanya, bersumpah dengan
selain Allah dinilai sebagai bentuk tindakan lancang kepada Allah dan melecehkan kesempurnaan dan
keagungan Allah. Karena seorang insan jika ingin menegakan bahwa dirinya benar dalam perkataannya
atau berupaya membersihkan diri dari tuduhan yang dialamatkan kepadanya maka dia akan bersumpah
dengan sesuatu yang paling agung dalam hatinya. Adakah di alam semesta ini suatu yang lebih agung
dibandingkan dengan Allah. Oleh karena itu, bersumpah dengan selain Allah tergolong kesyirikan.

Hukum bersumpah dengan selain Allah adalah haram menurut mayoritas ulama.

Ibnu Taimiyyah berkata, “Bersumpah dengan makhluk hukumnya haram menurut mayoritas ulama.
Inilah pendapat Abu Hanifah dan merupakan salah pendapat dari dua pendapat yang ada dalam mazhab
Syafii dan Ahmad. Bahkan ada yang menyatakan bahwa para shahabat telah bersepakat dalam hal ini.

Ada juga yang berpendapat bahwa sumpah dengan selain Allah itu makruh. Namun pendapat pertama
jelas pendapat yang lebih benar sampai-sampai tiga shahabat nabi yaitu Abdullah bin Mas’ud, Abdullah
bin Abbas dan Abdullah bin Umar berkata, ‘Sungguh jika aku bersumpah dengan nama Allah dalam
keadaan aku berbohong itu lebih aku sukai dibandingkan jika aku bersumpah dengan selain Allah dalam
kondisi benar” (Majmu Fatawa 1/204).

Dalam kesempatan yang lain, beliau berkata, “Menurut pendapat yang benar dan itu merupakan
pendapat mayoritas ulama baik dari generasi salaf maupun khalaf adalah tidak boleh bersumpah dengan
makhluk baik nabi atau bukan nabi, malaikat, seorang raja ataupun seorang ulama. Terlarangnya hal ini
adalah larangan haram menurut mayoritas ulama sebagaimana pendapat Abu Hanifah dan yang lainnya.
Hal tersebut merupakan salah satu dari dua pendapat dalam mazhab Ahmad” (Majmu Fatawa 27/349).

Tentang rahasia di balik larangan ini, Syaukani mengatakan, “Para ulama mengatakan bahwa rahasia di
balik larangan bersumpah dengan selain Allah adalah karena bersumpah dengan sesuatu itu
menunjukkan pengagungan dengan suatu yang disebutkan. Padahal keagungan yang hakiki adalah
hanya milik Allah. Oleh karena itu tidak boleh bersumpah kecuali dengan Allah, zat dan sifatNya. Ini
merupakan kesepakatan semua ahli fikih” (Nailul Author 10/160).
Jadi bersumpah dengan selain Allah adalah syirik besar yang mengeluarkan dari Islam jika diiringi
keyakinan bahwa makhluk yang disebutkan dalam sumpah tersebut sederajat dengan Allah dalam
pengagungan dan dalam keagungan. Jika tidak ada unsur ini maka hukumnya adalah syirik kecil.

َ‫ َف َنا َدا ُه ْم َرسُو ُل هَّللا ِ – صلى هللا عليه وسلم – « أَال‬، ‫ب َوهْ َو َيحْ لِفُ ِبأ َ ِبي ِه‬ ٍ ‫ب فِى َر ْك‬ َ ‫ْن ُع َم َر – رضى هللا عنهما أَ َّن ُه أَ ْد َر‬
ِ ‫ك ُع َم َر ب َْن ْال َخ َّطا‬ ِ ‫َع ِن اب‬
َ ‫ َف َمنْ َك‬، ‫م أَنْ َتحْ لِفُوا ِبآ َبا ِئ ُك ْم‬1ْ ‫» إِنَّ هَّللا َ َي ْن َها ُك‬
ْ ‫ َوإِالَّ َف ْل َيصْ م‬، ِ ‫ان َحالِ ًفا َف ْل َيحْ لِفْ ِباهَّلل‬
‫ُت‬

Dari Ibnu Umar, sesungguhnya beliau menjumpai Umar bin al Khattab bersama suatu rombongan. Saat
itu Umar bersumpah dengan menyebut nama bapaknya. Nabipun lantas memanggil rombongan
tersebut lalu bersabda, “Ingatlah sesungguhnya Allah melarang kalian untuk bersumpah dengan
menyebut nama bapak-bapak kalian. Siapa yang hendak bersumpah maka hendaknya bersumpah
dengan Allah atau jika tidak diam saja” (HR Bukhari no 5757).

َ ‫ف ِباألَ َما َن ِة َفلَي‬


‫ْس ِم َّنا‬ َ َ‫ « َمنْ َحل‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫ْن ب َُريْدَ َة َعنْ أَ ِبي ِه َقا َل َقا َل َرسُو ُل هَّللا‬
ِ ‫» َع ِن اب‬.

Dari Ibnu Buraidah dari Buraidah, Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang bersumpah dengan amanah
maka dia bukanlah umatku” (HR Abu Daud no 3253, dinilai shahih oleh al Albani).

Oleh karena itu tidak diperkenankan untuk bersumpah dengan Ka’bah, amanah, kehormatan,
pertolongan, barokah fulan, kehidupan fulan, kedudukan nabi, kedudukan wali, bapak, ibu dan tidak
pula dengan kepala anak. Ini semua hukumnya haram. Barang siapa yang terjerumus ke dalamnya maka
kaffarah/tebusannya adalah dengan mengucapkan laa ilaha illallah sebagaimana yang disebutkan dalam
hadits yang shahih.

َّ‫ َف ْل َيقُ ْل الَ إِلَ َه إِال‬. ‫ت َو ْالع َُّزى‬


ِ َّ‫ف َف َقا َل فِى َحلِفِ ِه َوالال‬ َ َ‫َعنْ أَ ِبى ه َُري َْر َة – رضى هللا عنه – َقا َل َرسُو ُل هَّللا ِ – صلى هللا عليه وسلم – « َمنْ َحل‬
َ ْ‫صاح ِِب ِه َت َعا َل أ ُ َقامِر‬
َ ‫ َف ْل َي َت‬. ‫ك‬
‫صد َّْق‬ َ ِ‫ َو َمنْ َقا َل ل‬. ُ ‫» هَّللا‬

Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang bersumpah lalu berkata dalam sumpahnya
‘demi Latta dan Uzza’ maka hendaknya mengucapkan laa ilaha illallah. Barang siapa yang berkata kepada
kawannya ‘mari kita bertaruh’ maka hendaknya dia bersedekah” (HR Bukhari no 4579) [Muharramat
Istahana biha anNas hal 21, maktabah al Khudairi].
Di sisi lain, dalam al Qur’an Allah sering bersumpah dengan menyebut makhlukNya semisal mengatakan,
‘Demi matahari dan terangnya’ atau ‘Demi malam jika telah gelap’ atau kalimat yang semisal.

Ada dua jawaban untuk mendudukkan masalah ini dengan benar. Pertama, ini adalah perbuatan Allah
dan Allah tidak boleh ditanya tentang yang Dia lakukan. Dia berhak untuk bersumpah dengan makhluk
apa saja yang Dia kehendaki. Dialah yang akan menanyai makhlukNya bukan malah ditanya. Dialah yang
menghukumi bukan yang dihukumi.

Kedua, Allah bersumpah dengan makhluk-makhluk ini menunjukkan keagungan dan kesempurnaan
kuasa dan hikmah Allah. Jadi jika Allah bersumpah dengan ini semua, maka ini menunjukkan
pengagungan terhadap makhluk-makhluk tersebut. Sehingga secara tidak langsung menunjukkan
sanjungan terhadap Allah. Sedangkan kita tidak diperkenankan untuk bersumpah dengan selain Allah
karena kita dilarang untuk melakukan hal tersebut (al Qoul al Mufid 2/325-326).

http://ustadzaris.com/kesyirikan-dalam-sumpah-pramuka-tri-satya

You might also like